lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah ...kc.umn.ac.id/1472/2/bab ii.pdfkepentingan...
TRANSCRIPT
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
i
BAB II
TELAAH LITERATUR
2.1 Teori Agensi
Teori Agensi pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976
(Rahayu dan Cahyati, 2014). Menurut Adnantara (2013), Jensen dan Meckling
menyatakan bahwa teori keagenan (agency theory) adalah suatu teori yang
menjelaskan hubungan kerjasama antara principal (pemilik perusahaan) dan agent
(manajemen perusahaan), dimana principal mendelegasikan wewenang kepada agent
untuk mengelola perusahaan dan mengambil keputusan. Principal menginginkan
dividen dan keuntungan dari investasinya, sedangkan agent lebih menginginkan
kompensasi keuangan berupa bonus, insentif, kenaikan gaji, kenaikan jabatan, dan lain
sebagainya (Adnantara, 2013).
Ibrahim, dkk., (2014) menjelaskan bahwa hubungan keagenan tersebut
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antara kedua belah pihak, yakni
shareholder yang mewakili prinsipal dan manajemen yang mewakili agen. Konflik
kepentingan ini terjadi karena perbedaan tujuan dan kepentingan masing-masing pihak
terhadap perusahaan (Ibrahim, dkk., 2014). Konflik yang muncul karena adanya
kepentingan yang berbeda diantara prinsipal dan agen disebut konflik keagenan
(Sadewa dan Yasa, 2016). Sadewa dan Yasa (2016) menjelaskan bahwa konflik
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
22
keagenan dalam suatu perusahaan dapat memicu timbulnya biaya keagenan (agency
cost).
Hadiprajitno (2013) membagi biaya keagenan menurut jenis biayanya, yaitu
biaya pemantauan, biaya pengikatan dan kerugian residual. Biaya pemantauan
(monitoring cost) oleh prinsipal terdiri dari biaya pengukuran dan evaluasi kinerja
agen, biaya perencanaan dan penerapan indeks kompensasi manajer, biaya
perencanaan dan penegakan peraturan atau kebijakan perilaku khusus, biaya
perekrutan dan penggantian manajer, dan biaya terkait ekuitas pihak luar. Biaya
pengikatan (bonding cost) adalah biaya yang ditanggung oleh agen untuk meyakinkan
prinsipal bahwa agen akan bertindak sesuai harapan prinsipal (Puyvelde, et al., 2012).
Contoh dari biaya pengikatan adalah biaya terkait internal audit yang dibayarkan oleh
manajemen, untuk meyakinkan kepada prinsipal bahwa mereka telah bekerja sesuai
dengan tanggung jawab (Sarens dan Abdolmohammadi, 2011 dalam Hussin dan
Bamahros, 2013). Terakhir, kerugian residual (residual loss), yaitu kerugian yang
dialami prinsipal karena adanya konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen
(Sanjaya dan Christianti, 2012). Dalam teori agensi dikatakan bahwa konflik keagenan
timbul karena adanya asimetri informasi antara prinsipal dengan agen (Sadewa dan
Yasa, 2016). Putri, dkk., (2016) menyatakan bahwa pengungkapan informasi yang
lebih luas digunakan untuk mengurangi biaya keagenan. Hal tersebut dikarenakan
pengungkapan yang lebih luas dapat mengurangi asimetri informasi.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
23
2.2 Teori Legitimasi
Teori legitimasi berfokus pada interaksi antara perusahaan dengan masyarakat (Astuti
dan Trisnawati, 2015). Menurut Suaryana dan Febriana (2012), teori legitimasi
mengungkapkan bahwa perusahaan secara terus-menerus berusaha untuk bertindak
sesuai dengan batas-batas dan norma-norma dalam masyarakat. Aulia dan Agustina
(2015) menjelaskan bahwa organisasi berusaha menciptakan keselarasan antara nilai-
nilai sosial yang melekat pada kegiatannya dengan norma-norma perilaku yang ada
dalam sistem sosial masyarakat, dimana organisasi adalah bagian dari sistem tersebut.
Selama dua sistem nilai tersebut sama, maka akan terbangun legitimasi untuk
perusahaan (Aulia dan Agustina, 2015). Selama tidak ada pelanggaran norma dan nilai
sosial oleh perusahaan, maka perusahaan akan terus mendapatkan dukungan dari
masyarakat (Aniktia dan Khafid, 2015). Dengan kata lain, teori legitimasi
menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa
aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat (Sastrawan dan Suaryana,
2016).
Legitimasi organisasi dapat dipandang sebagai sesuatu yang diberikan oleh
masyarakat kepada perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari
masyarakat (Sastrawan dan Suaryana, 2016). Oleh karena itu perusahaan semakin
menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan
perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan tersebut
menjalankan setiap aktivitasnya (Fauzi, dkk., 2016). Legitimasi dapat digunakan
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
24
sebagai wahana bagi perusahaan untuk membangun sebuah strategi, terutama terkait
dengan upaya memposisikan perusahaan di tengah lingkungan masyarakat yang sudah
semakin maju, dengan demikian, legitimasi dianggap sebagai strategi yang potensial
bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern) (Fauzi, dkk., 2016).
2.3 Teori Stakeholder
Teori Stakeholder pertama kali dipopulerkan oleh R. Edward Freeman pada tahun 1984
dan beliau mendefinisikan pemangku kepentingan sebagai “kelompok atau individu
yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi”
(Untung, 2014). Jones (1995) dalam Irawati dan Riduwan (2014) mengklasifikasikan
pemangku kepentingan ke dalam dua kategori, yaitu:
a. Inside stakeholders, terdiri atas orang-orang yang memiliki kepentingan dan
tuntutan terhadap sumber daya perusahaan serta berada di dalam organisasi
perusahaan. Yang termasuk ke dalam kategori inside stakeholders adalah
pemegang saham (stockholders), para manajer (managers), dan karyawan
(employees),
b. Outside stakeholders, terdiri atas orang-orang maupun pihak-pihak
(constituencies) yang bukan pemilik perusahaan, bukan pemimpin perusahaan,
dan bukan pula karyawan perusahaan, namun memiliki kepentingan terhadap
perusahaan dan dipengaruhi oleh keputusan serta yang dilakukan oleh
perusahaan. Yang termasuk ke dalam kategori outside stakeholders adalah
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
25
pelanggan (customers), pemasok (suppliers), pemerintah (government),
masyarakat lokal (local communities), dan masyarakat secara umum (general
public).
Teori stakeholder merupakan teori yang menjelaskan bagaimana manajemen
memenuhi atau mengelola harapan para stakeholder (Wijaya dan Linawati, 2015).
Menurut Suhendah dan Haryanto (2014), teori stakeholders menjelaskan bahwa
perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap para pemilik, namun juga pada
stakeholders.
Dalam teori stakeholder dijelaskan bahwa stakeholder pada dasarnya memiliki
power yang dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan (Kurniawansyah dan
Mutmainah, 2013). Menurut Sari (2012), perusahaan tidak hanya bertanggung jawab
kepada para pemilik (shareholder) dengan sebatas pada indikator ekonomi (economic
focused), namun bergeser menjadi lebih luas yaitu sampai pada ranah sosial
kemasyarakatan (stakeholder) dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social
dimentions).
Teori stakeholder menekankan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab
sosial yang menuntut bahwa perusahaan harus mempertimbangkan semua kepentingan
berbagai pihak yang terkena pengaruh dari tindakannya (Bangun, dkk., 2012). Hal ini
menyebabkan perusahaan akan mempertimbangkan kepentingan dari para pemangku
kepentingan, salah satunya dalam hal pertanggungjawaban aktivitas sosial
perusahaan (Risty dan Sany, 2015).
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
26
2.4 Corporate Social Responsibility (CSR)
Dewasa ini, Corporate Social Responsibility (CSR) secara umum merupakan suatu
pandangan bahwa perusahaan harus memperhatikan pengaruh-pengaruh yang
ditimbulkannya terhadap masyarakat (Carroll, 2015). Carroll (2015) menyatakan
bahwa terdapat 2 aspek dalam CSR, yaitu melindungi (protecting) dan meningkatkan
(improving). “Melindungi” berarti perusahaan harus menghindari pengaruh negatif
yang akan ditimbulkan bagi masyarakat, seperti polusi, diskriminasi dan produk yang
tidak aman; sedangkan “meningkatkan” berarti perusahaan harus menciptakan
pengaruh positif bagi masyarakat, seperti melalui kegiatan amal atau menjalin
hubungan baik dengan komunitas. Sementara itu menurut The World Business Council
for Sustainable Development (WBCSD) dalam Djuitaningsih dan Marsyah (2012),
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan
didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta
perwakilan perusahaan, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk
meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat, baik bagi
kelangsungan bisnis perusahaan maupun untuk pembangunan.
Secara teoritis, CSR merupakan inti dari etika bisnis, dimana suatu
perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal kepada
pemegang saham (shareholders) tetapi perusahaan juga mempunyai kewajiban
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
27
terhadap pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) yang tidak dapat lepas dari
kenyataan bahwa suatu perusahaan tidak bisa hidup, beroperasi dan bertahan serta
memperoleh keuntungan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian, CSR
lebih menunjukkan kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain
secara lebih luas (stakeholders) daripada hanya sekedar kepentingan perusahaan itu
sendiri (Putri dan Christiawan, 2014).
Archie B. Carroll memberi justifikasi teoritis dan logis mengapa sebuah
perusahaan perlu menerapkan CSR bagi masyarakat di sekitarnya (Milamarta, 2012).
Carroll pertama kali merumuskan konsep CSR pada tahun 1979 dalam Academy of
Management Review yang berjudul “A Three-Dimensional Conceptual Model of
Corporate Social Performance” dan terus-menerus melakukan pembaruan atas
pandangannya terhadap konsep CSR dalam berbagai publikasi. Tulisannya yang
terbaru dipublikasikan pada tahun 2016, dimuat dalam International Journal of
Corporate Social Responsibility, berjudul “Carroll’s Pyramid of CSR: Taking Another
Look”. Dalam jurnal tersebut, Carroll menjelaskan 4 komponen tanggung jawab yang
mendorong perusahaan melakukan CSR yang diwujudkan dalam Piramida CSR, seperti
ditunjukkan dalam gambar berikut.
Gambar 2.1
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
28
Piramida CSR oleh Carroll
Sumber: Carroll, 2016
Adapun penjelasan mengenai masing-masing komponen dalam Piramida CSR
menurut Carroll (2016) adalah sebagai berikut:
1. Economic Responsibility (tanggung jawab ekonomi)
Tanggung jawab sosial perusahaan dalam aspek ekonomi mendominasi
pelaksanaan tanggung jawab perusahaan kepada stakeholders dalam hal
menciptakan profit, pendapatan, efektivitas pengeluaran, investasi,
pemasaran, strategi dan operasional dalam rangka kelangsungan bisnis
jangka panjang.
2. Legal Responsibilities (tanggung jawab hukum)
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
29
Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat memiliki kewajiban untuk
memenuhi peraturan yang berlaku dan operasional perusahaan dilakukan
sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.
3. Ethical Responsibilities (tanggung jawab etis)
Perusahaan memiliki kewajiban untuk menyesuaikan aktivitas operasional
yang dilakukan dengan norma sosial dan etika yang berlaku di masyarakat.
Tanggung jawab etis bertujuan untuk memenuhi standar, norma, dan
pengharapan stakeholders terhadap perusahaan.
4. Philanthropic Responsibilities (tanggung jawab filantropis)
Perusahaan memiliki tanggung jawab berupa pemberian, seperti dalam
bentuk pemberian sejumlah dana, donasi berupa produk dan jasa,
sukarelawan yang berasal dari perwakilan karyawan dan pengembangan
komunitas di lingkungan sekitar operasional perusahaan.
Dunia usaha saat ini mengalami perkembangan yang positif, dimana
perusahaan tidak hanya fokus untuk mencari laba semata, namun juga memperhatikan
aspek sosial dan lingkungan sekitarnya (Nugroho dan Yulianto, 2015). Pandangan
tersebut mengacu pada konsep triple bottom line yang pertama kali diperkenalkan oleh
John Elkington, melalui bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, The Triple
Bottom Line of Twentieth Century Business” pada tahun 1997 (Wijaya, dkk., 2015).
Konsep triple bottom line terdiri dari profit, people dan planet (Desai dan
Desai, 2016). Ketiga prinsip tersebut memiliki arti yaitu tujuan dari bisnis tidak hanya
semata-mata mencari laba (profit), tetapi juga turut mensejahterakan masyarakat
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
30
(people) dan menjamin kelangsungan hidup (planet) (Rahayu dan Fidiana, 2015).
Konsep triple bottom line ini merujuk pada pengukuran performa finansial, sosial dan
lingkungan perusahaan dalam kurun periode tertentu (Desai dan Desai, 2016). Oleh
karena itu, Desai dan Desai (2016) membagi skala pengukuran keberhasilan kinerja
CSR yang dijalankan perusahaan menjadi 3, yaitu economic sustainability, social
sustainability dan environmental sustainability. Economic sustainability berfokus pada
pencapaian keberlangsungan ekonomi sebagai tujuan utama perusahaan, dimana
manfaat ekonomi jangka panjang tersebut juga akan memberikan kemampuan bagi
perusahaan berkontribusi secara positif untuk masyarakat dan kesejahteraan
anggotanya. Social sustainability dalam hal menyeimbangkan kekuatan ekonomis
kepada masyarakat. Environmental sustainability berfokus pada pemeliharaan
kelestarian alam beserta sumber dayanya bagi lingkungan sekitar dan generasi
mendatang.
Menurut Rosdwianti, dkk., (2016), aktivitas CSR memiliki fungsi strategis bagi
perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam membentuk
katup pengaman sosial (social security). Siregar (2013) membagi manfaat CSR bagi
perusahaan menjadi 2 jenis manfaat yang diperoleh, yaitu manfaat finansial dan non-
finansial. Manfaat finansial terdiri dari penurunan biaya operasional perusahaan,
peningkatan volume penjualan dan pangsa pasar, menarik calon investor, pertumbuhan
nilai saham yang signifikan, peningkatan kesejahteraan karyawan, pencegahan risiko
dari dampak sosial dan alam. Sementara itu, manfaat-manfaat non-finansial terdiri dari
kepercayaan, kredibilitas, kemampuan untuk bertanggung jawab dalam mengelola
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
31
dampak negatif dari operasional perusahaan, akuntabilitas dalam pelaporan aktivitas
CSR kepada stakeholder, serta kemampuan mengelola risiko bisnis secara lebih
tanggap dan terperinci.
Peraturan pelaksanaan CSR telah dimuat dalam beberapa peraturan peundang-
undangan, diantaranya Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) Nomor 40 tahun
2007 Pasal 74 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pasal 74 ayat (1) UUPT, mengatur mengenai kewajiban untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan (TJSL) bagi perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Dalam Pasal 74 ayat
(3) diatur mengenai sanksi, dikatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan
kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-
undangan.
Dalam Pasal 15 huruf b UU Nomor 25 Tahun 2007 diatur bahwa setiap
penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud dengan TJSL menurut
penjelasan Pasal 15 huruf (b) UU Nomor 25 Tahun 2007 adalah tanggung jawab yang
melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan
yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat, sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal adalah
perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa
penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing (Pasal 1 ayat 4 UU Nomor 25
Tahun 2007). Selain itu dalam Pasal 16 UU Nomor 25 Tahun 2007 juga diatur bahwa
setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
32
hidup. Jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan TJSL,
maka berdasarkan Pasal 34 UU Nomor 25 Tahun 2007, penanam modal dapat dikenai
sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal atau pencabutan kegiatan usaha
dan/atau fasilitas penanaman modal.
2.5 Corporate Social Responsibility Disclosure
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility
disclosure didefinisikan sebagai penyediaan informasi dalam laporan tahunan
perusahaan, terkait kegiatan, program dan pemanfaatan sumber daya yang
mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan dan sekelompok pemangku
kepentingan lainnya (Chan, et al., 2013). Corporate social responsibility disclosure
merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan
ekonomi suatu organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan
terhadap masyarakat secara keseluruhan (Hamdani, 2014). Menurut Karina dan
Yuyetta (2013), corporate social responsibility disclosure perlu dilakukan sebagai
wujud tanggung jawab perusahaan terhadap para stakeholder mengenai kinerja dan
kondisi perusahaan. Dengan melakukan corporate social responsibility disclosure,
perusahaan akan dapat menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat, sehingga
dengan respon yang positif itu, maka perusahaan akan dapat meningkatkan kekuatan
keuangannya untuk jangka panjang (Indraswari dan Astika, 2014).
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
33
Corporate social responsibility disclosure dianggap sebagai wujud
akuntabilitas perusahaan kepada publik atau masyarakat dan lingkungan (Indraswari
dan Astika, 2014). Dalam implementasi praktik CSR di sebuah entitas, perusahaan
harus membuat laporan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan sosial yang telah
dilakukan entitas tersebut (Evandini dan Darsono, 2014). Menurut Evandini dan
Darsono (2014), laporan tanggung jawab sosial merupakan laporan aktivitas
tanggung jawab sosial yang telah dilakukan perusahaan baik berkaitan dengan
perhatian masalah dampak sosial maupun lingkungan. Laporan tersebut dilampirkan
dalam laporan tahunan (annual report) yang dipertanggungjawabkan Direksi sebagai
agen di depan sidang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 29/POJK.04/2016
tentang Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik Pasal yang ke 4 disebutkan
hal-hal yang wajib dimuat dalam laporan tahunan, salah satunya adalah informasi
tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan Emiten atau Perusahaan Publik. Selain
itu, dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012, dikatakan bahwa
pelaksanaan TJSL dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan
dipertanggungjawabkan dalam RUPS.
Menurut O’Donovan (2002) dalam Purnama, dkk., (2014), beberapa manfaat
yang diperoleh dari praktik pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu
menyelaraskan nilai-nilai perusahaan dengan nilai-nilai sosial, menghindari tekanan
dari kelompok tertentu, meningkatkan image dan reputasi perusahaan, serta
menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan. Sementara itu, Global Reporting
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
34
Initiative (GRI) (2013), menjelaskan bahwa laporan keberlanjutan merupakan laporan
yang diterbitkan oleh perusahaan berisi informasi terkait dampak ekonomi, lingkungan
dan sosial akibat kegiatan operasi yang dijalankannya sehari-hari. Laporan
keberlanjutan akan menambah nilai (value) perusahaan dalam beberapa hal, yaitu:
1. Mengkomunikasikan manajemen risiko kepada investor.
2. Meningkatkan kesadaran akan adanya risiko dan peluang (risks &
opportunities), sehingga dapat segera diantisipasi.
3. Melaksanakan kinerja yang berkelanjutan sesuai dengan hukum, norma,
kode etik, standar performa yang berlaku dan bersifat voluntary.
4. Merampingkan proses, mengurangi costs, dan meningkatkan efisiensi.
5. Perencanaan berfokus pada strategi jangka panjang bagi perusahaan.
6. Membandingkan performa secara internal dan eksternal.
7. Mengkomunikasikan kinerja perusahaan yang berkaitan dengan
lingkungan, masyarakat dan pemerintahan.
8. Berkontribusi dalam pembangunan green economy.
9. Meningkatkan reputasi dan kesetiaan terhadap brand.
Terdapat beberapa indeks pengukuran luasnya corporate social responsibility
disclosure dalam laporan tahunan, beberapa diantaranya adalah Global Reporting
Initiative Index (GRI), indikator ISO 26000 dan indeks SRI-KEHATI. ISO 26000
merupakan standar yang disusun oleh International Organization for Standardization
terkait tanggung jawab sosial, sedangkan indeks SRI-KEHATI merupakan indeks
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dengan prinsip SRI (Sustainable &
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
35
Responsible Investment) dengan kriteria-kriteria yang telah disusun oleh PT Bursa Efek
Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Kenakaragaman Hayati Indonesia (KEHATI)
(Nisaa’, 2015). Indeks GRI merupakan standar yang paling umum dijadikan sebagai
pedoman dalam pelaporan keberlanjutan, karena kerangka pelaporan yang diberikan
GRI dapat digunakan untuk mengukur kinerja lingkungan, kemasyarakatan,
perekonomian dan tata kelola (Godha and Jain, 2015).
2.6 Global Reporting Initiative (GRI)
Global Reporting Initiative (GRI) merupakan sebuah organisasi nonprofit yang
menyediakan kerangka pelaporan yang komprehensif bagi semua perusahaan atau
organisasi, dimana pelaporan yang dimaksud berkaitan dengan keberlangsungan
ekonomi, sosial, dan lingkungan (Christy dan Tarigan, 2014). Organisasi ini dibentuk
pada tahun 1997 oleh Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES)
dan Tellus Institute, dengan dukungan United Nations Environment Programme
(UNEP). GRI mengembangkan pedoman sustainability report dengan menggabungkan
organisasi bisnis, akuntansi, investasi, lingkungan, hak asasi manusia, dan
ketenagakerjaan dari seluruh dunia (Risty dan Sany, 2015).
Godha dan Jain (2015) menjelaskan berbagai versi standar pengungkapan
yang diterbitkan oleh GRI dari tahun ke tahun, yaitu versi pertama G1 di tahun 2000,
G2 atau generasi kedua diterbitkan tahun 2002, GRI-G3 di tahun 2006, GRI-G3.1 di
tahun 2011 dan GRI-G4 pada Mei 2013. Sementara itu, Jones, et al., (2015)
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
36
menjelaskan perbedaan tiap-tiap versi pedoman GRI. Dalam GRI-G1, pedoman
pengungkapan mengacu pada pelaporan akuntansi lingkungan (environmental
accounting). G2 memperluas konsep pelaporan dengan menambahkan prinsip-prinsip
kualitatif, seperti transaparansi, bersifat inklusif, auditabel, relevansi, kejelasan dan
ketepatan waktu. GRI-G3 menambahkan 3 standar pengungkapan, yaitu “strategy and
profile” yang mengungkapkan strategi, profil dan tata kelola perusahaan; “management
approach” yang mengungkapkan performa perusahaan dalam lingkup tertentu; serta
“performance indicators” yang menjelaskan tentang performa ekonomi, lingkungan
dan sosial perusahaan (Porte, 2014). GRI-G3.1 memperluas pedoman pengungkapan
hingga ke pengaruhnya terhadap komunitas lokal, hak asasi manusia dan kesetaraan
gender. Terakhir, GRI-G4 menerbitkan pedoman pelaporan yang bersifat user-friendly,
dapat meminimalisir ambiguitas, harmonisasi dengan standar-standar bertaraf
internasional lainnya, mempermudah pengidentifikasian isu-isu material dan memberi
pedoman dalam menghubungkan antara pelaporan berkelanjutan dengan laporan
terintegrasi.
GRI menerbitkan pedoman yang disajikan dalam dua bagian. Bagian pertama
adalah Prinsip-prinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar, dan bagian kedua adalah
Panduan Penerapan. Bagian pertama berisi prinsip-prinsip pelaporan, pengungkapan
standar, dan kriteria yang akan diterapkan oleh organisasi untuk menyiapkan laporan
keberlanjutannya ‘sesuai’ dengan pedoman. Bagian kedua berisi penjelasan tentang
cara menerapkan prinsip-prinsip pelaporan, cara menyiapkan informasi yang akan
diungkapkan, dan cara menginterpretasikan berbagai konsep dalam pedoman.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
37
Dalam Prinsip-prinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar GRI-G4, terdapat
dua kelompok prinsip pelaporan ketika menyusun laporan keberlanjutan, yakni prinsip-
prinsip untuk menentukan konten laporan dan prinsip-prinsip untuk menentukan
kualitas laporan. Prinsip-prinsip untuk menentukan konten laporan menjelaskan proses
yang harus diterapkan untuk mengidentifikasi apa konten laporan yang harus dibahas
dengan mempertimbangkan aktivitas, dampak, dan harapan serta kepentingan yang
substantif dari para pemangku kepentingannya. Prinsip-prinsip untuk menentukan
kualitas laporan memberikan arahan berupa pilihan-pilihan untuk memastikan kualitas
informasi dalam laporan keberlanjutan, termasuk penyajian yang tepat.
Prinsip-prinsip untuk menentukan konten laporan meliputi:
1. Pelibatan Pemangku Kepentingan
Prinsip: Organisasi harus mengidentifikasi para pemangku kepentingannya,
dan menjelaskan bagaimana organisasi telah menanggapi harapan dan
kepentingan wajar dari mereka.
2. Konteks Keberlanjutan
Prinsip: Laporan harus menyajikan kinerja organisasi dalam konteks
keberlanjutan yang lebih luas.
3. Materialitas
Prinsip: Laporan harus mencakup aspek yang:
a. Mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang
signifikan dari organisasi; atau
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
38
b. Secara substansial mempengaruhi penilaian dan keputusan
pemangku kepentingan.
4. Kelengkapan
Prinsip: Laporan harus berisi cakupan aspek material dan boundary, cukup
untuk mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang
signifikan, serta untuk memungkinkan pemangku kepentingan dapat
menilai kinerja organisasi dalam periode pelaporan.
Prinsip-prinsip untuk menentukan kualitas laporan meliputi:
1. Keseimbangan
Prinsip: Laporan harus mencerminkan aspek-aspek positif dan negatif dari
kinerja organisasi untuk memungkinkan dilakukannya penilaian yang wajar
atas kinerja organisasi secara keseluruhan.
2. Komparabilitas
Prinsip: Organisasi harus memilih, mengumpulkan, dan melaporkan
informasi secara konsisten. Informasi yang dilaporkan harus disajikan
dengan cara yang memungkinkan para pemangku kepentingan
menganalisis perubahan kinerja organisasi dari waktu ke waktu, dan yang
dapat mendukung analisis relatif terhadap organisasi lain.
3. Akurasi
Prinsip: Informasi yang dilaporkan harus cukup akurat dan terperinci bagi
para pemangku kepentingan untuk menilai kinerja organisasi.
4. Ketepatan Waktu
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
39
Prinsip: Organisasi harus membuat laporan dengan jadwal yang teratur
sehingga informasi tersedia tepat waktu bagi para pemangku kepentingan
untuk membuat keputusan yang tepat.
5. Kejelasan
Prinsip: Organisasi harus membuat informasi tersedia dengan cara yang
dapat dimengerti dan dapat diakses oleh pemangku kepentingan yang
menggunakan laporan.
6. Keandalan
Prinsip: Organisasi harus mengumpulkan, mencatat, menyusun,
menganalisis, dan mengungkapkan informasi serta proses yang digunakan
untuk menyiapkan laporan agar dapat diuji, dan hal itu akan menentukan
kualitas serta materialitas informasi.
Dalam Prinsip-prinsip Pelaporan dan Pengungkapan Standar GRI generasi ke 4
(GRI-G4) terdapat 91 item pengungkapan dengan 3 kategori utama yaitu:
1. Kategori Ekonomi yang menggambarkan arus modal di antara pemangku
kepentingan yang berbeda, dan dampak ekonomi utama dari organisasi di
seluruh lapisan masyarakat.
2. Kategori Lingkungan meliputi dampak yang terkait dengan input (seperti
energi dan air) dan output (seperti emisi, efluen dan limbah). Termasuk
juga keanekaragaman hayati, transportasi, dan dampak yang berkaitan
dengan produk dan jasa, serta kepatuhan dan biaya lingkungan.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
40
3. Kategori Sosial membahas dampak yang dimiliki organisasi terhadap
sistem sosial dimana organisasi beroperasi dan berisi sub-kategori:
a. Praktik Ketenagakerjaan dan Kenyamanan Bekerja, didasarkan pada
standar universal yang diakui secara internasional, seperti dalam
deklarasi dan konvensi PBB, serta dalam deklarasi International Labor
Organization (ILO).
b. Hak Asasi Manusia, membahas sejauh mana proses telah diterapkan,
insiden pelanggaran hak asasi manusia, dan perubahan kemampuan
pemangku kepentingan untuk mendapatkan dan menggunakan hak asasi
mereka.
c. Masyarakat, membahas dampak yang dimiliki organisasi terhadap
masyarakat dan masyarakat lokal.
d. Tanggung Jawab atas Produk, berhubungan dengan produk dan jasa
yang secara langsung mempengaruhi pemangku kepentingan, dan
secara khusus kepada para pelanggan.
Penerapan corporate social responsibility disclosure dalam GRI disesuaikan
dengan lembaga-lembaga internasional seperti UN Global Compact, the UN
Environmental Programme, OECD dan the International Finance Corporation of the
World Bank Group (Godha and Jain, 2015). Menurut Godha dan Jain (2015), pedoman
GRI dapat diterapkan oleh berbagai jenis, ukuran dan sektor organisasi, seperti
korporasi, sektor publik, entitas kecil, organisasi non-pemerintah (non-governmental
organizations/NGO), dan industri lainnya.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
41
2.7 Karakteristik Perusahaan
Karakteristik perusahaan merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada perusahaan,
menandai sebuah perusahaan, dan membedakannya dengan perusahaan lain (Putri,
2013). Menurut Nugroho (2012), karakteristik perusahaan publik yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu:
1. Perusahaan manufaktur.
Menurut Horngren, dkk., (2012), perusahaan manufaktur merupakan
perusahaan yang memperoleh bahan baku beserta komponen-komponennya
untuk dikonversi menjadi barang siap pakai.
2. Kelompok usaha bank dan lembaga keuangan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Lembaga keuangan merupakan lembaga perantara keuangan (financial
intermediaries) sebagai perantara pendukung yang amat vital untuk
menjunjung kelancaran perekonomian (Wiwoho, 2014).
3. Perusahaan non manufaktur selain usaha bank dan lembaga keuangan lainnya.
Menurut Nugroho (2016), karakteristik perusahaan diantaranya size (ukuran
perusahaan), profitabilitas, basis kepemilikan, tingkat likuiditas, umur perusahaan, tipe
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
42
industri, dan leverage. Dalam penelitian ini, karakteristik perusahaan dilihat dari
ukuran perusahaan, kepemilikan publik dan kepemilikan asing.
2.7.1 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan suatu variabel penduga yang sering digunakan
dalam menjelaskan berbagai macam variasi pengungkapan sosial yang digunakan
perusahaan dalam laporan tahunan perusahaan (Dewi dan Priyadi, 2013). Sari
(2012) menjelaskan bahwa ukuran perusahaan (size) adalah skala yang digunakan
dalam menentukan besar kecilnya suatu perusahaan. Menurut Sari, dkk., (2013),
tolak ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan antara lain total penjualan,
rata-rata tingkat penjualan, dan total aset. Pada dasarnya ukuran perusahaan terbagi
dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah
(medium size), dan perusahaan kecil (small firm) (Sari, dkk., 2013). Ukuran
perusahaan ini didasarkan pada total aset perusahaan.
Dalam Standar Akuntansi Keuangan dinyatakan bahwa aset adalah sumber
daya yang dikendalikan oleh entitas sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan
manfaat ekonomik masa depan dari aset tersebut diperkirakan mengalir ke entitas
(Ikatan Akuntan Indonesia, 2014). Rincian tiap jenis aset menurut Subramanyam
(2014) adalah sebagai berikut:
1. Current assets atau aset lancar, yaitu kas dan aset-aset lain yang dapat
dicairkan ke dalam bentuk kas dalam satu periode operasional. Current
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
43
assets terdiri atas kas dan setara kas, piutang, beban dibayar di muka dan
barang persediaan.
2. Long-term assets atau aset tetap, yaitu sumber daya yang dimanfaatkan
perusahaan untuk memperoleh pendapatan selama kurun waktu lebih
dari satu periode operasional. Long-term asset terbagi menjadi dua jenis,
yaitu aset tetap berwujud seperti properti, pabrik dan peralatan, dan aset
tetap tidak berwujud seperti paten, merk dagang, copyrights dan
goodwill.
Ukuran perusahaan diproksikan dengan log natural total aset, tujuannya agar
mengurangi perbedaan yang signifikan antara ukuran perusahaan besar dan ukuran
perusahaan kecil sehingga data total aset dapat terdistribusi normal (Sari, 2012).
Rumus yang digunakan untuk mengukur variabel ukuran perusahaan adalah:
Size = log natural (total aset)
2.7.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Corporate Social
Responsibility Disclosure
Perusahaan besar dapat mempertahankan kelangsungan hidup usahanya
dibandingkan dengan perusahaan kecil (Wulandari, 2014). Alichia (2013) juga
menjelaskan bahwa perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih
besar untuk memenangkan persaingan atau bertahan dalam industri. Perusahaan
dengan ukuran yang lebih besar dapat lebih bertahan daripada perusahaan dengan
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
44
ukuran yang lebih kecil, karena semakin besar entitas, semakin besar pula sumber
daya yang dimiliki entitas tersebut (Kamil dan Herusetya, 2012). Menurut Kamil
dan Herusetya (2012), dengan semakin besarnya sumber daya yang dimiliki entitas,
maka entitas tersebut akan lebih banyak berhubungan dengan stakeholder, sehingga
diperlukan tingkat pengungkapan atas aktivitas entitas yang lebih besar, termasuk
pengungkapan tanggung jawab sosial. Suripto (1999) dalam Indraswari dan Astika
(2014) menyatakan bahwa ukuran perusahaan akan berpengaruh pada banyaknya
karyawan, penggunaan sistem yang lebih canggih, besarnya laba yang diperoleh,
banyaknya barang yang diproduksi, serta luasnya area lingkungan masyarakat yang
dimanfaatkan oleh perusahaan, sehingga banyak pihak yang harus mendapatkan
haknya, yaitu adanya pengungkapan yang transparan dari perusahaan.
Annual report merupakan media yang paling penting bagi perusahaan untuk
berkomunikasi dengan stakeholder (Craig, 2016). Sun, dkk., (2010) dalam
Ariningtika dan Kiswara (2013) menyatakan bahwa pengungkapan sukarela dalam
annual report seperti pengungkapan lingkungan perusahaan atau yang sering disebut
dengan corporate environmental disclosure, dipandang perlu untuk menunjukkan
kepada stakeholders akan kesadaran perusahaan dari kepentingan yang lebih luas
dan akuntabilitas dengan cara berperilaku tanggung jawab sosial. Hal tersebut
diupayakan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat (Ale,
2014).
Menurut Kurnianingsih (2013), perusahaan besar merupakan emiten yang
banyak disoroti oleh masyarakat luas, sehingga dengan adanya pengungkapan yang
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
45
lebih banyak oleh entitas bisnis maka merupakan bagian dari pengurangan biaya
tekanan politis sebagai wujud tanggung jawab sosial entitas. Biaya politik
mencakup semua biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan terkait dengan
regulasi pemerintah, subsidi pemerintah, tarif pajak, tuntutan buruh dan lain
sebagainya (Aditama dan Purwaningsih, 2014). Dengan demikian, pelaksanaan
kegiatan CSR yang dijalankan perusahaan juga akan ditingkatkan dan akan
meningkatkan corporate social responsibility disclosure.
Penelitian Sriayu dan Mimba (2013) telah menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap corporate social responsibility disclosure.
Demikian halnya dengan hasil penelitian Kamil dan Herusetya (2012), Dewi dan
Priyadi (2013) Giannarakis (2013), serta Indraswari dan Astika (2014). Namun
terdapat pula beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa ukuran
perusahaan tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility disclosure,
antara lain Karina dan Yuyetta (2013), Sari, dkk., (2013) dan Pradnyani dan
Sisdyani (2015).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka hipotesis yang dibentuk
untuk penelitian ini adalah:
Ha1 = Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap corporate social responsibility
disclosure.
2.7.3 Kepemilikan Publik
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
46
Kepemilikan publik merupakan saham yang dimiliki oleh publik atau masyarakat
(Aprilia, 2013). Sementara itu, Indriani (2013) mendefinisikan kepemilikan publik
sebagai kepemilikan masyarakat umum (bukan institusi yang signifikan) terhadap
saham perusahaan publik. Saham merupakan tanda penyertaan atau pemilikan
seseorang atau badan dalam suatu perusahaan (Arifin dan Sitohang, 2014). Saham
yang biasa dikeluarkan oleh perusahaan ada beberapa jenis, diantaranya yaitu saham
biasa, saham preferen, dan saham treasuri (Rahmadin, dkk., 2014). Jogiyanto (2010)
dalam Mudlofir, dkk. (2016) menjelaskan masing-masing jenis saham sebagai
berikut:
1. Saham Preferen merupakan saham yang mempunyai sifat gabungan
antara obligasi dan saham biasa. Seperti obligasi, saham preferen juga
memberikan hasil yang tetap berupa dividen preferen. Seperti saham
biasa, dalam hal likuidasi, klaim pemegang saham preferen di bawah
klaim pemegang obligasi. Saham preferen mempunyai beberapa hak
seperti hak atas dividen tetap dan hak pembayaran terlebih dahulu jika
terjadi likuidasi.
2. Saham Biasa. Jika perusahaan hanya mengeluarkan satu kelas saham saja,
saham ini biasanya dalam bentuk saham biasa (common stock). Pemegang
saham adalah pemilik dari perusahaan yang mewakilkan kepada
manajemen untuk menjalankan operasi perusahaan.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
47
3. Saham Treasuri, yaitu saham milik perusahaan yang sudah pernah
dikeluarkan dan beredar yang kemudian dibeli kembali oleh perusahaan
untuk simpanan sebagai treasuri yang nantinya dapat dijual kembali.
Sebuah perusahaan dikatakan telah menjadi perusahaan publik apabila
perusahaan tersebut telah melakukan proses initial public offering (IPO). Alasan
utama suatu perusahaan menjadi perusahaan publik adalah adanya dorongan
kebutuhan atas modal yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasionalnya
(Wulandari, dkk., 2014). Pasar perdana terjadi pada saat perusahaan emiten menjual
sekuritasnya kepada investor umum untuk pertama kalinya (Sari dan Rahayu, 2015).
Setelah sekuritas emiten dijual di pasar perdana, selanjutnya sekuritas emiten
tersebut kemudian bisa diperjualbelikan investor di pasar sekunder. Indriani (2013)
merumuskan penghitungan kepemilikan publik sebagai berikut:
Porsi Kepemilikan Saham Publik = Jumlah saham publik
Jumlah total saham yang beredar
2.7.4 Pengaruh Kepemilikan Publik terhadap Corporate Social
Responsibility Disclosure
Perusahaan yang kepemilikan saham publiknya tinggi menunjukkan bahwa
perusahaan dianggap mampu beroperasi dan memberikan dividen yang sesuai
kepada masyarakat, sehingga cenderung akan mengungkapkan informasi sosial
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
48
yang lebih luas (Rahayu dan Anisyukurlillah, 2015). Rahayu dan Amisyukurlillah
(2015) menjelaskan bahwa apabila perusahaan yang sahamnya dikuasai publik lebih
banyak, maka para investor dari ranah publik telah memberikan banyak kepercayaan
kepada perusahaan, sehingga untuk menjaga kepercayaan tersebut, perusahaan akan
semaksimal mungkin mengungkapkan segala kegiatan yang ada di perusahaannya.
Salah satu pengungkapan tersebut adalah kegiatan tanggung jawab sosial
perusahaan.
Siregar (2013) telah menjelaskan manfaat finansial bagi perusahaan dengan
dilakukannya CSR, diantaranya penurunan biaya operasional perusahaan,
peningkatan volume penjualan dan pangsa pasar. Penurunan biaya operasional dan
peningkatan volume penjualan dan pangsa pasar dapat meningkatkan profit
perusahaan sehingga dapat memberikan dividen bagi publik selaku investor.
Dengan kata lain, pelaksanaan CSR dapat meningkatkan keunggulan kompetitif
perusahaan, yaitu kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa dengan cara
yang lebih efektif dibandingkan dengan para kompetitornya (Kinicki dan Williams,
2016). Besarnya manfaat yang diperoleh dengan dilaksanakannya kegiatan CSR
akan memotivasi perusahaan untuk meningkatkan praktik CSR sepanjang kegiatan
operasionalnya. Dengan meningkatnya penerapan CSR dalam perusahaan, maka
akan meningkatkan corporate social responsibility disclosure.
Khan, et al., (2013) mengungkapkan bahwa ketika suatu perusahaan mulai go-
public, maka secara langsung akuntabilitasnya terhadap publik menjadi sangat
penting. Adanya kepemilikan saham oleh publik akan memberikan tekanan terhadap
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
49
perusahaan untuk mengungkapkan informasi-informasi tambahan yang berkaitan
dengan visibility dan accountability perusahaan karena semakin banyaknya jumlah
stakeholder yang terlibat dalam perusahaan. Hal ini disebabkan adanya tuntutan
masyarakat dan konflik kepentingan, keadaan semacam ini akan membuat
manajemen menerapkan prinsip keterbukaan sebagai suatu syarat mutlak dalam
menjalankan aktivitas perusahaan publik (Nugroho, 2012). Dengan demikian,
pengungkapan atas aktivitas-aktivitas yang dijalankan perusahaan akan meningkat,
termasuk pengungkapan pelaksanaan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan
atau corporate social responsibility disclosure.
Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa kepemilikan publik
memiliki pengaruh terhadap corporate social responsibility disclosure, antara lain
penelitian Sriayu dan Mimba (2013) dan penelitian Rahayu dan Anisyukurlillah
(2015), sedangkan Indraswari dan Astika (2014) menyatakan bahwa kepemilikan
publik berpengaruh negatif terhadap corporate social responsibility disclosure.
Namun demikian, terdapat pula beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan
bahwa kepemilikan publik tidak berpengaruh terhadap corporate social
responsibility disclosure, antara lain penelitian Evandini dan Darsono (2014) serta
Nur dan Priantinah (2015).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka hipotesis yang dibentuk
untuk penelitian ini adalah:
Ha2 = Kepemilikan publik berpengaruh terhadap corporate social responsibility
disclosure.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
50
2.7.5 Kepemilikan Asing
Menurut Sriayu dan Mimba (2013), kepemilikan asing adalah proporsi kepemilikan
saham perusahaan yang ada di Indonesia oleh pihak asing, baik individu maupun
lembaga. Sementara itu, Kurniawati dan Komalasari (2014), menjelaskan
kepemilikan asing sebagai proporsi saham biasa perusahaan yang dimiliki oleh
perorangan, badan hukum, pemerintah serta bagian-bagiannya yang berstatus luar
negeri, dan bukan berasal dari Indonesia. Siregar dan Faizah (2016) membagi
penanaman modal asing menjadi dua jenis sebagai berikut:
1. Investasi portfolio, yaitu investasi yang dilakukan untuk mendapatkan
imbalan atau keuntungan berupa dividen, peningkatan modal dan bunga
dari pembelian bonds, saham asing dan sekuritas lainnya.
2. Investasi langsung, yaitu investasi yang dalam pelaksanaannya atau
operasionalnya di luar negeri melibatkan komitmen manajerial.
Amiram (2012) menjelaskan perbedaan dari sisi pengendalian investor asing
terhadap perusahaan tempat mereka menanamkan modalnya. Pada investasi
portfolio atau foreign portfolio investments (FPI), investor tidak memiliki hak
mengendalikan perusahaan, sedangkan pada investasi langsung atau foreign direct
investment (FDI), investor asing memiliki hak atas pengendalian terhadap
perusahaan. Dalam standar internasional yang ditetapkan oleh Organization for
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
51
Economic Cooperation & Development (OECD), sebuah organisasi kerja sama di
bidang perekonomian dan pembangunan, dan International Monetary Fund (IMF)
selaku organisasi internasional di bidang pendanaan moneter, kepemilikan asing
dengan proporsi di bawah 10% akan diklasifikasikan sebagai FPI, dan yang lebih
dari 10% termasuk dalam klasifikasi FDI (Humanicki, et al., 2013).
Yuliati (2014) menjelaskan bahwa investasi asing sangat dibutuhkan oleh
bangsa Indonesia karena keberadaan investasi asing memberikan dampak positif
dalam pembangunan bangsa dan negara, sehingga pemerintah Indonesia akan
berusaha semaksimal mungkin untuk mendatangkan investor asing. Manfaat
ekonomi dari investasi asing ini adalah transfer teknologi dari negara asal,
peningkatan skala produksi untuk tujuan ekspor, menyerap banyak tenaga kerja,
serta mempengaruhi perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya. Namun
demikian, pemerintah tetap membatasi proporsi penanaman modal asing di badan
usaha yang ada di Indonesia. Pembatasan proporsi penanaman modal asing
dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2016
tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka
Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Peraturan Presiden
tersebut, ditetapkan batasan-batasan kepemilikan asing bagi setiap sektor usaha.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan perlindungan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah, serta Koperasi dan berbagai sektor strategis nasional serta meningkatkan
daya saing ekonomi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dan
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
52
dinamika globalisasi ekonomi. Putri (2013) merumuskan penghitungan kepemilikan
asing sebagai berikut:
Kepemilikan Asing = Proporsi saham yang dimiliki pihak asing
Jumlah saham yang beredar
2.7.6 Pengaruh Kepemilikan Asing terhadap Corporate Social
Responsibility Disclosure
Investor asing menghadapi risiko lebih tinggi ketika berinvestasi dalam
perekonomian negara berkembang, seperti risiko politik, risiko terjadinya asimetri
informasi, dan risiko tidak memadainya proteksi legal, maka perhatian pengendalian
manajemen investor asing relatif tinggi (La Porta, dkk., 1999 dalam Hadiprajitno,
2013). Risiko politik berkaitan dengan kondisi perpolitikan suatu negara (Nugroho
dan Triyonowati, 2013).
Bagi perusahaan yang beroperasi di luar negeri, stabilitas politik dan ekonomi
negara bersangkutan sangat penting diperhatikan untuk menghindari risiko politik
terlalu tinggi. Dengan demikian, investor asing, terutama yang memiliki proporsi
kepemilikan saham yang besar, akan menuntut manajemen perusahaan untuk
mengungkapkan informasi lebih banyak terkait aktivitas perusahaan, karena adanya
perbedaan lokasi geografis (Schipper, 1981 dan Bradbury, 1991 dalam Khan, et al.,
2013). Informasi terkait aktivitas perusahaan, termasuk informasi kegiatan sosial
dan lingkungan yang dilaksanakan perusahaan, akan membantu investor asing
dalam melakukan pengambilan keputusan (Khan, et al., 2013).
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
53
Menurut Ririn (2011) dalam Sari (2014), perusahaan multinasional atau
dengan kepemilikan asing utamanya melihat keuntungan legitimasi yang berasal
dari para stakeholder-nya, didasarkan pada home market (pasar tempat beroperasi)
yang dapat memberikan eksistensi yang tinggi dalam jangka panjang. Besarnya
investor asing dalam perusahaan akan mendorong manajemen untuk
memperhatikan keinginan para stakeholder, agar perusahaan melakukan aktivitas
CSR sebagai tanggung jawab atas aktivitas usahanya, yang berpengaruh terhadap
aspek sosial dan lingkungan di sekitarnya, serta mengungkapkannya ke khalayak
publik, sehingga dapat meyakinkan masyarakat bahwa aktivitas perusahaan telah
sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat, yang pada
akhirnya akan memberikan keuntungan jangka panjang berupa terjaminnya
keberlangsungan usaha (Nugroho dan Yulianto, 2015). Pengungkapan tanggung
jawab sosial merupakan salah satu media yang dipilih untuk memperlihatkan
kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya (Ririn, 2011 dalam Sari,
2014). Dengan demikian, besarnya kepemilikan asing akan mendorong perusahaan
untuk meningkatkan penerapan aktivitas CSR, sehingga corporate social
responsibility disclosure juga akan meningkat.
Penelitian yang telah dilakukan Sriayu dan Mimba (2013) serta penelitian
Dewi dan Suaryana (2015) berhasil membuktikan adanya pengaruh kepemilikan
asing terhadap corporate social responsibility disclosure. Namun, terdapat pula
beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kepemilikan asing tidak berpengaruh
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
54
terhadap corporate social responsibility disclosure, antara lain penelitian Karina
dan Yuyetta (2013) dan Oktariani dan Mimba (2014).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka hipotesis yang dibentuk
untuk penelitian ini adalah:
Ha3 = Kepemilikan asing berpengaruh terhadap corporate social responsibility
disclosure.
2.8 Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Sutedi (2011), Good Corporate Governance (GCG) didefinisikan sebagai
suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai
tambah (value-added) untuk semua stakeholder-nya. Ada dua hal yang menjadi
perhatian konsep ini, yang pertama terkait pentingnya hak pemegang saham untuk
memperoleh informasi dengan benar, akurat, dan tepat pada waktunya dan yang kedua
terkait kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara
akurat, tepat pada waktunya, dan transparan mengenai semua informasi kinerja
perusahaan, kepemilikan, dan stakeholders. Kedua hal tersebut penting karena secara
empiris terbukti bahwa penerapan prinsip corporate governance dapat meningkatkan
kualitas laporan keuangan. Sementara itu, menurut Untung (2014), GCG adalah
rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan intuisi yang mempengaruhi
pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan korporasi.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
55
CSR dan GCG akan saling terkait dalam mensukseskan kinerja perusahaan.
Pamungkas (2013) menjelaskan bahwa secara garis besar, dari rentang jangkauannya,
GCG dapat dibagi menjadi dua falsafah yang berbeda yaitu GCG dalam arti sempit dan
GCG dalam arti luas. GCG dalam arti sempit merupakan keterkaitan antara lembaga-
lembaga yang mengatur perilaku perusahaan dan terbatas pada pihak-pihak yang ada
di dalam lingkup perusahaan yaitu dewan komisaris, direksi, dan RUPS. Cara pandang
ini meyakini bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tertumpu pada usaha untuk
pencapaian profit yang setinggi-tingginya, karena dengan demikian masyarakat akan
memperoleh manfaat yang lebih tinggi melalui pajak yang dibayarkan perusahaan.
Sedangkan GCG dalam arti luas mencakup pula stakeholder (pemerintah, kreditor,
pemasok, pelanggan, kelompok lain dan masyarakat). GCG dalam arti luas ini
menyangkut tanggung jawab perusahaan kepada para stakeholder atas kegiatan
ekonominya dengan segala dampaknya termasuk dengan melakukan CSR (Kiroyan,
2006 dalam Pamungkas, 2013).
Dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang disusun
oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), prinsip dasar GCG diperlukan
untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu penerapan GCG perlu didukung oleh
tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator,
dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa
dunia usaha. Prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar
adalah:
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
56
1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang
menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan
peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten
(consistent law enforcement).
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar
pelaksanaan usaha.
3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang
terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan
melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung
jawab.
Djuitaningsih dan Marsyah (2012) mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip
GCG seperti yang disebutkan dalam Pedoman Umum GCG Indonesia yang disusun
oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) meliputi:
1. Transparansi
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang
disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang
penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan
pemangku kepentingan lainnya.
2. Akuntabilitas
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
57
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,
terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap
memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk
mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3. Responsibilitas
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4. Independensi
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Perusahaan, dalam hal ini yang berbentuk perseroan terbatas, secara fungsional
dituntut memberikan nilai tambah (value-added), baik berbentuk financial return bagi
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
58
para pemegang saham (shareholders) maupun social-welfare, yang sekurang-
kurangnya value-added bagi stakeholders.
Menurut Solomon (2013) dalam bukunya berjudul “Corporate Governance and
Accountability”, fungsi transparansi dalam corporate governance dapat ditempuh
melalui pengungkapan. Pengungkapan informasi berguna untuk mengefisienkan pasar
modal dan menghindari kesenjangan informasi (information asymmetry) sehingga
kekeliruan dalam pengambilan keputusan dapat diminimalisir. Dengan adanya tata
kelola perusahaan yang baik diharapkan mampu melakukan pengawasan dan
pengendalian sehingga menciptakan nilai tambah bagi perusahaan (Ariningtika dan
Kiswara, 2013).
Dalam Pedoman Umum GCG yang disusun oleh KNKG, pelaksanaan asas
GCG dilakukan secara independen oleh organ-organ perusahaan, yang terdiri dari
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris dan Direksi, serta komite
penunjang Dewan Komisaris, salah satunya Komite Audit. Kepemilikan manajemen
merupakan bagian dari mekanisme good corporate governance karena termasuk dalam
pokok pelaksanaan GCG terkait pemisahan fungsi sebagai pemegang saham, dengan
fungsi sebagai anggota Dewan Komisaris atau Direksi dalam hal pemegang saham
menjabat pada salah satu dari kedua organ tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian
ini, good corporate governance dinilai dari Jumlah Rapat Komite Audit, Ukuran
Dewan Komisaris dan Kepemilikan Manajemen.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
59
2.8.1 Jumlah Rapat Komite Audit
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.04/2015 tentang
Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, Komite Audit adalah
komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris dalam
membantu melaksanakan tugas dan fungsi Dewan Komisaris. Komite Audit
biasanya membuat agenda rapat dengan menerima masukan dari manajemen,
auditor internal dan auditor eksternal (Ariningtika dan Kiswara, 2013).
Menurut Djuitaningsih dan Marsyah (2012), jumlah rapat Komite Audit
merupakan jumlah pertemuan atau rapat yang dilakukan oleh Komite Audit dalam
waktu satu tahun. Pertemuan dilaksanakan untuk mengevaluasi kualitas laporan
keuangan dan perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan (Ariningtika dan Kiswara,
2013). Sementara itu, dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
55/POJK.04/2015 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite
Audit, ketentuan terkait Rapat Komite Audit sebagai berikut:
1. Komite Audit mengadakan rapat secara berkala paling kurang satu kali
dalam 3 (tiga) bulan.
2. Rapat Komite Audit hanya dapat dilaksanakan apabila dihadiri oleh
lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota.
3. Keputusan rapat Komite Audit diambil berdasarkan musyawarah untuk
mufakat.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
60
4. Setiap rapat Komite Audit dituangkan dalam risalah rapat, termasuk
apabila terdapat perbedaan pendapat, yang ditandatangani oleh seluruh
anggota Komite Audit yang hadir dan disampaikan kepada Dewan
Komisaris.
Terkait dengan hal Pelaporannya, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
55/POJK.04/2015 memuat ketentuan sebagai berikut:
1. Komite Audit wajib membuat laporan kepada Dewan Komisaris atas
setiap penugasan yang diberikan (Pasal 17).
2. Komite Audit wajib membuat laporan tahunan pelaksanaan kegiatan
Komite Audit yang diungkapkan dalam Laporan Tahunan Emiten atau
Perusahaan Publik (Pasal 18).
3. Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan informasi mengenai pengangkatan dan pemberhentian
Komite Audit dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah
pengangkatan atau pemberhentian (Pasal 19).
4. Informasi mengenai pengangkatan dan pemberhentian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 wajib dimuat dalam situs web Bursa Efek
dan/atau situs web Emiten atau Perusahaan Publik (Pasal 20).
2.8.2 Pengaruh Jumlah Rapat Komite Audit terhadap Corporate
Social Responsibility Disclosure
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
61
Pengawasan secara mendalam dari Komite Audit mampu mendorong perusahaan
untuk melakukan pengawasan yang lebih baik sehingga prinsip-prinsip GCG dapat
terpenuhi, salah satunya prinsip transparansi, dimana perusahaan diwajibkan untuk
terbuka atas segala aktivitas bisnis yang dilakukan dan kemudian melakukan
pelaporan (Aniktia dan Khafid, 2015). Aniktia dan Khafid (2015) juga menjelaskan
bahwa semakin sering Komite Audit melakukan rapat, maka akan semakin sering
para anggota Komite Audit bertukar pikiran dan pengetahuan mengenai keputusan
yang harus diambil demi kepentingan seluruh stakeholder, salah satunya keputusan
mengenai corporate social responsibility disclosure. Semakin sering Komite Audit
mengadakan pertemuan, maka dapat menambah keefektifan pengawasan
manajemen, penerapan prinsip-prinsip GCG oleh perusahaan, dan dapat
mendukung peningkatan corporate social responsibility disclosure (Djuitaningsih
dan Marsyah, 2012).
Fatayatiningrum (2011) dalam Djuitaningsih dan Marsyah (2012)
menyatakan bahwa tingkat jumlah pertemuan yang dilakukan oleh Komite Audit
dapat menjamin bahwa pelaksanaan pengawasan terhadap manajemen untuk
melakukan kecurangan akan berjalan secara efektif. Dengan demikian, semakin
tingginya jumlah rapat Komite Audit yang diselenggarakan, akan meminimalisir
peluang manajemen untuk melakukan kecurangan dengan memanipulasi informasi,
sehingga pengungkapan informasi terkait aktivitas perusahaan akan disajikan
secara lebih transparan. Salah satunya aktivitas pelaksanaan CSR yang dapat
dipandang sebagai wujud akuntabilitas perusahaan kepada publik untuk
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
62
menjelaskan berbagai dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan (Melati dan
Kurnia, 2013).
Menurut Risty dan Sany (2015), semakin intensnya Komite Audit melakukan
rapat, semakin banyak hal yang dievaluasi, salah satunya adalah ketaatan
perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan sehubungan
dengan aktivitas bisnis yang dilakukan yang dilaporkan dalam bentuk
pengungkapan sustainability report, sehingga hal ini mengindikasikan semakin
sering Komite Audit melakukan rapat maka dapat menambah keefektifan
pengawasan dan penerapan prinsip dan etika dalam peningkatan pengungkapan
sustainability report. Maka, dengan meningkatnya jumlah rapat Komite Audit,
corporate social responsibility disclosure akan meningkat pula.
Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya pengaruh
jumlah rapat Komite Audit terhadap corporate social responsibility disclosure,
antara lain penelitian Djuitaningsih dan Marsyah (2012) dan Risty dan Sany (2015).
Sementara itu, terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa jumlah rapat
Komite Audit tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility
disclosure, yaitu penelitian Ariningtika dan Kiswara (2013).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka hipotesis yang dibentuk
untuk penelitian ini adalah:
Ha4 = Jumlah rapat Komite Audit berpengaruh terhadap corporate social
responsibility disclosure.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
63
2.8.3 Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance, serta memiliki tiga
tugas, yaitu menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen
dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (Rini
dan Ghozali, 2012). Sementara itu, menurut Dewi dan Priyadi (2013), Dewan
Komisaris adalah wakil pemegang saham dalam perusahaan berbadan hukum
perseroan terbatas. Dewan Komisaris ini berfungsi mengawasi pengelolaan
perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen (direksi) (Dewi dan Priyadi, 2013).
Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah yang dianggap proporsional untuk
mewakili pemegang saham di dalam perusahaan, dimana dengan adanya jumlah
tersebut Dewan Komisaris dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan
menjalankan corporate governance dengan bertanggung jawab kepada pemegang
saham (Puspitasari dan Ernawati, 2010 dalam Perdana, dkk., 2016).
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014
tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik, Dewan
Komisaris adalah organ Emiten atau Perusahaan Publik yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta
memberi nasihat kepada Direksi. Pada Bab III Bagian Ke 1 Pasal 20 ayat (1)
dikatakan bahwa Dewan Komisaris paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang anggota
Dewan Komisaris.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
64
Di dalam Bagian Kedua Pasal 28 ayat (1) dikatakan bahwa Dewan
Komisaris bertugas melakukan pengawasan dan bertanggung jawab atas
pengawasan terhadap kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya,
baik mengenai Emiten atau Perusahaan Publik maupun usaha Emiten atau
Perusahaan Publik, dan memberi nasihat kepada Direksi. Dengan demikian, Dewan
Komisaris berperan penting dalam pengelolaan tata kelola perusahaan yang baik.
Ukuran Dewan Komisaris yang dimaksud adalah jumlah seluruh anggota Dewan
Komisaris dalam suatu perusahaan (Djuitaningsih dan Marsyah, 2012).
2.8.4 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Corporate
Social Responsibility Disclosure
Ukuran Dewan Komisaris yang lebih besar dipandang sebagai mekanisme
corporate governance yang efektif untuk mendorong transparansi dan
pengungkapan (Djuitaningsih dan Marsyah, 2012). Menurut Pradnyani dan
Sisdyani (2015), Dewan Komisaris mempunyai wewenang untuk memberi petunjuk
dan arahan serta mengawasi pengelolaan perusahaan salah satunya adalah dengan
memberi petunjuk atau arahan kepada manajemen untuk mengungkapkan CSR.
Dengan wewenang yang dimiliki, Dewan Komisaris dapat memberikan pengaruh
yang cukup kuat untuk menekan manajemen agar mengungkapkan informasi CSR
lebih banyak, sehingga dapat dijelaskan bahwa perusahaan yang memiliki ukuran
Dewan Komisaris yang lebih besar akan lebih banyak mengungkapkan CSR,
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
65
karena Dewan Komisaris merupakan pelaksana tertinggi di dalam entitas (Nur dan
Priantinah, 2012).
Dewan Komisaris sebagai inti dari corporate governance (Rini dan Ghozali,
2012), melakukan penerapan GCG dari dua sisi, yaitu etika dan peraturan (Fauzi,
dkk., 2016). Dorongan dari etika (ethical driven) datang dari kesadaran individu
pelaku bisnis untuk menjalankan praktik bisnis yang mengutamakan kelangsungan
hidup perusahaan, kepentingan stakeholder dan menghindari cara-cara menciptakan
keuntungan sesaat. Sedangkan dorongan dari peraturan (regulatory driven)
“memaksa” perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, 2006).
Semakin banyak jumlah Dewan Komisaris, maka tingkat pengawasan dan
tekanan terhadap manajemen semakin baik, sehingga mendorong manajemen dalam
mengungkapkan informasi sosialnya (Rizki, dkk., 2014). Maka, dapat dikatakan
bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris tidak hanya sebatas
pengelolaannya saja, tetapi juga hingga pengungkapannya dalam laporan tahunan.
Dengan demikian, ukuran Dewan Komisaris berpengaruh dalam hal ketatnya
pengawasan yang dilakukan. Ketatnya pengawasan mendorong transparansi dalam
pengungkapan informasi terkait perusahaan pada laporan tahunan, demikian pula
halnya dengan peningkatan corporate social responsibility disclosure.
Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya pengaruh
ukuran Dewan Komisaris terhadap corporate social responsibility disclosure, antara
lain penelitian Nur dan Priantinah (2012), Giannarakis (2013), serta Dewi dan
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
66
Priyadi (2013). Meski demikian, terdapat pula beberapa penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa ukuran Dewan Komisaris tidak berpengaruh terhadap corporate
social responsibility disclosure, antara lain penelitian Djuitaningsih dan Marsyah
(2012), Sari, dkk., (2013), serta Sriayu dan Mimba (2013).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka hipotesis yang dibentuk
untuk penelitian ini adalah:
Ha5 = Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh terhadap corporate social
responsibility disclosure.
2.8.5 Kepemilikan Manajemen
Untuk memotivasi kinerja manajer, perusahaan mulai menerapkan kebijakan
kepemilikan manajerial. Menurut Dewi dan Priyadi (2013), kebijakan ini
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan manajer terlibat dalam kepemilikan
saham. Dengan demikian, kedudukan manajer akan sejajar dengan pemegang
saham. Manajer dipelakukan bukan semata sebagai pihak yang digaji untuk
kepentingan perusahaan, tetapi juga diperlakukan sebagai pemegang saham.
Menurut Djuitaningsih dan Marsyah (2012), kepemilikan saham manajerial adalah
tingkat kepemilikan saham pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam
pengambilan keputusan. Pihak tersebut adalah mereka yang duduk di Dewan
Komisaris dan Dewan Direksi perusahaan (Subiantoro dan Mildawati, 2015).
Struktur kepemilikan ini diyakini dapat membuka jalan perusahaan ke arah
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
67
pencapaian tujuan perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan (Mallin et al.,
2013 dalam Kusumadewi dan Suaryana, 2014).
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa berdasarkan teori
keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham
mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict (Trisnawati,
2014). Lebih lanjut, Trisnawati (2014) menjelaskan bahwa konflik kepentingan
yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang
diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham. Konflik kepentingan
antara manajer dengan pemilik menjadi semakin besar ketika kepemilikan manajer
terhadap perusahaan semakin kecil. Sebaliknya semakin besar kepemilikan manajer
di dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam
memaksimalkan nilai perusahaan, dengan kata lain biaya kontrak dan pengawasan
menjadi rendah.
Dengan adanya kepemilikan bagi manajemen, akan meningkatkan
motivasi manajemen untuk bekerja dengan lebih baik dalam meningkatkan kinerja
perusahaan. Manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan agar
tidak merugikan perusahaan. Semakin besar kepemilikan manajer, maka manajer
akan berusaha maksimal untuk meningkatkan laba perusahaan (alignment of
interest), karena manajer memiliki bagian atas laba yang diperoleh (Tertius dan
Christiawan, 2015). Menurut Bangun, dkk. (2012), kepemilikan manajemen diukur
dengan:
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
68
MANJ = Jumlah saham manajemen
Jumlah saham yang beredar
2.8.6 Pengaruh Kepemilikan Manajemen terhadap Corporate Social
Responsibility Disclosure
Menurut Kusumadewi dan Suaryana (2014), jika manajemen memiliki saham dalam
jumlah besar maka akan diikuti dengan makin luasnya pengungkapan CSR. Hal
tersebut dikarenakan kepemilikan manajemen yang besar akan efektif untuk
mengawasi aktivitas perusahaan (Susanti dan Mildawati, 2014). Dwipayadnya,
dkk. (2015) menjelaskan bahwa semakin besarnya kepemilikan manajerial suatu
perusahaan, maka akan mendorong manajemen untuk melaksanakan
pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan yang bertujuan untuk
meningkatkan image perusahaan di mata stakeholder. Upaya yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan image perusahaan diantaranya adalah dengan meningkatkan
nilai perusahaan. Nilai perusahaan akan terjamin tumbuh secara berkelanjutan
(sustainable) apabila perusahaan memperhatikan dimensi ekonomi, sosial dan
lingkungan hidup karena keberlanjutan merupakan keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan ekonomi, lingkungan dan masyarakat (Rahayu dan
Fidiana, 2015). Menurut Rahayu dan Fidiana (2015), dimensi tersebut terdapat di
dalam penerapan CSR yang dilakukan perusahaan sebagai bentuk
pertanggungjawaban dan kepedulian terhadap lingkungan di sekitar perusahaan.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
69
Semakin besar kepemilikan manajerial dalam suatu perusahaan, maka akan
semakin mendorong manajer perusahaan melakukan usaha lebih untuk memberikan
keuntungan pada perusahaan (Aniktia dan Khafid, 2015). Salah satu usaha tersebut
adalah dengan adanya corporate social responsibility disclosure. Penelitian oleh
Rawi dan Munawar (2010) dalam Dwipayadnya, dkk. (2015) membuktikan bahwa
kepemilikan saham oleh manajemen akan mempengaruhi pengambilan keputusan
yang diambil menjadi lebih sesuai dengan kepentingan perusahaan, salah satunya
dengan cara mengungkapkan informasi sosial yang lebih luas sehingga dapat
meningkatkan reputasi perusahaan. Dengan demikian, peningkatan kepemilikan
saham oleh pihak manajemen perusahaan akan mendorong pelaksanaan kegiatan
CSR dan corporate social responsibility disclosure juga akan meningkat.
Beberapa penelitian telah mengungkapkan adanya pengaruh kepemilikan
manajemen terhadap corporate social responsibility disclosure, antara lain
penelitian Bangun, dkk., (2012) dan penelitian Dewi dan Priyadi (2013). Meski
demikian, terdapat pula beberapa penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa
kepemilikan manajemen tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility
disclosure, diantaranya penelitian Djuitaningsih dan Marsyah (2012), serta
penelitian Suaryana dan Febriana (2012).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka hipotesis yang dibentuk
untuk penelitian ini adalah:
Ha6 = Kepemilikan manajemen berpengaruh terhadap corporate social
responsibility disclosure.
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
70
2.9 Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kepemilikan Publik, Kepemilikan
Asing, Jumlah Rapat Komite Audit, Ukuran Dewan Komisaris, dan
Kepemilikan Manajemen Secara Simultan terhadap Corporate Social
Responsibility Disclosure
Secara simultan, penelitian Nugroho (2016) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan,
leverage, profitabilitas, komposisi Dewan Komisaris, dan kepemilikan saham asing
berpengaruh dalam menentukan corporate social responsibility disclosure. Penelitian
Nugroho dan Yulianto (2015) menunjukkan bahwa profitabilitas, kepemilikan
institusional, kepemilikan asing, ukuran Dewan Komisaris, Dewan Komisaris
Independen dan ukuran Komite Audit berpengaruh signifikan terhadap corporate
social responsibility disclosure secara simultan.
Dalam penelitiannya, Ibrahim, dkk. (2015) menjelaskan bahwa secara simultan
ukuran perusahaan dan konsentrasi kepemilikan terhadap corporate social
responsibility disclosure berpengaruh signifikan. Sementara itu menurut Subiantoro
dan Mildawati (2015), ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas, tipe industri, ukuran
Dewan Komisaris, dan kepemilikan manajemen secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap corporate social responsibility disclosure.
Hasil penelitian Rizki, dkk. (2014) menunjukkan bahwa profitabilitas, leverage,
ukuran perusahaan, jumlah Dewan Komisaris, frekuensi rapat Dewan Komisaris,
jumlah Dewan Komisaris Independen dan Komite Audit secara bersama-sama
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017
71
berpengaruh terhadap corporate social responsibility disclosure. Penelitian Dewi dan
Priyadi (2013) menunjukkan bahwa secara simultan, ukuran perusahaan, profitabilitas,
leverage, kepemilikan manajemen, dan ukuran Dewan Komisaris berpengaruh
terhadap corporate social responsibility disclosure pada laporan tahunan perusahaan
manufaktur. Sementara itu, penelitian Suaryana dan Febriana (2012) menunjukkan
bahwa tingkat leverage, profitabilitas, ukuran Dewan Komisaris, ukuran perusahaan,
dan kepemilikan manajerial berpengaruh secara simultan terhadap corporate social
responsibility disclosure.
2.10 Model Penelitian
Gambar 2.2
Model Penelitian
Kepemilikan Publik (KP)
Kepemilikan Asing (KA)
Ukuran Perusahaan (TA)
Kepemilikan Manajemen (KM)
Ukuran Dewan Komisaris (UDK)
Jumlah Rapat Komite Audit (RKA)
Corporate Social Responsibility
Disclosure (CSRD)
Pengaruh Karakteristik..., Michelly Onggo, FB UMN, 2017