makalah compounding edit

41
MAKALAH COMPOUNDING & DISPENSING ”Pengobatan Rasional” Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Compounding & Dispensing Kelompok II : 1. Lutfi Khairina 2. Prita Fatmawati 3. Lisna Fauziah 4. Dede Erlina 5. Elis Diana Faradina 6. St. Ratna Juminar 7. Lestari Setyorini 8. Iis Istiqomah PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS MATEMATIKA & ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL i

Upload: dwirahmawatiputri

Post on 08-Dec-2014

262 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Compounding Edit

MAKALAH COMPOUNDING & DISPENSING

”Pengobatan Rasional”

Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Compounding & Dispensing

Kelompok II :

1. Lutfi Khairina2. Prita Fatmawati 3. Lisna Fauziah4. Dede Erlina5. Elis Diana Faradina6. St. Ratna Juminar7. Lestari Setyorini8. Iis Istiqomah

PROGRAM PROFESI APOTEKER

FAKULTAS MATEMATIKA & ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

2013

i

Page 2: Makalah Compounding Edit

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kecerdasan kepada

kami para umatnya. Shalawat serta salam kami limpahkan kepada junjungan besar

Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para pengikutnya yang telah membawa

kita keluar dari zaman jahiliyah menuju zaman pencerahan.

Terima kasih kami ucapkan kepada ibu Rachmi Hutabarat,SSi,Msi,Apt,

selaku dosen pengajar. Yang telah bersedia membimbing kami dalam Mata Kuliah

Teknik Compounding dan Dispensing dengan bahasan “Pengobatan Rasional”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai tugas “Teknik Compounding dan

Dispensing” Tahun Ajaran 2013/2014 Program Profesi Apoteker. Semoga makalah

ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jakarta, April 2013

ii

Page 3: Makalah Compounding Edit

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I..................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN....................................................................................... 1

BAB II................................................................................................................... 2-21

ISI................................................................................................................ 2-21

BAB III.................................................................................................................. 22

KESIMPULAN............................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 23

iii

Page 4: Makalah Compounding Edit

BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan menjadi faktor penting bagi setiap orang karena bila dalam keadaan

sehat akan memudahkan kita dalam beraktivitas. Namun bila akhirnya jatuh sakit, hal

yang utama adalah keinginan untuk cepat sembuh. Sehingga tak dapat dipungkiri

kebanyakan orang meminum banyak macam obat guna mengurangi gejala-gejala dari

penyakit utamanya. Bila kita minum obat hanya berdasarkan gejala-gejala yang

timbul bisa mengarah pada kesalahan diagnose. Diagnosa adalah bagian yang sangat

penting dalam proses pelayanan kesehatan secara klinik. Akibat kesalahan dalam

diagnosa atau ketidak tepatan diagnosa akan membiaskan semua tindakan yang akan

dilakukan kemudian terhadap keadaan penderita, seperti contoh: bila anak atau adik

kita yang usia masih balita menderita flu disertai batuk. Terkadang dokter pemeriksa

dengan serta merta akan memberikan banyak jenis obat dalam 1 resep, hampir setiap

1 gejala diberikan 1 obat yang seharusnya cukup diberikan antimukolitik atau

antikonvulsannnya saja. Hal ini dapat mengarah pada pengobatan tidak rasional.

Setiap pengobatan dari segala jenis penyakit diharapkan sesuai dengan indikasi

penyakit (diagnose), diberikan dalam dosis yang tepat, tepat waktu pemberian,tepat

pasien dengan mempertimbangkan efek samping yang mungkin ditimbulkan, inilah

yang dinamakan dengan pengobatan rasional. Menurut WHO (World Health

Organization) pemakaian obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria : a) sesuai

dengan indikasi penyakit; b) tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau; c)

diberikan dengan dosis yang tepat; d) cara pemberian dengan interval waktu yang

tepat; e) lama pemberian yang tepat; f) obat yang diberikan harus efektif, dengan

mutu yang terjamin dan aman. Penjabaran kriteria diatas, jelas menuntut pemahaman

yang baik dari petugas pelayanan medik khususnya apoteker dan dokter agar

terciptanya mutu pelayanan kesehatan secara optimal memenuhi hak pasien dalam

pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, makalah ini dibuat selain untuk memenuhi

tugas mata kuliah diharapkan pula dapat mengulas pengobatan rasional bukan hanya

sekedar mengupas kulit bawang saja, tetapi juga dapat membuka wawasan kita semua

sebagai pelayan medic dalam masyarakat

1

Page 5: Makalah Compounding Edit

BAB II

ISI

1) TAHAPAN DALAM PENGOBATAN RASIONAL

Penggunaan obat rasional atau rational use medicine merupakan suatu

kampanye yang disebarkan keseluruh dunia, juga di Indonesia. Menurut WHO

definisi penggunaan obat rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai

dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang

terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Penggunaan obat rasional

merupakan upaya mencapai pengobatan yang efektif.(Suud, SP.AK,MMPed, pola

pengobatan rasional). Manfaat pengobatan rasional yaitu: a) Meningkatkan mutu

pelayanan; b) Mencegah pemborosan sumber dana; c)Meningkatkan akses terhadap

obat esensial (DRs Richard, Panjaitan, Apt. SKM, 2006). Adapun indikator yang

harus dipenuhi dari pengobatan rasional adalah:

1. Tepat diagnosa

Penggunaan obat dikatakan rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.

Jika diagnose tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan mengacu

pada diagnose yang keliru. Akibatnya obat yang diberikan tidak akan sesuai

dengan indikasi seharusnya.

2. Tepat pemilihan obat.

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan

dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek

terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

3. Tepat dosis

Dosis sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang

berlebihan, khususnya untuk obat denganrentang terapi sempit (Narrow

therapeuticmargin) misalnya teofilin, digitalis, akan sangat berisiko untuk

timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin

tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

2

Page 6: Makalah Compounding Edit

4. Tepat cara pemberian

Cara pemberian yang tidak tepat akan mengurangi ketersediaan obat dalam tubuh

pasien sehingga efek yang diharapkan tidak terjadi. Sebagai contoh ampisilin

mesti diminum 30 menit sebelum makan.

5. Tepat interval waktu pemberian

Interval waktu pemberian hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis

agar mudah ditaati oleh pasien.

6. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuaidengan penyakitnya.. Sebagai contoh

untuk Tuberkulosis lama pemberian obat paling singkat 6 bulan. Lama pemberian

kloramfenikol adalah 10-14 hari.

7. Waspada terhadap efek samping.

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak

diinginkan yang timbuk akibat pemberian obat dengan dosis terapi. Sebagai

Contoh : Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12

tahun, karena menimbulkan kelain pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

8. Tepat penilaian kondisi pasien.

Respon induvidu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat

pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita

kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindari karena resiko

terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini meningkat secara bermakna.

9. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin.

Untuk memberikan hasil yang optimal obat harus efektif dan aman dengan mutu

terjamin. Karena itu mutu obat mesti terjamin dengan mendapatkannya dari

sumber yang tepat, karena saat ini banyak obat palsu dan kadaluarsa yang beredar

di pasaran yang tentunya akan merugikan pasien.

10. Tersedia setiap saat dengan harga terjangkau.

Untuk memberikan kesinambungan pengobatan terutama sekali untuk pengobatan

jangka panjang, obat yang diberikan harus tersedia setiap saat dan harganya

terjangkau oleh pasien yang menggunakan.

11. Tepat Informasi.

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam

menunjang keberhasilan terapi. Contohnya dalam penggunaan obat rifampisin

3

Page 7: Makalah Compounding Edit

akan mengakibatkan urine bewarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan

kepada penderita kemungkinan besar dia akan menghentikan minum obat karena

menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk

penderita tuberkulosis terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka

panjang.

12. Tepat tindak lanjut (follow up).

Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya

tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasein tidak sembuh atau mengalami

efek samping.Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala

takhikardi. Jika hal ini terjadi maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja

obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis,

pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada

pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang

diharapkan.

13. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan

pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotik atau tempat

penyerahan obat di Puskesmas, apoteker / asisten apoteker / petugas penyerah obat

akan melaksanakan perintah dokter / peresep yang ditulis pada lembar resep untuk

kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus

dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat sebagaimanan seharusnya.

Karena bila petugas salah menimbang obat atau salah membaca resep, dapat

berakibat fatal.

14. Pasien patuh terhadap pengobatan yg diberikan.

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan sangat menentukan hasil yang dicapai

dalam pengobatan. Ketidaktaatan pasien dalam meminum obat umumnya terjadi

pada kedaan berikut:

(a) Jenis atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak.

(b) Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering.

(c) Jenis sediaan obat terlalu beragam (misalnya pada saat bersamaan

pasien mendapat, tablet, tablet hisap, sirup dan obat inhalasi).

(d) Pemberian obat dalam jangka panjang

4

Page 8: Makalah Compounding Edit

(e) Pasien tidak mendapat informasi/ penjelasan yang cukup mengenai cara

minum/menggunakan obat,

(f) Timbul efek samping misalnya ruam kulit dan nyeri lambung) atau efek

ikutan (urine jadi merah karena minum rifampisin). Pemberian obat dalam

jangka lama tanpa informasi/supervisi tentu saja akan menurunkan

ketaatan penderita. Kegagalan pengobata tuberkulosis secara nasional

menjadi salah satu bukti bahwa terapi jangka panjang tanpa disertai

informasi / supervise yang memadai tidak akan pernah memberikan hasil

seperti yang diharapkan.

Selain memenuhi indikator pengobatan rasional di atas, kita juga perlu

mengetahui langkah-langkah yang menjadi tahap pengoabatan rasional, langkah

pertama untuk menuju pengobatan rasional adalah 1) Tetapkan masalah pasien

/diagnose; 2)Tetapkan tujuan pengobatan, apa yg ingin di capai melalui terapi bisa

secara farmakologi atau non-farmakologi atau keduanya; 3) Susun dan pilih daftar

kelompok yang manjur; 4)Mulailah pengobatan; 5)Berikan penjelasan tentang

obat, cara pemakaiannya dan peringatan; 6) Pantau atau hentikan pengobatan.

2) BENTUK-BENTUK INTERVENSI TERAPEUTIK

Pengobatan rasional faktanya menghasilkan angka prosentase penyembuhan

yang tertinggi dibandingkan pengobatan yang irasional. Timbulnya ketidak

rasionalan pengobatan dapat berasal dari kesalahan diagnose di awal sakit. Seperti

yang telah dikatakan sebelumnya bahwa diagnose adalah bagian yang sangat

penting dalam proses pelayanan kesehatan secara klinik. Akibat kesalahan dalam

diagnosa atau ketidak tepatan diagnosa akan membiaskan semua tindakan yang

akan dilakukan kemudian terhadap keadaan penderita. Oleh karena itu sebaiknya

kita mengetahui yang mana gejala dan mana yang penyebab penyakit. Dari alasan

tersebut pengobatan dapat diklasifikasikan dalam beberapa terapi, yaitu;

(a) Terapi kausatif yaitu  upaya pengobatan yang berfokus pada ”sebab”

seperti menemukan sumber infeksi pada gangguan medis ataupun

menemukan sumber cemas pada gangguan emosional. Contoh: pada

penderita thypoid yang terinfeksi kuman Salmonella typhi akan

merasakan mual dan pusing maka sebagai terapi kausatifnya diberikan

antibiotic tiamfenikol untuk membunuh kuman Salmonella typhi.

5

Page 9: Makalah Compounding Edit

(b) Terapi simptomatik yaitu upaya pengobatan yang berfokus pada “akibat”

seperti menghilangkan rasa sakit atau nyeri pada gangguan medis dan

menghilangkan rasa cemas, gelisah ataupun takut pada gangguan

emosional / hambatan pribadi. Contoh: kelanjutan dari kasus penderita

thypoid maka sebagai terapi simptomatiknya dapat diberikan analgesic dan

antiemetiknya untuk mengurang gejala pusing dan mual tadi.

(c) Terapi pencegahan yaitu upaya pengobatan yang berfokus pada

pembenahan perilaku atau pola hidup sebelum timbulnya penyakit di masa

datang. Contoh: pada pasien yang mengindikasika kadar gula mendekati

kategori diabetes sebaiknya melakukan pola hidup sehat seperti diet

karbohidrat dan rutin berolahraga guna menstabilkan kadar gula darah agar

terhindar dari Diabetes Melitus.

Dari ketiga intervensi terapeutik diatas memiliki keuntungan dan

kekurangannya masing-masing. Pada pengobatan kausatif biasanya diperlukan

waktu yang lebih lama, namun sembuhnya relatif ”permanen” dibanding

pengobatan simtomatik. Walau pengobatan simtomatik dirasa lebih cepat

sembuh, biasanya efek terapi bersifat sementara dan hanya bekerja

selama perlakuan masih berkhasiat, akibatnya timbul masalah baru berupa

ketergantungan dan resiko “toleransi”  yaitu adanya  kebutuhan dosis ataupun

perlakuan yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama.

Sedangkan terapi pencegahan merupakan dilakukan sebelum penyakit datang.

3) MASALAH-MASALAH DALAM TERAPI

Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan

kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya dilakukan dengan

cara: mengobati penyakit pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit,

menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau

gejalanya. Namun ada hal-hal yang tidak dapat disangkal dalam pemberian obat

yaitu kemungkinan terjadinya hasil pengobatan tidak seperti yang diharapkan

(Drug Related Problem). Drug Related Problem (DRP) dapat didefinisikan

sebagai kejadian tidak di inginkan yang menimpa pasien yang berhubungan

dengan terapi obat dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap

6

Page 10: Makalah Compounding Edit

perkembangan pasien yang diinginkan. Masalah-masalah yang timbul dalam

terapi obat diantaranya:

1. Indikasi

Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi

untuk penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.

a. Pasien memerlukan obat tambahan

Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika

pasien menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih

buruk daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab

utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi

sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek

terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif.

Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat

antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.

b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan

Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi

yang tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab

farmasi agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi

yang tepat. DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien

berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang

dikeluarkan diluar yang seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk

dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal

dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.

2. Efektivitas

a. Pasien menerima regimen terapi yang salah.

Terapi multi obat (polifarmasi). Polifarmasi merupakan penggunaan

obat yang berlebihan oleh pasien dan penulisan obat berlebihan oleh dokter

dimana pasien menerima rata-rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan

dokter atau pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui

dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih

dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek

7

Page 11: Makalah Compounding Edit

yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek

yang berisi :

-Amoksisillin

-Parasetamol

-GliserilGuaiakolat

-Deksametason

-CTM

-Luminal

Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa

menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter

sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal

sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang

salah.

b. Frekuensi pemberian

Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk

memelihara konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang

dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila

dikonsumsi sekali dalam sehari. Contohnya: *frekwensi pemberian

amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari. *cara pemberian yang

tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin sebelum makan, yang

seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat mengiritasi lambung.

c. Durasi

Durasi dari terapi. Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum

sampai habis selama satu kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah

mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus

tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat

penting agar kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat

membunuh bakteri penyebab penyakit. b. Pasien menerima obat yang benar

tetapi dosisnya terlalu rendah. Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil

dibandingkan dosis terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena

menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau

bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan

pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain ialah

8

Page 12: Makalah Compounding Edit

kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak

tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang

seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan

obat, selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah

obat yang masuk ke dalam tubuh pasien. Ada beberapa faktor pendukung yang

menyebabkan kejadian tersebut yaitu antara lain obat diresepkan dengan

metode fixed model (hanya merujuk pada dosis lazim) tanpa

mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis kelamin dan kondisi

penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada peresepan. Adanya

asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan keamanan obat dan

meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan sisi efektivitas

terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat tidak tepat

jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak mampu

menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara

menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari

pada penyakit ISFA Pneumonia.

3. Keamanan

a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi

Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan

dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan

resiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan

pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah

kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang

tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara

bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme

fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.

b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)

Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat

disebabkan karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian

obat yang tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi,

adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian

obat-obat tertentu. ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang

9

Page 13: Makalah Compounding Edit

berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai

oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi. Pada

umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : 1. Reaksi tipe A

Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang

berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti

diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok

jantung. Reaksi ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh

suatu penyakit bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe

A dapat terjadi pada setiap orang. 2. Reaksi tipe B Reaksi tipe B merupakan

reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi mencakup tipe

berikut:

a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera

(hipersensitivitas)

b. Tipe II, sitotoksik

c. Tipe III, serum

d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka

waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.

3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan). Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat

yang lama misalnya analgesik, nefropati.

4. Reaksi Tipe D Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis

dan karsinogenesis.

5. Reaksi Tipe E Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul

kembali karena ketidakcukupan adrenokortikal.

4. Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan

nasehat medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

a. Persepsi tentang kesehatan

b. Pengalaman mengobati sendiri

c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya

d. Lingkungan (teman, keluarga)

e. Adanya efek samping obat

10

Page 14: Makalah Compounding Edit

f. Keadaan ekonomi

g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).

Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan

selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas.

Ketidakpatuhan seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya

pasienlah yang bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat

ketidakpatuhannya. Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata

hanya kelalaian pasien dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun

banyak faktor pendorongnya, yaitu :

a. Obat tidak tersedia

Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat

menyebabkan pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.

b. Regimen yang kompleks

Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan

pasien mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat

menyebabkan pasien enggan minum obat.

c. Usia lanjut

Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-

obatan beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan

penampilan seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat

berkontribusi pada kebingungan. Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami

hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.

d. Lamanya terapi

Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC,

DM, arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana

pasien merasa bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek

terapi tidak tercapai.

e. Hilangnya gejala

Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa

bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya,

ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik

setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan

11

Page 15: Makalah Compounding Edit

kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat

untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.

f. Takut akan efek samping,

Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit

dan nyeri lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah

karena minum obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau

menggunakan obat.

g. Rasa obat yang tidak enak

Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan

cairan oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-

anak penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik,

sehingga mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.

h. Tidak mampu membeli obat

Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif

mahal, pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang

lebih mahal.

i. Pasien lupa dalam pengobatan.

j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan

petunjuk penggunaan obat. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang

kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan oleh

obat. Biasanya pasien menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi

dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak

memenuhi harapan, mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena itu diperlukan

edukasi pada pasien tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan

terapi obat.

Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker

memiliki peran untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan

informasi tentang pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien.

Selain itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan

12

Page 16: Makalah Compounding Edit

apoteker sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat

berjalan dengan baik.

5. Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi

harus yang paling tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat

dicegah, jika dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian

yang baik. Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan.

Pasien akan bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat

keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih

haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

6. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh

obat lain yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat

bertambah kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki

dari interaksi ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau

efek samping atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat

dapat terjadi sebagai berikut:

1. Obat-Makanan

Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan

pemantauan terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:

a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya,

obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk

ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.

b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi

meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan,

banyak obat diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat

dapat mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan

gizi.

13

Page 17: Makalah Compounding Edit

2. Obat-Uji Laboratorium

Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi

akurasi uji diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia.

Misalnya, laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk

urobilinogen atau oleh perubahan zat yang diukur. Apabila mengevaluasi

status kesehatan pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat

pada hasil uji. Misalnya, penggunaan ketokonazol dan paracetamol secara

bersamaan, menyebabkan inhibisi metabolisme paracetamol oleh ketokonazol

sehingga kadar paracetamol meningkat.

c. Interaksi farmakodinamik.

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada

sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga

terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik. Interaksi

farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang

penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi

farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang

segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat

memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Misalnya,

penggunaan warfarin dan aspirin dapat meningkatkan terjadinya

perdarahan.diagnostik.

3. Obat-Penyakit

Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau.

Apoteker harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada

kondisi medik pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering

disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan

kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan

antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.

4. Obat-Obat

Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari.

Semua obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat.

14

Page 18: Makalah Compounding Edit

Apoteker perlu mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan.

Suatu interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai

kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar

obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap

penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau

mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut

obat dengan batas keamanan yang sempit. Mekanisme interaksi obat, yakni :

a. Interaksi farmasetik (inkompatibilitas)

Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan)

antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat

demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau

kimiawi yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan,

perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini

biasanya berakibat inaktifasi obat. Bagi tenaga kesehatan, interaksi

farmasetik yang penting adalah interaksi antar obat suntik dan interaksi antara

obat suntik dengan cairan infus. b. Interaksi farmakokinetik: Interaksi

farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi,

metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua

meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau

penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat

diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang

berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antara obat

segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisiko kimia yang menyebabkan variasi

sifat-sifat farmakokinetiknya.

4) PENGOBATAN DENGAN PERESEPAN RASIONAL

1. Pengertian Resep

Resep yang merupakan asal kata dari recipe, yaitu  permintaan tertulis

dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan

dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan

yang berlaku.  Menurut Jas (2009), resep terdiri dari 6 bagian :

(a) Inscriptio : Nama dokter, no. SIP, alamat/ telepon/HP/kota/tempat,

tanggal penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu

15

Page 19: Makalah Compounding Edit

kota provinsi. Sebagai identitas dokter penulis resep. Format inscriptio

suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktik

pribadi.

(b) Invocatio : permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe”

artinya ambilah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dengan

apoteker di apotek.

(c) Prescriptio/ Ordonatio : nama obat dan jumlah serta bentuk sediaan yang

diinginkan.

(d) Signatura : yaitu tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan

interval waktu pemberian harus jelas untuk keamanan penggunaan obat

dan keberhasilan terapi.

(e) Subscrioptio : yaitu tanda tangan/ paraf dokter penulis resep berguna

sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.

(f) Pro (diperuntukkan) : dicantumkan nama dan umur pasien. Teristimewa

untuk obat narkotika juga hatus dicantumkan alamat pasien (untuk

pelaporan ke Dinkes setempat).

2. Peresepan Rasional

Komponen paling penting dari penggunaan obat secara rasional adalah

pemilihan dan penentuan dosis obat lewat peresepan yang rasional.

Peresepan yang rasional, selain akan menambah mutu pelayanan kesehatan

juga akan menambah efektifitas dan efisiensi. Melalui obat yang tepat,

dosis yang tepat, dan cara pemakaian yang tepat penyakit dapat

disembuhkan lebih cepat dengan resiko yang lebih kecil kepada penderita.

Peresepan obat dapat dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan untuk

memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali, atau kemungkinan

manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau

biayanya. Secara lebih umum pemakaian obat yang tidak rasional akan

memberikan ciri-ciri umum sebagai berikut:

1. Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara

medik

tidak ada atau samar-samar.

2. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu

16

Page 20: Makalah Compounding Edit

3. Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian yang tidak

sesuai.

4. Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih

besar

padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan potensi efek

lebih kecil juga.

5. Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah

dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.

6. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima

kemanfaatannya dan keamanannya.

7. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan

keamanannya masih diragukan.

8. Pemakaian obat yang semata-semata didasarkan pada pengalaman

individual tanpa mengacu kepada sumber-sumber informasi ilmiah yang

layak, atau hanya didasarkan pada sumber-sumber informasi yang tidak

dapat dipastikan kebenarannya.

9. Pemakaian obat yang tidak mempertimbangkan kondisi pasien,

misalnya apakah ada kontra indikasi, apakah harus dilakukan

penyesuaian dosis sehubungan dengan kondisi pasien.

Apoteker sebagai pelayan medic masyarakat harus dapat menegakkan

pengobatan rasional. Meskipun sampai saat ini hanya dokter yang dapat

mengeluarkan tetapi kita dapat menganalisis resep yang diberikan dokter dan

dapat mengeliminasi obat-obat yang tidak perlu diberikan pada pasien. Perlunya

dilakukan pemberian obat yang rasional karena:

a. Mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat

membahayakan pasien. Hal ini berhubungan dengan tepat pasien, tepat

indikasi, tepat obat, tepat cara pemberian obat, dosis, dan frekuensi

b. Mempermudah dan membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk

memperoleh obat dengan harga terjangkau

c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja obat di instusi-institusi seperti

RSUD, puskesmas sebagai salah satu upaya cost effective medical

intervention.

d. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan.

17

Page 21: Makalah Compounding Edit

3. Peresepan Rasional dan Peresepan Irasional

Telah dibahas sebelumnya pengertian dan manfaat dari peresepan yang

rasional. Dalam sub bab ini akan dibahas contoh dari peresepan rasional dan

peresepan irasional yang mungkin pernah ditemui dalam pengobatan kita selama

ini.

1. Sebagai contoh dari resep yang tidak rasional:

R/ Paracetamol syrup

S 3 dd cth

R/ Cefat 150 

Polaric 1/3 tab

Codein 3

Farmavon 1/8 tab

Luminal 5

S.L qs

m.f Pulv dtd XV

S 3 dd I pulv

Pro : Adem (5 tahun 5 bulan)

Masalah :

(a) Penyakitnya batuk berdahak karena alergi atau non alergi  dan batuk kering

karena alergi atau non alergi 

(b)  Kombinasi Antitusif dan ekspektorant

(c) Kombinasi Antibiotik dengan obat lain 

(d)  Kombinasi Antialergi dengan hipnotik

Pembahasan :

(a)  Dilihat dari resep yang tertera diatas, kemungkinan besar pasien didiagnosa

batuk dan demam. 

(b) Jika pasien menderita jenis batuk kering diberikan antitusif sedangkan batuk

berdahak diberikan ekspektoran. Apabila batuk  karena alergi tidak perlu

diberikan antibiotik  sedangkan non alergi bisa diberikan antibiotik  setelah

dilakukan pemeriksaan  sputum yang hasilnya positif. Kalau batuk yang

18

Page 22: Makalah Compounding Edit

diderita batuk alergi yang membutuhkan antialergi  tidak perlu diberikan  obat

hipnotik karena efek samping dari antialergi adalah sedasi  

(c) Kodein (Antitusif) dan Farmavon  (ekspektoran ) tidak boleh dicampur karena

karena antitusif untuk menekan batuk yang terus-menerus dan diindikasikan

untuk batuk kering dan ekspektoran membantu pengenceran dan pengeluaran

dahak, diindikasikan untuk batuk berlendir. Hal ini tidak rasional. 

(d)  Cefat ( cefadroksil) adalah Antibiotik harus dipisahkan atau dikeluarkan dari

racikan dan  dibuat racikan tersendiri tanpa kombinasi obat lain, karena

antibiotic adalah obat yang bersifat kausatif (harus habis) sementara obat yang

lain jika gejala sudah hilang maka pengobatan juga dihentikan.

(e) Efek samping  Polaric (antialergi) yang paling sering adalah rasa mengantuk,

Pemberian antialergi  bersama dengan obat-obat hipnotik sedatif (luminal)

dapat meningkatkan efek sedasi.

2. Peresepan Rasional

Dari contoh analisis diatas maka peresepan tersebut dapat disederhanakan

menjadi:

R/ Paracetamol syrup

S 3 dd cth

R/ Cefat 150

m.f Pulv dtd XV

S 3 dd I pulv sampai habis

R/ Polaric 1/3 tab

Farmavon 1/8 tab

S.L qs

m.f Pulv dtd XV

S 3 dd I pulv

Pro : Adem (5 tahun 5 bulan)

Pembahasan :

(a)  Dari hasil diagnosa pasien mengalami batuk dan demam. Paracetamol syrup

tetap diberikan untuk mengurangi gejala demam untuk menormalkan suhu

tubuh dari pasien.

19

Page 23: Makalah Compounding Edit

(b) Telah dibahas sebelumnya bahwa antibiotic harus dihabiskan sehingga tidak

dapat dijadikan satu dalam bentuk pulveres sehingga harus dibuat dalam

sediaan tunggal.

(c) Farmavon diberikan sebagai ekspektoran karena batuk yang disebabkan alergi

dibutuhkan ekspektoran untuk mengeluarkan dahaknya.

(d) Polaric diberikan untuk mengurangi dari reaksi alergi dan bersifat juga sebagai

penenang (sedative)

Dari contoh peresepan di atas diharapkan kita sebagai pelayan medic lebih tanggap

dalam menganalisis peresepan yang diberikan oleh dokter dengan melihat keadaan

pasien. Namun tak selamanya dokter selalu memberikan resep yang irasional, dokter

mendiagnosa sesuai gejala yang timbul dan memberikan terapi simptomatiknya saja

tetap pasien seringkali meminta obat untuk menghilangkan gejalanya saja. Padahal

dengan hilangnya gejala belum tentu sumber penyakitnya hilang karena yang paling

penting adalah menumpas sumber penyakitnya. Dari problem tersebut penegakkan

pengobatan rasional bukan hanya semata-mata dilakukan oleh pelayan medic dalam

hal ini: dokter, Apoteker,dan asisten apoteker. Namun dibutuhkan pula peran

masyarakat/pasien pada swamedikasi dalam rangka penegakkan pengobatan rasional.

Hal-hal yang dapat dilakukan pasien dalam mendukung terwujudnya pengobatan

rasional :

a. Agar tercapai tepat pasien

Bantu tenaga kesehatan agar dapat menilai kondisi pasien dengan tepat,

informasika pada tenaga kesehatan jika pasien adalah seorang ibu menyusui atau

memiliki riwayat alergi terhadap obat tertentu, memiliki kelainan ginjal, hati, dll.

b. Agar tercapai Tepat indikasi

Bantu tenaga kesehatan menegakan diagnose dengan menginformasikan

selengkap-lengkapnya gejala, keluhan atau sakit yang dialami.

c. Agar tercapai tepat obat

Pada saat pasien menerima resep, seharusnya bukan menjadi tanda bahwa waktu

kunjungan kedokter telah berakhir, justru konsultasi harus dilanjutkan guna

mendiskusikan obat apa saja yang diresepkan. Tanyakan pada dokter mengenai

komposisinya, kegunaannyam cara pakai, hingga lama penggunaan obat. Dengan

demikian pasien ini sudah mendapat gambaran obat apa saja yang akan diminum

dan efek terapinya yang didapatkan sebelum memutuskan untuk membeli obat

20

Page 24: Makalah Compounding Edit

tersebut. Jika ada obat yang dirasa tidak sesuai dengan gejala yang dirasakan,

tanyajan pada dokter.

d. Agar tercapai tepat biaya

Pasien harus mengetahui hak-haknya sebagai konsumen medis termasuk memilih

obat yang sesuai dengan keuangannya, apakah menggunakan obat generic, obat

bermerek atau obat original/ paten.

21

Page 25: Makalah Compounding Edit

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan ini dapat kita tarik kesimpulan:

1. Langkah-langkah yang menjadi tahap pengoabatan rasional adalah a)

Tetapkan masalah pasien /diagnose; b)Tetapkan tujuan pengobatan, apa yg

ingin di capai melalui terapi bisa secara farmakologi atau non-farmakologi

atau keduanya; c) Susun dan pilih daftar kelompok yang manjur; d)Mulailah

pengobatan; e)Berikan penjelasan tentang obat, cara pemakaiannya dan

peringatan; f) Pantau atau hentikan pengobatan.

2. Pengobatan yang rasional harus memenuhi kriteria sebagai berikut: tepat

diagnose, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat pemberian, tepat interval

waktu pemberian, tepat lama pemberian, waspada terhadap efek samping,

tepat penilaian kondisi pasien, obat yang diberikan harus efektif dan aman,

tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, tepat informasi,tepat tindak

lanjut, tepat penyerahan obat, dan pasien patuh terhadap pengobatan yang

diberikan.

3. Pengobatan dapat diklasifikasikan dalam beberapa terapi, yaitu;

(a) Terapi kausatif yaitu  upaya pengobatan yang berfokus pada ”sebab”

seperti menemukan sumber infeksi pada gangguan medis ataupun

menemukan sumber cemas pada gangguan emosional.

(b) Terapi simptomatik yaitu upaya pengobatan yang berfokus pada “akibat”

seperti menghilangkan rasa sakit atau nyeri pada gangguan medis dan

menghilangkan rasa cemas, gelisah ataupun takut pada gangguan

emosional / hambatan pribadi.

(c) Terapi pencegahan yaitu upaya pengobatan yang berfokus pada

pembenahan perilaku atau pola hidup sebelum timbulnya penyakit di masa

datang.

4. Penggunaan obat secara rasional adalah pemilihan dan penentuan dosis obat

lewat peresepan yang tepat dosis, tepat pemberian, tepat diagnose dan waspda

efek samping obat. 22

Page 26: Makalah Compounding Edit

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, Rational use of medicine

2. Yusmanita, 2009, rasional penggunaan obat.

3. Arnidah nasir.2012.analisa resep. Jakarta

4. Kimin azril.2012.kisi-kisi pengobatan rasional. Jakarta

5. Darmansjah I. Dasar toksikologi. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 4,

1995, Bagian Farmakologi dan Terapeutik, FKUI.

6. Hermawan, dr Lukas.2011. pelayanan kesehatan dan medis

dasar.drlukashermawan.blogspot.com

7. Teratai purwa.2012.peranan farmasi dalam terapi

rasional.marloyn92.wordpress.com

8. Widyawati,tri.2011.proses peresepan yang rasional

23

Page 27: Makalah Compounding Edit

24

Page 28: Makalah Compounding Edit

26