solihin. pandangan m. amien rais tentang politik islam

30
SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan dalam percaturan politik di kawasan Asia Tenggara memiliki peran yang sangat strategis. 1 Kondisi tersebut di atas itulah yang oleh Fazlur Rahman disinyalir sebagai “Kebangkitan Islam” dimulai dari kawasan Asia (Indonesia) menemui maknanya. Secara sosiologis, Muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia mustahil untuk tidak terlibat dalam proses pembangunan masyarakat, bangsa dan negara baik yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno maupun pada masa pemerintahan Soeharto. Kontribusi, partisipasi dan prilaku sosial Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara tersebut niscaya dilandaskan pada pola pemahaman keyakinan (agama) yang dianut. Proses pengejawantahan pemahaman agama (Islam) berupa ajaran-ajaran moral Islam dan etika politik yang berkaitan dengan soal-soal kenegaraan itulah yang disebut sebagai realitas politik Muslim (Islam). Atau Islam sebagai realitas politik sebagaimana dimanifestasikan orang Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jadi yang dimaksud politik Islam adalah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai (value reference) dan basis solidaritas (solidarity basic) kelompok. Politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan prilaku politik (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. 2 Sikap dan prilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Taufik Abdullah, bermula dari suatu kepribadian moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam. 3 Senada dengan Din Syamsuddin, Azyumardi Azra mengemukakan pandangan antropolog Dale Eickelman dan ilmuwan politik James Piscatori yang menyimpulkan bahwa gambaran politik Islam (Muslim) di seluruh dunia dewasa ini adalah pertarungan terhadap “penafsiran makna-makna Islam dan penguasaan lembaga-lembaga politik formal dan informal yang mendukung pemaknaan Islam tersebut”. Pertarungan seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan tentang Islam yang pada gilirannya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan. 4 Keinginan komunitas Muslim untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam berupa moral Islam dan teori etika politik sebagai prilaku kenegaraan dan pemerintahan, bahkan menjadikan syari’ah (Islam) dasar negara, acap kali melahirkan ketegangan-ketegangan 1 Meski Islam di Asia Tenggara sering disebut sebagai Islam periferal (Islam Pinggiran), dalam kenyataannya perhatian Barat terhadap dunia Islam tidak saja terfokus kepada wilayah Timur Tengah. Islam di Asia Tenggara kini menjadi perhatian Barat setelah perkembangan Islam yang luar biasa di Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Karena itu, Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja dalam percaturan politik global dewasa ini. Lihat Khamami Zada, Politik Islam Radikal Survei wacana dan Gerakan Islam di Indonesia, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, The Habibie Center, Jakarta, Vol. 3, No. 1 Januari – April 2003, hal. 38. 2 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2000, Cet. 1, hal. 3 3 M. Din Syamsuddin, ibid., hal. 3 4 Azyumardi Azra, Kata Pengantar” (hal. XVI) dalam Idris Thaha, Demokrasi Religius, Mizan, Bandung, 2005, Cet. 1.

Upload: dangdan

Post on 01-Jan-2017

242 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Atas

Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan dalam

percaturan politik di kawasan Asia Tenggara memiliki peran yang sangat strategis.1 Kondisi

tersebut di atas itulah yang oleh Fazlur Rahman disinyalir sebagai “Kebangkitan Islam”

dimulai dari kawasan Asia (Indonesia) menemui maknanya.

Secara sosiologis, Muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia mustahil untuk tidak

terlibat dalam proses pembangunan masyarakat, bangsa dan negara baik yang terjadi pada

masa pemerintahan Soekarno maupun pada masa pemerintahan Soeharto. Kontribusi,

partisipasi dan prilaku sosial Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara tersebut niscaya

dilandaskan pada pola pemahaman keyakinan (agama) yang dianut.

Proses pengejawantahan pemahaman agama (Islam) berupa ajaran-ajaran moral Islam

dan etika politik yang berkaitan dengan soal-soal kenegaraan itulah yang disebut sebagai

realitas politik Muslim (Islam). Atau Islam sebagai realitas politik sebagaimana

dimanifestasikan orang Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jadi yang dimaksud

politik Islam adalah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai

acuan nilai (value reference) dan basis solidaritas (solidarity basic) kelompok.

Politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang

melahirkan sikap dan prilaku politik (political behavior) serta budaya politik (political

culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam.2 Sikap dan prilaku serta budaya politik yang

memakai kata sifat Islam, menurut Taufik Abdullah, bermula dari suatu kepribadian moral

dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.3 Senada dengan Din Syamsuddin,

Azyumardi Azra mengemukakan pandangan antropolog Dale Eickelman dan ilmuwan politik

James Piscatori yang menyimpulkan bahwa gambaran politik Islam (Muslim) di seluruh dunia

dewasa ini adalah pertarungan terhadap “penafsiran makna-makna Islam dan penguasaan

lembaga-lembaga politik formal dan informal yang mendukung pemaknaan Islam tersebut”.

Pertarungan seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan tentang Islam yang pada

gilirannya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan.4

Keinginan komunitas Muslim untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam berupa moral

Islam dan teori etika politik sebagai prilaku kenegaraan dan pemerintahan, bahkan

menjadikan syari’ah (Islam) dasar negara, acap kali melahirkan ketegangan-ketegangan

1 Meski Islam di Asia Tenggara sering disebut sebagai Islam periferal (Islam Pinggiran), dalam kenyataannya

perhatian Barat terhadap dunia Islam tidak saja terfokus kepada wilayah Timur Tengah. Islam di Asia Tenggara

kini menjadi perhatian Barat setelah perkembangan Islam yang luar biasa di Malaysia, Indonesia, dan Filipina.

Karena itu, Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja dalam percaturan politik global dewasa ini. Lihat

Khamami Zada, Politik Islam Radikal Survei wacana dan Gerakan Islam di Indonesia, dalam Jurnal Demokrasi

dan HAM, The Habibie Center, Jakarta, Vol. 3, No. 1 Januari – April 2003, hal. 38. 2 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta,

2000, Cet. 1, hal. 3 3 M. Din Syamsuddin, ibid., hal. 3

4 Azyumardi Azra, Kata Pengantar” (hal. XVI) dalam Idris Thaha, Demokrasi Religius, Mizan, Bandung, 2005,

Cet. 1.

Page 2: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

hubungan politik antara agama (Islam) di satu sisi dan negara di sisi lain. Bahkan hubungan

yang tegang itu bisa memuncak pada konflik antara keduanya.5

Kesulitan dalam upaya mengembangkan sintesis antara praktik dan pemikiran politik

Islam dengan negara tidak hanya dialami oleh penduduk Muslim di Indonesia saja, hal serupa

pun dialami oleh negara-negara Muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan,

Malaysia dan Aljazair.6

Jika bukan permusuhan, maka ketegangan yang tajam adalah

fenomena yang mewarnai hubungan politik antara agama (Islam) dengan negara sebagai

konsekwensi logis dari upaya pengembangan sintesis tersebut di atas.

Ada dua hal yang bersifat kontradiktif dalam konteks hubungan politik antara Islam

dan negara di negara-negara Muslim atau negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti

Indonesia. Kedua hal tersebut yakni; Pertama, posisi Islam yang menonjol karena

kedududukannya sebagai agama yang dianut sebagian besar penduduk negara setempat.

Kedua, sekalipun dominan Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan politik

negara bersangkutan.

Sebagai agama yang dominan dalam masyarakat Indonesia, Islam telah menjadi unsur

yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia dan merupakan salah satu unsur terpenting

dalam politik Indonesia. Namun demikian Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah

kehidupan politik nasional. Hal ini antara lain disebabkan karena dikotomi “politik Islam” dan

“non politik Islam” di kalangan umat Islam Indonesia yang telah berlangsung lama.7

Pertentangan atau konflik antara Islam dengan birokrasi (negara) bukanlah suatu hal

yang baru, tetapi telah mempunyai akar-akar sejarah dan kultural sejak lama.8 Hal itu berarti

bahwa konflik tersebut telah terjadi pada masa pemerintahan Soekarno maupun masa

pemerintahan Soeharto.

Pada masa Soekarno, sebagai contoh, kekuatan-kekuatan politik yang berdasarkan

Islam dipandang sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat mengancam,

mengganggu, dan bahkan merobohkan landasan negara yang nasionalis. Karena alasan

tersebut, rezim penguasa selalu berupaya untuk melemahkan dan menjinakan kekuatan-

kekuatan politik Islam saat itu karena dicurigai menentang idiologi negara, Pancasila.9

Kecurigaan tersebut terus berlangsung sampai masa Orde Baru (1966 – 1998) sehingga pada

tahun 1983, Soeharto menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan

bernegara bagi semua organisasi massa dan organisasi politik.10

Penentapan Pancasila sebagai asas tunggal tersebut mengundang perdebatan yang luas

dan tajam di kalangan parpol, ormas Islam maupun pemerhati perpolitikan Islam di Indonesia.

Menurut Bahtiar Effendi, alasan penetapan tersebut bukan karena eksklusivisme partai-partai

politik yang ada, yang dalam hal ini PPP dan PDI, namun karena pola yang dikembangkan

Orde Baru sendiri yang tidak mentolelir perbedaan.11

5 Lihat Akh. Muzakki, Mengupas Pemikiran Agama dan Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi, Lentera,

Jakarta, 2004, Cet. 1, hal. 21 dan 22. 6 Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia,

Paramadina, Jakarta, 1998, Cet. 1, hal. 2 7 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, Cet. 1, hal. 21

8 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim

Orde Baru, Paramadina, Jakarta, 1995, Cet. 1, hal. 4 9 Bahtiar Effendy, op.cit., hal. 2 – 3

10 Banyak sumber tulisan yang membicarakan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi

sosial dan politik diantaranya saja M. Syafi’i Anwar, op.cit., hal. 9; lihat juga Moerdiono, Infrastruktur Politik

Kita Masih Lemah dalam Elza Peldi Taher (ed), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Paramadina,

Jakarta, 1994, Cet. 1, hal. 16. 11

Akh Muzakki, op.cit., hal. 23

Page 3: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Pemerintah Orde Baru yang sangat menekankan pembangunan ekonomi memandang

bahwa kegagalan Orde Lama terletak pada kenyataan terlalu banyaknya partai politik, yang

secara idiologis bukan hanya berbeda tetapi bahkan sering bertolak belakang satu sama lain,

yang pada gilirannya menciptakan friksi-friksi dan konflik di masyarakat secara

keseluruhan.12

Strategi pembangunan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan

ekonomi hanya bisa dilakukan dalam iklim politik yang stabil dan mantap. Untuk itu, tegas

Azyumardi Azra, pemerintah melakukan penataan kembali (restrukturisasi) politik guna

menciptakan format baru politik yang dapat mendukung pembangunan ekonomi.13

Intoleransi pemerintah Orde Baru terhadap perbedaan, terbukti dari penolakannya

terhadap rehabilitasi Masyumi dan pengajuan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII),

penyederhanaan partai politik dari sembilan menjadi tiga partai, dan penetapan Pancasila

sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan sosial dan politik sebagai puncak restrukturisasi

yang juga sering diartikan sebagai proses “depolitisasi” Islam.14

Penolakan terhadap organisasi dan partai berlabel “Islam yang kental”, seperti PDII

dan Masyumi di atas, menurut Ridwan Saidi, beralasan karena dibalik itu muncul itikad

politik pemerintah untuk menata kembali sistem kepartaian warisan Orde Lama. Sedangkan

penyederhanaan partai-partai politik itu, seperti diamati oleh Deliar Noer “dilakukan sebagai

salah satu upaya untuk memudahkan sosialisasi asas tunggal Pancasila”. Senada dengannya,

Amien Rais,15

menegaskan, proses penyederhanaan kepartaian yang terjadi di masa Orde

Baru sudah tentu juga dilakukan dalam rangka mencapai stabilitas politik.

Berbeda dengan dekade 60-an dan 70-an, dimana pemerintah Orde Baru bertindak

kooptatif dan represif terhadap gerakan politik Islam yang bersifat legal formal (idiologis-

politis) seperti tersebut di atas, memasuki pertengahan tahun 80-an hingga pertengahan 90-an

terjadi pergeseran paradigma politik pemerintah; dari kooptasi-represi ke paradigma politik

akomodasi.16

Perubahan itu seiring dengan pergeseran paradigma politik Islam dari format

legalistik formal ke substansialistik-kultural.17

Pergeseran format politik Islam itu didasarkan

pada asumsi bahwa kepentingan Islam tidak mesti dibatasi pada partai-partai yang secara

formal berasaskan Islam, tetapi juga partai-partai yang secara kultural memperjuangkan nilai-

nilai Islam.

12

Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani Gagasan, Fakta dan Tantangan, op.cit., hal. 138. 13

Azyumardi Azra, Kata Pengantar dalam Ridwan Saidi, Islam Pembangunan Politik dan Politik

Pembangunan, Pustaka Panjimas, Jakarta, Cet. 1. hal. XI. 14

Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, op.cit., hal. 32 dan 33. Menurut Kuntowijoyo dan

M. Din Syamsuddin, “Depolitisasi” Islam bukan “Deislamisasi”. Bagi keduanya, “depolitisasi” Islam akan

semakin memberikan ruang gerak kekuasa kepada Muslim untuk mengartikulasikan cita-cita Politik Islam

melalui gerakan kultural. Lihat Kuntowijoyo, Strategi Baru Politik Umat Islam dalam Erlangga dlk (ed),

Indonesia di simpang jalan, Mizan, Bandung, 1998, Cet. II, hal. 189. Lihat Din Syamsuddin, op.cit., hal. 18. 15

M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1991, Cet. III, hal. 150. 16

“Politik Kooptasi-represi“ dan “Politik Akomodasi” adalah dua istilah yagn digunakan pemerintah Orde Baru

untuk merespon format politik Islam dekade 60-an–90-an. Untuk istilah pertama, negara menggunakan

kebijakan “domestikasi”. Kekuatan politik Muslim melalui proses pelemahan partai-partai politik Islam. Dalam

konteks parpol kepakuman terjadi, dan tidak untuk dinamika pemikiran politik. Pada saat itu Soeharto menjadi

sosok yang sangat dominan. Untuk istilah kedua, negara membuat sejumlah kebijakan yang dinilai

menguntungkan umat Islam. Diantaranya saja; disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (1988),

Undang-Undang Peradilan Agama (1989), dukungan terhadap berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI).

Untuk lebih lengkapnya, lihat M. Syafi’i Anwar, op.cit., hal. 12; Erlangga, dkk (ed), op.cit., hal. 188; Idris

Thoha, op.cit., hal. 190; Khumami Zada, op.cit., hal. 36; R. William Lidle, Skripturalisme Media Dakwah :

Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru dalam Mark R. Wood Ward,

Jalan Baru Islam, 1999, Cet. II, hal. 308; Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Gema

Insani Press, Jakarta, 1996, Cet. I, hal. 28. 17

Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, op.cit., hal. 31

Page 4: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Sekalipun di satu sisi, dengan politik “akomodasi” pemerintah Orde Baru

melaksanakan kebijakan-kebijakan yang boleh jadi menguntungkan “umat Islam”, namun di

sisi lain pada saat yang sama (sejak pertengahan tahun 1980-an) suasana Orde Baru ditandai

dengan menurunnya toleransi publik secara drastis akibat adanya praktik ketidakadilan

ekonomi dan politik. Gejala tersebut diperkuat oleh beberapa indikasi protes menuntut adanya

perubahan politik menggema di beberapa daerah, pada akhir 1988, mahasiswa memprotes dan

menuntut adanya pergantian kepemimpinan nasional, dan pada pertengahan 1989, protes

datang dari berbagai lapisan masyarakat (intelektual, purnawirawan maupun para buruh.18

Berbeda dengan legitimasi pemerintah Orde Baru yang semakin menurun, justru

dinamika pemikiran Muslim memberikan harapan yang optimistik, seperti disinyalir oleh R.

William Lidle,19

tidak diragukan lagi, dalam kurun waktu itu, kaum modernis Islam di

Indonesia telah menunjukkan kreativitas yang besar. Hal itu ditandai oleh tampilnya

kelompok pemikir substansialis yang anti kelompok skripturalis.

Dalam konteks hubungan Islam dan negara, kelompok yang disebut terakhir, memiliki

kecenderungan untuk menekankan aspek legal-formal idealisme politik Islam yang ditandai

oleh keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi negara (nation

state). Sedangkan kelompok pertama, lebih menekankan substansi daripada bentuk negara

yang legal dan formal. Model ini lebih cenderung menekankan nilai-nilai keadilan,

persamaan, musyawarah, dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip

Islam.20

Karenanya, model teoritis politik Islam ini menawarkan banyak kemungkinan yang

menjanjikan mengenai revitalisasi umat Islam, penyelesaian atas masalah ketegangan yang

berkepanjangan antara Islam dan negara dan hubungan yang lebih diwarnai oleh sikap saling

menghargai dan toleransi dengan umat Kristen dan umat agama non-Islam lainnya.21

Karenanya, rezim Orde Baru yang didukung oleh kekuatan militer secara konsisten

menentang ekspresi politik skripturalisme, terutama gagasan negara Islam, dan pada saat yang

sama mendukung banyak kegiatan kaum substansialis. Langkah-langkah tersebut didorong

oleh berbagai alasan historis yang terekam dalam dinamika politik Indonesia masa merdeka.22

Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tahun 1990 atas

dukungan rezim Orde Baru merupakan bukti paling penting yang menunjukkan melunaknya

sikap Soeharto terhadap politik Islam. (hal ini, semakin memperkuat wacana politik

akomodasi rezim Orde Baru).23

Dukungan dan penerimaan rezim Soeharto terhadap

keberadaan ICMI merupakan proses pencarian dukungan besar dan potensial dari umat

Islam.24

Sementara itu, wacana politik akomodasi rezim Orde Baru yang semakin menguat

(dekade 90-an) akhirnya tidak mapu merobohkan gelombang demontrasi yang terjadi hampir

di seluruh negeri, terutama di kota-kota besar yang dipicu oleh krisis moneter pada akhir

1997. Ketidakmampuan rezim Orde Baru dalam mengatasi keterpurukan ekonomi, nilai

rupiah yang anjlok, harga BBM yang membumbung tinggi, kebutuhan pokok rakyat yang

melangit dan kemiskinan kian merajarela di mana-mana, semakin mendorong gerakan

18

Lihat Akh. Muzakki, op.cit., hal. 24 19

R. William Lidle dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam, op.cit., hal. 284. 20

Bahtiar Effendi, op.cit., hal. 14 dan 15. 21

Lidle, op.cit., hal. 284 22

Salah satu sebab pemerintah mengapresiasi kalangan substansialisme adalah adanya kesamaan pandangan

antara kaum substansialis dengan pemerintah, khususnya dalam hal menentang dijadikannya syari’ah sebagai

hukum positif. Sedangkan keinginan kaum skipturalisme menjadikan syari’ah sebagai hukum positif negara

dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan negara. Lihat Lidle, ibid., hal. 299. 23

Lihat Lidle, ibid., hal. 309. 24

Arief Budiman, Cendekiawan dan Penguasa, dalam Mukhaer Pakkanna, Embrio Cendikiawan

Muhammadiyah, Yayasan Penerbit Pers Suara IMM, Jakarta, 1995, Cet. 1, hal. 34

Page 5: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

reformasi. Amien Rais bersama komponen masyarakat (mahasiswa, akademisi dan

masyarakat umumnya) menyuarakan pentingnya melakukan reformasi ekonomi, politik dan

hukum. Puncak dari perjuangan gerakan reformasi adalah lengsernya Soeharto pada tanggal

20 Mei 1998.25

Dalam konteks ini gagasan “Suksesi” yang digunakan Amien sejak 1993

menemui salah satu maknanya dalam wacana perpolitikan Islam Indonesia.

Di tengah respon pemerintah Orde Baru terhadap kedua model teoritis politik islam

yang bersifat kontradiktif satu sama lain dalam kaitannya dengan relasi Islam dan negara itu,

tampil M. Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh Universalis yang berpandangan bahwa

Islam, adalah agama Universal yang berdasar pada tauhid. Islam sejak awal punya sifat

revolusioner yang memungkinkan umat Islam ambil bagian dalam perubahan sosial.

Karenanya, Amien Rais senantiasa mengaitkan pemikirannya dengan benang merah Al-

Qur’an. Dan dari sinilah akar filsafat pemikirannya menghablur dalam bingkai “Tauhid

Sosial”, begitu ungkap Idi Subandi Ibrahim.26

Pemikiran-pemikiran Amien tentunya ikut mewarnai komunitas Islam yang cukup

besar di Indonesia, yakni Muhammadiyah. Hal tersebut diperkuat oleh posisi dan peran

Amien yang dalam kurun waktu 13 tahun menduduki beberapa jabatan strategis di

kepengurusan Muhammadiyah Tingkat Pusat.27

Atas pertimbangan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi masa Islam terbesar

setelah NU di Indonesia, dengan sebagian besar pengikutnya berada di perkotaan yang

memiliki akses informasi lebih baik ketimbang masyarakat pedesaan, posisi dan daya tawar

Amien semakin diperhitungkan. Selain itu, kapasitas intelektualnya yang dianggap sebagai

“lokomotif” organisasi Muhammadiyah menjadi saksi atas kebijakan politik akomodasi

pemerintah Orde Baru terhadap format politik Islam. Dalam konteks ini, dan dalam kaitannya

dengan persoalan relasi Islam dengan negara dalam pengertian model bangunan politik negara

Indonesia, pemikiran dan aksi Amien menjadi sangat menarik untuk diteliti secara mendalam.

Ditetapkannya Amien Rais sebagai subjek penelitian, disamping didasarkan atas

pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, juga atas alasan-alasan sebagai berikut : langkah

dan aksi politik Amien Rais tampak berani, terbuka, blak-blakan, vokal, tegas dan

mendobrak; Amien adalah intelektual Sunni yang kritis; beberapa posisi dan peran yagn

diemban dalam kontelasi politik nasional; Ketua Umum PAN dan MPR Periode (1999 –

2004); Pembentukan Poros Tengah yang berhasil merangkul partai-partai berbasis massa

Islam, hingga melahirkan manuver yang bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid menjadi

Presiden RI (1999); dan langkah Amien Rais mengikuti bursa pencalonan Presiden Indonesia

pada Pemilu 1999 dan 2004 mendapatkan respon dan reaksi berbagai kalangan masyarakat.

Mengingat bahwa karakter suatu pemikiran tidak tetap atau dapat berubah, karena

bagaimana pun ia merupakan hasil olah akal-budi manusia atas pemahaman suatu “realitas”

yang terikat oleh ruang dan waktu, dan karena tokoh yang diteliti masih hidup, maka

penelitian yang dilakukan dibatasi dalam kurun waktu (1985 – 2000). Hal ini dilakukan

supaya pembahasan tidak bias sehingga suatu pemikiran yang utuh tentang “Politik Islam

Indonesia dari seorang tokoh M. Amien Rais dapat ditemukan.

25

Lihat Kholid O. Santoso D. Chaerul Salam, Menuju Presiden RI 2004, Pertarungan Strategi, Koalisi dan

Kompromi, Sega Arsy, Bandung, 2004, Cet. I, hal. 38; Abd. Rohim Ghazali (ed), M. Amien Rais dalam Sorotan

Generasi Muhammadiyah, Mizan, Bandung, 1998, Cet. I, hal. 77; Kholid Novianto dan Acehaidar, Era Baru

Indonesia Sosialisasi Pemikiran Amien Rais, Hamzah Haz, Matori Abdul Djalil, Nurmahmud, Yusril Ihza

Mahendra, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, Cet. I, hal. 34. 26

Idi Subandy Ibrahim, Sekapur Sirih Editor, dalam M. Amien Rais Membangun Politik Adiluhung

Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Zaman Wacana Mulia, Bandung, 1998,

Cet. 1, hal. 23. 27

Lihat Idris Thaha, op.cit., hal. 136

Page 6: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Atas dasar beberapa alasan tersebut di atas, penulis mencoba meneliti pemikiran

politik Amien Rais dalam konteks keIndonesiaan yang diformulasikan ke dalam sebuah judul

“PANDANGAN M. AMIEN RAIS TENTANG POLITIK ISLAM INDONESIA

PERIODE 1985 – 2000”.

B. Identifikasi Masalah

Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia memiliki

makna yang strategis dalam konstelasi politik Indonesia. Hal ini, menunjukkan pentingnya

posisi agama dalam kehidupan negara, sosial, ekonomi, maupun politik. Karenanya hampir-

hampir tidak mungkin untuk memisahkan antara kehidupan agama dan kehidupan negara.

Ungkapan tersebut mengisyaratkan betapa sulitnya kegiatan keduniawian sepenuhnya

terbebaskan dari pengaruh nilai-nilai agama. Atas dasar itu, politik di Indonesia tidak dapat

dipisahkan dari Islam. Sebaliknya komunitas Islam sendiri tidak mungkin melepaskan

kegiatan mereka dari pengaruh agama yang dianutnya.

Hal di atas menunjukkan betapa politik memiliki posisi tersendiri dalam ajaran Islam.

Karena itu, politik merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam hingga dapat dipahami bahwa

perjuangan politik seakan-akan perjuangan agama itu sendiri. Sejarah mencatat sejak awal

mulanya dalam Islam, politik dan agama sedemikian erat jalin menjalin sehingga tidak dapat

dipisahkan.

Namun demikian, tidak berarti bahwa perjalanan hubungan antara Islam dan politik

dalam realisasi kehidupan masyarakat Islam steriil dari problematika. Bagaimana menata

posisi agama dan negara merupakan salah satu persoalan yagn tergolong krusial dan

menimbulkan kontroversi dalam wacana politik Islam, berkenaan dengan pemikiran agama

dan politik (negara). Hal itu lebih terasa pada masa modern dimana antara Islam dan negara

merupakan salah satu buyek penting yang –meski telah diperdebatkan para pemikir Islam

sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini—tetap belum terselesaikan secara tuntas.

C. Perumusan Masalah

Teologi Islam dalam pengertian bagaimana Islam dipahami dan dihayati, pada

dasarnya adalah cara-cara Islam harus memberi respon terhadap realitas di sekitarnya pada

suatu saat tertentu.28

Dengan teologi yang dinamis itu memungkinkan bagi seorang Muslim

untuk mencoba merumuskan kembali ajaran Islam ke dalam program keduniaan yang lebih

aktual. Termasuk perumusan hubungan antara agama (Islam) dan negara sebagai salah satu

persoalan dalam diskursus politik Islam.

Sementara itu, wahyu sebagai sumber ajaran Islam, dalam hubungannya dengan

realitas tidak selalu bersifat dialektis, tetapi lebih bersifat interpretatif, artinya pemahaman

seseorang terhadap wahyu yang menghasilkan suatu pemikiran, dalam hubungannya dengan

realitas bersifat dialogis. Begitu pun halnya dengan model teoritisi politik Islam sebagai

produk pemahaman atas ajaran-ajaran Islam berada dalam kerangka dialogis. Karena itu,

untuk memahami gagasan atau pemikiran politik M. Amien Rais, terlebih dahulu harus

dipahami pandangan keagamaannya, karena hubungan antara keduanya bersifat dialogis.

Atas pertimbangan asumsi di atas, pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai

berikut :

1. Bagaimana pandangan keagamaan Amien Rais?

2. Bagiamana pandangan Amien Rais tentang negara?

3. Bagaimana pandangan Amien Rais tentang hubungan politik antara Islam dan negara?

D. Tujuan Penelitian

28

Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, Cet. II, hal. 140

Page 7: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Berdasar pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang dilakukan

adalah:

1. Untuk mengetahui pandangan keagamaan Amien Rais.

2. Untuk mengetahui pandangan Amien Rais tentang negara.

3. Untuk mengetahui pandangan Amien Rais tentang hubungan politik antara Islam dan

negara.

E. Metode dan Pendekatan

Studi ini merupakan penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan

metode deskriptif analisis-eksplanatoris, artinya penulis berupaya untuk memaparkan politik

Indonesia secara umum sebelum akhirnya akan mendeskripsikan kerangka pemikiran Amien

Rais tentang “Politik Islam Indonesia”. Kemudian dilakukan analisis dengan interpretasi

tentang substansi pemikiran Amien Rais.

Sesuai dengan sifat studi pustaka, penelitian diawali dengan menelusuri dan

merecover bukub-buku atau tulisan-tulisan yang disusun oleh Amien Rais serta karya-karya

orang lain yang ada kaitannya dengan pokok penelitian. Sejumlah karya Amien Rais, baik

yang berupa buku, artikel, brosur, dan catatan pribadi, dijadikan sebagai sumber primer.

Sedangkan tulisan atau informasi lain yang berhasil dihimpun dari para simpatisan atau

peneliti lainnya dijadikan sumber data sekunder.

Langkah selanjutnya, penelitian ditempuh dengan cara mengemukakan pemikiran-

pemikiran Amien Rais tentang politik, disertai dengan melakukan analisis dalam bingkai

pemikiran agama, untuk mencari pola hubungan politik antara Islam dan negara dalam tata

bangunan politik Indonesia secara umum. Sehingga dengan demikian, maka dapat diketahui

paradigma pemikiran Amien Rais tentang “Politik Islam Indonesia”.

Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologi dan hermeneutik

(penafsiran). Pendekatan teologi yang dimaksud adalah bagaimana Islam dihayati dan

dipahami, sehingga Islam bisa memberikan respon terhadap realitas di sekitarnya berdasarkan

setting yang mengkondisikannya. Sedangkan teori hermeneutik yang memiliki tujuan untuk

memberikan penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding), berdasarkan pada

tujuan ini, ungkap Michael T. Gibbons,29

dipandang sebagai serangkaian teknik metodologis

yang dibutuhkan untuk mengatasi tipe pemahaman tekstual menjadi sebuah pemahaman yang

sifatnya kontekstual.

Kaitannya dengan persoalan yang diteliti, kedua pendekatan di atas digunakan untuk

mengetahui pemahaman keagamaan Amien Rais tentang sosial-politik, dan

kontekstualisasinya dengan politik sebagai praktik, terutama persoalan hubungan politik

antara Islam dan negara.

29

Michael T. Gibbons (ed), Tafsir Politik Interpretasi Hermeneutis Wacana Sosial – Politik Kontemporer,

Qalam, Yogyakarta, 2002, Cet. I, hal. xxviii.

Page 8: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

BAB II

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

PANDANGAN M. AMIEN RAISTENTANG POLITIK ISLAM INDONESIA

(Telaah atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000)

1. Paradigma Pemahaman Keagamaan Amien Rais Yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pendekatan yang dilakukan Amien

dalam memahami persoalan keyakinan keagamaan. Orientasi model pendekatan dalam rumusan

awal ini, lebih difokuskan pada pandangan-pandangan intelektual Amien terhadap persoalan-

persoalan mendasar agama yang mencakup konsep-konsep : 1) Tauhid; 2) Syari’ah, 3) Agama

sebagai suatu “citra” (normativitas) dan sebagai suatu “fakta” (historisitas).

a. Tauhid; sumber dan dasar penegakkan keadilan sosial

Menurut Amien Rais, ada dua jenis tauhid, yakni tauhid aqidah (tauhidullah) dan tauhid

sosial. Yang dimaksud dengan tauhid aqidah adalah dua kategori tauhid yang lazim dikenal dalam

ilmu ushuluddin yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah. Adapun tauhid sosial adalah

dimensi sosial dari tauhidullah (tauhid aqidah). Konsep tauhid sosial ini dimaksudkan agar

tauhidullah yang sudah tertanam dalam pemikiran umat Islam dapat direalisasikan ke dalam

realitas sosial secara kongkret.30

Konsep tauhid secara sosio-kultural memiliki misi untuk menbangun suatu orde

masyarakat yang egaliter atau memiliki kesamaan derajat.31 Untuk itu, konsep tauhid memiliki

implikasi sosial yang sangat bermakna. Dengan pengertian yang lebih luas, melalui konsep tauhid

sosial, Amien terpanggil untuk menerapkan keadilan sosial. Artinya, tujuan inti dari gagasan

tauhid sosial adalah terwujudnya masyarakat yang adil sekaligus mendapat ridha Tuhan. Konsep

ini didasarkan pada pemahaman bahwa benang merah Islam itu adalah keadilan.32 Bahkan dengan

tegas Amien mengatakan bahwa hal pertama yang harus ditegakkan menurut al-Qur’an adalah

keadilan, baru kemudian berbuat kebajikan.33

Karena “masyarakat yang adil” adalah tujuan utama konsep tauhid sosial, maka

diskriminasi atas masyarakat manusia berdasrakan ras, jenis kelamin, agama, bahasa dan

pertimbangan etnis, tidak dikenal dan dibenarkan adanya. Oleh karena itu keadilan sosial yang

konprehensif harus ditegakkan oleh manusia-manusia beriman.34

Penegakkan keadilan sosial, menurut Amien Rais dapat ditempuh dua cara. Pertama,

bersifat jangka pendek (sementara), yakni dengan cara menyantuni orang-orang yang serba

kekurangan. Dalam hal ini, sikap kedermawanan, menurut hemat penulis lebih menunjukkan pada

pemenuhan kesalehan individual yang bersifat karatif ketimbang perwujudan solidaritas sosial

yang lebih mendasar. Karenanya, cara pertama ini dipandang kurang mengatasi persoalan

(kesenjangan sosial) secara mendasar. Kedua, upaya-upaya yang berdimensi jangka panjang,

yakni penyelesaian persoalan melalui cara pelacakan dan pembongakaran terhadap fondasi dan

bangunan yang menjadi sumber persoalan ketidakadilan sosial tersebut. Cara kedua ini lebih

merupakan penemuan dan atau penataan kembali terhadap struktur-struktur sosial, ekonomi dan

politik yang lebih berkeadilan, sehingga lebih berdimensi jangka panjang ketimbang cara pertama.

30

M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., hal. 107-108; lihat juga Membangun Politik Adiluhung, op.cit., hal.

127. 31

Firdaus Syam, Amien Rais Politik yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,

2003, Cet. I, hal. 188; Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern,

Khaerul Bayan, Jakarta, 2003, hal. 180. 32

M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., hal. 110 33

Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, op.cit., hal. 10; M. Amien

Rais, Membangun Politik Adiluhung, op.cit., hal. 127 34

M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., hal. 110

Page 9: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Betapa penting tauhid sosial dalam pemahaman Amien, semakin membuktikan asumsi

dasar Amien bahwa tauhid merupakan sentrum suara hati dan pikiran setiap Muslim. Tauhid

(sosial) merupakan sentrum dan esensi dari seluruh ajaran Islam.35

Tauhid adalah platform

seluruh nilai-nilai luhur Islam, jika platform itu sendiri tidak jelas, maka seluruh nilai yang

dibangun di atasnya akan menjadi centang perenang.36

Oleh karenanya, seluruh dimensi

kehidupan Muslim mesti dijiwai oleh dan bertumpu pada tauhid. Hanya dengan mendasarkan

seluruh aktivitas kegiatan hidup pada tauhid, umat Islam dapat mencapai suatu kesatuan

monoteistik (monotheistic unity) yang meliputi semua bidang dan kegiatan hidup, termasuk

kehidupan berbangsa dan berpemerintahan.37

b. Syari’ah sebagai Sistem Hukum

Dalam pengertian yang longgar, syari’at bisa merujuk kepada Islam sebagai agama

Tuhan. Sebagai hukum Tuhan syari’at menempati posisi paling penting dalam masyarakat

Islam. Sebab syari’ah mencakup moral, prilaku, tata aturan mulai dari peribadatan hingga

urusan kenegaraan, yang secara keseluruhan sangat bergantung pada kesadaran manusia.38

Sebagai sistem hukum, syari’ah menurut Amien merupakan hukum yang lengkap dan

terpadu.39

Dengan menetapkan tauhid sebagai sentrum kehidupan, umat Islam dapat menarik

atau mendeduksi nilai-nilai etik, moral, dan norma-norma pokok dalam ajaran Islam sebagia

patokan dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Amien, ajaran pokok

yang dideduksi atau paradigma bagi aturan-aturan yang lebih rendah derajatnya yang dibuat

berdasarkan akal manusia. Dalam konteks ini, hubungan antara tauhid dengan aturan-aturan

sosial, seperti hubungan antara ushul (pokok) dengan furu’ (cabang). Karenanya aturan-aturan

atau sistem sosial sebagia “cabang” tidak boleh bertentangan dengan ajaran pokok tauhid

sebagai “pokok”.

Pemikiran yang berpusat pada tauhid kemudian melahirkan teori-teori yang

kesemuanya bertumpu pada syariah. Syari’ah merupakan prinsip-prinsip atau aturan universal

yang mendeduksi tauhid ke dalam sistem ajaran yang menjadi jalan hidup (way of life) bagi

umat Islam. Suatu masyarakat Islam, dengan demikian tidak mungkin mengambil sitem

kehidupan selain syari’ah. Syari’ah yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits telah

memberikan sekema kehidupan (scheme of life) yang sangat jelas.

Dalam pemahaman Amien, Syari’ah bukan hanya menunjukkan apa yang termasuk

ma’rufat dan apa yang tergolong dalam munkara, melainkan juga menentukan sekema

kehidupan untuk menumbuhkan ma’rufat dan mencegah agar munkarat tidak merancukan

kehidupan manusia. Akibat logisnya, syari’ah mengatur kehidupan individual dan kolektif

manusia, baik yang berhubungan dengan ibadat ritual maupun masalah-masalah sosial.

Dalam pandangan Amien Rais, syari’ah yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan

masyarakat dan sebagai hasil pewahyuan Al-Qur’an dan Sunnah, merupakan sekema atau

kode kehidupan yang bersifat fleksibel dan dinamis yang diberikan Islam kepada manusia

untuk mengatur kehidupannya.Syari’ah, ungkapnya adalah kehendak Allah yang harus

dijadikan sumber hukum dalam masyarakat Islam, dan bukan kehendak manusia. Karena itu,

mereka sudah semestinya tidak mengambil sistem kehidupan selain syari’ah. Jika mereka

mengambil sistem kehidupan selain syari’ah seperti sistem kapitalisme atau sosialisme –

35

Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gusdur dan Amien Rais, op.cit., hal. 88-89. 36

M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam John J. Donahue John L Esposito, Islam dan Pembaharuan

Ensiklopedi Masalah-Masalah (Terj. Machnun Husein), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, Cet. 3, hal. xiv. 37

M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 42 38

Mustolah Maufur, Pengantar Penerjemah, dalam Salim Ali Al-Bahnasawi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1996,

Cet. I, hal. ii 39

M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 52.

Page 10: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Marxis,40

sudah pasti mereka bukan masyarakat Islam lagi. Hal demikian karena syari’ah

adalah suatu kesatuan organis yang harus diteirma secara utuh. Jika diambil sebagian dan

dilepas yang lainnya, maka syari’ah akan kehilangan fungsinya.

Bagi Amien Rais, syari’ah merupakan sistem hukum yang lengkap dan terpadu, yang

telah meletakkan dasar-dasar (fundamental), tidak hanya bagi hukum konstitusional, tetapi

juga hukum administratif, pidana, perdata, bahkan hukum internasional. Sekalipun demikian,

syari’ah hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja, mengingat masyarakat manusia

tumbuh secara dinamis dan selalu menghendaki keluwesan,kreativitas, dan dinamika hukum.

karenanya, yang harus diingat bahwa dalam syari’ah, disamping terdapat bagian-bagian yang

tidak dapat diubah ada pula bagian yang bersifat fleksibel, agar dapat memenuhi tentunya

perubahan zaman yang dinamis.

Menurut Amien ada dua kategori hukum; 1) kategori hukum Islam yang tidak berubah

dan tidak dapat diubah, disebabkan oleh sifatnya yang sangat menentukan nasib dan

kehidupan manusia. Kategori hukum ini bersifat permanen dan tidak menerima amandemen

dan modifikasi, sekedar contoh : larangan riba dan judi, serta peraturan hukum waris. 2)

Elemen-elemen hukum yang dapat dimodifikasi sesuai dengan dinamika zaman dan

perkembangan masyarakat. Bagian yang dimaksud berkenaan dengan persoalan-persoalan

yang tidak dijelaskan secara explisit oleh al-Qur’an dan Sunnah.

Mengamati pemikiran-pemikiran Amien di atas, secara sederhana dapat disimpulkan

bahwa pandangan keagamaannya terhadap persoalan-persoalan hukum yang ketentuannya

sudah ditetapkan secara eksplisit dan qath’i dalam al-Qur’an dan Hadits, tampaknya bersifat

legalistik-formalistik (hukum waris). Sementara itu, berkenaan dengan hukum-hukum yang

ketentuannya tidak dijelaskan oleh al-Qur’an maupun Hadits, menurut Amien persoalan

tersebut memungkinkan sekali untuk dilakukan penafsiran dan pemaknaan ulang, sepanjang

hal itu berdasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang menjadi pesan inti

agama (seperti ketentuan zakat sebanyak 2,5 %).

Ketentuan zakat sebanyak 2,5% sebagaimana diketahui selama ini, bukan merupakan

harga mati, dalam arti batas ukuran maksimal, karena ketentuan itu menurut Amien bukan

penjelasan eksplisit al-Qur’an dan Hadits, melainkan hanya merupakan hasil ijtihad ulama

terdahulu. Untuk itu, ketentuan zakat bisa berubah lebih besar dari ketentuan awal (2,5%)

dalam kasus-kasus tertentu dan sesuai dengan kondisinya.

c. Agama; Antara Cita (Normativitas) dan Fakta (Historisitas)

Islam pada hakekatnya adalah suatu agama, ia juga suatu budaya dalam dirinya sendiri

dan peradaban yang menopang dirinya sendiri.41

Yang berarti juga bahwa agama bukan soal

sebagian-sebagian; ia bukanlah akal semata-mata, tidak pula hanya perasaan saja, atau pun

tindakan semata-mata, ia adalah ekspresi dari seluruh manusia.42

Totalitas makna agama

tersebut menunjukkan pada pengertian bahwa agama (Islam) selain memiliki dimensi

spiritual-transendental juga memiliki dimensi sosial-historikal.

Dengan demikian, secara garis besarnya prinsip agama Islam terdiri dari dua pilar.

Pertama, nilai spiritualitas tauhid. Kedua, nilai-nilai keadilan dalam kehidupan sosial

kemasyarakatan.43

Wilayah yang pertama disebut sebagai wilayah “doktrin”, “ajaran”,

“normativitas”, atau “das sollen”. Sedangkan wilayah kedua disebut wilayah “historisitas”,

40

M. Amien Rais mengemukakan 7 kelemahan sistem kapitalisme dan 6 kelemahan sosialisme Marxis,

penjelasan lebih lanjut, lihat M. Amien Rais, Cakrawala Islam, ibid., hal. 92-93 dan 94-95 41

Falurrahman Anshari, Gambaran Dasar Ideologi Islam, dalam Agah D. Garnadi (terj), Benturan Barat dengan

Islam, Mizan, Bandung, 1989, Cet. III, hal. 135. 42

M. Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, (Terj. Osman Raliby), Bulan Bintang, Jakarta, 1983,

Cet. III, hal. 33 43

M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan,

Bandung, 2000, Cet. I, hal. 203.

Page 11: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

atau wilayah das sein, yakni praktik ajaran agama secara kongkret dalam wilayah kesejarahan

manusia Muslim pada era, wilayah, dan budaya tertentu.

Dialektika atau proses dialog antara agama dengan realitas dalam bentuk penghadapan

secara dialogis antara “normativitas” wahyu di satu sisi dan “historisitas” berupa pemahaman

manusia terhadap wahyu di sisi lain, pada tataran realitas kongkret kehidupan manusia atau

pada tataran historisitas-empiris ini dimungkinkan sekali terjadinya anomali-anomali,

ketidaktepatan-ketidaktepatan antara “wahyu” sebagia sumber ajaran dengan “praktek

keagamaan” manusia sebagai hasil pemahamannya terhadap wahyu tadi.

Dalam konteks anomali dan ketidaktepatan di atas, “pembaharuan”, sebagai upaya

reinterpretasi, pemaknaan ulang, atau penyegaran kembali pemahaman keagamaan manusia

(umat), dipandang memiliki makna yang signifikan, sehingga kesesuaian antara dimensi

“normativitas” wahyu dengan dimensi “historisitas” pemahaman keagamana mendekati nilai

idealisme Islam. Signifikansi upaya pembaruan pemahaman Islam, oleh Amin Abdullah

diibaratkan dengan kebutuhan menemukan “ventilasi” untuk sebuah ruangan agar tidak terjadi

“kepengapan”.44

Sementara itu, “Pembaruan Islam” (tajdidul Islam) dalam pandangan Amien Rais,

tidak berarti Islam lantas diubah, dimodifikasi, ditambah dan dikurangi. Melainkan yang

dimaksud dengan pembaruan adalah sebagai upaya penyegaran kembali pemahaman Islam,

yakni penyegaran pemahaman dalam cara menyikapi al-Qur’an dan Sunnah, cara

mengaplikasikan ajaran dalam kehidupan modern, dan termasuk cara memandang berbagai

persoalan dan cara kerja.45

Menurut Amien, paling tidak ada lima agenda utama terkait dengan pembaruan Islam

yang harus direalisasikan secara serius. Pertama, pembaruan aqidah. Kedua, pembaruan

teologi Islam. Ketiga, pembaruan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keempat, pembaruan

organisasi dan manajemen. Kelima, pembaruan etos kerja. Menurut Amien rais, umat Islam

berada dalam kesenjangan antara wilayah “normativitas-idealitas” wahyu sebagai sumber

ajaran, dengan wilayah “historisitas-realitas” sebagai praktek keberagamaan umat.

Wacana dialogis antara Islam sebagai suatu doktrin (normatif) dan ekspresi

keberagamaan manusia-manusia Muslim (historis), disamping akan melahirkan anomali-

anomali, ketidaktepatan-ketidaktepatan juga akan menciptakan perbedaan titik tekan dan

perbedaan aksentuasi sehingga artikulasi ajaran dari suatu tradisi masyarakat di satu tempat

dan waktu dapat saja berbeda dengan tradisi masyarakat di suatu waktu dan tempat lainnya.

Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa Islam pada tahapan pemahaman, sikap, prilaku dan

tindakan masyarakat pemeluknya di suatu waktu dan tempat memungkinkan sekali untuk

berbeda dengan Islam di suatu waktu dan tempat lainnya. Dalam konteks ini, tradisi Islam

dalam bidang pemikiran dengan sendirinya adalah suatu budaya Islam yang merupakan hasil

dialog antara universalitas Islam dengan partikularitas tuntunan ruang dan waktu, melalui para

pemeluknya.46

Berkenaan dengan pengaruh tradisi lokal dalam ekspresi keberagamaan Muslim,

Amien Rais pun tidak menolak kenyataan tersebut. Senada dengan pandangan beberapa

intelektual di atas, Amien membedakan antara Islam orisinil (ideal Islam) dan Islam sejarah

(historical Islam). Menurut Amien, Islam orisinil adalah Islam yang ajarannya terkandung

dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Islam sejarah merupakan yang dipraktekkan oleh

44

M. Amin Abdullah, Islam Indonesia Lebih Pluralistik dan Demokratis, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI,

1995, hal. 74-75. 45

M. Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., hal. 53 46

Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Misi Baru Islam Indonesia,

Paramadina, Jakarta, 2003, Cet. II, hal. 44.

Page 12: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

umat Islam.47

Dengan kata lain, “Islam Ideal” adalah Islam dalam teori, dan “Islam Sejarah”

adalah Islam dalam praktek.

2. Pandangan Amien Rais tentang Konsep Negara

a. Konsep Politik dan Kekuasaan

Konsep adalah suatu rangkaian kata yang digunakan untuk menerangkan sesuatu

secara tepat sehingga dapat dipahami apa yang dimaksud.48

Oleh karena itu pandangan Amien

tentang negara berarti serangkaian kata (pandangan) yang digunakan oleh Amien untuk

menjelaskan makna negara dengan cakupannya, sehingga hal tersebut dapat dipahami dengan

jelas dan tepat.

Terdapat pandangan yang membedakan antara kekuasaan yang bernuansa politis dan

yang tidak. Konsep kekuasaan dalam perspektif politik berarti merupakan kemampuan

mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berprilaku sesuai dengan kehendak yang

mempengaruhinya. Dalam konteks ini, kekuasaan berkaitan dengan pemerintah selaku

pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai.sementara kekuasaan yang tidak

bernuansa politik dapat diketemukan seperti kemampuan para kiai atau pendeta maupun yang

lainnya untuk mempengaruhi jama’ah agar melaksanakan ajaran agama. Dalam hal ini,

kekuasaan tidak menyangkut kewenangan pemerintahan, melainkan menyangkut lingkungan

masyarakat yang lebih terbatas.49

Sementara itu politik dalam makna yang lebih luas, dipandang sebagai kegiatan

mencari, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat dimanapun

kekuasaan itu ditemukan. Politik dalam pengertian ini, tidak hanya menjadi hak istimewa

lembaga formal seperti negara, namunia terbuka bagi siapapun, atau merupakan hak bagi

setiap individu warga negara. Oleh karena itu, menuntut hak pribadi yang asasi seperti

kebebasan misalnya, merupakan salah satu bentuk partisipasi sosial-politik yang amat penting

dalam suatu tatanan masyarakat, begitu tegas Nurcholis Madjid.50

Senada dengan pandangan di atas, Amien menegaskan bahwa partisipasi politik yang

berujung pada pencapaian kekuasaan bukan merupakan hak monopoli kalangan tertentu saja,

melainkan terbuka bagi siapa pun. Lebih dari itu, dalam pandangannya, masyarakat Muslim

pun sejatinya harus berpartisipasi aktif dalam kegiatan itu. Hal tersebut karena Islam

merupakan agama yang bersifat komprehensif, menyentuh segala bidang kehidupan, termasuk

di dalamnya menganjurkan umat Islam untuk terlibat dalam kegiatan politik. Akan tetapi

politik yang dikehendaki oleh Islam, menurut Amien, politik yang wajar, konstitusional, legal,

terbuka, demokratis dengan mengindahkan akhlak dan moral agama itu sendiri. Kegiatan

politik menurut Amien harus menjadi bagian integral bagi kehidupan seorang Muslim.

Mengherankan jika seorang Muslim menjauhi, apalagi membenci politik, padahal politik

sangat menentukan arah dan nasibnya sendiri.51

Kegiatan politik menurut Amien harus

menajdi bagian integral bagi kehidupan seorang Muslim. Mengherankan jika seorang Muslim

menjauhi, apalagi membenci politik, padahal politik sangat menentukan arah dan nasibnya

sendiri.52

Gerakan Islam tidak boleh alergi terhadap politik, bahkan wawasan kekuasaannya

harus diintegrasikan dengan wawasan keagamaannya.

Selanjutnya Amien menegaskan bahwa persoalan politik mesti mencakup sumber

otoritas. Justeru wilayah inilah yang sering mengundang perdebatan antar sesama aliran

47

M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam John J. Donohue & John L. Esposito, op.cit., hal. X. 48

William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional Suatu Tela’ah Teoritis, (Edisi Kedua), (Terj. Marsedes

Marabun), CV. Sinar Baru, Bandung, 1992, Cet. I, hal. 8 49

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Grasindo, Jakarta, 1997, Cet. IV, hal. 6 50

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban …, op.cit., hal. 565 51

M. Amien Rais, Tauhid Sosial..., op.cit., hal. 228 52

M. Amien Rais, Cakrawala Islam …, op.cit., hal. 27

Page 13: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

politik, baik antara politik islam dan sekuler maupun politik demokratis liberal dan politik

Marxis-Leninis Sekuler. Menurut Amien dalam wawasan politik Islam, sumber otoritas,

kekuasaan dan legitimasi adalah Allah. Legitimasi segala kekuasaan dikembalikan kepada

Allah sebagai sumber utama. Sedangkan dalam pandangan politik sekuler, hakekat kekuasaan

dikembalikan kepada rakyat. Rakyat merupakan sumber kekuasaan yang final. Dan sistem

republik merupakan wujud kongkret dari pandangan kekuasaan seperti itu. Model negara

republik meyakini bahwa kedaulatan harus dikembalikan secara total atau mutlak kepada

kehendak rakyat.53

Menurut Amien, Islam dapat menerima sistem pemerintahan republik selama

kehendak rakyat masih cocok dengan ketentuan al-Qur’an. Akan tetapi, jika berbenturan

dengan kebenaran dan wahyu Ilahi sebagaimana termuat dalam al-Qur’an, apa pun ketetapan

yang sudah dikehendaki seratus persen oleh masyarakat model republik, dalam

pandangannya, harus dilawan dan ditolak secara tegas dengan mati-matian. Untuk itu Islam

bisa menerima musyawarah, demokrasi dan republik, jika ukuran akhiran adalah kebenaran

mutlak dari Allah SWT. Dalam konteks ini, Amien memiliki pandangan yang sama dengan

al-Wawdudi, bahwa demokrasi atau musyawarah benar, sepanjang didasarkan pada wahyu.

Indikasi yang menunjuk ke arah itu, tampak pada penegasan Amien sebagai berikut :

Kalau dalam musyawarah yang dianut hawa nafsu, maka walaupun suara mayoritas,

mereka bisa keliru juga. Sehingga Abul A’la al-Mawdudi mengatakan, demokrasi atau

musyawarah benar sepanjang dilandaskan pada wahyu. Jika tidak, dan dilandaskan

pada pikiran manusia, bisa saja kita terjerumus pada keputusan yang sangat keliru.

Pandangan normatif-idealis Amien di atas banyak mempengaruhi dirinya dalam

memandang dan bersikap tegas terhadap persoalan penyelenggaraan kekuasaan politik. Hal

ini bisa dilihat dari pendapat Amien bahwa seseorang dituntut untuk tetap bersikap kritis,

korektif dan bersandar pada kebenaran dan petunjuk Illahi dalam setiap aktivitas politiknya.

Atas dasar alasan karena legitimasi kekuasaan didasarkan kepada kebenaran wahyu Ilahi,

bukan kehendak manusia, maka sikap kritis dan korektif harus senantiasa dilakukan.

Sikap politik yang kritis merupakan ciri dari politik yang didasarkan pada tauhid,

sementara sikap politik yang tidak kritis karena adanya rasa takut terhadap kekuasaan, oleh

Amien disebut dengan “syirik politik”, yakni sikap kompromistik seseorang yang dilakukan

dengan cara lebih suka menyandarkan diri pada sesama makhluk daripada bersandar pada

Allah SWT. Sikap ketidakkritisan yang merupakan salah satu ciri syirik politik ini, bisa saja

mewujud dalam bentuk pengkultusan terhadap seseorang. Sikap kritis dan tegas terhadap

fenomena syirik politik merupakan fokus perhatian Amien. Kekuasaan, menurutnya bukanlah

segala-galanya dan tidak boleh disakralkan karena bisa menimbulkan syiriksosial dan

politik.54

Langkah desakralisasi kekuasaan itu merupakan metode high politics yang par

excellence, yang indah dan anggun, karena bagaimana pun kekuasaan pada dasarnya

merupakan sesuatu yang bersifat temporal, begitu tegas Amien.

b. Prinsip-prinsip Dasar Negara

Amien Rais mendasarkan wacana tentang pemerintahan (negara) lebih pada konsep-

konsep dasar tekstual Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini terlihat dari

kuatnya Amien untuk merujuk kepada dua sumber dasar Islam ketika ia berbicara tentang

unsur-unsur yang terkait dengan prinsip-prinsip dasar negara. Menurut Amien, Al-Qur’an dan

Sunnah menekankan beberapa nilai politik atau prinsip-prinsip konstitusional yang harus

ditegakkan dan dijadikan pilar-pilar pengelolaan suatu pemerintah (negara). Prinsip-prinsip

ajaran sosial politik islam tersebut mencakup musyawarah (al-syura), keadilan (al ‘adalah),

53

Amien Rais, Tauhid Sosial, op.cit., ihal. 69 54

M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, …, op.cit., hal. 161-162; M. Amien Rais, Desakralisasi

Kekuasaan : High Politics yangPar Excellence, dalam Amien Rais Menjawab …,op.cit. hal. 108

Page 14: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

kebebasan atau kemerdekaan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), dan pertanggung

jawaban penguasa terhadap masyarakat.55

Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, hal lain yang harus menjadi prinsip dasar negara

adalah keterbukaan. Menurut Amien, keterbukaan merupakan tuntutan mutlak yang mesti

dipenuhi dalam pengelolaan negara, khususnya dalam sebuah negara modern.56

Negara tidak

bisa dibangun di atas eksklusivitas suatu kelompok bangsa tertentu, sementara kesempatan

yang sama untuk memberikan partisipasi sosial politik dan mendapatkan hak dari negara tidak

didapat oleh kelompok bangsa lainnya. Artinya penegakkan negara harus melibatkan

partisipasi seluruh potensi bangsa sesuai dengan kapasitas dan prioritasnya masing-masing.

Prinsip keterbukaan itu akhirnya menuntut adanya kejujuran dari penyelenggara

negara, karena bagaimana pun kejujuran dipandang sebagai suatu keharusan dalam

pengelolaan negara. Jika kejujuran lenyap, dapat dipastikan akan muncul berbagai macam

penyimpangan. Munculnya budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sebenarnya

merupakan bagian dari serangkaian conth akibat hilangnya kejujuran dari penyelenggaraan

negara. Atas dasar itu, Amien pernah menggagas perlunya clean and grand coalition dalam

penyelenggaraan negara, yakni koalisi yang anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.pada

akhirnya, prinsi keterbukaan tersebut menuntut adanya (accountability) yang optimal dari

penyelenggara negara.

Pertanggungjawaban penguasa terhadap rakyat merupakan prinsip dasar yang terakhir

bagi penegakkan suatu negara. Prinsip ini mengharuskan penguasa untuk senantiasa dapat

mempertanggungjawabkan setiap kebijakan dan mekanisme penyelenggaraan negara seara

transparan, baik terhadap masyarakat maupun di hadapan Allah. Menurut Amien, prinsip

pertanggungjawaban ini termasuk prinsip penting dalam wawasan Syari’ah. Menurutnya,

dalam pandangan Islam, prosedur penentuan pertanggungjawaban (Impeachment procedure)

terhadap penguasa yang gagal memenuhi kewajibannya, sepenuhnya dibenarkan. Model

penguasa demikian tidak perlu ditaati lagi dan harus diturunkan.57

Prinsip-prinsip dasar politik atau prinsip konstitusional di atas, harus dijadikan

pedoman dalam membangun suatu negara yang Islami. Sekalipun demikian, menurut Amien,

syari’ah tidak berbicara secara rinci mengenai aspek-aspek kelembagaan, teknik, dan prosedur

pengelolaan suatu negara. Tidak dirincinya persoalan-persoalan itu, menurutnya, agar

masyarakat Islam secara cerdas, kreatif dan inovatif dapat merumuskan keperluan-

keperluannya. Akhirnya dapat ditegaskan bahwa tidak ada yang lebih penting dalam

pengelolaan negara, kecuali tegaknya beberapa prinsip dasar seperti diungkapkan di atas.

c. Signifikansi Negara

Negara merupakan institusi politik sebagai wadah penyelenggaraan pemerintahan

(berhubungan dengan bentuk atau format politik).58

Negara sebagai wadah penyelenggaraan

pemerintahan, dapat dipandang sebagai alat dan bukan tujuan itu sendiri.59

Oleh karena itu,

dari sisi fungsi, negara disamping dipandang memiliki kewenangan yang sah untuk

mempertahankan sistem dominasi sosial, juga selalu menjadi fokus pengorganisasian

konsensus mengenai kepentingan umum dalam masyarakat, karena hal ini menjadi basis

legitimasi masyarakat.60

55

M. Amien Rais, Cakrawala Islam …,op.cit., hal. 56 56

M. Amien Rais, Kebersamaan Merupakan Rahasia Kekuatan Kita, dalam Imron Nasri (Ed)., Amien Rais

Menjawab …, op.cit., hal. 155 57

M. Amien Rais, Cakrawala Islam, …, op.cit., hal. 56 58

M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, op.cit., hal. 40 59

Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Terj. Harimukti), Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 1996, Cet. I, hal. 17 60

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, op.cit., hal. 49

Page 15: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Sementara itu, Amien mencatat ada dua tujuan pokok dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara, yakni tegaknya keyakinan agama terjamin dan terpenuhinya keyakinan

rakyat. Kedua tujuan pokok itu mesti diorientasikan pada pencapaian tujuan akhir, kebahagian

di akhirat. Dengan ungkapan lain, kedua tujuan pokok pemerintahan itu bukan tujuan akhir

hidup, melainkan hanya tujuan antara menuju kebahagiaan yang bersifat abadi. Atas dasar itu,

Amien mengkritisi pandangan Ali Abdul Razik,61

tentang pemerintahan.

Tentu saja argumen Razik sangat lemah dan tidak dapat dipertahankan, karena

pemerintahan yang didirikan dengan bimbingan Islam (Syari’ah Islamiyah)

mempunyai tujuan gandayang tipikal, yaitu menjamin tegaknya keyakinan (ad-din)

dan menjamin terpenuhinya kepentingan rakyat. Namun kedua tujuan ini bukanlah

tujuan akhir, melainkan merupakan tujuan-antara untuk mencapai kebahagian (falah)

di akhirat.62

Tegaknya keyakinan agama sebagai salah satu tujuan penyelenggaraan negara,

menurut Amien dapat dicapai melalui prinsip-prinsip legislatif yang meletakkan aturan-aturan

universal yang mencakup berbagai kasus secara luas. Sementara tujuan yang berkenaan

dengan terpenuhinya kepentingan rakyat dapat dicapai melalui as-syiasah asy-syariyah, yakni

politik atau kebijakan untuk menerapkan syari’ah sesuai dengan konteks permasalahan.

Terealisasinya keyakinan agama dan terpenuhinya kepentingan rakyat secara bersamaan,

sejatinya merupakan tugas dan kewajiban yang senantiasa harus dijalankan oleh

penyelenggara negara, baik itu lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif secara sinergis.

Terkait dengan fungsi (pertama), negara sebagai penjamin tegaknya keyakinan agama,

Amien menilai negara sebagai institusi yang sangat signifikan bagi implementasi syari’ah.63

Dalam hal ini, Amien tampaknya menghendaki idealisasi fungsi negara bagi syari’ah, artinya

suatu hukum hanya bisa dilaksanakan jika ada otoritas yang melaksanakan penerapan hukum

(law enfocement). Otoritas yang dimaksud adalah kekuasan politik negara.

Tampak jelas dari pemikiran Amien di atas, bahwa yang memiliki kekuatan untuk

melaksanakan penerapan hukum itu adalah negara, sehingga lahir pemahaman dari dirinya;

“Negara adalah penjaga syari’ah”, supaya syari’ah tidak mengalami deteriorasi (pembusukan)

dan penyelewengan;64

negara merupakan “alat syar’ah” yang mengatur seluruh dimensi

kehidupan manusia; negara berfungsi sebagai penjaga keteraturan dan tertib hukum, politik,

budaya, akhlak, dan lain-lain.

Begitu pun Amien memandang bahwa implementasi syari’ah berarti ibadah kepada

Allah. Dalam Islam ibadah kepada Allah merupakan tugas hidup manusia, bahkan penciptaan

manusia itu sendiri didasarkan pada suatu hikmah agar manusia beribadah kepada

Tuhan.65

Akibat logis dari pandangan Amien tersebut adalah bahwa penyelenggaraan negara

termasuk ibadah kepada Allah. Tentunya dengan catatan selama mekanisme penyelenggaraan

negara masih dalam koridor penjagaan terhadap syari’ah. Untuk itu, masyarakat Muslim harus

memberikan perhatian yang ekstra serius terhadp proses penyelenggaraan negara. Hal itu

karena negara memiliki fungsi yang strategis bagi pengaturan kehidupan masyarakat,

sebagiamana perhatian syari’ah terhadapnya. Lantas, menurut Amien, masyarakat Muslim

mesti menjadi pengendali dan pengontrol penyelenggaraan negara.

61

Kritikan Amien di atas, disebabkan oleh pandangan Razik, bahwa Rasul SAW hanya bertugas mendakwahkan

agama, dan tidak ada kaitan apa pun dengan urusan kenegaraan. Karenanya, “pemerintahan “ dalam Islam, boleh

mengambil bentuk apa saja. Lihat M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 53 62

M. Amien Rais, ibid., hal. 53 63

M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam John J. Donohued John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan …,

op.cit., hal. ix. 64

M. Amien Rais, Cakrawala Islam, op.cit., hal. 52. 65

M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam Islam dan Pembaharuan …, op.cit., hal. ix.

Page 16: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

3. Hubungan Politik Antara Islam dan Negara

a. Politik Sebagai Media Dakwah

Seperti terungkap dalam pembahasan terdahulu, Amien Rais mendasarkan

pemikirannya pada konsep tauhid. Tauhid dalam pandangan Amien, tidak saja mengandung

semangat pembebasan diri (self liberation) namun juga mengandung semangat pembebasan

sosial (social liberation). Dengan demikian, dalam pemahaman Amien, semangat

pembebasan dan transformasi merupakan sesuatu yang inheren dalam rumusan tauhid, yang

berarti juga bahwa Islam telah membawa watak revolusioner sejak kelahirannya.

Kendatipun demikian, ia tetap saja menolak revolusi politik atau tindakan-tindakan

radikal-destruktif yang hanya akan berdampak negatif terhadap perubahan-perubahan evolutif

yan telah dicapai selama ini. Dalam pandangannya, aksentuasi perubahan tidak diarahkan

pada perubahan bentuk (form) namun lebih pada perubahan isi (substansi). Dalam makna

yang lebih kongkrit, suatu sistem politik, bisa saja dipertahankan bentuknya, akan tetapi harus

diubah maknanya secara revolusioner-fundamental.66

Dalam konteks ini, perubahan mesti

dilakukan secara bertahap. Kalaupun ada konsensus untuk merubah bentuk atau sistem yang

ada, maka hal itu harus merupakan suatu keharusan yang lahir dari keputusan dan untuk

kepentingan (kemaslahatan) bersama juga.

Menurut Amien, sebenarnya revolusi bukan sesuatu yang tak terelakkan, ia bisa

dihindari, misalnya dengan cara mendukung terealisirnya nilai-nilai dan praktek demokrasi.

Atas dasar alasan ini, politik dalam pandangan Amien, harus dijalankan dengan prinsip-

prinsip seperti halnya yang digunakan oleh dakwah. Jika tidak, politik justeru akan bersifat

kontra produktif terhadap terwujudnya kehendak bersama sebagai masyarakat yang utama.

Karena aplikasi prinsip-prinsip dakwah dalam kehidupan politik dianggap penting,

Amien memandang adanya kedekatan prinsipal antara dakwah dengan politik. Menurutnya,

politik dan dakwah memiliki hubungan fungsional yang bersifat integral. Kegiatan politik

tidak berdiri sendiri, terpisah sama sekali dari kegiatan dakwah. Dengan kata lain, terdapat

hubungan organik yang snagat erat antara dakwah dan politik. Dalam konteks ini, politik

harus senantiasa terkait erat dengan moralitas agama. Jika moralitas agama sealu ditegakkan

dalam realitas politik, maka tidak semestinya ada kesan kurang positif terhadap kegiatan

politik, seakan-akan politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta,

penghianatan, penipuan, atau yang semakna dengannya. Dengan demikian, pemisahan politik

dari moralitas agama adalah hal yang membahayakan sekaligus merugikan prinsip-prinsip

dakwah.

Kegiatan dakwah dalam Islam, menurut Amien sesungguhnya meliputi semua dimensi

kehidupan manusia, karena amar ma’ruf dan nahi munkar juga meliputi segala bidang

kehidupan. Dengan demikian, aktivitas budaya, politik, ekonomi, sosial dan sebagainya, dapat

dijadikan sebagai sarana kegiatan dakwah. Berdasar atas pemahaman seperti ini, dapat

dimengerti kalau Amien meyakini bahwa politik pada hakekatnya merupakan bagian dari

dakwah, bahkan sebagai alat dakwah. Dengan demikian, aktivitas politik juga dijalankan

sesuai dengan prinsip-prinsip dakwah (benar) tidak perlu bertentangan dengan aktivitas

dakwah. Untuk itu, bagi seorang Muslim, kegiatna politik harus menjadi kegiatan integral dari

kehidupannya yang utuh. Secara mendasar, Amien memaknai politik sebagai perihal yang

menyangkut kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Begitu pun politik berhubungan

dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara.

Dengan pemahaman bahwa politik tidak terpisahkan dari kehidupan Muslim, bagi

Amien mengherankan kalau ada Muslim yang menjauhi apalagi membenci kegiatan tertentu

yang menentukan arah kehidupan dan nasibnya sendiri seperti menjauhi kehidupan ekonomi

66

M. Amien Rais, Cakrawala Islam …, op.cit., hal. 137

Page 17: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

dan politik. Kehidupan dunia, termasuk politik harus direbut dan dikendalikan sesuai dengan

ajaran-ajaran Tuhan.

Kendatipun demikian, karena politik adalah alat dakwah, maka partisipasi politik

Muslim harus mengindahkan aturan permainan sebagaimana yang berlaku juga dalam

aktivitas dakwah. Misalnya saja tidak menggunakan paksaan atau kekerasan, tidak

menyesatkan, tidak boleh menjungkirbalikan kebenaran, dan juga tidak dibolehkan

menggunakan induksi-induksi psikotropik yang mengelabuhi masyarakat. Di samping itu

aktivitas politik harus menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, rasa tanggung

jawab, serta keberanian menyatakan yang benar adalah benar dan yang batil adalah batil.

Singkat kata, politik dalam pandangannya harus berdasarkan pada moralitas dan etika tauhid,

sehingga politik yang Islami tidak memberikan tempat bagi sekularisasi atau sekularisme.

Berhubung politik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power) yang mencakup

hubungan antara “yang memerintah” dengan “yang diperintah” dan juga menyingkat

kehidupan masyarakat, maka secara sosiologis, aktivitas politik tidak mungkin dapat

dilepaskan dari fondasi moral dan etika yang dianut oleh komunitas yang terlibat dalam

politik tersebut. Amien memberikan contoh, bagi seorang Marxis, suatu tindakan politik

dipandang baik jika menguntungkan kaum proletar, memperlemah kelas borjuis, dan

mengarah ke revolusi masyarakat tanpa kelas. Sedangkan bagi seorang sekularis-pragmatis,

suatu tindakan politik dianggap baik jika dapat memberikan keuntungan praktis dan manfaat

material, meskipun hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sesaat. Berbeda dari

kedua pandangan tersebut, bagi seorang Muslim, suatu tindakan politik dianggap baik jika

berguna bagi seluruh rakyat, sesuai dengan ajaran, Islam rahmatan lil ‘alamin (Islam

merupakan rahmat bagi semesta).

b. Paradigma Hubungan Islam dan Negara

Seperti terungkap dalam pembahasan terdahulu, Amien Rais sebagaimana halnya Abul

A’la al-Mawdudi mendasarkan pemikirannya pada konsep tauhid. Tauhid menurut Mawdudu,

selain menjadi inti ajaran Islam juga merupakan asas dalam politik. Hal ini dapat dilihat dari

konsepsi bahwa kedaulatan mutlak adalah milik Tuhan, sementara manusia sebagai khalifah-

Nya dipandang hanya sebagai pelaksana kedaulatan tersebut. Pandangan tersebut

dimaksudkan terutama sebagai dasar rasional bagi pendapat Mawdudi bahwa kekuasaan

rakyat itu terbatas (tidak mutlak),67

yang dalam teori politik, pandangan itu disebut sebagai

“teo-demokrasi”.

Paradigma pemikiran politik Amien Rais yang didasarkan pada konsep tauhid,

sebenarnya mempunyai korelasi historis dengan pemikiran kaum modernis sebelumnya yang

sangat diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadits (semangat kembali pada Qur’an-

Hadits) dan respon yang rigid terhadap Barat.68

Hal tersebut terlihat dari pemikiran politik

Amien yang disatu sisi menerima konsep demokrasi dipandang dapat mendukung penegakkan

prinsip-prinsip fundamental Islam, namun di sisi lain menolak konsep sekularisasi karena

dianggap dapat mengancam konsep iman.

Persoalan hubungan Islam dan negara (politik) merupakan salah stu dimensi sejarah

politik Islam yang menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan. Kontroversi itu

terutama berkembang di seputar masalah yang bersangkut paut dengan sistem atau struktur

politik yang diidealisasikan. Bahwa Islam merupakan agama yang tidak memisahkan antara

urusan agama secara partikular dan urusan negara (politik) secara universal adalah suatu

aksioma yang telah diterima oleh hampir semua umat Islam. Tidak ada kesepakatan tentang

ada tidaknya sistem politik atau negara Islam yang di dalamnya tersedia secara lengkap

suprastruktur dan infrastruktur formal yang berfungsi praktis.

67

Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, …, op.cit., hal. 173. 68

Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais, …, op.cit. hal. 161

Page 18: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Berkenaan dengan hubungan antara Islam dan negara, paradigma yang dibangun dan

dikembangkan oleh Amien lebih ditekankan pada aspek substansi daripada bentuk. Amien

memandang bahwa Islam tidak pernah menentukan bentuk negara yang harus dibangun oleh

masyarakat Muslim. Yang terpenting bagi Islam dari penyelenggaraan negara adalah

substansi. Bagaimanapun secara historis-realitas suatu negara bisa saja secara formal

berbentuk demokratis, namun implementasinya bersumber otoriter atau bahkan totaliter.

Adapun yang dimaksud Amien sebagai substansi dalam penyelenggaraan negara adalah

penegakkan semua prinsip dasar Islam. Penegakkan keadilan merupakan prinsip terpenting

dalam seluruh kehidupan bernegara. Artinya prinsip keadilan sebagiamana prinsip-prinsip

lainnya harus ditegakkan, karena keadilan merupakan konsep yang utuh dan terpadu, karena

itu penegakkannya tidak bisa sebagian-sebagian sehingga akan melahirkan kesenjangan hidup

dan stratifikasi sosial.

Page 19: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian pembahasan hasil penelitian di atas, beberapa kesimpulan

penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, Pemikiran keagamaan dan politik Amien Rais tersibak dalam dua wilayah

yang berbeda, wilayah normativitas-idealis dan wilayah historitas-realistis. Dengan ungkapan

yang lebih tegas, Amien di satu sisi, tampil sebagai seorang substansialis, namun di sisi lain,

ia juga terkadang tampail sebagai seorang skripturalis. Skripturalitas Amien paling tidak dapat

ditelusuri dan dicermati dari beberapa tulisan dan pendapatnya yang mendukung pesan-pesan

tekstual (legal-formal), terutama berkenaan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah

ditetapkan secara pasti (qath’i) di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini, ia pun

menolak reinterpretasi dan reaktualisasi ajaran agama yang ketentuannya telah dijelaskan

seara tekstual dalam al-Qur’an dan Sunnah (ketentuan hukum waris 1 laki-laki berbanding

dengan 2 orang perempuan). Sementara itu, substansialitas dirinya dapat dilihat dari

pandangannya yang mendukung pengembangan nilai-nilai ajaran agama Islam tanpa harus

terjebak pada unsur simbolisme dan legal-formal ajaran agama tersebut (ketentuan zakat

sebanyak 2,5% tidak bersifat kaku dan harga mati).

Kedua, seperti halnya Ibnu Taimiyah dan al-Mawdudi, Amien Rais berpendapat

bahwa mendirikan negara merupakan suatu kewajiban agama demi terjaganya dan

terlaksananya prinsip-prinsip syari’ah. Negara adalah penjaga syari’ah agar tidak mengalami

deteriorasi dan penyelewengan. Dalam hal ini, Amien memandang negara sebagian institusi

paling penting untuk mengimplementasikan syari’ah, dan implementasi syari’ah berarti juga

ibadah kepada Allah. Pandangan Amien tersebut berimplikasi pada suatu pemahaman bahwa

sejauh mekanisme penyelenggaraan suatu negara menjaga pelaksanaan syari’ah, sejauh itu

pula mekanismenya dipandang sebagai suatu ibadah, dan pandangan itu pun menunjuk pada

pentingnya meraih kekuasan dalam rangka implementasi syari’ah.

Ketiga, model pemikiran atau pandangan yang dibangun dan dikembangkan Amien

dalam hubungannya dengan politik, terutama berkenaan dengan paradigma hubungan politik

antara Islam dan negara, tidak bergerak dalam kerangka legal-formalistik, melainkan lebih

cenderung bersifat substansialistik. Selama penyelenggaraan suatu negara didasarkan pada

realisasi prinsip-prinsip fundamental : keadilan, musyawarah, persamaan, persaudarana,

kebebasan, dan pertanggungjawaban penguasa di hadapan rakyat, atau tetap terjaminnya

tegaknya keyakinan agama dan terpenuhinya kepentingan rakyat, menurut Amien selama itu

pula mekanismenya dipandang sebagai yang Islami. Kendatipun pemikiran yang

dikembangkan Amien lebih menekankan substansi dari pada bentuk, Dia dipandang juga

salah satu pendukung utama pendekatan struktural berkenaan dengan ekspresi danperjuangan

kepentingan Muslim dalam proses transformasi sosial.

Penyebutan Amien sebagai salah satu pemikir strukturalis, terkait dengan

pandangannya bahwa politik merupakan medium untuk merealisasikan dakwah serta

kekuasaan (politik) harus direbut untuk kepentingan syari’at dan masyarakat. Dikarenakan

politik dalam arti kekuasaan (negara), sebagai medium dakwah yang berarti harus

berlandaskan moralitas dan etika tauhidi, maka paradigma hubungan politis antara Islam dan

negara dalam pandangan Amien, pada dasarnya menolak sekularisasi atau sekularisme yang

berujung pada pemisahan antara keduanya.

Page 20: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rohim Ghazali (ed.)

1998 M. Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah, Mizan,

Bandung, Cet. I.

Abd. Rohim Ghazali (ed.)

2000 Dua Yang Satu Muhammadiyah dalam Sorotan Cendekiawan NU, Mizan,

Bandung. Cet. I.

Abul A’la al-Maududi

1998 Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Terj. Asep Hikmat), Mizan,

Bandung, Cet. VI.

Abdul Aziz Thaba

1996 Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I.

Abd. Muin Salim

1995 Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, Cet. II.

Ahmad Bahar

1998 Biografi Cendekiawan Politik Amien Rais Gagasan dan Pemikiran Menggapai

Masa Depan Indonesia Baru, Pena Cendekia, Yogyakarta, Cet. I.

Ahmad Bahar (penyunting)

1998 Amien Rais Berjuang Menuntut Perubahan, Pena Cendekia, Yogyakarta, Cet.

I.

Ahmad Syafi’i Ma’arfi

1995 Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, Cet. III.

Ahmad Syafi’i Ma’arif

1996 Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan,

LP3ES, Jakarta, Cet. III.

Akh. Muzakki

2004 Mengupas Pemikiran Agama dan Politik Sang Pahlawan Reformasi, Lentera

Basritama, Jakarta, Cet. I.

Ali Syari’ati

1994 Agama Versus Agama, (Terj. Afif Muhammad& Abdul Syukur), Pustaka

Hidayah, Bandung.

Andi Wahyudi

1999 Muhammadiyah dalam Gonjang-Ganjing Politik Tela’ah Kepemimpinan

Muhammadiyah Era 1990-an, Media Pressindo, Yogyakarta, Cet. I.

Page 21: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Arief Affandi

1996 Islam Demokrasi Atas Bawah Polemik Strategi Perjuangan Model Gus Dur

dan Amien Rais, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. III.

Azyumardi Azra

1996 Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-

Modernisme, Paramadina, Jakarta, Cet. I.

Azyumardi Azra

1999 Menuju Masyarakat Madani Gagasan, Fakta dan Tantangan, Rosda Karya,

Bandung, Cet. I.

Abu Zahra (ed),

1999 Politik Demi Tuhan Nasionalisme Religius di Indonesia, Pustaka Hidayah,

Bandung, Cet. I.

Bahtiar Effendy

1998 Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia, Paramadina, Jakarta, Cet. I.

Budhy Munawar-Rachman

2001 Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Paramadina, Jakarta, Cet.

I.

Chaerul Salam dan Kholid O. Santosa

2003 Menjemput Ratu Adil Evaluasi Kritis terhadap Proses Reformasi Menuju

Paradigma Baru, Suksesi Kepemimpinan Nasional, LP2EPI, Bandung, Cet. I.

Cholid O. Santosa – Chaerul Salam

2004 Memilih Presiden RI 2004 Putaran Kedua Pertarungan Sipil – Militer?, Sega

Arsy, Bandung, Cet. I.

Cholid O. Santosa – Chaerul Salam

2004 Menuju Presiden RI 2004 Pertarungan Strategi Koalisi dan Kompromi, Sega

Arsy, Bandung, Cet. I.

Dale F. Eickelman-James Piscatori

1998 Ekspresi Politik Muslim, (Terj. Rofik Suhud), Mizan, Bandung, Cet. I.

Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim

1998 Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid,

M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Zaman Wacana Mulia,

Bandung, Cet. I.

Djohan Effendi & Ismed Natsir (ed.)

1993 Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib, LP3ES, Jakarta, Cet. IV.

Edy Effendy (ed.)

1999 Dekontruksi Islam Mazhab Ciputat, Zaman Wacana, Bandung, Cet. I.

Page 22: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Elza Peldi Taher (ed.),

1994 Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi Pengalaman Indonesia Masa

Orde Baru, Paramadina, Jakarta, Cet. I.

Ernest Gellner

1995 Membangun Masyarakat Sipil Pra Syarat Menuju Kebebasan, (Terj. Ilyas

Hasan), Mizan, Bandung, Cet. I.

Fahmi Huwaydi

1996 Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani Isu-isu Dasar Politik Islam, (Terj.

Muhammad Abdul Goffar), Mizan Bandung, Cet. I.

Fazlur Rahman

1985 Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, (Terj. Ahsin

Mohammad), Pustaka, Bandung, Cet. I.

Firdaus Syam

2003 Amien Rais & Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern,

Khaerul Bayan, Cet. I.

Firdaus Syam

2003 Amien Rais Politik Yang Merakyat & Intelektual Yang Saleh, Pustaka Al-

Kautsar, Jakarta, Cet. I.

Haidar Bagir (Penyunting)

1988 Satu Islam Sebuah Dilema, Mizan, Bandung, Cet. II.

Haidar Bagir (ed.)

1989 Benturan Barat Dengan Islam, Mizan, Bandung, Cet. III.

Ibnu Taimiyah

1995 Siyasah Syar’iyah Etika Politik Islam, (Terj. Rofi Munawwar), Risalah Gusti,

Surabaya, Cet. I.

Idri Thaha

2005 Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais,

Teraju, Jakarta, Cet. I.

Imran Nasri (ed.)

1999 Amien Rais Menjawab Isu-isu Politis Seputar Kiprah Kontroversialnya, Mizan,

Bandung, Cet. I.

Iwan Karmawan Arie (Penyunting)

1999 Cikal Bakal Kepemimpinan Amien Rais Legenda Reformasi, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, Cet. I.

Jalaluddin Rakhmat

1996 Islam Aktual, Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Mizan, Bandung,

Cet. IX.

Page 23: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

John J. Donohue & John L. Esposito

1993 Islam dan Pembaharuan Ensiklopedia Masalah-masalah, (Terj. Machnun

Husein), Rajawali Pers, Jakarta, Cet. III.

Kamaruzaman

2001 Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Indonesia

Tera, Magelang, Cet. I.

Kelompok Studi Lingkaran (ed.)

1995 Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung,

Cet. I.

Kazuo Shimogaki

2000 Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme Tela’ah Kritis Pemikiran

Hassan Hanafi, (Terj. M. Imam Aziz & M. Jadul Maula), LKIS, Yogyakarta,

Cet. IV.

Khamami Zada

2003 Politik Islam Radikal : Survei Wacana dan Gerakan Islam di Indonesia, dalam

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 3, No. 1, Januari – April, The Habibie

Centre, Jakarta.

Kholid Novianto – Al Chaidar

1999 “Era Baru” Indonesia Sosialisasi Pemikiran Amien Rais, Hamzah Haz, Matori

Abdul Djalil, Nur Mahmudi, Yusril Ihza Mahendra, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, Cet. I.

Khalid Ibrahim Jindan

1994 Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, (Terj. Mufid), PT. Rineka

Cipta, Jakarta, Cet. I.

Khalid Ibrahim Jindan

1999 Teori Politik Islam : Tela’ah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan

Islam, Risalah Gusti, Surabaya, Cet. III.

Komaruddin Hidayat

1998 Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Paramadina,

Jakarta, Cet. I.

Komaruddin Hidayat dan M. Yudhie Haryono

2004 Manuver Politik Ulama Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama –

Negara, Jalasutra, Yogyakarta.

M. Amin Abdullah

1995 Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I.

M. Amin Abdullah

1996 Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet.

I.

Page 24: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

M. Amin Abdullah

2000 Dinamika Islam Kultural Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer,

Mizan, Bandung, Cet. I.

Masdar F. Mas’udi

1997 Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan,

Mizan, Bandung, Cet. II.

Ma’mun Murod Al-Brebesy

1999 Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I.

M. Amien Rais,

1991 Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, Cet. III.

M. Amien Rais

1998 Tauhid Sosial Formula Menggempur Kesenjangan, Mizan, Bandung, Cet. III.

M. Amien Rais

1998 Membangun Politik Adiluhung Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar

Ma’ruf Nahi Munkar, Zaman Wacana Mulia, Bandung, Cet. I.

M. Amien Rais

1998 Demi Pendidikan Politik Saya Siap Jadi Calon Presiden, Titian Ilahi Press,

Yogyakarta, Cet. III.

M. Amien Rais

2000 Reformasi Termehek-mehek, Aditya, Yogyakarta, Cet. I.

M. Amien Rais (ed.)

1994 Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengacu Diri, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, Cet. IV.

M. Deden Ridwan & Asep Gunawan (ed.)

1999 Demokrasi Kekuasaan Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun

Indonesia Baru, LSAF, Jakarta, Cet. I.

Masykuri Abdillah

1999 Demokrasi di Persimpangan Makna Respon Intelektual Muslim terhadap

Konsep Demokrasi (1966 – 1993), PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I.

Muhammad Arskal Salim G.P.,

1998 Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, Logos Wacana

Ilmu, Jakarta, Cet. I.

Muhammad Abid Al-Jabiri

2001 Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, (Terj. Mujiburrahman), Fajar

Pustaka Baru, Yogyakarta, Cet. I.

Page 25: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Muhammad Iqbal

1983 Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, (Terj. Osman Raliby), Bulan

Bintang, Jakarta, Cet. III.

M. Nasir Tamara & Elaza Peldi Taher (ed.)

1996 Agama dan Dialog Antar Peradaban, Paramadina, Jakarta, Cet. I.

Muhammad Najib & Kuat Sukardiyono (ed.)

1998 Amien Rais Sang Demokrat, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I.

Muhammad Najib – K.S. Himmaty

1999 Amien Rais dari Yogya ke Bina Graha, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I.

Moelim Abdurrahman

1995 Islam Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. II.

M. Din Syamsuddin

2000 Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Logos Wacana Ilmu,

Jakarta, Cet. I.

M. Din Syamsuddin

2001 Islam dan Politik Era Orde Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. I.

Mukhaer Pakkana (Penyunting)

1995 Embrio Cendekiawan Muhammadiyah, Perkasa Press, Jakarta, Cet. I.

Mark R. Woodward (ed.)

1999 Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Mizan,

Bandung, Cet. II.

M. Syafi’i Anwar

1995 Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Kontemporer,

Qalam, Yogyakarta, Cet. I.

Munawir Sjadzali

1993 Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, UI Press, Jakarta, Cet.

V.

Musthofa W. Hasyim & Luthfi Effendi (Ed.)

1999 Amien Rais Siap Gantikan Habibie, Titian Ilahi Press, Cet. I.

Nurcholis Madjid

1992 Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Tela’ah Kritis Tentang Masalah

Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, Paramadina, Jakarta, Cet. II.

Nurcholis Madjid

1998 Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, Cet. XI.

Page 26: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Nurcholis Madjid

2003 Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam

Indonesia, Paramadina, Jakarta, Cet. II.

Oliver Roy

1996 Gagalnya Islam Politik, (Terj. Harimurti & Qamaruddin SP), PT. Serambi

Ilmu Semesta, Jakarta, Cet. I.

Qamaruddin Khan

1983 Pemikiran Islam Ibnu Taimiyah, (Terj. Anas Mahyudin), Pustaka, Bandung,

Cet. I.

Ramlan Surbakti

1999 Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. IV.

Ridwan Saidi

1983 Islam Pembangunan Politik dan Politik Pembangunan, Pustaka Panjimas,

Jakarta, Cet. I.

Salim Ali Al-Bahnasawi

1996 Wawasan Sistem Politik Islam, (terj. Mustolah Maufur), Pustaka Al-Kautsar,

Jakarta, Cet. I.

Sudirman Tebba

2001 Islam Menuju Era Reformasi, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I.

Sufyanto

2001 Masyarakat Tamaddun Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholis

Madjid, LP2IF, Yogyakarta, Cet. I.

Syahrin Harahap

1994 Al-Qur’an dan Sekularisasi Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein,

PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. I.

Takdir Ali Mukti dkk (Penyunting)

1998 Membangun Moralitas Bangsa, LPPI UMY, Yogyakarta, Cet. I.

Taufik Abdullah (ed.)

1998 Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, PT. Tiara Wacana,

Yogyakarta, Cet. I.

Taufik Adnan Amal & Samsu Rizal Panggabean

2004 Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria, Pustaka Alvabet, Jakarta,

Cet. I.

Taufik Alimi (penyunting)

1997 Refleksi Amien Rais dari Persoalan Semut Sampai Gajah, Gema Insani Press,

Jakarta, Cet. II.

Page 27: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

Tim Kahmi Jaya

1998 Indonesia di Simpang jalan, Reformasi dan Rekontruksi Pemikiran di Bidang

Politik, Sosial, Budaya dan Ekonomi Menjelang Milennium Ketiga, Mizan,

Bandung, Cet. II.

Umaruddin Masdar

1999 Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, Cet. I.

William D. Coplin & Marsedes Marbun

1992 Pengantar Politik Internasional Suatu Tela’ah Teoritis, CV. Sinar Baru,

Bandung, Cet. I.

Zainuddin Maliki

2000 Agama Rakyat Agama Penguasa –Konstruksi tentang Realitas Agama dan

Demokratisasi, Galang Press, Yogyakarta.

Page 28: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

ABSTRAKSI

SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia (Telaah Atas

Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000)

Adalah hal yang sulit (mustahil) bahwa suatu aktivitas keduniaan sepenuhnya

terbebaskan atau terlepas dari pengaruh nilai-nilai agama. Dalam konteks keindonesiaan,

politik sebagai salah satu segmen kegiatan dimaksud, juga tidak dapat dilepaskan dari Islam,

sebagaimana aktivitas politik Muslim sendiri itu pun mustahil kosong dari pengaruh agama.

Atas dasar pertimbangan bahwa pandangan seseorang terhadap realitas politik tidak terlepas

dari pengaruh cara pandang terhadap agamanya, maka begitu pun pemahaman Amien Rais

tentang politik terkait dengan relasi antara Islam dan negara, juga tidak terlepas dari

pemahamannya terhadap agama.

Atas dasar itu, penelitian pemikiran Amien difokuskan pada tiga bahasan utama.

Pertama, pandangan Amien tentang keagamaan yang mencakup tauhid, syari’ah, dan

normativitas historisitas agama. Kedua, pandangan Amien tentang konsep negara yang

meliputi politik dan kekuasaan, prinsip-prinsip dasar negara dan signifikansi negara. Ketiga,

hubungan politika ntara Islam dan negara yang terdiri dari politik sebagai media dakwah,

paradigma relasi Islam dan negara, relasi Islam dan negara dalam bangunan politik negara.

Paradigma pemikiran Amien, pada dasarnya bermuara pada konsep tauhid, yang

mewujud dalam kerangka syari’ah. Dalam pandangannya, tauhid melahirkan prinsip-prinsip

universal yang dapat dijadikan sebagai sumber etik-moral bagi seluruh tatanan kehidupan,

baik kehidupan keagamaan, ekonomi, sosio-kultural, maupun politik dan kenegaraan.

Model pemahaman keagamaan Amien bertumpu pada dua pendekatan. Pertama,

pendekatan skripturalistik, digunakan untuk memahami persoalan-persoalan yang secara

tekstual dijelaskan oleh al-Qur’an dan Sunnah, seperti ketentuan ukuran waris 1 berbanding 2.

Untuk persoalan ini, Amien tidak menerima penafsiran ulang. Kedua, pendekatan

subtansialistik, digunakan untuk memahami persoalan-persoalan yang ketentuannya tidak

dijelaskan secara eksplisit oleh kedua sumber ajaran Islam tersebut, seperti ketentuan model

dan penyelenggaraan suatu negara. Dalam hal ini, Amien menerima penafsiran ulang.

Berhubung tauhid dipahami Amien sebagai sentrum bagi seluruh kehidupan Muslim,

maka politik menurutnya harus bersumber dari moralitas dan etika tauhid. Jika tidak, politik

akan berjalan tanpa arah dan bermuara pada kesengsaraan orang banyak. Dalam konteks ini,

hubungan politik antara Islam dan negara dalam pandangan Amien tidak mengenal adanya

sekularisasi dalam artian pemisahan negara dari moralitas agama secara ekstrem. Karena hal

ini, dalam keyakinanya bertentangan dengan konsep tauhid.

Berdasar pada argumentasi bahwa persoalan relasi Islam dan negara tidak termasuk

yang dijelaskan ketentuannya secara eksplisit oleh al-Qur’an dan Sunnah, serta syari’ah hanya

memberikan prinsip-prinsip dasar bagi pengelolaan suatu negara, maka konsep pemahaman

persoalan ini, menurut Amien masih tetap dapat ditafsirkan kembali. Model pandangan

keagamaan ini berimplikasi pada paradigma pemikiran politik Amien, terutama relasi antara

Islam dan negara, tidak bersifat legal-formalistik, melainkan lebih bersifat substansialistik.

Oleh karena itu, dalam pandangannya, selama penyelenggaraan suatu negara ditegakkan di

atas prinsip-prinsip dasar Islam (keadilan, persamaan, musyawarah, persaudaraan, kebebasan

dan pertanggungjawaban, selama itu pula mekanismenya dipandang sebagai Islami.

i

Page 29: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ....................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 6

C. Perumusan Masalah ................................................................................... 6

D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6

E. Metode dan Pendekatan ............................................................................. 7

BAB II PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ............................................... 8

PANDANGAN M. AMIEN RAIS TENTANG POLITIK ISLAM

INDONESIA (Telaah atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985–

2000)

1. Paradigma Pemahaman Keagamaan Amien Rais ...................................... 8

2. Pandangan Amien Rais tentang Konsep Negara ...................................... 12

3. Hubungan Politik Antara Islam dan Negara ............................................. 16

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA

ii

Page 30: SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam

PANDANGAN M. AMIEN RAIS

TENTANG POLITIK ISLAM INDONESIA (Telaah atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000)

EXECUTIVE SUMMARY

Mendapat Bantuan Dana Dari DIPA UIN SGD Bandung

Tahun Akademik 2007

S O L I H I N NIP. 150 326 993

LEMBAGA PENELITIAN UIN SGD

BANDUNG

2007