makalah puasa

33
PUASA MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Fiqh Dosen Pengampu : Kurnia Muhajarah, M.S.I Disusun Oleh: Khoirul Abidin (113711012) Luqman Andi Yahya (113711013) Rizal Arba’i (113711014) Satria Bagus F. (113711015)

Upload: michelle-nieves

Post on 23-Apr-2017

843 views

Category:

Documents


81 download

TRANSCRIPT

PUASA

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqh

Dosen Pengampu : Kurnia Muhajarah, M.S.I

Disusun Oleh:

Khoirul Abidin (113711012)

Luqman Andi Yahya (113711013)

Rizal Arba’i (113711014)

Satria Bagus F. (113711015)

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2013

21

I. PENDAHULUAN

Saum atau puasa dalam islam (Arab: صوم) secara bahasa artinya menahan atau

mencegah. Menurut syariat agama Islam artinya menahan diri dari makan dan minum

serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah

terbenam matahari, dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang

muslim. Perintah puasa difirmankan oleh Allah pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat

183.

Berpuasa merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Terdapat puasa wajib dan

puasa sunnah, namun tata caranya tetap sama. Perintah berpuasa dari Allah terdapat

dalam Al-Quran di surat Al-Baqarah ayat 183.

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah:

183)

Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai puasa baik dasar

hukum puasa, syarat, rukun puasa, macam-macam puasa dan mengenai persoalan-

pesoalan aktual mengenai puasa, semoga apa yang ada dalam makalah ini bisa

menambah wawasanyang baru bagi pembaca. Amiin…

II. RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimana landasan hukum dalam puasa?

B. Apa saja syarat, rukun, dan macam-macam puasa itu?

C. Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa itu?

D. Bagaimana cara penentuan waktu puasa itu?

E. Apa saja persoalan-persoalan dalam ibadah puasa itu?

III. PEMBAHASAN

A. Landasan hukum dalam puasa

21

Puasa dalam bahasa Arab disebut ash-Shiyaam yang berarti imsak atau menahan

diri. Seperti firman Allah di dalam Al-Qur’an dalam surah Maryam ayat 26

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang

manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk

Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang

manusiapun pada hari ini".

Orang yang diam tidak berbicara disebut shaa’im, artinya ia sedang

menahan diri dari perkataan. Kuda yang mengekang diri dari makanan pun

dikatakan berpuasa. Dalam istilah syariat Islam, puasa atau shaum berarti suatu

bentuk ibadah berupa menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, dan hal-

hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari

dengan syarat-syarat tertentu serta niat mencari ridha Allah.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Di awal surat tersebut yang diseru adalah orang-orang yang beriman.

Artinya, orang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Rasulullah

saw, berarti wajib menjalankan puasa. Ringkasnya, yang wajib berpuasa adalah

orang beragama Islam, orang kafir tidak wajib. Orang kafir jika melaksanakan

puasa, maka tidak sah puasannya. Boleh-boleh saja ia berpuasa, tapi di mata Allah

tidak bernilai puasanya. Ia tidak akan mendapatkan pahala dari puasannya.ia

hanya mendapatkan keuntungan duniawi saja, misalnya badan menjadi sehat,

tubuh menjadi langsing atau berat berkurang.

B. Syarat, Rukun, Macam-macam dan dasar hukum puasa

1. Syarat-syarat Puasa

Pada dasarnya syarat puasa hampir sama dengan syarat wajib puasa. Jika

syarat wajib puasa lebih kepada kondisi seseorang secara keseluruhan, maka

syarat syah adalah kondisi ketika akan melakukan puasa. Secara garis besar

21

terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan sahnya puasa

Ramadhan.

a. Syarat-syarat sah puasa

1) Tetap dalam islam sepanjang hari

Apabila seorang kafir, baik asli atau kafir murtad berniat puasa,

tidaklah sah puasanya. Apabila seorang muslim yang sedang berpuasa

menjadi murtad karena mencela agama Islam, atau mengingkari suatu

hukum Islam yang di ijma’kan (disepakati) oleh umat atau mengerjakan

sesuatu yang merupakan peenghinaan bagi Al-Qur’an atau memaki

seorang Nabi, niscaya keluarlah ia dari Islam dan batallah puasanya.

Karena puasa adalah ibadah islamiyah, maka tidak sah dilakukan oleh

orang yang bukan Islam.

2) Suci dari Haid, Nifas, dan Wiladah

Wanita yang sedang haid, nifas, dan bersalin (wiladah), ketika

sedang berpuasa, maka batallah puasanya seketika, baik darah haid

yang keluar ituu banyak ataupun sedikit. Baik anak yang lahir tersebut

itu sempurna, ataupun hanya berupa segumpal darah atau daging.

3) Tamyiz

Tamyiz adalah orang yang dapat membedakan antara yang baik

dan yang tidak baik. Orang gila apabila berniat berpuasa, tidaklah sah

puasannya, karena puasa adalah suatu ibadah. Orang gila dipandang

tidak mampu beribadah. Apabila seseorang yang sedang berpuasa,

kemudian menjadi gila di tengah-tengah hari, walaupun sebentar, maka

batallah puasannya. Orang yang pinsan dan mabuk, batal puasannya

jika pinsan atau mabuk tersebut sepanjang hari. Jika pinsan atau mabuk

itu tidak sepanjang hari, maka dipandang sah puasannya. Dimaksudkan

dengan tamyiz di sini, ialah tamyiz dalam pandangan hukum.

Karenanya sah puasa orang tidur seepanjang hari lantaran mumayyiz, ia

sadar kalau ia bangun.

4) Berpuasa pada waktunya

21

Puasa harus dilakukan pada waktu yang tepat karena puasa tidak

akan sah jika dikerjakan pada waktu-waktu yang tidak dibenarkan

berpuasa, seperti pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan hari-hari

Tasyriq. Syarat-syarat tersebut berlaku pula untuk puasa-puasa yang

lain, baik fardhu, qadha, nadzar ataupun puasa sunah, seperti puasa

Arofah, Asyura dan lain-lain.

b. Syarat-syarat wajib puasa

1) Orang-orang yang wajib puasa

Seseorang yang akan melakukan puasa mempunyai syarat wajib

yang haris dipenuhi. Syarat wajib tersebut adalah:

a) Islam

b) Baligh (sampai umur)

c) Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau perempuan

d) Suci dari haid dan nifas bagi perumpuan

e) Berada di kampung, tidak wajib atas orang musafir

f) Sanggup berpuasa, tidak wajib atas orang yang lemah dan orang

sakit

Apabila seorang muslim memenuhi syarat-syarat wajib tersebut, maka

wajiblah ia berpuasa, dan berdosa apabila dia meninggalkannya.

2) Orang-orang yang tidak wajib berpuasa

a. Orang kafir

Jika seseorang adalah kafir asli, mempunyai orang tua yang

kafir, besar dalam kekafiran, maka orang tersebut tidak wajib

melaksanakan puasa. Dan untuk dapat diteerima puasannya, dia

harus terlebih dahulu memeluk agama Islam.

Puasa adalah ibadah dalam islam. Orang kafir tidak wajib

menqadha puasa yang ditinggalkanya apabila ia masuk islam.

Wajib bagi orang kafir yang masuk islam di dalam bulan ramadhan,

mengerjakan puasa. Dan seyogianyalah ia imsak pada hari hari pada

saat ia masuk Islam. Jika dia bukan kafir asli seperti orang islam

yang murtad, maka maka dia tidak diwajibkan berpuasa, lantaran

21

puasa tidak sah terhadap orang murtad. Jika ia kembali islam lagi,

barulah kita menyuruhnya berpuasa lagi dan ia wajib mengqadha

puasa yang ditinggalkan selama ia murtad. Demikian menurut

madzhab Asy-Syafi’i. Sebagian ulama tidak mewajibkan puasa

yang ditinggalkan selama ia murtad.

b. Anak kecil

Anak kecil tidak diwajibkan berpuasa berdasarkan sabda

Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh ahmad, ashhabus Sunan

dan Al-Hakim, dari Aisyah bahwa rasulullah bersabda:

: المجنون وعن يبلغ، حتى الصبي عن ثالث عن القلم رفع

يستيقظ حت النائم عن و يفيق حتى

“Diangkat kalam dari tiga orang: 1) dari anak kecil sehingga ia

sampai umur, 2) dari orang gila sehingga ia sembuh, dan 3) dari

orang yang tidur sehingga ia bangun.”

Puasa yang dilakukan anak kecil yang telah berakal yang

sanggup berpuasa, maka puasa tersebut hukumnya sah, walaupun

belum diwajibkan. Sebagian pengikat Imam Ahmad berpendapat

bahwa anak kecil yang sanggup berpuasa dan telah sampai umur 10

tahun, wajib mengerjakan puasa, berasarkan riwayat ibnu Juraij dari

Muhammad ibnu Abi Labibah.

c. Orang gila

Orang gila tidak masuk dalam kategori mukallaf, karena orang gila

tidak mempunyai akal yang menjadi dasar taklif, maka tidaklah

wajib puasa diwaktu ia sedang gila, mengingat hadits yang

diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dari Ali. Dan apabila

orang gila tersebut sembuh maka tidak wajib mengqadha puasa

yang ditinggal selama gila, baik sebentar ataupun lama, baik dia

sembuh dalam bulan ramadhan, ataupun dalam sesudahnya.

Hukumnya demikian karena dia meninggalkan puasa diwaktu ia

tidak dibebani puasa.

21

d. Orang pingsan

Jika orang yang puasa pingsan, maka sebagian ulama

mewajibkan qadha, baik pingsan sepanjang bulan, atau pingsan

sebagiannya, karena orang pingsan disamakan kondisinya dengan

orang sakit, dan berbeda dengan orang gila.

Orang gila atau orang pingsan, karena mabuk atau tertidur

sebelum terbenam matahari dan sembuh atau sadar sesudah

terbenam matahari esok harinya, maka tidaklah diwajibkan qadha

terhadap puasa yang ditinggalkannya. Menurut nash, hanya

diwajibkan mengqadha atas orang yang meninggalkannya, karena

safar, haid atau nifas dan yang sengaja muntah.

Hilang akal karena minuman keras, atau sebagainya wajib

mengqhada puasa yang ditinggalkannya. Tegasnya tidak ada qadha

bagi orang gila, karena telah gugur taklif, begitupula orang gila di

bulan Ramadhan selama 15 hari umpamanyan, tidak ada qadha

atasnya.

e. Wanita yang sedang haid atau nifas

Wanita yang sedang haid atau nifas tidak wajib berpuasa,

karena tidak sah puasa dalam keadaan demikian. Akan tetapi,

apabila mereka telah suci, wajiblah mereka mengqadha puasa yang

ditinggalkan.

Para ulama’ telah ber-Ijma’, bahwa wanita yang sedang berhaid

atau nifas tidak wajib berpuasa. Al-Jamaah meriwayatkan dari

Mu’adz, bahwa aisyah berkata:

“Kami sedang mengalami haid di masa Rasulullah SAW, maka

kami diperintahkan supaya mengqadha puasa dan kami tidak

diperintahkan megqadha sholat.”

f. Musafir

Orang yang sedang dalam perjalanan (safar), tidak berada di

kampong, tidak diwajibkan berpuasa. Mereka daboleh berpuasa

21

dalam safarnya, dan boleh berbuka dan mengqadhanya setelah

berada ditempatnya sebanyak yang ditinggalkannya.

g. Orang sakit

Apabila orang sakit di permulaan puasa atau dipertengahannya, atau

di salah satu hari dari bulan puasa, maka ia boleh berbuka atua tidak

meneruskan puasanya selama ia sakit, dan hendaklah ia mengganti

puasa yang ditinggalkan selama sakitnya.

h. Golongan orang-orang yang tidak sanggup puasa

Orang-orang yang di dolongkan ke dalam golongan orang yang

tidak sanggup puasa ialah:

i. Wanita hamil dan orang yang sedang menyusui anak.

ii. Orang yang sudah sangat tua.

iii. Para pekerja berat.

2. Rukun-rukun Puasa

Rukun adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Jika

rukun ini tidak dialankan, maka tidak sah ibadah tersebut atau batal. Tidak

seperti ibadah-ibadah lain yang banyak rukunnya, puasa cukup ringkas

meskipun pelaksanaannya tentu tidak semudah itu. Rukun puasa hanya ada

dua, yaitu:

a. Niat

Niat menjadi rukun dalam puasa, hal tersebut berdasarkan firman Allah

SWT:

“barangsiapa tidak berniat puasa di waktu malam maka tidak ada puasa

baginya (tidak sah).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)

Berbeda dengan niat pada ibadah-ibadah lain yang pelaksanannya

bersamaan dengan ibadah yang diniatkan, niat puasa boleh dilakukan jauh

sebelumnya, yaitu di malam hari. Waktunya dimulai dari masuk waktu

magrib hingga sebelum terbit fajar.

Namanya niat adanya di dalam hati. Cukup dengan membatin bahwa

besok akan puasa sudah cukup. Niat juaga tidak secara khusus dinyatakan

21

baik di dalam hati maupun lisan. Jika kita melakukan sahur untuk puasa

besok berarti sahur tersebut sudah merupakan niat untuk berpuasa.

Niat adalah upaya untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah. Nabi saw

bersabda:

نوى ما امرئ� لكل ما وان باانيات األعمال ما إن“sesungguhnya segala amalan itu menurut niat dan setiap manusia

memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari)

Hadits ini menjelaskan bahwa syara’ tidak menghargai suatu amal,

melainkan dengan adanya niat, baik niat tersebut dipandang sah amal,

ataupun dipandang menjadi syarat kesempurnaan amal.1

b. Menahan diri

Rukun puasa setelah niat adalah menahan diri dari hal-hal yang

membatalkan puasa. Seorang yang berpuasa harus menahan diri dari apa-

apa yang dapat merusak puasannya mulai dari terbit fajar sampai dengan

matahari terbenam. Sebelum fajar terbit, yaitu ditandai ditandai dengan

adzan subuh maka seseorang masih boleh makan minim dan lain yang

tidak dibolehkan setelah puasa. Hal yang salah dipahami di sebagian

masyarakat Indonesia adalah waktu imsak. Beberapa masjid dan stasiun

televise menyiarkan waktu imsak kira-kira 5-10 menit sebelum adzan

subuh. Sebagian masyarakat Muslim masih menganggap waktu imsyak

adalah batas akhir seseorang boleh makan minum. Padahal yanga benar

adalah waktu subuh, yaitu ketika terbit fajar sebagaimana yang Allah

firmankan:.

“….Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang

putih dan benang hitam, yaitu fajar…”

Begitu masuk waktu subuh, maka semuanya yang dilarang dalam bepuasa

harus ditinggalkan hingga adzan maghrib berkumandang. Jika hal tersebut

dilakukan, maka batallah puasanya kecuali orang yang tidak tahu. Seperti

seseorang menganggap sudah masuk waktu maghrib sehingga ia berbuka,

padahal waktunya, belum masuk.

1 Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang: 2010), PT Pustaka Rizki Putra, h.65

21

3. Macam-macam puasa dan dasar hukumnya

Dalam Islam dikenal ada beberapa macam puasa. Ada puasayang sifatnya

wajib. Puasa ini harus dilaksanakan, kalau tidak maka akan berdosa. Ada pula

sunnah, puasa yang sangat dianjurkan meskipun jika kita tidak melakukannya

tidak mengapa. Berikutnya adalah puasa yang diharamkan, jangan sekali-kali

dikerjakan. Alih-alih ingin mendapatkan pahala, ternyata justru memberikan

dosa.

a. Puasa Wajib

1) Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan diwajibkan Allah berdasarkan firman-Nya di dalam

Al-Qur’an yang berbunyi:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu

bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183)

b. Puasa Sunnah

1) Puasa Senin dan Kamis

Puasa hari Senin dan Kamis adalah puasa yang sangat dianjurkan.

Masyarakat Islam di berbagai tempat pun sering melaksanakan ibadah

sunnah satu ini. Rasulullah saw. Bersabda,

“Amal-amal kita dikemukakan kepada Allah pada tiap hari Senin dan

Kamis. Karena itu, aku suka mengemukakan amal-amalku (pada hari

Senin dan Kamis) sedangkan aku berpuasa.” (HR. Ahmad dari Abu

Hurairah).

2) Puasa 6 Hari Bulan Syawal

Rasulullah saw. bersabda,

21

“Barang siapa berpuasa ramadhan kemudian diikuti dengan enam

hari bulan Syawal, maka yang demikian itu sama dengan berpuasa

sepanjang masa.”(HR. Muslim dari Abu Ayyub)

3) Puasa Hari Arafah

Rasulullah saw. bersabda,

“Puasa di hari arafah menutup dosa dan kesalahan selama dua tahun

(yaitu) tahun yang telah lalu dan tahun yang akan datang.” (HR.

Muslim dari Abu Qatadah)

4) Puasa Pertengahan Bulan

Rasulullah saw. bersabda,

“Puasa tiga hari pada tiap bulan, Ramadhan ke Ramadhan, itulah

puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah)

5) Puasa Dawud (Sehari Puasa Sehari Buka)

Rasulullah saw. bersabda,

“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, itu puasa Nabi Dawud

dan itulah puasa yang paling utama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

c. Puasa Haram

1) Puasa Pada Hari-Hari Tertentu

Ada hari-hari tertentu yang Allah mengharamkan kita untuk berpuasa,

yaitu pada hari raya (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha) dan Hari

Tasyrik (tanggal 11,12, dan 13 bulan Dzulhijjah) dalam hadits

dikatakan

“Bahwasannya Rasulullah saw. Melarang berpuasa pada dua hari

raya, yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“hari-hari Tasyrik itu adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir

kepada Allah.”(HR. Muslim)

2) Puasa Wishal (Terus-Menerus)

Berpuasa secara terus-menerus alias tidak berbuka dan melanjutkan

puasa besok harinya dilarang dalam Islam. Seperti betapa, ngebleng

tujuh hari, mutih yaitu tidak makan garam, mati geni yaitu tidak

21

memakan apa yang dimasak oleh api, ngalong tiga hari, dan

sebagainya. Rasulullah saw bersabda:

“jauhilah berwishal itu (wishal artinya terus-menerus berpuasa tanpa

berbuka atau makan sahur),” diucapkannya sampai tiga kali. Kata

mereka sahabat nabi, “Tetapi engkau berwishal, wahai

Rasulullah.”Maka beliau saw menjawab, “Engkau tidak sama dengan

aku. Aku bermalam dengan diberi makan dan minum oleh

Tuhanku…” (HR Bukhari dan Muslim)

3) Puasa Ketika Wanita Sedang Haid Atau Nifas

Para fuqaha (ahli ilmu) sependapat bahwa wajib berbuka dan haram

berpuasa atas wanita-wanita yang dalam keadaan haid, dan jika

mereka berpuasa maka puasanya tidak sah dan dianggap batal. Wanita-

wanita dalam keadaan haid tersebut atau nifas wajib mengqadha puasa

sebanyak yang ditinggalkannya. Aisyah berkata:

“Kami sedang haid dimasa Rasulullah, maka kami diperintahkan

mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha sholat.”

4) Puasa Yang Membuat Diri Menjadi Celaka

Allah berfirman:

“….dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah

kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat

baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

berbuat baik.”(Al-Baqarah:195)

5) Puasa (Sunnah) Seorang Istri Tanpa Izin Suami

Jika suaminya tidak berada dirumah dan tidak meniggalkan pesan

agar tidak puasa, maka boleh wanita tersebut puasa. Rasulullah saw

bersabda:

“Janganlah seorang wanita berpuasa walau satu haripun, jika

suaminya berada di rumah tanpa izinnya, kecuali puasa Ramadhan.”

(HR. Bukhari dan Muslim).

21

Mengenai puasa wajib, yaitu puasa Ramadhan, maka ada atau

tidak adanya izin suami tidak ada pengaruhnya.

d. Puasa Makruh

Puasa (Sunnah) Hari Jumat Saja Atau Sabtu Saja

Mayoritas ulama berpendapat bahwa larangan puasa di hari jumat ini

berarti larangan makruh, bukan menunjukan haram. Rasulullah saw

bersabda:

“sesungguhnya hari jumat itu merupakan hari rayamu, oleh karena itu

janganlah berpuasa pada hari itu kecuali jika kamu berpuasa sebelum

atau sesudahnya.” (HR Ahmad dan Nasa’i)

Hadits lainnya yakni:

“Janganlah kamu khususkan puasa pada hari jumat, kecuali jika

disertai oleh satu hari sebelumnya atau sesudahnya.” (HR Bukhari)

Tentang larangan puasa hari sabtu saja Rasulullah saw bersabda:

“Janganlah kamu berpuasa (khusus) hari sabtu kecuali yang

diwajibkan atasmu…” (HR Ahmad dan Ashabus Sunan)

Puasa Yang Membuat Diri Menderita

Puasa yang dalam perjalanan jauh atau sakit dengan susah payah

sehingga dapat memudharatkan diri, makruh dilaksanakan. Allah SWT

berfirman:

”…Maka barang siapa di antara kamu sakit atau demam dalam

perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak

hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari lain….” (Al-

Baqarah:184)

C. Hal-hal yang Membatalkan puasa

Adapun hal;hal yang dapat membatalkan puasa, sebagai berikut

1. Membatalkan niat untuk berpuasa

Apabila seseorang membatalkan niatnya untuk berpuasa, maka puasanya

menjadi batal kendati ia tidak makan, minum, karena niat merupaka salah satu

rukun puasa.

2. Makan dan minum dengan sengaja

21

Yaitu apabila seseorang sedang berpuasa dengan sengaja makan dan

minum, walau dalam jumlah sedikit dengan sengaja, maka puasa orang

tersebut batal. Dan apabila seseorang tersebut lupa makan dan minum (tidak

disengaja) dalam keadaan puasa, maka puasanya tidak batal dan diharuskan

menyempurnakan puasanya. Sebagaimana Ad-Daruquthni meriwayatkan dari

Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw., bersabda yang artinya:

“ Barang siapa lupa ia berpuasa lalu ia makan ;dan minum maka

hendaklah ia sempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah SWT telah

memberi makan dan minum kepadanya.”

3. Bersetubuh

Apabila seseorang bersetubuh di siang hari dalam kedaan berpuasa, maka

puasanya batal dan wajib membayar kaffarat. Apabila seseorang nerusak

puasanya dengan bersetubuh, maka ia wajib membayar kaffarat, yakni

memerdekakan budak, jika tidak sanggup, hendaklah berpuasa dua bulan

berturut-turut, jika tidak sanggup pula, hendaklah memberi makan 60 orang

miskin.

4. Bersetubuh di waktu fajar, karena menyangka belum fajar.

Apabila seseorang menyangka bahwa fajar masih lama, lalu bersetubuh

dan waktu fajar pun masuk atau kedengaran bunyi beduk Subuh, maka ia

wajib menghentikan persetubuhan dengan segera(langsung) tidak boleh ia

teruskan lagi. Jika ia teruskan, berarti ia telah merusak puasanya dengan

sengaja(membatalkan puasanya).

5. Memasukkan makanan ringan dalam perut lewat kerongkongan dengan

sengaja.

Para ulama’ sepakat menetapkan bahwa puasa batal dengan makan dan

minum. Adapun memakan benda yang tidak mengenyangkan (bukan makanan

dan minuman, garam umpamanya), maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa

hal tersebut juga membatalkan puasa.

6. Muntah dengan sengaja

21

Sebagian Ahli Tahqiq berpendapat bahwa puasa menjadi batal karena

muntah yang disengaja. Hal tersebut bedasarkan hadits yang diriwayatkan

oleh Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa terpaksa muntah, niscaya tidak ada qhada atasnya.

Barangsiapa sengaja muntah, hendaklah ia menqhadanya.”

7. Melihat bulan.

Apabila seeseorang yang sedang berpuasa, tiba-tiba melihat bulan

Syawal, maka batallah puasanya.

8. Mendapat haid

Wanita tidak boleh berpuasa dalam keadaan haid dan nifas, bahkan haram

dan mengqhada puasanya.

9. Mengeluarkan mani dengan tangan (onani)

Mengeluarkan mani dengan tangan (onani) membatalkan puasa.

Demikian kata sebagian fuqoha. Menurut pendapat sebagian ulama lainnya

hal tersebut tidak membatalkan puasa.

10. Berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan sengaja.

Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, jika air masuk

ke dalam kerongkongan dengan sengaja, maka batallah puasanya. Allah SWT

berfirman:

“… dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,

tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. …” (QS. Al-

Ahzab:5)

D. Cara Penentuan Waktu Puasa

Untuk mengetahui kapan waktu puasa (Ramadhan), maka penetapan waktu puasa

Ramadhan ada tiga macam cara, diantaranya adalah :

a. Penetapan dengan hisab melalui pendekatan wujudul hilal.

Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetapkan berdasarkan

perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada di atas ufuk berapa pun derajat

tingginya, walaupun kurang dari 0,5 derajat, dan walaupun hilal tidak dapat

21

dilihat dengan mata kepala, karena yang penting hilal sudah wujud. Jadi

rukyatul hilal bil fi’li tidak perlu dilakukan dalam penetapan awal atau akhir

bulan.

b. Penetapan dengan hisab melalui pendekatan imkanur rukyat.

Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetapkan berdasarkan

perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada pada ketinggian yang mungkin

dirukyat (imkanur rukyat). Pada umumnya, mereka yang berpendapat seperti

ini menetapkan bahwa hilal yang imkan dirukyat minimal berada pada posisi

dua derajat. Oleh karena itu, apabila posisi hilal kurang dari dua derajat tidak

imkan dirukyat dan tidak bisa ditetapkan sebagai awal Ramadhan dan awal

Syawal, sehingga awal ramadhan dan awal Syawal ditetapkan pada hari

berikutnya.

c. Penetapan dengan rukyat bil fi’li.

Artinya awal ramadhan dan awal Syawal harus tetap didasarkan pada

melihat bulan sabit. Hisab hanya berfungsi sebagai pemandu dalam

melakukan rukyat bil fi’li agar rukyat yang dilakukan menjadi efektif.

Sekalipun demikian, tidak setiap syahadah atau rukyat bil fi’li bisa diterima.

Syahadah atau rukyat bil fi’li yang bisa diterima adalah apabila posisi hilal

berada di atas ufuk. Apabila posisi hilal di bawah ufuk, maka harus ditolak.

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa pendapat pertama dan ke dua

dalam menetapkan waktu Ramadhan dengan menggunakan hisab tanpa

melakukan rukyat, sedangkan pendapat ke tiga lebih mengedepankan rukyat

bil fi’li, sehingga wakru puasa (awal ramadhan) baru bisa ditetapkan setelah

melakukan rukyatul hilal pada malam 30 Sya’ban dan 30 Ramadhan. Apabila

hilal dapat di-rukyat sekalipun kurang dari dua derajat maka awal Ramadhan

dapat ditetapkan. Dan kalau tidak berhasil dirukyat maka ditetapkan hari

berikutnya dengan cara istikmal (menyempurnakan umur bulan menjadi 30

hari).

E. Persoalan-persoalan yang terkait dalam pelaksanaan ibadah Puasa

1. Mengeluarkan darah dalam jumlah besar

21

Jika darah yang dikeluarkan berakibat seperti pada bekam, fisik melemah

dan membutuhkan nutrisi, maka hukumnya sama seperti hukum hijamah

(bekam). Tetapi jika keluar tanpa kehendak, seperti terluka kemudian

mengeluarkan banyak darah maka tidaklah mengapa karena terjadi di luar

kehendak.

2. Istimna (onani)

Seseorang yang melakukan Istimna puasanya batal, karena seseorang

tersebut tidak dapat menahan diri untuk tidak melakukan onani, karena hal itu

haram, sebagaimana firman Allah -ta'âla-:

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap

isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; sungguh mereka dalam hal

ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah

orangorang yang melampaui batas. (QS. Al-Mukminun; 5-7)

Dan karena Nabi saw bersabda:

"Wahai para pemuda, siapa yang sangkup dari kalian al-ba'ah (memberi

nafkah batin) hendaknya menikah, karena ia lebih dapat menundukkan

pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika tidak sanggup, hendaknya

berpuasa."

Jika istimna (onani) dibolehkan, sungguh Nabi -shalallahu alaihi

wasalamsudah akan menganjurkannya, karena hal itu lebih mudah untuk

dilakukan dan dapat mengurangi syahwatnya, berbeda dengan puasa yang

padanya ada beban. Ketika Nabi -shalallahu alaihi wasalammengalihkannya

kepada puasa, itu menunjukkan bahwa onani tidak dibolehkan.

3. berpuasa tetapi tidak shalat di bulan Ramadhan

Mereka yang berpuasa tetapi tidak shalat, puasanya tidak bermanfaat

baginya, tidak diterima dan tidak melepaskannya dari kewajiban. Bahkan dia

tidak termasuk yang terbebani untuk berpuasa, karena orang yang tidak shalat

seperti orang yahudi dan Nasrani. Apa pendapatmu mengenai orang Yahudi

21

atau Nasrani yang berpuasa, apakah diterima puasanya?! Tentu tidak. Oleh

karena itu kita katakan kepada orang tersebut: "Bertaubatlah kepada Allah

dengan mengerjakan shalat dan berpuasa."Siapa yang bertaubat Allah terima

taubatnya.

4. Penyempurnakan bilangan hari di bulan Syaban maupun hari di bulan

Ramadhan.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah, jika engkau

melihat hilal awal Syawal maka berbukalah."

Nabi -shalallahu alaihi wasalam- tidak mungkin mengaitkan sesuatu

kepada yang mustahil. Jika mungkin bagi kita melihat hilal awal bulan

Ramadhan, maka sangat mungkin juga kita dapat melihat hilal awal bulan

yang lain. Penyempurnakan bilangan Syaban menjadi 30 hari demikian juga

pada Ramadhan adalah benar jika langit tertutup dan hilal tidak dapat terlihat

karena terhalangi awan, kabut atau semacamnya. Pada saat seperti itu kita

menyempurnakan bilangan hari menjadi 30, baru kemudian kita berpuasa,

termasuk menyempurnakan bilangan hari Ramadhan menjadi 30 lalu kita

berbuka. Demikianlah hadits yang disampaikan Rasulullah SAW :

"Berpuasalah jika kalian melihatnya (hilal awal Ramadhan), dan berbukalah

jika kalian melihatnya (hilal awal Syawal). Jika langit tertutupi mendung,

maka genapilah menjadi 30 hari."

Dalam hadits yang lain:

"Sempurnakanlah jumlah hari menjadi 30."

Atas dasar inilah jika pada malam ke-30 Ramadhan orang-orang yang

mengamati hilal tidak melihatnya, mereka menyempurnakan bilangan hari

Ramadhan menjadi 30 hari.

5. Ghibah (bergunjing) dan Namimah (adu domba) di siang Ramadhan

Ghibah (bergunjing) dan namimah (adu domba) tidak membatalkan puasa,

akan tetapi mengurangi pahala puasa. Allah -ta'âla- berfirman:

21

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-

Baqarah: 183)

Dan sabda Nabi Muhammad saw: "Siapa yang tidak meninggalkan

perkataan zur (keji) dan perbuatannya serta kebodohan, Allah tidak butuh

pada makan dan minum yang ditinggalkannya."

6. Siwak bagi orang yang puasa

Penggunaan siwak bagi orang yang puasa sebelum matahari tergelincir

dan setelahnya merupakan sunah sebagaimana pada waktu-waktu yang lain.

Karena hadits-hadits penggunaan siwak umum tanpa ada pengecualian,

sebelum atau setelah matahari tergelincir.

Nabi Muhammad saw bersabda:

"Siwak menyucikan mulut dan disukai Allah..."

Sabda Rasulullah saw yang lain:

"Seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, niscaya aku akan

memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat."

IV. SIMPULAN

Dalam istilah syariat Islam, puasa atau shaum berarti suatu bentuk ibadah berupa

menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, dan hal-hal lain yang

membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan syarat-

syarat tertentu serta niat mencari ridha Allah.

Syarat-syarat sah puasa

a. Tetap dalam islam sepanjang hari

b. Suci dari Haid, Nifas, dan Wiladah

c. Tamyiz

d. Berpuasa pada waktunya

21

Syarat wajib tersebut adalah:

a. Islam

b. Baligh (sampai umur)

c. Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau perempuan

d. Suci dari haid dan nifas bagi perumpuan

e. Berada di kampung, tidak wajib atas orang musafir

f. Sanggup berpuasa, tidak wajib atas orang yang lemah dan orang sakit

Rukun puasa:

a. Niat

b. Menahan diri

Macam-macam puasa:

a. Puasa Wajib

b. Puasa Sunnah

c. Puasa Haram

d. Puasa Makruh

Adapun hal;hal yang dapat membatalkan puasa, sebagai berikut

a. Membatalkan niat untuk berpuasa

b. Makan dan minum dengan sengaja

c. Bersetubuh

d. Bersetubuh di waktu fajar, karena menyangka belum fajar.

e. Memasukkan makanan ringan dalam perut lewat kerongkongan dengan

sengaja.

f. Muntah dengan sengaja

g. Melihat bulan.

h. Mendapat haid

i. Mengeluarkan mani dengan tangan (onani)

j. Berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan sengaja

Cara Penentuan Waktu Puasa

Untuk mengetahui kapan waktu puasa (Ramadhan), maka penetapan waktu puasa

Ramadhan ada tiga macam cara, diantaranya adalah :

a. Penetapan dengan hisab melalui pendekatan wujudul hilal.

21

b. Penetapan dengan hisab melalui pendekatan imkanur rukyat.

c. Penetapan dengan rukyat bil fi’li

Persoalan-persoalan yang terkait dalam pelaksanaan ibadah Puasa ialah

a. Mengeluarkan darah dalam jumlah besar

b. Istimna (onani)

c. berpuasa tetapi tidak shalat di bulan Ramadhan

d. Penyempurnakan bilangan hari di bulan Syaban maupun hari di bulan

Ramadhan.

e. Ghibah (bergunjing) dan Namimah (adu domba) di siang Ramadhan

f. Siwak bagi orang yang puasa

V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang telah kami buat, yang menjelaskan mengenai hal-hal

tentang puasa. Sehingga memberikan pengetahuan baru bagi kita. Tentunya kami

menyadari masih banyak kekurangan dari penulisan makalah ini. Oleh karena itu,

kritik dan saran sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya,

dan semoga makalah ini dapat diambil hikmahnya dan dapat bermanfaat bagi

pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi, 2009, Pedoman Puasa, Jakarta: Pustaka Rizki Putra.

Faridl, Miftah, 2007, Puasa Ibadah Kaya Makna, Jakarta: GEMA INSANI.S

http://derisuyatma.wordpress.com/tag/cara-penetapan-awal-akhir-ramadhan/, Diakses

pada tanggal 15/04/2013 pukul 09.40 WIB.