majalah hayamwuruk 2 vii 1992

68
KOMENTAR ENGTISH CORNER i11 WAWANCARA UTAMA Memang, sekarang ini kita berada {alam genggaman budaya populer. Semua,yang ditujukan kepbOa kita adalah produk budaya populer. Perangkap audio visual telah membantu memasyarakatkan karya sastra. Namun disana teiiadi pergBseran nilai. Perlti 27 APA KATA MEREKA tr ..lbarat air; sastra sekarang ini alirannya mdebar kemanamana. Kalau kita sudah akrab denoan sastra koran, sastra ma,idjh, narUl alGn muncul sastrawarF.sastrawan besar. 42 KHUSUS i] Peringatan Kebanqkitan Nasional yang dikemas dalam-plesetan upacilra menghantarkan dua mahasiswa'masuk tahanan. Padahal itu dilakukan dalam lingkungan kampus. Ternyata otonomi . ka.mpus tak cukup punya kekuatan ketika berhadapan Gngdn kekuasaan. keda dan rlt/2005 IRUK NO.2 | 1992 53 WATIUANCARA LEPAS , Dulu.saya pemah be-rtanya kepada Nasurion,' ABR|-nya - Flqpa Pak'. Kata Nasution, 'Sekian dari s@uluh persen.. Nah, mungkin Z atair g%. bisa iuga S7o. Tapi sekarang berapa ratus? [* Rliltr$i BUDAYA DAN Sffi"EffiUALIIA$ jffAHA$tSWA DABI ME'A HAYAMWURUK 7 DIALOG 19 Sastra tak pernah bisa berdiri sendiri, kehidrrcannva selalu dipengaruhi koridisi iekitarnva - situasi masyarakat, politik penerbit, kritisi dan sebaoainva. ' Konon dulu kehidupan sistr'a begitu semarak- Lantas bagaimana dengan kondisi selorang ? OBRO1AN EMPER KAMPUS 68

Upload: hawesastraundip

Post on 21-Nov-2015

123 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

Wawancara Utama (Sapardi Djoko Damono) "Dalam Genggaman Budaya Populer".

TRANSCRIPT

  • KOMENTAR

    ENGTISH CORNER

    i11WAWANCARA UTAMA

    Memang, sekarang ini kita berada{alam genggaman budaya populer.Semua,yang ditujukan kepbOa kita

    adalah produk budaya populer.

    Perangkap audio visualtelah membantu

    memasyarakatkan karyasastra. Namun disana teiiadi

    pergBseran nilai. Perlti

    27APA KATA MEREKA

    tr

    ..lbarat air; sastra sekarang inialirannya mdebar kemanamana.

    Kalau kita sudah akrab denoansastra koran, sastra ma,idjh,

    narUl alGn munculsastrawarF.sastrawan besar.

    42KHUSUS i]

    Peringatan Kebanqkitan Nasionalyang dikemas dalam-plesetan upacilramenghantarkan dua mahasiswa'masuktahanan. Padahal itu dilakukan dalamlingkungan kampus. Ternyata otonomi.

    ka.mpus tak cukup punya kekuatanketika berhadapan Gngdn kekuasaan.

    kedadan

    rlt/2005IRUK NO.2| 1992

    53WATIUANCARA LEPAS

    , Dulu.saya pemah be-rtanya

    kepada Nasurion,' ABR|-nya- Flqpa Pak'. Kata Nasution,

    'Sekian dari s@uluh persen..Nah, mungkin Z atair g%.

    bisa iuga S7o.Tapi sekarang berapa ratus?

    [*

    Rliltr$i BUDAYA DAN Sffi"EffiUALIIA$ jffAHA$tSWA

    DABI ME'A HAYAMWURUK 7

    DIALOG 19Sastra tak pernah bisa berdirisendiri, kehidrrcannva selalu

    dipengaruhi koridisi iekitarnva- situasi masyarakat, politik

    penerbit, kritisi dan sebaoainva.' Konon dulu kehidupan sistr'a

    begitu semarak- Lantasbagaimana dengan kondisi

    selorang ?

    OBRO1AN EMPER KAMPUS 68

  • , IvItrSKTN ARTIKEL. SASTRA

    Majalah Haywnvturuk laht sebagaiajang kreatifitas mahasiswa Fak. Sastra,mungkin, juga bagi staf pengajarnya.Mungkin karena itu,, IlayAtnwuruk be-rani mengklaim sebagai mqjalah Sastra(lihat boks Hayamwuruk edisi No.1/Th.vr/19e1).

    Kalair dilihat dari statusnya sebagaimajalah Sasttra, seharusnya Hayam-wuruk lebih menitikberatkan Sastradengaa segala seluk-beluk dan persoal-annya. Tetapi yang terjadi justru sebalik-nyt Hoyamwuru& akhir-akhir ini miskinartikel sastra.Bahkan cenderung ke arah'politik'. Mengapa? Alangkah baiknyajrkal{ayamwuruk kembali ke haluan se-mula. Saya yakin Sastra tak kalah me-nariknya untuk dikaji, dibanding "poli-ti$' atau yang lainnya. Terlebih lagi,majalah Sastra amat sulit kita jumpai dinegeri ini. Bukankah ini kesempatanHayamwuruk untuk mengemb angkandiri? Sungguh ideal sekatri seandainya ar*tikel-artikel Sastra diperlebar ruangnyaagar Hayomwuruk sebagai majalahSastra lebih berbobot dan mengena.

    Terakhir, selamat atas hari jadiIictyamwuruk ke-7. Semoga jerih payahdan perjuangan segenap pengelolanyatidak sia-sia.

    Wassalam.

    Adi Prasetya - Sastra Indonesia

    ."or"fil;ll',,3Bagi kami, Sastra'itu sebagai

    "rumah", Untuk menjadi lebih dewasqmaka kami ingin menengok dunia luarjuga. Memang bagaimanapun, kami jugaharus sekali-sekali kembali. Selantatmenyimak edisi ini. Teima kasih.

    .::

    KAMBING HTTAM BU ISSebenarnya, masalah ini telah lama

    hilang dari pikiran saya. Tetapi saya ke-:ewa sekali ketika membaca Hayam-

    vwruk t{o.L1. Th.VIlLggz. Setiap kalimembicarakan masalah BMOM, kepa-nitiaan Fekan Fitm Fakuitu Sasrra ie-

    Sebagai mantan ketua panitia, sayaselalu merasa seakan harus menanggungkesaiahan itu. Betapa tidak. Bu IstiatiSoetonno dalarn wawancara dengan Ha-yatnwuruk mengatakan bahwa beliaumemberikan modal kepada seorang ma-hasiswa sebanyak 250 ribu rupiah untukpinjam film, tetapi uang itu hilang.

    Saya sebagai orang yang paling ber-tanggung jawab atas kegiatan tersebutmerasa prihatin. Sebab apa yang beliausebut tidak benar. Bukankah saya telahmembuat laporan pertanggung jawab-an? Bukankah saya pernah menyatakanbahwa kegiatan trersebut adalah kegiat-an non-profit. Dan bukankah kegiatantersebut juga sedikitnya mengangkatnama fakultas Sastra?

    Sebenarnya, seandainya kita mauberpikir secara jernih, apa yaugditutur-kan beliau seperti di Hoyamwuruk itutidak akan terucap. Seandainya beliaumau menghargai kerja keras panitia, be-liau pun setidaknya akan mengucapkanterima kasih. Tapi apa kenyataaurya?

    Telah tiga kali saya mendengar/membaca hal yang saya rasa itu meng-kambinghitamkan panitia. Beliau jugamasih menyalahkan panitia, walau sayamewakili panitia pernah memint2 6221pada beliau karena panitia melakukankesalahan terlambat mengembalikanfilm (karena uang untuk kegiatan telahhabis). Iieliau pun menyatakan telahmelupakan dan memaafkannya.

    Saya telah berusaha untuk mewu-judkan cita-cita Bu Is agar mahasiswadapat menggali dana. Sewaktu sayamenjabat ketua KMJSI, saya dan rekan-rekan pengurus membentuk wadahkegiatan yang sifatnya profit (Liga FilmSastra Inggris).

    Tolong dong, jangan kambinghitamkan saya lagi.

    B" Hendriant or o A,201.87 .2291Sastra Inggris, Angk. 1987

    Fak. Sastra Undip

    MANA LAB.ITL?Saya, mahasiswa Fak. Sa-(ira. ter-

    lanjur mendengar selentinean b:ritatentang akan didirikannr a Lab--rato-rium Sastra di Fakultas Sa.rra Undip.Alangkah menyenangkann', a bi" l:b. ituterwujud, megah lagi. S:hirg6" s:iiapmahasiswa atau dosen \3ig Eau atautelah mengadakan peneli'ja;: irp,l me-manfaatkannya. Jika ha-.il per;lj'ij:_n itulayak untuk diumum-kan teeru C:par Ci-usulkan untuk dimuat paC: m :r ala,l 11c-yamwuruk, selaiLr l-rcr.ri: Sa-iua. Na-mun, sampai sekarang sel'a tidal tahuyang mana dan bag:ima1' l3lcl61srirrmitu.

    Z-zira Saiful RahmanFali- Sa-srra L:ndip Angk 1988

    OTONO}II KAMPUSDAN EKSPANSI'MILISI'

    K{}{PUS

    Ada dua kata rang bertolak bela-kang dalam itlim demokratisasi, yaknidemokratisasi iru sendiri dan sifat opre-si-f dari tindalar tiran. Dalam hal ini bu-kan mengacu pada tiran yang sebenar-nya, tetapi lebii ke sifat kemanusiaanyang ada pada setiap hati manusi:.Iv{ungkin peristiwa tanggal20 N{ei 199}bisa menjadi dentang kemariao ter-hadap upaya penegakan demokratisasiyang sedang diupayaka:r di negeri ini.Bias dari aksi tanggal 20 l!{ei itu tidakberhenti pada penangkapan-penang-kapan (walau itu terjadi di dalamkampus...?) tetapi juga dreluber ke arahyang lebih tidak rasional lagi, yakni sikapkecurigaan terhadap otonomi kampusyang seharusnya dihormati. Bukannyakampus musti diawasi selama 2 x 24\jam. Apapun namanya kampus bukanlembaga pemasyarakatan dimanapenjahat atau pelaku kriminal bersekutubersama untuk melepaskan hajat kebi-natansan. Artinya tidak bisa kita menya-maratakan anrara pelaku kriminal

    HAYAIVTWURUK \o. 2 Th. Yllllggl

  • FIr{r

    l!

    ffi}lffi iffi:ffiffidengan pelaku aksi penegakan demo-krasi, keduanya mempunyai latarbelakang permasalahan yang berlainan.Buntut dari peristiwa itu adalah ofensifyang dilakukan oleh "milisi" kampus ter-hadap ketenangan belajar mengajar dikampus Sastra. Provokasi selang tiga kali(24, 25, 26 Mei) benar-benar menginj,i:harkat serta martabat dari oran_q \'a..1ada di dalam kampus. Pada daslrn..mereka ("milisi" kampus) diadakan b:.kan untuk menakuti, atau bahkan s..i,-gai alat kekerasan. Jika terjadi demikianmereka tak layak hidup di kampus,mereka layak sebagai "tribalis".

    Kembali ke akar permasalahan, se-mua asap berawal dari api. Kejadian diatas tidak mungkin terjadi, kalau "Peris-tiwa 20 Mei'' tidak ada. Tetapi apapunyarig terjadi, selayaknya kita memetikhikmah dari peristiwa tersebut, yakniharga sebuah kebenaran. Demokrasimasih teramat mahal harganya, untuksuatu bangsa se kualitas Indonesia. Ka-laupun ada yang patut kita sesali adalah"penegakan hukurn rimba" di alam de=mokrasi Pancasila, yakni dengan mun-culnya pemukulan (27 Mei) dan intimi-dasi olch sckclompok oknurn yang me-ngatas namakan "milisi" kampus. Dalanihal ini patutkah kita melaksanakan"intifada". Tentu sa.ja tidak. Bukan kcarah sana gerak perjuangan kita. Masihada pikiran yang waras untuk mengatasi-nya. Ada satu pertanyaan, apakah nia-nusia diciptakan Tuhan tidak membawafitrah nurani? Di dalam hati kecil kitaada satu hal l anu ticlak bisa disembunyi-kan, yakni nurani. Sa1'a percaya betapa-pun bcbalnya manusia, keterpihakanpada nurar.ri tetaplah ada. Hewan,sajanrasih punya naluri untuk tidak borbuatanievr te rhr,-lrp scsamauya. Di ncgaraIndoncsia, r':ng bcgitu rneirghorntati ke-lembutan bucli, tak bisa dipercaya kalaumasih menyisakan tentpat bagi orangyang bertindak "adigang adigung a.digu-no". Apakah nilai kemanusiaan yang ber-

    aclab masih mentolerir sifat-sifat clcmiki-an. Marilah kita bertanya pada dirisendiri, adakah diri kita masih memberipcluang pada kcangkaramurkaan, ki-durjanaan, ketidak mautahuan pada ni-lai kcbcnaran untuk bersemi dalam diri

    kita. \Iarileh kita mempelajari ajaranr: L.:.

    -rtuk menetralkan.. hati dari: : ::

    -

    ::r: :r-.:kara murka. Saya percayaC.:

    --.--. :r:,1' Rahman-Rahirn" Allah

    '.:-l :i ,:. :i:in berbuat keadilan di mu-i: I

    -:. ;i. Se moga menjadi rcnungani-',.:::Slrna.j,:'.rm Erva Jayate (Hanya Ke-

    HASIL UIIAN SE,MESTER

    benaran Yang Ung_eul).

    "Sopo sing suci adohpati .Tamilng laio Gtistikartono)

    ThatrroniSastra. Sejarah. Airgk. 1986)

    Fakultas Sastra UNDIP

    soko bebo:ofrzrlo" (Sosro-

    a't'.

    1i

    J

    .;

    'it

    ,'" "l

    r**

    'e:t'$'Ml,m ill KA}..{ ffi ,U,S'$'AS If

    *siswCh&ndffiai*t j'a#* II92/fqI5

    [efu alga lesar H aya *z*, ur u k

    HAYAMWURUK, No. 2 Th. YlIl 1992

    "puas terhadap hasil ujian atau tempat?

  • bufiunHunyo culo Kerlu::' -..':' r kembali'' erlu diPertanYakarKeberadaan ikatan glqlnt p:l'^i 1H'#:;';rn'*.nv'burka^

    ,"t'?tT,$;fi:?!;#li;*.ul.l":iiT",.fli:"lh:il^lul'ii""1lpiin",", l:*.

    =1'i

    nfaatnya' Untuk keperluan peneliti- Keterkotakan primordialisme

    ' I

    Ik{j,;;,;;'x;ii,"'lTi*;.,rft trkt'a,'""$H .:trf,Xt# ri **mHx'T:111ti*1H* Iikatan dimak,uarun.u'iuiuy;ffii,il l*Ul;;X.d*:*ffi:::: H;H ;X;iryrygp f*m' I..;i;;;il Pengembangan almamater' ruaHarinisah-sah.uju,rui'"'nl'Jumnis.eba- ,J*;;i;-a'n^"1'1'; (rkatan fttTll*:,oj'iru;--ru'fJ'331 \;l'ffi; ;;;llThlfii:qlli:1fi r};:ffi#B,T#H.'ffi"I# *:=**- o,o*o srneecuNA: nlnva. mempunyal Kewa#;tk"il; keb"'adua" almamaternva'

    '::::T;:t'; r.Jruiiru,', ma*ka "Dapa.' Yu]ut' ,0-']u r--- -- -'--: "npurugi dengan {,1*;",*,;; i;' *nf*X#**t#};"';}il }llil'"i!"l': ffi

    f iil,ii"*"llbTr's6' vans mensatur 9luu,uro.iuudisaja'Misaffi#u*'t'u- i^:in.'o'n i Y?+'

    I i.","rg otonomi persuruan tinggi untuk ':.11;i'# ;;;ilril k*latan di luar' TtIt',\,. hHS#- "I mcneserora. u",1,11,:il

    arumni tidak ;ru1;fXrufi*U*:fuUf, Ht-'#*r"iu,, aru"aampingkan. ra dapat

    Irrsrr6rrsus"t>-.-- " kata prof. Ir. Darmanto

    --::s:J^:',iffiT i;#;,Tff -xlll

    :::llil''ixl;l1"if i'I;ffi"iffii' i :3:i"*"H[?TiJi i,i.i;;;enjalin kerja Undip' masih dalam ini kondisisama dengan bcrbagai pihak ' valg

    ten- ",..',1iJ"',ilillJXl','tl;itL;;il"t'il- k't"'usu-

    il;;"";^t mcng-untungkan' Semen- sk0r.**l,.frrf keberadaa, alumni' kerjaan tt-Hffi;;;gbelum, harusmengupava- *'"1'Jl:;;;r* ai'Jr.."t hanya ada di dak aman'kan mekanis*" r,,, i;H ;;^'."#;i;s :*ni#X?i:f;:;:l.llttffi;: :i-ll,_ll I"T,fffiUnlil'r""ffi1,:;;.'

    " l?:"*mffifiiffi';**,i i''-,lj"r i:,,0:":],0

    ;*:ruff[:T;*i1ffi:Is;,]1ffif.:l**#:';iffi'"';;1'i!i! "'iliiffiq" (-"PTl) J:;,JiX,::Tl Xhfui}*m'**-: Iili:*:, i""i".i,"ta" alumn,

    -: -^-r,--^,,r- pitu* menjalankan o""tta"ie.,i'.'31 *';:*"i:11ffi#;;;;;emikiranbag!penyempur- ,^^ uara,r rrrvrrsrg'"---' pJran'IKA ini menurut

    ffit-lili::'H il"J#;'hi.'.1:*iti i,"fi n LTii:ll*litt l# ;;;: il :'' T ": 1:'

    dan -bekerja ai U.rUugli ti*r^i. C"r" tun ,'uru kebersamaan-kepen'tingan

    da- wajar sala'

    pemerihaiaa, ras,itas] G;r1;1"11 **T.ill[Tl;',il"flilf,+"fi? 3ilfi ffi:ifnl;l'Uf3'ff'-J".'"llhffIl*il fi*tyi:l*-l**::'Ji:'i;il: ii:-,"'bisa menyer-":y"lT. di perwakila" ::,#liiitTl*,;1:tlt'$liilffi ;H##3xs,ilffi:,#rilr. u*ii, prt L{{li:[*l*i*:x;un;urftn* :J".#*'Untuk kepentingan alumnr LrFr r,o a- "g p"rrau"aan universitas.rr*r."*""ir1"""iiti pu" tidak'kalah pan

    HAYAItrtn'tiRUK, No' 2 Th'VII/1992

  • an mencari perlindungan kepada ke-lompoknya.

    -

    "Kalau hanya alasan untuk mengem-bangkan organisasi saja, tentu tidak akandidirikan. Itu berdiri karena fungsionalsekali. Karena lulusan-lulusan perguru-an tinggi sukar mencari pekerjaarq lalukoneksi, primordial, dan: setagainya."tandas Staf Pengajar Fisip Undip yangjuga alumni UGM itu.

    Ir. Haryana M.{rch sangat menya-yangkan kalau didirikannya ikatan alum-ni untuk penyalur tenaga kerja. ,,Jikaalumni untuk alumni, percumasrh tidak,tetapi merupakan peran yang paling ren-dah." kata Pembantu Rektor III UGMitu.

    Namun dewasa ini, persaingan un-tuk memperoleh pekerjruo ,i"*rngrelatif tajam. Terbukti dengan melim-pahnya alumni dar berbagai perguruantinggi negeri maupun swastayang belummemperoleh pekerjaan memadai. Kalausaja pendapat Darmanto ben4ri pem-

    bentukan ikatan alumni itu bisa meng-arah padsa perolehan kerja bagi alumni.Orang yang ingin memperoleh lapanganpekerjaan akan menghubungi organiiasialumniyang ada dalaminstansi yangber-sangkutan. Dan ini akan menciplikanjalur pemisah antara organisasi yangtelah lama memegang posisi di pelbagaiinstansi dan yang masih baru. Sehinggadalam rekruitmen, tidak dilihat dirikualitas tetapi dari mana ia berasal.

    Rupanya Koesnadi mengelak ketikadisentil mengenai dominasi UGM selamini. "Gadjahmada memegang posisikarena dalam sejarah merupakanuniversitas tertua. Pada tahun 1951 s.d.1952 semua daerah masut Jogja. Jaditidak mengherankan kalau sekarangmenduduki posisi penting setelahmereka kembali'ke daerahnya." paparasisten Menteri KLH itrr. Lebih tanlui iamenjelaskan kalau sekarang ini tidakinstansi yang semuanya dari alumniUGM. Dan lima tah-un mendatang akan

    datang dari universitas lainnya. ini ber-arti dalam perkembangan alumni tidakmempunyai dampak serius. DibEntuk-nya organisasi bukan untuk merebutpimpinan lantas membudayakan pri-mordialisme. "Dan sebetuinya silaoprimofdialisme itu juga tiAuL'l:uai iurallah, asal diarahkan untuk kepentinganumum. artinya dia mengabdi hirus pidamasyarakat, bukan pada almamaternya,Kalau p4da almamater tentu akanmenimbulkan kesan terkotak=kot ak.,'

    Kesah terkotak-kotak, menurut ang-gapan Joetata, hanya tampa sepintissaja. " Keterkotak-kotakan mau tak mautelap akan ada, hanya saja bila telah be-kerja sama dalam instansi jangan di-tonjol-tonjolkan almamaternya."katanya.

    Untuk menghindari keterkotakansesama alumni dari universitas manapunperlu dijalin kerjasama. Dengan demiki-an ada ikatan komunikasi yang meng-untungkan kedua belah pihak. Alumniyang masih muda belajar pada yang tua.Dengan demikian kesalahan yang diper-buat alumni itu bisa dijadikan pingala-man dan perbaikan untuk sama-samameningkatkan potensinya. IvlenurutJoetata sangat. tepat bila Ikatan AlumniPerguruan' Seluruh indonesia yangdiketuai Prof. Dr. Koesnadi Hardlpsoe-mantri, mengantisipasi kesenjanganhubungan sesama alumni.

    Di sisi lain terdapat desentralisasikualitas, yang sangat menguntungkan.Ini dimungkinkan, karena sesama alum-ni bisa saling memberi masukan untukpengembangan kualitas alumni. Dan se-cara keseluruhan dapat meningkatkankualitas sumber daya manusia.

    lpengabdian alumni

    Pewawancara: Lukmanul Hakim,i,: Petrus H. Harvanto-

    Perangkum: Lukmanul

    IIAYAMWURUK, No. 2 Th. YIU l99z

    '*&;;--,... ,-*-

  • ;iilI

    :T-:.!i-

    rFl

    h,

    h.l

    lr

    HAYAMWLIRUK, No.2 Th. VII/1992

    '"*x$i:ljlffi:{,rf*fltr'r:$

    ,ffi1t"1r:#

    , ,.1' Majalah Mahasiswa '

    . Fakultas Sastra Undip ,.Senat Mahasiswa

    Fakultas Saslra Undipljin Terbit

    ' sK.02/sK. DEV199oielindung

    :

    Dekan Fakultas Sastra UndipPenasehal'

    Perirbdntu Dekan lllFakuttas Sastra Undip

    Pemfu*pin UmumSatrio Seno Fra(oso

    Syamsul HidayatHedaksi Pelaksana

    Arwani, Teguh Hadi PrayitnoDewan RedakCl

    Siti latimaah, Petrus H. Haryanio,Lukmanul Hakim. lnsetyono

    RedakslArtistil( Liy-O rhSyamsul Hidayat

    Reporter

    ..;. . : :..,,:,. -lke'Frarnudia Wardani,' Ta$Akhbariyah,"Tasroh,

    Catur Wasito Edi, Hanna CK,Rahnrila Murtiana

    FolograterSatrio Seno Prakoso, Arwani

    Pemimpin UsahaSaiful Rahrnan

    Sekrelaris RedaksiBustanul fuifin, Petrus

    BendaharaSaiful Rahman :

    Dokumentasi/Perpuitakaan'r. : I!t; Farraili; Sutisn[],Jazuli.Eega',,:- ,,

    MagangMug:6;1o' Heru Sanioso'

    As,q.q.8uka, Supriyatna, E*/itadi,': h!rt':;t4a, Agus Pawenaog, '; ;' .

    'E*fi i$atyawati,Prirnastuti' r l. Handayafli, Eta Farmacelia N, :

    M. Fanani,Alamat Redaksi '

    Jl. Hayam Wurux No. 4 Sen'rarang 50241Telp 311444

    KN-AU l{ayamu.tur"uk nomor ini sudah di tangan Anda, dah .{nda sudah membolak-baliknya,mungkin terasa ada yang beda. Memang, mulai edisi ini kami mengadakan beberapa perubahan,terutama fiada pemakaiari ienis huruf. Kalau dulu kami memilih jenis huruf SZ, maka kini memakaiTitne. ltu semua karena kini dalem proses reu,oiting sampai la1,-out kami coba-coba menggunakanteknologi komputer - kebetulan ienis huruf itu tidak ada. HaltantuurrA mempunydi komputer?Bokan, Itayaniwttr^uk belum cukup kaya untuk itu. Kami cuma meminjam, unt]uk reuitifig ataupenulisan kembali naskah-naskah, pada Satrio Seno Prakoso, Pemimpin Umum kami..Jadinya, kamisering mengganggu "ketenangan" atau "acara keluarga" Seno, Malam-malam ketika dia sedang asyiktidur, kami sering datarrg untuk numpang pinjao komputer sampai pagi. Sedangkan untuklay-out,karena nierrggunakan komputer khusus, terpaksa harus dikerjakan langsung pada percetakan diSolo. Lanta^s, kalau Anda cukup cemrat, mungkin Anda akan merasakan perubahan dalam coverdepan atau perwajahan. Harus kami akui, cover depan Hayamwuruk kali ini tidak lebih baik dariedisi-edisi sebelumnya. Kini Hayamwuruk ditinggal Enrbran Setiaji yang selama ini membawahimo:dlah lay-ss1 (an perwajahan,dansampai kini belumadapenggantinya.Maka,kali ini SyamsulHidayat. Pimred kami yang untuk urusan l{ayanuwttkhampi tidak purrya ra^sa lelah itu, harustulun tangan merangkap menyelesaikrn tuga^s itu. Juga mengenai foto- foto,, klni HayamuLunrkbelum rrenrpurTyai fotoglafel rcmp sebagrri pengganti Kurniau,an Ef{cndi var.rg jugl merringgalkankami,

    Tapi kani iuga berusaha menebus betrerapa kekurangan itu, kalau iru disebut kckurangan. Kaliirri, selairr \Vautancara [../tttrna, kami fuga merrampilkan wawancara panjar.rg - dan cukup bereni! -dengarr Ali Sadikrn. 'l'erus terang itu wawancara lanra, tahun 1988 ketik" angin keterbukrn belurnbegitu rrelebak, tapri kanii r:r-sa belunr basi. Waktu itu, karena be berapa pertimbangart l!al anututuknre nangguhkan pemuatannya. Dalanr rarrgka "merrebus" itu masih ada bbnus antologr cerpen. Untukalltologi cerpen ini kami tidak perlu berkomentar, kami hanya bertriat baik urrruk nrenrperkenalkan,"h-rilah celpen-cerpen karya malrasiswa fakultas Sastra"" Mengenai kualim-s. sebagai pembaca, Anda-Ialr yang lcbilr bcrhek menilainya.

    Sebagai pers mahasisu'a, Ha-yarnuturuk rak bisa mengelak dari tradisi regenera-si- Maka untuktetap mendapatkal-r perTgelola- pengelola yarrg berkualitas, kami meneral;kan sistem magang. Untukkepengurusan periode t^hun 199211993 ini calon-calon pengelola lTayenrturuk itu sudah mulaibergabung dengan kami untuk melewati mesa,ltenggoditkan yang cukup pan.jang.

    Pembaca, semua itu kami lakukan dengan harapan dapat nrenirrgkatkan kualitas ltrayanrauntk,selringga pada setiap edisi dapat tampil dengan sajian yang menarik dan berisi.

    Cover: Syamsul Hidayat

    I

    i

    I

    I

    iledaksi menerirna Sumbangan naskahlar-tikel, diketik rapi 2 spasi makslrnal 6 ha-laman iolio. isi tulisan tidak harus sesuaidengan pendapat redaksi. Fedaksi berhakmenyunting naskah, tanpa mengubah mak-sud dan isi tulisan. Naskah dapat di kirimlangsung ke kantor redaksi Hayamwuruk,Jl. Hayam Wuruk No. 4 Semarang 50241

  • Penelitian Dosen Fakultas

    TAl( TERDETE](SI,KURANG PUBLII(ASI: :sekurangnya ada 60-an lebih hasil penelitian yangdil'akukan oleh dosen F.S. Undip. Namun tidak banyak

    orang yang tahu, jugamahasiswa sastra sendiri. Mengapa?

    Truaus kuliah E.103 Fa-If.tutt]ur sastra Undip,Sabtu pagi,9 PebruariL992 tampak sepi dariperkuliahan, para maha-siswa hanya bergeromboldi luar ruangan. Tak lamakemudian beberapa do-

    :.::'Metode Penelititril Sosialini, setengah,membeladiri. Ungkapan senadajuga di katakan Dra.Nurhayati, dosen j urusansastra Inggris. Menurut-nya mahasiswalah yangharus aktif mencari

    sen qlemasuki ruang E. 1-03, ada yangduduk di depan sebagai pembicara,sedangkan yang lainnya menjadipendengar.

    Ternyata hari itu diadakan sebuahreview hasil penelitian dosen, danmahasiswa nampakanya tak pedulidengan acara tersebut.

    "Saya tidak tahu kalau itu acarapembahasan sebuah penelitian dosen,"kata Harjito, mahasiswa sastra Indone-sia angkatan th. 1987. Ungkapan ini rasa-nya mewakili ketidaktahuan sebagianbesar mahasiswa Fakultas sastra.

    Sepertinya ada benang merah yangterputus yaitu publikasi. Kalau hal inidibiarkan berlarut, bukan tidak mungkinmenimbulkan kecurigaan di kalanganmahasisu'a terhadap dosen-terutamadosen 1'are melakukan penelitian- inidisebabkan mereka tahu kalau banyakdosen yang sibuk atau disibukkan olehpenelitiannya, nemun mahasiswa tidakpernah tahu hasilnya.

    "Di perpustakaan tersimpanhasil-hasil penelitian dosen," kata

    Drs. Anhari Basuki, PD III Fakultassastra.

    Seakan membantah pernyataanAnhari, Edi Purwanto mahasiswajurusan sastra Inggris mengatakan,"Selama ini saya tidak tahu kalau di Per-pustakaan Fakultas ada hasil penelitiandosen, yang ada hanya skripsi mahasiswasaja."

    Pendapat senada juga dilontarkanoleh Harjito, bahwa selama ini ia tidakpernah tahu mengenai hasil penelitian

    dosen sastra. "Ini karena sayalangkuper(kurang pergaulan, Red), atau memangtidak tidak ada publikasi mengenai hasilpenelitian dosen tersebut." Untukmengecek kebenaran dari pernyataanPD III tersebut, maka Hayamwurukmengadakan pengecekan langsung keperpustakaan Fakultas sastra yangterletak disudut belakang kampus."Tidak ada, tidak ada hasil penelitiandosen di sini,l jawab Totok petugasperpustakaan ketika ditanyakanmengenai hasil penelitian dosen yangtersimpan di perpustakadn. Ini jugadibenarkan oleh Ida SI! petugasperpustakaan lainnya,"Ini kamibaru sajamenerima duu buah hasil penelitiandosen." Ujarnya sambil menyodorkanfoto kopian tanpa cover hasil penelitiandosen ber tanggal 14 Maret 1992. "Sela-ma ini kami tidak pernah menerimanya,"tandas.Ida SK lagi. Lalu tersimpan dimana?

    "Dosen itu seyogyanya tidak arogan,karena mahasiswa juga membutuhkanhasil penelitian itu," ucap Edi Purwanto,"atau penelitian itu hanya untuk men-dapatkan kum saja bagi dosen."

    Menanggapi sinyalemen tersebutDrs. Sutejo Kuwat Widodo menyata-kan, kalau hal tersebut (hasil penelitiandosen sastra, Red) dapat diperolehdengan menanyakan langsung padadosen yang bersangkutan, atau pada

    . Lembaga Penelitian Undip. "Masya-rakat ilmiah itu tidak tutup-tutupan(serba tertutup), sehingga kecurigaanmahasiswa tidak mendasar sama sekali."Tegas dosen pengampu mata kuliah

    sendiri. ke Lernlit Undip. "Mereka bisamelihat hasil perielitian yang telah di-lakukan doset Sastra, juga boleh memin-j u-ny1." Tambahnya lagi.

    Kendala DanaSelama ini publikasi yang dilakukan

    baru lewat lembaran sastra yang terbitsatu kali dalam setahun, dan jumlahnyapun terbatas hanya tiga sampai empatbuah penelitian yyang dapat dimuat.Sedangkan hasil penelitian yaugdilakukan oleh dosen sastra selama satutahun jumlahnya mencapai 14 sampai 15penelitian.

    Dengaa kurangnya sarana publikasiini maka hasil penelitian yang telahdilakukan deugan susah payah sertamenghabiskan banyak biaya itu, tidakada gaungnya baik di luar Fakultassastra maupun di dalam Fakultas sastrasendiri. Hasil-hasil penelitian Fakultassastra tidak atau belum pernah menjadiacuan peneliti lainnya. Dan ini rupanyadibenarkan Drs. Moehadi dosen seniorjurusan sastra Sejarah, "Memang setahusaya belum pernah ada hasil penelitiandari Fakultas sastra yang menggempar-kan dan dija.{ikan bahan acuan peneliti-an di luar Fakultas sastra." sementaraAnhari Basuki berdalih bahwa hasilpenelitian yang bisa dijadikan acuankalau telah diterbitkan dalam terbitanresmi. Sedangkan Fakultas sastra belumsampai pada publikasi,secara.luas,sampai saat ini baru terbatas di Fakultassastra sendiri dan di Lembaga PenelitianUndip, "Sehingga yang tahu terbatas, ini

    HAYAMWURUK, No.2 Th. VII/r992

    $3iidL-,!r,i**;,.:-...-;- .rr

  • karena mClratut dana" Kata PD IIFakultas sastra itu. Seakan sependapatdengan Anhari, masalah dana menjadimasalah yang mendasar. Dana yangldiberikan sangat:terbatas hanya sampa!pada pembuatan laporan penelitian sajatidak sampai pada publikasi se.gala."Terkadang kita harus nomfok.",'lJjarKuwat Sutejo, tersenyum kecut.

    Lain halnya dengan Drs. MuhajirinTohir, dosen mata kuliah MetodePenelitian Sastra, ia melihat adanya duamacam alasan kenapa sebuah penelitianitu tidak dipublikasikan. Psrtamaadanya kesadaran dari pihat penelitisendiri, yang xperasa hasil penelitiannyamemang belum layak untuk dipublikasikan secara umum. Kedua karena tidakadanya pihak-pihak terkait yang secaraaktif mwminta data-data hasil penelitianyang telah dilakukan dosen. Lsebuahwadah yang sccara khusus menampunghasil-hasil penelitian para dosenmungkin perlu didirikan." usul KuwatSutejo, "Karena ini akan memacu dosenuntuk menghasilkan penelitian yangberkualitas, namun nampakny belumada yang memulainya?" katanya sambiltertawa kecil. Seakan menanggapi usulKuwat Sutejo, Anhari Pasuki ber-komentar, "Rencana memang ada, tapikalu dananya tidak ada ya percuma.Dana dari DPP SPP kita tidak punya,sedangkan di luar itu belum ada.u

    Dialog TerLrukaUntuk menjembatani permasalahn

    dan tersebut, Moh. Nuh. Tabronimahasiswa jurusan Sejarah angkatanL986 mencoba msmberikan alternatif-nya. "Perlu keterbukaan dikalangandosen untuk siap diuji disuatu farumterbuka, dialog terbuka dengan paramahasiswa mengenai hasil penelitianyang dilakukan dosen." Setengahmembela diri Anhari Basuki mengata-kan bahwa, setiap sabtu sebenarnyadiadakan presentasi atau revieu hasilpenelitian dosen. Dan ini memang untukkalangan dosen sdaja, kalau untuksemester bawah turut diundang nautimenjadi kacau. Soalnya mereka belumtahu apa-apa, jadi kalau semua maha-siswa kita undang jelas tidak mungkin""Tegas Anhari Basuki lagi.

    Hasil penelitian apalagi yangdilakukan oleh masyarakat ilmiah perlusekali untuk dipublikasikan kepadakalayakumum. Tidak akan ada gunanyasetelah bersusah payah selamaberbulan-bul6n melakukan penga-matan, penelitian, pendataan danmembuka berlembar-lembar pustakabuku kalau hasilnya hanya disimpanuntuk alas tidur saja. '' Itu tidak lebihhanya onani intelektual saja." KataTabroni, berapi-apai. "Kalau dosenmasih mempunyai kejujuran padanurani dan kualitas diukur dari hasipenelitiannya maka bolehlah kitaberharap," ujar Muhajirin Tohir, penuhharap.

    Kita juga berharap semoga banyakdosen yang menyadari akan hal itu.,kualitas diriril,a sebagai seorang dosendiukur dari seberapa jauh pula kualitaspenelitian iang dilakukannya. Danpublikasi sebagai sarana pensosialisasi-an karva peneiitian sangat berperansekali., untuk mengukur kualitas ter-sebut. Papan-papan pengumuman padatiap jurusan dapat dijadikan mediapublikasi terhadap hasil penelitian paradosen, juea maj alah mahasiswaHayamuuruk.

    Perangkum: InsetyonotoReporter: Catur, Isn.

    Rupiah-rupiahTak Tentu Rirnba

    Untuk menjadi sarjana, selain membutuhkan banyak biaya,memang tldat mudair. Setelah melalui serangkaian perjuanganpanjang - da{ mulai masuk, kuliah, KKN, skripsi, sampai ujian -

    untuk "pamit" saja ternyata masih juga ada masalah.

    D:,H'H:"Ti**ffi ',xT#1}"1,?besarnya tidak seragam: Beragamnyabesar iuran karena disesuaikan dengankebutuhan tiap fakultas. Itu terjadi kare-na penarikaa itu dikelola oleh fakultas.Tahun ini, misalnya, untuk Fisip IuranWisuda(IW)-nya sebesar 80 ribu rupiah,FNGT 75 ribu, Politeknik 100 ribu danFakultas Satra 60 ribu.

    Kalau melihat besarnya. penarikanbiaya wisuda itu, memang FakultasSastra yang paling kecil. Namun dariyang terkecil ini terungkap kasus yangcukup menggemparkan. Pasalnya,dalam kuitansi pembayaran terinci alo-kasi uang iuran yaitu untuk wisuda uni-versitas, alumni universitas, perpusta-kaan fakultas, penulisan ijasah, sewatoga, Kosuma (koperasi mahasiswa Un-

    dip) dan PMI (alang Merah Indonesia).Alokasi dana untuk sumbangan Kosumadan PMI itulah yang menjadi masalah.

    Sejak tahun 1987, kuitansi iuranwisuda untuk Fakultas Sastra memangtercantum rincian alokasi seperti itu.Baru tahun 1992ini ada calon wisuda-wan yang cukup jeli untuk menanya-kannya ke pihak Kosuma.Itu dilandasipertimbangan; kalau lulus, mahasiswa(baca: wisudawan) seharusnya mem-peroleh pengembalian SPA (SimpananPokok Anggota) Kosuma. Namun,mengapa justru dalam kuitansi terterasumbangan untuk kosuma sebesar 5ribu rupiah?

    Tentu saja ketika dihubungi pihakKosuma menjadi terkejut menemuikenyataan seperti itu itu. Andang MulyaT., Pemimpin Umum Kosuma Undip

    I HAYAIVIWURUK, No.2 Th. VII/1992

  • h-Il

    periode 91-92, secara tegas menyatakani balwa Kosuma tidak pernah mEminta.:

    atau mendapat dana dari sumbangansemacam itu. Selanjutnya Kosumamengajukan surat permohonan pen-jelasan mengenai hal ini kepada PR{Pembantu Rektor) III karena secarakelembagaan Kosuma berada di bawahrektorat dan tidak mempunyai keteri-katan dengan fakultas yang ada dilJndip. Melalui surat bernomor 242lElSEKR/KSMllll92 di tegaskan pula,pihak kosuma tidak pernah member-lakukan tarikan sumbangan dalambentuk apapun kepada calon wisuda-wan. Dalam hal ini PR III menyarankankepada Kosuma untuk menemui secaralangsung pihak fakultas Sastra agar lebihj elas permasalahannya.

    Sementara itu PMI Semarang punirenyatakan birhwa pihaknya tidakmerasa pernah meminta atau mendapatsumbangan dana dari para wisudarvans:perti tertera dalam kuitansi yangCiterima wisudawan. Memang, PhfIrr:nerima sumbangan dari UniversitasDiponegoro sebesar Rp. 669.650,00.Tetapi sumbangan tersebut bukal dari.aiL1n wisudawan, dan PMI telah:r:nberil

  • '.;,:i 3..r

    DA CEKAL PADA ACARA WISUDAR:irang auditorium Uni$eriitas

    Diponegoro, $qrq 2L Februari 1"992,nampak semarak. Raut muka yang hadirtampak ceria. Maklum, mereka sedangmengikuti'gladi bersih upacara wisuda.Beberapa calon wisudawan dan wisuda-wati terlihat sudah saling mengqcapkanselamat, walau baru besoknya resmimenjadi sarjana. Semua larut dalamsuasana ceria. Budi Maryono, calonwisudawan dari Fak. Sastra angkatantahun 1985, pun demikian. Terlebih diamendapat kehormatan ditunjuk olehpanitia, lewat dosen pembimbingwisudawan, uhtuk memberikan pidatosambutan mewakili wisudawan padaupacara wisuda besoknya.

    Acara demi acara berlangsung cu-kup serius. Tapi ketika sampai padabagian sambutan dari wakil wisudawantiba-tiba suasana menjadi kisruh.Bahkan sempat terdengar salah satuyang hadir berteriak, "sastra kena cekal(cegah-tangkal, Red.)!" Apa pasal?Budi Maryono yang sesuai rencanasemula akan memberikan kata sambut-an, ternyata diganti. Uniknya, tanpapemberitahuan lagi.

    Terlalu "Nyastra"?Tentu saja Budi Maryono kaget.

    "Sebenarnya saya ini apa sih, kok sampainggakjadi. Apakah hanya karena isi teksatau memang ada sesuatu yang ber-hubungan dengan saya pribadi?"keluhnya ketika ditemui Hayamwuruk ditempat kostnya. Menurutnya, jadi atautidaknya bukan masalah benar. Tapiperlakuan Nguwongke (memanusiakan,Red.) rasanyaitu tidak ada.

    Namun mengenai pembatalan itumenurut Drs. Hermintoyo selaku dosenpembimbing wisudawan, Budi telahdihubunginya secara non-formal.Sebenarnya, dipilihnya Budi olehHermintoyo didasari pertimbanganbahwa yang dapat membuat teks pidatodan mengandung sentuhan sastra hanyaBudi. Karena selain dia seorang sastra-wan muda, juga dianggap mampumembuat tulisan yang sesuai dengankeinginan mahasiswa secara lugas. Tapi

    batalnya Budi dikarenakan naskah yangdibuatnya dinilai panitia bahasanyakurang bisa dimengerti umum.

    Hal itu pun ditegaskan oleh PD IIIfakultas Sastra, Drs. Anhari Basuki SU."Hermintoyo memang menunjuk Budi,dan dia sudah membuatnya. Setelah jadi,nampaknya yang dipakai adalah bahasasastra. Tetapi ada satu kata yang tidakenak menurut orang awam. Tentu sajajuga bagi Rektor." Yang dimaksud ada-lah kata menyetubuhkan. ''Saya katakanpada Pak Rektor, Budi memang tidakmau mengganti kata tersebut. MenurutBudi kata itu sudah yang paling tepatdan merupakan satu ekspresi." TapiRektor berpendapat kata itu bisa digan-ti. Tapi kalau tetap tidak mau, makaorangnya yang diganti. Lantas hal terse-but ditawarkan kepada Budi, dia tidakkeberatan dan meminta teks pidatonya.Namun Anhari merasa tak mungkin biladiambilnya, yang memungkinkan adalahHermintoyo. Ternyata, sampai saat ini,Budi belum menerima kembali naskah-nya. "Kata Mas Hermin sulit didapatkembali karena itu sudah di tanganrektdr," tuturnya.

    Naskah Budi kalau dilihat sebagainaskah pidato dapat dikata umum. Isi-nya gambaran secara terbuka keadaandan persoalan yang sering menimpamahasiswa dan sarjana. Dalam naskahitu diungkapkan secara jelas dan tegaskesulitan sarjana untuk bersosialisasidengan masyarakat. Dan permasalahanyang sering dihadapi oleh para sarjana,menurut Budi, adalah kegagapannyayang bukan karena masa depannya yangbelum jelas, melainkan karena ketak-piawaian mereka dalam menyetubuhkanilmu dan praktik. Mereka pun selamabertahun-tahun, sadar atau tidak, lebihsibuk bergulat dengan diktat dari pada'lebur menyatu, nlerasakan, sertamemahami denyut kehidupan masya-rakat. Memang, dalam seluruh waktubelajar di perguruan tinggi, ada masatiga bulan bagi mereka untuk terjun kem-asyarakat melalui KKN. Namun itubelurncukup, KKN oleh sebagian besarmahasiswa masih dipandang sebagai alat

    urtuk meraih nilai, bukan dipandangsebagai pros.es menghayati dan meng-amalkan ilmu dalam kehidupan yangsesunggulmva.

    Itfasih menurut Budi Maryono,mahasiswa bukanlah makhluk istimewa,ia memiliH kekurangan dan kelebihan.Jelas ridak bisa dipungkiri, mahasiswaadalah sebuah kelompok kecil di antarawarga oesara Indonesia yang memilikikesempatan menempa diri untuk men-jadi sesuatu vang lebih berarti. Maka,seyogyan).a mahasiswa tidak menyia-siakan kesempatan, Artinya, seluruhcivitas akademika wajib bekerja samauntuk membuat proses belajar mengajarmeningkat, da.o kampus tidak menjadilaboratorium 1'ang steril hingga mem-buat lulusaml'a mudah terserang penya-kit karena aiergi bersentuhan denganpermasalahan masyarakat atau lebihluas lagi permasalahan nyatabangsa dannegdranya.

    Apakah kejujuran Budi Maryono,seperti tertuang dalam naskah pidato-nya, itu belum waktunya atau bahkantidak boleh diungkapkan di depanumum atau orang tua mahasiswa dansarjana? Mungkin, oleh panitia wisudaitu dirasa dapat merusak citra Undipsebagai universitas yang sudah cukuppunya nama, maka perlu dicegah danditangkal. Atau karena Budi tetap ngo-tot untuk menggunakan kata menye-tubuhi, sementara pihak panitia -bahkan Rektor! - tidak mau menerima-nya? Bisa jadi, pencekalan itu karena"prestasi" Budi Maryono selama inisebagai mahasiswa yang vokal untukkalangan Undip. Tetapi, yang jelas Budibatal membacakan naskah pidatonya.

    Memang, jatah untuk memberikankata.sambutan dalam acara wisuda itudigantikan Oktiva Herianto yang jugadari Fak. Sastra. Tapi apakah itu menye-lesaikan masalah? Yang jelaS masihdibutuhkan kedewasaan berfikir danbersikap pada semua fihak untukmewujudkan Undip dan segenap civitasakademikanya menjadi benar-benarberkualitas tinggi.

    (Bustanul Arifin)

    HAYAMWIJRUK, No.2 Th. VII/1992

    i-10

  • li$iA1 t. tti ._

    I.-t

    IIi

    ,IlIiII

    .il

    - qifl

    i'A'

    t,'r,)'LAIUI GENGGAT|ANUDAYIT POPUTHR

    D,r. Sapard.i Djoko Dlmono, sastrawan cran kritikus sastra yang pernah' dimunculkan sebagai tokoh angkatan 70 dan g0-an bersama Sutuia3i-Calzum Bakhri, Darmanto Yatman, Hamid Jabar. Jabatan akademit

    sekarang ini sebagai Pembanru Dekan I FS. Lri.wawancara berlangsujrg d! rumahnya Jl. Kalimanran. Depok.

    Pewawancara Arwani dan Syamsul yang- sei:al igu s nrengerjaku'n .oiring.Toleronsi don oenohorooonmed io mo sso'terh-odoJ kor

    yo sosho besor sekblio Ferhatian$ media massaz terhadap per-

    kerytrangansastra agak-nya cukup tre-sar, ini terli-hat dengan ba-nyaknya mediayang memuatkarya sastra.

    u*,,,1 Ya, me-mang, ada ba-nyak pener-bitan dalammasyarakat.Tidak hanyakoran. Pener-bitan buku,penerbitanberkala seperti

    majalah ini memegang peranan penting dalarnpeikembangan sastia modern. Karena karyasastra itu baru akan ada kalau sudah diterbitkan.Meskipun semua orang menuiis karya sastra,tetapi kalau tidak ada yang menerbirkan, kitatidak akan tahu, sastra itu ada. Nah, sekarang,masalahnya, penerbitan macam apakah yangrnendukung perkembangau sastra kita? Apakahpenerbitan buku itu menunjang. kira sulit untukmengatakan ya atau tidak, karena penerbitanbuku juga mempertimbangakan untung dan rugi.Di dalam pasar, sastra itu dianqgap barang di-gangan, tidak ada bedany,a dengan yang lain.Kalau sescorang menanamkan modalnya padasektor itu, si penanam moclri pasti menghirap-kan keuntungan.

    Namun yang mengunrungkan dari industribuku ini adalah masih adanya idealisme.Kadang-kadang, meskipun ngak laku, ia masihmau menertritkan. Jadi, di sana ada proyek rugi.Memang, rnau tidak mau, orang te tap berpegang

    HAYAIVIWURUK, No" 2 Th.YIlllggz 11: ,!:1

    .--!.r:y-!.'';t!i:ir

  • FJt

    I

    ii

    HAYAIIWURUK, No. 2 Th. Ylll L992

    ,'i,

    l.i, :,:t

    pada prinsip kalau sudah rugi, ia tidak mau lagimenerbitkan . Lha, di sinilah sebenarnya masa-Iali perkembangan sastra modern.

    macam, adanovel, cerpen, puisi,'naskah drama. Nah, per-kernbangan dalam masyarakat, kadang-kadangberbeda-beda. Menerbitkan novel itu relatif le-bih sulit daripada puisi. Tetapi dari segikemungkinan laku-jualnya lebih besar. Kalauorang menerbitkan cerpen, kemungkinanpenyebarluasannya lebih besar. Cerita pendekadalah karya sastra yang paling mudahdiedarkan. Ka(ena .hampir semua koran diseluruh Indonesia memuat cerpen, jugamajalah-majalah. Jadi, kalau kita hitung, dalamsatu tahun setiap koran menerbitkdn 52 ceritapendek. Itu belum yang ada di majalah-majalah.Sedangkan puisi, itu nomor dua. Puisi ini jugabanyak sekali.

    Dengan demikian, karya sastra sebenarnyamendapat tempat di dalam media kita. Meski-puniabarangkalitidak lakujual. Kalau puisi ataucerpen dicopot dari koran, koran itu tidak rugi.Itu menunjukkanbahwa sikap kita terhadap kar-ya sastra sangat positif. Toleransi media massasangat besar dan penghargaan terhadap karyasastra diam-diam besar sekali. Nah, sekarangmasalahnya, apakah perkembangan di koran itusudah cukup? Kalau bisa kalr sastra itu disimpandalam bentuk buku, dilestarikan dalam bentukbuku. Jadi, kesulitan kita sekarang adalah masa-lah bagaimana menyebarluaskan karya sastradalam bentuk buku.

    - Penghargaan midia massa yang tinggi itukan tidakbisa dijailikan ukuran apakah masya-

    rakat membaca karya sastra itu. Bagaimanakalau karya sastra itu dikaitkan dengan ke-butuhan masyarakat?

    Memang dari situ bisa kelihatan kalau se-benarnya karya sastra sudah mendapat tempatdi kalangan - paling tidak - orang-orang yangmengelola media massa. Itu belurn diukurdengan kebutuhan masyarakat. Artinya,.apakahpernah ada angket yang dibuat koran-koranmengenai arti pentingnya cerita itu, saya tidaktahu. Mungkin majalah semacam Kartini,Femina, p.ernah membuat angket mengenairubrik mana yang disukai pembaca, apakahcerbung, cerita nyata, masak-memasak, atauyang lain. Tetapi kenyataan bahwa koran ataumajalah-ma.ialah itu tidak pernah absen memuatcerita; itu menunjukkaa kalau cerita-cerita itudisukai masyarakat. Yang menjadi masalah,

    .apakah orang membaca cerita itu hanya sebagaikompensasi setelah membaca hal-hal yangsifatnya nyata? Apakah kegemaran orangmembaca cerita itu sebagai kompensasi ter-hadap kegemaran membaca berita. Jadi ceritaitu mempunyai'lungsi tertentu kalau dia ada ditengah-tengah berita yang ramai. Nah, sekarangpertanyaannya, apakah kalau sastra itu diambildari koran dan kemudian dibukukan, apakahorang masih juga beli? Ini perlu penelitian. Inipersoalan yang'rumit, karena berkaitan dengansikap, Kalau kita tidak beli itu pun bukanberartitidak menghargai. Alasan kan bermacam-macam, tidak punya uang, misalnya.

    Apakah itu bukan karena situasi tn&s/&:rakat yang memang menghendaki sesuatu yangsifatnya instan, praktis, dan serba cepat? Se.hingga puisi atau cerpen yang muncul ke-banyakan medianya koran.

    Kalau menyinggung masalah itu, berarti kitabicara mengenai kebudayaan populer. Memang,sekarang ini kita berada dalam genggaman buda-ya populer. Semua yang ditujukan kepada kitaadalah produk budaya populer. Memang, puisilebih cepat dinikmati, ditulis, dan banyak koranmemuatnya. Tetapi kita harus ingat, meskipunnovel seret penerbitannya, tetapi hampir semuamedia massa memuat novel secara bersambung.Jadi itu berarti tidak semua instan kan? Kalauinstan, ngak ingat waktu. Setelah dibaca laludibuang. Kalau ini justru ditunggu-tunggu.

    Jadi, masalahnya, terletak pada kemampuan

    wR -;w3 x Dagatmana

    :tr.:El fpengaruh jenis#A lpenerbitan itu'-*i":Alterhadap per-

    -':,i =ke*bangan sas-Y. I tra?

    I'tu* l# Jenis-jenisffi 1 penerbitan iniEi I akan membawaG t pengaruh padaE I jenis-jenis karyac i sastra apa yang/E lberkembang.

    ' e I Karya sastra itukqn bcrmacam-

  • masyarakat untuk r:::=biarai kesenian. Kalaukita nonton drama. n:isalnl'a, itu membiayaikesenian.

    Kehidupan sastra di tahun 30, 40, sarnpai60-an, kelihatannla lebih semarak kalau kitabandingkan dengan sekarang?

    Saya kira tidak begitu. Orang itu memangsuka bernostalgia. Jadi, yang lama selalu dipan-dang fpmantis. Padahal. majalah puj angga b antdicetak ianva beberapa .itus saja. ni'n yarglakg paling serarus. Jadi anggapan itu tida[ Ue-tul. Saya sanqat bertentangan dengan orang yangmengatakan bah*,a angkatan 50-an lebih sema-1ak, Sekarang orang lebih mengenal Chairillrr*1., terapi pada zaman itu tidak ada yangkenal Chairil Anu'ar. Bahkan ketika'dia *ening-gal, tak ada orang yang melayat. Tetapi sekarangse.tiap orang Indonesia kenal Rendra; Umarfuy.u1, dil. Juga jumlah buku, dulu berapajumlah buku Chairil, paling ratusan, sekarangberdpa puluh ribu buku Rendra dibaca orang?

    I\Iasalah kualitas?

    Sama saja. Orang Pujanga Baru iiu kayakapa siir? Kita menghargai Chairil, karena diamemang pioner waktu itu. Sebetulnya Chairilhanva menulis sekitar 70 sajak. Dan yang aslibenar cuma beberapa. Lainnya curi sana-curisini. Sedang yang berbobot, bernilai sastra yang

    Penulis resensi vono suddr punp nomei ;p Eiper

    ccyd rfioryorokot

    Mosvorokct tldok biscbegitu soio dikecoh

    awan dulu. Sedangkankurang dikenal,

    bagus, palingcuma empat ataulima. Selain itu,apa sih sajakKepada Angkat-anlan, atau Aktt.S aj a k Ch airilyang bagus itr:Deraiderai Ce-ntara. Yang lain,setiap penyairmuda bisa mem-buat seperti itu.

    f3F Tetapi yangdikenal jus[rusastrawan-sastr

    sastrarvan sekarang

    HAYAMWURUK No.2 Th. VII/1992

    Kalau itu yang'dikenat ai ietotut, betul.Karena sekolah materi yang masuk adalah yanglama.. Di ddlaiir, pendidikan yang dipentinikanadalah masa lampau. Karenapendiaitan iti tra_rus memberikan bekal kepada anak didik untukmengetahui khasanah rohani dan kekavaaniLh"li di masa lampau. Jadi, sasrra klasik yangdiberikan, bukap sastra modern. Di Inggris punbegitll.'seriap grang Inggris tahu Shakespeire,padahal Shakespeare itu empat ratus tahun yanglaiu. Chailes Dicken *.nuii, dua ratus tahunIalu. Barangkali anak-anak Inggris tidak rnenge-nal penyair-penyair yang menulis sekarang.

    Jadi, begitu masuk dalam pendidikan for-mal, SD, SMP, SMA, yang dipeihatikan adalahmasa lampau, karena masa"larnpau sudahmemberikan filter, mana yang bail dan yangtiuruk. Sastr4.itu kaa harus dites dulu denganzaman. Kalau sekarang diberikan, yang dibiri_kan yang mana. Kita kan belum memberikanfilter. Kalau sirdah lima puluh tahun bahkansampai seratus tahun rnasih bagus clibaca, orangbaru yakin kalau itu bagus. Kemudian barudiizinkan masuk dalam buku -buku pelajaran.

    Tentunya hal itu membutuhkan dokumen_tasi. Dan kalau kita Iihat kebaniakan karyasastra sekarang dipublikasikan ieu.at koran.Tentunl,a sulit men doku mentasikannla?

    Ya, memang, kalau dijadikan buku kemung-kinhn didokumenter lebihbesar. Ini masalahnya.Tetapi, nanti akan terjadi sesuatu yang sifatnyaalamiah, Jadi seleksi itu bisa seleksi yang,"rgr;,dibuat, namun ada juga yang alamiahl SetIJahsekian puluh tahun, di antara sekian ratus ribukarangan akan muncul nama-nama yang akanmetdorong pengamat atau para penelitiuntukmenguurpulkan karya sastra. Tapi, tidak semuakarya sastra terkumpul. Itu akan terjadi, di ma-napun akan terjadi. Jadi kita tidak usah khawatiril3 uk11 hilang. Pada hakekatnva. sesuatu yangdicetak itu tidak akan pernah hilang. DiKonipas,dari penerbitan pertama sampai sekarang rrrasihada,

    Jadi, akhirnya, tergantung pemuncutankritikus?

    Iya, pasti. Kritikus kan orang yang dapat'rnemberikan bimbingan, pengarah*, dunmemberikan panduan kepada masyarakat luas

    13

  • t;-G -r iG1=it-'-Yt.,ifi ,',',,i.1di$rF;fJffi

    [,rti;',l'.::i,,-':' ':

    Jir:,

    mengenaibuku- buku apa r trr.g mere ka baca dannikmati.

    Di dalam masyarakat, tiap L.ulan ada raiusanbuku. Tidak mungkin orans i-iir L,:rca semua-

    nva. kecuali ka-re na masalahr'.'al:tu, juga ken-dala dana. Lha,kalau merekaingin tahu, me-reka bisa mem-baca resensi.Kalau memang,baeus ra be1i.

    Oleh karcnaitu, buku-bukuyang laris seka-rang biasanyabuku-baku vangmenuruI resensibait. Buku Bri-

    nama, itu dipercava masyarakat. Ia tidak maumengorbankan kepercayaan masyarakat. Ma_syarakat itu tid:k bodoh. Masyarakat tidak bisabegitu saja drk:;,h. Kaiau karya jelek dikatakanbagtrs, lha ya rusak. Kecuali kalam masalahselera. Selera cranq itu mempunyai ambang ba_tas tertenru. Jadi lidak bisa dipaksakan. Anakkecil disuruh m;mbaca Betinggu, ya tidakpaham.

    Berarti sah saja bila akhirnya ada karyasastra serius dan populer?

    . .

    Oh iya. Bukan hanra sah, tapi itu wajib. Didalam masyarakat itu harus tersedia sebanyak_banyaknya jenis bacaan, untuk semua jenisorang. Kalau tidak, berkhianar masyarakai itu.Kalau masyarakat itu berpretensi untuk ,r.nr_hasilkan"hanya satu jenis, itu nur"unyu **y*l_kat totaliter, masyarakat fasis, tidak iemokratis.iv{isalnya, di Rusia atau Cina masyarakat hanyadiberi satu jenis bacaan, yaitu Re-alisme Sosial.Itu sadis. .Iacli'iJatram maiyarakat it, h;r;, ;r-se di a b,acidn .rrl&cff {n:rn&cam, ada bacaan untukibu, remaja, anak-anak, tukang becalc il" ya;gpopuler, serius, ada yang berisai filsafat, me_ngandung amanat-arnanat yang dalam, pun yangmain-rnain. Orang membaca faryu sasira, iuju-annya kan macam-macam.

    Tapi, nampaknya dari kubu sastra seriusbany'ak mengeluhkan peminatnya yang semakinmenurun.

    l

    i:l

    I

    i

    t,,1l

    Di doiom rnosyqrokotitu horus teriedio

    sYAMs{'rt n/lrg- BttnLt;.g .\lq-nyar, setelah diresensi Bagya (Subag1,,aSastrorvardoyo, ed.) langsung laris. KemuJianbuku tinus Suryadi, Pengolatan pai1,en. jutabegitu. Saya yakin sebagian besar karena ,.r.nri.

    tantas, ada sinyalemen, penulisan resensil1t

  • * .:

    AQgo*odo gunonyacerewet,i^

    ''lnrcnqkclcn /u'on,7

    !.iL CnrcFotcn Dr/*on.

    berkesenian tqrbatas. di negeri mana pun jugabegitu. Jadi, kalau m:ngharapkan orang nontonmusik Bethoven sama ,j:nsan penonton MichaelJackson, itu impian

    -\ gg ak akan ada. Itu lain'lagi.

    Mengenai peran redaktu l' tern.yata memangmemegang peranan penting. Penulis yangkurang dikenal sepertinya cukup sulit untukmenembusnya. Tapi, seorang Itomo l\{anguudengan karyanl a seperti Bunury-Btmrng Rantau(cerita bersambung di Kampas erl.) itu secarateknis kan semau Romo. Berarti pengaruhredaktur sangat dominan?

    Iya, Saudara betul. Teiapi redaktur itu bu-kan jagoan. Ia tidak dapat melihat dengan cepatkualitas orane, Jadi pengalaman yang bertahun-tahnn merupakan jaminan. Setiap sastra\van,Goenarvan \{uhamad, Rendra, Putu Wijaya, danlain-lain, pernah mengalarni kejadian konyol,diiendang-tendang- redaktur. Namun, sas-trawau

    -vang benar dan berkualitas - mempunyaibakat dan ke mampuan - dia tidak akan rnenye-rah. Ditolak, masih saja mengirimkan. Padasuatu saet dia akan mengalahkan redaktur.

    Kalau kita kem'bali pada masalah kritikus.Nampaknla, dalam pemunculan llettgarang-pe-ngarang baru ada pengaruh kritikus lewatpembabtisannya. Yirng kita kenal sekarang inipaling-paling angkatan'45,'66,dsbnya. Semen-tara angkatan '70 atau '80-an sudah tidakada

    gaungnya lagi.

    {I Maksudnyatidak ada yangmemperhatikan,begitu? Itulahyang saya katakanalarniah. Oraagitu tidak bisa n:re-rnaksakan ke-pada masyara-kat, inisalnya da.iam s"r;atu forumoiang ber- teriak-teriak ulemun-culkan angkatanini, angkatan itu

    dsbnya, dengan menampilkan tokoh-tokohtertentu. Tetapi kemudian yang diurunculkantidak sesuai dengan apa yang diomongkan. Itutidak ada gunanya. Saya sebagai seorang

    sastrawan dan kritiltus akan gelir Coba Saudaralihat apa ying dikatakuo o.alng yang menyebutdirinya kritik'ug . terrnasuk Pak Jassin -, rne.rekamemb.uat""an[katan-angkatan dan peiiocle-periode:yang aneh-aneh. Ada, Pujangga Baru,ada Balai Pustaka. Pujaugga Baru dan BalaiPustaka itu bedanya apa sih?. Dari segi zamansa!a,sudah membingungkan. Apalagi belum adalima be.las tahu-n orang sudah mencanangkanangkalan '45. Terus pada tatf,ii-.50{n, AFpRgsidibilang,'ada angkatan 50.an. Ta\un a5sampai 50 itu.hanya 5 tahun, terus ada an$katan'55. Pak Jassin kemudian muncul danmengatakar ada angkatan'66. Tahun

    -55 sampai66 itu baru LL tahun, sudah ada angkatan lagi.Dari angkatan '66 muncul lagi ingkatan 70-an.lnikon gila ! Itu baru berapa tahun s/l ?, 4 tahun!L.antas ada lagi angkatan 80-an. lni kan ngakwaras. Teru$i.tgrang,saja ini bukan pekerjaankritik yang beitar. Itu kritik yangngawur dan asalngomong. Dan semua orang tahu; masyarakattahu, yang asa-:l ngomong pasti tidak akan dl-dengein. Ngak ada gunanya cerewet, 'Ini ang-katan 70-an, ini angkatan 80-an." Barangnya ituyang mana. Itu kadang membingungkan, danpasti membingungkan, karena itu absurd. Ituomong kosong, absurd, apus-opusan. Itu ngakmasuk akal.

    Hal itu selalu membuat sava marah. Kalauorang mau men,eangkat angkatan 70-an. 30-an,itu berarti menganggap kami sudah mati semua.Kami belum mati, bahkan akan menuiis sampaiakhir zaman . Lha wong Pak Takdir saja, yangangkatan 30-an masih menulis kok. Gimana?Apa mau disikat saja? Ya ngakbisa.

    Lantas, bagairnana supaya penulis atausastraryan muda bisa muncul, kalau ada kecen-derungan nama itu menjadi pertimbanganpenerbitun?

    Masalahnya bukan ada angkatan apa tidak.Tetapi apakah ada yang menulis leb,ih bagus dariyaug sudah rnenulis. Kalau ada penulis mudayang lebih bagus dari Rendra, r a dia bisa menga-lahkan Rendra. Tetapi kalau ridak ada, ya se-lamanya dia akan kalah terus. Atau menungguRendra mati. Itu saja. Jadi kalau ada penulisyang lebih muda dari angkatan sekarang dia ha-rus lebih pintar dari orang-orang ini, lebih bagustulisannya. Dalam sastra itu terjadi kompetisi.

    Penuangan ide pengarang dalam tulisan,agaknya tidak murni lagi. Ini dipgngaruhi,

    ,s

    {

    ':

    I

    i

    I

    i

    I

    t

    h

    II

    l

    l

    I

    ,iii;lLIttitililitilJIitiI

    I

    I

    II!

    15HAYAMWURUK, No.2 Th. VII/1992{l,t

    --;t!!

  • l1

    i.:lr:i'i!

    misalnya, oleh faktor penerbit/redaktur. Jadisebelumrrnenulis ia sudah mempertimbangkanpada.siapa karya itu akan dikirimkan. Dankalau sCkiranya.tulisan itu berbahaya ia perlu

    ' mengemasnya! sedemikian rupa.2 Jo0i bagaimana

    hal itu bisa di-Iihat sebagaikualitas penga-rang?

    Semua pe-ngarung di mana-pun akan selalubegitu. Penga-rang bukanlahmakhluk yangterlepas darimasyarakatnya.Bahv/a karyasastra bukanlah

    sesuatuyangjatuh dari langit, tetapi hasil budal'amasyarakat tertentu. Masyarakat tertentu. itudiwakili oleh pengarang. Dan pengarang turidukkepada kaidah-kaidah,.nilai-nilai, norma-normayang ada dalam masyarakat. Jadi dalam ber-kesenian atau berbuat apa saja orang itu diikatoleh norma-norma, kaidah-kaidah dan nilai-nilai.

    Dalam sastra kita itu ada masalali-masalahyang mengganggu yaitu masalah SARA. "Kalaukita menulis jangan sampai menyangkut masalahitu." Ini sebenarnya hambatan yang cukup besardalam kesusasteraan kita. Sehingga sulit bagipengarang untuk menulis karya sastra berbentuknovel. Karena noyel sebagai salah satu bentukyang paling muda dalam kesusasteraan, dia ha-rus berakar pada masalah-masalah kongkrityang ada dalam masyarakat. Masalah-masalahkongkrit itu, di sini, masalah SARA kan? Masa-lah Suku Adat-istiadat, Ras dan Agama. Tetapisebenarnya, di manapun sastra tidak mempunyaikebebasan mutlak. Kalau seniman hidup di alamdi mana dia bisa trerbuat apa saja, tanpa kaidah,norma-norma, nilai-nilai, malah tidak bisa ber-kesenian. Sebenarnya kesenian itu justru lahirberdasarkan kaidah-kaidah. Kesenian yangbesar selalu tunduk pada itu.

    Sekarang ini yang kita harapkan adalah seni-man yang bisa membaca situasi masyarakatnl'a.Sebenarnya kita bisa membuat novel, misalnyayang mengejek orang Cina, tapi begitu terbit, ya"digebugin" orang. Atau meledek agama habis-

    habisan. Itu bisa, tapi ya diuber-uber sepertiSalman Rusdi itu.

    Jadi itu memang ada batasan-batasan.Batasan itu bukan hanya masalah politik,pemerintah. Banvak sekali. Dan kita sudahsepakat untuk tidak menerbitkan yangberhubungan dengan SARA. Kalau tidak, habisRepublik ini. Replblik ini kan terdiri daribanyak suku bangsa. bahasa, agama. Kalau kitaboleh berbuat se:naknya, misalnya saya orangIslam menulis nor.el yang mengejek orangKristen atau sebalikni a, ya nanti berantem sabanhari. Ini masalahnva. Jadi dalam masyarakat itusudah ada ikatan-ikatan. Seorang sastrawanyang baik bisa melihat peluang-peluang di dalamaturan-aturan yang sangat ketat. Kalau sayaanalogikan, misalnl'a dalam permainanbadminton, kalau begini tidak boleh, begitunamanya olf, dsbn,va. Nah, orang tidak bolehmelanggar aturan itu. Namun, asal aturan itutidak dilanggar, kita boleh mematikan lawan de-ngan cara apapun, n)'emes lewat samping kepalaboleh clan sebagainya. Jadi, kita mempunyai ke-bebasan di dalam aturan-aturan itu. Dan dalamkesenian juga begitu. Hakikatnya begitu.

    Kualitas seorang pengarang justru harusditunjukkan dalam ketidakbebasan. Semakintidak bebas,.semakin besar tantangan buat diauntuk menampilkan kemampuan artistik se-tinggi-tingginya. Ini memang sirsah. Tetapi justrudi situ dia harus mencari cara untuk menyampai-kan lewat karyanya. Kesenian itu pada dasarnyamerupakan protes. Kita bisa memprotes agamakita sendiri, tetapi tinggal bagaimana caranya.SepertiRobohnya Surau Kamikarya A.A. Navis,itu kritik terhadap praktik-praktik agama yangsangat keras. Tapi apakah Navis pernah dikritik?Sedangkan Langit Makin Mendung justrumembuat oJang marah karena disampaikandengan lugu. Padahal, sebenarnya lebih kejamNavis.

    Kesenian yang tinggi disampaikan denganbaik, dengan cara menyembunyikan, tidak se-carablak-blakan.Kalau itu sft cara orang kam-pung. Artinya, disampaikan secara kasar.

    Jadi, masalahnya, kemampuan artistik dariseniman. Kalau seniman itu mengeluh, "Wah sa-ya tidak bisa menulis lagi karena ditelikung." lt:os/r senimangombal. Hanya alasanbelaka. Kalausaya bilang, dia tidak mempunyai kemampuanapa-apa. Seniman besar di mana pun itu diamdan menulis tervs, ngak mau tahu di terbitkanapa tidak.

    t:1,irP

    &

    ffi

    HAYAh,IWURUK, No.2 Th. VII/1992

  • ASSOStASIONtSBOLEH dibilang, sastra sebagai treq kini sudah berlalu.

    Ketidakngetreoannya ditandai dengan kegagalan (?) upayaheroik beberapa pecintanya untuk meneruskan tradisi "ang-katanisme". Angkatan 70 dan 80 ketika dicctuskan, walau ramaidipolemikkan oleh dan antar mereka, tero)-ata tidak populer.Korie Layun Rampan mencetuskan lahirnya angkatan 80 dltahun 1"984 dengan menunjuk Sapardi Joko Damono, SutardjiCalzum Bachri, Darmanto Yatman, Hamid Jabar, sebagaipah-'lawan-pahlawan pembaharuan pe4iuisian

    Jauh sebelumnya, Dami N. Toda, pada tahun 1977 men-cetuskan angkatan 70, dengan mengajukan pahlawan-pahla-wan yang sama. Dua gagasan angkatan tadi ternyata hanyaramai ketika dicetuskan. Gemanya- hanya sekejap. Selanjut-nya hilang tanpa kesan.

    fandi-tanda kedua adalah kegetolan mempolemikkan"keterpencilan sastra" di akhir tahun 80-an. Polemik yang cu-kup ramai ini j.ustru menunjukkan fakta bahwa sastra memangterpencil, suka atau tidak, diakui atau tidak.

    Muramnya kehidupan sastra dekade 80-an jelas membuat 'frustrasi para penghayat-pengamat-pelaku kesusastraan. Initerlebih dirasakan oleh generasi baru yang mulai menekunidunia ini. Kini terhampar padang gersang kreativitas. Tidakmuncul tunas-tunas baru yang sanggup survive dalam tanahtandus dunia sastra.

    Baiklah. Harus diakui, fakta memang menunjukkan duniasastra kini sedang mengalami "malaise". Harus diakui, generasikemarin lebih kreatif dan romantis dalam mengamini kesusas-traan. Kalau sudah demikian lantas mau apa? Meng- harapkankembali datangnya masa subur bumi sastra, yangpenuh denganaktivitas romantis? Bagaimana pengupayaannya? Terus ber-karya! Jelas. Tapi, sungguh, berkarya (yang orisinil dan bagus)ternyata perkara yang sulit. Terlebih jika diparalelbandingkandengan karya-karya sastra "kemarin". Ada apa ini? Kenapa kokbebal betul otak-otak sekarang. Kepekaan rasa dalam mengha'yati kehidupan, sebagai sumber proses penciptaan, kini betul-t'etul tumpul.

    ***

    THOMAS HOBBES (1588-1679), filsuf Inggris, berang-gsp3s, "pengalaman adalah permulaan segala pengenalan".Psngenalan tak lain adalah penggabungan data-data indrawi$ang diserap, diidentifikasikan dan disim- pan dalam memoriotal-- Tambahan saya, LL). Selain sebagai filsuf Hobbes, jugattwtbi sebagai psikolog (bahkan dia pelopornya di Inggris).Dalemb'idangini diaberpendapat: Jiwa terdiri dari tigabagian,

    yaitu sensasi, recall tlanasosiasi. Sensasi adalah.proses seseorang mene-rima rangsang. Sedangrecall adalah proses se-seorang memproduksikembali sesuqtu ataurangsqltg yang.pernah dirasakan atau di-alami. Dan asosiasi.adalah pirosei' terjadinya pe"ggabungii

    ' antara satu riangsang denganiang**g iuiooy".Karena adanya proses-ploses penggabungan itu seseorrrng

    dapat berfikir.Berpijak dari premis di atas, ada baiknya kita (baca: saya)

    akan coba "menyelidiki" kehidupan sastra (kebudayaan) Indo-nesia dekade terakhir. Dengan asumsi bahw.4 lehidupan sastra80-an (hingga kini) mengalami lesu total (malaise). Mengapaasumsi ini muncul? Karena sepinya kdgiatan sastra. Minimnyapenerbitan karya sastra. Tidak adanya tren sastra baru. Sertayang paling mengenaskan, tidak munculnya generasi baru da-lam dunia sastra (otomatis hilangnp angkatan 80 yang "seha-rusnya" hadir).

    Fakta-fakta (qsu-tifl itu memang menyedihkaa. Tapi yangterpenting bukan menangisi, menyesali atau mengutuk ketidaksegaran vitalitas kehidupan sastra serta kemandulannya se-karang. Yang perlu dipertanyakan justru, kenapa dia begitu?Mengapa doi lesu? Inilah yang perlu ndiselidiki". Karena kele-suan tidak saja hadir pada dunia sastra, tetapi sudah

    -eling-kupi kebudayaan Indonesia pada umumnya. Kebudayaan In-donesia kini benar-benar sudah mandul.

    Penyelidikan kemandulan kebudayaan Indonesia ini me-makai hukum asosiasi (menurut punyanya Thomas Hobbes,yang, kemudian dilanjutkan John Stuart Mills dan HerbertSpencer) yakni mulai deugan mempelajari sebab-sebab suatuproses dan kemudian menyelidiki efek-efeknya-

    **1' Dekade ini diisi oleh generasi muda yang lahir tahun 60-an.Proses tumbuh kembangnya diwarnai oleh bercokolnya ke-kuasaan militer di Indonesia. Pola pembangunan kebudayaandibayangi oleh tipikal militer: prafltis, pragmatis, patuh dantidak toleran terhadap "penghambat". Warna pembangunankebudayaan dilingkupi oleh "dendamn terhadap kemiskinan(dan kebangkrutan) ekonomi negara di jaman Orla. Untukmembalas dendam kemiskinan materi ini, maka dicanangkanprogram pembangunan ekonomi sebagai prioritas uta/na.

    svncd.

    LUKAS.rIntr.ARSO

    $

    HAYAMWURUK, No. 2 Th, VIV1992

    - -.

    ,.1 .:-

    ,

    I,?

  • Proses ekonomisasi menuntut. stabilitas politik sebagaiprasyarat utama. Pemahaman stabilitas diwujudkan dengan se-besar mungkin mengatasi dan mbniperketat orang berpen-dapat. Yang bolle-f,r berpendapat adalah mereka yang dibayaruntuk mengabdi pada kemauan kekuasaan, yakni teknokrat.Manajemen pembangunan adalah "sikat" bagi yang tidak mausepakat (khas militer). Nuansa psikologis inilah yang mem-bentuk (disadari atau tidak) mental generasi sekarang. Sistemrepresi telah menjadi landasan banlunan mental, yangujung-ujungrya membentuk struktur tata pikiry4ng afkir. In-doktrinasi dan justifikasi dipaksakan lewat pendidikan. Ka-rena terbiasa (tepatnya dibiasakan) berpola pikir praktis, prag-matis dan patuh, maka sumber daya pikir menjadi lemah, ter-batas dan danghal. Jika ada segelintir yang nekat mengasah,menggali, membebaskan (bahkan meliarkan) daya pikir, akhir-nya juga terhadaig oleh sempitnya sarana ucap untuk meng-aksentuasikahnya. Trauma pembatasan dengan kekerasanmengakibatkan emisi pikir bersilang sengkaruL.berjejal dalamotak dan akibatnya, ga3ap, tidak runut, kapau, bingung ketikadilontarkan dalam bentuk gagasan verbal.

    Proses ekonomisasi yang berlebihan tidak saja mengker-dilkan dan menumpulkan daya pikir, tetapi juga mendehu-manisasikan manusia menjadi economical animal. Sehinggahal-hal yang bersifat refleksi, kontemplasi, meditasi, ektasi -yang khas manusia menjadi Ienyap tidak mempunyai arti, di-telan kerakusan mengejar materi. Sistem nilai dan kondisibudaya seperti inilah yang melingkupi kelahiran dan prosespendewasaan generasi,sekarang.

    Asosiasi masyarakat kini hanya berkutat di satu masalah:mengejar materi, memuaskan rangsang kebendaan. Tidak adalagi yang tersisa untuk mencukupi rangsang rohani. Aktivitasmental (pikir) yang merupakan asosiasi ide dari satu kesatuanpencerapan pengalaman pikiran dan perasaan menjacli tum-

    SVAI\,'6t.l-

    pul, Iesu, lunglai. Ciri-ciri ini ditandai dengan Tidak mun-culnya gagasan orisinal dan besar. Ciptaan-ciptaan yang ber-langsung hanya sekadar imitasi. Produk kesenian yang lahiradalah epigonisme, peniruan-peniruan kasar. Dan kehidupansehari.hari menjadi monoton dan membosankan. Inilah yangoleh Bur Rusuanto dinamakan proses keruntuhan kebuda-yaan.

    Generasi sekararig munskin sadar hal itu. Tapi yang tersisadari mereka hanya tinggal ketakberdayaan dalam menghadangarus deras konsumtifisme dan hedonisme yang menerjang.Karena mereka adalah produk dan nrujud kemiskinan penge-nalan dan pengalaman rohani vang diciptakan Orde Baru.Inilah harga termahal yang tak terbayarkan dari eksploitasiproses ekonomi yang buta.

    Itu sedikit hipotesa penyelidikan asosiatif saya.***

    KESIMPULANNYA: Buat apa membaca dan berkaryasastra, jika ternyata masyarakat memang (sedang) tidak mem-butuhkannya. Masyarakat tidak lagi butuh memuaskan rang-sang dan me ngkhayalkan rohani, karena tidak kongkrit. De.n-dam kemiskinan (materi) masa lalu harus terbayar dulu. Seka-rang adalah era dari zariran yang ekstrim materi.

    I. antas, apa arti lahirnya sebuah generasi yang seharus- nyaberperan mengubah ekstrimitas itu? Sia-siakah kebera- daanmereka? Benarkah zarnan membentuk manusia (fatalis), ataumenusia yang membentuk zaman (optimisj. Ada yangmenjarvab: Manusia membentuk zaman, lantas zaman mem-bentuk manusia. Jika demikian, boleh jadi mental generasisekarang adalah bentultan zaman yang dibentuk oleh gene-rasi-generasi sebelumnya. Dan gagal menolak.

    Jika dalam zaman seperti sekarang ini masih ada yang sukamembaca dan berkarya sastra, serta menghayati dunia sastra,jelas dia bukan tipe manusia zamannya. Jika bukan tipe masa

    lalu, maka dia adalah tipe manusiamasa depan yang potensialmerubah zaman. (Ini dibenarkanrekan John Naisbit, yang bilang,dekade ini adalah fase awal ke-bangkitan kesenian, dalam Mega-trend 2000).

    Jika demikian. Hai, rekan--rckan, mengapa tidak sekarang an-da menggeluti seni dan sastra de-ngan lebih total. Mengasah pikirankritis dan kepekaan rasa. Mencaripengenalan dan pengalaman yangluas diberbagai bidang. Serta mulaimerombak dan memporak poran-dakan sistem nilai dan budaya seka-rang yang sudah usang dan berka-rat. Seperti kata si bijak, jangantunggu zaman merombakmu, tapirombaklah zamanmu.Penulis adalah mahasiswa Fakultas SastraL'nd ip, Jurusan Sastra Indonesia angkt. 1986

    18 I{AYA\l\\'URUK. \o.2 Th. VII/1992

  • Sastra tak pernah dapat berdiri sendiri, kehidupannya selalu dipengaruhi kondisi sekitarnya. --situasi masyarakat, kondisi politik, penerbit, kritisi dan sebagainya. Konon, kehidupan sastra begitusemarak. Lantas bagaimana dengan sastra kita saat ini? ' ,

    .

    j t'Menurut Drs. Ariel Haryanto, M.A., pelontar sastrakontekstual,sastra dulu begitu memasyarakat. Tetapi bukan lantas

    dalam segala hal lebih baik dari sekarang. Sastra sekarang tergeser oleh revolusi industri dari revolusi kapitalis. Artinya,"Sastra sudah dipinggirkan." :

    Sedangkan H.B. Yassin, mengatakan kalau perkernbangan sastra sampai saat ini mengalami kemajuan yang cukuppesat dibanding zaman Siti Nurbaya. Buku-buku sastra dan tempat-tempat berkarya semakin banyak. Kalau dari segikualitas, "Kita tentunya tidak bisa memukul rata. Dulu hanya ada satu penerbit besar'- Balai Pustaka - sehingga, terkesan

    j ".seperti mercusuar." :.

    Sementara Dick Hartoko melihat perkembangan sastra dari sisi sastrawannya. Menurutnya, kini tidak adapengarang-pengaraf,tg baru yang.nuncul atau peng4rang muda yang mempunyai pikiran dan perasaan yang bisadituangkan dalam bentuk sastra- "Harapan saya justru pada Umar Kayam. Dia seorang pengarang yang bisa memadukanpikiran dan perasaannya dalam bentuk ia_stra, dan menulis terus. Tidak hanya nggrundel. Ini yang tidak ada padapengarang muda sekarang."

    Dr.Bakdi Sumanto, staf pgngajar FS UGM yang juga redaktur budaya harian Beita Nasional, melihat terjadinyapergeseran yang hebat dalam kehidupan sastra. "I/zison, Balai Pustaka, Pustaka Djaja, yangmenjadi barometer sastrabermutu sudah mulai.kembang-kempis hidupnya. "Sekarang dia sudah tidak berdaya lagi."

    Secara kuantitatif kritik sastra kita menurut Drs. Yudiono KS, S.U. mengalami kamajuan pesat. Ini terbukti denganbanyaknya skripsi. Sekarang, masalahnya, "Mengapa kritik sastra berupa skripsi tidak diterbitkan? Itu kembali lagi padaprinsip penerbitan," kata staf pengajar Fakultas Sastra Undip itu.

    Bagaimana pandangan mereka selanjutnya? Simak hasil wawancara Teguh Hadi Prayitno, Bustanul Arifin, LukmanulHakim, Moh. Fahim, S. Surati, Syamsul Hidayat dan Arwani. Rangkuman darr editing dikerjakan Anvani, Seno danSyamsul untuk Anda.

    KETERASINGAN

    Qastra saat ini mengalami keter-v asingan. Sebenarnl a istilah ini sudahlama dipersoalkan, tetapi saya kiramasih relevan. Masalahnya, harusdisadari bahwa dulu orang cenderungmenyebut istilah keterasingan itudengan maksud .menyalahkan sisastrawan. Sebetulnya itu tidak benar,keterasingan itu tidak disebabkan olehkarena kesalahan atau kekurangan daripihak sastrawan. Tapi dalam konstelasisosial kita secara luas, memang sastraterasa ditinggalkan. Kalau kita per-hatikan, dalam sejarahnya pada waktu-waktu yang lalu, sastra dan sastrawandulu itu tidak lebih bagus dengan yangsekarang. Tetapi dulu tidak ditinggalkan

    HAYAMWLJRUK, No.2 Th. VII/1992

    oleh partai politik, politikus, atauyayasan-yayasan. Sehingga, katakanlah,pada masa Orde Lama kita lihat setiappartai itu betul-betul membuka rubriksastra, menyelenggarakan dana untuksastrawan, untuk pertemuan-pertemuansastra. Sekarang mana ada? Kalau dulupartis._-ipssi rakyat itu besar sekali dalambid4ng politik dan sastra dianggapseliagai salah satu lahan. Kalau sekarangpolitik itu datangnya dari atas, jadindangak. terts, ngok lihat pinggir, kiri,atau kanan. Jadi kalau mau kuat secarapolitis harus plnyapolicy ke atas, bukanmencoba merangkul sastrawan. Dulusastrawan !'dipakai", baik untuk sesuatuyang benar atau sesuatu yang buruk. Kitabisa berdebat tergantung posisi kita dimana. Tetapi hampir semua posisi padawaktu itu melihat sastra itu mempunyaipotensi untuk menggugah kesadaranrakyat, mengingatkan, memurnikan

    moralitas, memperhalus kesadaran dankepekaan estetika. Jadi tergantung dariposisinya, tapi ini dianggap pentingsekali. Sekarang tidak. Karena masyara-kat kita sedang bergulat dengankesempatan untuk suryiye, kesempatanuntuk menjadi kaya. Jadi katau akhirnyakesempatan itu datangnya dari atas,mereka berlombaJomba ke atas. Atasitu yang namanya istana. Jadi keter-asingan itu sebetulnya tidak semata-mata karena kesalahan atau tanggungjawab dari sastrawan. Sastrawan dengandemikian, kalau boleh dikatakan,dikhianati, ditinggalkan, ditampik, danditinggalkan, dilupakan oleh rnasya-rakatnya.

    Saya tidak mengatakan bahwa di da-lam segala hal sastra di zaman dulu lebihbaik. Persoalannya bukan pada baik atauburuk, tetapi kenapa dulu sastra begitumemasyarakat sedangkan sekarang

    t9

  • FTi,litl:',,,::

    .:::::,'.t'

    :tliii!:::::rjlii:'= #::

    ti,[;.[ir:

    nya. Misalnl'a, sampai sekarang ini sayal"idak habis-habisnya *.ngugu*i orungseperti Putu \Yijaya atau RendraKecerdasan orang-orang seperti itutidak kalah dengan yang dari luarIndonesia. Tetapi di sini masalahnyalain, kondisinya tidak mendukungsastrawan untuk berpotensi dan trer-prestasi atau dihargai dengan baik,kemudian dihargai masvarakat denganbaik. Untuk mendidik masyarakat agarmenghargai karya sastra. Sastra ltumenyebabkan mobilisasi massa dengan

    baik.Saya kira para sastrawan yang sudah

    mapan sekalipun sekarang sudai loyosemua. Mereka tidak mampu menrunage diri sendiri, menjadi terasing.Kayak Putu Wijaya itu itu frusrasimelihat situasi di Indonesia, mengek-spresikan diri sendiri saja tidak mem-punyai daya. Jadi, sastrawan pemula itumasih sulit pasti, bukan nggal mungkinini. Jadi pilihan bagi sastrarvar pemulahanya ada dua pilihan. Satu, dia ber.karya terus dalam kesendiriannya, walautidak dihargai atau diperhatikan orangmeski dia sangat bermutu. pilihankedua, terpaksa melacurkan diri ataukreatifi tas dengan membuat karya-karya

    terasing. Walaupun begitu belum tentusekarang terasing itu lebih jelek. Sayapikir, sastra yang baik adalahiastra yangdikenal masyarakat. Saya tidak p".iuyiada sesuatu yailg baik ya"g oUyetiiCArtinya, obyektif itu di luar kesadaranmanusia. Dia baik dalam kesadaranmanusia, si manusia mungkin tidaksempurna, maka kesaduruniyu penuhdengan cacat-cacat. Dengan demikiansastra yang dianggap baik oleh manusia'yang tidak sempurna mungkin sastrayang kurang sempurna. Tetapi sastra ituhidup di dalam masyarakat, menurutsaya tidak ada sastra yang baik di luarkesadaran manusia, itu yang dalamd]rinya sendiri, di batu di gunung dialmari. Wah susah, sastra kayak apaitu?Kalau menurut saya begitu. Tentu sajakarena kesadaran manusia iiumacam-macarn, sastra yang baik punseharusnya macam-macam juga. Baikuntuk orang yang hidupnya di hutan laindengan yang masuk kantor, lain sekalikesadarannya.

    Sastra sekarang bukan sepenuhnyahilang. Karya sastra masih ada, masihdicetak, masih dijual di toko buku, masihdibeli. Tetapi posisinya makin lamamakin tergeser oleh, saya kira, yangdisebut orang revoiusi kapitaslis danrevolusi industri. Artinya, sastra sudahdipinggirkan, peminggiran sastra,penampikan sastra oleh karena kesibuk-an pada upa.\a-upa),a nlernperkaya diri.Idemang, leirat jalur-jalur industrial disitu sastra bukan tidak bisa mendapattempat, istilahnya sastra komersiai.Tetapi tidak bisa tidak itu retap berbedadengan sastra cli mana dia dihargaisebagai sesuatu yang terhormat sepertipada zaamad-zaman lampau. Jadi, SrrlMtrbaya sampai sekarang pun mungkinmasih dibaca orang. Tapi bila kita tanyaberapa yang membaca, siaph yangmembaca, dan mbngapa dibaca? Berapayang membaca, mungkin yang sekolahanatau berpendidikan. Siapa

    ,vangmembacE jawabnya orang t,ang sekolah.Mengapa membaca, jawabn-r,a disuruhguruiatau dosen. Jadi sastra bukan sarnasokali,hilang, tapi sudah semakintertinggal, makin dikhianati.

    Sebenarnya sekarang ini banyakjuga sastrawan yang luar biasa cerdas-

    yang tidak bermutu tapi laku, yangsesuaidengan propagaada yang ada ientangdada, tentang seks, tentang cinta yangcengeng dan kehidupan remaja. Komiklkomik kita sekarang isinya tentang itu.Pokoknya cepat kaya kalau nlenulisbegitu. Sala ridak mengatakan orangbodoh yang mcnulis seperti iLu, oran!pandai-pandri. tapi kaidahnya begitu.Apa betul keineinan sastrawan sepertiitu? Jadi sastrawan adalah makhlukyangmenderita pada masa ini, tapi ia tidalmenderita sendirian. Banyak yangmenderita, sepe rti rohaniawan atau pariintelektual.

    Apr'esiasi masvarakat terhadapsastra bisa baik bila dididik. Sejauh yangsaya lihat, sekarang nrasyara-kat tida[dididik, karena vang mendidik tidakcukup tahu, sedangkan yang tahu men-didik tidak diperkenankan mendidik,disingkirkan. Yanq mendidik adalahorang-orang !ang menguasai modal,menguasai politik. Akibatnya begini,pendidikan masyarkat ke arah eraindustrialisasi. Padahal sastra itu kadangtidak efisien untuk diindustrialisasilYang dibutuhkan adalah kepatuhan.Dan para sastrarvan itu mempertanya_kan, bagi orang yang ciitanya itu *.i"-potkan dan mengganggu. Kalau dilayaniharus dijawab satu persatu. pada ..i irriyang dibutuhkan kepatuhan, kerajinan,ketrampilan, tidak banyak omongmelainkan banyak kerja. Sastrawan ititidak begitu, ia mempertanyakan,merenung,"Semua ini apa sih?"

    GAYANYA

    Qejarah perkembangan sastra kitausampai saat ini mengalami kemajuan,lka dibandingkan dengan rrya zamarrrnyaSiti Nurbaya Buku-buku sastra dantempat-tempat untuk berkarya semakinbanyak. Beberapa media massa telahmenyediakan Iempat untuk pengarang.Begitu oula dengan pengarangnya.. -

    Kalau dari segi kualitaskita tentunyatidak bisa memukul rata semuanya.Kalau dulu, hanya ada satu penerbiianbesar, Balai Pustaka, sehingga terkesanmercusuar. Karya yang diterbitkannya

    i

    I

    20 HAYAIvIWURUK, No. 2 Th. yIIi1992

  • i,

    iIIt

    I

    II

    it

    F

    dengan cepat dikenal masyarakat. Danlagi media seperti radio, majalah, suratkebar masih sedikit peredarannya.

    Jadi, tidaklah mengherankan jikaperan penerbit dulu cukup punya andildalam memunculkan tokoh sePertiMarah Rusli, Amir Hamzam, SanusiaPane, dan Armin Pane, di mana merekadikenal sebagai angkatan Balai Pustaka.

    Munculnya angkatan- angkatan,sebenarnya tidak lepas dari faktorpendukungnya. Saya, dulu waktumelontarkan angkatan '45 didukungdengan bahan-bahan yang menunjangpendapat tersebut. Kemudian Ang-katan '66 itu yang saya anggap sebagaiPujangga Baru, ada bahan-bahanpendukung. Sebetulnya siapa saja bolehmelontarkan angkatan asal didukungbahan-bahan penunjang, misalnya sajasebuah buku antologi' Bahkan CorieLayun Rampan sudah samaPai Padaangkatan '80, ia juga sudah membuatantologi, tetapi belum diterbitkan.

    Jadi, kalau ada anggapan Pemuncul-an angkatan masih mengandalkan sa.vaitu anggapan yang salah. Sekarang inisaya justru merasa ketinggalan, jikadibandingkan dengan Corie LaYunRampan, Yakop Sumardjo, AfrisalMalna Emha Ainun Nadjib atau YBMangun Wijaya. Pemikiran mereka ituhebat-hebat mengenai kesusasteraan.

    Sekarang ini susahuntuk mengkata-gorikan menjadi angkatan, karenaciri-cirinya begitu banyak, dan dapatdikatakan menyatu. Kalau dahulu mep-cari ciri-ciri itu mudah. Misalnya ang-katar'Z} itu masalah adat.

    Masalah pengelomPokan angkatan,seperti Takdir Alisyahbana, misalnya,kalau sekarang masih menulis itu bukanberarti lantas berubah menjadi ang-katan '80. Kendati ia masih berkaryatetapi sifat karyanya tidak meninggalkanPujangga Baru. Wujud pandangannyamungkin sudah bertambah jauh' tetapidia sudah mempunyai fundamentersendiri. Semangat gayanya masihtetap Pujangga Baru.

    Lain sekali kalau yang dicontohkanRomo Mangunwijaya. Dalamhal ini kitatidak perlu bicara masalah angkatan'Sebab dia muncul pada usia setengahabad, dan pandangannYa mencakuP

    HAYAIVIWURUK, No. 2 Th' VII/1992

    :.-. '.:'" .rl{.tl

    "

    "1".-*,'+

    segala aspek, Ada filsafat, kebudayaan,ilmu. Jadi dia sudah menjadi "raksasa.yang tidak bisa dimasukkan ke dalamangkatan. Tapi, dalam sejarah sastra, iamempunyai sejarah tersendiri. :

    Dan sebetulnya, angkatan-angkatanitu tidak begitu perlu untuk masasekarang. Yang diperlukan adalah to=koh-tokoh yang berani tampil ke depan.Dan tokoh-tokoh ini pun perlu ditelitilagi, sebab, ada tokoh yang tidak ke-lihatan tetapi karyanya bagus sekali.Hanya saja tidak dipublikasikan atau

    tidak mendapatkan Penerbit.Kalau beranggapan bahwa dulu

    banyak terjadi benturan'benturanpemikiran, seperti adanYa Polemikantara Takdir dengan Chairil Anwar,karena memang ada isu Yang diPer-debatkan. Kalau sekarang tidak adamasalah-masalah yang perlu diper-debatkan. Jadi bukan berarti kehidupansastra pada masa dulu itu lebih semarak.Masalah itu muncul menurut zamannya.Dan untuk menjadi terkenal itu tidakharus "berkelahi" dengan kiri dankanannya, toh itrt tidak menjaminmereka tumbuh menjadi besar.

    Untuk bisa tumbuh pengarang haruspandai mencari jalan, mengasah pikiran

    dan intuisinya serta pendekatan estetik.Supaya. bisa menciptakan karya baik.YaifU,dari segi isinya mengandung nilai-nitai'baru dan gaya pengungkapannyabisa membuat orang terkagum-kagum.

    Yang menjadi persoalan adalahsulitnya pengarang baru untukmempublikasikan karyanya, karena darimedia tersebut sudah dikerangkai olehpemikiran teori-teori terdahulu. Untukitu memang dipcrlukan redaksi yangmempunyai wawasan yang luas, sertayang bisa melihat kemungkinan-ken-rungkinan pembaharuan dalamkarya sastra. Biasanya searang pcnga-rang yang terlalu konsentrasi pada isi,gaya pengungkapannya kurang diper-hatikan. Sehingga seorang redakturharus bisa mempertimbangan kemung-kinan-kemungkinan itu.

    MENUNGGUSaya kira saat ini memang tidak ada

    pengarang-pengarang baru yangmuncul. Pengarang yang muda pikirandan perasaannya yang bisa dituangkandalam bentuk sastra.

    Salah satu sebab yang mempenga-ruhiny,a adalah pengajaran yang tidakmemadai. Sestem pengajaran perludisistematikan. Karena kalau terlalubanyak aturan-aturan yang justru me-matikan kreatifitas. Dalam pengajaransastra kebanyakan malah menghapalikhtisar. Menurut saya, daripada satumempelajari 15 ikhtisar lebih bagushanya 2 telaah buku. Di samping ituseorang guru sastra, harus mempunyaiminat dan rasa terhadap sastra, kalautidak, ya percuma.Ia tidak akan mampumengajar sastra.Ia hanya mengajarkanakhlak-akhlak saja. Jadi, perlu adanyasistematisasi pengajaran yang ada diSLTA.

    Kalau ada anggapan pengarang-pengarang yang ada di koran ataumajalah tidak diperhatikan oleh kritikus,tunggu saja bukunya Umar Khayam.Iasedang menulis buku di Amerika. Padaulang tahun saya nanti, ia memberikansebuah untuk saya.

    Mengapa untuk menulis buku sam-

    I.i

  • r:i!li;

    ,r".#=ffi e#-+-:;lE#5#;f

    sampai nyepi diAmerika? Memanguntuk menhasilkan karya sastra yangbermutu memerlukan konsentraSipenuh. Menjauhkan diri dari keramaian,supaya bisa terus menerus menulis.Namun, menyepi itu bukan mutlak,seperti Hariyati Subadio itu karyanyajuga bagus.

    Harapan saya itu justru pada UmarKhayam, ia seorang pengarangyang bisamemadukan'.pikiran dan perasaan yangdituangkannya dalam bentuk karyasastra. Dan ia terus menulis, tidakngrundel terus. Ini yang tidak kelihatanpada pengarang muda sekarang.

    Sebetulnya kalau kita berharap padaakan munculnya pengarang- pengarangmuda itu ada. Saya kira pengarang mudayang meraih hadiah dari majalahsarinah, ia mempunyai potensi. Nah,kemudian selama satuminggu diberi pe-nataran-penataran. Tetapi bukan untukmendengarkan ceramah-ceramah. Iadiberi kesempatan untuk menulis, lantasdibicarakan, saling diperbincangkan. Inisaya kira carayangpaling tepat. Seperti10 tahun yang lalu, pernah diadakansuatu penataran penulis-penulis muda dipuncak, yang ikut sekitar dua puluhpengarang muda. Ya tidak semuanyayang menjadi pengarang unggul, tetapihanya beberapa orang saja. Yaitu orangyane konsisten terhadap dunia sastra.

    Masalah penerbitan, penerbit yangbersungeuh-sungguh terhadap sastramemang sedikit sekali. Kita memangmengharapkan uluran tangan daripenerbit untuk menerbitkan buku-bukusastra. Kendati buku itu tidak laris,sebenarnya penerbit bisa menyiasatidengan perimbangan diberbagai sektor.Sektor yang lemah diimbangi dengansektor vang kuat Jadi tidak hanyamengandalkan satu sektor saja.

    Seharusnya penerbit seperti BalaiPustaka mau turun mencari pengarang-pengarang muda yang berbakat, yangmuncul di koran-koran atau majalah. Ini/ran sebetulnya bisa dijadikan modaluntuk menerbitkan buku karva sastrayang bermutu.

    Begitu juga dengan para kritikus.Kalau seseorang merasa terpanggiluntuk menjadi seorang.kritikus sastraseharusnya mau turun tahta. Ia harus

    keluar dari menara gading, dan mauturun ke bawah. Sedangkan untukmendokumentasikan karya sastra yangtqrsebar di koran dan majalah, ketihatlannya memang banyak yang malas. inimemang dibutuhkan seorang H.B.Jassin kedua. Jadi kita menunggumunculnya H.B. assin, Kapau ia akanmuncul, saat ini saya belum melihat.

    DICK HARTCKO

    Memang seorang Korie Lalun Rampanitu potensial sekali, namun dia belummemadai seperti H.B. Jassin. Jassin itumempunyai latar belakang pengetahuandan pendidikan yang sangat luas, kalauKorie saya kira masih kurang.

    Bagaimanakah wujud HB. Jassinkedua? Uaitu seseorang yang memilikirasa terhadap sastra Indonesia, danmempunyai kemampuan diri untuk me-mihak. Sehingga ia bisa muncul menjadiseorang pembina dan pengarang sastra.Ini merupakan proses pertumbuhanyang alami. Tidak bisa dispesifikasikan.Ya, kita musti menunggu kapan munculH.B. Jassin baru.

    PERGESERAN

    Qejak tahun 1980-an, saya kira belumLJmuncul hal-hal yang baru dalamkarya sastra" Tidak seperti perkembang-an sastra di tahun 1920-an. "Siti Nur-baya", misalnya, berani menarvarkanpergeseran kondep pandangan daripengarang-pengarang yang berpola

    Kelihatannyabanyak orangyang malas

    untukmendokumentasikan

    karya sastradi koran dan majalah.Kita menungguHB Yassin kedua.

    pikir non- faktual ke arah pemikiranfaktual. Dan ini kemudian berkembangdengan jelas, Di sana terdapat prosessocial ofwenzes

    , atau kesadaran sosial.

    Mengapa pada tahun 1980-an tidakberkembane? Inibukan masalah be-rani-tidaknva memberikan terobosan-terobosan baru. Tetapi, karena pe-

    ngarangbanyak bebanpertimbangandalam pen-ciptaan karyasastranya. Per-timbangan pe-nerbit, tuntut-an kebutuhan,politis dan se-bagainya.

    Mengapapenerbit men-jadi beban per-timbangan pe-ngarang. Kare-na karya sastraitu tidak bisa

    hadir sendiri- an. Kalau kar- ya sastratidak diterbitkan, ia akan menjadimanuskrip saja. Hanya ada di dalamdisket, tidak bisa kemana-mana

    Penerbit sekarang tentu memper-hitungkan laku-tidaknya karya itu biladiterbitkan. Tidak seperti dulu, laku-jualnya di masyarakat, itu tidakberpengaruh. Kalau kita lihat padaPusat Dokumentasi HB. Jassin, kitaakan tahu berapa buah "Siti Nurbaya" diterbitkan. "Siti Nurbaya" diterbitkan per-tama kali hanya beberapa buah saja. Irurugi, memang. Di seluruh dunia, yangnamanya penerbitan karva sastra selalubegitu. Lantas, mengapa mereka bisahidup, itu karena sokongan dana daripemerintah. Dulu, penerbit sepertiBalaiPustaka men- dapat dukungan dana daripemerintah Belanda, untuk mener-bitkan buku-buku yangbermutu. Tetapi,sekarang apa?

    Sekarang terjadi pergeseran yanghebat dalam kehidupan sastra. BalaiPustaka hidupnya kembang-kempis.Untuk bisa bertahan hidup, ia mulaimenampung buku-buku proyek daripemerintah. Pustaka Jaya, yang menjadi

    iiI$l

    I

    t_

    aa2' HAYAMWURUK, No.2 Th. YII/1992

  • jaminan penerbitan karya-karya sastrabermutu pun sulit bertahan. Sebetulnyaada juga penerbit obor (Yayasan Obor,Red.), tetapi ia lebih banyak menerbit-kan karya-karya terjemahan, sepertipuisi-puisi Afganistan.

    Begitu pula yang terjadi denganmajalah Hoison, yang menjadi standarkarya sastra bermutu, sekarang jugamengalami pergeseran. Dia sudah tidakberdayh lagi. Kendati mendapai subsididari Tempo, hidupnya kembang kempis.Eoison memang masih terbit, tetapimisinya sudah tidak jelas lagi.

    Orang-orang seperti Danarto, PutuWijaya, Budi Darma sekarang lebihsenang mengirimkan karyanya kekoran-koran, dari pada ke Hoisgn.Karena apa, memasukkan karya keHoison, orang harus menunggu,s,ampaitiga bulan. Dan itupunbelum tentu kalaudimuat. Di samping itu honornya jugasedikit, palingRp 25 ribu.

    Jadi seka-rang, memangterjadi per-geseran hebat,Hoison tidakberwibawalagi. Belumadanya pertibangan-pertimbangan po-Iitis. Pemerin-tah. karenapertimt'aneanini, bisa mela-rang karya-karya sastra.Seperti karya- karya Pramu- dya AnantaTur, yang dianggap berbau politikkomunis. Namun yang -dianggap berbauajaran komunis itu tidak ditegaskanpada bagian yang apa. Jadi tidak jelas.Kalau.kita pilah-pilah sebenarnya tidakada karya yang merupakan agitasikomunis.

    Menurut beberapa orang, secarasastra, sebetulnya karya Pramudya itutidak begitu baik. Tetapi di luar negeri --yang ada kecenderungan memusuhi(Indonesia, R ed.) ia dianggap 'Jago". Se-mentara di negeri sendiri, kita tidakmempunyai kesempatan untuk mendu-

    dukkan karya itu pada proporsi yargsebenarnva. Kita tidak bisa menilai sebe-rapa dasyat karya itu, karena untuk be-rembug membahas karya itu sudah keta-kutaa dulu. Ini sebenarnya merupakankerugian besar bagi kita. Pemerintahpunjuga rugi, karena pelarangan kesenianitu merupakan pemiskinan kebudayaan.

    Dari sisi kreativitas pun hal itu tidakmendukung, karena yang dibutuhkanpertama bagi kreativitas adalah imaji-nasi. Kalau berimajinasi sudah'takut;lalu bagaimana? Ini yang terpenting.

    Jadi, masalahnya, bukan hanyaberani-tidaknya pengarang melakukanterobosan-terobosan baru. Apalagi, se-karang, pengarang-pengarang dituntutkebutuhan-kebutuhan hidup. Sehingga,mungkin, mereka terseret kesibukan-kesibukan yang,lebih memukau rdaripada memikirkan karya sastra.

    Kalau saja, pengarang itu bisa hidup

    dari karyanya, dia banyak uang, lalubersembunyi untuk berkonsentrasi,mungkin bisa melahirkan karya sastrayangbesar. Padahal, sekarang ini, yangnamanya kebutuhan itu banyak sekali.Dulu orang nggak memikirkan TV,Vidio, yang macam-macam itu, tidak.

    Orang-orang seperti SutardjiCholzum, Danarto tidak memikirkan.Dan untuk menciptakan karya sastra,memerlukan waktu yang lama dankonsentrasi penuh. Malah, Sutadjisampai sakit mag, dan dikirimi uangkakaknya. Dia sampai tertidur di atasmeja. Kalau Ashadi Siregar tidur ber-

    Sekarang memangterjadi pergeseranyang hebat.

    Horison sudahtidak berwibawa

    lagi.

    DR. BA'DISUMANTO, S.U

    HAYAIVIWU RUK, NO. 2 Th. YIII L992 23

    beralasfttrn koran., :',:r. lQlau saja, misalnya, di Indonesiaada.badan-badan yang- per caya kepadapengarang-pengarang lalu memberikandana kepada pengaran untuk kon-sentrasi memcipta karya sastra, mungkinakan lahir karya yang monurnental. Jadimisalnya, Grafiti atau Gramedia beranimenyediakan sekian juta kepada penga-rang supaya meninggalkan anak istri danberkonsentrasi di puncak, itu mungkin

    Semua itu intinya konsentrasi ko&.Kalau ditinggal macam-macam, mboksampai kapan pun tak akan munculkarya yang bagus.

    . ,','.:

    MASIH MUDASaat ini ada kecenderungan pener-

    bit enggan untuk menerbitkan karyasastra, sebab dirasa kurang meng-hasilkan profit. Gejala itu waja1, men!-ingat penerbit k a n lemb aga bisnis, bukanlembaga sosial. Sehingga ketika akanmenerbitkan buku, ia harus menghitungkemungkinaa buku itu laku atau tidak,apakah dapat laba atau tidak. Berdasar-kan penelitian saya di berbagaipenerbitan di Jarva Tengah pada taaggal29 Aprilyang lalu, bahwa penerbit JawaTengah tidak berminat menerbitkanbuku sastra. Mereka "takut" masyarakattidak memberikan sambutan. Mengapa?Karena pendidikan sastra masyarakatmasih rendah. Sejak Sekolah Dasarsampai Sekolah Menengah Atas tidakada pendidikan sastra yang terprogram.Ini menjadi serba kompleks. Lha, kena-pa koran dan majalah bisa menerbitkankarya sastra? Karena karya sastra itundompleng. Yang mereka jual bukankarya sastranya, tapi koran sebagaibisnis informasi. Seandainya tidak adakarya sastra, koran itu tetap laku meng-ingat tekanannya pada berita di berbagairubriknya.

    Nama besar pengarang belum men-jamin karya itu bakal laku di pasaran.Buku-buku sastra itlr lambat sekaliterjual. Oleh sebab itu ada penerbit yangberanggapan bahwa menerbitkanbuku-buku sastra itu harus denganmodal serep. Artinya dia mempunyaikesadaran budaya bahwa karya itu harus

  • diterbitkan. Tanpa itu tidak bisa.Sayangnya penerbit seperti itu belumbanyak, masyarakat kita kanjuga belumkaya. Contohnya Yayasan OborIndone sia. Yayasan yang disponsori olehBelanda itu walaupun bergerak dalambidang penerbitan, tapi tidak semata-mata profit oiented, Persoalan cepatlaku atau tidak, itu soal nanti. Yangpenting adalah kesadaran budaya.

    Begitu juga yang terjadi pada kritiksastra. Di Indonesia secara kuantitatiflaitik sastra maju pesat.Ini terbukti de-ngan banyaknya skripsi. Tapi itu masihdalam jalur akademik. Sekarang.masalahnya kenapa kritik sastra yangberupa skripsi:..tidak diterbitkan? Jadikembali lagi kepada prinsip penerbitantadi.