makalah ppb-demokrasi deliberatif gagasan habermas
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jǖrgen Habermas dan Demokrasi Deliberatif
Jǖrgen Habermas lahir pada tanggal 18 Juni 1829 di propinsi Rheinland-Westfalen
Jerman Barat, dan menjadi besar di Gummersbach, sebuah kota menengah. Kontras antara
suasana keluarga yang borjois-Protestan dengan lingkungan masyarakat yang Katolik membuah
Habermas peka terhadap ketegangan-ketegangan dalam masyarakat.1
Habermas bertolak dari teori kritis masyarakat Marx Horkheimer dan Theodor W.
Adorno, ia mau “mengembangkan gagasan sebuah teori masyarakat yang dicetuskan dengan
maksud praktis”. Walau pada akhirnya ia menolak beberapa aspek dari teori mereka khususnya
tentang pesimisme budaya Horkheimer dan Adorno.2 Yang khas dari Habermas adalah ia
mengembangkan pemikirannya dalam diskursus yang terus menerus dengan pemikir-pemikir
lain : Karl Marx, Max weber, Emile Durkheim, Goerge-Herbert Mead, Georg Lukacs, Max
Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Yang berseberangan dengan Habermas : Karl Popper,
Niklas Luhman, Herbert Marcuse, Sigmund Frued, Gadamer, John L. Agustin, Talcott Parson
dan Hannah Arendt. Semuanya telah membantu Habermas dalam menjernihkan apa yang
dicarinya. Dan ada satu lagi yang sangat berpengarh dalam pemikiran Habermas, yaitu Immanuel
Kant, karena pada hakekatnya ia adalah Kantian par exellence.3
Salah satu karya Habermas yang banyak mengupas tentang demokrasi deliberatif
adalah Faktizitas und Geltung, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris : Between Facts and
Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy. Buku telah menjadi bukti
komitmen Habermas terhadap negara hukum demokratis.Faktizitas und Geltung lahir dari
1 Ibid., hlm. 4-52 Menurut Horkheimer dan Adorno, usaha manusia untuk membebaskan diri dari mitos malah menjebak manusia dalam mitos lebih irrasional lagi : mitos rasionalitas. “Proyek pencerahan” Habermas antara lain mengajak kebebasan berfikir manusia dalam rangka menghadapi tendensi-tendensi mitologis baru dan memastikan kembali sumber daya rasionalitas. Lihat Ibid., hlm. 43 Ibid., hlm. 4-6
asumsi Habermas bahwa “negara hukum tidak dapat diperoleh maupun dipertahankan tanpa
demokrasi radikal”.4
Dalam demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakan-
kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid isolation), tetapi
masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat
signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan publik menjadi
arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif.
Kata “deliberasi” berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya “konsultasi”,
“menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses
pemberian alasan atas sesuatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi
publik atau lewat – dalam kosa kata teoritis Habermas – “diskursus publik”.5
Tentu saja demokrasi deliberatifnya Habermas adalah hasil ketegangan kreatif (creative
tention) yang panjang dalam sejarah pemikiran tentang hukum, negara dan demokrasi. Paling
tidak ada dua tradisi kenegaraan modern yang menjadi representasi dari creative tention ini yaitu
tradisi liberal yang bermula dari John Locke dan tradisi republiken yang meneruskan paham
kenegaraan Rousseau.6
Tradisi liberal memandang hukum dan negara secara utilitaristik sebagai lembaga-
lembaga yang perlu untuk menjamin kebebasan-kebebasan warga masyarakat. Negara bukan
tujuan pada dirinya sendiri, melainkan lembaga yang menciptakan kondisi keamanan yang
diperlukan agar warga masyarakat dapat hidup dan berusaha dengan bebas.7 Sebaliknya
Rousseau memandang hukum sebagai ekspresi kehendak umum, kehendak suci rakyat.
Mengabdikan diri pada negara adalah tugas suci. Republikanisme menegaskan bahwa negara
4 Jurgen Habermas, Between Facts and Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, (Cambridge : MIT Press, tth), hlm. 545 Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif : Model untuk Indonesia Pasca-Suharto?,dalam Basis, No. 11-12, tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 186 Franz Magnis-Suseno, op.cit., hlm. 117 Leo Strauss dan Joseph Cropsey, History of Political Philosophy, (Chicago and London : The University of Chicago Press, 1987), hlm. 476-485
tidak dapat mantab kalau hanya dianggap sebagai sarana pelayanan kebebasan individual.
Negara berhak menuntut komitmen dan pengorbanan dari warga negara.8
Habermas, sebagaimana telah disinggung di muka, menawarkan model demokrasi yang
memungkinkan rakyat terlibat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik.
Itulah demokrasi deliberatif yang menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan
hukum melalui diskursus-diskursus. Tetapi bukan seperti dalam republik moral Rousseau di
mana rakyat langsung menjadi legislator, maka dalam demokrasi deliberatif yang menentukan
adalah prosedur atau cara hukum dibentuk.9
Dalam demokrasi deliberatif, kebijakan atau hukum yang akan dibentuk dipengaruhi
oleh diskursus-diskursus yang terus-menerus (baca : mengalir) di dalam masyarakat. Di samping
kekuatan Negara dan kekuatan kapital terbentuk kekuasaan komunikatif melalui jaringan-
jaringan komunikasi publik masyarakat sipil. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil
dimainkan melalui media, pers, LSM, Organisasi massa dan lembaga-lembaga lain yang seolah-
olah dalam posisi mengepung sistem politik, sehingga negara dan perangkat kekuasaannya
terpaksa responsif terhadap diskursus-diskursus masyarakat sipil.10 Sebaliknya masyarakat sipil
bisa mengembangkan kekuasaan komunikatifnya karena dalam negara hukum demokratis
kebebasannya untuk menyatakan pendapat terlindungi. Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil
tidak menguasai sistem politik, namun dapat mempengaruhi keputusan-keputusannya.
8 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat : Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan., (Jakarta : Gramedia, 2001), hlm. 245-2539 Ibid., hlm. 12-1310 Ibid.
BAB 2
PEMBAHASAN
Bagi Habermas, pluralitas yang banyak dipahami masyarakat sebagai sumber
perpecahan justru berfungsi sebagai kontribusi dalam proses pembentukan opini dan aspirasi
publik. Komunikasi politis pada diskursus praktis dengan argumen rasional dapat menghasilkan
hukum yang legitim. Masyarakat yang membudayakan proses legislasi hukum secara demokratis
akan dirangsang untuk memobilisasi solidaritas sosial yang makin meninggalkan perspektif
etnosentris para anggotanya, karena dalam setiap komunikasi autentik para partisipan dapat
mencapai saling pemahaman dengan cara mengambil alih perspektif partner komunikasinya.
Teori tentang demokrasi deliberatif adalah suatu upaya untuk merekonstruksi proses komunikasi
dalam konteks negara hukum demokratis.11
Demokrasi Deliberatif
Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio atau deliberasi (Indonesia) yang
artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika
proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi
publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi
warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-
undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang
diperintah. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan jalan untuk
merealisasikan konsep demokrasi, Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang
diperintah).12 Demokrasi deliberatif memiliki makna tersirat yaitu diskursus praktis, formasi
opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.13
Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak
perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan
11 F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 126.12 Ibid., Hlm. 126.13 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128.
proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan
diskursif-argumentatif.”14
Dengan demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam
hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui
diskursivitas.15 Agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan fair, terlebih dahulu diperlukan
pengujian secara publik dan diskursif. Habermas menekankan adanya pembentukan produk
hukum dengan cara yang fair agar dapat mencapai legitimitas.
Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan
rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang
mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak
langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini
publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan
politik. Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah
tunduk patuh terhadap sistem.16
Ruang Publik
Habermas menegaskan bahwa ruang publik memberikan peran yang penting dalam
proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus
masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan
dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.17 Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa
intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi,
berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik. Ruang publik tidak hanya
sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi antar warga itu sendiri.
Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga
membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal,
organisasi-organisasi sukarela, dst.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst.),
14 Reiner Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Frankfrurt a.M., 1994, Hlm. 192.15 F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 127.16 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128.17 Ibid., Hlm. 128.
keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum
umum dan hak-hak dasar).18 Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak terdapat
ditengah-tengah masyarakat warga. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Dimana ada masyarakat
yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, maka disitulah akan hadir
ruang publik. Ruang publik berifat bebas dan tidak terbatas. Ia tidak terikat dengan kepentingan-
kepentingan pasar ataupun kepentingan-kepentingan politik.
Demokrasi Deliberatif di Indonesia ?
Latar locus pemikiran Habermas ini adalah kapitalisme-renta Eropa Timur atau Amerika.
Namun tidak berarti dasar pemikirannya tidak berlaku untuk konteks ke-Indonesia-an. Apalagi
(katanya) Indonesia memiliki pancasila sebagai landasan demokrasinya. Demokrasi pancasila
(katanya) mengutamakan musyawarah mufakat, dengan demikian memiliki kesamaan point
dengan demokrasi deliberatifnya Habermas.
Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang
menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di
antara para pihak dan warganegara (bukan hegemoni elit).
Keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi merupakan inti dari demokrasi deliberatif.
Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang hari ini berlaku di Indonesia
yang malah menjadi demokrasi prosedural semata.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah revitalisasi ruang publik. Ruang publik adalah
tempat bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka. Ruang publik
merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat
menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara
diskursif. Ruang publik bisa berwujud kebebasan pers, bebebasan berpartai, kebebasan berakal
sehat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berunjuk rasa, kebebasan membela diri, kebebasan
membela komunitas, otonomi daerah, independensi, dan keadilan sistem hukum (Saefullah :
2000).
18 Ibid., Hlm. 128.
Ruang publik memiliki fungsi signifikan, yakni sebagai ruang dimana opini publik yang
otentik, kritisme masyarakat terhadap kekuatan politik maupun ekonomi demi mencapai
keseimbangan dan keadilan sosial, dapat terbentuk dan tersebar luas kepada seluruh warga
negara, sekaligus sebagai penekan terhadap segala bentuk manipulasi ruang publik.
Manipulasi ruang publik ini lah yang harus “diwaspadai”. Dengan perkembangan
kapitalisme yang begitu pesat, sampai bisa menembus organ-organ publik yang semula menjadi
tempat diskusi publik seiring waktu mulai berubah fungsi. Struktur ruang publik berubah dari
ruang diskusi rasional, debat, dan konsensus menjadi wilayah konsumsi massa dan dijajah oleh
korporasi-korporasi serta kaum elite dominan.
Habermas menawarkan agenda untuk merivitalisasi ruang publik dengan cara memulai
proses pada upaya pembentukan konsensus rasional bersama dan menekankan pada opini publik
yang bersikap kritis terhadap hegemoni kekuaatan politik dan ekonomi daripada opini yang
sudah termanipulasi oleh kepentingan kelompok tertentu.
Habermas mengharapkan opini publik tersebut nantinya akan mempengaruhi proses
pengambilan putusan dalam struktur politik dan hukum yang mapan. Kapasitas yang dimiliki
ruang publik juga digunakan untuk mengawasi bagaimana sistem politik bertindak.
Demokrasi Deliberatif dan Masyarakat Heterogen
Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan multi-kepentingan yang
muncul dalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Jadi setiap kebijakan publik hendaknya
lahir dari musyawarah bukan dipaksakan oleh sekelompok elit saja.
Sudah saatnya Indonesia harus mampu mewujudkan suatu sistem politik dan
pemerintahan yang memberi ruang bebas kepada warga negara untuk beraspirasi melalui organ-
organ publik di ruang publik. Ruang publik yang bersifat bebas, terbuka, mudah diakses oleh
semua orang, transparan dan otonom. Tak ada pihak lain (negara/pemodal) yang mengintervensi
ruang ini. Diskusi-diskusi publik harus segera mendapat tempat dalam kehidupan bermasyarakat,
sehingga kebijakan publik yang hadir adalah benar-benar hasil demokrasi deliberatif.
Hugo Chavez di Venezuela, dengan acara mingguannya, Alo Presidente, bisa menjadi
salah satu contoh konkret pembentukan ruang publik. Dengan mata telanjang, rakyatnya dapat
melihat bagaimana komunikasi bebas dominasi terealisasikan. Atau dengan pemebentukan
dewan komunalnya didaerah-daerah Venezuela yang menjadi ruang publik untuk menentukan
aspirasi anggota masyarakat.
Komitmen pemimpin akhirnya menentukan. Ruang publik sebagai manifestasi demokrasi
deliberatif sulit terwujud bila tidak ada political will dari negara. Habermas memang tidak
menganjurkan sebuah revolusi, namun jika negara tidak memperlihatkan itikad baiknya untuk
lebih bersikap akomodatif dan responsif, maka tak ada salahnya rakyat sendiri lah yang
memperjuangkan, bahkan merebutnya.19
BAB 3
PENUTUP
19 http://www.dodifaedlulloh.com/2011/04/oleh-dodi-faedlulloh-avant-propos-pasca.html diakses 18-June-2013, pukul: 10:52 pm
Masyarakat kompleks terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk komunikasi yang
saling tumpang tindih dan terkait dengan berbagai kepentingan, gaya hidup dan orientasi nilai
kultural, sosial, serta religius. Identitas antara kehendak pemerintah dan rakyatnya sulit dicapai.
Kedaulatan rakyat tidak bisa dibayangkan secara konkrit. Kedaulatan rakyat dalam masyarakat
kompleks cukup dibayangkan sebagai “kontrol atas pemerintah melalui opini publik”. Maka,
kedulatan rakyat bukanlah bentuk demokrasi langsung, melainkan demokrasi perwakilan plus
vitalisasi ruang publik politis.20 Bagi Habermas, suatu negara dapat disebut berdaulat ketika
negara (pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dapat tersambung secara diskursif
dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Teori demokrasi deliberatif
tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan
melancarkan kegiatan diskursus publik di pelbagai bidang sosial-politis-kultural untuk
meningkatkan partisipasi demokratis warga negara.21
Pada gagasan teori politik demokrasi deliberatif, Habermas optimis bahwa jurang
pemisah yang ada antara lembaga pemerintah (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan lembaga
non-pemerintah (para akademisi, pers, cendekiawan, mahasiswa, aktifis LSM, dan sebagainya),
dapat terjembatani lewat jalan komunikasi politis. Menurut Habermas, masyaraktat kompleks
dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan-desakan birokrasi negara
dengan cara menyambungkan antara sistem politik demokrasi deliberatif dengan ruang publik.
20 F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 129.21 Ibid., Hlm. 129.