makalah permasalahan produksi ternak gembala by made sudarma

19

Click here to load reader

Upload: made-sudarma

Post on 11-Aug-2015

315 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

MAKALAH

PRODUKSI TERNAK GEMBALA

‘Permasalahan Produksi Ternak Gembala di NTT’

NAMA : I MADE ADI SUDARMA

NIM : 1211010006

SEMESTER : II (DUA)

PRODI : ILMU PETERNAKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2013

Page 2: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah terutama dalam pengembangan ternak

di daerah tersebut. Ternak sapi merupakan salah satu ternak potensial yang sedang

dalam tahap pengembangan oleh pemerintah daerah yang mana berkontribusi terhadap

Produk Domestik Bruto (PDRB) NTT mencapai Rp. 393 miliar pada tahun 2009 yang

berasal dari 58.392 ekor sapi yang diekspor dan 54051 ekor ternak yang dipotong untuk

konsumsi lokal (Statistik Peternakan 2009; dan 2010). Menurut hasil penelitian Jelantik

dkk (2007) dalam Mullik dan Jelantik (2009) mencatat bahwa sebagian besar ternak

sapi Bali yang diekspor maupun dipotong untuk konsumsi lokal, bukan dihasilkan dari

sistem peternakan yang produktif dan efisien, melainkan dari sistem peternakan

tradisional dengan tingkat produktifitas yang rendah.

Ternak gembala merupakan aset pemerintah daerah NTT yang potensial untuk

dikembangkan selain dikarenakan sebagian besar wilayah NTT yang merupakan lahan

marginal dengan padang penggembalaan yang sangat luas yakni 832,228 ha pada tahun

2010 (Statistik Peternakan, 2010) juga dikarenakan tidak membutuhkan aplikasi

teknologi yang susah diterapkan sehingga ternak gembala sangat cocok diadopsi oleh

masyarakat NTT. Salah satu ternak gembala yang banyak dipelihara di NTT adalah sapi

Bali. Menurut Mullik dan Jelantik (2009), terdapat beberapa faktor penting yang

menyebabkan penurunan produktifitas ternak sapi Bali di NTT.

1.2. Rumusan Masalah

Pernyataan Masalah :

Nusa Tenggara Timur memiliki aset yang sangat besar berupa luas padang

penggembalaan yang memungkinkan untuk pengembangan ternak gembala seperti sapi

Bali. Namun, menurut Mullik dan Jelantik (2009) terdapat faktor-faktor yang

menyebabkan penurunan produktifitas ternak sapi Bali di NTT.

Pertanyaan :

Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi produktifitas ternak gembala seperti

sapi Bali di NTT ?

Page 3: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

Bagaimana teknik penanganan penurunan produktifitas ternak yang dapat dilakukan

atau disarankan di NTT ?

1.3. Tujuan

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas ternak gembala

seperti sapi Bali di NTT.

Untuk mengetahui teknik penanganan yang dapat dilakukan/disarankan untuk

menangani penurunan produktifitas ternak tersebut di NTT.

Page 4: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Gambaran Umum daya dukung dan kekurangan produksi ternak gembala di NTT

Ternak Gembala termasuk dalam sistem peternakan ekstensif. Menurut Mullik dan

Jelantik (2009) mengatakan bahwa sistem peternakan ekstensif adalah teknik pemeliharaan

ternak (sapi Bali) yang digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari,

maupun yang dilepas bebas di padang atau di hutan dan hanya dikumpulkan oleh pemiliknya

pada saat tertentu saja. Walaupun demikian, ternak gembala memegang peranan penting

terutama dalam hal jumlah ternak yang diproduksi yang mana sebagian besar berasal/dimiliki

oleh peternak yang mengadopsi sistem peternakan tradisional dengan tingkat produktifitas

yang rendah (Jelantik dkk, 2007 dalam Mullik dan Jelantik, 2009). Sehingga dibutuhkan

kerjasama dari berbagai pihak dalam menyusun suatu pedoman pemeliharaan ternak gembala

yang cocok dikembangkan di NTT.

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah yang potensial dan lebih cocok

diarahkan ke sistem ternak gembala karena memiliki sejumlah padang penggembalaan yang

sangat luas yakni 832.228 ha yang dipimpin oleh kabupaten Sumba Timur (215.799 ha)

diikuti oleh kabupaten Kupang, TTS, dan TTU berturut-turut 159.526 ha, 114.396 ha dan

86.339 ha (Statistik Peternakan, 2010). Namun data tersebut masih belum menjamin produksi

ternak gembala karena menurut laporan Team Undana (2007) bahwa kapasitas tampung

padang penggembalaan di NTT sangat minim rata-rata 0,3 UT/ha dimana kabupaten Kupang,

Sumba Timur, dan TTU masing-masing memiliki kapastitas tampung sebesar 0,26 UT/ha;

0,21 UT/ha; dan 0,46 UT/ha. Hal ini mengakibatkan rendahnya produktifitas ternak terutama

pada musim hujan yang memiliki kualitas protein pakan yang sangat rendah bagi kebutuhan

ternak gembala di padang rumput. Menurut hasil penelitian Jelantik (2001) dalam Mullik dan

Jelantik (2009) menyatakan bahwa kandungan protein kasar hijauan cukup baik selama

periode November-April, namun menurun secara drastis dibawah kebutuhan minimum untuk

hidup pokok ternak selama periode Mei-Oktober dan ketersediaan bahan kering juga ikut

menjadi masalah utama selama bulan September hingga Desember.

Nusa Tenggara Timur memiliki curah hujan yang relatif tinggi intensitasnya namun

hanya berlangsung pada periode waktu yang pendek sehingga akan berpengaruh terhadap

fluktuasi ketersediaan pakan di padang penggembalaan. Menurut Hau dkk. (2005)

Page 5: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

menyatakan bahwa ketersediaan hijauan rumput alam di NTT pada musim hujan (3-4 bulan)

berada dalam jumlah cukup bahkan berlebihan dan sebaliknya pada musim kemarau (8-9

bulan) ketersediaan rumput alam masih cukup namun kualitasnya menurun drastis karena

tingginya kandungan dinding sel NDF (neutral detergent fiber). Menurut hasil penelitian

Jelantik (2001) dalam Hau dkk. (2005) menunjukkan bahwa rumput alam di NTT pada

musim kemarau memiliki dinding sel NDF sebesar 58%-80% dengan kandungan protein

kasar sebesar 2-3% dan tingkat kecernaan mendekati 42%. Menurut Van Soest (1982) dalam

Hau dkk. (2005) menyatakan bahwa rumput dengan kandungan NDF yang tinggi tersebut

akan memnurunkan kecernaan dimana umumnya rumput di daerah tropis mengandung kadar

lignin yang cukup tinggi sehingga sulit terdegradasi oleh mikroba rumen. Rumput dengan

kecernaan yang rendah akan menggangu produksi ternak terutama karena ketersediaan

protein khususnya nitrogen bagi mikroba rumen menjadi terbatas dan ketersediaan zat-zat

gizi yang lain juga akan berkurang (Beberjee, 1982 dalam Hau dkk., 2005).

Ketersediaan kuantitas dan kualitas rumput di padang penggembalaan yang minim pada

musim kemarau juga diteliti oleh Mullik dan Jelantik (2009), yang menyatakan bahwa

fluktuasi curah hujan terutama pada bulan Mei hingga Oktober yang cukup riskan

menyebabkan fluktuasi kuantitas dan kualitas hijauan di padang menjadi cukup besar

sehingga performans produksi dan reproduksi ternak gembala tidak optimal seperti tingkat

mortalitas ternak tinggi, calving interval yang panjang hingga calf crop yang rendah akibat

defisiensi nutrisi. Hal ini menjadi nyata apabila kita mencoba membandingkan antara sistem

cut and carry yang pada umumnya selalu mendapat makanan akan lebih memperlihatkan

bobot badan yang lebih baik dibandingkan sistem peternakan ekstensif yang digembalakan.

Menurut Mullik dan Jelantik (2009), dalam jangka waktu 3 tahun ternak yang dipelihara

secara intensif mencapai bobot hidup 493 kg sedangkan yang dipelihara secara ekstensif

hanya mencapai berat 311 kg. Hal ini diperkirakan karena adanya penurunan bobot badan

ternak selama musim kemarau sehingga rata-rata pertambahan bobot badan ternak menjadi

kecil setiap tahunnya.

2.2. Permasalahan penurunan produktifitas ternak gembala di NTT

Produktifitas ternak gembala dalam hal ini ternak sapi Bali yang dipelihara secara

ekstensif cukup rendah karena adanya berbagai faktor yang saling berinteraksi dalam

mempengaruhi produktifitas ternak gembala. Faktor tersebut misalnya seperti nutrisi,

lingkungan, tatalaksana maupun penyebaran penyakit ternak di padang penggembalaan di

NTT. Menurut Mullik dan Jelantik (2009) terdapat 3 permasalahan utama yang menyebabkan

Page 6: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

produktifitas ternak sapi Bali sangat rendah di NTT yakni angka kelahiran yang rendah,

angka kematian pedet yang tinggi dan rata-rata pertambahan bobot hidup yang rendah.

2.2.1. Angka kelahiran rendah

Menurut Mullik dan Jelantik (2009) menyatakan bahwa angka kelahiran ternak sapi

Bali cukup rendah yang bervariasi antara 44,3% - 98,3% (rata-rata 70,7%) dari jumlah betina

umur produktif. Lebih lanjut dikemukakan bahwa faktor penyebabnya adalah adanya

kehadiran jantan pemacek yang tidak mencukupi, jumlah ternak dalam satu kelompok (herd

size), proporsi betina tidak produktif dalam kelompok, dan faktor neuro-hormonal

(fotoperiodik) bukan nutrisi.

Kehadiran jantan pemacek di padang penggembalaan sangat penting karena

perkawinan ternak gembala dilakukan melalui kawin alam. Hal ini bertolak belakang dengan

sistem pemasaran ternak oleh peternak yang mana menjual ternak jantan dewasa atau muda

yang unggul karena harganya yang tinggi dibandingkan dengan menjual ternak jantan atau

betina tua (afkir) dari populasi ternaknya. Selain itu, faktor kepemilikan ternak juga ikut

mempengaruhi angka kelahiran yang rendah dimana peternak yang hanya memiliki ternak

sedikit (<5 ekor) tidak merasa harus untuk memelihara pejantan sehingga ternak betinanya

akan dibiarkan dikawinkan oleh kelompok sapi lainnya yang kemungkinan memiliki tampilan

produksi yang kurang baik atau memiliki calving interval yang panjang akibat tidak dikawini

oleh ternak jantan. Proporsi betina tidak produktif dalam suatu populasi juga ikut menentukan

persentase angka kalahiran dimana biasanya peternak di NTT tidak memperhatikan umur dari

ternak betina yang dimilikinya dan lebih menyayangi ternaknya yang sudah lama dipelihara

serta lebih mengarah kepada sistem penjualan ternak jika membutuhkan biaya/uang secara

tunai sehingga tidak melakukan culling apabila ternak betina yang dipelihara sudah tidak

produktif.

Hal terakhir yang paling menonjol untuk dibahas adalah adanya faktor neuro

hormonal bukan nutrisi dari ternak sapi Bali gembala yang cukup spesial di NTT. Hal ini

dikarenakan ternak sapi Bali tidak akan sembarangan kawin dan melahirkan tetapi melalui

suatu fenomena tertentu. Menurut hasil pengamatan Mullik dan Jelantik (2009) bahwa ternak

sapi Bali umumnya mwnunjukkan pola kelahiran yang selalu sama setiap tahun dimana akan

melahirkan pada musim kemarau (Juni-Agustus) yang berarti sudah kawin pada awal musim

hujan (September-November) yang kuantitas dan kualitas pakannya belum memadai serta

dikemukakan juga bahwa adanya peningkatan aktifitas dan intensitas birahi ternak betina

(>80%) dipagi harinya apabila terjadi hujan atau rintik dimalam sebelumnya. Hal ini

Page 7: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

menandakan adanya suatu pola tetap yang terjadi pada ternak sapi Bali gembala yang

diasumsikan apabila ternak yang menyusui kemudian anaknya mati karena kekurangan pakan

di musim kemarau pada bulan Desember, maka ternak tersebut tidak kawin dibulan tersebut

tetapi akan menunggu hingga bulan September-November yang tentu saja akan menurunkan

angka kelahiran ternak.

2.2.2. Angka kematian tinggi

Menurut Wirdahayati et.al. (1994) dalam Hau dkk. (2004) menyatakan bahwa

terdapat kematian anak sapi selama peiode bulan Juli sampai Desember yang mencapai 30-

50%. Hal ini juga diikuti oleh pernyataan Pohan (2004) yang menyatakan bahwa tingkat

kematian anak sapi pada musim kemarau (6,6%) lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan

(2,5%). Namun hasil penelitian terbaru memperlihatkan adanya tingkat kematian pedet sapi

Bali yang dipelihara secara ekstensif di NTT yang mencapai 35% memiliki keunikan tertentu

yakni adanya pola kematian yang terjadi pada dua puncak yakni pada bulan pertama setelah

dilahirkan pada musim kemarau dan diawal musim hujan terutama anak sapi yang tubuhnya

kurang baik (Mullik dan Jelantik, 2009). Lebih lanjut dikemukakan bahwa faktor penyebab

kematian anak sapi disebabkan oleh stress nutrisi akibat kekurangan air susu induk dan pakan

berkualitas dan minimnya perhatian peternak terhadap anak sapi yang dimilikinya serta

serangan penyakit dan parasit.

Kematian pedet yang cukup tinggi ini berdampak terhadap kerugian ekonomi bagi

NTT dimana diasumsikan populasi induk 40% (80% ternak induk dari 50% jumlah betina

dalam populasi) dari total populasi sapi 778.633 ekor pada tahun 2011 (BPS NTT, 2012),

tingkat kelahiran 70,7% dari total induk dan tingkat kematian pedet 35% (Mullik dan

Jelantik, 2009), serta harga bakalan sekarang ini sekitar Rp. 2.000.000 / ekor, maka akan

diperoleh kerugian ekonomi yang diderita oleh peternak sapi Bali di NTT sekitar 154,1

mililar rupiah per tahun akibat kematian pedet.

Kematian pedet yang tinggi pada saat lahir dikarenakan adanya kekurangan nutrisi

oleh ternak pedet yang diakibatkan oleh rendahnya produksi susu ternak induk karena masih

berada pada musim kemarau yang kuantitas dan kualitas hijauan sangat rendah. Selain itu,

perhatian peternak juga sangat minim terhadap kondisi pedet dan induknya juga menjadi

perhatian utama karena pedet yang sudah minim konsumsi nutrisi harus ikut berjalan

bersama-sama dengan induk mengembara mencari makanan. Faktor terakhir yang ikut

mempengaruhi angka kematian ternak adalah serangan penyakit dan parasit, dimana pada

awal musim hujan ditandai dengan tingginya parasit yang hidup dan berkembang sehingga

Page 8: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

pedet yang masih belum memiliki kekebalan tubuh yang optimum karena konsumsi susu

induk yang rendah menyebabkan pedet mudah terserang penyakit dan parasit kemudian mati.

2.2.3. Rata-rata pertambahan bobot hidup rendah

Menurut hasil penelitian Mullik dkk. (2004) dalam Mullik dan Jelantik (2009)

menyatakan bahwa ternak yang diikat atau diberi pakan (cut and carry) memiliki laju

pertambahan bobot badan yang lebih baik (rata-rata 250g/hari) dibandingkan dengan yang

hanya digembalakan (rata-rata 120 g/hari) yang diamati selama tiga tahun. Hal yang sama

juga dikemukakan oleh Rubinho yang disitasi Ginting dan Belli (1994) dalam Hau, dkk.

(2005), bahwa adanya penyusutan bobot badan ternak sapi Bali sebesar 20-50 kg/ekor selama

musim kemarau dan adanya penyusutan bobot badan ternak pada bulan Juli sampai

Desember yang mencapai 0,4-0,5 kg/ekor/hari (Wirdahayati et. al., 1994 dalam Hau dkk.,

2004).

Hal ini diperkirakan karena adanya curah hujan di NTT yang tinggi intensitasnya

namun pendek lama periodenya sehingga ternak akan memiliki pertambahan bobot badan

yang tinggi namun akan menurun bahkan terjadi penyusutan bobot badan ternak pada musim

kemarau yang panjang sehingga rata-rata pertambahan bobot badan ternak sapi Bali di NTT

tidak melebihi 0,2 kg/hari/tahun. Selain itu, pola kelahiran ternak yang umum terjadi pada

musim kemarau menyebabkan adanya bobot lahir yang rendah dan stress nutrisi pada awal

hidup dan pada musim kemarau selama masa hidupnya menyebabkan penurunan potensi

ternak untuk bertumbuh secara maksimal.

2.3. Strategi penanganan penurunan produktifitas ternak gembala di NTT

Penurunan produktifitas ternak gembala perlu ditangani secara dini dengan berbagai

metode dan kerjasama pemberdayaan peternak, dinas dan perguruan tinggi serta bank karena

bagaimanapun juga para peternaklah yang memiliki ternak, dinas yang memiliki kebijakan,

perguruan tinggi yang memiliki ilmu dan bank yang memiliki dana. Pemberdayaan peternak

sangat penting dalam hal ini selain karena mereka memiliki ternak juga dikarenakan

merekalah yang akan mengimplementasikan hasil pemikiran dan perguruan tinggi dan dinas

sehingga sangat penting dilakukan penyuluhan-penyuluhan berkaitan dengan strategi

pengembangan ternak gembala di NTT.

2.3.1. Strategi peningkatan angka kelahiran ternak

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa angka kelahiran ternak cukup rendah

sehingga dibutuhkan strategi penanganan yang tepat dan dapat dilakukan oleh peternak.

Page 9: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

Menurut Mullik dan Jelantik (2009), strategi peningkatan angka kelahiran pada sistem

peternakan ekstensif dapat dilakukan dengan cara menjamin kecukupan jantan pemacek

termasuk membuat kandang kolektif untuk kelompok ternak yang kecil dan menyingkirkan

ternak betina yang secara reproduksi sudah tidak produktif.

Dengan menjamin kecukupan jantan pemacek pada kelompok ternak gembala yang

cukup besar maupun menggabungkan kelompok ternak yang kecil dalam suatu kandang

kelompok agar dapat diseleksi ternak jantan pemacek yang produktif sehingga dapat

meningkatkan angka kelahiran ternak dari populasi tersebut. Selain itu, penyingkiran ternak

betina yang sudah tidak produktif secara reproduksi akan menurunkan jumlah pembilang

ternak betina dalam populasi sehingga akan meningkatkan angkat kelahiran ternak. Kedua hal

ini tidak sulit dilakukan oleh peternak dan tidak membutuhkan biaya yang besar dalam

pelaksanaanya, kecuali kerjasama diantara para peternak kecil dalam membentuk suatu

kelompok ternak dan mau mengubah pola pikir dengan mengganti menjual ternak jantan

dewasa manjadi menjual ternak betina maupun jantan yang tidak produktif (afkir).

2.3.2. Strategi penurunan angka kematian ternak

Angka kematian yang tinggi pada pedet sapi Bali sangat penting untuk ditangani

sehingga angka kelahiran yang sudah diperoleh tinggi tidak hancur begitu saja dikarenakan

oleh angka kematian yang tinggi akibat stress nutrisi, kelelahan maupun parasit. Menurut

Mullik dan Jelantik (2009), menyatakan bahwa strategi yang tepat dalam menangani

kematian pedet sapi Bali di NTT adalah dengan pemberian pakan suplemen bagi pedet yang

diikuti dengan pengandangan pedet pada siang hari ketika induk mencari makan di padang,

yang mana dapat menekan kematian pedet hingga 0%. Hal ini sangat penting dan strategis

untuk menekan kematian pedet karena pedet mendapatkan nutrisi tambahan yang belum

maksimal diperoleh dari susu induk, pedet terhindar dari kelelahan dan ancaman binatang

buas serta parasit dan induk dapat dengan bebas mencari makan tanpa kuatir dengan

keselamatan anaknya. Namun hal berikut yang paling penting adalah bagaimana cara

mengubah main set peternak dalam mengubah pola pemeliharaan yang membiarkan pedet

kekurangan nutrisi bersama induknya di padang menjadi mulai mengandangkan pedet dan

memberi pakan suplemen agar keselamatan pedet dapat terjaga dengan baik.

2.3.3. Strategi peningkatan pertambahan bobot badan ternak

Pertambahan bobot badan ternak perlu dijaga kestabilannya agar dapat diperoleh rata-

rata pertambahan bobot badan ternak yang cukup tinggi bagi ternak gembala di padang

Page 10: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

rumput. Menurut Mullik dan Jelantik (2009) menyatakan bahwa stress nutrisi yang dialami

pedet dan ternak sapi Bali semasa hidupnya dapat di atasi dengan menggunakan dua macam

strategic feeding yakni strategi pemberian suplemen pada pedet dan strategi pemberian low

cos suplement bagi kelompok ternak.

Strategi pemberian pakan pada pedet sangat penting untuk menjaga kelangsungan

hidupnya dan meningkatkan pertambahan bobot badan dari pedet itu sendiri sedangkan

pemberian pakan alternatif yang murah kepada kelompok ternak dimaksudkan untuk menjaga

kelangsungan hidup ternak pada musim kemarau. Pemberian pakan suplementasi yang murah

dapat berupa pakan alternatif yang diintegrasikan dengan limbah tanaman pertanian dan

perkebunan maupun penggunaan leguminosa pohon seperti lamtoro yang tersedia sepanjang

tahun minimal untuk tetap menjaga kondisi tubuh ternak agar tidak menyusut secara

berlebihan. Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diperlukan perubahan pola

pikir masyarakat yang sangat ekstensif menjadi lebih fleksibel dan tertuju pada penyelamatan

ternak yang dimilikinya agar lebih produktif dan bernilai jual tinggi.

Page 11: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

Adapun simpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan diatas adalah sebagai

berikut :

Ada empat faktor yang mempengaruhi produktifitas ternak yang saling berinteraksi

yakni nutrisi, lingkungan, tatalaksana dan penyebaran penyakit yang mana akan

mempengaruhi faktor utama penurunan produktifitas ternak di NTT seperti tingkat

kelahiran yang rendah, tingkat kematian yang tinggi dan rata-rata pertambahan

bobot badan yang rendah.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang ada di

padang penggembalaan seperti dengan cara penyediaan jantan pemacek,

penyingkiran betina tidak produktif, mengandangkan dan memberikan pakan

suplemen bagi pedet dan memberikan paka suplemen yang murah dengan cara

integrasi dengan limbah pertanian maupun penggunaan pakan leguminosa pohon

bagi kelompok ternak pada masa musim kemarau.

3.2. Saran

Dibutuhkan lebih banyak data untuk menggali model pengembangan ternak gembala

yang cocok dan dapat diterapkan terutama bagi ternak sapi di daerah NTT.

Dibutuhkan adanya partisipasi bagi mahasiswa dalam membangun pola pikir

masyarakat peternak yang masih belum memberikan kontribusi yang layak dalam

pengembangan ternaknya dibandingkan dengan apa yang dapat mereka peroleh dari

ternak tersebut.

Page 12: Makalah Permasalahan Produksi Ternak Gembala by Made Sudarma

DAFTAR PUSTAKA

BPS NTT. 2012. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2011.

Hau Debora Kana, Mariana Nenobais, Jacob Nulik, dan Nathan G. F. Katipana. 2005. Pengaruh Probiotik Terhadap Kemampuan Cerna Mikroba Rumen Sapi Bali. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. pp.171-180.

Hau D. Kana, N. G. F. Katipana, J. Nulik, A. Pohan, Onike T. Lailogo dan C. Liem. 2004. Pengaruh Probiotik Terhadap Retensi Nitrogen dan Energi serta Pertumbuhan Ternak Sapi Bali Timor Jantan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. pp.91-96.

Mulik Marthen dan I Gusti N. Jelantik. 2009. Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem Pemeliharaan Ekstensif di Daerah Lahan Kering : Pengalaman Nusa Tenggara Timur. Disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan Dalam Sistem Peternakan Rakyat. Mataram.

Pohan A., C. Liem Dan J. Nulik. 2004. Tampilan Produktivitas Ternak Sapi Bali Pada Dua Musim Yang Berbeda di Timor Barat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. pp.155-161.

Statistik Peternakan. 2009. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2010. Kupang.

Statistik Peternakan. 2010. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur 2011. Kupang.

Team Undana. 2007. The Genetics Qulity of Bali Cattle In East Nusa Tenggara. Report of Research and Development Center of Bali Cattle. Undana. Kupang.