bab 1234 ppb baru
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses penyesuaian peran seorang wanita yang menjadi ibu baru
setelah melahirkan tidak selalu sama seperti pada gambaran seorang ibu yang
menatap wajah bayinya penuh cinta dan bahagia. Ada pula kasus dimana
seorang ibu setelah melahirkan menolak melihat, menyentuh bahkan tidak
mau berkontak dengan bayi yang telah dilahirkannya. Bahkan ada pula yang
menjadi benci pada suaminya, merasa tidak percaya diri, cemburu dan rasa
ditinggalkan, ada pula seorang ibu yang merasa bersaing dengan kehadiran
bayi baru diantara ia dan suaminya, inilah yang dimaksud dengan keadaan
postpartum blues (Kompas, 2012).
Prevalensi postpartum blues di Tanzania sebanyak 80% sementara di
Jepang 8%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kriteria diagnosis dan
metodologi penelitian yang berbeda pada masing-masing penelitian. Di Asia,
prevalensi terjadinya depresi pasca persalinan antara 3,5% hingga 63,3%
dimana Malaysia dan Pakistan menjadi peringkat yang terendah dan tertinggi.
Psikosis pasca persalinan sudah dikenal sejak jaman Hipokrates, kejadian ini
relatif jarang. Meskipun angka kejadiannya 1–4 per1000 kelahiran, psikosis
pasca persalinan merupakan salah satu kasus kegawat daruratan di bidang
obstetri (Stone & Menken, 2008).
Secara global diperkirakan 20% wanita melahirkan menderita
postpartum blues. Di Belanda tahun 2001 diperkirakan sekitar 2-10% ibu
melahirkan mengidap gangguan ini. Suatu penelitian di negara yang pernah di
lakukan seperti di Swedia, Australia, dan Indonesia dengan menggunakan
EDPS (Endinburg Postnatal Depresion Scale) tahun 1993 menunjukkan 73%
wanita mengalami postpartum blues (Indocina, 2008).
Postpatum Blues merupakan periode emosional stres yang terjadi
antara hari ke-3 dan ke-10 setelah persalinan yang terjadi 80% pada ibu
postpartum. Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kondisi ini, yaitu:
1. Perubahan kadar hormon yang terjadi secara cepat.
2
2. Ketidaknyamanan yang tidak diharapkan (payudara bengkak, nyeri
persalinan).
3. Kecemasan setelah pulang dari rumah sakit atau tempat bersalin.
4. Menyusui ASI.
5. Perubahan pola tidur (Bahiyatun, 2009).
Tidak ada perawatan khusus untuk postpartum blues jika tidak ada
gejala yang signifikan. Empati dan dukungan keluarga serta staf kesehatan
diperlukan. Jika gejala tetap ada lebih dari 2 minggu diperlukan bantuan
profesional (Bahiyatun, 2009).
Post partum blues akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 10
hingga 14 hari pascapartum. Kurangnya pemahaman para suami tentang
keadaan postpartum blues (baby blues) seringkali menimbulkan kesalah
pahaman keluarga baru. Seorang suami hendaknya memberikan dukungan
mental dan membesarkan hati istri agar perlahan-lahan mampu menerima
perubahan baru dalam kehidupannya sebagai seorang ibu.
Membantu merawat bayi dan memberikan waktu tidur istirahat yang cukup
selama masa postpartum blues berlangsung dan ketika ada waktu senggang
membantu meringankan keluhan ringan akibat keletihan melewati proses
persalinan dengan pijatan ringan dibahu dan punggung akan menciptakan
hubungan yang harmonis dan menentukan apakah seorang ibu pascabersalin
akan mampu melewati masa postpartum blues tersebut dengan aman
(Kompas, 2012).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan asuhan keperawatan
post partum dengan komplikasi postpartum blues.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui proses adaptasi psikologis ibu post partum
2. Mengetahui definisi postpartum blues
3. Mengetahu etiologi postpartum blues
4. Mengetahui manifestasi klinis postpartum blues
5. Mengetahui patofisiologi postpartum blues
3
6. Mengetahui WOC postpartum blues
7. Mengetahui pemeriksaan postpartum blues
8. Mengetahui penatalaksanaan postpartum blues
9. Mengetahui komplikasi postpartum blues
10. Mengetahui prognosis postpartum blues
11. Mengetahui pencegahan postpartum blues
12. Mengetahui dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien
postpartum dengan komplikasi dengan postpartum blues
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teori
Mengetahui definisi etiologi, patofisiologi, dan manifestasi klinis
terhadap pasien dengan postpartum blues sehingga pengembangan ilmu
keperawatan khususnya keperawatan reproduksi II dapat tercapai.
1.3.2 Manfaat Praktisi
Sebagai perawat mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien
dengan postpartum blues.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Adaptasi Psikologis Ibu Post Partum
Periode post partum menyebabkan stress emosional terhadap ibu baru,
bahkan lebih menyulitkan bila terjadi perubahan fisik yang hebat. Faktor-
faktor yang mempengaruhi suksesnya masa transisi ke masa menjadi orang tua
pada masa postpartum, yaitu:
1. Respons dan dukungan dari keluarga dan teman
2. Hubungan antara penga;ama melahirkan dan harapan serta aspirasi
3. Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lain.
4. Pengaruh budaya (Bahiyatun, 2009).
Satu atau dua hari postpartum, ibu cenderung pasif dan tergantung. Ibu
hanya menuruti nasihat, ragu-ragu dalam membuat keputusan, masih berfokus
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, masih menggebu membicarakan
pengalaman bersalin. Periode ini diuraikan oleh Rubin terjadi dalam tiga
tahap, yaitu:
1. Taking in
a. Periode ini terjadi 1-2 hari sesudah melahirkan. Ibu pada umumnya
pasif dan tergantung, perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan
tubuhnya.
b. Ibu akan mengulang-ulang pengalamannya waktu bersalin dan
melahirkan.
c. Tidur tanpa gangguan sangat penting untuk mencegah gangguan tidur.
d. Peningkatan nutrisi mungkin dibutuhkan karena selera makan ibu
biasanya bertambah. Nafsu makan yang kurang menandakan proses
pengambilan kondisi ibu tidak berlangsung normal.
2. Taking hold
a. Berlangsung 2-4hari postpartum. Ibu menjadi perhatian pada
kemampuannya menjadi orang tua yang sukses dan meningkatkan
tanggung jawab terhadap janin.
b. Perhatian fungsi-fungsi tubuh (missal eliminasi).
5
c. Ibu berusaha keras untuk menguasai keterampilan merawat bayi,
misalnya menggendong dan menyusui. Ibu agak sensitive dan merasa
tidak mahir dalam melakukan hal tersebut, sehingga cenderung
menerima nasihat bidan karena ibu terbuka untuk menerima
pengetahuan dan kritikan yang bersifat pribadi.
3. Letting go
a. Terjadi setelah ibu pulang ke rumah dan sangat berpengaruh terhadap
waktu dan perhatian yang diberikan oleh keluarga.
b. Ibu mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayinya. Ibu harus
beradaptasi dengan kebutuhan bayi yang sangat tergantung pada
ibunya yang menyebabkan berkurangnya hak ibu dalam kebebasan dan
berhubungan sosial.
c. Pada periode ini umumnya terjadi depresi postpartum (Bahiyatun,
2009).
2.2 Definisi PostPartum Blues
Post partum blues atau baby blues adalah periode emosional stress
yang terjadi antara hari ke-3 dan ke-10 setelah persalinan yang terjadi 80%
pada ibu postpartum. Karakteristik kondisi ini adalah iritabilitas meningkat,
perubahan mood, cemas, pusing, serta perasaan sedih dan sendiri (Bahiyatun,
2009).
Postpartum blues atau baby blues disebut pula third day blues.
Sindrom ini muncul karena adanya perubahan hormonal yang di alami wanita
3-4 hari setelah melahirkan. Setelah melahirkan hormone esterogen dan
progesterone akan menurun drastic sehingga emosi menjadi tidak stabil.
Wanita yang terkena baby blues umumnya merasakan perasaan sedih dan
senang silih berganti dalam waktu singkat.
Baby blues adalah suatu gangguan psikologis sementara yang ditandai
dengan memuncaknya emosi pada minggu pertama pascapersalinan. Penderita
akan merasakan suasana hati yang berbahagia namun menjadi labil (Suwignyi
& Chakrawati, 2010).
Postpartum blues adalah salah satu bentuk perubahan perilaku dan
respon psikologis terhadap perubahan peran menjadi seorang ibu. Beberapa
6
kasus postpartum bluestidak hanya ditemukan pada kelahiran pertama kali,
namun dapat pula terjadi pada kasus persalinan kedua atau berikutnya.
(Kompas, 2012).
2.3 Etiologi Postpartum Blues
Penyebab baby blues adalah perubahan hormonal di dalam tubuh
wanita setelah melalui persalinan. Selama menjalani kehamilan, berbagai
hormone dalam tubuh ibu meningkat seiring pertumbuhan janin. Setelah
melalui tahap persalinan, jumlah produksi berbagai hormone seperti esterogen,
progesterone dan endorphin mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi
kondisi emosional ibu. Kelelahan fisik dan rasa sakit setelah persalinan, air
susu yang belum keluar sehingga bayi rewel dan payudara yang membengkak,
serta dukungan moril yang kurang dapat menjadi alasan timbulnya baby blues
(Suwignyi & Chakrawati, 2010).
Penyebab postpartum blues lainnya adalah kekecewaan emosional
yang mengikuti rasa puas dan takut yang dialami kebanyakan wanita selama
kehamilan dan persalinan, rasa sakit masa nifas awal, kelelahan karena kurang
tidur selama persalinan dan postpartum di rumah sakit, kecemasan tentang
kemampuannya merawat bayi setelah meninggalkan rumah sakit serta
ketakutan tentang penampilan yang tidak menarik lagi bagi suaminya
(Bahiyatun, 2009).
Emosi yang labil ditingkatkan oleh ketidaknyamanan fisik (misalnya
rasa sakit setelah melahirkan, sakit karena jahitan dan kurang tidur)
(Bahiyatun, 2009).
Faktor-faktor yang berperan menyebabkan post partum blues, yaitu:
1. Perubahan kadar hormone yang terjadi secara cepat
Penurunan kadar esterogen dan progesterone yang tiba-tiba dapat menjadi
bagian penting pada postpartum blues
2. Ketidaknyamanan yang tidak diharapkan (payudara bengkak, nyeri
persalinan)
3. Kecemasan setelah pulang dari rumah sakit atau tempat bersalin.
4. Menyusui
5. Perubahan pola tidur (Bahiyatun, 2009).
7
6. Umur relatif muda (kurang dari 20 tahun)
7. Hamil tanpa suami/yang bertanggung jawab tidak jelas.
8. Jumlah keluarga yang besar sehingga kurang mendapat perhatian.
9. Pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah (Manuaba, 2007).
10. Tuntutan atas jenis kelamin tertentu dalam suatu adat masyarakat.
11. Korban perkosaan (Kompas, 2012).
2.4 Manifestasi Postpartum Blues
Gejala–gejala postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap
seorang ibu. Gejala tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau 6 hari
setelah melahirkan. Beberapa perubahan sikap tersebut diantaranya:
1. Merasa bersalah
2. Gelisah-susah tidur
3. Mudah tersinggung
4. Pelupa-emosi labil dan kurang sabar
5. Sakit kepala
6. Fikiran negative terhadap bayinya (Manuaba, 2007).
7. Sering menangis
8. Cemas
9. Konsentrasi menurun
10. Enggan merawat bayi
11. Merasa keletihan yang sangat.
12. Gelisah
13. Menarik diri dari lingkungan
14. Menolak menyusui bayi
15. Tidak ingin menyentuh bayi (Kompas, 2012).
Gejala-gejala yang muncul merupakan gejala ringan yang berlangsung
beberapa jam atau hari dan akan hilang dalam waktu 2 minggu pertama
pascamelahirkan (Suwignyi & Chakrawati, 2010).
8
9
10
2.6 Pemeriksaan Postpartum Blues
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood / depresi merupakan
acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat
dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat bantu. Endinburgh
Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan salah satu metode untuk
mendeteksi depresi pasca persalinan. Walaupun tidak umum, EPDS dapat
dengan mudah digunakan selama 6 minggu pasca persalinan. EPDS berapa
kuisioner yang terdiri dari 10 pertanyaan mengenai bagaimana perasaan
pasien dalam satu minggu terakhir. Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan
dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-
hal lain yang terdapat pada postpartum blues (Perfetti, Clark & Fillmore,
2004).
Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap
pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor
dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu
pasca salin saat itu. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata
dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit. 7 Cox et. Al., mendapati bahwa
nilai skoring lebih besar dari 12 (dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan
nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis kejadian postpartum blues.
EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa negara seperti Belanda,
Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam
minggu pertama pasca salin dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi
pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian (Gondo, 2009).
Cara penilaian EPDS
1. Pertanyaan 1, 2, dan 4. Mendapatkan nilai 0,1,2, atau 3 denagn
kotak paling atas mendapat nilai 0 dan kotak paling bawah mendapat nilai
3.
2. Pertanyaan 3,5 sampai dengan 10. Merupakan penilaian
terbaik, dengan kotak paling atas mendapat nilai 3 dan kotak paling bawah
mendapatkan nilai 0.
3. Pertanyaan 10 merupakan pertanyaan yang menunjukkan
keinginan bunuh diri.
11
4. Nilai maksimal 30.
5. Kemungkinan depresi: nilai 10 atau lebih (Gondo, 2009).
2.7 Penatalaksanaan Postpartum Blues
Tidak ada perawatan khusus untuk postpartum blues jika tidak ada
gejala signifkan. Empati dan dukungan keluarga serta staf kesehatan
diperlukan. Jika gejala tetap ada lebih dari 2 minggu diperlukan bantuan
professional (Bahiyatun, 2009).
Pada sebagian besar kasus postpartum blues tidak diperlukan terapi,
kecuali antisipasi, pemahaman dan rasa aman. Gangguang ringan dari
postpartum blues akan hilang dengan sendirinya dan membaik setelah 2 atau 3
hari, meskipun kedangkala menetap sampai 10 hari (Bahiyatun, 2009).
Bila suami dan keluarga menemukan adanya tanda-tanda seorang ibu
pascapartum mengalami keluhan demikian, hendaknya tidak menyikapi
dengan mendikte dan menganggap perubahan situasi kejiwaan itu sebagai
penolakan fungsi dan peran sebagai ibu baru dari sang istri, perasaan manja,
dan sebagainya. Seorang suami hendaknya memberikan dukungan mental dan
membesarkan hati istri agar perlahan-lahan mampu menerima perubahan baru
dalam kehidupannya sebagai seorang ibu. Membantu merawat bayi dan
memberikan waktu tidur istirahat yang cukup selama masa postpartum
blues berlangsung dan ketika ada waktu senggang membantu meringankan
keluhan ringan akibat keletihan melewati proses persalinan dengan pijatan
ringan dibahu dan punggung akan menciptakan hubungan yang harmonis dan
menentukan apakah seorang ibu pascabersalin akan mampu melewati masa
postpartum blues tersebut dengan aman (Kompas, 2012).
Pengobatan psikoterapi, obat-obatan penenang, dan peningkat suasana
hati atau gabungan obat-obat ini dapat diindikasikan. Beberapa wanita
mungkin membutuhkan ECT, rawat inap mungkin diperlukan untuk mencegah
cedera diri atau kekejaman terhadap bayi dan bila ada ansietas yang tidak
tertahankan atau kelainan tingkah laku yag tidak terkontrol (Katona, Cooper &
Robertson, 2012).
12
2.8 Komplikasi Postpartum Blues
Postpartum blues yang berkelanjutan dan berlangsung lama merupakan
pertanda postpartum depression. Postpartum depression berhubungan dengan
depresi yang dialami wanita selama kehamilan (Suwignyi & Chakrawati,
2010).
2.9 Prognosis
Episode tungga depress (postpartum blues) biasanya berlangsung 3-8
bulan.sekitar 20% pasien tetap depresi selama 2 tahun atau lebih dan sekitar
50% memiliki episode ulangan; angka ini meningkat menjadi 80% pada kasus
berat, seperti pada kasus yang memerlukan rawat inap. Episode ulanga
memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih berat denga periode bebas
penyakit yang semakin pendek. Hal ini menekankan pentingnya profilaksis.
Risiko bunuh diri selama hidup adalah 15% pada depresi berat, kesuksesan
terapi jangka pendek maupun jangka panjag dari depresi mengurangi angka
kejadian bunuh diri dan angka morbiditas dan mortalitas secara umum.
Prediksi dari hasil yang buruk termasuk onset awal, keparahan gejala awal,
dan penyakit fisik atau psikiatri yang terjadi secara bersamaan (Katona.
Cooper & Robertson, 2012).
2.10 Pencegahan
Hingga saat ini, memang belum ada jalan keluar yang mujarab untuk
menghindari postpartum blues. Yang bisa dilakukan, hanyalah berusaha
melindungi diri dan mengurangi resiko tersebut dari dalam diri. Sikap
proaktif untuk mengetahui penyebab dan resikonya, serta meneliti faktor-
faktor apa saja yang bisa memicu juga dapat dijadikan alternatif untuk
menghindari postpartum blues. Selain itu juga dapat mengkonsultasikan
pada dokter atau orang yang profesional, agar dapat meminimalisir faktor
resiko lainnya dan membantu melakukan pengawasan. Berikut ini beberapa
kiat yang mungkin dapat mengurangi resiko postpartum blues yaitu :
1. Komunikasikan secara terbuka kepada pasangan, keluarga dan teman
mengenai hal-hal yang ibu rasakan.
13
2. Meluangkan waktu untuk diri sendiri ketika bayi sedang tidur atau tidak
sedang menyusu.
3. Menggunakan waktu untuk beristirahat dengan cukup.
4. Meminta bantuan kepada orang-orang disekeliling ibu untuk melakukan
pekerjaan rumah tangga dan mengasuh bayi (Suwignyi & Chakrawati,
2010).
14
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Ny. Y 27 tahun, primigravida. Post partum pervaginam hari ke-9. Klien
mengeluhkan lelah yang berkepanjangan serta merasa produksi ASI sedikit
sehingga bayi harus di suply susu formula. Klien merasa tidak berdaya dan
merasa gagal menjadi ibu karena tidak bisa memberikan ASI eksklusif sesuai
harapannya saat hamil. Dia bercerita bahwa dia merasa sangat tertekan saat
bangun tengah malam dan bayinya menangis sedangkan ASInya sedikit. Selama 3
hari ini klien sudah mengalami sulit tidur. Dokter mendiagnosa ibu mengalami
post partum blues.
3.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Diri
Nama : Ny. Y
Usia : 27 tahun
Bangsa : Indonesia
Diagnosa masuk : Post Partum Blues
2. Keluhan Utama
Produksi ASI yang sedikit
3. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien primigravida post partum pervaginam hari ke-9. Pasien merasa
lelah berkepanjangan dan produksi ASI nya sedikit. Pasien merasa
tertekan saat bangun tengah malam dan bayi nya menangis sedangkan
produksi ASI sedikit. Pasien sudah 3 hari mengalami sulit tidur.
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
“belum terkaji”
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
“belum terkaji”
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Pasien tampak lelah
b. Kesadaran
15
Pasien dalam keadaan compos mentis atau dalam keadaan sadar penuh
c. Tanda – Tanda Vital
Normal
5. Pemeriksaan Head to Toe
1) Rambut
Rambut pasien tidak mengalami allopesia tetapi tampak kusam,
kering dan tidak tertata rapi. Pasien belum pernah keramas sejak
selesai persalinan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur
(istirahat) karena pasien mengeluhkan kelelahan yang sangat.
2) Kepala
a. Raut muka : pasien tampak sangat kelelahan, mood pasien tampak
sering berubah – ubah
b. Mata : konjungtiva pasien normal. Kantung mata pasien tampak
membesar disebabkan rasa kantuk yang berlebihan karena sering
bangun tengah malam
c. Telinga : tidak ditemukan adanya sekret pada telinga (dengan cara
menarik daun telinga kearah bawah belakang)
d. Hidung : tidak ditemukan adanya sekret atau pembuntuan pada
saluran nafas pasien.
e. Bibir : mukosa bibir tampak kering
f. Rongga mulut : mukosa mulut tampak lembab. Bau mulut pasien
sedikit berbau tidak sedap karena kurangnya melakukan personal
hygiene mulut.
g. Gigi : tidak tampak adanya karies gigi maupun infeksi gigi.
3) Leher
Pada leher tidak tampak adanya koloid maupun pembesaran
tiroid pada leher pasien. Tetapi masih tampak adanya cloasma
(jelaskan ke pasien bahwa cloasma ini tidak membekas melainkan
akan hilang hilang dengan sendirinya)
16
4) Dada
a. Pernafasan : bentuk dada dan pergerakan dada tampak simetris,
tidak tampak adanya retraksi dada, perkusi lapang dada
menunjukkan peka, bunyi paru terdengar vesikuler.
b. Payudara : payudara tampak besar dan keras dengan ukuran
payudara yang simetris, kondisi puting tampak bersih dan
menonjol, aerola tampak luas, tidak teraba adanya benjolan pada
payudara (dengan cara palpasi payudara searah), produksi ASI
sedikit (dengan cara memencet daerah aerola)
5) Abdomen
a. Inspeksi : kondisi perut tidak tampak kembung, tampak adanya
striae
b. Auskultasi : bising usus 10x/menit (normal)
c. Perkusi : terdengar tymphani
d. Palpasi : fundus uteri teraba setinggi pertengahan pusat simfisis
pubis, kandung kemih tidak teraba penuh, tidak teraba adanya
skibala pada kuadran IV
6) Ekstermitas
a. umum : CRT menunjukkan 1 detik, akral tampak kering merah dan
teraba hangat, turgor kulit baik, tidak tampak adanya
pembengkakan pada daerah axilla atau timbul mamae abaranch,
tangan dan kuku tampak bersih, kekuatan otot baik
b. Bawah : kondisi kaki tampak bersih. Tidak ditemukan adanya
varises dibawah lutut maupun adanya oedema di pretibia (dengan
cara pitting oedema)
7) Perineal
a. Umum : pasien sudah mampu berkemih, masih memerlukan
bantuan saat pengantian pembalut
b. Vulva dan vagina : kondisi vulva dan vagina tampak kendur
sedangakan rugae dan labia tidak tampak menonjol (jelaskan
kepada pasien bahwa vulva dan vagina akan kembali pada keadaan
saat tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur – angsur
17
akan muncul kembali sementara labia akan menjadi lebih
menonjol), kondisi lochia tampak berwarna kuning cairan dan
tidak berdarah lagi, tidak tampak adanya pembengkakan pada
vulva, kondisi jahitan tampak baik.
c. Serviks : serviks belum menutup sempurna (jelaskan ke pasien
bahwa serviks akan menutup sempurna pada 6 minggu setelah
persalinan)
d. Perineum : kondisi perineum tampak kendur
8) Anus
pasien tidak mengalami kesulitan buang air besar, tidak tampak
adanya hemoroid (dengan cara memiringkan pasien ke salah satu sisi
kemudian menekuk kaki yang berada dibagian atas)
6. Riwayat Psikososial
Pasien merasa tidak berdaya dan gagal menjadi ibu karena produksi
ASI nya sedikit sehingga tidak dapat memberikan ASI eksklusif sesuai
harapannya saat hamil. Pasien juga mengeluhkan lelah yang
berkepanjangan dan merasa tertekan saat bangun tengah malam dan
bayinya menangis sedangkan ASI nya sedikit.
7. Personal Hygiene & Kebiasaan
“tidak terkaji”
8. Riwayat Spiritual
“tidak terkaji”
3.2 Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1. DS : ibu merasa tidak puas
selama menyusui
karena ASI yang
keluar sedikit sehingga
ditambahkan susu
formula
DO: suplay susu yang tidak
Perasaan lelah
berkepanjangan
↓
Stres psikologis
↓
Produksi oksitosin ↓
↓
Ketidakefektifan
pemberian ASI
18
adekuat, ibu merasa
lelah yang
berkepanjangan. Anak
tetap rewel walau
sudah diberi ASI
Produksi ASI ↓
↓
Ketidakefektifan
pemberian ASI
2. DS : ibu merasa gagal dan
tidak berdaya dalam
merawat anak karena
tidak bisa memberikan
ASI eksklusif
DO: ibu tidak dapat
beraktifitas seperti
semula karena lelah
saat bangun tengah
malam. Ibu tidak bisa
memberikan ASI
karena yang keluar
hanya sedikit
Produksi ASI ↓
↓
Anak rewel
↓
Ibu merasa gagal
menjadi ibu
↓
Konflik peran
menjadi orang tua
Konflik peran
menjadi orang
tua
3. DS : ibu merasa tertekan,
gagal dalam menjadi
ibu.
DO : ibu merasa kelelahan
saat bangun tengah
malam.
Produksi ASI ↓
↓
Anak rewel
↓
Ibu merasa kelelahan
saat mengurus anak
↓
Support keluarga
rendah
↓
Memperburuk
kondisi kelelahan ibu
↓
Ibu putus asa
Ketidakefektifan
koping keluarga
19
↓
Ketidakefektifan
koping keluarga
4. DS= ibu merasa gagal
karena produksi ASI
sedikit.
DO= ibu tidak tahu tentang
proses laktasi, dan
minimnya support sistem
dari keluarga.
Ibu merasa tertekan
dan lelah
↓
Produksi ASI ↓
↓
Ibu cemas
↓
Ibu tidak tahu proses
laktasi
↓
Defisit pengetahuan
tentang manajemen
laktasi
Defisit
pengetahuan
tentang
manajemen
laktasi
5. DS: ibu merasa lelah,
merasa tidak mampu
memberi ASI eksklusif
DO: ibu mengalami
gangguan tidur,
menyalahkan diri
sendiri karena tidak
dapat menjadi bu
sesuai harapan saat
hamil, tidak mampu
menyelesaikan
masalah
Ibu post partum
↓
Perubahan hormonal
mendadak
↓
Perubahan
mood&depresi
↓
Emosi labil
↓
Koping individu
inefektif
Koping individu
inefektif
6. DS: ibu mengatakan
produksi ASInya
sedikit, merasa
tertekan, lelah, tidak
Perasaan lelah
berkepanjangan
↓
Stres psikologis
Ansietas
20
berdaya dan gagal
menjadi ibu.
DO: ibu mengalami
gangguan tidur karena
sering terbangun saat
malam hari
↓
Produksi oksitosin ↓
↓
Produksi ASI ↓
↓
Ansietas
7. DS: ibu mengatakan selama
3 hari ini susah tidur,
sering terbangun
malam hari karena
anaknya menangis
DO: ibu mengalami
penurunan proporsi
tidur, saat tidur
terganggu dengan
tangisan anaknya yang
kelaparan
Perasaan lelah
berkepanjangan
↓
Stres psikologis
↓
Ibu merasa tertekan
↓
Sering terbangun
malam hari
↓
Gangguan pola tidur
Gangguan pola
tidur
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kecemasan ibu atas
produksi ASInya yang sedikit
2. Konflik peran menjadi orang tua berhubungan dengan kurang kesiapan
secara kognitif sebagai ibu
3. Ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan krisis situasi dari
orang terdekat ibu.
4. Defisit pengetahuan tentang manajemen laktasi berhubungan dengan
kurangnya pengalaman melahirkan (primigravida)
5. Koping individu inefektif berhubungan dengan tidak adekuatnya tingkat
kepercayaan ibu terhadap kemampuan untuk melakukan koping
6. Ansietas berhubungan dengan stres karena produksi ASI yang menurun
21
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan keletihan karena sering
terbangun saat malam hari untuk menyusui anaknya.
3.4 Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kecemasan ibu atas
produksi ASInya yang sedikit
Tujuan: ibu dan bayi akan mengalami pemberian ASI efektif
Kriteria Hasil: bayi dan ibu akan menunjukkan kemantapan menyusu
seperti
a. Sikap dan penempelan yang sesuai
b. Penambahan berat badan sesuai usia
c. Kepuasan bayi dan ibu setelah menyusu dan menyusui
d. Menggambarkan peningkatan kepercayaan diri terkait dengan menyusui
e. Mengenali tanda penurunan suplai ASI
No Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan bayi untuk
menempel dan mengisap secara
efektif
Mengetahui cara
menyusui ibu apakah
sudah efektif atau tidak
2. Tentukan keinginan dan motivasi
ibu untuk menyusi
Keiginan dan motivasi
ibu mempengaruhi
produksi ASI
3. Intruksikan ibu dan keluarga dalam
teknik menyusui yang meningkatkan
keterampilan dalam menyusui
bayinya
Pertimbangkan teknik
relaksasi, posisi yang
nyaman dan stimulasi
pada bayi untuk
meneruskan menyusui
agar ASI dapat
terproduksi lebih banyak
4. Instruksikan pada ibu dan keluarga
tentang kebutuhan untuk istirahat
yang adekuat dan asupan cairan
Istirahat yang adekuat dan
asupan cairan yang cukup
membantu dalam proses
menyusui
5. Tingkatkan jumlah menyusui sesuai Agar bayi tidak rewel
22
kebutuhan untuk bayi yang
menangis atau terbangun
sehingga ibu dapat
beristirahat kembali
6. Tawarkan makanan atau cairan
untuk ibu selama siang dan sore hari
sebelum waktu menyusui
Membantu memberi
tenaga dan nutrisi bagi
ibu agar tidak kelelahan
setelah menyusui
2. Konflik peran menjadi orang tua berhubungan dengan kurang kesiapan
secara kognitif sebagai ibu
Tujuan: kesiapan pengasuhan, penyesuaian psikososial, perubahan hidup
dan penampilan peran
Kriteria Hasil:
a. Penggunaan dukungan sosial yang tersedia
b. Memberikan kebutuhan fisik anak
c. Mengungkapkan rasa keadekuatan dalam memberikan kebutuhan
anak
d. Menunjukkan kemampuan untuk memodifikasi peran menjadi
orang tua sebagai respons terhadap krisis.
No Intervensi Rasional
1. Identifikasi efek-efek perubahan
peran pada proses keluarga
Menegtahui penyebab
dari rasa kegagalan ibu
menjadi orang tua
2. Ajarkan perilaku peran baru yang
diciptakan oeh situasi krisis
Agar adaptasi ibu dapat
berjalan sukses
3. Jelaskan alasan untuk penanganan
dan dukung mereka untuk bertanya
Agar meminimalkan
kesalahpahaman dan
memaksimalkan
partisipasi dari orang tua
4. Ajarkan anggota keluarga untuk
menggunakan dukungan mekanisme
yang telah ada
Meningkatkan partisipasi
keluarga untuk merawat
anak, agar ibu tidak
merasa stres
23
5. Bantu orang tua untuk
mengidentifikasi kekuatan seseorang
dan keterampilan koping
Hal tersebut dapat
digunakan dalam
menyelesaikan krisis yang
dialami ibu
6. Berikan penguatan positif untuk
tindakan orang tua yang konstruktif
Agar ibu tetap semangat
dan tidak putus asa dalam
menyusi anaknya
3. Ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan krisis situasi dari
orang terdekat ibu.
Tujuan: keluarga akan menyadari kebutuhan ibu
Kriteria Hasil:
a. Keluarga mulai menunjukkan keterampilan interpersonal secara
efektif
b. Berpartisipasi dalam perencanaan perawatan
c. Mengungkapkan perasaan yang tidak terselesaikan
d. Menunjukkan kemampuan untuk menyelesaikan konflik
No Intervensi Rasional
1. Kaji interaksi antara pasien dan
keluarga sadari potensial tingkah
laku yang merusak
Jika terjadi kekerasan
dalam keluarga akan
sangat mengganggu
psikologis ibu
2. Berikan informasi tentang
perubahan kesehatan spesifik dan
keterampilan koping yang
dibutuhkan
Kesesuaian koping
terhadap perubahan
kesehatan membantu
dalam menangani proses
penyembuhan
3. Tingkatkan hubungan saling
percaya, keterbukaan dalam
keluarga
BHSP sangat membantu
dalam menangani
perasaan tertekan ibu
4. Bantu keluarga dalam mengambil
keputusan dan memecahkan masalh
Support keluarga sangat
dibutuhkan bagi ibu
24
5. Berikan umpan balik kepada
keluarga yang berkaitan dengan
koping mereka
Agar keluarga
mengetahui bahwa apa
yang mereka lakukan
telah sesuai
4. Defisit pengetahuan tentang manajemen laktasi berhubungan dengan
kurangnya pengalaman melahirkan (primigravida)
Tujuan: ibu paham tentang proses menyusui
Kriteria Hasil:
a. Ibu akan mengidentifikasi keperluan untuk penambahan informasi
tentang menyusui
b. Menunjukan kemampuan menyusui dengan baik dan benar
c. Pengembangan strategi untuk mengubah kebiasaan menyusui
d. Pelaksanaan aktivitas pemantauan diri
No Intervensi Rasional
1. Menyiapkan ibu untuk memahami
secara mental terhadap prosedur
atau penanganan yang dianjurkan
Agar ibu mampu
mempraktekannya secara
mandiri dengan baik dan
benar
2. Tentukan motivasi ibu untuk
mempelajari informasi tentang
menyusui
Motivasi yang tinggi
sangat membantu dalam
proses belajar ibu
3. Ajarkan ibu dan keluarga mengenai
pemeliharaan dan perawatan fisik
yang diperlukan selama tahun
pertama kehidupan
Mempersiapkan ibu dan
keluarga agar dapat
merawat anak sesuai
dengan kebutuhannya
4. Memberikan pengajaran sesuai
dengan tingkat pemahaman ibu dan
keluarga, mengulangi informasi bila
diperlukan
Agar ibu mampu
menyerap informasi
secara sempurna sehingga
ibu tidak tertekan lagi
5. Berinteraksi dengan ibu dan
keluarga dengan cara yang tidak
Agar proses belajar dapat
berjalan dengan baik dan
25
menghakimi untuk memfasilitasi
pengajaran
tidak terjadi
miskomunikasi
6. Cek keakuratan umpan balik dari
ibu
Untuk mempastikan
bahwa ibu memahami
tentang manajemen
laktasi dengan baik
5. Koping individu inefektif berhubungan dengan tidak adekuatnya tingkat
kepercayaan ibu terhadap kemampuan untuk melakukan koping
Tujuan: menunjukkan koping yang efektif
Kriteria Hasil:
a. Mencari informasi terkait dengan penyakit dan pengobatan
b. Melaporkan penurunan prasaan negatif
c. Mengidentifikasi kekuatan personal yang dapat mengembangkan
koping yang efektif
d. Berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan
No Intervensi Rasional
1. Identifikasi pandangan pasien
terhadap kondisinya dan
kesesuaiannya dengan pandangan
pemberi layanan kesehatan
Mengetahui perasaan ibu
serta kemampuan
adaptasinya
2. Bantu ibu untuk beradaptasi dalam
menerima stresor, perubahan atau
ancaman yang berpengaruh pada
pemenuhan kebutuhan dan peran
dalam kehidupan
Agar ibu tidak merasa
tertekan dan mampu
beradaptasi dengan baik
3. Anjurkan ibu untuk menggunakan
teknik relaksasi sesuai dengan
kebutuhan
Meningkatkan
relaksasi/fokus perhatian
untuk pemutusan stress
4. Evaluasi kemampuan pasien dalam
membuat keputusan
Untuk mengetahui
seberapa baik ibu dalam
mengambil keputusan
26
yang benar
5. Dukung pengungkapan secara
verbal tentang perasaan, persepsi
dan ketakutan
Agar ibu mampu
mengungkapkan
perasaanya secara terbuka
6. Bantu ibu untuk mengidentifikasi
sistem pendukung yang tersedia
Agar ibu tahu bahwa ada
orang terdekat yang dapat
membantunya disaat
tertekan
6. Ansietas berhubungan dengan stres karena produksi ASI yang menurun
Tujuan: ansietas berkurang ditunjukan kemampuan ibu untuk mengontrol
ansietasnya
Kriteria Hasil:
a. Merencanakan strategi koping untuk situasi yang membuat stres
b. Manifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada
c. Mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan negatif secara tepat
d. Menunjukan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan
ketrampilan yang baru
No Intervensi Rasional
1. Instruksikan ibu tentang penggunaan
teknik relaksasi
Meningkatkan
relaksasi/fokus perhatian
untuk pemutusan stress
2. Minimalkan kekhawatiran,
ketakutan, berprasangka atau rasa
gelisah
Jika ibu tenang, maka ia
mampu beradaptasi
dengan baik
3. Kolaborasi dengan dokter untuk
memberikan pengobatan untuk
mengurangi ansietas sesuai dengan
kebutuhan
Jika ansietas ibu semakin
meningkat dan tidak ada
tanda relaksasi
4. Bantu ibu untuk memfokuskan pada
situasi saat ini
Sebagai alat untuk
mengidentifikasi
mekanisme koping yang
27
dibutuhkan untuk
mengurangi ansietas
5. Yakinkan ibu kembali dengan
menyentuh, saling membri empatik
secara verbal dan nonverbal, dorong
ibu untuk mengekspresikan
kemarahan dan iritasi serta izinkan
ibu untuk menangis
Pengekspresian emosi ibu
dapat mengurangi rasa
tertekan ibu saat
mengurus anaknya
6. Beri dorongan kepada orang tua
untuk menemani anak sesuai dengan
kebutuhan
Support dari orang
terdekat merupakan
dukungan terkuat bagi ibu
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan keletihan karena sering
terbangun saat malam hari untuk menyusui anaknya.
Tujuan: ibu mampu tidur dengan tingkat dan pola yang sesuai
Kriteria Hasil:
a. Jumlah jam tidur tidak terganggu
b. Menunjukan kesejahteraan fisik dan psikologis
c. Terjaga dengan waktu yang sesuai
d. Mengidentifikasi tindakan yang dapat meningkatkan tidur
No Intervensi Rasional
1. Pantau pola tidur ibu dan catat
hubungan faktor fisik dan faktor
psikologis yang dapat menganggu
pola tidur ibu
Mengetahui pola tidur ibu
agar dapat menyesuaikan
dengan pola tidur anak
2. Yakinkan kembali ibu bahwa
iritabilitas dan perubahan mood
adalah konsekuensi umum yang
menyebabkan deprivasi tidur
Membantu
menghilangkan perasaan
tertekan ibu agar tidur
menjadi nyaman walau
hanya sebenta
3. Fasilitasi untuk mempertahankan
rutinitas waktu tidur ibu,
Membersihkan diri
sebelum tidur membantu
28
pertanda/keperluan sebelum tidur
jika diperlukan
meningkatkan
kenyamanan saat tidur
4. Hindari suara yang keras dan
penggunaan lampu saat tidur malam,
beri lingkungan yang tenang, damai
dan minimalkan gangguan
Menghilangkan faktor
lingkungan yang dapat
mengganggu tidur
5. Lakukan pijatan yang nyaman,
pengaturan posisi dan sentuhan
efektif
Membantu meningkatkan
kenyamanan saat tidur
6. Sesuaikan jadwal tidur ibu dengan
waktu tidur anak
Mengefisiensikan tenaga
sehingga saat ibu terjaga
tidak terlalu kelelahan
29
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Postpartum blues (PPB) atau sering juga disebut maternity blues atau
baby blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang
sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan. Postpartum blues
ini dikategorikan sebagai sindroma gangguan mental yang ringan.
Penyebab pasti terjadinya postpartum blues sampai saat ini belum
diketahui. Faktor-faktor yang berperan menyebabkan post partum blues,
yaitu:
1. Perubahan kadar hormone yang terjadi secara cepat.
Penurunan kadar esterogen dan progesterone yang tiba-tiba dapat
menjadi bagian penting pada postpartum blues
2. Ketidaknyamanan yang tidak diharapkan (payudara bengkak, nyeri
persalinan)
3. Kecemasan setelah pulang dari rumah sakit atau tempat bersalin.
4. Menyusui
5. Perubahan pola tidur
6. Umur relatif muda (kurang dari 20 tahun)
7. Hamil tanpa suami/yang bertanggung jawab tidak jelas.
8. Jumlah keluarga yang besar sehingga kurang mendapat perhatian.
9. Pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah
10. Tuntutan atas jenis kelamin tertentu dalam suatu adat masyarakat.
11. Korban perkosaan.
Gejala–gejala postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap
seorang ibu. Gejala tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau 6 hari
setelah melahirkan. Beberapa perubahan sikap tersebut diantaranya seperti
insomnia, mudah sedih, depresi, ansietas, gangguan konsentrasi, iritabilitas,
dan labilitas efek, sering berganti mood, tidak mau makan, dan tidak
bergairah.
Endinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan skrining
untuk mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca
30
salin. EPDS berupa kuisioner yang terdiri dari 10 pertanyaan mengenai
bagaimana perasaan pasien dalam satu minggu terakhir. Pertanyaan-
pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan,
perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada
postpartum blues.
Tidak ada perawatan khusus untuk postpartum blues jika tidak ada
gejala yang signifikan. Empati dan dukungan keluarga serta staf kesehatan
diperlukan. Jika gejala tetap ada lebih dari 2 minggu diperlukan bantuan
profesional.
4.2 Saran
1. Saran untuk ibu dan wanita yang sudah menikah untuk selalu
memperhatikan kesehatan serta melakukan pencegahan-
pencegahan postpartum blues.
2. Saran untuk suami dan keluarga untuk dapat memberikan dukungan
psikologi pada ibu hamil.
3. Saran untuk mahasiswa perawat untuk dapat memahami secara baik
dan benar konsep asuhan keperawatan pada ibu dengan postpartum
blues.
31
DAFTAR PUSTAKA
Bahiyatun. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC
Gondo, Harry Kurniawan. 2009. Skrining Endinburgh Postnatal Depression Scale
(EPDS) Pada Post Partum Blues. Surabaya: Bagian Obstetri & Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Katona, C. Cooper, C & Robertson, C. 2012. At a Glance Psikiatri (ed.4).
Editor:Rino Astikawati. Jakarta:Penerbit Erlangga
Kompas. (2012). Pendampingan Suami Cegah “Postpartum Blues” . Edisi 12
0ktober 2012. Diakses dari
http://health.kompas.com/read/2012/10/12/09521565/Pendampingan.Suami.C
egah.Postpartum.Blues.
Manuaba, I.B.G, I.A Chandranita Manuaba & I.B.G Fajar Manuaba. 2007.
Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC
Perfetti. J, Clark. L, Fillmore, C.M. 2004. Postpartum Depresion: Identification,
Screening, and Treatment. Wisconsin Medical Journal. 56-63
Siswosuharjo, Suwignyo & Fitria Chakrawati. 2010. Panduan Super Lengkap
Hamil Sehat. Semarang: Penebarplus
Stone, S.D. Menken, A.E. 2008. Perinatal Mood Disorder: an Introduction In
Perinatal and Postpartum Mood Disorder: Perspectives and Treatment Guide
for Health Care practicioner. Springer publising Company
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC ed.7. Jakarta: EGC