makalah farmasi otitis media akut
DESCRIPTION
otitis media akutTRANSCRIPT
MAKALAH FARMASI
OTITIS MEDIA AKUT
OLEH :
Arifa Martha Santoso G99142010
Eka Satrio Putra G99141004
KEPANITERAAN KLINIK LAB/SMF ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media akut
(OMA) adalah peradangan akut telinga tengah. OMA merupakan salah satu
penyakit yang umum terjadi di berbagai belahan dunia (Aboet, 2006). Hal ini
lebih sering dijumpai di negara-negara dengan tingkat ekonomi yang rendah,
salah satunya Indonesia (WHO, 2006). Angka kejadian OMA, sebagai salah
satu penyakit infeksi pada telinga hidung tenggorokan (THT) yang dapat
menyebabkan gangguan pendengaran, ditemukan bervariasi di berbagai negara.
Ramakrishnan menemukan bahwa OMA merupakan penyakit infeksi yang paling
sering terjadi di Amerika Serikat (Ramakrishnan, 2007). Salah satu laporan Center
for Disease Control and Prevention (CDC) dalam salah satu programnya yaitu
CDC’s Active Bacterial Core Surveillance (ABCs) di Amerika Serikat tahun
1999 menunjukkan kasus OMA terjadi sebanyak enam juta kasus per tahun.
Meropol, dkk juga mendapati 45-62% indikasi pemberian antibiotik pada anak-
anak di Amerika Serikat disebabkan OMA (Meropol et al, 2008).
OMA umumnya diawali dengan infeksi virus pada saluran pernapasan atas
yang kemudian diikuti oleh invasi bakteri piogenik di telinga tengah
(Dhingra, 2010). Tingginya kasus OMA di Indonesia ini perlu menjadi
perhatian khusus, sebab OMA yang tidak ditangani secara adekuat dan tetap
bertahan dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih serius, yaitu Otitis
Media Supuratif Kronik (OMSK), jika terjadi lebih dari 2 bulan (WHO, 2007).
2
BAB II
OTITIS MEDIA AKUT
A. Definisi
Otitis media akut adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-
tanda yang bersifat cepat dan singkat. Di mana peradangan terjadi pada
sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah. Peradangan telinga tengah
dikatakan akut bila waktunya kurang dari 3 minggu. Bila OMA berlanjut
dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka
keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi
menetap dan sekret tetap keluar lebih dari 1½ bulan atau 2 bulan, maka
keadaan ini disebut Otitis Media Supuratif Kronis (Djaafar et al, 2012).
B. Epidemiologi
Bayi dan anak beresiko tinggi untuk mengalami otitis media. Insidensinya
sebesar 15-20% dengan punck terjadi antara umur 6-36 bulan dan 4-6 tahun.
insiden penyakit ini mempunyai kecenderungan menurun setelah usia 6
tahun. insiden tertinggi dijumpai pada laki-laki, kelompok sosial ekonomi
rendah, anak-anak dengan celah pada langit-langit, serta anomali kraniofasial
lain dan pada musim dingin atau hujan (Nelson et al, 1993). Pada anak, makin
sering terserang infeksi saluran nafas atas maka semakin besar resiko
terjadinya otitis media akut. Pada bayi terjadinya otitis media akut
dipermudah oleh karena tuba eustachius pendek, lebar, dan lebih horizontal
dibandingkan pada orang dewasa (Adams et al, 1994).
C. Etiologi
Infeksi telinga tengah terutama berasal dari saluran pernafasan bagian atas,
masuk ke kavum timpani melalui tuba eustachius. Segala sesuatu yang
mengganggu fungsi tuba akan dapat menyebabkan otitis media. Kadang-
kadang (tetapi jarang sekali) infeksi masuk ke kavum timpani melalui
perforasi membran timpani yang di sebabkan penyakit atau trauma (FKUI).
3
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus (Healy et al,
2003).
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA tersering. Bakteri yang
paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae (40%), diikuti
oleh Haemophilus influenza (25-30%), dan Moraxella catarrhalis (10-15%).
5% kasus disebabkan patogen lain seperti Streptococcus grup A, dan
Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif (Nelson, 1993).
Virus juga dapat menyebabkan OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering
dijumpai pada anak yaitu Respiratory Syncytial Virus (RSV), influenza virus,
atau adenovirus (30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus,
rhinovirus atau enterovirus. Virus akan berdampak buruk pada fungsi tuba
Eustachius, mengganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri,
menurunan efisiensi obat antimikroba dengan mengganggu mekanisme
farmakokinetiknya (Nelson, 1993).
Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan adalah
Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia tracomatis
(Healy et al, 2003).
D. Patofisiologi
Secara umum, pada OMA terjadi reaksi inflamasi pada tuba Eustachius. Hal
yang paling sering memicu kondisi tersebut adalah infeksi saluran pernafasan
atas yang melibatkan nasofaring, walaupun beberapa kondisi lainnya seperti
infeksi (terutama infeksi virus), alergi, dan kondisi inflamasi lainnya yang
berkaitan dengan tuba Eustachius juga akan memicu manifestasi yang sama.
Manifestasi inflamasi dalam hal ini akan menjalar dari nasofaring hingga
mencapai ujung medial tuba Eustachius atau secara langsung terjadi di tuba
Eustachius, sehingga memicu stasis sehingga mengubah tekanan di dalam
telinga tengah. Di sisi lain, stasis juga akan memicu infeksi bakteri patogenik
yang berasal dari nasofaring dan masuk ke dalam telinga tengah dengan cara
refluks, aspirasi, atau insuflasi aktif. Beberapa variasi juga terdapat pada
4
anak-anak yang cenderung mengalami otitis (otitis-prone children). Pada
pasien ini, adanya gangguan neuromuskular atau atau abnormalitas pada tuba
Eustachius (tuba Eustachius cenderung terbuka) membuat konten nasofaring
dapat dengan mudah mengalami refluks ke telinga tengah, termasuk bakteri
patogenik yang berada di nasofaring. Pada akhirnya, semua kondisi ini akan
memicu reaksi inflamasi akut yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi,
invasi leukosit, fagositosis, dan respon imun lokal yang terjadi di telinga
tengah, yang akan bermanifestasi pada gejala-gejala klinis OMA (Donaldson,
2014).
Infeksi virus pada telinga tengah cukup sering terjadi pada pasien OMA dan
umumnya diikuti dengan infeksi bakteri. Kondisi demikian disebabkan virus
memfasilitasi bakteri supaya melekat di mukosa dan memicu inflamasi.
Dalam hal ini, virus akan terlebih dahulu merusak lapisan mukosa sehingga
mukosa menjadi terpapar dan kondisi ini akan memicu bakteri menjadi
patogenik dengan cara melakukan adhesi di permukaan mukosa nasofaring,
tuba Eustachius, dan telinga tengah yang sudah mengalami kerusakan. Data
lain juga menunjukkan bahwa kerusakan mukosa juga dapat diakibatkan
endotoksin oleh invasi bakterisehingga pada akhirnya patogen dapat melekat
di permukaan mukosa (Donaldson, 2014).
E. Stadium Otitis Media Akut
a. Stadium oklusi
Pada stadium ini terdapat sumbatan pada tuba eustachius yang ditandai
gambaran retraksi membrane timpani akibat tekanan negatif telinga
tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna suram.
Efusi mungkin telah terjadi akan tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini
sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan
oleh virus dan alergi (Djaafar et al, 2012).
b. Stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi
Pada stadium ini terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani
yang ditandai dengan membran timpani tampak hiperemis disertai edem
5
pada mukosa dan adanya eksudat sekret serosa yang sulit terlihat.
Hiperemis disebabkan oklusi tuba berkepanjangan sehingga terjadi invasi
bakteri piogenik. Proses inflamasi yang terjadi menyebabkan membran
timpani menjadi kongesti. Biasanya pasien mengeluhkan otalgia, rasa
penuh di telinga dan demam. Pendengaran mungkin normal atau terjadi
gangguan ringan yang tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Gejala
berkisar 12 jam sampai 1 hari (Djaafar et al, 2012).
Gambar. Membran timpani stadium hiperemis
c. Stadium supuratif
Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di
kavum timpani sehingga membran timpani tampak menonjol
(bulging) ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini pasien akan merasa
sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga yang
bertambah hebat. Pasien merasa gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.
Dapat disertai gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi biasanya
demam tinggi, muntah dan disertai kejang (Djaafar et al, 2012).
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan tepat
akan menimbulkan iskemia membran timpani akibatnya terjadi nekrosis
mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah
yang terus berlangsug di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-
vena kecil sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan
berwarna kekuningan atau yellow spot.
6
Gambar. Membran timpani stadium supuratif
d. Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah
keluar dari telinga tengah ke liang telinga. Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotk dan tingginya
virulensi kuman. Setelah nanah keluar, biasanya anak menjadi lebih
tenang, suhu tubuh menurun, dan dapat tertidur nyenyak. Apabila
membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika keadaan tersebut berlangsung lebih dari satu
setengah hingga dua bulan maka disebut sebagai otitis media supuratif
kronik (Djaafar et al, 2012).
Gambar. Membran timpani stadium perforasi
e. Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani berangsur menjadi normal,
perforasi membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak
ada lagi. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah
maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan (Djaafar et al,
2012).
7
F. Gejala klinis
Gejala klinis otitis media akut tergantung pada umur dan stadium
penyakit. Pada bayi dan anak kecil gejala khas otitis media akut adalah suhu
tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba -tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang -
kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi
ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu
tubuh turun dan anak tertidur dengan tenang. Pada anak yang sudah dapat
berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, keluhan
disamping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, gejala utamanya
nyeri telinga. Gejala klinis OMA biasanya di dahului oleh gejala infeksi
salur an nafas bagian atas berupa batuk, pilek dan panas dalam beberapa
hari. Apabila proses penyembuhan tidak terjadi maka proses selanjutnya akan
timbul gejala sumbatan tuba eustachius yang akut. Gejala dan tanda penyakit
OMA itu sendiri bias dimulai dengan di tandai adanya nyeri telinga
(otalgia), keluarnya cairan dari telinga, demam, kehilangan pendengaran,
tinitus (Djaafar et al, 2012).
G. Penatalaksanaan
Berdasarkan stadiumnya, penatalaksanaan OMA adalah sebagai berikut :
1. Stadium awal
Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran
napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan
antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk
menghindari komplikasi intrakranial dan ekstrakranial yang mungkin
terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius,
menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum
lokal dan sistemik (Titisari, 2005) .
2. Stadium oklusi tuba
8
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali
tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang.
Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam
larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik
(Djaafar, 2007).
3. Stadium hiperemis
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung
dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa
dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien
alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan
ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, pada
dewasa diberikan amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
4. Stadium supurasi
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga
gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
5. Stadium perforasi
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara
berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2
3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai
3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup
kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
6. Stadium resolusi
9
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi
biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di
membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
Berdasarkan macam terapinya, pengobatan OMA dibagi menjadi:
a. Terapi simptomatis
Penatalaksanaan OMA harus memasukkan penilaian adanya
nyeri. Jika terdapat nyeri, harus memberikan terapi untuk
mengurangi nyeri tersebut. Penanganan nyeri harus dilakukan
terutama dalam 24 jam pertama onset OMA tanpa memperhatikan
penggunaan antibiotik. Penanganan nyeri telinga pada OMA dapat
menggunakan analgetik seperti: asetaminofen, ibuprofen, preparat
topikal seperti benzokain, naturopathic agent, homeopathic agent,
analgetik narkotik dengan kodein atau analog, dan miringotomi
(Lieberthal AS et al., 2004).
Antihistamin dapat membantu mengurangi gejala pada pasien
dengan alergi hidung. Dekongestan oral berguna untuk mengurangi
sumbatan hidung. Tetapi baik antihistamin maupun dekongestan tidak
memperbaiki penyembuhan atau meminimalisir komplikasi dari
OMA, sehingga tidak rutin direkomendasikan (Munilson et al, 2010)
Manfaat pemberian kortikosteroid pada OMA juga masih
kontroversi (Munilson, 2010). Dekongestan dan antihistamin hanya
direkomendasikan bila ada peran alergi yang dapat berakibat kongesti
pada saluran napas atas. Sedangkan kortikosteroid oral mampu
mengurangi efusi pada otitis media kronik lebih baik daripada antibiotika
tunggal. Penggunaan Prednisone 2x5mg selama 7 hari bersama-sama
antibiotika efektif menghentikan efusi (Munilson et al, 2010).
10
b. Terapi antibiotik
Antibiotik direkomendasikan untuk semua anak di bawah 6 bulan,
6 bulan – 2 tahun jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak lebih
dari dua tahun dengan infeksi berat (otalgia sedang atau berat atau
suhu tubuh lebih dari 39oC ) (Munilson et al, 2010).
Terapi antibiotik diberikan pada kasus otitis media akut dan otitis
media dengan efusi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi
yang mungkin terjadi dan mengurangi gejala. Amoksisilin merupakan
terapi antibiotik lini pertama dimana strain bakteri yang memproduksi
beta laktamase jarang ditemukan. Jika terjadi resistensi maka dapat
digunakan cefaclor, amoksisilin klavulanat atau kotrimoksasol (Theone
dan Johnson, 1991).
Jika diputuskan perlunya pemberian antibiotik, lini pertama
adalah amoksisilin dengan dosis 80-90 mg/kg/hari. Pada pasien
dengan penyakit berat dan bila mendapat infeksi β-laktamase positif
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis terapi dimulai
dengan amoksisilin-klavulanat dosis tinggi (90 mg/kg/hari untuk
amoksisilin, 6,4 mg/kg/hari klavulanat dibagi 2 dosis). Jika pasien alergi
amoksisilin dan reaksi alergi bukan reaksi hipersensitifitas (urtikaria
atau anafilaksis), dapat diberi cefdinir (14 mg/kg/hari dalam 1 atau 2
dosis), cefpodoksim (10 mg/kg/hari 1 kali/hari) atau cefuroksim (20
mg/kg/hari dibagi 2 dosis). Pada kasus reaksi tipe I
(hipersensitifitas), azitromisin (10 mg/kg/hari pada hari 1 diikuti 5
mg/kg/hari untuk 4 hari sebagai dosis tunggal harian) atau
klaritromisin (15 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi). Obat lain yang bisa
digunakan eritromisin-sulfisoksazol (50 mg/kg/hari eritromisin) atau
sulfametoksazol-trimetoprim (6-10 mg/kg/hari trimetoprim (Tabel 1).
Alternatif terapi pada pasien alergi penisilin yang diterapi untuk
infeksi yang diketahui atau diduga disebabkan penisilin resistan
S.pneumoniae dapat diberikan klindamisin 30-40 mg/kg/hari dalam 3
11
dosis terbagi. Pada pasien yang muntah atau tidak tahan obat oral
dapat diberikan dosis tunggal parenteral ceftriakson 50 mg/kg (Tabel 1).
Jika pasien tidak menunjukkan respon pada terapi inisial dalam
48 -72 jam, harus diperiksa ulang untuk mengkonfirmasi OMA dan
menyingkirkan penyebab lain. Jika OMA terkonfirmasi pada pasien
yang pada awalnya diterapi dengan observasi, harus dimulai
pemberian antibiotik. Jika pasien pada awalnya sudah diberi
antibiotik, harus diganti dengan antibiotik lini kedua, seperti
amoksisilin-klavulanat dosis tinggi, sefalosporin, dan makrolid
(Munilson et al, 2010).
Waktu yang optimum dalam terapi OMA masih
kontroversi.11,32,37 Terapi jangka pendek (3 hari azitromisin, 5 hari
antibiotik lain) adalah pilihan untuk anak umur diatas 2 tahun dan
terapi paket penuh (5 hari azitromisin, 7-10 hari antibiotik lain) lebih
baik untuk anak yang lebih muda.26,37 Terdapat beberapa
keuntungan dari terapi jangka pendek yaitu: kurangnya biaya, efek
samping lebih sedikit, komplian lebih baik dan pengaruh terhadap flora
komensal dapat diturunkan.37 Terapi antibiotik jangka panjang dapat
mencegah rekurensi dari OMA. Pertanyaan antibiotik apa yang akan
digunakan, untuk berapa lama, dan berapa episode OMA untuk menilai
terapi belum dievaluasi secara adekuat (Munilson et al, 2010)..
c. Terapi pembedahan
Walaupun observasi yang hati-hati dan pemberian obat merupakan
pendekatan pertama dalam terapi OMA, terapi pembedahan perlu
dipertimbangkan pada anak dengan OMA rekuren, otitis media efusi
(OME), atau komplikasi supuratif seperti mastoiditis dengan osteitis.
Beberapa terapi bedah yang digunakan untuk penatalaksanaan OMA
termasuk timpanosintesis,miringotomi, dan adenoidektomi (Munilson et
al, 2010).
12
Gambar. Penatalaksanaan OMA
13
Tabel 1. Antibiotik yang direkomendasikan pada pasien yang diterapi inisial
dengan antibiotik atau yang telah gagal 48 – 72 jam pada terapi inisial
dengan observasi
Suhu ≥ 39oC dan atau
otalgia berat
Pada diagnosis pasien diterapi inisial antibiotik
Secara klinis gagal terapi pada 48-72 jam setelah terapi
inisial dengan pilihan observasi
Secara klinis gagal terapi pada 48-72 jam setelah terapi inisial
dengan antibiotik
rekomendasi Alternatif untuk alergi penisilin
rekomendasi Alternatif untuk alergi penisilin
Amoxicilin-klavulanat 90 mg/kg/hari
Bukan tipe I : ceftriaxon 3 hariTipe I : klindamicin
Tidak Amoxicilin 80-90mg/kg/hari
Bukan tipe I : cefdinir, cefuroksim, cefpodoksimTipe I : azitromicin, klaritomicin
Amoxicilin 80-90mg/kg/hari
Bukan tipe I : cefdinir, cefuroksim, cefpodoksimTipe I : azitromicin, klaritomicin
Ya Amoxicilin-klavulanat 90 mg/kg/hari
Ceftriaxon 1 atau 3 hari
Amoxicilin-klavulanat 90 mg/kg/hari
Ceftriaxon 1 atau 3 hari
Ceftriaxon 3 hari
Timpanosintesis, klindamisin
H. Komplikasi
Komplikasi dari OMA dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
melalui erosi tulang, invasi langsung dan tromboflebitis. Komplikasi ini
dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan intrakranial. Komplikasi
intratemporal terdiri dari: mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi
pars tensa, atelektasis telinga tengah, paresis fasialis, dan gangguan
pendengaran. Komplikasi intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu
meningitis, encefalitis, hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural,
empiema subdural, dan trombosis sinus lateralis (Munilson et al, 2010).
14
BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS
1. Nama : An. P
2. Umur : 5 tahun
3. Berat badan : 15 kg
4. Jenis kelamin : perempuan
5. Agama : Islam
6. Alamat : Sragen
7. Suku/ras : Jawa
II. KELUHAN UTAMA
Nyeri telinga kiri
III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang dengan keluhan nyeri telinga kiri yang dirasakan
sejak 3 hari yang lalu. Keluhan awalnya dirasakan hilang timbul namun
sejak 1 hari SMRS dirasakan semakin memberat. Menurut ibu pasien,
pasien merasa sangat kesakitan. Sebelumnya sejak seminggu yang lalu,
pasien mengalami demam, batuk, dan pilek, tetapi ibu pasien tidak
memeriksakan ke dokter hanya membeli obat penurun panas di warung saja.
Telinga berdenging (-), penurunan pendengaran (+) pada telinga kiri, keluar
cairan (+) 1 hari yang lalu berwarna kuning, pusing berputar (-). Tidak ada
keluhan nyeri menelan maupun nyeri tenggorokan. Tidak ada riwayat
memanipulasi telinga (mengorek-korek telinga), kemasukan benda asing,
maupun berenang dalam waktu dekat.
IV. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat alergi : disangkal
3. Riwayat asma : disangkal
15
4. Riwayat keluar cairan : disangkal
V. PEMERIKSAAN UMUM
Kesadaran : composmentis, GCS E4V5M6
Keadaan Umum : baik, gizi kesan normal
Tanda Vital :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 100 x/menit
Frekuensi napas : 22x/menit
Suhu : 39 oC
Kepala : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Paru-paru (C/P) : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
VI. PEMERIKSAAN THT
1. Hidung
Dextra Sinistra Gambar
Cavum nasi Lapang Lapang
Discharge (+) (+)
Concha inferior Eutrofi Eutrofi
Meatus nasi medius Tak terlihat Tak terlihat
Meatus nasi inferior Tak terlihat Tak terlihat
Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)
Provokasi nyeri (-) (-)
Nyeri pada daerah
Sinus frontalis (-) (-)
Sinus maxillaries (-) (-)
Sinus sphenoidalis (-) (-)
Sinus ethmoidalis (-) (-)
16
2. Telinga
Dextra Sinistra Gambar
Daun telinga Normotia Normotia
AS AD
Canalis auricularis Lapang Lapang
Membrane timpaniHiperemis (+), pulsating point (+)
Intak
Tragus pain (-) (-)
Hearing loss (-) (-)
Discharge (+), minimal (-)
Tes Pendengaran
Pemeriksaan Rinne sde sde
Pemeriksaan Weber(pasien tidak kooperatif)
Pemeriksaan Swabach
3. Mulut
a. Bibir : sianosis (-), bibir pecah-pecah (-)
b. Gingiva : ulserasi (-)
c. Gigi : caries dentis (-)
d. Lidah : papil lidah atrofi (-)
4. Tenggorok
Dextra Sinistra
Tonsil T1-TI, hiperemis (-), kripte melebar (-)
Faring DPP tenang
Adenoid Tidak membesar
Uvula Terletak di tengah
5. Kelenjar Getah Bening : tidak membesar
17
VII. DIAGNOSIS
Otitis media akut stadium perforasi Auricula sinistra
VIII. TERAPI
Tujuan terapi
a. Menghilangkan penyebab
b. Mengembalikan fungsi tuba eusthacius
c. Menghilangkan gejala penyerta
d. Mencegah komplikasi baik intracranial maupun ekstrakranial
Medikamentosa
a. Ear toilet dengan perhidrol 3%
b. Amoksisillin
c. Pesudoefedrin
d. Terfenadin
Penulisan Resep
R / Perhidrol 3 % No. I
Kapas steril No. X
S uc
R/ Amoksisilin syr 125 mg /5 ml
S 3 dd cth I
R / Paracetamol 125 mg /5 ml
Rhinofed ¼ tab /5 ml
Mfla syr ad 60 cc
S 3 dd cth I
Pro : An. P (5 tahun, 15 kg)
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
18
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
19
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Amoksisilin
Amoksisilin adalah antibiotik dengan spektrum luas. Amoksisilin
merupakan antibiotik β-laktam yang bekerja dengan menghambat sintesis
dinding sel bakteri. Amoksisilin aktif melawan bakteri gram positif yang tidak
menghasilkan β-laktamase dan aktif melawan bakteri gram negatif karena
obat tersebut dapat menembus pori–pori dalam membran fosfolipid luar.
Untuk pemberian oral, amoksisilin merupakan obat pilihan karena di absorbsi
lebih baik daripada ampisilin, yang seharusnya diberikan secara parenteral.
Amoksisilin merupakan turunan dari penisilin semi sintetik dan stabil dalam
suasana asam lambung. Amoksisilin diabsorpsi dengan cepat dan baik pada
saluran pencernaan, tidak tergantung adanya makanan/ Amoksisilin
mempunyai spektrum antibiotik serupa dengan ampisilin. Beberapa
keuntungan amoksisilin dibanding ampisilin adalah absorbsi obat dalam
saluran cerna lebih sempurna, sehingga kadar darah dalam plasma dan saluran
seni lebih tinggi. (Istiantoro dan han, 2007).
Amoksisilin tersedia sebagai kapsul atau tablet berukuran 125, 250, dan
500 mg dan sirup 125 mg/ 5 ml. Dosis sehari dapat diberikan lebih kecil
daripada ampisilin karena absorpsinya lebih baik daripada ampisilin.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian
antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak
membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata
pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari
tejadinya komplikasi supuratif seterusnya (Lieberthal AS et al. 2004).
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin
merupakan first-lineterapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi
antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus
penumoniae (Lieberthal AS et al. 2004).
20
B. Paracetamol
Kandungan dalam paracetamol yaitu acetaminophen.Paracetamol
umumnya digunakan sebagai analgetik dan antipiretik. Sebagai analgesik,
paracetamol bekerja denga meningkatkan ambang rasa sakit, sebagai
antipiretik, paracetamol bekerja langsung pada pusat pengatur panas yaitu
hipothalamus (Sweetman S, 2002).
Paracetamol diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal.Paracetamol
didistribusikan ke hampir seluruh jaringan tubuh. Waktu paruh eliminasi
bervariasi antara 1- 3 jam. Sebagian besar dimetabolisme di hati dan
diekskresi melalui urin, terutama dalam bentuk glucoronide dan konjugasi
sulfat, kurang dari 5 % dikeluarkan dalam bentuk tetap paracetamol
(Sweetman S, 2002).
Mekanisme kerja paracetamol yaitu dapat menurunkan panas dengan
bekerja pada hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasidan pengeluaran
keringat.Pada dosis terapeutik, inhibisi sekresi prostaglandin tidak signifikan
pada jaringan perifer sehingga paracetamol memiliki efek inflamasi yang
rendah.Dosis paracetamol untuk orang dewasa yaitu 500 mg – 1 g boleh
diulang setiap 6 jam per hari atau diberikan 4 dosis per hari. Sedangkan pada
anak 10-15 mg/kgBB per tiap kali pemberian dan dapat diberikan samapi 4
kali sehari (Sweetman S, 2002).
Efek samping dapat terjadi mual, muntah, nyeri perut. Pemberian
dalam jangka panjang dapat menyebabkan neutropenia, leukopenia,
trombositopenia, dan reaksi hipersensitivitas yang berupa urtikaria, hipotensi
(Mashford M., 2007).
Kontraindikasi paracetamol yaitu pemberian pada pasien dengan
gangguan fungsi hepar dan ginjal, dan penderita dengan reaksi
hipersensitivitas pada paracetamol (Mashford M., 2007).
21
Daftar Pustaka
Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut. Majalah Kedokteran Nusantara, 39 (3): 356
Adams, G.L., Boies, L.R.., Hilger, P.A. Alih bahasa Wijaya, Caroline. 1994. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke 6. Jakarta : EGC
Dhingra. P.L. and Dhingra, S., 2010. Diseases of ear, nose & throat. 5thed. India:Elsevier, pp.69-70.
Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. 2012. Kelainan telinga tengah. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI;p.57-69
Donaldson JD, 2014. Acute Otitis Media. eMedicine. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/859316-overview. (diakses tanggal 6 Mei 2014)
Healy GB, Rosbe KW. 2003. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow JB, Ballenger JJ,eds. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th edition. New York: BC Decker. p.249-59
Istiantoro YH dan Gan VH. 2007. Penisilin, Sefalosporin, dan antibiotik betalaktam lainnya. Dalam farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. Halaman 664-678
Lieberthal AS et al. 2004. Diagnosis and management of acute otitis media. Clinical practice guideline. American Academy of Pediatrics and American Academy of Family Physicians. Pediatric;113(5):1451-1465
Mashford M. 2007. Therapeutic Guidelies :Analgetik. Australia : Terapeutic Guidelines Limited.
Meropol, S. B., Glick, H. A., Asch, D. A., 2008. Age Inconsistency in The American Academy of Pediatrics Guidelines for Acute Otitis Media. Pediatrics, 121 (4): 657 – 663.
Munilson J, Edward Y, Yolazenia. 2010. Penatalaksanaan Otitis Media Akut. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. http://repository.unand.ac.id/18807/1/Penatalaksanaan%20otitis%20media%20akut_repositori.pdf
22
Nelson, W.E., et. al. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi ke 12. Bagian ke 2. Jakarta : EGC.
Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007. Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1650 – 1653.
Sweetman S. 2002. Martindale. The Complete Drug Reference 33rd Edition. London Chicago : Pharmaceutical Press.
Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Theone, DE dan Johnson CE. 1991. Pharmacotherapy of Otitis Media. Pharmacotherapy 11(3):212-21
World Health Organization, 2006. Primary ear and hearing care training resource : Advanced Level. WHO Geneva, Switzerland: WHO press, pp.14 -15.
World Health Organization, 2007. Situation review and update on deafness,hearing loss and interventi on programmes proposed plans of action for preventionand alleviation of hearing impairment in countries of the south east asia region . New Delhi: WHO, pp.11 -12.
23