makalah otitis media
DESCRIPTION
otitis mediaTRANSCRIPT
Laporan Pendahuluan
Otitismedia
A. ANATOMI
Aurikula
Kanalis
Auditorius
Eksterna
Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di sebelah lateral
dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana
timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga,
Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan
translulen.Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli
(tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan
dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal.
Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus stapes.
Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu
hantaran suara. Ada dua jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah,
yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak
pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan
ke getaran suara. Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki
stapes ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela bulat
maupun jendela oval mudah mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan dari dalam dapat
mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan fistula perilimfe.
Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm, menghubngkan
telingah ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat terbuka akibat
kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap atau menelan.
Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan menyeimbangkan tekanan dalam
telinga tengah dengan tekanan atmosfer. Selain itu guna saluran ini adalah:
Menjaga keseimbangan tekanan udara di dalam telinga dan menyesuaikannya dengan
tekanan udara di dunia luar.
Mengalirkan sedikit lendir yang dihasilkan sel-sel yang melapisi telinga tengah ke
bagian belakang hidung.
Sebagai sawar kuman yang mungkin akan masuk ke dalam telinga tengah
B. PENGERTIAN
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh dari selaput permukaan
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
sebenarnya adalah diagnosa yang paling sering dijumpai pada anak–anak di bawah usia
15 tahun. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis
media non supuratif, yang masing-masing memiliki bentuk yang cepat dan lambat.
C. KLASIFIKASI
1. Otitis Media Akut (OMA)
a. Definisi
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh
periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).
Yang paling sering terlihat ialah :
1) Otitis media viral akut
2) Otitis media bakterial akut
3) Otitis media nekrotik akut
Otitis Media Akut adalah peradangan pada telinga tengah yang bersifat akut atau
tiba-tiba. Telinga tengah adalah organ yang memiliki penghalang yang biasanya
dalam keadaan steril. Tetapi pada suatu keadaan jika terdapat infeksi bakteri pada
nasofariong dan faring, secara alamiah teradapat mekanisme pencegahan
penjalaran bakteri memasuki telinga tengah oleh ezim pelindung dan bulu-bulu
halus yang dimiliki oleh tuba eustachii. Otitis media akut ini terjadi akibat tidak
berfungsingnya sistem pelindung tadi, sumbatan atau peradangan pada tuba
eustachii merupakan faktor utama terjadinya otitis media, pada anak-anak semakin
seringnya terserang infeksi saluran pernafasan atas, kemungkinan terjadi otitis
media akut juga semakin sering.
b. Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri-bakteri saluran pernafasan bagian atas dan
bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus,
pneumococcus, haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus
anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.
Beberapa perubahan yang terjadi dalam proses terjadinya Otitis media akut
1) Stadium penyumbatan tuba eustachius, tanda yang khas pada stadium ini
adalah penarikan membran timpani pada telinga ke arah dalam akibat tekanan
negatif yang ditimbulkan oleh sumbatan
2) Stadium Hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran
timbani atau seluruh membran timpani.
3) Stadium Supurasi, bengkak yang hebat pada selaput permukaan telinga tengah
dan hancurnya sel-sel di dalam telinga tengah menyebabkan cairan yang
kental tertimbun di telinga tengah
4) Stadium Perforasi, pecahnya membrane timpani, dan keluar cairan putih
5) Stadium Resolusi, perlahan-lahan membrane timpani akan menyembuh jika
robekan tidak terlalu lebar, tetapi jika robekan lebar, stadium perforasi dapat
menetap dan berubah menjadi Otitis Media Supuratif Kronik.
c. Gejala dan Tanda
Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien, pada
usia anak–anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga dan demam.
Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada remaja
atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran dan
telinga terasa penih. Pada bayi gejala khas Otitis Media akut adalah panas yang
tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang
telinga yang sakit.
d. Patofisiologi
Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga
tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri
yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai
dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang
kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan
eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi
sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring.
Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan
menentukan progresivitas penyakit.
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Otitis Media Akut sangat bergantung pada stadiumnya, pada
stadium oklusi pengobatan bertujuan untuk melebarkan kembali saluran
eustachius, dengan pemberian obat tetes hidung berupa dekongestan, selain itu
sumber infeksi harus segera diobati. Pada stadium hiperemis dapat diberikan
antibiotik, anti peradangan, dan anti nyeri. Pemilihan antibiotik lebih ditargetkan
pada kuman-kuman yang sering menjadi penyebab. Pada stadium supurasi
disamping pemberian antibiotik dapat dilakukan miringotomi yakni tindakan
perobekan pada sebagian kecil membran timpani sehingga cairan yang kental
dapat keluar sedikit-sedikit dan tidak menimbulkan lubang yang besar, sehingga
membrane timpani tidak dapat menyembuh. Pada stadium perforasi dapat
diberikan obat cuci telinga, dan antibiotik yang adekuat.
2. Otitis Media Efusi/Serosa (OME)
a. Definisi
Otitis media serosa/efusi adalah keadaan terdapatnya cairan di dalam telinga
tengah tanpa adanya tanda dan gejala infeksi aktif. Secara teori, cairan ini sebagai
akibat tekanan negative dalam telinga tengah yang disebabkan oleh obstruksi tuba
eustachii. Pada penyakit ini, tidak ada agen penyebab definitive yang telah
diidentifikasi, meskipun otitis media dengan efusi lebih banyak terdapat pada anak
yang telah sembuh dari otitis media akut dan biasanya dikenal dengan “glue ear”.
Bila terjadi pada orang dewasa, penyebab lain yang mendasari terjadinya
disfungsi tuba eustachii harus dicari. Efusi telinga tengah sering terlihat pada
pasien setelah mengalami radioterapi dan barotrauma (eg: penyelam) dan pada
pasien dengan disfungsi tuba eustachii akibat infeksi atau alergi saluran napas atas
yang terjadi.
b. Etiologi
Serous Otitis Media bisa dihasilkan dari berbagai kondisi yang mengganggu
dengan pembukaan periodik dan penutupan tuba estachius. Penyebab mungkin
bawaan (hadir sejak lahir), mungkin karena infeksi atau alergi, atau mungkin
karena penyumbatan pada tabung oleh kelenjar gondok.
c. Gejala dan Tanda
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal
dalam telinga atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik,
yang terjadi ketika tuba eustachii berusaha membuka. Membrane tymphani
tampak kusam (warna kuning redup sampai abu-abu pada otoskopi pneumatik,
dan dapat terlihat gelembung udara dalam telinga tengah. Audiogram biasanya
menunjukkan adanya kehilangan pendengaran konduktif.
d. Penatalaksanaan
Otitis media serosa tidak perlu ditangani secara medis kecuali terjadi infeksi
(otitis media akut). Bila kehilangan pendengaran yang berhubungan dengan efusi
telinga tengah menimbulkan masalah bagi pasien, maka bias dilakukan
miringotomi dan dipasang tabung untuk menjaga telinga tengah tetap terventilasi.
Kortikosteroid, dosis rendah, kadang dapat mengurangi edema tuba eustachii pada
kasus barotrauma. Untuk otitis media serosa (otitis media dengan efusi), terapi
yang umum dilakukan adalah menunggu. Keadaan ini umumnya sembuh sendiri
dalam 2 bulan.
Untuk otitis media serosa yang persisten, dianjurkan untuk melakukan
miringotomi. Miringotomi adalah prosedur bedah dengan memasukkan selang
penyeimbang tekanan ke dalam membrane timpani. Hal ini memungkinkan
ventilasi dari telinga tengah, mengurangi tekanan negative dan memungkinkan
drainase cairan. Selang itu umumnya lepas sendiri setelah 6 sampai 12 bulan.
Kemungkinan komplikasinya adala atrofi membrane timpani, timpanosklerosis
(parut pada membrane timpani), perforasi kronik, dan kolesteatoma.
3. Otitis Media Kronik (OMK)
a. Definisi
Otitis Media Kronik adalah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan
struktur tulang di dalam kavum timpani.
Otitis Media Kronik sendiri adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi
jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang Otitis Media
Akut yang tak tertangani. Sering berhubungan dengan perforasi menetap
membrane timpani. Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkan
kerusakan membrane timpani tetapi juga dapat menghancurkan osikulus dan
hampir selalu melibatkan mastoid. Sebelum penemuan antibiotic, infeksi mastoid
merupakan infeksi yang mengancam jiwa. Sekarang, penggunaan antibiotic yang
bijaksana pada otitis media akut telah menyebabkan mastoiditis koalesens akut
menjadi jarang. Kebanyakan kasus mastoiditis akut sekarang ditemukan pada
pasien yang tidak mendapatkan perawatan telinga yang memadai dan mengalami
infeksi telinga yang tak ditangani. Mastoiditis kronik lebih sering, dan beberapa
dari infeksi kronik ini, dapat mengakibatkan pembentukan kolesteatoma, yang
merupakan pertumbuhan kulit ke dalam (epitel skuamosa) dari lapisan luar
membrane timpani ke telinga tengah. Kulit dari membrane timpani lateral
membentuk kantong luar, yang akan berisi kulit yang telah rusak dan bahan
sebaseus. Kantong dapat melekat ke struktur telinga tengah dan mastoid. Bila
tidak ditangani, kolesteatoma dapat tumbuh terus dan menyebabkan paralysis
nervus fasialis (N. Cranial VII), kehilangan pendengaran sensorineural dan/ atau
gangguan keseimbangan (akibat erosi telinga dalam) dan abses otak.
b. Etiologi
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down’s syndrom. Adanya tuba
patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor insiden
OMSK yang tinggi di Amerika Serikat.
Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated (seperti
infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga
kronis.
Penyebab OMSK antara lain:
1) Lingkungan
2) Genetik
3) Otitis media sebelumnya.
4) Infeksi15
5) Infeksi saluran nafas atas
6) Autoimun
7) Alergi
8) Gangguan fungsi tuba eustachius.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap
pada OMSK:
1) Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan
produksi sekret telinga purulen berlanjut.
2) Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan
pada perforasi.
3) Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui
mekanisme migrasi epitel.
4) Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan
yang cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga
mencegah penutupan spontan dari perforasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif
menjadi kronis majemuk, antara lain:
1) Gangguan fungsi tuba eustachius yang kronis atau berulang. a. Infeksi
hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang. b. Obstruksi anatomik tuba
Eustachius parsial atau total
2) Perforasi membran timpani yang menetap.
3) Terjadinya metaplasia skumosa atau perubahan patologik menetap lainya
pada telinga tengah.
4) Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga atau rongga mastoid.
5) Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten di
mastoid.
6) Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau
perubahan mekanisme pertahanan tubuh
c. Gejala dan Tanda
Gejala dapat minimal, dengan berbagai derajat kehilangan pendengaran dan
terdapat otorrhea intermitten atau persisten yang berbau busuk. Biasanya tidak ada
nyeri kecuali pada kasus mastoiditis akut, dimana daerah post aurikuler menjadi
nyeri tekan dan bahkan merah dan edema. Kolesteatoma, sendiri biasanya tidak
menyebabkan nyeri. Evaluasi otoskopik membrane timpani memperlihatkan
adanya perforasi, dan kolesteatoma dapat terlihat sebagai masa putih di belakang
membrane timpani atau keluar ke kanalis eksterna melalui lubang perforasi.
Kolesteatoma dapat juga tidak terlihat pada pemeriksaan oleh ahli otoskopi. Hasil
audiometric pada kasus kolesteatoma sering memperlihatkan kehilangan
pendengaran konduktif atau campuran.
d. Penatalaksanaan
Penanganan local meliputi pembersihan hati-hati telinga menggunakan
mikroskop dan alat pengisap. Pemberian tetes antibiotika atau pemberian bubuk
antibiotika sering membantu bila ada cairan purulen. Antibiotika sistemik
biasanya tidak diresepkan kecuali pada kasus infeksi akut.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak
tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.
2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme
penyebab.
E. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data yang muncul saat pengkajian:
a. Sakit telinga/nyeri
b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
c. Tinitus
d. Perasaan penuh pada telinga
e. Suara bergema dari suara sendiri
f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga
h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
l. Reflek kejut
m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
n. Tipe warna 2 jumlah cairan
o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
p. Alergi
q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi
2. Pengkajian Kemampuan Mendengar
a. Pemeriksaan Telinga
Telinga luar diperiksa dengan inspeksi dan palpasi lang-sung sementara
membrana timpani diinspeksi, seperti telinga tengah dengan otoskop dan palpasi
tak langsung dengan menggunakan otoskop pneumatic.
1) Pengkajian Fisik.
Inspeksi telinga luar merupakan prosedur yang paling sederhana tapi sering
terlewat. Aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya:
deformitas, lesi,
cairan begitu pula ukuran,
simetris dan sudut penempelan ke kepala.
Gerakan aurikulus normalnya tak menimbulkan nyeri. Bila manuver ini terasa
nyeri, harus dicurigai adanya otitis eksterna akut. Nyeri tekan pada saat
palpasi di daerah mastoid dapat menunjukkan mastoiditis akut atau inflamasi
nodus aurikula posterior. Terkadang, kista sebaseus dan tofus (de-posit
mineral subkutan) terdapat pada pinna. Kulit bersisik pada atau di belakang
aurikulus biasanya menunjukkan adanya dermatitis sebore dan dapat terdapat
pula di kulit kepala dan struktur wajah.
Untuk memeriksa kanalis auditorius eksternus dan membrana timpani, kepala
pasien sedikit dijauhkan dari pemeriksa.
Otoskop dipegang dengan satu tangan sementara aurikulus dipegang
dengan tangan lainnya dengan mantap dan ditarik ke atas, ke belakang dan
sedikit ke luar Cara ini akan membuat lurus kanal pada orang dewasa,
sehingga memungkinkan pemeriksa melihat lebih jelas membrana timpani.
Spekulum dimasukkan dengan lembut dan perlahan ke kanalis telinga, dan
mata didekatkan ke lensa pembesar otoskop untuk melihat kanalis dan
membrana timpani. Spekulum terbesar yang dapat dimasukkan ke telinga
(biasanya 5 mm pada orang dewasa) dipandu dengan lembut ke bawah ke
kanal dan agak ke depan. Karena bagian distal kanalis adalah tulang dan
ditutupi selapis epitel yang sensitif, maka tekanan harus benar-benar
ringan agar tidak menimbulkan nyeri.
GAMBAR 1. Teknik untuk menggunakan otoskop.
Setiap adanya cairan, inflamasi, atau benda asing; dalam kanalis auditorius
eksternus dicatat.
Membrana, timpani sehat berwarna mutiara keabuan pada dasar kanalis.
Penanda harus dttihat mungkin pars tensa dan kerucut cahaya.umbo,
manubrium mallei, dan prosesus brevis.
Gerakan memutar lambat spekulum memungkinkan penglihat lebih jauh
pada Hpatan malleus dan daerah perifer. dan warna membran begitu juga
tanda yang tak biasa at! deviasi kerucut cahaya dicatat. Adanya cairan,
gele bung udara, atau masa di telinga tengah harus dicatat.
Pemeriksaan otoskop kanalis auditorius eksternus membrana timpani yang
baik hanya dapat dilakukan bi kanalis tidak terisi serumen yang besar.
Serumen not nya terdapat di kanalis eksternus, dan bila jumla sedikit tidak
akan mengganggu pemeriksaan otoskop.
Bila serumen sangat lengket maka sedikit minyak mineral atau pelunak
serumen dapat diteteskan dalam kanalis telinga dan pasien diinstruksikan
kembali lagi.
2) Ketajaman Auditorius.
Perkiraan umum pendengaran pasien dapat disaring secara efektif dengan
mengkaji kemampuan pasien mendengarkan bisikan kata atau detakan jam
tangan.
Bisikan lembut dilakukan oleh pemeriksa, yang sebelumnya telah
melakukan ekshalasi penuh. Masing-masing telinga diperiksa bergantian.
Agar telinga yang satunya tak mendengar,
Pemeriksa menutup telinga yang tak diperiksa dengan telapak tangan. Dari
jarak 1 sampai 2 kaki dari telinga yang tak tertutup dan di luar batas
penglihatan, pasien dengan ketajaman normal dapat menirukan dengan
tepat apa yang dibisikkan. Bila yang digunakan detak jam tangan,
pemeriksa memegang jam tangan sejauh 3 inci dari telinganya sendiri
(dengan asumsi pemeriksa mempunyai pendengaran normal) dan
kemudian memegang jam tangan pada jarak yang sama dari aurikulus
pasien. Karena jam tangan menghasilkan suara dengan nada yang lebih
tinggi daripada suara bisikan, maka kurang dapat dipercaya dan tidak
dapat dipakai sebagai satu-satunya cara mengkaji ketajaman auditorius.
3) Penggunaan uji Weber dan Rinne
Memungkinkan kita membedakan kehilangan akibat konduktif dengan kehi-
langan sensorineural
Uji Weber
Memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya lateralisasi suara.
Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan pukulkan pada lutut
atau pergelangan tangan pemeriksa. Kemudian diletakkan pada dahi atau
gigi pasien. Pasien ditanya apakah suara terdengar di tengah kepala, di
telinga kanan atau telinga kiri. Individu dengan pendengaran normal akan
mendengar suara seimbang pada kedua telinga atau menjelaskan bahwa
suara terpusat di tengah kepala. Bila ada kehilang¬an pendengaran
konduktif (otosklerosis, otitis media), suara akan lebih jelas terdengar pada
sisi yang sakit. Ini disebabkan karena obstruksi akan menghambat ruang
suara, sehingga akan terjadi peningkatan konduksi tulang. Bila terjadi
kehilangan sensorineural, suara akan meng-alami lateralisasi ke telinga
yang pendengarannya lebih baik. Uji Weber berguna untuk kasus
kehilangan pendengaran unilateral.
Uji Rinne
Gagang garpu tala yang bergetar ditempatkan di belakang aurikula pada
tulang mastoid (kon¬duksi tulang) sampai pasien tak mampu lagi
mendengar suara. Kemudian garpu tala dipindahkan pada jarak 1 inci dari
meatus kanalis auditorius eksternus (konduksi uda-ra). Pada keadaan
normal pasien dapat terus mendengar¬kan suara, menunjukkan bahwa
konduksi udara berlang-sung lebih lama dari konduksi tulang. Pada
kehilangan pendengaran konduktif, konduksi tulang akan melebihi
konduksi udara begitu konduksi tulang melalui tulang temporal telah
menghilang, pasien sudah tak mampu lagi mendengar garpu tala melalui
mekanisme konduktif yang biasa. Sebaliknya kehilangan pendengaran
sensorineural memungkinkan suara yang dihantarkan melalui udara lebih
baik dari tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor, yang buruk
dan segala suara diterima seperti sangat jauh dan lemah.
b. Prosedur Diagnostik Auditorius dan Vestibuler
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiome¬ter adalah satu-satunya
instrumen diagnostik yang paling penting.
Uji audiometri ada dua macam:
1) audiometri nada-murni, di mana stimulus suara terdiri atas nada murni atau
musik (semakin keras nada sebelum pasien bisa mendengar berarti semakin
besar kehilangan pende¬ngarannya), dan
2) audiometri wicara, di mana kata yang diucapkan digunakan untuk menentukan
kemampuan mendengar dan membedakan suara.
Ahli audiologi melakukan uji dan pasien mengenakan earphone dan sinyal
mengenai nada yang didengarkan. Ketika nada dipakai secara langsung pada
meatus kanalis auditorius eksiernus, kita mengukur konduksi udara. Bila stimulus
diberikan pada tulang mastoid, melintas mekanisme konduksi (osikulus), langsung
menguji konduksi saraf. Agar hasilnya akurat, evaluasi audiometri dilakukan di
ruangan yang kedap suara. Respons yang dihasil-kan diplot pada grafik yang
dinamakan audiogram.
Frekwensi
Merujuk pada jumlah gelombang suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi per
detik siklus perdetik atau hertz (Hz). Telinga manusia normal mampu mendengar
suara dengan kisaran frekwensi dari: 20 sampai 20.000Hz. 500 sampai 2000 Hz
yang paling penting untuk memahami percakapan sehari-hari (yang dikenal
sebagai kisaran wicara. Nada adalah istilah untuk menggambarkan frekwensi;
nada dengan frekwensi 100 Hz dianggap sebagai nada rendah, dan nada 10.000
Hz dianggap sebagai nada tinggi. Unit untuk mengukur kerasnya bunyi (intensitas
suara) adalah desibel (dB), tekanan yang ditimbulkan oleh rsuara. Kehilangan
pendengaran diukur dalam decibel, yang merupakan fungsi logaritma intensitas
dan tidak bisa dengan mudah dikonversikan ke persentase.
Ambang kritis kekerasan adalah sekitas 30 dB. Beberapa contoh internsitas
suara yang biasa termasuk gesekan kertas dalam lingkungan yang sunyi, terjadi
pada sekitar 15 dB; per kapan rendah, 40 dB; dan kapal terbang jet sejauh kaki,
tercatat sekitar 150 dB. Suara yang lebih keras i 80 dB didengar telinga manusia
sangat keras. Suara yang terdengar tidak nyaman dapat merusak telinga dalam.
Timpanogram atau audiometri impedans, mengrefleks otot telinga tengah
terhadap stimulus suara, kelenturan membrana timpani, dengan mengubah teh
udara dalam kanalis telinga yang tertutup (Gbr. Kelenturan akan berkurang pada
penyakit telinga tertutup)
Respons batang otak auditori (ABR, auditori brain sistem response) adalah
potensial elektris yang dapat terteksi dari narvus kranialis VIII (narvus akustikus)
alur auditori asendens batang otak sebagai respons stimulasi suara. Merupakan
metoda objektif untuk mengukur pendengaran karena partisipasi aktif pasien sama
sekali dak diperlukan seperti pada audiogram perilaku. Elektroda ditempatkan
pada dahi pasien dan stimuli akustik, biasanya dalam bentuk detak,
diperdengarkan ke telinga. pengukuran elektrofisiologis yang dihasilkan dapat di
tentukan tingkat desibel berapa yang dapat didengarkan pasien dan apakah ada
kelainan sepanjang alur syaraf, seperti tumor pada nervus kranialis VIII.
Elektrokokleografi (ECoG) adalah perekaman potensial elektrofisologis
koklea dan nervus kranialis VIII bagai respons stimuli akustik. Rasio yang
dihasilkan digunakan untuk membantu dalam mendiagnosa kelainan
keseimbangan cairan telinga dalam seperti penyakit Mniere dan fistula perilimfe.
Prosedur ini dilakukan dengan menempatkan elektroda sedekat mungkin dengan
koklea, baik di kanalis auditorius eksternus tepat di dekat membrana timpani atau
melalui elektroda transtimpanik yang diletakkan melalui mambrana timpani dekat
mem-bran jendela bulat. Untuk persiapan pengujian, pasien diminta unluk tidak
memakai diuretika selama 48 jam sebelum uji dilakukan sehingga keseimbangan
cairan di dalam telinga tidak berubah.
Elektronistagmografi (ENG) adalah pengukuran dan grafik yang mencatat
perubahan potensial elektris yang ditimbulkan oleh gerakan mata selama
nistagmus yang ditimbulkan secara spontan, posisional atau kaloris. Digu¬nakan
untuk mengkaji sistem okulomotor dan vestibular dan interaksi yang terjadi antara
keduanya. Misalnya, pada bagian kalori uji ini, udara atau air panas dan dingin
(uji kalori bitermal) dimasukkan ke kanalis auditorius eksternus, dan kemudian
gerakan mata diukur. Pasien diposisikan sedemikian rupa sehingga kanalis
semisirkularis lateralis paralel dengan medan gravitasi dan duduk sementara
elektroda dipasang pada dahi dan dekat mata. Pasien diminta tidak meminum
supresan vestibuler seperti sedativa, penenang, antihistarnin, atau alkohol, begitu
pula stimulan vestibuler seperti kafein, selama 24 jam sebelum pengujian. ENG
dapat membantu diagnosis kondisi seperti penyakit Meniere dan tumor kanalis
auditorius internus atau fosa posterior.
Posturografi platform adalah uji untuk menyelidiki kemampuan mengontrol
postural. Diuji integrasi antara bagian visual, vestibuler dan proprioseptif
(integrasi sensoris) dengan keluaran respons motoris dan koordinasi anggota
bawah. Pasien berdiri pada panggung (platform), dikelilingi layar, dan berbagai
kondisi ditampilkan, seper¬ti panggung bergerak dengan layar bergerak.
Ambang penerimaan wicara adalah tingkat intensitas suara di mana pasien
mampu tepat membedakan dengan benar stimuli wicara sederhana. Pembedaan
wicara menentukan kemampuan pasien untuk membedakan suara yang berbeda,
dalam bentuk kata, dalam tingkat desibel dimana suara masih terdengar.
pasien terhadap enam kondisi yang berbeda diukur dan menunjukkan sistem mana
yang terganggu. Persiapan uji ini sama dengan pada ENG.
Percepatan harmon sinusoidal (SHA, sinusoidal harmonic acceleration), atau
kursi berputar, mengkaji sisiem vestibulookuler dengan menganalisis gerakan
mata kopensatoris sebagai respons putaran searah atau berlawaan arah dengan
jarum jam. Meskipun uji SHA tak dapat mengidentifikasi sisi dari lesi pada
penyakit unilateral, namun sangat berguna untuk mengidentifikasi adanya
penyakit dan mengontrol proses penyembuhanya, persiapan pasien sama dengan
yang diperlukan pada EN
c. Berkomunikasi pada Kerusakan Pendengaran
Saran berikut dapat membuat komunikasi lebih bafik dengan penderita
gangguan pendengaran yang wicaranya sulit dipahami.
1) Pusatkan seluruh perhatian pada apa yang sedang ia katakannya. Perhatikan
dan dengarkanjangan IM-coba melakukan pekerjaan lain sementara menJe
ngarkannya.
2) Libatkan pembicara dalam percakapan bila memungkinkan untuk
mengantisipasi jawaban. Hal ini mungkinkan anda menjadi terbiasa dengan
pola wicaranya yang khusus.
3) Cobalah mencari konteks intinya tentang apa yang sedang dikatakannya; anda
kemudian mungkin dapat mengisi detil dari konteks tersebut.
4) Jangan mencoba berpura-pura mengerti bila anda memang tidak mengerti.
5) Bila anda tak mampu memahami atau mengalami keraguan berat mengenai
kemampuan memahami apa yang dikatakannya, lebih baik memintanya
menulis-kan pesan yang ingin disampaikannya daripada meng-ambil risiko
salah pengertian. Meminta orang tersebut mengulang pesan dalam bentuk
wicara, setelah anda mengetahui isinya, juga dapat membantu anda mem-
biasakan diri dengan pola wicaranya.
Anjuran agar komunikasi lebih baik dengan penderita gangguan pendengaran
yang dapat membaca gerak bibir adalah sebagai berikut:
1) Ketika berbicara, anda harus menatap orang tersebut selangsung mungkin.
2) Yakinkan bahwa wajah anda tampak sejelas mungkin; posisikan diri anda
sedemikian rupa sehingga wajah anda mendapat pencahayaan yang memadai
hindari terhalang oleh bayangan cahaya yang terlalu terang; jangan menutupi
penglihatan orang tersebut terhadap mulut anda dengan cara apapun; hindari
berbicara sambil mengunyah sesuatu dalam mulut anda.
3) Yakinkan bahwa pasien mengetahui topik atau subjek ekspresi verbal anda
sebelum meneruskan dengan apa yang anda rencanakan untuk diucapkan ini
memung-kinkan orang tersebut menggunakan petunjuk konteks-tual dalam
membaca gerak bibir.
4) Berbicara secara perlahan dan jelas, dengan jeda yang lebih sering dibanding
bila anda berbicara normal.
5) Bila anda ragu apakah beberapa petunjuk atau instruk-si telah dipahami,
lakukan pengecekan untuk meya-kinkan bahwa pasien telah memahami secara
penuh pesan anda.
6) Bila mulut anda terpaksa ditutup dengan alasarTapapun (misalnya memakai
masker) dan anda wajib memberi arahan atau instruksi kepada pasipn, maka
tak ada jalan lain kecuali anda harus menulis pesan yang ingin anda
sampaikan.
3. Pengkajian 11 Fungsional Gordon
DATA KLINIS
Data biografi
Berupa nama pasien, usia, TB,BB, tanggal masuk, TD, RR, Nadi dan suhu
Keluhan utama
Tanyakan adakah klien merasa Sakit telinga/nyeri pada telinga, Penurunan/tak ada
ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga,Perasaan penuh pada telinga,
Suara bergema dari suara sendiri
Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan dan Cairan telinga; hitam,
kemerahan, jernih, kuning
Riwayat perjalanan penyakit :
Tanyakan sejak kapan pasien mengalami penurunan pendengaran, sakit dan nyeri
pada telinga
Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah klien pernah ada riwayat kelainan nyeri pada telinga
Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit ini sebelumnya.
a. POLA PERSERPSI DAN PENANGANAN PENYAKIT
Tanyakan apakah pasien pernah berobat ke dokter sebelumnya
Kebiasaan minum – minuman keras atau alkohol, tembakau, alergi obat-obatan,
makanan, dll.
b. POLA NUTRISI/METABOLISME
Kaji bagaimana kebiasaan klien dalam memenuhi nutrisi, frekuensi makan,
jumlah, dan makanan tambahan serta nafsu makan klien. Tanyakan apakah ada
mengkonsumsi suplemen atau vitamin.
c. POLA ELIMINASI
Tanyakan bagaimana kebiasaan defekasi dan berkemih pasien, dan tanyakan
apakah pasien memakai alat bantu saat memenuhi pola eliminasinya.
d. POLA AKTIVITAS/OLAHRAGA
Tanyakan bagaimana kemampuan pasien dalam beraktifitas dan keluhan apa yang
dirasakan saat beraktifitas.
e. POLA ISTIRAHAT/TIDUR
Tanyakan bagaimana kebiasaan tidur pasien ( berapa lama, adakah kebiasaan
sebelum tidur, apakah terasa efektif),dan tanyakan apakah penyakit klien
menyebabkan tidur/istirahat klien tergganggu
f. POLA KOGNITIF/PERSEPSI
Tanyakan kemampuan pendengaran pasein dan apakah klien menggunakan alat
bantu untuk pendengarannya.
g. POLA KONSEP DIRI
Tanyakan apakah hal yang menjadi pikiran, apakah ada kejadian yang akhirnya
mengubah gambaran terhadap diri.
h. POLA HUBUNGAN PERAN
Keluarga berperan dalam membantu klien dalam pemenuhan kebutuhannya dan
bagaimana aktivitas sosial antara klien dengan keluarga.
i. POLA SEKSUALITAS/REPRODUKSI
Tanyakan apakah pasien mengalami kesulitan/perubahan dalam pmenuhan
kebutuhan seks.
j. POLA KOPING/PENANGANAN STRES
Tanyakan apakah perubahan pasien dalam beberapa tahun terakhir. Bagaimana
pasien dalam menghadapi masalah dan adakah pasien menggunakan obat-obat
tertentu
k. POLA NILAI/AGAMA
Bagaimana pengaruh agama dalam kehidupan sehari-hari
4. Diagnosa NANDA, Kriteria Hasil NOC, dan Intervensi NIC
No NANDA NOC NIC1 Ggn persepsi
sensori pendengaran
Batasan karakteristik:
Berubahnya pola prilaku
Berubahnya ketajaman panca indra
Gagal penyesuaian
Distorsi pancaindera
Pengintegrasian pancaindera yang terganggu
Pancaindera yang terganggu
a. Kontrol cemasIndikator :Pantau intensitas kecemasanMenyingkirkan tanda
kecemasanMencari informasi untuk
menurunkan cemasMempertahankan
konsentrasiLaporankan durasi dari
episode cemas
b. Kompensasi Tingkah Laku Pendengaran
Indicator:Pantau gejala kerusakan
pendengaranPosisi tubuh untuk
menguntungkan pendengaran
Menghilangkan gangguanMemperoleh alat bantu
pendengaran
a. Peningkatan komunikasi : deficit pendengaran
Aktivitas: Janjikan untuk mempermudah
pemeriksaan pendengaran sebagaimana mestinya
Beritahu pasien bahwa suara akan terdengar berbeda dengan memakai alat bantu
Jaga kebersihan alat bantu Mendengar dengan penuh perhatian Menahan diri dari berteriak pada
pasien yang mengalami gangguan komunikasi
Dapatkan perhatian pasien melalui sentuhan
b. Dukungan emosiAktivitas: Berdiskusi dengan pasien tentang
emosi yang dirasakan Bantu pasien dalam mengenali
perasaan seperti cemas, marah, atau
Menggunakan layananan pendukung untuk pendegaran yang lemah
Memperoleh intervensi yang berhubungan dengan pembedahan
sedih Dorong pasien untuk mengunkapkan
perasaan cemas, marah, atau sedih Perhatikan pengungkapan perasaan
dan keyakinan Sediakan identifikasi pasien terhadap
pola tanggapan yang umum terhadap ketakutan
Beri dukungan selama fase penolakan, marah, tawar menawar, dan fase penerimaan terhadap duka cita
Sediakan bantuan dalam membuat keputusan
Rujuk ke konselor sebagaimana mestinya
c. Pencegahan jatuhAktivitas:
Identifikasi kelemahan kognisi dan fisik pada pasien yang barangkali meningkatkan potensi untuk jatuh pada lingkungan tertentu
Identifikasi karakteristik lingkungan yang mungkin meningkatkan potensi untuk jatuh (misal ,lantai licin dan jenjang yang terbuka)
Sediakan alat bantu (misal, tongkat dan alat bantu berjalan) untuk gaya berjalan yang kokoh
Pelihara alat bantu supaya berfungsi dengan baik
Ajarkan pasien bagaimana cara jatuh untuk meminimalkan cedera
2 Resiko Cedera
Faktor yang berhubungan :a. Eksternal Kimia,
misalnya : racun, polutan, obat-obatan,alcohol.
Nutrisi ( vitamin, jenis makanan )
b. Internal Usia
Perilaku keamanan: lingkungan fisik rumahIndikator : Perlengkapan
pencahayaan Penggunaan system alarm
pribadi Kelengkapan alat bantuan
pada lokasi yang mudah dicapai
Penyusunan perabotan untuk mengurangi resiko
Pengetahuan: keamanan pribadiIndikator :
Manajemen keamananAktifitas :
Ciptakan lingkungan yang nyaman bagi klien
Identifikasi kebutuhan keamanan klien
Pindahkan benda-benda berbahaya dari sekitar klien
Pindahkan benda-benda berisiko dari lingkungan klien
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Posisikan tempat tidur agar mudah terjangkau
Kurangi stimulus lingkungan
perkembangan Gambaran untuk mencegah jatuh
Gambaran resiko keamanan khusus berdasarkan usia
Gambaran perilaku individu yang berisiko tinggi
Gambaran resiko keamanan bekerja
Pencegahan jatuhAktifitas :
Identifikasi deficit fisik yang berpotensi untuk jatuh
Identifikasi karakteristik lingkungan yang meningkatkan potensi jatuh ( seperti lantai yang licin)
Berikan peralatan yang menunjang untuk mengokohkan jalan
Ajarkan klien bagaimana berpindah untuk meminimalisir trauma
Hindari barang-barang berserakan di lantai
Ajarkan keluarga tentang faktor resiko yang berkontribusi pada jatuh dan bagaimana mengurangi resiko jatuh
Kaji keluarga dalam mengidentifikasi bahaya di rumah dan bagaimana memodifikasikannya
3 AnsietasBatasan karakteristik:Scaning dan
kewaspadaanKontak mata
yang burukKetidakberday
aan meningkatKerusakan
perhatian
a. Kontrol cemasIndikator : Pantau intensitas
kecemasan Menyingkirkan tanda
kecemasan Mencari informasi
untuk menurunkan cemas Mempertahankan
konsentrasi Laporankan durasi
dari episode cemas
b. KopingIndikator:
Memanajemen masalah
Melibatkan anggota keluarga dalam membuat keputusan
Mengekspresikan perasaan dan kebebasan emosional
Menunjukkan strategi penurunan stress
Menggunakan support sosial
Penurunan kecemasan Aktivitas:
Tenangkan klien Jelaskan seluruh posedur tindakan
kepada klien dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan
Berikan informasi diagnosa, prognosis, dan tindakan
Berusaha memahami keadaan klien
Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan
Gunakan pendekatan dan sentuhan, untuk meyakinkan pasien tidak sendiri.
Sediakan aktivitas untuk menurunkan ketegangan
Bantu pasien untuk identifikasi situasi yang mencipkatakan cemas
Instruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi
Peningkatan kopingAktivitas: Hargai pemahamnan pasien
tentang pemahaman penyakit Gunakan pendekatan yang tenang
dan berikan jaminan
Sediakan informasi aktual tentang diagnosa, penanganan, dan prognosis
Sediakan pilihan yang realisis tentang aspek perawatan saat ini
Tentukan kemampuan klien untuk mengambil keputusan
Bantu pasien untuk mengidentifikasi strategi positif untuk mengatasi keterbatasan dan mengelola gaya hidup atau perubahan peran
DAFTAR PUSTAKA
Brooker, Christine. 2001. “Buku Saku Keperawatan Edisi 31”. Jakarta: EGC.
Bemfkur. 2010. “Otitis Media Efusi”. Http://bemfkur.wordpress.com/2010/08/05/otitis-
media-efusi///. Diakses tanggal 22 Oktober 2010.
Doungoes, marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
Dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed 3, EGC, Jakarta, 2000
Harnawatiaj. 2008. “Otitis Media”. Http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/otitis-
media///. Diakses tanggal 22 Oktober 2010.
Hapsari, Ratna Budi. 2010. “Otitis Media Akut dan Otitis Media Efusi”. Http://id-
id.facebook.com/pages/Enmedicare-International/125268980823450///. Diakses
tanggal 22 Oktober 2010.
Johnson, Marion, dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). USA
McCloskey, Joanne C and Gloria M.Bulecheck.1996. Nursing Interventions
Classification (NIC). USA
Nining. 2009. “Otitis Media Akut”. Http://bemfkur.wordpress.com/2010/08/05/otitis-
media-efusi///. Diakses tanggal 22 Oktober 2010.
Smeltzer, Suzanne (2002). “Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &
Suddart). Edisi 8. Volume 3”. Jakarta: EGC.
Wiley and Blackwell. 2009. Nursing Diagnosis Defenitions and Classification 2009-
2011. USA.
Winarno.“Askep Otitis Media”. .Http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/04/askep-
otitis-media.html///. Diakses tanggal 22 Oktober 2010.