makalah dkg 2

13
MAKALAH APLIKASI KONSEP KEADILAN PADA KEMISKINAN KASUS KETERBATASAN “THE POOR” PADA PEMENUHAN HAK INSANI ATAS KESEHATAN DI WTO Disusun oleh: UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HUBUNGAN INTERNASIONAL 2015

Upload: yana-fitri-mawaddatan-warahmah

Post on 17-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

B

TRANSCRIPT

MAKALAH APLIKASI KONSEP KEADILAN PADA KEMISKINANKASUS KETERBATASAN THE POOR PADA PEMENUHAN HAK INSANI ATAS KESEHATAN DI WTO

Disusun oleh:

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANGFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKHUBUNGAN INTERNASIONAL2015

DAFTAR ISI

DAFTAR ISIiBAB I11.1.Latar Belakang11.2.Rumusan Masalah1BAB II12.1.Kemisikinan12.1.1.Definisi12.1.2.Perspektif dalam Memandang Kemiskinan1BAB III13.1.Kemiskinan dan Keadilan Global13.1.1.Tatanan Global dan Implikasinya pada The Poor13.1.2.Kemisikinan Sebagai Bentuk Violation of Human Rights13.1.3.Tanggung Jawab kepada The Poor13.2.Studi Kasus13.2.1.Gambaran Singkat13.2.2.Analisis Kasus1BAB IV14.1.Kesimpulan14.2.Saran1

i

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang1.2.Rumusan Masalah

1

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1.Kemisikinan2.1.1.Definisi (Nisa = cari di sumber dari Pogge/ Risse/ Sumber terpercaya lain)2.1.2.Perspektif dalam Memandang Kemiskinan a) Liberal (Dini)b) Realis (Tata)c) Marxis (Nanda)

BAB IIIPEMBAHASAN3.1.Kemiskinan dan Keadilan Global3.1.1.Tatanan Global dan Kemunculan Gerakan Keadilan Global (Yana = Risse, Giugni)3.1.2.Kemisikinan Sebagai Bentuk Violation of Human Rights (Luhur = Pogge 56-62)3.1.3.Tanggung Jawab kepada The PoorThe Poor dalam analogi Singer merupakan anak kecil yang dianggap sebagai simbol tidak bersalah dan hidup sesuai dengan keadaan sekitar. Singer mengungkapkan bahwa kemiskinan ibarat anak kecil yang tercebur kolam. Tanggung jawab moral menjadi tanggung jawab bagi orang yang lewat untuk menolongnya. Tetapi kasus tersebut berbeda sama sekali dengan keadaan kemiskinan yang ada di dunia.Hal tersebut mendapat kritikan dari Miller. Anggapan Singer tersebut melihat hasil seperti setelah ditolong anak tersebut diantarkan ke orang tuanya, hidup bahagia selamanya. Penolong mencuci baju dan mengeringkan bajunya dengan gaji yang diperolehnya. Hal tersebut merupakan analogi dari bantuan yang diberikan pada orang miskin (the poor) dapat membuat mereka menjadi lebih sejahtera. Tetapi berbeda dengan kasus yang terjadi di negara berkembang, terdapat aspek struktur jangka panjang yang menyebabkan kasus kemiskinan di negara berkembang tidak semudah menyelamatkan anak yang tersebur dalam kolam. Bantuan keuangan yang diberikan ada the poor tidak dapat membuat the poor menjadi lebih baik, di sisi lain dapat membuat menjadi lebih miskin. Permasalahan yang terjadi dalam kemiskinan merupakan masalah tingkat makro yang dipengaruhi rezim ekonomi dan politik.[footnoteRef:1] [1: David Miller, 2007, National Responsibility and Global Justice, hlm 231-236.]

3.1.3.1 Justice and Humanitarian Aid[footnoteRef:2] [2: Alvaro de Vita, Inequality and Poverty in Global Perspektive, dalam Thomas Pogge, 2007, Freedom of Poverty as Human Right : Who Owes What to The Poor?, hlm 105-121.]

Rawls mengungkapkan bahwa duty of assistance dapat dikatakan sebagai humanitarian aid, yang membuat para liberalis kosmopolitan egalitarian berpendapat bahwa keadilan selalu mempertanyakan mengenai kesenjangan (dispalitas) ekonomi. Dalam hal ini, yang patut dipepertanyakan adalah fokus dalam humanitarian aid. Fokus tersebut merupakan dalam konsteks moral internasional yang dapat berupa hanya kemiskinan atau juga mengikutsertakan aspek ketidaksamaan power dan sumber daya. Muncullah prinsip-prinsip keadilan mengenai kemiskinan, pada 1972 Peter Singer memberikan pandangan mengenai keadilan dalam konteks kemiskinan. Prinsip dari Singer berupa anything of comparable important yang sebeumnya dianggap sebagai anything morally significant. Singer memberikan analogi berupa, jika dia berjalan di tepi kolam dan ada seorang anak yang tenggelam, dia akan memilih untuk menolongnya. Singer menganggap bahwa hal tersebut patut dilakukan dibandingkan dengan membiarkan anak tersebut meninggal yang dapat dikatakan sebagai pilihan yang paling buruk.Berdasarkan prinsip yang dianalogikan Singer tersebut dapat berlaku pada posisi satu dengan satu pihak di masing-masing keadaan. Jika dianalogikan terdapat banyak orang yang melihat hal tersebut dan anak yang tenggelam hanya satu. Dalam kewajiban moral tidak satu pun dari orang yang melihat memiliki kewajiban moral, melainkan semuanya memiliki keawajiban untuk menolong. Hal tersebut menjelaskan bahwa humanitarian aid bukan sebagai kewajiban moral. Humanitarian aid dapat dilakukan oleh siapa saja tetapi bukan sebagai kewajiban moral, tetapi bagi siapa saja yang berada dalam posisi yang mampu melakukan hal tersebut. Negara-negara kaya telah berkomitmen untuk memberantas kemiskinan melalui humanitarian aid. Dalam Official Development Assistance (ODA) telah ditetapkan jumlah bantuan oleh PBB sebesar 0.7% dari GDP negara donor, pada 1970s. Selain itu terdapat pula program Millenium Declaration dari PBB yang menyangkut semua orang tidak lagi kekurangan makan dan miskin, anak-anak dapat bersekolah, tidak ada kesenjangan gender pada pendidikan menengah dan tinggi, mengurangi tingkat kematian bayi sebanyak 2 per 3, dsb. Hal tersebut merupakan bentuk politisasi kewajiban moral negara kaya terhadap negara miskin.David Miller beranggapan bahwa injustice merupakan bentuk lain dari standar hidup yang rendah dalam konteks internasional. hal tersebut dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan kekerasan terhadap hak asasi manusia. Miller memiliki prinsip tersenderi mengenai kemiskian dan keadilan, yaitu: a. Keadilan dalam konteks internasional, membutuhkan kejelasan dalam mendefiniskan hak-hak dasarb. Injustice, di negara miskin hak dasar kepemilikan sendiri tidak ada kaitannya dengan distribusi inequality yang didasarkan pada penyelenggaraaan internasional. Hal tersebut merupakan kesalahan dari negara miskin sendiri, hal tersebut disebut sebagai the internal factor argumentRawl menganggap inequality sebagai sebuah masalah, ia melihatnya sebagai morally arbitrary factor dan significant political and economic inequality. Morally arbitrary factor merupakan suatu sudut pandang dalam melihat pertimbangan moral sebagai upaya menyelesaikan masalah berdasarkan kondisi bukan sebagai sebuah pilihan. Pogge beranggapan bahwa dengan memberikan batas nasional sebagai perbedaan status moral, mereka harus hidup sesuai dengan situasi dan kondisi tempat mereka lahir. Hal tersebut menjadi tolak ukur dalam melihat inequality. Rawls menyatakan bahwa seseorang yang memperjuangkan kehidupannya untuk menjadi lebih baik tidak harus memperhatikan morally arbitrary factor. Selanjutnya Rawls menyatakan dalam significant political and economic inequality bahwa ketimpangan hak dalam politik dan ekonomi mempengaruhi status sosial. Orang-orang dengan status yang lebih rendah akan dilihat sebagai inferior oleh dirinya dan orang lain. Pernyataan-pernyataan yang muncul dalam melihat inequality berupa moral arbritariness, self respect, fair values of political liberties, dan kemiskinan merupakan inequality.Banyak program-program bantuan yang berdasarkan pada keadialan seperti Tobin Tax sebagai retribusi dalam transaksi mata uang asing. Hal tersebut mendapatan dukungan dari NGO-NGO dan jaringan advokat. Dalam hal ini ditekankan bahwa pajak internasional yang diperoleh dari transaksi-transaksi yang terjadi tidak seperti transfer uang dari orang kaya ke orang miskin, melainkan meningkatkan konsumsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan.Selain itu, bantuan yang diberikan belum tentu mampu mengurangi kemiskinan di suatu negara. Bantuan yang diberikan kebanyakan memiliki motif politis, sehingga belum tentu tepat sasaran dan dapat mengurangi kemiskinan.[footnoteRef:3] [3: Jeann-phillipe Therein, 2002, Debating Foreign Aid: Right Versus Left, dalam Third World Quaterly, vol. 23 no.3, hlm 449-450]

3.1.3.2 PGC[footnoteRef:4] [4: Alan Gewirth, Duties to Fulfill The Human Right of The Poor, dalam Thomas Pogge, 2007, Freedom of Poverty as Human Right : Who Owes What to The Poor?, hlm 219-236]

The poor dapat dianggap sebagai pihak terlemah dan pantas untuk dibantu. Bantuan yang diberikan biasanya berupa sumbangan selanjutnya membuat pendonor berfokus pada jumlah sumbangan dan tujuan sumbangan tersebut. The poor memiliki hak moral untuk dibantu dalam hal memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal terrsebut ditekankan pada pasal 25 Universal Declarations of Human Right (UDHR) : semua orang memiliki hak untuk memeroleh kecukupan taraf hidup dalam kesehatan kehidupan yang layak baginya dan keluarganya yan termasuk sandang, pangan, papan, dan kesehatan. Hak-hak moral dapat dikatakan sebagai hubugan timbal balik, bukan memberi sumbangan secara cuma-cuma tetapi juga memberikan motivasi berusaha bagi para the poor.Secara tradisional keadilan memiliki dua pengertian yaitu secara formal dan konsep substansi. Secara formal keadilandianggap sebagai memperlakukan yang setara dengan setara dan yang tidak setara dengan tidak setara, disebut juga sebagai generalisasi. Hal tersebut dapat diartikan sebagai A melakukan R, maka A mendapatkan X, semua orang yang melakukan R mendapatkan X. Jika pada masa Nazi A merupakan Yahudi pada masa Nazimaka A harus dibunuh. hal tersebut berlaku pula pada B, C, D yang juga Yahudi dst. Dalam hal ini variabel R menjadi tolak ukur yang diperoleh oleh subyek. Pengertian kedua menyatakan bahwa memperoleh keadilan merupakan perlindungan terhadap hak, hak diartikan sebagai suatu hal yang harus dipenuhi dan penting. Pengertian kedua dapat disederhanakan sebagai who has right to what. Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang. Hak tersebut berbeda-beda sesuai dengan variabel independen yang mereka lakukan atau peroleh (self-evident). Selain itu klaim terhadap hak tidak serta merta dapat langsung terpenuhi dengan sendirinya. Perlu adanya tindakan dalam pemenuhan hak tersebut. Kebebasan dan kehidupan yang layak merupakan hak-hak yang harus dipenuhi supaya keluar dari kemiskinan.Dalam pemenuhan hak asasi manusia bersifat mandatory, hak tersebut akan tercapai saat seseorang memperjuangkannya. Seperti halnya kebebasan dan kehidupan yang layak. Hak asasi manusia dapat dikatakan memiliki principles of generic consistency (PGC). Di sisi lain, secara umum hak asasi manusia merupakan hak individual dalam pemenuhan mau pun hak secara alamiah. Hal itu bertentangan dalam nilai-nilai Asia yang mengutamakan hak dan kepentingan kelompok daripada hak dan kepentingan individu.PGC dapat diaplikasikan secara langsung mau pun tidak langsung. Secara langsung, individu berusaha secara aktif terhadap pemenuhan hanya. Secara tidak langsung individu berusaha memenuhi haknya melalui institusi. Dalam menganalisa secara institusi, PGC membagi hak dalam dua hal yaitu hak sosial ekonomi dan hak politik. Institusi dimksudkn untuk melindungi hak-hak yang dipenuhi. 3.2.Studi Kasus 3.2.1.Gambaran Singkat (Yana)3.2.2.Analisis Kasus (Ini aku yang ngerjain tp nt yang presentasi bisa dibagi, biar justice hehe)

BAB IVPENUTUP4.1.Kesimpulan 4.2.SaranDaftar Pustakade Vita, Alvaro. Inequality and Poverty in Global Perspektive. dalam Thomas Pogge. 2007. Freedom of Poverty as Human Right : Who Owes What to The Poor?. Oxford University Press: New YorkGewirth, Alan. Duties to Fulfill The Human Right of The Poor. dalam Thomas Pogge. 2007. Freedom of Poverty as Human Right : Who Owes What to The Poor?. Oxford University Press: New YorkMiller, David. 2007. National Responsibility and Global Justice. Oxford University Press: New YorkTherein, Jeann-Phillipe. 2002. Debating Foreign Aid: Right Versus Left, dalam Third World Quaterly, vol. 23 no.3. Carfax Publishing