makalah seminar 1 _yanita riri kumalasari_

25
MAKALAH TESIS DAN SEMINAR (TL-6099) ANALISIS RISIKO PAJANAN DEBU TERHADAP KESEHATAN PARU-PARU PEKERJA DI INDUSTRI SEMEN PT. X (Pabrik Citeureup Bogor) OLEH NAMA : YANITA RIRI KUMALASARI NIM : 25309051 PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011

Upload: coryadza

Post on 29-Jun-2015

646 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

MAKALAH

TESIS DAN SEMINAR

(TL-6099)

ANALISIS RISIKO PAJANAN DEBU

TERHADAP KESEHATAN PARU-PARU PEKERJA

DI INDUSTRI SEMEN

PT. X (Pabrik Citeureup Bogor)

OLEH

NAMA : YANITA RIRI KUMALASARI

NIM : 25309051

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2011

Page 2: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses pembuatan semen menghasilkan debu silika bebas yang apabila terhirup akan

mengendap di paru-paru, kemudian silika ini akan mengoksidasi dinding alveoli yang

menyebabkan terjadinya fibrosis. Semakin banyak debu silika yang mengendap di paru-paru,

maka fibrosis yang terjadi di alveoli semakin parah yang akan menimbulkan penyakit yang

dikenal dengan pneumoconiosis silicosis. Dari semua pneumoconiosis, silikosis merupakan

penyakit yang terparah karena sifatnya yang progresif, artinya bila pajanan dihentikan maka

pneumoconiosis tetap akan berlanjut (Yunus, 1997).

Sehingga pekerja pada industri semen PT. X. merupakan orang yang potensial mengidap

pneumoconiosis silicosis karena seringnya terpajan oleh debu silika tersebut, khususnya pada

unit yang berhubungan langsung dengan proses yang menghasilkan debu. Unit-unit produksi

semen yang menghasilkan debu silika dimulai dari proses penggilingan, pencampuran,

pembakaran hingga pengepakan.

Selain itu kondisi keselamatan kerja yang belum disiplin pada PT. X memperparah paparan

yang terjadi pada pekerja, seperti kurangnya konsistensi pekerja dalam penggunaan APD,

kebiasaan menjaga kebersihan tubuh dan disiplin dalam bekerja. Faktor-faktor keselamatan

kerja tersebut akan menyebabkan konsentrasi debu silika yang diterima pekerja semakin

meningkat.

Dalam sebuah industri pekerja merupakan asset perusahaan yang harus dilindungi

kesehatannya, karena bila produktifitas pekerja menurun maka akan menyebabkan kerugian

untuk perusahaan. Sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan risiko terjadinya

pneumoconiosis silicosis pada para pekerja dengan membatasi konsentrasi debu yang

diterima pekerja. OSHA telah menetapkan nilai batasan pajanan yang masih diperbolehkan

(PEL) untuk debu semen yang terinhalasi adalah 15 mg/m3 bagi total debu dan 5 mg/m3 bagi

debu yang respirable (Eckhardt, 2008).

Untuk mengurangi risiko kesehatan pekerja terhadap debu diperlukan satu upaya untuk

mengenali dengan cepat nilai risiko pajanan debu terhadap kesehatan pekerja, sehingga dapat

Page 3: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

dilakukan upaya pencegahan sedini mungkin. Salah satu pendekatan ilmiah yang dapat

digunakan untuk menentukan berbagai masalah lingkungan dan kesehatan di tempat kerja

yang berhubungan dengan aktivitas yang berbahaya serta membandingkan berbagai teknologi

dan efektivitasnya untuk mengurangi risiko adalah analisis risiko kesehatan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud penelitian ini untuk menganalisis risiko terjadinya pneumoconiosis silicosis pada

pekerja industri semen, khususnya pada PT. X. dengan mempertimbangkan faktor-faktor

kesehatan dan keselamatan yang mempengaruhi paparan silika pada pekerja, sehingga dapat

menjadi pertimbangan untuk industri tersebut atau industri lainnya dalam melakukan

perbaikan pengelolaan lingkungan kerja.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh:

• Besarnya pengaruh konsentrasi debu semen yang terhirup oleh pekerja pada PT. X

dengan nilai FEV 1,0 pekerja.

• Karakterisasi risiko pajanan debu semen yang diterima pekerja pada PT. X.

• Saran tindakan pengendalian risiko debu semen terhadap kesehatan paru-paru pekerja

untuk mengurangi nilai risiko.

1.3 Rumusan Masalah

Pada produksi semen di PT. X terdapat beberapa unit yang menghasilkan debu di lingkungan

kerja, yang dapat menimbulkan pajanan terhadap pekerja sehingga dapat menimbulkan risiko

terhadap kesehatan paru-paru pekerja. Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui sampai

sejauh mana risiko yang disandang para pekerja PT. X dengan besarnya konsentrasi debu

silika yang diterima dan minimnya upaya pencegahan yang dilakukan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis risiko kesehatan pajanan debu terhadap pekerja

di Industri semen PT. X yang terlibat langsung dalam unit produksi yang berdebu. Sebagai

pembanding dilakukan juga pengukuran parameter pekerja di PT. X yang tidak terlibat dalam

unit produksi berdebu. Pekerja yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pekerja yang

memiliki karakteristik serupa satu sama lainnya dan dipilih berdasarkan atribut pekerja.

Page 4: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

1.5 Hipotesis

Konsentrasi debu terespirasi yang diterima pekerja industri semen PT.X akan menurunkan

nilai FEV 1,0 pekerja.

Page 5: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Debu Semen

Pengertian debu menurut Pudjiastuti, 2002, adalah salah satu bahan yang sering disebut

sebagai partikel yang melayang di udara (suspended particulate matter/SPM) dengan ukuran

1 mikron sampai dengan 500 mikron.

Menurut Yunus (1997), dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan dapat

menimbulkan reaksi tubuh walaupun ringan, salah satu reaksi terhadap masuknya debu dalam

dosis besar adalah kerusakan pada paru-paru akibat menghirup udara yang mengandung

partikulat terespirasi yang dapat menyebabkan penyakit pneumoconiosis, yaitu kerusakan

pada sel-sel alveoli dan bronkus yang kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat

(fibrosis).

Debu semen merupakan partikulat yang dilepaskan ke lingkungan pada saat pembuatan

semen, mulai dari pengumpulan bahan baku sampai semen tersebut didistribusikan.

Karakteristik debu semen sangat bergantung dengan jenis semen yang diproduksi, namun

umumnya semen mengandung kalsium, fosfor, magnesium oksida, besi oksida, alkali, kapur

bebas, sulfur trioksida, alumunium oksida, dan mayoritas adalah silika oksida.

2.1.1 Silika

Silika adalah salah satu komponen alamiah penyusun batuan di bumi serta merupakan

komponen utama pasir dan granit. Silika merupakan senyawa kimia silikon dioksida (SiO2)

yang dapat ditemukan dalam bentuk kristalin atau non kristalin (amorph). Kristalin silika

terdiri atas banyak bentuk, namun bentuk yang utama adalah quartz, cristobalite, tridymite,

sedangkan struktur amorph ditemukan dalam bentuk opal, flint, kaca silika, diatomaceous

earth dan vitreous silica (NIOSH, 2002).

Quartz dapat ditemukan dalam 2 sub-polymorph yaitu α-quartz dan β-quartz atau low quartz

dan high quartz. Berdasarkan kedua bentuk tersebut α-quartz yang paling sering ditemukan,

sedangkan β-quartz hanya ditemukan stabil pada temperatur 750°C. jika terjadi pendinginan

β-quartz akan berubah menjadi α-quartz. Pajanan quartz yang paling ekstrim dalam bentuk

debu terespirasi dihasilkan dari proses penghalusan, sandblasting, dan proses pencampuran.

Page 6: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Kandungan quartz sangat bervariasi tergantung dari tipe batuan, sebagai contoh granite dapat

mengandung 10-40% quartz dan sand stones mengandung kurang lebih 70% quartz.

Cristobalite dan tridymiteditemukan dalam batuan dan tanah yang dihasilkan dari proses

alam dan industri yang melakukan pemanasan terhadap silika amorph dengan temperatur

1000°C (NIOSH, 2002).

Nilai Ambang Batas (NAB) Silika di udara tempat kerja diatur dalam SNI 19-00232-2005

mengenai Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja. Dalam SNI tersebut

Silika-kristal dibatasi sebagai berikut:

Tabel 2. 1 Nilai Baku Mutu Silika di Udara Tempat Kerja

No Silka-kristal NAB untuk partikulat terhirup (mg/m3)

1 Kristobalt O,05

2 Kwarsa 0,1

3 Tridimit 0,05

4 Tripoli 0,1

Sumber: SNI, 2005

2.2 Sistem Pernapasan

Pernafasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam

tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa oksidasi ke

luar tubuh. Secara garis besar sistem pernafasan terdiri dari paru-paru dan susunan saluran

yang menghubungkan paru-paru dengan yang lainnya, yaitu hidung, faring, laring, trakea dan

bronkus (Gambar 2.1)

Page 7: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Gambar 2. 1 Sistem Pernafasan Manusia

2.2.1 Alat Pernapasan

Macam-macam alat pernafasan antara lain:

a. Hidung

Hidung merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang dipisahkan oleh

septum nasal. Di dalamnya terdapat rambut-rambut untuk menyaring udara, debu, dan

kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka

nasalis media yang berfungsi untuk menghangatkan udara.

b. Faring

Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring

terletak di belakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Di bawah

selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening.

c. Laring

Laring merupakan saluran yang terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebrae

servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir,

kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis.

d. Trakea

Trakea merupakan saluran lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin yang terdiri

dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk mempertahankan

jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar

Page 8: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang masuk

bersama-sama dengan udara pernafasan.

e. Bronkus

Bronkus merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebrata

torakalis IV dan V. bronkus mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis

sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar dan lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari

6 – 8 cincin dan mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 – 12 cincin dan mempunyai

2 cabang. Cabang bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus sedangkan pada ujung

bronkiolus terdapat gelembung paru yang disebut alveoli.

f. Paru-paru

Paru-paru merupakan alat-tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung

alveoli. Pada bagian ini terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2.

2.2.2 Volume Paru-paru

Pertukaran gas akan berbeda pada keadaan atau kondisi kerja fisik yang berbeda, maka

pengembangan volume alveoli berbeda dikenal sebagai volume paru-paru. Pengetahuan

tentang berbagai volume paru-paru digunakan untuk evaluasi fungsi paru-paru pada berbagai

kondisi kesehatan (Setiadji et al, 1981). Volume paru-paru dibagi menjadi beberapa macam

antara lain (Gambar 2.2):

• Tidal Volume (TV) adalah volume udara yang masuk dan keluar selama pernafasan

normal. Volume tidal kurang lebih 500 ml.

• Expiratory Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan udara yang dikeluarkan

setelah tidal volume. Volume ERV kurang lebih 1000 ml.

• Inspiratory Reserve Volume (IRV) adalah volume udara yang dapat diinspirasi secara

penih setelah tidal volume. Volume IRV kurang lebih 3000 ml.

• Residual Volume (RV) adalah volume udara yang tersisa di paru-paru setelah

ekspirasi maksimal. Udara di dalam paru-paru jumlahnya tidak pernah kosong.

Volume RV kurang lebih 1500 ml.

• Vital Capacity (VC) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan oleh seseorang

setelag menghirup udara secara maksimal. Volumenya sekitar 4500 ml atau sama

dengan penjumlahan antara ERV + TV + IRV.

• Total Lung Capacity (TLC) adalah volume total ydara yang dapat tertahan di paru-

paru. Nilainya kurang lebih 6000 ml atau setara dengan penjumlahan RV + VC.

Page 9: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Gambar 2. 2 Volume Udara Paru-paru

2.2.3 Uji Fungsi Paru-paru

Uji fungsi paru-paru atau dikenall sebagai pulmonary function tests (PFT’s) digunakan untuk

mengevaluasi kinerja paru-paru. Uji ini digunakan untuk mengetahui volume udara yang

dapat tertahan di paru-paru, kecepatan udara pada saat respirasi, serta mengukur kinerja paru-

paru dalam menyerap O2 dan mengeluarkan CO2 dalam darah. Uji ini dapat digunakan untuk

mengetahui kelainan paru-paru, mengukur tingkat keparahan penyakit paru-paru serta

mengukur efektivitas perawatan terhadap paru-paru yang rusak (Spirexpert, 2007).

Spirometri adalah salah satu teknik uji paru-paru. Teknik ini dapat mengukur kecepatan dan

volume udara pada saat respirasi dengan cara bernapas melalui corong (mouthpiece) yang

dihubungkan dengan alat yang disebut spirometer. Spirometer merupakan sebuah alat yang

digunakan untuk mengukur volume udara yang masuk dan keluar paru-paru sehingga dapat

digunakan untuk menilai fungsi paru-paru. Informasi yang diperoleh dari spirometer dapat

berupa grafik yang disebut spirogram. Beberapa nilai fungsi paru-paru yang dapat diukur

dengan spirometer dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Page 10: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Tabel 2. 2 Tabel Nilai Fungsi Paru-paru yang Dapat Diukur dengan Spirometer

Singkatan Nama Deskripsi

FVC Forced Vital Capacity FVC adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan setelah inspirasi penuh, dinyatakan dalam liter.

FEV1,0 Forced Expiratory Volume

in 1 second

FEV1,0 adalah jumlah udara yang dihembuskan selama 1 detik pertama, dinyatakan dalam liter. FEV1,0 merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan fungsi paru-paru.

FEV1,0 / FVC FEV1% FEV1,0 / FVC merupakan perbandingan antara FEV1,0 dengan FVC. Pada orang dewasa sehat nilai ini berkisar antara 75 – 80 %.

PEF Peak Expiratory Flow PEF merupakan kecepatan aliran udara paru-paru pada saat mulai ekspirasi, dinyatakan dalam liter per detik.

FEF 25-75% atau 25-50%

Forced Expiratory Flow 25-75% atau 25-50%

FEF 25-75% atau 25-50% merupakan nilai rata-rata kecepatan aliran udara yang keluar dari paru-paru selama pertengahan ekspirasi (kadang-kadang disebut sebagai MMEF, atau maximal mid-expiratory flow).

FIF 25-75% atau 25-

50%

Forced Inspiratory Flow 25%-75% atau

25%-50%

FIF 25-75% atau 25-50% memiliki arti sama dengan FEF 25-75% atau 25-50% namun pengukuran dilakukan selama inspirasi.

FET Forced

Expiratory Time FET mengukur lamanya ekspirasi dalam satuan detik.

TV Tidal Volume TV menyatakan volume udara yang diinspirasi dan diekspirasikan pada saat respirasi secara normal.

MVV Maximum Voluntary Ventilation

MVV merupakan jumlah udara maksimal yang dapat diinspirasi dan di ekspirasi dalam 1 menit, dinyatakan dalam liter / menit.

Sumber: Dirgawati, 2007

Page 11: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

2.2.3.1 Pengukuran FEV 1,0 dengan Spirometer

Hasil spirometri dinyatakan sebagai volume udara (FEV1.0) pada suhu dan tekanan udara di

ruang pemeriksaan atau pada keadaan Ambient Temperature, Pressure, Saturated (ATPS).

Nilai tersebut perlu dikonversi ke Body Temperature, Pressured, Saturated (BTPS) karena

ingin diketahui volume udara pada temperatur (T) dan tekanan udara (P) dalam tubuh.

Hubungan antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

V = nRT / P

dimana:

n = Jumlah molekul

R = Konstanta gas ideal

T = Suhu (oKelvin)

P = Tekanan (mmHg)

V = Volume (liter)

Udara ekspirasi terdiri atas gas CO2 dan uap air. Campuran uap air dan gas pada keadaan

jenuh akan bervariasi sesuai dengan temperatur dan tekanan (Spirexpert, 2007), maka pada

spirometri, volume gas yang didapat adalah volume pada T dan P ruangan, perlu dicatat juga

temperatur tubuh, dan tekanan barometrik pada saat pengukuran. Hal ini sesuai dengan

persamaan yang digunakan untuk mengkonversi nilai ATPS ke dalam BTPS (Dirgawati,

2007), yaitu:

����

���

����

��

dimana,

(1) Kondisi ATPS

P1 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur ambien (mmHg)

(Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel)

V1 = Volume gas yang tercatat pada spirometer (L)

T1 = Temperatur ruangan saat pengukuran (oK)

(2) Kondisi BTPS

P2 = Tekanan barometrik - Tekanan uap air pada temperatur tubuh (mmHg)

(Tekanan barometrik) - (Tekanan uap air pada Tabel 2.3)

V2 = Volume gas pada kondisi BTPS (L)

T2 = Temperatur tubuh (oK)

Page 12: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Tabel 2. 3 Tekanan Uap Air pada Berbagai Temperatur

2.3 Mekanisme Toksin Debu Silika terhadap Paru-paru

Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai

4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi

dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak sehingga gejala penyakit silicosis akan segera

tampak.

Diameter partikel debu yang efektif antara 2-3 µm, sebagian dari partikel tersebut akan

terendapkan di bagian bawah ujung sistem mucociliary yang menuju bronkioli dan alveoli.

Partikel yang mengendap di bagian ini akan merangsang produksi surfaktan dengan sel tipe II

dan timbul aktifitas fagositosis makrofag alveoli.

Page 13: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Gambar 2. 3 Mekanisme Respirasi Paru-paru Normal

Makrofag akan menelan debu dan baik secara langsung atau tidak akan membawanya masuk

ke dalam saluran pernafasan atau dapat melalui limfatik di ruang jaringan ikat di sekitar

terminal saluran udara dan masuk ke jalan napas proksimal lumina. Beban makrofag tersebut

(sel debu) akan keluar kembali melalui batuk atau tertelan. Apabila sistem kelebihan beban

atau jika debu merusak makrofag yang terbentuk, maka mereka mungkin hanya dapat

menjangkau jaringan ikat peribronchiolar. Sebagian mungkin masih tersisa atau pindah ke

hilar kelenjar getah bening. Dan beberapa makrofag mungkin akan mati dan meninggalkan

beban mereka untuk makrofag lainnya yang juga mati.

Kerusakan sel seperti ini terjadi berulang, karena sifatnya yang kontinyu merusak sistem

dengan tingkat paparan tinggi atau terutama karena debu sitotoksik, menyebabkan reaksi

inflamasi dan fibrosis dalam pusat lobules paru-paru.

Debu pecahan kuarsa dengan diameter berukuran 2-5 µm memiliki sifat sitotoksik dan

menyebabkan fagositosis pada sel. Apabila level eksposurnya tinggi maka baik makrofag

pada alveoli dan juga produksi surfaktan pada tipe dua akan menyebabkan kerusakan dengan

sangat cepat pada lumen alveoli, yang menuju pada alveolitis akut dan fibrosis progresif yang

sangat cepat. Eksposur seperti ini jarang sekali terjadi karena gejala akan muncul dalam

beberapa bulan sejak eksposur pertama, walaupun eksposur yang terjadi hanya sebentar, dan

kematian akan terjadi dalam 5 tahun.

Pada eksposur dengan level yang lebih rendah, tidak ditemukan makrofag pada alveoli

namun makrofag akan mati pada peribrokioli interstitium atau di kelenjar getah bening.

Makrofag secara berkala menelan partikel yang masuk kemudian mati dan menyebabkan

reaksi inflamasi. Lesi parenkim akan tetap ada dalam paru-paru namun tidak mengganggu

fungsinya sampai lesi mencapai kelenjar getah bening yang menyebabkan gangguan

Page 14: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

penyaluran cairan limfa. Proses ini, fibrosis progresif yang parah, awalnya terjadi pada

bagian atas dan zona tengah paru-paru, walaupun terkadang lesi yang diskrit dapat

terdistribusi.

Gambar 2.4 Mekanisme Toksin Debu Silika pada Alveolus Paru-paru

2.4 Analisis Risiko Kesehatan

Analisis risiko adalah suatu metode untuk menilai dan melakukan prediksi apa yang akan

terjadi akibat adanya pajanan atau pencemaran, terhadap zat berbahaya di masa yang akan

datang. Metode ini digunakan untuk menilai faktor bahaya yang paling berpengaruh buruk

terhadap kesehatan sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan terhadap menurunnya

tingkat kesehatan seseorang akibat faktor bahaya tersebut. Analisis risiko kesehatan terdiri

atas beberapa tahap, yaitu: Identifikasi Bahaya, Evaluasi Pajanan, Evaluasi Dosis-Respon dan

Karakterisasi Risiko.

2.4.1 Identifikasi Bahaya

Identifikasi bahaya adalah proses untuk memperoleh data mengenai masalah kesehatan yang

dapat terjadi akibat adanya suatu bahan dengan cara mempelajari efeknya terhadap manusia

ataupun hewan percobaan. Salah satu langkah penting dalam identifikasi bahaya adalah

memilih metode yang tepat sehingga mendapatkan data akurat mengenai faktor bahaya yang

dapat mempengaruhi kesehatan manusia (CEPA, 2001). Data penelitian terhadap manusia

merupakan data yang sangat baik dalam mengevaluasi risiko kesehatan manusia yang

dikaitkan dengan pajanan terhadap suatu zat.

Page 15: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

2.4.2 Evaluasi Pajanan

Evaluasi pajanan adalah proses untuk memperoleh frekuensi, durasi dan pola pajanan suatu

zat terhadap manusia. Dalam menganalisis risiko kesehatan, diperlukan asumsi untuk

memperkirakan pajanan suatu bahan kimia terhadap tubuh.

2.4.3 Evaluasi Dosis-Respon

Evaluasi dosis-respon dilakukan untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh selama

identifikasi bahaya sehingga dapat diperkirakan jumlah zat yang masuk ke dalam tubuh dan

mempengaruhi kesehatan seseorang. Evaluasi dosis-respon dilakukan untuk melihat

hubungan yang konsisten antara jumlah zat yang masuk (dosis) dengan respon berupa efek

kesehatan.

2.4.4 Karakterisasi Risiko

Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari ketiga langkah

sebelumnya yaitu identifikasi bahaya, penilaian pajanan, dan penilaian dosis-respon sehingga

dapat diperkirakan efek suatu zat terhadap kondisi kesehatan. Dalam mengkarakterisasi

risiko, diperlukan analisis dengan cara mengembangkan informasi yang didapat selama

pajanan dan penilaian dosis respon sehingga diperoleh hasil risiko kesehatan yang diharapkan

terjadi pada populasi terpajan (CEPA, 2001).

Nilai Risiko yang akan diperoleh adalah RR atau Risiko relatif yang menghitung risiko

menderita (tidak normal) bagi mereka yang terpajan agen dibandingkan dengan kelompok

yang tidak terpajan.

Page 16: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan menggunakan desain cross sectional dengan pengambilan sampel

secara purposive sampling yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2010- januari 2011.

Dengan studi cross sectional diperoleh prevalens suatu penyakit dalam populasi pada suatu

saat, dengan mencari hubungan antara faktor risiko (variabel bebas) dengan efek yang terjadi

(variabel terikat) melalui pengukuran sesaat (Sayogo, 2009).

Analisis risiko kesehatan yang dilakukan pada pekerja industri semen PT. X meliputi

beberapa tahapan seperti pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Tahapan Analisis Risiko Kesehatan

3.1 Identifikasi Bahaya

Identifikasi bahaya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sumber bahaya dapat

membahayakan kesehatan pekerja, sehingga perlu dilakukan studi pendahuluan berupa survei

tempat penelitian, proses produksi yang terjadi, keadaan pekerja, kondisi lingkungan kerja

dan lainnya yang mempengaruhi besarnya pajanan yang diterima pekerja.

Page 17: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Proses identifikasi bahaya dalam penelitian ini dibagi beberapa tahap, yaitu:

• Analisis bahaya debu semen terhadap kesehatan paru-paru

• Menghitung kesepadanan antara kedua kelompok terpajan dan tidak terpajan debu.

• Menentukan nilai indeks bahaya.

3.1.1 Analisis Bahaya Debu Semen terhadap Kesehatan Paru-paru.

Telah banyak penelitian yang menemukan bahwa kristalin silika sangat berbahaya terhadap

kesehatan paru-paru apabila masuk ke dalam saluran pernapasan manusia. Hasil-hasil

penelitian tersebut kemudian dibandingkan dengan data-data yang diperoleh pada penelitian

ini.

3.1.2 Menghitung Kesepadanan Antara Kedua Kelompok

Data kesepadanan antara kedua kelompok, kelompok terpajan dan tidak terpajan debu,

diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan kepada 120 pekerja laki-laki. Penghitungan nilai

kesepadanan dilakukan dengan cara membandingkan atribut kedua kelompok meliputi

kebiasaan merokok, riwayat kerja, riwayat kesehatan, tinggi badan, berat badan, lamanya

pajanan, usia dan keterangan lainnya dengan menggunakan Analysis of Variance.

3.1.3 Menentukan Nilai Indeks Bahaya

Nilai indeks bahaya diperoleh dari besarnya paparan debu silika yang diperoleh pekerja

dengen pengukuran menggunakan personal sampler pump. Kemudian untuk memperoleh

persen debu silika dari debu semen yang terkumpul, perlu dilakukan analisis menggunakan

XRD (X-Ray Diffraction). Nilai ADD (Average Daily Doses) debu silika diperoleh dengan

menggunakan persamaan:

��� � � � � �� � �� � ��

�� � � (3.2)

Dimana: CA : Konsentrasi Debu Silika yang terhirup (mg/m3)

IR : Kecepatan rata-rata inhalasi (m3/jam)

ET : Waktu Pajanan (jam/hari)

EF : Frekuensi Pajanan (hari/tahun)

ED : Durasi Pajanan (tahun)

BW : Berat badan (kg)

AT : Waktu rata-rata (ED x 365hari/ tahun)

Page 18: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Penentuan indeks bahaya dilakukan dengan mencari nilai HQ (Hazard quotioet ) terlebih

dahulu dengan menggunakan persamaan:

�� � ��

��� (3.1)

Dimana:

HQ : Hazard Quotient

ADD : Dosis rata-rata per hari

Rfd : Nilai Ambang Batas (NAB)

Indeks bahaya ini untuk mendapatkan informasi apakah debu di industri semen PT X dapat

membahayakan kesehatan pekerja. Suatu kontaminan dinyatakan berbahaya terhadap

kesehatan seseorang apabila memiliki nilai Hazard Index (HI)> 1 (Gratt, 1996). Sehingga bila

nilai HI > 1, maka perlu dilakukan evaluasi pajanan dan evaluasi dosis respon.

3.2 Evaluasi Pajanan

Evaluasi pajanan dilakukan secara deskriptif dengan menganalisis proses kerja yang dianggap

berbahaya, berdasarkan nilai indeks bahaya (HI>1). Data yang dikumpulkan diambil dari dua

kelompok pekerja, yaitu kelompok yang terpapar debu dengan intensitas yang tinggi secara

kontinyu dan kelompok yang tidak terpapar debu. Sampel yang dimasukkan dalam penelitian

adalah laki-laki berusia 30-55 tahun, telah bekerja minimal 5 tahun pada perusahaan tersebut,

tidak memiliki kelainan paru-paru sebelum bekerja di PT. X, tidak pernah bekerja di tempat

yang mengandung bahaya debu silika, dan mampu melakukan uji paru-paru.

Data primer lainnya yang dibutuhkan adalah konsentrasi respirable dust, yang diperoleh

dengan pengukuran menggunakan personal sampling pump, karena pengukuran yang

dilakukan merupakan skala lapangan sehingga untuk memperoleh konsentrasi respirable dust

aktual harus disesuaikan dengan kondisi udara di lapangan.

Data sekunder juga diperlukan untuk sebagai pendukung data primer, seperti profil

perusahaan, lay-out area, bahan baku yang digunakan, dan baku mutu udara di lingkungan

kerja. Data sekunder diperoleh dari data perusahaan dan literatur-iteratur yang berkaitan

dengan studi penelitian. Dalam mengevaluasi pajanan diperhatikan faktor-faktor yang

mempengaruhi besarnya pajanan, seperti penggunaan APD, fungsi ventilasi lokal,

kemungkinan angin menimbulkan debu.

Page 19: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

3.3 Evaluasi Dosis Respon

Tahap ini dilakukan dengan pembuatan kurva dosis respon. Kurva ini fungsinya untuk

melihat hubungan yang konsisten antara dosis debu yang terhirup dengan respon pekerja

yang terpajan berupa nilai FEV1,0. Dari kurva ini maka akan terlihat gambaran bagaimana

respon yang timbul akibat oleh konsentrasi debu. Pada tahap ini dibutuhkan nilai FEV1,0

pekerja sama dengan pekerja yang dijadikan sampel dan kontrol pengukuran debu terpajan.

3.4 Karakterisasi Risiko

Karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi berdasarkan identifikasi

bahaya, evaluasi pajanan, dan evaluasi dosis respon secara deskriptif. Risiko dinyatakan

dengan angka Resiko Relatif (RR) dengan cara membandingkan kelompok pekerja yang

terpajan debu dengan pekerja yang tidak terpajan.

Dalam penelitian ini terdapat 2 kelompok pekerja yang dibandingkan, sehingga pada

akhirnya terdapat data yang berupa matriks (2 x 2). Kelompok yang diperbandingkan adalah

kelompok terpajan terhadap kelompok tidak terpajan.

Tabel 3.1 Matriks 2 x 2 kelompok Pekerja terhadap HQ

Terpajan Tidak Terpajan

HQ > 1 a B

HQ < 1 c D

Sehingga diperoleh nilai Risiko Relatif dengan Persamaan berikut:

�� � �/�����

/� ��� (3.3)

Selain mencari nilai risiko relatifnya, untuk menghitung asosiasi juga diperlukan nilai Odd

Ratio (OR), seperti pada persamaan berikut:

!� � �/�

/� (3.4)

Lalu untuk pengujian Signifikansi pada matriks 2 x 2 dihitung dengan menggunakan χ2

dengan derajat kebebasan adalah 1 dan α = 5%. Tes χ2 adalah metode analisis untuk menguji

independensi dimana suatu variabel ada atau tidak ada hubungannya dengan variabel lain.

Page 20: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Tabel 3.2 Matriks 2 x 2 untuk menghitung χ2

Terpajan Tidak Terpajan

HQ > 1 n11 n12 n1.

HQ < 1 n21 n22 n2.

n.1 n.2 N

Dengan persamaan χ2 nya sebagai berikut:

"� �#$|#�� #��&#�� #��|&�

�' #(

#�.#�.#.� #.� (3.5)

Mengingat bahwa RR dapat memberikan hasil atau angka sama, dengan arti atau implikasi

berbeda, maka ada angka risiko lain yang dapat dihitung, yakni perhitungan risiko atribut

yang menyatakan perbedaan antara kedua risiko tadi.

�� � ��� * 1��� (3.6)

Dimana P2 adalah risiko bagi yang tidak terpapar. Kemudian setelah dilakukan perhitungan

asosiasi dan signifikansi ditelaah hubungan kausasi.

Page 21: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

BAB IV

PEMBAHASAN

Subyek yang diteliti merupakan para pekerja yang bekerja di Plant 3 dan 4, setiap plant

terdiri dari berbagai proses, mulai dari penimbunan, raw mill, burning, finish mill, packing

dan bagian production. Penentuan sampel sebanyak 30 orang, dibagi sesuai dengan rasio

jumlah pekerja pada masing-masing bagian tersebut untuk mewakili keadaan sebenarnya.

Sampel yang dimasukkan dalam penelitian adalah laki-laki yang berusia 20-55 tahun dan

mampu melakukan uji fungsi paru-paru. Pekerja yang memiliki riwayat pekerjaan

mengandung bahaya debu silika di pekerjaan sebelumnya, tidak dimasukkan dalam penelitian

ini. Kemudian sebagai kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah pekerja di PT.X

Citeureup dengan karakteristik yang serupa dengan sampel namun tidak bekerja di bagian

produksi, sehingga tidak terpajan oleh debu semen. Karakteristik responden yang terlibat

dalam penelitian didapatkan dari kuesioner seperti terlihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4. 1 Karakteristik Responden

Atribut Jawaban

Kelompok Pekerja

Terpajan Tidak Terpajan

Data Umum Responden

Jenis Kelamin Laki-laki 100,00% 100,00%

Umur <30 tahun 6,67% 3,33%

30-40 tahun 0,00% 20,00%

40-50 tahun 50,00% 46,67%

>50 tahun 33,33% 30,00%

Perilaku Responden

Kebiasaan Merokok Tidak Merokok 80,00% 83,33%

< 6 Batang 13,33% 3,33%

6-12 Batang 6,67% 10,00%

> 12 Batang 0,00% 3,33%

Kebiasaan Minum Susu Tidak 23,33% 33,33%

Ya 76,67% 66,67%

Kebiasaan Berolah Raga Tidak Berolah Raga 10,00% 23,33%

Ya 90,00% 76,67%

Kebiasaan Makan/ hari 1 kali 0,00% 3,33%

2 kali 16,67% 23,33%

3 kali 80,00% 66,67%

> 3 kali 3,33% 6,67%

Penggunaan Masker Selama Bekerja Tidak 0,00% 86,67%

Selalu 56,67% 0,00%

Saat-saat tertentu 43,33% 10,00%

Sesekali 0,00% 3,33%

Page 22: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Atribut Jawaban

Kelompok Pekerja

Terpajan Tidak Terpajan

Alasan Penggunaan Masker Menaati Peraturan 6,67% 0,00%

Menjaga Kesehatan 83,33% 13,33%

Kebiasaan 10,00% 0,00%

Lainnya 0,00% 0,00%

Jenis Maker yang digunakan Masker kertas 0,00% 0,00%

Masker Kain 6,67% 13,33%

Half Mask 70,00% 0,00%

Full face mask 23,33% 3,33%

Atribut Responden

Lama Bekerja di Perusahaan < 5 tahun 6,67% 3,33%

5-10 tahun 3,33% 3,33%

10-15 tahun 0,00% 0,00%

15-20 tahun 3,33% 3,33%

20-25 tahun 16,67% 16,67%

25-30 tahun 46,67% 46,67%

>30 tahun 23,33% 23,33%

Waktu Bekerja dalam Setahun Sepanjang tahun 73,33% 93,33%

Tidak 26,67% 6,67%

Pernah Bekerja di Perusahaan Lain Tidak 83,33% 66,67%

Konstruksi 0,00% 3,33%

Pertambangan 0,00% 0,00%

Lainnya 16,67% 30,00%

Jarak Antara Rumah dan Tempat Kerja < 5 km 40,00% 36,67%

5-10 km 33,33% 33,33%

> 10 km 26,67% 30,00%

Lama Perjalanan Rumah ke Tempat kerja < 30 menit 63,33% 50,00%

30-60 menit 33,33% 36,67%

> 60 menit 3,33% 13,33%

Cara Pergi Ke Tempat Kerja Jalan Kaki 13,33% 3,33%

Naik Angkutan Umum 10,00% 3,33%

Naik Sepeda 0,00% 3,33%

Naik Sepeda Motor 76,67% 63,33%

Naik Mobil 0,00% 26,67%

Keluhan Kesehatan Pernafasan Tidak 50,00% 76,67%

Sesak 10,00% 3,33%

Batuk 33,33% 20,00%

Lainnya 6,67% 0,00%

Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa secara umum karakteristik pekerja kelompok terpajan

dan tidak terpajan debu semen memiliki kesamaan satu sama lain, dan memenuhi kriteria

yang ditetapkan sebelumnya. Pada kedua kelompok, baik yang terpajan maupun yang tidak

terpajan sampel diambil hanya yang berjenis kelamin laki-laki. Perbandingan usia, tinggi dan

berat badan untuk kedua kelompok pekerja dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Page 23: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Gambar 4. 1 Perbandingan Atribut Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan

0

5

10

15

<30 30-40 40-50

Ditribusi Usia Pekerja

(Terpajan)

0

5

10

15

<60 60-70 70-80

Distribusi Berat Badan Pekerja

(Terpajan)

0

2

4

6

8

10

<160 160-165 165-170

Distribusi Tinggi Pekerja

(Terpajan)

Perbandingan Atribut Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan

50 >50

Ditribusi Usia Pekerja

0

10

20

<30 30-40 40

Ditribusi Usia Pekerja

(Tidak Terpajan)

>81

Distribusi Berat Badan Pekerja

0

5

10

15

<60 60-70

Distribusi Berat Badan Pekerja

(Tidak Terpajan)

170 170-175

Distribusi Tinggi Pekerja

(Terpajan)

0

2

4

6

8

10

<160 160-165 165

Distribusi Tinggi Pekerja

(Tidak Terpajan)

Perbandingan Atribut Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan

40-50 >50

Ditribusi Usia Pekerja

(Tidak Terpajan)

70-80 >81

Distribusi Berat Badan Pekerja

(Tidak Terpajan)

165-170 170-175

Distribusi Tinggi Pekerja

(Tidak Terpajan)

Page 24: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

Kelompok pekerja yang terpajan memiliki perilaku yang sedikit

pekerja yang tidak terpajan, terutama pada kebiasaan penggunaan masker

Kelompok yang tidak terpajan bekerja di ruangan tertutup dengan pendingin ruangan,

sehingga tidak perlu menggunakan masker sedangkan kelompok pekerja yang terpajan debu

selalu menggunakan masker saat bekerja, karena lingkungan kerjanya memili

debu yang tinggi.

Gambar 4. 2 Perbandingan Perilaku Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan

0%

20%

40%

60%

80%

100%

me

roko

k

susu

ola

h r

ag

a

Perilaku Pekerja

(Terpajan)

Ya Tidak

Kelompok pekerja yang terpajan memiliki perilaku yang sedikit berbeda dengan kelompok

pekerja yang tidak terpajan, terutama pada kebiasaan penggunaan masker

terpajan bekerja di ruangan tertutup dengan pendingin ruangan,

sehingga tidak perlu menggunakan masker sedangkan kelompok pekerja yang terpajan debu

selalu menggunakan masker saat bekerja, karena lingkungan kerjanya memili

Perbandingan Perilaku Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan

ma

ske

r

ga

ng

gu

an

pe

rna

fasa

n

Perilaku Pekerja

(Terpajan)

Tidak

0%

20%

40%

60%

80%

100%

me

rok

ok

susu

ola

h r

ag

a

Perilaku Pekerja

(Tidak Terpajan)

Ya

berbeda dengan kelompok

pekerja yang tidak terpajan, terutama pada kebiasaan penggunaan masker (Gambar 4.2).

terpajan bekerja di ruangan tertutup dengan pendingin ruangan,

sehingga tidak perlu menggunakan masker sedangkan kelompok pekerja yang terpajan debu

selalu menggunakan masker saat bekerja, karena lingkungan kerjanya memiliki konsentrasi

Perbandingan Perilaku Pekerja yang Terpajan dan Tidak Terpajan

ola

h r

ag

a

ma

ske

r

ga

ng

gu

an

pe

rna

fasa

n

Perilaku Pekerja

(Tidak Terpajan)

Tidak

Page 25: MAKALAH SEMINAR 1 _Yanita Riri Kumalasari_

DAFTAR PUSTAKA

CEPA, 2001, A Guide to Health Risk Assesment, www.oehha.ca.gov, September,

2010.

Dirgawati, M., 2007, Hubungan dan Analisis Risiko Kualitas Udara Ambien

terhadap Mortalitas dan Morbiditas di Kawasan Pemukiman, Industri dan Padat Lalu Lintas

Kota Bandung. Bandung: ITB.

Eckhardt, Bob, 2008, Osha Cement Exposure Report, Proquest Journal 111:45.

Gratt, K. B., 1996, Air Toxic Risk Assesment and Management, Van nostrand

Renhold.

NIOSH, 2002, Helath Effects of Occupational Exposure to Respirable Crystalline

Silica, Cincinati : Department of Health and Human Services.

Pudjiastuti, Wiwi., 2002, Debu sebagai Bahan Pencemar yang Membahayakan

Kesehatan Kerja. Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI.

Sayogo, Savitri., 2009, Studi Cross-sectional/ Potong Lintang, Jakarta: Universitas

Indonesia.

Setiadji, S., B. Nur dan B. Gunawan., 1981, Uji Faal Paru, Cermin Dunia

Kedokteran, 4: 7-11.

SNI, 2005, Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja, SNI 19-0232-

2005.

Spirecpert, 2007, Spirometer and Lung Function Testing, www.spirexpert.com,

September, 2010.

Whyte., 1980, Environmental Risk Assessment, Institute for Environmental Studies,

University of Toronto, John Wiley & Sons, Canada.

Wibawa, Kresna., 2008, Tesis Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Debu terhadap

nilai FEV1,0 pekerja di lingkungan kerja PT X. Bandung: ITB.

Yunus, F., 1997, Dampak Debu Industri pada Paru-paru Pekerja dan

Pengendaliannya; Cermin Dunia Kedokteran, 155: 45-51.