makalah pandangan terhadap politik
TRANSCRIPT
MAKALAH AGAMA
PANDANGAN TERHADAP POLITIK
Pendahuluan Di zaman modern ini, kata ‘politik’ dan ‘hukum’ bukan lagi kata yang jarang didengar oleh masyarakat.
Apalagi di masa reformasi yang semakin menunjukkan banyak terjadi penyimpangan dalam bidang
politik dan hukum. Jadi tidaklah mengherankan apabila banyak hal yang terjadi di dunia ini dihubungkan
dengan politik dan hukum. Ada begitu banyak respon dan tanggapan dari berbagai kalangan yang
berbeda, termasuk menurut agama Kristen.
Cukup banyak orang Kristen, termasuk mahasiswa Kristen, yang takut atau antipati terhadap politik. Hal
ini terjadi akibat imej negatif dari politik yang dianggap tempat iblis atau setan bermain. Adanya konsep
pemikiran seperti ini timbul karena mereka tidak memahami esensi dan makna politik dengan benar.
Sebab mau tidak mau masyarakat, khususnya umat Kristen, pasti dihadapkan dengan masalah politik
dan hukum.
Semakin banyak peran dan pengaruh gereja dalam politik dan hukum diharapkan semakin menunjukkan
citra Kristus yang ada dalam setiap jemaat-Nya. Karena kita diciptakan untuk menjadi kepala dan bukan
ekor, serta manusia telah diberikan kuasa untuk menaklukan dunia, meruntuhkan tembok yang
berabad-abad telah memisahkan kekristenan dengan dunia luar sehingga bisa membawa pembaharuan
di negeri yang dipilih Tuhan untuk kita berdiam.
1. Pengertian Politik
Dilihat dari sisi etimologisnya, kata ‘politik’ berasal dari kata Yunani, yaitu Po’lis yang
diartikan sebagai kota (city). Dalam perkembangan berikutnya, kota-kota memperluas diri
atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa
tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-
lembaga dan tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309). Dalam bentuk
yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan
masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan
publik (Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969. p. 4).
Banyak pendapat masyarakat mengenai definisi politik. Di antaranya yaitu menyatakan
politik adalah proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat bagi
masyarakat/proses alokasi dan distribusi inti proses politik adalah : Keputusan yang
mengikat masyarakat, melibatkan sejumlah ketentuan-ketentuan politik (partai politik,
kelompok, kepentingan, dan sebagainya) untuk kepentingan dan kebaikan bersama.
2. Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik
Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan,
(termasuk lembaga keagamaan) merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi
kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat
mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah
sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan
kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.
Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement) dari lembaga-lembaga atau kelompok-
kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat
efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etis
kekuasaan yang layak tetap terjaga. Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintah
dan melakukan kontrol, jika dilakukan secara berkesinambungan dan terhormat, tentu saja
akan membiasakan suatu bangsa atau negara hidup dalam keseimbangan yang terukur.
Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk pada yang seharusnya.
Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas
desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir
kebiasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik
yang terbuka serta mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Namun, satu hal yang
harus disadari adalah bahwa semua itu tidak akan berjalan dan tercapai dengan sendirinya.
Sangat diperlukan proses yang terus-menerus untuk membuka kesadaran bersama dalam
pengelolaan politik. Salah satu poin yang terpenting dalam hal itu adalah persoalan
perspektif pilihan sadar dan sengaja dari tiap insan politik alias manusia itu sendiri yang
sejatinya merupakan mahluk politik.
3. Konsep Alkitab terhadap Politik
Menurut Alkitab, politik adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan
memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Pertanyaan kuncinya
jelas: apa kata Alkitab terhadap politik? Bagaimana konsepsi dan sistem politik yang
sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam
realitas? Atau lebih pas: bagaimana konsep atau doktrin politik itu mengalami
‘pemanusiaan’ dan ‘penduniaan’?. Berangkat dari pertanyaan itulah penjelajahan
menyangkut konsepsi politik Alkitab dilakukan.
4. Teologi Politik Kristen di Indonesia
Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai
suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat
sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak
berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti
Pattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan
Manullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran
dan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras.
Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah
melakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-
organisasi kemasyarakatan dan sebagain merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat
mencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan
Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga
terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai
bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional.
Hanya saja, proses-proses tersebut mengalami pasang surut disebabkan faktor internal dan
situasi politik negara. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada
orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang
seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’.
Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual
teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’ gererja,
dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam
semua ruang gereja. Tidaklah mengherankan bila kekristenan mengalami kegamangan demi
kegamangan menghadapi pelbagai realitas politik di Indonesia.
Sesungguhnya, independensi tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab
politik gereja. Perumusan menyangkut keterlibatan dalam konteks independensi harus
dirumuskan batasan-batasannya secara teologis. Berangkat dari pemahaman dan kesadaran
yang demikian, gereja-gereja akan terdorong dan dimampukan melahirkan teologia
politiknya yang otentik.
5. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen
Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu
dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang
berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah.
Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi
negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan
keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap
politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang benar itulah
yang lebih penting dan menentukan sikap kita terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi.
Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa
pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya
pmerintah harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah
sendiri (ayat 1).
Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai
warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang kristen
harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah (ayat 1).
Panggilan tersebut tentu menuntut peran aktif, yang harus dimulai dari pasal 12, yaitu
penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1, 2) sehingga tidak menjadi serupa dengan dunia.
Dengan demikian pemerintah dapat berperan sebagai hamba Allah (Roma 13:4). Ayat 5, ”…
dengan suara hati”.
Justru di sinilah tugas dan tanggung jawab gereja (dalam pengertian umat Allah, bukan
dalam pengerrtian organisasi) supaya memampukan pemerintah menjadi hamba Allah. Ini
dapat terjadi hanya apabila orang kristen memenuhi panggilannya. Jadi sudah seharusnya
kita menjawab panggilan itu, untuk menjadi garam dan terang dunia, biar melalui diri kita
citra Kristus boleh terpancar sehingga semua orang memuji dan memuliakan Allah.
6. Implikasi-implikasinya
Sikap orang kristen dalam kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan:
a. Kekuasaan sebagai anugerah Allah
Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Dengan demikian, jabatan dan kekuasaan itu
dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan Tuhan .
b. Keberpihakan kepada yang lemah
Para politikus kristen dipanggil karena memiliki keberpihakan kepada yang lemah,
karena dua alasan penting yaitu: 1) kelompok masyarakat inilah yang sering kali menjadi
korban penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka
tidak boleh dilandasi oleh sentimen yang bersifat primodial (suku, ras, atau agama).
Namun, keberpihakan itu juga tidak membuat, dalam arti bahwa aturan dan hukum
tidak berlaku bagi kelompok ini.
c. Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah
Visi dan misi para politikus kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan
waktu. Maksudnya kiprah dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstituennya
saja (kelompok pemilihnya) ataupun jangka waktu memiliki jabatan itu. Bahkan lebih
jauh lagi para politikus kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis dan
seharusnya ikut serta dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (keadilan,
kebenaran, perdamaian dan keutuhan ciptaan) sampai dengan sepenuhnya.
d. Mendorong perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia
Para politikus kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu
dibutuhkan keteladanan sikap perilaku yang baik. Setiap politikus kristen harus berani
mengatakan “tidak” atas semua tawaran, bujukan, atau strategi-strategi yang dapat
membuat jatuh pada tindak korupsi, kolusi ataupun nepotisme; menjauhi segala bentuk
premanisme dan menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen.
7. Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas
Berkaitan dengan pemerintah (kepatuhan kepada pemerintah), Roma 13:1-7 menyatakan
bahwa pemerintah adalah hamba Allah. Kekuasaan pemerintah berasal dari Allah, oleh
karena itu pemerintah wajib menjalankan kehendak Allah untuk mengupayakan keamanan
dan kesejahteraan rakyat. Maka titik tolak pelaksanaan tugas-tugas pemerintah (hukum
atau undang-undang) haruslah bersesuaian dengan kehendak Allah. Sehubungan dengan
itu, pemerintah berhak dan wajib menjalankan hukuman kepada orang yang bersalah.
Sebagai umat yang telah mengenal kebenaran di dalam Kristus, tentunya setiap orang
percaya bisa menilai apakah sesuatu itu benar atau tidak. Kematian Kristus adalah untuk
menghancurkan kerajaaan kegelapan dan menegakkan Kerajaan Allah, dan orang kristen
dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memuliakan nama-Nya dalam segala
bidang kehidupan. Di dalam kemenangan Kristus, bumi menjadi pusaka orang rendah hati,
sehingga orang kristen tidak boleh menyia-nyiakan perkara yang di bumi termasuk
kebangsaan. Kebangsaan itu tidak lahir dari si iblis, tetapi dari Tuhan Allah. Kecintaan
kepada bangsa itu tidak boleh dipisahkan dengan kecintaan hal kita. Demikian menurut
pengajaran dari natur dan pengajaran Alkitab.
Oleh sebab itu, orang kristen mempunyai kewajiban yang lebih berat dalam perkara politik
daripada orang lain. Sebab di bidang politik dan pemerintahan, peran orang kristen bukan
semata-mata demi kesejahteraan bangsa, tetapi yang terutama semuanya dilakukan untuk
kemuliaan nama Tuhan.
Otoritas yang berkuasa ditunjuk oleh Tuhan adalah Rasul Paulus pernah membuat
pernyataan yang jelas mengenai bagaimana kita seharusnya berespon terhadap otoritas.
Dalam hal ini kita seharusnya berespon terhadap otoritas “tiap-tiap orang harus takluk
kepada pemerintah yang di atasnya” (Roma 13:1). Frasa setiap orang menyatakan tidak
adanya pengecualian. Kita sebagai orang kristen tidak boleh menentang otoritas yang sah di
dalam kehidupan kita. Sebab tidak ada pemerintah yang tidak ditetapkan oleh Allah.
Pada zaman kita, otoritas memiliki reputasi negatif. Banyak pemimpin, baik dalam negara
maupun kalangan sosial, salah menggunakan otoritas yang dimiliki. Tidak heran rasa hormat
terhadap otoritas tampak seperti kebodohan yang naif. Namun kembali lagi, Tuhan
mengatakan kalau kita harus menghormati otoritas yang sah, tidak peduli bagaimanapun
otoritas tersebut karena “semua otoritas berasal dari Tuhan”. Bahkan dengan lebih tegas
lagi, semua otoritas ditetapkan oleh Allah.
Banyak orang yang benar-benar bergumul dengan arti dari ayat ini, perintah ini bisa tampak
begitu sangat tinggi untuk mungkin ditaati oleh setiap orang kristen. Tetapi itulah
tantangan untuk menjadi seorang pengikut Kristus.
8. Etika Politik
Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan syalom
Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka bagi terjadinya
pemberontakan terhadap Allah. Absolutisme yang merupakan prerogatif Allah semata dan
tidak terbagi terhadap siapapun, ternyata dalam sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh
manusia. Namun, selalu ada konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu
merugikan pihak manusia, termasuk orang-orang yang saleh.
Etika politik sesungguhnya berbicara pada tatanan nilai tentang negara dan proses-proses
yang manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan
kecenderungannya untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas etis
menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa
dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan
kepada para politisi semata.
Lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok
kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk
mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang
ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di
tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau
mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.
Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses
kesadaran kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk terus menerus
membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedang
berjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan
membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidak
akan menjadi suatu potret seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-
biasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak
diperlakukan sebagai musuh.
Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas
desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir
kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter
politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaan-
kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu
bangsa.
PENUTUP
Dalam dunia politik dan hukum, sikap gereja yang perlu dkembangkan adalah sikap positif, kritis,
dan kreatif. Positif artinya memandang dunia politik dan hukum sebagai bidang pengabdian dan
pelayanan panggilan dari Tuhan serta karena itu berasal dari pandangan positif ketika kita
memberikan kontribusi sesuai iman Kristen. Kritis artinya tidak ragu-ragu member kritik jika
penguasa berbuat kesalahan, menyimpang dari hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku. Kritik
yang sesuai dengan etika Kristen adalah kritik yang konstruktif (membangun, santun, dan
memperdayakan), bukan kritik yang destruktif (menjatuhkan, vulgar, dan mencari kesalahan).
Kreatif artinya berusaha memberikan terobosan atau alternative baru di tengah kebuntuan
terhadap politik maupun hukum. Kita harus mampu berkomunikasi terbuka dan dialogis, tidak
alergi terhadap perubahan.
Selain itu, gereja juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang politik dan
hukum antara lain:
a) Gereja perlu terlibat dalam politik dan hukum. Dalam arti yang luas, ia mengikuti dengan
seksama berbagai perkembangan politik dan hukum.
b) Gereja perlu melakukan pertemuan konsultatif secara berkala dengan anggota-anggota
jemaatnya yang terlibat dalam politik dan hukum praktis.
c) Gereja juga perlu mendengar masukan dari berebagai LSM ataupun perguruan tinggi Kristen
yang menaruh perhatian terhadap kehidupan politik.
d) Gereja perlu menyelenggarakan berbagai pembinaan ataupun juga forum diskusi yang
menggumuli masalah-masalah dan etikanya bagi anggota jemaatnya sehingga pemahaman
salah yang dimiliki oleh anggota dapat dipatahkan dengan memperdalam kehidupan politik
dan hukum sesuai kapasitas dan kemampuannya.
e) Gereja perlu terlibat dalam forum-forum dialog antarumat beragama.