makalah sistem inovasi dalam pembangunan kawasan ekonomi khusus

22
  ( , )*   * (), 010.

Upload: statistikceria

Post on 04-Nov-2015

37 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Makalah Sistem Inovasi Dalam Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus

TRANSCRIPT

  • 0

    SISTEM INOVASI DALAM PEMBANGUNAN

    KAWASAN EKONOMI KHUSUS DI INDONESIA

    (Studi Kasus Kawasan Industri Cikarang,

    Kabupaten Bekasi)*

    Oleh :

    Albertus Hendri Setyawan

    *Makalah disusun dalam rangka tugas akhir mata kuliah

    Sistem Inovasi dalam Pembangunan di Magister Studi

    Pembangunan Institut Teknologi Bandung (ITB), tahun 2010.

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    I.1. Latar Belakang Model pembangunan dewasa ini yang hangat dibicarakan di Indonesia dan mulai

    masuk dalam tahap implementasi adalah pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kawasan Ekonomi Khusus merupakan suatu kawasan dengan batas tertentu yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fasilitas-fasilitas tertentu ini terkait dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada investor dalam melakukan kegiatan perdagangan dan investasi, dengan demikian akan mendorong masuknya investasi dalam jumlah besar ke dalam kawasan tersebut.

    Kemudahan-kemudahan yang diberikan bagi investor yang bersedia menanamkan modalnya di KEK berwujud insentif fiskal maupun insentif non fiskal. Insentif fiskal yang ditawarkan adalah : - setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas Pajak

    Penghasilan (PPh); - pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam kurun waktu tertentu bagi penanam

    modal; - penangguhan bea masuk, pembebasan cukai (sepanjang merupakan bahan baku atau bahan

    penolong industri), pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk impor barang ke KEK;

    - setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah.

    Sementara itu insentif non fiskal yang ditawarkan adalah : - kemudahan dan keringanan perijinan untuk kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan,

    kepelabuhan, dan keimigrasian bagi pelaku bisnis; - fasilitas keamanan; - ijin mempekerjakan tenaga kerja asing yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau

    komisaris diberikan sekali dan berlaku selama tenaga kerja yang bersangkutan menjadi direksi atau komisaris.

    Ekonomi biaya tinggi dianggap sebagai hambatan berinvestasi di Indonesia, terutama bagi para investor luar negeri. Ekonomi biaya tinggi seringkali dipicu oleh panjangnya dan rumitnya pengurusan perijinan yang berimplikasi pada tingginya biaya perijinan, di samping itu dipicu oleh kebijakan-kebijakan fiskal pemerintah yang dianggap memberatkan para pelaku bisnis. Keberadaan KEK diharapkan dapat memangkas ekonomi biaya tinggi dan membuat iklim berinvestasi di Indonesia menjadi menarik bagi investor.

    Langkah Indonesia membangun KEK bukanlah yang pertama kali di dunia. Telah banyak negara yang menerapkan KEK untuk menggairahkan perekonomian negara dimana salah satu praktek KEK yang sukses adalah di Cina. Namun demikian, penerapan KEK ada yang gagal total sama sekali sebagaimana yang terjadi di Korea Utara. Keberhasilan Cina menerapkan KEK menjadi daya tarik Indonesia untuk mengikuti jejak Cina membangun KEK, yang kini terbukti Cina semakin merajai perindustrian dan perdagangan di tingkat global.

    Pembangunan KEK mulai diterapkan di kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) dan dijadikan proyek percontohan KEK di Indonesia. Sejumlah daerah lain diperkirakan akan segera mengikuti jejak BBK menerapkan KEK karena telah banyak daerah yang mengusulkan

  • 2

    dirinya untuk dijadikan lokasi KEK. Salah satu daerah tersebut adalah Kabupaten Bekasi yang mengusulkan kepada Pemerintah untuk menjadikan Kawasan Industri Cikarang sebagai KEK. Pengajuan Kawasan Industri Cikarang untuk menjadi Kawasan Ekonomi Khusus sebenarnya telah lama digulirkan. Pengajuan tersebut memang tidak terlepas dari pembentukan KEK Batam, Bintan, dan Karimunjawa (BBK) oleh Pemerintah. Merasa lebih kompeten dan potensial dibandingkan dengan BBK, maka sejak saat itu Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten Bekasi berupaya mengajukan Kawasan Industri Cikarang agar dijadikan KEK pula. Hal ini dikarenakan 60% industri manufaktur di Indonesia berada di Jawa Barat, terutama di Cikarang Bekasi. Akhirnya usulan tersebut diterima oleh Pemerintah dan kemudian Kawasan Industri Cikarang diproyeksikan menjadi KEK dan saat ini dalam tahap perencanaan.

    Namun demikian, pembangunan Kawasan Industri Cikarang sebagai KEK bukan tanpa hambatan. Beberapa reaksi telah ditunjukkan oleh beberapa kalangan. Salah satunya adalah reaksi dari Serikat Pekerja yang mengarah kepada resistensi terhadap penerapan KEK. Resistensi ini muncul karena adanya kekhawatiran nasib para pekerja akan makin tertindas dengan penerapan KEK ini karena KEK dianggap lebih memihak kepentingan pengusaha. Potensi resistensi juga datang dari masyarakat lokal, yang selama ini kurang terakomodasi dalam lapangan kerja di Kawasan Industri Cikarang. Belum lagi potensi resistensi yang dapat muncul dari para pelaku UMKM lokal yang pasti akan terkena dampak dari pembangunan KEK di Kawasan Industri Cikarang.

    Pembangunan KEK memang akan memiliki implikasi bagi sejumlah pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, investor asing, investor domestik, para pekerja, UMKM lokal, dan masyarakat setempat yang daerahnya menjadi lokasi KEK. Banyaknya pihak yang akan menerima dampak dari pelaksanaan KEK tentunya memunculkan negosiasi-negosiasi berbagai kepentingan yang berbeda. Riak-riak resistensi sudah mulai nampak sebagai wujud ketakutan dan kehawatiran dari pihak-pihak yang mungkin akan kalah atau dikalahkan dalam negosiasi tersebut. Untuk mencapai pembangunan KEK yang berhasil sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah, maka perlu digagas inovasi sistemik dalam pembangunan KEK dimana kepentingan sejumlah pihak yang berbeda harus dirangkul dan diakomodasi sehingga KEK dapat berjalan sukses dan manfaatnya dapat dinikmati secara bersama-sama oleh sejumlah pihak.

    I.2. Rumusan Masalah Pemerintah memiliki kepentingan besar dalam pembangunan KEK. Pertumbuhan

    Indonesia yang mulai melambat dan tingginya tingkat pengangguran di Indonesia menjadi dorongan bagi pemerintah untuk mengimplementasikan KEK sehingga akan banyak investasi yang ditanamkan dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang pada akhirnya mampu memacu pertumbuhan perekonomian Indonesia. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan bahwa keberadaan KEK di tengah krisis global sudah sangat mendesak karena cepat atau lambat imbas krisis ekonomi di dunia akan mempengaruhi perekonomian nasional. Menteri Perdagangan mengharapkan KEK menjadi kawasan unggul sehingga menarik investor dan meningkatkan daya saing di tengah persaingan regional dan global.

    Keseriusan pemerintah membangun dan mengembangkan KEK di Indonesia adalah telah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, yang mengatur sejumlah hal terkait dengan pembangunan KEK. Niat pemerintah menggarap KEK telah terlihat beberapa tahun sebelumnya dimana dalam satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 telah diatur mengenai Kawasan Ekonomi Khusus. Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun merupakan kawasan pertama yang dikembangkan

  • 3

    menjadi Kawasan Ekonomi Khusus dan akan menjadi proyek percontohan di Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia juga tertarik membangun KEK dan telah banyak mengusulkan kepada Tim KEK Pusat karena tingginya ekspektasi daerah terhadap KEK yang diharapkan dapat menggerakkan perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.

    Kabupaten Bekasi merupakan salah satu daerah yang diproyeksikan menjadi KEK, setelah ditetapkannya UU KEK pada tanggal 15 September 2009. Adapun kawasan yang diproyeksikan untuk menjadi KEK di Kabupaten Bekasi merupakan pengembangan dari Kawasan Industri Cikarang yang terdiri dari tujuh kawasan. Ketujuh perusahaan pengelola kawasan tersebut adalah PT Cikarang Industrial Estate (Jababeka), PT Lippo Cikarang, PT Delta Mas, PT East Jakarta Industrial Park (EJIP), PT Megapolis Manunggal Industrial Development (MM 2100), PT Bekasi Fadjar Hungkang, dan PT Hyundai Inti Development Park Dae Woo.

    Pembangunan KEK di Kawasan Industri Cikarang disambut baik oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten Bekasi karena kemudahan-kemudahan yang ditawarkan. Kemudahan-kemudahan itu diharapkan dapat menciptakan efisiensi biaya sehingga dapat meningkatkan daya saing produk nasional, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Dukungan terhadap pembangunan KEK di Kawasan Industri Cikarang terungkap dari pernyataan Direktur Utama PT Jababeka S.D. Darmono yang merupakan perwakilan dari Kawasan Industri Cikarang :

    ....kawasan industri di Cikarang, saat ini telah dihuni lebih dari 2.000 perusahaan dari 25 negara, dengan pajak yang tertagih diperkirakan mencapai sebesar Rp 6 triliun. Namun potensi pajak diperkirakan jauh lebih besar mencapai angka Rp 40 triliun sehingga mau tidak mau, daerah ini harus menjadi kawasan internasional.

    Kepentingan pengusaha Kawasan Industri Cikarang merasa terakomodasi dalam kebijakan KEK sehingga mereka pun mendukung pembangunan KEK di Kabupaten Bekasi.

    Namun, sikap yang berbeda ditunjukkan oleh perwakilan Serikat Pekerja. Secara terpisah, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indoneia (FSPMI) Kabupaten Bekasi, Obon Tabroni, menolak diberlakukannya KEK di wilayah Bekasi sebagaimana yang diutarakannya secara tegas :

    Saya berpendapat kebijakan ini akan memangkas hak-hak pekerja. Dalam UU KEK, ada sejumlah poin yang melegalkan outsourcing, padahal bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    Di samping alasan tersebut, masih menurut Tabroni, permasalahan upah murah juga akan dihadapi oleh para buruh. Hal ini dikarenakan dalam UU KEK, setiap KEK diperbolehkan untuk membentuk Dewan Pengupahan yang akan merumuskan Upah Minimum Kerja (UMK).

    Sehingga akan menimbulkan kecemburuan pada para buruh karena upah yang mereka terima di masing-masing kawasan industri akan berbeda. KEK hanya akal-akalan para pengusaha untuk bisa membayar murah tenaga kerja dan pajak.

    Pernyataan Obon Tabroni merupakan perwakilan suara dari para pekerja yang diwakilinya yang menunjukkan nada kekhawatiran mengenai dampak pembentukan KEK terhadap nasib para pekerja. Para pekerja khawatir hak-hak pekerja akan dikebiri oleh pengusaha, nasib pekerja di ujung tanduk yang dapat di-PHK kapan saja karena outsourcing akan dilegalkan, serta kehidupan pekerja akan makin memburuk karena upah murah akan diterapkan oleh pengusaha dengan alasan efisiensi dan daya saing.

  • 4

    Guna mengantisipasi hal ini, FSPMI telah melakukan sosialisasi ke berbagai serikat pekerja tentang bahaya yang dapat ditimbulkan dari KEK. Selain itu, juga melakukan audiensi dengan para pemegang kebijakan untuk membatalkan rencana penerapan KEK.

    "Kita sudah sebarkan imbauan berisi penjabaran resiko KEK bagi kaum buruh. Secara tegas kami menolak KEK," kata Obon.

    Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bekasi, memiliki kepentingan besar untuk mendapatkan manfaat dari penerapan KEK di wilayahnya. Meskipun Pemerintah Kabupaten Bekasi memiliki resiko kehilangan sejumlah pendapatan dari pajak daerah dan retribusi daerah sebagai kontribusi insentif pemerintah daerah dalam KEK, namun Pemerintah Kabupaten Bekasi memiliki ekspektasi besar bahwa pembangunan KEK dapat menyerap tenaga kerja lokal dan mendorong pertumbuhan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ada di daerah. Persoalan yang dihadapi oleh daerah saat ini adalah rendahnya kualitas sumber daya tenaga kerja lokal dan kualitas produk UMKM lokal, padahal pelaksanaan KEK tentunya membutuhkan tenaga kerja yang terampil serta bahan baku yang berkualitas tinggi karena produk yang dihasilkan dalam KEK berorientasi ekspor. Dampak pembangunan KEK terhadap perekonomian daerah pernah diungkapkan oleh Menteri Perdagangan sebagai berikut :

    .....keuntungan kawasan ekonomi ini tidak saja terbatas pada kawasan tersebut, tetapi juga akan ada efek secara umum ke daerah di luar kawasan tersebut, dengan berkembangnya industri yang menunjang, dan berkembangnya jasa-jasa yang menunjang di sekitarnya.

    Yang menjadi pertanyaan, mampukah industri dan jasa lokal atau UMKM lokal meraih peluang berkontribusi dalam KEK dan turut menikmati kue benefit dari KEK yang ada di wilayahnya. Jika tidak, maka UMKM lokal hanya menjadi penonton di rumahnya sendiri dan akan menimbulkan kesenjangan kesejahteraan yang semakin lebar antara UMKM lokal dan industri-industri raksasa yang ada dalam lokasi KEK. Atau justru UMKM akan mati dengan adanya bombardir produk-produk yang dihasilkan dari KEK dan dipasarkan ke luar KEK, karena produk-produk tersebut lebih murah akibat berbagai insentif yang diterima dan kualitasnya juga tidak kalah atau bahkan lebih baik dibandingkan produk-produk UMKM. Meskipun penjualan barang dari KEK ke luar kawasan KEK akan dikenai tarif impor, bisa saja tidak menurunkan daya saing produk KEK jika tarif impor yang dikenakan relatif kecil sehingga produk KEK akan lebih murah harganya dibandingkan produk UMKM lokal.

    Saat ini masih banyak tenaga kerja di Kabupaten Bekasi yang belum tertampung dalam lapangan pekerjaan. Hal ini sebenarnya merupakan potensi untuk menyediakan tenaga kerja dalam pembangunan KEK nantinya, meskipun dihadapkan pada kendala kualitas tenaga kerja. Diharapkan pembangunan KEK dapat menyerap tenaga kerja lokal yang ada sehingga mampu mengurangi tingkat pengangguran. Ternyata selama ini ketika masih berwujud Kawasan Industri Cikarang, tenaga kerja yang bekerja di kawasan tersebut justru kebanyakan berasal dari luar Bekasi, sementara tenaga kerja lokal yang terserap dalam kawasan hanya sebagian kecil saja. Apabila hal ini terulang dalam pembangunan KEK, tentunya dapat menimbulkan persoalan di kemudian hari dan rentan menimbulkan konflik sosial karena semakin besarnya tuntutan masyarakat lokal untuk dapat berpartisipasi dalam kawasan industri yang ada di wilayahnya.

  • 5

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    II.1 Sistem Inovasi

    Inovasi seringkali dikembangkan dalam sistem yang dibentuk oleh aktor-aktor dan organisasi-organisasi, yang semuanya berkontribusi dalam cara-cara yang berbeda dan interaktif. Hubungan antara aktor-aktor dan organisasi-organisasi dan institusi-institusi yang mempengaruhi membentuk sistem inovasi. Lundvall menekankan bahwa pembelajaran merupakan aktivitas sentral dalam sistem inovasi dimana pembelajaran merupakan sebuah aktivitas sosial yang melibatkan interaksi antara orang-orang. Hal ini menunjukkan bahwa sistem inovasi merupakan sebuah sistem sosial dan dinamis, yang dicirikan dengan umpan balik positif dan reproduksi. Proses-proses pembelajaran dan inovasi dapat dipromosikan oleh unsur-unsur sistem inovasi yang memperkuat satu sama lain, atau sebaliknya yang menghalangi proses-proses semacam itu ketika unsur-unsur tersebut bergabung ke dalam kumpulan yang kurang baik. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bahwa pengetahuan individu-individu atau agen-agen kolektif dihasilkan dan dipertukarkan (Negro, 2007).

    Definisi mengenai sistem inovasi sangat beragam. Terdapat berbagai sudut pandang dalam memaknai sistem inovasi. Lundvall (1992) mendefinisikan sistem inovasi sebagai unsur-unsur dan hubungan-hubungan yang berinteraksi dalam produksi, difusi, dan penggunaan pengetahuan yang baru dan berguna secara ekonomis, dan seringkali berlokasi atau berakar dalam batas-batas suatu negara. Freeman (1987) menyatakan sistem inovasi sebagai jejaring kelembagaan dalam sektor publik dan swasta dimana kegiatan-kegiatan dan interaksi-interaksinya memulai, mendatangkan, mengubah, dan mendifusikan teknologi-teknologi baru. Sementara itu, definisi sistem inovasi menurut Hall dkk. (2003) adalah kelompok organisasi dan individu yang terlibat dalam produksi, difusi dan adaptasi, dan penggunaan pengetahuan signifikansi sosial ekonomi, dan konteks kelembagaan yang mengatur cara dimana interaksi-interaksi dan proses-proses ini terjadi. Lebih lanjut Hall dkk. (2003) menyatakan bahwa pendekatan sistem inovasi memandang inovasi dalam cara yang lebih sistemik, interaktif, dan evolusioner, dimana produk-produk dan proses-proses baru dibawa ke dalam penggunaan ekonomi dan sosial melalui kegiatan-kegiatan jejaring organisasi yang dimediasi oleh berbagai kelembagaan dan kebijakan.

    Meskipun terdapat berbagai definisi mengenai sistem inovasi, berbagai definisi tersebut menunjukkan empat hal yang sama. Pertama, ada penekanan bahwa inovasi adalah proses pembelajaran. Hal ini berarti bahwa perubahan teknologi tidak banyak dipertimbangkan sebagai pengembangan material, tetapi lebih sebagai suatu rekombinasi dari pengetahuan (yang seringkali sudah ada) atau penciptaan kombinasi-kombinasi baru. Proses pembelajaran ini bergantung pada keterlibatan banyak aktor yang mempertukarkan pengetahuan, aktor-aktor ini terdiri dari berbagai organisasi, meliputi perusahaan, pemerintah, dan lembaga penelitian. Kedua, ada penekanan pada peranan lembaga. Lembaga dapat dianggap sebagai ketentuan, regulasi, dan rutinitas yang membentuk ruang kemungkinan bagi aktor-aktor. Dengan ini, lembaga merupakan penggerak maupun hambatan penting bagi inovasi (Suurs, 2009).

    Ketiga, sistem inovasi menekankan hubungan antara aktor dan lembaga atau adanya gagasan tentang suatu sistem. Perspektif sistem menunjukkan adanya pendekatan holistik. Holistik dalam sistem inovasi berarti bahwa kinerja suatu sistem inovasi tidak dapat dianggap sebagai fungsi linear dari unsur-unsurnya. Sebaliknya, hal tersebut merupakan hasil dari

  • 6

    banyak hubungan di antara unsur-unsurnya. Keempat, sistem inovasi menekankan pentingnya interaksi yang berkelanjutan di antara banyak proses dimana semua proses ini berjalan paralel dan memperkuat satu sama lain melalui mekanisme umpan balik positif. Jika umpan balik semacam ini diabaikan, apakah oleh pembuat kebijakan ataupun oleh pengusaha, maka hal ini kemungkinan besar menyebabkan kegagalan dalam proses inovasi di seluruh sistem (Suurs, 2009).

    Edquist (2001) dalam Negro (2007) menekankan bahwa faktor-faktor penentu (ekonomi, sosial, politik, organisasi, dan lain-lain) yang mempengaruhi pembangunan, difusi, dan penggunaan inovasi, dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi semua aktivitas yang terjadi dalam sistem inovasi. Bagaimanapun, hal tersebut tidak mungkin untuk memetakan seluruhnya, oleh karenanya hanya kegiatan-kegiatan yang paling relevan yang dimasukkan, misalnya kegiatan yang mempengaruhi tujuan sistem inovasi. Kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap tujuan sistem inovasi disebut sebagai fungsi dari sistem inovasi atau fungsi sistem (Hekker dkk, 2006 dalam Negro, 2007). Jacobsson dan Johsons mengembangkan konsep fungsi sistem dan mendefinisikannya sebagai sebuah kontribusi dari suatu komponen atau seperangkat komponen terhadap kinerja suatu sistem (Bergek, 2002 dalam Negro, 2007).

    Fungsi sistem yang paling mendasar sebagaimana yang disebutkan dalam banyak kajian tentang sistem inovasi adalah kegiatan pembelajaran atau pembelajaran interaktif. Kegiatan ini berada pada inti pendekatan sistem inovasi (Lundvall, 1992 dalam Negro, 2007). Sementara itu, Edquist dan Johnson (1997) dalam Negro (2007) mengungkapkan tiga fungsi kelembagaan dalam sistem inovasi, yaitu kelembagaan mengurangi ketidakpastian dengan menyediakan informasi, mengelola konflik dan kerja sama, dan menyediakan insentif-insentif untuk inovasi. McKelvey (1997) dalam Negro (2008) melihat tiga fungsi berbeda dari sistem inovasi sebagaimana dia mendefinisikan sistem inovasi berdasarkan teori evolusioner, yaitu (i) penyimpanan dan penyebaran informasi, (ii) menghasilkan kebaruan yang mengarah pada keberagaman, dan (iii) pemilihan di antara alternatif-alternatif. Pentingnya jejaring sangat ditekankan.

    Johnsons (1998) dalam Negro (2008) mengidentifikasi delapan fungsi sistem, yaitu : 1. menyediakan insentif bagi perusahaan untuk terlibat dalam pekerjaan inovatif; 2. menyediakan sumber-sumber daya (modal dan kompetensi); 3. memandu arah pencarian (mempengaruhi arah aktor-aktor dalam menggunakan sumber

    daya); 4. mengenal potensi pertumbuhan (mengidentifikasi kemungkinan teknologi dan

    keberlangsungan ekonomi); 5. memfasilitasi pertukaran informasi dan pengetahuan; 6. menstimulasi/menciptakan pasar; 7. mengurangi ketidakpastian sosial (misalnya ketidakpastian tentang bagaimana yang lain

    akan beraksi dan bereaksi); 8. menangkal resistensi terhadap perubahan yang mungkin timbul dalam masyarakat ketika

    suatu inovasi diperkenalkan (memberikan legitimasi bagi inovasi).

    Bruijn dkk. (2004) mengungkapkan bahwa hakikat sistem inovasi adalah komprehensif dan radikal. Inovasi bersifat komprehensif karena seluruh sistem harus berubah, bukan hanya sebuah komponen dari sistem. Hal ini secara otomatis membuat perubahan menjadi radikal dimana sistem secara keseluruhan harus berubah, tidak hanya satu komponen atau beberapa komponen, di samping itu institusi, nilai, dan norma yang mendasari juga harus berubah. Terdapat beberapa karakteristik penting dari sebuah inovasi yang bersifat sistemik, yaitu :

  • 7

    a. Inovasi sistem bersifat dikehendaki, artinya tujuan perubahan dirumuskan sebelum perubahan terjadi, seringkali merupakan tujuan jangka panjang.

    b. Inovasi sistem bersifat disengaja, artinya orang-orang menyadari sifat sistemik dari inovasi dan implikasinya.

    c. Interaksi mendominasi, artinya tujuan perubahan dirumuskan bersama-sama dengan pihak-pihak terkait dan terus menerus disesuaikan karena tidak mungkin bagi satu pihak atau beberapa pihak untuk mewujudkan inovasi sistem.

    d. Inovasi sistem merupakan perubahan paradigma, untuk mencapai hal ini diperlukan inisiator perubahan yang memimpin untuk mencapai tujuan perubahan yang disepakati bersama.

    Menurut Bruijn dkk. (2004) terdapat beberapa pola inovasi yang mungkin terjadi, yang dapat digolongkan ke dalam tiga pola sebagai berikut. Pola I Pola II Pola III Inisiator inovasi

    Pemerintah dan pelaku pasar

    Akademisi/periset dan pelaku pasar

    Pemerintah dan akademisi/periset

    Tipe perubahan Radikal, komprehensif, perencanaan unilateral

    Organik; perubahan emergent

    Kombinasi antara terencana dan emergent

    Pendekatan Top down, bermula dari situasi akhir yang dikehendaki

    Bottom up, seluruh elemen berubah sebagai aksi bottom up

    Berjejaring, kombinasi dari kepentingan-kepentingan, interdependensi

    Bruijn dkk. (2004) mengungkapkan tiga faktor penting yang membatasi peluang untuk mengelola sistem inovasi yaitu : 1. Kekurangan pengetahuan

    Sifat mendasar dari perubahan adalah adanya sejumlah besar ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut meliputi : - keterkaitan antara permasalahan yang ada dengan institusi, struktur, dan norma yang ada; - institusi, struktur, dan norma yang membutuhkan perubahan; - dampak perubahan terhadap situasi baru; - biaya finansial dan sosial dari proses perubahan; - permasalahan yang mungkin timbul pada situasi yang baru; - biaya dan dampak dari munculnya permasalahan baru. Seringkali tidak ada pengetahuan sama sekali mengenai hal-hal di atas. Pihak-pihak yang berbeda dapat memiliki pandangan yang berbeda. Hal ini menyebabkan inovasi sistem memiliki resiko.

    2. Konsensus berlangsung secara linear Sistem inovasi mempengaruhi kepentingan banyak pihak. Dalam masyarakat modern, pihak tersebut cenderung untuk bekerja dalam jaringan: mereka saling bergantung, tidak ada pihak manapun yang memiliki kekuasaan untuk memaksakan pandangannya pada pihak yang lain. Pihak-pihak yang terlibat cenderung untuk mengambil pandangan yang berbeda mengenai keinginan suatu sistem inovasi. Beberapa pihak akan mendukungnya, beberapa pihak akan bersikap netral, beberapa pihak yang lain lagi akan berusaha untuk menghalangi inovasi.

    3. Pertentangan antara nilai publik dan nilai individu Banyak perubahan sistem terjadi pada irisan antara sektor publik dan sektor individu. Akibatnya sistem inovasi memiliki potensi tinggi untuk menimbulkan konflik.

  • 8

    II.2 Teori Kerja Sama Kerja sama pada hakekatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang

    berinteraksi secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama. Dalam pengertian itu terkandung tiga unsur pokok yang melekat pada suatu kerangka kerja sama, yaitu unsur dua pihak atau lebih, unsur interaksi, dan unsur tujuan bersama. Jika satu unsur tersebut tidak termuat dalam satu objek yang dikaji, dapat dianggap bahwa pada objek itu tidak terdapat kerja sama. Unsur dua pihak, selalu menggambarkan suatu himpunan yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga interaksi untuk mewujudkan tujuan bersama penting dilakukan. Apabila hubungan atau interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing pihak, maka hubungan yang dimaksud bukanlah suatu kerja sama. Suatu interaksi meskipun bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerja sama. Kerja sama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi, dan selaras.

    Menurut Thomson dan Perry, kerja sama memiliki derajat yang berbeda, mulai dari koordinasi dan kooperasi (cooperation) sampai pada derajat yang lebih tinggi yaitu kolaborasi (collaboration). Para ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan terletak pada kedalaman interaksi, integrasi, komitmen, dan kompleksitas dimana cooperation terletak pada tingkatan yang paling rendah, sedangkan collaboration berada pada tingkatan yang paling tinggi.

    Bowo dan Andy menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kerja sama harus tercapai keuntungan bersama. Pelaksanaan kerja sama hanya dapat tercapai apabila diperoleh manfaat bersama bagi semua pihak yang terlibat didalamnya (win-win). Apabila satu pihak dirugikan dalam proses kerja sama, maka kerja sama tidak lagi terpenuhi. Dalam upaya mencapai keuntungan atau manfaat bersama dari kerja sama, perlu komunikasi yang baik antara semua pihak dan pemahaman yang sama terhadap tujuan bersama.

  • 9

    BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN

    III.1 Inisiator KEK Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan program yang diinisiasi

    oleh pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan mempertimbangkan aspek ruang atau wilayah. Titik tekannya terletak pada pemberian prioritas berupa perlakuan khusus pada kawasan tertentu untuk menjadi pusat pertumbuhan. Pembentukan KEK sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Program pembangunan serupa sudah pernah diterapkan di Indonesia, di antaranya Tempat Penimbunan Berikat (PP Nomor 33 Tahun 1996), Kawasan Industri (Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1996), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu/KAPET (Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000), serta Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (UU Nomor 36 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2007). Adapun tujuan utama dari KEK ini adalah pengintegrasian industri yang beroperasi di dalamnya dengan ekonomi global dengan cara melindungi mereka terhadap berbagai cara-cara distorsi seperti tarif dan birokrasi yang berbelit-belit.

    KEK mendapatkan sejumlah fasilitas dan insentif dari pemerintah sehingga diproyeksikan menjadi kawasan yang sangat menarik bagi investor domestik maupun mancanegara. Infrastruktur berstandar internasional dibangun secara memadai oleh pemerintah untuk menunjang aktivitas perindustrian dalam KEK. Berbagai insentif ditawarkan oleh pemerintah, baik berupa insentif fiskal maupun insentif non fiskal. Program KEK di Indonesia tidak muncul begitu saja di Indonesia, tetapi terinspirasi oleh pengalaman negara lain yang telah sukses menerapkan KEK, di antaranya China yang saat ini telah menjadi salah satu negara industri maju yang sangat diperhitungkan di tingkat dunia.

    Program KEK merupakan perpaduan antara kebijakan top down dari pemerintah pusat dan kebijakan bottom up dari pemerintah kabupaten/kota. Dalam era otonomi daerah saat ini, maka pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun wilayahnya sehingga pembentukan KEK di wilayah tertentu haruslah mendapatkan persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota setempat. Hal ini ditegaskan dalam Bab III Pasal 5 dalam UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang intinya bahwa pembentukan KEK dapat diusulkan kepada Dewan Nasional oleh Badan Usaha, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota. Pengusulan pembentukan KEK oleh Badan Usaha atau pemerintah provinsi harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, dalam pembentukan KEK persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota menjadi persyaratan mutlak sehingga pengusulan pembentukan KEK memang harus dilakukan secara bottom up. Apabila suatu kabupaten/kota telah disetujui oleh Dewan Nasional sebagai lokasi KEK, maka segala aturan main yang telah digariskan oleh Dewan Nasional menjadi pedoman dalam pelaksanaan KEK sehingga kebijakan pengembangan KEK bersifat top down.

    Dalam kasus pembangunan KEK di Kawasan Industri Cikarang terjadi pertemuan kepentingan antara pemerintah daerah (Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bekasi) dan pemerintah pusat. Tawaran pemerintah pusat untuk membentuk KEK di sejumlah daerah di Indonesia, direspon oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bekasi dengan mengusulkan Kawasan Industri Cikarang sebagai

  • 10

    KEK. Dengan demikian, pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat dikatakan sebagai inisiator dari pembentukan KEK di Kawasan Industri Cikarang.

    Dalam menyelenggarakan pengembangan KEK, dibentuk Dewan Nasional dan Dewan Kawasan. Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah non kementerian. Dewan Nasional memiliki tugas, di antaranya : a. menyusun Rencana Induk Nasional KEK; b. menetapkan kebijakan umum dan rencana strategis untuk mempercepat pertumbuhan dan

    pengembangan KEK; c. menetapkan standar infrastruktur dan pelayanan minimal dalam KEK. Sementara itu, Dewan Kawasan dibentuk pada setiap provinsi yang sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK. Dewan Kawasan terdiri atas ketua (gubernur), wakil ketua (bupati atau walikota), dan anggota (unsur pemerintah di provinsi, unsur pemerintah provinsi, dan unsur pemerintah kabupaten/kota). Dewan Kawasan ini salah satunya bertugas melaksanakan kebijakan umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Nasional untuk mengelola dan mengembangkan KEK di wilayah kerjanya.

    III.2 Aktor-aktor dan Nilai-nilai Pembentukan KEK merupakan program yang memerlukan tingkat koordinasi yang

    tinggi dan melibatkan aktor-aktor yang beragam, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Pembentukan KEK menjadi hal yang kompleks karena berbagai aktor yang terlibat membawa nilai-nilai yang berbeda dimana nilai-nilai yang diusung oleh tiap aktor mengkarakteristikkan kepentingan-kepentingan yang mereka bawa. Nilai-nilai dari masing-masing aktor ini ada yang bersesuaian, namun ada pula nilai-nilai yang memiliki potensi saling bertentangan satu sama lain.

    Sebagai inisiator program, pemerintah pusat memiliki kepentingan agar program KEK dapat mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dengan menarik investasi sebesar-besarnya, memajukan dan meningkatkan daya saing industri nasional, menyerap banyak tenaga kerja, dan memberikan devisa. Tingkat pengangguran di Indonesia terbilang tinggi sehingga pembangunan KEK diharapkan dapat mendorong pembangunan industri skala besar yang dapat membuka lapangan kerja yang luas untuk menyerap tenaga kerja yang ada. Dengan dibentuknya KEK, industri nasional yang memiliki daya saing yang lemah di perdagangan internasional diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya dari sisi efisiensi karena dapat melakukan impor bahan baku dan bahan penolong dari luar negeri dengan murah tanpa dikenai cukai, PPN, maupun PPnBM. Industri-industri yang dikembangkan dalam KEK merupakan industri-industri yang berorientasi ekspor sehingga diharapkan dapat memberikan pemasukan devisa bagi negara.

    Pemerintah Kabupaten Bekasi yang wilayahnya menjadi lokasi KEK memiliki kepentingan terhadap KEK agar dapat memberikan dampak pada pertumbuhan perekonomian daerah dengan mendorong pertumbuhan UMKM-UMKM lokal. Di samping itu, KEK diharapkan dapat menyerap tenaga kerja lokal yang ada. Dengan memberikan efek terhadap UMKM dan tenaga kerja lokal, maka kesejahteraan masyarakat daerah dapat terwujud. Pemerintah Kabupaten Bekasi juga memiliki kepentingan untuk memperoleh pemasukan berupa pajak daerah dan retribusi daerah setelah KEK berjalan.

    Pemilik modal yang saat ini telah berinvestasi dalam Kawasan Industri Cikarang maupun calon pemilik modal yang akan berinvestasi setelah KEK berjalan, memiliki

  • 11

    kepentingan dalam KEK berupa kemudahan-kemudahan dalam berinvestasi dengan segala fasilitas dan insentif yang diberikan. Insentif fiskal yang diberikan oleh pemerintah dapat menghindari terjadinya ekonomi biaya tinggi yang kerapkali dikeluhkan oleh pemilik modal. Ekonomi biaya tinggi menjadi salah satu faktor yang menjadi hambatan untuk dapat bersaing di perdagangan global. Insentif non fiskal berupa kemudahan perijinan, keamanan, dan ijin mempekerjakan tenaga asing sebagai direksi atau komisaris menjadi faktor tambahan yang memberikan dorongan bagi pemilik modal untuk berinvestasi dalam KEK. Perijinan yang memakan waktu lama dan berbelit-belit serta ketidakstabilan keamanan seringkali menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bagi pemilik modal untuk memutuskan berinvestasi. Indonesia dikenal sebagai negara dengan perijinan investasi yang panjang dan rumit sehingga menjadi disinsentif bagi pemilik modal, sehingga dengan kehadiran KEK mekanisme perijinan dibenahi dan tidak lagi menjadi kendala bagi pemilik modal. Biaya ekonomi tinggi dan perijinan yang berbelit-belit sebagai faktor disinsentif bagi pemilik modal, ditegaskan oleh Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu dalam ungkapannya sebagai berikut :

    Mengapa dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus? Di dalam Kawasan Ekonomi Khusus itu, ciri-ciri khasnya adalah keberadaan otoritas khusus atau otoritas kawasan yang bisa menciptakan iklim investasi yang baik, yang selama ini banyak dikeluhkan oleh investor seperti biaya transaksi ekonomi yang tinggi dan peraturan-peraturan yang berlebihan.

    Tenaga kerja Kawasan Industri Cikarang memiliki kepentingan untuk dapat memperoleh peningkatan kesejahteraan dengan adanya KEK ini dan mereka berharap dapat memperoleh jaminan atas pekerjaan sebagai tenaga kerja tetap. Masyarakat lokal memiliki kepentingan untuk dapat dipekerjakan sebagai tenaga kerja dalam KEK sehingga keberadaan KEK dapat dirasakan kontribusinya bagi masyarakat lokal karena selama ini Kawasan Industri Cikarang kurang mengakomodasi masyarakat lokal untuk dipekerjakan dalam kawasan industri tersebut. Kurangnya keterlibatan tenaga kerja lokal dalam Kawasan Industri Cikarang diungkapkan oleh pegawai Dinas Tenaga Kerja setempat :

    Nyampe serikat pekerja gak ada yang orang Bekasi asli, saya gak pernah ketemu tuh! Kecuali ada satu, itu juga yang bergerak di lapangan, yang tugasnya ngumpulin massa.

    UMKM lokal memiliki kepentingan terhadap KEK agar keberadaaan KEK dapat memberikan dampak pada peningkatan usaha industri kecil menengah, usaha perdagangan, maupun usaha jasa setempat. UMKM lokal berharap agar industri-industri dalam KEK dapat bersinergi dengan UMKM lokal dimana UMKM lokal diberikan peluang untuk menyediakan bahan baku, jasa-jasa, maupun aspek-aspek lain yang dibutuhkan industri KEK.

    Kepentingan pemilik modal berpotensi berseberangan dengan kepentingan tenaga kerja. Pemilik modal berkeinginan untuk mencapai efisiensi yang tinggi dengan menekan biaya produksi seminimal mungkin, termasuk upah tenaga kerja. Sementara itu, pihak tenaga kerja menginginkan upah yang layak, minimal sesuai dengan upah minimum yang telah ditentukan. Negosiasi upah antara pemilik modal dan tenaga kerja tentunya akan berjalan sangat alot untuk menentukan titik tengah yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Keinginan tenaga kerja untuk diangkat sebagai tenaga kerja tetap tentu akan menghadapi resistensi dari pemilik modal yang cenderung lebih menyukai mekanisme penggunaan tenaga kerja dalam bentuk outsourcing karena dipandang lebih efisien dari sisi biaya produksi.

    Upaya menggali pendapatan asli daerah (PAD) yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap industri KEK berpotensi bertentangan dengan kehendak pemilik modal. UU Nomor 39 Tahun 2009 memang mengatur bahwa pemerintah dapat memberikan insentif bagi setiap wajib pajak yang melakukan usaha di KEK berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi

  • 12

    daerah. Dengan demikian, UU tersebut tidak mewajibkan pemerintah daerah untuk membebaskan seluruh pajak daerah dan retribusi daerah bagi pelaku usaha di KEK, tetapi masih memperkenankan pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah dalam proporsi yang tidak memberatkan pemilik modal. Penetapan tarif pajak daerah dan retribusi daerah yang terlampau tinggi dapat menjadi disinsentif bagi pemilik modal untuk berinvestasi.

    Kepentingan masyarakat lokal untuk dapat diserap dalam lapangan kerja di KEK juga dapat berseberangan dengan kepentingan pemilik modal. Atas nama daya saing, pemilik modal berkeinginan mempekerjakan tenaga kerja yang handal dan terampil karena harus menjalankan alat-alat industri yang berteknologi tinggi dan produk yang dihasilkan juga berorientasi ekspor. Sementara itu, rupanya tidak mudah untuk menyediakan tenaga kerja lokal yang benar-benar terlatih dan berpengalaman. Hal tersebut merupakan kelemahan mendasar dari masyarakat Kabupaten Bekasi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh masyarakat lokal Kabupaten Bekasi diungkapkan oleh pegawai Dinas Tenaga Kerja setempat :

    Mereka kebanyakan kerja di sektor-sektor yang tidak perlu skill karena terus terang saja SDM mereka rendah. Yang kerja di kawasan paling cuma 10% saja.

    Pernyataan pegawai Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi senada dengan apa yang diungkapkan oleh perwakilan Kawasan Industri Cikarang :

    Ini rekan-rekan cerita, suatu ketika perusahaan Jepang saya lupa nama perusahaannya, dia bikin rekrutmen itu sebenarnya dialokasikan pada beberapa jumlah untuk warga Karangasri (Bekasi) tanpa melihat skill, karena kalau ditanyai skill pasti gak punya, pasti gak pas buat mereka.

    III.3 Resistensi dan Potensi Konflik Pembangunan KEK di Indonesia melibatkan berbagai kepentingan yang berbeda dari

    aktor-aktor yang beragam. Tarik menarik kepentingan yang berbeda antar aktor seringkali menimbulkan respon berupa resistensi terhadap pembangunan KEK. Salah satu respon yang menjurus pada bentuk resistensi yang kuat datang dari Serikat Pekerja yang meragukan manfaat pembangunan KEK bagi para pekerja. Serikat Pekerja yang merupakan organisasi para pekerja, mengkhawatirkan bahwa hak-hak pekerja akan dikebiri oleh pemilik modal (pengusaha) KEK.

    Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cabang Bekasi menyuarakan aspirasi pekerja kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi mengenai penolakan pembangunan KEK di Kabupaten Bekasi. Dengan adanya rencana pembangunan KEK di Kabupaten Bekasi, terjadi hubungan yang disharmonis antara serikat pekerja dengan Pemerintah Kabupaten Bekasi dimana serikat pekerja menganggap Pemerintah Kabupaten Bekasi tidak pro buruh. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua FSPMI Bekasi, Obon Tabrani :

    Kami rasakan selama ini Pemkab Bekasi yang seharusnya menjadi fasilitator dan membela hak-hak kami yang kadang diperlakukan tidak adil oleh pengusaha tidak dilaksanakan dengan baik. Pemkab justru cenderung tidak pernah mendengar apa yang menjadi keluhan kami.

    Obon bersama rekan-rekannya juga mengatakan dengan tegas, meminta kesejahteraan pekerja sebagai harga mati yang harus diperjuangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi.

    Justru Pemkab Bekasi melalui bupati bisa melakukan negosiasi atau paling tidak menekan pengusaha nakal yang tidak punya niat baik untuk menyejahterakan karyawannya. Bukan malah pro kepada pengusaha.

  • 13

    Tenaga kerja tetap, upah, dan hak berserikat bagi pekerja merupakan persoalan sensitif yang selalu diperjuangkan oleh para pekerja. Potensi masih diterapkannya outsourcing, pemberian upah yang kurang layak di KEK, dan pemangkasan hak berserikat bagi pekerja menjadi tiga hal yang memicu resistensi dari serikat pekerja. Hal ini terungkap dari pernyataan Obon Tabrani :

    Saya berpendapat kebijakan ini akan memangkas hak-hak pekerja. Dalam UU KEK, ada sejumlah poin yang melegalkan outsourcing, padahal bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. KEK hanya akal-akalan para pengusaha untuk bisa membayar murah tenaga kerja dan pajak.

    Pemangkasan hak berserikat bagi pekerja terlihat dari UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus dimana Pasal 46 yang menyatakan bahwa untuk perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, dapat dibentuk satu forum serikat pekerja/serikat buruh pada setiap perusahaan. Dengan hanya dibentuk satu forum serikat pekerja, maka serikat pekerja memaknai hal tersebut sebagai upaya kooptasi pengusaha terhadap kepentingan serikat pekerja.

    Pekerja sesungguhnya mendukung industri yang sehat. Namun, tidak meninggalkan kewajiban pengusaha untuk untuk memberikan kepada pekerja upah yang layak sesuai dengan standar Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang disepakati bersama. Namun, realitas yang terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Obon :

    Sejauh ini Pemkab Bekasi tidak menunjukkan ikhtikad itu. Ketua FSPMI pusat, Jefri Helian menyatakan bahwa kebijakan pembentukan KEK di

    Kawasan Industri Kabupaten Bekasi yang menjadi kawasan industri terbesar di Indonesia seharusnya dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan buruh.

    Oleh karena itu, kami berharap Bupati Bekasi berani menekan pengusaha nakal dan tidak perlu takut kehilangan investor asing.

    Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa serikat pekerja menuntut ketegasan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menegakkan hubungan industrial yang adil antara pekerja dan pengusaha.

    UMKM lokal merupakan aktor lain yang akan menerima dampak langsung dari pembangunan KEK. Kehadiran KEK dengan berbagai insentif yang diberikan berpotensi mematikan UMKM lokal yang ada di sekitarnya jika tidak ada integrasi antara KEK dan UMKM lokal dalam hubungan hulu-hilir. Kondisi tersebut akan menimbulkan resistensi UMKM lokal terhadap KEK.

    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK, pasal 3, memang telah menyinggung keterlibatan UMKM dalam KEK. Adapun isi pasal 3 sebagai berikut :

    Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK.

    Namun demikian, untuk menjadikan UMKM sebagai sektor dengan keunggulan daya saing perlu dipahami keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh UMKM, antara lain ukuran unit usaha, kapasitas modal, teknologi produksi, kualitas produk, dan pemasaran produk. Meskipun UU KEK telah menyinggung keterlibatan UMKM dalam KEK, namun UMKM berada dalam posisi yang lemah jika tidak didukung oleh pemerintah. UU KEK hanya menekankan persyaratan penyediaan lokasi atau lahan untuk UMKM dalam KEK, bukan menekankan perlunya keberadaan UMKM dalam KEK. Hal tersebut dapat diinterpretasikan oleh pihak kawasan bahwa keberadaan UMKM tidak mutlak harus ada karena tergantung apakah perusahaan di KEK membutuhkan UMKM atau tidak untuk mendukung kegiatan perusahaan.

  • 14

    Manajer produksi dari salah satu perusahaan mainan berskala internasional yang berada di Kawasan Industri Cikarang mengungkapkan betapa sulitnya mendapatkan UMKM yang dapat membantu mereka dalam pengadaan suatu bahan baku. Dengan demikian, perusahaan tersebut harus mengimpor bahan baku dari luar negeri. Berikut ini ungkapan manajer produksi tersebut menunjukkan kondisi UMKM lokal yang ada :

    Sebetulnya mainan-mainan yang ada di sini, spare partnya kita dapetin dari luar, Cina sih kebanyakan. Habis selain produknya dah bagus, murah lagi. Belum dapet masyarakat sini yang bisa ngasih plastik kayak gitu. Kalau packaging-nya sih di pabrik sebelah. Gimana ya...daripada dilempar keluar, mending kesempatan ini diambil ama kongsinya, jadi uangnya juga gak kemana-mana. Lagian memang gak ada yang bisa diajak kerja sama. Kalau mau jujur sih, kalaupun ada, suka kurang cocok. Ada yang bisa, mahal. Ada yang sesuai dengan spec yang kita targetin, eh kurang bagus. Antara perusahaan di Kawasan Industri Cikarang dan UMKM ternyata terdapat gap

    kepentingan. Perusahaan menghendaki UMKM lokal dapat berkontribusi dalam kegiatan perusahaan berupa penyediaan bahan baku yang memenuhi spesifikasi yang ditentukan, tetapi hal tersebut seringkali tidak dapat dipenuhi oleh UMKM lokal. Kalaupun UMKM dapat memberikan barang dengan spesifikasi yang dikehendaki perusahaan, biasanya dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan barang serupa yang dapat diimpor dengan harga lebih murah dari luar negeri. Jika gap kepentingan tersebut masih saja terjadi ketika KEK sudah berjalan, maka UMKM lokal tidak dapat memperoleh manfaat dari adanya KEK di wilayahnya dan harapan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk memajukan UMKM lokal akan menjadi pupus. Hal tersebut berpotensi menimbulkan resistensi dari UMKM lokal jika kemudian keberadaan KEK justru akan mematikan usaha mereka.

    Minimnya jumlah masyarakat lokal yang dipekerjakan dalam Kawasan Industri Cikarang akan memicu terjadinya resistensi masyarakat di masa mendatang jika kondisi serupa masih juga terjadi dalam pembangunan KEK di Cikarang. Rendahnya kualitas SDM tenaga kerja di Kabupaten Bekasi barangkali menjadi faktor penyebab minimnya keterlibatan tenaga kerja lokal dalam Kawasan Industri Cikarang. Hal inipun telah diakui oleh pegawai Dinas Tenaga Kerja setempat, tetapi rupanya kondisi yang telah berlangsung bertahun-tahun tersebut seolah dibiarkan saja oleh institusi-institusi terkait karena terlihat tidak adanya upaya dari institusi Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk meningkatkan kualitas SDM tenaga kerja setempat. Pembangunan KEK di Cikarang jika tidak disertai dengan peningkatan kualitas SDM tenaga kerja lokal, justru akan dimanfaatkan oleh tenaga kerja dari daerah lain yang memanfaatkan adanya peluang kerja di KEK. Kondisi tersebut akan memperparah tingkat pengangguran di Kabupaten Bekasi karena angkatan kerja yang ada tidak dapat diserap oleh kesempatan kerja.

    III.4 Dampak dan Potensi Resiko Resistensi dan potensi konflik yang muncul rentan menimbulkan konflik yang

    sesungguhnya jika resistensi dan potensi konflik ini tidak mampu dikelola secara baik. Jika resistensi dari beberapa aktor terus berlanjut dan potensi konflik terus berkembang, maka hal tersebut berdampak pada pembatalan terhadap realisasi pembangunan KEK. Pembangunan KEK tidak dapat bersandar pada peran satu atau beberapa aktor, tetapi harus melibatkan kerja sama seluruh aktor. KEK tidak dapat berjalan tanpa dukungan pekerja karena pekerja memegang peranan penting dalam menggerakkan aktivitas industri. KEK juga tidak dapat bergerak tanpa dukungan masyarakat lokal.

    Apabila resistensi dari beberapa aktor diabaikan dan pembangunan KEK terus dipaksakan untuk dilanjutkan, maka hal ini dapat memicu timbulnya resiko yang tidak

  • 15

    diharapkan, seperti demonstrasi pekerja, pemogokan pekerja, aksi anarkis masyarakat lokal, dan sebagainya yang kesemuanya menyebabkan terciptanya kondisi ketidakstabilan sosial. Ketidakstabilan merupakan hal yang sangat dihindari oleh investor sehingga sangat mungkin terjadi investor akan mengurungkan niatnya menanamkan modalnya dalam KEK atau menarik modalnya dari KEK, sementara itu berbagai infrastruktur telah dibangun oleh pemerintah. Pemerintah maupun Pemerintah Kabupaten Bekasi akan mengalami kerugian finansial jika hal ini terjadi karena pembangunan KEK memakan biaya investasi yang sangat besar. Di samping itu, Pemerintah maupun Pemerintah Kabupaten Bekasi akan semakin sulit meredam gejolak sosial jika resistensi dan potensi konflik tidak diantisipasi sejak dini.

    III.5 Peluang Inovasi, Peluang Pembelajaran, dan Aspek Pembelajaran Pembangunan KEK merupakan hal yang baru bagi sebagian aktor atau mungkin bagi

    seluruh aktor. Dengan demikian, pembangunan KEK membawa pengetahuan-pengetahuan baru yang perlu dikomunikasikan kepada aktor-aktor yang terlibat dan membuka peluang terjadinya pertukaran pengetahuan antar aktor. Resistensi dan potensi konflik yang muncul dapat menjadi wahana pembelajaran untuk memunculkan peluang-peluang inovasi dalam pembangunan KEK. Inovasi pada dasarnya terkait dengan pemecahan persoalan (problem solving). Diperlukan upaya-upaya inovasi yang mampu mengelola resistensi dan potensi konflik yang muncul, sehingga pembangunan KEK dapat memberikan manfaat bagi seluruh aktor.

    Perbedaan nilai-nilai yang dimiliki oleh masing-masing aktor memberikan peluang untuk masing-masing aktor untuk mengenal dan memahami nilai-nilai antar aktor. Setiap aktor harus mengetahui dan memahami nilai-nilai aktor yang lain. Hal ini akan menjadi proses pembelajaran antar aktor. Aktor yang satu hendaknya tidak memaksakan nilainya kepada aktor yang lain karena hal ini akan menyebabkan berhentinya proses pembelajaran dan akan memperuncing resistensi dan potensi konflik.

    KEK sesungguhnya memberikan peluang pembelajaran yang begitu besar bagi aktor-aktor yang terlibat. UMKM lokal yang selama ini berkutat dalam skala lokal atau mungkin paling luas nasional, dengan adanya KEK memperoleh peluang untuk dapat terlibat dalam aktivitas perindustrian yang berskala internasional. Jika UMKM lokal ingin berkontribusi secara nyata dalam KEK dan tidak hanya ingin menjadi penonton, maka dituntut untuk mengenal dan mempelajari standar-standar internasional, untuk kemudian diimplementasikan dalam aktivitas usahanya. Permasalahan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas menjadi tiga hal penting. KEK sebagai suatu kawasan ekonomi yang berstandar internasional menuntut UMKM lokal untuk memperhatikan permasalahan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas untuk dapat terlibat dalam KEK. Selama ini UMKM lokal diidentikkan sebagai usaha yang menghasilkan produk berkualitas rendah, dengan kuantitas kecil dan tidak adanya kestabilan kontinuitas produksi. Dengan adanya KEK, UMKM lokal memiliki peluang untuk menyediakan bahan baku atau bahan mentah yang dibutuhkan oleh industri-industri dalam KEK, tetapi dengan kualitas yang tinggi, kuantitas yang besar, dan adanya kontinuitas karena industri dalam KEK berskala besar dan produksinya berorientasi ekspor. UMKM lokal yang bersifat penyediaan jasa juga harus terpacu untuk memberikan jasa yang memenuhi kualifikasi industri KEK.

    Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui instansi terkait memegang peranan penting dalam melakukan transfer pengetahuan kepada UMKM lokal dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Pelatihan dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kompetensi UMKM lokal agar nantinya dapat bersinergi dengan industri KEK. Industri KEK pun dapat melakukan transfer pengetahuan dan transfer teknologi kepada UMKM sehingga UMKM dapat semakin

  • 16

    berkembang dan bergerak seiring dengan kemajuan industri KEK. Jika hal tersebut terjadi, maka dapat tercipta hubungan yang solid antara UMKM dan industri KEK, sehingga kemajuan KEK dapat dirasakan baik oleh UMKM maupun industri KEK.

    Masyarakat lokal yang selama ini belum memperoleh manfaat dari keberadaan Kawasan Industri Cikarang, maka dengan dibentuknya KEK terbuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk dapat terlibat sebagai tenaga kerja. Mengingat tuntutan akan SDM yang terlatih dan terampil, maka momentum pembentukan KEK dapat memberikan ruang pembelajaran bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kapasitasnya sehingga memenuhi kualifikasi tenaga kerja yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan KEK. Instituti-institusi pendidikan di Kabupaten Bekasi dapat berbenah diri untuk menghasilkan lulusan yang dapat memenuhi kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan dalam KEK. Balai latihan kerja yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Bekasi juga memiliki peranan sentral dalam menyiapkan tenaga kerja lokal yang handal dengan memberikan beberapa pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri KEK. Untuk itu, perlunya dijalin informasi antara balai latihan kerja dan perusahaan-perusahaan KEK mengenai kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, sehingga hal ini bisa menjadi landasan bagi balai latihan kerja dalam memberikan jenis pelatihan yang sesuai. Tidak menutup kemungkinan, perusahaan-perusahaan KEK membuka balai pelatihan kerja sendiri dimana para peserta pelatihan kerja nantinya dapat direkrut menjadi tenaga kerja di perusahaan tersebut.

    KEK juga membuka ruang pembelajaran bagi Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk mampu membenahi birokrasi sehingga menjadi tertib dan nyaman bagi investor. Birokrasi yang rumit dan berbelit-belit dapat ditata menjadi birokrasi yang sederhana tetapi tertib. Melalui KEK, mekanisme perijinan yang panjang dan melalui banyak pintu dapat dipangkas menjadi mekanisme perijinan satu pintu (one stop service) yang memudahkan bagi investor. Dalam membangun sistem birokrasi dan perijinan semacam itu, maka diperlukan pembangunan technoware (teknologi), humanware (manusia), maupun orgaware (organisasi). Dengan demikian, pembangunan sistem birokrasi dan perijinan yang handal menuntut pengembangan dan penguasaan teknologi, peningkatan kualitas SDM pegawai negeri sipil yang bertugas menangani perijinan, dan pembentukan kelembagaan perijinan yang efektif.

    Tuntutan dari Serikat Pekerja untuk lebih diperhatikan nasibnya dalam KEK, memberikan ruang pembelajaran bagi Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk mengevaluasi sistem ketenagakerjaan yang berlaku maupun pelaksanaan sistem ketenagakerjaan tersebut di lapangan. Adanya Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus yang terdiri dari unsur Pemerintah, unsur Pemerintah Daerah, unsur serikat pekerja, dan unsur asosiasi pengusaha dapat dimanfaatkan secara baik sebagai wahana komunikasi berkaitan dengan permasalahan ketenagakerjaan dalam KEK. Di samping itu, pada KEK dibentuk Dewan Pengupahan yang bertugas memberikan masukan dan saran untuk penetapan pengupahan.

    III.6 Insentif Pembentukan KEK digagas dalam rangka meningkatkan arus investasi ke dalam

    negeri yang mampu mendorong tumbuhnya perindustrian, menyerap tenaga kerja, serta mendorong pertumbuhan perekonomian lokal dan nasional. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa aktor-aktor yang berada dalam KEK sangat beragam dan masing-masing memiliki kepentingan yang berlainan. Berbagai kepentingan yang berbeda tersebut rentan menimbulkan resistensi dan konflik jika tidak saling menyesuaikan, yang kemudian akan berakibat tidak tercapainya tujuan yang diharapkan dari pembentukan KEK. Berbagai kepentingan yang berbeda tersebut memang membuka berbagai ruang pembelajaran

  • 17

    bagi aktor-aktor yang terlibat dalam KEK. Namun, bisa saja ruang pembelajaran tersebut tidak dimanfaatkan oleh aktor-aktor KEK sehingga akan menutup peluang inovasi yang dapat dikembangkan. Untuk itu, perlu dirancang beberapa insentif yang dapat mendorong beberapa aktor untuk mau menselaraskan kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain sehingga tujuan yang lebih besar dapat dicapai, yaitu keberhasilan pengembangan KEK yang dapat memberikan manfaat bagi seluruh aktor.

    Perusahaan-perusahaan dalam KEK berhak untuk mengimpor berbagai kebutuhannya dari mana saja, baik kebutuhan untuk aktivitas perindustrian maupun kebutuhan untuk aktivitas yang lain. Namun, sesungguhnya beberapa kebutuhan perusahaan dapat disediakan oleh UMKM lokal di Kabupaten Bekasi, seperti kebutuhan makanan, minuman, alat tulis kantor, transportasi, pakaian, bahan baku, dan lain-lain. Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat memberikan insentif tambahan kepada perusahaan KEK, di luar insentif fiskal dan non fiskal yang diberikan, untuk bersedia mempergunakan produk-produk yang disediakan oleh UMKM lokal. Insentif tambahan yang dapat ditawarkan misalnya pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan pajak daerah dan retribusi daerah yang normal diberlakukan di KEK, atau justru pembebasan pajak daerah dan retribusi daerah. Insentif lain yang dapat diberikan adalah pengurusan perijinan yang lebih cepat dibandingkan waktu perijinan normal yang diberlakukan di KEK.

    Pemberian insentif tambahan ini diharapkan dapat mendorong perusahaan-perusahaan KEK untuk bersedia memanfaatkan barang dan jasa yang dapat disediakan oleh UMKM lokal. Terkait dengan rendahnya kualitas produk UMKM, maka insentif serupa dapat diberikan kepada perusahaan KEK yang bersedia melakukan transfer teknologi terhadap UMKM sehingga UMKM mampu menyediakan produk berkualitas tinggi. Dengan demikian, perusahaan KEK dapat memanfaatkan produk UMKM sebagai bahan baku sehingga tidak perlu mengimpor bahan baku dari luar negeri. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka UMKM dan perusahaan KEK akan sama-sama diuntungkan karena UMKM dapat berkontribusi dalam penyediaan bahan baku bagi perusahaan KEK, sementara itu perusahaan KEK dapat memperoleh bahan baku dengan harga yang lebih murah dan sama baiknya dengan bahan baku dari luar negeri. Di samping itu, perusahaan KEK masih memperoleh insentif tambahan dari Pemerintah Kabupaten Bekasi karena telah menggandeng UMKM lokal dalam aktivitasnya.

    Dengan bersinerginya UMKM dan perusahaan KEK, maka UMKM dapat berkembang sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Lapangan kerja yang terbuka ini dapat diisi oleh tenaga kerja lokal yang kualitasnya tidak memenuhi kualifikasi dalam KEK. Dengan demikian, pelibatan UMKM dalam KEK dapat mendorong pertumbuhan perekonomian lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Sinergitas antara UMKM dan perusahaan KEK tidak membuat KEK menjadi suatu kawasan yang terisolasi dari lingkungan setempat. Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat bertindak sebagai fasilitator yang menghubungkan UMKM dengan perusahaan KEK agar dapat tercipta sinergitas tersebut.

    Insentif tambahan dapat pula diberikan Pemerintah Kabupaten Bekasi terhadap perusahaan KEK yang mau memprioritaskan masyarakat setempat untuk menjadi pekerja di KEK. Namun hal ini juga harus direspon oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk mempersiapkan tenaga kerja yang terlatih dan terampil. Pemerintah Kabupaten Bekasi dapat memberikan insentif dan fasilitasi bagi institusi-institusi pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas sehingga dapat dipekerjakan dalam KEK. Jika memungkinkan, dapat dipersiapkan sekolah khusus untuk mendidik dan melatih para siswa yang nantinya dapat disalurkan ke perusahaan KEK sebagai tenaga kerja. Di sekolah khusus ini dapat

  • 18

    dikembangkan pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan tipologi industri yang dikembangkan di KEK. Dengan demikian, dalam pengembangan KEK perlu dilakukan perluasan aktor yang terlibat, dalam hal ini institusi pendidikan yang berperan mencetak SDM yang dibutuhkan oleh dunia kerja yaitu KEK.

    Berkaitan dengan hal ketenagakerjaan, maka perusahaan KEK yang menjalankan aturan ketenagakerjaan sebagaimana yang telah ditetapkan bersama, baik dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus maupun Dewan Pengupahan, dapat diberikan insentif tambahan sehingga perusahaan KEK tersebut terdorong untuk terus menciptakan hubungan yang harmonis dengan para pekerjanya. Kebijakan yang berbeda dapat diterapkan bagi perusahaan KEK yang melalaikan aturan ketenagakerjaan, sehingga perlu diberikan disinsentif berupa pengurangan atau pencabutan sebagian insentif yang diberikan.

    Permasalahan yang dihadapi dari sisi pemerintah adalah turunnya penerimaan negara dari sektor pajak sebagai stimulus maupun insentif fiskal. Pemerintah sering mengalami dilema mengenai potential loss penerimaan negara dari sektor pajak apabila memberikan pembebasan pabean maupun keringanan perpajakan. Atau, malah ada sedikit rasa enggan memberikan fasilitas ini sepenuhnya, padahal manfaat yang hilang biasanya bersifat jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang, manfaatnya jauh lebih besar karena penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi kawasan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta peningkatan potensi penerimaan pajak. Hal ini perlu disadari oleh pemerintah sehingga tidak setengah-setengah dalam menerapkan KEK karena penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi kawasan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta peningkatan potensi penerimaan pajak di masa mendatang merupakan insentif tertunda yang nantinya dapat diperoleh dalam jangka panjang.

    III.7 Identifikasi Peran Aktor dalam Inovasi Keberhasilan pembangunan KEK akan sangat bergantung pada seluruh aktor yang

    terlibat. KEK belum menjadi sebuah inovasi dalam memajukan perekonomian apabila celah-celah kekurangan KEK tidak mampu ditutupi oleh peran dari aktor-aktor di dalamnya. Kerja sama antar aktor sangat penting dalam membenahi kekurangan maupun hambatan dalam KEK sehingga KEK dapat berjalan sukses dan dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh aktor. Berikut ini peran-peran spesifik yang dapat dilakukan oleh aktor-aktor dalam KEK.

    No. Aktor Peran 1. Pemerintah - Menetapkan kebijakan umum dan langkah

    strategis untuk mempercepat pengembangan KEK - Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan KEK

    2. Pemerintah Kabupaten Bekasi

    - Memberikan insentif pajak daerah dan retribusi daerah

    - Memberikan insentif lain - Mengoptimalkan balai latihan kerja untuk

    memberikan pelatihan dan pendidikan kepada tenaga kerja lokal

    - Memberikan pelatihan kepada UMKM lokal - Menjadi fasilitator yang menghubungkan UMKM

    dan perusahaan KEK

  • 19

    No. Aktor Peran 3. Administrator KEK - Memberikan pelayanan perijinan kepada investor 4. Institusi pendidikan dan

    lembaga riset - Menghasilkan lulusan yang memenuhi

    kompetensi yang dipersyaratkan dalam KEK - Menciptakan teknologi dan melakukan alih

    teknologi kepada UMKM lokal untuk meningkatkan kualitas produk UMKM

    5. UMKM lokal - Menerapkan praktik usaha berstandar internasional

    - Menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi perusahaan KEK

    6. Tenaga kerja lokal - Mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh balai latihan kerja yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi maupun perusahaan KEK

    - Berpartisipasi dalam aktivitas KEK 7. Masyarakat lokal - Mengikuti pendidikan di institusi pendidikan

    untuk memperoleh kompetensi yang dipersyaratkan dalam KEK

    8. Investor - Menanamkan modal 9. Perusahaan - Mempekerjakan tenaga kerja lokal

    - Memanfatkan produk UMKM lokal sebagai bahan baku dalam industri KEK

    - Memberikan pelatihan dan transfer teknologi kepada UMKM lokal

    - Membangun balai latihan kerja dan memberikan pelatihan bagi calon tenaga kerja

  • 20

    BAB IV KESIMPULAN

    Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan program baru yang digulirkan oleh pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor sehingga mampu menarik investasi sebesar-besarnya ke Indonesia. Arus investasi yang besar tersebut digunakan untuk membangun industri di kawasan bebas hambatan berinvestasi sehingga industri yang terbangun dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Perekonomian lokal diharapkan dapat ikut tumbuh seiring dengan geliat aktivitas industri di KEK.

    Pembentukan KEK di Kawasan Industri Cikarang Kabupaten Bekasi melibatkan sejumlah aktor. Aktor-aktor tersebut tidak saja memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda terhadap KEK, namun terdapat perbenturan beberapa kepentingan. Perbenturan kepentingan ini berakibat pada munculnya resistensi dari sejumlah aktor yang kemudian berpotensi menimbulkan konflik ketika resistensi tersebut tidak mampu dikelola secara baik.

    Program KEK yang dianggap baik oleh pemerintah, ternyata mendapat tanggapan yang berkebalikan dari pekerja, masyarakat lokal, dan UMKM lokal. Bagi pekerja, masyarakat lokal, dan UMKM lokal, program terobosan pemerintah tersebut dikhawatirkan tidak akan memberikan manfaat bagi mereka dan justru akan menghimpit keberadaan mereka yang selama ini kurang terakomodasi kepentingannya dalam Kawasan Industri Cikarang. Keterbatasan pengetahuan mengenai situasi baru yang akan terjadi setelah KEK berjalan menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat pembentukan KEK, di samping faktor pertentangan nilai yang begitu kental di antara aktor-aktor KEK.

    Inovasi pada dasarnya terkait dengan pemecahan persoalan (problem solving). Untuk mengelola resistensi dan potensi konflik yang muncul dalam KEK diperlukan upaya-upaya inovasi yang sistemik sehingga pembangunan KEK dapat memberikan manfaat bagi seluruh aktor. Agar pembangunan KEK dapat berhasil dan bermanfaat bagi semua aktor, maka diperlukan kerja sama dari semua aktor yang terlibat dalam KEK. Sedapat mungkin kepentingan-kepentingan seluruh aktor dapat terakomodasi dalam KEK sehingga seluruh aktor dapat mendukung dan berkontribusi dalam KEK. Sistem inovasi menekankan hubungan antar aktor atau adanya gagasan tentang suatu sistem. Perspektif sistem di sini menunjukkan adanya pendekatan holistik. Holistik dalam sistem inovasi berarti bahwa kinerja suatu sistem inovasi merupakan hasil dari banyak hubungan di antara unsur-unsurnya. Dengan demikian, keberhasilan KEK akan sangat bergantung pada hubungan yang harmonis di antara aktor-aktor yang terlibat. Agar aktor-aktor mau terlibat dan mendukung KEK, maka diperlukan sejumlah insentif yang relevan bagi aktor-aktor tersebut.

    KEK sebagai sesuatu yang baru membuka ruang pembelajaran bagi semua aktor yang terlibat. Dalam ruang pembelajaran ini, dimungkinkan terjadinya interaksi yang lebih intensif antar aktor dan dimungkinkan terbangun transfer pengetahuan antar aktor. Ketika intensitas interaksi semakin banyak dan transfer pengetahuan berjalan, maka dapat terbuka peluang-peluang inovasi yang dapat dimanfaatkan untuk meredam resistensi dan potensi konflik menuju kondisi yang stabil. Namun jika terdapat aktor yang mengisolasi dirinya dari aktor-aktor yang lain, maka dapat menghambat proses pembelajaran karena interaksi menjadi kurang lengkap dan transfer pengetahuan yang terjadi menjadi kurang sempurna. Peluang inovasi yang muncul dapat dikembangkan menjadi inovasi yang sistemik yang memerlukan peran dari seluruh aktor yang terlibat, sehingga permasalahan yang muncul dalam KEK dapat teratasi dan akhirnya KEK dapat berjalan dan memberikan manfaat bagi seluruh aktor.

  • 21

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. Kumpulan Teori Kerjasama. http://al-bantany-112.blogspot.com/2009/11/kumpulan-teori-kerjasama.html.

    Bruijn, Hans de, Haiko van der Voort, Willemijn Dicke, Martin de Jong, dan Wijnand Veeneman. 2004. Creating System Innovation. A.A. Balkema Publisher. Leiden.

    Negro, Simona O. 2007. Dynamics of Technological Innovation Systems : The Case of Biomass Energy. Utrecht University. Utrecht. http://igitur-archive.library. uu.nl/dissertations/2007-0219-200257/full.pdf.

    Suurs, Roald A.A. 2009. Motors of Sustainable Innovation : Towards a Theory on the Dynamics of Technological Innovation Systems. Utrecht University. Utrecht. http://igitur-archive.library.uu.nl/dissertations/2009-0318-201903/suurs.pdf.

    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.