makala h
DESCRIPTION
vvTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2011).
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena
hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). Diramalkan
bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya
jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun
informasi mengenai prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat sedikit,
sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat (Sularsito, dkk,
2011).
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60
persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja
tiga kali lebih sering dari pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia tidak
mempengaruhi timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui pada
anak-anak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki. Bangsa
kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain (Sumantri, dkk, 2005).
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang belum diproses, disebut
hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga
mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam
timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah
yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum,
dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan
stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang
menderita sakit, terpajan sinar matahari) (Sularsito, dkk, 2011).
Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA bertujuan untuk
menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi bersamaan dengan dermatitis
yang disebabkan oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau
psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan
penderita) dapat menyebabkan prognosis menjadi kurang baik. Oleh karena itu
penting untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat menurunkan
morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas yaitu pada latar belakang masalah yang
berkaitan dengan judul study kasus ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsep dasar penyakit dermatitis kontak ?
2. Bagaimana melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dermatitis kontak
?
3. Bagaimana cara menyusun diagnosa keperawatan pada pasien dermatitis
kontak?
4. Bagaimana cara menyusun rencana tindakan keperawatan pada pasien
dermatitis kontak?
5. Bagaimana melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dermatitis
kontak?
6. Bagaimana cara merumuskan keberhasilan keperawatan pada pada pasien
dermatitis kontak?
7. Bagaimana cara melaksanakan evaluasi keperawatan pada pasien dermatitis
kontak?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus :
1.3.1 Tujuan Umum
Penulis mampu menerapkan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan dermatitis
kontak.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khsus yang ingin dicapai adalah penulis dapat :
1. Mampu memahami konsep dasar penyakit tentang dermatitis kontak
2. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dermatitis kontak
3. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dermatitis kontak
4. Mampu menentukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dermatitis
kontak
5. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien dermatitis kontak
6. Mampu melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang dilakukan pada
pasien dermatitis kontak
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Mahasiswa dan Mahasiswi
Meningkatkan pengetahuan dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada pasien dermatitis kontak.
1.4.2 Institusi Pendidikan
Merupakan bahan evaluasi pendidikan untuk peningkatan mutu pendidikan
khususnya dibidang pengetahuan dan pengembangan riset.
1.4.3 Profesi Perawat
Dapat meningkatkan kualitas profesi perawat sehingga diakui oleh profesi lain.
1.4.4 Penulis Selanjutnya
Dapat memberikan manfaat kepada penulis dalam menambah pengalaman dan
pengetahuan untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama dan dalam
pendidikan.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman terhadap isi karya tulis ini penulis menyusun
sistematika sebagai berikut :
BAB 1 : PENDAHULUAN
Meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat
Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Dermatitis kontak
Membahas tentang konsep dasar keluarga yang terdiri dari pengertian,
etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pathway, insidensi, komplikasi,
pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan pada penyakit dermatitis kontak.
BAB 3 : KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DERMATITIS
KONTAK
3.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Dermatitis kontak
Membahas tentang konsep dasar asuhan keperawatan dermatitis kontak yang
teridiri dari ; pengkajian, , diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan
evaluasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Dermatitis Kontak
Dermatitis adalah peradangan kulit ( epidermis dan dermis ) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen atau pengaruh faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik ( eritema, edema, papul, vesikel,
skuama ) dan keluhan gatal ( Djuanda, Adhi, 2007 ).
Dermatitis adalah peradangan pada kulit ( imflamasi pada kulit ) yang disertai
dengan pengelupasan kulit ari dan pembentukkan sisik ( Brunner dan Suddart 2000 ).
Jadi dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal.
Dermatitis kontak (Dermatitis Penenata) merupakan reaksi inflamasi kulit
terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau biologi. Epidermis mengalami kerusakan
akibat iritasi fisik dan kimia yang berulang-ulang. Dermatitis kontak dapat berupa
tipe iritan-primer dimana reaksi non alergik terjadi akibat pajanan terhadap substansi
iritatif, atau tipe alergi (Dermatitis Contact Alergica) yang disebabkan oleh pajanan
orang yang sensitif terhadap alergen kontak.
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi
yang menempel pada kulit dan dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat
akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi
peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
diketahui proses sensitasi. Sebaliknya, dermatitis alergik terjadi pada seseorang yang
telah mengalami sensitasi terhadap suatu alergen (Djuanda, 2006; Stateschu, 2011).
2.2 Klasifikasi
Dermatitis kontaki terbagi 2 yaitu :
1. Dermatitis kontak iritan (mekanisme non imunologik)
2. Dermatitis kontak alergik (mekanisme imunologik spesifik
Perbedaan Dermatitis kontak iritan dan kontak alergik
No
.
Dermatitis kontak iritan Dermatitis kontak alergik
1. Penyebab Iritan primer Alergen kontak
S.sensitizer
2. Permulaan Pada kontak pertama Pada kontak ulang
3. Penderita Semua orang Hanya orang yang alergik
4. Lesi Batas lebih jelas
Eritema sangat jelas
Batas tidak begitu jelas
Eritema kurang jelas
5. Uji Tempel Sesudah ditempel 24 jam,
bila iritan di angkat reaksi
akan segera
Bila sesudah 24 jam bahan
allergen di angkat, reaksi
menetap atau meluas
berhenti.
No
.
DKI DKA
1. Cenderung akut Cenderung kronik
2. Semua orang bisa terkena Hanya orang tertentu (riwayat
alergi/sensitisasi) yang terkena
3. Lesi awal berupa : makula, Lesi awal berupa : makula, eritema,
eritema, vesikel, bula, dan erosi. papula, melebar dari tempat awal
4. Penyebab : iritan primer Penyebab : alergen
5. Tergantung konsentrasi bahan
iritan dan status swar kulit.
Terjadi jika bahan iritan melewati
ambang batas
Tidak tergantung dengan konsentrasi.
Konsentrasi rendah sekalipun sudah
dapat memicu DKA. Bergantung pada
tingkat sensitisasi
6. Onset pada saat kontak pertama Onset pada saat kontak berulang
2.3 Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
2.3.1 Pengertian
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan non imunologik
pada kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen.
Faktor eksogen berupa bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik, maupun biologik) dan
faktor endogen memegang peranan penting pada penyakit ini.
2.3.2 Etiologi
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen
(iritan dan lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan, antara lain :
1. Faktor Eksogen
Faktor yang memperparah terjadinya dermatitis kontak dan berasal dari luar
tubuh. Beberapa faktor berikut dianggap memiliki pengaruh terhadap terjadinya
dermatitis kontak.
a. Karakteristik bahan kimia
Meliputi pH bahan kimia (bahan kimia dengan pH terlalu tinggi > 12
atau terlalu rendah < 3 dapat menimbulkan gejala iritasi segera setelah
terpapar, sedangkan pH yang sedikit lebih tinggi > 7 atau sedikit lebih rendah
< 7 memerlukan paparan ulang untuk mampu timbulkan gejala), jumlah dan
konsentrasi (semakin pekat konsentrasi bahan kimia maka semakin banyak
pula bahan kimia yang terpapar dan semakin poten untuk merusak lapisan
kulit), berat molekul ( molekul dengan berat <1000 dalton sering
menyebabkan dermatitis kontak, biasanya jenis dermatitis kontak alergi),
kelarutan dari bahan kimia yang dipengaruhi oleh sifat ionisasi dan
polarisasinya (bahan kimia dengan sifat lipofilik akan mudah menembus
stratum korneum kulit masuk mencapai sel epidermis dibawahnya).
b. Karakteristik paparan
Meliputi durasi yang dalam penelitian akan dinilai dari lama paparan
perhari dan lama bekerja (semakin lama durasi paparan dengan bahan kimia
maka semakin banyak pula bahan yang mampu masuk ke kulit sehingga
semakin poten pula untuk timbulkan reaksi), tipe kontak (kontak melalui
udara maupun kontak langsung dengan kulit), paparan dengan lebih dari satu
jenis bahan kimia (adanya interaksi lebih dari satu bahan kimia dapat bersifat
sinergis ataupun antagonis, terkadang satu bahan kimia saja tidak mampu
memberikan gejala tetapi mampu timbulkan gejala ketika bertemu dengan
bahan lain), dan frekuensi paparan dengan agen (bahan kimia asam atau basa
kuat dalam sekali paparan bisa menimbulkan gejala, untuk basa atau asam
lemah butuh
beberapa kali paparan untuk mampu timbulkan gejala, sedangkan untuk bahan
kimia yang bersifat sensitizer paparan sekali saja tidak bisa menimbulkan
gejala karena harus melalui fase sensitisasi dahulu)
2. Faktor Endogen, antara lain :
a. Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu
untuk mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzim antioksidan,
dan kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock protein
semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga menentukan
keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan iritan. Selain itu,
predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap
bahan iritan. Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik
mungkinmempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis
telah dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan terhadap kontak iritan.
b. Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan
wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara
jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan
oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki.
Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak iritan yang
ditetapkan berdasarkan penelitian.
c. Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-bahan
kimia dan bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan bahwa
tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan meningkatnya
umur. Data pengaruh umur pada percobaan iritasi kulit sangat berlawanan.
Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada orang tua sementara iritasi
kulit yang tidak kelihatan (kerusakan pertahanan) meningkat pada orang
muda. Reaksi terhadap beberapa bahan iritan berkurang pada usia lanjut.
Terdapat penurunan respon inflamasi dan TEWL, dimana menunjukkan
penurunan potensial penetrasi perkutaneus.
d. Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi
berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema
sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema sebagai
satu-satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai
pada kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap bahan
iritan daripada kulit putih.
e. Lokasi Kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,
sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan
terhadap dermatitis kontak iritan. Telapak tangan dan kaki jika dibandingkan
lebih resisten.
f. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis
iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan
peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang
iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, dan lambatnya proses penyembuhan.
Pada pasien dengan dermatitis atopi misalnya, menunjukkan peningkatan
reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.
Faktor lain dapat berupa perilaku individu: kebersihan perorangan,
hobi dan pekerjaanan sambilan, serta penggunaan alat pelindung diri saat
bekerja.
2.3.3 Patofisiologi
Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel
yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan
iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam
bahan-bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak
lisosom, mitokondria dan komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya
membran lipid keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan
asam arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari
komplemen dan system kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta
mengaktifkan sel mast yang akan membebaskan histamin, prostaglandin dan
leukotrin. PAF akan mengaktivasi platelets yang akan menyebabkan
perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang ekspresi gen dan
sintesis protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan
keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan
dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak iritan tidak
melalui fase sensitisasi.
Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan
kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir
semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau
mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban
udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya
kerusakan tersebut.
2.3.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan berdasarkan klasifikasinya
yaitu dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan kronik :
1. Dermatitis kontak iritan akut
Dermatitis kontak iritan akut biasanya timbul akibat paparan bahan kimia
asam atau basa kuat, atau paparan singkat serial bahan kimia, atau kontak
fisik. Sebagian kasus dermatitis kontak iritan akut merupakan akibat
kecelakaan kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema, edema,
vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis jaringan pada
kasus yang berat. Dermatitis iritan kuat terjadi setelah satu atau beberapa kali
olesan bahan-bahan iritan kuat, sehingga terjadi kerusakan epidermis yang
berakibat peradangan. Bahan-bahan iritan ini dapat merusak kulit
karena terkurasnya lapisan tanduk, denaturasi keratin dan pembengkakan
sel. Manifestasi klinik tergantung pada bahan apa yang berkontak,
konsentrasi bahan kontak, dan lamanya kontak. Reaksinya dapat berupa
kulit menjadi merah atau coklat, terjadi edema dan rasa panas, atau ada
papula, vesikula, pustula dan berbentuk pula yang purulent dengan kulit
disekitarnya normal.
Gambar 2: DKI akut akibat penggunaan pelarut industri.
2. Dermatitis kontak iritan kronik
DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-
ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam
faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan
dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu.
Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau bulan,
bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor paling penting (Djuanda, 2007).
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit
tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus
berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura.
Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema,
sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan
mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2007).
Berdasarkan manifestasinya pada kulit dapat dibagi kedalam dua
stadium, diantaranya:
1. Stadium 1
Kulit kering dan pecah-pecah, stadium ini dapat sembuh dengan
sendirinya.
2. Stadium 2
Ada kerusakan epidermis dan reaksi dermal. Kulit menjadi merah dan
bengkak, terasa panas dan mudah terangsang kadang-kadang timbul
papula, vesikula, krusta. Bila kronik timbul likenikfiksi. Keadaan ini
menimbulkan retensi keringat dan perubahan flora bakteri.
Gambar1: Dermatitis kontak (Dailli, 2005).
Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut,
dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu:
1. Dermatitis Kontak Iritan Lambat (Delayed ICD)
Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak muncul
hingga 8-24 jam atau lebih setelah pajanan, gambaran klinisnya mirip
dengan dermatitis kontak iritan akut.
2. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)
Disebabkan oleh iritanlemah (sepertiair, sabun, sampo, detergen, dan
lain-lain) dengan pajanan yang berulang-ulang, biasanyalebih sering
terkena padatangan. Kelainan kulitbaru munculsetelah beberapa
hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Gejala berupa kulit kering, eritema,
skuama, dan lambat laun akan menjadi hiperkeratosis dan dapat
terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung.
Gambar3 : DKI Kronis akibat efek korosif dari semen.
3. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanyaterlokalisasi di
dorsum daritangan danjari, biasanya haliniterjadi pada orang yang terpajan
dengan pekerjaan basah, reaksi iritasi dapat sembuh, menimbulkan
penebalan kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.
4. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)
Reaksi traumatik dapat terbentuk setelah trauma akut pada kulit seperti
panas atau laserasi. Biasanya terjadi pada tangan dan penyembuhan sekitar
6 minggu ataulebih lama. Pada proses penyembuhan akan terjadi eritema,
skuama, papul dan vesikel.
5. Dermatitis Kontak Iritan Noneritematous
Juga disebut reaksi suberitematous, pada tingkat awal dari iritasi kulit,
kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit
terlihat secara histologi.
6. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif (Sensory ICD)
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita mengeluh gatal, rasa
tersengat, rasa terbakar, beberapa menit setelah terpajan dengan iritan,
biasanya terjadi di daerah wajah, kepala dan leher, asam laktat biasanya
menjadi iritan yang paling sering menyebabkan penyakit ini.
7. Dermatitis Kontak Iritan Gesekan (Friction ICD)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau
gesekan yang berulang. DKI Gesekan berkembang dari respon pada
gesekan yang lemah, dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama,
fisura, dan gatal pada daerah yang terkena gesekan. DKI Gesekan dapat
hanya mengenai telapak tangan dan seringkali terlihat menyerupai psoriasis
dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal.
Gambar 5 : DKI Gesekan.
8. Dermatitis Kontak Iritan Akneiform
Disebut juga reaksi pustular atau reaksi akneiform, biasanya dilihat
setelah pajanan okupasional, seperti oli, metal, halogen, serta setelah
penggunaan beberapa kosmetik, reaksi ini memiliki lesi pustular yang steril
dan transien, dan dapat berkembang beberapa hari setelah pajanan, tipe ini
dapat dilihat pada pasien dermatitis atopi maupun pasien dermatitis
seboroik.
Gambar 6 : DKI Akneiform.
9. Dermatitis Asteatotik
Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia lanjut yang sering mandi tanpa
menggunakan pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering, dan
skuama ikhtiosiform merupakan gambaran klinik dari reaksi ini.
Gambar 7 : DKI Asteatotik.
Pada dermatitis kontak tidak memiliki gambaran klinis yang tetap.
Untuk menegakkan diagnosis dapat didasarkan pada:
1. Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat. Anamnesis
dermatologis terutama mengandung pertanyaan-pertanyaan: onset
dan durasi, fluktuasi, perjalanan gejala-gejala, riwayat penyakit
terdahulu, riwayat keluarga, pekerjaan dan hobi, kosmetik yang
digunakan, serta terapi yang sedang dijalani. Pertanyaan mengenai
kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar
umbilicus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan
erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing
celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel).
Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan,
hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika,
bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit
yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya
(misalnya dermatitis atopik) (Djuanda, 2007
2. Pemeriksaan klinis, hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis
yang baik adalah:
a. Lokasi dan/atau distribusi dari kelainan yang ada.
b. Karakteristik dari setiap lesi, dilihat dari morfologi lesi (eritema,
urtikaria, likenifikasi, perubahan pigmen kulit).
c. Pemeriksaan lokasi-lokasi sekunder.
d. Teknik-teknik pemeriksaan khusus, dengan patch test.
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan,
dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada
seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain
karena sebab- sebab endogen (Djuanda, 2007).
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula
disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk
dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat
kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena
beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian
tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan
diagnosis (Trihapsoro, 2003)
2.3.4 Pemeriksaan Penunjang
Untuk membantu menegakan diagnosis penyakit kulit akibat kerja
selain pentingnya anamnesa, juga banyak test lainnya yang digunakan
untuk membantu. Salah satu yang paling sering digunakan adalah patch
test. Dasar pelaksanaan patch test adalah sebagai berikut:
1. Bahan yang diujikan (dengan konsentrasi dan bahan pelarut yang
sudah ditentukan) ditempelkan pada kulit normal, kemudian
ditutup. Konsentrasi yang digunakan pada umumnya sudah
ditentukan berdasarkan penelitian-penelitian.
2. Biarkan selama 2 hari (minimal 24 jam) untuk memberi kesempatan
absorbsi dan reaksi alergi dari kulit yang memerlukan waktu lama.
Meskipun penyerapan untuk masing-masing bahan bervariasi, ada
yang kurang dan ada yang lebih dari 24jam, tetapi menurut para
peniliti waktu 24 jam sudah memadai untuk kesemuanya, sehingga
ditetapkan sebagai standar.
3. Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada tempat tempelan
tersebut dibaca tentang perubahan atau kelainan yang terjadi pada
kulit. Pada tempat tersebut bisa kemungkinan terjadi dermatitis
berupa: eritema, papul, oedema atau fesikel, dan bahkan kadang-
kadang bisa terjadi bula atau nekrosis.
Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 15-
25 menit kemudian, supaya kalau ada tanda-tanda akibat tekanan
4. penutupan dan pelepasan dari Unit uji temple yang menyerupai bentuk
reaksi, sudah hilang. Cara penilaiannya ada bermacam-macam
pendapat. Yang dianjurkan oleh International Contact Dermatitis
Research Group (ICDRG) sebagai berikut:
NT : Tidak diteskan
+: hanya eritem lemah: ragu-ragu
++ : eritem, infiltrasi (edema), papul: positif lemah
+++ : bula: positif sangat kuat
- : tidak ada kelainan: iritasi (Sulaksmono, 2006)
Untuk membantu membedakan antara dermatitis kontak iritan dengan
dermatitis kontak alergika, Rietschel mengusulkan kriteria yang dapat
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dermatitis kontak iritan.
Tabel 2. Kriteria diagnosis dermatitis kontak iritan
Subjektif
Mayor minor
Onset dari gejala timbul dalam
hitungan menit hingga jam
setelah paparan.
Nyeri, rasa terbakar, rasa tersengat,
atau rasa tidak nyaman melebihi
rasa gatal pada tahap klinis awal.
Onset timbulnya gejala 2
minggu setelah paparan
Banyak orang dalam lingkungan
yang sama juga terkena
Objektif
Makula eritem, hiperkeratosis,
atau fisura lebih mendominasi
daripada vesikulasi
Epidermis tampak
mengkilap, merekah, atau
terkelupas
Proses penyembuhan dimulai
segera setelah paparan bahan
kausal dihentikan
4. Hasil uji tempel negative
Dermatitis berbatas tegas
Terdapat bukti pengaruh gravitasi, seperti
efek menetes
Tidak terdapat kecenderungan menyebar
Perubahan morfologik menunjukan
perbedaan. konsentrasi yang kecil mampu
timbulkan kerusakan kulit yang besar
2.3.5 Pengobatan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat mekanik (gesekan atau tekanan yang bersifat
terus menerus suatu alat), fisik (lingkungan yang lembab, panas, dingin, asap,
sinar matahari dan ultraviolet) atau kimiawi (alkali, sabun, pelarut organic,
detergen, pemutih, dan asam kuat, basa kuat). Dilakukan kompres dingin 3
kali sehari selama 20-30 menit dengan larutan Burrowi dan kalium
permagnant.
Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka
tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperaiki
kulit yang kering (Djuanda, 2007).
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal.
Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan
iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2007; Kampf, 2007). Pencegahan bahan iritan
seharusnya menjadi diagnose primer dan edukasi pada pasien. Penggunaan kompres basah
dengan astringent alumunium asetat dapat digunakan untuk mendinginkan dan mengeringkan
lesi. Hidrokortison dan lotion kalamin membantu untuk mengeringkan rasa gatal. Penggunaan
topical anestesi local tipe caine perlu dihindari atau diawasi karena dapat menyebabkan kontak
dermatitis yang lebih luas (Keefner, 2004)
2.3.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada dermatitis kontak iritan antara lain1:
1. Peningkatan risiko sensitisasi terhadap terapi topikal
2. Lesi pada kulit dapat dikolonisasi oleh bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini
dipermudah jika terjadi lesi sekunder, seperti fissure akibat manipulasi yang dilakukan
penderita.
3. Secondary neurodermatitis (lichen simplex chronicus) akibat penderita dermatitis kontak
iritan yang mengalami stress psikis.
4. Pada fase post inflamasi dapat terjadi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
5. Scar, biasanya setelah terkena agen korosif.
2.4 Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
2.4.1 Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah
kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
2.4.2 Etiologi dan Predisposisi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana.
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya
penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan.
Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus
Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung
urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya
adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat
rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol
(karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)
(Trihapsoro, 2003).
2.4.3 Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya antara
lain:
1. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
2. Potesi sensitisasi allergen
3. Dosis per unit area
4. Luas daerah yang terkena
5. Lama pajanan
6. Oklusi
7. Suhu dan kelembaban lingkungan
8. Vehikulum
9. pH
10. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
11. Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.
12. Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.
13. Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null pada kompleks
gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen, 2009).
14. Status higinie dan gizi
Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing –
masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh, saat keadaan
imunologik seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan didukung status
gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang
seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan
perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang
rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak alergik
adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis
statis (Baratawijaya, 2006).
2.4.4 Patofisiologi
Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang
menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu :
1. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi
terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak
atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten
diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk
mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek
hapten protein.
Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk gen
HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen presenting cell).
Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan
terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan
molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans,
sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan
pengenal antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja.
Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi
pengenalan antigen (antigen recognition).
Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan
merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel
T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh
meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen
yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam
pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko.
2. Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama
dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans
akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan
merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis.
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu
proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel
keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi
INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T
dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat
puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang
molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel
T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.
3. Toleransi Imunologis
Struktur kimia, dosis dan cara penyajian dari suatu antigen sangat menentukan potensi
sensitivitasnya. Pada aplikasi pertama dari antigen akan menggerakkan dua mekanisme yang
berlawanan yaitu sensitisasi (pembentukan T helper cell) dan toleransi imunitas spesifik
(pembentukan T supresor cell). Kedua keadaan imunologik ini selanjutnya dapat dimodifikasi
oleh faktor-faktor eksternal seperti pemberian glukokortikoid topikal atau sistemik, radiasi sinar
ultra violet dan riwayat dermatitis atopik. Apabila dosis tinggi dari antigen disapukan secara
epikutan maka dapat timbul toleransi.Kemungkinan oleh karena sejumlah besar antigen
menghindari sel Langerhans epidermal.
Toleransi imunologis dapat dirangsang oleh penggunaan bahan kimia yang sejenis seperti
propilgallat (antioksidan dalam makanan) dan 2-4-dinitro-1-klorobenzen terhadap
dinitroklorobenzen (DNCB), akan dapat menurunkan sensitivitas DNCB, bahkan dapat menjadi
tidak responsive. Hal ini disebut proses hardening (pengerasan). Namun proses hardening tidak
timbul pada setiap orang dan dapat hilang bila terjadi pemutusan hubungan dengan bahan kontak
alergen. Hiposensitisasi dapat dicapai dengan pemberian awal bahan allergen berstruktur sejenis
dalam dosis rendah yang kemudian ditingkatkan secara bertahap. Hal ini dapat diterapkan pada
sulfonamid dan poison ivy. Akibatnya ambang rangsang untuk reaksi positif terhadap uji tempel
akan meningkat.
Namun keadaan desensitisasi penuh tidak dapat dicapai. Hiposensitisasi merupakan
keseimbangan antara sel efektor dan supresor. Keadaan toleransi ini dapat dirusak oleh
siklofosfamid yang secara selektif menghambat sel supresor. Bila ini gagal secara teoritik dapat
dilakukan induksi secara intra vena sehingga timbul tolerans terhadap alergen yang diberikan.
Menurut Adam hal ini akan merangsang makrofag di limpa untuk membentuk sel T supresor dan
menimbulkan toleransi imunitas spesifik. Secara teoritik dapat timbul keadaan quenching yaitu
terjadinya potensiasi dari respon alergi dan iritan sehingga kombinasi dari bahan-bahan kimia
dapat menimbulkan efek pemedaman yaitu berkurangnya ekspresi atau induksi sensitivitas.
2.4.5 Pathway
Sumber : faisalado candra (http://catatan-kecil-mahasiswa.blogspot.co.id/2011/11/keperawatan-
medikal-bedah-pathway_2561.html)
2.4.6 Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis
yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit berukuran
numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka
perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang
terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan,
hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang
bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan
pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat
pekerjaan
Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam
keluarga
Faktor genetik, predisposisi
Riwayat penyakit
sebelumnya
Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-
obat yang digunakan, tindakan bedah
Riwayat dermatitis yang
spesifik
Onset, lokasi, pengobatan
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit
seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat
dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan;
di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup
terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab
endogen (Sularsito, 2010).
Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).
Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)
dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu
semen, dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet
(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut
atau pewangi pakaian.
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati beberapa
ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat
dilihat pada beberapa gambar berikut :
a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi terhadap
nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel
(lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-
vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien hipersensitif
terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir
c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada
telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu
dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik,
serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga
umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin
menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis
kontak kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher.
Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik
d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna kancing
logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karetd ari celananya. Terlihat
adanya eritema yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena alergen.
e. Genitalia. Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom, pembalut wanita
alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang
terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat
eritema
f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet,
kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis
kontakalergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki
mengalami skuama, krusta
2.4.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini
pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut
karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara rutin dan
dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat
langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air
untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang
tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang
diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi.
Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel
dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak
dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan
standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi
(Sularsito, 2010).
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel (Sularsito,
2010):
a. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat
terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’ reaksi positif palsu, dapat juga
menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
b. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada
pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain),
sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
c. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada
hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
d. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar
(tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga
dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu
kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
e. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang mempunyai
riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan
urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes
dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama
dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah
menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)
Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam :
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau
96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen.
Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada
pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi (Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah
pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan
kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon
iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).
2.4.8 Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010) :
1. Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara biopsi
dengan pisau atau plong/punch.
2. Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak perlu
diikutsertakan.
3. Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer yang belum
mengalami garukan atau infeksi sekunder.
T.R.U.E. Test® (Mekos Laboratories, Hillerod, Denmark) patch-test.
A. Hasil uji positif terhadap picaridin (KBR) 2,5%.
B. Hasil uji positif terhadap methyl glucose diolate (MGD) 10%.
4. Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5. Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik biopsi lebih
dari satu.
6. Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan subkutis.
7. Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya formalin 10%
atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati.
8. Lalu dikirim ke laboratorium
9. Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE). Ada pula yang
menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
10. Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
11. Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal jaringan kira-
kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan
fiksasi
12. Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi dermis dan
epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-
perubahan ini secara histologi tidak spesifik (Sularsito, 2010).
2.4.8 Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta tidak
menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang bersentuhan
dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris, pakaian
atau sandal yang merupakan penyebab alergi
3. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-
3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak – anak untuk menghilangkan
rasa gatal.
b. Sistemik
- Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
- Cetirizine tablet 1x10mg/hari
- Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin atau eritromisin) dengan
dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
- Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
2.4.9 Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada sabun bilas
dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang berisiko
terhadap paparan alergen
2.4.10 Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan dermatitis yang
disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia) (Vorvick,
2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik adalah pajanan alergen
yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang
terdapat di lingkungan penderita(Djuanda, 2005).
2.4.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang
berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit
sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar
atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
DERMATITIS KONTAK
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Identitas terdiri dari nama, jenis kelamin. Umur, agama, suku bangsa, pendidkan
pendapatan pekerjaan,nomor akses, alamat dan lain- lain.
Dermatitis kontak dapat terjadi pada semua orang di semua umur sering terjadi pada
remaja dan dewasa muda dapat terjadi pada pria dan wanita. Bila dibandingkan dengan
dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya
mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Dermatitis kontak iritan timbul pada
80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak alergik kira-kira
hanya 20%. Sedangkan insiden dermatitis kontak alergik terjadi pada 3-4% dari populasi
penduduk. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi namun dermatitis kontak alergik lebih
jarang dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul pada usia dewasa tapi dapat mengenai
segala usia. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dari pada laki-laki.
Bangsa kaukasian lebih sering terkena dari pada ras bangsa lain. Nampaknya banyak juga
timbul pada bangsa Afrika-Amerika namun lebih sulit dideteksi. Jenis pekerjaan merupakan hal
penting terhadap tingginya insiden dermatitis kontak.
3.1.2 Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang.
1. Keluhan Utama
Pada kasus dermatitis kontak biasanya klien mengeluh kulitnya terasa gatal serta
nyeri.Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan kesehatan adalah
nyeri pada lesi yang timbul.
2. Riwayat keluhan utama.
Provoking Inciden, yang menjadi faktor presipitasi dari keluhan utama. Pada beberapa
kasus dematitis kontak timbul Lesi kulit ( vesikel ),terasa panas pada kulit dan kulit akan
berwarna merah, edema yang diikuti oleh pengeluaran secret. Kembangkan pola PQRST pada
setiap keluhan klien .
a. Provocative/palliative.
- Apa penyebab keluhan,
Apakah sebelumnya klien melakukan kontak dengan bahan-bahan tertentu yang menyebabkan
kerusakan pada kulit.
- Apa yang membuat keluhan bertambah baik/ringan atau bertambah berat. Dengan
menjauhi sumber dermatitis kontak maka keluhan yang dirasakan akan berkurang.
b. Quality/quantity
- Bagaimana keluhan dirasakan, dilihat, didengar
Pada beberapa kasus dermatitis kontak biasanya klien akan merasakan gatal dan nyeri pada
daerah yang terkena bahan tertentu yang dapat menyebabkan keluhan.
- Sejauh mana sakit dirasakan
Rasa sakit yang dirasakan mulai dari tingkat ringan sampai berat. Tergantung dari lama
kontak zat dengan kulit, konsentrasi zat serta tingkat sensitifitas kulit.
c. Region/radiation
- Dimana letak sakit
Tergantung dari daerah yang kontak dengan penyebab .
- Area penyebarannya
Area penyebarannya misalnya kaki, luka pada tungkai, jari manis, tempat cedera, dibalik
perhiasan.
d. Severitty scale
- Apakah mempengaruhi aktifitas
Terganggunya aktifitas tergantung dari letak,tingkat keparahan penyakit.
- Seberapa jauh skala ringan/berat.
Tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya.
e. Timing
- Kapan mulai terjadi.
- Kapan sering terjadi.
- Apakah terjadinya mendadak atau perlahan-lahan
3. Riwayat Kesehatan masa Lalu
Seperti apakah klien pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya, apakah pernah menderita
alergi serta tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya selain itu perlu juga dikaji kebiasaan
klien.
4. Riwayat Kesehatan keluarga.
Apakah ada salah seorang anggota keluarganya yang mengalami penyakit yang sama, tapi
tidak pernah ditanggulangi dengan tim medis. Dermatitis pada sanak saudara khususnya pada
masa kanak-kanak dapat berarti penderita tersebut juga mudah menderita dermatitis atopik
2.2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada kulit, rambut dan kuku adalah inspeksi dan palpasi. Sistem
integument meliputi kulit, rambut, dan kuku. Sistem ini berfungsi memberikan proteksi eksternal
bagi tubuh, membantu dalam proses pengaturan suhu tubuh, sebagai sensor nyeri, dan indera
peraba.
1. Kulit
Keterampilan perawat dalam pengkajian fisik dan pemahamanya terhadap anatomi dan
fungsi kulit dapat menjamin bahwa setiap penyimpangan dari keadaan normal akan dapat
dikenali, dilaporkan, dan didokumentasikan. Pemeriksaan pada kulit adalah non-invasif. Lesi
pada kulit bisa saja hanya terjadi pada epidermis, tapi juga bisa hingga jaringan kulit yang lebih
dalam. Karakteristik kulit normal meliputi :
a. Warna
Warna kulit normal bervariasi antara orang yang satu dengan lainnya, dan berkisar dari
warna gading hingga cokelat gelap. Kulit bagian tubuh yang terbuka, khususnya di kawasan
yang beriklim panas dan banyak cahaya matahari, cenderung lebih berpigmen daripada bagian
tubuh lainnya. Efek vasodilatasi yang ditimbulkan oleh demam, sengatan matahari, dan inflamsi
akan menimbulkan bercak merah muda atau kemerahan pada kulit. Pucat merupakan keadaan
tidak adanya atau berkurangnya tonus, serta vaskularitas kulit yang normal dan paling jelas
terlihat pada konjungtiva. Warna kebiruan pada sianosis menunjukan hipoksia selular dan mudah
terlihat pada ekstermitas, dasar kuku, bibir, serta membrane mukosa. Ikterus, yaitu kulit yang
mengunung, berhubungan langsung dengan kenaikan kadar bilirubin serum dan sering kali
terlihat pada sclera, serta membrane mukosa.
b. Tekstur kulit
Tekstur kulit normalnya lembut dan kencang. Pajanan matahari, proses penuaan, dan perokok
berat akan membuat kulit sedikit lembut. Normalnya kulit adalah elastic dan dapat cepat kembali
apabila dilakukan pencubitan yang sering disebut dengan turgor kulit baik.
c. Suhu
Suhu kulit normalnya hangat, walaupun pada beberapa kondisi pada bagian perifer seperti
tangan dan telapak kaki akan teraba dingin akibat suatu kondisi vasokontriksi.
d. Kelembapan
Secara normal kulit akan teraba kering apabila disentuh. Pada beberapa kondisi seperti
adanya peningkatan aktivitas dan pada peningkatan kecemasan, kelembapan akan meningkat.
e. Bau busuk
Kulit normalnya bebas dari segala bau yang tidak mengenakan. Bau yang tajam secara
normal dapat ditemukan pada peningkatan produksi keringat terutama pada area aksila dan lipat
paha.
Beberapa jenis lesi pada kulit adalah sebagai berikut :
a. Lesi primer kulit.
Jenis Lesi Keterangan Gambar
Bula Lesi yang berisi cairan, diameter >2cm
(disebut juga blister).
Disebabkan oleh keracunan getah
pohon ek (jenis pohon yang batangnya
keras), dermatitis lvy (sejenis tanaman
menjalar), bullous pemfigoid bulosa,
luka bakar derajat 2.
Komedo Disebabkan karena tertutupnya duktus
pilosebaceous, eksfoliatif, terbentuk
dari sebum dan keratin.
Komedo hitam komedo terbuka ,
komedo putih komedo tertutup.
Kista Massa semi padat atau kapsul yang
berisi cairan yang berada dalam kulit
(misalnya jerawat).
Macula Datar, berpigmen, bentuknya
melingkar, luasnya < 1cm (misalnya,
bekas rubella).
Nodul Lesi berupa tonjolan, lebih tinggi dari
jaringan sekitar dan lebih dalam dari
pada papula. Meluas hingga lapisan
dermal, berdiameter 0,5 – 2cm.
Papula Inflamasi dengan lesi naik hingga 0,5
cm. Warnanya bisa sama atau berbeda
dengan warna kulit.
Tumor Lesi padat, lebih tinggi dari kulit
sekitar, meluas hingga jaringan dermal
dan subkutan.
Vesikel Permukaan kulit naik, berbatas jelas,
terisi cairan, diameternya < 0,5cm.
b. Lesi sekunder kulit
Jenis Lesi Keterangan Gambar
Atropi Penipisan kulit pada bagian tubuh
tertentu (misalnya proses penuaan).
Krusta Sebum yang mongering, eksudat
serosa, purulen, atau sanguineous di
bawah kulit yang mengalami erosi
sehingga muncul kepermukaan kulit
sebagai vesikel, bula atau pustula.
Erosi Lesi berbatas tidak tegas, kehilangan
lapisan jaringan epidermis
superficial.
Ekskoriasi/Abrasi Garukan / goresan linear, dengan
daerah sekitarnya mengalami abrasi.
Biasanya dilakukan oleh diri sendiri.
Likenifikasi Lapisan kulit yang menebal, kulit
yang tampak sering digaruk
(misalnya, atopic dermatitis kronis).
Fisura Belahan pada kulit yang bertepi rata,
dapat meluas ke lapisan dermal.
Skar Jaringan ikat yang disebabkan oleh
trauma, inflamasi dalam, atau
pembedahan. Berwarna merah jika
baru terjadi, jika sudah lama akan
tampak berwarna lebih muda dan
datar.
Ulkus Kerusakan pada lapisan epidermal
dan dermal, dapat meluas ke
jaringan subkutan. Biasanya sembuh
dengan menyisakan skar.
1. Inspeksi
- Lihat warna kulit klien bahwa sinar matahari. Normalnya kulit berwarna cerah merah
muda hingga kecokelatan ataupun hitam. Kulit yang tidak terkena sinar matahari akan
berwarna lebih terang, dan tampak pucat pada orang yang tidak pernah / jarang terpapar
sinar matahari.
- Lihat adanya lesi pada kulit (primer ataupun sekunder).
- Lihat apakah kulit klien tampak berminyak.
2. Palpasi
- Raba permukaan kulit, rasakan kelembapannya. Normalnya kulit teraba lembap, tetapi
tidak basah.
- Rasakan suhu pada permukaan tubuh, normalnya tubuh akan teraba hangat.
- Cubit sedikit pada bagian dada, atau lengan bagian dalam. Turgor kulit akan kembali
dalam waktu < 2 detik (nilai normal).
- Untuk mengetahui adanya pitting edema, tekan perlahan pada daerah pretibialis, dorsum
pedis, atau sacrum. Jika ditemukan pitting edema, pada area yang ditekan akan tampak
bekas jari pemeriksa dan akan kembali dengan lambat (> 2 detik).
2. Rambut
a. Inspeksi
Perhatikan penyebaran rambut di seluruh tubuh, penyebaran rambut akan tampak lebih
banyak pada pria dibandingkan wanita. Lihat kebersihannya, catat adanya tinea kapitis, tinea
korporis, kutu, dan lain-lain. Lihat warnanya, warna rambut berbeda-beda tergantung suku
bangsanya.
b. Palpasi
Rasakan apakah rambut berminyak. Tarik sedikit rambut, catat jika ada kerontokan rambut
atau alopesia (rontok berlebihan).
3. Kuku
Kondisi kuku mencerminkan status kesehatan umum, status nutrisi, pekerjaan, dan
tingkat perawatan diri seseorang, bahkan status psikologis juga dapat diungkapkan dari adanya
bukti – bukti gigitan kuku. Sebelum mengkaji, kondisi kuku mencerminkan status kesehatan
umum, status nutrisi, pekerjaan, dan tingkat perawatan diri seseorang bahkan status psikologis
juga dapat diungkapkan dari adanya bukti – bukti gigitan kuku. Sebelum mengkaji kuku, perawat
mengumpulkan riwayat singkat. Bagian kuku yang paling dapat dilihat adalah plat kuku, lapisan
transparan sel epitel yang menutupi bantalan kuku. Vaskularitas bantalan kuku member warna
lapisan di bawah kuku. Semilunar, area putih dibagian dasar bantalan kuku disebut lunula, yaitu
merupakan dari nama plat kuku terbentuk.
a. Inspeksi
- Perhatikan bentuk kuku dan warna dasar kuku. Normalnya dasar kuku berwarna merah
muda cerah karena mengandung banyak pembuluh darah.
- Sudut normal antara kuku dengan pangkalnya adalah 160 derajat.
- Perhatikan sekitar kuku, apakah ada lesi atau perlukaan.
b. Palpasi
Tekan ujung jari untuk memeriksa Capillary Refil Time (CRT) yaitu waktu pengisian balik
kapiler. Normalnya akan kembali dalam waktu < 2 detik.
Beberapa kelainan pada kuku :
Jenis Keterangan Gambar
Jari gada
(clubbing finger)
Terjadi karena kondisi hipoksia
dalam waktu yang lama.
Sudut antara kuku dengan
dasarnya > 180 derajat.
Koilonika
(koilonychia)
Bentuk kuku seperti sendok,
disebabkan karena anemia
dalam jangka waktu yang lama.
Paronikia
(paronychia)
Ditandai dengan adanya edema
pada dasar kuku. Diakibatkan
karena trauma atau infeksi yang
bersifat local.
Garis Beau Biasa terjadi karena penyakit
infeksi yang kronis. Ditandai
dengan garis transversal pada
permukaan kuku.
Onikomikosis Terjadi karena adanya infeksi
jamur pada kuku.
Onycholysis Proses terlepasnya kuku karena
onikomikosis yang tidak
ditangani.
4. Keadaan Kepala
a. Inspeksi
tekstur rambut klien halus dan jarang, kulit kepala nampak kotor.
b. Palpasi
Periksa apakah ada pembengkakan/ benjolan nyeri tekan atau adanya massa.
8. Keadaan mata
a. Inspeksi
· Palpebrae : tidak edema, tidak radang
· Sclera : Tidak ictertus
· Conjuctiva : Tidak terjadi peradangan
· Pupil : Isokor
b. Palpasi
Tidak ada nyeri tekan
Tekanan Intra Okuler ( TIO ) tidak ada
9. Keadaan hidung.
a. inspeksi
- simetris kiri dan kanan
- Tidak ada pembengkakan dan sekresi
- Tidak ada kemerahan pada selaput lendir
b. Palpasi
- Tidak ada nyeri tekan
- Tidak ada benjolan/tumor
10. Keadaan telinga
· inspeksi
- telinga bagian luar simetris
- tidak ada serumen/cairan, nanah
3.2 Pemeriksaan Diagnostik
a. Biopsi kulit.
b. Uji temple.
c. Pemeriksaan dengan menggunakan pencahayaan khusus.
d. Uji kultur dan sensitivitas.
3.3 Pola Kegiatan Sehari-hari
3.3.1 Nutrisi
Yang perlu dikaji adalah bagaimana kebiasaan klien dalam hal pola makan, frekwensi
maka/hari, nafsu makan, makanan pantang, makanan yang disukai banyak minuman dalam
sehari serta apakah ada perubahan.
3.3.2 Eliminasi
Pada eliminasi yang perlu dikaji adalah Kebiasaan BAK dan BAB seperti
frekuensi,warna dan konsistensi baik sebelum dan sesudah sakit
3.3.3 Aktivitas
Pada penderita penyakit dermatitis kontak biasanya akan mengalami gangguan dalam
aktifitas karena adanya rasa gatal dan apabila mengalami infeksi maka akan mengalami
gangguan dalam pemenuhan aktifitas sehari-hari.
3.3.4 Istirahat
Klien biasanya mengeluh susah tidur dimalam hari karena gatal serta adanya nyeri.
Adanya gangguan pola tidur akibat gelisah, cemas.
3.3.5 Pola Interaksi social
Secara umum klien yang mengalami dermatitis kontak biasanya pola interaksi sosialnya
terganggu biasanya akan merasa malu dengan penyakitnya.
3.3.6 Keadaan Psikologis
Biasanya klien mengalami perubahan dalam berinteraksi dengan orang lain dan biasanya
klien lebih suka menyendiri dan sering cemas dengan penyakit yang diderita. Pada keadaaan
psikologis ada beberapa hal yang perlu dikaji seperti bagaimana persepsi klien terhadap penyakit
yang diderita sekarang, bagaimana harapan klien terhadap keadaan kesehatannyaserta bagaimana
pola interaksi dengan tenaga kesehatan & lingkungan.
3.3.7 Kegiatan Keagamaan
Biasanya klien beranggapan bahwa penyakit yang dideritanya merupakan cobaan
untuknya dan pasti terdapat hikmah untuknya.yang perlu dikaji pada kegiatan keagamaan seperti
klien menganut agama apa selama sakit klien sering berdoa.
Analisa data
No Symptom Etiology Problem
1 1. Ds : pasien
mengatakan
merasakan nyeri
dan gatal pada
daerah wajah dan
leher.
Pengkajian nyeri
berdasarkan PQRST :
- P : pasien
mengatakan terasa
gatal-gatal dan
nyeri sesaat
setelah
menggunakan
krim pemutih
yang dibeli di
Stress emosional, perubahan
suhu/kelembaban udara, zat
kimia, infeksi bakteri/jamur,
alergi
Dermatitis
Pelepasan histamine
Gatal dan ketidaknyamanan
Peradangan atau lesi
Nyeri
Nyeri akut
pasar.
- Q : pasien
mengatakan nyeri
yang dirasakan
seperti adanya
rasa terbakar dan
panas.
- R : pasien
mengatakan nyeri
yang dirasakan
pada daerah wajah
dan leher.
- S : pasien
mengatakan nyeri
yang dirasakan
mengganggu
aktivitasnya
karena juga
disertai dengan
pusing kepala.
- T : pasien
mengatakan nyeri
yang dirasakan
tiba-tiba muncul
setelah
menggunakan
krim yang dibeli
dari pasar.
2. Do : tampak
kemerahan pada
wajah dan leher
pasien.
- TTV :
TD : 110/70
N : 72x/menit
S : 37°C
RR : 18x/menit
2 1. Ds : pasien
mengeluh gatal
dan keinginan
untuk menggaruk
daerah yang gatal
tersebut akibatnya
terjadi kemerahan
dan penebalan
pada daerah wajah
dan leher.
2. Do : tampak
kemerahan dan
penebalan pada
daerah wajah dan
leher.
Stress emosional, perubahan
suhu/kelembaban udara, zat
kimia, infeksi bakteri/jamur,
alergi
Dermatitis
Pelepasan histamine
Gatal dan ketidaknyamana
Timbul keinginan untuk
menggaruk
Terjadi kemerahan dan
penebalan pada area tersebut
Kerusakan integritas kulit
Kerusakan integritas kulit
3 1. Ds : pasien
mengatakan
karena adanya
gatal-gatal
pada daerah
wajah dan
leher, maka
Stress emosional, perubahan
suhu/kelembaban udara, zat
kimia, infeksi bakteri/jamur,
alergi
Dermatitis
Resiko infeksi
wajah dan
leher pasien
menjadi lecet.
2. Do : tampak
beberapa luka
lecet atau lesi
pada daerah
wajah akibat
garukan yang
dilakukan oleh
pasian.
Pelepasan histamine
Gatal dan ketidaknyamana
Timbul keinginan untuk
menggaruk
Mengiritasi kulit
Peradangan kulit atau lesi
Resiko infeksi
Rumusan Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan adanya lesi pada kulit ditandai dengan pasien
mengatakan merasakan nyeri dan gatal pada daerah wajah dan leher. Pengkajian nyeri
berdasarkan PQRST : P : pasien mengatakan terasa gatal-gatal dan nyeri sesaat setelah
menggunakan krim pemutih yang dibeli di pasar. Q : pasien mengatakan nyeri yang
dirasakan seperti adanya rasa terbakar dan panas. R : pasien mengatakan nyeri yang
dirasakan pada daerah wajah dan leher. S : pasien mengatakan nyeri yang dirasakan
mengganggu aktivitasnya karena juga disertai dengan pusing kepala. T : pasien
mengatakan nyeri yang dirasakan tiba-tiba muncul setelah menggunakan krim yang dibeli
dari pasar. Dan tampak kemerahan pada wajah dan leher pasien, TTV : TD : 110/70 N :
72x/menit S : 37°C RR : 18x/menit
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal ditandai
dengan pasien mengeluh gatal dan keinginan untuk menggaruk daerah yang gatal tersebut
akibatnya terjadi kemerahan dan penebalan pada daerah wajah dan leher, tampak
kemerahan dan penebalan pada daerah wajah dan leher.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port de entree
pada lesi pasien mengatakan karena adanya gatal-gatal pada daerah wajah dan leher,
maka wajah dan leher pasien menjadi lecet, tampak beberapa luka lecet atau lesi pada
daerah wajah akibat garukan yang dilakukan oleh pasian.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, adanya port de entree
pada lesi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan adanya lesi pada kulit
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan reaksi inflamasi lokal.
3.3 Intervensi keperawatan
No Tujuan dan Kriteria hasil intervensi
NOC :
1. Immune Status
2. Risk control
Kriteria Hasil :
1. Klien bebas dari tanda dan gejala
infeksi
2. Menunjukkan kemampuan untuk
mencegah timbulnya infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas
normal
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC :
1. Infection Control (Kontrol infeksi)
a. Bersihkan lingkungan setelah
dipakai pasien lain
b. Pertahankan teknik isolasi
c. Batasi pengunjung bila perlu
d. Instruksikan pada pengunjung
untuk mencuci tangan saat
berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien
e. Gunakan sabun antimikrobia
untuk cuci tangan
f. Cuci tangan setiap sebelum dan
sesudah tindakan kperawtan
g. Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat pelindung
h. Pertahankan lingkungan aseptik
selama pemasangan alat
i. Ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
j. Gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung
kencing
k. Tingktkan intake nutrisi
l. Berikan terapi antibiotik bila
perlu
2. Infection Protection (proteksi
terhadap infeksi)
a. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal
b. Monitor hitung granulosit, WBC
c. Monitor kerentanan terhadap infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
f. Partahankan teknik aspesis pada
pasien yang beresiko
g. Pertahankan teknik isolasi k/p
h. Berikan perawatan kuliat pada area
epidema
i. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
j. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
k. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
l. Dorong masukan cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
p. Ajarkan cara menghindari infeksi
q. Laporkan kecurigaan infeksi
r. Laporkan kultur positif
2 NOC :
1. Pain Level,
2. Pain control,
3. Comfort level
Kriteria Hasil :
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
NIC :
1. Pain Management
a. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
b. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
c. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
d. Kaji kultur yang mempengaruhi
respon nyeri
e. Evaluasi pengalaman nyeri masa
lampau
f. Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri masa
lampau
g. Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
h. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
i. Kurangi faktor presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan
inter personal)
k. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
m. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
n. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
o. Tingkatkan istirahat
p. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
q. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
2. Analgesic Administration
a. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
e. Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya nyeri
f. Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
g. Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
h. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
i. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
j. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan gejala (efek samping)
3 NOC :
1. Tissue Integrity : Skin and
Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
1. Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, pigmentasi)
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik
4. Menunjukkan pemahaman dalam
proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya sedera
berulang
5. Mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit
dan perawatan alami
NIC :
1. Pressure Management
a. Anjurkan pasien untuk
menggunakan pakaian yang
longgar
b. Hindari kerutan padaa tempat
tidur
c. Jaga kebersihan kulit agar tetap
bersih dan kering
d. Mobilisasi pasien (ubah posisi
pasien) setiap dua jam sekali
e. Monitor kulit akan adanya
kemerahan
f. Oleskan lotion atau minyak/baby
oil pada derah yang tertekan
g. Monitor aktivitas dan mobilisasi
pasien
h. Monitor status nutrisi pasien
i. Memandikan pasien dengan sabun
dan air hangat
3.4 Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan merupakan langkah keempat dari proses keperawatan dan merupaka wujud
nyata dari rencana keperawatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan pasien akan keperawatan
dengan melaksanakan kegiatan – kegiatan sesuai dengan alternatif tindakan yang telah
direncanakan. Pelaksanaan keperawatan sebagai data untuk rencana keperawatan.
3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam keperawatan untuk menilai pencapaian
tujuan. Berdasarkan analisis, jika tujuan belum tercapai maka dilakukan perencanaan selanjutnya
(P) sebagai berikut :
a. Rencana dilanjutkan yang artinya diagnosa tetap berlaku, tujuan atau intervensi masih
memadai.
b. Direvisi yang artinya diagnosa tetap berlaku, tujuan atau intervensi perlu direvisi.
c. Diagnosa keperawatan atau kemungkinan menjadi aktual atau bahkan disingkirkan
(untuk diagnosa kemungkinan). Jika diagnosa menjadi aktual maka dibutuhkan
perencanaan baru sehinggadalam planning (P) diuraikan perencanaan yang dimaksud.
d. Tujuan tercapai maka perencanaan selanjutnya tidak perludilanjutkan, tidak perlu direvisi
dan tidak perlu perencanaan baru.
e. Rencana semula dipakai lagi, jika dalam analisis ditentukan bahwa masalah atau diagnosa
yang telah teratasi terjadi kembali
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut
maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik,
sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya,
dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi
terhadap suatu alergen
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena
hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif).
4.2 Saran
Penulis menyadari dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan baik cara penulisan ataupun penyusunanya. Oleh karena itu kami, mohon maaf
dan sangat mengharapkan masukan yang sifatnya membangun demi untuk
kesempurnaan makalah ini.
Semoga dengan disusunnya makalah ini, semua mahasiswa dan mahasiswi
khususnya Stikes Yarsi Mataram dapat memahami tentang konsep dasar penyakit pada
pasien dengan dermatitis kontak dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan pada
dermatitis kontak.
DAFTAR PUSTAKA
. Brunner and Suddarth’s. 2000. Textbook of Medical-Surgical Nursing. Penerbit : LWW, Philadelphia
Damaiyanti novita. 2014. Makalah pemeriksaan fisik sistem integument.https://www.scribd.com/doc/248195203/Makalah-Pemeriksaan-Fisik-Sistem-Integumen-FREE (diakses pada hari Senin tanggal 9 November 2015 pukul 14.00 Wita)
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
Muttaqin arif. 2011. Asuhan keperawatan gangguan system integument. Jakarta : salemba
medika
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 11 November 2012.
Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
ke 5. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta : FKUI.
Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A, Mochtar H, Aisah
S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2008.p.130-133.
Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak. Yogyakarta :
Fakultas Farmasi UGM
Widodo Danticute. 2011. Woc Dermatitis. https://www.scribd.com/doc/74328954/Woc-Dermatitis
(diakses pada hari Senin tanggal 9 November 2015 pukul 14.00 Wita)
Widyawibowo Fiska Praktika. 2013. Referat Dermatitis Kontak Alergi. https://www.scribd.com/doc/120710687/Referat-Dermatitis-Kontak-Alergi ((diakses pada hari Senin tanggal 9 November 2015 pukul 14.00 Wita)