“maa lam tankihi” filejudul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan...
TRANSCRIPT
1
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
“Maa Lam Tankihi”
Klausul Hadhanah yang Terabaikan
Oleh E r f a n i, S.HI
A. Muqaddimah
Penggalan kalimat dalam judul di atas, adalah bagian akhir dari sebuah hadis
cukup populer yang hampir dipastikan selalu meramaikan pertimbangan hukum
sebagian Hakim Agama dalam memutus perkara hak asuh anak atau hadhanah.
Hadis tersebut memang hanya „dikodifikasi‟ dalam beberapa kitab hadis saja, dan
tidak termasuk di dalamnya Shahihaini Bukhari dan Muslim. Tercatat hanya ada
setidaknya empat Imam Hadis yang merekrut hadis tersebut, yaitu Imam Abu Dawud
dalam Sunannya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, dan Imam al Hakim
dalam Mustadraknya, serta Al Baihaqi dalam Sunannya.
Redaksi lengkap hadis tersebut versi Abi Dawud sebagai berikut;
يد عن أب عمرو ث نا الول لمى حد ود بن خالد الس ث نا مم ثن عمرو بن - ي عن األوزاعى - حد حد
ه عبد اللو بن عمرو أن امرأة قالت يا رسول اللو إن ابن ىذا كان بطن لو وعاء يو عن جد شعيب عن أب
صلى اهلل -وثدي لو سقاء وحجرى لو حواء وإن أباه طلقن وأراد أن ي نتزعو من ف قال لا رسول اللو
.«أنت أحق بو ما ل ت نكحى » - عليو وسلم
Umumnya Muhaditsin menilai hadis tersebut hanya berkualitas hasan. Namun Imam
Al Hakim cenderung menghargainya dengan nilai shahih, tepatnya shahihulisnad.
(Bulughul Maram I, h. 453 lihat pula Al Mustadrak „Ala Shahihain, II, h. 225).
Dengan status hadis tersebut sedemikian itu, maka tentu masih dipandang
relevan menjadi rangkaian dalil dalam pertimbangan hukum para Hakim saat
memutus perkara hadhanah. Setidaknya hadis itu bukan dhaif yang standar hukum
tidak bisa mengacu kepadanya.
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
2
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
Dalam prakteknya, sebagian hakim menggunakan hadis tersebut guna
mengukuhkan pendapat mereka saat menetapkan dan atau memutus bahwa kepada
Ibu lah hak asuh anak diberikan, atau jika diambilkan dari redaksi itu, akan sesua i
dengan penggalan “anti ahaqqu bihi…”. Padahal matan hadis itu merupakan bagian
yang tidak terpisahkan satu sama lain. Karena jika diterjemahkan secara bebas akan
berarti, “engkau_wahai sang Ibu_paling (jika ingin diartikan „lebih berhak‟ harus
mentaqdirkan lafaz min; anti ahaqqu bihi minhu) berhak atas anak tersebut selama
engkau belum/tidak menikah lagi”. Kenyataannya, klausul selama engkau belum
menikah lagi itu tidak pernah atau setidaknya jarang disinggung. Bahkan di lain
pihak, mungkin justru menilai tidak perlu disinggung, karena kenyataan yang ada
saat memutus perkara, sang ibu hampir pasti bukan/belum menikah lagi, sehingga
hakim tidak perlu mempertimbangkan sesuatu yang belum terjadi.
Namun kendati demikian, menjadi sesuatu yang penting bahwa dalil itu tidak
sekadar dicatut apa adanya, melainkan harus pula dibarengkan dengan pemahaman
yang memadai agar pencantuman sebuah dalil dapat diresapi sebagai sebuah
keyakinan yang mendalam. Klausul maa lam tankihi yang dipenggal sebagai bagian
judul tulisan ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelusuri, dengan pertanyaan
awal, bagaimana jika lantas sang ibu itu menikah lagi?
Selain untuk menjawab itu, banyak lagi hal lain yang perlu diketahui atau
diperjelas kaitannya dengan klausul itu, yang patut dibahas bersama. Beberapa
rumusan itu antara lain;
1. Apa pengertian dari klausul maa lam tankihi itu secara khusus dan redaksi
(matan) hadis itu secara umum?
2. Apa urgensi mempertimbangkan klausul maa lam tankihi dalam perkara
hadhanah?
3. Bagaimana pula konsekuensi dari jika sang ibu itu lantas di kemudian hari
menikah lagi dengan orang lain? Bagaimana pengaruhnya terhadap hak asuh yang
ada pada Ibu itu? Atau, lantas siapa yang paling berhak setelah ibu dalam hal
hadhanah anaknya jika ibu menikah lagi dengan orang lain?
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
3
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
B. Mabhats Awwal; Kandungan Hadis
Menurut Ibnu Qayyim, hadis ini merupakan satu-satunya hadis Nabi tentang
gugurnya hadhanah karena menikah. Terlepas dari sisi kuantitas itu, yang jelas
faktanya hadis tersebut ada, sehingga yang selanjutnya harus dilakukan adalah
menilai kualitasnya, atau menakar kehujahan dan mengupas substansi hadis tersebut.
Hadis itu sebetulnya berkisah tentang sebuah peristiwa dimana sepasang suami istr i
bercerai dan memperebutkan anak mereka. Sang isteri kemudian
menghadap/mengadu/menyengketakan perkaranya itu di hadapan Muhammad saw
(dalam kapasitasnya sebagai Qadhi dan Rasul; dengan produk hadis sebagai sumber
hukum), dan menyampaikan dalil-dalil psikologis kaitannya dengan kapasitasnya
sebagai ibu, dimana sejak dari buaian, dirinya lah yang merawat anak itu, baik saat
dalam kandungan, menyusui, hingga saat-saat anak itu tumbuh dalam pangkuannya.
Sementara saat itu suaminya telah menalaknya, lantas akan merebut anak itu darinya.
Rasul pun kemudian memutuskan bahwa sang ibu lah yang lebih/paling berhak untuk
mengasuh anak tersebut, sejauh ia belum/tidak menikah lagi.
Jika dicermati susunan kalimatnya, maka redaksi/matan hadits itu terdiri dari
dua kalimat yang selanjutnya dimajemukkan. Yang pertama Anti Ahaqqu bihi dan
kedua maa lam tankihi.
Susunan kata Ahaqqu bi sendiri dalam tradisi bahasa Arab memiliki
pengertian tersendiri. Seperti diketahui kata ahaqqu merupakan bentuk tafdhil
(berwazan af`alu), yang bisa berarti lebih (komparatif) dan bisa juga berarti paling
(superlatif). Al Quran juga beberapa kali menggunakan lafaz itu dalam beberapa
ayat. Misalnya dalam hal rujuk, wa bu`ulatuhunna ahaqqu biraddihinna fi zdalika in
aradu ishlaha. Abu Hafsh dalam Lubabnya menyebut bahwa kata ahaqqu dalam ayat
itu tidak bisa diberi makna tafdhil karena hak rujuk secara mutlak ada pada suami
bahkan tidak ada pada isteri sekalipun, apalagi orang lain, sehingga harus dimakna i
haqiqun (حقيقون).
Pengalihan makna kata seperti ini merupakan hal biasa dalam tradisi
leksikologi dan gramatika Arab. Kendati sebuah kalimat dibentuk dalam suatu
wazan, namun tidaklah mutlak ia lantas bermakna sebagaimana dikehendaki dar i
wazan itu. Misalnya kata qatilun (قتيل) yang berwazan fa‟iilun (فعيل) yang merupakan
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
4
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
salah satu wazan isim fa‟il, tidak lantas berarti orang yang membunuh, akan tetap i
dialihkan maknanya menjadi makna isim maf‟ul, yaitu orang yang dibunuh.
Kaitannya dengan ahaqqu yang ada dalam hadis tentang hadhanah itu, maka
dengan asumsi wazan tafdhil itu, ia juga berkemungkinan dipahami sebagai fungs i
komparatif dan juga superlatif. Hanya saja jika kata haq/haqiq itu diformat dengan
wazan tafdhil, penulis cenderung memahaminya dalam konteks yang menafikan hak
hak lain dan sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk menunjuk perbandingan hak .
Karena kapan pun hak personal dibagi-bagi, maka di saat itu pula hak itu tidak dapat
disebut telah dipenuhi. Apalagi kata haq/haqiq tidak identik dengan pengertian kata
sifat yang dapat ditafdhilkan maknanya. Karena itu penggunaan lafaz ahaqqu itu
harus dipahami dalam konteks ta‟kid penguatan hak seorang yang pada saat yang
sama tidak ada hak lain yang bisa ikut andil di dalamnya. Karenanya, diperlukan
instrumen kalimat lain yang menginformasikan bahwa di waktu yang lain hak itu
dapat gugur.
Memenuhi maksud itu, maka redaksi hadis selanjutnya menggandeng kalimat
maa lam tankihi, sebagai pelengkap (yang mengharuskan) dari adanya lafaz ahaqqu.
Keberadaan kalimat maa lam tankihi dengan demikian memberikan arti bahwa ibu
tidak lagi berhak atas hadhanah anaknya jika dalam masa hadhanah (sebelum anak
mumayiz/berusia 7 atau 8 tahun versi Syafi‟i), ia telah menikah lagi dengan orang
lain. Sebagian kalangan fuqaha‟ memberikan spesifikasi dukhul dalam pengertian
nikah itu, artinya dukhul itulah yang menjadi standar batas hak hadhanah bukan
akadnya (di antaranya pandangan kalangan Malikiyah).
Dalam situasi dimana seorang ibu masih sendiri maka hadhanah anaknya
mutlak menjadi hak/kewajibannya. Sementara ketika telah menikah lagi, maka
pernikahannya itu oleh Imam Syafii dan Imam Malik dikategorikan sebagai mani‟
(penghalang; bagian dari hukum wadh‟i) dari hak hadhanah atas anaknya. Artinya
jika sang Ibu bukan lagi berstatus isteri dari laki- laki lain (tidak terikat pernikahan),
maka hilanglah penghalang itu, dan hak asuh/hadhanah atas anaknya akan kembali
kepadanya.
Berangkat dari uraian ini, agaknya hak hadhanah atas anak bagi seorang ibu
itu dibangun atau berlangsung selama terhindar dari sedikitnya 2 situasi;
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
5
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
1. Dari sisi ibu, yaitu selama belum menikah lagi, karena saat ia menikah lagi hak
hadhanah beralih ke pihak lain (tentang hal ini dibahas dalam sub berikutnya).
2. Dari sisi anak, yaitu selama belum mumayyiz. Batas mumayiz (haddut tamyiz)
kaitannya dengan batas hadhanah/nihayatul hadhanah berbeda di kalangan
fuqaha‟. Menurut Syafi‟i, batas tamyiz/hadhanah 7 atau 8 tahun baik anak laki-
laki ataupun perempuan. Imam Malik membedakan antara anak laki- laki dan anak
perempuan. Anak laki- laki batasnya itsighar (waktu dimana gigi susu sudah habis
semua kemudian tumbuh gigi yang baru, masa dimana anak sejak tumbuh gigi
baru itu disebut itsghar; antara 6 sampai 14 tahun). Sementara anak perempuan
batasnya sampai menikah dan telah dicampuri suaminya. Abu Hanifah menilai
batas hadhanah anak perempuan adalah bulugh/akil balig, sementara anak laki-
laki hingga istighna`, anak itu mampu mandiri dari pengasuhan sang ibu. (lihat Al
Muntaqa Syarah al Muwatha IV h. 85) Di Indonesia Kompilasi Hukum Islam
mengambil jalan tengah batas tamyiz adalah 12 tahun. Kemudian jika anak
tersebut telah mencapai masa tamyiz, maka penyelesaian sengketa hak asuh adalah
dengan cara takhyir, yaitu anak diberikan kesempatan memilih antara ayah atau
ibunya.
Terkait lembaga takhyir ini, Ibnu Qayyim cenderung melihatnya sebagai jalur
alternatif saat kemaslatan anak tidak dapat dipastikan apakah berada bersama ibu
atau ayahnya. Artinya selagi kemaslahatan anak berada pada pihak ibu itu dapat
ketahui secara jelas, maka kendati sudah mumayyiz, tidak ada relevansinya untuk
mengaktifasi lembaga takhyir karena dipandang tidak efektif terkait maksud
hadhanah itu sendiri. (Iqazhul Afham fi Syarh „Umdah, j. III, h. 14)
Takhyir sendiri merupakan lembaga yang Nabi pernah mengaktifasinya dalam
satu atau beberapa perkara hadhanah dimana anak telah dinilai mumayiz, yang
selanjutnya menjadi acuan beberapa fuqaha` merekrut ketentuan takhyir itu.
C. Mabhats Tsani; Anak, Ibu Kandung, dan Ayah Tiri
Klausul maa lam tankihi semakin menarik dikaji, saat kita melibatkan
kehadiran ayah tiri sebagai konsekuensi dari adanya pernikahan sang ibu. Ada pesan
sangat tegas dalam hadis itu bahwa ketika sang ibu menikah, hak (ahaqqiyah)
hadhanah atas anaknya gugur/beralih. Hal itu karena berangkat dari sebuah nila i
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
6
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
paten dalam tradisi ajaran Islam bahwa perempuan kapanpun ia menjadi isteri, maka
aktifitas utamanya adalah ketaatan horizontal kepada suami, yang ketaatan itu tidak
dapat dikalahkan saat bertentangan dengan ketaatan horizontal yang lain kecuali jika
suami merestuinya. Hal itu pula yang terjadi saat sang ibu memegang hak hadhanah
atas anaknya kemudian menikah lagi dengan orang lain, maka kepentingan
mengasuh anak itu tidak lebih diutamakan ketimbang kepentingan menaati suami
dan pelayanan yang maksimal kepada suaminya. Atau dengan rumusan lain dapat
dikatakan bahwa tidak menaati/mengurusi/melayani suami itu mudharatnya lebih
besar (potensi dosanya bagi isteri; bayangkan jika suami diurus atau dilayani
tetangga...) ketimbang tidak mengasuh anak (karena anak masih bisa diasuh oleh
pihak lain secara maksimal), sementara ketika dua kemudaratan mengemuka secara
bersamaan, maka kemudaratan yang besarlah yang dijaga dengan cara
melanggar/melaksanakan kemudaratan yang kecil (ru`iya a‟zhamuhuma dhararan
birtikabi akhaffihima). Sehingga guna menjaga keutamaan menaati suami itu, hak
hadhanah bagi sang ibu harus dinyatakan gugur.
Berangkat dari hubungan kepentingan itu, maka sebagian kalangan fuqaha`
mensyaratkan ridha suami baru (ayah tiri anak/bukan bekas suami atau ayah kandung
anak), jika sang ibu ingin hak hadhanahnya tetap berlangsung. Hal itu karena
kepentingan suami sedikit banyak akan terganggu dengan adanya tanggungan ibu
mengurus anak bawaannya itu.
Alasan lain yang mengemuka, adalah bahwa permasalahannya bukan pada
sengketa kepentingan antara ayah tiri dan anak bawaan isteri. Tetapi bahwa secara
naluri, ayah tiri jelas tidak memiliki ikatan psikologis yang memadai untuk sedianya
ikut merawat anak tersebut. Sehingga ayah tiri tidak memiliki sertifikasi syafaqah
dan rahmah yang bersifat fitrah terhadap anak itu, karena memang bukan anak dar i
darah dagingnya. Hal itu dinilai membahayakan perkembangan sang anak, sehingga
apapun alasannya, saat ibu menikah lagi hak asuh harus dialihkan kepada pihak lain
yang lebih laik berdasarkan pertimbangan tertentu.
Selain dua pandangan di atas, ada pula yang memahami bahwa ridha yang
dimaksud bukanlah ridha suami baru/ayah tiri anak, melainkan ridha bekas suami
atau ayah kandung anak. Ketika ibu menikah lagi, maka hak hadhanah tidak gugur
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
7
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
jika bekas suami mengizinkannya. Hal ini karena apapun alasannya, ayah kandung
sedikit atau banyak memiliki hubungan hak terhadap anak kandungnya itu yang
sedang dalam hadhanah ibunya. Tetapi bahwa izin suami harus dipahami dalam
konteks adanya hak mendasar seorang ayah terhadap anaknya saja, karena tidak
lantas ketika ia tidak mengizinkan, anak akan beralih hak asuh kepadanya. Karena
peralihan hak asuh anak dari ibu ke pihak lain, merupakan wilayah kajian tersendir i
(akan dibahas dalam sub berikutnya), dan bukan merupakan ketentuan serta merta ke
ayah kandung.
Hadhanah itu sendiri merupakan lembaga tersendiri sebagai konsekuensi dari
adanya anak dalam sebuah pernikahan. Bahkan ia terpisah dari ketentuan nafkah.
Ketentuan nafkah berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga yang secara khusus
menjadi taklif (tanggungan hukum) bagi kaum laki- laki (lihat Erfani, (artikel
badilag.net) Implikasi Nafkah dalam Konstruksi Hukum Keluarga). Dengan
demikian, pengertian hadhanah sesungguhnya terbatas pada maksud hakiki hadhanah
itu sendiri yang lebih menunjuk maksud al hifzhu atau proses teknis penjagaan dan
pembentukan tumbuh kembang anak, baik fisik maupun mental. Sementara
biaya/mu`nah yang muncul dalam upaya itu seluruhnya menjadi tanggung jawab
ayahnya. Dalam persoalan ini, Undang-Undang Perkawinan menengahinya dengan
memberikan peluang pembebanan biaya hadhanah anak atas Ibu kandung atau Ibu
Kandung dapat ikut menanggung biaya hadhanah anaknya, jika ayah kandung tidak
sanggup lagi untuk memenuhi pembiayaan itu (Pasal 41 Huruf b UU No. 1 Th.
1974).
Di sisi lain, hadhanah itu sendiri mengalami kerancuan seputar apakah ia hak
atau kewajiban. Konsekuensi dari pelabelan hadhanah sebagai hak dari pemegang
hadhanah, akan memberi arti bahwa pemegang hak itu kapan saja bisa melepas
haknya atau sembarangan menggunakan haknya. Situasi ini jelas tidak relevan bagi
kemaslahatan anak. Justru seharusnya, anaklah yang berhak memperoleh hadhanah
yang maksimal dari ibunya, yang dengan demikian berarti hadhanah sejatinya
merupakan sebuah kewajiban jika dilihat dari sudut pemegang hadhanah. Hanya saja,
karena naluri fitrah yang dihadirkan Allah swt dalam hubungan rahim itu begitu
besar, maka kewajiban itu seakan terasa sebagai hak yang cenderung diperebutkan.
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
8
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
Namun patut pula diantisipasi sebuah situasi dimana anak cenderung ditelantarkan,
enggan diasuh, karena ada saja ibu yang kepekaan naluri rahimnya tidak tumbuh
sebagaimana mestinya, sehingga citra penyabar, penyayang, dan pengasih dar i
seorang ibu tidak tampak maksimal. Dalam kasus ini tentu hadhanah tidak cukup
diberi label hak seorang ibu, tetapi lebih kepada beban kewajiban atasnya dan
merupakan hak bagi anak yang harus dipenuhi secara maksimal. Hal ini sebagaimana
yang diredaksikan dalam pasal 41 huruf a dan pasal 45 ayat (1) UU No. 1 1974 dan
pasal 77 ayat (3) KHI yang menyatakan hadhanah „kewajiban‟ orangtua atau hak
anak, bandingkan dengan pasal 105 huruf a KHI yang menyatakan hadhanah adalah
„hak‟ ibu.
Maka klausul maa lam tankihi itu, sesungguhnya telah menjawab dan
mempertemukan dua kepentingan yang sepintas bertentangan. Bahwa seorang suami
berhak atas pelayanan yang masimal dari isterinya, sebagaimana seorang anak
berhak pula untuk mendapatkan perlakuan hadhanah yang maksimal dari pemegang
hadhanahnya. Agar dua hal itu tetap berjalan maksimal, maka hak asuh anak atau
hadhanah harus dialihkan kepada pihak yang paling mungkin menggantikan peran
ibu, dengan cara terlebih dahulu menyatakan gugurnya hak/kewajiban ibu kandung.
Dengan demikian, ibu dapat berperan sebagai isteri bagi suaminya secara maksimal
tanpa bimbang akan masalah hadhanah anaknya karena telah dialihkan kepada pihak
lain yang laik. Namun sangat disayangkan bahwa solusi ini, seiring perkembangan
zaman dan gencarnya pergeseran nilai dari masa ke masa, cenderung tidak diangga p
sebagai solusi yang solutif, malah cenderung tidak populer dan lebih terasa
deskriminatif terhadap perempuan. (terkait hal ini akan ditulis InsyaAllah artike l
tentang „Ideologi Patriarki‟ Hukum Islam (Fikih), Subjektifitas Fuqaha kah?)
Peristiwa pernikahan pemegang hadhanah, selanjutnya mendapat perhatian
cukup tajam, manakala umumnya Fuqaha` tidak semata-mata menjadikannya mani‟
bagi seorang ibu pemegang hadhanah yang menikah lagi terhadap hak hadhanahnya.
Karena mereka berdasarkan nilai-nilai yang ada, kemudian merumuskan ketentuan
general bagi siapapun pemegang hadhanah (tidak hanya Ibu kandung anak) agar
sedianya tidak sedang terikat dalam sebuah pernikahan. Adanya syarat al khuluwwu
min zaujin dalam deretan syarat-syarat pemegang hadhanah yang dirumuskan
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
9
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
fuqaha` (dari empat kalangan Syafiiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyah_lihat
misalnya Al Fiqh `ala al Mazdahib al Arba`ah, j IV. h. 291 ), menegaskan betapa
masalah pernikahan pemegang hadhanah versus hak hadhanah itu sendiri, merupakan
poin penting yang agaknya dikehendaki untuk diberikan perhatian yang proposional.
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, atau pun Undang-
Undang Peradilan Agama sekalipun, tidak menyinggung hal ini secara eksplisit.
Hanya saja, jika pernikahan pemegang hadhanah secara khusus atau alasan apapun
secara umum, diduga menyebabkan pemegang hadhanah tidak ternyata mampu
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya hadhanah dan
nafkah telah dicukupi, maka atas inisitif kerabat anak tersebut, Pengadilan Agama
dapat mengalihkan hadhanah kepada pihak lain. Hal ini sebagaimana disebut dalam
Padal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Perkawinan pasal 49
ayat (1) juga menyinggung pengguguran hak hadhanah dalam situasi, 1) Pemegang
hadlanah sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, 2) ia berkelakuan buruk
sekali.
Kendati tidak diakomodir secara tegas berdasarkan yuridis, tapi dengan
adanya klausul maa lam tankihi, tentu permasalahan hadhanah ini harus pula
mempertimbangkannya sebagai salah satu alasan hukum untuk memperkarakan hak
asuh yang dipegang ibu ketika ia ternyata menikah lagi dalam masa hadhanah itu.
Hadhanah yang masih berlangsung padahal ibu telah menikah lagi dengan orang lain,
dapat dinyatakan sebagai alasan untuk melakukan gugatan hak asuh itu, agar
sekiranya dialihkan kepada pihak lain yang lebih patut.
D. Mabhats Tsalist; Hadhanah Anak Pasca Ibu Menikah Lagi
Bagian paling penting dari tulisan ini mungkin bercokol pada bagian ini.
Ketika pernikahan seorang ibu menjadi mani‟ terhadap hadhanah anaknya, maka
bermunculan berbagai macam persoalan seputar implikasinya. Mulai dari siapa yang
kemudian memegang hadhanah, bagaimana pula kapasitas ibu kandung itu terkait
hadhanahnya apakah dapat kembali kepadanya pasca berakhirnya pernikahan
keduanya itu, dan yang penting pula dalam hal peralihan hak itu, apa sebetulnya yang
menjadi standar atau bisa disebut sebagai nilai utama dan universal terkait dasar
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
10
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
pertimbangan peralihan itu, apakah hubungan nasab dan mahramiyah, atau hubungan
waris, atau mungkin kedekatan psikologis, atau justru terkait tema gender bahwa
perempuan lebih utama, atau ada hal lain yang menjadi titik temu? Atau mungkin
pertanyaan yang paling tepat dan urgen adalah apa sesungguhnya substansi dan
esensi keberhakan hadhanah itu, apakah guna memenuhi hasrat/naluri fitrah manusia
mengasuh anak, atau justru kemaslahatan anaklah yang menjadi penentu, bahwa
anak harus dipelihara secara maksimal dan total, tanpa harus terpaku pada rumusan
deretan hieraki peralihan ahaqqiyah dalam hadhanah?
Sebagian persoalan di atas telah terjawab pada bagian sebelumnya. Namun
ada beberapa persoalan yang masih perlu dipertemukan ujung-pangkalnya.
1. Pemegang Hadhanah setelah Ibu Kandung
Permasalahan yang paling krusial memang adalah seputar pemegang hadhanah
setelah ibu kandung.
Abdul Mannan (2008;425) merangkum hal itu secara lengkap dimulai dar i
kerabat ibu lurus ke atas (ibunya ibu/ummul umm, dst. pen), kemudian kerabat
ayah dalam garis lurus ke atas (ibunya ayah/ummul abi. dst. pen). Selanjutnya
jika setelah itu tidak ditemukan kerabat mahramiyah atau ditemukan tetapi tidak
cakap memegang hadhanah, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa
wanita yang pantas menjadi ibu pengasuh (hadhin) dari anak-anak tersebut.
Pendapat fuqaha‟ bervariasi seputar pemegang hadhanah setelah ibu kandung.
Berikut diuraikan tiga pandangan kalangan fuqaha‟ yang dirangkum dari Al Fiqh
„ala madzahib al arbah‟ah, j.4. h. 289.
Menurut kalangan Hanafiyah, hadhanah beralih secara tertib dari mulai kerabat
perempuan kemudian kerabat laki- laki, dengan rincian;
- Ibu kandung, ibunya ibu kandung, dan seterusnya ke atas dengan catatan
bahwa mereka itu layak mengasuh anak dan tidak pula serumah dengan ibu
kandung bersama suami barunya (ayah tiri anak) karena pada hakikat antara
ayah tiri dan anak bawaan istri itu ada sebentuk siratan hubungan revalitas
yaitu adanya silang kepentingan. Dalam situasi sedemikian ini ayah kandung
anak berhak mengambil alih anak itu.
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
11
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
- Kemudian jika ibunya ibu (yaitu nenek dari anak itu) mati atau ternyata
menikah bukan dengan mahram anak, maka pemegang hadhanah berpindah
ke ibunya ayah kandung dan seterusnya ke atas. Kemudian jika ibunya ayah
kandung itu ternyata menikah lagi dengan mahram anak, hadhanah tetap dan
tidak gugur.
- Namun jika ia mati atau menikah dengan bukan mahram anak maka
hadhanah berpindah ke saudari kandung anak (ukhtun syaqiqah), lalu saudar i
seayah dan seibu. Hingga fase ini kalangan hanafiyah sepakat, dan baru
berbeda pendapat siapa yang didahulukan, pada fase selanjutnya yaitu
meliputi golongan bibi khalat dan „ammat, lalu golongan keponakan banatul
ikhwah.
- Setelah kaum perempuan di atas ternyata tidak ada, maka barulah jalur
„ashabiyah (ahli waris kalangan laki- laki) mengambil peran. Mulai dari ayah,
ayahnya ayah, kemudian saudara kandung, saudara seayah, keponakan lak i
dari saudara kandung, keponakan laki- laki dari saudara seayah, dst, kemudian
paman kandung, paman seayah, sepupu/anak laki- laki dari paman kandung,
sepupu/anak laki- laki dari paman seayah, dengan catatan anak yang dipegang
hadhanahnya adalah laki- laki jika perempuan maka tidak boleh karena
merupakan mahram. Dalam situasi tidak ada lagi yang relevan mengasuh
anak perempuan sementara hanya ada sepupu saja, maka penyelesaiannya
atau penetapannya kepada sepupu laki- laki harus berdasarkan putusan hakim,
atau berdasarkan putusan hakim pula ditetapkan kepada perempuan lain saja
yang dinilai dipercaya (imra`atun aminah).
Kalangan Malikiyah menilai pemegang hadhanah berkutat secara tertib dari
kalangan kerabat perempuan juga kerabat laki- laki sebagai berikut;
- Ibu kandung, kemudian ibunya ibu kandung, dan seterusnya ke atas.
- Kemudian bibi kandung dari jalur ibu/khalatun syaqiqah, lalu bib i
seibu/khalatun liumm.
- Kemudian bibinya ibu/khalatul umm, lalu bibinya ibu dari jalur
ayah/‟ammatul umm.
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
12
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
- Kemudian ibunya ayah, lalu ibunya ibu ayah, lalu ibunya ayahnya ayah,
dengan catatan yang lebih dekat di antara mereka itu lebih diutamakan dar i
yang jauh. Dan kalangan dari jalur ibu diutamakan dibanding kalangan dar i
jalur ayah.
- Kemudian ayah, lalu saudari perempuan anak, kemudian bibinya anak
(„ammah), lalu bibi ayahnya („ammatul abi).
- Kemudian bibi dari jalur ibu ayahnya (khalatulabi), lalu anak perempuan
saudara laki- laki kandung/bintul akhi syaqiq, anak perempuan saudara seibu,
lalu anak perempuan saudara seayah.
- Lalu anak perempuan saudari kandung, anak perempuan saudari seibu, anak
perempuan saudari seayah. Apabila dalam derajat itu terdapat beberapa
pemegang yang setara, maka diberikan kepada yang paling laik dan mampu
untuk hadhanah.
Kalangan Syafi`iyah membagi peralihan hadhanah dalam tiga situasi,1)
berkumpulnya kerabat laki- laki dan kerabat perempuan, 2) berkumpulnya kerabat
perempuan saja, 3) berkumpulnya kerabat laki- laki saja.
- Dalam situasi yang pertama, maka didahulukan ibu daripada ayah, kemudian
ibunya ibu dan seterusnya ke atas dengan catatan ibunya ibu dst. itu adalah
ahli waris dari anak, sehingga tidak berhak hadhanah bagi ibunya ayah ibu,
lantaran bukan ahli waris anak. setelah itu baru ayah, lalu ibunya ayah, lalu
ibunya ibu ayah dan seterusnya ke atas sejauh sebagai ahli waris. Ketika
berkumpul kerabat laki- laki dan kerabat perempuan maka didahulukan
dengan patokan dari yang paling dekat dalam kalangan kerabat perempuan,
ke yang paling dekat dalam kalangan kerabat laki- laki. Sementara jika
ditemui perkumpulan yang sederajat antara kalangan kerabat perempuan dan
kalangan kerabat laki- laki, maka diselesaikan dengan cara qur‟ah/diundi.
- Dalam situasi yang kedua, yaitu perkumpulan kerabat perempuan saja, maka
yang didahulukan adalah ibu, lalu ibunya ibu dst, lalu ibunya ayah dst, lalu
saudari perempuan, lalu bibi perempuan/khalah, lalu anak perempuan saudar i
perempuan, lalu anak perempuan saudara laki- laki, lalu bibi dari jalur
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
13
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
ayah/‟ammah, lalu anak perempuan bibi jalur ibu /bintulkhalah, lalu anak
perempuan bibi jalur ayah/bintul „ammah, lalu anak paman jalur ayah/bintul
amm, lalu anak perempuan paman jalur ibu/bintulkhal. Ketentuan dasarnya
adalah bahwa hubungan sekandung didahulukan dari yang selain sekandung,
dan didahulukan hubungan seayah daripada hubungan seibu.
- Dalam situasi yang ketiga, yaitu berkumpulnya kalangan kerabat laki- lak i
saja, maka yang didahulukan adalah ayah, lalu ayahnya ayah, lalu saudara
kandung, lalu saudara seayah, lalu saudara seibu, lalu keponakan laki dar i
saudara kandung atau keponakan laki dari saudara seayah, lalu paman jalur
ayah dari kedua orangtua, lalu paman/amm seayah, lalu anak paman/ibnu
amm dari kedua orangtua, lalu anak paman seayah/ibnul amm liabin.
Uraian tiga pandangan ini sepakat menunjuk ayah pada urutan yang bukan
prioritas jika kerabat perempuan masih ada. Hanya saja ayah menjadi prioritas
dalam kaitan jika disandingkan dengan laki- laki yang lain.
Selain itu terdapat perbedaan mencolok, yaitu pada penempatan kalangan kerabat
ayah. Kerabat dari pihak ayah menurut Malikiyah baru diperankan saat semua
kerabat pihak ibu (nenek, bibi, saudari nenek dan kakek) habis. Sementara
Hanafiyah cenderung mempersamakan derajatnya dengan asumsi yang dari pihak
ibu yang diutamakan, yaitu nenek dari ibu lalu nenek dari ayah, baru saudari-
saudari.
Perbedaan konsep itu bisa jadi berangkat dari perbedaan berbagai penilaian dar i
sumber hukumnya. Sumber hukumnya kemungkinan sama, namun sudut
pandang yang dibangun masing-masing mujtahid itu mengharuskan adanya
pernilaian yang bervariasi.
Misalnya dalam kasus perebutan anak antara ayah kandung dan mertua yang
selanjutnya dimenangkan mertua. Hal ini berangkat dari sebuah keputusan Abu
Bakar Al Shiddiq terkait silang sengkata antara Umar bin Khattab ra dan
mertuanya dalam hal memperebutkan „Ashim bin Umar, sementara ibunya telah
menikah lagi dengan orang lain. Abu Bakar mengeluarkan putusan bahwa
„Ashim bin Umar diasuh oleh neneknya itu dengan pembebanan nafkah tetap
kepada Umar ra. Keputusan itu diterima tidak saja oleh Umar sendiri, tetapi juga
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
14
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
beberapa Shahabat, karena dalam sebuah riwayat, putusan Abu Bakar itu
disampaikan secara terbuka di hadapan mereka.
Bandingkan pula dengan sebuah riwayat yang menceritakan silang sengketa
antara Zaid bin Haritsah, Ja‟far bin Abi Thalib dan Ali bin Abi Thalib, tentang
keberhakan atas hadhanah seorang anak perempuan Hamzah. Ja‟far mendalilkan
bahwa dia dan isterinya lah yang berhak atas hadhanah itu lantaran anak
perempuan itu tidak lain adalah anak pamannya, selain itu bib i/khalah anak itu
adalah isterinya (Asma binti „Umays) sementara bibi tak ubahnya seorang ibu,
maka kami yang berhak mengambilnya. Ali juga kemudian menyampaikan dalil
bahwa anak itu adalah anak pamannya juga, dan di sisinya ada anak Rasul
(Fathimah/Fathimah sendiri dengan demikian adalah keponakan sepupu dari anak
Hamzah), maka dia tentu yang lebih berhak. Zaid rupanya juga menaruh harap
untuk mengasuh anak itu, dia pun berdalil bahwa kehadiran anak itu di Mekah ini
adalah bersama dengannya, maka dirinya tentu berhak atas pengasuhan anak itu.
Silang sengketa itu selanjutnya berakhir di ujung lisan Rasulullah saw. Rasul
bersabda “adapun anak perempuan, maka aku putuskan berada dalam hadhanah
Ja`far agar sedianya anak itu diasuh bibinya/khalah/isteri Ja`far (Asma bint i
`Umays), karena sesungguhnya bibi/khalah laksana seorang ibu bagi anak”
Setidaknya dari dua riwayat ini, berbagai macam penilaian dan pemahaman serta
kesimpulan hukum dapat ditarik. Dan hal itu sudah begitu tampak dari berbaga i
pandangan Fuqaha` di atas. Tinggal bagaimana penerapannya serta mungkin
melakukan upaya komparasi yang memadai untuk selanjutnya mencari titik
singgung sekaligus titik temu, sehingga masing-masing pandangan dapat cerna
konstruksinya secara utuh.
Berangkat dari latar belakang budaya, karakteristik sosial, kekhususan nuansa
kemasyarakatan keberagamaan umat Islam Indonesia, barangkali, selanjutnya
Kompilasi Hukum Islam merumuskan hirarki peralihan pemegang hadhanah
yang tidak mengambil secara utuh salah satu pandangan kalangan fuqaha` d i
atas. Menurut „Ulama Nusantara‟, susunan hierarki peralihan pemegang
hadhanah itu adalah sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 huruf a Kompilas i
Hukum Islam, yaitu:
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
15
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Tentu menjadi kajian tersendiri, mengapa pada akhirnya „Ulama Nusantara‟
sampai pada rumusan tersebut. Dan akan menarik mengurai sudut pandang dan
dasar-dasar konstruksinya secara utuh, mengingat rumusan itu (apalagi
menempatkan posisi ayah berada pada tingkatan kedua), dinilai berbeda dengan
rumusan-rumusan yang pernah ada sebelumnya. Hipotesisnya, bisa jadi bahwa
tekstur budaya dan karakteristik sosial umat Islam Indonesia (atau bangsa
Indonesia secara umum) lah, yang lebih mempercayai peranan seorang laki- lak i
(ayah) untuk memegang hadhanah anak pasca ibu dan kerabat lurus Ibu, lantaran
masih teramat berat „memaksa‟ atau mengharapkan tanggung jawab ayah
kandung membiayai hadhanah dan nafkah anaknya jika hadhanah dipegang oleh
orang lain selain mertua (ibunya ibu).
2. Melacak Standar Keberhakan Hadhanah
Dari uraian di atas kaitannya dengan pemegang hadhanah setelah ibu
kandung, maka didapati beberapa persamaan sekaligus beberapa perbedaan.
Untuk melihat titik singgung serta alasan dari masing-masing pandangan itu,
akan dirinci sebagai berukut;
1. Kalangan Hanafiyah, jika dicermati, memberikan beberapa pertimbangan
dalam proses peralihan hadhanah itu kepada orang lain setelah ibu kandung,
yaitu;
- Kepatutan (shalahiyah) pemegang hadhanah, meliputi fisik, waktu dan
kepentingan yang tidak saling bertabrakan.
- Pemegang hadhanah tidak dalam status bersuami/tidak menikah, kalaupun
menikah harus dengan standar memiliki hubungan mahram dengan anak.
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
16
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
- Tidak melibatkan ayah tiri/suami ibu kandung anak dalam pelaksanaan
hadhanah.
- Urutan yang dirinci, harus berlaku secara tertib untuk selanjutnya beralih
dari satu ke yang lainnya.
2. Kalangan Malikiyah, jika dicermati, lebih memandang prioritas pada
kalangan kerabat ibunya anak secara khusus, bukan pada perempuanya.
Artinya Malikiyah lebih mendahulukan ibu, ibunya ibu, bibinya ibu, baru
kemudian ibunya ayah. Maka agaknya Malikiyah meletakkan standar potensi
syafaqah dan rahmah, atau pertimbangan siapa yang paling mungkin
berpotensi memberikan perhatian dan kasih sayang yang paling besar setelah
ibu. Dengan kata lain pertimbangan kalangan Malikiyah lebih kepada
kedekatan emosionalitas dan psikologis antar seorang perempuan dan anak,
secara alamiyah, bukan hasil intervensi manusia. Karena pada dasarnya,
secara alamiyah perempuan dari jalur ibu lebih dekat kemiripannya, atau
setidaknya berdasarkan karakteristik genetis, perempuan-perempuan itu tentu
dapat menyamai sekian persen ibu kandungnya. Sehingga pengalihan
hadhanah kepada mereka itu dapat disebut sebagai lanjutan saja, tanpa harus
memulai sesuatu yang baru bagi anak, selain juga terdapat jaminan kasih
sayang yang cukup kuat karena jalinan rahim itu juga melekat antar mereka,
ibu kandung dan sang anak.
3. Kalangan Syafi‟iyah
Pandangan kalangan Syafiiyah menonjolkan hal lain terkait standar
keberhakan dan peralihan hadhanah. Jika dicermati, peralihan hadhanah versi
Syafiiyah, sedikit banyak memiliki korelasi dan relevansi dengan hubungan
mewarisi. Logikanya, memang karena permasalahan waris tidak tepat jika
dilihat hanya dalam kapasitas hak saja. Karena harus diakui bahwa
berbedanya bagian-bagian (siham) di antara ahli waris, disebabkan atau
setidaknya dipengaruhi sedikit banyak oleh beban kewajiban. Bahwa laki-
laki berhak atas perolehan lebih besar karena ada padanan kewajiban dan
hubungan nafkah yang mengiringinya.
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
17
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
Dalam hal hadhanah mengapa harus dipersyaratkan adanya hubungan waris
antara calon hadhin dan mahdhun, karena memang keberadaan mahdhun itu
sendiri pada hakikatnya merupakan beban kewajiban yang di saat yang sama
harus bergandengan dengan sebuah hak. Maka di sinilah hak dalam
hubungan waris memiliki relevansi dengan hadhanah.
Lantas apakah berarti kalangan Syafiiyah bermaksud menjadikan hak waris
sebagai sebentuk jaminan pembiayaan untuk aktifitas hadhanah yang
emban? Jawabannya tentu bukan demikian. Karena pembiayaan segala
kepentingan hadhanah tetap dipikulkan kepada sang ayah sebagai taklif
syar‟i yang mutlak. Yang lebih tepat sesungguhnya adalah bahwa
pertimbangan hubungan waris sebagai salah satu standar peralihan hadhanah
karena kalangan Syafiiyah berusaha meramu konsep yang komprehensif
sekaligus futuristik. Komprehensif berarti upaya penjagaan semua aspek
pendukung pelaksanaan hadhanah dari sisi pemegang hadhanah, meliputi
aspek mentalitas spiritual (bahwa persoalannya bukan sekadar suka atau
tidak, tetapi pembebanan itu harus dipahami sebagai kegiatan vertikal-
transendental yang luhur dan mulia sehingga harus dijalankan secara
optimal), emosionalitas-psikologis (bahwa naluri manusia saat menjalankan
kewajiban tentu tidak lepas dari tuntutan hak, sehingga adanya jaminan hak
itu diharapkan mampu meredam gejolak negatif terkait beban yang dijalani),
dan termasuk pula aspek sosial bahwa manusia sebagai zoon politicon
memerlukan pengakuan sosial dari setiap tindakannya, sekaligus di saat yang
sama menjadi benteng bagi dirinya dari kemungkinan asumsi miring atas hak
yang ada. Futuristik berarti kalangan Syafiiyah paham betul bahwa hadhanah
bukan urusan satu atau dua hari melainkan untuk rentang waktu yang cukup
lama, maka pertimbangan sebuah ketentuan peralihan hadhanah tidak
sekadar untuk masa yang singkat, akan tetapi memandang jauh ke depan
terkait kemungkinan-kemungkinan jangka panjang yang memerlukan solusi
sedini mungkin.
Tinjauan di atas muaranya memang adalah pada aspek landasan peralihan
hadhanah. Namun apakah benar persoalan hadhanah hanya berkutat seputar
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
18
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
landasan peralihan semata? Agaknya, apa yang dirumuskan oleh Fuqaha‟
tentang urutan peralihan itu, lebih tepat untuk diapresiasi sebagai sebuah upaya
luar biasa para fuqaha‟ meletakan rumusan yang esensinya adalah posibilitas
menghadirkan kemaslahatan bagi anak. Dengan kata lain, masing-masing
kalangan meyakini bahwa urutan-urutan itu adalah gambaran visual yang
menceritakan tentang hirarki kemaslahatan bagi anak. Bahwa anak sangat
maslahat bersama ibunya, jika ada masalah dengan ibu, maka kemaslahatan anak
selanjutnya ada pada ibunya ibu, demikian seterusnya.
Kesimpulan itu semakin mendekati benar, saat kita melacak pula apa saja syarat-
syarat pemegang hadhanah yang digariskan Fuqaha`. Guna mempersingkat
tulisan ini dipandang cukup menunjuk uraian Abdurrahman Al Jaziri dalam Al
Fiqh ala Mazdahib Arba`ah jilid 4 hal 291, karena tulisan ini selanjutnya cukup
mengurai analisanya saja.
Empat Kalangan Mazhab sesungguhnya meletaknya persyaratan hadhanah yang
hampir seragam. Keseragaman itu bermuara pada upaya mengejawantahkan
kemaslahatan tumbuh kembang anak dalam beberapa aspek, dengan perincian
sebagai berikut:
1. Penjagaan Akidah anak. Tiga kalangan Mazdhab, Syafiiyah, Hanabilah dan
Hanafiyah, agaknya sepakat mensyaratkan Islam bagi pemegang hadhanah.
Hanya saja Kalangan Hanafiyah mengkhususkannya pada pemegang
hadhanah kalangan laki- laki, sementara kalangan perempuan tidak
disyaratkan Islam, karena substansinya adalah Syafaqah dan Rahmah yang
tentu tidak berbeda apapun agama yang bersangkutan. Kalangan Malikiyah
yang memang tidak memandang syarat Islam bagi pemegang Hadhanah.
Hanya saja jika dalam naungan hadhin non Islam itu anak tidak dapat
dipastikan makanannya justru diberi makanan yang haram seperti khamr,
babi, dll, maka menurut kalangan Malikiyah hadhanah harus dialihkan
kepada kalangan Muslimin. Saking pentingnya akidah maka Nabi pernah
berdoa saat memutus sengketa hadhanah antara ibu yang musyrik dan ayah
muslim, ketika itu sang anak sudah akan memilih ibunya, namun berkat doa
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
19
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
Nabi agar sekiranya anak itu arahkan kepada ayahnya yang muslim, maka
anak itupun lantas memilih ayahnya. Demikian menurut beberapa Fuqaha`.
2. Jaminan tumbuh kembang mental anak. Fuqaha‟ rupanya cukup konsen
memperhatikan aspek mentalitas anak terbukti dengan adanya syarat-syarat
seperti kondisi pemegang hadhanah yang harus baik perangainya, baik
agamanya/tidak fasik, besar kasih sayangnya, serta sehat akal pikirannya
(tidak dalam gangguan kejiwaan), dan syarat lain sejenisnya. Dan dalam
kaitan ini pula, hubungan mahram antara anak dan suami pemegang
hadhanah menjadi sesuatu yang harus dipastikan eksistensinya, guna
menjamin ikatan emosional dan naluri fitrah „kerahiman‟ di antara mereka.
3. Jaminan tumbuh kembang jasmani anak. Pertimbangan penting lainnya
adalah muara syarat-syarat pemegang hadhanah itu terletak pula pada aspek
perhatian terhadap jasmani anak. Sehingga ditemukan syarat pemegang
hadhanah tidak dalam keadaan sakit apalagi menular, tidak pula kurang
inderawinya, dan syarat sejenis lainnya. Bahkan guna mengimbangi
posibilitas pemenuhan maksud jaminan jasmani anak itu, dihendaki bahwa
pemegang hadhanah mampu secara fisik mengurus anak, sehingga pemegang
hadhanah sebaiknya bukan yang telah renta.
4. Jaminan totalitas waktu/perhatian bagi anak. Aspek ini tampak ketika
kalangan Fuqaha` mensyaratkan bahwa pemegang hadhanah bukan orang
yang disibukkan oleh aktifitas lain yang jauh lebih besar di luar aktifitas
pengasuhan bagi anak, seperti sibuk mengurus suami (ayah tiri anak yang
bukan mahram), sibuk bekerja (karier) di luar, selalu berpergian
meninggalkan anak, dll. Dan tampak pula saat ada syarat bahwa pemegang
hadhanah harus berada dalam sebuah hunian yang layak dan tidak terganggu
oleh silang kepentingan penghuni rumah apalagi sampai ada situasi
kebencian terhadap anak.
Adalah hal yang tidak mudah mencari esensi sekian pandangan fuqaha` itu
sebagaimana tidak pula mudah mengumpulkan sekian pertimbangan itu dalam
sebuah putusan hadhanah. Tetapi tidak lantas dengan demikian pertimbangan-
pertimbangan itu dapat dengan mudah dilanggar dan dinafikan begitu saja.
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
20
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
Menyadari konteks hukum Islam keindonesiaan yang memiliki karakteristik
tersendiri, maka banyak penyesuaian yang dilakukan oleh Ulama Nusantara
sebagaimana banyak pula dilakukan oleh hakim-hakim di Pengadilan Agama.
Sejauh upaya tersebut berangkat dari kajian yang dalam atas dasar objektifitas
yang tinggi dengan tetap mengindahkan sumber-sumber hukum yang ada beserta
pandangan-pandangan yang telah mengemuka, maka tidak ada alasan untuk
tidak mengalungkan apresiasi yang positif kepada mereka seraya di saat yang
sama kita semua berserah diri kepada Allah swt, Dzat Sang Empunya Hukum
dan Keadilan Sejati, agar sedianya menghadirkan secercah petunjuk menuju
keadilan yang ada padaNya itu.
E. Khatimatul Bahts
Berat untuk mengatakan bahwa bagian ini adalah representasi dari bahasan yang
telah ada, sehingga dianjurkan untuk menelaah sedari awal. Namun ada baiknya
beberapa catatan berikut diunggah untuk maksud kesimpulan.
1. Klausul „maa lam tankihi‟ harus dinyatakan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan ketika penggalan awalnya yaitu „anti ahaqqu bihi‟ digunakan untuk
mengukuhkan sebuah pendapat tentang hadhanah. Hal ini karena Ahaqiyyah
menunjuk sebuah kemutlakan hak di satu waktu, dan mengharuskan pelengkap
yang menunjukkan hilangnya hak itu di waktu yang lain. Secara khusus hadis ini
menjadi dasar gugurnya keberhakan/ahaqiyah seorang ibu pemegang hadhanah
anaknya, saat ini menikah lagi. Selanjutnya dimaknai secara general oleh
umumnya Fuqaha` dalam merumuskan ketentuan gugurnya hadhanah sebab
menikah, yaitu menikah dengan bukan mahram anak.
2. Klausul „maa lam tankihi‟ semakin dharuri (semakin bersifat harus) untuk
diperhitungkan dalam panggung hadhanah, saat kita sejenak memasrahkan dir i
untuk mengkaji nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pernikahan seorang pemegang
hadhanah sesungguhnya (jika sepakat kembali kepada nilai awal Islam)
mengantarkan dirinya pada dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan menaati
suaminya dan kepentingan mengasuh anak bawaannya. Dengan kata lain ia
berhadapan dengan dua kemudharatan (potensi berdosa), ketika konsen
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
21
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
mengasuh anaknya, ketaatan kepada suami terbengkalai, sebaliknya perhatian
penuh kepada suami, maka aktifitas hadhanah jelas tidak maksimal, saat
keduanya saling bertentangan, maka kemudharatan yang lebih besar harus
diutamakan untuk dijaga, dengan cara mengabaikan/melaksanakan kemudharatan
yang kecil. Menaati suami dinilai jauh lebih besar kepentingannya ketimbang
mengasuh anak, karena pengasuhan kepada anak dapat digantikan sementara
suami jelas tak mungkin digantikan. Guna memenuhi dua maksud itu yaitu agar
dua kepentingan itu dapat tetap dengan apik terlaksana maka „maa lam tankihi‟
sesungguhnya telah bijak menjadi solusi yang akrab dengan nilai-nilai luhur
filosofis.
3. Kepada siapa anak selanjutnya berpayung hadhanah, menjadi kupasan cukup
rumit. Banyak pertimbangan yang mengemuka dari sekian kalangan mazdahib
dan fuqaha`nya. Hierarki peralihan hadhanah (deretan kerabat-kerabat yang
berhak memegang hadhanah pasca ibu menikah) memiliki urat nadi tersendir i
yang dinilai berbeda di masing-masing versinya. Variasi itu sesungguhnya
merupakan visualisasi dari maksud pengukuran posibilitas secara hierarkis pula
dalam hal kemaslahatan bagi anak dengan segenap pertimbangan pengusungnya.
Sehingga harus yakin dikatakan bahwa kemaslahatan anaklah yang menjadi urat
nadi dari hubungan peralihan dan esensi keberhakan hadhanah itu. Kendati
demikian, lewat hadis-hadisnya (baca: Sunnah-Sunnahnya), Rasullullah saw
tentu tidak sekadar bermaksud menyampaikan pesan lokal saja, karena dengan
segala kesempurnaan sudut pandangnya, rumusan peralihan dan keberhakan
hadhanah yang tertuang dalam sekian hadisnya itu, sesungguhnya tersimpan pula
sebentuk ukuran baku bahwa di situlah terletak kemaslahatan bagi anak yang
memang halus keberadaannya itu. Maksud ini pula yang sejatinya diusung para
fuhaqa‟ dalam rumusan fikihnya. Karenanya, pertimbangan hukum tentang
hadhanah agaknya kurang sopan jika serta merta menafikan kesemua upaya
mulia dari para pendahulu yang juga mulia itu.
Jika tidak berlebihan untuk memberi nilai terhadap upaya Fuqaha` tersebut,
maka agaknya mereka lebih mengacu kepada konteks ittiba‟i atau berusaha
sebisa mungkin mengikuti apa yang Rasulullah saw lakukan dan menjadikannya
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
22
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
sebagai yang utama. Adapun mengenai esensi, nilai, dan pesan apa yang ada di
dalamnya, akan dengan sendirinya tercapai manakala proses ittiba‟i itu benar-
benar identik dan representatif.
Ketentuan hadhanah sejatinya menyuarakan sebuah pesan tentang betapa
urgennya aktifitas mengurus anak. Islam berkomitmen kuat bahwa masa depan
bangsa akan tampil cemerlang dimulai dari bagaimana generasinya didesign
sempurna untuk menggapai itu. Islam menghendaki dari sejak dalam buaian
hingga tumbuh sempurna semua giginya, seorang anak harus benar-benar
dipastikan telah mereguk segarnya asupan kasih sayang, hangatnya belaian
perhatian, dan sejuknya naungan ruang tempat dimana dia mengirup dan
menghela nafas-nafas mudanya. Dengan bekal itulah, sang anak diharapkan telah
siap memulai tapak-tapak kecilnya untuk selanjutnya menjadi bagian dar i
generasi yang kuat dan bersahaja.
Menyadari pesan ini, terbentuklah rangkaian ketentuan hadhanah yang terbilang
ketat dan teramat hati-hati, yang semua itu tiada lain, karena Agama sangat tidak
menginginkan keterbentukan generasi yang kurang „gizi‟ jasmani dan rohaninya,
apalagi sampai dilabel buruk (dzurriyyatan dhi‟aafan).
Berdasarkan bahasan dalam tulisan ini, menulis akhirnya memberanikan dir i
untuk memperkenalkan formula ideal dalam hadhanah bernama Formula 4
Maslahat 5 Sempurna.
4 Maslahat berarti putusan hadhanah harus memenuhi 4 pondasi kemaslahatan
bagi anak, yaitu 1. Penjagaan Akidah, 2. Jaminan Tumbuh kembang Mentalitas
Anak, 3. Jaminan Tumbuh kembang Jasmani anak, 4. Jaminan Totalitas waktu
dan perhatian bagi anak.
5 Sempurna berarti keempat pondasi itu akan sempurna manakala Pemegang
Hadhanah adalah orang yang tepat yaitu mumpuni dan memenuhi kriteria Hadhin
yang baik dan patut.
Demikian semoga bermanfaat.
Wallahu ta`ala a‟lam.
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
23
Erfani, Me i 2012 ”Maa la m tankihi”, Klau sul Hadhanah yang Terbaikan
Di antara Referensinya:
o Al Quran Al `Azhim.
o Sunan Abi Dawud
o Musnad Ahmad bin Hanbal
o Sunan Al Baihaqi al Kubra dan Al Shugra
o Al Mustadrak „ala Shahihaini lil Hakim
o Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
o Kompilasi Hukum Islam
o Al Fiqh „Ala al Mazdahib al Arba‟ah, Abdurrahman Al Jaziri.
o Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuhu, Wahbah al Zuhaili.
o Iqazhul Afham fi Syarh „Umdah al Ahkam, Sulaiman bin Muhammad Al Luhaimid.
o Al Lubab fi Ulum al Kitab, Abu Hafsh Al Dimasqi al Hanbali
o Al Muntaqa Syarah Muwatta
o Penerapan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Prof. Dr. Abdul Mannan, SH.,
S.IP
o Implikasi Nafkah dalam Konstruksi Hukum Keluarga, (Artikel Badilag.net) Erfani.
o Dll.
o Referensi berikutnya adalah kritik dan saran para pembaca yang budiman. Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang
Pengadilan Agama Tangerang