makala h
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapananggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik.
Di sini yang diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan sistem sastra kaum perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
Hal tersebut dapat kita petik melalui nilai-nilai yang disampaikan oleh
pengarang. Dalam sebuah karya sastra, pengarang seringkali mengekspresikan
berbagai fenomena kehidupan. Melalui karya sastra, pengarang dapat
mengemukakan pandangan-pandangannya tentang suatu hal dan menyampaikan
berbagai nilai kehidupan, seperti nilai moral, nilai budaya, dan nilai sosial.
Berikut nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen "Sandal Jepit Merah"
Karya S.Rais:
A. Nilai Moral
Dalam cerpen tersebut dikisahkan tentang seorang perempuan tua yang
memiliki masa lalu yang sangat menyedihkan. Awalnya, perempuan itu hidup
bahagia. Akan tetapi, setelah kematian anak semata wayangnya, hidupnya
berubah menjadi sebuah kesedihan yang berkepanjangan. Akan tetapi, perempuan
itu tidak pernah putus asa. Dia terus berjuang untuk mempertahankan hidupnya.
Bahkan, perempuan tersebut tetap tegar dengan pendiriannya saat dirinya hampir
terjerumus ke dalam lembah hitam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
"Berkali-kali majikannya, seorang bandar narkoba, menawarinya untuk
bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna
susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak
tertarik sedikit pun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat
oleh perempuan-perempuan cantik yang sering berkumpul di rumah majikannya
itu.
Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan memaksanya
untuk mengikuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tunasusila. Ia
bertahan pada pendiriannya dan pergi meninggalkan istana penuh dosa itu."
Dari kutipan tersebut, ada sebuah nilai moral yang hendak disampaikan
oleh pengarang. Pengarang hendak mengemukakan bahwa meskipun kita didera
kesulitan hidup, kita tidak boleh terjebak oleh nafsu dunia. Kita harus berpegang
teguh pada pendirian kita dan pada ajaran agama.
B. Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang bertolak dari perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Nilai
budaya tersebut dapat mencakup berbagai masalah, di antaranya kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.
Dalam cerpen "Sandal Jepit Merah" tersebut, masyarakat yang
digambarkan adalah sekelompok orang yang tinggal di kawasan pinggiran kota.
Mereka tergolong ke dalam strata sosial menengah ke bawah. Hal tersebut dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini.
"Dengan berbekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat mampu
membiayai hidupnya dan menyewa sepetak kamar di pinggiran kota.
Kebahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat
walaupun saat itu usianya baru enam belas."
C. Nilai Sosial
Dalam cerpen tersebut terdapat beberapa nilai sosial yang dikemukakan
oleh pengarang. Di antaranya adalah mengenai sulitnya menjalani kehidupan
sebagai seseorang yang miskin. Hal tersebut dapat diamati dalam kutipan berikut.
"Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai
mendaki gunung tanpa kaki."
Dalam cerpen ini, juga ditampilkan gambaran sosial kehidupan perkotaan
yang suram. Dalam cerpen tersebut diceritakan mengenai kehidupan tokoh utama
yang menyambung hidup di tengah-tengah kezaliman. Ia terpaksa menjadi
seorang pembantu rumah tangga di sebuah tempat jual beli narkoba dan tempat
lokalisasi wanita tunasusila. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
"Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya dalam hati.
Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai mendaki
gunung tanpa kaki. Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah
menghantarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang
bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram
tersebut sekaligus sebagai wanita tunasusila."
BAB III
PENUTUP
Sinopsis Cerpen
Sepasang sandal jepit tipis berwarna merah tergeletak begitu saja di bawah
bangku bambu. Sandal itu dihinggapi lubang di sana-sini. Tak hanya itu, sandal
tua itu pun dihinggapi bercak-bercak kecoklatan.
Seperti darah yang mengering. Ya, darah! Bahkan, di atas permukaan
salah satu sandal itu masih terdapat darah segar. Darah itu bermuncrat dari
kakinya. Di kakinya masih terdapat serpih pecahan kaca yang belum sempat
dibersihkannya. Pecahan kaca yang tadinya berada di gundukan sampah belakang
rumahnya itu telah bercampur dengan darah merah, darah yang terus menumpuk
di atas sandal jepit merahnya.
Lima tahun berlalu setelah Mamat mengawini perempuan itu dalam usia
belia, lima belas tahun. Sebagai anak yatim piatu sebatang kara, perempuan itu tak
mungkin menolak lamaran Mamat, lelaki berumur dua puluh lima, yang begitu
sayang padanya. Dengan berbekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat
mampu membiayai hidupnya dan menyewa sepetak kamar di pinggiran kota.
Kebahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat
walaupun saat itu usianya baru enam belas.
Anak laki-laki itu dinamainya Zaenal Mutakin yang tumbuh sebagai anak
yang pintar, cerdas, dan pandai bernyanyi. Tak terhitung doa dan harapan yang
diajukannya pada Sang Pencipta demi masa depan anaknya itu. Dalam pelukan
mimpi, seringkali ia melihat anaknya tumbuh menjadi laki-laki tampan, terkadang
menjadi dokter, olahragawan, bahkan presiden. Mimpi-mimpi itulah yang selalu
jadi motivasinya untuk selalu bersemangat menjalani hidup meski dililit beban
sesulit apapun. Tetapi, mimpi-mimpi itu harus mati dilindas hari. Di suatu senja
yang memerah, burung gagak bertengger di atap kamar kontrakannya.
Berbondongbondong para tetangga mendatanginya yang sedang memasak agar-
agar untuk pangeran kecilnya. Pak RT memimpin rombongan sambil
menggendong Zaenal mungil yang baru berusia empat tahun itu. Tubuh bocah itu
kuyup. Matanya terpejam bagai putri tidur.
Alangkah terkejutnya perempuan itu setelah tahu suaminya berniat
mengawini perempuan lain. Ia hanya pasrah, berharap kabar itu tidak benar
adanya. Dan kalaupun benar-benar terjadi, ia hanya berharap suaminya mau
memaafkannya dan tetap mencintainya seperti lima tahun yang lalu. Tetapi,
harapannya kembali usang. Suatu hari, ketika perempuan yang telah diusir
suaminya itu bermaksud kembali ke kontrakannya, kamar penuh kenangan itu
kosong. Tak ada yang tahu kemana perginya sang suami harapannya. Ia hanya
mendengar kabar bahwa suaminya akan tinggal di desa asal istri barunya, entah di
mana. Seketika hatinya seakan dibanjiri darah. Darah merah semerah sandal
jepitnya. Ia gamang menentukan kelanjutan langkahnya. Ia hanya melangkah
mengikuti helai demi helai angin yang sirna setelah menyapanya. Ia berjalan
menyusuri kehidupan dialasi sepasang sandal jepit merah. Entah harus ke mana
lagi.