majalah lintas timur edisi 1 tahun 2015

88
www.sunspiritindonesia.com

Upload: kris-bheda-somerpes

Post on 17-Dec-2015

275 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Struktur kepemilikan tanah di Labuan Bajo Manggarai Barat menjadi persoalan yang serius belakangan ini. Sebagian pengamat menyebutnya sebagai bom waktu yang kapan saja bisa meluluhlantakkan solidaritas sosial dan budaya masyarakat setempat jika tidak dirunut-urai secara maksimal dan serius. Mengapa tidak, persoalan yang muncul ke permukaan beragam mulai dari semakin tidak terkontrolnya jual beli tanah karena pasar yang menggiurkan dan permainan kotor para calo baik lokal maupun asing, konflik para pemilik tanah dan pembeli, antara pembeli dengan pembeli, masyarakat dengan pemerintah sampai dengan kaburnya peran masyarakat adat. Mengurai akar soal struktur kepemilikan dan konflik tanah di Labuan Bajo bukan pekerjaan yang mudah. Tidak hanya banyak elemen masyarakat termasuknya di dalamnya pemerintah yang mesti dilibatkan dan mengurusinya secara serius, tetapi juga pada saat yang sama kita seperti diajak kembali ke masa lalu, untuk merekonstruksi sejarah status dan struktur kepemilikan tanah sejak era kedaluan.Lantaran itu Lintas Timur edisi kali ini mencoba untuk mengurai akar soal dengan focus pada salah satu problem utama konflik Tanah di Labuan Bajo yakni ‘Ketika Tanah Jadi Komoditas”. Pemetaan konflik ini tidak hanya untuk menunjukkan fakta keresahan, tetapi juga sekaligus sebagai ajakan bagi semua elemen baik pemerintah dan masyarakat pada umumnya dapat membangun-gandeng gerakan bersama, menemukan solusi yang tepat dalam proses penuntasannya. Bahwa perihal ini bukan problem sepele, tetapi berkaitan dengan identitas budaya dan hak-hak politis warga negara. Namun demikian, redaksi menyadari sungguh bahwa apa yang disajikan dalam halaman-halaman bulletin ini bukanlah ‘’ramuan siap saji’’ melainkan sebuah lineamenta, sekumpulan bahan mentah berupa fakta dan data yang dirangkum dari berbagai arah referensi. Semua fakta pernyataan yang dipaparkan merupakan dokumen penting (data) yang diharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif baru dalam merancang-bangun solusi dan jalan keluar untuk seluruh elemen yang peduli, berkewajiban dan berkepentingan untuk perubahan yang berkelanjutan.Selamat membaca!

TRANSCRIPT

  • www.sunspiritindonesia.com

  • 2 Edisi Juli-Oktober 2013

    Lintas Timur

  • PENGAWAS UMUM: Saver Adir | PENANGGUNG JAWAB: Cypri Jehan Paju Dale dan Ryan Mariano | MANAGER PRODUKSI: Ney Dinan | KEPALA SEKRETARIAT: Thyke Syukur PIMPINAN REDAKSI: Kris da Somerpes | REDAKTUR: Edward Angimoy, Ardi Harsi, Egy Tantono, Ence Geong, Ney Dinan | REPORTER: Thyke Syukur, Nofri Beis, Maria Suryanti, Nius Aso, Gius Renan, Frans Manek, Alfons Bria, Asrida Elisabet | DESAIN/LAYOUTER: Willy Keraf | IKLAN/PEMASARAN: Sony Shugi | SEKRETARIAT REDAKSI: Thyke Syukur | PENCETAK: Pascal Bataona. ALAMAT REDAKSI: Baku Peduli Centre, Jl. Trans Flores km.,10 Watu Langkas, Desa Nggorang, Kec. Ko-modo, Kab. Manggarai Barat, Labuan Bangsa-Bangsa, Nusa Tenggara Timur. Email: [email protected], Web: www.sunspiritindonesia.com DITERBITKAN OLEH: Divisi Riset dan Publikasi SUNSPIRIT For Justice and Peace. | DIDUKUNG OLEH: SUNSPIRIT Publisher, SUNSPIRIT 107,90 FM, CCFD, BAKU PEDULI centre.

    S truktur kepemilikan tanah di Labuan Bajo Manggarai Barat menjadi per-

    soalan yang serius belakangan ini. Sebagian pengamat menyebutnya sebagai bom waktu yang kapan saja bisa meluluh-lantakkan solidaritas sosial dan budaya masyarakat setempat jika tidak dirunut-urai secara maksimal dan serius.

    Mengapa tidak, persoalan yang muncul ke permukaan beragam mulai dari semakin tidak terkontrolnya jual beli tanah karena pasar yang menggiurkan dan permainan kotor para calo baik lokal maupun asing, konflik para pemilik tanah dan pembeli, antara pembeli dengan pembeli, masyara-kat dengan pemerintah sampai dengan

    kaburnya peran masyarakat adat.

    Mengurai akar soal struktur kepemilikan dan konflik tanah di Labuan Bajo bukan pekerjaan yang mudah. Tidak hanya ban-yak elemen masyarakat termasuknya di

    dalamnya pemerintah yang mesti dili-batkan dan mengurusinya secara serius,

    tetapi juga pada saat yang sama kita seperti diajak kembali ke masa lalu, untuk merekonstruksi sejarah status dan struktur kepemilikan tanah sejak era kedaluan.

    Lantaran itu Lintas Timur edisi kali ini mencoba untuk mengurai akar soal den-gan focus pada salah satu problem utama konflik Tanah di Labuan Bajo yakni Ketika Tanah Jadi Komoditas.

    Pemetaan konflik ini tidak hanya untuk menunjukkan fakta keresahan, tetapi juga sekaligus sebagai ajakan bagi se-mua elemen baik pemerintah dan masyarakat pada umumnya dapat mem-bangun-gandeng gerakan bersama, menemukan solusi yang tepat dalam proses penuntasannya. Bahwa perihal

    ini bukan problem sepele, tetapi berkai-tan dengan identitas budaya dan hak-

    hak politis warga negara.

    Namun demikian, redaksi menyadari sungguh bahwa apa yang disajikan dalam halaman-halaman bulletin ini bu-kanlah ramuan siap saji melainkan sebuah lineamenta, sekumpulan bahan mentah berupa fakta dan data yang dirangkum dari berbagai arah referensi.

    Semua fakta pernyataan yang dipapar-kan merupakan dokumen penting (data) yang diharapkan dapat memberikan alternatif-alternatif baru dalam meran-cang-bangun solusi dan jalan keluar

    untuk seluruh elemen yang peduli, berkewajiban dan berkepentingan untuk perubahan yang berkelanjutan.

    Selamat membaca!

    3 Edisi 1/2015

  • LABUAN BAJO, DULU DAN KINI

    4 Edisi I/2015

  • LABUAN BAJO, DULU DAN KINI

    5 Edisi I/2015

  • Orang Manggarai men-genal istilah gendang one lingkon peang, yang secara sosiologis-filosofis berarti orang Manggarai tidak hanya meyakini kampung dengan pusatnya mbaru gendang (rumah gendang) sebagai yang vital, tetapi juga sekaligus memiliki lahan atau tanah garapan bagi warganya yang disebut lingko sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup. Foto: Randang Uma Rana, Rangat Kempo Manggarai Barat/Kris da Somerpes

    6 Edisi 1/2015

  • TANAH SEBAGAI IBU

    Bagi orang Manggarai, tanah adalah ibu atau bunda. Keyakinan akan itu dapat ditelusuri di jantung budaya orang Mang-garai. Beberapa idiom berikut dapat dijadikan sebagai dasar penjelas. Di antaranya: tana kuni agu kalo atau tanah tumpah darah, dan atau soga le ronan, tiba le winan atau langit (yang menumpahkan hujan) sebagai laki-laki (suami) dan bumi (yang menerimanya) adalah perempuan (istri) atau idiom lain Toe sake waken, toe ba tanan, damin kali ga mi wojan agu latung, te hang bara wengko weki yang artinya kurang lebih tidak mencabut akarnya, tidak di bawah ke mana mana, yang kami butuhkan hanya padi dan jagung, untuk kebutuhan sehari-hari.

    TANAH SEBAGAI IDENTITAS DIRI DAN KOMUNITAS

    Tanah dalam kebudayaan Manggarai juga merupakan salah satu basis kehidupan baik personal maupun komunal. Dengan dan melalui tanah sebuah system terben-

    tuk, aturan dan etika relasi terjalin, soli-daritas dirawat dan selanjutnya ke-hidupan dalam segala aspeknya tumbuh. Dalam perspektif di atas, orang Mangga-rai mengenal istilah gendang one lingkon peang, yang secara sosiologis-filosofis berarti orang Manggarai tidak hanya meyakini kampung dengan pusatnya mbaru gendang (rumah gendang) sebagai yang vital, tetapi juga sekaligus memiliki lahan atau tanah garapan bagi warganya yang disebut lingko sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup.

    Keduanya, kampung (beo) dan tanah warga (lingko) dengan demikian menun-jukkan identitas budaya dan jati diri ke-

    mounitas dan personal orang Manggarai. Sehingga tidak dapat dihindari jika kon-flik yang berkaitan dengan tanah bagi orang Manggarai selalu menjadi persoa-lan yang serius. Tidak hanya melibatkan orang per orang, tetapi bahkan antara kampung dengan kampung. Lantaran yang dipertaruhkan adalah harga diri atau identitas diri kampung dan juga pribadi

    TANAH SEBAGAI PRASYARAT LEGAL SEBUAH KAMPUNG

    Bertalian dengan tanah sebagai identitas

    dan jati diri komunitas, secara hukum adat dalam tradisi dan kebudayaan

    Manggarai, tanah juga merupakan pra-syarat mutlak legalitas adat akan ke-satuan masyarakat dalam satu beo (kampung). Sebuah kampung atau pese-kutuan adat atau komunitas (beo) yang tanpa ada lingko perlu diragukan keabsa-han kampung tersebut.

    TANAH SEBAGAI SUMBER HIDUP

    Tanah juga merupakan sumber penghasi-lan, pendapatan ekonomi dan sumber kehidupan bagi orang Manggarai. Karena dalam dan melalui tanah segala jerih

    payah pertanian itu didapat-hasilkan.***

    *) Kris Bheda Somerpes

    7 Edisi 1/2015

  • 8 Edisi I/2015

    TERHANYUT, karya lukis Matheus Sakeus, pelukis sekaligus pengampuh komunitas Nggong Rang Labuan Bajo persis memotret situasi paling kini Labuan Bajo. Bahwa arus pasar pariwisata yang menggiurkan tern-yata menjebak semua semua orang (siapa pun) untuk larut di dalamnya. Uang seperti turun dari langit ketika semua jadi komoditas, termasuk identitas kultural semisal tanah dan keindahan sebagai the common. (200 cm x 150 cm, arkilik pada kanvas, 2013)

  • 9 Edisi I/2015

  • A sal mula bagaimana pembentukan lingko seperti yang kenal di kalangan masyarakat Manggarai

    dapat kita kaitkan dengan situasi prasejarah ketika mereka mulai beralih dari pola hidup berpindah-pindah ke bentuk kehidupan menetap, menetukan tempat yang tetap sebagai daerah hunian yang kita kenal dengan Beo (kampung). Tanah-tanah garapan yang diperoleh dengan merambah hutan oleh penduduk beo itulah yang kemudian disebut lingko (Biasanya juga disebut dengan istilah uma lodok ata do). Berapa banyak lingko untuk setiap beo, sangat bergantung pada kemampuan warga beo itu untuk merambah hutan di sekitar huniannya dan juga sejalan dengan pertambahan warga beo. Masing-masing lingko, luasnya berbeda dan diberi identitas

    luasnya berbeda dan diberi identitas dengan nama tertentu, entah nama tumbuhan yang banyak ditemukan di tanah tersebut, nama sungai yang melintas di wilayah itu atau karakter geografisnya. Lingko Wae Bahi, ada sungai yang bernama Wae Bahi mengalir di sekitar lingko tersebut; Lingko Belang Rambang, karena di lingko itu banyak ditemukan belang (sejenis buluh / sejenis aur). Lingko-lingko ini kemudian akhirnya berbatasan dengan lingko-lingko milik beo/ kampung lain, sehingga ditentukan batas (rahit)) yang pada akhirnya menjadi batas wilayah antar beo/kampung. Sekaligus juga merupakan pengakuan atas hak/ kepemilikan atas lingko masing-masing.

    10 Edisi 1/2015

    TANAH ULAYAT MASYARAKAT MANGGARAI

    Disarikan oleh Kris Bheda

    somerpes dari John Nurung dalam Sistim Pembagian Tanah

    Ulayat Masyarakat Manggarai lexRegis.com edisi, 19 Februari

    2008. Lih. Jg. Adi M. Nggoro

    Budaya Manggarai Selayang Pandang Nusa Indah: 2006 hal.

    29-43

    ASAL USUL LINGKO SEBAGAI TANAH

  • T anah-tanah lingko, yang oleh hukum Nasioanal kemudian dikenal sebagai tanah ulayat (tanah adat) adalah tanah milik bersama warga kampung (komunitas) yang segala pengaturannya secara adat dipusatkan pada mbaru gendang (rumah gendang) Maka bila ada mbaru gendang tentu ada pula lingko-lingko yang menjadi lahan garapan warganya. Bila penduduk kampung semakin berkembang, terjadi pemekaran kampung, bahkan bisa menjadi beberapa anak kampung, mereka tetap terikat oleh urusan adat dengan kampung induknya, atau dengan kata lain terikat pada satu mbaru gendang. Keterikatan dengan gendang asal berimplikasi terikat pula dengan tanah-tanah ulayat atau lingko milik mereka.

    11 Edisi 1/2015

    PEMILIK ATAU YANG BERHAK ATAS

    LINGKO

    B ila memperhatikan bagaimana proses awal pola penguasaan tanah garapan yang disebut lingko, maka dapat disimpulkan bahwa pemilik lingko adalah warga beo (warga sesuku), milik komunitas

    kampung. Dan warga kampung umumnya merupakan suatu kesatuan genealogis (suku). Mereka adalah tuan atas tanahnya, pemilik tanah, dalam bahasa Manggarai disebut sebagai ata ngara tana. Mereka ini yang menjadi tua teno, yaitu orang yang bertugas membagi tanah-tanah lingko kepada warganya. Karena itu tanah lingko di Manggarai tidak pernah dimiliki oleh orang-perorangan secara pribadi.

    LINGKO SEBAGAI TANAH ULAYAT

    H ubungan baik dengan kampung/suku lain atau terutama hubungan perkawianan memungkinkan hadirnya pihak lain dalam lingkungan kampung atau di urusan adat kampung. Dan masyarakat Manggarai yang dahulu menggunakan sistim perkawinan tungku (cross cousin), untuk tetap mengikat hubungan kekeluargaan dengan pihak saudari (anak wanita) yang menikah ke luar sukunya (yang bisa saja dari kampung tetangga), kadang-kadang menghibakan salah satu lingko kepada pihak keluarga besar saudari (anak wanita). Sehingga secara adat lingko yang dihibahkan itu menjadi milik kampung lain. Saat ini, tidak ada lagi tanah lingko yang belum dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak atas tanah-tanah adat tersebut. Tidak jarang para ahli waris (pertama) lingko tersebut, menggugat kembali lingko yang telah dihibahkan itu dan menimbulkan

    konflik yang berkepanjangan.

    PENGHIBAHAN LINGKO

    Siapa saja yang berhak atau boleh mendapat pembagian tanah lingko, secara umun dapat dikatakan bahwa semua warga beo / kampung berhak atah tanah lingko / tanah ulayat. Namun demikian warga beo ini dapat dikategorikan sebagai berikut: Warga Beo / Kampung Sebagai ahli waris. Yang dimaksudkan dengan warga beo asli yang merupakan keturunan

    genealogis (warga sesuku) yang dipandang sebagai tuan tanah di beo / kampung tersebut. Mereka ini dapat dikatakan sebagai ahli waris utama tanah ulayat.

    Pendatang / Long Selain warga beo yang berasal dari turunan sesuku, warga beo atau kampung juga terdiri dari para pendatang dari beo lain atau suku lain yang tinggal menetep di beo atau kampung tersebut. Atau juga warga yang menetap di sana karena ikatan perkawinan atau karena fungsi kemasyarakatan tertentu, seperti guru atau petugas lainnya. Para pendatang ini pun boleh mendapat pembagian tanah ulayat. Para pendatang biasanya mendapat pembagian karena ia aktip sesuai adat setempat memintadisebut pau tuak (kapu manuk?] bersama ayam jantan )pada tuan tanah. Sedangkan yang terikat hubungan perkawinan menerimanya sebagai wida (hiba) kepada saudara perempuan atau anak perempuan yang diperistrinya. Tanah yang sudah dibagikan kepada warga beo akan menjadi hak dari warga yang bersangkutan, tidak boleh ditarik kembali atau dipindahtangankan. Dalam hal si pemilik meninggal atau pindah ke tempat lain, hak atas tanahnya tidak akan hilang atau menjadi milik ahli warisnya.

    PENERIMA ATAU AHLI WARIS ATAS TANAH

  • yang terbuat dari ijuk (wunut) atau alang-alang (rii). Demikian pula dengan struktur kampung (beo) yang berbentuk konsentris, rumah-rumah dibangun melingkari compang (bangunan batu berundak-undak) di tengah kampung. Compang menjadi tempat pemberian sesaji bagi warga kampung (beo). Compang dapat dikatakan sebagai altar beo. Struktur pembangunan rumah, pembentukan kampung atau pola

    pembagian tanah lingko haruslah dilaksanakan dengan memegang teguh prinsip kekeluargaan, prinsip kesatuan suku atau warga beo umumnya.

    S epintas kalau kita memperhatikan sistim pembagian tanah adat masyarakat Manggarai, yakni sistim lodok, maka kita akan melihat adanya kesamaan dengan struktur mbaru niang (rumah asli) dan struktur beo orang Manggarai. Mbaru niang adalah rumah tiang, dengan delapan tiang (siri leles) yang dibangun melingkari tiang utama (siri bongkok) yang merupakan sebatang kayu utuh (tanpa sambungan), dan membentuk sebuah lingkaran.

    Pada siri bongkok ini ditempatkan sesaji bagi para leluhur pada waktu diadakan pesta-pesta adat, seperti penti (pergantian tahun). Atap rumah berbentuk kerucut,

    T anah-tanah adat yang disebut lingko dibagi kepada warga dengan sistim lodok, yakni membagi lingko berawal dari teno dipusat lingko, dan menarik garis lurus (jari-jari) hingga batas terluar tanah lingko tersebut sebagai batas (langang). Proses pembagian sebagai berikut: di pusat lingko ditanam sebatang kayu yang disebut teno. Dinamakan teno karena sepotong tiang itu diambil dari sejenis pohon yang dinamakan haju teno.(pohon teno). Teno merupakan pusat lingkaran tanah lingko yang selanjutnya disebut sebagai lodok (titi pusat) Dari teno ditarik garis batas yang disebut langang (batas tanah) sampai ke batas terluar tanah lingko yang disebut cicing. (lodokn one cicingn peang). Berapa besar ukuran besaran tanah di lodok (pusat lingko)? Masyarakat Manggarai membaginya berdasarkan moso (satu jari tangan) sebagai dasar pembagian awal. Besaran mosopun sangat relatip, tergantung pada berapa jumlah warga yang akan menerima pembagian di lingko bersangkutan. Makin banyak yang akan menerima, makin kecil ukuran moso, demikian pula sebaliknya makin sedikit jumlah penerima, makin besar ukuran moso. Berapa moso dibagikan kepada setiap orang juga bergantung pada kedudukan orang dalam beo (kampung). Maka dikenal istilah moso biasa (satu jari), moso kina (satu setengah jari) dan moso wase (tiga jari). Warga yang dianggap sebagai pemimpin (tua beo / golo) atau tuan tanah (tua teno) biasanya mendapat moso wase (tiga jari) yang merupakan ukuran paling besar. Sedangkan warga lainnya akan menerima moso biasa (satu jari) atau moso kina (satu setengah jari).

    FILOSOPHI PEMBAGIAN TANAH LINGKO SISTIM LODOK

    O rang-orang yang menerima pembagian tanah lingko dengan sendirinya akan dianggap sebagai warga

    beo, karena itu mempunyai keterikatan

    dengan hal-hal yang berurusan dengan

    adat di mbaru gendang, terutama yang

    berkaitan dengan upacara adat di

    kebun, seperti: penti, wasa, cepa

    (untuk lingko randang atau karong woja

    wole di Manggarai timur).

    KEWAJIBAN YANG MENGIKAT PENERIMA

    TANAH LINGKO

    Tanah adalah sumber hidup, karena itu setiap orang punya tanah. Setiap orang memiliki tanah di wilayah persekutuan adat-nya. Dan orang itu harus miliki sarana adat, rumah gendang, compang, lingko. Dalam hal kepemilikan tanah harus melalui proses. Orang Manggarai mengenal lodok dalam pembagian tanah. Begitu juga dengan ungkapan

    Pojok Referensial

    Anton Hantam,

    Tokoh Masyarakat Labuan Bajo

    12 Edisi 1/2015

  • 13 Edisi 1/2015

  • 14 Edisi I/2015

    Dr. Stroma Cole

    Pengajar pada Universitas BristolInggris untuk bidang Tourism Geography

  • 15 Edisi I/2015

    TANAH adalah sumber daya yang sangat penting dan segala upaya harus dilakukan untuk melindungi basis

    sumber daya tanah tersebut untuk: anak-anak dan cucu kita di masa depan FLORES. Pengembang (sering bekerja

    dengan pejabat setempat) akan menggunakan banyak permainan, ketipuan dan muslihat untuk memperoleh

    tanah.

    Orang-orang Flores harus memahami bahwa jika mereka ditawarkan banyak uang untuk tanah mereka hari ini,

    maka esok, tanah itu akan berharga dua kali lebih besar.

    Cerita: sebidang tanah di Labuan Bajo ditawarkan seharga $ 2.000 pada tahun 2006, pada tahun 2009 tanah terse-

    but dijual seharga $ 30.000; pada tahun 2014 mencapai $ 400.000.

    Jika anda membutuhkan uang, sewakan atau kontrak tanah anda selama 10 tahun Jangan menjualkan basis

    sumberdaya itu! Semua orang perlu memahami inibantu untuk menyebarkan nasehat inisewa jangka

    pendek/sewa jangka panjang/kontrak tanah JANGAN MENJUALNYA!!!

    *) Kutipan materi yang disampaikan dalam Konferensi Eco-Flores ke 3 di Maumere-Sikka pada 14-18 Oktober 2014

  • S truktur kepemilikan tanah di Labuan Bajo Mangga-

    rai Barat menjadi persoalan yang serius belakangan ini. Sebagian pengamat menyebutnya sebagai bom

    waktu yang kapan saja bisa meluluhlantakkan solidaritas sosial dan budaya masyarakat setempat jika tidak dirunut

    -urai secara maksimal dan serius.

    Mengapa tidak, persoalan yang muncul ke permukaan

    beragam mulai dari semakin tidak terkontrolnya jual beli tanah karena pasar yang menggiurkan dan permainan

    kotor para calo baik lokal maupun asing, konflik para

    pemilik tanah dan pembeli, antara pembeli dengan pem-beli, masyarakat dengan pemerintah sampai dengan ka-

    burnya peran masyarakat adat.

    Mengurai akar soal struktur kepemilikan dan konflik

    tanah di Labuan Bajo bukan pekerjaan yang mudah. Ti-dak hanya banyak elemen masyarakat termasuknya di

    dalamnya pemerintah yang mesti dilibatkan dan mengu-

    rusinya secara serius, tetapi juga pada saat yang sama

    kita seperti diajak kembali ke masa lalu, untuk merekon-

    struksi sejarah status dan struktur kepemilikan tanah se-jak era kedaluan.

    Berikut adalah laporan penelitian sederhana yang dilaku-

    kan oleh Team riset dan publikasi Rumah Baku Peduli

    Sunspirit For Justice and Peace.

    Penanggung jawab : Ryan Nuhan

    Koordinator Team : Kris Bheda Somerpes

    Koordinator liputan : Kornelis Rahalaka Koordinator data : Edward Angimoy

    Adrianus Harsi Team Penulis : Kornelis Rahalaka,

    Kris Bheda Somerpes

    Editor : Kris Bheda Somerpes Foto/Design/Layout : Komunitas MataRantai

    16 Edisi I/2015

  • 17 Edisi I/2015

    dibentuk kemudian diberi kewenangan untuk melakukan pembagian tanah Demikian penjelasan Anton Hantam, salah satu pelaku sejarah dan tokoh

    Masyarakat Adat Labuan Bajo.

    Problem pertama di atas kemudian mem-bawa dampak pada problem-problem selanjutnya, kedua, yakni perihal system pembagian tanah yang tidak jelas. Menu-rut Camat Komodo Abdullah Nur, se-bagian besar tanah bermasalah yang sementara ini menjadi pemicu konflik di Labuan Bajo adalah tanah-tanah yang dibagi pada era 90-an.

    Rata-rata tanah yang bermasalah sekarang merupakan hasil pembagian pada tahun 1990-an. Banyak tanah

    digugat, sertifikat digugat, pejabat-pejabat digugat, ada surat pelepasan ganda katanya. Dan perihal itu menjadi kerumitan tersendiri dalam proses penye-lesaian konflik tanah.

    Sebagaimana dijelaskan oleh Martin Ndeo Kakanwil Badan Pertanahan Na-sional Manggarai Barat bahwa banyak masyarakat mengklaim bahwa tanahnya dibagi secara adat, tetapi batas-batas tanahnya tidak jelas. Ada banyak per-soalan tanah yang rumit. Ada pembagian tanah oleh tua golo. Persoalan rumit karena ada tanah di lokasi yang sama diserahkan oleh orang yg berbeda. Ba-gaimana dibilang tanah adat sementara batas wilayah adat juga idak jelas. (Contoh kasusnya) di Golo Mori ada tanah yang dikomplain oleh warga dari desa lain ujarnya.

    Ketiga, problem lain adalah perihal le-galitas kepemilikan tanah. Agus Albu, Kepala Desa Batu Cermin Labuan Bajo mengatakan bahwa di Labuan Bajo ban-yak sekali tanah yang bersertifikat ganda. Ada sekitar 90 sertifikat yang bila dite-lusuri tidak punya alas hak untuk terbit sertifikat tanah. Semua sertifikat rata-

    rata dinyatakan berbatasan dengan tanah adat. Dan tanah adat yang mana dan adatnya siapa, tidak jelas. Beberapa warga yang dikonfirmasi menjawab tidak

    tahu sehingga Kades membuat surat rekomendasi agar sertifikat-sertifikat itu ditarik karena tidak punya dasar dan kekuatan. Lokasi yang paling rawan ada di tanah genang dan di Ujung Bandara jelas Agus.

    Keempat adalah lemahnya koordinasi dan pengawasan pemerintah itu sendiri. Salah satu sumber konflik tanah ada pada BPN, tanah di Menjerite sedang dalam persengketaan tetapi sertifikat tanah sudah diterbitkan. Ada hak ke-pemilikan atas tanah. Lalu Akta Notaris melakukan proses pengaktaan. Mestinya perlu koordinasi dan koordinasi dengan

    pihak perijinan karena berkaitan dengan tata ruang jelas Alfons, tokoh muda di Labuan Bajo.

    Di atas semua problem-problem itu, dan ini poin terakhir, kelima, bahwa menjadi jelas jika jual beli tanah di Labuan Bajo menjadi tidak terkontrol. Cypri Jehan Paju Dale, peneliti dan aktivis dari Rumah Baku Peduli menjelaskan bahwa tanah di Labuan telah bergeser fungsinya.

    Ketika tanah menjadi komoditas maka ada soal di sana karena dikuasai untuk kepentingan invetasi. Masalah besar adalah tanah-tanah mulai dikuasai oleh perusahaan besar atau oleh koorporasi besar, oleh investor dari luar negeri. Soal transisi dari tanah kolektif ke tanah invetasi. Ini merupakan proses pemiski-nan bersama. Perhatian penting ketika tanah sudah menjadi komoditas. Jangan sampai sebagai anak tanah kita tidak warisi tanah kita tapi oleh orang luar. Ada proses peminggiran secara kolektif, lewat proses-proses politik, lewat kebija-kan dll katanya. ***

    M engurai sengkarut tanah di kota Labuan Bajo dan seki-tarnya yang sekarang sudah

    sedang beranjak menjadi kota Labuan

    bagi segenap bangsa-bangsa akan kami awali dengan mengangkat pernyataan-pernyataan kunci dari berbagai elemen baik tokoh msyarakat, tokoh adat, ak-tivis, birokrat maupun masyarakat pemilik tanah.

    Pernyataan-pernyataan kunci tersebut kemudian disandingkan dengan fakta-fakta lapangan yang kami temukan dari berbagai sumber informasi. Hal itu di-maksudkan tidak hanya untuk membukti-kan kebenarannya atau menunjuk titik lemahnya, tetapi juga dimaksudkan un-tuk sekedar penjelasan lanjutan.

    Kami melihat bahwa, semua problem sengkarut tanah di kota Labuan Bangsa-bangsa sebenarnya bermuara pada satu sumber utama yakni pengabaian atas semua nilai dan keutamaan yang ter-kandung dalam dan melalui tanah (baik secara kultural, sosial dan historis). Se-lanjutnya tanah sudah sedang dipandang sekedar sebagai salah satu komoditas yang bisa diperdagangkan secara bebas.

    Terdapat lima alasan utama yang dapat kami simpulkan mengapa tanah di La-

    buan Bajo Manggarai Barat telah kehilan-gan keutamaan dan nilai-nilainya.

    Pertama, adalah karena secara klutural Labuan Bajo sebagai salah satu bagian dari wilayah adat Manggarai tidak memiliki struktur adat yang kuat. Pada saat yang sama nilai-nilai historis, budaya dan bahkan sosial dari tanah itu sendiri tercerabut dengan sendirinya.

    Khusus untuk wilayah kedaluan Nggo-rang tidak mengenal atau tidak berlaku filosofi -gendang one lingko peang, tetapi secara eksofisio ditunjuk untuk mengatur pemanfaatan tanah. Wilayah Nggorang merupakan bagian dari Hamente Boleng dan Kempo akibat proses kawin mawin. Demi pendekatan pelayanan kepada masyarakat maka Dalu Bintang waktu itu diberi kepercayaan untuk memimpin wilayah ini. Nggorang sendiri tidak punya kampung adat dan struktur adat. Nggo-rang merupakan pusat persekutuan adat Nggorang

    Dalam pembagian tanah harus melalui prosedur adat. Dalu Nggorang sekaligus sebagai lembaga adat. Sementara itu,

    kata tua golo hanya ada di Manggarai. Permasalahan tanah muncul atau terjadi kekacauan karena ada tua golo yang

    Ini merupakan proses pemiskinan bersama. Perhatian penting ketika tanah sudah men-jadi komoditas. Jangan sampai sebagai anak tanah kita tidak warisi tanah kita tapi oleh orang luar. Ada proses peminggiran secara kolektif, lewat proses-proses politik, lewat kebijakan dll

  • POLA-POLA KEPEMILIKAN DAN KONFLIK TANAH DI LABUAN BAJO

    18 Edisi I/2015

    M enarik untuk menelisik prob-

    lem dan konflik tanah yang

    terjadi di Labuan Bajo. Dari

    sana kita menemukan beragam sumber

    soal. Pun perihal kepentingan apa yang

    bermain di dalamnya.

    Catatan kami, terdapat dua soal utama

    mengapa tanah di Labuan Bajo dan seki-

    tarnya terjebak menjadi salah satu ko-

    moditas yang paling menggiurkan.

    Pertama adalah secara sosial-kultural

    ada kerapuhan identitas. Bahwa tanah

    sebagai sumber hidup dan kehidupan

    tercerabut dari akar-akarnya. Secara

    sosial dan kultural, Labuan Bajo dan seki-

    tarnya nyaris tidak punya identitas yang

    jelas. Kedaluan Nggorang sebagai salah

    satu tumpuan rujukan pun diperdebatkan

    keberadaanya dalam kaitan dengan

    status kepemilikan tanah-tanah di La-

    buan Bajo dan sekitarnya. Pengklaiman

    atas tanah sebagai tanah ulayat pun

    dipersoalkan karena tidak punya batas-

    batas yang jelas.

    Ada sebutan bahwa Labuan Bajo meru-

    pakan tanah yang tak bertuan. Perihal itu

    menunjukkan dengan amat jelas keter-

    kaitan antara tanah dan kepemilikan

    yang sah. Masuknya Negara yang men-

    gintervensi membagi-bagi tanah di pe-

    riode 1990-an justru menimbulkan kon-

    flik yang serius yang hingga kini tak tun-

    tas dikupas-urai.

    Soal-soal ini justru tak dapat ditangani

    secara memadai oleh Negara. Hal ini

    disebabkan karena, Kedua ketidakjela-

    san, ketidaktegasan bahkan kelemahan

    kebijakan dan regulasi pemerintah terkait

    kontrol atas sumber daya alam secara

    khusus tanah, air, pesisir dan pulau-

    pulau.

    Negara melalui pemerintah daerah justru

    terjebak dalam permaian pasar itu

    sendiri. Fakta menunjukkan itu, pertama,

    beragam konflik tanah yang terjadi di

    Labuan Bajo dan sekitarnya tidak sedikit

    yang melibatkan Negara sebagai sumber

    soal. Kedua ada pula oknum pejabat

    Negara yang justru menjadi makelar

    tanah *)

    *) TEAM RISET

    Ketidaktegasan bahkan kele-mahan kebijakan dan regulasi pemerintah terkait kontrol atas sumber daya alam secara khusus tanah, air, pesisir dan pulau-pulau justru memper-parah konflik tanah yang se-mentara ini terjadi di Labuan Bajo dan sekitarnya.

    CONTOH KASUS

  • 19 Edisi I/2015

    K asus sengketa tanah antara dir-inya selaku penggugat (Michael Amadoren) melawan para ter-

    gugat masing-masing Pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Manggarai Barat, Kejaksaan Negeri Labuan Bajo, Badan Pertanahan Nasional dan aparat Polisi Pamong Praja (Pol.PP) Kabupaten Mang-

    garai Barat berlangsung di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, Kabupaten Mangga-rai Barat beberapa waktu lalu.

    Kasus itu bermula pada bulan Februari 2009 lalu di mana pemerintah Manggarai Barat berniat hendak membangun kantor Kejaksaan Negeri Labuan Bajo di atas sebagian dari tanah miliknya seluas kurang lebih 3.000 M2. Rencana pemer-intah tersebut mendapat penolakan dari pihak pemilik tanah. Dengan adanya reaksi penolakan itu, pada bulan Juni 2009 pemerintah mengundang dirinya untuk bertemu di rumah jabatan bupati Manggarai Barat. Waktu itu saya datang menghadap pemerintah, tetapi saya malah diinterogasi seperti seorang pelaku kejahatan. Padahal, waktu itu mereka undang saya datang untuk mencocokan dokumen. Anehnya, bukan mencocokan dokumen malah saya diinterogasi. Jadi saya lalu mengambil sikap menggugat secara hukum. Biarlah hukum yang nanti membuktikan kebenarannya. tandasnya.

    Adapun hasil pertemuan saat itu yakni Bupati Manggarai Barat secara lisan ber-janji kepada pemilik lahan, pihaknya akan memperhatikan hak pemilik lahan atas tanah tersebut dan berjanji akan

    menyelesaikan masalahnya secara baik. Namun, janji pemerintah tersebut be-lakangan tak pernah terealisasi. Sebali-knya, di atas lahan itu mulai dibangun kantor Kejaksaan Negeri. Karena hasil pertemuan sebelumnya tidak direalisasi-kan oleh pemerintah maka pada tanggal 9 Desember 2010 melalui surat bernomor 02/Pribadi/XII/2010 pemilik tanah menu-lis surat kepada pemerintah yang isinya antara lain meminta pemerintah agar menyelesaikan masalah tanah tersebut.

    Menanggapi surat tersebut, pada tanggal 15 Februari 2011 diadakan pertemuan antara pemilik tanah dengan pemerintah daerah di rumah jabatan bupati Mangga-

    rai Barat. Dalam pertemuan itu, pemerin-tah mengakui hak milik tanah itu sebagai milik Amadoren setelah pemerintah mempelajari semua dokumen ke-pemilikan. Menurut pengakuan Amadoren melalui para kuasa hukumnya menyebutkan bahwa pada saat itu, tidak dibuatkan berita acara pertemuan karena

    pemerintah tidak menyiapkan juru tulis untuk menulis hasi-hasil rapat mereka. Namun anehnya, pada tanggal 28 Maret 2011 melalui surat bernomor : Pem./130/77/III, pemerintah setempat secara tiba-tiba mengeluarkan surat la-rangan bagi korban untuk tidak melaku-kan kegiatan di atas tanah miliknya.

    Menaggapi surat larangan pemerintah tersebut, pemilik lahan melayangkan surat bernomor: 03/pribadi/III/2011 tanggal 29 Maret 2009 kepada pemerin-tah yang isinya antara lain meminta pe-merintah untuk menjelaskan dasar ke-pemilikan tanah tersebut sehingga pe-merintah melarang pihaknya melakukan kegiatan di atas tanah miliknya sendiri. Namun, permintaan pemilik lahan tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah setempat. Sebaliknya, pemerintah malah justru menerbitkan surat larangan yang baru. Surat bernomor: Pem. 131/106/V/2011 tanggal 9 Mei 2011 itu pada inti-nya kembali melarang pemilik tanah un-tuk tidak melakukan kegiatan di atas tanah tersebut. Pemerintah mengklaim tanah itu merupakan milik pemerintah daerah.

    Belakangan, tepatnya tanggal 12 Mei

    2011 atas undangan pemerintah, diada-kan pertemuan antara pemilik tanah den-gan pemerintah di kantor bupati Mang-garai Barat. Rapat itu dihadiri sejumlah pejabat antara lain Kabag Tata Pemerin-tahan, Ambrosius Syukur, Kabag Hukum Pemda Mabar, Agustinus Hama dan Ka-sat Pol. PP, Robertus Ngolong. Perte-muan itu sendiri menemui jalan buntuh karena pemerintah mengklaim tanah tersebut merupakan milik pemerintah daerah. Namun, uniknya saat pemilik tanah mendesak pemerintah untuk menunjukkan bukti-bukti kepemilikan atas tanah tersebut, pemerintah tidak

    mempu menunjukkan bukti-bukti ke-pemilikan. Hasil rapat tersebut juga

    tanpa dibuatkan berita acara penyele-saian oleh pemerintah setempat.

    Meskipun status tanah tersebut masih bermasalah,namun anehnya secara diam-diam pihak pertanahan menerbitkan sertifikat hak pakai atas nama Kejaksaan Negeri Labuan Bajo dengan nomor 9 tahun 2010. Tindakan Badan Pertanahan

    itu mendapat sorotan para kuasa hokum dan pemilik tanah. Badan Pertanahan Nasional di Labuan Bajo pun digugat karena dinilai iku melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menerbit-kan sertifikat tanah yang bukan milik Kejaksaan Negeri Labuan Bajo ataupun pemerintah Manggarai Barat. Mereka menilai baik data yuridis, data fisik dan data-data lain yang dipakai oleh Badan Pertanahan Nasional untuk proses pener-bitan sertifikat hak pakai tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.

    Demikian pula tindakan pemerintah

    Manggarai Barat yang mengklaim dan mengaku tanah tersebut merupakan hak miliknya serta mengalihkan hak milik orang serta melarang pemilik tanah un-tuk melakukan kegiatan di atas tanah miliknya sendiri merupakan perbuatan melawan hukum. Apalagi, meskipun sengketa tanah masih berjalan namun pembangunan kantor kejaksaan terus dilakukan. Atas tindakan itu, pemilik tanah melalui kuasa hukumnya melaku-kan teguran dan gugatan hukum. Surat teguran itu pernah dikirim kepada semua pihak yang isinya agar pemerintah segera menyelesaikan persoalan tersebut

    akan tetapi berbagai teguran itu tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah.

    Belakangan sikap kesewenang-wenangan pemerintah daerah terus dilakukan den-gan tindakan pembongkaran dan penghancuran pagar dan rumah milik korban. Peristiwa brutal dan tidak ber-perikemanusiaan dengan menyalahguna-kan kekuasaan itu dilakukan oleh pemer-intah Manggarai Barat pada tanggal 12 Mei 2012 lalu. Tindakan pemerintah tersebut dinilai merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). *)

    *) Editor : Team Riset

    MENGAPA SAYA DIINTEROGASI

    CONTOH KASUS

    Laporan wawancara Kornelis Rahala dengan Michael Amadoren terkait konflik tanah kantor Kejaksaan Negeri Labuan Bajo

  • BANYAK DOKUMEN TANAH YANG HILANG DAN SENGAJA DIHILANGKAN

    20 Edisi I/2015

    K onflik-konflik tanah yang marak terjadi di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya tidak terlepas dari aki-

    bat adanya intervensi pemerintah daerah dalam membagi-bagi tanah ulayat masyarakat adat. Bahkan disinyalir rata-rata tanah yang bermasalah merupakan hasil pembagian yang dilakukan oleh se-

    jumlah oknum pegawai pertanahan pada masa lalu.

    Tidak semua tanah di kota Labuan Bajo dan sekitarnya adalah bermasalah. Hal ini membuktikan bahwa tanah-tanah yang dulu dibagi oleh para fungsionaris adat baik proses pembagian dilakukan oleh dalu maupun oleh para tua golo, relatif tidak bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa peran dan fungsi fungsionaris adat kala itu mendapat legitimasi masyarakat atau ko-munitas adat setempat. Maraknya konflik tanah justru lebih banyak muncul di kawa-san-kawasan yang dulu pernah dibagi oleh tim khusus yang dibentuk oleh pemerintah setempat.

    Sebenarnya tidak semua tanah di kota Labuan Bajo bermasalah. Rata-rata tanah bermasalah merupakan wilayah yang dulu pernah dibagi oleh pemerin-tah. Dalam perjalanan, tanah-tanah itu sebagian disertifikat oleh badan per-tanahan tanpa memeriksa asal usul tanah sehingga terjadi tumpang tindih kepemilikan dan lain-lain,. Akibatnya, belakangan masyarakat mereklaim tanah-tanah tersebut.

    Beberapa kawasan yang rawan konflik antara lain wilayah Pantai Wae Cicu, Batu Cermin, Bukit Cinta atau kawasan ujung bandara udara dan kawasan Menjerite. Wilayah-wilayah tersebut sebagian besar lahan merupakan hasil pembagian oleh tim khusus yang dire-komendasi oleh pemerintah setempat. Akibatnya belakangan memunculkan konflik dan pertentangan di tengah masyarakat baik antar individu maupun antar kelompok.

    Belakangan konflik tanah kian marak disinyalir karena pihak Badan Per-tanahan Nasional (BPN) sebagai otoritas pembuat sertifikat dan badan notaris kurang cermat atau teliti dalam proses menerbitkan sertifikat tanah. Banyak pula dokumen yang sudah hilang atau sengaja dihilangkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu sehingga untuk mendapatkan kembali dokumen-dokumen tersebut cukup sulit. Do-kumen-dokumen tersebut dapat berupa peta, sertifikat atau surat-surat pen-yerahan baik oleh tua golo maupun dalu di masa lalu.

    Pemerintah mesti segera mengambil langkah-langkah konkrit antara lain melakukan penelitian dan pengkajian kembali terhadap seluruh dokumen pertanahan dan menelisik kembali proses-proses penyerahan kemudian melakukan identifikasi terhadap semua tanah baik tanah-tanah yang bersifat komunal maupun pribadi untuk ke-mudian disertifikasi atau dicarikan solusi-solusi yang tepat guna menyelesaikan persoalan tanah di wilayah ini secara damai dan bermartabat. *)

    Editor: Team Riset

    Banyak pula dokumen yang sudah hilang atau

    sengaja dihilangkan oleh pihak tertentu untuk ke-

    pentingan tertentu se-hingga untuk mendapat-

    kan kembali dokumen-dokumen tersebut cukup sulit. Dokumen-dokumen

    tersebut dapat berupa peta, sertifikat atau surat-

    surat penyerahan baik oleh tua golo maupun

    dalu di masa lalu.

    Agus Albu Kepala Desa Batu Cermin

    Pemerintah mesti segera mengambil langkah-langkah konkrit antara lain melaku-kan penelitian dan pengka-jian kembali terhadap selu-ruh dokumen pertanahan dan menelisik kembali proses-proses penyerahan kemudian melakukan identi-fikasi terhadap semua tanah baik tanah-tanah yang bersi-fat komunal maupun pribadi untuk kemudian disertifikasi atau dicarikan solusi-solusi yang tepat guna menyelesai-kan persoalan tanah di wilayah ini secara damai dan bermartabat.

  • Arie Marius Saridin, Pelaku Pariwisata Manggarai Barat

    S ebenarnya diskusi tentang masalah tanah sudah dimulai sejak tahun 2006 lalu. Pada saat itu masyara-

    kat sudah banyak membicarakan persoa-lan tanah termasuk dampaknya pada masalah social, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Termasuk tentang pengklaiman tanah sebagai dampak dari perkembangan dunia kepariwisataan. Persoalan tanah sudah muncul sejak Labuan Bajo dimekarkan menjadi kabu-paten otonom dan menjadi destinasi utama wisata di Flores.

    Banyak investor mulai membeli tanah sehingga nilai jual tanah pun kian melambung. Sejalan dengan maraknya jual beli tanah berdampak pula pada nilai inflasi yang juga ikut merangkak naik. Akibatnya, masyarakat dengan ekonomi pas-pasan harus pandai mengatur eko-nomi rumah tangga bahkan menjerit karena daya beli menurun.

    Repotnya, warga kita sendiri cederung menjual-beli tanah secara bebas tak terkendali. Masyarakat atau pemilik tanah rela melepas hak milik mereka kepada pihak investor atau pembeli karena keterdesakan ekonomi tanpa mempertimbangkan kehidupannya sendiri.

    Fenomena ini mesti mendorong pemerin-

    tah untuk membuat regulasi yang dapat melindungi masyarakat lokal. Tetapi nyatanya, pemerintah juga tidak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah seolah menyerahkan kepada mekanisme pasar. Dalam jebakan ini, akhirnya masyarakat lokal menjadi tamu di atas tanahnya sendiri.

    Pemerintah daerah mesti berinisiatif me-lakukan moratorium atas penjualan tanah tetapi bisa dengan system kontrak kerja sama. Pemerintah perlu membuat peraturan daerah perihal pembangunan hotel atau fasilitas wisata lainnya teru-tama yang berada di wilayah pesisir agar memberikan ruang yang cukup bagi ak-ses masyarakat.

    Bukan hanya itu, katakanlah jika ada Perda tentang bangunan home stay atau hotel misalnya, jika invetor tersebut hanya membangun 10 15 kamar atau villa saja tentu mereka rugi maka mereka dengan tidak sendirinya mem-bangun atau berinvestasi dengan dana miliaran rupiah. Masyarakat bisa mem-bangun sendiri penginapan atau hotel-hotel sederhana untuk para wisatawan. Pemerintah tidak mesti melarang tapi dengan adanya rambu-rambu yang jelas maka setiap investor yang mau berinves-tasi dapat mengikuti aturan yang ada.

    Namun, jika tanpa regulasi atau pera-turan daerah yang mengatur investor atau orang berduit maka mereka 9orang-orang berduit) bisa dengan seenaknya membeli tanah dan membangun tanpa memperhatikan lagi kepentingan masyarakat lokal dan lingkungan seki-tarnya.

    Satu hal yang miris, pemerintah kita juga seolah membiarkan para broker asing datang melakukan jual-beli tanah. Di website ada 2-3 broker yang terlibat bisnis tanah di Manggarai Barat dan itu terang-terangan tetapi pemerintah kita masa bodoh saja.

    Minat investor terhadap kepemilikan tanah memang sangat tinggi namun di

    sisi lain masyarakat kita belum sadar atau mengerti tentang pentingnya tanah termasuk sumber daya alam yang kita miliki.

    Banyak tanah-tanah di pesisir Labuan Bajo yang sudah habis dikuasai oleh pemodal dan mereka dengan seenaknya memagari tanah-tanah mereka sehingga menutup akses bagi masyarakat lokal untuk menikmati alam laut. Padahal, pantai merupakan ruang publik yang seharusnya tidak boleh dijadikan milik pribadi.

    *) Editor: Team Riset

    Di website ada 2-3 broker yang terlibat bisnis tanah di Mang-garai Barat dan itu ter-ang-terangan tetapi pemerintah kita masa bodoh saja,

    Pemerintah seolah menyerahkan kepada mekanisme pasar. Dalam jebakan ini, akhirnya masyarakat lokal

    menjadi tamu di atas tanahnya sendiri.

    21 Edisi I/2015

  • Tidak enak saya menyebut nama-nama mereka. Tetapi yang pasti, tanah ulayat nenek moyang kami dirampok lalu diperjualbelikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Kini kami mengambilnya kembali. Bagi mereka yang merasa dirugikan, silahkan me-lapor kepada pihak berwajib

    Bonaventura Abunawan, Tuan tanah

    K awasan Menjerite merupakan tanah terjanji bagi masyarakat adat Mbehal. Terletak di tepi pan-

    tai yang diapit gugusan bukit hijau men-jadikan kawasan ini diincari banyak pihak terutama sejak Manggarai Barat dimekar-kan menjadi daerah otonom baru.

    Ribuan hektar lahan bekas garapan masyarakat berikut sebagian hutan tutu-pan atau hutan lindung bahkan habis di-kampling dan diperjualbelikan kepada in-vestor dan oknum pejabat tertentu. Fenomena jual-beli tanah tanpa hak ini membuat warga Mbehal selaku pemilik ulayat berang.

    Kawasan itu tidak boleh diambilalih begitu saja oleh orang-orang yang tidak bertang-gung jawab tanpa prosedur yang benar

    dan tanpa menghormati hak-hak ulayat masyarakat adat. Jelas Bonaventura Abunawan, seorang tuan tanah yang berlokasi di Menjerite, Desa Rangko Ke-camatan Boleng.

    Kami tidak rela tanah ulayat kami diper-julahbelikan tanpa prosedur yang benar. Para penjual itu bukan pemilik hak ulayat. Mereka adalah orang-orang yang tidak berhak membagi-bagi tanah, pa-parnya.

    Bona dan warga Mbehal geram, ratusan hektar tanah Menjerite nyaris habis di-kapling-kampling oleh ratusan orang baik pengusaha, pejabat maupun warga biasa. Padahal, tanah di wilayah itu me-rupakan hak ulayat adat Mbehal yang diwarsikan secara turun temurun oleh

    nenek moyang mereka.

    Maka bersama ratusan warga Mbehal yang berasal dari 11 anak kampung, pada tanggal 24 Oktober lalu turun ke lapangan. Mereka mengkapling dan mengambil kembali tanah-tanah mereka yang sudah diperjualbelikan kepada pihak lain.

    Sebelum membagi-bagi tanah, mereka melakukan ritual adat meminta restu sekaligus perlindungan dari roh pen-guasa alam jagat raya.

    Sekitar 70 hektar tanah dikampling kem-bali termasuk tanah-tanah yang sudah jatuh ke tangan para pengusaha dan oknum pejabat negara.

    22 Edisi I/2015

    *) Team Riset

  • Kami mengambil dan membagi-bagi kem-bali tanah-tanah itu. Karena bagi kami, tanah-tanah itu hak ulayat masyarakat Mbehal. Dan mereka yang membagi dan

    menjualbelikan tanah-tanah itu adalah orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, tambah Tua Golo Mbehal, Alex Makung.

    Di lokasi itu juga langsung dibentuk se-buah kampung baru yang mereka namai Kampung Wae Hali. Nama Wae Hali berarti mata air yang digali.

    Warga Mbehal tidak menghendaki bila hak-hak mereka diambilalih begitu saja tanpa prosedur yang benar dan tanpa musy-awarah mufakat.

    Data yang diperoleh dari masyarakat adat Mbehal menyebutkan, selain puluhan pen-gusaha, sejumlah oknum pejabat di ling-kup pemerintah Manggarai Barat pun memiliki tanah di kawasan itu.

    Semua data nama baik pengusaha mau-pun oknum pejabat ada pada kami. Be-berapa pejabat dan pengusaha sudah datang bertemu dengan kami dan mereka meminta agar tanah mereka dikembalikan tetapi saya tidak mau. Kalo mereka keber-atan, silakan lapor kami ke aparat penegak hukum. Ada juga yang mau kasih saya uang tapi saya bilang kalau saya mau kaya, saya bisa kaya tetapi perjuangan

    saya bukan untuk diri sendiri tapi untuk masyarakat banyak yakni warga Mbehal pemilik sah atas hak ulayat tanah, tu-kasnya.

    Bona dan tua golo Mbehal menyebut-kan, tanah-tanah di Menjerite mulai dibagi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab sejak tahun-tahun awal Manggarai Barat dimekarkan seba-gai sebuah kabupaten.

    Sebagian tanah dibagi oleh Kepala Desa Rangko yang kini sudah almarhum, lain-nya dibagi oleh broker-broker penjual tanah baik oleh oknum warga setempat maupun oknum pegawai dilingkup pe-merintah Manggarai Barat. Kini, tanah-tanah itu sudah diambilalih oleh warga Mbehal. Sebanyak 318 Kepala Keluarga

    (KK) Mbehal menguasai kembali tanah-tanah itu.

    Meskipun sebagian tanah sudah direk-laim oleh warga Mbehal, namun menu-rut penuturan Bona, perjuangan ini be-lum selesai. Bona mengaku perjuangan untuk mendapatkan kembali hak-hak warga Mbehal tidak sepi dari tantangan dan halangan.

    Aksi terror dan penghadangan secara fisik oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan kerap ia hadapi. Namun bagi Bona dan warga Mbehal, aksi-aksi itu

    tidak akan menyurutkan langkah mereka untuk memperjuangkan hak-haknya.

    Kami tahu, perjuangan ini tidak ringan karena harus berhadapan dengan orang-orang yang punya uang dan kuasa. Tapi kami tidak akan mundur, tegas-nya.

    Bagi Bona dan warga Mbehal, terror dan ancaman merupakan bagian dari per-juangan.

    Seorang oknum pengusaha yang merasa dirugikan dikabarkan pernah memfasili-tasi sekelompok orang dari luar daerah untuk melakukan aksi terror dengan terjun langsung ke lokasi dan mengkap-ling-kapling tanah.

    Namun, aksi sekelompok orang itu be-lakangan berhenti ketika ratusan warga Mbehal turun ke lokasi dan mengambil kembali lahan-lahan mereka.

    Belakangan diketahui bahwa kelompok warga yang diperkirakan berjumlah 40 orang itu sengaja disewa oleh seorang oknum pengusaha dan ke-40 orang itu pun telah dibagikan tanah masing-masing berukuran 20 x 150. Para pekerja tersebut dibagikan tanah seka-ligus mereka dijadikan tameng untuk melindungi tanah milik sang pengusaha yang dibeli dari para broker tanah. *)

    N ama Wae Hali berarti mata air yang digali. Konon, hidup sepasang suami istri di Kampung Mbehal. Mereka terkenal memiliki ilmu tinggi. Keduanya dianggap sebagai orang yang sering membuat warga kampung menderita sakit dan ke-matian. Kedua suami istri itu pernah dianiaya dan dibunuh namun tidak pernah mati.

    Pada suatu waktu, para tetua adat berkumpul dan berencana untuk menghi-

    langkan pasangan suami istri itu dengan mengikat dan membuang mereka ke jurang. Hari yang ditunggu pun tiba. Sepasang suami istri diikat dan dibuang ke tepi jurang di kawasan Menjerite.

    Namun ajaib, mereka tidak mati. Be-lakangan diketahui suami istri tersebut tetap hidup. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, mereka meng-gali sebuah sumur tidak jauh dari jurang, tempat mereka dibuang. Hingga kini,

    mata air itu masih ada dan lokasi itu pun dijadikan sebagai tapal batas antara Nggorang dan Mbehal. Sejarah itu masih terpatri baik dan dikisahkan secara tu-run temurun hingga generasi sekarang. Berangkat dari sejarah panjang masa lalu, Bona dan masyarakat Mbehal merasa kawasan Menjerite adalah tanah ulayat yang harus direbut kembali dan mereklaim tanah-tanah itu merupakan pilihan terbaik untuk mengatasi konflik kepentingan.

    23 Edisi I/2015

  • S ejarah masyarakat adat Mbehal tak dapat dilepaspisahkan dari filosofi luhur gendang one lingko peang

    yang dianut oleh masyarakat Manggarai pada umumnya. Menelusuri sejarah Mbe-hal, patut dilihat dalam kerangka filosofi luhur di atas.

    Menurut Bona Mbehal berbeda dengan kedaluan Nggorang wilayah dibawah ke-kuasaan Kedaluan Nggorang yang meliputi kota Labuan Bajo dan sekitarnya tidak memenuhi unsur-unsur seperti yang ter-kandung dalam filosofi gendang one lingko peang. Karenanya, kawasan Nggorang dan Labuan Bajo merupakan bagian tak terpisahkan dari ulayat Mbehal. Sejarah ini perlu diluruskan, kata Bona.

    Bukti bahwa Dalu Nggorang tidak memiliki hak ulayat tanah dan tidak punya kewe-nangan untuk membagi tanah dapat dite-lusuri dari sejumlah even antara lain pada saat kegiatan randang (upacara pembu-kaan kebun baru) tua adat Mbehal selalu diundang untuk memimpin ritual adat.

    Pada tahun 1962 diadakan acara randang Capi di Lingko Walang. kala itu masyarakat adat Nggorang meminta gendang (tua adat) dari Mbehal bernama Jangko untuk memimpin ritual adat randang. Demikian pula pada upacara adat randang di Lingko Sampang Alak di Desa Nggorang tua gen-dang dari Mbehal diundang oleh masyara-kat setempat karena masyarakat men-yadari dan tahu sejarah tanah-tanah adalah ulayat masyarakat adat Mbehal.

    Dalam sejarah perjalanan kekuasaan se-bagian wilayah Manggarai di bawah Kesul-tanan Bima, Mbehal yang merupakan bagian dari kedaluan Boleng tidak pernah ditaklukan atau dijajah oleh Kesultanan Bima dalam kerjasamanya dengan Kera-jaan Goa.

    Karena Mbehal sulit ditundukan maka den-gan berbagai tipu muslihat, Bima ingin menguasai seluruh wilayah kedaluan Nggorang yang meliputi Labuan Bajo dan sekitarnya.

    Kala itu penguasa penjajah berusaha men-

    ganeksasi wilayah dengan memanfaatkan beberapa kekuatan lokal melalui menginfil-trasi demi menaklukan dan menguasai

    wilayah-wilayah yang merupakan bagian dari ulayat Mbehal.

    Bona menyatakan, bila pemerintah ingin menyelesaikan konflik-konflik tanah di wilayah ini maka pemerintah hendaknya tidak mengabaikan sejarah masa lalu.

    Sejarah bagi Bona tidak pernah bohong dan merupakan titian hidup yang tak boleh diabaikan begitu saja. Berbagai kasus tanah yang belakangan ini marak terjadi di wilayah ini tidak bisa dilepas-kan dari sejarah masa lalu yang penuh dengan pertarungan dan manipulasi.

    Ia menyebut, situasi kian carut marut manakala pada tahun 1980-an pemerin-tah membentuk fungsionaris adat Nggo-rang dibawah kepemimpinan Ishaka. Pengangkatan fungsionaris adat tersebut disinyalir menjadi salah satu pemicu terjadinya berbagai konflik tanah di wilayah ini termasuk kasus tanah di ka-wasan Menjerite. *)

    Situasi kian carut ma-rut manakala pada ta-hun 1980-an pemerin-tah membentuk fung-

    sionaris adat Nggo-rang dibawah ke-

    pemimpinan Ishaka. Pengangkatan fung-

    sionaris adat tersebut disinyalir menjadi

    salah satu pemicu ter-jadinya berbagai kon-

    flik tanah di wilayah ini termasuk kasus tanah di kawasan

    Menjerite.

    Bonaventura Abunawan

    24 Edisi I/2015

  • 25 Edisi I/2015

    Gendang One Lingko Peang

    O rang Manggarai pada umumnya memiliki kearifan-kearifan lokal

    dalam hal penguasaan dan sistem pengelolaan sumber daya alam terutama tanah. Mereka mengenal sejumlah istilah dan sebutan yang berkaitan dengan sistem dan kewenangan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam seperti sebutan Tuan Golo, Tua Teno dan Mbaru Gendang.

    Istilah-istilah itu berhubungan erat dengan sistem penguasaan dan pengelolaan tanah dan sumber daya alam lainnya yang masih berlaku dan dipraktekan sampai sekarang.

    Dalam menjalankan pemerintahan lokal atau masyarakat adat, orang Manggarai

    melandaskan pada lima azas utama seba-gai way of life orang Manggarai yakni :

    Pertama, Mbaru Bate Kaeng yakni rumah sebagai tempat tinggal; Kedua, Uma Bate Duat yaitu adanya lahan atau lingko (tanah persekutuan adat) sebagai sumber kehidupan; Ketiga, Natas Bate Labar yaitu adanya halaman rumah se-bagai tempat untuk bermain dan untuk mengadakan ritus-ritus adat atau aktivi-tas lainnya; Keempat, Wae Bate Teku artinya, ketersedianya air sebagai salah satu sumber kehidupan yang digunakan untuk mandi, memasak mencuci dan mengairi persawahan serta kelima, Com-pang yaitu tugu sebagai altar atau tem-pat untuk mengadakan upacara atau ritus-ritus adat yang menghubungkan manusia dengan alam, manusia dengan pencipta serta manusia dengan sesama manusia lainnya.

    Persekutuan dan kekerabatan orang Manggarai terkenal sangat kuat dan ma-

    sih menjunjung tinggi nilai-nilai keber-samaan. Bila menghadapi persoalan, mereka cenderung mengedapankan pen-yelesaiaan adat ketimbang hukum positif meskipun di sejumlah wilayah karifan-kearifan lokal itu semakin tergerus.

    Bila ada gagasan atau rencana untuk pembagian tanah misalnya, mereka bisa datang kepada Tua Kilo atau Tua Panga (kepala suku) atau bisa langsung kepada Tua Golo (Kepala kampung) untuk ber-musyawarah atau melakukan musy-awarah kampung atau dikenal dengan istilah lonto leok bantang cama (duduk melingkar sambil musyawarah bersama/sidang adat).

    Dalam penyelesaian suatu konflik, baik menyangkut konflik tanah maupun konflik sosial lainnya, penyelesaiannya bersifat berjenjang. Para pihak bisa menyelesaikan pada tingkatan masing-masing kilo atau masing-masing panga tergantung pada muatan dan jenis dan pelanggarannya.

    Setiap persoalan yang terjadi, biasanya dapat diselesaikan secara damai dengan mekansime hambor atau perdamaian adat. Keputusan yang diambil selalu

    dengan kata salah atau benar dan bu-kan kalah atau menang. Setiap kepu-tusan selalu berdasarkan pada prinsip

    ipo ata poli wa tanan toa nganceng lait kole (apa yang telah diputuskan ber-sama, tidak boleh digugat kembali). Demikian pula sanksi adat terhadap pelanggar atau pelaku tidak berupa uang melainkan berupa benda dan he-wan seperti tuak, ayam, anjing, babi dan sebagainya.

    Sementara itu, penguasa tanah adat di Manggarai adalah Tua Golo. Tua Golo dapat melimpahkan kuasanya kepada Tua Teno untuk membuka atau mem-bagi suatu lingko (tanah adat). Tua Teno inilah yang mengatur gendang one lingko peang yakni mulai dari rumah adat sampai pembagian tanah serta struktur adat dan aturan wono (upeti) diatur oleh Tua Teno.

    Sebelum suatu lingko atau tanah ko-munal adat dibagi, Tua Teno yang men-diami suatu rumah adat (mbaru gen-dang) lalu mengumpulkan semua ang-gota suku guna bermusyawarah ber-sama (lonto leok bantang cama) untuk mengatur pembagian tanah secara adil dan bijaksana. Ada beberapa jenis lingko (tanah adat) di Manggarai:

    Lingko Rame/Lingko Randang yakni tanah yang dibuka dengan ritual adat dan ditandai dengan pemotongan korban seekor kerbau atau babi berbulu merah (ela ruang). Tanah adat yang dibuka dengan mengorbankan kerbau tersebut disebut Lingko Rona sedangkan tanah adat dengan mengorbankan see-

    kor babi merah disebut Lingko Wina. Kemudian, diantara salah satu lingko lagi dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan ritual adat dengan men-gorbankan seekor babi.

    Upacara ini dilakukan setiap tahun yang disebut Penti yakni upacara adat syu-kuran atas hasil panen. Sedangkan Lingko Saungcue yakni tanah adat yang dibuka dengan ritual adat dengan men-gorbankan seekor babi. Biasanya, bagi warga yang mendapatkan tanah pem-bagian tersebut diwajibkan melakukan ritual adat setiap tahun dengan men-

    gorbankan satu ekor ayam di atas tanah mereka masing-masing.

    Lima azas utama sebagai way of life orang Manggarai yakni : Pertama, Mbaru Bate Kaeng yakni rumah sebagai tempat tinggal; Kedua, Uma Bate Duat yaitu adanya lahan atau lingko (tanah persekutuan adat) sebagai sumber kehidupan; Ketiga, Natas Bate Labar yaitu adanya halaman rumah sebagai tempat untuk bermain dan untuk men-gadakan ritus-ritus adat atau aktivitas lainnya; Keempat, Wae Bate Teku artinya, ketersedianya air sebagai salah satu sumber kehidupan yang digunakan untuk mandi, memasak mencuci dan mengairi persawahan serta kelima, Compang yaitu tugu sebagai altar atau tempat untuk mengadakan upacara atau ritus-ritus adat yang menghubung-kan manusia dengan alam, manusia dengan pencipta serta manusia dengan sesama manusia lainnya.

  • Dalam pengelolaan tanah lingko, terdapat tiga mekanisme pembagian yakni mekan-isme Lodok yakni pembagian tanah den-gan bentuk segi tiga. Tua Teno yang ber-tugas melakukan pembagian berdiri tepat di tengah (mangka) atau di titik pusat tanah tersebut dan mengatur pembagian mulai dari dalam menuju keluar ke arah batas luar (cicing lingko).

    Istilah lain yakni Neol yakni pembagian tanah adat oleh beberpa orang wargayang dilakukan secara adil dan bijaksana dalam bentuk segi tiga dalam areal yang kecil dengan mendapat persetujuan Tua Teno dan Tua Golo. Pembagian dengan sistem Tobok yakni pembagian tanah sisa dari pembagian Lingko Lodok oleh beberapa orang warga di luar batas tanah adat (cicing lingko).

    Setiap tahun, komunitas adat atau golo/beo merayakan penti. Agar pesta terse-lenggara dengan baik, Tua Teno yang mengatur pembagian upeti (wono) berupa uang, beras, tuak, babi, kepada setiap suku atau warga. Biasanya, dalam pesta penti ini, warga melakukan beberapa ritual adat seperti : Barong Wae yakni semua warga melakukan upacara adat di mata air, tempat warga sehari-hari menimbah air.

    Upacara ini sebagai ucapan syukur kepada Tuhan dan alam yang telah memberikan air untuk memenuhi kebutuhan hidup selu-ruh warga. Biasanya, dalam ritus adat ini dikorbankan seekor ayam berwarna putih. Torong Ela Wee Penti yaitu setelah warga pulang dari mata air, mereka langsung melakukan ritual adat di rumah gendang untuk menghormati dan mengenang para leluhur yang telah meninggal dunia.

    Biasanya, dalam ritus ini, dikorbankan satu ekor babi. Karong Lodok yakni semua warga turun ke lingko rame/lingko ran-dang diiringi gong dan gendang dan me-lakukan ritual adat dengan korban seekor babi di pusat moso atau tepat dititik ten-gah tanah adat sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah memberi mereka hasil dari tanah yang mereka kerjakan.

    Torok Ela One Compang yakni setelah melakukan ritual Karong Lodok warga

    kembali berkumpul di tengah halaman kampung dan melakukan ritual adat di

    compang (tugu yang didirikan di tengah halaman rumah) dengan korban seekor babi sebagai ungkapan syukur atas ke-baikan dan kemurahan Tuhan dan lelu-hur yang telah menjaga, melindungi dan memberi mereka hidup.

    Menurut penuturan tua-tua adat, dari dulu kala tidak ada perang tanding antar golo di Manggarai dalam rangka menak-lukan satu golo atau menguasai apalagi menjajah golo lainnya. Hubungan antara golo diwarnai oleh persamaan derajat seperti dalam ungkapan : poti woleng beo, darat woleng tanah. Dalam pengertian murni tradisional setiap golo bersifat independen dalam bidang ke-kuasaan dan hak atas tanah.

    Antara golo, teno, rumah gendang dan lingko merupakan satu kesatuan ke-hidupan orang Manggarai yang tak bisa dipisah-pisahkan dan telah membentuk satu kesatuan social politik dan spiritual yang utuh. Lingko yang berbentuk bundar atau lingkaran dapat dilihat hubungannya dengan golo. Istilah golo itu sendiri berarti bukit atau juga kam-pung. Maka, dari atas bukit setiap orang dapat melihat dengan jelas ke arah bawah atas dasar bukit yang memben-tuk sebuah sebuah lingkaran.

    Orang Menggarai juga mengenal tata ruang. Sistem penataan ruang, orang Manggarai membagi wilayah berdasar-kan empat jenis yaitu Pong yakni kawa-san terlarang seperti kawasan yang ter-letrak dekat mata air; Puar merupakan kawasan hutan yang dapat dimanfatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti membangun rumah; Uma yaitu kawasan yang dialokasikan untuk pe-mukiman dan perladangan dan Satar yakni kawasan padang rumput atau sa-vanna yang berfungsi sebagai padang

    penggembalaan ternak.

    Kini, dengan perkembangan dunia yang semakin modern dan perubahan yang pesat, nilai-nilai kearifan lokal masyara-kat Manggarai perlahan-lahan mulai ter-ancam hilang.*)

    Tiap persoalan yang terjadi, biasanya dapat diselesaikan secara damai dengan mekansime hambor atau perdamaian adat. Keputusan yang diambil selalu dengan kata salah atau benar dan bukan kalah atau menang.

    26 Edisi I/2015

  • 27 Edisi I/2015

  • 28 Edisi I/2015

    S engketa atau konflik adalah suatu keadaan dimana terdapat dua pi-hak atau lebih yang saling berten-

    tangan untuk memperebutkan sesuatu yang bernilai bagi pihak masing-masing. Konflik tanah sebagai bagian dari konflik sosial biasanya berasal dari klaim pen-guasaan atas sebidang tanah. Para pihak yang terlibat dalam konflik mengklaim bahwa tanah yang disangketakan adalah tanah yang berada dalam pengua-saannya dengan alasan hak tertentu.

    Berkaitan relasi antara pihak dalam kon-flik, konflik tanah dibedakan atas dua

    yaitu konflik tanah yang sifatnya horizon-tal dan fertikal. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antar orang peroran-

    gan atau antara kelompok masyarakat dalam masyarakat. Konflik jenis bersifat perdata semata-mata, yaitu masalah kepemilikan. Sedangkan konflik vertical adalah antara masyarakat dengan Ne-gara, dimana masyarakat melakukan perlawanan terhadap aparat pemerintah yang sudah, sedang dan akan menguasai tanah masyarakat. Konflik ini tidak hanya beraspek perdata, tetapi terutama beraspek publik karena berkaitan dengan kekuasaan dan kebijakan Negara atas tanah. Pertanyaannya adalah sejauh mana Negara mengeluarkan kebijakan yang adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

    Sengketa tanah ulayat adalah represen-tasi sengketa agraria yang structural yang paling jelas. Sebab, dalam sengketa tanah ulayat masyarakat (adat) secara bersama-sama melawan kekuasaan Ne-

    gara akibat dikeluarkannya atau dilak-sanakannya kebijakan pertanahan oleh Negara yang merugikan dan menyisihkan masyarakat adat.

    Munculnya sengketa tanah ulayat bi-asanya diawali dengan: Pertama, adanya keinginan pemerintah untuk men-yediakan tanah bagi kepentingang ter-tentu. Untuk mewujudkan keinginan tersebut pemerintah membebaskan atau melakukan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi yang ditentukan oleh pemerintah atau oleh tim penaksir harga tanah yang dipilih oleh pemerintah. Kon-flik biasanya terjadi ketika masyarakat tidak berniat untuk melepaskan sebidang tanah yang dikuasainya atau tidak puas dengan imbalan yang diberikan oleh pe-merintah.

    Konflik structural model kedua adalah masyarakat adat merebut kembali tanah-tanah yang diyakininya sebagai hak ulayat yang sudah dikuasai atau dikelola oleh pemerintah atau penguasa. Tanah-tanah ulayat yang pada zaman Belanda diambil secara paksa dan tidak sah, kini dikuasai oleh pemerintah atau penguasa sekarang melalui konversi hak dalam UUPA. Beberapa contoh konflik tanah model ini banyak terjadi di Jawa, Kali-mantan dan Sumatera antara masyarakat adat dengan dengan penguasa perkebu-

    nan atau pengusaha hutan.

    Model ketiga adalah sengketa yang ber-awal dari klaim penguasaan tanah-tanah kosong, seperti bekas-bekas ladang, padang penggembalaan ternak dan hu-tan-hutan belukar. Ketika di atas tanah tersebut dibuka untuk usaha tertentu, muncul klaim dari berbagai pihak, teru-tama dari masyarakat dan pemerintah. Jika pemerintah atau pengusaha yang mengusahakan tanah, masyarakat adat mengklaimnya sebagai tanah hak ulayat masyarakat adat mereka. Sementara, pemerintah menyatakan tanah tersebut sebagai tanah Negara.

    Pemerintah sebagai pihak yang kuat den-gan segala monopoli kekuasaan dan kekerasan yang dimilikinya tentu saja tidak bisa dikalahkan oleh masyarakat. Ketika masyarakat mencoba untuk mela-wan, pemerintah menghadapinya dengan aparat militer dengan persenjataan leng-kap. Akibatnya konflik pun berakhir den-gan kekerasan, penyiksaan, pengusiran, penculikan dan pembunuhan.

    Menurut Erpan Faryadi (2004), activist KPA, sengketa-sengketa agrarian (terutama yang structural) yang banyak sekali terjadi selama diakibatkan oleh politik agrarian Orde Baru yang berinti-kan pada penguasaan kekayaan alam dan monopoli penguasaan atas tanah oleh Negara. Monopoli kekuasaan Negara atas tanah bukan hanya dari politik agrarian Orde Baru yang muncul setelah

    UUPA, tetapi justru mendapat justifikasi dan legalitasnya dalam UUPA sendiri. UUPA lah yang melahirkan dan menam-pilkan Negara yang kuat Orde Baru yang monopoli penguasaan tanah.

    Artinya, sepanjang tidak ada perbaikan konsep hubungan antara negara dengan tanah, maka sepanjang itu pula akan terjadi sengketa tanah yang bersifat structural. Konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah atau perusa-haan besar akan tetap muncul sepanjang masih ada investasi (pengusaha) dan kebijakan pertanahan (pemerintah) yang

    tidak menghormati hak-hak masyarakat.

    KOLOM

    Disari dari Makalah: Gregorius Jenahm, SH

    yang berjudul Persoalan Hukum

    dalam Sengketa Tanah Ulayat

    Oleh: Team Riset

    Ada juga sengketa yang berawal dari klaim penguasaan tanah-tanah kosong, seperti bekas-

    bekas ladang, padang penggem-balaan ternak dan hutan-hutan

    belukar. Ketika di atas tanah tersebut dibuka untuk usaha ter-tentu, muncul klaim dari berba-

    gai pihak, terutama dari masyarakat dan pemerintah. Jika

    pemerintah atau pengusaha yang mengusahakan tanah,

    masyarakat adat mengklaimnya sebagai tanah hak ulayat

    masyarakat adat mereka. Se-mentara, pemerintah menyata-

    kan tanah tersebut sebagai tanah Negara.

    Hak ulayat merupakan hak tertinggi; hak-hak lain bersumber darinya

  • 29 Edisi I/2015

    K onsep hak ulayat dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

    (UUPA) diambil dari hukum tanah adat. Dalam hukum adat, hak ulayat meru-pakan hak penguasaan tanah yang tertinggi. Sebagai hak tertinggi, hak ula-lat mengandung dua aspek hukum yakni aspek hukum perdata dan aspek hukum publik. Aspek hukum perdata berkaitan dengan hak bersama kepunyaan atas

    tanah tersebut. Sedang aspek hukum publiknya berkaitan dengan dengan tu-gas kewenangan untuk mengelola, men-gatur dan memimpin, peruntukan, pen-guasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah.

    Sementara itu, hak ulayat mencakup semua tanah yang ada dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangku-tan baik yang sudah menjadi hak seseo-rang maupun belum. Subjek hak ulayat adalah seluruh anggota masyarakat adat. Tugas atau kewenangan untuk mengel-ola dan mengatur serta pemeliharaan

    tanah dilakukan oleh penguasa adat.

    Konsep hak ulayat di atas diadopsi se-cara aneh oleh pembuat UUPA dengan dua cara. Pertama, konsep tentang hak ulayat sebagai penguasaan tertinggi

    diterjemahkan ke dalam UUPA sebagai hak bangsa. Hak bangsa ini diatur dalam Pasal 1 UUPA. Istilah hak bangsa ini me-mang tidak disebutkan dalam UUPA. Nama hak bangsa diberikan oleh ilmu-wan hukum untuk menyebutkan hubun-gan antara bangsa Indonesia dengan tanah. Hak bangsa ini mengandung tiga unsur penting yang sebagaimana terca-kup dalam hak ulayat dalam hukum adat.

    Kedua, lembaga hak ulayat juga diadopsi dalam pasal 3 UUPA. Pasal 3 UUPA ter-tutama memberi penekanan pada adanya pengakuan hak ulayat dalam hukum tanah nasional. Dalam penjelasan pasal 3 ini dikatakan bahwa hak ulayat yang dimaksudkan dalam UUPA adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan hukum adat. Beschikkingsrecht sebagai-mana yang disebutkan di atas adalah 1) hak penguasaan tanah yang tertinggi. 2) memiliki aspek hukum perdata dan pub-lik. 3) Mencakup semua tanah yang ter-dapat dalam wilayah masyarakat hukum adat.

    Hakikat dan muatan isi hak bangsa dalam pasal 1 dan hak ulayat dalam pasal 3 adalah sama. Keduanya meru-pakan hak penguasaan tanah tertinggi dan beraspek hukum perdata dan publik.

    Hanya besaran atau cakupan luas tanah sebagai keduanya berbeda. Kalau hak bangsa mencakup semua tanah di wilayah NKRI, sedangkan hak ulayat dalam pasal 3 hanya mencakup tanah sebagian tanah di wilayah NKRI.

    Penempatan dua jenis hak penguasaan tanah yang tertinggi dalam UUPA mem-berikan dua implikasi dan konsekuensi logis sebagai berikut. Pertama, hak

    bangsa seharusnya hanya mencakup tanah-tanah di luar tanah-tanah ulayat. Sebab tidak dapat dibenarkan secara teoretis bahwa di atas tanah ulayat dile-tak dua hak penguasaan tertinggi.

    Bagaimana mungkin ada hak yang tertinggi di atas yang tertinggi. Kedua, jika hak bangsa juga mencakup tanah-tanah ulayat, UUPA memang sejak awal ingin membenturkan atau menciptakan konflik dalam penguasaan tanah-tanah ulayat. Sebab, konflik ulayat menjadi konsekuensi logis dari pelaksanaan UUPA. Artinya jika UUPA diterapkan se-

    cara konsisten, pasti akan terjadi konflik tanah ulayat.

    Pertanyaannya adalah benarkah UUPA sungguh-sungguh mengakui hak ulayat atau hanya sekedar meninabobokan masyarakat adat? *)

    1. Hak ulayat merupakan hak tertinggi; hak-hak lain bersumber darinya.

    2. Hak ulayat memiliki aspek perdata (kepunyaan/kepemilikan) bahwa semua tanah wilayah

    masyarakat adat atau kepunyaan bersama masyarakat tersebut dan aspek publik yaitu tugas

    atau kewenangan untuk mengatur penguasaan,

    pengelolaan, serta peruntukan tanah dilakukan oleh penguasa atau kepala adat.

    3. Hak ulayat mencakup semua tanah dalam wilayah

    masyarakat adat yang bersangkutan, baik yang

    sudah di-hak-i maupun belum.

    1. Adanya masyarakat adat dan kepala adat yang memimpin masyarakat adat tersebut.

    2. Adanya wilayah atau tanah bersama sebagai lebensraum masyarakat adat tersebut

    3. Adanya hubungan hukum antara masyarakat

    adat yang bersangkutan dengan wilayah/tanah

    tersebut.

    TIGA UNSUR PENTING TENTANG HAK ULAYAT DALAM HUKUM ADAT

    TIGA UNSUR PENTING YANG TERKAND-UNG DALAM HAK ULAYAT MASYARAKAT

    ADAT ATAS TANAH

  • 30 Edisi I/2015

    A bdullah Ibrahim (54) mengi-sahkan nenek moyangnya terma-suk keturunan orang-orang Bajo

    generasi pertama yang mendiami wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya di saat Manggarai masih dibawah kekuasaan Kerajaan Goa dan Kesultanan Bima. Kakek-neneknya berasal dari Sulawesi. Kakeknya bernama Musu adalah seorang Kepala Pemerintahan Bandar yang memimpin Labuan Bajo mulai abad ke-18 pada masa kolonialisme.

    Kepemimpinan Musu digantikan oleh neneknya Aburaera Ibrahim yang memimpin Labuan Bajo pada awal abad ke-19 hingga Indonesia merdeka. Abu-raera Ibrahim kemudian diangkat seba-gai Kepala Kampung Labuan Bajo per-tama dalam system pemerintahan

    Hamente. Kepemimpinan Aburaera Ibra-him digantikan oleh Ibrahim Aburaera (ayah dari Abdul Ibrahim). Ibrahim Abu-

    raera memimpin sebagai kepala kam-pung hingga diangkat menjadi kepala desa perdana pada masa pemerintahan Orde Baru atau yang lebih dikenal den-gan istilah pemerintahan desa gaya baru.

    Jadi, boleh dibilang kami termasuk ketu-runan orang Bajo pertama yang men-diami wilayah ini. Banyak tokoh-tokoh tua yang masih ingat sejarah itu,ujarnya.

    Sebagai orang Bajo yang sudah lama mendiami Labuan Bajo, Abdul demikian bapak tiga anak ini biasa disapa men-gaku ia mengetahui banyak hal seputar sejarah dan perkembangan Labuan Bajo dari waktu ke waktu. Dia menuturkan bahwa pada tahun 1960-an Labuan Bajo masih merupakan perkampungan ne-layan tradisional. Kawasan yang kini dikenal dengan nama Kampung Ujung, Kampung Cempah, Kampung Tengah

    dan Wae Kemiri adalah komunitas-komunitas nelayan tradisional yang berasal dari berbagai wilayah. Selain suku Bajo dan Bima ada juga suku Mang-garai dan sejumlah suku kecil lainnya seperti Larantuka.

    Kala itu, meskipun berasal dari berbagai suku atau etnis namun warga selalu hidup berdampingan secara damai. Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil di sepanjang pesisir La-buan Bajo. Pada umumnya, semua rumah penduduk masih berbentuk rumah panggung yang dibangun dengan posisi agak menjorok ke laut seperti rumah-rumah suku Bajo pada umumnya. Jumlah penduduk pun masih sangat sedikit. Pada umumnya warga bermata penca-harian sebagai nelayan tradisional dan

    cuma sedikit yang bergerak dibidang pelayanan dan jasa seperti pedagang dan pegawai pemerintah.

    Tanah paroki Labuan Bajo itu dulu diserahkan oleh bapak saya. Juga beberapa lokasi lainnya seperti tanah untuk kantor Lurah Labuan Bajo dan sejumlah sekolah dasar

    Abdullah Ibrahim, (tokoh masyarakat Labuan Bajo)

    KESAKSIAN

  • 31 Edisi I/2015

    Seiring perkembangan zaman dan ber-tambahnya jumlah penduduk disertai perubahan tatanan pemerintahan, praktis membawa serta berbagai perubahan di tengah masyarakat Labuan Bajo dan sekitarnya. Perlahan tapi pasti, dari waktu ke waktu Labuan Bajo mengalami perubahan; dari kawasan perkampungan nelayan berkembang menjadi daerah perkotaan. Kawasan pesisir Labuan Bajo mulai didiami oleh orang dari berbagai latarbelakang suku, agama, ras dan golongan. Mereka datang dari berbagai penjuru.

    Saya masih ingat betul, pada tahun 1970-an, banyak pejabat dari Ruteng yang datang dan menginap di rumah kami, ketika bapak masih menjabat seba-gai kepala kampung dan kepala desa. Bapak yang tampung mereka sebelum mereka mendapatkan rumah atau pen-ginapan,kenang Abdullah.

    Dikisahkan bahwa sejak Labuan Bajo dipimpin oleh kakeknya hingga bapaknya Ibrahim Aburaera situasi Labuan Bajo dan sekitarnya relatif aman dan tak per-nah muncul konflik-konflik social teru-tama konflik-konflik agraria seperti sekarang ini.

    Kondisi Labuan Bajo pada masa-masa itu sangat kondusif dan masyarakat selalu hidup dalam suasana damai. Setiap per-soalan selalu diselesaikan secara baik melalui pendekatan adat-budaya serta peraturan yang ada. Dalam hal pem-

    bagian tanah atau jual beli tanah misal-nya, kepala desa selalu mencatat dan mengikuti aturan main yang ada seperti menerbitkan bukti pajak berupa Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) bagi pemilik tanah.

    Ia mengaku sebagai penduduk asli atau generasi pertama yang mendiami wilayah Labuan Bajo, orang tuanya dalam ka-pasitas sebagai kepala kampung atau kepala desa, waktu itu ikut pula mem-bagi-bagikan tanah baik untuk dijadikan sebagai hak milik pribadi maupun untuk kepentingan umum. Ia memberi contoh, tanah gereja paroki Labuan Bajo dis-erahkan oleh orang tuanya.

    Tanah paroki Labuan Bajo itu dulu dis-erahkan oleh bapak saya. Juga beberapa lokasi lainnya seperti tanah untuk kantor Lurah Labuan Bajo dan sejumlah sekolah dasar,kisahnya.

    Kini, di tengah pesatnya perkembangan kota Labuan Bajo menjadi salah satu kota wisata internasional, jejak-jejak Labuan Bajo tempo doeloe masih bisa ditemui. Kisah perjalanan sejarah Labuan Bajo masih cukup terpatri di hati Bapak Abdul Ibrahim. Selain tuturan lisan yang masih dapat diputar kembali, tapak-tapak undur Labuan Bajo tempoe doeloe masih dapat ditemukan lewat beberapa ban-

    gunan tua yang masih berdiri kokoh hingga sekarang ini.

    Salah satu diantaranya yakni rumah milik

    neneknya Aburaera Ibrahim yang terle-tak di Kampung Cempah Labuan Bajo. Rumah panggung terbuat dari balok besi itu diperkirakan sudah berusia lebih dari satu abad. Rumah tua nan sederhana itu kini berada di tengah himpitan rumah-rumah tembok khas modern.

    Abdullah Ibrahim mengaku, ia membiar-kan rumah itu tetap berdiri kokoh seba-gai bukti sejarah masa lalu. Rumah panggung beratap sink itu selama ini dihuni oleh saudara tuanya. Di samping rumah panggung milik nenek dan orang tuanya, dibangun pula home stay dan outlet UD Nelayan, tempat Abdul se-keluarga membuka usaha. Berbagai alat tangkap ikan dan olahraga air tersedia di

    toko ini antara lain pukat, tali, stik hingga alat tangkap berteknologi tinggi lainnya.

    Selain menyediakan fasilitas alat tangkap khusus bagi para nelayan, di toko ini pula tersedia alat mancing bagi mereka yang doyan sport memancing. Di tengah ke-sibukannya berdagang alat tangkap, Ab-dul mengaku nenek moyangnya adalah pelaut karenanya, beberapa tahun lalu ia mulai mengembangkan budidaya ikan air tawar di lokasi tambak miliknya yang terletak di Kampung Menjaga, sekitar 25 km arah Selatan Kota Labuan Bajo.

    *) Editor: Team Riset

    Pesisir Labuan Bajo Manggarai Barat, yang terentang sepanjang Kam-pung Air sampai Kampung Ujung kian hari kian padat. Makin banyak investor yang meliriknya sebagai tempat usaha.

  • 32 Edisi I/2015

    J ika disepakati, maka tanah (land) dan seluruh dimensi di seputarnya

    adalah sebuah unsur yang turut melandasi (constitutive outside) hidup manusia. Manusia hidup dan mengembangkan kehidupannya dari dan di atas tanah. Tanah memberi ruang dan segala potensi yang terkandung di dalamnya untuk itu. Dan manusia, pada gerak yang sama, memanfaatkan ruang dan potensi tersebut untuk kehidupannya. Pendeknya, sekali lagi, tanah untuk kehidupan manusia.

    Namun sejarah dalam segala lintasannya menghadirkan tanah tidak hanya sebagai sumber hidup, melainkan juga sumber

    soal. Secara tajam, sumber soal yang dimaksud digarisbesarkan pada soal hak kepemilikan atas tanah dan peman-faatannya. Garrett Hardyn (1968) menye-but ini sebagai tragedi sumber daya milik bersama (tragedy of the commons). Se-umpama, tanah adalah sebuah padang rumput hijau yang pada awalnya terbuka bagi peternak untuk memberi ternak mereka makan dari rumput-rumputnya. Ketika jumlah peternak dan ternak masih sedikit, tidak ada masalah. Namun ketika jumlah peternak yang masuk (tanpa mekanisme kontrol) makin banyak den-gan asumsi penambahan jumlah ternak,

    masalah sudah pasti muncul terkait per-saingan dan perebutan lahan.

    Meski tidak luput dari perdebatan di sana-sini, namun teori ini menancapkan se-cara tegas bahwa jika tidak ada mekan-isme pengaturan yang baik dalam hal kepemilikan dan pemanfaatan tanah (yang dalam perspektifnya kala itu masih dilihat sebagai commons good), maka akan muncul rentetan masalah yang mengancam keberlangsungan hidup manusia (tragedy). Padahal sejak awal, jika disepakati, tanah adalah untuk hidup manusia.

    Struktur kepemilikan tanah yang tidak adil, konflikbahkan sampai perang tandingkepemilikan tanah (baik hori-

    Potensi pariwisata memanipulasinya menjadi

    lebih hijau dan rimbun sehingga begitu menggoda para peternak yang mulai

    berhitung untung-rugi kepemilikan dan pemanfaatan

    atas hamparan tanah itu.

    PERSPEKTIF

    TRAGEDY OF THE COMMONS

  • 33 Edisi I/2015

    sontal antarwarga, maupun vertikal antara warga dengan negara) privatisasi

    lahan publik, pencaplokan lahan (land grabbing), marginalisasi dan pengusiran, eksploitasi berlebih (over exploitated) atas potensi di bawah dan di atas tanah, dan seterusnya adalah rentetan soal tanah yang mengancam keberlangsungan hidup manusia itu tadi.

    Dengan memakai skema berpikir tragedy of the commons tadimeski dengan pemahaman yang hati-hati terhadap the commonshamparan tanah di Manggarai Barat (secara khusus kota Labuan Bajo dan sekitarnya) adalah padang rumput hijau itu. Potensi pariwisata memanipu-lasinya menjadi lebih hijau dan rimbun sehingga begitu menggoda para peter-nak yang mulai berhitung untung-rugi kepemilikan dan pemanfaatan atas ham-paran tanah itu. Dan situasi terkini, padang rumput hijau kota Labuan Bajo dan sekitarnya sudah mulai berangsur penuh-sesak oleh tawaran-tawaran menggiurkan terkait investasi yang be-sarannya miliaran rupiah.

    Hampir pasti ini membuat siapapun ingin bermain, makan rumput, dan mengeruk semaksimal mungkin keuntun-gan di dalamnya. Dan tidak perlu menunggu waktu lama, kondisi terakhir

    di kota Labuan Bajo dan sekitarnya mulai mengindikasikan tragedy seperti yang diutarakan sebelumnya. Struktur agraria mulai timpang. Kini sejumlah lahan den-gan luas dan posisi yang strategis di kota Labuan Bajo dan sekitarnya (termasuk pulau-pulau) dikuasai hanya oleh sege-lintir orang, baik asing maupun pribumi.

    Bayangkan, dalam satu gerak, 27 orang Italia bisa memiliki berhektar-hektar tanah di pulau Kanawa lewat jalur jual-beli online tanpa masalah. Di waktu ber-samaan di kota Labuan Bajo, deretan lahan di sepanjang garis Pantai Pede dan

    Wai Cicu sudah diprivatisasi oleh sejum-lah investor. Sekali lagi tanpa masalah. Dan parahnya, privatisasi itu disusul oleh

    pembatasan akses publik ke tempat-tempat itu. Belum lagi marginalisasi dan

    pengusiran terhadap warga di kawasan TNK yang berefek terhadap semakin mi-skinnya penduduk di kawasan itu. Juga soal penundaan sertifikasi terhadap warga kota di deretan Kampung Tengah yang disinyalir disengaja untuk kepentin-gan-kepentingan tertentu. Tidak keting-galan soal maraknya perkara sengketa tanah, baik yang terdaftar di pengadilan maupun tidak.

    Ketika ingin masuk lebih dalam untuk mencari akar tragedy (dalam pemaknaan dan pemahaman yang lebih aktual), kom-pleksitas soal kemiskinan yang dalam

    banyak kasus lebih tepat dikatakan seba-gai pemiskinan mencuat tinggi-tinggi. Data BPS NTT keluaran tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah masyarakat miskin NTT (dalam perbandingan den-gan kota/kabupaten lain di NTT) terban-yak ada di kabupaten Manggarai Barat, 234.235 jiwa. Tanah, yang barangkali menjadi satu-satunya aset besar milik masyarakat lokal yang tersisa, akhirnya menjadi begitu rentan dijual kepada tawaran miliaran rupiah yang datang menggoda. Jika ini tidak diatur dengan mekanisme pengaturan yang ketat danyang terpentingupaya perbaikan kese-jahteraan masyarakat, maka ketimpan-gan struktur kepemilikan dan konflik tanah di kota Labuan Bajo dan sekitarnya akan mengancam keberlangsungan hidup. Persis tragedi.

    Tentu ada akar soal lain yang diam-diam semakin memperumit situasi dengan caranya sendiri. Jika tidak ingin semakin terjebak dalam kerumitan itu, maka sudah saatnya kita memberi perspektif kita masing-masing untuk menemukan, membongkar, mempertajam, dan mencari jalan pemecahan atas akar soal tersebut. Demi tanah untuk kehidupan manusia yang lebih sejahtera ***

    *) Edward Angimoy

    Jika tidak ada mekanisme pengaturan yang baik dalam hal kepemilikan dan peman-faatan tanah (yang dalam

    perspektifnya kala itu masih dilihat sebagai commons

    good), maka akan muncul rentetan masalah yang

    mengancam keberlangsungan hidup

    manusia (tragedy). Padahal sejak awal, jika disepakati, tanah adalah untuk hidup

    manusia.

    Tanah untuk kehidupan manusia

    Dan situasi terkini, padang rumput hijau kota Labuan Bajo dan sekitarnya sudah

    mulai berangsur penuh-sesak oleh tawaran-tawaran meng-giurkan terkait investasi yang besarannya miliaran rupiah

    Tanah, yang barangkali menjadi satu-satunya aset

    besar milik masyarakat lokal yang tersisa, akhirnya men-

    jadi begitu rentan dijual kepada tawaran miliaran

    rupiah yang datang meng-goda.

  • 34 Edisi I/2015

    A lih fungsi kepemilikan tanah di Labuan Bajo, termasuk di sekitar Taman Nasional Komodo meru-

    pakan persoalan yang kompleks dan multi-level. Invasi capital selama satu decade terakhir menentukan struktur

    penguasaan tanah.

    Daya tarik pariwisata yang pariwisata di Labuan Bajo yang memicu invasi capital dari luar dan akumulasi dari dalam menybabkan munculnya elit-lokal yang mengklaim kepemilikan tunggal atas tanah-tanah dan pulau-pulau yang se-benarnya milik kolektif masyarakat tra-disional, dan melakukan negosiasi den-gan pemodal dalam transaksi jual beli yang legal.

    Terdapat juga kasus-kasus lain di mana tanah adat diambil alih dari masyarakat adat ke elit lokal (pejabat, tokoh masyarakat, orang kaya, dan elit adat) untuk dibagi-bagi tanpa mekanisme gendangn one, linkon peang dan ke-mudian diperjualbelikan kepada investor.

    Selain alih kepemilikan tanah kolektif itu, terjadi juga gelombang penjualan tanah pribadi dari masyarakat setempat kepada koorporasi dan warga negara asing, dipicu oleh tawaran harga yang relative tinggi (dalam ukuran masyarakat lokal).

    Gelombang alih kepemilikan tanah itu misalnya terjadi di kawasan Melo dan sepanjang wilayah garis pantai Mangga-rai Barat. Lewat semua mekanisme itu, pulau-pulau dan kawasan strategis di Manggarai Barat kini beralih kepemilikan dari masyarakat setempat kepada indi-

    vidu dan koorporasi, jejaring nasional dan asing.

    Transaksi-transaksi jual beli tanah itu dilakukan sepengetahuan aparat pemer-intah dan itu dilakukan secara illegal (disertai dengan penyerahan sejumlah uang berdasarkan negosiasi). Proses-proses semacam ini menyebabkan se-

    jumlah pulau di sekitar Taman Nasional Komodo, Pulau Kelor, Pulau Sebayur, Pulau Bidadari dll sekarang ini berada di tangan koorporasi dan orang asing.

    Berdasarkan penelitian yang kami laku-kan sepanjang 2013 ditemukan beberapa fakta. Salah satu jaringan hotel di La-buan Bajo memiliki tanah mencapai 60 hektar tanah di 5 lokasi berbeda. Seo-rang pengusaha luar negeri yang me-megang paspost Indonesia menguasai setidaknya 70 hektar tanah di sekitar kawasan Taman Nasional dan di daratan Flores.

    Pulau Sebayur misalnya sudah di tangan pengusaha Intalia. Pulau Kelor di tangan Exotic. Dan pulau Bidadari di tangan pengusaha Inggris. Selain itu, marak juga pembelian tanah secara individual yang dilakukan oleh pihak asing. Selain calo-calo lokal, yang umumnya meru-pakan tangan kedua dan ketiga, tidak sedikit juga calo besar yang mengurus transaksi dalam jumlah besar, dengan menyasar koorporasi besar dan pembeli asing.

    Bahkan telah ada agen jual beli online dan transaksi dalam mata uang asing. Agen-agen itu tidak saja terlibat dalam negosiasi harga, tetapi juga mengurus kelengkapan surat, mengatur segala siasat legalitas, tentu saja dalam ker-jasamanya dengan otoritas resmi pemer-intah Indonesia.

    Tanah-tanah yang dijual agen besar seperti itu, bukanlah tanah dari tangan pertama, tetapi yang sudah dibeli oleh pihak kedua-atau-ketiga dari masyarakat setempat dengan harga yang relative murah, sudah disiasati legalitasnya dalam kerjasama dengan otoritas pemer-intah dan selanjutnya ditawar dengar harga tinggi.

    Proses-proses alih kepemilikan ini sudah menjadi keresahan publik kritis di La-buan Bajo Manggarai Barat, bahwa orang lokal secara sistematis tersingkir, dan dalam waktu singkat kota dan kawa-san strategis pariwisata dikuasai oleh

    pemodal besar, pelaku bisnis dan warga negara asing. Keprihatinan yang lebih besar terarah bukan hanya kepada proses alih kepemilikan itu, tetapi oleh betapa buruknya kinerja pemerintah sehingga penguasaan orang asing ber-jalan begitu massif tanpa kedaulatan hukum negara.*)

    Sumber:

    Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik, Sunspirit: 2013, hal. 88-89

  • 35 Edisi I/2015

  • 36 Edisi I/2015

  • INFORMASI TENTANG PUNGGU

    Pulau Punggu, Flores, Nusa Tenggara Timur

    Indonesia:

    Pulau dengan luas 117 hektar, jarak dari Bali 314, 84

    kilometer, Labuhan Bajo Flores Bandara - 20 menit perjalanan dengan speed boat, Taman Nasional Ko-

    modo - 20 menit perjalanan dengan speed boat. Ini adalah pulau pribadi indah bagai pesona surga dan

    keanggunan. Pantai yang menakjubkan, terumbu

    karang yang indah, utuh, sempurna untuk resort ke-las atas.

    Fitur:

    Lokasi : Flores

    Ukuran tanah : 117 hektar Status tanah : Hak Milik

    Pemandangan : pantai yang eksotis.

    Termasuk 10 pantai dan tanah datar Permintaan

    Harga US$ 11.000.000

    PROPERTI BISA SEWAKTU-WAKTU TERJUAL DAN HARGA BISA BERUBAH MENGIKUTI KONDISI PASAR

    TANPA PEMBERITAHUAN TERLEBIH DAHULU

    Peminat serius, silahkan hubungi :

    CALL/SMS : +628123831444 WA : +628113891990

    BB : 2BA91AE6 Skype: sanat.kumara Email : [email protected] Web :

    www.skproperty.org

    37 Edisi I/2015

  • 38 Edisi I/2015

    Awal Februari 2015, Muhamad Nur, camat Komodo Labuan Bajo Manggarai Barat NTT dibuat gusar. Berita terjualnya Pulau Pungu seharga US$ 11 juta atau setara 134.5 Milyar lebih sampai ke telin-ganya.

    Handphone genggamnya dering beru-lang, para wartawan baik lokal maupun

    nasional meminta kepastian. Apakah benar? Siapa pemilik pulau itu? Terjual kepada siapa? Apa respon pemerintah pusat dan daerah?

    RESPON PEMILIK DAN PENGIKLAN

    Sebagai kepala wilayah, Nur tidak tinggal diam. Respon cepat diambilnya. Penga-kuan seorang teman wartawan, nada suara Nur tampak kesal Ini adalah pekerjaan tengkulak di Labuan Bajo. Jawabnya.

    Saya sudah konfirmasi ke pemiliknya, dan mereka mengaku tidak pernah men-giklankan atau hendak menjual pulau itu.

    Hal itu dibenarkan Haji Nasir. Dia bahkan terperanjat dan dengan terang memban-tah akan menjual tanah seluas 117.000 meter persegi itu. Tidak benar informasi itu. Saya tidak tahu apa-apa katanya.

    Respon dingin justru diberikan mediator pengiklan, I Gede Sanat Kumara. Saya bukan pemilik. Hanya sebagai mediator (penjualan) pulau itu. Saya tinggal di

    Denpasar Bali akunya.

    RESPON PELAKU PARIWISATA

    Pertanyaanya, apa latar Kumara mema-jang Pungu di laman digital. Apakah tanpa sepengetahuan (negosiasi ber-sama) pemilik Pungu sampai Kumara berani melempar harga di atas US$ 11 juta di skyproperty.org. Apakah ada calok lokal yang turut bermain di baliknya.

    Terkait keterlibatkan calo lokal, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indo-nesia (PHRI) Manggarai Barat Silvester Wanggel memastikan penjualan pulau itu

    melibatkan calo dari Labuan Bajo.

    "Tidak mungkin pemasanga