makala h
DESCRIPTION
fiuhTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prostat adalah kelenjar bagian dari sistem reproduksi pria yang berukuran sebesar kacang kenari. Prostat tersusun atas dua bagian membentuk kerucut dan luarnya dilapisi suatu jaringan. Selain kelenjar, prostat juga tersusun atas jaringan otot sebanyak 30-50%. Prostat terletak di depan rektum dan tepat di bawah kandung kemih.Kelenjar prostat paling sering mengalami pembesaran. Pembesaran kelenjar prostat dapat bersifat jinak atau ganas. Kasus Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang dikenal sebagai Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit tersering kedua setelah batu saluran kemih di bagian klinik urologi Indonesia.
Hiperplasia prostat merupakan pembesaran kelenjar prostat non neoplastik. Hiperplasia prostat sering ditemukan pada kelompok laki-laki setelah berusia 50 tahun akibat proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara berlebihan. Hiperplasia terjadi pada jaringan kelenjar prostat periuretra sedangkan jaringan prostat asli terdesak ke perifer dan membentuk kapsul bedah.
Hiperplasia prostat hampir merupakan fenomena universal pada laki-laki usia lanjut. Frekuensi BPH meningkat seiring dengan pertambahan usia,dan merupakan penyebab morbiditas utama laki-laki usia lanjut.(Hardjowidjoto S. 1999)
Kejadian BPH pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50 %, pada usia 80 tahun angka kejadiannya adalah 60 %. Tidak lancarnya dalam pengeluaran urin, kencing terasa panas, kencing menetes dan lama-lama bisa menyebabkan tidak bisa kencing (Anuria). Tentu hal ini akan menimbulkan kecemasan kepada kaum pria (Soeparman , 1990)
Berdasarkan uraian di atas maka kami mengambil masalah ini sebagai makalah yang berjudul “Hiperplasia Prostat”.
1.2 Rumusan MasalahBagaimana teori konsep dasar Asuhan Keperawatan Hiperplasia Prostat?
1.3 Tujuan1) Mengetahui teori, kosep dasar Asuhan Keperawatan Hiperplasia
Prostat2) Memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sistem Perkemihan II.
Page 1
BAB IITINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Hiperplasia noduler benigna merupakan pembesaran kelanjar prostat yang non – neoplastik, yang sering terjadi setelah umue 50 tahun. Sekitar 75% pria berumur 70 – 80 tahun terkena dan timbul berbagai gejala obstruksi traktus urinarius. Apabila hebat dan tidak diobati, hiperplasia noduler benigna dapat menyebabkan berulangnya infeksi traktus urinarius dan akhirnya akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal.(Underwood, J.C.E halaman: 610)
Kelaianan ini sangat sering dijumpai dan ditandai oleh nodul besar – besar yang letaknya agak jauh satu dengan yang lainnya dalam prostat. Sebagai istilah tradisi lama, disebut hipertrofi prostat jinak atau disingkat BPH (benigh prostatic hypertropy), walaupun istilah ini sebetulnya salah. Karena kelainan sebenarnya ialah hiperplasi, bukan hipertrofi. Pada tiap kasus kualifikasi jinak berlebih – lebihan. (Robbins, Stanley L. Halaman : 361)
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994).
Hyperplasia prostat adalah Pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doengoes, 2000).
2.2 Anatomi Fisiologi
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
1) Jaringan Kelenjar 50 - 70 %2) JaringanStroma (penyangga)3) Kapsul/Musculer
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi
Page 2
(penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah Peradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.
2.3EtiologiHiperplasia noduler benigna diperkirakan mempunyai hubungan dengan
keseimbangan hormonal, walaupun mekanisme yang tepat belum diketahui secara jelas. Dengan meningkatnya umur seseorang, terjadi penurunan kadar hormon androgen, disertai naiknya kadar estrogen secara relatif. Estrogen juga meningkatkan sensitivitas jaringan prostat terhadap androgen. Kelenjar prostat bagian peri – uretra atau sentral yang responsif terhadap hormon estrogen akan mengalami hiperplasia. (Underwood, J.C.E halaman: 610)
Sejak dulu diyakini BPH terjadi hanya pada lelaki berusia lanjut dan tak mungkin terjadi pada lelaki yang testisnya dibuang sebelum pubertas. Melalui penelitian, BPH dikaitkan dengan perubahan komposisi hormon testosteron dan estrogen di masa tua:
1. Berkurangnya jumlah tesosteron yang aktif 2. Peningkatan hormon estrogen memengaruhi pertumbuhan sel kelenjar
prostat 3. Produksi dihidrotestosteron pada lelaki usia lanjut yang memacu
pertumbuhan sel.Penyebab kelainan ini tidak diketahui dengan jelas, tetapi kini diduga
akibat pengaruh hormon antara lain androgen dan estrogen. Dihidrotestosteron, sebuah metabolit biologi aktif testosteron diduga merupakan mediator pokok hiperplasia. Diduga bahwa estrogen berakibat jaringan prostat peka terhadap dampak penggalakan pertumbuhan oleh dihidrostestosteron. Keadaan ini akan menerangkan sinergisme antara estrogen dan androgen yang diperlukan pada hewan percobaan. Pada manusia, kenaikan estrogen terjadi pada proses penuaan yang mengakibatkan dampak nyata pengaruh androgen pada prostat. Ini terjadi pula walaupun pengeluaran testosteron berkurang.(Robbins, Stanley L. Halaman : 361)
Page 3
2.4 Klasifikasi Hiperplasia Prostat1) Stadium I : keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2
cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2) Stadium II : keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3) Stadium III : gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4) Stadium IV : inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis. (Sumber : Sjamsuhidjat 2005)
2.5 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor
ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke
seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada
kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke
ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.
Page 4
Hiperplasi prostat
↓
Penyempitan lumen uretra posterior
↓
Tekanan intravesikal ↑
Buli-buli Ginjal dan Ureter
o Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
o Trabekulasi - Hidroureter
o Selula - Hidronefrosis
o Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis
- Gagal ginjal
Pada hiperplasia terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.(Doengoes, 2000)
Page 5
2.6 Pathway
Page 6
2.7 Manifestasi KlinisGejala klinik hiperplasia nodular yang penting ialah adanya
kecenderungan terjadi obstruksi uretra karena desakan prostat yang membesar. Meskipun pada umumnya begitu, tidak lebih dari 10% pria dengan keluhan ini memerlukan tindakan pembedahan untuk mengurangi obstruksinya. Gejala dini termasuk kesukaran mengawalai, mempertahankan dan menghentikan pengeluaran urine. Kadang – kadang didapati pula nokturia yang sering, mungkin disebabkan karena menonjolnya dasar uretra yang berakibat retensi urin residu yang banyak dalam kandung kencing setelah miksi. Hidronefrosis dapat terjadi, begitu juga radang yang sering berpasangan dengan obstruksi, diperkirakan penderita dengan hiperplasia nodular prostat memiliki kecenderungan besar untuk timbul kanker, walaupun pendapat kini tidak membenarkan bahwa hiperplasia nodular prostat sebagai suatu lesi praganas. (Robbins, Stanley L. Halaman : 362)
Beberapa keluhan yang lazim ditemui dalam praktek adalah:
1. Aliran kencing yang lemah, terputus, dan terkesan meragukan 2. Sensasi urgensi (ingin segera kencing) atau kencing menetes 3. Sering kencing terutama malam hari 4. Perlu mengejan untuk bisa kencing
Keparahan keluhan tidak tergantung pada besarnya pembesaran kelenjar. Kadang seorang tidak merasa adanya hambatan pada saluran kencing, tapi tiba-tiba tidak bisa kencing sama sekali. Keadaan ini disebut retensi urin akut. Lelaki dengan BPH harus berhati-hati mengonsumsi obat flu atau alergi yang dijual bebas, karena mengandung zat dekongestan yang berisiko memicu retensi urin. Retensi urin dapat mengarah ke permasalahan serius seperti infeksi saluran kencing, kerusakan kandung kemih atau ginjal, batu ginjal, serta inkontinensia (tidak mampu mengontrol kencing).
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala
obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk
berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-
putus.Gejalanya ialah:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
Page 7
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas
leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi
belum dirasakan.
Gejala Iritasi yaitu :
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi
pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
(Sumber Reksoprodjo S.1995 Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah)
2.8 Komplikasi
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis. Perdarahan,
Inkontinesia, Batu VU, Retensi urine, Impotensi, Epididimis, Hemoroid, hernia,
prolaps rektum akibat mengedan, Infeksi saluran kemih disebabkan kateterisasi,
Hidronefrosi. (sumber: Sjamsuhidajat, 2005 ).
Page 8
2.9 Pencegahan
Beberapa upaya yang bisa ditempuh diantaranya mengkonsumsi makanan rendah
lemak. Selain itu ada beberapa jenis makanan yang perlu ditingkatkan untuk
mencegah datangnya penyakit prostate khususnya kanker yaitu Soy Iso Flavones,
lycopene, selenium, vitamin E, teh hijau, anti androgen dan vitamin D.
2.10 Pemeriksaan Diagnostik
pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan hyperplasia
adalah :
a. Laboratorium
1). Sedimen Urin: Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi saluran kemih.
2). Kultur Urin : Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pencitraan
1). Foto polos abdomen : Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau
kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi
urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2). IVP (Intra Vena Pielografi) : Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau
ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar
prostat, penyakit pada buli-buli.
3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal) : Untuk mengetahui,
pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan
patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4). Systocopy: Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
(Sumber:Doengoes 2000)
Page 9
2.11 PenatalaksanaanTindakan Konservatif yang dilakukan :
1. Mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar akibat efek pemberian antibiotik.
2. Memperkuat tonus otot detrusor dengan merendam daerah perineal, gluetal, inguinal denagn air hangat yang mengandung anti septik.
3. Anjurkan pasien untuk mengurangi intake protein, alkohol, hawa dingin, karena akan mengakibatkan hiperemia prostat.
Tindakan Pembedahan :
Pembedahan Terbuka /prostatektomi :
1. Prostatektomi suprapubic transvesikularis, pengangkatan kelenjar prostat dengan jalan membuka vesuka urinaria dan prostat dinukleasi dari dalam.
2. Prostatektomi retropubic, pengangkatan kelenjar prostat dengan jalan membuka dinding perut bagian bawah tanpa membuka kandung kemih.
3. Prostatektomi perinialis yaitu mengangkat kelenjar prostat dengan jalan membuka perinium
Dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari
gambaran klinis
a. Stadium I : Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa
seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II : Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III : Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1
jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat
dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
Page 10
d. Stadium IV : Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. (Sumber :
Sjamsuhidjat 2005)
Page 11
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
HIPERPLASIA PROSTAT
A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.
Menurut Doenges (2000) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai
berikut :
a. Sirkulasi : Pada kasus Hiperplasia sering dijumpai adanya gangguan
sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan
tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal.
Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus
postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan
b. Integritas Ego :Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu
integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi
pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau
mental, perubahan perilaku.
c. Eliminasi :Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali
dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam
memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih
inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif
serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase
kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna
urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah,
perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh,
gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut
Page 12
terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada
postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
d. Makanan dan cairan : Terganggunya sistem pemasukan makan dan
cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi),
maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala:
anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu
dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun
nutrisinya.
e. Nyeri dan kenyamanan : Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa
nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri
merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi
biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat,
nyeri punggung bawah.
f. Keselamatan/ keamanan : Pada kasus operasi terutama pada kasus
penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat
karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan
akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji
adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam
(pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan
dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada
saluran perkemihannya.
g. Seksualitas : Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi
terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada
kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan
intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau
nyeri tekan pada prostat.
h. Laboratorium : Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien
preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara
lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat
serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji
Page 13
kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan
kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urin b.d pembesaran prostat
2. Nyeri b.d distensi kandung kemih
3. Kekurangan volume cairan b.d pasca obstruksi diuresis dari drainase cepat
kandung Kemih yang terlalu distensi secara kronis
C. Intervensi Keperawatan
DX 1
Rencana tindakan
1.Dorong pasien untuk berkemih taip 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
2.Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
3.Perkusi/palpasi area suprapubik
4.Berikan obat sesuai indikasi:antiposmodik,contoh,oksibutinin klorida (ditropan)
Tujuan
1. Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Mengevaluasi obstuksi dan pilihan intervensi
3. Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik
4.Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter
DX 2
Rencana tindakan
1.Kaji nyeri,perhatikan lokasi,intensitas ( skala 0-10 ) lamanya
2.Lakukan masase prostat
3.Berikan obat sesuai indikasi:Narkotik,contoh eperidin (demerol)
Tujuan
1.Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan
intervensi
2.Membantu dalam evakuasi duktus kelenjar untuk menghilangkan
kongesti/imflamasi
Page 14
3.Untuk menghilangkan nyeri berat,memberikan relaksasi mental dan fisik
DX 3
Rencana tindakan
1.Awasi keluaran dengan hati-hati,tiap jam bila diindikasikan.perhatikan keluaran
100-200 ml/jam
2.Awasi elektrolit,khususnya natrium
3.Berikan cairan IV (gram faal hipertonik ) sesuai kebutuhan
Tujuan
1.Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan.karena
ketidak cukupan jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal
2.Bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraselular,natrium dapat
mengikuti perpindahan,menyebabkan hiponatremia
3.Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/memperbaiki
hipovolemia
D. Evaluasi
1. Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih.
2. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan tampak rileks
3. Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil,nadi
perifer teraba,pengisian kapiler baik,dan membran mukosa lembab
(sumber:Rencana asuhan keperawatan Marilynn Doengoes 2000)
Page 15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Walaupun Benigna Prostat Hiperplasia selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:
1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung
kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia :
1. Aliran kencing yang lemah, terputus, dan terkesan meragukan 2. Sensasi urgensi (ingin segera kencing) atau kencing menetes 3. Sering kencing terutama malam hari 4. Perlu mengejan untuk bisa kencing
Anemia Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.
4.1 Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan yaitu :Mengingat dalam setiaap permasalahan kesehatan yang menyangkut saluran kemih,pastinya melibatkan ginjal oleh karenanya hal-hal yang dapat kita lakukan sebagai wujud pencegahan atau menjaga kesehatan diantaranya perbanyaklah mengkonsumsi air mineral,minimal 8 gelas perhari atau setara dengan 2 liter air untuk melancarkan pencernaan dan kinerja fungsi ginjal.
Page 16
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & suddart1997. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Vol
2.E/8.penerbit buku Kedokteran EGC
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Robbins, Stanley L. Buku Ajar Patologi II (Basic Pathology)/ Stanley L, Robbins,
Vinay Kumar ; alih bahasa, Staf Pengajar Laboratorium Patologi Anatomik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. – Jakarta : EGC, 1995.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Underwood, J.C.E. Patologi Umum Sistematik.Vol.2/ J.C.E. Underwood ; Editor
Edisi Bahasa Indonesia, Sarjadi – Ed.2 – Jakarta : EGC, 1999.
Page 17