mahatmanta article

34
CADD DALAM STUDIO ARSITEKTUR abstrak Tumpuan mahasiswa untuk sukses di pendidikan arsitektur adalah pada ke-mampuan spatialnya. Dengan kemampuan spatial yang dimaksud adalah kemampuan untuk membayangkan dirinya berinteraksi dan terlibat dengan ruang dan pembatas- pembatasnya: lantai, dinding, atap Kemampuan spa-tial yang baik akan menolong banyak pada proses kreatifnya sebagai ar-sitek.. Dengan munculnya fenomena Computer Aided Drafting -Design (CADD) mau tidak mau harus dipelajari berhubung alat itu banyak dipakai di indus-tri konstruksi tempat mereka bekerja nanti, maka muncullah masalah yang berkaitan dengan hal keterlibatan dengan ruang tadi. Pertama, software CADD yang menguasai pasar nasional kita dibuat untuk kepentingan produksi, alih-alih untuk kepentingan penjelajahan kreatif. Kedua, bekerja dengan CADD adalah bekerja dalam ruang kartesian yang abstrak dan berbeda dengan penghayatan ruang yang nyata. Menyadari hal-hal di atas maka Studio Arsitektur, tempat para calon ar-sitek dilatih, perlu memberi prioritas kepada CADD sebagai alat bantu pe-rancangan dan menghindari memperlakukannya sebagai alat produksi be- laka. Studio Arsitektur perlu melakukan semacam program penyesuaian yang menghantarkan orang dari “ruang yang dihayati” ke “ruang yang diabstraksi”, hal yang tidak terlalu sederhana pelaksanaannya. Pada paroh kedua abad ini, bidang-bidang baru yang lahir mengikuti munculnya komputer, seperti cybernetics dan teori informasi, telah me-mainkan peran penting yang mirip dengan peran yang sudah dibawakan oleh biologi dan psikologi pada masa lalu: yakni menjadi sumber bagi paradigma-paradigma konseptual baru untuk disiplin lain, termasuk arsitektur. Misalnya, konsep tentang Sistem, yang dipa-hami sebagai paduan antara sosok-latar atau form-context, melahirkan prinsip-prinsip dasar pada cybernetics, linguistik struktural dan teori informasi. Demikian pula dengan Gestalt, kon-sep dasar dari psikologi persepsi telah dikem -bangkan pada teori ‘problem-solving’ dan teori informasi. Kedua contoh itu juga telah mempe-ngaruhi secara mendalam arsitektur. Tidak ke-tinggalan filsafat fenomenologi yang menghargai pengalaman asli, mula-mula, antara manusia dengan fenomena yang ditangkap inderanya. Computer Aided Drafting-Design (CADD) muncul ketika perancangan arsitektur dianggap sebagai

Upload: anonymous-jjnhtxa3m

Post on 13-Jan-2016

23 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Mahatmanta Article

TRANSCRIPT

Page 1: Mahatmanta Article

CADD DALAM STUDIO ARSITEKTUR abstrak

Tumpuan mahasiswa untuk sukses di pendidikan arsitektur adalah pada ke-mampuan

spatialnya. Dengan kemampuan spatial yang dimaksud adalah kemampuan untuk

membayangkan dirinya berinteraksi dan terlibat dengan ruang dan pembatas-

pembatasnya: lantai, dinding, atap Kemampuan spa-tial yang baik akan menolong

banyak pada proses kreatifnya sebagai ar-sitek.. Dengan munculnya fenomena

Computer Aided Drafting-Design (CADD) mau tidak mau harus dipelajari berhubung

alat itu banyak dipakai di indus-tri konstruksi tempat mereka bekerja nanti, maka

muncullah masalah yang berkaitan dengan hal keterlibatan dengan ruang tadi.

Pertama, software CADD yang menguasai pasar nasional kita dibuat untuk kepentingan

produksi, alih-alih untuk kepentingan penjelajahan kreatif. Kedua, bekerja dengan

CADD adalah bekerja dalam ruang kartesian yang abstrak dan berbeda dengan

penghayatan ruang yang nyata. Menyadari hal-hal di atas maka Studio Arsitektur,

tempat para calon ar-sitek dilatih, perlu memberi prioritas kepada CADD sebagai alat

bantu pe-rancangan dan menghindari memperlakukannya sebagai alat produksi be-

laka. Studio Arsitektur perlu melakukan semacam program penyesuaian yang

menghantarkan orang dari “ruang yang dihayati” ke “ruang yang diabstraksi”, hal yang

tidak terlalu sederhana pelaksanaannya.

Pada paroh kedua abad ini, bidang-bidang baru yang lahir mengikuti munculnya

komputer, seperti cybernetics dan teori informasi, telah me-mainkan peran penting

yang mirip dengan peran yang sudah dibawakan oleh biologi dan psikologi pada masa

lalu: yakni menjadi sumber bagi paradigma-paradigma konseptual baru untuk disiplin

lain, termasuk arsitektur. Misalnya, konsep tentang Sistem, yang dipa-hami sebagai

paduan antara sosok-latar atau form-context, melahirkan prinsip-prinsip dasar pada

cybernetics, linguistik struktural dan teori informasi. Demikian pula dengan Gestalt,

kon-sep dasar dari psikologi persepsi telah dikem-bangkan pada teori ‘problem-solving’

dan teori informasi. Kedua contoh itu juga telah mempe-ngaruhi secara mendalam

arsitektur. Tidak ke-tinggalan filsafat fenomenologi yang menghargai pengalaman asli,

mula-mula, antara manusia dengan fenomena yang ditangkap inderanya. Computer

Aided Drafting-Design (CADD) muncul ketika perancangan arsitektur dianggap sebagai

Page 2: Mahatmanta Article

suatu kegiatan pemecahan masalah ‘problem-solving’ dan perancangan adalah me-

nemukan variasi yang paling cocok di antara banyak kemungkinan yang ada.

menghayati ruang

Dimasukkannya bidang studi arsitektur pada fakultas teknik telah mengaburkan

pumpunan (fokus) utama dari pekerjaan arsitek. Arsitek adalah perancang ruang alih-

alih pembuat bangunan. Titik beratnya ada pada kegiatan peran-cangan dan bukan

pada kerekayasaan dan manufaktur. Sedangkan yang menjadi obyek perancangannya

adalah ruang. Ruang adalah alfa-omeganya arsitek. Ruang sebagai fenomena yang

ditangkap manusia lewat indera tubuhnya dihayati selain melalui ketiga matranya juga

melalui waktu. Penghayatan ruang selalu berlangsung pada suatu tempat dalam suatu

waktu. Menghayati ruang adalah hidup di dalam, atau terbenam dalam ruang. Suatu

situasi dimana tubuh dan inderanya berinteraksi secara dinamik dengan batas-batas

pembentuk ruang. Dengan demikian, sebenarnya perhatian arsitek adalah kepada

kekosongan dimana aktivitas manusia mengambil tempat, dan bukan pada batas-

batasnya (dinding, lantai, atap). Ruang dibangun dan menjadi nyata karena batas-

batasnya ditetapkan. Batas-batas inilah yang bisa digambar, dibangun, diraba,

dipegang. Na-mun bagi arsitek, itu hanya aspek samping dari ruang yang dibatasinya.

Sebaliknya bagi engineer, itulah yang paling nyata dan yang menjadi sasaran

pekerjaannya.

Penjelajahan kreatif arsitek terletak pada kegiatan membongkar-pasang dan

memanipulasi batas-batas tadi agar didapat ruang yang paling memenuhi kebutuhan

manusia pemakainya. Alat bagi arsitek untuk melakukan pekerjaannya ini sepanjang

sejarah senantiasa berkembang.

Dampak CAD pada proses perancangan agaknya lama diabaikan. Kebanyakan arsitek

menggunakan teknologi informasi dalam perancangan bangunan kalau tidak sebagai

job-trained yang memandang CAD sebagai alat bantu, atau sebagai orang yang dididik

secara akademik yang memperlakukan CAD sebagai bidang ter-sendiri terpisah dari

studio perancangan. Iron-inya adalah bahwa hal ini terjadi ketika studio itu sendiri

berkembang semakin kompleks dan karya-karya arsitek kontemporer semakin

'menggila'.

Yang berlangsung adalah studio itu -di jaman informasi seperti sekarang ini- masih saja

mengulang-ulang proses perancangan lamanya yang dikerjakan berabad-abad silam.

Terjadilah penggunaan yang tidak tepat medium elektronik yang seharusnya bisa

mengubah cara pandang kita terhadap proses desain, memampukan ma-hasiswa

Page 3: Mahatmanta Article

mengeksplorasi konsep-konsep spatial-nya, menguji desain dari sudut yang paling

esen-sial: penghayatan.

Dengan penghayatan ini yang saya maksud adalah relasi antara subyek terhadap

benda-benda dimana kita kecemplung di antaranya.

Evolusi Computer Aided Drafting and Design, atau CADD, sudah mengubah tidak hanya

praktik arsitektur namun juga bagaimana ar-sitektur itu diajarkan. Pada tahu 80 an

adalah biasa kalau mahasiswa arsitektur pergi kuliah dengan membawa teken-haak (T-

square), berbagai jenis pensil, maal dan tabung berisi gulungan kertas, serta alat-alat

gambar lain. Waktu itu komputer selain adalah barang mahal yang tidak semua orang

memiliki, juga software CAD belum semudah sekarang untuk mendapatkannya, serta

operasi-operasinya belum user-friendly. Keadaan itu berubah cepat pada masa kini.

Bila Banyak program yang sudah bisa dikerjakan sendiri oleh Arsitek, dan komputer

menjadi alat presentasi di samping menjadi alat penggambar. Mula-mula komputer

memang adalah alat peng-gambar (drafting), namun sekarang ini sudah meningkat

menjadi alat bantu perancangan pula (design), sehingga CAD menjadi CADD. Komputer

masa kini sudah sedemikian baik kemam-puannya sehingga mampu menampilkan

virtual reality, 3D effect. Meski demikian, komputer tidak bisa menggan-tikan pikiran

dan tangan manusia. Ada sesuatu yang belum dapat diperikan mengenai kemam-puan

manusia yang tak tergantikan oleh kom-puter, sekalipun komputer itu meningkatkan

efisiensinya. Komputer itu adalah prosesor linier, satu langkah untuk satu ketika.

Sedang-kan merancang tidak dalam proses linear seperti itu. Arsitek berpikir serentak

pada satu ketika daripada bertahap linier. (Inilah sebabnya ke-banyakan arsitek sulit

mengungkapkan gagasan lewat kata-kata dan kalimat yang merupakan ekspresi cara

berpikir yang linier) Dalam arsitektur selalu terdapat banyak solusi daripada solusi

tunggal, hal yang amat berbeda dengan komputer yang selalu memberi satu solusi

terbaik, dan komputer selalu memberi ilusi bahwa ada satu jawaban saja. Komputer

sedemikan eksak, teliti dan dapat diandalkan.

Hal ini tercermin pada perkuliahan. Kita akan selalu meminta mahasiswa untuk

membuat model. Proses menyusun dan menyambung ba-han-bahan pembuat model

(maket) itu mirip dengan proses membangun bangunan, berbeda sama sekali dengan

mengklik tikusan (mouse) di sana sini. Pada masa lalu banyak sekali lulusan baru

pencari kerja berusaha menguasai software tertentu. Sekarang, biro-biro arsitek

menyadari bahwa softwares itu dengan mudah dapat dipelajari sambil kerja.

Software itu dibuat untuk alat bantu, bukan untuk alat pengajaran. Mahasiswa bisa

Page 4: Mahatmanta Article

diminta mengerjakan tugas dengan mempergunakan software tertentu, namun

menerima nilai atas dasar pengerjaan tugas itu. Munculnya CADD membawa tuntutan

akan kualitas yang baik dikerjakan dengan waktu yang singkat, dan seharusnya dengan

harga yang semakin murah.

Saya percaya bahwa komputer selama ini hanya terbatas pada CAD karena

interfacenya masih statis (yang saya maksud adalah non-fluid, tidak diubungkan secara

langsung dengan gerak tu-buh,dan karenanya mungkin tidak inspiratif bagi arsitek dan

desainer lain). Hal ini sudah berubah dalam beberapa hal, misalnya dengan penggu-

naan pena stylus dan tablet yang meskipun ma-sih belum bisa merespons tekanan yang

berbeda-beda seperti halnya menggunakan pensil namun sudah lebih leluasa bila

dibanding dengan mouse. Menggambar garis dengan stylus bisa lebih ce-pat dibanding

dengan pensil, karena tidak perlu menunggu tangan kita selesai menarik garis itu.

Sayangnya, gambar yang kita kerjakan dengan CADD tidak bisa tampil sebesar dengan

cara kertas, berhubung keterbatasan monitor. Inilah barangkalai yang menyulitkan

mahasiswa dalam mengubah pandangannya bahwa yang di hadapannya itu bukan

monitor tapi benda 3D yang sedang ia hayati.

studio arsitektur

Dalam taksonomi ilmu, arsitektur lazimnya di-masukkan kedalam bidang ilmu

keteknikan. Perkembangan dalam disiplin ini sendiri telah memunculkan segi-seginya

yang baru, bahwa ternyata arsitektur itu berbeda secara mendasar dengan bidang-

bidang teknik lain. Arsitek berkepentingan dengan pembuatan ruang yang cocok untuk

kegiatan manusia yang menempatinya. Arsitek berpikir dengan bahasa visual

sementara engineer dengan bahasa matematis. Perceraian ini sudah terjadi semenjak

Revolusi Industri ketika orang-orang Ensiklopedis menempatkan fisika menjadi dasar

bagi teknologi. Sekarang pemisahan itu lambat-laun mendekat oleh pe-n-garuh apa

yang kita sebut sebagai "media". Film, televisi, CAD, advertising, signate dsb. telah

mengepung kehidupan sesehari kita dan semakin meningkatkan kemampuan bahasa

visual kita.

Arsitek itu tertarik kepada benda-benda, objek. Keterpesonaan mereka lebih kepada

bangunan atau benda jadinya daripada pada cara pembuat-an dan prosedur

manufakturnya. Ia lebih tertarik pada teori desain daripada metoda desain. Se-

baliknya dengan engineer, yang justru tertarik dengan proses, pada bagaimana sesuatu

itu ha-rus dilaksanakan atau dibuat.

Page 5: Mahatmanta Article

Dalam sebuah kantor arsitek, kegiatan yang berlangsung di Studio Arsitektur dibedakan

de-ngan bagian produksi dokumen. Studio berkepentingan dengan pencarian kreatif

rancangan arsitektural, sedangkan bagian produksi lebih berkepentingan dengan

pembua-tan gam-bar-gambar dokumen pembangunan.

alat-alat perancangan

Dalam sejarahnya, arsitek merancang dengan menggunakan beberapa media. Sebelum

kertas digunakan, adalah model atau maket dan tablet -semacam lempung yang

ditoreh dan kemudian dikeringkan- yang menjadi dokumen perancang-an.

Kertas menduduki tempat penting karena kemu-dahannya dalam pemakaian dan

penyimpanan.

Sejarah kertas tidak ada yang bisa memberi kepastian kapan dikenal oleh manusia,

namun pengetahuan kita terakhir mengenainya mengatakan bahwa medium ini mulai

diperguna-kan sebagai pencatat dan penyimpan dokumen tertu-lis perdana dilakukan

di Cina dan kemudian Jepang. Orang Mesir dan Mesopotamia, sebagai kawasan yang

diakui Orang Barat sebagai tempat lahirnya peradaban, tidak mencatat dokumen

mereka dengan kertas. Sekalipun istilah paper, papier itu berasal dari kata papyrus

sejenis alang-alang yang tumbuh di sekitar Asia Barat sana. Orang di kedua kawasan

itu mencatat do-kumen mereka pada kulit binatang atau per-kamen (parchment) yang

lebih awet dan bisa ditulisi berulang-ulang.

Perancangan arsitektur di beberapa kelompok kebudayaan kuna mempergunakan

tablet (tanah lempung yang ditoreh dan kemudian dikering-kan), batu atau logam, di

samping juga direkam dalam mitos, kidung dan folklore. Pada kelom-pok kebudayaan

yang lebih maju, digunakanlah maket atau model, suatu tiruan dalam perban-dingan

kecil yang umumnya dibuat dari batu, kayu atau logam.

Dunia Barat mempergunakan kertas sebagai medium komunikasi perancangan baru

sekitar Abad Tengah dan Renesans (sekitar abad VIII - XII). Pada masa itu (Renesans)

muncullah per-tama kali konsep perspektif dalam perancangan arsitektur. Konsep ini

penting karena mencoba memberi citra yang lebih lengkap suatu rancang-an dengan

menyertakan lebih banyak informasi yang disusun berangsur-angsur menjauh dari

pengamat dan mengecil. Dengan itu gambar jadi semakin 'berbicara' dibanding

gambar-gambar sebelumnya karena lebih realistis, menyerupai kenyataannya.

Jaman-jaman berikut semakin memerlukan ker-tas karena kemudahannya disimpan,

portable, dan bisa direproduksi dengan mudah. Diketemu-kannya kertas

'tembuspandang' seperti doorslag dan kalkir melahirkan mesin lichtdruk yang

Page 6: Mahatmanta Article

memudahkan reproduksi itu. Reproduksi diper-lukan karena semakin bertambah

banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek pembangunan dimana masing-masing

pihak harus memegang dokumen yang kandungan informasinya sama.

CADD adalah media yang menyusul kemudian. Berkembang pesatnya jenis software

mendaya gunakan komputer untuk berbagai keperluan manusia dengan lebih cepat dan

akurat.

CADD memang tidak meniadakan penggunaan kertas, namun demikian paling tidak bisa

dihe-mat hingga kepada tahap yang mutlak memper-gunakan medium itu saja: yaitu

dokumen ak-hirnya.

Sebagai pengajar, saya lebih bersikap untuk me-nempatkan CADD sebagai alat bantu

yang memperkaya daripada menggantikan prosedur lama.

jaringan dan internet

Perguruan tinggi seyogyanya memberi investasi ini kepada mahasiswanya. Lab

komputer yang terhubungkan dalam LAN menjadi andalan mereka. Aksesibilitas ke

segenap penjuru kam-pus tidak harus diungkapkan dengan sirkulasi orang yang harus

berlarianke sana e mari, na-mun cukup dengan sentuhan di atas keyboard.

Komputer tidak membuat hidup lantas lebih mudah. Mahasiswa masih saja lembur

menger-jakan tugas sampai jauh malam. Hanya saja, informasi kini jauh lebih mudah

diaksesnya.

Kita tidak lagi perlu membagikan hardcopy, cu-kup dengan email, mailinglist dsb.

representasi dan presentasi

Umumnya rancangan diangankan 3D dalam be-nak, dan kemudian direpresentasikan

(dan diek-splorasi) melalui representasi 2D pada se-lembar kertas datar. Kadang kita

perlu membuat model (maket) yang adalah representasi ruang 3D yang bisa menolong

kita menghayati ruang dengan lebih baik. Berbeda dengan kertas yang memiliki batas

ukuran tertentu komputer itu ‘infinite-dimensional’

Masa sekarang, untuk kebutuhan penghadiran ruang yang mendekati nyata, dapat

dilayani dengan Quicktime VR, animasi.

Bagaimana pun saya masih menggunakan kertas roti, pensil warna dan pensil lunak (4B

- 6B) untuk membuat sketsa-sketsa awal dan brain-storming dan kemudian baru

berpindah ke kom-puter. Saya sering bolak-balik antara sketsa dan komputer.

Page 7: Mahatmanta Article

Komputer masih terlalu “keras” bagi saya yang masih membutuhkan sentuhan kertas

dan ringan-kuatnya tekanan pensil padanya.

Penggunaan CADD memberikan banyak keun-tungan, selain memungkinkan kita bolak-

balik melakukan revisi dan pengujian tanpa mem-buang banyak material juga CADD

memberikan kepada kita model 3D yang akurat, perhitungan yang teliti dan

menghemat waktu.

CADD dan studio arsitektur

Tuntutan yang diminta dari komputer sebagai alat bantu di Studio Arsitektur adalah

kemam-puannya untuk memberi citra 3D mengenai ruang yang akan dibangun.

Tuntutan ini berbeda dengan bagian produksi dokumen perancangan yang

memperlakukan CAD sebagai alat gambar (drafting). Penjelajahan spatial yang bisa

diko-reksi dan dibangun lagi berulang-ulang adalah sangat menolong arsitek dalam

mengambil kepu-tusan rancangannya.

pustaka

Snyder, James; “Introduction to Architecture”

Embuh; “Architecture Education”

Mandrazo,Leandro; “The concept of type in Ar-chitecture”, unpublished Diss.ETH

Zurich; 1995.

Soesilo,Soehartono; “Arsitek dan Pemikiran”

Page 8: Mahatmanta Article

MEWARISI ELOKNYA KESEDERHANAAN

APRESIASI KARYA ARSITEKTUR GHIJSEL DI INDONESIA

hunian dan penghuni

Relasi orang (penghuni) dengan arsitektur (hunian) di mana kita melakukan kegiatan

kese-harian rupanya lebih erat daripada yang kita kira, relasinya adalah dialektik,

saling mempen-garuhi dan karenanya jarang disadari. Baru disadari kemudian setelah

hunian itu hilang. Dialek-tika itu terjadi ketika si penghuni berusaha keras untuk

mengubah hunian agar pas menjadi sungguh-sungguh huniannya, dan diimbangi dengan

usaha dia menyusun kegiatannya agar sesuai dengan keadaan huniannya. Demikian

juga halnya ketika kita harus mewarisi bangunan lama yang dibuat oleh dan untuk

orang lain di masa lampau maka upaya pencapaian keseim-bangan dialektik antara

hunian (yang lama) dengan penghuni (yang baru) tadi bisa berakibat 'pudar'nya kualitas

hunian semula karena tuntutan penghuni baru yang tidak bisa dimungkinkan oleh

huniannya.

merelakan dan menjagai

Pesona yang muncul dari melihat gambar-gambar bangunan lama seperti karya-karya

arsitek Belanda FJL Ghijsels yang kini sedang dipamerkan di beberapa kota kita ini

mengingatkan kita akan beberapa hal yang memang harus direlakan hilang oleh waktu,

namun juga memperingat-kan akan kualitas lain yang perlu dijaga dan dipertahankan.

Banyak dari karya itu masih dapat kita jumpai, bahkan menjadi tempat kita sehari-hari

melakukan kegiatan, namun kualitasnya sudah amat berbeda dengan semula. Stasion,

Rumah Sakit, Kantor, Bank, Gereja, Hotel dll. yang dulunya adalah fungsi-fungsi yang

tidak dikenal dalam masyarakat tradisional, kini sudah menjadi bagian penting dari

kehidupan publik, dari seluruh anggota masyarakat kota kita.

Lihatlah Stasion Jakarta Kota (Stationgebouw BATAVIA), salah satu karya terindah

Ghijsels yang berlanggam "Indische Bouwen". Foto udara bangunan ini menghenyakkan

kita akan fakta, bahwa ternyata bangunan ini dulunya berada dalam kesatuan dengan

taman di sebelah barat-nya, juga dengan padu menyatu dengan bangunan Factorij di

seberangnya. Ruang kota sekitar Taman Stasion ini sungguh nyata dan dapat dirasakan,

pun memberi jarak yang cukup untuk 'menangkap' skala bangunan-bangunan

sekelilingnya. Ruang kota dan kenikmatan yang diberi-kan seperti itu sudah hilang

sekarang karena semakin padatnya kendaraan bermobil yang menceraikan paduan

antara Stasion dengan Taman. Dan, Skala, aspek penting dalam menga-presiasi

Page 9: Mahatmanta Article

keindahan ruang, sudah terampas dari sana sehingga hanya menyisakan sekadar

onggokan bangunan lama. Ruang-ruang sekitar bangunan yang dulunya menyatu

dengannya karena dibutuhkan untuk skala yang tepat kini berebut dengan kebutuhan

ekonomik yang 'lebih mendesak'. Kawasan kota ini sebagaimana dirasakan di bagian

kota lain sudah tidak punya lagi ruang bersama lega yang menjadi ‘muara’ dan simpul

dari jaringan jalan-jalannya. Jejaring jalan itu telah turun maknanya menjadi sekadar

jalur untuk melintas alih-alih ruang perjumpaan sosial warga kota.

Sekarang tengoklah bagian dalam dari stasion ini, yang dengan jujur memperlihatkan

prinsip struktur 'pelengkung tiga sendi' sebagai kerangka dasar bangunan. Prinsip

struktur ini dengan wajar melahirkan bentuk bangunan stasion yang mirip dengan

gerbong kereta api sendiri. Suatu kejujuran dan kesederhanaan yang telanjang dan

tidak dicari-cari.

keindahan ruang dan ornamen

Bangunan-bangunan karya Ghijsels mengenal juga rincian ornamen (detail) yang

memperlihat-kan pengaruh Art Deco pada masanya. Pada masa itu jamaklah Arsitek

merangkap menjadi Kontraktor Pelaksana, sehingga tidak heran kalau rincian yang

sulit masih dapat dilaksanakan tanpa kesulitan. Namun demikian, sebenarnya

keindahan arsitektural itu lebih daripada sekadar keindahan ornamen seperti itu, dan

bukan dalam aspek itulah kita menghargai bangunan lama.

Rasakan halaman dalam dari Rumah Sakit Panti Rapih (Ziekenhuis Onder de Bogen)

Yogya-karta ini, bersih dari pernik rincian, namun halaman dalam itu (inner court)

hening seperti oasis bila dibandingkan dengan halaman luar yang luar biasa sibuk dan

bisingnya. Konsep inner-court ini mengingatkan akan kualitas yang sama yang bisa

dijumpai di Biara-biara Katolik, kon-sep yang sudah berumur ratusan tahun dan dikenal

baik di Barat maupun di Timur (Werner Blaser; "ATRIUM, Lichtöfe seit fünf

Jahrtausenden", Wepf & Co. AG Verlag, 1985). Rasakanlah hubungan antara halaman

tadi dengan selasar yang mengitarinya, juga busur-busur (arcade) yang menyeleksi

serta membingkai pemandangan. Keindahan ruang ini bukan keindahan yang

ornamental, tidak tergantung pada gilap dan mewahnya bahan bangunan, tidak pula

pada kerumitan ornamen. Penghargaan akan ruang ditambah dengan kewajaran bentuk

bangunan akan menghantar kepada keindahan. Keindahan ruang amat sederhana,

namun akan semakin mahal di tengah kota yang semakin memadat pada masa kini.

Apa yang terjadi pada ruang-ruang sekitar gereja St. Josef di Jatinegara (Meester

Page 10: Mahatmanta Article

Cornelis) juga nasib yang kira-kira sama, kita sekarang hanya bisa mengamati

bangunan secara keselu-ruhan justru dari jembatan layang yang dulunya tidak pernah

menjadi pertimbangan untuk mengamati keelokan bangunan itu.

bangunan lama dan ruang kota

Ghijsels berkarya dengan teknologi membangun yang tersedia pada jamannya yang

buat kita kini mungkin hanya akan mendatangkan kritik karena boros bahan, lahan,

dan rancangan yang terlampau 'selesai' sehingga sulit untuk mengikuti perkembangan

penghuninya. Namun per-hatiannya pada ruang luar dan pautannya pada ruang kota -

sesuatu yang dijamin oleh pera-turan yang berwibawa- adalah warisan yang pantas

dijagai. Mengulang apa yang diperbuat pada masa lalu, apalagi pada aspek bentuk dan

ornamennya, hanyalah romantika kenes yang harus dibiayai mahal. Bangunan-

bangunan umum -sebagaimana karya Ghijsels -yang berada dalam jaringan ruang kota

itu seyogyanya diserahkan kembali ke publik, tidak terkucil di tem-patnya masing-

masing oleh jaringan jalan yang didominasi mobil dan motor. Jalan adalah ruang

kontinu yang merangkai pengalaman ruang orang ketika 'menghayati' kotanya. Kota

kita sekarang jarang yang bisa dinikmati, selain sarana untuk pejalan kaki (trotoar)

tidak diperhati-kan juga bangunan-bangunan di kiri-kanan jalan itu dirancang hanya

untuk kaplingnya sendiri. Paduan dengan ruang di sekitarnya diabaikan sehingga

kontinuitas penghayatan ruang terpu-tus-putus. Ruang-ruang kota adalah milik publik

yang tidak pantas untuk diprivatisasi.

kesederhanaan yang elok

Dibanding dengan karya-karya arsitektur biro lain sejamannya yang dilumuri dengan

banyak ornamen tradisional, AIA (Algemeen Ingenieur- en Architectenbureau) di mana

Ghijsels bekerja, dipuji beberapa media massa pada masanya sebagai 'sederhana

namun menampakkan selera artistik yang tinggi', mengikuti pandangan Gerika

(Yunani)Kuna "simplicity is the shortest path to beauty", kesederhanaan adalah jalan

singkat menuju keindahan (Courant, 10 Decem-ber 1925). Disuasanai oleh krisis

ekonomi dunia sekitar Perang Dunia I tidak mengherankan bila slogan yang populer

bukannya langgam (style) ornamen bangunan yang mewah, namun modernitas dan

pembangunan.

Page 11: Mahatmanta Article

MEMBACA RUANG

universalitas ruang di ujung abad 20

Tulisan di bawah ini bermaksud untuk memberi catatan bagaimana arsitektur pada

abad ini memahami ruang. Pemahaman yang dipelihara sepanjang kurun waktu itu

hadir tidak tanpa asal-usul. Ia adalah anak kandung Pencerahan yang disuasanai oleh

kegairahan luarbiasa untuk menjelaskan fenomena alam dengan rasio manusia. Pilihan

untuk menjelaskan fenomena ruang secara rasional ini telah membawa kemajuan-

kemajuan yang signifikan pada pembentukan dan penguasaan ruang di seluruh muka

bumi kita ini (penemuan dunia baru, kontak dengan kebudayaan baru,dst.), di samping

juga korban yang tidak terbilang ( kolonialisme, keseragaman ruang,dst.).

Tulisan ini tidak bermaksud memberi jawaban dari persoalan yang ditimbulkan oleh

pilihan tadi, alih-alih hanya ingin memperlihatkan dinamika konstruksi ruang dalam

arsitektur yang berubah-ubah dan senan-tiasa direkonstruksi. Dalam dinamika itu

posisi arsitek sendiri yang adalah interpreter semangat jaman-nya.

Di ujung abad ke 20 ini muncul kesangsian akan konstruksi ruang modern tadi, bahkan

lebih dari itu su-dah (sangat) banyak yang menolaknya dan mengusulkan konstruksi

baru. Sedemikian banyak ragamnya sehingga dapatlah dikatakan bahwa jaman berikut

niscaya adalah jaman keragaman, suatu antithesis terhadap keseragaman dari jaman

modern kita ini.

menyadari ruang

Tanpa kesulitan kita bisa berbicara tentang benda-benda dalam ruang -meja dan kursi

di ruang tamu, tikar dan amben di ruang tidur, sikat gigi dan gayung di kamar mandi,

pisau dan panci di ruang dapur... - namun kita menghadapi kesulitan besar ketika

harus bicara tentang ruang itu sendiri. Apa itu ruang? Pemahaman tentang ruang yang

dapat disediakan oleh Bahasa Indonesia dan Jawa lebih mengarah kepada tempat

dilangsungkannya kegiatan tertentu (ruang tamu, kamar mandi, ruang tidur, dapur),

se-dangkan deskripsi yang obyektif nyaris tidak tersedia . Sementara itu produksi ruang

sudah dan terus berlangsung: Arsitek merancang rumah, Perencana Kota

merencanakan jalan-jalan dan lapangan, Pen-duduk Miskin menggarap bantaran sungai

dan bawah jembatan untuk hunian mereka... Orang-orang ini (juga kita!)

“kecemplung” dan menghayati ruang tapi tidak bisa berkata-kata tentangnya, Bahasa

rupanya tidak memadai untuk menjadi representasi penghayatan tadi, penghayatan

memang mendahului repre-sentasi seperti ”Pengalaman mendahului Bahasa”.

Penghayatan akan ruang ternyata tidak manusiawi, sebab binatang pun memilikinya.

Page 12: Mahatmanta Article

Binatang yang pergi dan kembali ke sarang/kandangnya lagi memperlihatkan bahwa

mereka pun menghayati ruang.

Arsitektur adalah salah satu disiplin yang mengklaim mempelajari, merencanakan dan

mencipta ruang. Ruang adalah “Alfa dan Omega”nya Arsitektur, namun demikian juga

tidak pernah ada jawaban yang sama dari disiplin ini untuk pertanyaan di atas.

Sebenarnya persoalan ruang ini juga menjadi pergumulan serius di kalangan ilmuwan

(Scientists) Fisika, Matematika. Misalnya, Teori Kompleksitas dan Chaos yang sekarang

sedang dalam perbincangan hangat adalah buah pemikiran mereka dan berdampak

pada pemahaman kita akan ruang. Adalah baik bila para pencipta ruang: perupa,

sinematograf, penari, arsitek, city-planner untuk saling berbagi mengenai fenomena

yang mempesona ini.

fenomena ruang

Dalam berbicara tentang ruang dianggapkan kita pernah bertemu dengan sesuatu,

yaitu fenomena yang menyergap kesadaran kita. Sebenarnya tidak tepat kalau kita

mengatakan bertemu, karena nyatanya kita adalah “kecemplung”, disergap, dan

terbenam dalam fenomena (ruang). Ruang bukanlah obyek di luar diri kita (Subyek)

tetapi fenomena yang memperlihatkan diri. Agar bisa dibicarakan, maka suatu fe-

nomena harus direduksikan dan kemudian baru dijuruskan ke dalam disiplin-disiplin

yang lebih khusus. Arsitektur, terlebih Arsitektur Modern, memahami ruang sebagai

kekosongan yang terjadi karena kita menetapkan batas-batas. Ini adalah salah satu

pereduksian fenomena ruang yang secara luarbiasa su-dah membentuk wacana tentang

ruang di abad ini, di samping pereduksian dari disiplin ilmu yang lain.

tentang batas-batas

Arsitek percaya bahwa ruang ada hanya kalau batas-batasnya ditetapkan . Batas-batas

itu menangkap dan meng-konkret-kan “ruang universal” tanpa batas yang ada dalam

semesta ini ke dalam suatu “kepin-gan” ruang yang dapat kita cerap melalui indera

kita. Ruang universal itu adalah ruang homogen yang sama “kepadatan”nya dan

merata di setiap posisi. Kepercayaan akan adanya ruang universal ini niscaya adalah

dipungut dari Science. Peran dan kesibukan arsitek, dengan demikian, adalah

mengolah, menyu-sun, mengkomposisikan batas-batas tadi sedemikian sehingga

“kepingan” ruang yang terjadi memiliki kualitas yang dibutuhkan oleh penghuninya .

Jadi, sasaran penciptaannya adalah ruang, tapi yang lang-sung dikenai pekerjaan

arsitek adalah batas-batasnya. Kesibukan ini mirip dengan yang dikerjakan pem-buat

Page 13: Mahatmanta Article

guci dalam puisinya Laotse .

Relasi ruang dengan batasnya adalah relasi komplementer yang dialektik, bak Yin-

Yang. Yang satu mengakibatkan yang lain, perubahan di satu pihak akan mengubah

pihak lain. Dalam sejarahnya, ar-sitektur sering berayun-ayun antara memberi

prioritas pada ruang pada suatu kali dan batas (atau massa) di kali lain.

slides: laotse, pagar, gerbang, gapura, omwalling architectuur, halaman pura,

sitinggil...

ruang universal

Pemahaman akan adanya ruang universal ini agaknya memiliki asal-usul sekitar

Copernicus dan Galileo yang menyatakan bahwa Bumi ini hanya bagian dari sistem

Matahari yang lebih besar. Barangkali juga dapat ditandai keterpesonaan Petrarcha

ketika ia mendaki bukit Ventoux (1336) dan menyadari bahwa ternyata ruang dan

horizon sebenarnya dapat meregang, menjulur dan meluas jauh melampaui kemam-

puan matanya sendiri melihat. Diketemukannya peta geografis, alih-alih mandala

sebagai peta mitologis, menandai “pencerahan” dan kesadaran akan ruang yang lebih

luas ini. Pemahaman ruang sebagai se-suatu yang “netral” tidak terikat pada

kemampuan mata subyek memandang ini mendapatkan acuan de-finitipnya dalam

konsep extensio dari Ruang Kartesiannya René Descartes (1596-1650), yang kelak

diteruskan oleh Newton (pengertiannya akan Ruang Absolut dan Ruang Relatif). Konsep

ruang inilah yang melahirkan pengertian “tiga dimensi” untuk benda-benda dan ruang.

Ruang netral ini dianggap meregang (extensio) ke ketiga sumbu (x,y,z) tanpa batas dan

setiap titik dapat ditetapkan lokasinya dari Titik Origin (0,0,0). Konstruksi ruang

seperti ini menguasai pemahaman arsitek akan ruang di jaman serba komputer ini, dan

bahkan program komputer untuk arsitek (misalnya, AutoCAD) adalah contoh penerapan

konsep Ruang Kartesian par excellence !

Konstruksi ruang yang seperti ini memungkinkan lahirnya penemuan-penemuan di

bidang navigasi, penemuan benua baru (Amerika), dorongan untuk menjelajah lautan

dan bertemu peradaban dan kebu-dayaan lain. Termasuk mengklaim daerah-daerah

baru itu sebagai koloni mereka. Hunian dan tata kota di daerah koloni baru itu dibuat

sama (karena mereka menganggap bahwa ruang mereka itu meregang hingga mencapai

daerah koloni baru itu) dengan daerah asal. Terjadilah universalisasi (globalisasi?) kon-

Page 14: Mahatmanta Article

sep ruang homogen tadi yang dicirikan dengan adanya dominasi dan pelenyapan

konstruksi ruang lokal yang asli. Ruang-ruang yang semula mitologis digantikan dengan

ruang yang lebih geografis. Tidak serba mencakup memang, tapi lebih mendekati

kenyataan.

Sebelum jaman yang menakjubkan itu, yakni: Pencerahan karena mengawali

modernisme, sebenarnya pergeseran ruang dari ruang mitologis ke ruang geografis

sudah terjadi ketika manusia memasuki perad-aban tulisan. Ketika manusia memasuki

budaya tulis, maka berguguranlah sumber-sumber pengetahuan yang semula berpusat

di sekitar orang-orang besar (dan umumnya tua-tua) itu dan digantikan dengan buku-

buku yang terdistribusi ke banyak orang. Ruang memusat dan tunggal didobrak

menjadi “planet-planet” baru. Memasuki kebudayaan tulisan adalah memasuki proses

“spatialisation” atau pe-ruang-an pengetahuan.

Arsitektur Modern

Membicarakan Arsitektur Modern dalam beberapa paragraf adalah mustahil. Dalam

masa,epoch, atau gerakan Arsitektur Modern itu berlangsung dengan sangat intens

penafsiran-penafsiran akan “ruang” da-lam arsitektur. Didukung oleh penemuan-

penemuan dalam ilmupengetahuan, ditambah dengan kolabo-rasi dengan seni rupa,

diperkuat oleh filsafat Marxian yang universal maka muncul juga gagasan “The

International Style” dan globalisasi langgam arsitektur.

slides: de stijl, piccaso, rietveld, corbusier: mass-space-light, discovery, bauhaus:

design, craftmanship, arsitektur, industri, sosialisme,

ruang as(a)li

Penghayatan kita mula-mula akan ruang -jadi sebelum dilakukan reduksi atas

fenomena- jauh lebih kaya daripada konstruksi ruang ala Kartesian di atas. Pada

masyarakat pre-Modern, misalnya pada masyara-kat tradisional di Nusantara

pemahaman ruangnya belum terkena “universalisasi” sehingga peran mitos yang

memberi gambaran tentang ruang dan waktu lokal harus didengar.

Bagi arsitek mitos dibutuhkan untuk memberi informasi tentang pemaknaan ruang.

Mitos adalah sema-cam “peta dunia” yang menjelaskan hubungan dari bagian-

bagiannya, tempat satu dengan lainnya, dan mengatakan apa nilai dan maknanya bagi

Page 15: Mahatmanta Article

manusia.

Apa maknanya Mendut terhadap Barabudur dan Barabudur terhadap India? Yerusalem

terhadap Roma? Laut terhadap Gunung? Timur terhadap Barat? Apa maknanya Gereja

menghadap Timur? Masjid di tepi sungai? Masjid terhadap Mekah, Balai di tengah

Danau (Balaikambang), Makam di atas Bukit, dst.

Masyarakat arkhaik, dan Arsitektur Tradisional, tidak hidup dalam ruang yang

homogen, sebaliknya ada-lah heterogen: tidak setiap tempat bernilai dan bermutu

sama, ada kepadatan yang berbeda dari tempat satu dengan yang lain. Ada suatu

tempat yang dianggap paling istimewa, dan dari sanalah dipancarkan tatanan ruang,

menandai suatu pusat dalam lautan ruang yang takmenentu. Lahirlah orientasi ke

pusat, lahirlah Kosmos (tatanan) sebagai lawan dari Khaos (kekalutan). Manusia

arkhaik cenderung ingin tinggal di daerah pusat tadi, atau paling tidak di sekitar dan di

dekat pusat, karena di situ ada kekuatan, di situ ada kejelasan tatanan, ada rasa

aman. Tidak heran kalau banyak masyarakat sepanjang sejarah men-gaku tinggal di

Pusat Dunia, mengaku sebagai orang pusat: Paku Buwana, Paku Alam, Tschung Kuo

(Kerajaan Tengah), Gunung Tidar, Kwakiutl, Gunung Zion (Yerusalem) dst…

Dengan ditetapkannya pusat, maka tersingkaplah juga kualitas ruang secara vertikal,

sumbu dunia: axis mundi. Atas untuk yang luhur (sakral) dan bawah untuk yang hina

(profan). Ungkapan alam yang paling mewakili konsep axis mundi ini adalah gunung

(bukit) dan juga pohon. Di puncak gununglah bersema-yam Yang Kudus, dan di

gununglah tumbuhan, hewan dan manusia senang tinggal. Demikian pula gam-baran

akan gunung yang terungkap dalam Gunungan wayang dan Candi Jawa bisa dijelaskan.

Bentuk Kerucut atau Piramida merangkum baik gradasi kualitas ruang horizontal

maupun vertikal; yang berada di pusat dan paling tinggi adalah paling suci, dan

menjauh dari itu (artinya merosot dan meminggir dari pusat) adalah paling hina.

slides: berbagai mandala, peta nusantara kuna, budaya tulis, pesantren, berbagai

“gunung”, jalan sebagai alat kekuasaan.

arsitektur dan seni

Karya seni pun seharusnya dihadapi sebagai fenomena, bukan sebagai benda/obyek.

Sekalipun yang berada di depan mata adalah kayu untuk bingkai, cat dan kain kanvas,

semen, fiberglass, batu dst. Obyek dari karya seni adalah keterpesonaan akan Yang

Page 16: Mahatmanta Article

Indah yang direpresentasikan lewat lambang-lambang yang dipilih senimannya sebagai

yang paling jitu.

Pengalaman yang mempesona itu (disergap dalam fenomena Yang Indah) umumnya

bersifat sementara. Untuk mempertahankan pengalaman yang temporer itu manusia

membutuhkan simbol, lambang. Den-gan lambang maka idea atau Yang Indah tadi

direpresentasi ke dalam materia. Dengan lambang-lambang maka pengalaman itu

direproduksi dan dikomunikasikan sehingga di kali lain atau bagi orang lain pengalaman

itu bisa hadir kembali.

Hegel, filsuf idealis dari Jerman, pernah membuat penjenjangan karya seni berdasar

materia yang digu-nakan. Semakin tidak tergantung pada materia, semakin mulialah

karya itu. Ia meletakkan Puisi di tem-pat terhormat tadi, karena karya seni yang ini

nyaris tidak butuh materia apa pun selain ucapan dan tu-turan penciptanya.

Berikutnya adalah tarian, karena hanya menggunakan tubuh senimannya sendiri un-tuk

melahirkan karyanya. Dan paling buruk “nasibnya” adalah arsitektur yang diletakkan di

jenjang ter-bawah karena terlampau membutuhkan banyak bahan! Karena acuan yang

ia gunakan untuk menilai arsitektur adalah bangunan-bangunan dengan bentuk dan

dekorasi yang elok pada masanya, mungkin ia berubah pikiran seandainya yang ia lihat

adalah ruangnya alih-alih keelokan pembatasnya.

slides: ruang antropologis (ingat bolnow’s), ruang eksistensial, bau,

goresan,bunyi,rabaan,visual.

fenomenologi, yang diamati berhubungan dengan yg mengamati, ruang anak-anak,

perempuan, birokrat,

postkolonial, jalan, turun ke jalan: PDI dan aparat berbeda memaknai jalan.

Page 17: Mahatmanta Article

SELF-HELP

Ibu-ibu, Bapak-bapak dan saudara-saudara mahasiswa yang saya kasihi.

Dalam masyarakat modern ada semacam keanehan.

Kalau kebetulan motor dan mobil kita sedang rewel, kita akan lari kepada "ahlinya"

yaitu bengkel. Penjelasan apa pun akan kita terima dari mereka, sehingga tugas kita

nyaris hanya membayar apa mau mereka. Juga bila badan "greges-greges" maka

penjelasan yang sah akan diberikan oleh dokter atau Rumah Sakit, dengan diagnosis

dan tindakan-tindakan yang hanya dimengerti oleh "kaum elite" paramedik itu. Pun,

kebutuhan akan ketrampilan dan pengetahuan atau belajar diidentikkan dengan

Pendidikan dan itu berarti harus bersekolah yang kemudian akan memberinya

pengesahan lewat selembar ijazah. Jarang sekali pada masa kini kita menangani

masalah-masalah keseharian kita secara mandiri. Sudah ada lembaga-lembaga dalam

masyarakat kita yang diakui dan disahkan mampu menggantikan peran kita, bahkan

dengan jauh lebih ahli. Bila saya menyebut ini sebagai keanehan abad Modern karena

pada masa yang lampau, di Eropa pada masa Renesans dan di tempat kita pada

beberapa abad lalu dimana kehidupan masyarakat belum sepelik dan kompleks seperti

sekarang, seorang pribadi mampu menguasai beberapa profesi sekaligus, paripurna.

Dengan diambil-alihnya jawaban atas kebutuhan hidup individual oleh lembaga-

lembaga seperti itu akan menjauhkan jawaban dari persoalannya, senjangnya model

dari realitas. Demikian juga dengan pelembagaan atas kebutuhan mendasar individual

akan perumahan, dengan satu Menteri dan Departemen khusus, banyak sekali

menyederhanakan dan mereduksikan kebutuhan-kebutuhan itu. Dengan standardisasi,

agar lembaga itu bisa beroperasi, maka desain dan proses konstruksi itu akan berada

jauh dari kontrol penghuninya.

Tidak semua orang yang mampu berumah tangga mampu memiliki rumah tinggal.

Memilik rumah tinggal adalah suatu perjuangan yang mengerahkan banyak daya, dana

dan pemikiran. Apakah itu lalu berarti bahwa setiap orang harus menjadi pembangun

rumahnya sendiri dengan cara "do-it-your self" ? Tidak, "yang kita perlukan adalah agar

para penghuni itu bisa mengontrol desain, proses konstruksi dan manajemen dari

rumah yang hendak dibangunnya", demikian JFC Turner. Pendekatan Self -help dalam

perancangan dan konstruksi perumahan banyak diujicobakan di banyak negara,

termasuk Indonesia, namun hanya sayup-sayup kita bicarakan di pendidikan Arsitektur

kita. Padahal, persoalan perumahan di perkotaan berada amat dekat dengan kampus

kita ini, suatu kampus yang berada di dalam jaringan kota dan ikut dalam dinamika

Page 18: Mahatmanta Article

kota.

Tambahan lagi, Pendidikan Arsitektur sangat berkepentingan untuk mendengar

berbagai pendekatan untuk menolong orang yang tidak berdaya dan berdana tadi agar

bisa menolong dirinya sendiri.

Lain dari itu, Pertemuan pagi ini pun saya harap bisa kembali menyadarkan kedudukan

sosial arsitek yang sekali pun bukan politikus yang bisa mengubah realitas sosial,

namun apa yang dibuatnya tidak pernah lepas dari konteks sosial.

Selamat berseminar.

Page 19: Mahatmanta Article

M E M B A N G U N

apresiasi pada karya tektonika mangunwijaya

memasuki bangunan

Dalam bahasa sesehari kita, kata membangun memuat pengertian menegakkan,

menyusun dan membuat susunan itu berdiri di atas bumi. Mungkin kata ini diambil dari

ranah (domain) domestik ketika manusia harus menegakkan rumah dan membangun

dunia kecil yang ia kuasai di sekeping tanah di muka bumi. Dan sementara itu, rumah

adalah bangunan pertama yang manusia bangun, sebelum ia mengenal dan

membangun 'rumah sakit', 'rumah makan', 'rumah tahanan', 'rumah ibadah' dan 'rumah-

rumah' yang lain. Artinya, kegiatan membangun adalah salah satu kegiatan yang

eksistensial bagi tegaknya manusia berada di muka bumi.

Bangunan, pertama-tama adalah produk kegiatan teknis (sudilah mengingat pengertian

'tekhne' yang menurunkan istilah 'teknis' ini, sebagaimana ditulis Heidegger dalam

“Building Dwelling Thinking”, 1954), sebelum kemudian ditafsir atau dibaca sebagai

sebuah teks dalam semiotika dan diperlakukan sebagai simbol yang bermakna. Dengan

menyebut arsitektur sebagai bangunan, ini adalah usaha untuk mengembalikan dia

pada aspek materialnya.

Secara teknis, menegakkan bangunan adalah semacam perjuangan sebagai perlawanan

terhadap gravitasi, sebab semua bahan yang manusia pilih dari alam, untuk disusun

dan ditegakkan sebagai unsur bangunan itu memiliki kecenderungan untuk rebah ke

tanah. Melalui Galileo dan Newton kita diberitahu tentang konsep gaya, energi dan

daya. Kita juga diberitahu bahwa suatu struktur bisa berdiri dan tidak kolaps itu

karena ada konfigurasi yang seimbang dari gaya-gaya yang bekerja padanya. Setiap

struktur yang stabil selalu dapat digambarkan diagram dari gaya beban yang bekerja,

beserta gaya lain yang mengimbanginya.

Kegiatan membangun adalah upaya menangani itu, melawan kecenderungan alamiah

untuk rebah itu. Kejelian seseorang memilih dan mengenali tabiat bahan bangunan

serta ketrampilannya menangani gaya-gaya yang bekerja pada hubungan unsur

bangunan satu dengan yang lain menjadi taruhan tegaknya bangunan tadi. Sambungan

(joint) adalah jantung persoalan ini. Apaboleh buat, manusia pembangun hanya bisa

menurut pada kemampuan yang bisa diberikan oleh bahan bangunan yang ada

padanya, sehingga perkara mengoptimalkan kemampuan bahan hingga sampai pada

batas-batasnya adalah perkara penting bagi manusia pembangun.

Manusia pembangun di sini adalah para tukang, dan setiap orang pada mulanya adalah

Page 20: Mahatmanta Article

tukang bagi dirinya sendiri. Tukang dan ketukangannya, craft and craftmanship adalah

batu penjuru dari proses membangun, suatu peran penting dalam kebudayaan yang

sering dikecilkan oleh praktik dan pengajaran arsitektur masa kini.

Bila kebudayaan adalah buah dari penciptaan tempat (place), maka ketika seseorang

menetap di sebidang tanah di muka bumi dan, dengan menggunakan peralatan dan

bahasa, menegakkan batas-batas teritori ruangnya, maka sebenarnya ia tengah

menciptakan dunia bagi dirinya.

Kembali menghargai peran tukang adalah sebentuk kesadaran bahwa kultur

membangun itu bermula dari hasrat eksistensial manusia untuk tegak di muka bumi, di

tempatnya. Bangunan, dengan demikian, adalah "tempat" dan sekaligus "buah" manusia

menjalankan aktivitas budayanya.

tektonika

Mengikuti Kenneth Frampton dalam “Studies in Tectonic Culture, 1995”, konon istilah

tektonika diturunkan dari kata tekton yang berarti tukang kayu (carpenter) atau

manusia pembangun (builder), yang pada gilirannya nanti akan berhubungan dengan

istilah Sanskrit taksan, yang merujuk pada ketrampilan dan pertukangan kayu, atau hal

yang berhubungan dengan penggunaan kampak (axe).

Di Gerika Kuna istilah ini muncul dalam Homer, di sana istilah ini digunakan untuk

pengertian seni membangun pada umumnya. Kata kerja membangun (tektainomai) dan

membuat (poesis) berkaitan amat erat. Dalam Sappho, tekton -si tukang- dipadankan

dengan penyair (poet). Memang pada abad kelima SM pengertian ini mengalami evolusi

dari sesuatu yang sangat khusus dan fisik, seperti pertukangan kayu (carpentry),

kepada gagasan 'membuat' yang lebih umum yang memasukkan juga kedalamnya

pengertian poesis.

Secara umum, dengan mengikuti Gottfried Semper, kita menggunakan istilah tektonika

(tectonics) ini untuk merujuk pada ketrampilan menyusun atau membuat yang

menggunakan bahan ringan sebagai lawan dari penggunaan bahan berat (batu,

lempung) yang oleh Semper digolongkan sebagai stereotomic.

Dengan 'menyusun' dan 'membuat' di sini memasukkan juga keg iatan seperti menjalin,

merajut, menganyam dari bahan-bahan ringan semacam rumput, alang-alang, rotan,

tali, benang, kain, membran, dsb.

Menganyam, merajut dan menjalin adalah kegiatan-kegiatan mendasar dalam

kebudayaan. Bila Abbé Laughier mengajukan gagasan tentang 'primitive hut' sebagai

Page 21: Mahatmanta Article

cikal-bakal hunian manusia, maka Semper (seperti dikutip Aaron Betsky dalam Building

Sex, 1995) menawar dengan mengatakan bahwa tenda adalah hunian awal manusia.

Telaah etnologisnya mendukung untuk mengatakan bahwa tindakan menganyam dan

menenun ranting dan kemudian benang untuk menjadi tenda - yang dilakukan baik

oleh lelaki maupun perempuan- adalah tindakan-tindakan awal membuat hunian, jauh

ketika manusia masih nomad.

Dan, lihatlah, tindakan menganyam dan menenun itu, masih dapat kita saksikan pada

banyak karya arsitektur vernakular di seluruh dunia, termasuk di Nusantara. Dinding,

lantai dan atap pada arsitektur Nusantara dapat dianggap sebagai buah dari tenunan

bahan-bahan alami yang ada di sekitarnya: ragum, ijuk, gedek, ilalang, rotan, dan

sebagainya, yang tidak jauh dari produk kerajinan tangan seperti tikar, tenong,

kukusan, besek, dan alat-alat rumahtangga lain.

Menganyam suatu bahan, masih mengikuti Semper, perlu diberi catatan lebih lanjut

karena batu bata, batu koral, kerikil, dan bahan-bahan lain -sekalipun berat bobotnya-

tapi bila disusun, ditebar atau dirangkai menjadi struktur yang lebih besar, pun dapat

digolongkan sebagai karya tektonika.

bahan

Place - space - structure - dan material adalah suatu kontinuum. Jelasnya, penciptaan

tempat untuk “ada” manusia memerlukan penegasan teritori ruang melalui pendirian

suatu struktur yang tersusun atas bahan-bahannya. Bahan, dengan demikian, adalah

titik tolak dalam proses membangun. Manipulasi bahan oleh alat dan prosedur (teknik,

technique) -artinya: terknologi- tertentu akan menghasilkan karya-karya yang khas. Di

tempat yang banyak bambu akan melahirkan alat-alat yang memang cocok untuk

menangani bambu, dan pada gilirannya akan membutuhkan tatacara atau prosedur

yang memang khas untuk bambu. Terobosan pada salah satu dari ketiga unsur

teknologi tadi akan membuka khasanah yang tidak habis dicari kemungkinan-

kemungkinannya yang baru.

Bagaimana dengan sikap terhadap bahan-bahan yang baru, bagaimana memahami

kodrat dari bahan yang baru? Dengan datangnya bahan-bahan yang baru, kita

cenderung bekerja dengan berpedoman pada bahan yang sebelumnya kita kenal,

sebagaimana kolom-kolom besi yang perlakuannya meniru cara bekerjanya kolom

kayu. Memang, tidak ada kesepakatan pada segi apanya yang kita tiru dari bahan

sebelumnya itu. Ketika beton diperkenalkan, ada banyak cara memandang dan cara

Page 22: Mahatmanta Article

memperlakukannya: sebagai lempung, sebagai batu, sebagai bata, sebagai kayu...

Juga, ketika besi cor dikenalkan, ada yang memperlakukannya sebagai bahan cair

(liquid) yang cocok untuk membuat bentuk-bentuk florist yang bersulur-sulur,

sementara ada pula yang memperlakukannya sebagai batang-batang besi karena

meneladani batang-batang kayu sebagai pendahulunya. Bahan baru atau lama,

tuntutan untuk mengenali kodratnya adalah utama.

Sepanjang sejarah, banyak arsitek telah mencoba bermain dengan bahan-bahan yang

ada di suatu tempat, namun memperlakukannya dengan teknik (dan sekaligus alat)

yang baru. Hasilnya adalah bangunan yang seolah lama namun baru. Dengan ini maka

tradisi membangun dibawa maju dan semangat lokal tetap dipelihara.

dialog di sambungan

Karena membangun tak terelakkan lagi adalah kegiatan menyusun satuan-satuan

bahan yang direncanakan melindungi tempat manusia berada, maka hubungan satuan

satu dengan yang lain, hubungan bahan satu dengan yang lain menjadi perkara penting

yang harus mendapatkan perhatian penuh. "Tectonics becomes the art of joinings",

kata Adolf Heinrich Borbein, 1982. Sambungan (joints), suatu keadaan yang niscaya

ada, harus terjamin tidak hanya pada kekuatannya namun juga keselarasannya.

Sambungan ini tidak hanya harus benar secara statika, namun harus juga menampilkan

diri secara visual kebenaran nalar itu. Kebenaran statika yang terungkap dalam citra !

Sambungan yang menceriterakan secara visual peri bagaimana bagian satu bertemu

dengan bagian lain juga mengisahkan riwayat perjalanan gaya dari puncak struktur

hingga masuk mengakar ke bumi, yang dengan itu terjelaskanlah bagaimana struktur

itu bisa tegak melawan gravitasi. Riwayat suatu bangunan jadi jernih terbaca,

telanjang di hadapan siapa pun.

Dialog berjumpanya bahan yang berbeda di sambungan itu -seperti laiknya perjumpaan

apa pun- selalu berlimpah dengan potensi untuk penafsiran: perjumpaan macam apa

yang tengah berlangsung? Dominasi? Berpautan? Jalin-menjalin? Saling mengelak? Dan

sebagainya.

'God is in detail' demikian seorang arsitek modernis Mies Van der Rohe menekankan

betapa pentingnya sambungan.

Di sini, di sambungan ini, bangunan ditantang: mampukah mengungkap (aletheia)

kebenaran? Arsitektur yang ingin serba menutup tubuhnya dan hanya mengabdikan diri

pada volume ruang mengabaikan dan mengaburkan sambungan, serta memerosotkan

Page 23: Mahatmanta Article

arsitektur itu sendiri.

indah dan benar

Pengalaman akan keindahan bermula dari pesona, rasa takjub. Keterpesonaan kita

pada sesuatu ciptaan, natural maupun kultural, membenamkan kita pada keindahan

atau 'hal indah' itu. Tidak jadi soal, apakah keindahan yang kita hayati itu molek

gemerlap atau kotor berdebu. Dengan menghayati kebenaran rumus matematika pun

kita bisa terbenam dalam keindahan itu. Kita menghayati keindahan ketika kita

menyadari bahwa kelumrahan telah dilampaui atau di-atas-i.

Suatu ciptaan, baik yang sederhana maupun yang pelik (sophisticated) dapat

menggiring kita pada keindahan bila menyingkapkan kebenaran.

Dan itu salah satunya juga dapat ditemui orang pada karya arsitektur yang baik. Karya-

karya arsitektural yang dapat mengungkapkan bagaimana ia dibangun, dirangkai,

bagaimana gaya berlalu-lintas dan terdistribusi pada sambungannya, serta bagaimana

bahan-bahan itu berbicara apa adanya dan berdialog satu dengan yang lain dengan

bahasa yang jernih itu dapat kita jumpai dalam karya Mangunwijaya. Pemahamannya

tentang keindahan yang seperti ini diturutnya dari ucapan St. Thomas Aguinas :

"Keindahan adalah pancaran kebenaran", (Pulchrum splendor est veritatis).

mangunwijaya, menangnya manusia pembangun

Tektonika adalah salah satu segi terkuat dari karya Mangunwijaya. Hampir seluruh

karyanya dibentuk dari sikap hormatnya pada bahan dan bagaimana

memperlakukannya. Ia berperan sebagai manusia pembangun sebaik-baiknya: tukang.

Ia bergaul erat dengan tukang, dengan ketrampilannya, dengan spirit ketukangannya.

Ia memiliki mata, hati dan tangan seorang tukang. Di tangannya batu dan kayu itu

bicara lewat bentuk, bobot, tekstur, yang kemudian bersama dengan bahan yang lain

berdialog dengan selaras. Dengan bebas bahan itu ditundukkannya, dilepaskannya dari

jeratan pabrik yang telah memaksanya berbentuk dan berukuran tertentu. Tukang

yang pantang menyerah dengan keterbatasan bahan, yang diterobosnya dengan

pengetahuannya yang tinggi tentang statika dan fisika bangunan. Hampir di setiap

proyeknya, ongkos tukang lebih besar daripada harga bahan bangunannya! Dia

mengenal tukang-tukangnya, demikian pula para tukang itu hapal dengan tipologi sang

master.

Page 24: Mahatmanta Article

pendidikan arsitektur

Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan

dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya.

Mengikuti cara Mangunwijaya membangun adalah seperti magang pada seorang Master

Tukang, suatu model pendidikan yang sebenarnya paling sesuai untuk arsitektur. Jarak

yang terlalu jauh antara gagasan dan pewujudan bisa diatasi dengan mengakrabkan

mahasiswa bergaul dengan bahan-bahan sejak mula. Studi model jadi penting sekali

untuk dikembangkan dalam pendidikan kita.

sejarah arsitektur nusantara

Ia melanjutkan ketukangan tradisional yang ada di sekitarnya dengan penjelajahan

baru terhadap bahan-bahan yang digunakan. Lihatlah, melalui teknik dan alat yang

baru, karya-karyanya serentak baru namun tetap berakar di tempatnya.

Bila arsitektur tradisional memiliki kendala lokalitas sehingga hanya punya pilihan

terbatas untuk mendapatkan bahan bangunan, maka MAngunwijaya pun memiliki

kendala biaya sehingga harus mengandalkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya.

Situasi yang sama-sama terbatas ini rupanya telah sama-sama memaksa lahirnya karya

yang memeras bahan sampai pada batas-batasnya, sampai pada esensinya. Bahan-

bahan tampil dengan wajar, apa adanya, benar dan akhirnya... indah. Keindahan

tektonika !

Bentuk-bentuk bangunan karyanya sama sekali tidak berpretensi meniru atau

memiripkan diri dengan bangunan tradisional manapun di Nusantara ini, namun

semangat untuk selalu memulai membangun dari bahannya inilah yang membuat

Mangunwijaya mendapat tempat dalam sejarah arsitektur Nusantara, berada dalam

tradisi yang sama dengan para pendahulunya.

Untuk itu kita berterima kasih padanya.

Page 25: Mahatmanta Article

house and religion (an introduction to the journey)

[email protected]

the invisible in a visible world.

Some analysts of architecture have striven to explain vernacular architecture in terms

of practical considerations, as representing adaptations to local climate,

geography,etc. Others have gone to the opposite extreme in attributing every aspect

of the designed structure to the abstract cosmology, symbolism, etc. Examining the

tectonics (technologies, construction process, material) of a vernacular structure will

lead us on to a consideration of various totally 'non-functional' features of the

building. In architectural practise, the functional and practical purpose are coming

first before we interpret it symbolicaly.

ab origine it was house

If we try to imagine what the first buiding and, consequently the first work of

architecture, must have been like, we may assume that at least it must have been a

house. Even our names for various non residential buildings reflect either their origins

as houses or desire to relate them to mythical origins as houses.

Mircea Eliade has pointed out that, "religious architecture simply took over and

developed the cosmologigal symbolism already present in the structure of primitive

habitations". Eliade saw houses as "the universe that man constructs for himself by

imitating the paradigmatic creation of the gods, the cosmogony."

religious architecture

Religious architecture refers to those buildings designed to serve religious purposes.

These structures can be either very simple or highly complex. However, the practice

of religion doesn't of it self require an architectural setting. Sacrifice can be offered to

the gods in the open air on a hilltop; the 'shalla' of Islam can be performed in a train or

in a plane or even in the street; and our eucharist can be celebrated in a hospital

ward. Nevertheless all the major world religions have buildings especially designed for

their rite purposes.

geometry

Geometry means applying the perfect basic-form on the surface of earth (lit. "earth

measurement", M.Eliade, 1987). The numerology and mathematics are involved in this

proccess, whatever simple they are. The perfect forms give a sense of a fixed place in

a chaos and orderless world .

indonesia and java

Page 26: Mahatmanta Article

Indonesia, located in Southeast Asia, larger than the United States in total area, is a

nation consiting of over 13,000 islands (some publications cite more than 17,000

islands). Only 6000 of these islands are inhabited. This equatorial island chain spreads

between the Indian and Pacific oceans, linking the continent of Asia and Australia. The

main islands are Sumatera (473,606 sq.km), Kalimantan (539,460 sq.km), Sulawesi

(189,216 sq.km), Irian Jaya (421,981 sq.km), and Java (132,187 sq.km). Indonesia

shares the islands of Kalimantan with Malaysian, and Irian with Papua New Guinea.

The name Indonesia is composed of two Greek words: "Indos" which means Indian and

"nesos" which means islands.

Java is the cultural and political center of a known as Indonesia. Most of Indonesia's

population lives on this island. The central region is home of the royal courts in

Yogyakarta and Surakarta. It is also a rich archeological area featuring stone

antiquities from as early as 600 AD.

javanese culture

Since Indonesia still bases its living upon agriculture, it is not surprising to see that

almost 80 percent of its population lives in villages. Villages in Indonesia are

characterised, among many things, by their strong ties to their culture and tradition.

Within Java itself, where the capital of Jakarta lies, there are at least three major

ethnic groups: the Javanese, Sundanese and the Madurese. The Javanese comprises

around one third part of Java and are located in the central part. They have centuries

of tradition and culture. Architectural remains of the eighth century (which is a

Buddhist monument, Borobudur) is just one evidence of this long tradition and culture

(archaeologists had even proof that Java had been occupied from the prehistory

period, evidenced from remains of terraced platform of ritual places). Contacts with

Hindu, Islam, and Christianity, as well with other ethnic groups of Indonesia, with

other foreigners like Chinese, Arabic, and European had only enriched that Javanese

treasure.

javanese house

Commonly javanese houses have at least three parts. These are three independent

constructions, with each its own roof, together they form one whole. Pendopo, in

which visitors are received Pringgitan, a narrow passage to the back of the house. A

transitional area between the pendopo and the dalem. This is the smallest

construction of the three. Dalem (ageng), The private space for the family. The Dalem

Page 27: Mahatmanta Article

is the only closed construction of the three constructions. It is divided in at least the

following:

Krobongan or sentong tengah, a space in the middle of the dalem for private

ceremonies. It is meant for the reception of the goddess Sri, to meditate and for ritual

ceremonies.

Sentongs, (sleeping)quarters that lay next to the Krobongan.

Added to these two (principal) parts are of course other rooms, baths, a kitchen and

all kinds of stables, depending on the wealth of the owner. Another important element

that gives an extra sense of safety and social status to the family is a wall surrounding

the house. Many variations on the above sketched division are possible. (Dumarçay,

1987)

the goddess sri

In Java, rice embodies Dewi Sri—the rice mother—goddess of life and fertility. The

best loved and most worshipped Hindu deity, although she is the only member of the

principal deities who didn't originate in Indian Hinduism. She is everywhere. Without

Dewi Sri, they believe they would be lifeless and empty.

the roof is my head

We live in a tropical region which has a lot of rain and hot equally. The main problem

of architecture in the stituation is to give a shelter from rain, glare and sunrays. That

is why the roof of a house is the most important and elaborated part. So to speak,

architectural symbolism in Indonesia is a roof symbolism.

Page 28: Mahatmanta Article
Page 29: Mahatmanta Article

P A (ha) L A W A N

Tidak.

Anda tidak salah baca dengan judul di atas. Juga bukan kesalahan saya dalam

mengetikkannya. Dan, tentunya, tidak ada maksud dalam diri saya untuk melucu

meniru Asmuni Srimulat yang main-main dengan plesetan kata. Memang betul saya

mengetikkan di situ: pahalawan alih-alih pahlawan. Yang coba hendak saya paparkan

di sini adalah menemukan kembali keluasan makna istilah pahlawan untuk kemudian

merefleksi-kannya pada situasi kritis seperti sekarang ini.

anugerah

Konon, kata pahlawan memang berasal dari pahala-wan: orang yang mendapatkan

pahala, anugerah yang tinggi dan berharga. Memang pahala itu diberikan kepada

seseorang yang sudah berbuat sesuatu secara luar biasa. Tanpa mengurangi hormat

pada Si Penerima yang sudah berprestasi ini, marilah kini kita (juga) menyoal dari

mana penghargaan ini datang, atau siapa yang memberikan penghargaan itu. Pemberi

dan Pene-rima sama pentingnya dalam soal harga-menghargai ini.

Umumnya penghargaan ini datang dari sekelompok orang, keluarga, komunitas atau

masyarakat, bangsa dan negara. Pendeknya, kolektif, diputuskan sebagai kesepakatan

dari banyak orang. Seseorang menjadi pahlawan adalah karena dijadikan oleh pihak

lain, bukan menjadikan sendiri atau menganugerahi diri sendiri. Karena pahlawan itu

hasil keputusan atau kesepakatan dari banyak orang, maka dapat dikatakan bahwa

pahlawan adalah sebuah konstruksi sosial.

pahlawan dan pecundang

Dengan mengatakan bahwa pahlawan adalah sebuah konstruksi sosial, maka makna

sebutan itu jadi sangat situasional. Akan berubah oleh ruang dan waktu. Dengan

melihat Siapa yang memberi gelar atau anugerah tadi, maka dapat dipahami pula

mengapa seseorang dapat disebut pahlawan oleh satu pihak dan disebut pecun-dang,

pemberontak, GPK dsb. oleh pihak lain. Dipanegara disebut sebagai pemberontak oleh

Kumpeni Belanda dan di saat yang sama dianggap pahlawan oleh orang Yogya. Karl

Marx yang dipuja sebagai nabi penerus spirit Perjanjian Lama oleh pengikutnya dan

yang tanpanya dunia tidak akan berwajah seperti ini, dianggap se-bagai 'setan belang'

oleh Orde Baru di Indonesia. Pak Harto yang disebut sebagai Bapak Pembangunan,

Bapak Koperasi, Bapak Apalagi... pada waktu berkuasa, kini dianggap sebagai maling

yang menguras rumahnya sendiri, ketika kita masuk jaman Reformasi.

Page 30: Mahatmanta Article

transisi

Reformasi yang 'sedang' berlangsung di Indonesia hari-hari ini terlampau lama

mendapatkan bentuknya, keti-dakmenentuan masih dirasakan di setiap segi

kehidupan. Hampir semua dari kita sepakat bahwa reformasi be-lum selesai. Namun,

dengan terlampau lamanya proses ini mencapai kristalisasinya akan berakibat pada

turunnya stamina para pelaku reformasi, hilangnya momentum dan terlebih-lebih akan

menyulitkan kita 'memperla-kukan' korban -korban yang tewas karena kerusuhan yang

menyertai proses reformasi ini. Sudah diketahui banyak orang bahwa kemarahan

rakyat yang diwakili oleh mahasiswa itu dipicu oleh ditembaknya beberapa mahasiswa

Universitas Trisakti oleh tentara. Di samping berlarut-larutnya proses

pertanggungjawaban ABRI terhadap kasus ini, birokrasi dan alat-alat negara lain sudah

tidak sabar.

Page 31: Mahatmanta Article

B E R M U K I M

"masalah sosial mustahil dipecahkan di atas meja gambar"

(oscar niemeyer, arsitek )

pemukiman baru

Sebenarnya kita berumah selalu bersama dengan orang lain dalam sebuah komunitas

pemukiman. Tidak ada atau jarang sekali orang bermukim bebas dari kesatuan seperti

itu. Dan pembangunan pemukiman baru pun sudah pernah berlangsung di masa lalu

dalam masyarakat kita yang masih tradisional. Kita pun masih kita dapat menjumpai

nama-nama tempat seperti Karanganyar, Kotabaru, yang memperlihatkan bahwa

dulunya tempat mereka itu adalah pembangunan baru. Tidak tercatat apakah

pembangunan pemukiman baru itu berlangsung dengan tenang ataukah selalu disertai

konflik dengan pemilik tempat yang lama. Yang jelas, pada masa kini di Jawa konflik

itu semakin sering terjadi dengan semakin habisnya tempat "kosong" karena padatnya

penghuni atau terkikisnya lahan subur.

bermukim di kota

DI dunia kaya seperti Barat diskusi mengenai arsitektur (pemukiman) dan perencanaan

kota sudah bukan lagi mengenai kebutuhan dasar untuk berteduh, namun inovasi

arsitekturallah yang menduduki tajuk sentralnya, atau dengan kata lain lebih

berkenaan dengan debat citarasa estetik. Sementara, di tempat kita ada jutaan

manusia yang tidak memiliki hal yang paling mendasar sekali pun di atas tanah ia

berdiri untuk berteduh. Arsitek Barat tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan

fenomen ini . Pada tahun 2000 nanti dunia akan sampai pada tonggak sejarah penting:

karena inilah kali pertama dalam sejarah bahwa orang akan lebih banyak tinggal di

kota daripada di desa...dunia kita akan semakin menjadi 'dunia kota' . Bila di dunia

'pertama' proses urbanisasi itu sudah selesai di masa lalu, maka di dunia 'ketiga' hal ini

kini sedang berlangsung dan dengan kecepatan yang melaju! Bila pada dasawarsa 70 an

kota-kota Paris, London, Tokyo, New York termasuk dalam 10 besar megalopoli dunia,

tahun 2000 nanti tempat mereka akan digantikan oleh Mexico City, Sao Paulo, Calcuta,

Bombay dan juga Jakarta. Sehingga, bicara mengenai pemukiman massal adalah bicara

tentang pemukiman di kota yang tengah berproses mendapati bentuk dan ukuran

definitipnya. Kota-kota kita, sekalipun berawal dari aktivitas masyarakat tradisional

sebelumnya, dasar-dasarnya diletakkan oleh penjajah Barat.

modernitas dan pemukiman

Page 32: Mahatmanta Article

Pemukiman massal yang dikembangkan di dunia ketiga berasal tidak dari tradisi

pemukiman kolektif mereka sendiri namun mengambil alih dari Barat. Gagasan

mengenai perancangan pemukiman massal di kota (Barat) berawal kira-kira sekitar PD

I atau pada awal abad ini. Dan kemudian dalam masa antara dua Perang Dunia tercatat

banyak pembangunan perumahan di Eropa berlangsung di daerah suburban dan

pinggiran kota, karena pergerakan ke arah horizontal lebih disukai . Faktornya jelas,

kebutuhan untuk jumlah yang besar dan waktu yang cepat. Topangan dari industri

bahan dan alat (terutama logam) membuat kebutuhan 'darurat' itu bisa dipenuhi.

Dalam konteks Eropa, khususnya Jerman, kolaborasi arsitek/desainer dengan industri

yang memang maju mencapai simbiose yang mutualistik. Di sana pulalah Desain

Industri berkembang dan sebaliknya 'ideologi industri': akurat, cepat, hemat, standard

dijadikan pula kriteria menilai desain. Tulisan-tulisan sekitar arsitektur waktu itu pun

mendukung munculnya arsitektur yang menafikan idiom-idiom lama, maka estetika

baru dimunculkan dengan mengambil mesin sebagai metafora: "house is a machine for

living in". Le Corbusier dulu pernah bicara mengenai "rumah Citroen", yang mirip mobil

dibuat satu dulu hingga cocok benar dengan kebutuhan pemakai dan kemudian baru

dibuat massal. Dengan kata lain bila rumah itu misalnya digandakan hingga sejumlah

penduduk kalurahan, nalarnya akan terdapat sebuah pemukiman yang memenuhi

syarat. Nyatanya tidak, "for everyone but for no one". Sebuah pemukiman rupanya

butuh pluralisme di dalamnya, alih-alih cloning. Hassan Fathy, seorang arsitek Mesir

yang menggumuli masalah pemukiman kaum bawah, pernah mengatakan bahwa arsitek

tidak bisa merancang lebih dari 10 atau 12 rumah dalam waktu yang sama. Lebih dari

itu, ibarat seorang ahli bedah yang harus mengoperasi 200 pasien sehari, sama saja

dengan ia membunuh mereka . Standardisasi adalah hal umum di dunia industri. Pada

masa itu terbit buku standar aktivitas manusia yang hingga kini pun menjadi 'buku suci'

oleh arsitek dan desainer interior: Architect's Data tulisan Ernst Neufert. Buku ini

merinci kegiatan manusia dan memberikan ukuran dari ruang yang digunakannya,

sejak dari posisi duduk, jengkeng, berdiri, menyapu, menulis, tidur, mandi, dst.

Hebatnya, buku ini terus diperbarui hingga kini. Pemukiman, arsitektur dan kota kita

memang blasteran dengan Barat.

bisnis rumah

Kalau melihat di Indonesia, lebih khusus yang berlangsung di Jawa, pembangunan

pemukiman berlangsung kebanyakan di pinggiran kota. Baru beberapa waktu terakhir

ini ada upaya membuat rumah susun di pusat kota dan sementara itu ada fenomen lain

Page 33: Mahatmanta Article

yang masuk yakni menggilanya pembangunan condominium, apartments dsb. yang juga

sejenis pemukiman massal namun dibangun bukan untuk kalangan yang berekonomi

kepepet alih-alih untuk investasi orang berpunya. Laporan dari beberapa media massa

mengatakan bahwa bisnis properti seperti ini sempat memanaskan ekonomi nasional,

(selain menimbulkan juga masalah dengan Bahasa Indonesia), namun kabar terakhir

melaporkan bahwa bisnis ini tengah lesu karena rupanya banyak yang tidak payu.

Bisnis properti berhubungan dengan rumah dan tanah sebagai obyek bisnisnya( properti

sendiri adalah tanah dan pembangunan di atasnya beserta hukum yang berkaitan).

tanah

Pentingnya tanah bagi eksistensi manusia di dunia ini tidak bisa disangkal lagi, terbukti

bahwa tiap agama atau kepercayaan memiliki penjelasan mengenai makna tanah tadi

dalam kehidupan, terlebih pada masyarakat agraris yang tidak bisa memutus

kelekatannya dengan tanah. Pada masyarakat itu tanah bukan saja berarti modal dan

potensi untuk digarap, namun sudah bermakna mendalam, eksistensial, penting bagi

hidup-matinya. Pada kasus penyediaan sarana bagi pemukiman, masalah ketersediaan

tanah adalah masalah terbesarnya. Sementara itu banyak pemerintah tidak punya

peran berarti dalam menyediakan tanah untuk pemukiman menengah ke bawah.

Golongan menengah ke bawah umumnya bisa mendapatkan tanah untuk

pemukimannya lewat jalur tidak resmi. Tanah-tanah di perkotaan yang tidak efisien

penggunaannya harusnya diarahkan bagi kepentingan publik.

kota kita

Yang mendorong terjadinya urbanisasi adalah dorongan kuat untuk meninggalkan desa,

di samping memang kota sendiri menariknya. Menurut perhitungan ekonomis mereka,

dan itu nyata, tinggal di desa berarti pemerosotan dan pemiskinan. Namun ternyata

tinggal di kota yang memadat dan memekar tanpa ada kesanggupan mencukupi dengan

infrastruktur itu pun hanya menempatkan mereka di sektor informal. Kehadiran sektor

informal di kota (kita) tak pelak menjadi perhatian penting, karena aktivitas di sektor

ini memberi sumbangan besar pada ekonomi nasional, karenanya harus diakui adanya.

Sementara itu kondisi kota kita pun sebenarnya mewarisi apa yang dikerjakan orang

pada masa kolonial. Kota-kota kita adalah tersusun atas banyak pusat-pusat

pertumbuhan sebagai pengembangan dari kawasan Pecinan, Arab, Melayu, Eropa yang

dibuat penjajah dulunya. Berbeda dengan kota Barat yang bertumbuh dari pusat yang

satu, kota kita tersusun atas 'kampung-kampung' yang melanjutkan tradisi bermukim

pedesaan dari mana mereka semula berasal. Karena itu pendekatan yang gayut dengan

Page 34: Mahatmanta Article

pemukiman mereka adalah pendekatan yang masih memungkinkan suasana kampung

tadi dalam pemukiman barunya. Pluralisme dan kepelbagaian ekspresi pribadi yang

berkesan 'meriah' dalam bermukim tidak seharusnya dinilai sebagai kekumuhan, yang

lalu harus disingkirkan dengan menciptakan kebakaran (karena cara penggusuran

hanya akan memancing wartawan). Konsep 'bersih' dan 'tertib' yang diberlakukan oleh

Penguasa rupanya tidak bertolak dari konsep yang sudah dipunyai dalam tradisi, bukan

dominasi namun interdependensi. Ada beberapa hal penting dari kampung yang bisa

dikembangkan untuk pemukiman di kota :

• Kota dan Kampung memiliki relasi ekonomik yang saling menguntungkan. Para

penghuni kampung kota bekerja di kota, entah di sektor formal atau informal.

• Sektor Informal melengkapi, bahkan meramaikan sektor Formal.

• Struktur sosial kampung menjadi menentukan layout fisik kampung.

epilog

Kota kita masih akan berubah, entah akan berwajah seperti apa, yang jelas akan lebih

cepat berubah. Umur bangunan pun akan lebih singkat. Masihkah gayut kita bicara

tentang identitas kota bila banyak bangunan nanti akan digusur dan diganti dengan

yang baru tiap 20 tahun, misalnya? Kemana pun kota akan berkembang, interpretasi

baru atas kultur menghuni kita masih gayut untuk dilakukan. Fisik mungkin lain, wajah

pasti lain, tapi di pemukiman abad mendatang semoga kita masih bisa menyapa

tetangga, momong anak di depan rumah, ngerumpi ngomongin politik di warung

wedangan, jajan bakso dan lotis di emperan...

Yah, semoga masih.