lunturnya unggah

2
LUNTURNYA UNGGAH – UNGGUH BAHASA JAWA “Yang, neng endhasmu ana apane?” kalimat yang artinya “Nenek, di kepala nenek ada apanya?” mungkin jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah tutur yang sopan, namun bagi anak – anak jawa ini adalah sebuah kesalahan yang fatal apalagi jika mereka tidak tahu unggah – ungguh ( tingkat tutur ). Bagi orang jawa, kalimat contoh tersebut tidak pas jika diucapkan oleh seorang cucu kepada neneknya yang sepantasnya dihormati, alih – alih menghormati kalimat tersebut malah justru merendahkan derajat sang nenek. Kalimat dalam ragam ngoko itu seharusnya berbunyi, “ Yang, neng mustakane eyang ana apane?”. Maknanya sama persis dengan contoh yang pertama, namun kesannya amat berbeda, meskipun tetap menggunakan ragam ngoko. Dalam bahasa jawa ada tingkat tuturan yaitu ngoko ( biasa ), krama (halus ), krama inggil ( halus sekali ). Terdapat dua kesalahan didalam penggunaan kata endhasmu, pertama kata “endhas” yang hanya dipakai dalam bahasa jawa ragam ngoko, biasanya hanya diperuntukan bagi anak – anak, hewan atau yang diperlakukan sebagai hewan. Sedang untuk orang dewasa di pakai kata “sirah”, dan khusu untuk orang yang dihormati digunakan kata “mustaka”. Kesalahan kedua adalah pemakaian kata ganti orang kedua mu tidak tepat diterapkan kepada nenek, tokoh keluarga yang harus dihormati .kata ganti orang kedua yang pas untuk menggantikan nenek adalah panjenengan. Pendidikan bahasa jawa dengan memperhatikan unggah – ungguh banyak dilupakan, malah sebagian lain larut dalam pendidikan tembak langsung menggunakan bahasa Indonesia. Orang tua etnis jawa tidak menyadari bahwa dengan tindakan tersebut sang anak kehilangan moment yang prima

Upload: santi-puspitasari

Post on 04-Aug-2015

38 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: LUNTURNYA UNGGAH

LUNTURNYA UNGGAH – UNGGUH BAHASA JAWA

“Yang, neng endhasmu ana apane?” kalimat yang artinya “Nenek, di kepala nenek ada apanya?” mungkin jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah tutur yang sopan, namun bagi anak – anak jawa ini adalah sebuah kesalahan yang fatal apalagi jika mereka tidak tahu unggah – ungguh ( tingkat tutur ).

Bagi orang jawa, kalimat contoh tersebut tidak pas jika diucapkan oleh seorang cucu kepada neneknya yang sepantasnya dihormati, alih – alih menghormati kalimat tersebut malah justru merendahkan derajat sang nenek. Kalimat dalam ragam ngoko itu seharusnya berbunyi, “ Yang, neng mustakane eyang ana apane?”.

Maknanya sama persis dengan contoh yang pertama, namun kesannya amat berbeda, meskipun tetap menggunakan ragam ngoko. Dalam bahasa jawa ada tingkat tuturan yaitu ngoko ( biasa ), krama (halus ), krama inggil ( halus sekali ).

Terdapat dua kesalahan didalam penggunaan kata endhasmu, pertama kata “endhas” yang hanya dipakai dalam bahasa jawa ragam ngoko, biasanya hanya diperuntukan bagi anak – anak, hewan atau yang diperlakukan sebagai hewan. Sedang untuk orang dewasa di pakai kata “sirah”, dan khusu untuk orang yang dihormati digunakan kata “mustaka”. Kesalahan kedua adalah pemakaian kata ganti orang kedua mu tidak tepat diterapkan kepada nenek, tokoh keluarga yang harus dihormati .kata ganti orang kedua yang pas untuk menggantikan nenek adalah panjenengan.

Pendidikan bahasa jawa dengan memperhatikan unggah – ungguh banyak dilupakan, malah sebagian lain larut dalam pendidikan tembak langsung menggunakan bahasa Indonesia. Orang tua etnis jawa tidak menyadari bahwa dengan tindakan tersebut sang anak kehilangan moment yang prima dan istimewa, soalnya praktik dengan menggunakan bahasa jawa tidak saja mengajarkan kesopan santunan dalam berbahasa , tapi juga kesopansantunan dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.

Memang tidak semua orangtua jawa menguasai bahasa jawa lengkap dengan unggah – ungguhnya seperti itu. Oleh karena itu alih cara mendidik anak dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia menjadi pilihan mereka. Akan tetapi bila hal ini dibiarkan terus, apa tidak akan terjadi suatu saat orang jawa kehilangan bahasa jawanya ??? semuanya kembali kepada anda…..