makalah ibuprofen
DESCRIPTION
hihihihiTRANSCRIPT
BIOAVAILABILITAS TABLET IBUPROFEN PADA PEMBERIAN BERSAMAAN
DENGAN EKSTRAK AIR HERBA PAGAGAN (Centella asiatica (L) urban) PADA
KELINCI JANTAN
I. TUJUAN
Setelah melakukan praktikum ini mahasiswa dapat menjelaskan konsep uji
boiavailabilitas-bioekuivalensi.
II. PENDAHULUAN
Pada uji bioavailabilitas atau uji bioekuivalensi yang menggunakan manusia sebagai
objek penelitian harus berpedoman pada Deklarasi Helsinki yang dirumuskan pada
tahun 1964 di Helsinki Finlandia. Deklarasi Helsinki mengandung 3 pokok bagian
yang digunakan sebagai pedoman penelitian dengan subjek manusia, yaitu:
1. Prinsip dasar
2. Riset klinik/ penelitian klinik
3. Penelitian non klinik
Garis besar studi bioavailabilitas yang lengkap sesuai dengan yang diajukan
FDA sebagai berikut:
A. PROTOKOL
1. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui pengaruh ekstrak air herba pegagan terhadap
bioavailabilitas tablet ibuprofen.
2. Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan sama subjek dengan design cross
over menggunakan subjek uji 5 ekor kelinci jantan.
3. Kriteria pemilihan subjek
Hewan uji yang digunakan adalah kelinci jantan galur lokal dengan berat
badan 1,5-1,8 kg.
4. Kriteria pengeluaran objek
-
5. Macam cuplikan biologis
a. Waktu-waktu pengambilan
Penelitian ini menggunakan rancangan sama subjek dengan Cross over
menggunakan subjek uji 5 ekor kelinci jantan. Setiap kelinci
mendapatkan perlakuan yang sama. Sampel kontrol diberi tablet
ibuprofen 400 mg,sedangkan sampel perlakuan diberi tablet ibuprofen
bersamaan dengan ekatrak air herba pegagan dengan konsentrasi 25%
b/v,50% b/v,dan 100% b/v. Kemudian diambil darahnya pada jam ke
o,0.5,1,1.5,2,2.5,3,3.5,4,6,8,10. Konsentrasi ibuprofen dalam plasma
diukur menggunakan spektrofotometri.
b. Gambaran cara penanganan cuplikan.
Sebanyak 5 ekor kelinci jantan digunkan sebagai subjek uji.
6. Kriteria pemasukan dan pengeluaran cuplikan
Jalannya penelitian yang pertama dilakukan adalah determinasi tanaman
dan pembuatan ekstrak air herba pagagan. Determinasi tanaman dilakukan
di Lab. Biologi FMIPA universitas Ahmad Dahlan untuk memastikan
tanaman yang digunakan adalah pegagan serta untuk mengetahui jenisnya.
Ekstrak air herba pegagan dibuat dengan cara penyarian dengan maserasi.
Setelah itu dilakukan uji pendahuluan. Uji pendahuluan yang pertama
dengan panjang gelombang maksimal ibuprofen dalam plasma
darah,langkah-langkahnya adalah larutan ibuprofen diambil 100µl
dimasukkan kedalam 900 µl plasma darah,dicampur menggunakan vortex.
Selanjutnya diekstraksi dengan 2 ml kloroform sebanyak 3x,fase
kloroform diambil dan dikumpulkan. Fase kloroform diuapkan sampai
kering,lalu ditambahkan 0,1 N NaoH 4 ml dan digunakan untuk mencari
panjang gelombang maksimal menggunakan spektrofotometri. Uji
pendahuluan yang kedua adalah penentuan persamaan kurva baku
ibuprofen dalam plasma darah,perolehan kembali dan penetuan stabilitas
ibuprofen dalam plasma darah.
Setelah dilakukan uji pendahuluan langkah berikutnya adalah
penentuan parameter bioavailabilitas ibuprofen dalam darah. Penelitian ini
menggunakan 5 ekor kelinci jantan galur lokal (n=5) berat badan 1,5-1,8
kg dengan CV untuk ke 5 kelinci <10% diteliti dengan rancangan cross
over design dengan 4 macam perlakuan. Pada kelinci pertama pada
minggu ke-1 diberi tablet ibuprofen 400 mg(kontrol),pada minggu ke-2
diberi tablet ibuprofen bersamaan dengan 5 ml ekstrak air herba pegagan
kadar 25% b/v,minggu ke-3 dengan kadar 50% b/v,pada minggu ke-4
dengan kadar 100% b/v. Pada kelinci kedua pada minggu pertama diberi
tablet ibuprofen bersamaan dengan 5 ml estrak air herba pegagan kadar
25% b/v,pada minggu ke-2 dengan kadar 50% b/v,pada minggu ke-3
dengan kadar 100% b/v,pada minggu ke-4 diberi tablet ibuprofen
400mg(kontrol). Pada kelinci ketiga pada minggu ke-1 diberi tablet
ibuprofen bersamaan dengan ekstrak air herba pegagan dengan kadar 50%
b/v,pada minggu ke-2 dengan kadar 100% b/v,pada minggu ke-3 diberi
tablet ibuprofen 400 mg (kontrol),pada minggu ke-4 dengan kadar 25%
b/v. Pada kelinci keempat pada minggu ke-1 diberi tablet ibuprofen
bersamaan dengan ekstrak air herba pegagan dengan kadar 100% b/v,pada
minggu ke-2 diberi tablet ibuprofen 400 mg,pada minggu ke-3 dengan
kadar 25% b/v,pada minggu ke-4 dengan kadar 50% b/v. Pada kelinci
kelima perlakuannya sama dengan kelinci ke-1. Selanjutnya kadar
ibuprofen dalam darah ditentukan dengan menggunakan garis regresi linier
dari kurva baku. Parameter bioavailabilitas meliputi tmax,Cpmax,yang
diperoleh dari grafik AUC yang diperoleh dengan metode trapezoid
7. Pertimbangan etik
a. Formulir persetujuan dari subjek
-
b. Tindakan darurat
-
B. DATA
1. Laporan khusus
2. Tindakan darurat
3. Data analisis dan cuplikan biologic
C. HASIL
1. Ringkasan data subjek secara individu
Parameter bioavailabilitas meliputi tmaxCpmax,dan AUC0-8 yang ditentukan
dengan metode trapezoid.
Hasil percobaan memperlihatkan harga tmax ibuprofen pada kontrol dan
semua perlakuan hampir sama. Uji Kruskal walls menghasilkan nilai
signifikansi untuk harga tmax lebih besar dari 0,05,maka dapat diambil
kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan tmax pada tiap perlakuan.
Pemberian tablet ibuprofen bersama ekstrak air herba pegagan mengalami
peningkatan nilai Cpmax bila dibandingkan dengan kontrol. Nilai Cpmax
ibuprofen terbesar diperoleh dari perlakuan pemberian tablet ibuprofen
bersama ekstrak air pegagan 100% b/v. Uji LSD membuktikan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara perlakuan kontrol dan pemberian
bersama tablet ibuprofen dengan ekstrak air herba pegagan 25% b/v,tetapi
ada perbedaan signifikan antara perlakuan kontrol dan pemberian bersama
dengan ekstrak air herba pegagan 50% b/v dan 100% b/v.
Nilai Auc terkecil diperoleh dari perlakuan kontrol,yaitu 1161,78
µg/ml.jam dan nilai AUC terbesar diperoleh dari perlakuan pemberian
bersama ekstrak air pegagan 100% b/v yaitu 1737,04 µg/ml. Nilai AUC
ibuprofen meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak air
herba pegagan karena kadar zat aktif yang dikandung juga lebih banyak.
Akan tetapi,nilai AUC perlakuan pemberian bersama ekstrak air herba
pegagan 50% b/v lebih kecil dibandingkan perlakuan pemberian 100%
b/v,hal ini memungkinkan adanya variasi biologis dari setiap kelinci.
2. Analisis statistic bersama ringkasan statistiknya
Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara perlakuan kontrol dan pemberian bersama tablet ibuprofen dengan ekstrak air
herba pegagan 25 %b/v dan 50 %b/v, tetapi ada perbedaan yang signifikan antara
kontrol dan pemberian bersama dengan ekstrak air herba pegagan 100 %b/v. Hasil
penelitian ini sama dengan hasil yang diperoleh Priyanto, dkk (2011) bahwa tablet
ibuprofen yang diberikan bersamaan dengan air perasan temulawak dapat
mempengaruhi bioavailabilitas ibuprofen dalam darah.
Tetapi pengaruhnya berbeda, ekstrak air pegagan cenderung mengakibatkan
AUC dan Cpmaks ibuprofen meningkat sedangkan air perasan temulawak
mengakibatkan penurunan parameter AUC dan Cpmaks serta terjadi perubahan pada
nilai tmaks. Hasil yang tidak sejalan ini, kemungkinan disebabkan adanya perbedaan
senyawa yang terkandung di dalam air perasan temulawak, perbedaan dosis ibuprofen
yang diberikan dan perbedaan metode penelitian yang digunakan, serta perbedaan
subyek penelitian. Penelitian Priyanto, dkk menggunakan tikus sebagai subyek
penelitian sedangkan dalam penelitian ini menggunakan subyek uji kelinci.
3. Perbedaan yang dapat terdeteksi pada α=0,05 dengan kekuatan =0,80
Indeks terapi ibuprofen dalam darah pada manusia yaitu pada kadar10-50 μg/ml dan kadar
toksik > 100μg/ml (Davies, 1998), sedangkan pada penelitian ini kadar maksimum ibuprofen
dalam darah pada berbagai perlakuan begitu bervariasi, kadar maksimum ibuprofen pada
keempat kelompok perlakuan berada di luar indeks terapi ibuprofen dan bahkan melebihi
kadar toksik dari ibuprofen, untuk kontrol sebesar 185,902 μg/ml, perlakuan pemberian tablet
ibuprofen bersamaan dengan ekstrak air herba pegagan 25 %b/v sebesar 201,466 μg/ml,
perlakuan pemberian tablet ibuprofen bersamaan dengan ekstrak air herba pegagan 50 %b/v
sebesar 248,316 μg/ml, dan perlakuan pemberian tablet ibuprofen bersamaan dengan ekstrak
air herba pegagan 100 %b/v sebesar 287,692 μg/ml, hal ini terjadi tentunya karena penelitian
ini menggunakan subyek penelitian yang berbeda, yaitu menggunakan kelinci dimana
memiliki volume distribusi yang lebih kecil daripada manusia, sehingga kadar ibuprofen
dalam darah pun menjadi tinggi berada di luar indeks terapi dan bahkan melebihi kadar
toksiknya dalam darah, faktor lain pun ikut menentukan hasil penetapan kadar ibuprofen
dalam darah, seperti metode pengukuran yang digunakan dan formulasi dalam sediaan (Hetal
et al., 2010).
D. RINGKASAN DAN KESIMPULAN
1. Penggunaan tablet ibuprofen bersama ekstrak air herba pegagan dapat
meningkatkan nilai Cpmax dan AUC,tetapi tidak ada pengaruh terhadap
nilai tmax.
2. Penggunaan ibuprofen bersama ekstrak air herba pegagan 50% b/v dan
100% b/v secara signifikasi mempengaruhi bioavailabilitas ibuprofen
dalam darah.
III. DISKUSI AWAL
1. Apa yang dimaksud dengan uji bioavailabilitas dan uji bioekuivalensi?
Jelaskan!
Jawaban :
Bioavailabilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk
obat yang mencapat/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif
setelah pemberian produk obat tersebut,diukur dari kadarnya dalam darah
terhadap waktu atau dari eskresinya dalam urin.
Bioekuivalensi adalah ekivalensi farmasetik atau alternatif adalah suatu
sediaan yang laju dan jumlah absorbsinya tidak berbeda secara bermakna
apabila diberikan dalam dosis dan kondisi percobaan yang sama.
2. Bagaimana pedoman penelitian bioavailabilitas yang diatur oleh BPOM,
meliputi:
A. Protokol
1. Tujuan penelitian
Umum : untuk menjamin efikasi, keamanan dan mutu produk obat
yang beredar
Khusus :
- Untuk menjamin produk obat “copy” yang akan mendapat izin edar
bioekivalen dengan produk obat inovatornya
- Yntuk menetukan bioavailabilitas absolut dan relatif suatu zat
kimia baru,serta bioekuivalensi zat tersebut dalam formulasi untuk
uji klinik dan dalam produk yang akan dipasarkan.
2. Rancangan penelitian
Untuk membandingkan 2 produk obat, dilakukan studi varians residual
pada ANOVA untuk desain menyilang 2-way (2 periode untuk
pembeian 2 produk obat pada setiap subyek).
Validasi metode bioanalitik harus dilakukan sesuai dengan pedoman
validasi metode bioanalitik dari US FDA untuk industri.
3. Kriteria pemilihan subjek
- Sukarelawan sehat ( untuk mengurangi variasi antara subyek);
- sedapat mungkin pria dan wanita (jika wanita pertimbangkan
risiko pada wanita usia subur)
- umur antara 18-55 tahun;
- berat badan dalam kisaran normal :
(IMT = BB (kg) = 18-25)
TB2 (m)
- Kriteria sehat berdasarkan uji laboratorium klinis yang baku
(hematologi rutin, fungsi hati, fungsi ginjal,gula darah dan
urianalisis),riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik;
- Pemeriksaan khusus mungkin harus dilakukan sebelum, selama
dan setelah studi selesai, bergantung pada kelas terapi dan
profil keamanan obat yang diteliti. Misalnya, untuk obat dari
kelas fluorokuinolon yang di ketahui dapat memperpanjang
interval QT, harus dilakukan pemeriksaan EKG.
- Sebaiknya bukan perokok . jika perokok sedang (kurang dari
10 batang sehari) diikutsertakan, harus disebutkan dan efeknya
pada hasil studi harus didiskusikan;
- Tidak mempuyai riwayat ketergantungan pada alkohol atau
penyalagunaan obat.
- Tidak kontra indikasi atau hypersensitive terhadap obat yang
diuji.
- Untuk obat yang terlalu toksik untuk diberikan kepada
sukarelawan sehat (misal: sitokstatik, antiaritmia), maka
digunakan penderita dengan indikasi yang sesuai.
- Uji serologis terhadap hepatitis B (HBsAg) Hepatitis C (anti-
HCV) dan HIV (anti-HIV) optinal B.
4. kriteria pengeluaran subjek
Studi bioekivalensi (BE) adalah studi bioavailabilitas (BA) komparatif
yang dirancang untuk menunjukkan bioekivalensi antara produk uji
(suatu produk obat “copy”) dengan produk obat innovator/
pembandingnya. Caranya dengan membandingkan profil kadar obat
dalam darah urin antara produk- produk obat yang dibandingkan pada
subyek manusia. Karena itu desain dan pelaksanaan studi BE harus
mengikuti pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), termasuk
harus lolos kaji etik.
5. Macam cuplikan biologis
a. Waktu-waktu pengambilan
Pemberian produk obat yang pertama harus dilakukan secara acak agar
efek urutan (order effect) maupun efek waktu (period effect), bila ada
dibuat seimbang.
Kedua perlakuan dipisahkan oleh period washout yang cukup untuk
eliminasi produk obat yang pertama diberikan (biasanya lebih dari 5x
waktu paruh terminal dari obat, atau lebih lama jika mempunyai
metabolit aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang. Jika obat
mempunyai kecepatan eliminasi yang sangat bervariasi antar subjek,
periode washout yang lebih lama diperlukan untuk memperhitungkan
kecepatan eliminasi yang lebih rendah pada beberapa subjek. Karena
itu, untuk obat dengan waktu paruh eliminasi yang panjang (> 24
jam ), dapat dipertimbangkan penggunaan desain 2 kelompok parallel.
b. Gambaran cara penanganan cuplikan.
Kondisi studi harus dibakukan (untuk mengurangi variabelitas
berbagai factor yang terlibat kecuali produk yang diuji.
- Lama puasa pada malam sebelum pemberian produk, minimal
10 jam. Untuk studi keadaan tunak, puasa hanya diperlukan
pada malam terakhir sebelum pengambilan darah keesokan
harinya.
- Jika obat harus diberikan bersama makanan untuk mengurangi
efek samping saluran cerna, maka studi BE harus dilakukan
bersama makanan standar.
- Volume air yang diminum bersama produk harus konstan
( antara 150-200 ml) karena dapat mempengaruhi pengosongan
lambung
- Semua makanan dan minuman yang telah dikomsumsi setelah
pemberian produk harus dibakukan komposisi dan waktu
pemberiannya selama periode pengambilan sampel darah:
Air boleh diminum kapan saja kecuali 1 jam sebelum dan 2
jam sesudah pemberian produk.
Makanan standar diberikan tidak kurang dari 4 jam setelah
pemberian produk.
- Subjek tidak boleh makan obat lain apapun (termasuk obat
bebas dan obat tradisioanal) selama beberapa waktu sebelum
penilitian (minimal 1 minggu) dan selama penilitian. Dalam
keadaan darurat, pengunaan obat apapun harus dilaporkan
(dosis dan waktu pengunaan)
- Subjek tidak mengkomsumsi makanan dan minuman yang
dapat berinterksi dengan fungsi sirkulasi, saluran cerna, hati
atau ginjal ( missal merokok, minum alkohol, kopi, teh, kola,
coklat atau jus buah) selama 2.4 jam sebelum penilitian dan
selama periode pengambilan sampel darah.
- Posisi tubuh dan aktivitas fisik juga harus distandadisir
sepanjang hari penilitian karena akan mempengaruhi
motilitas dan aliran darah saluran cerna.
6. Kriteria pemasukan dan pengeluaran cuplikan
a. Uji disolusi in vitro
Pengambilan sampel darah
- Dalam keadan normal harus digunakan sampel darah,
meskipun sampel urin juga dapat digunakan;
- Biasanya kadar obat atu metabolit diukur dalam serum
atau plasma. Dalam keadaan tertentu, kadar obat di ukur
dalam darah (missal sulfa);
- Sampel darah harus diambil pada waktu-waktu tertentu
sehinga dapat menggambarkan fase-fase absorpsi,
distribusi, dan elminasi obat;
- Untuk kebanyakan obat diperlukan 12-18 sampel darah
yakni:
1 sampel sebelum obat: pada waktu nol (t0)
2-3 sampel sebelum kadar maksimal (Cmax)
4-6 sampel sekitar (Cmax)
5-8 sampel setelah (Cmax), sampai sedikitnya 3 atau
lebih waktu paruh eliminasi obat dalam plasma (≥ 3x
t1/2 )
- Dengan demikian akan diperoleh AUC (luas area dibawah kurva kadar obat terhadap
waktu ) sedikitnya 80% dari AUC yang diekstrapolasi ke tidak terhingga.
- Estimasi waktu paruh eliminasi harus diperoleh dari sedikitnya 3-4 sampel selama
fase log linear terminal.
- Untuk obat atu metabolit aktifnya yang mempunyai waktu paruh eliminasi (t1/2 )
yang panjang (<24 jam), sampel darah harus diambil sampai sedikitnya 72 jam jika
variabelitas intra-subyek kecil,atau lebih lama jika variabilitas intra-subyek besar;
- Pada studi keadaan tunak, untuk obat dengan kronofarmakologi , jika ritme sirkadian
diketahui mempengaruhi bioavabelitas, maka sampel darah harus diambil selama 1
siklus 24 jam penuh.
Pengambilan sampel urin (untuk kasus-kasus tertentu)
- Sampel urin hanya digunakan jika kadar obat dalam darah terlalu kecil untuk dapat
dideteksi dan eliminasi obat s dalam bentuk utuh melalui ginjal cukup besar
(>40%)
- Urin dikumpulkan di tempat studi secara periodik sampai sedikitnya 3x waktu paruh
eliminasi obat (3x t1/2 ) untuk studi selama 24 jam, waktu sampling biasanya 0-2, 2-4,
4-8, 8-12 dan 12-24 jam, volume urin setiap interval waktu tersebut harus diukur dan
dilaporkan.
- Dibuat kurva jumlah obat kumulatif yang disekresi dalam urin terhadap waktu.
Kadar yang diukur
- Kadar yang diukur dalam plasma/serum biasanya senyawa induk. Jika hal ini
tidak mungkin (karena kadarnya terlalu rendah, atau tidak stabil dalam
biologic, atau waktu paruhnya terlalu pendek), maka dalam hal ini diukur
metabolit utamanya;
- Pengukuran hasil biotransformasi harus dilakukan jika senyawa induknya
berupa prodrug;
- Jika dihasilkan metabolit aktif yang memberikan kontribusi yang bermakna
terhadap aktivitas obat secara keseluruhan dan farmakokinetiknya tidak linear,
maka kadar keduanya harus diukur, baik senyawa induk maupun metabolit
aktifnya, dan dievaluasi secara terpisah.
- Untuk produk obat berupa zat chiral, pengukuran kadar dengan metode
bioanalitik yang non-stereoselektif saat ini dapat diterima untuk studi BE.
Cara pengukuran yang stereoselektif lebih baik jika ke-2 enansiomer
mempunyai farmakokinetik yang nonlinear. Dalam hal ini diukur enansiomer
yang memiliki aktivitas lebih tinggi.
- Untuk produk obat yang mengandung banyak zat berefikasi, kuantifikasi
semua zat berefikasi tidak diperlukan, cukup beberapazat yang dapat
menunjukkan jumlah dan kecepatan absorpsi. Pemilihan marker ini perlu
ditentukan untuk setiap kasus. Jika pendekatan farmakokinetik in vivo tidak
dapat dilakukan, lakukan cara in vitro, jika inipun tidak dapat, terpaksa
dilakukan dengan cara farmakodinamik atau klinik.
b. Parameter bioavailabilitas
Pada studi bioavailabilitas (BA), bentuk dan luas area dibawah
kurva kadar plasma darah terhadap waktu, serta profil eksresi ginjal
kumulatif dan kecepatan ekskresi digunakan untuk menilai jumlah
dan kecepatan absorpsi.
1. Parameter bioavailabilitas dari sampel darah
Untuk studi dosis tunggal
- AUCt = area dibawah kurva kadar obat (atau metabolit) dalam
plasma (atau serum atau darah) terhadap waktu dari waktu 0
sampai waktu terakhir kadar obat diukur-dihitung secara
trapezoidal.
- AUCoo= AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga
= AUCt + Ct / Ke menggambarkan jumlah obat yang
bioavailabel.
- Cmax = kadar puncak ( maksimal) obat (atau metabolit) dalam
plasma (atau serum atau darah) yang teramati.
- tmax = waktu sejak pmberian obat sampai dicapai Cmax
- t1/2 = waktu paruh paru obat (atau metabolit) dalam plasma (atau
serum atau darah)
AUCoo dan Cmax merupakan parameter yang paling relevan untuk
penilaian BE. AUCt paling dapat dipercaya untuk menggambarkan
besarnya absorpsi (jumlah obat yang bioavailabel).
Untuk studi kadar tunak
- AUC = AUC selama satu interval dosis (£) pada keadaan tunak
- Cmin = kadar minimal onat (atau metabolit) dalamplasma (atau
serum atau darah), yakni kadar pada akhir interval dosis
- Cmax = kadar maksimal obat dalam pasma yang teramati
- Cav = kadarrata-rata selama satu interval dosis
- Fluktuasi = (Cmax - Cmin) / Cav
- Swing = (Cmax - Cmin) / Cmin
2. Parameter bioavailabilitas dari sampel urin
Untuk studi dosis tunggal
- Aet = jumlah kumulatif obat utuh (atau metabolit) yang
dikeluarkan atau ditemukan dalam urin dari waktu 0 sampai
waktu terakhir kadar diukur
- Aeoo = Aedari waktu 0 sampaiwaktu tidak terhingga, diperoleh
dengan cara ekstrapolasi
= jumlah obat maksimal yang dieksresi dalam urin –
sebanding dengan jumlah obat yang bioavailabel
- dAe / dt = kecepatan ekskresi obat dalam urin
- (dAe / dt) max = kecepatan maksimal ekskresi obat dalam urin –
terjadi padawaktu tmax (plasma) dan besarnya sebanding dengan
Cmax (plasma), sehingga besarnya bergantung pada jumlah dan
kecepatan absorpsi.
Aeoo dan (dAe / dt) max merupakan parameter yang paling relevan
untuk penilaian BE. Aet paling dapat dipercaya untuk
menggambarkan besarnya absorpsi (jumlah obat yang
bioavailabel).
Untuk studi kadar tunak
- Aet = Ae selama satu interval dosis (£) pada keadaan tunak.
7. Pertimbangan etik
Oleh karena studi BA/BE dilakukan pada subyek manusia (suatu uji klinik) maka protokol studi harus lolos kaji etik. Terlebih dahulu sebelum studi dapat dimulai.
B. Data
Sumber Variasi Degrees of Sum of Mean F
Freedom squares square
(df) (SS) (MS)
= SS/df
Inter- Subyek n-1
- Urutan (Sequence) (2-1)=1 SSseq MSseq
MSseq/MSResid (suby)
- Residual (Suby) n-2 SSResid (suby) MSResid(suby)
MSResid (suby)/MSResid
Intra- Subyek
- Produk obat (2-1)=1 SSProd MSProd
MSProd/MSResid
- Periode (2-1)=1 SSPeriod MSPeriod
MSPeriod/MSResid
- Residual n-2 SSResid MSResid
Total 2n-1 SStotal
CV Intra- Subyek = √MSResid x 100%
Hasil berikut juga harus dipersentasikan :
Perbedaan (different) = rata-rata In T- rata-rata In R
SEdiff = √Msresid x 2/n
C. Analisis hasil
Tujuan utama penilaian biokivalensi adalah untuk menghitung perbedaan
biovailabilitas antara produk uji dan produk pembanding, dan untuk
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ayng bermakna secara klinik.
Jika pada t0 ditemukanobat dengan kadar ≤ 5% Cmax maka data dari
subyek ini dapat dimasukkan dalam analisis tanpa penyesuaian.
Tetapi jika C0 ini ≥ 5% Cmax, maka subyek ini harus dikeluarkan dari
analisis.
Jika subyek muntah pada atau sebelum 2x median tmax pada studi BE untuk
produk lepas cepat, maka data subyek ini harus dikeluarkan dari analisis.
Padastudi BE untuk produk lepas lambat, data subyek yang muntah kapan
saja harus dikeluarkan.
Observasi yang merupakan outliers tidak boleh dibuan jika tidak ada alas
an yang kuat bahwa telah terjadi kesalahan teknis. Analisis data harus
dilakukan dengan dan tanpa nilai-nilai tersebut dan harus dikaji
dampaknya terhadap kesimpulan studi. Harus dicari penjelasan medis atau
farmakokinetik untuk observasi demikian.
Analisis statistic
a. Dari data darah
- Parameter bioavailabilitas yang dibandingkan untuk
penilaian bioekivalensi adalah AUC, Cmax dan tmax
- Cara menghitung AUC0 ->t ; AUCo -> oo ; ke, t1/2
- Data yang bergantung pada kadar, yakni AUC dan Cmax,
harus ditransformasi logaritmik (In) terlebih dulu sebelum
dilakukan analisis statistic karena kinetic obat mengikuti
kinatik first order sehingga dalam skala logaritmik akan
diperoleh distribusi yang normal dan varians yang ho,ogen.
Selanjutnya nilai rasio rata-rata geometric T/R = anti In
difference x 100%
(90% CI) = difference ± t0.10 (n-2) x SEdiff
(90% CI) = anti In (90% CI)diff x 100%
- Untuk tmax biasanya hanya dilakukan statistic
deskriptif. Jika perlu dibandingkan, digunakan
statistic non-parametik pada data yang asli (tidak
ditransformasi), dengan α = 5% ;
- Untuk ke-3 parameter tersebut di atas, selain
dihitung 90% confidence intervals (90% CI) untuk
perbandingan ke-2 produk, juga dihitung statistic
ringkasan seperti nilai rata-rata (arithmetic &
geometric, untuk AUC dan Cmax) atau median (untu
tmax), serta nilai-nilai minimum dan maksimun ;
- Untuk parameter-parameter lainnya seperti Cmin,
fluktuasi, t1/2, dsb., berlaku pertimbangan-
pertimbangan yang sama untuk menggunakkan data
yang ditransformasi logaritmik (In) atau yang
ditransformasi.
b. Dari data urin
- Parameter yang dibandingkan adalah Ae dan
(dAe/dt)max.
D. Ringkasan dan kesimpulan
3. Apa definisi bioavailabilitas relative dan absolute?
Bioavailabilitas relative adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat
dibandingkan terhadap suatu standart yang diketahui.
Bioavailabilitas absolut adalah bila dibandingkan dengan sediaan intravena
yang bioavailabilitasnya 100%.
4. Jelaskan kriteria standart pembanding produk obat!
Jawaban :
Produk obat yang inovator yang telah diberi izin pemasaran di indonesia
berdasarkan penilaian dossier lengkap yang membuktikan efikasi,keamanan
dan mutu. Produk obat pembanding yang akan digunakan harus disetujui oleh
Badan POM. Hanya saja jika produk obat inovator tidak dipasarkan di
indonesia atau tidak lagi dikenali yang mana karena sudah terlalu lama beredar
dipasar,maka dapat digunkan produk obat inovator dari primary market.
5. Apa saja parameter bioavailabilitas? Jelaskan!
a. Data plasma
- Waktu konsentrasi plasma (darah) mencapai puncak (tmax)
- Konsentrasi plasma puncak (Cp max)
- Area dibawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu (AUC)
b. Data urin
- Jumlah kumulatif obat yang diekskresi dalam urin (Du)
- Laju ekskresi obat dalam urin (dDu/dt)
- Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin (t∞)
c. Efek farmakologik akut
d. Pengamatan klinik
6. Apa kriteria produk obat yang memerlukan uji bioekuivalensi in vivo dan
tidak perlu uji bioekuivalensi in vivo?
Jawaban :
Yang memerlukan uji in vivo :
a. Produk obat lepas cepat yang bekerja sistemik,jika memenuhi satu atau
lebih kriteria berikut ini :
- obat-obat untuk kondisi yang serius yang memerlukan respons
terapi yang pasti (critical use drugs), misal : antituberkulosis,
antiretroviral, antimalaria, antibakteri, antihipertensi,
antiangina,obat gagal jantung, antiepilepsi, antiasma.
- batas keamanan/indeks terapi yang sempit; kurva dosis-respons
yang curam, misal digoksin,antiaritmia,antikoagulan,obat-obat
sitostatik,litium,fenitoin,siklosporin, sulfonilurea, teofilin.
- terbukti ada masalah bioavailabilitas atau bioinekivalensi dengan
obat yang bersangkutan atau obat-obat dengan struktur kimia atau
formulasi yang mirip (tidak berhubungan dengan masalah disolusi),
misal :
- absorpsi bervariasi atau tidak lengkap;
- eliminasi presistemik yang tinggi;
- farmakokinetik nonlinear;
- sifat-sifat fisiokimia yang tidak menguntungkan
(misal : kelarutan rendah, permeabilitas rendah, tidak stabil,
dsb.).
- eksipien dan proses pembuatannya diketahui mempengaruhi
bioekivalensi
b. Produk obat non oral dan non parenteral yang didesain untuk bekerja
sistemik,misal : sediaan transdermal,supositoria,permen karet nikotin,gel
testosteron dan kontraseptif bawah kulit.
c. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik.
d. Produk kombinasi tetap untuk bekerja sistemik, yang paling sedikit salah
satu zat aktifnya memerlukan studi in vivo.
e. Produk obat bukan larutan untuk penggunaan non-sistemik (oral, nasal,
okular, dermal, rektal, vaginal,dsb.) dan dimaksudkan untuk bekerja lokal
(tidak untuk diabsorpsi sistemik). Untuk produk demikian, bioekivalensi
harus ditunjukkan dengan studi klinik atau farmakodinamik,
dermatofarmakokinetik komparatif dan/atau studi in vitro.Pada kasus-
kasus tertentu, pengukuran kadar obat dalam darah masih diperlukan
dengan alasan keamanan untuk melihat adanya absorpsi yang tidak
diinginkan.
Yang tidak memerlukan uji in vivo
a. Produk obat (a) merupakan larutan yang ditujukan hanya untuk pemakaian
intravena dan (b) mengandung bahan aktif atau bagian terapetik yang
dicampur dengan pelarut yang sama dan dalam konsentrasi yang sama
sebagaimana dalam suatu larutan intravena yang merupakan sediaan baru
yang telah disetujui pemakaiannya.
b. Produk obat merupakan preparat yang dipakai secara topikal misal suatu
krem,salep atau gel yang ditunjukkan untuk pengobatan setempat(lokal).
c. Produk obat bentuk sediaan oral yang tidak ditujukan untuk
diabsorbsi,misal antasid atau media “radiopaque”.
d. Produk obat yang memenuhi kedua kondisi berikut:
- Diberikan secara inhalasi sebagai gas atau uap,misal suatu anastesi
medicinal atau anastesi inhalasi.
- Mengandung bahan obat aktif atau bagian terapeutik dalam bentuk
sediaan yang sama seperti produk obat yang telah disetujui
pemakaiannya.
e. Produk obat memenuhi semua kriteria berikut:
- Merupakan larutan oral,eliksir,sirup,tingtur atau bentuk terlarut
yang lain.
- Mengandung bahan obat aktif atau bagian yang berkhasiat dalam
konsentrasi yang sama seperti produk obat yang telah disetujui
pemakaiannya.
- Tidak mengandung bahan inaktif yang diketahui mempengaruhi
absorbsi bahan obat aktif atau bagian terapetik secara bermakna.
7. Apa kriteria produk obat yang hanya memerlukan uji bioekuivalensi in vitro?
Jawaban :
a. Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo
b. Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan– uji disolusi terbanding
dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan
perbandingan profil disolusi.
- Tablet lepas cepat
- Produk obat “copy” dengan kekuatan berbeda, yang dibuat oleh
pabrik obat yang sama di tempat produksi yang sama, jika :
semua kekuatan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif
yang persis sama atau untuk zat aktif yang sangat
poten ( sampai 10 mg per satuan dosis), zat inaktifnya sama
banyak untuk semua kekuatan;
studi ekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu
kekuatan (biasanya kekuatan yang tertinggi, kecuali untuk
alasan keamanan dipilh kekuatan yang lebih rendah);
profil disolusinya mirip antar kekuatan, f2 > 50
- Kapsul berisi butir-butir lepas lambat
Jika kekuatannya berbeda hanya dalam jumlah butir yang
mengandung zat aktif, maka perbandingan profil disolusi (f2 > 50)
dengan satu kondisi uji yang direkomendasi sudah cukup.
- Tablet lepas lambat
Jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi berbeda
kekuatan, dan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis
sama atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg per
satuan dosis) zat inaktifnya sama banyak, dan mempunyai
mekanisme pelepasan obat yang sama,kekuatan yang lebih rendah
tidak memerlukan studi in vivo jika menunjukkan profil disolusi
yang mirip, f2 > 50, dalam 3 pH yang berbeda (antara pH 1.2 dan
7.5) dengan metode uji yang direkomendasi.
c. Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmaseutik (Biopharmaceutic
Classification System = BCS) dari zat aktif* serta karakteristik disolusi**
dan profil disolusi *** dari produk obat.
Berlaku untuk produk obat oral lepas cepat, tetapi tidak berlaku untuk
produk obat oral lepas cepat yang disebutkan dalam butir diatas.
8. Apa yang dimaksud dengan uji disolusi terbanding? Apa tujuan dilakukan uji
tersebut?
Uji disolusi terbanding (terkait dengan bioekivalensi).
Uji ekivalensi in vitro dilakukan dengan uji disolusi terbanding, sebagai uji
pendahuluan untuk memprediksi bioavailabilitas dan bioekivalensi produk
obat (BPOM, 2004).
Uji disolusi terbanding (IN VITRO) dalam uji bioekivalensi dapat dilakukan
secara komparatif terhadap produk pembanding. Penilaian berdasarkan
kemiripan (similarity), produk pembanding umumnya adalah produk
innovator. Uji disolusi terbanding sebagai data pelengkap uji bioekivalensi
yaitu pengawasan mutu produksi rutin.
Uji disolusi terbanding yang diharuskan sebagai pengganti uji bioekivalensi
(biowaiver), uji disolusi terbanding sebagai pendekatan/pengembangan
formulasi untuk mendapatkan produk copy yang bioekivalen.
IV. TUGAS (KAJIAN JURNAL)
a. Analisa penilitian bioavailabilitas (BA), yaitu untuk menganalisis produk yang
mengandung zat kimia baru. Suatu zat kimia baru yang di tujukan untuk
bekerja sistemik, availabilitas sistemiknya harus ditentukan dengan
membandingkannya terhadap sediaan intavena (bioavailabilitas absolute). Jika
tidak memungkinkan (karena alas an teknis atau keamanan), maka
bioavailabilitas relatif terhadap larutan atau suspensi oral harus ditentukan.
Dalam hal prodrug, larutan intravena pembanding harus terbuat dari zat
aktifnya.
b. Analisis bioekivalensi selama perkembangannya, studi bioekivalensi
diperlukan sebagai studi yang menjembatani antara formulasi untuk uji klinik
dan produk obat yang akan dipasarkan.
V. DISKUSI AKHIR
_
VI. PUSTAKA
Shargel, L. dan Yu, A.B.C., 1999, applied biopharmaceutics and
pharmacokinetics, 4 thEd, Appleton-Century-Croftsm Norwalk.
BPOM, 2000, Pedoman bioekivalensi
Bushra, and Aslam, 2010, Clinical Pharmacology of Ibuprofen, Oman Medical
Journal, 25(3):155-161.
Health-Canada. Guidance for industry : conduct and analysis of bioavailability
and bioequivalence studies – part A : oral dosage formulations used for systemic
effects. Ottawa, Ontario; Health procucts and food branch, Miniastry of Health,
Canada;1992.