makalah pengawetan telur asin
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Itik merupakan salah satu ternak unggas yang memberikan sumbangan
protein yang cukup besar terhadap masyarakat. Sumber protein yang bisa
dimanfaatkan dari itik terdapat pada telurnnya. Telur itik termasuk sumber makan
yang memiliki gizi yang cukup baik. Hal ini terlihat dari kandungan protein
(±13%) serta lemak (±12%) yang tinggi dibandingkan dengan telur unggas
lainnya.
Telur itik memiliki kelebihan diantaranya yaitu kulit telur yang tebal, ukuran
telur yang besar serta kadar air rendah dibandingkan dengan telur ayam. Selain
itu juga ada kekurangannya yaitu pori-pori yang besar dibandingkan dengan telur
ayam sehingga akan terjadi penguapan yang besar dan berakibat pada penurunan
kualitas telur, serta kandungan lemak yang tinggi. Kadar air yang rendah dan
kandungan lemak yang tinggi, oleh sebab itu telur itik baik untuk dijadikan telur
asin.
Telur merupakan bahan makanan yang dapat mencukupi kebutuhan gizi
terutama protein hewani. Protein telur dalam ilmu pangan berpengaruh terhadap
pembentukan buih, jenis protein telur misalnya ovalbumin dan ovumucin yang
berperan dalam penstabil buih. Namun telur memiliki kekurangan seperti produk
hewani lainnya yaitu mudah rusak (perishable food) karena mempunyai gizi
tinggi, sehingga mikroba mudah berkembang biak jika tidak segera dikonsumsi
atau diolah menjadi suatu produk makanan. Salah satu upaya pengawetan untuk
menjaga kualitas telur adalah metode pembuatan telur asin.
Pencegahan terhadap kerusakan telur dapat dilakukan dengan cara
pengawetan. Pengawetan telur dapat dilakukan dengan cara pengawetan telur
2
utuh dan pengawetan telur tanpa kulit. Pengawetan telur utuh menggunakan
bahan pengawet garam, atau disebut juga pengasinan yang akan menghasilkan
telur asin. Cara pengawetan tersebut menggunakan teknologi sederhana sehingga
memerlukan biaya yang relatif murah.
Berdasarkan proses pengolahannya pengawetan dengan cara pengasinan pada
ada dua metode yaitu dengan cara perendaman (larutan garam) dan pembalutan
(campuran garam dengan abu gosok atau serbuk bata merah dengan sedikit
penambahan kapur). Pengasinan dengan perendaman yaitu dengan merendam
telur di dalam larutan garam jenuh, sedangkan pembalutan yaitu telur dibalut oleh
adonan garam dengan abu gosok atau serbuk bata. Metode yang dikenal
masyarakat adalah perendaman, karena metode ini sangat mudah dilakukan dan
biayannya murah. Selain itu juga prosesnya sangat praktis.
1.2. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui prosedur penanganan telur itik dari
penanganan pasca panen hingga pengawetan telur menjadi telur asin.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Telur Itik
Telur adalah salah satu bahan pangan hasil ternak yang memiliki kandungan
gizi tinggi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Telur itik merupakan sumber
makanan yang memiliki nilai gizi cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari
kandungan protein dan lemak yang tinggi dibandingkan dengan telur ayam
(Moutneym 1976).
Pada umumnya telur mengandung kompeonen utam yang terdiri dari air,
protein, lemak, karbohidrat vitamin dan mineral. Perbandingan kandungan gizi
telur itik dengan telur ayam disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Telur Ayam dan Itik per 100 gram bahan
Komposisi Telur ayam Telur itik
Putih
telur
Kuning
telur
Telur
utuh
Putih
telur
Kuning
telur
Telur
utuh
Air (%) 88,57 48,50 73,70 88,00 47,00 70,60
Protein (%) 10,30 16,15 13,00 11,00 17,00 13,10
Lemak (g) 0,03 34,65 11,50 0,00 35,00 14,30
Karbohidrat (g) 0,65 0,60 0,65 0,80 0,80 0,80
Abu (g) 0,55 1,10 0,90 0,8* 1,2* 1.0*
Sumber : Winarno dan Koswara (2002), *) Romanoff dan Romanoff (1963)
Struktur telur itik secara keseluruhan hampir sama dengan telur ayam. Telur itik
terbagi atas tiga bagian utama yaitu kerabang telur (8-11%), putih telur (56-61%)
dan kuning telur (27-31%). Akan tetapi telur itik mengandung kuning telur 7%
lebih banyak dan putik telur 5% lebih sedikit dibandingkan dengan telur ayam
(Powrie, 1984). Bentuk telur itik normal umumnya sama dengan telur ayam yaitu
4
oval dengan salah satu ujung meruncing sedangkan ujung yang lainnya tumpul.
Bentuk seperti ini akan berguna meningkatkan daya tahan kulit terhadap tekanan
mekanis serta mengurangi telur tergelincir pada bidang darat. Struktur telur secara
keseluruhan disajikan pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur telur ayam, sumber : Stadelmen dan Cotterill, 1995
2.2. Kerabang Telur
Kerabang telur merupakan bagian telur yang paling kaku dan keras. Fungsi dari
kerabang tersebut adalah sebagai pelindung isi telur dari kontaminasi
mikroorganisme (Sirait, 1986). Kerabang telur terdiri atas empat lapisan yaitu : (1)
kutikula (ba~an terluar); (2) lapisan bunga karang (spongiosa); (3) lapisan mamilaris dan
(4) lapisan membran (bagian terdalam) (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Lapisan kutikula merupakan Lapisan terluar dari kerabang telur yang berfungsi
untuk mencegah penetrasi mikroba melalui kerabang telur dan mengurangi penguapan air
yang terlalu cepat (Sirait, 1986). Telur yang baru keluar dari induknya dilapisi oleh
lapisan tipis kutikula yang terdiri atas 90% protein dan sedikit lemak. Lapisan kulit telur
yang berada dibawah lapisan kutikula adalah lapisan bunga karang yang merupakan
bagian yang kompak. Lapisan bunga karang sering hsebut sebagai lapisan sebenamya
karena terdiri atas 213 bagian dari seluruh lapisan kulit luar. Lapisan ini terdiri atas
protein, karbohidrat, lamak dan garam kalsium (kalsium karbonat, kalsium phosphat,
dan magnesium karbonat) (Belitz dan Grosch, 1999). Lapisan mamilaris merupakan
5
lapisan yang terdiri dari mukopolisakarida sialomusin. Ikatan yang terbentuk adalah
ikatan hidrogen dan disulfida (Belitz dan Grosch, 1999). Lapisan ini terdiri dari
jonjot-jonjot kapur yang biasa disebut mamila, serta berbentuk bonggol-bonggol
dengan penampang bulat atau lonjong.
Lapisan terakhir pada lapisan kerabang yaitu lapisan mernbran. Lapisan tersebut
sangat sulit untuk dipisahkan dari kerabang telur kecuali pada bagian rongga udara.
Membran ini terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan membran kulit luar dan dalam
(Romanoff dan Romanoff, 1963). Winamo dan Koswara (2002) menambahkan bahwa
kedua lapisan membran tersebut disusun oleh protein yang sama dengan yang terdapat
dalam kutikula yaitu mucin. Fungsi dari membran ini adalah sebagai penghambat bakteri
gram positif karena mengandung enzim lipozim.
Karakteristik dari kerabang telur adalah adanya pori-pori pada permukaan
kerabang. Menurut Sirait (1986) pada bagian tumpul telur jumlah pori-pori persatuan
luas lebih besar dibandingkan bagian lainnya sehingga terjadi rongga udara disekitar
daerah ini. Pori-pori telur itik berbeda dengan telur ayam, baik dalam jumlah maupun
ukurannya. Perbedaan tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Ukuran dan Bentuk Pori-pori Telur Itik dan Ayam
Jenis telur Pori-pori
besar (mm)
Pori-pori kecil
(mm)
Itik 0,036 x 0,031 0,014 x 0,012
Ayam 0,029 x 0,020 0,011 x 0,009
Sumber : Romanoff dan Romanoff (1963)
6
2.3. Putih Telur
Kandungan putih telur pada telur utuh ±60%. Putih telur terdiri dari empat lapisan
yang memiliki perbedaan kekentalannya yaitu lapisan encer luar, lapisan kental luar,
lapisan encer dalam, dan lapisan khalazaferous. Perbedaan kekentalan ini disebabkan oleh
kandungan airnya (Hadiwiyoto, 1983). Antara kuning telur dan lapisan kental luar putih
telur dihubungkan oleh khalaza. Bagian tersebut terdiri dari protein yang berbentuk
serabut spiral, yang behngsi sebagai pertahanan letak kuning telur agar tetap berada
ditengah-tengah (Romanoff dan Romanoff, 1963). Proporsi lapisan albumen terdiri dari
lapisan encer luar (23,22%), lapisan kental luar (57,30%), lapisan encer dalam
(16,80%), dan daerah kental dalam atau kaladza (2,70%).
Komponen utama putih telur adalah air dan protein (Powrie, 1973). Protein putih
telur terdiri atas protein serabut dan globular. Jenis protein yang terdapat pada putih telur
diantaranya ovalbumin, konalbumin, ovomucoit, lizozim, ovoglobulin, ovomucin,
flavoprotein, ovoglikoprotein, ovomakroglobulin, ovoinhibitor dan avidin. Ovomucin
merupakan protein yang mengandung karbohidrat yang berbentuk serabut. Serabut-
serabut tersebut berbentuk jala yang dapat mengikat bagian cair dari putih telur sehingga
ovomucin menentukan kekentalan putih telur (Powrie, 1973).
2.4. Kuning Telur
Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air yang terdiri atas 113 protein dan
213 lemak (Belitz dan Grosch, 1999). Protein yang berikatan dengan kuning telur disebut
lipoprotein, sedangkan yang berikatan dengan fosfor adalah fosfoprotein (Fardiaz, 1986).
Lipoprotein mengandung fosfolipid yang berfungsi sebagai pengemulsi (Matz, 1977).
Karbohtdrat yang terdapat pada kuning telur sebanyak 0,2% berikatan dengan protein.
Karbohidrat yang tidak berikatan dengan protein adalah monosakarida dan terdapat
sekitar 0,5% dengan jenis yang sama pada putih telur. Komponen lain yang terdapat pada
kuning telur adalah vitamin dan mineral. Kuning telur yang berbatasan dengan putih telur
dibungkus oleh suatu lapisan tipis yang disebut membran vitellin (Davis dan Reeves,
2002).
Kuning telur terletak ditengah-tengah bila telur dalam keadaan normal atau masih
segar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Posisi kuning telur akan bergeser bila telur
mengalami penurunan selama penyimpanan telur. Penurunan tersebut terjadi karena
7
elastisitas membran vitellin menurun, akibat adanya penguapan air yang berpengaruh
terhadap perubahan tekanan osmotik kuning telur (Sirait, 1986).
2.5. Pengawetan Telur
Pengawetan adalah salah satu teknik untuk membuat bahan pangan tidak mudah
rusak. Telur yang diawetkan harus memiliki kualitas yang baik (telur segar), bentuk dan
ukuramya normal, keadaan rongga udara dan kebersihan kulit telur termasuk kualitas AA.
USDA membagi telur dalam tingkatan kualitas berdasarkan dalam nilai haugh units yaitu
kualitas AA (HUL72), A (723U260), dan B (HU<60). (Stadelman dan Cotterill, 1995).
Kualitas AA adalah termasuk kualitas tertinggi dalam Masifikasi telur. Nilai haugh units
akan semakin menurun dengan adanya penyimpanan terhadap telur. Menurut Rosidah
(2006) nilai haugh units akan menurun sebesar 0,43 seiring dengan semakin lamanya
telur disimpan. Selain itu juga terjadi pembesaran ukuran kantung udara, putih dan
kuning telur menjadi lebih encer, pH telur menjadi basa, timbul bau busuk akibat mikroba
yang masuk ke dalam telur. Pengawetan terhadap telur dilakukan agar dapat
menghambat terjadinya kebusukan oleh bakteri dan menunda kerusakan fisik dan Kimia
dari telur (Hintono, 1984).
Metode pengawetan telur dibagi menjadi dua yaitu pengawetan telur pecah dan
pengawetan telur utuh. Pengawetan telur pecahkan belum cukup dikenal dimasyarakat
ha1 tersebut karena memerlukan prasarana yang mahal dan prospek pemasarannya belum
baik. Bahan pengawet yang biasa digunakan untuk pengawetan telur utuh antara lain
parafin, vaselin kapur, waterglass, garam dapur, bahan penyamak nabati, dan lain-lain.
Pengawetan telur utuh yang menggunakan ballan pengawet garam dapur biasa disebut
dengan pengasinan telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).
2.6. Pengasinan Telur
Pengasinan telur adalah salah satu cara pengawetan yang banyak dilakukan oleh
masyarakat. Tujuan dari proses pengasinan ini adalah untuk mencegah kerusakan dan
kebusukan telur serta memberi citarasa khas dari telur (Sirait, 1986). Selain itu juga
pengasinan banyak menghasilkan keuntungan antara lain mudah untuk dilakukan,
biayanya murah, praktis, serta dapat meningkatkan kesukaan konsumen. Berdasarkan
metode pengolahannya, ada dua metode yang digunakan yaitu perendaman dengan
menggunakan larutan garam jenuh dan pembalutan dengan mencampur garam, serbuk
8
bata merah atau abu gosok, dan kadang-kadang menggunakan kapur. Pembuatan telur
asin dengan menggunakan metode perendaman dalam larutan garam jenuh sangat mudah
dan praktis. Keunggulan pembuatan telur asin dengan perendaman adalah prosesnya
singkat, sedangkan dengan cara pembalutan prosesnya rumit.
Telur yang diasinkan bersifat stabil, dapat disimpan tanpa mengalami peroses
perusakan. Dengan pengasinan rasa amis akan berkurang tidak berbau busuk, dan
rasanya enak.
Berikut ini adalah tata cara pengolahan telur itik menjadi telur asin.
1. Bahan yang diperlukan dalam pembuatan telur asin ini ialah:
Telur bebek/itik yang bermutu baik 30 butir.
Abu gosok atau bubuk baru bata merah 1
liter
Garam dapur
kg
Larutan daun teh 50 gram teh/3 liter air
Air bersih secukupnya
Gambar 2. Telur Bebek/Itil
2. Alat yang dipergunakan dalam pembuatan telur asin ialah
Ember plastik
Kuali tahan dan panci
Kompor atau alat pemanas
Alat pengaduk
Stoples atau alat penyimpan telur
3. Cara pembuatan telur asin
Pilih telur yang bermutu baik (tidak retak atau busuk);
9
Bersihkan telur dengan jalan mencuci atau dilap dengan air hangat,
kemudian dikeringka;
Amplas seluruh permukaan telur agar pori-porinya terbuka;
Buat adonan pengasin yang terdiri dari campuran abu gosok dan garam,
dengan perbandingan sama (1 : 1). Dapat pula digunakan adonan yan
terdiri dari campuran bubuk batu bata merah dengan garam;
Menambahkan sedikit air ke dalam adonan kemudian diaduk sampai
adonan berbentuk pasta;
Membungkus telur denan adonan satu persatu secara merata sekeliling
permukaan telur, kira-kira setebal 1 – 2 mm;
Gambar 3. Adonan abu gosok dan garam yang membungkus telur
Menyimpan telur dalam kuali tanah atau ember plastik selama 15-20 hari.
Gambar 4. Penyimpanan telur yang telah di bungkus dengan adonon abu gosok
dan garam
Di usahakan agar telur tidak pecah pada saat penyimpanan berlangsung.
Agar telur tidak pecah maka dapat di tempatkan pada tempat yang bersih
dan terbuka;
Setelah selesai penyimpanan berlangsung, maka bersihkan telur dari
adonan kemudian merendam dalam larutan teh selama 8 hari.
10
Gambar 5. Telur asin
Garam dapur mengandung 91.62% NaCl, dan sisanya adalah Ca, Mg, dan Fe dalarn
bentuk garam klorida (Joedawinata, 1976). Garam mempunyai sifat higroskopis sehingga
dapat menyebabkan plasmolisis dan dehidrasi pada sel bakteri, menghambat kerja enzim
proteolitik, mengurangi daya larut oksigen serta menurunkan daya aktivitas air (Frazier
dan Westhoff, 1983). Garam yang digunakan dalam proses pengawetan membutuhkan
konsentrasi garam sebesar lebih dari 15% (Ayres et al., 1980). Ukuran kristal garam
dapat mempengaruh dalan proses pengasinan telur. Ukuran kristal yang baik sekitar 1-6
mm3. Apabila ukurannya lebih kecil dari 1 mm
3 maka laju difusinya akan cepat sehingga
menyebabkan kekerasan pada protein putih telur, sedangkan ukuran kristal garam lebih
dari 6 mm3 maka laju difusinya menjadi lambat (Koswara, 1991).
Mekanisme yang terjadi pada pengasinan adalah proses penetrasi garam dengan cara
difusi setelah garam mengion menjadi ion Na+ dan Cl
-. Kedua ion tersebut berdifusi
kedalam telur melalui lapisan kutikula, bunga karang, lapisan mamilaris, membran kulit
telur, putih telur, membran vitellin dan yang terakhir adalah kuning telur. Laju difusi
mendapat hambatan dari lapisan kapur yang terdapat pada kerabang telur serta lapisan
lemak pada kuning telur (Koswara, 1991). Larutan garam yang berdifusi ke dalam telur
disebabkan oleh terdapatnya pori-pori pada kerabang telur dan konsentarsi larutan garam
NaCl. Difusi ini hiasa disebut dengan osmosis. Larutan garam dari putih telur yang
masuk ke dalam kuning telur melalui membran vitellin karena adanya perhedaan tekanan
osmotik antara kedua bagian tersebut. Membran vitellin adalah salah satu bagian
terpenting pada kuning telur selama proses pengasinan. Ketebalan membran ini sekitar
0,012 - 0,023 mm, yang sebagian besar tersusun dari keratin (Moran dan Hale, 1936
dalam Shenstone, 1968).Pada membran vitellin, air didorong keluar dari kuning telur dan
mencegah air masuk, mendorong NaCl masuk kedalam kuning telur dan mencegah NaCl
keluar (Romanoff dan Romanoff, 1993). Kecepatan difusi pada putih telur lebih cepat
11
dibandingkan dengan kecepatannya pada kuning telur. Hal tersebut dipengaruhi oleh
konduktivitas membran vitellin putih telur tinggi, sedangkan konduktivitas pada kuning
telur rendah (Shenstone, 1968).
2.7. Perubahan yang Terjadi Selama Proses Pengasinan Telur
2.7.1. Denaturasi Protein
Denaturasi adalah proses perubahan konfigurasi tiga dimensi dari molekul
protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida (Tarigan, 1983). Menurut
Pomeranz (1985) menyatakan bahwa denaturasi adalah proses modifikasi ikatan
selain ikatan rantai pada rantai utama. Denaturasi protein terjadi karena putusnya ikatan
hidrogen oleh urea dan garam guanidina (Winarno, 1991). Terdapat dua jenis denaturasi
yaitu, denaturasi tidak dapat balik dan denaturasi yang dapat balik (Tarigan, 1983).
Menurut Fennema (1985) mengkategorikan denaturasi menjadi dua jenis yaitu agen
fisik dan agen kimia. Denaturasi yang disebabkan oleh agen fisik yaitu temperatur,
tekanan, hidrostatis dan gaya mekanik yang besar, sedangkan yang disebabkan oleh agen
kimia adalah pH, zat organik, garam-garaman dan detergen.
2.7.2. Pembentukan Gel
Gel adalah fase antara padat dan cair, sebagai sistem larutan yang kehilangan
sifat mengalir. Gelasi terjadi pada saat terbentuk ikatan nonkovalen dari gugus
fungsional yang sudah stabil. Mekanisme dari gelasi ini adalah pemerangkapan air,
immobilisasi dan pembentukan struktur gel yang stabil (Fennema, 1985). Pembentukan
gel ada empat tahapan diantaranya adalah denaturasi, agregasi, koagulasi dan flokulasi
(Pomeranz, 1985). Garam merupakan salah satu faktor yang inenyebabkan denaturasi dan
mempengaruhi pembentukan gel pada kuning telur. Hal tersebut terjadi karena adanya
aktivitas kation dan anion dari garam yaitu Na+ dan C1
- yang meningkat (Stadelman dan
Cotterill, 1977).
2.7.3. Proses Kemasiran Telur
Kemasiran merupakan salah satu karakteristik kuning telur asin. Tekstur masir
pada kuning telur akan mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen (Chi dan Tseng,
1998). Ukuran granul diakibatkan oleh adanya air garam yang masuk ke dalam granul
dan reaksi garam dengan low density lipoprotein (LDL). Menurut Chang, Powrie dan
12
Fennema (1997) menambahkan garam yang masuk ke dalam kuning telur akan bereaksi
dengan lipoprotein (yang sebagian besar dalam bentuk fraksi low density). Hal diatas
akan membentuk tekstur masir pada kuning telur.
13
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K.A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton. 1985. Illnu Pangan.
Diterjemahkan oleh Hari Pumomo dan Akono. Penerbit UI-Press, Jakarta.
Chang, C. M., Powrie, W. D. and Fennema, 0. 1972. Electron microscopy of
mayonaise. J. inst. Can. Sci. Technol. 5 (3).
Davis, C. and R. Reeves. 2002. High Value Opportunities From The Chicken Egg. A
Report For Rural Industries Research and Development Corporation. RIRDC Publication
No. 021094.
Fennema, 0. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc, New York.
Frazier, W. C. and D. C. Westhoff. 1983. Food Microbiology. McGraw Hill Co., New
York.
Georgia Egg Commission. 2005. Albumen. Http: www. Georgia eggs.
Org/pages/composition. html.
Gibbons, J. 1975. Non Parametric Method 4 Quantitive Analysis. Alabana : Elsevier Co.
Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Penerbit
Liberty, Yogyakarta.
Hintono, A. 1984. Prinsip pengawetan telur. Poultry Indonesia. 5 (53) : 20-21.
Joedawinata, M. A. 1976. Mempelajari pengaruh perbandingan pemakaian garam dan
bata serta waktu pengasinan terhadap kulitas telur asin dari telur ayam. Skripsi.
Fakultas Mekanisme dan Teknologi Hasil Pertanian. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Matz, S. A. and T. D. Matz . 1978. Cookie and Cracker Technology. The AVI
Publishingh Co. Inc., Connecticut.
Mountney, G. I. 1976. Poultry Products Tecnology. The 2"* edition. AVI Publishing
Company Inc. Westport, Connecticut.
14
Pomeranz, Y. 1985. Functional Propoteis of Food Components Academic Press, Inc.,
London.
Powrie, W. D. 1973. Chemistry of Egg and Egg Product. P61-90. In: Stadelman, W. J.
and 0. J. Cotterill. Egg Science and Technology. The AVI Publising Co. Inc.,
Connecticut.
Powrie, W. C. 1984.Chemistry of Egg ang Egg Product. The AVI Publishing
Company Inc., Westport. Connecticut.
Rahayu, W. P. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. Johnwilley and Sons, Inc.,
New York.
Rosidah. 2006. EIubungan Umur Simpan dengan Penyusutan Bobot, Nilai Haugh Unit
Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Itik Tegal pada Suhu Ruang. Skripsi.
Fakultas Petemakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Shenstone, F. S. 1968. The gross composition, chemistry and physicochemical basic of
organisation of the yolk and the white. In: Egg Quality : A Study of The ~en's
Egg. T. C. Carter (Editors). Oliver and Boyd Edinburgh, England.
Sirait, C. H. 1986. Telur dan Pengolahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Petemakan, Bogor.
Soekarto, S. T. 1985. Penelitian Organoleptik untuk Industri pangan dan Hasil
Pertanian. Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Stadelman, W. J., and 0. J. Cotterill. 1977. Egg Science and Technolog. The AVI
Publishing Company, Inc., Connecticut.
Stadelman, W. J., and 0. J. Cotterill. 1995. Egg Science and Tecnology. 4 " ed. Food
Product Press, New York.
Sutresna, N. 1996. Penuntun Belajar Kimia 3. Ganeca Exact Bandung, Bandung
15
Tarigan, P. 1983. Kimia Organik Bahan Makanan. Penerbit Alumni, Bandung. Tim
Laboratoriun Ilmu dan Teknologi Pakan. 2003. Pengetahuan Bahan Makanan
Temak. Jurusan Ilmu Nutrisi dan makanan Temak. Fakultas Petemakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winamo, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winamo, F. G dan Koswara S. 2002. Telur Komposisi, Penanganan dan
Pengolahannya. M-Brio Press, Bogor.