mahar dan uang panai’ menurut tafsir al-misbah …
TRANSCRIPT
MAHAR DAN UANG PANAI’ MENURUT TAFSIR AL-MISBAH
(STUDI KRITIS TERHADAP ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT
SUKU BUGIS)
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Nysa Riskiah Lakara
NIM: 15210687
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
2019 M/ 1440 H
MAHAR DAN UANG PANAI’ MENURUT TAFSIR AL-MISBAH
(STUDI KRITIS TERHADAP ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT
SUKU BUGIS)
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Nysa Riskiah Lakara
NIM: 15210687
Pembimbing:
Iffaty Zamimah, M.Ag
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
2019 M/ 1440 H
iii
MOTTO
Tidak ada hasil yang menghianati usaha
v
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan tulisan ini untuk orang tua terkasih ”Bapak. Kasrin
A. Lakara dan Ibu Nurhasanah Ali” terimakasih untuk do‟a yang tidak pernah
putus demi yang terbaik untuk anaknya,
Terimakasih kepada dosen pembimbing Ibu Iffaty Zamimah M.Ag.
yang selalu sabar membimbing, menasehati, mensupport, sampai pada titik
ini.
Teruntuk almamater Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta,
terimakasih telah menjadi rumah ternyaman ditanah rantau selama kurang
lebih 4 tahun ini.
vi
حيم حمن الره الره بسم الله
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya
sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Sholawat teriring salam semoga
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw sebagai suri
tauladan bagi kita semua.
Skripsi yang berjudul “Mahar dan Uang Panai’ menurut tafsir Al-
Misbah (Studi Kritis terhadap Adat Pernikahan Masyarakat Suku
Bugis)” Disusun untuk memenuhi syarat gelar sarjana strata satu (S1) Ilmu
Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuludin dan Dakwah, Institut Ilmu Al-
Qur‟an (IIQ) Jakarta.
Selesainya skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan yang telah diberikan
selama masa perkuliahan baik berupa ilmu pengetahuan, tenaga, waktu serta
do‟a restu serta motivasi dari berbagai pihak lain, baik langsung maupun
tidak langsung. Kepada:
1. Rektor Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, Prof. Dr. Hj. Huzaemah
Tahido Yanggo, Lc, MA. Dr. Hj. Nadjematul Faizah SH., M. Hum.
Sebagai Warek I, Dr. H. M. Dawud Arif Khan, SE., M.Si., Ak., CPA.
sebagai Warek II, dan Dr. Hj. Romlah Widayanti, M. Ag, sebagai Warek
III.
2. Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah.
3. KH. Muhammad Haris Hakam. SH., MA., ketua program studi Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta beserta
vii
Ibu Mamluatun Nafisah, M.Ag., selaku sekretaris program studi Ilmu Al-
Qur`an dan Tafsir.
4. Ibu Iffaty Zamimah M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan skripsi.
Dengan keilmuan dan kesabarannya sampai penulis bisa menyelesaikan
skripsi dengan baik.
5. Bapak Sofian Effendi, S.Th.I, MA dan Ibu Istiqomah M.A., selaku
penguji dalam sidang skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu dosen Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta yang telah
mendidik dan membimbing penulis serta mengajarkan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat.
7. Staf Fakultas Ushuluddin terima kasih atas semua waktu, semangat,
dorongan dan motivasinya. Dan juga kepada Staf Perpustakaan IIQ
Jakarta.
8. Ucapan terima kasih kepada instruktur tahfidz, Ibu Hj. Muthmainnah,
Ibu Hj. Atiqoh,Ibu Arbiyah, dan Ibu Hj. Istiqomah, terima kasih atas
waktu dan motivasi yang luar biasa kepada penulis untuk lebih dekat
dengan Al-Qur`an.
9. Pesantren Takhassus IIQ Jakarta, rumah kedua penulis dalam
perantauan, yang telah menjadi tempat bernaung penulis selama 3 tahun
dan telah banyak memberikan pelajaran dan kenangan manis
didalamnya.
10. Terima kasih untuk keluarga tercinta, ayah Kasrin Lakara dan ibu
Nurhasanah Ali. Yang telah memberikan cahaya kehidupan, yang tak
pernah lupa melafadzkan nama penulis dalam setiap do‟a-do‟anya.
Terima kasih atas setiap tetesan peluh dan keringat yang tidak akan bisa
terbalaskan dengan hal apapun. Dari keduanya penulis belajar untuk
tetap sabar dan kuat dalam keadaan apapun. Semoga Allah memberikan
viii
kesehatan, kebahagiaan, perlindungan dan keselamatan dunia akhirat
kepada kedua cahaya kehidupanku.
11. Kepada guru-guru yang telah membimbing sejak penulis sejak TK
sampai sekarang
12. Kepada 4 Sahabat tercinta, Muthmainnah S. Ali Lamu, Nur Amirah, Nur
Chalifah dan Nur Ayu Qomariya, terima kasih telah membersamai dalam
suka dan duka selama menjalani perkuliahan di IIQ Jakarta, yang
senantiasa saling memberikan dukungan, semangat dan saling
menguatkan dalam hal apapun, tanpa kalian apalah aku.
13. Kepada Arik Nur Maudina, Siti Nur Laili, dan Nurhasanah Nasution
yang telah memberikan dukungan dan do‟a untuk penulis
14. Teman-teman seperjuangan kelas 8B yang sudah membersamai selama
kurang lebih 4 tahun, dan teman-teman seperjuangan se-dosen
pembimbing skripsi, yang senantiasa saling memberikan dukungan dan
motivasi.
15. Teman-teman seangkatan 2015 Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta
16. Keluarga besar Keagamaan angkatan 2015 M.A Alkhairaat Pusat Palu,
yang telah memberikan do‟a dan dukungan
17. Keluarga besar Persaudaraan Mahasiswa Bugis Makassar (PMBM)
Institut PTIQ-IIQ Jakarta.
18. Pihak-pihak yang telah telah mendukung, membantu dan mendo‟akan
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad
yang satu keabjad yang lain. Dalam penulisan skripsi di IIQ Jakarta,
transliterasi Arab-Latin mengacu pada berikut ini:
1. Konsonan
th : ط a : أ
zh : ظ b : ب
„ : ع t : ت
gh : غ ts : ث
f : ؼ j : ج
q : ؽ h : ح
k : ؾ kh : خ
l : ؿ d : د
m : ـ dz : ذ
n : ف r : ر
w : ك z : ز
h : ق s : س
‟ : ء zy : ش
y : م sh : ص
dh : ض
x
2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Tunggal Vokal Rangkap
Fathah : a أ: â ي: ai
Kasrah : i ي:î و: au
Dhammah : u و:û
3. Kata Sandang
a. Kata sandang yang diikuti alif lam (ال) qamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qamariyah dengan
bunyinya. Contoh :
al-Baqarah : البػقرة
al-MadĬnah : المديػنة
b. Kata sandang yang diikuti oleh alif-lam (ال)syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh alif-lam (ال) syamsiyah
ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan didepan dan
sesuai dengan bunyinya.
Contoh :
لرج ل ا :ar-Rajul السي دة :asy-Sayyidah
ارمي asy-Syams : الشمس ad-Dârimĭ : الد
c. Syaddah(Tasydid)
Syaddah(Tasydid) dengan system aksara Arab digunakan lambang
(_ ), sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydid. Aturan
xi
ini berlaku secara umum, baik tasydid yang berada di tengah kata, di
akhir kata, ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyah.
Contoh :
Âmannâ billâhî : امنابلل
ء سفهاالامن : Âmannâ as-Sufahâ’u
Inna al-Ladzîna : إفالذين
Wa ar-rukka’i : كالركع
d. Ta Marbutha(ة)
Ta Marbutha(ة) apabilaberdirisendiri, waqaf ataudiikutioleh kata
sifat (na’at), makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf “h”.
Contoh :
al-Af’idah : الفئدة
سلامية al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah : الامعة ال
Sedangkan Ta Marbutha (ة) yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (isim), maka dialihaksarakan menjadi huruf
“t”.
Contoh :
Âmilatun Nâshibah„: عاملةنصبة
al-Âyat al-Kubrâ : الية الك بػرل
xii
e. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan
tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan PUEBI
(Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), seperti penulisan awal
kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Ketentuan yang berlaku pada PUEBI berlaku pula dalam alih aksara
ini, seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan ketentuan
lainnya. Adapun untuk nama diri yang diawali dengan kata sandang,
maka huruf yang ditulis capital adalah awal nama diri, bukan kata
sandangnya. Contoh : Ali Hasan al-Aridh, al-Asqallani, al-Farmawi dan
seterusnya. Khusus untuk penulisan kata Al-Qur‟an dan nama-nama
surahnya menggunakan huruf kapital. Contoh : Al-Qur‟an, Al-Baqarah,
Al-Fatihah dan seterusnya.
xiii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i
PERNYATAAN PENULIS .......................................................................... ii
PERSEMBAHAN ........................................................................................ iii
MOTTO ........................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. xi
ABSTRAK .................................................................................................. xiv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Permasalahan ..................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 8
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 8
F. Metode Penelitian ............................................................................. 11
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13
BAB II. TINJAUAN UMUM KONSEPSI MAHAR
A. Pengertian Mahar ............................................................................. 15
B. Dasar Hukum Mahar ........................................................................ 17
C. Syarat-Syarat Mahar ......................................................................... 20
D. Macam-Macam Mahar dan Jumlahnya ............................................ 23
E. Ukuran Mahar .................................................................................. 31
F. Mahar Nabi dan para Sahabat .......................................................... 33
xiv
BAB III. ADAT PERNIKAHAN SUKU BUGIS DALAM TAFSIR AL-
MISBAH
A. Suku Bugis-Makassar ....................................................................... 40
B. Adat Pernikahan suku Bugis-Makassar ............................................ 42
C. Uang Panai‟ ...................................................................................... 47
BAB IV. UANG PANAI’ DALAM ADAT PERNIKAHAN BUGIS-
MAKASSAR DAN PENAFSIRAN AYAT MAHAR DALAM TAFSIR
AL-MISBAH
A. Filosofi Uang Panai‟ ......................................................................... 60
B. Penafsiran Ayat Mahar ..................................................................... 74
C. Analisis Penulis ................................................................................ 86
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 88
B. Saran ........................................................................................... 90
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Nysa Riskiah Lakara (NIM: 15210687), Judul skripsi “Mahar dan uang panai’
menurut tafsir al-Misbah (Studi Kritis terhadap adat istiadat suku bugis)”
Program studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Dakwah,
tahun 2019.
Mengenai tradisi uang panai yang menjadi adat di Sulawesi Selatan,
dijelaskan bahwa didalam al-Qur’an, Tafsir al-Misbah maupun dalam agama
islam, tidak dijelaskan mengenai pemberian uang panai atau uang belanja,
yang ada adalah mahar. Walaupun pemberian uang panai tidak diatur secara
gamblang dalam hukum Islam, namun pemberian uang panai sudah
merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan
selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at maka hal ini
diperbolehkan.
Mahar dan uang panai merupakan dua perbedaan yang tidak bisa
disatukan, jika mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari
mempelai laki-laki pada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad
nikah maka uang panai adalah uang panai’ atau uang belanja untuk pengantin
mempelai wanita yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku
Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. uang panai menjadi syarat bahwa semakin
tinggi derajat, pendidikan, pekerjaan hingga kecantikan yang dimiliki
seorang perempuan, maka semakin terhormatlah ia dan semakin mahal uang
panai yang harus diberikan. Terkadang hal itupun yang memberatkan calon
suami dan menjadi kendala terhadap suatu pernikahan yang mulia. Maka dari
itu, penulis tertarik untuk meniti Mahar dan Uang Panai menurut tafsir al-
Misbah (Studi Kritis terhadap pernikahan Suku Bugis).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif (empiris)
dengan pendekatan fenomenologis dan kajian pustaka (library research) dan
menggunakan sumber data primer yaitu tafsir al-Mishbah. Sedangkan
pengumpulan datanya menggunakan wawancara atau interview.
Kata Kunci: Mahar, Uang Panai’, Tafsir al-Misbah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam datang pada masa Jahiliyah menentang kedzaliman dan
diskriminasi laki-laki terhadap kaum wanita. Inilah keistimewaan syariat
islam. Kedudukan kaum perempuan pada zaman jahiliyah sangat nista,
sebagai budak yang sangat hina. Mereka diperjual belikan seperti barang
dagangan yang murah. Tidak ditimbang dan sama sekali tidak dihormati.
Mereka berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain seperti
barang. Dari satu ahli waris ke ahli waris lain. Karena pada masa itu, bila
seorang laki-laki meninggal, maka sanak kerabatnya mewarisi istrinya
sebagaimana mereka mawarisi harta bendanya. Maka, islam datang
menyelamatkan wanita dari kezaliman dan penindasan ini.1
Islam sangat menghormati kaum wanita, baik dia muslimah atau
kafir. Dan itulah yang menjadi salah satu keunggulan dan keistimewaan
islam. Ia yang pertama kali dan secara langsung menyuarakan bahwa
kaum wanita sejajar dengan kaum pria. Oleh karena itu, islam
mewajibkan pembayaran mahar bagi siapa saja pria yang akan menikahi
wanita dengan tujuan agar mereka tetap bisa bertahan sampai akhir
zaman.2
Sejarah telah mencatat, bahwa sesungguhnya maskawin yang
dijadikan sebagai perantara untuk mencapai tujuan yang mulia selalu
diberikan dengan jalan yang mudah. Contohnya seperti orang Arab
Badui yang membayar maskawin kepada istrinya dengan onta atau
sebagian harta mereka. Para petani memberikan maskawin kepada
1 Muhammad Ali As Shabuni, Penikahan Dini yang Islami (Jakarta: Pustaka Amani,
1996) Cet ke-1 h. 77 2Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan, h. 102
2
istrinya berupa kurma atau sebidang tanah. Pedagang memberikan
maskawin kepada istrinya berupa uang atau sebagian makanannya atau
pakaian-pakaiannya. Para buruh memberikan maskawin kepada istrinya
berupa upahnya. Dan orang alim atau orang yang sedang menuntut ilmu
memberikan maskawin kepada istrinya berupa ilmunya itu, bila mereka
tidak memiliki harta.3
Mahar atau yang biasa disebut dengan maskawin adalah salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah prosesi penikahan.Adapun
mahar itu ada berbagai macam jenisnya, mulai dari emas, uang tunai,
benda ataupun barang lainnya.4
Firman Allah Swt:
وآتوا النساء صدقاتن نلة فإن طب لكم عن شيء منو ن فسا فكلوه ىنيئا مريئا“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa: 4)
Maskawin disyariatkan oleh Islam sebagai pengganti untuk
kehalalan seorang laki-laki kepada wanita dan juga sebagai perantara
untuk memenuhi syariat yang mengatur antara laki-laki dan wanita.5
Mahar wajib ditunaikan walaupun tidak memiliki harga yang tinggi.
Sebagaimana kisah seorang sahabat yang akan menikah tapi tidak
memiliki harta, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
3Musifin As‟ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, terj.Al-Ziwaaj Wa
Al-Mubuur oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1993) cet Ke-2 h. 84 4M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut
anda ketahui, (Tangerang: Lentera Hati, 2015) cet. Ke-6, h. 103 5Abdul Aziz bin Abdurrahman dan Khali bin Ali, Pernikahan dan
Permasalahannya,terj.Najmul Shalib oleh Musifin As‟ad dan Salim Basyarahil(Jakarta:
Pustaka Kautsar, 1995) cet. Ke-2, h. 83
3
memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari mahar yang memiliki
nilai dan harga walaupun hanya cincin besi.
Pada prinsipnya mahar hendaknya merupakan sesuatu yang bersifat
material. Ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim,
suatu ketika seorang sahabat ingin menikah, kemudian Nabi bertanya
padanya: “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk engkau jadikan
maharnya?” Dia menjawab: “Saya tidak memiliki kecuali kain saya ini.”
Nabi memerintahkan mencari mahar walau hanya sebuah cincin dari
besi.Dia mencari tapi tidak juga didapatnya. Lalu Nabi bertanya:
“Apakah engkau menghafal ayat-ayat Al-Qur’an?” orang itu
mengiyakan sambil menyebut surah yang dihafalnya. Nabi pun bersabda:
”Kalian kukawinkan berdasar apa yang engkau hafal dari ayat-ayat Al-
Qur’an” (yakni dengan mengajarkannya kepada istrinya).6 Hadis ini
menunjukkan bahwa mahar yang terbaik adalah sesuatu yang bersifat
material, bahkan dengan hafalan Al-Qur`an Rasul lebih mengutamakan
untuk memberikan mahar yang bersifat material.
Di Indonesia, mahar juga ada hubungannya dengan adat di setiap
daerah. Contohnya saja, uang Panai dari Suku Bugis, untuk melamar
perempuan idamannya dengan jumlah yang tak terkira. Semakin tinggi
derajat, pendidikan, pekerjaan hingga kecantikan yang dimiliki seorang
perempuan, maka semakin terhormatlah ia. Selain uang panai, ada juga
tradisi di daerah lain, yaitu uang Japuik atau Bajapuik. Bajapuik berasal
dari bahasa Padang „Japuik‟ yang artinya menjemput. Uniknya, uang
Japuik ini tidak diberikan dari laki-laki kepada perempuan, tapi
sebaliknya, perempuanlah yang memberikan kepada laki-laki yang
mereka cintai. Menurut adat, tradisi ini sudah diwariskan turun-temurun
6M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut
anda ketahui, (Tangerang: Lentera Hati, 2015) cet. Ke-6, h. 103
4
dari nenek moyang mereka sejak dulu. Tujuannya bukan bermaksud
untuk membeli, tetapi menghargai pihak lelaki. Bajapuik inipun berlaku
hanya untuk orang Pariaman saja, di luar itu bahkan tidak ada yang
melaksanakan tradisi ini.7
Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat islam,
melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhaan si istri. Walau
demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya, karena
mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas
suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain.
Kalau tidak dibayar, maka akan dimintai pertanggung jawabannya di hari
kemudian.8 Namun, mahar disini tidak dimaksudkan sebagai alat untuk
membeli perempuan dari orangtuanya, namun pemberian mahar ini
bertujuan untuk mensakralkan pernikahan dan menghormati dan
memuliakan kedudukan perempuan maupun orang tuanya9
Jumhur ulama secara alternatif menyepakati bahwa mahar wajib
diberikan kepada istrinya. Banyak ayat Al-Qur‟an dan rangkaian hadis
yang dengan jelas mengatakan hal ini. Tidak ada dispute atau perbedaan
pendapat dikalangan fukaha tentang kewajiban pembayaran mahar
kepada pengantin perempuan. Namun ada waktu penyerahannya,
terutama jenis dan jumlahnya, merupakan hasil negoisasi dan
kesepakatan suami dan istri dengan mempertimbangkan nobilitas
keluarga istri. Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis Shahih al-Bukhari,
Bab Nikah, nomor 51, menjelaskan bahwa mahar dapat berwujud materi
7http://www.bombastis.com/5daerahdenganmaharselangit. Diakses 12 juli 2019
8 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), ( Bandung: Penerbit Sinar Baru
Algensindo, 2014), cet. Ke-67, h. 393 9 M. Luqman Hakim, Skripsi: ”Konsep Mahar dalam al-Qur‟an dan Relevansinya
dengan Kompilasi Hukum Islam” (Malang: UINMMI, 2018), h. 1-2
5
(uang, perhiasan, properti atau benda lainnya), jasa pengajaran al-Qur‟an
dan dapat juga berwujud perpaduan semuanya.10
Satu hal yang perlu diingat bahwa ada perbedaan antara “mahar”
dan “uang belanja” (biaya pesta). Sebaiknya justru mahar yang lebih
besar daripada biaya pesta.Mengapa demikian? Bukannya pesimis, tetapi
seandainya terjadi perceraian antara suami istri sebelum mereka
bercampur, maka istri harus memperoleh ganti rugi karena ia telah
dirugikan.11
Firman Allah Swt:
وىن وقد ف رضت م لن فريضة فنصف ما وإن طلقتموىن من ق بل أن تس ف رضتم إل أن ي عفون أو ي عفو الذي بيده عقدة النكاح
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali
jika istri-istrimu itu memaafkan ataudimaafkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah”(QS. Al-Baqarah: 237)
Kalau maskawin itu sesuatu yang tidak bersifat material, maka apa
yang didapat oleh istri? Apa yang harus dibagi dua? Yang terbaik dari
mahar adalah sesuatu yang berharga secara material dan yang paling
tidak memberatkan calon suami, “tidak memberatkan” tidak harus berarti
“yang paling sedikit atau murah”. Di sisi lain, karena mahar adalah hak
istri, maka biarlah istri yang mengusulkan, lalu disepakati bersama,
mungkin saja pilihan orang lain tidak sesuai dengan keinginannya.12
10
Noryamin Aini, “Tradisi Mahar di ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur
Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia”, hal. 17 11
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut
anda ketahui, hal 103-14 12
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut
anda ketahui, hal 104
6
Adapun alasan mengambil judul ini adalah karena di Indonesia
sendiri, mahar dan uang belanja yang mahal bisa menjadi salah satu
penyebab seorang laki-laki tidak berani meminang perempuan yang
dicintainya. Ini menjadi penghalang baginya, sebab sering terjadi adat
dan tradisi yang berbicara. Tentunya adat disetiap daerah menetapkan
jumlah mahar dan uang belanja untuk sebuah penikahan.13
Tentunya ini
sudah diatur dalam pasal 30 kompilasi hukum islam pada pasal 30
tentang mahar yang menyatakan bahwa “calon mempelai pria wajib
membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.14
Banyak ulama tafsir yang telah mengkaji konsep mahar ini dan
pendapat yang cukup menarik bagi penulis yaitu M. Quraisy Shihab
dengan Tafsirnya Al-Misbah. Sebagaimana Quraisy Shihab sendiri
merupakan orang bugis-makassar, dengan alasan ini pendapat beliau
sangat membantu dan menarik untuk dikaji. Dari sini penulis
memfokuskan penelitian dengan judul: Mahar dan Uang Panai’ menurut
Tafsir Al-Misbah (Studi Kritis terhadap adat pernikahan Suku Bugis)
B. Permasalahan
Permasalahan yang terkait dengan tema yang menjadi objek
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat penulis simpulkan bahwa ada
beberapa permasalahan yang teridentifikasi, diantaranya adalah, .
a. Tradisi uang panai‟ yang mahal menciptakan kesulitan dan
beban materi
13
@tausyiahku_, Tausyiah Cinta, (Jakarta: QultumMedia, 2016) cet,. Ke-1 , h. 160 14
M. Luqman Hakim, Skripsi: ”Konsep Mahar dalam al-Qur‟an dan Relevansinya
dengan Kompilasi Hukum Islam” hal. 3-4
7
b. Bagaimana cara penentuan mahar dan uang panai‟ pada adat
pernikahan masyarakat Suku Bugis
c. Sebab uang panai‟ yang mahal banyak yang kawin lari, hamil
diluar nikah dan lain-lain
d. Bagaimana pandangan para Mufasir mengenai Mahar dan uang
panai‟
2. Fokus penelitian dan Deskripsi fokus
Adapun penelitian ini diberi judul, Mahar dan Uang Panai‟
menurut tafsir Al-Misbah (Studi kritis terhadap adat pernikahan
masyarakat Suku Bugis). Oleh karena itu, penelitian ini fokus
terhadap bagaimana tradisi Mahar dan Uang Panai‟ dalam
pernikahan Suku Bugis serta penulis ingin mencantumkan
bagaimana penafsiran dan pendapat Quraisy Shihab tentang Mahar
dan Uang Panai‟.
3. Perumusan Masalah
Sebagaimana uraian diatas, penulis akan menyusun suatu
rumusan pokok masalah agar pembahasan dalam skripsi ini menjadi
lebih jelas dan terarah. Pokok permasalahannya adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana cara penentuan Mahar dan Uang Panai‟ pada adat
pernikahan masyarakat Suku Bugis
b. Bagaimana pandangan Quraisy Shihab mengenai Mahar dan
Uang Panai‟
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana cara penentuan Mahar
dan Uang Panai‟ pada adat pernikahan masyarakat Suku Bugis
2. Untuk Memahami bagaimana pandangan para Mufasir mengenai
Mahar dan Uang Panai‟
8
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini secara umum diharapkan sebagai sumbangan
intelektual bagi peminat dan pemerhati ayat-ayat Al-Qur`an
terutama tentang Mahar, pandangan Mufasir tehadap ayat tentang
Mahar dan secara khusus diharapkan dengan tulisan ini dapat
menambah pengetahuan mengenai Mahar dan Uang Panai‟ dalam
adat pernikahan masyarakat Suku Bugis dan mampu menambah dan
memperkaya khazanah keilmuan tentang penafsiran Al-Qur‟an.
2. Manfaat Praktis
Tulisan ini juga diharap mampu memberikan kontribusi yang
positif bagi manusia dalam kehidupan nyata yaitu agar umat islam
dapat memahami serta menerapkan Mahar dan Uang Panai‟ dalam
pandangan Islam itu sendiri.
E. Tinjauan Pustaka
Menurut penulis, penelitian ini bukanlah sesuatu baru dalam dunia
akademik, mengingat banyak bermunculan masalah-masalah baru
dipenjuru dunia yang berkaitan dengan cara menanggapi suatu berita
sangatlah beragam. Namun dari penelusuran diatas, penulis belum
menemukan sebuah karya yang membahas secara khusus komparasi dari
pemikiran mufasir dalam tafsir tentang ayat mahar.
Sesuai dengan judul proposal ini, ada beberapa literatur dan hasil
penelitian yang dialakukan oleh orang lain sebagai bahan rujukan atau
kerangka berpikir dalam penyusunan penelitian ini, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Skripsi yang diteliti oleh M. Luqman Hakim, mahasiswa jurusan Al-
Akhwal Al-Syakhsiyyah di Universitas Islam Negeri Maulana Malik
9
Ibrahim Malang, yang berjudul “Konsep Mahar dalam al-Qur‟an dan
Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam” tahun 2018.
Dalam pembahasan bab kedua, skripsi ini juga membahas
tentang Mahar dalam Islam meliputi definisi, dasar hukum, bentuk
dan syarat, nilai jumlah mahar, macam-macam, cara pelaksanaan
dan pemegang mahar.
Skripsi ini sangat berkontribusi dengan skripsi yang penulis
teliti, hanya perbedaannya yaitu skripsi ini terfokus pada Hukum
Islam dengan penjabaran pendapat para Madzhab Fiqih dan para
mufasir yaitu Musthafa Maraghi, Rasyid Ridha, dan Mutawalli
Sya‟rawi.
2. Skripsi yan diteliti oleh Muhammad Fikri Nur Fathoni, mahasiswa
jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah di Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Metro, yang berjudul “Faktor-faktor Penyebab Calon
Pengantin Memilih Mahar dengan Bentuk Uang Hias (Studi Kasus
di Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung)” tahun 2018.
Persamaan skripsi ini dengan penelitian penulis terletak pada
kajian teori.di bab dua, skripsi ini juga menjelaskan teori tentang
mahar yang meliputi pengertian mahar, dasar hukum, sejarah,
macam-macam mahar, barang yang dapat dijadikan mahar, manfaat
dan kegunaan mahar, penggunaan mahar uang hias dalam
pandangan hukum islam. Namun, skripsi ini menitik fokuskan pada
alasan dan faktor-faktor penyebab memilih mahar dalam bentuk
uang hias di kecamatan Sekampung,
Skripsi ini sangat berkontribusi bagi penulis, dengan adanya
skripsi ini penulis mengetahui bahwa di kecamatan Sekampung
memiliki adat yang sangat unik yaitu mahar diberikan dalam bentuk
10
uang hiasan yang sekarang sudah menjadi tren dikalangan
masyarakat di Indonesia.
3. Skripsi yang diteliti oleh Reski Kamal, mahasiswi jurusan PMI
Konsentrasi Kesejahteraan Sosial di Universitas Negeri Islam
Alauddin Makassar yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap
Uang Panai’ di Kelurahan Pattalassang Kabupaten Takalar” tahun
2016.
4. Tesis yang diteliti oleh Akhmad Maimun, mahasiswa jurusan Al-
Ahwal Al-Syakhshiyyah di Universitas Negeri Maulana Malik
Ibrahim, yang berjudul “Makna Kesederhanaan Mahar dalam QS.
An-Nisa ayat 4 dan 20 (Studi Analisis Hermeneutika Otoriatif
Terhadap istilah Mahar Shadaq, Nihlah dan Qinthar)” tahun 2019.
Tesis ini menjelaskan dan mengkaji kesederhanaan mahar
dalam Al-Qur‟an dalam studi analisis terhadap Mahar Shaduq,
Nihlah, dan Qinthar dengan menggunakan metode Hermeneutika
Otoritatif sebagai metode penafsirannya.
Persamaan tesis ini dengan penelitian penulis yaitu menganalisa
QS.An-Nisa ayat 4 dan 20 namun penulis menggunakan metode
komparatif tafsir sedangkan tesis ini menggunakan metode
hermeneutika otoritatif.
5. Tesis yang disusun oleh Aris Nur Qadar Ar Razak jurusan Hukum
Keluarga di Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, yang berjudul
“Praktek Mahar dalam Perkawinan Adat Muna (Studi di Kabupaten
Muna, Sulawesi Tenggara) tahun 2015.
Dalam tesis ini menjelaskan adat atau tradisi Muna dalam
pemberian mahar, serta mengungkap respon masyarakat terhadap
tradisi mahar tersebut.
11
Tesis ini sangat berkontribusi bagi penulis, dengan adanya tesis
ini penulis dapat mengetahui bagaimana penerapan dan praktek
mahar dalam pernikahan adat Muna. Adapun perbedaan tesis ini
dengan skripsi penulis yaitu skripsi penulis lebih membahas mahar
dengan studi komparatif tafsir nusantara.
6. Jurnal oleh Noryamin Ainitentang “Tradisi Mahar di ranah Lokalitas
Umat Islam (Mahar dan Struktur sosial di Masyarakat Muslim di
Indonesia” tahun 2014.
Dalam jurnal ini, menjelaskan secara detail bagaimana praktek
hukum mahar dari waktu ke waktu dengan fenomena yang terjadi
disejumlah daerah di Indonesia.
Sejauh ini, penulis belum menemukan karya skripsi yang
berkaitan dengan judul yang akan penulis angkat, sehingga penulis
tertarik untuk membahas tema MAHAR DAN UANG PANAI’
MENURUT TAFSIR AL-MISBAH (STUDI KRITIS TERHADAP ADAT
PERNIKAHAN MASYARAKAT SUKU BUGIS)
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metodologi merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari
sebuah penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan
penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang
berusaha mendapatkan dan mengelolah data-data kepustakaan untuk
mendapatkan jawaban dan pengetahuan dari masalah pokok yang
diajukan.
12
2. Sumber Data
Tehnik penulisan yang digunakan adalah Library Research,
maka dibutuhkan pengumpulan data secara literature, yaitu
penggalian bahan pustaka yang sesuai dan berhubungan dengan
objek pembahasan. Adapun sumber data yang digunakan ada dua
yaitu:
a. Sumber data Primer, yaitu bersumber dari kitab pokok kajian
dari penelitian ini, yakin kitab Tafsir Al-Misbah karya M.
Quraish Shihab.
b. Sumber Sekunder, yaitu sumber pendukung yang dapat
dijadikan rujukan dalam penelitian, yaitu buku yang membahas
tentang sesuatu yang berkaitan dengan mahar, seperti, Tafsir al-
Qurthubi karya Imam al-Qurthubi, Tafsir ath-Thobari karya Ibn
Jarir Ath-Thobari, Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah
Zuhaili, Tafsir Nurul Qur`an karya Syaikh Kamal Faqih Al-
Imani, Fiqih Islam karya H. Sulaiman Rajid, Fikih empat
Mazhab Fiqih Munakahat karya M. Zaenal Arifin dan Muh.
Anshori, dan karya-karya ulama dari abad klasik hingga
kontemporer, meskipun pada dasarnya tidak membahas tentang
tema ini akan tetapi mempunyai andil dan kontribusi dalam
melancarkan penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan data
Tehnik pengumpulan data adalah cara yang dipakai untuk
mengumpulkan informasi atau fakta-fakta. Sesuai dengan metode
yang digunakan, yaitu dengan Library Research, maka tehnik
pengumpulan data yang dipakai adalah tehnik dokumentatif yakni
dengan mengumpulkan data dari hasil membaca (baik berupa buku
13
majalah dan lain-lain) menelaah buku dan literatur yang terkait
dengan judul tersebut.
4. Metode Analisis Data
Metode15
yang dipakai untuk menganalisis data dalam
penelitian ini adalah metode anaisis komparatif (analytical-
comparative method), yaitu mencoba mendeskripsikan gambaran
umum mengenai Mahar dalam kitab tafsir, kemudian dianalisis
secara kritis, serta mencari persamaan dan perbedaan, kelebihan dan
kekurangan dari kedua tafsir yang dikomparasikan tersebut.
Metode ini bukan hanya membandingkan saja, tetapi
menjelaskan persamaan, perbedaan, dan titik temu antar kedua tafsir
yang dikomparasikan baik dari segi metodologi maupun
pemikirannya.
G. Tekhnik dan Sistematika Penulisan
Secara tehnik, proposal ini mengacu pada buku pedoman penulisan
skripsi, tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh IIQ Press, Institut Ilmu
Al-Qur`an Jakarta, tahun 2017. Sistematika pembahasan disusun guna
memudahkan dan memberikan kerangka sederhana keseluruhan isi dari
penelitian ini, sehingga alurnya jelas, tidak melebar dan sistematis.
Adapun susunan sistematika pembahasan adalah sebagai berikut.
Bab satu, merupakan uraian tentang latar belakang yakni sebagai
pengantar munculnya masalah penelitian yang dideduksi dari suatu
pemikiran, identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang meliputi
metode pengumpulan data, sumber data, metode analisis data,
sistematika penulisan dan outline.
15
Metode adalah suatu cara yang ditempuh untuk mengerjakan sesuatu, agar sampai
pada satu tujuan. Lihat kamus Qxford Advanced Leaners Dictionary of Current English, h.
553
14
Bab dua, membahas mengenai definisi mahar, dasar hukum mahar,
syarat-syarat mahar, macam-macam mahar dan jumlahnya, ukuran
mahar, dan tujuan dan hikmah mahar,
Bab tiga, berisi tentang pengenalan adat pernikahan suku bugis yang
meliputi garis besar Suku Bugis, Adat pernikahan Suku Bugis, dan
pengertian Uang Panai‟
Bab empat, berisi tentang Uang Panai‟ dalam adat pernikahan Suku
Bugis dan Penafsiran Ayat Mahar dalam Tafsir Al-Misbah yang meliputi
Filosofi Uang Panai‟ dalam adat pernikahan, penafsiran ayat mahar, dan
analisis penulis.
Bab lima, merupakan akhir dalam pembahasan ini, yaitu berupa
kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dan peneliti yang telah
dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang dibutuhkan.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR
A. Pengertian Mahar
Secara bahasa mahar ( المهر ) merupakan mufrad (tunggal) dari
jamaknya yakni muuhurun ( مهور ) atau disebut juga ash-shidaaqu
داق) .yang berarti maskawin ( الص1 Menurut istilah, mahar berarti harta
atau kekayaan yang harus diberikan oleh seorang pria kepada wanita
yang akan dinikahinya melalui akad nikah yang resmi.2
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mahar adalah pemberian
berupa mas, uang, dan sebagainya dari mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita pada waktu nikah.3 Pengertian yang sama dijumpai
dalam Ensiklopedia Hukum Islam, mahar adalah pemberian wajib
berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki pada mempelai
perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar merupakan salah
satu unsur penting dalam proses pernikahan.4
Menurut Kompilasi Hukum Islam, Mahar adalah pemberian dari
calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam.5
1Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir:Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresip, 1997), h. 1363 2Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan,terj. Az-Zawaj wa al-
`Aalaqaat al-Jinsiyyah fi al-IslamolehGazi Said (Jakarta: Almahira, 2008) Cet ke-2. h, 103 3Departemen Pendidikan Nasional , Kamus Bahasa Indonesia(Jakarta: Kamus Bahasa
Pusat, 2008) , h. 895 4M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 38
5 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 1 huruf d tentang Ketentuan Hukum
Perkawinan
16
Imam Syafi‟i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat
menguasai seluruh anggota badannya.6
Buya Hamka, dalam Tafsirnya Al-Azhar menjelaskan bahwa
Mahar adalah harta yang diberikan kepada calon istri ketika akan
menikah. Mahar laksana cap atau stempel bahwa nikah itu telah
dimateraikan.7
Menurut al-Allamah Kamal Faqh Imani, dalam tafsirnya Nurul
Qur`an, mahar adalah pemberian laki-laki kepada perempuan, tetapi
bukan harga dari wanita itu, akan tetapi mahar merupakan dukungan
finansial kepada perempuan ketika mungkin terjadi perpisahan dan
sebagai kompensasi penderitaan yang dia alami.8
Ulama berpendapat bahwa mahar berarti harga yang harus dibayar
atas kenikmatan yang diperoleh dari tubuh seorang wanita. Tetapi
Imam Muhammad Abduh menolak pendapat mereka dengan alasan
bahwa pendapat tersebut tidak didasarkan atas pemahaman yang benar
terhadap ajaran islam. Muhammad Abduh berkata, “Sesungguhnya
hubungan antara pria dan wanita lebih tinggi dan terhormat dibanding
hubungan antara seorang pria dengan kudanya atau pria dengan
budaknya.9
Islam mewajibkan seorang laki-laki membayar mahar kepada
istrinya sesuai kemampuannya atau sesuai tradisi yang berlaku. Mahar
adalah salah satu rukun nikah, apabila ia tidak disebut mahar untuk
istri, maka akad nikah tetap sah dan suami wajib membayar mahar
6Lihat Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „ala Madzahib al-Arba‟ah, juz 4, h. 94
7Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,,Al-Azhar Juz I-II (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983) h. 332 8Kamal Faqih Imani dkk,Nurul Qur`an terj. Nurul Qur`an oleh Anna Farida (Jakarta:
Al-Huda, 2003) Cet. ke-1 h. 459 9Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan, h. 103
17
mitsil untuk istrinya. Menurut ajaran islam, mahar yang belum dibayar
adalah hutang yang pembayarannya harus diprioritaskan dengan hutang
lainnya.10
Berdasarkan keterangan diatas, dapat ditetapkan definisi mahar
ialah: pemberian yang wajib diberikan dan dinyatakan oleh calon suami
kepada calon istrinya di dalam shighat aqad nikah yang merupakan
tanda hidup sebagai suami istri .11
B. Dasar Hukum Mahar
Mahar ini memiliki makna yang cukup dalam, hikmah di
disyariatkannya mahar ini menjadi pertanda tersendiri bahwa seorang
wanita memang harus dihormati dan dimuliakan. Oleh karena itu,
pemberian mahar juga harus dengan ikhlas dan tulus serta benar-benar
diniatkan untuk memuliakan seorang wanita12
Menurut Ibnu Rusyd, bahwa membayar Mahar menurut
kesepakatan para Ulama, hukumnya adalah wajib dan merupakan salah
satu syarat sahnya pernikahan.Hal ini berdasarkan kepada firman Allah
swt dalam QS. An-Nisa‟ (4): 4
ن فساوآتوا منو شيء عن لكم طب فإن نلة صدقاتن النساء
فكلوهىنيئامريئا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu maskawin itu dengan senang hati,
10
Fuad Shalih, Untukmu yang akan menikah dan yang telah menikah (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar 2006) Cet. ke- 1 h. 112 11
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1974) Cet ke-1 h. 78 12
Abdullah Istiqomah, “Mahar Pernikahan yang baik dalam Islam seperti sabda
Rasulullah saw” Artikel, 25 Januari 2017.
18
maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya”13
Ayat diatas menjelaskan bahwa lelaki saat hendak meminang
seorang wanita wajib memberikan maskawin (mahar) dengan
kesepakatan kedua pihak sesuai tuntunan islam. Pemberian ini wajib
atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, dan apabila tidak
disebutkan waktu akad, pernikahan itu pun sah.14
Islam sendiri tidak
mempersulit jalannya pernikahan maka dari itu, hikmah diadakan nya
mahar yaitu untuk menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat seorang wanita.
Dalam Hadis disebutkan:
بن سهل عن حازم، أب عن سفيان، عن وكيع، ث نا حد يي، ث نا حد
عليووسلمقاللرجل:سعد،أن صلىالله من»النب ت زوجولوبات
15«حديد
Kami telah mendengar dari Yahya, dari Waqi‟ dari Sufyan, dari
Ayahnya Hatim, dari Sahl bin Sa‟id bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin
dari besi.” (HR. Bukhari)
Dalam ayat lain juga disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 24:
13
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2007) , Cet ke-2 h. 33 14
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017), Cet. ke-80,
h. 393 15
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahih Bukhori (Beirut: Dar el
Fikri, 2006), jilid 7 halm: 20hadis nomor 5150
19
عليكم الل كتاب أيانكم ملكت ما إل النساء من والمحصنات
أن ذلكم وراء ما لكم مسافحينوأحل ر غي مصنين بموالكم ت غوا ت ب
فريضةولجناحعليكمفيما أجورىن فآتوىن هن فمااستمت عتمبومن
كانعليماحكيما الل تمبومنب عدالفريضةإن ت راضي
“Dan (diharamkan) juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan
hukum itu)sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka istri-istri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
mereka maharnya (dengan sempurna),sebagai suatu kewajiban;
dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”16
Ulama berpendapat bahwa mahar berarti harga yang harus dibayar
atas kenikmatan yang diperoleh dari tubuh seorang wanita. Tetapi
Imam Muhammad Abduh menolak pendapat mereka dengan alasan
bahwa pendapat tersebut tidak didasarkan atas pemahaman yang benar
terhadap ajaran islam. Muhammad Abduh berkata, “Sesungguhnya
hubungan antara pria dan wanita lebih tinggi dan terhormat disbanding
hubungan antara seorang pria dengan kudanya atau pria dengan
budaknya.17
Menurut al-Qur`an, as-Sunnah, dan Ijma‟ ulama, mahar merupakan
suatu hal yang wajib seperti dalam QS.An-Nisa ayat 4. Dalam sebuah
16
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2016), Cet. ke-12,
h. 48 17
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan,terj. Az-Zawaj wa al-
`Aalaqaat al-Jinsiyyah fi al-Islamoleh Gazi Said h. 103
20
hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah membiarkan
suatu pernikahan tanpa adanya mahar. Seandainya mahar tidak wajib,
pasti suatu saat nabi saw akan membiarkan pernikahan tanpa mahar
untuk menunjukkan ketidakwajibannya tersebut.18
C. Syarat-syarat Mahar
Sebelum memberikan mahar, terlebih dahulu kita harus
memperhatikan apa saja syarat-syarat mahar agar bisa ditunaikan,
seperti dalam hadits tersebut:
ث ناوكيع،ح ث ناابنني،حد ث ناىشيم،حوحد ث ناييبنأيوب،حد حدخالد أبو ث نا حد بة، شي أب بن بكر أبو ث نا دوحد مم ث نا وحد ح الحر،
ث ناييوىوالقطان،عنعبدالميدبنجعفر،عنيزيد ،حد بنالمث ن،عنعقبةبنعامر،قال:قال بنأبحبيب،عنمرثدبنعبداللهالي زن
رس وسلم: عليو الله صلى الله ما»ول بو، يوف أن رط الش أحق إنالفروج بو «استحللتم أن ر غي ، المث ن وابن بكر، أب حديث لفظ ىذا ،
قال: روط»ابنالمث ن «الش“Yahya bin Ayub menyampaikan kepada kami dari Husyaim, dalam
sanad lain, Ibnu Numair menyampaikan kepadaku dari Waki‟ dalam
sanad lain, Abu Bakar bin Abu Syaibah menyampaikan kepada kami
dari Abu Khalid al-Ahmar, dalam sanad lain, Muhammad bin al-
Mutsanna menyampaikan kepada kami dari Yahya al-Qathan, dari
Abdul Hamid bin Ja‟far, dari Yazid bin Abu Habib, dari Martsad bin
Abdullah al-Yazani bahwa Uqbah bin Amir mengatakan, “Rasulullah
saw. bersabda, „Sesungguhnya syarat yang lebih berhak dipenuhi
adalah apa yang kalian gunakan untuk menghalalkan kemaluan
(pernikahan).”
18
Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan,terj. Az-Zawaj wa al-
`Aalaqaat al-Jinsiyyah fi al-Islamoleh Gazi Said h. 103-104
21
Ini adalah lafaz hadits Abu Bakar dan Ibnu al-Mutsanna. Namun, Ibnu
al-Mutsanna mengatakan dalam riwayatnya, “Syarat-syarat”.19
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
1. Harta atau bendanya berharga. Tidak sah suatu mahar apabila
dengan harta atau benda yang tidak berharga, walaupun tidak ada
ketentuannya (banyak atau sedikit). Tetapi apabila mahar sdikit
namun bernilai maka tetap sah nikahnya.
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Contohnya seperti
khamr, babi, darah dan bangkai, karena itu tidak mempunya nilai
menurut pandangan syariat Islam. Itu adalah haram dan tidak
berharga.
3. Mahar bukan barang ghosob. Ghosob artinya meengambil barang
milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk
memilikinya karena akan dikembalkan kelak. Memberikan mahar
dengan barang hasil ghosob tidak sah. Harus diganti dengan mahar
mitsil, tetapi akad nikahnya tetap tidak sah.
4. Mahar itu tidak boleh beupa sesuatu yang tidak diketahui bentuk,
jenis, dan sifatnya.20
Boleh memberikan mahar itu tidak harus dengan emas dan
perak. Boleh selain itu, yang penting tidak barang atau sesuatu
yang haram atau najis.
Pendapat para Imam Madzhab terkait masalah-masalah yang
berhubungan dengan mahar; ada beberapa pandangan hukum:
19
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits, Shahih
Muslim (Jakarta: Almahira, 2012) cet. 1 jilid 1 halm: 1035 20
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta; Prenada Media, 2003) h, 87-88
22
1. Pendapat Madzhab Maliki:
Apabila seseorang memakai mahar sesuatu yang haram atau najis,
seperti khomer atau babi atau yang lain, maka akadnya fasid atau
rusak.
2. Pendapat Madzhab Maliki:
“Apabila mahar itu berasal dari barang yang dighosob yang belum
dimiliki, kalau si suami tau akan hal itu. Maka akadnya fasid atau
rusak. Rusak sebelum dukhul. Kalau si istri itu tidak tau bahwa
mahar tersebut dari hasil ghosob, hanya suaminya saja yang tau
akan hal tersebut, maka nikahnya sah.
3. Pendapat Madzhab Syafi‟i :
“Sah hukumnya, mahar itu diberikan dari sesuatu yang bernilai
manfaat”. Seperti: seseorang yang membeli suatu rumah dengan
mengambil manfaat dari tanahnya untuk tanaman dalam satu masa
yang ditentukan, maka sah dengan menjadikan atau mengambil
azas manfaat dijadikan mahar atau maskawin. Setiap sesuatu yang
mempunyai nilai harga atau manfaat maka sah atau boleh dijadikan
mahar.
4. Pendapat Madzhab Hanbali:
“Sah hukumnya, mahar yang diambilkan atau diberikan dari
sesuatu yang bernilai beberapa manfaat”. Seperti seseorang yang
menanam suatu tanaman disuatu tanah yang dimilikinya, dengan
syarat ada manfaat yang jelas didapat dan diketahuinya.
23
D. Macam-Macam Mahar dan Jumlahnya
Mahar dapat dilihat dari dua sisi, kualifikasi dan klasifikasi
mahar. Dari sisi kualifikasi, mahar dapat dibagi dua, yaitu;
1. Mahar yang berasal dari benda-benda yang konkret seperti dinar,
dirham, atau emas.
2. Mahar dalam bentuk atau jasa seperti mengajarkan membaca Al-
Qur`an, bernyanyi, dan sebagainya.21
Mahar itu bisa tidak sah, kemungkinan karena barangnya itu
sendiri dan kemunginan karena sifat yang ada padanya seperti tidak
diketahui atau tidak bisa diterima.Yang tidak sah karena barangnya
itu sendiri seeperti Khamr, babi dan sesuatu yang tidak boleh
dimiliki.Dan yang tidak sah karena tidak bisa diterima dan tidak
diketahui, pada dasarnya diqiyaskan dengan jual beli.22
Dilihat dari segi klasifikasi, mahar dibagi menjadi dua macam;
1. Mahar Musamma
a. Mahar Musamma
Yang dimaksud dengan mahar musamma ialah mahar
yang telah ditetapkan jumlahnya dalam shighat akad.23
Maksudnya besar tidaknya suatu mahar tergantung pada
kesepakatan kedua belah pihak dan dibayarkan secara tunai
atau ditangguhkan atas persetujuan calon istri24
mahar
musamma terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Mahar Mu‟ajjal yaitu mahar yang segera diberikan
kepada istrinya
21
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 49 22
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,h. 51 23
Muhammad Luqman Hakim, “Konsep Mahar dalam Al-Quran dan Relevansinya
dengan Kompilasi Hukum, h. 28 24
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 49
24
2) Mahar Mu-ajjal yaitu mahar yang ditangguhkan
pemberiannya kepada istri25
Wajib membayar “Mahar Musamma” apabila:
1) Telah terjadi Dukhul antara suami istri, firman Allah
swt:
قنطاراوإن تمإحداىن وآت ي زوج مكان زوج أردتاستبدال
ئاأتخذونوب هتانوإثامبينا فلتخذوامنوشي “ Dan jika kamu ingin menggantikan istrimu dengan
istri yang lain sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang diantara mereka dengan harta
yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa
yang nyata?”.(QS. An-Nisaa‟: 20)26
2) Apabila salah seorang dari suami atau istri meninggal
dunia, hal ini disepakati para ulama:
a) Menurut Imam Abu Hanifah, apabila telah terjadi
khalwat, maka wajib suami membayar mahar.
b) Imam Syafi‟i berpendapat, terjadinya khalwat tidak
menyebabkan wajib membayar mahar.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila
suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya
rusak dengan sebab-sebab tertentu, akan tetapi, kalau istri
dicerai sebelum bercampur, hanya wajib setengahnya,
berdasarkan firman Allah SWT:27
25
26
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 85 27
M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 93
25
و لن ف رضتم وقد وىن تس أن ق بل من طلقتموىن إن
أني عفونأوي عفوا لذيفريضةفنصفماف رضتمإل
قوىولت نسوا ربللت بيدهعقدةالنكاحوأنت عفواأق
بات عملونبصي الل نكمإن الفضلب ي “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum
bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya
kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah
seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali
jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh
orang yang aka dada ditangannya, pembebasan itu
lebih dekat dengan takwa.Dan janganlah kamu lupa
kebaikan diantara kamu.Sungguh Allah maha melihat
apa ang kamu kerjakan.”
2. Mahar Mitsil28
a. Mahar Mitsil
Yang dimaksud dengan mahar mitsil adalah mahar yang
jumlahnya tidak disebutkan secara eksplisit pada waktu akad.
Biasanya jenis mahar ini mengikut kepada mahar yang yang
pernah diberikan kepada keluarga istri seperti adik atau
kakaknya yang telah terlebih dahulu menikah.29
Bila terjadi demikian (mahar itu tidak disebut besar
kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan),
maka mahar itu mengikuti maharnya saudara pengantin
28
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 84 29
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 49
26
wanita. Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan
ukuran wanita lain yang sederajat dengannya.30
Mahar mitsiljuga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
1) Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika
berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur
dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2) Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami
telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya tidak
sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetepkan
maharnya disebt nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama
dibolehkan, seperti firman Allah SWT:31
أو وىن تس ل ما النساء طلقتم إن عليكم جناح ل
فريضةومتع علىالموسعقدرهوعلىت فرضوالن وىن
قدرهمتاعابلمعروفحقاعلىالمحسنين المقت
“Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika
kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum mereka
menentukan maharnya, dan hendaklah kamu
memberikan mut‟ah32
, bagi yang mampu menurut
kemampuannya dan bagi yang tidak mampu
menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan
cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan”
30
M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 94 31
M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 94 32
Ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya sebagai
penghibur, selain nafkah sesuai dengan kemampuannya.
27
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh
mnceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga
ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam
hal ini, istri berhak menerima mahar mitsil.33
Mahalnya maskawin menjadi sauatu beban dalam bidang materi,
yang akan membuat seseorang enggan untuk melangsungkan
perkawinan, pikirannya menjadi kacau dan tidak mustahil ia akan
membatalkan pernikahan karena tidak sanggup membayar maskawin
yang terlampau mahal. Adapun sebab-sebab Mahalnya maskawin
yaitu:
1. Kehendak calon suami yang suka memamerkan kekayaan, serta
keinginan yang berlebihan untuk memberi kepuasan kepada orang
tua wanita.
2. Tidak mengertian keluarga tentang sebuah makna sebuah
perkawinan dan tujuannya yang sangat mulia.
3. Berubahnya pandangan tentang suami yang sekufu dan perbedaan
manusia dalam memahami masalah itu. Kebanyakan mereka
menganggap bahwa suatu perkawinan sama hal nya dengan akad
jual beli,
4. Adanya sandaran hukum kepada wanita, memperhatikan
pendapat-pendapat mereka serta memenuhi permintaan mereka.
Kecenderungan wanita sebagaimana yang kita ketahui yaitu
senang dengan kebanggaan dan kemewahan.
5. Karena sikap pasif para pemimpin tentang semua urusan manusia
sampai masalah ini menjadi masalah yang sangat serius dan
sampai kepada kita sekarang ini.34
33
M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 94-95 34
Musifin As‟ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Permasalahannya, h. 89
28
Maskawin atau mahar merupakan satu hak yang ditentukan
oleh syariah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada
calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali
kesuciannya. Maka maskawin merupakan keharusan tidak boleh
diabaikan oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan
simbol untuk menghormatinya serta membahagiakannya.
Pada umumnya maskawin itu dalam bentuk materi, baik
berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari'at Islam
memungkinkan maskawin itu dalam bentuk jasa melakukan
sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
Maskawin dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Quran
dan demikian pula dalam hadis Nabi.
Baik al-Quran maupun hadis Nabi tidak memberikan petunjuk
yang pasti dan spesifik bila yang dijadikan maskawin itu adalah
uang. Namun dalam ayat al-Quran ditemukan isyarat yang dapat
dipahami nilai maskawin itu cukup tinggi, seperti dalam firman
Allah dalam surat an-Nisa' (4) ayat 20:
زوج مكان زوج استبدال أردت فلوإن قنطارا إحداىن تم وآت ي
ئاأتخذونوب هتانوإثامبينا تخذوامنوشي
Abu Salamah berkata: saya bertanya kepada Aisyah istri Nabi
tentang berapa maskawin yang diberikan Nabi kepada istrinya.
Aisyah berkata: "Maskawin Nabi untuk istrinya sebanyak 12
uqiyah dan satu nasy, tahukah kamu berapa satu nasy itu" saya
jawab: Tidak". Aisyah berkata: "nasy itu adalah setengah uqiyah.
Jadinya sebanyak 500 dirham. Inilah banyaknya maskawin Nabi
untuk istrinya".
Angka tersebut cukup besar nilainya, karena nisab zakat untuk
perak hanya senilai 200 dirham. Meskipun demikian, ditemukan
pula hadis Nabi yang maskawin hanya sepasang sandal,
29
sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi dari Abd Allah bin
'Amir menurut riwayat al-Tirmizi yang bunyinya: "Nabi Saw
membolehkan menikahi perempuan dengan maskawin sepasang
sandal.
Dengan tidak adanya penunjuk yang pasti tentang maskawin,
ulama memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan
bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah maskawin.
Batas minimal mahar terdapat beda pendapat di kalangan
ulama. Ulama Hanafiyah menetapkan batas minimal maskawin
sebanyak 10 dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai
dan oleh karenanya diwajibkan maskawin mitsl, dengan
pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang
mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa batas minimal maskawin adalah 3 dirham
perak atau seperempat dinar emas. Dalil bagi mereka juga adalah
bandingan dari batas minimal harta yang dicuri yang
mewajibkan had. Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah
tidak memberi batas minimal dengan arti apa pun yang bernilai
dapat dijadikan maskawin
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan mahar
menurut Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
Pasal 35
1) Suami yang telah mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib
membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad
nikah.
2) Apabila suami meninggal qabla al-dukhul, seluruh mahar yang
ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
3) Apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul, tetapi besarnya mahar
belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
30
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat
diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya, atau
dengan barang lain yang sama nilainya, atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang hilang
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar
yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang,
tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa
syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami
harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama
penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum
dibayar.35
Mengenai jumlah maskawin atau mahar, tidak ada batas yang
ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Khalifah Umar bin Khattab
sekali waktu pernah merencanakan ketetapan batas jumlah tersebut.
Memepelajari hal ini, seorang wanita datang kepada beliau dengan
membacakan Al-Qur`an: “(jika) kamu telah memberikan harta yang
banyak kepada seorang diantara mereka, maka janganlah kamu
mengambilnya kembali dari padanya barang sedikitnya.” (QS. An-
Nisa: 20) mendengar ayat ini Umar berkata, “Wanita ini benar, laki-
laki salah.” Tidak ada batas jumlah mahar/maskawin yang
diterapkan.Namun, hadits tidak menentukan mahar diluar kehendak
suami. Nasihat yang diberikan Nabi saw dalam hal ini adalah:
35
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 35-38 tentang Ketentuan Mahar, h. 5
31
“Hendaklah laki-laki berbaik hati dengan wanita, jangan dibatasi
ketentuan mahar.”36
Abu Umar mengawini seoranng wanita dengan maskawin dua
ratus keping perak. Nabi saw berkata: “Bahkan jika kamu mnemukan
kepingan-kepingan perak disepanjang aliran sungai, kamu tidak harus
menetapkan maskawin lebih mahal daripada itu.”37
Para Ulama Mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal
dalam mahar tersebut.Besar tidaknya suatu mahar tergantung pada
tradisi yang berlaku.Apa saja yang disebut harta dan bernilai bagi
orang adalah sah untuk dijadikan mahar. Dengan demikian, mahar itu
bisa berupa emas, perak, barang tetap seperti tanah, pertanian, atau
tanah yang dapat dibangun rumah atau gedung diatasnya.Semua itu
sah untuk dijadikan mahar.38
E. Ukuran Mahar
Ibnu Rusyd dan para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan
tentang maksimalnya. Dan mereka bebeda pendapat tentang
minimalnya:
1. Syafi‟i, Ahmad, Ishaq Abu Tsaur dan para fuqaha Madinah dari
kalangan tabi‟in berpendapat bahwa tidak ada batas tentang
minimalnya. Semua yang bisa menjadi harga dan nilai bagi sesuatu
boleh menjadi mahar, pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibnu
Wahb yang termasuk pengikut Imam Malik.
2. Sekelompok ulama yang menyatakan wajibnya menentukan batas
minimalnya dan mereka berselisih dalam penentuannya, yang
masyhur dalam hal ini ada dua madzhab; Pertama Madzhab Malik
36
Abul A‟la Maududi, Kawin dan Cerai menurut Islam,(Jakarta: Gema Insani Press,
1995) Cet ke-6h. 92-93 37
Abul A‟la Maududi, Kawin dan Cerai menurut Islam, h. 93 38
Abul A‟la Maududi, Kawin dan Cerai menurut Islam,h. 105
32
dan para pengikutnya dan Kedua, Madzhab Abu Hanifah dan para
pengikutnya.
Imam Malik berkata, “Minimalnya seperempat dinar berupa emas
atau tiga dirham berupa perak atau yang senilai dengan tiga dirham
(maksudnya dirham sebagai takaran saja, menurut riwayat yang
terkenal), dan dikatakan atau yang senilai dengan salah satu dari
keduanya.
Sedangkan Abu Hanifah berkata, “Minimalnya sepuluh dirham.
Dikatakan, lima dirham dan dikatakan empat dirham.39
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang
berkenaan dengan ukuran Maskawin.
ث حد د، مم بن العزيز عبد أخب رن إب راىيم، بن إسحاق ث نا نحد
أب بن د مم ثن وحد ح الاد، بن أسامة بن الله عبد بن يزيد
د ث ناعبدالعزيز،عنيزيد،عنمم ،واللفظلو،حد عمرالمكي
الرحن، عبد بن سلمة أب عن إب راىيم، سألتبن قال: أنو
كانصداقرسولالله كم صلىاللهعليووسلم: عائشةزوجالنب
قالت: وسلم؟ عليو الله عشرة»صلى ت ثن لزواجو صداقو كان
ا ؟أتدريماا»،قالت:«أوقيةونش قال:ق لت:ل،قالت:«لنش
39
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,h. 33-34
33
الله» رسول صداق ف هذا درىم، خسمائة فتلك أوقية، نصف
«صلىاللهعليووسلملزواجو
Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman: saya pernah
bertanya kepada „Aisyah, istri Nabi saw, “berapakah Maskawin
Rasulullah saw?” Dia menjawab, ”Maskawin yang diberikan
kepada istri-istri beliau sebanyak dua belas Uqiyah dan Satu
Nasy. Taukah kamu berapakah satu Nasy itu? “tidak”, kata
saya. “Separuh Uqiyah sehingga jumlahnya mencapai lima
ratus dirham,” kata „Aisyah. Itulah maskawin Rasulullah saw
yang diberikan kepada istri-istrinya.40
F. Mahar Nabi dan Sahabat kepada isterinya.
1. Mahar sahabat kepada istrinya
Islam tidak menentukan jumlah minimal atau maksimal dalam
mahar sebuah pernikahan. boleh jadi mahar tersebut berupa
seperangkat alat salat, uang tunai, atau sebuah mobil lengkapm
dengan surat lunasnya. Bentuk mahar tersebut sesuai kesepakatan
antara kedua belah pihak, yaitu perempuan dan lelakinya. Namun
ternyata sudah pernah terjadi pada zaman Rasulullah yang
menggunakan bahan ini sehingga pernikahan berlangsung dengan
mahar unik. Yuk kita simak, siapa tahu bisa menginspirasi untuk
mahar pernikahan kerabat atau diri sendiri. Tiga mahar unik tersebut
tidak dilarang oleh Rasulullah, atau bahkan memang Rasulullah yang
menyuruhnya.
40
Zaki Al-Din „Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim terj.
Mukhtashar Shahih Muslim oleh Syinqithy Djamaluddin dan Mochtar Zoreni, (Bandung:
Mizan, 2009) Cet ke-2 h. 439
34
Islam sangat memudahkan mahar seseorang yang ingin
melangsungkan pernikahannya. Sebagaiman contoh unik seorang
„Ali radhiyallah „anhu memberikan mahar nikahnya berupa baju
besi kepada Fatimah radhiyallah „anha . Diceritakan dalam hadis
sebagai berikut:
الله رضى فاطمة عنو الله رضى على ت زوج ا لم قال عباس ابن عن الل رسول لو قال قال-صلى الله عليه وسلم-عنها عندى. ما قال . ئا شي أعطها
الطميةفأيندرعك
Dari Ibnu Abbas bahwasanya ketika Ali radhiyallahu „anhu
menikahi Fatimah radhiyallahu „anha, Rasulullah shallallahu
„alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berikanlah ia (mahar)
sesuatu”. Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa pun” Lalu
Rasulullah bersabda, “Berikanlah baju besimu”
Selanjutnya ada mahar unik berupa sepasang sandal.
Perempuan yang menerima mahar tersebut datang dari Bani
Fazarah. Ketika ditanya perihal mahar tersebut oleh Rasulullah, ia
menjawab “saya ridha”. Subhanallah wanita tersebut benar
mengamalkan dan membenarkan jika Islam memudahkan dalam
perihal mahar pernikahan. Hadis tersebut menceritakan,
ت زوج ف زارة بن من امرأة أن ربيعة بن عامر عن ن علين على ت الل رسول .-صلى الله عليه وسلم-ف قال بن علين ومالك ن فسك من أرضيت
قالتن عم.قالفأجازه
Dari Amir bin Rabi‟ah bahwasanya ada perempuan dari Bani
Faza‟ah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. Maka
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bertanya kepadanya,
“Apakah engkau meridhakan dirimu dan apa yang kau miliki
35
dengan sepasang sandal?” perempuan tersebut menjawab, “ya”
Rasulullah pun membolehkannya.
Dan yang ketiga, adalah cincin besi. Barang tersebut termasuk
unik jika dijadikan mahar sebuah pernikahan. Rasulullah
mempermudah sahabatnya yang tidak memiliki harta. Jika ia
hanya memiliki cincin besi dan calon istrinya ridha, maka
pernikahan pun terjadi di masanya. Sekali lagi, Rasulullah
menegaskan bahwa cincin besi boleh untuk dijadikan mahar
nikah, dengan sabda Nya,
أعطهاولوخاتامنحديد
“Berikanlah kepadanya (mahar) meskipun hanya sebuah cincin
besi”
2. Mahar Nabi kepada istrinya
ثنيزيد د،حد ث ناإسحاقبنإب راىيم،أخب رنعبدالعزيزبنمم حد
عمر أب بن د مم ثن وحد ح الاد، بن أسامة بن الله عبد بن
العزيز، عبد ث نا حد لو، واللفظ ، بنالمكي د مم عن يزيد، عن
إب راىيم،عنأبسلمةبنعبدالرحن،أنوقال:سألتعائشةزوج
كانصداقرسولاللهصلىاللهعليو كم صلىاللهعليووسلم: النب
36
قالت: اك»وسلم؟ ونش أوقية عشرة ت ثن لزواجو صداقو ،«ان
؟»قالت: النش ما أتدري » قالت: ل، ق لت: أوقية،»قال: نصف
فتلكخسمائةدرىم،ف هذاصداقرسولاللهصلىاللهعليووسلم
«جولزوا
“Saya pernah bertanya kepada „Aisyah, istri Nabi Shallallahu
„Alaihi wa Sallam; “Berapakah mahar Rasulullah Shallallahu
„Alaihi wa Sallam?” Dia menjawab; “Mahar beliau terhadap para
istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu,
berapakah satu nasy itu?” Abu Salamah berkata; Saya menjawab;
“Tidak.” „Aisyah berkata; “Setengah uqiyah, jumlahnya sama
dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah
Shallallahu „Alaihi wa Sallam untuk masing-masing istri beliau.””
(HR. Muslim)41
Hadits ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu
„Alaihi wa Sallam memberikan mahar kepada istrinya itu tidak
lebih daripada 500 dirham atau 12 uqiyah plus 1 nasy.
1 uqiyah = 40 dirham. Sedangkan 1 nasy = 0,5 uqiyah = 20 dirham.
Mahar Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam adalah 12 uqiyah + 1
nasy = 500 dirham.
1 dirham = 2,975 gram perak. Maka 500 dirham x 2,975 gram
perak = 1487,5 gram
1 dirham = Rp. 13.000,-
41
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits, Shahih
Muslim (Jakarta: Almahira, 2012) cet. 1 jilid 1 halm: 453
37
Berarti jumlah mahar Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam
adalah 1487,5 gram x Rp. 13.000,- = Rp. 19.337.500,- (Sesuai
harga perak murni saat ini). Inilah maharnya Rasulullah
Shallallahu „Alaihi wa Sallam dan itulah juga maharnya anak-anak
perempuan Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam.
Sejauh ini mahar selalu diidentikan dengan uang, emas
ataupun barang lain yang bersifat duniawi. Akan tetapi sebenarnya,
mahar tidak harus selalu identik dengan uang, emas, seperangkat
alat shalat, Al-Quran, rumah, atau berbagai barang duniawi
lainnya.
Mahar juga bisa sesuatu yang bersifat akhirati seperti
keimanan, seperti yagn telah diceritakan dalam sejarah, mahar
seperti yang pernah di minta Ummu Sulaim pada Abu Thalhah,
dapat juga berupa ilmu ataupun hafalan Al-Quran, atau bisa juga
berupa kemerdekaan/pembebasan dari perbudakan, dan bisa
dengan apa saja yang bisa diambil upahnya/manfaatnya, seperti
yang dijelaskan dalam QS. Al-Qashash ayat 27.42
ثان تجرن أن على ىات ين اب ن ت إحدى أنكحك أن أريد إن قال
عليكستجدنحججفإنأتمتعشرافمنعندك وماأريدأنأشق
منالصالين إنشاءاللBerkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini,
atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika
kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan)
42
http://fimadani.com/mahar-pernikahan/ diposting 25 January 2017 diakses 4
agustus 2019
38
dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu
Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik".
Kalau mahar itu dalam bentuk uang dan barang berharga, maka
Nabi SAW mengkehendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih
sederhana.
Adapun, hikmah disyariatkannya mahar yaitu
1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-
laki, bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha
untuk mendapatkan wanita sekalipun harus mengorbankan
hartanya.
2. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada
istrinya, karena maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah atau
hibah yang oleh Al-Qur`an diistilahkan dengan kata nihlah
(pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar
harga diri wanita.
3. Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga
bukanlah main-main dan perkara yang tidak bisa dipermainkan.
4. Menunjukkan keseriusan suami dalam berumah tangga yaitu
dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin
atas wanitadalam kehidupan berumah tangga, dan untuk
mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan
hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak
semena-mena terhadap istrinya.43
Dengan mahar, Islam telah mengangkat derajat seorang wanita dan
sebagai penghormatan kepadanya.
43
M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 57
40
BAB III
MENGENAL ADAT PERNIKAHAN SUKU BUGIS
A. Suku Bugis
Suku Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal
Sulawesi selatan. Ciri utama dari kelompok ini adalah bahasa dan adat-
istiadat. Bugis adalah suku yang tergolong kedalam suku-suku Melayu
Deotero1. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratan Asia tepatnya Yunan.. kata “Bugis” berasal dari kata “To
Ugi” yang berarti orang Bugis. Penamaan “Ugi” merujuk pada raja
pertama kerajaan China.yang terdapat di Pammana, kabupaten Wajo
saat ini yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi
menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka
menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang pengikut dari La
Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan
bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat sastra terbesar di
dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan
membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian
mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara dan pemerintahan
mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis antara lain Luwu, Bone,
Wajo, Soppeng, dll. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis,
tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan
1 Deutro Melayu atau Melayu Muda adalah istilah yang pernah digunakan untuk
populasi yang diperkirakan datang pada “gelombang kedua” setelah “gelombang pertama”
dari Melayu Proto. Populasi ini dkatakan datang pada Zaman Logam (kurang lebih 1500
SM). Suku Bangsa di Indonesia yang termasuk dalam Melayu Muda adalah Aceh,
Minangkabau, Jawa, Sunda, Melayu, Betawi, Manado, Bali dan Madura.
41
Makassar dan Mandar. Adapun daerah peralihan Bugis dengan
Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan.
Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas
dan Pinrang.2
Orang Bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun
tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra
lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan
antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah
satu Epos Sastra terbesar di dunia yakni La Galigo yang maskahnya
lebih panjang dari Epos Mahabharata.
Selanjutnya sejak abad ke 17 Masehi, Setelah menganut
agama islam, Orang Bugis bersama Orang Aceh dan Minangkabau
dari Sumatra, Orang Melayu di Sumatra, Dayak di Kalimantan, Orang
Sunda di Jawa Barat, Madura di Jawa Timur dicap sebagai Orang
nusantara yang paling kuat identitas Keislamannya.
Bagi suku-suku lain disekitarnya orang bugis dikenal sebagai
orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi
kehormatan. Bila perlu demi kehormatan mereka orang bugis bersedia
melakukan tindak kekerasan walaupun nyawa taruhannya. Namun
demikian dibalik sifat keras tersebut orang bugis juga dikenal sebagai
orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat
tinggi rasa kesetiakawanannya.3
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis, diposting tanggal 1 September 2019
diakses 4 September 2019 3 https://www.gurupendidikan.co.id/suku-bugis/, diposting pada tahun 2014 diakses
4 September 2019
42
B. Adat Pernikahan Suku Bugis
a. Pengertian
Perkawinan dalam Islam merupakan sarana efektif untuk
menjaga umat manusia dari kebobrokan moral, menjaga setiap
individu dari kerusakan masyarakat sebab manusia mempunyai
naluri yang cukup mencintai lawan jenisnya, dapat disalurkan
lewat pernikahan yang formal, yaitu hubungan yang halal. 6 Itulah
sebabnya Rasulullah saw. khususnya bagi kaum muda agar tidak
terbelenggu dalam jurang kenistaan sehingga ia menganjurkan
perkawinan sebagaimana terjemahan sabdanya sebagai berikut:
Thoriq Ismail, Az-Zuwajul Islami, Diterjemahkan oleh
Zainuddin Mz, Mahrous Ali dan H. Abdullah dengan judul
“Pernikahan” (Cet. I; Surabaya Pustaka Progressif, 1994), h. 14.
43 Artinya: Alqamah berkata: Ketika aku bersama Abdullah bin
Mas'uud di Mina tiba-tiba bertemu dengan Usman, lalu dipanggil:
Ya Aba Abdirrahman, saya ada hajat padamu, lalu berbisik
keduanya: Usman berkata: Ya Aba Abdirrahman, sukakah anda
saya kawinkan dengan gadis untuk mengingatkan kembali masa
mudamu dahulu. Karena Abdullah bin Mas'uud tidak berhajat
kawin maka menunjuk kepadaky dan dipanggil: Ya Alqamali,
maka aku daiang kepadanya, sedang ia berkata: Jika anda katakan
begitu maka Nabi saw. bersabda kepada kami: Hai para pemuda
siapa yang sanggup (dapat) memikul beban perkawinan maka
hendaklah kawin, dan siapa yang tidak sanggup maka hendaknya
berpuasa (menahan diri) maka itu untuk menahan syahwat dari
dosa. (Bukhari, Muslim).7 Hadis tersebut menganjurkan umatnya
melakukan suatu perkawinan apabila telah mampu. Sebagian
43
ulama mengatakan ada dua macam kemampuan, yakni
kemampuan memberi nafkah batin antara lain senggama dan
kemampuan memberi nafkah lahir antara lain nafkah rumah
tangga. Apabila seorang pemuda telah memiliki dua kemampuan
ini, maka hendaklah dia menikah. Jadi apabila uang panaik yang
cukup tinggi mengakibatkan tak terlaksanakannya perkawinan,
karena di luar kemampuan seorang laki-laki banyak yang enggan
kawin akibat terlalu tingginya uang panaik yang harus
dipersiapkan untuk melaksanakan perkawinan. Hal ini tidak sesuai
dengan hukum Islam yakni menganjurkan untuk melaksanakan
perkawinan yang tidak menyulitkan kedua belah pihak.4
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang
dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud
meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma
hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak
ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya,
maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu
kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum
agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi
pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-
tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara
yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-
istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya
bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang
melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah
4 Uang Panai dalam pandangan ekonomi islam di kecamatan kajuara kab. Bone,
skripsi oleh Nilawati
44
upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan
istri dalam ikatan perkawinan.
Untuk orang Bugis, Pernikahan tidak hanya mempersatukan
kedua mempelai tetapi merupakan persatuan dua buah keluarga
besar. Oleh karena itu, pada jaman dahulu kala, bibit bebet bobot
masih memegang peranan penting dalam melaksanakan
pernikahan untuk orang Bugis. Seringkali orang tua pihak laki-
lakilah yang mencarikan jodoh untuk anaknya. Mereka akan
mencari gadis dari keluarga yang dianggap sederajat.
Namun di jaman modern ini, telah terjadi pergeseran nilai-
nilai yang dianut di jaman dahulu kala mulai banyak bergeser.
Semua karena menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Termasuk dalam upacara adat pernikahan Bugis-Makassar.
Banyak ritual-ritual yang dulu digunakan untuk membedakan
derajat keningratan seseorang kini tidak berlaku lagi. Semua
orang bisa menggunakannya tanpa peduli silsilah keturunan dari
keluarga calon pengantin.5
b. Sejarah
Sejarah uang panai‟ itu sendiri Sebuah sumber menyebutkan
bahwa asal muasal uang panai‟ adalah karena apa yang terjadi
pada zaman penjajahan Belanda dulu. Belanda seenaknya
menikahi perempuan Bugis yang ia inginkan, setelah menikah ia
kembali menikahi perempuan lain dan meninggalkan istrinya itu
karena melihat perempuan Bugis lain yang lebih cantik daripada
istrinya. Budaya seperti itu membekas di Bugis setelah Indonesia
5https://www.kabarmakassar.com/posts/view/646/kenal-lebih-dekat-adat-
pernikahan-bugis-makassar.html diposting 13 maret 2018 diakses 4 september 2019
45
Merdeka dan menjadi doktrin bagi laki-laki sehingga mereka juga
dengan bebas menikah lalu meninggalkan perempuan yang telah
dinikahinya seenaknya. Itu membuat perempuan Bugis Makassar
seolah-olah tidak berarti.
Budaya itu berubah sejak seorang laki-laki mencoba menikahi
seorang perempuan dari keluarga bangsawan. Pihak keluarga
tentu saja menolak karena mereka beranggapan bahwa laki-laki
itu merendakan mereka karena melamar anak mereka tanpa
keseriusan sama sekali. Mereka khawatir nasib anak mereka akan
sama dengan perempuan yang lainnnya sehingga pihak keluarga
meminta bukti keseriusan pada laki-laki atas niatannnya datang
melamar. Jadi pada saat itu orangtua si gadis ini mengisyaratkan
kepada sang pemuda kalau ia ingin menikahi anak gadisnya dia
harus menyediakan mahar yang telah ditentukannya. mahar yang
diajukan sangatlah berat sang pemuda harus menyediakan
material maupun non material. hal ini dilakukannya untuk
menganggat derajat kaum wanita pada saat itu. Pergilah sang
pemuda itu mencari persyaratan yang diajukan oleh orangtua si
gadis. Bertahun-tahun merantau mencari mahar demi pujaan
hatinya ia rela melakukan apa saja asalkan apa yang dilakukannya
dapat menghasilkan tabungan untuk meminang gadis pujaannya.
setelah mencukupi persyaratan yang diajukan oleh orang tua si
gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis pujaannya dan
pada saat itu melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si
gadis merelakan anaknya menjadi milik sang pemuda tersebut.
Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah
pelajaran yakni menghargai wanita karena wanita memang
46
sangat mahal untuk disakiti apalagi sang pemuda itu
mendapatkan istrinya dari hasil jeri payahnya sendiri itulah
sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya. Jadi mahalnya mahar
gadis Bugis bukan seperti barang yang diperjual belikan, tapi
sebagai bentuk penghargaan kepada sang wanita, jadi ketika
tersirat dihati ingin bercerai dan menikah lagi maka sang pemuda
akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya karena begitu
sulitnya ia mendapatkan si gadis ini.6
Uang panai‟ atau uang belanja untuk pengantin mempelai wanita
yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku Bugis-
Makassar di Sulawesi Selatan. Uang panai ini sejak dulu berlaku
sebagai mahar jika pria ingin melamar wanita idamannya hingga
sekarang. Namun, uang panai ini biasanya menjadi beban bagi pria
untuk melamar wanita idamannya. Pasalnya, nilai uang panai sebagai
syarat adat untuk membiayai pesta perkawinan untuk pengantin wanita
tidaklah sedikit. Nilainya bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.7
c. Besaran
Uang panai‟ yang menjadi salah satu tradisi saat hendak
melangsungkan pernikahan sangat ditakuti oleh pasangan kekasih.
Pasalnya, uang panai dinilai memberatkan dengan besarannya
ditentukan oleh status sosial seorang wanita yang hendak dilamar.
Bahkan, kini uang panai di tradisi Bugis-Makassar mencapai
miliaran rupiah tergantung status sosial wanita yang dilamar.
6 https://id.quora.com/Sejak-kapan-suku-Bugis-di-Makassar-mengenal-tradisi-
uang-panai diposting 13 juni 2018 diakses 5 september 2019 7https://regional.kompas.com/read/2017/03/13/08532951/.uang.panai.tanda.penghar
gaan.untuk.meminang.gadis.bugis-makassar?page=all.
47
Dengan uang panaik ini, ada yang merasa terbebani dan ada pula
yang menganggap sebagai gengsi dalam perkawinan.
Uang panai‟ terkadang ditentukan berdasarkan kelas wanita
yang hendak dipinang. Misalnya, kelas wanita yang lulusan SMA,
sarjana, telah bekerja, pegawai negeri sipil (PNS), dokter, hingga
gadis telah berhaji memiliki mahar yang berbeda. Salah seorang
warga di Kabupaten Takalar, To ugi mengaku menikahkan anak
laki-lakinya dengan gadis lulusan SMA dengan uang panaik Rp
100 juta, satu set perhiasan emas, 10 karung beras dan dua ekor
kerbau. "Memang tradisi di sini, malu kita juga kalau tidak
menikahkan anak gara-gara uang panaik. Ya, diusahakan saja
dipenuhi, tapi ada ji negosiasi sampai sesuai kemampuan.
Soalnya, itu anak bungsuku, Ansar sudah lama pacaran sama itu
gadis. Itu uang panaik berbeda dengan pesta pengantin laki-laki.
Jadi kira-kira habis Rp 200 juta lebih," katanya.8
C. Uang Panai‟
Uang panai‟ itu sendiri adalah sejumlah uang yang harus diserahkan
oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terkait berapa jumlah uang
panai‟ yang harus diberikan, tidak selalu sama antara satu dengan lainnya,
semua bergantung pada kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak.
Dalam menentukan jumlah uang panai‟ yang harus disiapkan juga tidak
sembarangan, ada beberapa hal yang menjadi penentunya dua hal yang
paling penting adalah status sosial dan tingkat pendidikan uang panai‟
untuk perempuan dari kaum bangsawan tentu berbeda dengan uang panai‟
untuk perempuan dari masyarakat biasa.
8 https://regional.kompas.com/read/2018/03/09/08201001/pernikahan-ala-adat-
bugis-makassar-jumlah-uang-panaik-ditentukan-status.
48
Di kalangan masyarakat suku Bugis-Makassar itu sendiri uang
panai‟ memang masih menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk
dibicarakan. Sangat sering terjadi, jika mendengar seorang gadis akan
menikah, yang lebih dulu ditanyakan adalah: “berapa uang
panai‟nya?” Kehadiran pertanyaan ini menjadi sebuah pertanda
bagaimana uang panai‟ punya peran penting dalam hal pernikahan
masyarakat suku Bugis-Makassar.
Hal lain tentang uang panai‟ yang juga tidak kalah
menariknya untuk disimak adalah, tidak jarang besaran jumlah uang
panai‟ menjadi semacam adu gengsi. Dalam beberapa kejadian,
saking tidak ingin kalah saing, ada yang bahkan tidak peduli jika
pihak laki-laki harus berutang agar bisa memenuhi uang panai‟ yang
sudah ditetapkan. Hal seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu
penyebab mengapa uang panai‟ menjadi sesuatu yang selalu menuai
komentar pro dan kontra, baik di kalangan masyarakat suku Bugis-
Makassar itu sendiri maupun di kalangan masyarakat luas.9
Masyarakat Bugis Makassar memiliki tradisi tersendiri dalam
hal pelaksanaan perkawinan yaitu adanya kewajiban dari pihak
mempelai laki-laki untuk memberikan uang panaik sebagai syarat
untuk terlaksananya sebuah perkawinan. Uang panai‟ adalah
sejumlah uang yang wajib diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak
wanita sebagai pemberian ketika akan melangsungkan perkawinan
selain mahar. Pemberian uang panaik merupakan salah satu langkah
awal yang harus dilakukan oleh laki-laki ketika akan melangsungkan
perkawinan yang ditentukan setelah adanya proses lamaran. Jika
lamaran telah diterima maka tahap selanjutnya adalah penentuan uang
9 Artikel tentang Tradisi uang panai suku bugis-makassar, diposting 27 januari 2016
diakses 5 september 2019
49
panai‟ yang jumlahnya ditentukan terlebih dahulu oleh pihak wanita
yang dilamar dan jika pihak laki-laki menyanggupi maka tahap
perkawinan selanjutnya bisa segera di dilangsungkan. Walaupun
terkadang terjadi tawar-menawar sebelum tercapainya kesepakatan
jika pihak laki-laki keberatan dengan jumlah uang panaik yang
dipatok. Secara tekstual tidak ada peraturan yang mewajibkan tentang
pemberian uang panaik sebagai syarat sah perkawinan. Pemberian
wajib ketika akan melangsungkan sebuah perkawinan dalam hukum
Islam hanyalah mahar dan 63 bukan uang panaik. Sebagaimana yang
telah disebutkan dalam firman Allah surah an-Nisa ayat 4 Adapun
akibat hukum jika pihak laki-laki tidak mampu menyanggupi jumlah
uang panai yang di targetkan, maka secara otomatis perkawinan akan
batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah pihak
keluarga laki-laki dan perempuan akan mendapat cibiran atau hinaan
di kalangan masyarakat setempat. Dewasa ini, interpretasi yang
muncul dalam pemahaman sebagian orang Bugis-Makassar tentang
pengertian mahar masi banyak yang keliru. Dalam adat perkawinan
mereka, terdapat dua istilah yaitu sompa dan dui‟ menre‟ atau uang
panai‟/doi balanja. Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang
atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat
sahnya pernikahan menurut ajaran Islam. Sedangkan dui‟ menre‟ atau
uang panai‟/doi balanja adalah “uang antaran” yang harus diserahkan
oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga
calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta
pernikahan. Adapun pengertian uang jujuran adalah uang yang
diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita sebagai pemberian
ketika akan melangsungkan perkawinanan selain mahar. Adat
pemberian uang jujuran menganut sistem patrilineal yang
50
menggunakan system perkawinan jujur . Jujur dalam sistem
patrilineal bermakna pemberian uang dan barang dari kelompok
kerabat calon 64 mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita
dengan tujuan memasukkan wanita yang dinikahi kedalam gens
suaminya, demikian pula anak-anaknya. Fungsi uang jujuran yang
diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan karena
uang jujuran yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara sosial
wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara
keseluruhan uang jujuran merupak hadiah yang diberikan calon
mempelai laki-laki kepada calon istrinya sebagai keperluan
pekawinan dan rumah tangga. fungsi lain dari uang jujuran tersebut
adalah sebagai imbalan atau ganti terhadap jerih payah orang tua
membesarkan anaknya. Secara sepintas, ketiga istilah tersebut di atas
memang memiliki pengertian dan makna yang sama, yaitu ketiganya
sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika dilihat dari sejarah
yang melatarbelakanginya, pengertian ketiga istilah tersebut jelas
berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal dengan mas kawin/mahar
adalah kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan dui‟ menre‟ atau
uang panai‟ dan uang jujuran adalah kewajiban menurut adat
masyarakat setempat selain sebagai suatu ketentuan wajib dalam
perkawinan, berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalamnya dapat
dikatakan bahwa uang panai‟ mengandung tiga makna, pertama,
dilihat dari kedudukannya uang panaik merupakan rukun perkawinan
di kalangan masyarakat suku Bugis-Makassar. Kedua, dari segi
fungsinya uang panai merupakan pemberian hadiah bagi pihak
mempelai wanita sebagai biaya resepsi perkawinan dan bekal
dikehidupan kelak yang sudah berlaku secara turun temurun
mengikuti adat istiadat. Ketiga, dari segi tujuannya pemberian uang
51
panai‟ adalah untuk memberikan prestise (kehormatan) bagi pihak
keluarga perempuan jika jumlah uang panaik yang dipatok mampu
dipenuhi oleh calon mempelai pria. Kehormatan yang dimaksudakan
disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon
mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan
memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang
panai tersebut. Pelaksanaan pemberian uang panai walaupun tidak
tercantum dalam hukum Islam, hal ini tidak bertentangan dengan
Syari‟at dan tidak merusak akidah karena salah satu fungsi dari
pemberian uang panaik adalah sebagai hadiah bagi mempelai wanita
untuk bekal kehidupannya kelak dalam menghadapi bahtera rumah
tangga dan ini merupakan mashlahat baik bagi pihak mempelai laki-
laki dan mempelai wanita. Adat seperti ini dalam hukum Islam
disebut dengan „urf ash-shahih yaitu adat yang baik, sudah benar dan
bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Mahar dan uang panai‟
dalam perkawinan adat suku Bugis-Makassar adalah suatu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal
tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban yang harus
dipenuhi. Akan tetapi uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan
dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran
jalannya proses 66 perkawinan. Sehingga jumlah uang panaik yang
ditentukan oleh pihak wanita biasanya lebih banyak daripada jumlah
mahar yang diminta. Dalam kenyataan yang ada uang panaik bisa
mencapai ratusan juta rupiah karena dipengaruhi oleh beberapa
faktor, justru sebaliknya bagi mahar yang tidak terlalu
dipermasalahkan sehingga jumlah nominalnya diserahkan kepada
kerelaan suami yang pada umumnya hanya berkisar Rp. 10.000 – Rp.
5.000.000, saja. Mengenai masalah tersebut dalam sebuah hadits
52
Rasul bersabda yang maknanya bahwa perkawinan yang paling besar
berkahnya adalah yang paling murah maharnya. Melihat dari makna
hadits di tersebut maka sangat tidak etis jika uang panaik yang
diberikan oleh calon suami lebih banyak daripada uang mahar. Hadits
di atas sangat jelas menganjurkan kepada wanita agar meringankan
pihak laki-laki untuk menunaikan kewajibannya membayar mahar
apalagi uang panaik yang sama sekali tidak ada ketentuan wajib
dalam hukum Islam. Nabi Muhammad SAW ketika menikahkan
Fatimah r.a tidak meminta mahar yang banyak kepada Ali r.a. dan Ali
hanya memberikan baju besi. Hal ini bertujuan memudahkan dan
tidak membebani Ali atas tuntutan mahar. Pada hadits tersebut Nabi
Muhammad sangat jelas menekankan kepada Ali r.a agar memberikan
mahar kepada Fatimah r.a sebagai syarat sah dalam perkawinan walau
hanya dengan baju besi, asalkan dipandang berharga dan mempunyai
nilai. Agama Islam sebagai agama rahmat li „alamin tidak menyukai
penentuan mahar yang memberatkan pihak laki-laki untuk
melangsungkan perkawinan, demikian pula uang panaik dianjurkan
agar tidak memberatkan bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk
menikah. Perkawinan sebagai sunnah Nabi hendaknya dilakukan
dengan penuh kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan sehingga
tidak ada unsur pemborosan di dalamnya karena Islam sangat
menentang pemborosan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam
firman Allah surah al-Isra‟ ayat 27. Dalam hukum Islam dikenal
prinsip mengutamakan kemudahan (raf‟ attaysir) dalam segala
urusan. Terlebih lagi dalam hal perkawinan prinsip ini sangat
ditekankan. Para wanita tidak diperkenankan meminta hal yang justru
memberatkan pihak laki-laki karena hal ini mempunyai beberapa
dampak negatif, diantaranya:
53
1. Menjadi hambatan ketika akan melangsungkan perkawinan
terutama bagi mereka yang sudah serius dan saling
mencintai.
2. Mendorong dan memaksa laki-laki untuk berhutang demi
mendapatkan uang yang disyaratkan oleh pihak wanita.
3. Mendorong terjadinya kawin lari dan terjadinya hubungan
diluar nikah. Selain tersebut di atas dampak lain yang bisa
ditimbulkan adalah banyaknya wanita yang tidak kawin dan
menjadi perawan tua karena para lelaki mengurungkan
niatnya untuk menikah disebabkan banyaknya tuntutan
yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki demi sebuah
pernikahan. Lebih jauh lagi akibat yang timbul karena
besarnya tuntutan yang harus dipenuhi adalah dapat
mengakibatkan para pihak yang ingin menikah terjerumus
dalam perbuatan dosa. Pemberian uang panaik merupakan
suatu kewajiban yang harus dipenuhi dan biasanya dalam
jumlah yang tidak sedikit. Namun demikian dari hasil
wawancara diperoleh gambaran bahwa para lelaki yang
ingin menikahi wanita dari suku Bugis Makassar merasa
tidak terbebani dengan nilai uang panaik yang relatif tinggi
karena dalam penentuan jumlah uang panaik itu terjadi
proses tawar menawar terlebih dahulu sampai tercapai
sebuah kesepakatan sehingga masih dalam jangkauan
kemampuan pihak laki-laki untuk memenuhi uang panaik
yang disyaratkan. Selain itu para lelaki memang telah
mengetahui sebelumnya akan adat tentang uang panaik
tersebut sehingga mereka telah mempersiapkan segalanya
54
sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius. Selama
pemberian uang panai‟ tidak mempersulit terjadinya
pernikahan maka hal tersebut tidak bertentangan dengan
hukum Islam dan yang paling penting adalah jangan sampai
ada unsur keterpaksaan memberikan uang panai‟.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah surah al
Baqarah ayat 185 bahwa Allah tidak menghendaki
kesukaran bagi hamba-Nya. Perbedaan tingkat sosial
masyarakat sangat mempengaruhi terhadap nilai uang
panaik yang disyaratkan. Di antaranya adalah status
ekonomi wanita yang akan dinikahi, kondisi fisik, jenjang
pendidikan, jabatan, pekerjaan, dan keuturunan. Agama
Islam tidak membeda-bedakan status sosial dan kondisi
seseorang apakah kaya, miskin, cantik, jelek, berpendidikan
atau tidak. Semua manusia dimata Allah mempunyai
derajat dan kedudukan yang sama, hal yang membedakan
hanyalah takwa. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
firman Allah surah al-Hujurat ayat 13. Dalam sebuah hadits
dari Aisyah menerangkan bahwa Nabi tidak membeda-
bedakan dalam hal pemberian mahar kepada istri-istrinya
baik yang kaya, miskin, berpendidikan, janda atau masih
gadis Hadits tersebut jelas menerangkan bahwa Nabi SAW
tidak membedabedakan status sosial seseorang dalam
penentuan mahar, padahal seperti yang telah diketahui
bahwa hanya Khadijah r.a yang statusnya kaya dan hanya
Aisyah r.a yang masih gadis. Nabi menyamakan status
perempuan antara yang satu dan lainnya tanpa ada
perbedaan antara yang kaya, miskin, dan lain-lain. Hukum
55
Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar
akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah mendapatkan
peran penting dalam mengatur lalu lintas hubungan dan
tertib sosial di kalangan anggota masyarakat. Adat
kebiasaan berkedudukan pula sebagai hukum yang tidak
tertulis dan dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan rasa
kesadaran hukum mereka. Adat kebiasaan yang tetap sudah
menjadi tradisi dan telah mendarah-daging dalam
kehidupan masyarakatnya. Sebelum Nabi Muhammad
SAW diutus, adat kebiasaan sudah banyak berlaku pada
masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Adat kebiasaan
yang dibangun oleh nilai-nilai yang dianggap baik dari
masyarakat itu sendiri, yang kemudian diciptakan,
dipahami, disepakati, dan dijalankan atas dasar kesadaran.
Nilai-nilai yang dijalankan terkadang tidak sejalan dengan
ajaran Islam dan ada pula yang sudah sesuai dengan ajaran
Islam. Agama Islam sebagai agama yang penuh rahmat
menerima adat dan budaya selama tidak bertentangan
dengan Syari‟at Islam dan kebiasaan tersebut telah menjadi
suatu ketentuan yang harus dilaksanakan dan dianggap
sebagai aturan atau norma yang harus ditaati, maka adat
tersebut dapat dijadikan pijakan sebagai suatu hukum Islam
yang mengakui keefektifan adat istiadat dalam interpretasi
hukum. Sebagaimana kaidah fiqhiyah1 : العادة مكمة
Artinya:”Adat kebiasaan dapat dijadikan pijakan hukum ”
di Kota Makassar pemberian uang panai diartikan sebagai
pemberian wajib dalam perkawinan yang diberikan kepada
56
mempelai wanita dari mempelai laki-laki selain uang
mahar. Pemberian uang panai‟ dalam perkawinan adat
masyarakat tidak dapat ditinggalkan dan sudah mendarah
daging dalam diri masyarakat. Pemberian uang panai‟ pada
masyarakat ini walaupun tidak diatur dalam hukum Islam
namun tradisi tersebut sudah menjadi suatu kewajiban yang
harus ditunaikan demi kelancaran dalam perkawinan adat
masyarakat adat dan kebiasaan selalu berubah-ubah dan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan.
Realitas yang ada dalam masyarakat berjalan terus menerus
sesuai dengan kemaslahatan manusia karena berubahnya
gejala sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu,
kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap macam
hukum. Maka sudah menjadi kewajaran apabila terjadi
perubahan hukum karena disebabkan perubahan zaman dan
keadaan serta pengaruh dari gejala kemasyarakatan itu
sendiri. Sebagaimana kaidah fiqhiyah berikut:2 ت غير ا
وى بت غير الأزمنة و الأحوال Artinya : Berubahnya fatwa لفت
dikarenakan perubahan masa dan tempat. Dalam redaksi
lain dengan makna yang serupa disebutkan sebagai
berikut:3 لاي نكر ت غي رر الأحكام بت غير الأزمان Artinya:
“Tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum,
disebabkan berubahnya zaman”. Masyarakat Bugis-
Makassar dalam menjalankan kebiasaan memberikan uang
panai tidak merasa terbebani dan tidak mengganggap itu
57
merupakan sesuatu hal yang buruk, sehingga hal ini sudah
dianggap kebiasaan baik yang memang harus ditunaikan
bagi para pihak yang akan menikahi gadis Bugis Makassar.
Adat yang sudah dikenal baik dan dijalankan secara terus
menerus dan berulang-ulang serta dianggap baik oleh
mereka, maka tidak bisa diharamkan oleh Islam dan
undang-undang yang berlaku. Sebagaimana kaidah
fiqhiyyah yang berbunyi:4 استعمال الناس حجة يب العمل
Artinya: “Apa yang dilakukan oleh masyarakat secara با
umum, bisa dijadikan hujjah (alasan/dalil) yang wajib
diamalkan”. Dalam kaidah fiqhiyyah yang lain disebutkan:
ا :Artinya ت عتبالعادة إذا اضطردت أو غلبت إن
“sesungguhnya adat yang diakui (oleh syar‟i) hanyalah
apabila berlangsung terus menerus dan berlaku umum”.
Selain itu Hasbi Ash-Shiddieqiy dalam bukunya yang
berjudul Falsafah Hukum Islam mengkualifikasikan bahwa
adat dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam, jika
memenuhi syarat sebagai berikut: Adat kebiasaan dapat
diterima oleh perasaan sehat dan diakui oleh pendapat
umum. Berulang kali terjadi dan sudah umum dalam
masyarakat. . Kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang
berjalan, tidak boleh adat yang akan berlaku. Tidak ada
persetujuan lain kedua belah pihak, yang berlainan dengan
kebiasaan. Tidak bertentangan dengan nas}. Pemberian
uang panaik merupakan tradisi yang bersifat umum, dalam
58
artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Bugis
Makassar. Walaupun pemberian uang panai‟ tidak diatur
secara gamblang dalam hukum Islam, namun pemberian
uang panai‟ sudah merupakan suatu tradisi yang harus
dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak
bertentangan dengan akidah dan syari‟at maka hal ini
diperbolehkan. Dalam sebuah hadits| Nabi SAW bersabda:
(فما رآه المسلمون حسنا ف هو عند االله حسن )اخرجو احمد
Artinya: “Apa yang dipandang oleh orang islam baik, maka
baik pula di sisi Allah”. Perlu ditegaskan bahwa
pelaksanaan pemberian uang panaik dalam perkawinan adat
suku Bugis walaupun sudah menjadi tradisi dan
membudaya hal ini tidak bersifat wajib mutlak, dalam
artian perkawinan yang dilaksanakan tanpa memberikan
uang panaik dan hanya memberikan mahar kepada calon
mempelai wanita maka perkawinan tersebut sah menurut
hukum Islam, namun secara adat akan dianggap sebagai
pelanggaran yang berakibat mendapatkan hinaan dan celaan
dari masyarakat. Fenomena pemberian uang panaik di
Kelurahan Untia ini dalam hukum Islam dapat dikatakan
sebagai kebiasaan yang baik („urf sahih) yaitu kebiasaan
yang dipelihara oleh masyarakat dan tidak bertentangan
dengan hukum Islam, tidak mengharamkan sesuatu yang
halal, tidak membatalkan sesuatu yang wajib, tidak
menggugurkan cita kemaslahatan, serta tidak mendorong
timbulnya kemafsadatan. Sebagaimana dijelaskan Abdul
Wahhab Khallaf dalam bukunya Kaidahkaidah Hukum
59
Islam yang menjelaskan bahwa adanya saling pengertian
perihal pemberian dalam perkawinan berupa perhiasan atau
pakaian adalah termasuk hadiah dan bukan sebagian dari
mahar dan hal ini menurut Abdul Wahhab Khallaf
merupakan „urf sahih. Tradisi pemberian uang panai‟ juga
sesuai dengan asas hukum perkawinan Islam karena
didalamnya terdapat asas kerelaan dan kesepakatan antara
pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan
dalam penentuan nilai uang uang panai.10
Adat pemberian uang panai‟ diadopsi dari adat perkawinan
suku bugis asli. Uang panai‟ bermakna pemberian uang dari pihak
keluarga calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita
dengan tujuan sebagai penghormatan. Penghormatan yang
dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh
pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai wanita
yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk
pernikahannya melalui uang panaik tersebut. Fungsi uang panaik
yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan
karena uang panaik yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara 52
keseluruhan uang panaik merupakan hadiah yang diberikan calon
mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita untuk memenuhi
keperluan pernikahan.11
10
Analisis hukum islam tentang uang panai dalam perkawinan adat suku bugis-
makassar .doc 11
Analisis hukum islam tentang uang panai dalam perkawinan adat suku bugis-
makassar .doc
60
BAB IV
Uang Panai’ dalam Adat Pernikahan Suku Bugis dan
Penafsiran Ayat Mahar dalam Tafsir Al-Misbah
A. Filosofi Uang Panai‟
1. Pengertian
Uang panai‟ atau uang belanja untuk pengantin mempelai
wanita yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat
suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan.
Uang panai‟ ini sejak dulu berlaku jika pria ingin melamar
wanita idamannya hingga sekarang. Namun, uang panai‟ ini
biasanya menjadi beban bagi pria untuk melamar wanita
idamannya. Pasalnya, nilai uang panai‟ sebagai syarat adat untuk
membiayai pesta perkawinan untuk pengantin wanita tidaklah
sedikit. Nilainya bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.1
2. Tata Cara Pernikahan Adat Bugis
Sebagai orang Indonesia, adat dan budaya punya peranan besar
dalam keseharian kita. Karena itu wajar jika pada hari pernikahan,
yang bisa dikatakan hari terbesar dalam kehidupan seseorang, kita
menginkorporasikan adat dan budaya suku kita. Namun rangkaian
acara pernikahan adat yang sering kali panjang dan memakan
waktu lama, kadang membuat pernikahan tradisional terkesan
rumit, sehingga banyak calon pengantin yang memilih
mengadakan pernikahan secara modern. Padahal menjalani
pernikahan tradisional dengan ritual-ritual yang turun temurun
dilakukan keluarga kamu tentunya membawa kepuasan tersendiri.
1https://regional.kompas.com/read/2017/03/13/08532951/.uang.panai.tanda.penghar
gaan.untuk.meminang.gadis.bugis-makassar?page=all.
61
Prosesi pernikahan adat adalah suatu hal yang sakral, setiap
tahapan dan ritual yang dijalani mengandung makna dan doa yang
berbeda. Di dalam adat suku Bugis, upacara pernikahan terdiri
dari tahapan-tahapan berikut:
a. Mappasau Botting dan Cemme Passih
Setelah menyebarkan undangan pernikahan, mappasau
botting yang berarti merawat pengantin adalah ritual awal
dalam upacara pernikahan. Acara ini berlangsung selama
tiga hari berturut-turut sebelum sampai ke hari H. selama
tiga hari tersebut pengantin menjalani perawatan
tradisional seperti uap dan menggunakan bedak hitam dari
campuran beras ketan, asam jawa dn jeruk nipis. Cemme
Passih sendiri merupakan mandi tolak bala yang dilakukan
untuk meminta perlindungan tuhan dari bahaya. Upacara
ini umumnya dilakukan pada pagi hari, sehari sebelum hari
H.
b. Mappanre Temme
Karena mayoritas suku bugis memeluk agama islam,
pada sore hari sebelum hari pernikahan diadakan acara
Mappanre Temme atau Khatam Qur‟an dan Pembacaan
Barzanji yang dipimpin oleh seorang imam.
c. Mappaci atau Tudammpenni
Malam menjelang pernikahan, calon pengantin melakukan
kegiatan Mapacci/Tudammpenni. Proses ini bertujuan
untuk membersihkan dan mensucikan kedua pengantin dari
hal-hal yang tidak baik. Dimulai dengan penjemputan
kedua mempelai, yang kemudian duduk dipelaminan,
setelah itu, didepan mereka disusun perlengkapan-
62
perlengkapan berikut: sebuah bantal sebagai symbol
penghormatan, tujuh sarung sutera sebagai symbol harga
diri, selembar pucuk daun pisang sebagai symbol
kehidupan yang berkesinambungan, tujuh sampai Sembilan
daun nangka sebagai symbol harapan, sepiring wenno
(padi yang disangrai) sebagai symbol perkembangan baik,
sebatang lilin yang menyala sebagai simbol penerangan,
daun pacar halus sebagai symbol kebersihan dan bekkeng
(tempat untuk daun pacci) sebagai symbol persatuan
pengantin. Setelah perlengkapan-perlengkapan tersebut
ditaruh, satu persatu kerabat dan tamu akan mengusapkan
pacci ke telapak tangan pengantin.
d. Mappanre Botting
Mappanre botting berarti mengantar mempelai pria
kerumah mempelai wanita, mempelai pria diantar ole
hiring-iringan tanpa kehadiran orangtuanya. Iring-iringan
tersebut biasanya terdiri dari indo botting (inang
pengantin) dan passepi (pendamping mempelai).
e. Madduppa Botting
Setelah mappanre botting dilakukan maduppa botting
atau penyambutan kedatangan mempelai pria.
Penyambutan ini biasanya dilakukan oleh dua orang
penyambut (satu remaja wanita dan satu remaja pria) dua
orang pakkusu-kusu (wanita yang sudah menikah) dan dua
orang pallipa sabbe (orang tua pria dan wanita setengah
baya sebagai wakil orang tua mempelai wanita) dan
seorang wanita penebar wenno.
63
f. Mappasikarawa/ Mappasilu
Setelah akad nikah, mempelai pria dituntun menuju
kamar mempelai wanita untuk melakukan seentuhan
pertama. Bagi suku bugis, sentuhan pertama mempelai pria
memegang peran penting dalam keberhasilan kehidupan
rumah tangga pengantin.
g. Marola/ Mapparola
Pada tahapan ini, mempelai wanita melakukan
kunjungan balasan kerumah mempelai pria bersama
dengan iringan-iringannya, pengantin wanita membawa
sarung tenun sebagai hadiah pernikahan untuk keluarga
suami.
h. Malukka Botting
Dalam prosesi ini, kedua pengantin menanggalkan
busana pengantin mereka. Setelah itu pengantin pria
umumnya mengenakan celana panjang hitam, kemeja
panjang putih dan kopiah, sementara pengantin wanita
menggunakan rok atau celana panjang, kebaya dan
kerudung, kemudian pengantin pria dililitkan tubuhnya
dengan tujuh lembar kain sutera yang kemudian dilepas
satu persatu.
i. Ziarah
Sehari setelah hari pernikahan berlangsung, kedua
penganting, bersama dengan keluarga pengantin wanita
melakukan ziarah ke makan leluhur. Ziarah ini merupakan
bentuk penghormatan dan syukur atas pernikahan yang
telah berlangsung lancar.
64
j . Massita Beseng
Sebagai penutup rangkaian acara pernikahan, kedua
keluarga pengantin bertemu dirumah pengantin wanita.
Kegiatan ini bertujun untuk membangun tali silaturahim
antara keluarga.
Perkawinan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dengan adat dan kebudayaan mayarakat bugis.
Dalam adat perkawinan masyarakat bugis memiliki tradisi
yang paling kompleks dan melibatkan banyak emosi.
Bagaimana tidak, mulai dari ritual lamaran hingga selesai
resepsi perkawinan akan melibatkan seluruh keluarga yang
berkaitan dengan kedua pasangan calon mempelai. Salah satu
tradisi tersebut adalah adanya kewajiban memberikan uang
panai dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai
syarat terlaksananya perkawinan.
Tentang sejarah awal mulanya uang panai‟ perkawinan
dalam adat perkawinan suku Bugis dapat dilihat hasil
wawancara penulis dengan seorang tokoh masyarakat sebagai
berikut ini : “Uang panai‟ dalam adat perkawinan suku bugis
mulai berlaku sekitar tahun 1950, pada waktu itu yang
memberlakukan uang panaik tersebut hanya terbatas pada
kaum bangsawan saja. Uang panai‟ tersebut dimaksudkan
untuk memeriahkan pesta perkawinan serta menunjukkan
kebangsawanan mereka, makin semarak pesta perkawinan
yang diselenggarakan, maka makin dikagumilah bangsawanan
tersebut. Demikianlah hingga akhirnya kebiasaan para
bangsawan memberlakukan adanya uang panai‟ jika
65
mengawinkan anak-anak mereka akhirnya lambat laun diikuti
oleh seluruh anggota masyarakat dan tetap berlaku sampai
sekarang”.
Uang panai‟ sejak adanya perkawinan dalam
masyarakat bugis. Setelah Islam datang dan ajarannya tersebar
di tengah masyarakat termasuk kewajiban memberikan mahar
dalam perkawinan, maka uang panai‟ ini tidak serta merta
dihapus, akan tetapi tetap dipertahankan sehingga muncullah
dua kewajiban yang masing-masing harus dipenuhi oleh
mempelai pria yaitu mahar sebagai kewajiban agama dan uang
panaik sebagai kewajiban adat”.2
Adapun kelebihan uang panai‟ yang tidak habis
terpakai akan dipegang oleh orang tua. Akan tetapi pada
umumnya semua uang panai‟ tersebut akan habis terpakai
untuk keperluan pesta pernikahan, namun apabila terdapat sisa
dari total uang panaik tersebut maka akan diberikan kepada
anak. Bagian anak pun terserah orang tuanya. Apakah akan
memberikan semuanya atau tidak, itu menjadi otoritas orang
tua si calon istri. Walaupun dalam kenyataanya orang tua tetap
memberikan sebagian kepada anaknya untuk dipergunakan
sebagai bekal kehidupannya yang baru.
Di dalam ekonomi Islam, uang panai‟ yang tinggi
boleh-boleh saja diberikan apabila pihak laki-laki sanggup
memberikan dan tidak menyusahkan pihak laki-laki.
2 Uang Panai dalam panangan Ekonomi Islam, skripsi oleh Nilawati
66
1. Prinsip keseimbangan Keseimbangan
merupakan nilai dasar yang pengaruhnya
terlibat pada berbagai spek tingkah laku
ekonomi muslim, misal kesederhanaan
(moderation), berhemat (parsimon), dan
menjahi pemborosan (extravagance).
Konsep nilai kesederhanaan berlaku dalam
tingkah laku ekonomi, terutama dalam
menjauhi konsumerisme dan menjauhi
pemborosan berlaku tidak hanya untuk
pembelanjaan yang diharamkan saja, tetapi
juga pembelanjaan dan sedekah yang
berlebihan. Keseimbangan yang
dimaksudkan bukan hanya berkaitan dengan
keseimbangan antara kebutuhan duniawi
dan ukhrawi, tapi juga berkaitan dengan
keseimbangan kebutuhan individu dan
kebutuhan kemasyarakatan (umum). Islam
menekankan keselarasan antara lahir dan
batin, individu dan masyarakat. Oleh sebab
itu, sumber daya ekonomi harus diarahkan
untuk mencapai kedua kesejahteraan
tersebut. Islam menolak secara tegas umat
manusia yang terlalu rakus dengan
penguasaan materi dan menganggapnya
sebagai ukuran keberhasilan ekonomi.
Dari tulisan di atas, sudah terlihat jelas bahwa didalam
islam sangat di tegaskan untuk tidak terlalu boros dalam
67
penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran
keberhasilan. Penulis mengangkat poin keseimbangan di
dalam 17M. Umer Chapra, “Negara Sejahtera Islami dan
Perannya di Bidang Ekonomi”, dalam Ainur R. Sophian, Etika
Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategi Pembangunan
Masyarakat Islam, melihat kedudukan uang panai‟ didalam
ekonomi islam karena penulis beranggapan bahwa uang
(materi) tidak dapat kita simbolkan sebagai tolak ukur
kehidupan manusia kedepannya, serta tidak dapat di ukur dari
segi keberhasilan suatu resepsi pernikahan walaupun segala
sesuatu yang di perlukan di dalam resepsi itu membutuhkan
uang. Konsep pesta adat yang dibiayai dengan uang panai‟
ditinjau dari sudut pandang ekonomi Islam adalah
pemborosan, karena masyarakat di jaman ini mengadakan
resepsi perkawinan untuk berbangga-bangga. Kita banyak
menyaksikan adanya resepsi yang berlebih-lebihan,
pemborosan. Bahkan, ada yang membebani diri dengan resepsi
yang uang panai‟nya di luar kemampuannya, sampai ada yang
menggadaikan atau bahkan menjual hak miliknya, atau dengan
mencari utang yang akan mencekik lehernya. Perbuatan
demikian sebenarnya dilarang oleh agama. Allah swt. tidak
mengajarkan demikian. Islam mengatur secara jelas mengenai
masalah pernikahan. Termasuk di dalamnya adanya akad
nikah, serta walīmah al-„urs. Bahwa pernikahan tidak hanya
akad nikah namun perlu adanya suatu walīmah al-„ursy. Oleh
sebab itu, syari‟at menganjurkan supaya pernikahan tersebut
dipublikasikan pada khalayak umum, dan makruh hukumnya
untuk dirahasiakan. Di sunnahkan mengumumkan (waktu dan
68
tempat) prosesi akad nikah dan mengundang masyarakat
sekitar, untuk membedakan antara pernikahan dan perzinaan
dan perbuatan haram, karena perbuatan haram identik dengan
perbuatan remang-remang. Selain itu, jika uang panaik terlalu
mahal ada beberapa dampak negatif yang bisa terjadi, yaitu:
a. Silariang. Apabila orang tua laki-laki tidak dapat
menyanggupi permintaan uang panai‟ dari keluarga
perempuan, biasa terjadi silariang. Alasan mereka
Silariang karena permintaan orang tua perempuan sangat
tinggi. Disamping itu laki-laki dan perempuan saling
mencintai. Jadi mereka memilih Silariang.
b. Apabila uang panaik tinggi dan menggelar pesta yang
meriah, salah satu dampaknya yaitu keluarga mempelai
akan menggelar pertandingan domino sehari sebelum
pesta pernikahan. Kemudian pada hari diadakannya pesta
biasanya dilengkapi dengan orkes melayu, sebab ia tidak
mau ketingalan dengan mengambil orkes. Sedangkan
dalam al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw. menyerukan
kepada kita agar melaksanakan pesta perkawinan
sesederhana mungkin sesuai dengan tujuan uang panaik
dalam konsep Islam yaitu dengan menyederhanakan pesta
perkawinan dan dilaksanakan sesuai kemampuan. Untuk
mewujudkan prinsip tersebut, penulis beranggapan bahwa
pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan terlebih
dahulu harus menyetujui atau menyepakati uang panaik
yang akan diberikan pihak laki-laki yang kemudian di
kembalikan setengahnya ke pihak keluarga laki-laki.
69
Supaya terlihat seimbang dan lebih ekonomis dan supaya
tidak ada yang merasa dirugikan. Pada intinya peneliti
juga menyarankan bahwa yang perlu diperhatikan adalah
jangan sampai terdapat unsur keterpaksaan antara kedua
belah pihak, bagi yang tidak mempunyai kemampuan
untuk memberikan uang panaik dalam jumlah yang besar
hendaknya jangan terlalu dipaksakan. Ditinjau dari sudut
agama, Islam sebagai agama rahmat lil„alamin tidak
menyukai penentuan uang panaik (pesta pernikahan) yang
memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan
perkawinan, demikian pula uang panaik (biaya pesta) yang
hanya merupakan anjuran agar tidak memberatkan bagi
pihak yang mempunyai niat suci untuk menikah.
2. Prinsip keadilan Secara garis besar keadilan dapat didefinisikan
sebagai suatu keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan di
mata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara
layak, dan hak menikmati pembangunan. Keadilan harus
ditetapkan disemua fase kegiatan ekonomi, baik kaitannya
dengan produksi maupun konsumsi, yaitu dengan aransemen
efisiensi dan memberantas keborosan ke dalam keadilan
distribusi ialah penilaian yang tepat terhadap faktor-faktor
produksi dan kebijaksanaan harga hasilnya sesuai dengan
takaran yang wajar dan ukuran yang tepat atau kadar
sebenarnya. Jika Ditinjau dari poin kedua yaitu prinsip
keadilan sebagaimana telah di jelaskan bahwa Nilai keadilan
merupakan konsep universal yang secara khusus berarti
menempatkan sesuatu pada posisi dan porsinya. Kata adil
dalam hal ini bermakna tidak berbuat zalim kepada sesama
70
manusia, bukan berarti sama rata sama rasa. Dengan kata lain,
maksud adil di sini adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Dari penjelasan tersebut penulis mengambil
kesimpulan bahwa keadilan didalam kehidupan bermasyarakat
sangatlah di butuhkan, karena didalam kehidupan
bermasyarakat sangatlah diperlukan rasa kemanusiaan yang
tinggi. Dari kesadaran kemanusiaan yang tinggi inilah manusia
dapat memunculkan sifat keadilan yang bisa di pakai di dalam
tawar menawar uang panai‟ antara pihak pria dan pihak
wanita. Tawar menawar uang panaik dalam segi prinsip
keadilan yang di maksud penulis adalah sesuainya kemampuan
yang di sanggupi dari pihak laki-laki yang bisa di terima pihak
perempuan atau bisa di katakan kesepakatan antara pihak laki-
laki dan pihak perempuan melalui pembicaraan kedua bela
pihak dan tidak ada yang merasa dirugikan.
Islam telah memberikan kemudahan kepada para pemeluknya
dalam menjalankan hukum Islam sesuai dngan kemmapuannya. Hal
ini dapat kita lihat pada ayat al-Qur‟an sebagai berikut:
1. QS al-Baqarah / 2 : 286
ن فسا إله وسعها ل يكلف الله
Terjemahnya: „Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya... .‟
71
2. QS An-Nisa / 4 : 28
نسان ضعيفا ف عنكم وخلق ال أن يف يريد الله
Terjemahnya: Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah‟.19
3. QS Al-Maidah /5 : 6
ليجعل عليكم من حرجيريد الله
Terjemahnya: „Allah tidak hendak menyulitkan kamu...‟
Dengan melihat ayat-ayat dia atas, nampaklah kepada
kita bahawa hukum Islam berjalan di atas kemudahan,
tidak memberatkan dan tidak menyulitkan. Dan
perkawinan tiada lain hanya untuk melaksanakan ketetapan
yang sudah menjadi Sunnatllah semenjak azali dan
melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah swt.
Karena adanya unsur mempersulit perkawinan dengan
tuntutan mahar dan uang panai‟ yang mahal atau berbagai
tuntutan yang lainnya, hal ini tidak sesuai dengan
kemudahan yang dianjurkan oleh Allah swt. Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa uang panaik adalah sejumlah
uang yang wajib diserahkan oleh calon mempelai suami
kepada pihak keluarga calon istri yang akan digunakan
sebagai biaya dalam resepsi perkawinan, di mana uang
tersebut belum termasuk mahar. Menurut pandangan
72
masyarakat suku Bugis Bone pemberian uang panai‟
dalam perkawinan adat mereka adalah suatu kewajiban
yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada uang panai‟ berarti
tidak ada perkawinan. Karena dari sudut pandang mereka
uang panaik dan mahar merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Kebiasaan inilah yang berlaku pada
masyarakat suku Bugis-Makassar sejak lama dan turun
menurun dari satu periode ke periode selanjutnya sampai
sekarang. Pada hakikatnya dalam hukum perkawinan Islam
tidak ada kewajiban untuk memberikan uang panaik,
kewajiban yang ada dalam perkawinan Islam hanyalah
memberikan mahar kepada calon istri. Pemberian uang
panai‟ ini merupakan adat kebiasaan yang turun temurun
dan tidak bisa ditinggalkan karena mereka telah
menganggap bahwa uang panai‟ merupakan suatu
kewajiban dalam perkawinan. Jadi hal yang terpenting
adalah mahar haruslah sesuatu yang bisa diambil
manfaatnya, baik berupa uang atau sebentuk cincin yang
sangat sederhana sekalipun. Telah dipaparkan di atas
bahwa dalam Islam tidak ada ketentuan yang pasti tentang
standar minimal dan maksimal dari mahar yang harus
dibayarkan oleh suami kepada calon isteri. Islam hanya
menganjurkan kepada kaum perempuan agar tidak
berlebihlebihan dalam meminta jumlah mahar kepada
suami. Anjuran di atas merupakan perwujudan dari prinsip
menghindari kesukaran atau kesusahan (raf‟ al-haraj) dan
mengutamakan kemudahan (altaysir). Dua prinsip ini
merupakan prinsip universal dalam menjalankan
73
keseluruhan syari‟at Islam. Hanya saja, dalam
melaksanakan hukum pernikahan prinsip tersebut jauh
lebih ditekankan, dalam artian mempersulit terwujudnya
pernikahan dan membebani laki- laki dengan sesuatu yang
tidak kuat mereka pikul adalah pemicu kerusakan dan
bencana. Di sisi lain, Islam sangat akomodatif terhadap
kondisi dan kemampuan manusia. Tidak bisa dipungkiri,
mereka berbeda dalam hal pendapatan, kebiasaan, tradisi
dan lainnya. Islam tidak menyukai penentuan mahar yang
terlalu berat atau di luar jangkauan kemampuan seorang
laki-laki, karena hal ini dapat membawa akibat negatif
antara lain: pertama, menjadi hambatan berlangsungnya
nikah bagi laki-laki dan perempuan, terutama bagi mereka
yang sudah merasa cocok dan telah mengikat janji,
akibatnya kadang-kadang mereka putus asa dan nekad
mengakhiri hidupnya; kedua, mendorong atau memaksa
pihak laki-laki untuk berhutang. Hal ini bisa berdampak
kesedihan bagi suami isteri dan menjadi beban hidup
mereka karena mempunyai hutang yang banyak. Dampak
ketiga, adalah mendorong terjadinya kawin lari. Di
samping itu, dampak lain yang bisa ditimbulkan adalah
banyaknya wanita yang tidak kawin dan menjadi perawan
tua karena para lelaki mengurungkan niatnya untuk
menikah disebabkan banyaknya tuntutan yang harus
disiapkan oleh pihak lakilaki demi sebuah pernikahan.
Lebih jauh lagi, akibat yang timbul karena besarnya
tuntutan yang harus dipenuhi adalah dapat mengakibatkan
74
para pihak yang ingin menikah terjerumus dalam perbuatan
dosa.
Adapun hikmah uang panai‟ dalam perkawinan
tidaklah sekedar ditetapkan sebagai sesuatu yang tak
bermakna apa-apa. Ia memiliki makna dan hikmah yang
tinggi, uang panaik merupakan dana yang digunakan untuk
melaksanakan pesta perkawinan. Uang belanja yang
merupakan keharusan bagi pihak laki-laki yag diserahkan
kepada pihak perempuan sebagai penunjang biaya yang
dikeluarkan oleh pihak perempuan. Ini berarti kedua elah
pihak saling membantu dalam melaksanakan pesta
perkawinan. Tolong menolong merupakan ajaran Islam
yang cukup mendasar dalam kehidupan bermasyarakat
antara satu dengan yang lainnya dituntun untuk senantiasa
tolong menolong dalam mengatasi berbagai kesulitan.
Perkawinan merupakan suatu kegiatan umat manusia yang
mengandung nilai kebaikan. Perkawinan mewakili tujuan yang mulia.
Karena itulah didalam pelaksanaannya dituntut untuk saling
menolong. Dengan demikian, bagaimanapun beratnya pelaksanaan
perkawnan itu akan dapat etratasi.3
B. Penafsiran Ayat Mahar
Dalam Al-Qur`an, ada beberapa ayat yang menjelaskan mengenai
mahar. Di antaranya:
1. QS. an-Nisa ayat 4:
3 Uang Panai dalam pandangan ekonomi islam, skripsi Nilawati
75
وآتوا النساء صدقاتنه نلة فإن طب لكم عن شيء منو ن فسا فكلوه
ىنيئا مريئا“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (orang
yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh dengan
kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari (maskwain) itu dengan senang hat, maka terimalah
dan nikmatillah pemberian itu dengan senang hati.” (QS an-Nisa
[4]: 4)
Kata صدقة dan نلة dalam QS. An-Nisa ini diartikan sebagai
Mahar.
Dalam ayat ini tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa, Maskawin
dinamai (صدقات) shadaqat bentuk jamak dari (صدقة) shaduqah,
yang terambil dari akar yang berarti “kebenaran”. Ini karena
maskawin itu didahului oleh janji sehingga pemberian itu merupakan
bukti kebenaran janji. Demikian menurut Muhammad Thahir Ibn
Asyur. Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang
yang membuktikan kebenaran dan ketulusan hati suami untuk
menikah dan menanggung kebutuhan hidup istrinya, tetapi terlebih
dari itu, ia adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia
kehidupan rumah tangga, khususnya rahasia terdalam, yang tidak
dibuka oleh seorang wanita kecuali kepada suaminya. Dari segi
kedudukan maskawin sebagai lambang kesediaan suami menanggung
kebutuhan hidup istri, maskawin hendaknya sesuatu yang bernilai
materi, walau hanya cincin dari sebagaimana sabda Nabi saw., dan
76
dari segi kedudukannya sebagai lambang kesetiaan suami istri,
maskawin boleh merupakan pengajaran ayat-ayat al-Qur`an.4
Menamai maskawin dengan nama tersebut di atas diperkuat lagi
oleh lanjutan ayat, yakni (نلة) nihlah. Kata ini berarti pemberian yang
tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan. Ia juga dapat berarti
agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu
merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami, yang
diberikannya tanpa mengarapkan imbalan, bahkan diberikannya
karena didorong oleh tuntunan agama atau pandangan hidupnya. 5
Kerelaan istri menyerahkan kembali maskawin itu harus benar-
benar muncul dari lubuk hatinya. Karena itu, ayat di atas, setelah
menyatakan (طب) thibna yang maknanya mereka senang hati,
ditambah lagi dengan kata (نفسا) nafsan‟ jiwa untuk menunjukkan
betapa kerelaan itu muncul dari lubuk jiwanya yang dalam tanpa
tekanan, penipuan dan paksaan dari siapa pun. Dari ayat ini dipahami
adanya kewajiban suami membayar maskawin buat istri, dan bawa
maskwain itu adalah hak istri secara penuh. Dia bebas
menggunakannya dan bebas pula memberi seluruhnya atau sebagian
darinya kepada siapa pun termasuk kepada suaminya. Dalam surah al-
Baqarah [2]: 236 penulis kemukakan bahwa firman-Nya: “ selama
kamu belum menyentuh mereka atau mewajibkan atas dirimu untuk
4M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 415-416
5M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 416
77
mereka suatu kewajiban untuk membayar mahar, “ menunjukkan
bahwa maskawin bukanlah rukun pada akad nikah. Sehingga, dengan
demikian, bila maskawin tidak disebut pada saat akad, pernikahan
tetap sah.6
Maskawin menjadi kewajiban suami, bahkan membelanjai istri
dan keluarga, karena demikian itulah kecenderungan jiwa manusia
yang normal, bahkan binatang. Pernahkah anda melihat ayam betina
menyodorkan makanan untuk ayam jantan? Bukankah ayam jantan
yang menyodorkan makanan untuk kemudian merayu dan
mengawaninya? Demikian tabiat yang ditetapkan Allah swt. Bahkan,
wanita yang tidak terhormat sekalipun enggan, paling tidak enggan,
terlihat atau diketahui membayar sesuatu untuk kekasihnya.
Sebaliknya, rasa harga diri lelaki menjadikannya enggan untuk
dibiayai wanita. Ini karena naluri manusia yang normal merasa bahwa
dialah sebagai pria yang harus menanggung beban itu.7
2. QS. An-Nisa [4]: 24-25
والمحصنات من النساء إله ما ملكت أيانكم كتاب الله عليكم
ر مسافحين ت غوا بموالكم مصنين غي وأحله لكم ما وراء ذلكم أن ت ب
هنه فآتوىنه أجورىنه فريضة ول جناح عليكم فيما فما استمت عتم بو من
تم بو من ب عد الفريضة إنه الله كان عليما حكيما ) ( ومن ل 42ت راضي
6M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 416-417
7M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 417
78
يستطع منكم طول أن ي نكح المحصنات المؤمنات فمن ما ملكت
ت ياتكم المؤمنات والله أعلم بيانكم ب عضكم من ب عض أيانكم من ف
ر فانكحوىنه بذن أىلهنه وآتوىنه أجورىنه بلمعروف مصنات غي
بفاحشة مسافحات ول متهخذات أخدان فإذا أحصنه فإن أت ين
ف عليهنه نصف ما على المحصنات من العذاب ذلك لمن خشي
غفور رحيم ) ر لكم والله (42العنت منكم وأن تصبوا خي “Dan (diharamkan juga kmu menikahi) perempuan yang bersuami,
kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu
miliki. Sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu
selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha
dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka
karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan mereka. Berikanlah
maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak
mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya,
setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana. Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai
biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka
(dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya
yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari
kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-
Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah
mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-
perempuan yang memelihara diri, buka pezina dan bukan (pula)
perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.
Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan
perbuatan keji (zina) , maka (hukuman) perempuan-perempuan
merdeka (yang tidak bersuami). (kebolehan menikahi hamba sahaya)
itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam
menjaga diri dari (perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu
79
lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun , Maha Penyayang.” (QS
an-Nisa [4]: 24-25)
Kata أجر dalam ayat diatas diartikan sebagai Mahar.
Dalam penjelasan Quraish Shihab terhadap tafsir al-Misbah
adalah Selesai memerinci yang haram dinikahi, kemudian dijelaskan
siapa yang boleh dinikahi dan caranya, dengan menegaskan bahwa
dan dihalalkan bagi kamu seselain itu, yakni selain mereka yang
disebutkan pada ayat ini dan yang lalu serta selain yang dijelaskan
oleh Rasul Saw itu dihalalkan supaya kamu mencari dengan sungguh-
sungguh pasangan-pasangan yang halal dengan harta kamu yang kamu
bayarkan sebagai maskawin dengan tujuan memelihara kesucian kamu
dan mereka, bukan sekadar untuk menumpahkan cairan yang
terpancar itu, dan memenuhi dorongan berahi, atau bukan untuk
berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka
dengan sempurna imbalannya, yakni maharnya, sebagai suatu
kewajiban yang kamu tetapkan kadarnya atas diri kamu berdasarkan
kesepakatan kamu dan ditetapkan juga oleh Allah dan tidaklah
mengapa, yakni tidak ada dosa bagi kamu, wahai para suami, terhadap
sesuatu yang kamu sebagai suami istri telah saling merelakannya,
sesudah kewajiban itu, yakni sesudah menentukan mahar itu. 8
Penggunaan kata (أجر) ajr/upah untuk menunjuk maskwain
dijadikan dasar oleh ulama-ulama bermazhab Hanafi untuk
menyatakan bahwa maskawin haruslah sesuatu yang bersifat material.
Tetapi kelompok ulama bermazhab Syafi‟i tidak mensyaratkan sifat
8M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 479-480
80
material untuk maskawin. Penyebutkan kata upah disini hanyalah
karena disini hanyalah karena itu yang umum terjadi dalam
masyarakat. Rasul saw. kata mereka, membenarkan pernikahan
seseorang dengan memberi maskawin pada istrinya berupa pengajaran
al-Qur`an. Hemat penulis, maskawin sebaiknya berupa materi,
“Carilah walau cincin dari besi” demikian sabda Rasul saw. Kalau
memang benar-benar tidak ada, barulah sesuatu yang bersifat non
materi, seperti ayat-ayat al-Qur`an, karena maskawin antara lain
merupakan lambang kesediaan suami untuk mencukupi kebutuhan
istri dan anak-anaknya. Bahwa memberi kitab suci al-Qur`an atau alat-
alat shalat bersama sesuatu yang bernilai materi tentu saja tidak
dilarang, bahkan itu baik jika ia dimaksudkan untuk dibaca oleh istri
serta mengingatkan pelaksanaan shalat.9
Maskawin dilukiskan oleh ayat ini dengan redaksi mewajibkan
(atas dirimu) untuk mereka suatu kewajiban. Ini untuk menjelaskan
bahwa mas kawin adalah kewajiban suami yang harus diberikan
kepada istrinya, tetapi hal tersebut hendaknya diberikan dengan tulus
dari lubuk hati sang suami karena dia sendiri, bukan selainnya yang
mewajibkan atas dirinya. Di tempat lain, Allah memerintahkan
pemberian maskawin itu dengan firman-Nya: “Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang
penuh kerelaan”.10
(QS an-Nisa [4]: 4).
Sungguh buruk jika wali memaksakan jumlah tertentu untuk mas
kawin, apalagi yang memberatkan calon suami. Mas kawin bukanlah
9M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 488
10M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 620
81
harga dari seorang istri, tetapi ia antara lain adalah lambang kesediaan
dan tanggung jawab suami memenuhi kebutuhan istri dan anak-
anakya. Walaupun kamu, wahai para suami yang menceraikan istrinya
dalam kasus di atas, tidak berkewajiban membayar sesuatu, sungguh
bijaksana jika kamu memberikan sesuatu kepadanya karena itu
hendaklah kamu berikan suatu mut‟ah (pemberian kepada mereka).
Ini karena perceraian tersebut telah menimbulkan sesuatu yang dapat
mengeruhkan hati istri dan keluarganya, bahkan dapat menyentuh
nama baik mereka. Pemberian tersebut sebagai ganti rugi atau
lambang hubungan yang masih tetap bersahabat dengan mantan istri
dan keluarganya walaupun tanpa ikatan perkawinan. Jumlahnya
diserahkan kepada kerelaan mantan suami. Yang luas (rezekinya
memberi) menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patu sesuai
dengan pandangan agama dan masyarakat.
Yang luas, yakni rezekinya, seperti diterjemahkan di atas, ada
juga yang memahaminya dalam arti yang luas geraknya dipentas bumi
ini untuk mebcari rezeki. Ini berarti ia mempunyai kemampuan untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau karena luasnya
geraknya maka ia memperoleh rezeki yang banyak. Memang orang
yang berpangku tangan, tidak bergerak aktif, tidak akan memperoleh
rezeki yang memadai. “Tidaklah ada suatu dhabbah pun di bum
melainkan Allah-lah yang meberi rezekinya” (QS Hud [110: 6. Maka
kata dhabbah adalah makhluk yang bergerak sehingga semakin luas
bergerak, semakin berpeluang makhluk itu memperoleh rezeki.11
11M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 620
82
Yang demikian itu merupakan hak (ketentuan) atas al-Muhsinin,
yakni orang-oran yang berbuat kebajikan. Penutup ayat ini dijadikan
dasar oleh dua kelompok ulama untuk menguatkan pendapat mereka
tentang hukum pemberian mut‟ah di atas. Yang mengarahkan
pandangannya kepada kata al-Muhsinin berpendapat bahwa
pemberian itu bersifat anjuran.12
3. QS. al-Baqarah: 236-237:
وىنه أو ت فرضوا لنه فريضة ل جناح عليكم إن طلهقتم النساء ما ل تسوعلى المقت قدره متاعا بلمعروف حقا ومتعوىنه على الموسع قدره
وىنه وقد 432على المحسنين ) ( وإن طلهقتموىنه من ق بل أن تسف رضتم لنه فريضة فنصف ما ف رضتم إله أن ي عفون أو ي عفو الهذي بيده نكم إنه الله قوى ول ت نسوا الفضل ب ي رب للت ه عقدة النكاح وأن ت عفوا أق
( 432با ت عملون بصير )“Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu
yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut‟ah, bagi yang
mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut
kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang
merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan
jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri),
padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah)
seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka
(membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di
tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah
kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah [2]: 236-237).
12M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 621
83
Kata فريضة dalam ayat diatas diartikan sebagai Mahar.
Dalam penfasiran tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa Tidak ada
kewajiban atas para suami, membayar mahar atau selainnya kecuali
yang akan ditetapkan nanti jika kamu, karena satu dan lain sebab,
menceraikan wanita-wanita yang telah menjalin ikatan perkawinan
dengan kamu selama kamu belum menyentuhnya, yakni berhubungan
seks dengannya, dan selama kamu menentukan maharnya. Ini berarti
bahwa seorang suami yag menceraikan istrinya, tidak berkewajiban
membayar mahar bila istri tersebut tidak digauliya dan tidak pula ia
belum menetapkan mahar ketika berlangsung akad nikah. Firman-
Nya: selama kamu belum menyentuh mereka atau mewajibkan atas
dirimu untu mereka suatu kewajiban membayar mahar menunjukkan
bahwa maskawin bukanlah rukun ada akad nikah. Dengan demikian,
bila pun maskawin tidak disebut pada saat akad, pernikahan tetap
dinilai sah.13
“tidaklah ada halangan atas kamu jika kamu mentalak
perempuan selama tidak kamu sentuh mereka, atau sebelum kamu
tentukan kepada mereka (mahar) yang difardhukan.”
Untuk mengetahui kedudukan ayat ini, yaitu boleh menceraikan
istri sebelum “disentuh” tegasnya sebelum dicampuri, dan boleh pula
sebelum maharnya dibayar, hendaklah kita ketahui adat istiadat
setengah negeri, dalam islam, terutama ketika ayat ini turun. Seorang
gadis juga mempunyai kewajiban yang mulia di samping akan
bercampur gaulnya dengan suaminya, ia menghubungkan diantara
dua keluarga, supaya lebih akrab. Sampai sekarang di negeri-negeri
timur seumumnya masilah kuat dan penting hubungan ipar besan di
13M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 619
84
antara kedua keluarga itu, sehingga berkesan menjadi pepatah di
beberapa negeri di Indonesia kita ini: “Yang nikah adalah mempelai
sama mempelai, tetapi yang kawin adalah keluarga dengan
keluarga.”14
Kadang kadang seorang orang tua yang mempunyai anak
perempuan menawarkan anaknya kepada seorang laki-laki yang dia
sukai, terlebih-lebih untuk memperkarib persaudaraan, dan laki-laki
menerimanya. Kemudian kawinlah mereka, ternyata bahwa
perempuan itu tidak suka terhadap suaminya, atau si suami tidak
suka kepada perempuan itu, padahal mereka belum berlarut-larut
bolehlah mereka bercerai. Dan dalam hal yang lain lagi, meskipun
seketika akad nikah sudah wajib diterangkan beberapa mahar akan
dibayar, ada pula yang berjanji bahwa mahar itu tidak tunai dibayar
hari itu melainkan dijanjikan di hari lain. Maka kalau keputusan
bercerai (talak) juga akan terjadi, tidaklah mengapa. Artinya boleh
mentalak sebelum mahar dibayar. Tetapi dilanjutkan ayat
diterangkan kewajiban mentalak istri sebelum dicampuri, atau
sebelum mahar dibayar itu: “dan berilah mereka bekal, (yaitu) bagi
orang yang berkelapangan sekedar lapanganya.” Tegasnya berilah
perempuan itu uang pengobat hati itu uang pengobat hatinya. Kalau
engkau orang kaya berilah menurut ukuran kekayaanmu. “Dan bagi
yang berkempitan menurut kadarnya (sekedar kemampuanya pula).”
Lalu dijelaskan apa macamnya bekalan pengobat hati itu. “Yaitu
bekalan yang sepatutnya,” sekali lagi yang sepatutunya, atau yang
ma‟ruf. Yaitu yang patut menurut kebiasaan di tempat itu dan masa
itu. Dan di ujung ayat ditegaskan lagi: “Menjadi kewajiban bagi
14 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. III hlm 619
85
orang-orang yang ingin berbuat kebaikan.” (ujung ayat 236). Inilah
pendidikan budi pekerti yang sedalam-dalamnya kepada orang yang
beriman.15
Dalam tafsir Al-Misbah dijelakan bahwa ayat ini menjelaskan
tentang perceraian terhadap istri yang belum digauli baik sebelum
maupun setelah mereka menyepakati jenis atau kadar maskawin.
Dan Qurais Shihab menjelaskan bahwa seorang suami menceraikan
istrinya tidak berkewajiban membayar mahar bila istri tersebut tidak
digaulinya dan tidak pula ia belum menetapkan mahar ketika
berlangsung akad nikah.
Dan beliau menjelaskan pula bahwa maskawin bukanlah rukun
pada akad nikah. Dengan demikian, bilapun maskawin tidak disebut
pada saat akad, pernikahan tetap dinilai sah. Lalu beliau juga
menjelaskan maskawin dilukiskan pada ayat ini dengan redaksi
mewajibkan. Ini untuk menjelaskan bahwa maskawin adalah
kewajiban suami yang harus diberikan kepada isterinya tetapi hal
tersebut hendaknya diberikan dengan tulus dari lubuk hati sang
suami karna dia sendiri bukan selainya yang mewajibkan atas
dirinya. Quraish Shihab juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa
sungguh buruk jika wali memaksakan jumlah tertentu untuk
maskawin apalagi yang memberatkan calon suami maskawin
bukanya harga diri seorang isteri, tetapi ia antara lain adalah lambng
kesediaan dan tanggung jawab suami memenuhi kebutuhan isteri dan
anak-anaknya.
Kemudian pada ayat selanjutnya ayat 237 Quraish Shihab
menjelaskan kalau perceraian dijatuhkan sebelum terjadi hubungan
15 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), cet. 5, h. 326-
327
86
seks, tetapi telah disepakati kadar mahar sebelum perceraian, yang
wajib diserahkan oleh suami adalah seperdua jumlah yang ditetapkan
itu ini karena salah satu tujuan utama perkawinan belum terlaksana
yakni hubungan seks. Dan beliau mengutip pendapat para pakar
hukum bahwa kalau seorang suami telah bercampur dengan isterinya
dan telah pula menetapkan kadar maharnya, ia berkewajiban
memberikan mahar pada isterinya, demikian juga kepada isteri yang
diceraikanya, kadar mahar secara penuh. Adapun kalau mereka
sudah bercampur sebagai layaknya suami isteri, tetapi belum ada
ketetapan tentang kadar mahar sebelum diceraikanya, yang wajib
dibayarkan oleh suami adalah sejumlah yang pantas bagi wanita
yang setatus sosialnya sama dengan status sosial isteri yang
diceraikan itu.
C. Analisis Penulis
Menurut Quraish Shihab, pada Q.S An-Nisa: 4 dijelaskan
bahwa nama lain dari kata mahar adalah صدقات Dan نلة. Shaduqat
yang artinya kebenaran karena maskaswin itu didahului oleh janji
sehingga pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji.
Kemudian. Pada An-Nisa ayat 24-25 dijelaskan bahwa menikah
itu terdapat kesenangan dan ketentraman jiwa maka sudah sepatutnya
seorang lelaki yang hendak menikah membayar mahar dan tidak boleh
menggauli istri tanpa memberi nafkah. Kewajiban pemberian
maskawin itu diberikan walaupun hanya kepada budak yang dinikahi.
Kemudian pada QS. Al-Baqarah 236-237 dijelaskan bahwa
apabila setelah bercerai dan belum bergaul dengan sang istri serta
87
mahar belum dibayarkan maka pihak lelaki harus membayar mahar
setengahnya. Sebaliknya apabila mahar telah dibayarkan seluruhnya
maka dari pihak istri harus mengembalikan setengah dari mahar
yang diberikan. Dan apabila kedua belah pihak saling memaafkan
maka peraturan Allah tidak berlaku lagi.
Mengenai tradisi uang panai‟ yang menjadi adat di Sulawesi
Selatan, dijelaskan bahwa didalam al-Qur‟an, Tafsir al-Misbah
maupun dalam agama islam, tidak dijelaskan mengenai pemberian
uang panai‟ atau uang belanja, yang ada adalah mahar. Walaupun
pemberian uang panai‟ tidak diatur secara gamblang dalam hukum
Islam, namun pemberian uang panai‟ sudah merupakan suatu tradisi
yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini
tidak bertentangan dengan akidah dan syari‟at maka hal ini
diperbolehkan.
Dalam hal ini, jangan sampai terdapat unsur keterpaksaan antara
kedua belah pihak, bagi yang tidak mempunyai kemampuan untuk
memberikan uang panai‟ dalam jumlah yang besar hendaknya
jangan terlalu dipaksakan. Ditinjau dari sudut agama, Islam sebagai
agama rahmat lil„alamin tidak menyukai penentuan uang panai
(pesta pernikahan) yang memberatkan pihak laki-laki untuk
melangsungkan perkawinan, demikian pula uang panaik (biaya
pesta) yang hanya merupakan anjuran agar tidak memberatkan bagi
pihak yang mempunyai niat suci untuk menikah.
88
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis di atas, penulis dapat menyimpulkan:
Pemahaman yang muncul dari sebagian orang tentang pengertian
mahar dan uang panai’ masih banyak yang keliru. dalam adat
perkawinan masyarakat bugis, baik mahar ataupun uang panai’
merupakan dua pengertian yang berbeda. Uang Panai’ adalah “Uang
hantaran” yang harus diserahkan dari pihak keluarga calon mempelai
laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk
membiayai prosesi pesta pernikahan. Sedangkan Mahar adalah
pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam.
Mahar dan uang panai’ dalam perkawinan adat suku bugis
adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam
prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal
kewajiban yang harus dipenuhi. Akan tetapi uang panai’ lebih
mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat
menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan. Sehingga
jumlah uang panai’ yang ditentukan oleh pihak wanita biasanya lebih
banyak daripada jumlah mahar yang diminta. Dalam kenyataan yang
ada uang panai’ bisa mencapai ratusan juta rupiah karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor, justru sebaliknya bagi mahar yang
tidak terlalu dipermasalahkan sehingga jumlah nominalnya
diserahkan kepada kerelaan suami yang pada umumnya hanya
berkisar Rp. 10.000 – Rp. 5.000.000, saja.
89
Walaupun pemberian uang panai’ tidak diatur secara gamblang
dalam hukum Islam, namun pemberian uang panaik sudah merupakan
suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan
selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at maka
hal ini diperbolehkan
Dalam tafsir al-Misbah dan pengertian mahar dalam QS. An-
Nisa ayat 4, bahwa nama lain dari mahar adalah Shoduqah dan
Nihlah. Dalam tafsir al-Misbah shoduqah yang berarti kebenaran,
karna menurut beliau maskawin itu didahului oleh janji sehingga
pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji dan dari segi
kedudukannya, mahar dartikan sebagai lambang kesediaan suami
dalam mencukui.
Dan untuk ukuran mahar, dalam tafsir al-Misbah menjelaskan,
bahwa mahar hendaknya dalam bentuk materi, yaitu walau hanya
dengan cincin dari besi sebagaimana sabda Nabi saw. Dan boleh juga
hanya dengan pengajaran ayat-ayat suci Al-Qur`an.
90
B. Saran
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tak luput dari kesalahan
dan kekurangan, maka dari itu harus banyak peneliti yang meneliti
tentang kajian ini, karena pembahasan tentang mahar sangat luas.
91
DAFTAR PUSTAKA
@tausyiahku_, Tausyiah Cinta, Jakarta: QultumMedia, 2016.
A. M Ismatullah, “Kisah Yusuf Dalam Tafsir Al-Mishbah” dalam Tesis Uin
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2006.
Abbas, Adil Abdul Mun’im Abu. Ketika Menikah jadi Pilihan,terj. Az-Zawaj
wa al-`Aalaqaat al-Jinsiyyah fi al-IslamolehGazi Said (Jakarta:
Almahira, 2008.
Abdurrahman Abdul Aziz bin dan Khali bin Ali, Pernikahan dan
Permasalahannya, terj. Najmul Shalib oleh Musifin As’ad dan Salim
Basyarahil, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1995.
al-Bukhori, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhori, Beirut:
Dar el Fikri, 2006.
Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Darul
kutu al Ilmiah, 2003.
Al-Mundziri, Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim. Ringkasan Shahih Muslim terj.
Mukhtashar Shahih Muslim oleh Syinqithy Djamaluddin dan Mochtar
Zoreni, (Bandung: Mizan, 2009) Cet ke-2 h. 439
Al-Qur`an Terjemahan Kementrian Agama.
Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Al-Azhar Juz I-II, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983.
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender menurut Quraish Shihab, Jakarta:
Visindo Media Pustaka, 2008.
Anwar, Mauluddin. Cahaya, Cinta, Canda Quraish Shihab, Tangerang,
Lentera Hati, 2015.
As Shabuni, Muhammad Ali. Penikahan Dini yang Islami, Jakarta: Pustaka
Amani, 1996.
As’ad, Musifin dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, terj.Al-
Ziwaaj Wa Al-Mubuur oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993.
92
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Kamus
Bahasa Pusat, 2008.
Faudah, Muhammad Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur`an, Perkenalan Metode
Tafsir, Bandung: Pustaka, 1407 H.
Ghazaly,Abd. Rahman Fiqih Munakahat, Jakarta; Prenada Media, 2003.
Hakim, M. Luqman. Skripsi: ”Konsep Mahar dalam al-Qur’an dan
Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam” Malang: UINMMI,
2018.
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur`an di Indonesia, Bandung: Mizan,
1996.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Yogyakarta: Lkis Pelangi
Aksara, 2013.
Istiqomah, Abdullah. “Mahar Pernikahan yang baik dalam Islam seperti
sabda Rasulullah saw” dalam Artikel, 25 Januari 2017.
Kamal Faqih Imani dkk. Nurul Qur`an terj. Nurul Qur`an oleh Anna Farida
Jakarta: Al-Huda, 2003.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 1 huruf d tentang Ketentuan
Hukum Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 35-38 tentang Ketentuan
Mahar.
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016.
Maududi, Abul A’la. Kawin dan Cerai menurut Islam, Jakarta: Gema Insani
Press, 1995.
Muchtar, Kamal Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
Muhammad Luqman Hakim, “Konsep Mahar dalam Al-Quran dan
Relevansinya dengan Kompilasi Hukum, t.t.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progresip, 1997.
93
Mustafa, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam Di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Nasution, Harun Dkk. Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan,
2002.
Noryamin Aini, “Tradisi Mahar di ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan
Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia”, 2017.
Nur, Afrizal ”M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, dalam Jurnal
Ushuluddin vol XVIII No. 1 Januari 2012.
Rajafi,Ahmad MHI. Nalar Fiqh Quraish Shihab, Yogyakarta: istana
Publishing, 2014.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017.
Rasjid,Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Penerbit
Sinar Baru Algensindo, 2014.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Jakarta; Pustaka Azzam, 2007.
Said,Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah Al-Qur`an: Kajian Atas Tafsir
al-Mishbah, Jakarta: Puspita Press, 2011.
Saifuddin dan Wardani, Tafsir Nusantara, Yogyakarta, LKis Printing
Cemerlang, t.t.
Samsulnizar, Memperbincangkan Dinamika Inteletual dan HAMKA tentang
pendidikan Islam, Jakarta: kencana, 2008.
Shalih, Fuad. Untukmu yang akan menikah dan yang telah menikah, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Shihab, M. Quraish Wawasan Al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1992.
Shihab, M. Quraish. M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan
yang patut anda ketahui, Tangerang: Lentera Hati, 2015. 39 buku
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur`an Fungsi Dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Mizan, 1992.
94
Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, Jakarta: Lembaga Pengembangan UIN SYarif Hidayatullah
2011.
Syukur, Yanuardi dan Arlen Ara Guci. Buya HAMKA: Memoar Perjalanan
Hidup Sang Ulama, Solo: Tinta Medina, 2017.
Uang Panai dalam pandangan ekonomi islam di kecamatan kajuara kab.
Bone, skripsi oleh Nilawati
Wartini, Atik. “Corak penafsiran M. Quraish Shihab dalam tafsir al-
Mishbah”, Hunafa: Jurnal Studi Islamika Vol 11 No. 1, Juni 2014.
Yusuf,Yunan. Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar, Jakarta: Penamadina, 2003.
Sumber internet:
http://www.bombastis.com/5daerahdenganmaharselangit.
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis, diposting tanggal 1 September
2019 diakses 4 September 2019
https://www.gurupendidikan.co.id/suku-bugis/, diposting pada tahun 2014
diakses 4 September 2019
A. Hasil Wawancara dengan para Narasumber
1. Nama; Kasmidi Hamzah,
TTL: Sidrap, 20 juli 1982
Asal Daerah; Sidrap, Sulawesi Selatan
Waktu Wawancara: 28 Agustus 2019
Pertanyaan Jawaban
Apakah benar anda suku bugis asli ? Iya, kedua orangtua saya suku asli bugis
Ketika anda menikah, berapa uang
panai’ yang anda keluarkan?
Uang panai’ atau uang belanja yang
saya berikan ke istri Rp. 30 juta
kemudian saya juga memberikan
hantaran berupa alat makeup, sarung
bugis, baju, sepatu, dan kelambu.
Hanya, untuk uang panai’ , kata istri
saya pada waktu itu kurang untuk acara
persiapan resepsi, dan kekurangannya
ditanggung oleh istri saya.
Bagaimana dengan mahar ? Mahar yang saya berkan ke istri pada
waktu ijab qabul dikatakan seperangkat
alat sholat dan emas 10gram, itu mahar
saya kepada istri.
TTD
Kasmidi Hamzah
2. Nama: Chaerul Anam
TTL : Bone, 6 Maret 1997
Asal Daerah : Bone, Sulawesi Selatan
Waktu Wawancara : 6 September 2019
Pertanyaan Jawaban
Apakah benar anda suku bugis asli ? Iya, orang tua saya masih punya keturunan raja
asli bone
Ketika anda menikah, berapa uang panai’
yang anda keluarkan?
Istri saya orang sunda, dia tidak meminta uang
panai’ namun karena saya sebagai orang Bugis
Makassar, menghargaiyang namanya adat dan
tradisi , maka saya dari pihak laki-laki memberi
uang panai’ Rp. 40 juta
Bagaimana dengan mahar ? Mahar saya berikan kepada istri saya kebun
kelapa sawit seluas 2 hektar.
TTD
Chaerul Anam
3. Nama: Aloma
TTL : Jeneponto, 25 Oktober 1968
Asal Daerah : Jeneponto, Sulawesi Selatan
Tanggal Wawancara : 16 September 2019
Pertanyaan Jawaban
Apakah benar anda suku bugis asli ? Iya, saya keturunan asli suku bugis mandar
Ketika anda menikah, berapa uang
panai’ yang anda keluarkan?
Pada waktu itu, mempelai wanita meminta
uang panai’ Rp. 35 juta, dan dari pihak
saya mengiyakan, jadi pada waktu itu uang
panai saya R. 35 juta
Bagaimana dengan mahar ? Mahar saya 1 set perhiasan 3 gram
TTD
Aloma
4. Nama: Riki Richardo Rifaldi Senewe
TTL : Ampana, 15 Februari 1996
Asal Daerah : Palu, Sulawesi Tengah
Waktu Wawancara : 16 September 2019
Pertanyaan Jawaban
Apakah benar anda suku bugis asli ? Iya. hanya dari keturunan bapak, tetapi ibu
tidak.
Ketika anda menikah, berapa uang
panai’ yang anda keluarkan?
Ketika saya berkunjung ke kediaman
wanita, keluarga mempelai wanita
menawarkan uang panai sekitar 50 juta
kemudian keluarga saya menyanggupinya
Jadi, uang panai’ istri saya pada waktu itu
Rp. 50 juta mengingat pendidikannya
Magister (S2).
Bagaimana dengan mahar ? Mahar istri saya Emas dan Gelang 3 gram
TTD
Riki Richardo R
RIWAYAT HIDUP
Nysa Riskiah Lakara, nama panggilan
Nisa. Dilahirkan di kota Manado, pada tanggal 23
november 1997, anak pertama dari 3 bersaudara,
dari pasangan Kasrin A. Lakara dan Nurhasanah
Ali. Saat ini tinggal Jl. Aspi no. 95, rt 03 rw 08,
Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan. Mulai
menempuh pendidikan dari TK Pertiwi, Binangga, Sulawesi Tengah
kemudian SDN no. 1 Binangga (lulus tahun 2009), kemudian Mts
Alkhairaat Pusat Palu (lulus tahun 2012), MA. Alkhairaat Pusat Palu
(lulus tahun 2015), kemudian melanjutkan studi di Institute Ilmu Al-
Qur’an (IIQ) Jakarta Fakultas Ushuluddin, Program Studi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir.
Selama menempuh pendidikan ini, penulis aktif di organisasi
pramuka (2010-2015) dan pernah menjabat sebagai ketua pramuka
putri (Pradani). Kemudian pernah aktif dalam organisasi PPIA
(Persatuan Pelajar Islam Alkhairaat) dan pernah menjabat sebagai
anggota bidang politik.
Selain itu penulis juga memiliki beberapa prestasi, yaitu Juara
1 lomba puisi tingkat sekolah (SD) se-kecamatan tahun 2008, juara 2
cabang MFQ pada MTQ tingkat kabupaten Sigi di Bora, Sulawesi
Tengah tahun 2012, dan juara 2 cabang MFQ pada MTQ tingkat
kabupaten Sigi di Palolo, Sulawesi Tengah pada tahun 2014.