makalah plh

15
Makalah PLH BIOGEOGRAFI WILAYAH JAWA BARAT DAN SOSIOANTROPOLOGI XI RPL 01 Anggita Tg!h R"#ati R$a Fa%a& I'ana Dina& Ma!lana Rian Ra%i(!ll)h I&*an A+i Sa#!t&a S!&,a S!&,a'an Gaga Wah,!+i Pa+li Hi+a,at!ll)h Pan%i P&'ana https://hamidcell.wordpress.com/kumpulan-makalah/makalah-plh-kelas-xi_karakteristik-b sosioantropologi-wilayah-jawa-barat/

Upload: fuwa-rizaki

Post on 05-Oct-2015

156 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Pendidikan Lingkungan Hidup

TRANSCRIPT

PENGANTAR PLH KELAS XI

Makalah PLHBIOGEOGRAFI WILAYAH JAWA BARAT DAN SOSIOANTROPOLOGI

XI RPL 01Anggita Teguh RespatiReza Fajar ImanaDinar Maulana

Rian RajibullohIrfan Adi Saputra

Surya SuryamanGaga Wahyudi

Padli Hidayatulloh

Panji Permana

BIOGEOGRAFI WILAYAH JAWA BARAT

II. BIOGEOGRAFI JAWA BARAT2.1 Pengertian Biogeografi (Bioregion)Biogeografi adalah ilmu yang mempelajari pola distribusi tumbuhan dan hewan dengan menggunakan pendekatan analisis spatial (mengacu pada posisi, obyek, dan hubungan diantaranya dalam ruang bumi, termasuk permukaan bumi, dibawah permukaan bumi, perairan, kelautan dan bawah atmosfir), atau Biogeografi adalah Penyebaran tumbuh-tumbuhan dan binatang secara geografis di muka bumi.

Pada awalnya konsep biogeografi banyak mendapatkan kritik karena jarang sekali menyentuh faktor-faktor lingkungan alam lainnya dalam satu ekosistem dan faktor manusia dengan aktivitasnya terhadap terjadinya pola distribusi tumbuhan dan hewan tersebut. Hal ini kemudian dipandang sebagai satu kelemahan mendasar dari konsep biogeografi. Karena itu, dalam perkembangan selanjutnya biogeografi mulai menyentuh faktor-faktor ekosistem dan kegiatan-kegiatan manusia untuk memahami pola distribusi organisme mahluk hidup (tumbuhan dan hewan) dalam suatu lingkungan geografi pada masa lalu dan pada saat ini. Bersamaan dengan perkembangan tersebut kemudian muncul istilah baru yang dikenal sebagai konsep Bioregion.

Bioregion Jawa Barat merupakan Kawasan/lingkungan fisik wilayah Jawa Barat yang pengelolaanya tidak ditentukan oleh batasan politik dan administrasi, tetapi oleh batasan geografi, komunitas manusia serta system ekologi. Dengan demikian, bioregion jugamempunyai pengertian ekoregion, yaitu pengelolaan kawasan yang didasarkan pada prioritas ekosistem dan habitat alami setempat.

2.2 Kondisi Geografis dan faktor lingkungan Jawa Barat

2.2.1 Letak Geografis Dan Astronomi

Letak Geografis Jawa Barat berada di bagian barat Pulau Jawa. Wilayahnya berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Jawa Tengah di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Banten dan DKI Jakarta di barat.

Kawasan pantai utara merupakan dataran rendah. Di bagian tengah merupakan pegunungan, yakni bagian dari rangkaian pegunungan yang membujur dari barat hingga timur Pulau Jawa. Titik tertingginya adalah Gunung Ciremay, yang berada di sebelah barat daya Kota Cirebon. Sungai-sungai yang cukup penting adalah Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa.

Letak astronomisnya antara 550-750Lintang Selatan dan antara 10448-10848 Bujur Timur. Luas Jawa Barat setelah Banten memisahkan diri dari Jawa Barat adalah lebih kurang 4.417.000 ha (44.170 km2), dengan jumlah penduduk sebanyak 36.456.576 jiwa (BPS tahun 2000).

2.2.2 Luas Daerah

Propinsi Jawa Barat memiliki luas 3, 7 juta hektar dengan berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem pegunungan, rawa, hingga pantai dan daerah pesisir berbatu di selatan hingga dataran tanah aluvial di utara. Keragaman ekosistem ini akan mempengaruhi tingkat keanekaragaman pada tingkat jenis.

Hampir 60 % daerah Jawa Barat merupakan daerah bergunung dengan ketinggian antara 5003.079 m dpl. sedangkan 40 % merupakan daerah dataran yang memiliki variasi tinggi antara 0500 m dpl. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wilayah Jawa Barat didominasi daerah pegunungan atau dataran tinggi.

2.2.3 Iklim

Iklim di Jawa Barat hampir selalu basah kecuali untuk daerah pesisir yang berubah menjadi kering pada musim kemarau, dengan curah hujan berkisar antara 1000 mm s/d 6000 mm. Pada daerah selatan dan tengah, intensitas hujan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah utara.

Musim hujan di daerah Jawa Barat lebih lama, karena pada waktu musim timur (arus angin dari benua Australia) tiba, angin barat belum hilang dan masih menurunkan hujan. Di daerah ini angka rata-rata curah hujan di atas 2.000 mm, di beberapa daerah pantai curah hujannya antara 3.000-5.000 mm. Jumlah hari hujan di daerah tinggi, misalnya Bogor adalah 352 hari per tahun, dan di daerah rendah 138 hari per tahun.

2.2.4 Curah Hujan

Curah hujan di daerah tengah dan selatan yang lebih tinggi memberikan kontribusi dalam profil hutan yang masih dapat dijumpai saat ini. Apabila diperhatikan, meskipun bukan satu-staunya penyebab, kondisi hutan daerah tengah dan selatan relatif lebih baik dibandingkan daerah lainnya.

2.2.5 Suhu Udara

Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Pada umumnya suhu udara rata-rata di Jawa Barat beragam dari 180C-220C.

Selain curah hujan, kondisi Jawa Barat bagian selatan pun didominasi oleh daerah pegunungan dengan beberapa gunung berapi yang sudah tidak aktif diantaranya adalah) dan beberapa yang aktif 2.2.6 Pegunungan

Demikian pula dengan daerah tengah Jawa Barat yang juga didominasi oleh pegunungan. Beberapa gunung tinggi yang masih aktif yaitu Gn. Gede-Pangrango (3.019 m) , Gn. Ciremai (3.078 m) dan Gn. Tangkuban Perahu (2.076), Gn. Galunggung (2.168 m), Gn. Cikurai (2.800 m), Gn. Papandayan (2.622 m), dan Gn. Guntur (2.249 m).

serta beberapa gunung yang sudah tidak aktif adalah Gn. Salak (2.211 m), Gn. Halimun (1.744 m), Gn. Ciparabakti (1.525 m) dan Gn. Cakrabuana (1.721 m). Gn. Patuha (2.434 m), Gn. Wayang-Windu (2.182 m), Gn. Malabar (2.350 m), Gn. Kendang (2.608 m), Gn. Talaga Bodas (2.241Kondisi yang masih didominasi oleh pegunungan ini pun telah memberikan kontribusi dalam perlindungan dan pelestarian terhadap ekosistem alami.

2.2.7 Hutan

Daerah selatan merupakan daerah yang memiliki luasan hutan yang dominan di Jawa Barat, dan 9.5% diantaranya merupakan hutan alami. Dan hampir 60% wilayah hutan yang ada di Jawa Barat berada di daerah selatan. Luas hutan yang ada di Jawa Barat mencapai 864,87 ribu Ha, yang terdiri atas 612,05 ribu Ha merupakan hutan konservasi yang terdiri dari hutan lindung, cagar alam, taman nasional dan hutan mangrove, sedangkan sisanya yaitu seluas 252,82 ribu Ha merupakan hutan produksi. Hutan mangrove yang ada di Jawa Barat terhampar di pantai utara. Tipe hutan yang ada di Jawa Barat dapat dikatakan lengkap, mulai dari hutan daerah pesisir yaitu hutan mangrove dan hutan dataran rendah (lowland forest) hingga hutan sub alpin.

2.2.8 Wilayah Aliran Sungai (WAS)Sementara itu daerah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran sedang hingga dataran rendah. Dataran rendah ini didominasi oleh dataran aluvial. Pada daerah ini terdapat dua wilayah aliran sungai (WAS) besar dan sangat berpengaruh pada daerah Jawa Barat bermuara ke pantai utara, yaitu WAS Citarum dan WAS Cimanuk. Daerah utara Jawa Barat merupakan daerah yang sangat subur dan merupakan daerah pesawahan yang terbesar di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka populasi manusia terbesar dan industri di Jawa Barat berada pada daerah ini. Oleh karena itu kawasan utara ini memiliki tingkat ancaman dan kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan daerah tengah dan selatan.

Di dataran Jawa Barat mengalir sungai utama di antaranya: Citarum (268 km), Cimanuk (258,4 km), Cidurian (181,5 km), Cipunegara (148 km), ciujung (147,2 km),Cisadane (144 km), Citanduy (130 km), Ciliwung (118,5 km), disamping itu terdapat beberapa sungai lain yang panjangnya kurang dari 110 km.

Daerah Jawa Barat memiliki 9 wilayah aliran sungai, antara lain: WAS Citarum (671,9 ribu Ha), WAS Cisadane-Ciliwung (372 ribu Ha), WAS Cipunagara-Cilamaya (443,5 ribu Ha), WAS Cimanuk (450 ribu Ha), WAS Cisanggarung Ciwaring (260,4 ribu Ha), WAS Cimandiri Ciletuh (349,25 ribu Ha), WAS Cibuni Cilaki (420,42 ribu Ha), WAS Citanduy (261,86 ribu Ha), WAS Ciwulan Ciputrapinggan (413,84 ribu Ha). Selain itu Jawa Barat juga memiliki pengairan darat berupa danau atau waduk seluas 19,4 ribu Ha.

2.2.9 Danau/Situ

Tidak sedikit danau/situ yang terdapat di daerah Jawa Barat baik yang terwujud secara alamiah maupun buatan manusia. Danau atau situ yang paling dikenal adalah : Situ Bagendit di Garut, Situ Gede di Tasikmalaya, Situ Panjalu di Ciamis. Danau Jatilihur di Purwakarta, Waduk Darma di Kuningan, Danau Rentang di Indramayu, Situ Cileunca di Pangalengan Bandung, Situ Patenggang di Ciwidey Bandung, Situ Lembang di Lembang.

2.2.10 Pesisir PantaiPada kedua pesisir yaitu pesisir utara dan pesisir selatan, masing-masing memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Pada pesisir utara pantai jarang sekali ditemukan gugusan terumbu karang, tetapi daerah ini kaya akan padang lamun dan pantainya lebih banyak didominasi oleh hutan mangrove. Sedangkan pesisir selatan merupakan pantai yang memiliki tipologi berbatu dan berpasir, sehingga sering ditemukan gugusan terumbu karang.

2.2.11 Faktor LingkunganKondisi faktor lingkungan yang berbeda pada kawasan utara dan selatan, demikian pula dengan tingkat kepadatan penduduk, telah mempengaruhi tingkat ancaman yang berbeda terhadap keanekaragaman hayati. Kawasan utara yang memiliki ancaman kelestarian relatif lebih tinggi memerlukan upaya perlindungan sekaligus rehabilitasi. Melalui perlindungan dan rehabilitasi diharapkan tingkat keanekaragaman hayati kawasan Utara Jawa Barat dapat ditingkatkan dimasa yang akan datang.Sementara kawasan selatan dan tengah yang relatih masih baik kondisi keanekaragaman hayatinya memerlukan upaya yang terutama berperan dalam perlindungan dan perencanaan wilayah yang baik, dan berpihak pada kelestarian lingkungan.2.3 Keanekaragaman FloraJawa Barat mempunyai keanekaragaman tumbuhan yang tinggi. Di Jawa Barat terdapat 3.882 jenis (spesies) tumbuhan berbunga dan tumbuhan paku asli Jawa Barat dan 258 jenis yang dimasukkan dari luar. Perbandingan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk tumbuhan asli adalah 3.882:2.851:2.717. Khusus untuk anggrek (Orchidaceae) di Pulau Jawa, di Jawa Barat terdapat 607 jenis alami, 302 jenis (50 %) hanya ada di Jawa Barat (Van Steenis dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965). Menurut Comber (1990) di Jawa Barat terdapat 642 jenis anggrek dan yang hanya terdapat di Jawa Barat 248 jenis.Tumbuhan yang termasuk pohon, di Jawa Barat terdapat 1.106 jenis (Prawira, tbt.) dengan 51 jenis disebut dengan pohon-pohon yang penting, diantaranya jati (Tectona grandis), rasamala (Altingia excelsa), kepuh (Sterculia foetida), jamuju (Podocarpus imbricatus), bayur (Pterospermum javanicum), puspa (Schima wallichii), kosambi (Schleichera oleosa), beleketebe (Sloenea sigun), pasang (Lithocarpus spp.), pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizhopora mucronata), dll.Tipe-tipe vegetasi yang ada di Jawa Barat adalah (Van Steenis dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965): Vegetasi litoral, termasuk di sini jenis-jenis tumbuhan lamun seperti setu (Enhalus acoroides), Thalassia hemprichii, dan berbagai jenis alga seperti Gelidium, Gracilaria dan Euchema yang menghasilkan agar-agar Hutan bakau (mangrove), antara lain bakau (Rhizophora spp.), pedada (Sonneratia spp.), api-api (Avicennia spp.), tarungtung (Lumnitzera littorea). Formasi pantai antara lain formasi Barringtonia yang ditandai oleh keben (Barringtonia asiatica), ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dll. Hutan rawa dataran rendah, antara lain reungas (Gluta renghas), bungur (Lagerstroemia spp.), cangkring (Erythrina fusca) dll. Hutan hujan dataran rendah dan perbukitan. Formasi ini terdapat pada ketinggian di bawah 1500 dpl. (Zona tropis 1-1000 dpl., zona submontana 1000-1500 dpl.). Antara lain berbagai jenis bambu (Bambusa spp., Gigantochloa spp.), mara (Mallotus spp., Macaranga spp.), kareumbi (Omalanthus populneus), dan teureup (Artocarpus elasticus) dll. Hutan hujan pegunungan (zona Montana) pada ketinggian 1500-2400 m dpl. Antara lain rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus spp.), saninten (Castanopsis argentea), hamirung (Vernonia arborea), puspa (Schima wallichii), huru (Litsea spp., Phoebe spp.), jamuju (Podocarpus imbricatus), dan kihujan (Engelhardia spp.) dll. Danau dan rawa pegunungan, tumbuhan rawa seperti Eriocaulon spp., Xyris campestris, dll. Lumut Sphagnum ditemukan di Gunung Gede dan Patuha. Vegetasi sub alpin, di atas 2400 m dpl. Daerah ini lebih miskin dariapada hutan hujan pegunungan, didominasi oleh suku Ericaceae seperti cantigi (Vaccinium spp.), Rhododendron spp., gandapura (Gaultheria spp.), dan jenis-jenis lain yang khas seperti ramo kasang (Schefflera spp.), kiteke (Myrica javanica), jirak (Symplocos sessilifolia) dll.Menurut Van Steenis (1972) terdapat 39 jenis tumbuhan pegunungan yang dikategorikan jarang (rare) di Jawa Barat, 18 jenis diantaranya sejauh ini diduga endemik (Meskipun ada diantaranya yang ditemukan di tempat lain). Di antara yang endemik tersebut, 11 jenis adalah anggrek (Orchidaceae). Sebelumnya Van Steenis (dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965) menyebutkan ada dua jenis yang endemik di Jawa Barat yaitu Heynella lactea (Tjadasmalang) dan Silvorchis colorata (di sekitar Garut).Menurut Van Steenis (dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965) di Pulau Jawa, dari 6.543 jenis yang ada, 1.523 jenis (23,4 %) adalah tanaman budidaya, sisanya adalah tumbuhan liar (4.598 jenis) dan tumbuhan asing yang ternaturalisasi (413 jenis). Sebagian dari tumbuhan alami terdapat di kawasan konservasi yaitu hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terdapat 844 jenis tumbuhan berbunga (Sunaryo & Rugayah, 1992).Semua jenis tumbuhan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang mempunyai manfaat langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat lokal dikenal sebagai etnobotani. Penelitian etnobotani di Jawa Barat sudah banyak dilakukan, antara lain di Kampung Naga (Suandharu, 1998), Cinangka (Murdiati dkk. 1992), Gunung Halimun (Nizma & Darnaedi, 1992; Panggabean & Ladjar, 1992), Pangandaran (Zuhud & Yuniarsih, 1992), dll. Pengetahuan pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat lokal akan semakin terkikis dengan kemajuan teknologi.2.4 Keanekaragaman FaunaSecara umum dunia fauna dapat dikelompokkan kedalam: serangga, pisces, amfibi, reptil, aves dan mamalia. Dari kelompok-kelompok tersebut ada fauna yang langsung berhubungan dengan kepentingan manusia yaitu bisa bermanfaat bagi manusia, bersifat hama, disukai untuk dipelihara atau dikonsumsi dan juga fauna dengan status khusus seperti fauna endemik (hanya ditemui di suatu daerah tertentu), langka/hampir punah dan punah. Dalam proyek ini, inventarisasi/ dokumentasi pendahuluan terhadap kelompok-kelompok fauna di atas yang dijumpai di daerah jawa barat telah dilakukan (lihat sub Bab 4.1 dan 4.2). Berdasarkan hasil-hasil yang terdokumentasi, maka dapat dibuat deskripsi singkat yang berkaitan dengan masing-masing kelompok fauna tersebut, yaitu:

Kelompok seranggaKelompok ini memiliki berbagai macam manfaat. Salah satu peran serangga yang sangat penting secara ekologis adalah dalam proses penyerbukan (polinasi) yang dilakukan oleh kupu-kupu. Akan tetapi kelimpahan dan keanekaragaman spesiesnya dewasa ini semakin berkurang yang disebabkan oleh beberapa faktor penting yaitu berkurangnya habitat dan eksploitasi untuk diperdagangkan karena umumnya kupu-kupu karena keindahannya.

Karena dalam siklus hidupnya serangga biasanya mengalami proses metamorfosis, ada fase-fase tertentu dari proses tersebut yang kurang disukai oleh manusia yaitu pada fase larva atau yang lebih dikenal dengan nama ulat. Pada fase ini, serangga biasanya dianggap hama oleh para petani karena merusak tanaman.Di habitat alami, belalang dan jengkrik adalah kelompok serangga yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber makanan burung, reptil dan amfibi. Akan tetapi jenis-jenis belalang tertentu apabila populasinya tidak terkendali dapat bersifat hama terhadap tanaman bididaya seperti padi sehingga petani mengalami gagal panen.Kelompok piscesPada dokumentasi awal ini, inventarisasi difokuskan pada ikan-ikan air tawar yang dijumpai pada daerah aliran sungai citarum dan tiga waduk besar di wilayah jawa barat, yaitu Jatiluhur, Cirata dan Saguling. Dari hasil survey lapangan, ikan-ikan air tawar yang dijumpai pada daerah-daerah tersebut di atas dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu: Ikan yang menjadi ciri khas Sungai Citarum tagih/baung, hampal, keting dan udang batu Ikan khas Sungai Citarum yang tidak ditemukan lagi setelah pembangunan waduk tawes, lelawak, sengal, arengan, walangi Ikan yang masih bisa ditemukan di sungai dan waduk deleg, sidat/moa, betok, pepetek, kebo gerang, julung-julung, keting, bereum panon, beunter, sepat, paray, betutu/bodo, jeler, oleng, gabus, belut Ikan budidaya yang diintroduksi ke perairan waduk patin, ikan mas, nila, gurame Ikan hias yang diintroduksi ke perairan waduk arwana, golsom, oskar Ikan yang secara tradisi dikonsumsi oleh masyarakat sekitar tagih/baung Ikan atau udang yang dijumpai pada bulan/periode tertentu udang batuKelangkaan dan kepunahan beberapa jenis ikan indigenous di daerah aliran Sungai Citarum diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: perubahan habitat dari sungai ke danau/waduk, pencemaran dan overfishing yang dilakukan untuk kebutuhan pangan. Jenis-jenis ikan yang punah tersebut, yaitu arengan, lelawak, sengal, tawes. walangi belum sempat didomestikasi sehingga informasi yang berkaitan dengan spesies-spesies tersebut tidak banyak.Kelangkaan dan kepunahan beberapa spesies ikan terjadi juga sebagai akibat penggunaan pestisida terutama untuk ikan-ikan yang mendiami ekosistem binaan seperti sawah seperti ikan-ikan kecil/impun dan belut sawah.Kelompok amfibi dan reptilKelompok amfibi dan reptil yang ditemukan di lapangan statusnya semakin hari akan semakin langka. Hal ini diakibatkan karena habitat yang tersedia semakin berkurang dan belum satupun dari jenis kelompok ini yang sudah bisa didomestikasi dan dibudidaya.Kelangkaan beberapa spesies kelompok ini terjadi sebagai akibat perburuan oleh manusia untuk dikonsumsi dan dipelihara antara lain: katak sawah, katak catang, beberapa jenis ular, biawak, bunglon, kura-kura, dll.Beberapa jenis amfibi dan reptil masih sering dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat adalah biawak (disekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, danau Sanghyang di Tasikmalaya), kura-kura (disekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, sungai-sungai di daerah Bogor/Sentul)Kelompok avesKelangkaan jenis burung lebih disebabkan karena nilai ekonomis burung yang sangat tinggi sebagai hewan peliharaan sehingga penagkapan liar tidak bisa dihindarkan disamping ketersediaan habitat yang semakin berkurang.Sebagai contoh burung madu di daerah Tangkuban Parahu, berdasarkan laporan terakhir dari hasil survey mahasiswa Biologi-ITB, spesiesnya tidak lebih dari tiga, hal ini disebabkan karena habitatnya terutama sebagai tempat/sumber makanan semakin berkurang sehingga kondisi ini akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan populasi burung tersebut.Berdasarkan hasil survey di daerah danau-danau kecil di Sentul/Bogor, beberapa jenis burung air atau yang mencari makan di daerah perairan masih bisa dijumpai seperti belekok, bangau dan raja udang. Beberapa jenis burung sudah bisa dibudidaya/ditangkar dan didomestikasiKelompok mamaliaKelangkaan jenis mamalia disebabkan oleh dua faktor utama yaitu aktivitas perburuan dan habitat aslinya terganggu. Salah satu contoh penurunan drastis kelompok ini adalah jarang dijumpainya lagi banteng di Hutan Sancang (Garut) dan di Pangandaran. Banteng ini sebenarnya sudah lama menjadi maskot di kedua daerah tersebut.Usaha penangkaran kelompok mamalia yang ada seperti penangkaran Rusa di Ranca Upas akan sangat bermanfaat bagi kelestarian spesies ini dan juga bisa dijadikan tempat tujuan wisata dan pendidikan/penelitian. Manusia memanfaatkan hewan ini untuk hobi/kesenangan, sumber makanan dan kulitnya untuk bahan sandang.BAB IIISOSIOANTROPOLOGI JAWA BARAT

I. PENGERTIAN SOSIOANTROPOGISosioantropologi diambil dari kata Society/social (masyarakat) dan Antropologi. Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih banyak. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan-pembuatan kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat. Antropologi secara garis besar dipecah menjadi dua bagian, yaitu antropologi fisik/biologi dan antropologi budaya.

Dengan demikian Sosioantropologi adalah suatu ilmu yang mengkaji sifat-sifat dan hubungan antar masyarakat serta kebudayaannya.

Masyarakat (society) dan kebudayaan (culture) saling bergantung satu sama lain. Masyarakat tidak mungkin merupakan satu kesatuan fungsional tanpa kebudayaan. Demikian pula sebaliknya. Individu-individu hanya sebagai medium ekspresi kebudayaan dan melangsungkannya dengan pendidikan terhadap generasi berikutnya.

II. SOSIOANTROPOLOGI JAWA BARAT

Kultur alam Priangan adalah daratan tinggi berbukit- bukit landai dan terkadang juga tajam dengan lembah yang curam. Udaranya sejuk segar, zaman dulu bangsa Belanda memanfaatkan keadaan alam Priangan menjadi suatu daerah perkebunan teh dan karet, hingga saat kini kita dapat menjumpai sisa-sisa perkebunan yang membalut sebagian perbukitan alam Priangan. Sebagai peninggalan kerajaan Padjadjaran yang pernah jaya, kreativitas seni budaya Priangan adalah tubuh sosok seni yang terkenal lemah gemulai, lengkingan suling serta dibalut oleh merdunya suara Priangan mendayu-dayu seperti semilirnya angin perbukitan.

Tinggalan lain berasal dari peninggalan Prabu Siliwangi yaitu seorang Pemangku Tahta Kerajaan Padjadjaran yang legendaris, kini mahkotanya tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun Kabupaten Sumedang, sedangkan tinggalan lainnya adalah Candi Cangkuang di Leles Garut dengan gaya arsitektur Hindu peninggalan abad ke 8. Upacara- upacara adat Priangan ada yang telah dimodifikasi agar lebih menarik dan menjadi seni pertunjukan untuk dipersembahkan kepada khalayak, misalnya upacara perkawinan dan bentuk prosesi lainnya.

Kreativitas lainnya adalah Angklung yang telah diangkat menjadi citra musik Indonesia. Angklung telah berhasil memikat perhatian bangsa lain di luar negeri. Para penggemar selalu mengharapkan agar setiap misi kesenian Indonesia yang akan digelar di luar negeri senantiasa menyertakan angklung pada bagian acara yang disajikan, kita patut bangga karena dimana angklung bergetar, disana terdapat ciri Indonesia. Demikian memasyarakatnya angklung di Jawa Barat, karena semula angklung adalah alat musik tradisional masyarakat Jawa Barat yang kemudian diangkat oleh Pak Daeng Sutigna dengan Angklung Diatonis. Kini hampir setiap sekolah dan Perguruan Tinggi mempunyai perkumpulan angklung yang siap disuguhkan. Untuk meningkatkan citra angklung di Indonesia khususnya Jawa Barat, ITB telah menyelenggarakan seminar tentang Panduan Angklung yang menghadirkan para pembicara Pakar Kebudayaan Tingkat Nasional. Untuk mengetahui cara pembuatan angklung, Saung Angklung Udjo Ngalagena di Padasuka Bandung siap setiap saat dan tak pernah sepi dari para pengunjung baik nusantara maupun asing. Beberapa jenis kesenian lainnya yang siap dikemas agar menarik para pelancong diantaranya Tari Keurseus, Tayuban, Jaipongan, Silat, Ketuk Tilu, Cianjuran, dan Longser. Dalam aspek seni rupa, Bandung adalah salah satu daerah yang menjadi potensi nasional disamping Bali, Yogyakarta, dan Jakarta. Di Bandung juga terdapat Galeri-galeri yang siap menyuguhkan pameran seni rupa dan desain. Demikian pula dalam seni arsitektur dan desain, Bandung adalah termasuk kota mode di Indonesia.

Untuk mengetahui cara pembuatan angklung, Saung Angklung Udjo Ngalagena di Padasuka Bandung siap setiap saat dan tak pernah sepi dari para pengunjung baik nusantara maupun asing. Beberapa jenis kesenian lainnya yang siap dikemas agar menarik para pelancong diantaranya Tari Keurseus, Tayuban, Jaipongan, Silat, Ketuk Tilu, Cianjuran, dan Longser. Dalam aspek seni rupa, Bandung adalah salah satu daerah yang menjadi potensi nasional disamping Bali, Yogyakarta, dan Jakarta. Di Bandung juga terdapat Galeri-galeri yang siap menyuguhkan pameran seni rupa dan desain. Demikian pula dalam seni arsitektur dan desain, Bandung adalah termasuk kota mode di Indonesia.

BAB IV

PEMBIASAAN POLA/GAYA, PERILAKU HIDUP SESUAI DENGAN KARAKTERISTIK BIOGEOGRAFI DAN SOSIOANTROPOLOGI SERTA PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAMPEMBIASAAN POLA/GAYA HIDUP YANG SESUAI DENGAN KARAKTERISTIK BIOGEOGRAFI DAN SOSIOANTROPOLOGI WILAYAH JAWA BARAT

1. Pola/Gaya Hidup yang sesuai :

Kebiasaan gotong royong

Kekeluargaaan

Hidup sederhana

2. Pola/Gaya hidup yang tidak sesuai :

Biat tekor asal sohor

Individualistis

Membuang sampah dimana saja

Merusak fasilitas umum

PEMBIASAAN PERILAKU HIDUP YANG SESUAI DENGAN KARAKTERISTIK BIOGEOGRAFI DAN SOSIOANTROPOLOGI YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN Membuang sqampah pada tempatnya

Mengambil ikan hanya yang besar saja

Menangkap burung-burung untuk dibudidayakan

Merawat bunga

Menanam tanaman

Tidak membuang limbah sembarangan

Memelihara kebersihan lingkungan

Dsb

PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM

Sumber Daya Alam yang ada di Wilayah Bogor :1. Flora : Pertanian, perkebunan, kehutanan

2. Fauna : Perikanan, peternakan

3. Energi : PLTA Cianteun, Tenaga Panas Bumi di gunung salak

4. Pertambangan : Emas, Galian C

5. Pariwisata : Puncak, kebun Raya, Gn Pancar

Prinsip-prinsip dalam Pemanfaatan SDA :

Konservasi SDA

Memperhatikan etika lingkungan

Reboisasi

Tebang pilih

Unsur-unsur dalam pelestarian SDA :

Perilaku manusia

Keadaan

Ruang

Waktu

Proses interaksi

Usaha pelestarian SDA dapat dilakukan dengan cara :

Pelestarian secara Insitu

Pelestarian secara eksitu

Konservasi insitu adalah upaya pelestarian sumber daya alam dalam kawasan habitat aslinya.

Konservasi eksitu adalah upaya pelestarian sumber daya diluar kawasan habitat aslinya.

Penghargaan untuk pelestarian tingkat nasional adalah Adipura dan KalpataruPOKOK-POKOK PERMASALAHAN LINGKUNGAN JAWA BARATPokok-pokok permasalahan lingkungan di Propinsi Jawa Barat yang telah teridentifikasi hingga saat ini, dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan, yang ditandai dengan deplesisumber air (permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya),semakin meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan produktifitas lahan, semakinmeluasnya kerusakan hutan (terutama karena perambahan) baik hutan pegununganmaupun hutan pantai (mangrove).

Permasalahan pencemaran, baik pencemaran air, udara maupun tanah yangpenyebarannya sudah cukup meluas dan terkait dengan industri, rumah tangga dengansegala jenis limbahnya, terutama sampah.

Permasalahan kebencanaan alam, yaitu Jawa Barat terutama bagian tengah danselatan termasuk wilayah rawan gempa dan volkanisme. Wilayah ini termasuk daerahyang paling sering tertimpa musibah tanah longsor dibanding wilayah lainnya diIndonesia, yang terkait dengan "irrational land use" dan juga kegiatan pertambangan.

Inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting penggunaanlahan/pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan.

Permasalahan kawasan pesisir dan pantai, yaitu kerusakan hutan mangrove, abrasi danakresi pantai, perubahan tataguna lahan di wilayah pesisir, intrusi air laut, danpencemaran air laut.

Permasalahan sosial kependudukan, ditandai dengan tingginya urbanisasi, munculnyapermukiman kumuh pada hampir seluruh kota di Jabar, pedagang kaki lima - PKL dankesemrawutan lalu lintas.

Tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terhadap lingkungan, baik dariinterpretasi materi maupun implementasinya di lapangan.

GAMBARAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN JAWA BARATDegradasi Sumberdaya AlamSumberdaya Lahan Pokok permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya lahan adalah karena inkonsistensi atau ketidak sesuaian antara penggunaan lahan dan ruang yang ada dengan arahan yang diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sekitar 33% lahan tidak digunakan sesuai dengan arahan tata guna tanah dalam Rencana Tata Ruang bahkan selama lima tahun terakhir telah terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan kawasan lindung sekitar 12,9% . Kondisi terbesar dari penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan dan kawasan resapan air.

Dari tahun 1994 sampai 2000, hutan lindung berkurang sekitar 106.851 ha (24%), sementara hutan produksi berkurang sekitar 130.589 ha (31 %). Pesawahan dalam periode ini telah diubah menjadi lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih 165.903 ha (17%). Gejala ini bisa menurunkan daya dukung lingkungan wilayah Jawa Barat (Perda No. 2/2000: Pola Dasar Pembangunan Jawa Barat 2001-2007).

Dalam periode 1994 hingga 2001 telah terjadi perubahan tata guna tanah yang cukup besar, yaitu berkurangnya hutan primer sebanyak 24%, hutan sekunder dan semak belukar 17%. Pemukiman, kawasan industri, perkebunan dan kebun campuran meluas masing-masing sebanyak 33%, 21%, 22% dan 29% hingga tingkat erosi di wilayah Jawa Barat telah mencapai 32.931.061 ton per tahun.

Wilayah hutan yang sebelumnya 791.571 ha (22% daratan Jawa Barat) ternyata penutupan vegetasi hutannya hanyalah 9% atau sekitar 323.802 ha pada tahun 2000. Kerusakan keseluruhan wilayah hutan Jawa Barat diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat apabila tidak dilakukan tindakan-tindakan yang memadai (BPLHD Jawa Barat, 2002).

Konversi lahan dari hutan alarm menjadi area yang rendah penutupan vegetasinya telah terjadi beberapa dekade di kawasan Bopuncur dan Depok. Pembangunan villa dan perumahan di kawasan Puncak yang selama ini terjadi sudah melebihi aturan yang ditentukan yaitu 19.500 Ha untuk lahan permukiman perkotaan dan untuk hutan lindung 19.475 Ha (Keppres No.114 Tahun 1999).

Pada kenyataannya kawasan kota dan pemukiman menjadi 20.500 Ha. Selain itu terjadi perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung yang mengalami peningkatan luasan lahan budidaya dari 3.761 Ha (tahun 1990) menjadi 13.760 Ha (tahun 2000). Sementara itu volume banjir periodik 25 tahunan pun mengalami peningkatan dari 330 m3/detik pada tahun 1973 menjadi 740 m3/detik pada tahun 2000.

Balai RLKT Wilayah IV melaporkan bahwa luas lahan kritis di Jawa Barat cenderung meningkat, terutama yang berada di luar kawasan hutan. Sampai tahun 1999 ada tiga kabupaten yang memiliki luas lahan kritis terbesar, yaitu : Kabupaten Bandung seluas 36.698 ha, Cianjur seluas 44.084 ha, dan Garut seluas 33.945 ha. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat (2004) melaporkan bahwa luas lahan kritis di DAS Citarum Hulu sudah mencapai 150.000 ha, Cimanuk Hulu seluas 24.000 ha, Citanduy sekitar 64.000 ha dan lebih dari 9000 ha lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu.

Adanya lahan-lahan kritis umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung tanah/lahan antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan kemampuan peruntukannya, untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal permukiman.

Pembangunan infrastruktur di Jawa Barat belum bisa mengikuti secara penuh pedoman yang diberikan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah termasuk transportasi, irigasi, dan konservasi lingkungan. RTRW tidak mampu mengendalikan perencanaan regional yang menciptakan kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Rencana Strategis Jawa Barat 2001-2004).

Permasalahan tersebut dapat ditelaah lebih lanjut dengan melihat masalah-masalah yang berkaitan dengan sektor dan komponen lingkungan atau sumberdaya lainnya. Misalnya, dampak dari adanya lahan kritis yaitu munculnya masalah banjir dan tanah longsor. Di Jawa Barat daerah yang rawan banjir, yaitu Bandung (1.750 ha), Majalengka ( 530 ha ), Indramayu (16.600 ha), daerah pantai utara Subang ( 12.000 ha), Cirebon (450 ha), Ciamis (16.000 ha).

Selain dampak adanya lahan kritis terhadap banjir, permasalahan lain yang sering muncul di Jawa Barat yaitu semakin sering terjadi bencana alam longsor. Bahaya longsor di Jawa Barat dapat dikategorikan ke dalam dua areal, yaitu di daerah jalan/prasarana transportasi dan di daerah permukiman penduduk.

PAGE https://hamidcell.wordpress.com/kumpulan-makalah/makalah-plh-kelas-xi_karakteristik-biogeografi-dan-sosioantropologi-wilayah-jawa-barat/