makala h

42
MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Karakter/Watak Islam sebagai Agama Fitrah dan Tauhid” Oleh : 1. Mega Agustina (140210102043) 2. Dian Pratiwi (140210102046) 3. Syaiful Fathor Rochman (140803104064) UPT BSMKU 1

Upload: mieftahoel-eiripien

Post on 16-Sep-2015

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hahaha

TRANSCRIPT

MAKALAHPENDIDIKAN AGAMA ISLAMKarakter/Watak Islam sebagai Agama Fitrah dan Tauhid

Oleh:1. Mega Agustina (140210102043)2. Dian Pratiwi (140210102046)3. Syaiful Fathor Rochman(140803104064)

UPT BSMKUUNIVERSITAS JEMBER2015KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Allah swt. semata maka penulisan makalah dengan judul Karakter/Watak Islam sebagai Agama Fitrah dan Tauhid ini dapat diselesaikan. Makalah ini ditulis dengan maksud untuk menjelaskan lebih jelas mengenai karakter agama Islam.Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas semester gasal mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi lebih jauh mengenai penjelasan mengenai arti fitrah, bagaimana mempertahankan fitrah, pengertian tauhid dan macam-macamnya. Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran baik secara tertulis maupun secara lisan, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam ataupun dari teman-teman Mahasiswa dan Mahasiswi supaya penulis bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya, khususnya memahami tentang Pendidikan Pendidikan Agama Islam.

Jember, 16 Maret 2015

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................iDAFTAR ISI .........................................................................................................iiBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...............................................................................................11.2 Rumusan Masalah .........................................................................................21.3 Tujuan .............................................................................................................2BAB II PEMBAHASAN2.1 Pengertian Fitrah............................................................................................3 2.2 Akibat Penyimpangan Terhadap Fitrah.......................................................42.3 Cara Mempertahankan Fitrah......................................................................82.4 Pengertian Tauhid........................................................................................122.5 Macam-Macam Tauhid.................................................................................13BAB III KESIMPULAN3.1 Kesimpulan...................................................................................................183.2 Saran..............................................................................................................18

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangSubstansi ajaran Islam pada intinya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pada tataran aktualisasinya, martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia tersebut mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena memang dia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Islam merupakan agama fitrah yang mengusung kemaslahatan bagi umat manusia.Al-Quran yang merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang berbicara mengenai fitrah, yang secara normatif sarat dengan nilai-nilai transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan perhatian pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga keberadaan manusia semakin bermakna. Di sisi lain, pengembangan kualitas sumber daya manusia tersebbut dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid uluhiyah.Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna.Makalah ini akan membahas sekelumit diskursus tentang fitrah dalam al Quran, baik menyangkut hubungannya dengan pendidikan Islam maupun signifikasinya. Semoga pembahasan singkat ini menjadikan kita lebih arif dalam menapaki perjalanan hidup ini.

1.2 Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:0. Apa pengertian fitrah?0. Bagaimana akibat penyimpangan terhadap fitrah?0. Bagaimana caranya mempertahankan fitrah?0. Apa pengertian tauhid?0. Apa saja macam-macam tauhid?

0. TujuanBerdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat di rumuskan bahwa tujuan pembahasan makalah ini yaitu:1. Mengetahui pengertian fitrah;1. Mengetahui akibat penyimpangan terhadap fitrah;1. Memahami caranya mempertahankan fitrah;1. Mengetahui pengertian tauhid;1. Mengetahui macam-macam tauhid.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Pengertian FitrahSecara bahasa, fitrah berasal dari katafathara yafthurufathr[an] wa futhr[an] wa fithrat[an]yang berarti: pecah, belah, berbuka, mencipta. Jika dikatakan,Fathar Allh, artinya Allah menciptakan. Ar-Razi dalamMukhtr as-Shihh, I/212, menuturkan riwayat dari Ibn Abbas ra. yang berkata, Aku tidak tahu apa arti,Fthir as-samawt(Pencipta langit) hingga datang kepadaku dua orang Arab Baduwi yang sedang berselisih mengenai sumur. Salah seorang berkata, Fathartuh, yakniIbtadtuh(Aku yang memulai [membuat]-nya. Jadi, menurut orang-orang Arab asli, fathara artinya memulai, mencipta, atau mengkreasi; dan fithrah artinya ciptaan. Allah Swt. berfirman: Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(QS ar-Rum [30]: 30).

Menurut Ibn Abdil Bar dan Ibn Athiyah, fitrah Allah itu adalah ciptaan dan bentuk atau karakter yang Allah ciptakan dalam diri manusia, yang telah disediakan dan disiapkan sehingga dengannya manusia bisa mengidentifikasi dan membedakan berbagai ciptaan Allah, yang kemudian ia jadikan sebagai dalil untuk mengetahui eksistensi dan mengimani Allah serta mengetahui syariat-Nya. Imam al-Qurthubi, mengutip gurunya, Abu Abbas, menyatakan, Ayat tersebut mengungkapkan bahwa Allah telah menciptakan kalbu (akal) anak Adam siap sedia menerima kebenaran sebagaimana mata diciptakan siap untuk melihat dan telinga siap untuk mendengar. Selama kalbu anak Adam tetap dalam fitrahnya itu, maka ia akan mengenali kebenaran. Agama Islam adalah agama yang benar (Tafsr al-Qurthubi, XIV/29).Menurut Ibn Atsir, fitrah itu tidak lain adalah karakteristik penciptaan manusia dan potensi kemanusiaan yang siap untuk menerima agama. Oleh karena itu, Imam Zamakhsyari mengatakan, fitrah itu menjadikan manusia siap sedia setiap saat menerima kebenaran dengan penuh sukarela, tanpa paksaan, alami, wajar, dan tanpa beban. Seandainya setan jin dan setan manusia ditiadakan, niscaya manusia hanya akan memilih kebenaran itu (Al-Fiq, III/128).Ayat di atas seakan menyatakan, Hadapkanlah wajahmu pada agama Allah dengan lurus. Tetaplah kamu di atas fitrahmu, yaitu tetaplah dalam karakteristik penciptaanmu dan potensi kemanusiaan dalam dirimu yang menjadikan kamu siap menerima kebenaran. Islam adalah agama yang benar. Niscaya kamu akan siap menerima Islam dengan sukarela, tanpa paksaan, wajar dan tiada beban. Kembali pada fitrah tidak lain adalah dengan menjalankan perintah Allah tersebut dengan menetapi fitrah, yakni menetapi karakteristik penciptaan manusia dan potensi insaniah untuk siap menerima kebenaran. Jadi, kembali pada fitrah tidak lain adalah dengan terus mengembangkan potensi manusia untuk selalu siap setiap saat menerima kebenaran. Naluri BeragamaDidalam diri manusia terdapat potensi kehidupan (thaqah hayawiyyah) yang senantiasa mendorong manusia melakukan aktivitas, serta menuntut dipenuhi. Potensi tersebut memiliki dua bentuk manifestasi. Pertama, menuntut dipenuhi secara pasti, sebab jika tidak terpenuhi maka bisa mati. Inilah yang disebut kebutuhan jasman (hajah udhuwiyyah), seperti makan, minum dan buang hajat. Kedua, menuntut dipenuhi, tetapi jika tidak dipenuhi, seseorang tidak sampai mati, hanya akan merasa gelisah, hingga kebutuhan tersebut dipenuhi inilah yang disebut naluri (gharizah).Dari aspek lahirnya dorongan tersebut, naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani. Sebab, dorongan kebutuhan jasmani bersifat internal, dari dalam tubuh manusia, (seperti orang ingin makan, karena lapar; dan ini tidak membutuhkan stimulus dari luar). Sedangkan naluri, yang mendorong atau menyebabkan lahirnya perasaan yang menuntut untuk dipenuhi, dapat berupa pemikiran tentang sesuatu yang dapat mempengaruhi perasaan, atau fakta yang dapat di indera yang mendorong perasaan untuk dipenuhi. Naluri seks misalnya, bisa dirangsang karena memikirkan atau melihat seorang wanita cantik, atau apa saja yang berkaitan dengan seks. Contoh lain naluri beragama yang muncul, ketika ada stimulus berupa pemikiran mengenai ayat-ayat (tanda kebesaran) Allah.Dari sini bisa disimpulkan, bahwa pengaruh naluri akan tampak, ketika ada sesuatu yang merangsangnya. Naluri ini tidak akan timbul, jika tidak ada hal-hal yang merangsangnya; atau jika dialihkan pada hal-hal yang menimbulkan rangsangan dengan menafsirkannya secara keliru, sehingga menimbulkan persepsi yang bisa menghilangkan asalnya (yang biasanya merangsang naluri).Naluri beragama merupakan naluri yang tetap ada didalam diri manusia. Sebab naluri ini merupakan perasaan membutuhkan kepada Dzat Yang Maha Pencipta, Dzat Yang Maha Kuasa mengaturnya, tanpa memandang siapa yang dianggap Sang Pencipta tersebut. Perasaan ini merupakan fitrah yang selalu ada, selama dia menjadi manusia; baik dia beriman kepada al-Khaliq, atau mengingkari-Nya, sebaliknya mempercayai Materialisme dan Naturalisme. Maka, manifestasi perasaan dalam diri setiap manusia bersifat pasti. Sebab, perasaan ini lahir sebagai salah satu bagian dari penciptan manusia, sehingga tidak mungkin dilepaskan atau dihilangkan dari diri manusia. Itulah yang disebut tadayyun (perasaan beragama).Adapun manifestasi dari perasaan tadayyun (beragama) adalah munculnya perasaan taqdis (penyucian) terhadap Dzat yang Maha Pencipta, yang Maha Kuasa, atau kepada apa saja yang digambarkkannya sebagai penjelmaan (reinkarnasi) dari Sang Pencipta. Kadang kala taqdis tersebut ditampilkandalam bentuk yang hakiki (sempurna), sehingga menjadi bentuk ibadah. Tetapi terkadang ditampilkan dalam bentuk yang sederhana, sehingga hanya menjadi kultus atau pengagungan biasa.Taqdis (penyucian) adalah penghormatan setulus hati yang paling tinggi, yaitu penghormatan yang bukan berasal dari rasa takut (dari naluri mempertahankan diri), tetapi berasal dari perasaan tadayyun (beragama). Sebab, taqdis bukan merupakan manifestasi dari rasa takut (dari naluri mempertahankan diri). Manifestasi dari rasa takut ini tidak lain adalah gelisah, lari atau usaha membela diri. Ini jelas bertentangan dengan dengan kenyataan taqdis (penyucian). Dengan demikian, taqdis adalah manifestasi dari perasaan tadayyun ( beragama) bukan dari rasa takut.Berdasarkan penjelasan diatas, perasaan beragama berbeda dengan gharizatul baqa (naluri mempertahankan diri) yang salah satu manifestasinya adalah rasa takut. Karena itu, setiap manusia sebenarnya kita dapati selalu beragama sejak Allah menciptakannya. Setiap manusia juga pasti menyembah sesuatu. Ada yang menyembah matahari, bintang api, berhala atau menyembah Allah SWT. Tidak pernah ada satu masa pun, atau satu umat atau bangsa kapan dan dimana pun, kecuali mereka selalu menyembah sesuatu. Bahkan pada bangsa yang diperintah oleh penguasa diktator, yang memaksa mereka melepaskan agamanya sekalipun, mereka tetap beragama dan menyembah sesuatu, meskipun harus melawan kekuatan yang membelenggunya serta rela menanggung siksan yang dideritanya agar dapat menjalankan ibadah. Karena itu, tidak ada satu kekuatan pun yang mampu mencabut perasaan beragama dari dalam diri manusia, atau menghilangkan usaha taqdis (penyucian) terhadap al-Khaliq, atau mencegah manusia beribadah. Yang mungkin dilakukan hanya meredamnya untuk sementara waktu. Sebab, ibadah merupakan manifestasi alami dari perasaan beragama yang merupakan salah satu naluri didalam diri manusia.Adapun yang tampak pada sebagian orang atheis, dengan tidak melakukan ibadah atau dengan mengolok-olok ibadah, sebenarnya mereka telah mengalihkan manifestasi naluri beragamanya, dari menyembah Allah SWT menjadi menyembah makhlik-makhluk-Nya; juga diwujudkan dengan menyembah alam, para pahlawan, atau sesuatu yang dianggap agung dan lain sebagainya. Di sini, mereka telah melakukan kekeliruan besar dan penafsiran yang salah terhadap sesuatu dengan mengalihkan perasaan tadayyun itu sendiri. Berdasarkan penjelasan diatas, bisa dipahami, sebenarnya menjadi kufur (mengingkari Allah) itu lebih sulit daripada beriman. Sebab, kekufuran itu merupakan upaya manusia mengalihkan diri dari fitrahnya, serta mengalihkan fitrah ini dari manifestasinya yang hakiki. Ini membutuhkan kerja keras. Maka, sangat sulit mengalihkan manusia dari ketentuan dan fitrahnya. Karakteristik ManusiaManusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sangat berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya dialam semesta ini. Ia memiliki karakter yang khas bahkan dibandingkan makhluk lain yang paling mirip sekalipun. Kekhasan inilah yang menurut kitab suci menyebabkan konsekuensi-konsekuensi kemanusiaan diantaranya kesadaran, tanggung jawab dan pembalasan. Diantara karakteristik manusia :a. Aspek KreasiApapun yang ada pada tubuh manusia sudah dirakit dalam suatu tatanan yang terbaik dan sempurna. Hal ini bisa dibandingkan dengan makhluk lain dalam aspek penciptaannya. Mungkin banyak kesamaannya, tapi tangan manusia lebih fungsional daripada tangan simpanse, demikian pula organ-organ lainnya.Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. (At-Tiin, 95:4)b. Aspek IlmuHanya manusia yang mungkin punya kesempatan memahami lebih jauh hakikat alam semesta disekelilingnya. Pengetahuan hewan hanya terbatas pada naluri dasar yang tidak bisa dikembangkan melaui pendidikan dan pengajaran. Tetapi manusia menciptakan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang.Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) keseluruhannya.... (Al Baqarah, 2:31)c. Aspek KehendakManusia memiliki kehendak yang menyebabkannya bisa mengadakan pilihan-pilihan dalam hidup. Makhluk lain hidup dalam suatu pola yang telah baku d an tak akan pernah berubah. Para malaikat yang mulia tak akan pernah menjadi makhluk yang sombong atau maksiat.Sesungguhnya Kami telah menunjukinya (manusia) jalan yang lurus, ada yang syukur dan ada pula yang kufur.(Al-Insan, 76:3)

d. Aspek AkhlakManusia adlah makhluk yang dapat dibentuk akhlaknya. Ada manusia yang sebelumnya baik-baik tetapi karena pengaruh lingkungan tertentu dapat menjadi seorang penjahat. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu lembaga pendidikan diperlukan manusia untuk mengarahkan kehidupan generasi yang akan datang.

Misi dan Fungsi Penciptaan ManusiaMisi penciptaan manusia adalah untuk penyembahan kepada Sang Penciptanya, Allah SWT. Pengertian penghambaan kepada Allah SWT tidak boleh diartikan secara sempit dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin dalam shalat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia terhadap hukum-hukum Allah dalam menjalankan kehidupan dimuka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dengan manusia dan alam semesta).Penyembahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Oleh karena itu penyembahan tersebut harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, karena Allah tidak membutuhkan sedikit apapun kepada manusia termasuk ritual-ritual penyembahannya.Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh. (Adz-Dzariyaat, 51:55-58).Dan mereka tidak diperintahnkan kecuali supaya menyembah Allah dengan menurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah, 98:5)Penyembahan yang sempurna dari seorang manusia akan menjadikan dirinya sebagai kepanjangan kekuasaan Allah dimuka bumi ini dalam mengelola kehidupan alam semesta. Keseimbangan alam dapat terjaga dengan hukum-hukum alam yang kokoh. Keseimbangan pada kehidupan manusia dapat terjaga dengan tegaknya hukum-hukum kemanusiaan yang telah Allah tetapkan. Kekacauan kehidupan manusia tidak sekedar akan menghancurkan bagian-bagian alam semesta yang lain. Inilah fungsi kehadiran manusia ditengah-tengah alam ini.Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya Aku hendak menjadikam khalifah dimuka bumi.... (Al Baqarah, 2:30)Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadikan) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya, 21:107)Maka jelaslah bahwa kesatuan manusia dan alam semesta ini dapat terjaga dengan baik jika manusia dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya dimuka bumi.

2.2 Akibat Penyimpangan Terhadap FitrahPenyimpangan terhadap fitrah secara garis besar terjadi jika:Pertama: Fitrah itu secara keseluruhan atau sebagiannya diabaikan, ditinggalkan; juga ketika batas-batas fitrah, yakni batas-batas potensi manusia, dilampaui.Kedua: ada pengaturan fitrah dengan agama, ideologi, dan sistem aturan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Kedua bentuk penyimpangan terhadap fitrah itu pasti akan mendatangkan akibat buruk bagi manusia. Akibat buruk itu antara lain:a. DehumanisasiFitrah merupakan ciri kemanusiaan manusia. Jika fitrah itu ditanggalkan, sebagian atau keseluruhan, sama saja menanggalkan ciri kemanusiaan; manusia akan tercerabut dari sifat kemanusiaannya. Ketika manusia tidak menggunakan penglihatan, pendengaran dan hati atau akalnya dengan benar, potensi itu tidak digunakan untuk menerima kebenaran yakni Islam, Allah menilai manusia yang demikian lebih sesat daripada binatang.Mereka mempunyai kalbu, tetapi kalbu itu mereka tidak mereka gunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah); mereka mempunyai mata, tetapi mata itu tidak mereka gunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah); mereka mempunyai telinga, tetapi telinga itu tidak mereka gunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.(QS al-Araf [7]: 179).

Di sisi lain manusia juga sering bertindak melampaui batas fitrahnya. Fitrah manusia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diliputi keserbalemahan dan keterbatasan. Fitrah tidak membenarkan kecuali manusia berposisi sebagai makhluk yang menyembah Penciptanya. Fitrah tidak bisa membenarkan manusia menempati posisi Tuhan sebagai Pembuat hokum (Al-Hkim). Fitrah tidak membenarkan manusia membatasi kekuasaan Allah hanya dalam perkara spiritual ibadah; sementara dalam perkara politik keduniaan, manusia sendiri yang berkuasa menetapkan aturannya, baik hal itu disertai dengan pengakuan adanya Tuhan atau tidak. Manusia hanya akan menetapkan aturan itu berdasarkan kecenderungan dan dorongan hawa nafsunya; asas manfaat akan menjadi asas penentu. Dalam pandangan manusia, manfaat yang paling menonjol adalah kelezatan dan kenikmatan materi.Kenyataan sekularistik seperti itu merupakan penyimpangan terhadap fitrah. Manusia justru menjadi budak yang diperbudak hawa nafsu dan materi. Manusia akan terjerumus ke penghambaan terhadap hawa nafsu dan materi.Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.(QS al-Furqan [25]: 43-44).

Pemasungan kekuasaan Tuhan dalam pengaturan masyarakat mengakibatkan aturan kemasyarakatan bersifatantroposentrik. Aturan tersebut tidak memuat nilai transenden. Padahal sifat transenden aturan merupakan tuntutan fitrah, karena pada kenyataannya manusia serba lemah, dan manusia memiliki naluri beragama dan spiritualitas. Karena itu, Maka, aturan sekularistik itu jelas menyimpang dari fitrah. Hal itu sama dengan memasung naluri beragama dan spiritualitas manusia. Pada akhirnya manusia hanya akan diselubungi oleh penderitaan kegersangan spiritual. Dalam kondisi demikian, bagaimanapun ia berusaha menipu diri dengan mengaku bahagia, ia tetap saja tidak bisa lepas dari kenyataan dirinya yang sedang dilanda kegelisahan akibat kegersangan spiritual itu.Kenyataannya, aturan itu dibuat hanya oleh segelintir manusia. Segelintir manusia itu telah memposisikan diri mereka sebagai tuhan dan menempatkan seluruh manusia yang lain sebagai hamba. Ini jelas menyalahi fitrah, karena seluruh manusia dalam fitrahnya adalah sama; satu sama lain tidak layak memperbudak dan memperhamba manusia lain. Sejatinya itu adalah penjajahan manusia atas manusia lain. Pada tingkat internasional ia hanya akan melahirkan penjajahan atas umat manusia. Pola kehidupan seperti itu adalah cermin kehidupan rimbawi. Pola kehidupan seperti itu telah menggerus moralitas manusia dan menanggalkan aspek insani (humanis) dari diri manusia.

b. Hancurnya kehidupan.Penyimpangan terhadap fitrah dalam dua bentuknya itu, di samping telah menimbulkan dehumanisasi juga menyebabkan hancurnya tatanan kehidupan di segala bidang. Dalam bidang politik lahir atanan politik imperial, eksploitasi bangsa-bangsa dan perbudakan atas umat manusia. Dalam aspek sosial, kita ambil satu contoh saja, seks bebas. Di AS saja sejak tahun 1973 sampai tahun 2002 telah seks bebas telah mengakibatkan 42 juta aborsi atau 4.000 perhari (http://www.guttmacher.org/ pubs/2005/05/18/ab_incidence.pdf). Sekarang aborsi di AS diperkirakan 2 juta/tahun. Dalam bidang ekonomi, sistem yang menyalahi fitrah (sistem Kapitalisme), telah menyebabkan 80% kekayaan dan energi dunia dikuasai dan dinikmati oleh hanya 20% penduduk dunia, lebih khusus lagi bagian terbesarnya dinikmati oleh AS. Ketimpangan ekonomi itu juga terjadi di negeri ini akibat diterapkannya sistem ekonomi yang menyalahi fitrah itu. Negeri ini terjerat utang yang tak terbayar dan kemiskinan mendera lebih dari separuh penduduk negeri ini. Survey BPS 2005 menunjukkan penduduk dengan pendapatan 120 ribu perorang perbulan sebanyak 4.7 juta KK (16 juta jiwa), pendapatan 150 ribu/orang/bulan 10 juta KK (40 juta jiwa) dan pendapatan 175 ribu/orang/bulan sebanyak 15.5 juta KK (62 juta jiwa).Kehancuran yang sama juga terjadi pada bidang-bidang kehidupan lainnya. Kehancuran itu telah melanda seluruh bidang kehidupan manusia. Semua itu adalah akibat ditinggalkannya kebenaran, yakni Islam, serta diodopsi dan diterapkannya sistem aturan yang menyalahi fitrah, yakni sistem Sosialisme dan Kapitalisme. Allah Swt. telah mengingatkan kita:Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.(QS Thaha [20]: 124).

c. Kehancuran alam.Tatanan kehidupan yang menyalahi fitrah itu juga menyebabkan kerusakan alam. Hutan dibabat semena-mena, gunung berubah menjadi danau akibat penambangan, pulau-pulau kecil tenggelam karena pasirnya disedot untuk reklamasi, lautan porak-poranda akibat bom untuk menangkap ikan, gunung digunduli diambil kayunya, banjir pun meluluhlantakkan berbagai desa dan kota. Keseimbangan alam pun terganggu dan sesuai sunatullah, segala macam bencana alam pun selalu mengintai. Semua itu adalah pengelolaan alam ala sistem Kapitalisme yang menyalahi fitrah manusia.

2.3 Cara Mempertahankan FitrahHadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS ar-Rum [30]: 30).

Allah Swt. berfirman:Fa aqim wajhaka li ad-dn hanf(Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama Allah). Menurut Mujahid, Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan az-Zuhayli, kata ad-dn bermaknadn al-Islm. Penafsiran ini sangat tepat, karenakhithbayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw., tentu agama yang dimaksudkan adalah Islam.Adapunhanf, artinya cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanf tersebut, merupakanhl(keterangan) bagiadh-dhamr(kata ganti) dari kataaqimatau kataal-wajh; bisa pula merupakanhlbagi kataad-dn. Dengan demikian, perintah itu mengharuskan untuk menghadapkan wajah padadn al-Islmdengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, dan tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang. Perintah ini merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini, istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting.Selanjutnya Allah Swt. berfirman:fithrah Allh al-lat fathara an-ns alayh(tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu). Secara bahasa, fithrah berartial-khilqah(naluri, pembawaan) danath-thabah(tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia.Menurut sebagian mufasir, katafithrah Allhberarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid dandn al-Islmsehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan. Telah ditegaskan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi.Harus diingat, katafithrah Allhberkedudukan sebagaimafl bih(obyek) darifiil(kata kerja) yang tersembunyi, yakniilzam(tetaplah) atauittabi(ikutilah). Itu berarti, manusia diperintahkan untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian, maka fitrah yang dimaksudkan tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri tentang Tuhan atau kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid ataudn al-Islmitu sendiri. Frasa ini memperkuat perintah untuk mempertahankan penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama batil lainnya, dan terus memelihara sikap istiqamah terhadapdn al-Islm,dn al-haq, yang diciptakan Allah Swt. untuk manusia. Ini sama seperti firman-Nya (yang artinya):Tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat beserta kamu.(QS Hud [11]:112).Allah Swt. berfirman:L tabdla li khalqillh(tidak ada perubahan atas fitrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakhai, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillh maksudnya adalahli dnillh. Kata fithrah sepadan dengan kataal-khilqah. Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dn Allh, maka katakhalq Allhpun demikian, bisa dimaknai dn Allh.Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain. Oleh karena itu, menurut sebagian mufassir, sekalipun berbentukkhabar naf(berita yang menafikan), kalimat ini memberikan maknathalab nah(tuntutan untuk meninggalkan). Dengan demikian, frasa tersebut dapat diartikan: Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan;janganlah mengubah fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah pada agama fitrah, yakni agama Islam.Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya:Dzlika ad-dn al-qayyim walkinna aktsara an-ns l yalamn(Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Kataal-qayymmerupakan bentukmublaghahdari kataal-qiym(lurus). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya.a. Memeluk Islam Merupakan FitrahSeharusnya tidak ada keberatan sama sekali bagi manusia untuk memeluk Islam. Sebaliknya, dia akan merasa berat dan susah ketika harus keluar dari Islam. Pasalnya, memeluk Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara tersirat, ayat ini menegaskan akan realitas tersebut. Para mufassir menafsirkan kata fithrah Allh dengan kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan Islam itu sendiri. Selain ayat ini, kesesuaian Islam dengan fitrah manusia juga dapat terlihat pada beberapa fakta berikut:Pertama: adanyagharzah at-tadayyun(naluri beragama) pada diri setiap manusia sehingga ia bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia membutuhkan Zat Yang Maha Agung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Karenanya, manusia membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan (ibdah) terhadap Tuhannya dengan benar.Kedua: dengan akal yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia, ia mampu memastikan adanya Tuhan, Pencipta alam semesta. Sebab, keberadaan alam semesta yang lemah, terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti merupakan makhluk. Hal itu memastikan adanyaal-Khliqyang menciptakannya. Dengan demikian, kebutuhan manusia pada agama, selain didorong olehgharzah at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.Lebih jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih akidah dan agama yang benar. Akidah batil akan dengan mudah diketahui dan dibantah oleh akal manusia. Sebaliknya, argumentasi akidah yang haq pasti tak terbantahkan sehingga memuaskan akal manusia. Oleh karena itu, secara fitri manusia membutuhkan akidah dan agama yang haq, agama yang menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal. Islamlah satu-satunya yang haq. Islam dapat memenuhi dahaga naluri beragama manusia dengan benar sehingga menenteramkannya. Islam juga memuaskan akalnya dengan argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak terbantahkan. Dengan demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia. Karena begitu sesuainya, az-Zamakhsyari dan an-Nasafi menyatakan, Seandainya seseorang meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam sebagai agamanya. Sesungguhnya bagi manusia, menolak Islam jauh lebih sulit dan berat ketimbang menerimanya. Sebab, apa pun atau siapa pun lebih mudah memelihara tabiat asli dan jatidirinya daripada harus mengubahnya.

b. Antara Fitrah dan GodaanKesesuaian fitrah manusia dengan Islam juga dijelaskan dalam dalil-dalil naqli. Alah Swt. berfirman:Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.(QS al-Araf [7]: 172).

Allah Swt. juga berfirman di dalamhadisqudsi:Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya dan sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu setan itu membelokkan mereka dari agama mereka.(HR Muslim).Rasulullah saw. juga bersabda:Tidak ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.(HR al-Bukhari).Kedua hadis di atas menjelaskan tentang kondisi awal setiap manusia. Dalam hadis pertama disebutkan, setiap manusia diciptakan dalam keadaan hanf, yakni lurus dan tidak condong pada kesesatan. Adapun dalam hadis kedua dinyatakan, setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun fitrah yang dimaksudkan di sini adalah pengakuan terhadap Allah Swt. Lalu, mengapa ada manusia yang tidak mau menerima Islam sebagai agamanya?Hadis pertama di atas menjelaskan, penyimpangan manusia dari fitrahnya disebabkan oleh bujuk rayu setan. Hadis kedua menjelaskan, pendidikan yang salah dari orangtua merekalah yang menjadi faktor penyebab keluarnya manusia dari fitrahnya. Namun demikian, faktor dalam diri manusia juga turut menjadi penyebabnya. (Lihat: QS al-Arf [7]: 179). Bertolak dari paparan di atas, orang yang menolak Islam benar-benar sangat keterlaluan. Pantaslah jika mereka mendapatkan siksa yang amat berat dari Allah Swt.

2.4 Pengertian TauhidPrinsip tauhid merupakan hal yang mendasar dalam Islam. Tauhid berarti pengakuan tentang keesaan Allah SWT dan pembatasan mutlak penghambaan manusia hanya kepada-Nya. Tauhid kemudian menyatukan manusia dalam kesatuan pikiran,perasaan dan aturan dan negara atas prinsip syahadah La ilaha illa Allah Muhammadurrasulullah.Berdasarkan prinsip tauhid ini umat Islam menyembah Tuhan yang satu (Allah SWT), memiliki Rosulul dan teladan yang satu (Rosulullah SAW), Kitab yang satu yakni Al-Quran, aturan yang satu (Syariah Islam) hingga arah kiblat yang satu yaitu Kabah. Konsekensi dari prinsip tauhid ini adalah kesatuan umat (ummatan wahidah). Umat yang satu didasarkan prinsip ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam al Hujurat (10) :Innamal muminina ikhwah(sesunguhnya sesama muslim itu bersaudara).Persaudaran Islam (al ukhuwah al Islamiyah) ini digambarkan oleh Rosulullah SAW bagaikan satu tubuh (matsalul jasad). Di mana kalau satu bagian tubuh sakit maka bagian tubuh yang lain pun merasakan sakitnya. Karena itu keperdulian dalam Islam tidak boleh dibatasi oleh sekat-sekat persaudaran kandung (keluarga) ,kesukuan, nation (bangsa), warna kulit, ataupun ras. Rosulullah juga menggambarkan persaudaran dalam Islam seperti bangunan yang satu. Di mana unsur-unsur yang ada dalam tubuh umat bukan saling memperlemah, tapi sebaliknya harus memperkuat.2.5 Macam-Macam TauhidDari definisi diatas kita dapatkan bahwa mentauhidkan Allah itu meliputi tiga hal yang merupakan kekhususan / keistimewaan bagi Allah, yaitu:a. Tauhid Rububiyyahb. Tauhid Uluhiyyahc. Tauhid Asma Wa ShifatKetiga macam tauhid ini terkumpul dalam firman Allah yang artinyaRobb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah dia dan teguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (Allah yang patut disembah)? [QS. Maryam: 65].Adapun perincian ketiga macam tauhid tersebut adalah sebagai berikut:a. Tauhid RububiyyahYaitu menyendirikan / mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya, seperti menciptakan, menguasai, mengatur, dan yang lainnya dari perbuatan-perbuatan Allah yang tidak ada sekutu dan tandingan bagi Allah dalam hal tersebut. Maka makna menyendirikan/mengesakan Allah dalam hal penciptaan yaitu seseorang meyakini bahwasanya tidak ada pencipta selain Allah. Allah berfirman yang artinya :Ingatlah (ketahuilah) menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. [QS. Al-Araaf: 54].Dan dalam ayat lain Allah berfirman:Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kalian dari langit dan bumi? [QS. Faathir: 3].Sedangkan penetapan adanya pencipta selain Allah seperti dalam firman-Nya:Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik (diantara para pencipta). [QS. Al-Muminuun: 14].Maka itu bukanlah penciptaan yang hakiki, yakni bukan mengadakan sesuatu setelah tidak ada, tetapi penciptaan dalam bentuk merubah sesuatu dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dan itupun tidak sempurna mencakup segala sesuatu, tetapi terbatas pada apa yang dimampui oleh manusia, terbatas pada ruang lingkup yang sempit.Adapun makna menyendirikan/mengesakan Allah dalam hal penguasaan (pemilikan)-Nya, yaitu kita meyakini bahwa tidak ada yang menguasai (memiliki) seluruh makhluk kecuali penciptanya (yakni Allah).Sebagaimana dalam firman-Nya Azza wa Jalla:Dan hanya milik Allah-lah kerajaan (kekuasaan) langit dan bumi. [QS. Ali Imran: 189].Dan juga firman-Nya :Katakanlah: Siapakah yang di tangan-Nya ada kekuasaan atas segala sesuatu? [QS. Al-Muminuun: 88]Maka itu semua adalah kekuasaan/kepemilikan yang terbatas, tidak meliputi kecuali sedikit dari makhluk-makhluk. Jadi seseorang hanya memiliki apa yang ada di tangannya dan tidak memiliki apa yang ada di tangan orang lain. Dan juga dari sisi sifatnya, kekuasaan/ kepemilikan tersebut bersifat terbatas, karena seseorang tidaklah memiliki apa yang ada padanya secara sempurna, sehingga dia tidaklah bebas mengaturnya kecuali atas dasar apa yang diijinkan oleh syariat. Sebagai contoh misalnya: kalau seseorang hendak membakar hartanya, atau menyiksa hewan piaraannya, maka kita katakan kepadanya: tidak boleh. Sedangkan Allah, maka kekuasaan/kepemilikan-Nya meliputi segala sesuatu (yang Dia ciptakan) secara sempurna.Adapun makna menyendirikan/mengesakan Allah dalam hal pengaturan-Nya, yaitu seseorang meyakini bahwa tidak ada yang mengatur kecuali Allah saja, sebagaimana dalam firman-Nya :Katakanlah: siapakah yang memberi rezki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dansiapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: Allah. Maka katakanlah: Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)? Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Robb kalian sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kalian dipalingkan (dari kebenaran)? [QS. Yunus: 31-32].Sedangkan pengaturan manusia, maka hanya terbatas pada apa yang ada di tangannya, dan juga terbatas pada apa yang diijinkan oleh syariat dari apa yang ada di tangannya. Dan tauhid rububiyyah ini tidak disangkal dan ditentang oleh orang-orang musyrikin terdahulu -yang mana Rsulullh shllallhu alaihi wa sallam diutus di tengah-tengah mereka, bahkan mereka mengakuinya, Allah berfirman:Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: siapakah yang menciptakan langit dan bumi?, niscaya mereka akan menjawab: Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. [QS. Az-Zukhruf:9].Maka mereka mengakui bahwa Allah adalah yang mengatur segala urusan, dan bahwa Dia-lah yang ditangan-Nya ada kekuasaan langit dan bumi.Akan tetapi pengakuan mereka akan rububiyyah Allah tidak memasukkan mereka ke dalam Islam, kecuali bila mengakui dua macam tauhid yang lainnya. Karena ketiga macam tauhid tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, siapa saja yang tidak mengakui salah satu diantaranya maka belumlah benar keislamannya.b. Tauhid UluhiyyahYaitu menyendirikan/mengesakan Allah dalam ibadah, dan disebut juga tauhid ubudiyyah. Maka yang berhak untuk diibadahi adalah Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak (untuk disembah dengan benar), dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil. [QS. Luqman: 30].Adapun ibadah itu sendiri mengandung dua pengertian:Pertama:Beribadah yang berarti menundukkan/menghinakan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan penuh rasa cinta dan pengagungan kepada-Nya.Kedua: Jenis ibadah, yang maknanya adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yaitu: Semua apa yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, daripada perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin.Dan menyendirikan/mengesakan Allah dalam tauhid uluhiyyah ini mengharuskan seseorang menjadi hamba yang beribadah kepada Allah semata, yang tunduk hanya kepada-Nya, dengan rasa cinta dan pengagungan kepada-Nya, serta beribadah menurut syariat yang telah Allah gariskan.Allah berfirman:Janganlah kamu adakan sesembahan yang lain disamping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan terhina. [QS. Al-Israa': 22].Dan Allah berfirman:Wahai manusia, sembahlah Allah yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian. [QS.Al-Baqarah: 21].Maka yang bersendiri dalam hal penciptaan, dialah yang berhak untuk diibadahi dan disembah, yaitu Allah. Dan tauhid uluhiyyah inilah yang diingkari dan ditentang oleh hampir kebanyakan manusia, diantaranya orang-orang musyrikin dahulu oleh karena itu Allah mengutus para rasul-Nya, dan menurunkan kitab-kitab-Nya kepada mereka.Allah berfirman:Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku. [QS.Al-Anbiya': 25].c. Tauhid Asma Wa SifatYaitu menyendirikan/mengesakan Allah dalam apa yang Allah miliki dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan dalam hal ini terkandung dua perkara:Pertama: Al-Itsbat (penetapan), yakni kita menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah, dari apa yang telah Allah tetapkan sendiri dalam kitab-Nya atau apa yang ditetapkan Rasul-Nya dalam sunnahnya.Kedua: Nafyul Mumatsalah (meniadakan penyerupaan/penyamaan), yakni bahwa kita tidak menyamakan/menyerupakan Allah dengan selain-Nya dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang Allah firmankan:Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [QS. Asy-Syuura: 11].Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa semua sifat-sifat-Nya tidak ada satupun dari para makhluk-Nya yang menyerupainya/menyamainya. Dan tauhid asma wa sifat inilah yang sebagian umat Islam tersesat di dalamnya dan tercerai berai menjadi banyak golongan. Maka diantara mereka ada yang mengikuti jalur tathil (menolak/meniadakan), yakni meniadakan sifat-sifat Allah, baik sebagian maupun keseluruhan, yang mereka mengira bahwa mereka mensucikan Allah (dari kekurangan) dengan hal tersebut.Dan diantara mereka ada yang mengikuti jalur tamtsil (menyamakan/menyerupakan), yakni menyamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya, dan mereka mengira bahwa diri merka mengetahui hakekat apa yang Allah tetapkan dari sifat-sifat-Nya. Dan ada pula yang mengikuti jalur tahrif (menyimpangkan/mengalihkan), yaknimenyimpangkan/mengalihkan makna sifat-sifat Allah dari makna asalnya Istiwa itu diketahui maknanya (dalam bahasa arab), adapun ketentuan hakekatnya tidak dikethui, sedangkan mengimaninya wajib, dan bertanya tentang ketentuan hakekatnya adalah bidah.Adapun ahlus sunnah wal jamaah, maka mereka mengimani dan menetapkan semua apa yang telah Allah tetapkan sendiri di dalam kitab-Nya daripada nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya, dengan tanpa tahrif, tathil, takyif, dan tamtsil. Dan tidak ada tempat bagi akal untuk menetapkan suatu nama atau sifat sebagaimana yang dilakukan oleh banyak dari golongan-golongan sesat, yang karena penggunaan akal dalam hal ini itulah yang menyebabkan mereka tersesat.

BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan1) Fitrah adalah ciptaan dan bentuk atau karakter yang Allah ciptakan dalam diri manusia, yang telah disediakan dan disiapkan sehingga dengannya manusia bisa mengidentifikasi dan membedakan berbagai ciptaan Allah;2) Akibat Penyimpangan Terhadap Fitrah yaitu terjadinya dehumanisasi, hancurnya kehidupan serta hancurnya alam;3) Cara mempertahankan fitrah manusia adalah dengan menyesuaikan seluruh perbuatan manusia dengan aturan penciptanya yaitu Allah SWT. Dengan taat pada aturan pencipta maka manusia akan terhindar dari kerusakan & kecelakaan bagi hidupnya serta berjalan di jalan yang lurus yaitu Islam;4) Tauhid adalah pengakuan tentang keesaan Allah SWT dan pembatasan mutlak penghambaan manusia hanya kepada-Nya;5) Adapun macam-macam tauhid yaitu;a. Tauhid Rububiyyahb. Tauhid Uluhiyyahc. Tauhid Asma Wa Shifat.

3.2 SaranIslam adalah fitrah manusia, maka sudah menjadi keharusan bagi Kita seorang muslim untuk kembali pada fitrah penciptaan Kita yaitu terikat dengan aturan pencipta secara sempurna. Berislam bukan hanya mengakui Allah SWT sebagai pencipta atau tauhid Rububiyyah saja namun juga terikat dengan konsekuensi keimanan yaitu ber-tauhid Uluhiyyah, sebab apabila Kita keluar dari fitrah penciptaan Kita maka akan mengakibatkan kerusakan. Maka harus Kita pastikan bahwa tauhid Kita adalah tauhid yang benar dengan hidup di atas jalan yang lurus.

DAFTAR PUSTAKA

http://abuzuhriy.com/tauhid-definisi-macam-macam-dan-keutamaannya/http://hizbut-tahrir.or.id/2007/10/13/kembali-ke-fitrah-kembali-ke-syariah/http://hizbut-tahrir.or.id/2007/10/15/memelihara-fitrah/http://hizbut-tahrir.or.id/2011/07/20/tauhid-universalisme-islam-dan-negara-global-khilafah/Abdurrahman, Hafidz. 2011. Fikrul Islam Bunga Rampai Pemikiran Islam. Bogor : Al Ahzar Press.Azra, Prof.Dr Azyumardi. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Departemen Agama RI.

1