local reform di kota solo pada era kepemimpinan jokowi (tahun 2005-2012)
DESCRIPTION
Local Reform di Kota Solo pada Era Kepemimpinan Jokowi (Tahun 2005-2012), Tindakan Agen Mempengaruhi Struktur dan Relasi Multi Aktor pada Kasus Penataan PKL dan Pemukiman Bantaran Bengawan Solo.ABSTRAKDisertasi ini membahas tindakan kepala daerah di Kota Solo dalam menghadapi tantangan struktural (rules dan resources) guna mewujudkan kebijakan inklusif populis, pada. kasus penataan PKL dan pemindahan penduduk bantaran Sungai Bengawan Solo. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif strategi studi kasus, dengan unit analisis individu meski keberadaannya sekaligus merepresentasikan institusi. Konsep utama yang digunakan: agen, struktur, tindakan, relasi; dengan teori strukturasi Giddens (1984) dan the polity model (tilly, 1978). Hasil penelitian menunjukkan empat bentuk tindakan reform aktor kepala daerah, adanya relasi khusus kepala daerah dengan aktifis masyarakat sipil, (CSA) dan kuatnya pengaruh faktor eksternal dalam upaya agen mempengaruhi struktur.Kata Kunci: sosiologi politik, agen (aktor), struktur, relasi, local reform, tindakan, member, challenger, civil society activist (CSA), social production.TRANSCRIPT
-
UNIVERSITAS INDONESIA
LOCAL REFORM DI KOTA SOLO
PADA ERA JOKOWI (TAHUN 2005-2012): Tindakan Agen Mempengaruhi Struktur dan Relasi Multi Aktor
pada Kasus Penataan PKL dan Pemukiman Penduduk Bantaran Sungai Bengawan Solo
RINGKASAN DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Sosiologi
WAHIDAH R BULAN
0706222851
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
DEPOK
FEBRUARI, 2013
-
Universitas Indonesia 1
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Sebagai pemegang otoritas tertinggi, kepala daerah merupakan aktor penting dalam proses
reform. Hal itu karena dengan sejumlah kewenangan yang dimiliki (UU No. 32/2004 pasal 21),
kepala daerah dapat mengeluarkan aneka kebijakan guna mengupayakan terjadinya perubahan.
Akan tetapi dengan memperhatikan bahwa tidak semua kepala daerah berhasil mengupayakan
reform, faktor kewenangan (official power) semata, ternyata belumlah memadai untuk mendorong
perubahan.
Merujuk praktek sukses dibeberapa daerah, inisiatif reform (gagasan inovatif) dan
keberanian kepala daerah, beberapa faktor yang turut menstimuli terjadinya perubahan.1 Melalui
inisiatif reform kepala daerah dapat menetapkan kebijakan guna menyelesaikan permasalahan dan
keluar dari mainstream (regulasi, kerumitan prosedur, dan lain-lain) yang meng-constrain
tindakannya. Karena memiliki kekuatan otoritatif, inisiatif relatif lebih mungkin berkembang ke
arah perubahan dibanding jika dimotori oleh staf (birokrasi).2 Sedangkan faktor keberanian,
penting mengingat gagasan perubahan terkadang harus berhadapan dengan sejumlah kendala
untuk dapat diimplementasikan.3 Hal itu sejalan dengan penelusuran redaksi Majalah Tempo4 terhadap sejumlah kepala daerah, yang menemukan adanya sejumlah karakter khas kepala daerah yang mampu mendorong reform, yaitu: egaliter, berani, dan mau menyelesaikan masalah
dengan cara tidak biasa (inovatif).
Kemampuan aktor kepala daerah membangun relasi (connecting) dengan multi aktor
(struktural maupun individual), merupakan faktor lain yang tak dapat diabaikan. Kepala daerah
yang tidak mampu membangun hubungan (kekuasaan) dengan DPRD dapat tersandera secara politik akibat usulan anggaran yang diajukan tidak mendapat persetujuan.5 Kemampuan kepala daerah membangun hubungan dengan birokrasi sebagai mesin penggerak roda pemerintahan,
merupakan hal lain yang tak kalah penting. Meski secara formal birokrasi berada di bawah kontrol
kepala daerah, mendapatkan kepatuhan adalah hal yang berbeda karena konsep otoritas mengacu
pada hubungan antar orang per orang dan bukan dengan jabatan perseorangan (Blau dan Meyer).6
1 Hal itu setidaknya dapat dilihat pada cerita sukses beberapa kepala daerah berikut: Winasa (Kabupaten Jembrana) dengan
inovasi Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) yang memberikan jamianan kesehatan kepada seluruh warga Jembrana tanpa
terkecuali (universal coverage health), Gamawan Fauzi (Kabupaten Solok) dengan penghilangan mata anggaran
honorarium pelaksana proyek, Rustriningsih (Kabupaten Kebumen) dengan spirit mengembangkan transparansi melalui
kegiatan Selamat Pagi Bupati dan pelaksanaan tender proyek di alun-alun kota, dan Jokowi (Kota Surakarta) dengan
pendekatan non violence dalam penataan PKL. 2 Sebagai contoh inisiatif yang dilakukan Tri Rismaharini semasa menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan
Pertamanan, jauh lebih dapat berkembang setelah ia menjadi Walikota Surabaya (2010-2015). Begitu pula yang terjadi di
Kota Depok, Jawa Barat. Penataan PKL dengan cara merelokasi (pendekatan non kekerasan) telah pernah dilakukan pada
tahun 1999. Namun karena hanya dimotori oleh Kepala Bidang Ekonomi di Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kota Depok, Ir. Khamid Wijaya, inisiatif reform tidak berkembang menjadi perubahan monumental. 3 Sebagai contoh apa yang terjadi di Kabupaten Solok semasa dipimpin Gamawan Fauzi. Kebijakan penghilangan mata
anggaran honorarium dalam setiap kegiatan (APBD) yang dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi anggaran dan
keadilan penganggaran antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sehingga tidak ada dinas basah karena memiliki
banyak kegiatan dan dinas basah air mata karena minim kegiatan, pada awalnya sulit dilaksanakan karena menghadapi sejumlah kendala regulasi terutama pada tahun pertama pelaksanaannya. 4 Hasil liputan khusus Majalah Tempo (Edisi Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012, edisi 10 16 Desember 2012) bertajuk Bukan Bupati Biasa. 5 Sebut saja misalnya kasus Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail diawal-awal kepemimpinannya pada tahun 2005-2007 yang terpaksa mengubah salah satu program unggulannya, SIPESAT atau Sistem Pengolahan Sampah Terpadu menjadi
UPS atau Unit Pengelolaan Sampah; atau upaya pemakzulan Walikota Surabaya Tri Rismaharini oleh DPRD pada tahun
2010 yang disulut oleh penolakan DPRD terhadap kebijakan sang Walikota menaikan pajak reklame. 6 Apa yang terjadi pada kasus hubungan Walikota Depok (Nur Mahmudi Ismail) yang berkonflik dengan Sekda (Winwin
Winantika) ditahun-tahun awal kepemimpinannya (2006-2007) dan yang berakibat pada tidak efektifnya kerja roda
-
Universitas Indonesia 2
Selain dengan state actors (DPRD dan birokrasi), kepala daerah juga perlu membangun
hubungan dengan non-state actors (ormas, NGO, tokoh masyarakat, tokoh intelektual, perguruan
tinggi) mengingat keberadaan mereka sebagai stakeholder pembangunan strategis.7 Selain itu
mengingat media massa sebagai salah satu pilar penopang demokrasi selalu ada dibalik
pengungkapan kasus-kasus penyalah-gunaan kekuasaan dan anggaran baik di daerah maupun di
pusat, kemampuan kepala daerah membangun hubungan dengan media massa merupakan faktor lain yang tak dapat diabaikan.
Pentingnya membangun hubungan dengan multi aktor dalam mendorong terwujudnya
perubahan, juga ditemukan dalam preliminary study yang penulis lakukan pada Juni dan
Desember 2010 serta Maret 2011. Salah satu faktor yang membantu mempercepat perwujudan
agenda reform di Solo diantaranya karena kemampuan sang Walikota (Jokowi) membangun
hubungan dengan berbagai komponen masyarakat, yang dilakukan karena Jokowi menyadari
keterbatasan pengetahuan dirinya terhadap permasalahan atau kebijakan yang hendak ditetapkan.
Selain itu relasi juga dikembangkan sebagai solusi atas ketidak-puasan Jokowi terhadap kerja birokrasi yang menurutnya lebih senang menyampaikan informasi yang ingin didengar pimpinan,
dan bukan informasi real mengenai kondisi lapangan.8
Jokowi (dan Rudy sebagai Wakil Walikota Solo) mengembangkan hubungan dengan multi
pihak melalui sejumlah aktifitas yang diangkat dari tradisi Jawa, yang dipopulerkan dengan istilah
SLJJ yaitu: sonjo (silaturahim), layat (mendatangi orang yang anggota keluarganya meninggal
dunia), jagong (memenuhi undangan), dan jagongan (berdiskusi atau bermusyawarah). Selain itu
Jokowi juga mengembangkan apa yang disebutnya dengan Forum Group Discussion (FGD), forum dimana Jokowi berinteraksi dengan stakeholder pembangunan semisal para tokoh, pakar,
praktisi, akademisi, NGO, aktifis kemasyarakatan, termasuk pihak swasta. Jika SLJJ ditujukan
untuk mengetahui kondisi lapangan dan menyerap aspirasi publik, FGD dilakukan untuk
merumuskan alternatif solusi/kebijakan atas berbagai isu atau permasalahan yang membutuhkan
penanganan segera dan atau permasalahan yang mendapat perhatian masyarakat cukup luas.
Selain itu Jokowi mempunyai hubungan spesial dengan beberapa aktifis masyarakat sipil (Civil Society Activist atau CSA) yang memiliki jejaring dengan CSO (Civil Society Organization),
dengan menjadikan mereka sebagai lingkaran terdalam (inner-circle); yang diistilahkan Jokowi
dengan staf ahli non-formal karena tidak ada kontrak atau ikatan formal yang menunjukkan hak
dan kewajiban masing-masing pihak,9 yang penulis istilahkan dengan inner social circle
mengingat relasi dibangun atas prinsip kesukarelaan.
Hal inilah yang penulis ingin dalami dalam studi yang dilakukan, yaitu mengeksplorasi
tindakan reform kepala daerah sebagai aktor utama perubahan dan menemukan faktor-faktor yang
mempengaruhi tindakan reform yang dilakukannya; selain secara spesifik mendalami relasi kepala
birokrasi di daerah tersebut pada tahun itu, merupakan salah satu contoh konkrit. Contoh lain adalah apa yang terjadi di
Jembrana pada masa kepemimpinan Winasa. Perubahan di Jembrana sesungguhnya tidak hanya terjadi karena faktor
kuatnya visi perubahan yang digagas Sang Kepala Daerah, tapi juga karena peran Sekda (Gede Suinaya, sebelumnya
pejabat di Depdagri) yang mampu menerjemahkan gagasan Winasa kedalam kebijakan yang implementatif selain
mengkonsolidasikan birokrasi serta memiliki hubungan yang kuat dengan pusat (Studi AKATIGA, 2009). Selain itu
kesuksesan Gamawan memimpin Kabupaten Solok tak dapat dilepaskan dari keberhasilannya menata birokrasi, mengingat
Gamawan sebelum menjabat sebagai bupati, mengawali karirnya sebagai PNS di Kabupaten Solok hingga menjabat
sebagai sekda pada jabatan terakhirnya. 7 Temuan studi AKATIGA (2009) tentang local reform di Kab. Kebumen menunjukkan, agenda reform (pelaksanaan kebijakan Alokasi Dana Desa) di daerah tersebut dapat berlangsung baik karena terjadi kerjasama antara pemerintah
daerah (terutama Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa atau Bapermades) dengan masyarakat (unsur-unsur masyarakat
sipil seperti para aktifis desa dan para penggiat NGO yang tergabung didalam Forum Masyarakat Sipil atau FORMASI
Kebumen). 8 Ini informasi yang saya butuhkan. Kalau birokrasikan sukanya kasih informasi yang baik -baik saja Biar saya senang Padahal saya pengen tahu kondisi realnya seperti apa (wawancara dengan Jokowi pada 30 Desember 2010). 9 Saya punya staf ahli non PNS, staf khusus yang orang nggak ngertilah (tidak banyak diketahui orang, pen), yang sering
memberikan suara (masukan, pen) kepada saya. Yang masih jelek disebelah sini, yang masih kurang bagus disebelah
sini, (Wawancara dengan Jokowi pada 30 Desember 2010)
-
Universitas Indonesia 3
daerah dengan multi aktor, terutama dengan para aktifis masyarakt sipil, sebagai fenomena baru
yang menarik untuk ditelisik.
Pilihan atas tema dilakukan mengingat studi mengenai hal tersebut relatif terbatas sementara
kebutuhan studi semakin terus meningkat. Terkait dengan kemampuan kepala daerah
mengembangkan hubungan (connecting) dengan multi aktor misalnya, terdapat kebutuhan yang
sangat mengingat terjadi perubahan tata hubungan antar aktor (struktural maupun non struktural)
paska reformasi. Sebagai contoh terjadi perubahan pola hubungan kepala daerah dengan DPRD
paska 1998. DPRD yang sebelumnya (UU No. 5/1974) menjadi bagian pemerintah daerah kini
berada pada posisi setara dengan hak budgeting, legislasi, bahkan hak melakukan pengawasan
terhadap kinerja pemerintah (local state). Meski kewenangan tersebut direduksi paska revisi UU
No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004, terutama terkait dengan pembolehan tindakan
impeachment DPRD atas dasar kinerja pemerintah daerah (penolakan laporan pertanggung-
jawaban), realitas menguatnya posisi DPRD terhadap pemerintah daerah tidak dapat dibantah.
Pola hubungan state-masyarakat sipil pun mengalami banyak perubahan. Arus demokratisasi
yang makin menguat paska runtuhnya rezim Orba, menyebabkan hubungan state-civil society
yang sebelumnya penuh konflik, kini menjadi lebih kooperatif. Kerjasama NGO-state, bahkan
aktifis NGO dengan state, belakangan makin sering terjadi. Diantaranya melalui sejumlah proyek
seperti ILGR (Iniciatives For Local Governance Reform), LGSP (The Local Governance Support
Program), DRSP (The Democratic Reform Support Program), IPGI (Indonesian Partnership on
Local Governance Initiatives), dan SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation) Indonesia;
proyek yang didanai sejumlah lembaga donor yang mensyaratkan keterlibatan pemerintah daerah sebagai pelaksana program, diantaranya berupa kesediaan memberikan dana pendampingan
program (APBN dan APBD). Sebagai fenomena baru eksplorasi hubungan kepala daerah dengan
aktifis masyarakat sipil dalam pengelolaan kekuasaan menarik dilakukan, terutama guna
mendapatkan informasi yang memadai mengenai sejauhmana dan bagaimana hubungan tersebut
berkontribusi mempercepat terjadinya perubahan.
Meski terdapat sejumlah studi tentang local reform, sayangnya sedikit saja yang secara
spesifik membahas peran kepala daerah. Hal itu mengingat paska diberlakukannya kebijakan
otonomi daerah, praktek desentralisasi di Indonesia dinilai masih menyimpan sejumlah persoalan dan sedikit saja yang sukses. Kalaupun ada, studi tidak secara spesifik difokuskan pada bahasan
mengenai relasi aktor kepala daerah akan tetapi lebih kepada institusi pemerintah (Suharko, 2005),
atau melihat relasi aktor dalam posisi yang lebih general sebagaimana dilakukan Zuhro, dkk
(2009) yang mencoba mengeksplorasi peran berbagai aktor dalam proses demokratisasi di
daerah(DPRD, elit partai politik, elit birokrasi, akademisi, ulama, tokoh adat, pengusaha, selain
para aktifis NGO); selain minin kajian teoritis karena lebih merupakan policy research (Eko
Prasojo dkk, 2004).
Studi AKATIGA (2009) tentang local reform dan hubungan antar aktor di Kabupaten Jembrana dan Kebumen, meski sudah terfokus pada aktor kepala daerah, namun karena dilakukan
dalam kerangka penguatan masyarakat sipil, stand point studi lebih kepada inisiatif NGO dan para
aktifis NGO dan belum mengeksplorasi secara mendalam peran kepala daerah. Hal itu juga dapat
dilihat pada studi Hetifah Sj. Sumarto (2005) tentang inisiatif reform masyarakat sipil di 20
kota/kabupaten di Indonesia. Beberapa studi lain karena dilakukan pada masa rezim otoriter Orde
Baru (yang agak maju pada fase awal reformasi), juga cenderung menempatkan NGO dalam
posisi sentral (aktor utama) sementara state digambarkan dalam sosok negatif (bad state), yaitu
sebagai pihak yang tidak mendukung proses demokratisasi (membatasi gerak masyarakat, tidak
partisipatif, dominatif, dan lain-lain).Hal; itu sebagaimana dapat dilihat pada studi Ganie
Rochman (2002) tentang peran NGO (advokasi) ditengah otoritarianisme Orde Baru; studi
Eldridge (1995) yang mencoba menemukan gambaran mengenai core value dan aspirasi NGO serta hubungan operasionalnya dengan kelompok dampingan mereka maupun interaksinya dengan
agen-agen pemerintahan; maupun studi Hadiwinata (2003) yang melakukan analisis terhadap
-
Universitas Indonesia 4
perubahan strategi yang terjadi pada NGO lokal (termasuk hubungan mereka dengan state)
sebagai akibat perubahan kondisi politik Nasional. Dengan pertimbangan bahwa paska reformasi
kemunculan Negara baik (good state) yang mewujud dalam sosok kepala daerah yang lebih pro
terhadap agenda perubahan (local reform) mulai berkembang sebagai fenomena baru (selain
karena impact agenda good governance), studi yang mengeksplorasi peran pemerintah (terutama
kepala daerah) dalam mendorong perubahan, menjadi makin penting dilakukan.
Hal lain yang tidak kalah penting, studi relasi aktor yang ada umumnya lebih menekankan
analisis hubungan state actors (pemerintah daerah, DPRD dan birokrasi) dengan aktor
institusional (NGO dan ormas) dan kurang (sangat jarang) mengeksplorasi keterlibatan aktor
individual semisal para penggiat masyarakat sipil atau civil society activist (aktifis NGO, tokoh,
para profesional, akademisi, dan lain-lain). Mengingat terjadinya fenomena peningkatan peran
aktor-aktor individual (inisiatif individual) sebagai dampak positif proses demokratisasi (kasus
Refli Harun, Macica Mochtar, dan lain-lain) maupun dampak perkembangan teknologi informasi
(kasus koin untuk Prita), studi tentang hal tersebut makin dirasakan sebagai kebutuhan.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Secara spesifik studi dilakukan untuk menjawab pertanyaan umum maupun khusus.
Pertanyaan umum yang ingin dijawab adalah bagaimana praktek local reform di Kota Solo pada
era kepemimpinan Jokowi; sedangkan pertanyaan pertanyaan khusus dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses local reform terjadi di Kota Solo?
a. Apa tindakan reform Jokowi menghadapi kekuatan struktural yang dihadapinya dalam mengupayakan terwujudnya perubahan di Kota Solo dan mengapa serta
bagaimana tindakan tersebut dilakukan?
b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga tindakan reform tersebut berbuah hasil yang diharapkan?
2. Bagaimana hubungan antar aktor dalam proses local reform di Kota Solo dapat dijelaskan?
a. Siapa aktor yang terlibat dan bagaimana relasi antar aktor yang terjalin baik dalam kasus yang diteliti maupun dalam upaya reform di Kota Solo umumnya?
b. Bagaimana relasi Jokowi dengan CSO sebagai agensi yang memiliki minat cukup serius dalam upaya reform dan bagaimana pula relasi Jokowi dengan sejumlah CSA
yang dijadikannya sebagai inner circle?
c. Mengingat relasi juga terjadi antar non state actor (CSO dan CSA), bagaimana gambaran hubungan antar CSO dan antar CSA maupun antara CSO dengan CSA di
Kota Solo? Sejauhmana hubungan tersebut berkontribusi dalam upaya mewujudkan
agenda local reform?
1.3. Tujuan Penelitian
Studi dilakukan dengan tujuan umum untuk memahami praktek local reform yang terjadi di
Kota Solo. Selain itu studi juga dilakukan untuk mewujudkan tujuan khusus berikut:
1. Level mikro: memahami tindakan reform aktor kepala daerah dan menemukan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2. Level messo: memahami relasi kepala daerah dengan multi aktor dalam mendorong perubahan ke arah yang makin progresif.
3. Level Makro: mengembangkan model local reform berdasarkan praktek reform di Kota Solo (model ontology) guna memudahkan replikasi (percepatan perubahan di daerah).
-
Universitas Indonesia 5
1.4. Signifikansi Studi
Studi memberi sumbangan teoritis bagi ilmu sosiologi berupa gambaran mengenai proses perubahan sosial yang diinisiasi agen dan pertarungan yang dilakukan dalam menghadapi
kekuatan struktural, serta gambaran mengenai bagaimana teori strukturasi Giddens (1984)
digunakan (using theory) dalam memahami realitas; selain mencoba mencari aspek-aspek
kebaruan (testing theory) dari teori tersebut melalui kasus yang diteliti. Bagi Sosiologi Politik,
studi memberi gambaran dinamika kontestasi member dan challenger (oposan) memperebutkan
resources dalam koalisi mereka dengan government, sebagaimana digambarkan dalam the polity
model (Tilly, 1978); dan sekaligus memperkaya model. Sedangkan secara praktis studi memberi
gambaran pelaksanaan kebijakan otonomi daerah bagi masyarakat umum, khususnya masyarakat
sipil (CSO); pemerintah daerah (terutama para kepala daerah) maupun pemerintah pusat
(khususnya Kemendagri); serta DPR-RI dan partai politik. Sumbangan dimaksud diantaranya
terkait dengan penyempurnaan UU No. 32/2004, yaitu terkait dengan upaya memaksimalkan
pelaksanaan tupoksi kepala daerah dalam mengupayakan kebijakan pro-poor (kebijakan inklusif), berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat (terutama bagi masyarakat miskin).
-
Universitas Indonesia 6
Bagian Kedua
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoretik 2.1.1.Social Action dan Upaya Mempengaruhi Struktur
Tindakan sosial (social action) merupakan bahasan sentral Sosiologi (weber, 1968). Satu
diantaranya digagas Giddens (1984) dengan mengatakan bahwa riset ilmu sosial dan sejarah selalu
menyangkut hubungan antara tindakan sosial (agen) dengan struktur. Pemikiran Giddens (1984)
bersumber dari kritiknya terhadap kaum pluralis yang menurutnya terlalu menekankan agensi,
sedangkan Marx sangat menekankan struktur; yang menyebabkan keduanya gagal menjelaskan hubungan struktur dan agency. Giddens menolak kedua pendekatan tersebut. Dengan fokus utama
pada social practice yang berulang, yaitu bagaimana manusia menjalani hidup sehari-hari,
Giddens menjadikan sehari-hari (duree) dan rutin (routine) sebagai dua kata kunci penting, selain
konsep ruang dan waktu; yang terkait erat dengan tindakan aktor memproduksi struktur (tindakan
reform) dan reproduksi struktur (upaya menstrukturkan tindakan reform).
Teori strukturasi Giddens (1984) digunakan sebagai pisau analisis dengan tiga pertimbangan.
Pertama, Teori strukturasi Giddens lebih dapat menggambarkan dinamika perlawanan agen terhadap kekuatan struktural. Kedua, Giddens memaknai struktur dalam terminologi berbeda dibanding para teoretisi lainnya. Struktur tidak diterjemahkan sebagai kekuatan yang ada diluar
individu yang menstruktur semisal Negara (state) atau sesuatu yang tetap bentuk dan wujudnya
sebagaimana lazim dipahami teoritisi struktural fungsional; akan tetapi sebagai structuring
properties yang terdiri dari rules dan resources. Ketiga, Giddens memasukkan konsep power
sebagai salah satu sumber kekuatan agen mengendalikan kekuatan struktur, bahkan menunjukkan
perbedaan kemampuan agen yang sangat ditentukan oleh kapasitas power yang dimiliki.
Dengan menggunakan model stratifikasi agen, penulis mencoba memahami tindakan reform Jokowi di Solo, yang di dalam model digambarkan bahwa agen melakukan sejumlah tindakan
berupa monitoring refleksif tindakan (the reflexive monitoring of activity) atas kegiatan sehari-hari
(everyday action), serta melakukan rasionalisasi tindakan (rationalization of action) atas tindakan
monitoring tersebut, agar tindakan reform (social production) secara terus-menerus dapat
dipertahankan keberlanjutannya (menghasilkan struktur baru atau social reproduction).
Gambar 2.1 Model Stratifikasi Agen
Selain itu, terdapat motivation of action yang menggambarkan keingingan-keinginan yang
mengarahkan tindakan agen. Selain terdapat motif sadar, aktor memiliki apa yang disebut Giddens
dengan unconscious motives (nurani). Kemampuan agen mempengaruhi struktur menurut Giddens selain dipengaruhi oleh faktor kompetensi agen untuyk make differents, juga oleh unconscious
motives yang tingkat abstraksinya sangat tinggi dan yang sekaligus merupakan ciri penting
tindakan manusia. Selain itu terdapat practical consciousness (kesadaran praktis), yaitu tindakan
yang dianggap paling benar untuk dilakukan tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata
tentang apa yang dilakukan; serta kesadaran diskursif berupa kemampuan menggambarkan
tindakan dalam kata-kata.
Kesadaran Diskursif Kesadaran Praktis Kognisi/motif tak sadar
monitoring refleksif
tindakan
rasionalisasi tindakan
motivasi tindakan
Konsekuensi tindakan yang tidak diinginkan
Konsekuensi tindakan yang tidak diakui
-
Universitas Indonesia 7
Gambar 2.2 Bentuk-bentuk Kesadaran Agen dalam Tindakan Reform
Studi secara lebih spesifik menguji sejumlah proposisi teori Giddens, yaitu sebagaima tertera
dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Proposisi Tindakan Reform Agen Mempengaruhi Struktur
Proposisi ke-1 Agensi tidak merefer kepada adanya kesengajaan atau adanya tujuan untuk melakukan tindakan
(the intentions people have in doing things), akan tetapi lebih kepada kapabilitas (capability of
agen) membuat perbedaan (make different) dan itu sebabnya mengapa tindakan agen tekait
dengan power, karena tindakan agen tidak akan memproduksi struktur jika individu tidak
melakukan intervensi terhadap tindakan tersebut. (Giddens, 1984:9)
Proposisi ke-2 Agensi tidak selalu tunduk pada struktur, karena ia dapat meninggalkan struktur dengan mencari
kesempatan dan kemungkinan untuk keluar dari peraturan dan ketentuan yang ada karena adanya
keterbatasan jangkauan kontrol rules atas agensi (dialectic of control) berupa segmental
autonomy (otonomi berlaku pada segmen/lapisan tertentu) (Giddens, 1984;16)
Preposisi ke-3 Struktur tidak meng-constrain. Struktur selalu constraining dan enabling berdasarkan hubungan
yang ada antara struktur dan agen (Giddens, 1984:205)
Proposisi ke-4 Pembentukaan agen dan struktur bukanlah fenomena yang saling terpisah (dualisme), akan tetapi
merupakan dualitas. Momen memproduksi tindakan (reproduksi stuktur) pada saat yang sama
juga merupakan momen reproduksi struktur.(Giddens, 1984:25-26).
2.1.2.State-Society Relation
Salah satu upaya Jokowi untuk mengatasi kendala struktural yaitu dengan mengembangkan
hubungan dengan multi aktor, diantaranya dengan non-state actor baik institutional actors (NGO,
Ormas, PT, media massa, dan lain-lain) maupun individual actors seperti para penggiat kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, akedemisi, praktisi, dan lain-lain. Lebih khusus
dengan sejumlah civil society activist (CSA) yang terhubung dengan CSO, yang dijadikan sebagai
inner social circle.
Relasi tersebut relatif tidak biasa, mengingat hubungan state-society selama ini kerap
diwarnai konflik.akan tetapi arus demokratisasi global (Gill, 2000) tak dapat dipungkiri telah
mengubah relasi state-society yang semula penuh konflik tersebut kearah yang lebih harmonis
(mutually reinforcing). Hubungan state-masyarakat sipil tidak lagi dilihat sebagai zero-sum game
akan tetapi lebih sebagai hubungan complimentary bahkan synergistic (Robinson and White, 1998).
Terjadinya perubahan relasi state-masyarakat setidaknya didukung oleh dua teori utama,
yaitu struktur peluang politik (opportunity political structure) (Tarrow 1994; Farrington dan
Lewis, l993:34) dan mobilisasi sumber daya (Tilly 1978; McCarthy dan Zald 1987). Diluar
mainstream tersebut, terdapat sejumlah faktor lain yang juga menjadi penyebab perubahan bentuk
hubungan state-masyarakat sipil, yaitu faktor desentralisasi disektor publik, program penyesuaian
struktural, dan tekanan donor kepada Negara agar mau melakukan kerjasama yang lebih erat dengan masyarakat sipil, terutama dengan NGO (Suharko, 2005). Selain itu berbagai diskursus
teoritis tentang pembangunan, turut mendukung pola baru hubungan tersebut. Kolaborasi yang terjadi antara government dengan NGO misalnya, dianggap menjadi katalisator bagi kesuksesan
pembangunan (Suharko, 2001). Dalam konteks state-society synergy, Evans (1996) mengatakan
bahwa hubungan yang saling menguatkan dan menguntungkan antara government dengan
kelompok-kelompok masyarakat dapat menjadi alasan tercapainya tujuan pembangunan. Hal itu
diperkuat Brown & Ashman (l996) yang menilai bahwa hubungan (kerjasama) antara government
dengan NGO dapat memberi kontribusi penting bagi penyelesaian berbagai masalah krusial dalam
pembangunan, seperti yang terjadi di berbagai negara Afrika dan Asia.
Meski relasi state-society mulai banyak ditemukan, fakta realitas menunjukkan bahwa tak
sedikit hubungan partnership diantara keduanya berakhir dengan semakin menguatnya konflik
-
Universitas Indonesia 8
diantara mereka. Adanya perbedaan identitas, tujuan, dan terutama sejarah sosial, menjadi
beberapa sebab mengapa hubungan diantara keduanya sulit untuk mewujud dalam bentuk
kolaborasi. Hal itu diperparah dengan adanya fakta realitas bahwa masing-masing pihak kerap
mengembangkan cara pandang mereka sendiri tentang dunia sekelilingnya serta peran yang harus
mereka mainkan dalam pembangunan (Suharko, 2005:35). Hal itu pula yang menyebabkan ketika
kedua belah pihak berinteraksi, problem kekuasaan (power) akan selalu muncul dan mempengaruhi sifat dan dinamika hubungan mereka (Farrington dan Bebbington, 1993; dalam
Suharko, 2005:35).
Munculnya resistensi masing-masing aktor dimungkinkan karena apa yang disebut dengan
framing process. Masing-masing aktor membangun pandangan (frame) tertentu atas eksistensi
aktor lain dan atau atas dirinya (kelompoknya) sendiri. Framing process dapat memunculkan
stigmatisasi aktor atas aktor lain yang mewujud dalam bentuk ketidak-percayaan. Hal-hal inilah
yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hubungan antar aktor mengingat mutual trust
merupakan prasyarat yang diperlukan guna mewujudkan hubungan yang baik (produktif) selain complementary strengths, reciprocal accountability, joint decision making, dan lancarnya
pertukaran informasi diantara mereka (Postma, 1994:451). Karena barier tersebut dapat
dimengerti mengapa hubungan yang terbangun antara state dengan masyarakat sipil dalam tataran
praktek sering bersifat permukaan (taktis pragmatis) dan tidak bersifat ideologis (Suharko, 2005).
Lalu bagaimana bentuk dan sifat hubungan yang mungkin terjadi antara state dengan society dalam konteks relasi yang lebih mengarah pada kemitraan ketimbang konflik? Berdasarkan studi
kasus di Asia, Amerika Latin, dan Afrika; meski lebih dimaksudkan sebagai bentuk hubungan
NGO dengan Pemerintah10 (Farrington dan Bebbington, 1993), umumnya ada tiga bentuk
hubungan, yaitu: interaksi, keterkaitan (linkage), dan kerja sama11 dengan bentuk keterkaitan
merupakan tipe dominan. Hubungan dibangun atas dasar pertimbangan taktis pragmatis
ketimbang ideologis, karenanya meski fenomena peningkatan hubungan kerjasama antara NGO-government cenderung meningkat, pengembangan mekanisme keterkaitan antara kedua belah-
pihak dalam bentuk yang lebih formal dan terstruktur, jarang terjadi. Sementara mengenai sifat
hubungan, merujuk pada studi Jamil (1998) tentang kasus dinegara-negara berkembang, kerja
sama NGO-state lebih kondusif ditingkat lokal dan umumnya berlangsung pada tahap
implementasi ketimbang pada tahap perumusan substansi kegiatan, dengan sifat hubungan lebih
taktis pragmatis ketimbang substantif ideologis. Sememntara jika dihubungan dengan pencapaian
agenda masing-masing aktor, hubungan dapat bersifat positif atau negatif. Hubungan dinilai
positif jika menguatkan peran dan fungsi masing-masing, sementara hubungan bersifat negatif
jika sebaliknya. Dengan mengacu pada penjelasan tersebut; maka pola hubungan yang mungkin
terjadi antara state-society (termasuk hubungan antara Jokowi dengan masyarakat sipil di Kota
Solo baik dari dengan NGO maupun CSA), dapat mengikuti pola pada tabel 2.3 tentang Pola
Hubungan State-Society.
10
Perwujudan agenda local reform meski secara legal-formal menjadi tanggung-jawab state, namun dalam praktek
keterlibatan non state actor tak dapat dihindarkan (bahkan sangat dibutuhkan). Terdapat sejumlah kontribusi agencies
dalam hal ini CSO dalam local reform menurut Putnam (1993), yaitu: mengembangkan modal sosial, trust, dan melakukan
shared values; non-political organizations in civil society are vital for democracy. This is because they build social capital, trust and shared values, which are transferred into the political sphere and help to hold society together,
facilitating an understanding of the interconnectedness of society and interests within it. Sementara itu Warrens mengatakan, NGO yang merupakan salah satu unsur dari CSO yang relatif memiliki agenda reform yang cukup
progresif:civil society groups can provide better social services than the state is capable of, and sometimes can even
have a more efficient way of mitigating social exigencies. Hal senada dikatakan pula oleh Fowler (1997) yang sependapat
dengan Clark (1995), yaitu bahwa NGO memberikan kontribusi pada pendekatan mikro (penawaran) seperti penyediaan
pelayanan ekonomi dan sosial, dan pendekatan makro (permintaan), seperti menjadi artikulator suara rakyat. 11
Interaksi menunjukkan kondisi dimana aksi dari satu institusi dipengaruhi oleh atau tergantung pada atau diorientasikan
kea rah aksi institusi lainnya. Sifat interaksi dapat berupa konflik atau kerjasama.Keterikatan atau pertalian menempati
posisi antara itneraksi dengan kerja sama, yaitu interaksi positif formal atau informal dimana masing-masing tidak saling
tergantung.
-
Universitas Indonesia 9
Tabel 2.3
Pola Hubungan State-Society
No Tahapan
Kerjasama
Bentuk Hubungan
Interaksi Linkage Kerjasama
1. Perencanaan - - Taktis pragmatis
Positif
- Taktis
pragmatis
Positif
Substantif
ideologis
Positif
Taktis
Pragmatis
Negatif
Taktis
pragmatis
Negatif
Substantif
ideologis
Negatif
2. Implementasi Taktis Pragmatis
Positif
- Taktis
Pragmatis
- Taktis
Pragmatis
Positif
Substantif
ideologis
Positif
Taktis
Pragmatis
Negatif
Taktis
pragmatis
Negatif
Substantif
ideologis
Negatif
2.1.3.Hubungan antar State Actor dan antar Non State Actor
Selain hubungan antara state-society atau antara state-actor dengan non state actor, hal lain
yang juga diekplor didalam studi terkait dengan hubungan antar state actor atau antar non state-
actor itu sendiri. Hubungan antar state actor umumnya sangat terkait dengan kewenangan (official
power) masing-masing pihak, yang paska diundangkannya kebijakan otonomi daerah mengalami
perubahan mencolok.
Lalu bagaimana dengan relasi antar non state-actor baik antar CSO maupun antar CSA mapun antara CSO dengan CSA? Sebagaimana diungkap Tilly dalam the Polity Model (Tilly,
1978), dalam suatu collective action dimungkinkan terjadikonflik diantara aktor-aktor yang
terlibat; diantaranya akibat perebutan resources antara member (anggota collective action yang
merupakan pendukung utama state) dengan challenger sebagai pihak yang mencoba masuk atau
menjajagi kemungkinan menjadi member. Selain berebut resources, konflik juga dapat terjadi
karena member berupaya mempertahankan posisinya agar tidak digeser oleh challenger. Sumber konflik lainnya dapat terjadi karena adanya perbedaan pandang antara CSO dan CSA
tentang perlunya mengembangkan hubungan dengan state. Meski relasi state-society mulai
menjadi fenomena mengemuka, perbedaan pandang tentang hal ini masih cukup tajam diinternal
masyarakat sipil. NGO juga cenderung berada dalam posisi mendua antara kerjasama dan
konfrontasi dalam menilai penting tidaknya membangun hubungan dengan state (Suharko, 2005); atau sebagaimana diungkap Farrington dan Bebbington (1993), hubungan state-society yang lebih
banyak berupa hubungan keterpaksaan atau reluctant partnership ketimbang hubungan kerjasama.
2.2. Telaah Studi Terdahulu 2.2.1. Local Reform dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan local reform. Sebagaimana
temuan studi Grindle (2007) di Meksiko, terdapat signifikansi faktor kepala daerah selain faktor di
luar kepala daerah (eksternal) dalam mendorong perwujudan salah satu agenda local reform
(perbaikan pelayanan publik) melalui observasi terhadap 30 kota di Meksiko secara acak.
Signifikansi peran kepala daerah juga dibuktikan studi USAID (2009) yang menganalisis
perbaikan penyediaan layanan kesehatan dengan membandingkan derajat inovasi yang
berkembang di tujuh kabupaten/kota di Indonesia, yaitu di Solo, Jogyakarta, Purbalingga, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Kendal; yang mengungkapkan bahwa pemimpin lokal
(committed leadership) merupakan aktor penting dalam mendorong inovasi di daerah. Studi
AKATIGA (2009) juga melihat kuatnya peran aktor kepala daerah di Kebumen (Rustriningsih)
-
Universitas Indonesia 10
dalam mendorong perubahan melalui kebijakan Alokasi Dana Desa dan pengembangan prinsip
transparansi). Fakta yang sama juga ditemui di Jembrana (Winasa dengan kebijakan Jaminan
Kesehatan Jembrana atau JKJ), yang menonjol lantaran gagasan inovasinya selain adanya
dukungan sekda yang mampu menerjemahkan gagasan inovasi Winasa kedalam tataran
implementatif. Hal itu diperkuat dengan temuan studi Eko Prasojo, et al (2007), yang
menunjukkan bahwa faktor tampilnya tokoh pemimpin lokal yang kuat, aktif, dan responsif; jauh lebih menonjol ketimbang ketersediaan anggaran di daerah (kasus Kabupaten Jembrana) serta
studi Zuhro, dkk (2009-2011).
Berbagai studi tersebut tersebut mempertegas siginifikansi peran aktor kepala daerah dalam
mendorong perubahan, meski hal itu tidak berdiri sendiri karena terdapat faktor lain (eksternal
agen kepala daerah) yang juga memberi pengaruh. White dan Smoke (2003) yang melakukan
studi terhadap proses awal desentralisasi di negara-negara Asia Tenggara dan Cina, memperkuat
kesimpulan adanya kekuatan faktor eksternal, dengan temuan studinya bahwa desentralisasi hanya
akan efektif jika didukung oleh keberadaan tiga hal, yaitu: (1) tata kerja kelembagaan lintas unit pemerintahan yang koheren; (2) mekanisme transfer fiskal yang jelas antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah; dan (3) mekanisme akuntabilitas yang efektif untuk mengontrol kinerja
pemerintahan di tingkat lokal (Prakarsa, 2010).
2.2.2.State-Society Relation dan Dinamika Hubungan Negara dan Kekuatan Masyarakat
(terutama Masyarakat Sipil) di Indonesia.
Hubungan state-society di Indonesia, terutama dengan kekuatan masyarakat sipil sebagai
aktor yang memiliki perhatian khusus terhadap kebijakan dan agenda-agenda pembangunan,
berlangsung penuh dinamika dan sangat problematik. Hal tersebut sebagaimana diuraikan pada
bahasan berikut:
a. Masa Orde Baru (1966-1998): Pemerintah rezim Orde Baru, menciptakan sistem politik berbasis negara yang kuat sebagai
upaya meminimalisir potensi konflik sosial disatu sisi dan memaksimalknan produkstifitas
ekonomi disisi lain (Masoed, 1989). Hal itu dilakukan melalui politik depolitisasi (Hikam, 1999) atau partisipasi terkontrol (Liddle, 1999), baik secara langsung yaitu masyarakat pedesaan
yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia (melalaui kebijakan masa mengambang),
maupun secara tidak langsung (melalui korporatisasi negara, kooptasi, dan hegemoni ideologi).
Menghadapi kebijakan negara yang represif (Arif Budiman dan Tornquist, 2005), kekuatan
masyarakat yang tergabung di dalam gerakan pro-demokrasi muncul beragam baik metode
(koreksi atau konfrontasi), keluasaan daerah geraknya (lokal, nasional, internasional), maupun
para aktor yang terlibat (mahasiswa, pers, dan partai politik).
Gambaran hubungan NGO-state yang penuh konflik pada masa orde baru sebagaimana studi
Meuthia Ganie Rochman (2002), menempatkan NGO dalam perspektif state sebagai kelompok
anti pemerintah atau oposan dan bahkan kerap dituduh sebagai "agen asing" dan karenanya
dianggap musuh penguasa. Militer dan intel hadir dimana-mana membatasi ruang gerak para
aktivis NGO. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Berbagai kasus penindasan terjadi
sebagai akibat keterlibatan NGO mengangkat isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan
lingkungan. Namun demikian akibat positif yang ditimbulkan, semua aktivis NGO meski berbeda
ideologi dan posisi, bersatu karena mempunyai musuh yang sama, yaitu rezim otoriter. Menurut
Bob S Hadiwinata (2003) dalam studinya yang mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan
bagaimana NGO dapat survive dalam konteks sosial dan politik yang berbeda; positioning NGO sebagai oposan tehadap state yang banyak terjadi pada era rezim otoriter Orba, sesungguhnya
bukan merupakan satu-satunya peran dan lebih merupakan strategi NGO untuk mempertahankan
diri dan karenanya terjadi perubahan strategi NGO seiring dengan terjadinya perubahan rezim.
Pada tahun 1990-an (saat legitimasi politik Soeharto mulai mengalami penyusutan), NGO
-
Universitas Indonesia 11
melakukan perubahan strategi dengan terlibat dalam berbagai aktifitas mengkampanyekan agenda
pro-demokrasi, diantaranya dengan memfasilitasi perlawanan grassroots menolak dominasi
kekuasaan dan berjuang untuk mendapatkan hak atas keadilan dan kehidupan ekonomi yang lebih
baik.
b. Masa Reformasi Paska jatuhnya Soeharto, peran NGO makin signifikan dengan terlibat aktif dalam
mendorong percepatan proses transisi demokrasi melalui keterlibatan aktif dalam berbagai agenda
penguatan masyarakat sipil (Hadiwinata, 2000). Hal itu karena sistem politik Orba memberi ruang
lebih luas bagi NGO, sehingga hubungan NGO-pemerintah dapat berjalan dengan berbagai cara
(Suharko, 2005). Namun demikian NGO lebih banyak memainkan peran sebagai social movement
(fokus pada agenda perubahan sosial dan perubahan struktur politik atau developing democracy),
dengan pemikiran bahwa persoalan masyarakat (kemiskinan misalnya) bukan terjadi lebih akibat
kebijakan yang salah (tidak pro poor) dan bukan semata karena masalah in-capacity masyarakat
(Hadiwinata, 2000). Dengan kata lain pada masa reformasi terjadi perubahan strategi NGO yang
pada era orba sangat bias pendekatan developmentalist (Fakih, 1992; Cula, 2005), dengan mulai
terlibat aktif dalam social movement. Namun demikian, NGO berhadapan dengan kendala
diinternal dirinya sendiri, yaitu efektifitas networking, bias paternalistik, kecocokan metode yang
digunakan (kurang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan lebih banyak merujuk pada konsep-konsep global), serta adanya problem keterbatasan internal (budaya organisasi) NGO itu sendiri
(Hadiwinata, 2000).
Sedangkan tendensi hubungan NGO-pemerintah (Suharko, 2005), meski konteks politik
yang lebih demokratis telah tercipta (paska reformasi), tidak menimbulkan pergeseran berarti
dalam hubungan NGO-pemerintah. Kedua pihak masih saling enggan membangun kemitraan.
Pemerintah pasca orba cenderung mengambil model benign neglect (pengabaian yang baik),
sedangkan NGO berada dalam posisi mendua antara kerjasama dan konfrontasi. Tantangan hubungan NGO-state diantaranya bersumber dari internal NGO itu sendiri (inefisiensi
manajemen, pertikaian antar aktivis, kurangnya transparansi, dan lain-lain), selain adanya problem
keberlanjutan sumber keuangan NGO (masih sangat bergantung pada donor).
Tantangan hubungan masyarakat sipil-State dalam kasus hubungan kolaboratif yang coba
dibangun antara NGO-pemerintah dalam program JPS yang difasilitasi oleh lembaga donor
(World Bank) sebagaimana studi Suharko (2005), mengalami kegagalan karena baik pemerintah
maupun NGO sulit melepaskan diri dari sikap yang mereka kembangkan sebelumnya. NGO sejak
awal mengkritik program JPS yang dinilai tidak partisipatif selain karena adanya temuan indikasi kebocoran anggaran dalam pelaksanaan program tersebut, serta rendahnya komitmen pemerintah
mengembangkan nilai-nilai good governance dalam tataran yang lebih substantif. Signkatnya
terdapat peta jalan yang cukup terjal guna membangun hubungan sinergis antara pemerintah dan
NGO dalam proses pembangunan, meski beberapa kemajuan berarti juga ditemukan, diantaranya
pemerintah daerah berhasil dipaksa Bank Dunia yang bertindak sebagai fasilitator untuk meningkatkan akses informasi dan transformasi dalam impelementasi program JPS. Selain itu
keterlibatan NGO dalam mendukung pelaksanaan program pemerintah (dalam Forum Lintas
Pelaku) dapat ditingkatkan setelah dilakukan perbaikan disain program atas usulan NGO.
Kesemua hal tersebut menunjukkan bahwa meski relasi state-society mulai mengalami perbaikan
pada masa reformasi, mengembangkan hubungan kerjasama dalam arti yang sesunggunya antara
masyarakat sipil dan negara tidaklah mudah.
2.3. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan seluruh uraian pada bab ini, penulis merumuskan kerangka pemikiran studi
guna memudahkan memahami persoalan, yaitu sebagai berikut:
-
Universitas Indonesia 12
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Tindakan Reform Agen dalam Local Reform
Merujuk pada gambar 2.3 tentang Kerangka Pemikiran Tindakan Reform Agen, kepala
daerah sebagai aktor utama reform mampu melakukan tindakan reform mempengaruhi struktur
guna mewujudkan perubahan karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor dimaksud
berdasarkan tinjauan pustaka dan telaah hasil studi serta preliminary studi yang dilakukan dapat
dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu faktor personal aktor (internal aktor) dan faktor non
personal (eksternal aktor). Faktor personal diantaranya menyangkut latar belakang pendidikan,
keluarga, profesi; sedangkan faktor eksternal terkait dengan perubahan paradigma politik terutama karena proses demokratisasi global yang melahirkan reformasi di Indonesia, kondisi sosio kultural
masyarakat solo, konstelasi politik yang ada, serta dinamika masyarakat dimana kepala daerah
tersebut memimpin.
Untuk menggambarkan dinamika relasi antara agen kepala daerah dengan multi aktor tersebut, penulis menggunakan the Polity Model (Tilly, 1978) sebagai pisau analisis.
Digunakannya the Polity Model dengan pertimbangan bahwa model ini dinilai mampu
menjelaskan dinamika relasi antar aktor. The Polity Model menggambarkan interaksi antar grup
dengan sebuah group collective action, yang terdiri dari komponen-komponen berikut: populasi12,
a government, satu atau lebih contender13 dimana di dalamnya terdapat member atau pendukung
dan challenger atau oposan, sebuah polity (merupakan collective action yang terjadi antara
member dengan government), dan satu atau lebih koalisi.14 Dinamika hubungan antar aktor di dalam the polity model terjadi karena adanya upaya member dan challlenger memperebutkan
posisi dalam polity, yaitu untuk melakukan kontrol atas resources. Tujuan akhir tidak lain agar
dapat meningkatkan kepemilikannya atas resources. Dengan menggunakan sumber daya yang
dimiliki, challenger senantiasa mencari cara agar dapat merangsek masuk ke dalam polity, sementara member mencoba melakukan sejumlah cara agar posisinya dalam polity tetap aman.
12
Populasi adalah sesuatu yang menjadi interest peneliti untuk diamati, government diterjemahkan sebagai organisasi yang
mengontrol konsentrasi prinsip-prinsip utama means of coercion di dalam populasi. 13Contender adalah people atau resources yang mempengaruhi government, termasuk didalamnya challenger dan members
of the polity. Member merupakan pendukung government yang tidak perlu banyak dikontrol, sementara challenger
(contender) bersifat kebalikan dari member. 14
Coalition merupakan a set of contender dan atau government yang berkordinasi satu sama lain dalam collective action.
Dukungan CSA
Dinamika masyarakat
Konstelasi politik
Kondisi sosio kultural
masyarakat
Perubahan paradigm
politik (reformasi)
Latar Belakang Keluarga
Latar Belakang Pendidikan
Latar Belakang Profesi sebelum menjabat
PENCAPAIAN AGENDA REFORM
KEBIJAKAN INKLUSIF
Pemenuhan Basic Needs
Peningkatan Pelayanan Publik
Penataan PKL dan Relokasi
penduduk bantaran
Demokrasi Lokal
STRUKTUR
Regulasi tertulis
APBD
Institusi Birokrasi
Regulasi tdk tertulis
(norm, dll)
Kepemimpinan Rudy
AGEN UTAMA REFORM
(KEPEMIMPINAN JOKOWI)
Tindakan Reform Agen (Constraining dan Enabling)
-
Universitas Indonesia 13
Hal itu dengan tujuan agar kontrol yang dimilikinya atas resources tetap dapat dipertahankan.
Dengan terjadinya kontestasi antara challenger dengan member dalam memperebutkan sumber
daya, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan posisi antara member dengan challenger.
Mereka yang pada awalnya menjadi pihak oposan/pihak yang berseberangan dengan government
dapat berubah menjadi member dan demikia pula sebaliknya. Member dapat terlempar dari
posisinya dan menjadi challenger. Atau kalaupun tidak otomatis terlempar keluar dari polity, hubungan tersebut dapat merenggang atau menjauh (misal dari ring satu menjadi ring dua).
Dengan merujuk pada the Polity Model (Tilly, 1978), penulis mencoba mengapliksikan
model ke dalam kasus yang diteliti, dengan pertama-tama mengidentifikasi siapa yang
menempati posisi government dan siapa pihak-pihak yang berada dibawah kontrolnya, sebelum
melakukan analisis terhadap dinamika hubungan yang terjadi. Pihak yang diperkirakan
menempati posisi sebagai government adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah (Jokowi dan
Rudy), sementara posisi member ditempati oleh birokrasi, DPRD (fraksi pendukung pencalonan
Jokowi menjadi Walikota Solo), CSA (merujuk pada preliminary study adalah tiga orang yang
disebut Jokowi sebagai staf ahli non formal), NGO yang setuju (mendukung) tindakan reform
Jokowi dan Rudy (terutama kebijakan Jokowi dan Rudy dalam dua kasus yang diteliti), serta
organisasi PKL dan penduduk bantaran seperti paguyuban dan sejenisnya yang setuju dengan
kebijakan relokasi penduduk bantaran maupun penataan PKL, dan PKL atau penduduk bantaran itu sendiri. Sedangkan yang diperkirakan menempati posisi challenger adalah para aktor
individual dan institusional (NGO, ormas, dan lain-lain) yang menolak kebijakan Jokowi dan
Rudy pada dua kasus yang diteliti, yaitu: organisasi PKL dan penduduk bantaran, serta warga
bantaran dan PKL. Media massa sebagai kekuatan kritis kemungkinan besar menempati posisi
sebagai challenger, meski tidak tertutup kemungkinan menempati posisi member mengingat
keberadaan koran (media) pemerintah juga merupakan realitas yang banyak ditemui. DPRD non
pendukung kemungkinan besar menempati posisi challenger, meski karena oposisi bukan
merupakan realitas politik yang dipraktekkan secara tegas di Indonesia, kemungkinan mengambil
posisi sebagai member juga sangat terbuka. Diluar aktor-aktor yang telah disebutkan sangat
terbuka kemungkinan adanya aktor-aktor lain yang belum diidentifikasi, yang dapat melengkapi
gambaran mengenai relasi antar aktor yang terjadi.
Gambar 2.4 The Polity Model
----- Coalition
POPULATION
POLITY
Government
Member 3
Challenger 1
Challenger 4
Challenger 2
Challenger 3
Member 4
Member 1
Member 2
-
Universitas Indonesia 14
Bagian Ketiga METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Tipe Penelitian
Studi menggunakan pendekatan kualitatif mengingat studi yang dilakukan merupakan proses
untuk memahami masalah sosial atau manusia, yang merujuk pada empat tradisi sosiologi
(Berger, 1963), lebih difokuskan pada upaya memahami tindakan manusia (social action).
Terutama terkait dengan pola dan konsekuensi tindakan, baik intended maupun unintended
concequences dari purposive human action, yaitu tindakan aktor kepala daerah dalam social
practice melawan kekuatan struktural, guna memproduksi struktur dan mereproduksi struktur (social reproduction), berupa pola-pola tindakan baru sebagai alternatif tindakan mewujudkan agenda local reform. Praktek sosial tersebut dihadirkan melalui penggambaran kondisi realitas holistik, dengan pengumpulan kata-kata berdasarkan laporan terperinci informan yang disusun
dalam latar ilmiah (Creswell, 1994). Gambaran dimaksud meliputi informasi detail dan akurat
tentang fenomena yang diteliti, latar-belakang dan konteks situasi yang terjadi, dokumentasi
proses atau mekanisme yang berlangsung, mengklarifikasi tahapan-tahap yang berlangsung. serta
menemukan model relasi yang efektif (Newman, 1999:21-22).
Hal ini selaras dengan tujuan studi yang diharapkan dapat: (1) menghimpun informasi yang
mendalam tentang social practice; ditingkat mikro terkait dengan tindakan agen kepala daerah
dalam mengupayakan reform serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; ditingkat messo terkait dengan hubungan yang dibangun aktor kepala daerah dengan multi pihak sebagai upaya
mempengaruhi struktur); sedangkan dilevel makro studi pada akhirnya diharapkan dapat
memproduksi dan mereproduksi struktur (social reproduction) melalui model ontology yang
disusun berdasasarkan praktek reform dilokasi yang diteliti, yaitu Kota Solo. (2) gambaran
lengkap dan detail kompleksitas persoalan local reform berdasarkan perspektif pihak-pihak yang
terlibat, guna memahami persoalan secara komprehensif; (3) informasi yang memadai dihimpun
sebagai bahan penyusunan model ontology (berdasarkan praktek reform yang berlangsung),
dengan tujuan memudahkan replikasi praktek sosial tersebut di daerah lain, yang sekaligus
menjadi tujuan studi dilevel makro; (4) studi lebih menekankan perhatian pada proses dan bukan
pada hasil akhir atau produk (bagaimana proses terjadinya social reproduction atau terjadinya
produksi dan reproduksi struktur) ditingkat lokal, meski penggambaran hasil akhir tindakan
reform (berupa hasil reform) ditampilkan sebagai pelengkap (Creswell,1994).
Sebagai sebuah studi kualitatif studi ini bersifat deskriptif analitik dalam arti lebih kepada
upaya menggambarkan realitas sosial yang kompleks (Vredenberg, 1979), yaitu memahami proses
perubahan struktur sosial (produksi dan reproduksi struktur sosial) yang diinisiasi oleh tindakan
aktor kepala daerah, dan tindakannya membangun relasi dengan mukti aktor dalam upaya
mempengaruhi kekuatan struktur, yang diperoleh baik melalui kata-kata maupun gambar.
Singkatnya peneliti berupaya melakukan pencarian terhadap fakta dan social practice yang terjadi
sehari-hari (berulang), dengan memberi interpretasi yang tepat terhadap data dengan tujuan agar dapat membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan-hubungan antar berbagai fenomena yang diselidiki
(Whitney dalam Moh. Nasir, 1999:63) serta berusaha memahami fenomena sosial yang ada (Masri
Singarimbun dan Effendi, 1989), yaitu tindakan reform agen kepala daerah serta relasinya dengan
multi aktor dalam proses reform di Solo.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kasus mengingat peneliti bermaksud
memahami isu secara mendalam, yang diekplorasi melalui dua kasus yang dipilih (penataan PKL
dan resettlment penduduk bantaran Sungai Bengawan Solo) dan yang dilakukan dalam batasan tertentu (multiple bounded system), yaitu meliputi: kekhasan sistem sosial, budaya, dan politik
Kota Solo serta waktu tertentu, yaitu masa kepemimpinan walikota Joko Widodo (2005-2012)
(Cresswell, 2007: 73). Dipilihnya dua kasus tersebut agar dapat melengkapi gambaran mengenai
-
Universitas Indonesia 15
social practice lebih komprehensif, guna menemukan pola-pola tindakan yang dilakukan kepala
daerah dalam mengupayakan kebijakan pro-poor bagi masyarakat miskin. Mengingat kedua kasus
berada pada tingkat penyelesian berbeda (upaya penataan PKL sudah mendekati tahap akhir
sementara resettlement penduduk bantaran baru diselesaikan separuh lebih dari 1.576 rumah yang
ingin ditata) dan dengan bobot kompleksitas permasalahan berbeda pula, volume informasi yang
dihimpun dari kedua kasus tersebut relatif tidak sama.
Sementara itu mengenai bounded Sytem, gambaran detailnya adalah sebagai berikut:
a. Entitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Pemerintahan Kota Solo, dalam hal ini tindakan Walikota Solo periode 2005-2012 dan Wakil Walikota serta birokrasi yang
menopangnya) serta multi aktor yang terlibat dalam upaya reform pada kedua kasus yang
diteliti, yaitu penataan PKL dan pemindahan pemukiman ilegal dibantaran Sungai
Bengawan Solo.
b. Setting waktu: 2005-2012, yaitu masa kepemimpinan Jokowi pada periode pertama dan kedua, hingga Jokowi diangkat menjadi Gubernur DKI pada Oktober 2012.
c. Setting tempat: Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
d. Kasus: penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemindahan (resettlement) pemukiman ilegal di bantaran Sungai Bengawan Solo.
3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian dilakukan mulai Juni 2010, yaitu ketika penulis melakukan studi awal
(preliminary study) guna mendapatkan gambaran utuh mengenai kondisi lapangan dan
memperkuat asumsi-asumsi yang dikembangkan dalam penyusunan proposal. Secara bertahap data terus dihimpun hingga mencukupi kebutuhan, yaitu hingga Desember 2012; sedangkan lokasi
penelitian meliputi wilayah administratif Kota Surakarta (Solo)
3.3. Posisi dan Peran Peneliti
Dalam studi yang dilakukan penulis berperan sebagai peneliti dan sekaligus sebagai
instrumen penelitian, yaitu bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, melakukan
analisis dan penafsiran terhadap data, dan pada saat yang sama juga menjadi pelapor hasil
penelitian (Moleong, 1994: 121). Karena hal itu keterbatasan dalam pelaksanaan peran disadari
tidak dapat dihindari, diantaranya karena peneliti berasal dari masyarakat dengan kultur berbeda dengan masyarakat yang di teliti, terutama terkait dengan pengusaan bahasa dan budaya
masyarakat setempat. Antisipasi dilakukan dengan berbagai perimbangan, diantaranya bahwa
peneliti pernah terlibat dalam kegiatan studi lain di Kota Solo sebelumnya dan dengan isu relatif
berdekatan yaitu studi Penyusunan Indeks Pembangunan Sosial untuk kasus sektor informal di
Kota Solo dan Depok (Wirutomo, dkk; 2010), yang membantu penulis membangun networking
dengan sejumlah akedemisi dan peneliti di lingkup UNS Solo (Sosiologi) sebelum studi dilakukan
selain sebagai sarana pengenalan awal penulis terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Solo
dan dinamika permasalahannya. Selain itu keterlibatan penelitia pada tahun sebelumnya (2009)
dalam kegiatan persiapan project CSIAP I (Civil Society Initiative Against Poverty) yang
dilaksanakan PATTIRO Jakarta dengan melibatkan PATTIRO Kota Solo melalui pendanaan The
Asia Foundation (TAF), memberi kesempatan penulis berinteraksi lebih mendalam dengan
sejumlah aktifis NGO (PATTIRO Solo). Interaksi dengan para penggiat masyarakat sipil Kota Solo makin meningkat dengan keterlibatan penulis dalam program SAPA (Strategic Alliance for
Poverty Alleviation) Indonesia, yang salah satu kegiatannya mengambil lokus di Kota Solo.
Dengan demikian proses memahami masyarakat Solo dan dinamika hubungan antar aktor
(Pemkot Solo dan NGO serta para aktifis Solo) sesungguhnya telah dimulai pada saat itu, jauh
sebelum penelitian dilakukan. Selain itu keberadaan peneliti sebagai aktifis NGO (terutama dalam
program CSIAP I dan SAPA Indonesia), memungkinkan penulis diterima dengan baik (in group)
oleh sejumlah aktifis NGO Kota Solo dan karenanya memiliki kemudahan akses terhadap
-
Universitas Indonesia 16
informasi yang hendak dikumpulkan, bahkan mendapat kemudahan berinteraksi secara intens
dengan sejumlah aktifis NGO di Kota Solo dalam konteks relasi mereka dengan Pemkot Solo.
3.4. Pengumpulan Data
Terkait dengan sumber data, penulis menjadikan hasil wawancara dengan sejumlah informan
dalam kedua kasus yang diteliti dijadikan sebagai sumber data utama, baik barupa data primer
berupa yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan yang dihimpun penulis
melalui indepth interview maupun hasil pengamatan terhadap perkataan dan tindakan aktor dalam
kasus yang diteliti; maupun data sekunder berupa sumber tertulis seperti koran, dokumen, foto,
dan data statistik.
Pengumpulan data dilakukan dengan in-depth data collection yang berasal dari beragam sumber informasi dan menyajikan laporan deskripsi kasus tersebut berdasarkan fokus/tema yang
menjadi sasaran peneliti. Untuk mengoptimalkan pemahaman mengenai kasus, peneliti memberi
perhatian untuk mendapatkan pemahaman secara detail dan rinci menyangkut pilihan isu
(tindakan reform kepala daerah dan relasinya dengan multi aktor khsusunya dengan CSO dan
CSA dalam proses reform di Solo), konteks isu (kasus yang diteliti dan korelasinya dengan upaya
terwujudnya percepatan perubahan), dan aktifitas (kasus yang diteliti yang melibatkan aktor
kepala daerah dan multi aktor lainnya yang terlibat dalam kasus tersebut). Sementara itu
berdasarkan ukuran (bounded case), studi ini meneliti institusi (group) yaitu NGO, Birokrasi
Pemkot Solo, DPRD Kota Solo; aktor individual (kepala daerah, aktifis masyarakat sipil, tokoh,
pakar, dan lain-lain), dan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh institusi maupun aktor individual
yang terlibat.
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sbb :
a. Melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada sejumlah informan. b. Menghimpun informasi dari data sekunder baik yang berasal dari berbagai dokumen baik
yang bersumber dari internal pemerintahan maupun diluar pemerintahan. Dokumen yang bersumber dari pemerintahan diantaranya adalah RPJPD, RPJMD Kota Solo, APBD, LKPJ,
Perda, Perwa, dan SK Walikota terutama yang relevan dengan kasus yang dianalisis;
sedangkan dokumen yang bersumber dari luar diantaranya berupa dokumen program
ataukegiatan NGO selain analisis terhadap pemberitaan media massa mengenai kasus yang
diteliti.
c. Melakukan analisis terhadap pemberitaan media massa mengenai kasus, yaitu pemberitaan dari media lokal seperti Harian Solopos, Suara Merdeka, dan Joglo Semar selain mengikuti
diskusi mengenai Kota Solo dan dinamika perkembangan pembangunan di jejaring sosial.
d. Observasi: mengikuti kegiatan kepala daerah dengan multi stakeholder baik dengan sepengetahuan kepala daerah maupun tidak, untuk mendapatkan informasi yang lebih
komprehensif mengenai relasi aktor.
Terkait dengan subjek penelitian, mengingat kerap terjadi overlapping dalam penentuan subject matter studi tentang collective action, yaitu antara groups, movements, event, belief,
populations, atau action dari collective action itu sendiri. Secara umum studi tentang collective
action setidak-tidaknya terkait dengan dua hal dari unsur tersebut (Tilly, 1978:9); penulis
merumuskan subjek penelitian studi ini sebagai berikut:
a. Kepala Daerah b. CSO yang terlibat dalam pelaksanaan program/kebijakan kepala daerah terkati dengan
penataan PKL dan pemindahan penduduk ilegal di bantaran Sungai Bengawan Solo, serta
beberapa kebijakan yang relevan kepala daerah, yaitu Konsorsium Solo (koalisi LSM di
Kota Solo), KOMPIP, PATTIRO, serta paguyuban PKL dan pedagang pasar yang terdiri
dari SOMPIS, PEDANGKALISO, dan PAPATSUTA,
c. Civil Society Activist (CSA): yaitu empat orang yang diidentifikasi sebagai orang dekat Jokowi, yaitu: PG, AN, EK serta AR.
-
Universitas Indonesia 17
d. DPRD: anggota DPRD yang dari partai pendukung dan partai bukan pendukung pencalonan (periode kedua).
e. Birokrasi: Bappeda, Dinas Pasar dan Pedagang Kaki Lima (DPPKL), Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Kota (DTRK), Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat), Dinas Pariwisata,
Bagian Hukum, dan Bagian Pemerintahan.
f. Tokoh dan Praktisi (Dosen UNS dan UNM, Pakar Planologi, budayawan, dan lain-lain) g. Pemberitaan Media massa: Harian Solo Pos dan Suara Merdeka serta Joglo Semar. h. Supir, ajudan, dan kepala kerumah-tanggaan. i. Warga yang terkena dampak kebijakan (Penataan PKL dan Pemindahan Pemukiman Ilegal
Bantaran Sungai Bengawan Solo).
3.5. Analisis dan Penyajian Data
Merujuk pada Creswell (2007), analisis dan penyajian data dilakukan peneliti melalui tahap-
tahap berikut: managing, reading and memorizing, describing, casifying, interpreting, dan
representing and visualizing. Manajemen data dilakukan dengan mengorganisasikan data baik berupa rekaman maupun transkrip hasil wawancara. Hal itu dilakukan dengan mencermati secara
seksama kata-kata, konteks, dan konsistensi data yang diperoleh untuk menemukan big ideas
(Krueger, 1998). Setelah itu penulis melakukan pengkategorisasian terhadap data yang dihimpun
untuk kemudian ditafsirkan dengan menghubungkannya dengan teori dan konsep yang ada.
3.6. Strategi Validasi Data
Pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi, yaitu pemeriksaan
keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data (Moleong, 2000: 178). Jenis triangulasi yang digunakan
adalah dengan memanfaatkan penggunaan aneka sumber informasi, yaitu membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara,
membandingkan apa yang dikatakan didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi,
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang
dikatakannya sepanjang waktu, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan masyarakat umum, membandingkan hasil wawancara dengan
dokumen, dan membandingkan hasil wawancara dan pengamatan dengan isi media tentang hal
tersebut. Selain itu penulis juga melakukan strategi lain sebagaimana diungkap Creswell (2007)
seperti mengumpan-balikkan data, analisis, penafsiran serta kesimpulan peneliti kepada beberapa
informan kunci untuk memastikan tidak terjadi kekeliruan pemaknaan; menggambarkan proses dan setting situasi pada saat dilakukan pengumpulan data sehingga pihak-pihak yang
mengkonsumsi hasil studi dapat memahami secara utuh tekstual dan kontekstual hasil studi; dan
audit eksternal dari peneliti lain yang juga sedang melakukan studi tentang Solo (AKATIGA,
dosen UNS) yang menjadi teman diskusi peneliti dalam banyak kesempatan.
3.7. Pembatasan dan Keterbatasan Studi
Disadari bahwa studi yang dilakukan memiliki sejumlah keterbatasan. Keterbatasan utama
terkait dengan penguasaan bahasa dan budaya masyarakat yang diteliti. Untuk mengatasi hal
tersebut, penulis melakukan beberapa strategi. Pertama, mencatat dan atau merekam perbincangan dengan informan sehingga peneliti dapat menanyakan makna kata-kata dalam bahasa setempat
kepada pihak lain yang memahami untuk mendapatkan pemaknaan yang tepat. Kedua,
mengkonfirmasi langsung kepada informan makna kata yang diucapkan pada saat wawancara
dilakukan. Ketiga, mencoba memahami budaya masyarakat setempat dengan membaca sejumlah
buku relevan dan mendiskusikannya dengan pihak-pihak yang penulis posisikan sebagai guide dalam kegiatan penelitian yang dilakukan (pemilik rumah kost tempat peneliti tinggal selama
-
Universitas Indonesia 18
penelitian, beberapa mahasiswa sosiologi dari UNS yang menjadi semacam asisten peneliti). Keempat, berinteraksi dan mengikuti kegiatan masyarakat setempat dalam berbagai kesempatan.
Keterbatasan lainnya terkait dengan kualitas informasi yang diberikan, terutama informasi
yang bersumber dari birokrasi yang cenderung normatif, terutama dalam pencarian informasi
tentang praktek korupsi di Kota Solo. Untuk mengatasi hal tersebut penulis mencoba mendalami
informasi dengan mencari sumber informasi alternatif challenger seperti personal birokrasi
lainnya, wartawan lokal yang meliput pemberitaan di Balai Kota, dan para aktifis NGO yang
banyak berinteraksi dengan kegiatan para aktor yang dianalisis. Selain itu untuk isu-isu yang agak
sensitif, untuk memberi perasaan aman pada diri informan, penulis tidak merekam pembicaraan
dan berjanji untuk tidak mengekspose identitas informan.
-
Universitas Indonesia 19
Bagian Keempat
MULTI AKTOR DALAM LOCAL REFORM DI KOTA SOLO
4.1. State Actor
4.1.1.Joko Widodo: Sang Kepala Daerah dan Aktor Utama Reform
State actor yang paling penting dalam proses reform di Kota Solo adalah Ir. H. Joko Widodo
(Jokowi), yang menjabat sebagai kepala daerah di Kota Solo untuk dua kali masa bhakti, yaitu
2005-2010 dan 2010-2015, bersanding dengan F.X. Hadi Rudyatmo sebagai wakilnya. Dengan
telah ditetapkannya Jokowi sebagai Gubernur terpilih DKI Jakarta pada 29 September 2012 paska
Pilgub DKI Tahun 2012, kedudukannya sebagai Walikota Solo selanjutnya diduduki wakilnya,
Hadi Rudyatmo, setelah Jokowi dilantik pada 15 Oktober 2012 lalu.
Terlahir sebagai muslim di Surakarta pada 21 Juni 1961, Jokowi meraih gelar insinyur dari
Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1985. Sejak kecil dikenal pendiam dan karenanya tidak
terlalu menonjol dibanding dengan teman-temannya; Jokowi juga dikenal toleran, ngemong,
senang menolong, dan mau bergaul dengan siapa saja (tanpa membeda-bedakan agama). Semasa
sekolah misalnya, Jokowi hampir setiap hari membonceng Toto (sekarang menjabat sebagai
Sekretaris Dewan di DPRD Kota Solo), tetangga dan adik kelsnya di sekolah, meski Toto bukan
seorang muslim. Jokowi juga gembar memberi, seperti yang kerap dilakukannya kepada Mbah
Harjo, nenek dengan 5 orang cucu dan nenek buyut dari 6 orang cicit, yang dulu tinggal dekat
dengan tempat tinggal Jokowi (Ambarita dkk, 2012).
Berasal dari keluarga biasa dan bahkan pernah tinggal di bantaran Sungai (Kali Anyar),
Jokowi kecil terbiasa menyaksikan fenomena kemiskinan di sekitarnya. Karena itu pula Jokowi
mempunyai kecenderungan memberi perhatian kepada orang-orang miskin, terutama kanak-
kanak, Hal itu kata Jokowi karena mengingatkannya pada keprihatinan hidup yang dilaluinya,
dulu. Pengalaman saya dulu, anak-anak di kampung itu suka susah disuruh mandi. Soalnya mereka itu kan kalau mandi tidak pakai sabun. Tidak ada duit. Jadi saya suka kasih anak-anak
kampung buku dan sabun. Biar mau belajar dan rajin mandihaha. (Wawancara dengan Jokowi, Juli 2011). Kemiskinan yang dialami juga mengasah Jokowi terbiasa bekerja keras dan
pantang menyerah. Dalam kesempatan berdialog dengan anak-anak difabel pada sebuah acara yang diselenggarakan Hotel Paragon, Jokowi mengatakan: Dulu itu kalau teman-teman saya belajar dua jam, saya belajarnya empat jam. Kalau teman-teman belajar empat jam, saya
belajarnya juga harus lebih, jadi delapan jam Soalnya saya itu kan tidak punya buku dan harus pinjam. Jadi supaya tidak ketinggalan harus gitu jadi mainnya tidak banyak, cuma sedikit Dalam konteks bekerja keras itu pula ia mau ngenger dengan pamannya agar bisa terus bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi,15 yang ia selesaikan dalam waktu 4,5 tahun.
Termasuk lulus tercepat karena teman-teman Jokowi banyak yang lulus lebih lama dari itu.
Setelah lulus kuliah, Jokowi sempat mengadu peruntungan dengan bekerja di Aceh, yaitu PT Kertas Kraft Aceh Persero. Setahun setelahnya ia kembali ke Solo untuk menikah dan kembali ke
Aceh dengan membawa keluarga. Setelah merasa mendapat pengalaman cukup, ia memutuskan
kembali ke Solo dan bekerja di perusahaan mebel milik pamannya. Dua tahun setelah bekerja di
Roda Jati, perusahaan pamannya tersebut, pada tahun 1988 Jokowi memutuskan memulai bisnis
sendiri karena ingin mandiri. Bisnis perkayuan bukan barang baru bagi Jokowi karena ayahnya
memiliki usaha penggergajian kayu di samping kediaman mereka di Kampung Tirtoyoso,
Manahan; dan kakeknya pun sebelumnya memiliki usaha serupa. Jokowi merintis usaha dari nol
sebelum akhirnya menjadi eksportir mebel kayu yang cukup sukses. Ia mengawali dengan
melayani pasar domestik, yaitu mengerjakan pesanan pintu kusen dan lantai kayu dari pembeli di
Jakarta. Karena tidak punya modal, kayu untuk bahan baku bahkan diambil (dengan berhutang)
dari perusahaan milik saudara atau temannya. Karena itu ia sangat terpukul ketika setahun setelah
15 Hasil wawancara dengan Putut Gunawan.
-
Universitas Indonesia 20
memulai usaha sendiri ia ditipu pembeli yang mengambil barang dalam jumlah banyak tapi tidak
membayar.
Jokowi mulai merambah kepasar internasional pada tahun 1990-1991, ketika mendapat
pesanan dari pasar internasional. Dari sinilah PT Rakabu yang didirikannya mulai berkembang
(dari kelas PKL mulai berbadan hukum), hingga Jokowi kemudian mendirikan PT Rakabu
Sejahtera, yang merupakan usaha patungan antara PT Rakabu dengan PT Toba Sejahtera
(perusahaan milik mantan Menteri Perdagangan Binsar Panjaitan) yang dibentuk untuk menjamin
ketersediaan pasokan bahan baku mebel yang dikelolanya. Rakabu kini melayani semua pasar
ekspor hampir disemua negara di benua Eropa, Australia, negara kawasan Timur-Tengah dan
Asia, dengan pasar terbesar ke Eropa (hampir 80%). Pengalaman sebagai ekspotir mengajarkan
banyak hal kepada Jokowi. Diantaranya bahwa ia harus menjaga profesionalitas dalam bekerja.
Meski semasa sekolah tidak banyak mengikuti organisasi,16 dalam profesinya Jokowi
menjadi pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990) selain pernah menjadi Ketua
Bidang Pertambangan & Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996) serta menjadi
Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007).
Hal lain yang menarik untuk dicatat, ibu merupakan sosok yang sangat kuat bagi Jokowi.
Peristiwa-peristiwa berat dalam hidupnya dapat ia lewati diantara karena adanya dukungan sang
ibunda, termasuk saat ia maju mencalonkan diri menjadi gubernur DKI. Secara berkelakar ibunda Jokowi (Sujiatmi) mengatakan bahwa ia merupakan penasehat spiritual Jokowi. Dukune ya ibunya sendiri. Gini nih, tak sebul mbun-mbunane (saya tiup ubun-ubunnya) Sujiatmi juga mengaku selalu mendoakan jokowi dalam sholat tahajud yang dilakukannya tiap malam. Doanya ya rahasia tapi saya doakan, tiap sholat, sholat tahajud pasti Mengenai sosok sang ibu, Jokowi mengatakan, Ibu sangat disiplin, disiplin dalam mendidik kami dalam belajar. Tapi walau keras, dia tidak main lidi
Begitu pentingnya ibu dalam kehidupan Jokowi, ketika hendak mengambil keputusan penting Jokowi kerap meminta pendapat ibunya, Firasat ibu itu sangat kuat Pertimbangan batin itu perlu, pertimbangan batin terkait firasat, tidak bisa dihitung dengan kalkulasi
matematisDulu saya pernah mau buka kantor di Dubai. Ibu saya bilang nggak usah jauh-jauh. Tapi saya bilang tidak apa-apa ya kalau dicoba. Terbukti akhirnya tutup juga Namun demikian, meski pengaruh ibunya cukup kuat, saat ditanya apa yang paling mempengaruhi
kepemimpinan Jokowi, ia mengatakan bahwa pengalaman hidupnya yang sulit itu yang banyak
memberi pengaruh (wawancara dengan Jokowi pada 27 Juli 2011).
Lalu bagaimana hingga akhirnya Jokowi memasuki dunia politik? Secara struktural ia tidak pernah menjadi pengurus PDIP, meski lingkungan disekitarnya banyak berasal dari PDIP. Sebagai
contoh orang tua Jokowi (almarhum bapaknya) pernah menjadi satgas PDIP dan sahabat dekat
Jokowi sesama pengusaha (pemilik penginapan dan rumah makan terkenal di Solo, Omah Sinten),
juga adalah pejabat teras PDIP. Karir politik Jokowi dimulai ketika ia maju menjadi Walikota
Solo, setelah mengikuti konvensi di PDIP. Awalnya Jokowi mencoba mendekati parpol berbasis
agama (PAN dan PKS) untuk pencalonannya. Akan tetap karena tidak juga mendapat respon, ia
akhirnya beralih ke PDIP. PDIP menerima Jokowi karena membutuhkan figur yang dinilai dapat
mewakili kelompok Islam; mengingat Rudy, Ketua DPC PDIP, meski secara politik memiliki
dukungan cukup kuat terutama ditingkat grassroots, namun memiliki kendala untuk maju menjadi
calon walikota karena non muslim. Meski masyarakat Solo bukan masyarakat yang agamis,
namun kehadiran pemimpin non muslim belum dapat diterima secara luas oleh masyarakat Kota Solo.
16 Hal itu karena semasa sekolah dan kuliah Jokowi berkonsentrasi agar bisa berprestasi dan lulus
cepat. Dan itu terbukti karena Jokowi lulus dengan waktu reltif cepat (4,5 tahun) ketika kuliah di
UGM.
-
Universitas Indonesia 21
Keinginan Jokowi menggandeng kelompok agama ini menunjukkan kedekatan Jokowi
dengan kelompok-kelompok dan tokoh agama. Hal ini tampak jelas dari dukungan yang diberikan
kelompok dan tokoh agama ketika Jokowi running untuk jabatan Walikota Solo. Meski didukung
PDIP, Jokowi mendapat dukungan sejumlah tokoh dan lembaga agama di Kota Solo, diantaranya
dari LDII, MTA (Majelis Tafsir Al-quran), NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Kedekatan Jokowi dengan kelompok agama ini juga terlihat dari kebijakan Jokowi untuk Graha Sabha Buana, gedung pertemuan milik Jokowi yang berada di daerah Sumber, yang sudah sejak lama
digunakan oleh kelompok-kelompok agama untuk berbagai kegiatan mereka secara gratis.
Kedekatan Jokowi dengan kelompok agama ini juga dapat dilihat dari hubungan yang cukup
intens antara Jokowi dengan Ketua DPD PKS Kota Solo. Sebagaimana diungkap salah satu aktifis
NGO di Kota Solo (PATTIRO), Jokowi memiliki hubungan cukup dekat dengan Sugeng, Ketua
DPD PKS tersebut. Hal itu dapat dilihat dari kerapnya mereka bertemu. Hal ini dibenarkan
Sugeng yang dalam pengakuannya kerap berdiskusi dengan Jokowi guna membicarakan persoalan
Kota Solo. Pada saat proses pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI, Sugeng bahkan mencoba memfasilitasi agar Jokowi dapat bersanding dengan calon dari PKS, karena menurut pengakuan Sugeng, hal ini bahkan yang menjadi keinginan kuat Jokowi. Akan tetapi hal itu tidak dapat
terealisir karena PKS pada awalnya ingin maju menggandeng Foke. Ketika belakangan PKS
memutuskan menerima lamaranJokowi setelah upaya bersanding dengan Foke gagal, kondisi sudah agak terlambat karena Jokowi sudah menerima pinangan Gerindra. Terlepas dari hal itu, hubungan diantara keduanya tetap baik dan tetap terjalin komunikasi hingga kini. Terakhir mereka
berkomunikasi mengenai persoalan Kota Solo kedepan setelah Jokowi menjabat sebagai Gubernur
DKI.
Mengenai kinerja Jokowi selama menjabat di Kota Solo sebagaimana banyak diekspose,
menghantarkan Kota Solo pada perubahan yang sangat pesat. Beberapa kebijakan yang dinilai
cukup progresif diantaranya adalah: merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari ke
Pasar Klithikan Notoharjo hampir tanpa gejolak; merenovasi sejumlah pasar tradisional (34 pasar
dari 41 pasar yang ada); memugar dan memfungsikan kembali Taman Balekambang yang lama
terlantar serta beberapa cagar budaya lainnya; penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Surakarat (PKMS) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS); selain
keberhasilannya melakukan branding Kota Solo sebagai The Spirit of Java dan mengajukannya menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia. Paska diterima pengajuannya pada tahun
2006, Kota Solo terpilih menjadi tuan-rumah pelaksanaan konferensi organisasi tersebut pada
bulan Oktober 2008 dan kerap menjadi tuan-rumah pelaksanaan even-even internasional lainnya setelah itu.
4.1.2.Wakil Walikota Solo FX. Hadi Rudyatmo: Orang Kedua, Bukan Nomor Dua
Sosok penting state actor lainnya adalah Fransiskus Xaverius (FX) Hadi Rudyatmo (Rudy),
Wakil Walikota Surakarta untuk masa jabatan 2005-2010 dan 2010-2015. Dengan telah
dikukuhkannya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012, Rudy menggantikan
posisi Jokowi sebagai Walikota Soo hingga 2015 mendatang. Lahir di Solo pada 13 Februari 1960
dan beragama Katolik, Rudy menamatkan pendidikan (SLTA) pada tahun 1979. Sempat bekerja
sebagai buruh di PT Konimex, yaitu dibagian keamanan, Rudy sudah mulai aktif memperjuangkan kepentingan buruh sejak bekerja di Konimex. Interaksinya dengan PDIP tak
dapat dihindarkan mengingat keberadaan orang-tuanya yang merupakan anggota PNI, selain
karena Kota Solo merupakan daerah basis ideologi PDIP. Interaksi masyarakat dengan ideologi
PDIP (ideologi nasionalis, marhaen) karenanya menjadi sesuatu yang sangat mudah terjadi,
sampai-sampai digambarkan bahwa bayi baru lahir pun sudah memiliki tanduk. (wawancara
dengan Ketua DPD PKS Kota Solo pada 1 Desember 2012).
Keterlibatan Rudy di PDIP semakin jelas ketika ia aktif menjadi pengurus LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan, yang merupakan bentukan baru dari LKMD paska era
-
Universitas Indonesia 22
desentralisasi) pada tahun 2000 dan hingga kemudian menjabat sebagai Ketua LPMK Kelurahan
Pucang Sawit, kelurahan tempat dimana Rudy tinggal. LPMK di Kota Solo merupakan salah satu
jabatan strategis dimasyarakat selain RT dan RW, yang banyak diisi oleh para pengurus dan kader
PDIP. Jabatan LPMK bahkan menjadi salah satu jembatan karir kader PDIP sebelum menjabat
menjadi pengurus PC (Pimpinan Cabang) Kota Solo, hingga kemudian dicalonkan menjadi
anggota legislatif.
Ketika menjabat sebagai Ketua LPMK, Rudy sudah dikenal luas sebagai loyalis Slamet
Suryanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPC Kota Solo, selain sebagai Walikota Solo
sebelum era Jokowi. Rudy dikenal mampu berkomunikasi dengan banyak pihak di PDIP, bahkan
menjembatani faksi-faksi yang ada dikepengurusan PDIP. Pada masa Slamet Suryanto menjabat,
faksi-faksi dikepengurusan PDIP cukup mengemuka, yang diantaranya nampak pada saat
pemilihan Ketua DPRD yang kosong karena Ketua DPRD Kota Solo sebelumnya (dari PIDP)
meninggal dunia. Fraksi PDIP mencalonkan dua nama. Ketika dilakukan pemilihan, jumlah
mereka yang memilih dengan yang tidak memilih, ternyata sama banyak. Hal ini menunjukkan bahwa suara PDIP tidak solid, meski akhirnya pimpinan DPRD tetap dimenangkan oleh anggota
DPRD PDIP, karena jumlah anggota DPRD PDIP mayoritas. Pada saat PDIP dipimpin Rudy, hal-
hal seperti ini tidak terjadi dan PDIP terlihat solid dalam berbagai kebijakan yang diambil.
(wawancara dengan Ketua DPD PKS Kota Solo).
Selain mampu menyatukan berbagai faksi yang ada di PDIP Kota Solo, Rudy juga dikenal
mampu berkomunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat pendukung PDIP dan memperluas
dukungan masyarakat kepada PDIP. Salah satu cara yang dilakukan Rudy adalah dengan memenuhi kebutuhan kader PDIP akan pekerjaan; diantaranya dengan menjadikan mereka sebagai
petugas parkir di Kota Solo. Selain petugas parkir, pekerjaan lain yang juga kerap diisi kader PDIP adalah petugas WC umum di pasar-pasar, di terminal, selain petugas keamanan di Kota
Solo.
Rudy juga mempunyai relasi yang cukup baik dengan berbagai ormas yang dimasyarakat
lebih dinilai sebagai kelompok preman. Kelompok tersebut mewadahi anak-anak muda yang
afiliasi politiknya secara umum kepada PDIP. Ormas dimaksud dan yang cukup besar serta eksis
adalah: Jong Indonesia, Gondes (Gondrong Desa), dan DMC (Dewa Muda Complex). Relasi Rudy dengan kelompok preman tersebut membuat Rudy dapat dengan mudah mengendalikan keamanan Kota Solo, sementara loyalitas kelompok preman tersebut juga cukup tinggi
diantaranya karena Rudy memberi ruang-ruang bagi mereka untuk berusaha.
Ketika menjadi ketua DPC PDIP Surakarta dan aktif mengembangkan dukungan kepada PDIP, Rudy juga menjabat sebagai Ketua Umum Persis Solo, pengurus Cabang PSSI di Surakarta,
selain pernah menjadi anggota DPRD Surakarta dari Fraksi PDIP pada tahun 2004. Ia akhirnya
mundur dari jabatan tersebut saat mencalonkan diri menjadi wakil walikota Solo pada tahun 2005.
Dalam studi yang dilakukan, analisis mengenai peran Rudy sebagai Wakil Walikota
dilakukan mengingat dua pertimbangan. Pertama, karena secara politik posisi dan peran Rudy
cukup kuat di Solo terutama terhadap basis massa PDIP mengingat posisinya sebagai Ketua PC
(Pimpinan Cabang) PDIP selama dua periode selain pernah menjadi anggota DPRD Kota Solo.
Kedua, Rudy memiliki peran cukup kuat dilingkup birokrasi Pemkot Solo baik karena pembagian
tugas antara Jokowi-Rudy yang menempatkan Rudy sebagai pengontrol kerja birokrasi, maupun karena peran Rudy yang cukup kuat dalam pengisian SDM birokrasi pada jabatan strategis di
Pemkot Solo (terutama lurah dan camat).17
17
Sebagaimana diungkap oleh informan yang berada di bagian pemerintahan, jabatan lurah dan camat penunjukannya
ditentukan oleh Rudy. Bagian pemerintahan tidak tahu menahu kriteria personal untuk ditempatkan dalam kedua posisi
tersebut.
-
Universitas Indonesia 23
4.1.3.Birokrasi
Dalam kasus penataan PKL, state actor diposisikan sebagai satu tim kerja. Sebagaimana disebutkan didalam Perda No. 8 Tahun 1995, mereka adalah: Asisten I Sekda Kota Surakarta
sebagai ketua, Dinas Pasar sebagai wakil ketua, Bagian Tata Pemerintahan Setda sebagai
sekretaris, Komandan Pelaksana Harian Satuan Polisi Pamong Praja sebagai wakil sekretaris,
Dinas Pendapatan Daerah sebagai anggota, Bagian Hukum Setda sebagai anggota, Bagian
Perkotaan Setda sebagai anggota, dan Bagian Perekonomian Setda sebagai anggota. Dalam
praktek, state actor yang terlibat bisa jauh lebih banyak. Sebagai contoh Walikota dan Wakil
Walikota yang pada era kepemimpinan Jokowi justru menjadi aktor utama dalam mengupayakan
reform terhadap isu PKL, perannya tidak disebutkan secara spesifik di dalam Perda. Begitu pula
dengan DPP (Dinas Pengelolaan Pasar) yang sebelumnya adalah Kantor PPKL dan yang
sebenarnya mempunyai peran utama dalam pembinaan dan penataan PKL karena Kantor PPKL
baru berdiri pada Tahun 2001 dan dimasukkan kedalam DPP tahun 2007 sehingga belum
disebutkan di dalam Perda No. 8/1995. Selain itu Lurah Pasar sebagai pimpinan tertinggi di pasar juga penting untuk dicantumkan sebagai aktor dalam penanganan PKL, mengingat salah satu
strategi penataan PKL di Kota Solo adalah dengan memasukkan PKL ke dalam pasar-pasar
tradisional yang ada. Yang tidak kalah penting adalah Bapermas (Badan Pemberdayaan
Masyarakat), yang sangat terkait dalam pelaksanaan program penataan PKL.
Sementara untuk kasus penataan pemukiman bantaran Bengawan Solo, mereka yang
diposisikan sebagai state-actor dari unsur birokrasi adalah Bapermas (Badan Pemberdayaan
Masyarakat, Pendidikan Anak, dan Pemberdayaan Perempuan), terutama Bidang Pemberdayaan Masyarakat, yaitu bagian yang berwenang mengurus ganti rugi tanah serta proses relokasi. Selain
itu Dinas Pekerjaan Umum (DPU), dan Dinas Tata Ruang Kota (DTRK), juga menjadi institusi
birokr