local reform di kota solo pada era kepemimpinan jokowi (tahun 2005-2012)

76
UNIVERSITAS INDONESIA LOCAL REFORM DI KOTA SOLO PADA ERA JOKOWI (TAHUN 2005-2012): Tindakan Agen Mempengaruhi Struktur dan Relasi Multi Aktor pada Kasus Penataan PKL dan Pemukiman Penduduk Bantaran Sungai Bengawan Solo RINGKASAN DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Sosiologi WAHIDAH R BULAN 0706222851 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPOK FEBRUARI, 2013

Upload: wahidah-r-bulan

Post on 24-Nov-2015

800 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Local Reform di Kota Solo pada Era Kepemimpinan Jokowi (Tahun 2005-2012), Tindakan Agen Mempengaruhi Struktur dan Relasi Multi Aktor pada Kasus Penataan PKL dan Pemukiman Bantaran Bengawan Solo.ABSTRAKDisertasi ini membahas tindakan kepala daerah di Kota Solo dalam menghadapi tantangan struktural (rules dan resources) guna mewujudkan kebijakan inklusif populis, pada. kasus penataan PKL dan pemindahan penduduk bantaran Sungai Bengawan Solo. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif strategi studi kasus, dengan unit analisis individu meski keberadaannya sekaligus merepresentasikan institusi. Konsep utama yang digunakan: agen, struktur, tindakan, relasi; dengan teori strukturasi Giddens (1984) dan the polity model (tilly, 1978). Hasil penelitian menunjukkan empat bentuk tindakan reform aktor kepala daerah, adanya relasi khusus kepala daerah dengan aktifis masyarakat sipil, (CSA) dan kuatnya pengaruh faktor eksternal dalam upaya agen mempengaruhi struktur.Kata Kunci: sosiologi politik, agen (aktor), struktur, relasi, local reform, tindakan, member, challenger, civil society activist (CSA), social production.

TRANSCRIPT

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    LOCAL REFORM DI KOTA SOLO

    PADA ERA JOKOWI (TAHUN 2005-2012): Tindakan Agen Mempengaruhi Struktur dan Relasi Multi Aktor

    pada Kasus Penataan PKL dan Pemukiman Penduduk Bantaran Sungai Bengawan Solo

    RINGKASAN DISERTASI

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Sosiologi

    WAHIDAH R BULAN

    0706222851

    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

    PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

    DEPOK

    FEBRUARI, 2013

  • Universitas Indonesia 1

    Bagian Pertama

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang Permasalahan

    Sebagai pemegang otoritas tertinggi, kepala daerah merupakan aktor penting dalam proses

    reform. Hal itu karena dengan sejumlah kewenangan yang dimiliki (UU No. 32/2004 pasal 21),

    kepala daerah dapat mengeluarkan aneka kebijakan guna mengupayakan terjadinya perubahan.

    Akan tetapi dengan memperhatikan bahwa tidak semua kepala daerah berhasil mengupayakan

    reform, faktor kewenangan (official power) semata, ternyata belumlah memadai untuk mendorong

    perubahan.

    Merujuk praktek sukses dibeberapa daerah, inisiatif reform (gagasan inovatif) dan

    keberanian kepala daerah, beberapa faktor yang turut menstimuli terjadinya perubahan.1 Melalui

    inisiatif reform kepala daerah dapat menetapkan kebijakan guna menyelesaikan permasalahan dan

    keluar dari mainstream (regulasi, kerumitan prosedur, dan lain-lain) yang meng-constrain

    tindakannya. Karena memiliki kekuatan otoritatif, inisiatif relatif lebih mungkin berkembang ke

    arah perubahan dibanding jika dimotori oleh staf (birokrasi).2 Sedangkan faktor keberanian,

    penting mengingat gagasan perubahan terkadang harus berhadapan dengan sejumlah kendala

    untuk dapat diimplementasikan.3 Hal itu sejalan dengan penelusuran redaksi Majalah Tempo4 terhadap sejumlah kepala daerah, yang menemukan adanya sejumlah karakter khas kepala daerah yang mampu mendorong reform, yaitu: egaliter, berani, dan mau menyelesaikan masalah

    dengan cara tidak biasa (inovatif).

    Kemampuan aktor kepala daerah membangun relasi (connecting) dengan multi aktor

    (struktural maupun individual), merupakan faktor lain yang tak dapat diabaikan. Kepala daerah

    yang tidak mampu membangun hubungan (kekuasaan) dengan DPRD dapat tersandera secara politik akibat usulan anggaran yang diajukan tidak mendapat persetujuan.5 Kemampuan kepala daerah membangun hubungan dengan birokrasi sebagai mesin penggerak roda pemerintahan,

    merupakan hal lain yang tak kalah penting. Meski secara formal birokrasi berada di bawah kontrol

    kepala daerah, mendapatkan kepatuhan adalah hal yang berbeda karena konsep otoritas mengacu

    pada hubungan antar orang per orang dan bukan dengan jabatan perseorangan (Blau dan Meyer).6

    1 Hal itu setidaknya dapat dilihat pada cerita sukses beberapa kepala daerah berikut: Winasa (Kabupaten Jembrana) dengan

    inovasi Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) yang memberikan jamianan kesehatan kepada seluruh warga Jembrana tanpa

    terkecuali (universal coverage health), Gamawan Fauzi (Kabupaten Solok) dengan penghilangan mata anggaran

    honorarium pelaksana proyek, Rustriningsih (Kabupaten Kebumen) dengan spirit mengembangkan transparansi melalui

    kegiatan Selamat Pagi Bupati dan pelaksanaan tender proyek di alun-alun kota, dan Jokowi (Kota Surakarta) dengan

    pendekatan non violence dalam penataan PKL. 2 Sebagai contoh inisiatif yang dilakukan Tri Rismaharini semasa menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan

    Pertamanan, jauh lebih dapat berkembang setelah ia menjadi Walikota Surabaya (2010-2015). Begitu pula yang terjadi di

    Kota Depok, Jawa Barat. Penataan PKL dengan cara merelokasi (pendekatan non kekerasan) telah pernah dilakukan pada

    tahun 1999. Namun karena hanya dimotori oleh Kepala Bidang Ekonomi di Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kota Depok, Ir. Khamid Wijaya, inisiatif reform tidak berkembang menjadi perubahan monumental. 3 Sebagai contoh apa yang terjadi di Kabupaten Solok semasa dipimpin Gamawan Fauzi. Kebijakan penghilangan mata

    anggaran honorarium dalam setiap kegiatan (APBD) yang dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi anggaran dan

    keadilan penganggaran antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sehingga tidak ada dinas basah karena memiliki

    banyak kegiatan dan dinas basah air mata karena minim kegiatan, pada awalnya sulit dilaksanakan karena menghadapi sejumlah kendala regulasi terutama pada tahun pertama pelaksanaannya. 4 Hasil liputan khusus Majalah Tempo (Edisi Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012, edisi 10 16 Desember 2012) bertajuk Bukan Bupati Biasa. 5 Sebut saja misalnya kasus Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail diawal-awal kepemimpinannya pada tahun 2005-2007 yang terpaksa mengubah salah satu program unggulannya, SIPESAT atau Sistem Pengolahan Sampah Terpadu menjadi

    UPS atau Unit Pengelolaan Sampah; atau upaya pemakzulan Walikota Surabaya Tri Rismaharini oleh DPRD pada tahun

    2010 yang disulut oleh penolakan DPRD terhadap kebijakan sang Walikota menaikan pajak reklame. 6 Apa yang terjadi pada kasus hubungan Walikota Depok (Nur Mahmudi Ismail) yang berkonflik dengan Sekda (Winwin

    Winantika) ditahun-tahun awal kepemimpinannya (2006-2007) dan yang berakibat pada tidak efektifnya kerja roda

  • Universitas Indonesia 2

    Selain dengan state actors (DPRD dan birokrasi), kepala daerah juga perlu membangun

    hubungan dengan non-state actors (ormas, NGO, tokoh masyarakat, tokoh intelektual, perguruan

    tinggi) mengingat keberadaan mereka sebagai stakeholder pembangunan strategis.7 Selain itu

    mengingat media massa sebagai salah satu pilar penopang demokrasi selalu ada dibalik

    pengungkapan kasus-kasus penyalah-gunaan kekuasaan dan anggaran baik di daerah maupun di

    pusat, kemampuan kepala daerah membangun hubungan dengan media massa merupakan faktor lain yang tak dapat diabaikan.

    Pentingnya membangun hubungan dengan multi aktor dalam mendorong terwujudnya

    perubahan, juga ditemukan dalam preliminary study yang penulis lakukan pada Juni dan

    Desember 2010 serta Maret 2011. Salah satu faktor yang membantu mempercepat perwujudan

    agenda reform di Solo diantaranya karena kemampuan sang Walikota (Jokowi) membangun

    hubungan dengan berbagai komponen masyarakat, yang dilakukan karena Jokowi menyadari

    keterbatasan pengetahuan dirinya terhadap permasalahan atau kebijakan yang hendak ditetapkan.

    Selain itu relasi juga dikembangkan sebagai solusi atas ketidak-puasan Jokowi terhadap kerja birokrasi yang menurutnya lebih senang menyampaikan informasi yang ingin didengar pimpinan,

    dan bukan informasi real mengenai kondisi lapangan.8

    Jokowi (dan Rudy sebagai Wakil Walikota Solo) mengembangkan hubungan dengan multi

    pihak melalui sejumlah aktifitas yang diangkat dari tradisi Jawa, yang dipopulerkan dengan istilah

    SLJJ yaitu: sonjo (silaturahim), layat (mendatangi orang yang anggota keluarganya meninggal

    dunia), jagong (memenuhi undangan), dan jagongan (berdiskusi atau bermusyawarah). Selain itu

    Jokowi juga mengembangkan apa yang disebutnya dengan Forum Group Discussion (FGD), forum dimana Jokowi berinteraksi dengan stakeholder pembangunan semisal para tokoh, pakar,

    praktisi, akademisi, NGO, aktifis kemasyarakatan, termasuk pihak swasta. Jika SLJJ ditujukan

    untuk mengetahui kondisi lapangan dan menyerap aspirasi publik, FGD dilakukan untuk

    merumuskan alternatif solusi/kebijakan atas berbagai isu atau permasalahan yang membutuhkan

    penanganan segera dan atau permasalahan yang mendapat perhatian masyarakat cukup luas.

    Selain itu Jokowi mempunyai hubungan spesial dengan beberapa aktifis masyarakat sipil (Civil Society Activist atau CSA) yang memiliki jejaring dengan CSO (Civil Society Organization),

    dengan menjadikan mereka sebagai lingkaran terdalam (inner-circle); yang diistilahkan Jokowi

    dengan staf ahli non-formal karena tidak ada kontrak atau ikatan formal yang menunjukkan hak

    dan kewajiban masing-masing pihak,9 yang penulis istilahkan dengan inner social circle

    mengingat relasi dibangun atas prinsip kesukarelaan.

    Hal inilah yang penulis ingin dalami dalam studi yang dilakukan, yaitu mengeksplorasi

    tindakan reform kepala daerah sebagai aktor utama perubahan dan menemukan faktor-faktor yang

    mempengaruhi tindakan reform yang dilakukannya; selain secara spesifik mendalami relasi kepala

    birokrasi di daerah tersebut pada tahun itu, merupakan salah satu contoh konkrit. Contoh lain adalah apa yang terjadi di

    Jembrana pada masa kepemimpinan Winasa. Perubahan di Jembrana sesungguhnya tidak hanya terjadi karena faktor

    kuatnya visi perubahan yang digagas Sang Kepala Daerah, tapi juga karena peran Sekda (Gede Suinaya, sebelumnya

    pejabat di Depdagri) yang mampu menerjemahkan gagasan Winasa kedalam kebijakan yang implementatif selain

    mengkonsolidasikan birokrasi serta memiliki hubungan yang kuat dengan pusat (Studi AKATIGA, 2009). Selain itu

    kesuksesan Gamawan memimpin Kabupaten Solok tak dapat dilepaskan dari keberhasilannya menata birokrasi, mengingat

    Gamawan sebelum menjabat sebagai bupati, mengawali karirnya sebagai PNS di Kabupaten Solok hingga menjabat

    sebagai sekda pada jabatan terakhirnya. 7 Temuan studi AKATIGA (2009) tentang local reform di Kab. Kebumen menunjukkan, agenda reform (pelaksanaan kebijakan Alokasi Dana Desa) di daerah tersebut dapat berlangsung baik karena terjadi kerjasama antara pemerintah

    daerah (terutama Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa atau Bapermades) dengan masyarakat (unsur-unsur masyarakat

    sipil seperti para aktifis desa dan para penggiat NGO yang tergabung didalam Forum Masyarakat Sipil atau FORMASI

    Kebumen). 8 Ini informasi yang saya butuhkan. Kalau birokrasikan sukanya kasih informasi yang baik -baik saja Biar saya senang Padahal saya pengen tahu kondisi realnya seperti apa (wawancara dengan Jokowi pada 30 Desember 2010). 9 Saya punya staf ahli non PNS, staf khusus yang orang nggak ngertilah (tidak banyak diketahui orang, pen), yang sering

    memberikan suara (masukan, pen) kepada saya. Yang masih jelek disebelah sini, yang masih kurang bagus disebelah

    sini, (Wawancara dengan Jokowi pada 30 Desember 2010)

  • Universitas Indonesia 3

    daerah dengan multi aktor, terutama dengan para aktifis masyarakt sipil, sebagai fenomena baru

    yang menarik untuk ditelisik.

    Pilihan atas tema dilakukan mengingat studi mengenai hal tersebut relatif terbatas sementara

    kebutuhan studi semakin terus meningkat. Terkait dengan kemampuan kepala daerah

    mengembangkan hubungan (connecting) dengan multi aktor misalnya, terdapat kebutuhan yang

    sangat mengingat terjadi perubahan tata hubungan antar aktor (struktural maupun non struktural)

    paska reformasi. Sebagai contoh terjadi perubahan pola hubungan kepala daerah dengan DPRD

    paska 1998. DPRD yang sebelumnya (UU No. 5/1974) menjadi bagian pemerintah daerah kini

    berada pada posisi setara dengan hak budgeting, legislasi, bahkan hak melakukan pengawasan

    terhadap kinerja pemerintah (local state). Meski kewenangan tersebut direduksi paska revisi UU

    No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004, terutama terkait dengan pembolehan tindakan

    impeachment DPRD atas dasar kinerja pemerintah daerah (penolakan laporan pertanggung-

    jawaban), realitas menguatnya posisi DPRD terhadap pemerintah daerah tidak dapat dibantah.

    Pola hubungan state-masyarakat sipil pun mengalami banyak perubahan. Arus demokratisasi

    yang makin menguat paska runtuhnya rezim Orba, menyebabkan hubungan state-civil society

    yang sebelumnya penuh konflik, kini menjadi lebih kooperatif. Kerjasama NGO-state, bahkan

    aktifis NGO dengan state, belakangan makin sering terjadi. Diantaranya melalui sejumlah proyek

    seperti ILGR (Iniciatives For Local Governance Reform), LGSP (The Local Governance Support

    Program), DRSP (The Democratic Reform Support Program), IPGI (Indonesian Partnership on

    Local Governance Initiatives), dan SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation) Indonesia;

    proyek yang didanai sejumlah lembaga donor yang mensyaratkan keterlibatan pemerintah daerah sebagai pelaksana program, diantaranya berupa kesediaan memberikan dana pendampingan

    program (APBN dan APBD). Sebagai fenomena baru eksplorasi hubungan kepala daerah dengan

    aktifis masyarakat sipil dalam pengelolaan kekuasaan menarik dilakukan, terutama guna

    mendapatkan informasi yang memadai mengenai sejauhmana dan bagaimana hubungan tersebut

    berkontribusi mempercepat terjadinya perubahan.

    Meski terdapat sejumlah studi tentang local reform, sayangnya sedikit saja yang secara

    spesifik membahas peran kepala daerah. Hal itu mengingat paska diberlakukannya kebijakan

    otonomi daerah, praktek desentralisasi di Indonesia dinilai masih menyimpan sejumlah persoalan dan sedikit saja yang sukses. Kalaupun ada, studi tidak secara spesifik difokuskan pada bahasan

    mengenai relasi aktor kepala daerah akan tetapi lebih kepada institusi pemerintah (Suharko, 2005),

    atau melihat relasi aktor dalam posisi yang lebih general sebagaimana dilakukan Zuhro, dkk

    (2009) yang mencoba mengeksplorasi peran berbagai aktor dalam proses demokratisasi di

    daerah(DPRD, elit partai politik, elit birokrasi, akademisi, ulama, tokoh adat, pengusaha, selain

    para aktifis NGO); selain minin kajian teoritis karena lebih merupakan policy research (Eko

    Prasojo dkk, 2004).

    Studi AKATIGA (2009) tentang local reform dan hubungan antar aktor di Kabupaten Jembrana dan Kebumen, meski sudah terfokus pada aktor kepala daerah, namun karena dilakukan

    dalam kerangka penguatan masyarakat sipil, stand point studi lebih kepada inisiatif NGO dan para

    aktifis NGO dan belum mengeksplorasi secara mendalam peran kepala daerah. Hal itu juga dapat

    dilihat pada studi Hetifah Sj. Sumarto (2005) tentang inisiatif reform masyarakat sipil di 20

    kota/kabupaten di Indonesia. Beberapa studi lain karena dilakukan pada masa rezim otoriter Orde

    Baru (yang agak maju pada fase awal reformasi), juga cenderung menempatkan NGO dalam

    posisi sentral (aktor utama) sementara state digambarkan dalam sosok negatif (bad state), yaitu

    sebagai pihak yang tidak mendukung proses demokratisasi (membatasi gerak masyarakat, tidak

    partisipatif, dominatif, dan lain-lain).Hal; itu sebagaimana dapat dilihat pada studi Ganie

    Rochman (2002) tentang peran NGO (advokasi) ditengah otoritarianisme Orde Baru; studi

    Eldridge (1995) yang mencoba menemukan gambaran mengenai core value dan aspirasi NGO serta hubungan operasionalnya dengan kelompok dampingan mereka maupun interaksinya dengan

    agen-agen pemerintahan; maupun studi Hadiwinata (2003) yang melakukan analisis terhadap

  • Universitas Indonesia 4

    perubahan strategi yang terjadi pada NGO lokal (termasuk hubungan mereka dengan state)

    sebagai akibat perubahan kondisi politik Nasional. Dengan pertimbangan bahwa paska reformasi

    kemunculan Negara baik (good state) yang mewujud dalam sosok kepala daerah yang lebih pro

    terhadap agenda perubahan (local reform) mulai berkembang sebagai fenomena baru (selain

    karena impact agenda good governance), studi yang mengeksplorasi peran pemerintah (terutama

    kepala daerah) dalam mendorong perubahan, menjadi makin penting dilakukan.

    Hal lain yang tidak kalah penting, studi relasi aktor yang ada umumnya lebih menekankan

    analisis hubungan state actors (pemerintah daerah, DPRD dan birokrasi) dengan aktor

    institusional (NGO dan ormas) dan kurang (sangat jarang) mengeksplorasi keterlibatan aktor

    individual semisal para penggiat masyarakat sipil atau civil society activist (aktifis NGO, tokoh,

    para profesional, akademisi, dan lain-lain). Mengingat terjadinya fenomena peningkatan peran

    aktor-aktor individual (inisiatif individual) sebagai dampak positif proses demokratisasi (kasus

    Refli Harun, Macica Mochtar, dan lain-lain) maupun dampak perkembangan teknologi informasi

    (kasus koin untuk Prita), studi tentang hal tersebut makin dirasakan sebagai kebutuhan.

    1.2. Pertanyaan Penelitian

    Secara spesifik studi dilakukan untuk menjawab pertanyaan umum maupun khusus.

    Pertanyaan umum yang ingin dijawab adalah bagaimana praktek local reform di Kota Solo pada

    era kepemimpinan Jokowi; sedangkan pertanyaan pertanyaan khusus dimaksud adalah sebagai

    berikut:

    1. Bagaimana proses local reform terjadi di Kota Solo?

    a. Apa tindakan reform Jokowi menghadapi kekuatan struktural yang dihadapinya dalam mengupayakan terwujudnya perubahan di Kota Solo dan mengapa serta

    bagaimana tindakan tersebut dilakukan?

    b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga tindakan reform tersebut berbuah hasil yang diharapkan?

    2. Bagaimana hubungan antar aktor dalam proses local reform di Kota Solo dapat dijelaskan?

    a. Siapa aktor yang terlibat dan bagaimana relasi antar aktor yang terjalin baik dalam kasus yang diteliti maupun dalam upaya reform di Kota Solo umumnya?

    b. Bagaimana relasi Jokowi dengan CSO sebagai agensi yang memiliki minat cukup serius dalam upaya reform dan bagaimana pula relasi Jokowi dengan sejumlah CSA

    yang dijadikannya sebagai inner circle?

    c. Mengingat relasi juga terjadi antar non state actor (CSO dan CSA), bagaimana gambaran hubungan antar CSO dan antar CSA maupun antara CSO dengan CSA di

    Kota Solo? Sejauhmana hubungan tersebut berkontribusi dalam upaya mewujudkan

    agenda local reform?

    1.3. Tujuan Penelitian

    Studi dilakukan dengan tujuan umum untuk memahami praktek local reform yang terjadi di

    Kota Solo. Selain itu studi juga dilakukan untuk mewujudkan tujuan khusus berikut:

    1. Level mikro: memahami tindakan reform aktor kepala daerah dan menemukan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

    2. Level messo: memahami relasi kepala daerah dengan multi aktor dalam mendorong perubahan ke arah yang makin progresif.

    3. Level Makro: mengembangkan model local reform berdasarkan praktek reform di Kota Solo (model ontology) guna memudahkan replikasi (percepatan perubahan di daerah).

  • Universitas Indonesia 5

    1.4. Signifikansi Studi

    Studi memberi sumbangan teoritis bagi ilmu sosiologi berupa gambaran mengenai proses perubahan sosial yang diinisiasi agen dan pertarungan yang dilakukan dalam menghadapi

    kekuatan struktural, serta gambaran mengenai bagaimana teori strukturasi Giddens (1984)

    digunakan (using theory) dalam memahami realitas; selain mencoba mencari aspek-aspek

    kebaruan (testing theory) dari teori tersebut melalui kasus yang diteliti. Bagi Sosiologi Politik,

    studi memberi gambaran dinamika kontestasi member dan challenger (oposan) memperebutkan

    resources dalam koalisi mereka dengan government, sebagaimana digambarkan dalam the polity

    model (Tilly, 1978); dan sekaligus memperkaya model. Sedangkan secara praktis studi memberi

    gambaran pelaksanaan kebijakan otonomi daerah bagi masyarakat umum, khususnya masyarakat

    sipil (CSO); pemerintah daerah (terutama para kepala daerah) maupun pemerintah pusat

    (khususnya Kemendagri); serta DPR-RI dan partai politik. Sumbangan dimaksud diantaranya

    terkait dengan penyempurnaan UU No. 32/2004, yaitu terkait dengan upaya memaksimalkan

    pelaksanaan tupoksi kepala daerah dalam mengupayakan kebijakan pro-poor (kebijakan inklusif), berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat (terutama bagi masyarakat miskin).

  • Universitas Indonesia 6

    Bagian Kedua

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Kerangka Teoretik 2.1.1.Social Action dan Upaya Mempengaruhi Struktur

    Tindakan sosial (social action) merupakan bahasan sentral Sosiologi (weber, 1968). Satu

    diantaranya digagas Giddens (1984) dengan mengatakan bahwa riset ilmu sosial dan sejarah selalu

    menyangkut hubungan antara tindakan sosial (agen) dengan struktur. Pemikiran Giddens (1984)

    bersumber dari kritiknya terhadap kaum pluralis yang menurutnya terlalu menekankan agensi,

    sedangkan Marx sangat menekankan struktur; yang menyebabkan keduanya gagal menjelaskan hubungan struktur dan agency. Giddens menolak kedua pendekatan tersebut. Dengan fokus utama

    pada social practice yang berulang, yaitu bagaimana manusia menjalani hidup sehari-hari,

    Giddens menjadikan sehari-hari (duree) dan rutin (routine) sebagai dua kata kunci penting, selain

    konsep ruang dan waktu; yang terkait erat dengan tindakan aktor memproduksi struktur (tindakan

    reform) dan reproduksi struktur (upaya menstrukturkan tindakan reform).

    Teori strukturasi Giddens (1984) digunakan sebagai pisau analisis dengan tiga pertimbangan.

    Pertama, Teori strukturasi Giddens lebih dapat menggambarkan dinamika perlawanan agen terhadap kekuatan struktural. Kedua, Giddens memaknai struktur dalam terminologi berbeda dibanding para teoretisi lainnya. Struktur tidak diterjemahkan sebagai kekuatan yang ada diluar

    individu yang menstruktur semisal Negara (state) atau sesuatu yang tetap bentuk dan wujudnya

    sebagaimana lazim dipahami teoritisi struktural fungsional; akan tetapi sebagai structuring

    properties yang terdiri dari rules dan resources. Ketiga, Giddens memasukkan konsep power

    sebagai salah satu sumber kekuatan agen mengendalikan kekuatan struktur, bahkan menunjukkan

    perbedaan kemampuan agen yang sangat ditentukan oleh kapasitas power yang dimiliki.

    Dengan menggunakan model stratifikasi agen, penulis mencoba memahami tindakan reform Jokowi di Solo, yang di dalam model digambarkan bahwa agen melakukan sejumlah tindakan

    berupa monitoring refleksif tindakan (the reflexive monitoring of activity) atas kegiatan sehari-hari

    (everyday action), serta melakukan rasionalisasi tindakan (rationalization of action) atas tindakan

    monitoring tersebut, agar tindakan reform (social production) secara terus-menerus dapat

    dipertahankan keberlanjutannya (menghasilkan struktur baru atau social reproduction).

    Gambar 2.1 Model Stratifikasi Agen

    Selain itu, terdapat motivation of action yang menggambarkan keingingan-keinginan yang

    mengarahkan tindakan agen. Selain terdapat motif sadar, aktor memiliki apa yang disebut Giddens

    dengan unconscious motives (nurani). Kemampuan agen mempengaruhi struktur menurut Giddens selain dipengaruhi oleh faktor kompetensi agen untuyk make differents, juga oleh unconscious

    motives yang tingkat abstraksinya sangat tinggi dan yang sekaligus merupakan ciri penting

    tindakan manusia. Selain itu terdapat practical consciousness (kesadaran praktis), yaitu tindakan

    yang dianggap paling benar untuk dilakukan tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata

    tentang apa yang dilakukan; serta kesadaran diskursif berupa kemampuan menggambarkan

    tindakan dalam kata-kata.

    Kesadaran Diskursif Kesadaran Praktis Kognisi/motif tak sadar

    monitoring refleksif

    tindakan

    rasionalisasi tindakan

    motivasi tindakan

    Konsekuensi tindakan yang tidak diinginkan

    Konsekuensi tindakan yang tidak diakui

  • Universitas Indonesia 7

    Gambar 2.2 Bentuk-bentuk Kesadaran Agen dalam Tindakan Reform

    Studi secara lebih spesifik menguji sejumlah proposisi teori Giddens, yaitu sebagaima tertera

    dalam tabel berikut:

    Tabel 2.1

    Proposisi Tindakan Reform Agen Mempengaruhi Struktur

    Proposisi ke-1 Agensi tidak merefer kepada adanya kesengajaan atau adanya tujuan untuk melakukan tindakan

    (the intentions people have in doing things), akan tetapi lebih kepada kapabilitas (capability of

    agen) membuat perbedaan (make different) dan itu sebabnya mengapa tindakan agen tekait

    dengan power, karena tindakan agen tidak akan memproduksi struktur jika individu tidak

    melakukan intervensi terhadap tindakan tersebut. (Giddens, 1984:9)

    Proposisi ke-2 Agensi tidak selalu tunduk pada struktur, karena ia dapat meninggalkan struktur dengan mencari

    kesempatan dan kemungkinan untuk keluar dari peraturan dan ketentuan yang ada karena adanya

    keterbatasan jangkauan kontrol rules atas agensi (dialectic of control) berupa segmental

    autonomy (otonomi berlaku pada segmen/lapisan tertentu) (Giddens, 1984;16)

    Preposisi ke-3 Struktur tidak meng-constrain. Struktur selalu constraining dan enabling berdasarkan hubungan

    yang ada antara struktur dan agen (Giddens, 1984:205)

    Proposisi ke-4 Pembentukaan agen dan struktur bukanlah fenomena yang saling terpisah (dualisme), akan tetapi

    merupakan dualitas. Momen memproduksi tindakan (reproduksi stuktur) pada saat yang sama

    juga merupakan momen reproduksi struktur.(Giddens, 1984:25-26).

    2.1.2.State-Society Relation

    Salah satu upaya Jokowi untuk mengatasi kendala struktural yaitu dengan mengembangkan

    hubungan dengan multi aktor, diantaranya dengan non-state actor baik institutional actors (NGO,

    Ormas, PT, media massa, dan lain-lain) maupun individual actors seperti para penggiat kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, akedemisi, praktisi, dan lain-lain. Lebih khusus

    dengan sejumlah civil society activist (CSA) yang terhubung dengan CSO, yang dijadikan sebagai

    inner social circle.

    Relasi tersebut relatif tidak biasa, mengingat hubungan state-society selama ini kerap

    diwarnai konflik.akan tetapi arus demokratisasi global (Gill, 2000) tak dapat dipungkiri telah

    mengubah relasi state-society yang semula penuh konflik tersebut kearah yang lebih harmonis

    (mutually reinforcing). Hubungan state-masyarakat sipil tidak lagi dilihat sebagai zero-sum game

    akan tetapi lebih sebagai hubungan complimentary bahkan synergistic (Robinson and White, 1998).

    Terjadinya perubahan relasi state-masyarakat setidaknya didukung oleh dua teori utama,

    yaitu struktur peluang politik (opportunity political structure) (Tarrow 1994; Farrington dan

    Lewis, l993:34) dan mobilisasi sumber daya (Tilly 1978; McCarthy dan Zald 1987). Diluar

    mainstream tersebut, terdapat sejumlah faktor lain yang juga menjadi penyebab perubahan bentuk

    hubungan state-masyarakat sipil, yaitu faktor desentralisasi disektor publik, program penyesuaian

    struktural, dan tekanan donor kepada Negara agar mau melakukan kerjasama yang lebih erat dengan masyarakat sipil, terutama dengan NGO (Suharko, 2005). Selain itu berbagai diskursus

    teoritis tentang pembangunan, turut mendukung pola baru hubungan tersebut. Kolaborasi yang terjadi antara government dengan NGO misalnya, dianggap menjadi katalisator bagi kesuksesan

    pembangunan (Suharko, 2001). Dalam konteks state-society synergy, Evans (1996) mengatakan

    bahwa hubungan yang saling menguatkan dan menguntungkan antara government dengan

    kelompok-kelompok masyarakat dapat menjadi alasan tercapainya tujuan pembangunan. Hal itu

    diperkuat Brown & Ashman (l996) yang menilai bahwa hubungan (kerjasama) antara government

    dengan NGO dapat memberi kontribusi penting bagi penyelesaian berbagai masalah krusial dalam

    pembangunan, seperti yang terjadi di berbagai negara Afrika dan Asia.

    Meski relasi state-society mulai banyak ditemukan, fakta realitas menunjukkan bahwa tak

    sedikit hubungan partnership diantara keduanya berakhir dengan semakin menguatnya konflik

  • Universitas Indonesia 8

    diantara mereka. Adanya perbedaan identitas, tujuan, dan terutama sejarah sosial, menjadi

    beberapa sebab mengapa hubungan diantara keduanya sulit untuk mewujud dalam bentuk

    kolaborasi. Hal itu diperparah dengan adanya fakta realitas bahwa masing-masing pihak kerap

    mengembangkan cara pandang mereka sendiri tentang dunia sekelilingnya serta peran yang harus

    mereka mainkan dalam pembangunan (Suharko, 2005:35). Hal itu pula yang menyebabkan ketika

    kedua belah pihak berinteraksi, problem kekuasaan (power) akan selalu muncul dan mempengaruhi sifat dan dinamika hubungan mereka (Farrington dan Bebbington, 1993; dalam

    Suharko, 2005:35).

    Munculnya resistensi masing-masing aktor dimungkinkan karena apa yang disebut dengan

    framing process. Masing-masing aktor membangun pandangan (frame) tertentu atas eksistensi

    aktor lain dan atau atas dirinya (kelompoknya) sendiri. Framing process dapat memunculkan

    stigmatisasi aktor atas aktor lain yang mewujud dalam bentuk ketidak-percayaan. Hal-hal inilah

    yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hubungan antar aktor mengingat mutual trust

    merupakan prasyarat yang diperlukan guna mewujudkan hubungan yang baik (produktif) selain complementary strengths, reciprocal accountability, joint decision making, dan lancarnya

    pertukaran informasi diantara mereka (Postma, 1994:451). Karena barier tersebut dapat

    dimengerti mengapa hubungan yang terbangun antara state dengan masyarakat sipil dalam tataran

    praktek sering bersifat permukaan (taktis pragmatis) dan tidak bersifat ideologis (Suharko, 2005).

    Lalu bagaimana bentuk dan sifat hubungan yang mungkin terjadi antara state dengan society dalam konteks relasi yang lebih mengarah pada kemitraan ketimbang konflik? Berdasarkan studi

    kasus di Asia, Amerika Latin, dan Afrika; meski lebih dimaksudkan sebagai bentuk hubungan

    NGO dengan Pemerintah10 (Farrington dan Bebbington, 1993), umumnya ada tiga bentuk

    hubungan, yaitu: interaksi, keterkaitan (linkage), dan kerja sama11 dengan bentuk keterkaitan

    merupakan tipe dominan. Hubungan dibangun atas dasar pertimbangan taktis pragmatis

    ketimbang ideologis, karenanya meski fenomena peningkatan hubungan kerjasama antara NGO-government cenderung meningkat, pengembangan mekanisme keterkaitan antara kedua belah-

    pihak dalam bentuk yang lebih formal dan terstruktur, jarang terjadi. Sementara mengenai sifat

    hubungan, merujuk pada studi Jamil (1998) tentang kasus dinegara-negara berkembang, kerja

    sama NGO-state lebih kondusif ditingkat lokal dan umumnya berlangsung pada tahap

    implementasi ketimbang pada tahap perumusan substansi kegiatan, dengan sifat hubungan lebih

    taktis pragmatis ketimbang substantif ideologis. Sememntara jika dihubungan dengan pencapaian

    agenda masing-masing aktor, hubungan dapat bersifat positif atau negatif. Hubungan dinilai

    positif jika menguatkan peran dan fungsi masing-masing, sementara hubungan bersifat negatif

    jika sebaliknya. Dengan mengacu pada penjelasan tersebut; maka pola hubungan yang mungkin

    terjadi antara state-society (termasuk hubungan antara Jokowi dengan masyarakat sipil di Kota

    Solo baik dari dengan NGO maupun CSA), dapat mengikuti pola pada tabel 2.3 tentang Pola

    Hubungan State-Society.

    10

    Perwujudan agenda local reform meski secara legal-formal menjadi tanggung-jawab state, namun dalam praktek

    keterlibatan non state actor tak dapat dihindarkan (bahkan sangat dibutuhkan). Terdapat sejumlah kontribusi agencies

    dalam hal ini CSO dalam local reform menurut Putnam (1993), yaitu: mengembangkan modal sosial, trust, dan melakukan

    shared values; non-political organizations in civil society are vital for democracy. This is because they build social capital, trust and shared values, which are transferred into the political sphere and help to hold society together,

    facilitating an understanding of the interconnectedness of society and interests within it. Sementara itu Warrens mengatakan, NGO yang merupakan salah satu unsur dari CSO yang relatif memiliki agenda reform yang cukup

    progresif:civil society groups can provide better social services than the state is capable of, and sometimes can even

    have a more efficient way of mitigating social exigencies. Hal senada dikatakan pula oleh Fowler (1997) yang sependapat

    dengan Clark (1995), yaitu bahwa NGO memberikan kontribusi pada pendekatan mikro (penawaran) seperti penyediaan

    pelayanan ekonomi dan sosial, dan pendekatan makro (permintaan), seperti menjadi artikulator suara rakyat. 11

    Interaksi menunjukkan kondisi dimana aksi dari satu institusi dipengaruhi oleh atau tergantung pada atau diorientasikan

    kea rah aksi institusi lainnya. Sifat interaksi dapat berupa konflik atau kerjasama.Keterikatan atau pertalian menempati

    posisi antara itneraksi dengan kerja sama, yaitu interaksi positif formal atau informal dimana masing-masing tidak saling

    tergantung.

  • Universitas Indonesia 9

    Tabel 2.3

    Pola Hubungan State-Society

    No Tahapan

    Kerjasama

    Bentuk Hubungan

    Interaksi Linkage Kerjasama

    1. Perencanaan - - Taktis pragmatis

    Positif

    - Taktis

    pragmatis

    Positif

    Substantif

    ideologis

    Positif

    Taktis

    Pragmatis

    Negatif

    Taktis

    pragmatis

    Negatif

    Substantif

    ideologis

    Negatif

    2. Implementasi Taktis Pragmatis

    Positif

    - Taktis

    Pragmatis

    - Taktis

    Pragmatis

    Positif

    Substantif

    ideologis

    Positif

    Taktis

    Pragmatis

    Negatif

    Taktis

    pragmatis

    Negatif

    Substantif

    ideologis

    Negatif

    2.1.3.Hubungan antar State Actor dan antar Non State Actor

    Selain hubungan antara state-society atau antara state-actor dengan non state actor, hal lain

    yang juga diekplor didalam studi terkait dengan hubungan antar state actor atau antar non state-

    actor itu sendiri. Hubungan antar state actor umumnya sangat terkait dengan kewenangan (official

    power) masing-masing pihak, yang paska diundangkannya kebijakan otonomi daerah mengalami

    perubahan mencolok.

    Lalu bagaimana dengan relasi antar non state-actor baik antar CSO maupun antar CSA mapun antara CSO dengan CSA? Sebagaimana diungkap Tilly dalam the Polity Model (Tilly,

    1978), dalam suatu collective action dimungkinkan terjadikonflik diantara aktor-aktor yang

    terlibat; diantaranya akibat perebutan resources antara member (anggota collective action yang

    merupakan pendukung utama state) dengan challenger sebagai pihak yang mencoba masuk atau

    menjajagi kemungkinan menjadi member. Selain berebut resources, konflik juga dapat terjadi

    karena member berupaya mempertahankan posisinya agar tidak digeser oleh challenger. Sumber konflik lainnya dapat terjadi karena adanya perbedaan pandang antara CSO dan CSA

    tentang perlunya mengembangkan hubungan dengan state. Meski relasi state-society mulai

    menjadi fenomena mengemuka, perbedaan pandang tentang hal ini masih cukup tajam diinternal

    masyarakat sipil. NGO juga cenderung berada dalam posisi mendua antara kerjasama dan

    konfrontasi dalam menilai penting tidaknya membangun hubungan dengan state (Suharko, 2005); atau sebagaimana diungkap Farrington dan Bebbington (1993), hubungan state-society yang lebih

    banyak berupa hubungan keterpaksaan atau reluctant partnership ketimbang hubungan kerjasama.

    2.2. Telaah Studi Terdahulu 2.2.1. Local Reform dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

    Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan local reform. Sebagaimana

    temuan studi Grindle (2007) di Meksiko, terdapat signifikansi faktor kepala daerah selain faktor di

    luar kepala daerah (eksternal) dalam mendorong perwujudan salah satu agenda local reform

    (perbaikan pelayanan publik) melalui observasi terhadap 30 kota di Meksiko secara acak.

    Signifikansi peran kepala daerah juga dibuktikan studi USAID (2009) yang menganalisis

    perbaikan penyediaan layanan kesehatan dengan membandingkan derajat inovasi yang

    berkembang di tujuh kabupaten/kota di Indonesia, yaitu di Solo, Jogyakarta, Purbalingga, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Kendal; yang mengungkapkan bahwa pemimpin lokal

    (committed leadership) merupakan aktor penting dalam mendorong inovasi di daerah. Studi

    AKATIGA (2009) juga melihat kuatnya peran aktor kepala daerah di Kebumen (Rustriningsih)

  • Universitas Indonesia 10

    dalam mendorong perubahan melalui kebijakan Alokasi Dana Desa dan pengembangan prinsip

    transparansi). Fakta yang sama juga ditemui di Jembrana (Winasa dengan kebijakan Jaminan

    Kesehatan Jembrana atau JKJ), yang menonjol lantaran gagasan inovasinya selain adanya

    dukungan sekda yang mampu menerjemahkan gagasan inovasi Winasa kedalam tataran

    implementatif. Hal itu diperkuat dengan temuan studi Eko Prasojo, et al (2007), yang

    menunjukkan bahwa faktor tampilnya tokoh pemimpin lokal yang kuat, aktif, dan responsif; jauh lebih menonjol ketimbang ketersediaan anggaran di daerah (kasus Kabupaten Jembrana) serta

    studi Zuhro, dkk (2009-2011).

    Berbagai studi tersebut tersebut mempertegas siginifikansi peran aktor kepala daerah dalam

    mendorong perubahan, meski hal itu tidak berdiri sendiri karena terdapat faktor lain (eksternal

    agen kepala daerah) yang juga memberi pengaruh. White dan Smoke (2003) yang melakukan

    studi terhadap proses awal desentralisasi di negara-negara Asia Tenggara dan Cina, memperkuat

    kesimpulan adanya kekuatan faktor eksternal, dengan temuan studinya bahwa desentralisasi hanya

    akan efektif jika didukung oleh keberadaan tiga hal, yaitu: (1) tata kerja kelembagaan lintas unit pemerintahan yang koheren; (2) mekanisme transfer fiskal yang jelas antara pemerintah pusat dan

    pemerintah daerah; dan (3) mekanisme akuntabilitas yang efektif untuk mengontrol kinerja

    pemerintahan di tingkat lokal (Prakarsa, 2010).

    2.2.2.State-Society Relation dan Dinamika Hubungan Negara dan Kekuatan Masyarakat

    (terutama Masyarakat Sipil) di Indonesia.

    Hubungan state-society di Indonesia, terutama dengan kekuatan masyarakat sipil sebagai

    aktor yang memiliki perhatian khusus terhadap kebijakan dan agenda-agenda pembangunan,

    berlangsung penuh dinamika dan sangat problematik. Hal tersebut sebagaimana diuraikan pada

    bahasan berikut:

    a. Masa Orde Baru (1966-1998): Pemerintah rezim Orde Baru, menciptakan sistem politik berbasis negara yang kuat sebagai

    upaya meminimalisir potensi konflik sosial disatu sisi dan memaksimalknan produkstifitas

    ekonomi disisi lain (Masoed, 1989). Hal itu dilakukan melalui politik depolitisasi (Hikam, 1999) atau partisipasi terkontrol (Liddle, 1999), baik secara langsung yaitu masyarakat pedesaan

    yang merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia (melalaui kebijakan masa mengambang),

    maupun secara tidak langsung (melalui korporatisasi negara, kooptasi, dan hegemoni ideologi).

    Menghadapi kebijakan negara yang represif (Arif Budiman dan Tornquist, 2005), kekuatan

    masyarakat yang tergabung di dalam gerakan pro-demokrasi muncul beragam baik metode

    (koreksi atau konfrontasi), keluasaan daerah geraknya (lokal, nasional, internasional), maupun

    para aktor yang terlibat (mahasiswa, pers, dan partai politik).

    Gambaran hubungan NGO-state yang penuh konflik pada masa orde baru sebagaimana studi

    Meuthia Ganie Rochman (2002), menempatkan NGO dalam perspektif state sebagai kelompok

    anti pemerintah atau oposan dan bahkan kerap dituduh sebagai "agen asing" dan karenanya

    dianggap musuh penguasa. Militer dan intel hadir dimana-mana membatasi ruang gerak para

    aktivis NGO. Pertemuan atau seminar dengan mudah dilarang. Berbagai kasus penindasan terjadi

    sebagai akibat keterlibatan NGO mengangkat isu pertanahan, perburuhan, kehutanan, dan

    lingkungan. Namun demikian akibat positif yang ditimbulkan, semua aktivis NGO meski berbeda

    ideologi dan posisi, bersatu karena mempunyai musuh yang sama, yaitu rezim otoriter. Menurut

    Bob S Hadiwinata (2003) dalam studinya yang mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan

    bagaimana NGO dapat survive dalam konteks sosial dan politik yang berbeda; positioning NGO sebagai oposan tehadap state yang banyak terjadi pada era rezim otoriter Orba, sesungguhnya

    bukan merupakan satu-satunya peran dan lebih merupakan strategi NGO untuk mempertahankan

    diri dan karenanya terjadi perubahan strategi NGO seiring dengan terjadinya perubahan rezim.

    Pada tahun 1990-an (saat legitimasi politik Soeharto mulai mengalami penyusutan), NGO

  • Universitas Indonesia 11

    melakukan perubahan strategi dengan terlibat dalam berbagai aktifitas mengkampanyekan agenda

    pro-demokrasi, diantaranya dengan memfasilitasi perlawanan grassroots menolak dominasi

    kekuasaan dan berjuang untuk mendapatkan hak atas keadilan dan kehidupan ekonomi yang lebih

    baik.

    b. Masa Reformasi Paska jatuhnya Soeharto, peran NGO makin signifikan dengan terlibat aktif dalam

    mendorong percepatan proses transisi demokrasi melalui keterlibatan aktif dalam berbagai agenda

    penguatan masyarakat sipil (Hadiwinata, 2000). Hal itu karena sistem politik Orba memberi ruang

    lebih luas bagi NGO, sehingga hubungan NGO-pemerintah dapat berjalan dengan berbagai cara

    (Suharko, 2005). Namun demikian NGO lebih banyak memainkan peran sebagai social movement

    (fokus pada agenda perubahan sosial dan perubahan struktur politik atau developing democracy),

    dengan pemikiran bahwa persoalan masyarakat (kemiskinan misalnya) bukan terjadi lebih akibat

    kebijakan yang salah (tidak pro poor) dan bukan semata karena masalah in-capacity masyarakat

    (Hadiwinata, 2000). Dengan kata lain pada masa reformasi terjadi perubahan strategi NGO yang

    pada era orba sangat bias pendekatan developmentalist (Fakih, 1992; Cula, 2005), dengan mulai

    terlibat aktif dalam social movement. Namun demikian, NGO berhadapan dengan kendala

    diinternal dirinya sendiri, yaitu efektifitas networking, bias paternalistik, kecocokan metode yang

    digunakan (kurang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan lebih banyak merujuk pada konsep-konsep global), serta adanya problem keterbatasan internal (budaya organisasi) NGO itu sendiri

    (Hadiwinata, 2000).

    Sedangkan tendensi hubungan NGO-pemerintah (Suharko, 2005), meski konteks politik

    yang lebih demokratis telah tercipta (paska reformasi), tidak menimbulkan pergeseran berarti

    dalam hubungan NGO-pemerintah. Kedua pihak masih saling enggan membangun kemitraan.

    Pemerintah pasca orba cenderung mengambil model benign neglect (pengabaian yang baik),

    sedangkan NGO berada dalam posisi mendua antara kerjasama dan konfrontasi. Tantangan hubungan NGO-state diantaranya bersumber dari internal NGO itu sendiri (inefisiensi

    manajemen, pertikaian antar aktivis, kurangnya transparansi, dan lain-lain), selain adanya problem

    keberlanjutan sumber keuangan NGO (masih sangat bergantung pada donor).

    Tantangan hubungan masyarakat sipil-State dalam kasus hubungan kolaboratif yang coba

    dibangun antara NGO-pemerintah dalam program JPS yang difasilitasi oleh lembaga donor

    (World Bank) sebagaimana studi Suharko (2005), mengalami kegagalan karena baik pemerintah

    maupun NGO sulit melepaskan diri dari sikap yang mereka kembangkan sebelumnya. NGO sejak

    awal mengkritik program JPS yang dinilai tidak partisipatif selain karena adanya temuan indikasi kebocoran anggaran dalam pelaksanaan program tersebut, serta rendahnya komitmen pemerintah

    mengembangkan nilai-nilai good governance dalam tataran yang lebih substantif. Signkatnya

    terdapat peta jalan yang cukup terjal guna membangun hubungan sinergis antara pemerintah dan

    NGO dalam proses pembangunan, meski beberapa kemajuan berarti juga ditemukan, diantaranya

    pemerintah daerah berhasil dipaksa Bank Dunia yang bertindak sebagai fasilitator untuk meningkatkan akses informasi dan transformasi dalam impelementasi program JPS. Selain itu

    keterlibatan NGO dalam mendukung pelaksanaan program pemerintah (dalam Forum Lintas

    Pelaku) dapat ditingkatkan setelah dilakukan perbaikan disain program atas usulan NGO.

    Kesemua hal tersebut menunjukkan bahwa meski relasi state-society mulai mengalami perbaikan

    pada masa reformasi, mengembangkan hubungan kerjasama dalam arti yang sesunggunya antara

    masyarakat sipil dan negara tidaklah mudah.

    2.3. Kerangka Pemikiran

    Berdasarkan seluruh uraian pada bab ini, penulis merumuskan kerangka pemikiran studi

    guna memudahkan memahami persoalan, yaitu sebagai berikut:

  • Universitas Indonesia 12

    Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Tindakan Reform Agen dalam Local Reform

    Merujuk pada gambar 2.3 tentang Kerangka Pemikiran Tindakan Reform Agen, kepala

    daerah sebagai aktor utama reform mampu melakukan tindakan reform mempengaruhi struktur

    guna mewujudkan perubahan karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor dimaksud

    berdasarkan tinjauan pustaka dan telaah hasil studi serta preliminary studi yang dilakukan dapat

    dikategorikan kedalam dua kelompok, yaitu faktor personal aktor (internal aktor) dan faktor non

    personal (eksternal aktor). Faktor personal diantaranya menyangkut latar belakang pendidikan,

    keluarga, profesi; sedangkan faktor eksternal terkait dengan perubahan paradigma politik terutama karena proses demokratisasi global yang melahirkan reformasi di Indonesia, kondisi sosio kultural

    masyarakat solo, konstelasi politik yang ada, serta dinamika masyarakat dimana kepala daerah

    tersebut memimpin.

    Untuk menggambarkan dinamika relasi antara agen kepala daerah dengan multi aktor tersebut, penulis menggunakan the Polity Model (Tilly, 1978) sebagai pisau analisis.

    Digunakannya the Polity Model dengan pertimbangan bahwa model ini dinilai mampu

    menjelaskan dinamika relasi antar aktor. The Polity Model menggambarkan interaksi antar grup

    dengan sebuah group collective action, yang terdiri dari komponen-komponen berikut: populasi12,

    a government, satu atau lebih contender13 dimana di dalamnya terdapat member atau pendukung

    dan challenger atau oposan, sebuah polity (merupakan collective action yang terjadi antara

    member dengan government), dan satu atau lebih koalisi.14 Dinamika hubungan antar aktor di dalam the polity model terjadi karena adanya upaya member dan challlenger memperebutkan

    posisi dalam polity, yaitu untuk melakukan kontrol atas resources. Tujuan akhir tidak lain agar

    dapat meningkatkan kepemilikannya atas resources. Dengan menggunakan sumber daya yang

    dimiliki, challenger senantiasa mencari cara agar dapat merangsek masuk ke dalam polity, sementara member mencoba melakukan sejumlah cara agar posisinya dalam polity tetap aman.

    12

    Populasi adalah sesuatu yang menjadi interest peneliti untuk diamati, government diterjemahkan sebagai organisasi yang

    mengontrol konsentrasi prinsip-prinsip utama means of coercion di dalam populasi. 13Contender adalah people atau resources yang mempengaruhi government, termasuk didalamnya challenger dan members

    of the polity. Member merupakan pendukung government yang tidak perlu banyak dikontrol, sementara challenger

    (contender) bersifat kebalikan dari member. 14

    Coalition merupakan a set of contender dan atau government yang berkordinasi satu sama lain dalam collective action.

    Dukungan CSA

    Dinamika masyarakat

    Konstelasi politik

    Kondisi sosio kultural

    masyarakat

    Perubahan paradigm

    politik (reformasi)

    Latar Belakang Keluarga

    Latar Belakang Pendidikan

    Latar Belakang Profesi sebelum menjabat

    PENCAPAIAN AGENDA REFORM

    KEBIJAKAN INKLUSIF

    Pemenuhan Basic Needs

    Peningkatan Pelayanan Publik

    Penataan PKL dan Relokasi

    penduduk bantaran

    Demokrasi Lokal

    STRUKTUR

    Regulasi tertulis

    APBD

    Institusi Birokrasi

    Regulasi tdk tertulis

    (norm, dll)

    Kepemimpinan Rudy

    AGEN UTAMA REFORM

    (KEPEMIMPINAN JOKOWI)

    Tindakan Reform Agen (Constraining dan Enabling)

  • Universitas Indonesia 13

    Hal itu dengan tujuan agar kontrol yang dimilikinya atas resources tetap dapat dipertahankan.

    Dengan terjadinya kontestasi antara challenger dengan member dalam memperebutkan sumber

    daya, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan posisi antara member dengan challenger.

    Mereka yang pada awalnya menjadi pihak oposan/pihak yang berseberangan dengan government

    dapat berubah menjadi member dan demikia pula sebaliknya. Member dapat terlempar dari

    posisinya dan menjadi challenger. Atau kalaupun tidak otomatis terlempar keluar dari polity, hubungan tersebut dapat merenggang atau menjauh (misal dari ring satu menjadi ring dua).

    Dengan merujuk pada the Polity Model (Tilly, 1978), penulis mencoba mengapliksikan

    model ke dalam kasus yang diteliti, dengan pertama-tama mengidentifikasi siapa yang

    menempati posisi government dan siapa pihak-pihak yang berada dibawah kontrolnya, sebelum

    melakukan analisis terhadap dinamika hubungan yang terjadi. Pihak yang diperkirakan

    menempati posisi sebagai government adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah (Jokowi dan

    Rudy), sementara posisi member ditempati oleh birokrasi, DPRD (fraksi pendukung pencalonan

    Jokowi menjadi Walikota Solo), CSA (merujuk pada preliminary study adalah tiga orang yang

    disebut Jokowi sebagai staf ahli non formal), NGO yang setuju (mendukung) tindakan reform

    Jokowi dan Rudy (terutama kebijakan Jokowi dan Rudy dalam dua kasus yang diteliti), serta

    organisasi PKL dan penduduk bantaran seperti paguyuban dan sejenisnya yang setuju dengan

    kebijakan relokasi penduduk bantaran maupun penataan PKL, dan PKL atau penduduk bantaran itu sendiri. Sedangkan yang diperkirakan menempati posisi challenger adalah para aktor

    individual dan institusional (NGO, ormas, dan lain-lain) yang menolak kebijakan Jokowi dan

    Rudy pada dua kasus yang diteliti, yaitu: organisasi PKL dan penduduk bantaran, serta warga

    bantaran dan PKL. Media massa sebagai kekuatan kritis kemungkinan besar menempati posisi

    sebagai challenger, meski tidak tertutup kemungkinan menempati posisi member mengingat

    keberadaan koran (media) pemerintah juga merupakan realitas yang banyak ditemui. DPRD non

    pendukung kemungkinan besar menempati posisi challenger, meski karena oposisi bukan

    merupakan realitas politik yang dipraktekkan secara tegas di Indonesia, kemungkinan mengambil

    posisi sebagai member juga sangat terbuka. Diluar aktor-aktor yang telah disebutkan sangat

    terbuka kemungkinan adanya aktor-aktor lain yang belum diidentifikasi, yang dapat melengkapi

    gambaran mengenai relasi antar aktor yang terjadi.

    Gambar 2.4 The Polity Model

    ----- Coalition

    POPULATION

    POLITY

    Government

    Member 3

    Challenger 1

    Challenger 4

    Challenger 2

    Challenger 3

    Member 4

    Member 1

    Member 2

  • Universitas Indonesia 14

    Bagian Ketiga METODOLOGI PENELITIAN

    3.1. Pendekatan dan Tipe Penelitian

    Studi menggunakan pendekatan kualitatif mengingat studi yang dilakukan merupakan proses

    untuk memahami masalah sosial atau manusia, yang merujuk pada empat tradisi sosiologi

    (Berger, 1963), lebih difokuskan pada upaya memahami tindakan manusia (social action).

    Terutama terkait dengan pola dan konsekuensi tindakan, baik intended maupun unintended

    concequences dari purposive human action, yaitu tindakan aktor kepala daerah dalam social

    practice melawan kekuatan struktural, guna memproduksi struktur dan mereproduksi struktur (social reproduction), berupa pola-pola tindakan baru sebagai alternatif tindakan mewujudkan agenda local reform. Praktek sosial tersebut dihadirkan melalui penggambaran kondisi realitas holistik, dengan pengumpulan kata-kata berdasarkan laporan terperinci informan yang disusun

    dalam latar ilmiah (Creswell, 1994). Gambaran dimaksud meliputi informasi detail dan akurat

    tentang fenomena yang diteliti, latar-belakang dan konteks situasi yang terjadi, dokumentasi

    proses atau mekanisme yang berlangsung, mengklarifikasi tahapan-tahap yang berlangsung. serta

    menemukan model relasi yang efektif (Newman, 1999:21-22).

    Hal ini selaras dengan tujuan studi yang diharapkan dapat: (1) menghimpun informasi yang

    mendalam tentang social practice; ditingkat mikro terkait dengan tindakan agen kepala daerah

    dalam mengupayakan reform serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; ditingkat messo terkait dengan hubungan yang dibangun aktor kepala daerah dengan multi pihak sebagai upaya

    mempengaruhi struktur); sedangkan dilevel makro studi pada akhirnya diharapkan dapat

    memproduksi dan mereproduksi struktur (social reproduction) melalui model ontology yang

    disusun berdasasarkan praktek reform dilokasi yang diteliti, yaitu Kota Solo. (2) gambaran

    lengkap dan detail kompleksitas persoalan local reform berdasarkan perspektif pihak-pihak yang

    terlibat, guna memahami persoalan secara komprehensif; (3) informasi yang memadai dihimpun

    sebagai bahan penyusunan model ontology (berdasarkan praktek reform yang berlangsung),

    dengan tujuan memudahkan replikasi praktek sosial tersebut di daerah lain, yang sekaligus

    menjadi tujuan studi dilevel makro; (4) studi lebih menekankan perhatian pada proses dan bukan

    pada hasil akhir atau produk (bagaimana proses terjadinya social reproduction atau terjadinya

    produksi dan reproduksi struktur) ditingkat lokal, meski penggambaran hasil akhir tindakan

    reform (berupa hasil reform) ditampilkan sebagai pelengkap (Creswell,1994).

    Sebagai sebuah studi kualitatif studi ini bersifat deskriptif analitik dalam arti lebih kepada

    upaya menggambarkan realitas sosial yang kompleks (Vredenberg, 1979), yaitu memahami proses

    perubahan struktur sosial (produksi dan reproduksi struktur sosial) yang diinisiasi oleh tindakan

    aktor kepala daerah, dan tindakannya membangun relasi dengan mukti aktor dalam upaya

    mempengaruhi kekuatan struktur, yang diperoleh baik melalui kata-kata maupun gambar.

    Singkatnya peneliti berupaya melakukan pencarian terhadap fakta dan social practice yang terjadi

    sehari-hari (berulang), dengan memberi interpretasi yang tepat terhadap data dengan tujuan agar dapat membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai

    fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan-hubungan antar berbagai fenomena yang diselidiki

    (Whitney dalam Moh. Nasir, 1999:63) serta berusaha memahami fenomena sosial yang ada (Masri

    Singarimbun dan Effendi, 1989), yaitu tindakan reform agen kepala daerah serta relasinya dengan

    multi aktor dalam proses reform di Solo.

    Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kasus mengingat peneliti bermaksud

    memahami isu secara mendalam, yang diekplorasi melalui dua kasus yang dipilih (penataan PKL

    dan resettlment penduduk bantaran Sungai Bengawan Solo) dan yang dilakukan dalam batasan tertentu (multiple bounded system), yaitu meliputi: kekhasan sistem sosial, budaya, dan politik

    Kota Solo serta waktu tertentu, yaitu masa kepemimpinan walikota Joko Widodo (2005-2012)

    (Cresswell, 2007: 73). Dipilihnya dua kasus tersebut agar dapat melengkapi gambaran mengenai

  • Universitas Indonesia 15

    social practice lebih komprehensif, guna menemukan pola-pola tindakan yang dilakukan kepala

    daerah dalam mengupayakan kebijakan pro-poor bagi masyarakat miskin. Mengingat kedua kasus

    berada pada tingkat penyelesian berbeda (upaya penataan PKL sudah mendekati tahap akhir

    sementara resettlement penduduk bantaran baru diselesaikan separuh lebih dari 1.576 rumah yang

    ingin ditata) dan dengan bobot kompleksitas permasalahan berbeda pula, volume informasi yang

    dihimpun dari kedua kasus tersebut relatif tidak sama.

    Sementara itu mengenai bounded Sytem, gambaran detailnya adalah sebagai berikut:

    a. Entitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Pemerintahan Kota Solo, dalam hal ini tindakan Walikota Solo periode 2005-2012 dan Wakil Walikota serta birokrasi yang

    menopangnya) serta multi aktor yang terlibat dalam upaya reform pada kedua kasus yang

    diteliti, yaitu penataan PKL dan pemindahan pemukiman ilegal dibantaran Sungai

    Bengawan Solo.

    b. Setting waktu: 2005-2012, yaitu masa kepemimpinan Jokowi pada periode pertama dan kedua, hingga Jokowi diangkat menjadi Gubernur DKI pada Oktober 2012.

    c. Setting tempat: Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah.

    d. Kasus: penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemindahan (resettlement) pemukiman ilegal di bantaran Sungai Bengawan Solo.

    3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

    Waktu penelitian dilakukan mulai Juni 2010, yaitu ketika penulis melakukan studi awal

    (preliminary study) guna mendapatkan gambaran utuh mengenai kondisi lapangan dan

    memperkuat asumsi-asumsi yang dikembangkan dalam penyusunan proposal. Secara bertahap data terus dihimpun hingga mencukupi kebutuhan, yaitu hingga Desember 2012; sedangkan lokasi

    penelitian meliputi wilayah administratif Kota Surakarta (Solo)

    3.3. Posisi dan Peran Peneliti

    Dalam studi yang dilakukan penulis berperan sebagai peneliti dan sekaligus sebagai

    instrumen penelitian, yaitu bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, melakukan

    analisis dan penafsiran terhadap data, dan pada saat yang sama juga menjadi pelapor hasil

    penelitian (Moleong, 1994: 121). Karena hal itu keterbatasan dalam pelaksanaan peran disadari

    tidak dapat dihindari, diantaranya karena peneliti berasal dari masyarakat dengan kultur berbeda dengan masyarakat yang di teliti, terutama terkait dengan pengusaan bahasa dan budaya

    masyarakat setempat. Antisipasi dilakukan dengan berbagai perimbangan, diantaranya bahwa

    peneliti pernah terlibat dalam kegiatan studi lain di Kota Solo sebelumnya dan dengan isu relatif

    berdekatan yaitu studi Penyusunan Indeks Pembangunan Sosial untuk kasus sektor informal di

    Kota Solo dan Depok (Wirutomo, dkk; 2010), yang membantu penulis membangun networking

    dengan sejumlah akedemisi dan peneliti di lingkup UNS Solo (Sosiologi) sebelum studi dilakukan

    selain sebagai sarana pengenalan awal penulis terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Solo

    dan dinamika permasalahannya. Selain itu keterlibatan penelitia pada tahun sebelumnya (2009)

    dalam kegiatan persiapan project CSIAP I (Civil Society Initiative Against Poverty) yang

    dilaksanakan PATTIRO Jakarta dengan melibatkan PATTIRO Kota Solo melalui pendanaan The

    Asia Foundation (TAF), memberi kesempatan penulis berinteraksi lebih mendalam dengan

    sejumlah aktifis NGO (PATTIRO Solo). Interaksi dengan para penggiat masyarakat sipil Kota Solo makin meningkat dengan keterlibatan penulis dalam program SAPA (Strategic Alliance for

    Poverty Alleviation) Indonesia, yang salah satu kegiatannya mengambil lokus di Kota Solo.

    Dengan demikian proses memahami masyarakat Solo dan dinamika hubungan antar aktor

    (Pemkot Solo dan NGO serta para aktifis Solo) sesungguhnya telah dimulai pada saat itu, jauh

    sebelum penelitian dilakukan. Selain itu keberadaan peneliti sebagai aktifis NGO (terutama dalam

    program CSIAP I dan SAPA Indonesia), memungkinkan penulis diterima dengan baik (in group)

    oleh sejumlah aktifis NGO Kota Solo dan karenanya memiliki kemudahan akses terhadap

  • Universitas Indonesia 16

    informasi yang hendak dikumpulkan, bahkan mendapat kemudahan berinteraksi secara intens

    dengan sejumlah aktifis NGO di Kota Solo dalam konteks relasi mereka dengan Pemkot Solo.

    3.4. Pengumpulan Data

    Terkait dengan sumber data, penulis menjadikan hasil wawancara dengan sejumlah informan

    dalam kedua kasus yang diteliti dijadikan sebagai sumber data utama, baik barupa data primer

    berupa yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan yang dihimpun penulis

    melalui indepth interview maupun hasil pengamatan terhadap perkataan dan tindakan aktor dalam

    kasus yang diteliti; maupun data sekunder berupa sumber tertulis seperti koran, dokumen, foto,

    dan data statistik.

    Pengumpulan data dilakukan dengan in-depth data collection yang berasal dari beragam sumber informasi dan menyajikan laporan deskripsi kasus tersebut berdasarkan fokus/tema yang

    menjadi sasaran peneliti. Untuk mengoptimalkan pemahaman mengenai kasus, peneliti memberi

    perhatian untuk mendapatkan pemahaman secara detail dan rinci menyangkut pilihan isu

    (tindakan reform kepala daerah dan relasinya dengan multi aktor khsusunya dengan CSO dan

    CSA dalam proses reform di Solo), konteks isu (kasus yang diteliti dan korelasinya dengan upaya

    terwujudnya percepatan perubahan), dan aktifitas (kasus yang diteliti yang melibatkan aktor

    kepala daerah dan multi aktor lainnya yang terlibat dalam kasus tersebut). Sementara itu

    berdasarkan ukuran (bounded case), studi ini meneliti institusi (group) yaitu NGO, Birokrasi

    Pemkot Solo, DPRD Kota Solo; aktor individual (kepala daerah, aktifis masyarakat sipil, tokoh,

    pakar, dan lain-lain), dan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh institusi maupun aktor individual

    yang terlibat.

    Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sbb :

    a. Melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada sejumlah informan. b. Menghimpun informasi dari data sekunder baik yang berasal dari berbagai dokumen baik

    yang bersumber dari internal pemerintahan maupun diluar pemerintahan. Dokumen yang bersumber dari pemerintahan diantaranya adalah RPJPD, RPJMD Kota Solo, APBD, LKPJ,

    Perda, Perwa, dan SK Walikota terutama yang relevan dengan kasus yang dianalisis;

    sedangkan dokumen yang bersumber dari luar diantaranya berupa dokumen program

    ataukegiatan NGO selain analisis terhadap pemberitaan media massa mengenai kasus yang

    diteliti.

    c. Melakukan analisis terhadap pemberitaan media massa mengenai kasus, yaitu pemberitaan dari media lokal seperti Harian Solopos, Suara Merdeka, dan Joglo Semar selain mengikuti

    diskusi mengenai Kota Solo dan dinamika perkembangan pembangunan di jejaring sosial.

    d. Observasi: mengikuti kegiatan kepala daerah dengan multi stakeholder baik dengan sepengetahuan kepala daerah maupun tidak, untuk mendapatkan informasi yang lebih

    komprehensif mengenai relasi aktor.

    Terkait dengan subjek penelitian, mengingat kerap terjadi overlapping dalam penentuan subject matter studi tentang collective action, yaitu antara groups, movements, event, belief,

    populations, atau action dari collective action itu sendiri. Secara umum studi tentang collective

    action setidak-tidaknya terkait dengan dua hal dari unsur tersebut (Tilly, 1978:9); penulis

    merumuskan subjek penelitian studi ini sebagai berikut:

    a. Kepala Daerah b. CSO yang terlibat dalam pelaksanaan program/kebijakan kepala daerah terkati dengan

    penataan PKL dan pemindahan penduduk ilegal di bantaran Sungai Bengawan Solo, serta

    beberapa kebijakan yang relevan kepala daerah, yaitu Konsorsium Solo (koalisi LSM di

    Kota Solo), KOMPIP, PATTIRO, serta paguyuban PKL dan pedagang pasar yang terdiri

    dari SOMPIS, PEDANGKALISO, dan PAPATSUTA,

    c. Civil Society Activist (CSA): yaitu empat orang yang diidentifikasi sebagai orang dekat Jokowi, yaitu: PG, AN, EK serta AR.

  • Universitas Indonesia 17

    d. DPRD: anggota DPRD yang dari partai pendukung dan partai bukan pendukung pencalonan (periode kedua).

    e. Birokrasi: Bappeda, Dinas Pasar dan Pedagang Kaki Lima (DPPKL), Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Kota (DTRK), Bapermas (Badan Pemberdayaan Masyarakat), Dinas Pariwisata,

    Bagian Hukum, dan Bagian Pemerintahan.

    f. Tokoh dan Praktisi (Dosen UNS dan UNM, Pakar Planologi, budayawan, dan lain-lain) g. Pemberitaan Media massa: Harian Solo Pos dan Suara Merdeka serta Joglo Semar. h. Supir, ajudan, dan kepala kerumah-tanggaan. i. Warga yang terkena dampak kebijakan (Penataan PKL dan Pemindahan Pemukiman Ilegal

    Bantaran Sungai Bengawan Solo).

    3.5. Analisis dan Penyajian Data

    Merujuk pada Creswell (2007), analisis dan penyajian data dilakukan peneliti melalui tahap-

    tahap berikut: managing, reading and memorizing, describing, casifying, interpreting, dan

    representing and visualizing. Manajemen data dilakukan dengan mengorganisasikan data baik berupa rekaman maupun transkrip hasil wawancara. Hal itu dilakukan dengan mencermati secara

    seksama kata-kata, konteks, dan konsistensi data yang diperoleh untuk menemukan big ideas

    (Krueger, 1998). Setelah itu penulis melakukan pengkategorisasian terhadap data yang dihimpun

    untuk kemudian ditafsirkan dengan menghubungkannya dengan teori dan konsep yang ada.

    3.6. Strategi Validasi Data

    Pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi, yaitu pemeriksaan

    keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data (Moleong, 2000: 178). Jenis triangulasi yang digunakan

    adalah dengan memanfaatkan penggunaan aneka sumber informasi, yaitu membandingkan dan

    mengecek balik derajat kepercayaan informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang

    berbeda dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara,

    membandingkan apa yang dikatakan didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi,

    membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang

    dikatakannya sepanjang waktu, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan

    berbagai pendapat dan pandangan masyarakat umum, membandingkan hasil wawancara dengan

    dokumen, dan membandingkan hasil wawancara dan pengamatan dengan isi media tentang hal

    tersebut. Selain itu penulis juga melakukan strategi lain sebagaimana diungkap Creswell (2007)

    seperti mengumpan-balikkan data, analisis, penafsiran serta kesimpulan peneliti kepada beberapa

    informan kunci untuk memastikan tidak terjadi kekeliruan pemaknaan; menggambarkan proses dan setting situasi pada saat dilakukan pengumpulan data sehingga pihak-pihak yang

    mengkonsumsi hasil studi dapat memahami secara utuh tekstual dan kontekstual hasil studi; dan

    audit eksternal dari peneliti lain yang juga sedang melakukan studi tentang Solo (AKATIGA,

    dosen UNS) yang menjadi teman diskusi peneliti dalam banyak kesempatan.

    3.7. Pembatasan dan Keterbatasan Studi

    Disadari bahwa studi yang dilakukan memiliki sejumlah keterbatasan. Keterbatasan utama

    terkait dengan penguasaan bahasa dan budaya masyarakat yang diteliti. Untuk mengatasi hal

    tersebut, penulis melakukan beberapa strategi. Pertama, mencatat dan atau merekam perbincangan dengan informan sehingga peneliti dapat menanyakan makna kata-kata dalam bahasa setempat

    kepada pihak lain yang memahami untuk mendapatkan pemaknaan yang tepat. Kedua,

    mengkonfirmasi langsung kepada informan makna kata yang diucapkan pada saat wawancara

    dilakukan. Ketiga, mencoba memahami budaya masyarakat setempat dengan membaca sejumlah

    buku relevan dan mendiskusikannya dengan pihak-pihak yang penulis posisikan sebagai guide dalam kegiatan penelitian yang dilakukan (pemilik rumah kost tempat peneliti tinggal selama

  • Universitas Indonesia 18

    penelitian, beberapa mahasiswa sosiologi dari UNS yang menjadi semacam asisten peneliti). Keempat, berinteraksi dan mengikuti kegiatan masyarakat setempat dalam berbagai kesempatan.

    Keterbatasan lainnya terkait dengan kualitas informasi yang diberikan, terutama informasi

    yang bersumber dari birokrasi yang cenderung normatif, terutama dalam pencarian informasi

    tentang praktek korupsi di Kota Solo. Untuk mengatasi hal tersebut penulis mencoba mendalami

    informasi dengan mencari sumber informasi alternatif challenger seperti personal birokrasi

    lainnya, wartawan lokal yang meliput pemberitaan di Balai Kota, dan para aktifis NGO yang

    banyak berinteraksi dengan kegiatan para aktor yang dianalisis. Selain itu untuk isu-isu yang agak

    sensitif, untuk memberi perasaan aman pada diri informan, penulis tidak merekam pembicaraan

    dan berjanji untuk tidak mengekspose identitas informan.

  • Universitas Indonesia 19

    Bagian Keempat

    MULTI AKTOR DALAM LOCAL REFORM DI KOTA SOLO

    4.1. State Actor

    4.1.1.Joko Widodo: Sang Kepala Daerah dan Aktor Utama Reform

    State actor yang paling penting dalam proses reform di Kota Solo adalah Ir. H. Joko Widodo

    (Jokowi), yang menjabat sebagai kepala daerah di Kota Solo untuk dua kali masa bhakti, yaitu

    2005-2010 dan 2010-2015, bersanding dengan F.X. Hadi Rudyatmo sebagai wakilnya. Dengan

    telah ditetapkannya Jokowi sebagai Gubernur terpilih DKI Jakarta pada 29 September 2012 paska

    Pilgub DKI Tahun 2012, kedudukannya sebagai Walikota Solo selanjutnya diduduki wakilnya,

    Hadi Rudyatmo, setelah Jokowi dilantik pada 15 Oktober 2012 lalu.

    Terlahir sebagai muslim di Surakarta pada 21 Juni 1961, Jokowi meraih gelar insinyur dari

    Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1985. Sejak kecil dikenal pendiam dan karenanya tidak

    terlalu menonjol dibanding dengan teman-temannya; Jokowi juga dikenal toleran, ngemong,

    senang menolong, dan mau bergaul dengan siapa saja (tanpa membeda-bedakan agama). Semasa

    sekolah misalnya, Jokowi hampir setiap hari membonceng Toto (sekarang menjabat sebagai

    Sekretaris Dewan di DPRD Kota Solo), tetangga dan adik kelsnya di sekolah, meski Toto bukan

    seorang muslim. Jokowi juga gembar memberi, seperti yang kerap dilakukannya kepada Mbah

    Harjo, nenek dengan 5 orang cucu dan nenek buyut dari 6 orang cicit, yang dulu tinggal dekat

    dengan tempat tinggal Jokowi (Ambarita dkk, 2012).

    Berasal dari keluarga biasa dan bahkan pernah tinggal di bantaran Sungai (Kali Anyar),

    Jokowi kecil terbiasa menyaksikan fenomena kemiskinan di sekitarnya. Karena itu pula Jokowi

    mempunyai kecenderungan memberi perhatian kepada orang-orang miskin, terutama kanak-

    kanak, Hal itu kata Jokowi karena mengingatkannya pada keprihatinan hidup yang dilaluinya,

    dulu. Pengalaman saya dulu, anak-anak di kampung itu suka susah disuruh mandi. Soalnya mereka itu kan kalau mandi tidak pakai sabun. Tidak ada duit. Jadi saya suka kasih anak-anak

    kampung buku dan sabun. Biar mau belajar dan rajin mandihaha. (Wawancara dengan Jokowi, Juli 2011). Kemiskinan yang dialami juga mengasah Jokowi terbiasa bekerja keras dan

    pantang menyerah. Dalam kesempatan berdialog dengan anak-anak difabel pada sebuah acara yang diselenggarakan Hotel Paragon, Jokowi mengatakan: Dulu itu kalau teman-teman saya belajar dua jam, saya belajarnya empat jam. Kalau teman-teman belajar empat jam, saya

    belajarnya juga harus lebih, jadi delapan jam Soalnya saya itu kan tidak punya buku dan harus pinjam. Jadi supaya tidak ketinggalan harus gitu jadi mainnya tidak banyak, cuma sedikit Dalam konteks bekerja keras itu pula ia mau ngenger dengan pamannya agar bisa terus bersekolah hingga ke tingkat perguruan tinggi,15 yang ia selesaikan dalam waktu 4,5 tahun.

    Termasuk lulus tercepat karena teman-teman Jokowi banyak yang lulus lebih lama dari itu.

    Setelah lulus kuliah, Jokowi sempat mengadu peruntungan dengan bekerja di Aceh, yaitu PT Kertas Kraft Aceh Persero. Setahun setelahnya ia kembali ke Solo untuk menikah dan kembali ke

    Aceh dengan membawa keluarga. Setelah merasa mendapat pengalaman cukup, ia memutuskan

    kembali ke Solo dan bekerja di perusahaan mebel milik pamannya. Dua tahun setelah bekerja di

    Roda Jati, perusahaan pamannya tersebut, pada tahun 1988 Jokowi memutuskan memulai bisnis

    sendiri karena ingin mandiri. Bisnis perkayuan bukan barang baru bagi Jokowi karena ayahnya

    memiliki usaha penggergajian kayu di samping kediaman mereka di Kampung Tirtoyoso,

    Manahan; dan kakeknya pun sebelumnya memiliki usaha serupa. Jokowi merintis usaha dari nol

    sebelum akhirnya menjadi eksportir mebel kayu yang cukup sukses. Ia mengawali dengan

    melayani pasar domestik, yaitu mengerjakan pesanan pintu kusen dan lantai kayu dari pembeli di

    Jakarta. Karena tidak punya modal, kayu untuk bahan baku bahkan diambil (dengan berhutang)

    dari perusahaan milik saudara atau temannya. Karena itu ia sangat terpukul ketika setahun setelah

    15 Hasil wawancara dengan Putut Gunawan.

  • Universitas Indonesia 20

    memulai usaha sendiri ia ditipu pembeli yang mengambil barang dalam jumlah banyak tapi tidak

    membayar.

    Jokowi mulai merambah kepasar internasional pada tahun 1990-1991, ketika mendapat

    pesanan dari pasar internasional. Dari sinilah PT Rakabu yang didirikannya mulai berkembang

    (dari kelas PKL mulai berbadan hukum), hingga Jokowi kemudian mendirikan PT Rakabu

    Sejahtera, yang merupakan usaha patungan antara PT Rakabu dengan PT Toba Sejahtera

    (perusahaan milik mantan Menteri Perdagangan Binsar Panjaitan) yang dibentuk untuk menjamin

    ketersediaan pasokan bahan baku mebel yang dikelolanya. Rakabu kini melayani semua pasar

    ekspor hampir disemua negara di benua Eropa, Australia, negara kawasan Timur-Tengah dan

    Asia, dengan pasar terbesar ke Eropa (hampir 80%). Pengalaman sebagai ekspotir mengajarkan

    banyak hal kepada Jokowi. Diantaranya bahwa ia harus menjaga profesionalitas dalam bekerja.

    Meski semasa sekolah tidak banyak mengikuti organisasi,16 dalam profesinya Jokowi

    menjadi pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990) selain pernah menjadi Ketua

    Bidang Pertambangan & Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996) serta menjadi

    Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007).

    Hal lain yang menarik untuk dicatat, ibu merupakan sosok yang sangat kuat bagi Jokowi.

    Peristiwa-peristiwa berat dalam hidupnya dapat ia lewati diantara karena adanya dukungan sang

    ibunda, termasuk saat ia maju mencalonkan diri menjadi gubernur DKI. Secara berkelakar ibunda Jokowi (Sujiatmi) mengatakan bahwa ia merupakan penasehat spiritual Jokowi. Dukune ya ibunya sendiri. Gini nih, tak sebul mbun-mbunane (saya tiup ubun-ubunnya) Sujiatmi juga mengaku selalu mendoakan jokowi dalam sholat tahajud yang dilakukannya tiap malam. Doanya ya rahasia tapi saya doakan, tiap sholat, sholat tahajud pasti Mengenai sosok sang ibu, Jokowi mengatakan, Ibu sangat disiplin, disiplin dalam mendidik kami dalam belajar. Tapi walau keras, dia tidak main lidi

    Begitu pentingnya ibu dalam kehidupan Jokowi, ketika hendak mengambil keputusan penting Jokowi kerap meminta pendapat ibunya, Firasat ibu itu sangat kuat Pertimbangan batin itu perlu, pertimbangan batin terkait firasat, tidak bisa dihitung dengan kalkulasi

    matematisDulu saya pernah mau buka kantor di Dubai. Ibu saya bilang nggak usah jauh-jauh. Tapi saya bilang tidak apa-apa ya kalau dicoba. Terbukti akhirnya tutup juga Namun demikian, meski pengaruh ibunya cukup kuat, saat ditanya apa yang paling mempengaruhi

    kepemimpinan Jokowi, ia mengatakan bahwa pengalaman hidupnya yang sulit itu yang banyak

    memberi pengaruh (wawancara dengan Jokowi pada 27 Juli 2011).

    Lalu bagaimana hingga akhirnya Jokowi memasuki dunia politik? Secara struktural ia tidak pernah menjadi pengurus PDIP, meski lingkungan disekitarnya banyak berasal dari PDIP. Sebagai

    contoh orang tua Jokowi (almarhum bapaknya) pernah menjadi satgas PDIP dan sahabat dekat

    Jokowi sesama pengusaha (pemilik penginapan dan rumah makan terkenal di Solo, Omah Sinten),

    juga adalah pejabat teras PDIP. Karir politik Jokowi dimulai ketika ia maju menjadi Walikota

    Solo, setelah mengikuti konvensi di PDIP. Awalnya Jokowi mencoba mendekati parpol berbasis

    agama (PAN dan PKS) untuk pencalonannya. Akan tetap karena tidak juga mendapat respon, ia

    akhirnya beralih ke PDIP. PDIP menerima Jokowi karena membutuhkan figur yang dinilai dapat

    mewakili kelompok Islam; mengingat Rudy, Ketua DPC PDIP, meski secara politik memiliki

    dukungan cukup kuat terutama ditingkat grassroots, namun memiliki kendala untuk maju menjadi

    calon walikota karena non muslim. Meski masyarakat Solo bukan masyarakat yang agamis,

    namun kehadiran pemimpin non muslim belum dapat diterima secara luas oleh masyarakat Kota Solo.

    16 Hal itu karena semasa sekolah dan kuliah Jokowi berkonsentrasi agar bisa berprestasi dan lulus

    cepat. Dan itu terbukti karena Jokowi lulus dengan waktu reltif cepat (4,5 tahun) ketika kuliah di

    UGM.

  • Universitas Indonesia 21

    Keinginan Jokowi menggandeng kelompok agama ini menunjukkan kedekatan Jokowi

    dengan kelompok-kelompok dan tokoh agama. Hal ini tampak jelas dari dukungan yang diberikan

    kelompok dan tokoh agama ketika Jokowi running untuk jabatan Walikota Solo. Meski didukung

    PDIP, Jokowi mendapat dukungan sejumlah tokoh dan lembaga agama di Kota Solo, diantaranya

    dari LDII, MTA (Majelis Tafsir Al-quran), NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Kedekatan Jokowi dengan kelompok agama ini juga terlihat dari kebijakan Jokowi untuk Graha Sabha Buana, gedung pertemuan milik Jokowi yang berada di daerah Sumber, yang sudah sejak lama

    digunakan oleh kelompok-kelompok agama untuk berbagai kegiatan mereka secara gratis.

    Kedekatan Jokowi dengan kelompok agama ini juga dapat dilihat dari hubungan yang cukup

    intens antara Jokowi dengan Ketua DPD PKS Kota Solo. Sebagaimana diungkap salah satu aktifis

    NGO di Kota Solo (PATTIRO), Jokowi memiliki hubungan cukup dekat dengan Sugeng, Ketua

    DPD PKS tersebut. Hal itu dapat dilihat dari kerapnya mereka bertemu. Hal ini dibenarkan

    Sugeng yang dalam pengakuannya kerap berdiskusi dengan Jokowi guna membicarakan persoalan

    Kota Solo. Pada saat proses pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI, Sugeng bahkan mencoba memfasilitasi agar Jokowi dapat bersanding dengan calon dari PKS, karena menurut pengakuan Sugeng, hal ini bahkan yang menjadi keinginan kuat Jokowi. Akan tetapi hal itu tidak dapat

    terealisir karena PKS pada awalnya ingin maju menggandeng Foke. Ketika belakangan PKS

    memutuskan menerima lamaranJokowi setelah upaya bersanding dengan Foke gagal, kondisi sudah agak terlambat karena Jokowi sudah menerima pinangan Gerindra. Terlepas dari hal itu, hubungan diantara keduanya tetap baik dan tetap terjalin komunikasi hingga kini. Terakhir mereka

    berkomunikasi mengenai persoalan Kota Solo kedepan setelah Jokowi menjabat sebagai Gubernur

    DKI.

    Mengenai kinerja Jokowi selama menjabat di Kota Solo sebagaimana banyak diekspose,

    menghantarkan Kota Solo pada perubahan yang sangat pesat. Beberapa kebijakan yang dinilai

    cukup progresif diantaranya adalah: merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari ke

    Pasar Klithikan Notoharjo hampir tanpa gejolak; merenovasi sejumlah pasar tradisional (34 pasar

    dari 41 pasar yang ada); memugar dan memfungsikan kembali Taman Balekambang yang lama

    terlantar serta beberapa cagar budaya lainnya; penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masyarakat

    Surakarat (PKMS) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS); selain

    keberhasilannya melakukan branding Kota Solo sebagai The Spirit of Java dan mengajukannya menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia. Paska diterima pengajuannya pada tahun

    2006, Kota Solo terpilih menjadi tuan-rumah pelaksanaan konferensi organisasi tersebut pada

    bulan Oktober 2008 dan kerap menjadi tuan-rumah pelaksanaan even-even internasional lainnya setelah itu.

    4.1.2.Wakil Walikota Solo FX. Hadi Rudyatmo: Orang Kedua, Bukan Nomor Dua

    Sosok penting state actor lainnya adalah Fransiskus Xaverius (FX) Hadi Rudyatmo (Rudy),

    Wakil Walikota Surakarta untuk masa jabatan 2005-2010 dan 2010-2015. Dengan telah

    dikukuhkannya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012, Rudy menggantikan

    posisi Jokowi sebagai Walikota Soo hingga 2015 mendatang. Lahir di Solo pada 13 Februari 1960

    dan beragama Katolik, Rudy menamatkan pendidikan (SLTA) pada tahun 1979. Sempat bekerja

    sebagai buruh di PT Konimex, yaitu dibagian keamanan, Rudy sudah mulai aktif memperjuangkan kepentingan buruh sejak bekerja di Konimex. Interaksinya dengan PDIP tak

    dapat dihindarkan mengingat keberadaan orang-tuanya yang merupakan anggota PNI, selain

    karena Kota Solo merupakan daerah basis ideologi PDIP. Interaksi masyarakat dengan ideologi

    PDIP (ideologi nasionalis, marhaen) karenanya menjadi sesuatu yang sangat mudah terjadi,

    sampai-sampai digambarkan bahwa bayi baru lahir pun sudah memiliki tanduk. (wawancara

    dengan Ketua DPD PKS Kota Solo pada 1 Desember 2012).

    Keterlibatan Rudy di PDIP semakin jelas ketika ia aktif menjadi pengurus LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan, yang merupakan bentukan baru dari LKMD paska era

  • Universitas Indonesia 22

    desentralisasi) pada tahun 2000 dan hingga kemudian menjabat sebagai Ketua LPMK Kelurahan

    Pucang Sawit, kelurahan tempat dimana Rudy tinggal. LPMK di Kota Solo merupakan salah satu

    jabatan strategis dimasyarakat selain RT dan RW, yang banyak diisi oleh para pengurus dan kader

    PDIP. Jabatan LPMK bahkan menjadi salah satu jembatan karir kader PDIP sebelum menjabat

    menjadi pengurus PC (Pimpinan Cabang) Kota Solo, hingga kemudian dicalonkan menjadi

    anggota legislatif.

    Ketika menjabat sebagai Ketua LPMK, Rudy sudah dikenal luas sebagai loyalis Slamet

    Suryanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPC Kota Solo, selain sebagai Walikota Solo

    sebelum era Jokowi. Rudy dikenal mampu berkomunikasi dengan banyak pihak di PDIP, bahkan

    menjembatani faksi-faksi yang ada dikepengurusan PDIP. Pada masa Slamet Suryanto menjabat,

    faksi-faksi dikepengurusan PDIP cukup mengemuka, yang diantaranya nampak pada saat

    pemilihan Ketua DPRD yang kosong karena Ketua DPRD Kota Solo sebelumnya (dari PIDP)

    meninggal dunia. Fraksi PDIP mencalonkan dua nama. Ketika dilakukan pemilihan, jumlah

    mereka yang memilih dengan yang tidak memilih, ternyata sama banyak. Hal ini menunjukkan bahwa suara PDIP tidak solid, meski akhirnya pimpinan DPRD tetap dimenangkan oleh anggota

    DPRD PDIP, karena jumlah anggota DPRD PDIP mayoritas. Pada saat PDIP dipimpin Rudy, hal-

    hal seperti ini tidak terjadi dan PDIP terlihat solid dalam berbagai kebijakan yang diambil.

    (wawancara dengan Ketua DPD PKS Kota Solo).

    Selain mampu menyatukan berbagai faksi yang ada di PDIP Kota Solo, Rudy juga dikenal

    mampu berkomunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat pendukung PDIP dan memperluas

    dukungan masyarakat kepada PDIP. Salah satu cara yang dilakukan Rudy adalah dengan memenuhi kebutuhan kader PDIP akan pekerjaan; diantaranya dengan menjadikan mereka sebagai

    petugas parkir di Kota Solo. Selain petugas parkir, pekerjaan lain yang juga kerap diisi kader PDIP adalah petugas WC umum di pasar-pasar, di terminal, selain petugas keamanan di Kota

    Solo.

    Rudy juga mempunyai relasi yang cukup baik dengan berbagai ormas yang dimasyarakat

    lebih dinilai sebagai kelompok preman. Kelompok tersebut mewadahi anak-anak muda yang

    afiliasi politiknya secara umum kepada PDIP. Ormas dimaksud dan yang cukup besar serta eksis

    adalah: Jong Indonesia, Gondes (Gondrong Desa), dan DMC (Dewa Muda Complex). Relasi Rudy dengan kelompok preman tersebut membuat Rudy dapat dengan mudah mengendalikan keamanan Kota Solo, sementara loyalitas kelompok preman tersebut juga cukup tinggi

    diantaranya karena Rudy memberi ruang-ruang bagi mereka untuk berusaha.

    Ketika menjadi ketua DPC PDIP Surakarta dan aktif mengembangkan dukungan kepada PDIP, Rudy juga menjabat sebagai Ketua Umum Persis Solo, pengurus Cabang PSSI di Surakarta,

    selain pernah menjadi anggota DPRD Surakarta dari Fraksi PDIP pada tahun 2004. Ia akhirnya

    mundur dari jabatan tersebut saat mencalonkan diri menjadi wakil walikota Solo pada tahun 2005.

    Dalam studi yang dilakukan, analisis mengenai peran Rudy sebagai Wakil Walikota

    dilakukan mengingat dua pertimbangan. Pertama, karena secara politik posisi dan peran Rudy

    cukup kuat di Solo terutama terhadap basis massa PDIP mengingat posisinya sebagai Ketua PC

    (Pimpinan Cabang) PDIP selama dua periode selain pernah menjadi anggota DPRD Kota Solo.

    Kedua, Rudy memiliki peran cukup kuat dilingkup birokrasi Pemkot Solo baik karena pembagian

    tugas antara Jokowi-Rudy yang menempatkan Rudy sebagai pengontrol kerja birokrasi, maupun karena peran Rudy yang cukup kuat dalam pengisian SDM birokrasi pada jabatan strategis di

    Pemkot Solo (terutama lurah dan camat).17

    17

    Sebagaimana diungkap oleh informan yang berada di bagian pemerintahan, jabatan lurah dan camat penunjukannya

    ditentukan oleh Rudy. Bagian pemerintahan tidak tahu menahu kriteria personal untuk ditempatkan dalam kedua posisi

    tersebut.

  • Universitas Indonesia 23

    4.1.3.Birokrasi

    Dalam kasus penataan PKL, state actor diposisikan sebagai satu tim kerja. Sebagaimana disebutkan didalam Perda No. 8 Tahun 1995, mereka adalah: Asisten I Sekda Kota Surakarta

    sebagai ketua, Dinas Pasar sebagai wakil ketua, Bagian Tata Pemerintahan Setda sebagai

    sekretaris, Komandan Pelaksana Harian Satuan Polisi Pamong Praja sebagai wakil sekretaris,

    Dinas Pendapatan Daerah sebagai anggota, Bagian Hukum Setda sebagai anggota, Bagian

    Perkotaan Setda sebagai anggota, dan Bagian Perekonomian Setda sebagai anggota. Dalam

    praktek, state actor yang terlibat bisa jauh lebih banyak. Sebagai contoh Walikota dan Wakil

    Walikota yang pada era kepemimpinan Jokowi justru menjadi aktor utama dalam mengupayakan

    reform terhadap isu PKL, perannya tidak disebutkan secara spesifik di dalam Perda. Begitu pula

    dengan DPP (Dinas Pengelolaan Pasar) yang sebelumnya adalah Kantor PPKL dan yang

    sebenarnya mempunyai peran utama dalam pembinaan dan penataan PKL karena Kantor PPKL

    baru berdiri pada Tahun 2001 dan dimasukkan kedalam DPP tahun 2007 sehingga belum

    disebutkan di dalam Perda No. 8/1995. Selain itu Lurah Pasar sebagai pimpinan tertinggi di pasar juga penting untuk dicantumkan sebagai aktor dalam penanganan PKL, mengingat salah satu

    strategi penataan PKL di Kota Solo adalah dengan memasukkan PKL ke dalam pasar-pasar

    tradisional yang ada. Yang tidak kalah penting adalah Bapermas (Badan Pemberdayaan

    Masyarakat), yang sangat terkait dalam pelaksanaan program penataan PKL.

    Sementara untuk kasus penataan pemukiman bantaran Bengawan Solo, mereka yang

    diposisikan sebagai state-actor dari unsur birokrasi adalah Bapermas (Badan Pemberdayaan

    Masyarakat, Pendidikan Anak, dan Pemberdayaan Perempuan), terutama Bidang Pemberdayaan Masyarakat, yaitu bagian yang berwenang mengurus ganti rugi tanah serta proses relokasi. Selain

    itu Dinas Pekerjaan Umum (DPU), dan Dinas Tata Ruang Kota (DTRK), juga menjadi institusi

    birokr