lingkar sekolah aman dan siaga bencana v0
TRANSCRIPT
SEKOLAH AMAN DAN SIAGA BENCANA
Catatan Praktik Perkumpulan Lingkar Dalam Implementasi Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Sekolah
2
EDITOR: NINIL MIFTAHUL JANNAH PENULIS: YUGYASMONO NINIL MIFTAHUL JANNAH CINDY WULANDARI SUNARING KURIANDARU UNTUNG TRI WINARSO YANET PAULINA R EKA SETIAWAN PUDJI SANTOSA PERKUMPULAN LINGKAR [email protected] YOGYAKARTA, JANUARI, 2012 VERSI NOL, 2012 Umpan balik silahkan disampaikan ke [email protected]
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
3
PENDAHULUAN Indonesia terbentuk dari titik-‐titik pertemuan lempeng bumi yang menjadikan negeri ini ‘sarat’ dengan kejadian-‐kejadian bencana alam. Salah satunya wilayah rawan bencana alam adalah Provinsi D.I. Yogyakarta. Gempa Mei 2006 menjadi faktual bagaimana dampak kerugian akibat kejadian tersebut. Belum lagi ancaman-‐ancaman lain (alam maupun non-‐alam) yang ada di provinsi ini. Dalam demikian, penting bagi semua pihak, termasuk sekolah, untuk memper-‐siap-‐siaga-‐kan dirinya apabila kejadian bencana terjadi sehingga kerugian dapat dikurangi. Tujuannya adalah agar masyarakat memiliki ketahanannya dan ketangguhannya dalam menghadapi bencana. Utamanya adalah masyarakat dapat mengupayakan secara mandiri upaya-‐upaya pengurangan risiko bencana dengan mengenal dan mengelola risiko yang ada di wilayah/sekitarnya.
Sekolah dan Kesiapsiagaan Bencana Dalam upaya penanggulangan bencana, sekolah sebagai ruang publik memiliki peran nyata dalam membangun ketahanan masyarakat. Sebagai satuan pendidikan, sekolah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan, dalam keadaan bencana sekalipun. Dalam upaya pengurangan risiko bencana, sekolah merupakan wahana efektif untuk membangun budaya bangsa, termasuk membangun budaya kesiapsiagaan bencana warga negara; yakni secara khusus kepada anak/murid, pendidik, tenaga kependidikan, dan para pemangku kepentingan lainnya, dan secara umum kepada masyarakat luas. (Kerangka Kerja Sekolah Siaga Bencana, KPB, 2011) Sekolah, dengan tugas utama sebagai institusi penyelenggara pelayananan pendidikan, juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan secara khusus kepada anak-‐anak, sebagaimana telah dimandatkan dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2003. Dalam konteks, praktis sekolah harus mampu mengelola risiko bencana sesuai dengan ancaman yang ada di sekitarnya. Artinya, kesiapsiagaan bencana sekolah harus dibangun sebagai jaminan perlindungan itu. Dan tentu saja, selain pemerintah dan pihak-‐pihak yang berwenang, lembaga-‐lembaga yang berkompeten dan peduli, pun berkepentingan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan dan perlindungan tersebut. Senada dengan hal itu di atas, Perkumpulan Lingkar, dengan Program Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Sekolah, berkepentingan dalam pengembangan kesiapsiagaan bencana dalam komunitas
4
sekolah yakni dengan menginisiasi pengembangan Sekolah Aman dan Siaga Bencana (SASB). Selain pendekatan partisipatif, untuk mencapai tujuan itu juga digunakan pendekatan sekolah sebagai pusat pengembangan pengurangan risiko bencana, mendorong keterlibatan dan dukungan komunitas sekitar sekolah (enabling environment), dan berpusat pada anak dimana aktivitas yang melibatkan para pemangku kepentingan dalam komunitas sekolah terkait (dewasa dan anak), senantiasa berorientasi pada kepentingan anak. Kerangka Kerja SASB Perkumpulan Lingkar Sekolah Aman dan Siaga Bencana (SASB) atau Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Sekolah (PRBBS) adalah suatu kerangka kerja pengembangan kemampuan dari seluruh komponen sekolah untuk mengelola dan mengurangi risiko bencana di lingkungan sekolah, dengan membangun kesiapsiagaan melalui penguatan pengetahuan dan sikap, implementasi rencana tanggap darurat, kebijakan kesiapsiagaan sekolah, serta sistem peringatan dini sekolah, dan kemampuan memobilisasi sumber daya sekolah, sebelum, saat, dan sesudah bencana datang. Cita-‐cita yang ingin dicapai adalah kemampuan dari seluruh komponen sekolah untuk mengurangi risiko bencana di lingkungan sekolah, dengan membangun kesiapsiagaan melalui penguatan pengetahuan dan sikap, implementasi rencana tanggap darurat, kebijakan kesiapsiagaan sekolah, serta sistem peringatan dini sekolah, dan kemampuan memobilisasi sumber daya sekolah, sebelum, saat, dan sesudah bencana datang. Implementasi Sekolah Aman dan Siaga Bencana (SASB) Perkumpulan Lingkar telah mengimplementasikan SASB ini di 6 (enam) Sekolah Dasar di Bantul, yakni SD Brajan, SD Cepokojajar 1, SD Payak, SD Muhammadiyah Pandes, MIN Jejeran, dan SD Putren. Implementasi di enam sekolah ini dilakuka 2 tahap, yaitu pada September 2009 sampai dengan Juli 2010 yang didukung oleh Plan Indonesia dan Mei-‐Oktober 2011 yang bekerjasama antara Perkumpulan Lingkar dan 6 sekolah mitra tersebut. Secara khusus, program ini dilaksanakan melalui proses implementasi pembelajaran di dalam kurikulum (KTSP dan RPP oleh Guru) melalui kegiatan-‐kegiatan bersama seluruh komponen komunitas sekolah untuk Pengurangan Risiko Bencana/PRB Berbasis Sekolah. Terdapat 3 hal yang ingin dicapai; yakni (1) meningkatnya kapasitas sekolah dalam praktik-‐praktik sekolah siaga bencana dan pengurangan risiko bencana yang berpusat pada anak dan sesuai dengan konteks lokal; (2) meningkatnya partisipasi anak dalam rencana, aksi dan evaluasi pengurangan risiko bencana di sekolah; dan (3) terdokumentasikannya proses pembelajaran terbaik dari program ini melalui evaluasi dan monitoring. Strategi Program Berbasis sekolah. Sekolah sebagai pusat pengembangan, pengelolaan, dan pengurangan risiko bencana dengan mendorong komunitas sekitar sekolah sebagai enabling environment. Berpusat Pada Anak. Semua kegiatan, baik itu yang melibatkan anak maupun dewasa, selalu berorientasi pada kepentingan anak/siswa. Pelibatan/partisipasi anak dilaksanakan sejak awal pelaksanaan hingga akhir program melalui KAP survei, kajian risiko bencana sekolah, perancangan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi aksi siswa untuk PRB dan perubahan iklim, sampai dengan
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
5
kegiatan-‐kegiatan PRB yang diselenggarakan di tingkat provinsi. Program ini mendorong terbangunnya lingkungan yang mendukung (enabling environment) terhadap partisipasi anak dalam PRB di lingkungan sekolah. Melalui fasilitasi aksi PRB oleh siswa, mereka menyusun rencana aksi PRB dan perubahan iklim dalam mini-‐proposal siswa, mengusulkan gagasannya kepada orang dewasa (guru dan kepala sekolah), hingga pelaksanaan aksi. Pengarusutamaan Gender. Yakni memasukkan “perspektif gender” dalam seluruh siklus manajemen proyek, meliputi proses; perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, serta evaluasi. Pada lingkup manajemen proyek, pengarusutamaan gender diwujudkan untuk memastikan “jaminan yang proporsional terhadap keterlibatan perempuan”. Pengarusutamaan gender menggunakan perangkat-‐perangkat dan teknik-‐teknik pengarusutaaman gender. Pada level partisipasi, pengarusutamaan gender dilaksanakan dengan memastikan kebermaknaan ‘partisipasi’ melalui teknik-‐teknik moderasi, fasilitasi, quota, dan kelompok terpisah. Cara-‐cara yang dilakukan dalam pengarusutamaan gender pada rangkaian kegiatan (paralel) sepanjang fase program adalah; 1) selalu mengkonfirmasikan kepada pihak sekolah bahwa kegiatan wajib mememenuhi keterwakilan komposisi gender yang berimbang dengan target partisipan kegiatan; termasuk utamanya dalam kegiatan anak/siswa; 2) dalam semua kegiatan; melalui catatan khusus dalam kerangka acuan kegiatan (ToR), fasilitator mendorong partisipasi peserta perempuan; baik dalam diskusi, artikulasi gagasan, permainan dan kerja kelompok; dan 3) pemilahan informasi berdasarkan gender (gender differentiated) dalam setiap kegiatan yang dilakukan pada tahap awal proyek (baseline) dapat berguna untuk menimbang komposisi gender dalam aktivitas di sekolah. Ruang Lingkup Program Pendidikan Siaga Bencana. Pendidikan siaga bencana adalah kumpulan pengetahuan yang terkait dengan upaya untuk mengurangi risiko, yang meliputi tindakan persiapan, dukungan, dan membangun kembali masyarakat saat bencana terjadi. Serta mengurangi dampak yang disebabkan oleh terjadinya bencana sehingga tumbuh kesiapsiagaan dan tanggap darurat dalam menyelamatkan masyarakat. Strategi ini dijabarkan dalam aktivitas antara lain: pelembagaan PRB dalam kebijakan dan perencanaan sekolah yang melibatkan masyarakat, integrasi PRB dalam kurikulum berjalan, dan sebagainya. Pendidikan Untuk Berkelanjutan. Fokus pendidikan untuk keberlanjutan adalah pribadi yang menuju aksi kolektif dan pendidikan yang kontekstual sesuai dengan budaya dan risiko ancamannya. Dalam Dasawarsa Pendidikan Untuk Pembangunan Berkelanjutan memberi kesempatan untuk 1) reformasi struktur dan sifat pendidikan dasar, 2) reorietansi program pendidikan yang ada saat ini, 3) mengembangkan kesadaran masyarakat akan arti pembangunan berkelanjutan, dan 4) membangun kapasitas dalam sistem pendidikan dan dengan mitra pendidikan untuk pembangunan keberlanjutan lainnya. Pendidikan Inklusif. Dalam pendidikan inklusi harus memperhatikan adanya 1) keadilan gender dan non-‐diskriminatif, melibatkan semua anak tanpa memandang perbedaan "mengubah sistem agar sesuai dengan anak”, 2) anak dan guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar (guru memiliki minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik), 3) menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran; menghargai perbedaan dan menstimulasi pembelajaran untuk semua anak, 4)
6
menerapkan pola hidup sehat; melindungi semua anak dari kekerasan, pelecehan dan penyiksaan, dan 5) peka budaya, meningkatkan partisipasi dan kerjasama. Metode dan Teknik Peningkatan dan Penguatan Kapasitas. Bertujuan mencapai komponen sekolah (anak dan dewasa) yang lebih berdaya agar dapat terlibat aktif dalam penyelenggaraan sekolah, merancang dan menentukan program pendidikan yang dinilai tepat berdasar kemampuannya sendiri. Peningkatan kapasitas diterapkan dalam bentuk pendidikan dan pendampingan teknis dalam berbagai tingkatan: individu, komunitas, dan kelembagaan/organisasi. Pada tingkat individu dan komunitas, strategi ini ditempuh melalui penyebarluasan pengurangan risiko bencana dalam bentuk kajian dan kampanye. Kepada anak dilaksanakan melalui kajian risiko bencana, pemutaran film, dan belajar sambil bermain di mana permainan edukatif yang menyenangkan sehingga anak betah dan menyerap pesan-‐pesan terkait PRB dan perubahan iklim. Bentuk-‐bentuk peningkatan kapasitas untuk kelompok dewasa antara lain adalah pelatihan teknis dalam penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau Rencana Strategis Sekolah dan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS), pengintegrasian PRB dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), silabus dan RPP, peraturan sekolah, anggaran sekolah dan pelatihan sekolah siaga bencana. Tujuannya adalah adanya kapasitas komponen sekolah tentang tentang ancaman, kerentanan dan kapasitas, serta risiko bencana sekolah yang kemudian mendorong munculnya kebijakan-‐kebijakan pengelolaan sekolah dengan mengarusutamakan PRB. Pada level kapasitas kelembagaan, strategi ini dilaksanakan melalui proses-‐proses fasilitasi pengelolaan organisasi, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang partisipatif dan berpusat pada anak, serta perluasan dan perkuatan hubungan kerja dengan sekolah dan/atau organisasi lain, serta pemerintah lokal. Pengkajian Risiko Bencana secara Partisipatif. Pengkajian sifat dan tingkat risiko bencana dilaksanakan melalui proses partisipatif, melibatkan seluruh unsur komunitas sekolah dan semua sumber keahlian yang ada. Model pengkajian ini meliputi: (1) persepsi komunitas sekolah atas risiko, (2) pemetaan ancaman, kerentanan, dan kapasitas, (3) identifikasi dan penilaian risiko, (4) pemetaan potensi sumberdaya, (5) mobilisasi sumberdaya, serta (6) analisis dan pelaporan bersama ke komunitas sekolah. Maka, komunitas sekolah itu sendiri diharapkan mampu menentukan sifat dan tingkat risiko masing-‐masing ancaman yang ada di wilayahnya dan menghasilkan gambaran menyeluruh dari semua ancaman dan risiko utama yang dihadapi komunitas sekolah. Pengintegrasian PRB dalam Kebijakan Sekolah. Upaya-‐upaya pengelolaan dan pengurangan risiko bencana berbasis sekolah diarahkan sebagai bagian terpadu dalam pengelolaan sekolah (RPS/Renstra Sekolah, RKAS, KTSP) dan kebijakan pendidikan sekolah di mana integrasi PRB dilakukan dalam setiap proses; perencanaan, pengelalaan, dan evaluasi. Pengintegrasian PRB dalam Kurikulum. Pendidikan PRB dengan menyampaikan materi-‐materi pembelajaran yang mengintegrasikan PRB yang sesuai dengan jenis ancaman bencana yang ada di sekolah. Pelatihan dan pendampingan pengintegrasian PRB kepada guru bertujuan agar guru memiliki kemampuan untuk menyusun silabus, RPP sampai bahan ajar yang mengandung PRB, mempunyai kemampuan dasar menyusun mulok PRB, atau menyusun pengembangan diri PRB. Dalam pelatihan guru juga dibekali mengenai peran guru sebagai fasilitator.
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
7
Keberlanjutan Program dan Pelembagaan. Fasilitasi dan intervensi program dilaksanakan dengan jaminan bahwa hasil-‐hasil proyek dapat berguna dan/atau dilanjutkan oleh komunitas sekolah setelah program berakhir. Strategi ini dijalankan dengan menerapkan prinsip-‐prinsip partisipasi sedini mungkin dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi, termasuk memobilisasi sumberdaya komunitas sekolah, serta mengintegrasikan kepentingan bagi keberlanjutan proyek dalam implementasi strategi pengembangan kapasitas. Pelembagaan diharapkan tercapai pada komunitas sekolah dengan upaya proyek untuk menciptakan prakondisi seperti (1) mendorong kebijakan sekolah yang kuat, (2) mendorong tatakelola sekolah yang baik, (3) mendorong upaya membangun kemitraan dan jejaring, serta (4) upaya-‐upaya untuk mengintegrasikan PRB menjadi bagian dari struktur yang biasanya telah mapan di komunitas sekolah. Maka, program ini memfasilitasi teknik, praktik, dan prosedur yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah, termasuk penyediaan personil yang berdedikasi, terlatih, dan kompeten. Kegiatan-‐Kegiatan a. Kajian-‐kajian. Kegiatan untuk (1) menemu-‐kenali risiko bencana sekolah, (2) masalah dan
potensi. Hasil dari kajian yang dilakukan merupakan data basis untuk kegiatan maupun penyusunan dokumen sekolah.
b. Workshop partisipatif. Metode workshop yang melibatkan perwakilan dari seluruh komponen komunitas sekolah untuk menghasilkan pemahaman bersama (mutual understanding), kesepakatan hasil, dan rencana kerja/kegiatan lanjutan.
c. Pembentukan Tim Siaga Sekolah. Tim yang bertugas dalam pengembangan dan pelaksanaan sekolah aman dan siaga bencana. Selain Kepala Sekolah dan Guru, tim ini juga beranggotakan masyarakat sekitar.
d. Pelatihan. Pelatihan untuk meningkatkan kapasitas komunitas sekolah guna mewujudkan sekolah aman dan siaga bencana. Kegiatan pelatihan dalam antara lain adalah (a) pengintegrasian PRB dalam kurikulum, (b) pengintegrasian PRB dalam kebijakan sekolah, (c) sekolah siaga bencana (kerangka konseptual sekolah siaga, pedoman penyelenggaranaan sekolah siaga, rencana kedaruratan sekolah, peta daerah aman dan peta jalur evakuasi, prosedur tetap simulasi evakuasi di sekolah dan rencana tindak lanjut simulasi), (d) dasar-‐dasar PPGD.
e. Diskusi Kelompok Terarah. Diskusi untuk mendapatkan masukan bagi pelaksanan dan pengembangan program secara lebih tajam. Diskusi kelompok dilakukan bersama kelompok anak dan kelompok dewasa.
f. Pendampingan. Kunjungan rutin untuk asistensi dan pendampingan ke Kepala Sekolah atau Guru dalam proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, evaluasi kegiatan maupun dokumen sekolah. 1. Pendampingan kelompok guru untuk mengembangkan pengintegrasian PRB ke dalam
kurikulum dan memastikan terlaksananya pendidikan PRB di sekolah masing-‐masing. 2. Pendampingan Kepala Sekolah dan Guru untuk mengembangkan pengintegrasian PRB ke
dalam Profil Risiko Bencana Sekolah, Rencana Pengembangan Sekolah, Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah dan Kalender Tahunan.
3. Pendampingan Tim Siaga Sekolah untuk peningkatan kapasitas mengembangkan Rencana Kedaruratan Bencana Sekolah dan mengujicobakannya.
8
4. Pendampingan anak-‐anak untuk memastikan partisipasi anak dalam upaya-‐upaya pengelolaan risiko bencana melalui aksi PRB dan Perubahan yang dilakukan oleh anak secara kelompok.
g. Praktik dan Ujicoba. Tindakan-‐tindakan implementatif, baik luar dan dalam ruang, dalam rangka kegiatan dan ujicoba.
h. Pengembangan Jejaring Sekolah. Pemanfaatan, pengembangan dan perkuatan jaringan komunitas yang sudah ada, baik komunitas maupun sekolah untuk mendukung dan terlibat dalam proses dan kegiatan program.
Partisipasi Penerima Manfaat Secara umum partisipasi penerima manfaat adalah pelibatan beneficieries dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program. Sekolah juga berkontribusi dalam menyediakan konsumsi dan fasilitas guna mendukung penyelenggaraan kegiatan-‐kegiatan.
Partisipasi dalam perencanaan meliputi kegiatan; pengembangan kerangka kerja sekolah, pembentukan tim sekolah, pengembangan tim kerja kurikulum dan penyusunan mini project anak.
Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan meliputi kegiatan; Analisis Risiko Bencana Partisipatif (anak & dewasa), pelatihan sekolah siaga, pelatihan untuk guru, pelaksanan mini project anak, dan Tim Inti Sekolah yang terdiri dari 3 Koordinator: 1) Koordinator Sekolah (Kepala Sekolah); 2) Koordinator Anak (Guru/Wali Kelas IV), dan 3) Koordinator POT (Dewan Sekolah). Ketiga koordinator ini merupakan key person dalam penyebarluasan informasi kegiatan dan PRBBS. UPTD dan Dikdas juga berpartisipasi dalam mendorong komitmen tim kerja kurikulum untuk melaksanakan pendidikan PRB dan sekolah aman dan siaga bencana di masing-‐masing sekolah.
Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi dilakukan melului kegiatan monitoring tengah proyek, baik itu dilakukan oleh pihak dewasa maupun anak-‐anak. Komitmen Dikdas Bantul untuk memonitor pelaksanaan pendidikan PRB yang dilakukan oleh tim kerja kurikulum masing-‐masing sekolah.
Monitoring dilakukan oleh internal Lingkar melalui pertemuan rutin mingguan untuk memastikan pelaksanaan, hasil dan keluaran program. Sedangkan evaluasi partisipatif dilakukan secara periodik di tengah dan akhir program. § Evaluasi Tengah Project. Dilakukan dengan keterlibatan aktif dari seluruh komponen penerima
manfaat (evaluasi tertulis) mulai dari anak-‐anak, tenaga kependidikan dan non kependidikan, perwakilan dewan sekolah (paguyuban orang tua) serta termasuk di dalamnya utusan/perwakilan dari masyarakat sekitar di antaranya adalah pihak pemerintahan lokal dusun/desa dan pihak UPTD.
§ Evaluasi Akhir Project. Evaluasi akhir project dilakukan internal Lingkar untuk melihat kekurangan dan kelebihan pelaksanaan serta capaian program.
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
9
TAHAPAN DAN KEGIATAN Dalam upaya mencapai hasil dengan pendekatan, prinsip, dan metodologi, pelaksanaan program SASB bisa digambarkan dalam 3 tahapan utama; yakni penyusunan baseline sekolah; inisiasi dan implementasi SASB; dan monitoring-‐evaluasi. 1. Baseline Sekolah Penyusunan baseline sekolah bertujuan untuk mengukur dan mendapatkan gambaran awal sekolah dalam beberapa aspek. Kajian cepat dilakukan secara partisipatoris dengan pelibatan warga sekolah (guru/non-‐guru dan anak) dan paguyuban orangtua siswa. Pengkajian awal meliputi 3 hal, yaitu (1) kesiapsiagaan bencana sekolah, (2) persepsi komunitas sekolah dan partisipasi anak dalam PRB; dan (3) riset aksi partisipatoris kebencanaan. (1) Kesiapsiagaan bencana sekolah. Kajian cepat ini untuk mendapatkan gambaran tentang kesiapsiagaan bencana sekolah. Survey dengan perangkat kuisioner yang diadaptasi dari risk reed dan sekolah ramah anak, kajian ini memotret tentang kondisi fisik sekolah umum, pengetahuan dan sikap PRB, kebijakan (manajemen sekolah), rencana tanggap darurat, sistem peringatan dini, mobilisasi sumber daya. Selain itu, analisis stakeholder dilakukan untuk memetakan siapa saja para pemangku kepentingan masing-‐masing sekolah. (2) Persepsi komunitas sekolah dan partisipasi anak dalam PRB. Kajian ini secara umum dilakukan untuk melihat bagaimana aspek knowledge, attitude, dan practice (KAP) tenaga pendidikan guru/non-‐guru dan komunitas dalam konteks partisipasi anak dalam pengurangan risiko bencana. Selain dengan responden orang dewasa, KAP anak atau melihat bagaimana tingkat pengetahuan, sikap dan praktik-‐praktik yang dimiliki anak-‐anak mengenai pengurangan risiko bencana. Secara umum, KAP ini dilakukan dengan metode survey angket dan diskusi kelompok terarah, ketiga aspek tersebut diukur untuk melihat gap yang ada. (3) Riset aksi partisipatoris kebencanaan. Berupa penilaian atau kajian ancaman, kerentanan, kapasitas dan risiko bencana sekolah. Kajian ini dilakukan bersama warga sekolah (siswa, guru, non guru, komite sekolah, paguyuban orang tua) di tiap-‐tiap sekolah. Dari proses ini ditemu-‐kenali bahwa ancaman dan risiko tertinggi masing-‐masing sekolah adalah sebagai berikut;
10
TABEL DAFTAR PARTISIPAN PROGRAM SEKOLAH AMAN DAN SIAGA BENCANA – BANTUL
No Sekolah Ancaman 1 SD Brajan Gempa Bumi, Banjir 2 SD Cepokojajar Gempa Bumi, Banjir 3 SD Payak Gempa Bumi, Angin Puting Beliung 4 SD Muh Pandes Gempa Bumi, Angin Puting Beliung 5 MIN Jejeran Gempa Bumi, Banjir 6 SD Putren Gempa Bumi, Banjir
2. Inisiasi dan Implementasi SASB Pengembangan sekolah yang utama adalah sebagai berikut; (1) Pengembangan Tim Inti Sekolah. Ini adalah pengembangan warga sekolah dalam kerja-‐kerja pengurangan risiko bencana sekolah (SASB), seperti dalam pengembangan kurikulum, tim siaga sekolah, dan lainnya. Kegiatan untuk menyusun dan menghasilkan kesepakatan bersama tentang kerangka kerja partisipatif program dan focal point di masing-‐masing sekolah yang terdiri dari Koordinator Sekolah, dan focal point-‐focal point tematik (kajian risiko, kurikulum, partisipasi dam kegiatan anak, komite sekolah, dan rencana kedaruratan). Masing-‐masing focal point berperan untuk mengkoordinasikan kegiatan-‐kegiatan program. Tim ini secara penuh terlibat dalam merencanakan, mengujicobakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi implementasi program. (2) Pengembangan Kurikulum Sekolah. Yakni pengembangan kurikulum sekolah yang mengintegrasikan pengurangan risiko bencana. Dilaksanakan berupa pelatihan dan pendampingan. Peningkatan kapasitas dengan pelatihan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum dilaksanakan dengan melibatkan Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul sehingga para guru mendapat gambaran dan strategi yang sesuai dengan aturan kedinasan. Pendampingan dilakukan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Penyusunan RPP dilaksanakan langsung oleh guru kelas dengan menyesuaikan silabus yang telah ada atau yang sudah dipakai di sekolah tersebut. Dengan jenis ancaman bencana yang didasarkan hasil kajian risiko bencana di masing-‐masing sekolah, para guru menentukan indikator perilaku upaya pengurangan risiko bencana. Indikator perilaku PRB tersebut kemudian dianalisis kesesuaiannya dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) di Silabus. Begitu hingga terintegrasi dalam RPP. (3) Inisiasi Sekolah Aman dan Siaga Bencana. Inisisiasi ini berhulu pada apa yang dihasilkan dari kajian risiko sekolah yang dilakukan oleh anak maupun dewasa. Kegiatan utama yang dilakukan dalam inisiasi ini antara lain adalah, pelatihan sekolah siaga bencana, penyusunan rencana kedaruratan sekolah, gladi posko, ujicoba/simulasi dan evaluasi, dan perbaikan dokumen, serta pengesahan kebijakan simulasi rutin sekolah. Dari serangkaian kegiatan ini warga sekolah, selain diharapkan mampu memahami kerangka konseptual SASB juga mampu mempraktikkannya. Kegiatan pelatihan SASB dilaksanakan guna meningkatkan kapasitas warga sekolah dewasa (guru, non guru, komite sekolah dan paguyuban orangtua) mengenai praktik-‐praktik dan pengembangan sekolah siaga. Materi umum yang disampaikan adalah Kerangka Konseptual Sekolah Siaga, Pedoman Penyelenggaranaan Sekolah Siaga, Rencana Kedaruratan Sekolah, Peta Daerah Aman dan Peta Jalur
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
11
Evakuasi, Prosedur Tetap Simulasi Evakuasi di sekolah, dan Rencana Tindak Lanjut untuk Penyusunan Dokumen Utama Sekolah Siaga Bencana. Dalam penyusunan dokumen utama sekolah siaga bencana atau dokumen rencana kedaruratan, hal awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi kebutuhan dan kapasitas sekolah dalam rangka penyelenggaraan sekolah aman dan siaga bencana. Dari workshop yang dilakukan menghasilkan 4 (empat) hal, yaitu (a) menggalang komitmen warga sekolah dalam penanganan kejadian darurat di sekolah; (b) menyepakati penyusunan skenario; (c) alur kegiatan respon (SOP sebelum, sesaat, dan sesudah kejadian bencana); (d) dan sumber daya yang dibutuhkan yaitu sarana, prasarana, dan sumberdaya manusia yang kemudian disebut sebagai Tim Siaga Sekolah. Diskusi-‐diskusi intensif dilakukan untuk beberapa tujuan khusus, seperti memvalidasi draf penyusunan rencana kedaruratan, penyusunan isi bab pendahaluan dan penutup, memvalidasi jalur evakuasi, menganalisis kebutuhan sumber daya pendukung, merencanakan tahapan uji materi/simulasi, pelatihan PPGD, pemasangan denah dan rambu evakuasi, gladi posko, uji materi/simulasi dan evaluasi, pengesahan kebijakan sekolah dalam rencana kedaruratan dan simulasi. 3. Implementasi SSB dan PRB berpusat pada anak dan sesuai dengan konteks lokal dalam Perencanaan Sekolah Dari analisis kebijakan yang dilakukan diketemukan bahwa tidak semua mitra sekolah memiliki dokumen Rencana Strategis Sekolah atau Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Umumnya sekolah hanya memiliki dokumen rencana kerja tahunan yaitu Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS). Dari temuan tersebut maka intervensi untuk mendorong adanya dokumen rencana manajemen sekolah menjadi penting. Melalui pendekatan informal ke Kepala Sekolah dan advokasi ke UPT-‐PPD tiap wilayah kecamatan, disepakati dilaksanakannya sebuah workshop terkait dengan RPS dan integrasi PRB ke dalam RPS. Workshop dilaksanakan di 2 wilayah UPT-‐PPD; yakni UPT-‐PPD Kecamatan Piyungan dan UPT-‐PPD Kecamatan Pleret. Selain untuk pemahaman tentang pentingnya dokumen RPS dan bagaimana penyusunannya, workshop ini memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas warga sekolah dalam mengintegrasikan PRB ke dalam RPS atau kebijakan sekolah lainnya. Selain kegiatan ini juga melibatkan stakeholder sekolah yaitu pihak UPT-‐PPD kecamatan Piyungan dan Pleret, Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul, dan Forum PRB Desa. Narasumber utama kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul, yang merupakan Fasilitator Pendidikan PRB Nasional. Dari narasumber tersebut, peserta memahami tentang bagaimana strategi dan peluang pengintegrasian PRB dalam RPS. Dalam workshop ini peserta juga mengidentifikasi atau memetakan pengintegrasian PRB ke dalam RPS sekolah masing-‐masing. Hasil dari pemetaan tersebut menjadi acuan untuk proses penyusunan RPS bagi yang belum memiliki RPS dan/atau merevisi RPS. Pemetaan yang sudah dilakukan ini kemudian menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan RPS. Untuk itu, pendampingan dilakukan untuk memastikan kesepakatan workshop dapat diterjemahkan. Pelibatan pengawas sekolah dan UPT-‐PPD juga menjadi penting dalam proses dan pendampingan penyusunan perencanaan sekolah masing-‐masing sekolah.
12
4. Pengembangan Jejaring dan Advokasi pada Pemerintah Kabupaten Bantul dan Provinsi DIY Dilakukan dengan mendorong adanya proses bagi tukar pengalaman praktik pengembangan SASB di masing-‐masing gugus sekolah maupun jaringan tim kerja kurikulum. Media pertemuan rutin gugus dan tingkat UPT-‐PPD cukup efektif dalam persebaran ‘virus’ PRB di sekolah lain. Selain, program ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana kebijakan pemerintah kabupaten Bantul dalam hal ini Dinas Pendidikan Dasar Kab Bantul terkait dengan PRB dan apa saja program sekolah yang patut didukung oleh dinas. Dari proses ini, sekolah kini dalam mengimplementasikan PRB menjadi ‘lebih percaya diri’. 5. Pengembangan model service learning berbasis partisipasi anak bertema "PRB dan Perubahan Iklim” Hasil penilaian cepat tentang pengetahuan, sikap dan praktik-‐praktik tentang pengurangan risiko bencana memberikan gambaran awal bahwasanya siswa sudah ada memiliki pengetahuan, sikap dan praktik-‐praktik mengenai pengurangan risiko bencana. Siswa memiliki kapasitas untuk berpartisipasi dalam kerja-‐kerja PRB. Selain itu, dari analisis risiko bencana sekolah oleh siswa, mereka bisa mengidentifikasi ancaman yang sama dengan ancaman yang teridentifikasi dalam analisis risiko bencana oleh kelompok dewasa. Dan kedua baseline inilah basis pengembangan model. Dalam rangka mengembangkan model service learning ini, program ini melaksanakan 3 kegiatan, yaitu (1) pengembangan kapasitas kelompok anak tentang isu perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana dan (2) fasilitasi mini project aksi PRB/climate adaptation, dan (3) fasilitasi rencana aksi siswa untuk kampanye PRB. Pengembangan kapasitas siswa dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan sederhana sehingga harapannya materi yang disampaikan akan mudah diserap dan relatif tidak membosankan. Materi tersebut mencakup pengetahuan tentang kebencanaan, tindakan-‐tindakan kesiapsiagaan (pengurangan risiko bencana) yang bisa dilakukan, dan tentang perubahan iklim. Dengan menggunakan media film maupun permainan yang Kegiatan ini dilakukan sesudah jam sekolah. Fasilitasi partisipasi siswa dalam usaha pengurangan risiko bencana di sekolahnya dilaksanakan melalui pelaksanaan proyek kecil anak. Dari hasil analisis sederhana tentang risiko bencana sekolah tersebut, siswa memilih, merencanakan dan melaksanakannya. Berikut adalah bentuk mini proyek siswa dalam pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim: No Nama Sekolah Tema Proyek Kecil Anak 1 SD Payak 1. Kampanye PRB Melalui Media Poster
2. Pembuatan Peta Tempat Aman Sekolah 2 SD Cepokojajar 1. Kampanye Tas Siaga
2. Kelompok Hansip Sampah 3 SD Putren 1. Kampanye Tas Siaga
2. Media Informasi 3. Kelompok Perkusi Bencana
4 SD Brajan 1. Kampanye Tas Siaga 2. Pembuatan Peta Tempat Aman Sekolah
5 MIN Jejeran 1. Kampanye Pengurangan Risiko Bencana dengan Media Poster 2. Pembuatan Peta Tempat Aman Sekolah
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
13
No Nama Sekolah Tema Proyek Kecil Anak 6 SD Muh. Pandes 1. Kampanye Pengurangan Risiko Bencana dengan Media Poster
2. Penanaman Pohon 3. Pembuatan Peta Evakuasi dan Peta Tempat Aman
Dalam rencana aksi siswa untuk kampanye PRB, program ini memfasilitasi gagasan kampanye siswa melalui media wayang kertas. Dalam proses ini, siswa dibekali dengan keterampilan membuat dan memainkan wayang kertas. Media ini dipilih karena sederhana, mudah dipahami dan menarik. Selain itu, penggunaan media ini juga sekaligus berfungsi mempromosikan gaya hidup hijau dengan menunjukkan bahwa barang bekas masih bisa dimanfaatkan untuk hal-‐hal yang berguna. 6. Pengembangan model pendidikan sebaya anak dalam perubahan iklim dan PRB Yaitu berupa pengembangan, perancangan dan penyusunan paket modul pendidikan sebaya anak (Modul Untuk Kader Anak). Materi dasar dalam penyusunan modul ini bersumber dari kegiatan-‐kegiatan bersama anak. Membutuhkan kejelian dan kemampuan identifikasi dari fasilitator untuk menangkap hal-‐hal kritis yang khas dari anak/siswa dalam proses menyampaikan, menerima, maupun merespon informasi yang siswa dapatkan. Ini menjadi hal utama karena modul ini ditujukan sebagai panduan anak ketika mereka menjadi fasilitator bagi anak yang lain. Diskusi kelompok terarah bertujuan untuk mendapatkan ide dan masukan dari siswa mengenai ’desain’ modul sebaya anak. Selai untuk menggali pendapat mereka mengenai metode dan konten yang tepat dalam penyebaran pengurangan risiko bencana antar siswa, diskusi ini juga untuk mengujicobakan draf materi modul yang disusun. 7. Monitoring dan evaluasi program Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memastikan pelaksanaan strategi, metode dan kegiatan yang telah perencanaan dan menilai/mengukur kinerja, proses, hasil dan keluarannya. Selain internal dan external secara periodik, program ini mengembangan perangkat evaluasi level partisipasi anak.
14
HASIL PROGRAM Meski tetap dengan beberapa catatan, secara umum program ini telah berhasil mencapai outputnya. Dengan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan siswa/anak, sekolah telah memiliki rencana pengelolaan risiko bencana sekolah, baik dalam kebijakan pengembangan sekolah maupun dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, dan sekolah juga telah mengujicobakan perangkat-‐perangkat kesiapsiagaannya.
Warga sekolah telah mengidentifikasi risiko bencana sekolah dan telah memiliki kapasitas dan pengetahuan PRB dan perubahan iklim. Anak mengenal dan mampu mengidentifikasi ancaman bencana yang ada di sekolah masing-‐masing dan mampu mengidentifikasi pilihan tindakan. Program ini juga telah memfasilitasi siswa dalam mengimplementasikan upaya mitigasi dan pengurangan risiko bencana serta adaptasi perubahan iklim di sekolah masing-‐masing. Dan validasi orang dewasa (staf kependidikan dan komite/dewan sekolah/paguyuban orangtua siswa) yang hasil ancamannya sama dengan yang diidentifikasi oleh anak, merupakan petunjuk tentang kemampuan siswa dalam menemu-‐kenali ancaman bencana di sekolah.
Selain pengetahuan, kemampuan, dan kapasitas; sekolah, khususnya Kepala Sekolah dan para Staf Kependidikan, juga telah memahami tentang bagaimana kerangka kebijakan nasional dan daerah terkait dengan implementasi PRB di sekolah; yakni UU PB No 24 Tahun 2007, Surat Edaran Mendiknas No. 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke Dalam Kurkulum, Surat Edaran Pemerintah Kabupaten Bantul No. 360/0144 tentang Kegiatan PRB di Sekolah, Rencana Penanggulangan Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagainya.
Dalam ranah kelembagaan, para sekolah mitra juga telah menindaklanjuti potret risiko bencana dengan perancangan rencana pengelolaan risiko bencana, baik dalam kerangka kebijakan, mitigasi bencana, proses belajar mengajar, hingga mobilisasi sumberdaya yang dimiliki. Sekolah telah mengintegrasikan PRB dalam dokumen kebijakan/panduan manajerial sekolah jangka panjang dan pendek yaitu dalam Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau Renstra sekolah, Dokumen KTSP, Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah, Kalender Tahunan Sekolah, program serta kegiatan sekolah.
Kebijakan kurikulum (KTSP) pun telah mampu diterjemahkan oleh para tenaga kependidikan dengan kemampuan mereka dalam menyusun dan mengembangkan perangkat pembelajaran (Silabus dan RPP) dalam mata pelajaran tertentu yang mengintegrasikan PRB yang sesuai dengan jenis bencana di
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
15
sekolah. Sekolah juga telah menyusun dan melaksanakan serta mengevaluasi dokumen utama kesiapsiagaan sekolah, yaitu rencana kedaruratan sekolah. Dokumen yang menjadi panduan teknis sekolah pada saat darurat di mana segala sesuatunya telah disepakati dan ditetapkan bersama, seperti bagaimana peringatan dini, SOP evakuasi dan penyerahan siswa ke orangtua, perhitungan kerugian, dan juga sumberdaya lain yang dimiliki. Dan yang penting lagi adalah para tenaga kependidikan telah berhasil mengujucobakan, mengevaluasi, dan mengidentifikasi kekurangan untuk merevisi rencana tersebut. Untuk memastikan rencana tersebut terintegrasi dalam rencana pengembangan sekolah, Kepala Sekolah juga telah mengeluarkan surat keputusan dan menetapkan simulasi/ujicoba sebagai program/kegiatan sekolah. Jangka pendek keberlanjutan yang akan dilakukan sekolah adalah melengkapi sarana, prasarana, dan sumberdaya yang mendukung kesiapsiagaan sekolah; salahsatunya adalah pelatihan PPGD.
Sekolah juga telah membuka ruang-‐ruang partisipasi, ekspresi dan artikulasi anak/siswa. Merekalah yang tahu tentang kepentingan dan kebutuhan mereka. Namun acapkali ruang-‐ruang itu terabaikan. Anak/siswa dipandang tidak memiliki kemampuan dan kapasitas. Alhasil, mereka seringkali tidak dimintakan pendapatnya. Akibat dari kurang terbukanya ruang bagi anak itu mengkondisikan perasaan takut berpendapat dan menyampaikan usul oleh anak. Dan program ini mencoba membuka ruang tersebut. Anak didorong untuk berani menyampaikan dan juga mendorong pihak sekolah untuk juga mendengarkan anak. Dalam fasilitasi kegiatan PRB oleh anak tergambar bagaimana masih kakunya sinergisitas kerjasama orang dewasa dan anak. Namun paling tidak kita masih bisa optimis bahwa ke depan akan lebih baik, tentu saja melalui proses mereka yang lebih intensif ke depan.
Hasil tambahan dari pelaksanaan program ini adalah mulai tercipta dan terbukanya ruang sinergi dan kolaborasi para stakeholder dalam praktik-‐praktik PRB di sekolah. UPT-‐PPD, dalam hal ini Pengawas Sekolah, merasa berkompeten untuk mengagendakan PRB sebagai salahsatu poin pengawasan, terlibat dalam kegiatan-‐kegiatan PRB sekolah, dan mendorong persebaran informasi pentingnya PRB ke sekolah-‐sekolah lain dalam wilayahnya. Forum PRB Desa kini memahami pentingnya mempertimbangkan dan melibatkan sekolah dalam kegiatan PRB desa dan begitu pula sebaliknya. Selain itu, inisiatif aparat Polsek Pleret untuk terlibat dalam kegiatan simulasi bencana di sekolah.
Dampak Program Program ini memberikan dampak tidak saja bagi warga sekolah, tapi juga bagi pelbagai pihak yang berkepentingan dalam komunitas sekolah. Komunitas desa, misalnya, kesiapsiagaan bencana sekolah berinisiatif dan antusias dalam kegiatan pengembangan kesiapsiagaan di sekolah dan merasa perlu mensinergikan kesiapsiagaan yang ada di tingkat desa.
Dampak program bagi siswa anak dapat terbaca dari bagaimana (1) mereka dapat mengekspresikan pengetahuan, ide dan gagasan terkait dengan pengurangan risiko bencana kepada teman sebaya, keluarga, guru, dan masyarakat, (2) mulai memiliki perhatian terhadap informasi ancaman atau kejadian bencana yang terjadi di luar lingkungan sekolah dan tempat tinggalnya dan (3) tumbuhnya keingintahuan tentang kejadian dan kondisi bencana di luar sekolah dan tempat tinggalnya. Sedangkan dampak progam bagi tenaga kependidikan (termasuk Kepala Sekolah) antara lain adalah; terbangunnya pemahaman dan kesadaran sekolah bahwasanya implementasi PRBBS/SASB tidak membutuhkan anggaran/biaya mahal; mulai terbukanya ruang partisipasi keterlibatan kelompok
16
perempuan secara imbang dalam pertemuan-‐pertemuan di sekolah sebagai bentuk strategi pengarusutamaan gender dalam siklus program, sekolah sudah mampu melaksanakan praktik2 PRB secara mandiri (simulasi); sekolah menangkap bahwa Program SASB/PRBBS bisa meningkatkan lomba sekolah; dan kemampuan kepala sekolah dan guru dalam mendiseminasikan ke sekolah lain
Selain itu, sekolah-‐sekolah tingkat dasar lain dalam wilayah UPT-‐PPD kecamatan juga (1) berkeinginan untuk mereplikasi pengembangan SASB di mana sekolah mitra sebagai narasumber; (2) terdiseminasikannya pengalaman oleh 6 sekolah mitra tentang pelaksanaan pengembangan sekolah aman dan siaga bencana ke 36 kepala sekolah tingkat dasar lain di wilayah UPT-‐PPD Kecamatan Piyungan dan Pleret terkait dengan tidak mahalnya dan bahkan tidak berbiaya untuk mengimplementasikan PRBBS/SASB, strategi integrasi dalam kebijakan dan perangkat pembalajaran, dan peluang-‐peluang taktis dan strategis dalam upaya pengembangan sekolah.
Bahan serta materi informasi (pengetahuan) dan praktik-‐praktik sekolah aman dan siaga bencana juga telah terdiseminasi kepada lingkungan masyarakat sekitar sekolah. Anak-‐anak, selain, melaksanakan upaya-‐upaya PRB yang sesuai dengan ide-‐gagasan mereka sendiri di lingkungan sekolah, juga merasa perlu menyampaikan kepada masyarakat sekitar sekolah misalnya pemasangan peta evakuasi dan tempat aman di luar sekolah. Dan kini orangtua/wali siswa merasa tenang (ayem—Bahasa Jawa) karena sekolah telah yang menerapkan prinsip-‐prinsip PRB. Dalam program ini pula mulai tercipta ruang keterbukaan dan pengertian komunitas sekolah tentang peran anak-‐anak sebagai aktor penting dalam praktik-‐praktik pengurangan risiko bencana di tingkat komunitas dan masyarakat desa setempat di mana pihak sekolah mendukung pelaksanaan upaya PRB oleh anak melalui mini proyek. Selain itu, pihak Muspika tertarik untuk terlibat dalam kegiatan simulasi di sekolah.
Dampak program bagi pemerintah di tingkat dusun, desa, kecamatan maupun kabupaten. Di tingkat dusun, desa, dan kecamatan dapat dibaca dari adanya dukungan terhadap upaya perwujudan Sekolah Aman dan Siaga Bencana sebagai bagian dan komponen penting dalam pengurangan risiko bencana di masyarakat dengan partisipasi dalam menghadiri kegiatan-‐kegiatan, seperti kajian HVCA dewasa, penyusunan rencana kedaruratan, pelatihan sekolah siaga, simulasi dan sebagainya. Sedangkan bagi pemerintah di tingkat kabupaten adalah (1) program ini membuka ruang bagi Pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul, untuk menegaskan kembali mengenai kebijakan pelaksanaan integrasi pendidikan PRB di kurikulum dan pelaksanaan simulasi periodik di sekolah, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran No. 360/0144. Dalam beberapa kegiatan, Drs. H Sahari (Kepala Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul), Slamet (Kabid Sekolah Dasar), Partini, M.Pd., dan Dra. Subiyati, menyampaikan harapannya bahwa sekolah merespon adanya stimulan program PRBBS dan implementasi pendidikan RRB dalam kegiatan sekolah, serta menyatakan komitmen Dinas Pendidikan Dasar untuk memonitor capaian program; (2) adanya inisiatif Pengawas Sekolah UPT-‐PPD Pleret, Ibu Muslimah, S.Pd., untuk memonitoring dan evaluasi pelaksanaan PRBBS pasca program; (3) pemahaman UPT-‐PPD Kecamatan Piyungan dan Pleret tentang implementasi SASB dan kerangka kebijakan nasional dan daerah terkait pengurangan risiko bencana di sekolah.
Terakhir, dampak program bagi stakeholder lain, baik individu, kelompok maupun institusi, yang bukan merupakan penerima manfaat program adalah; (1) Didiseminasikannya pengalaman dan konsep tentang Sekolah Aman dan Siaga Bencana dari sekolah mitra kepada sekolah-‐sekolah lain yang satu gugus, yaitu SD Putren dan SD Brajan, yang tergabung dalam satu gugus, menyampaikan
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
17
secara informal tentang pelaksanaan program pengurangan risiko bencana berbasis sekolah yang dilakukan di sekolah mereka dalam pertemuan rutin mingguan gugus. Demikian pula dengan sekolah-‐sekolah yang lain; (2) terbagi-‐tukar-‐nya pengalaman implementasi pengurangan risiko bencana berbasis sekolah antara sekolah mitra Lingkar dengan sekolah mitra Plan Indonesia (2 orang guru dan 9 orang anak), yaitu SD Cepokojajar dengan SD Pariaman, Padang, Sumatera Barat; (3) terdistribusikannya materi-‐materi kegiatan dan hasil-‐hasil pelatihan (pelatihan sekolah siaga dan pelatihan guru) kepada guru sekolah lain oleh inisiatif guru dari sekolah mitra; dan (4) adanya peliputan media massa lokal dan nasional (cetak, online, dan televisi).
Keberlanjutan Program Program ini mempunyai 3 capaian utama, yaitu meningkatnya kapasitas sekolah dalam praktik-‐praktik Sekolah Aman dan Siaga Bencana dan pengurangan risiko bencana yang berpusat pada anak dan sesuai dengan konteks lokal, meningkatnya partisipasi siswa dalam aksi pengurangan risiko bencana di sekolah, dan terdokumentasinya pembelajaran melalui evaluasi dan monitoring. Untuk menjamin keberlanjutannya pasca-‐program, program ini menerapkan prinsip-‐prinsip partisipasi dalam melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan-‐kegiatan. Tingkat partisipasi yang tinggi merupakan jaminan adanya rasa memiliki (ownership) dari pihak sekolah atas program ini. Selain itu, implementasi program ini juga berlandaskan keswadayaan sekolah di mana sekolah juga kontribusi sekolah juga besar dalam pembiayaan kegiatan-‐kegiatan. Dan untuk memastikan capaian-‐capaian tetap dilaksanakan pasca program selesai, Lingkar masih tetap akan menjalin hubungan dan melakukan kunjungan ke sekolah dengan mendorong dan mengawal kerja-‐kerja tim-‐tim yang sudah terbentuk.
Secara spesifik, strategi-‐strategi yang telah dilakukan untuk menjamin keberlanjutan program adalah:
1. Partisipasi di semua kegiatan dan meminimalkan input intervensi. Partisipasi aktif di setiap level kegiatan memungkinkan anak dan semua komponen sekolah merasa memiliki terhadap seluruh bagian kegiatan sehingga memahami alur keseluruhan kegiatan. Dengan merasa memiliki dan menjadi bagian dari program, akan lebih menjamin keberlanjutan kegiatan-‐kegiatan yang ada menjadi kebutuhan mereka.
2. Peningkatan kapasitas penerima manfaat. Dengan adanya peningkatan kapasitas, penerima manfaat (dinas pendidikan, guru, siswa) bisa mempraktikkan secara mandiri apa yang sudah didapat dan dipahami dari pelaksanaan program ini sehingga bisa melanjutkan apa yang telah dicapai dalam program ini.
3. Integrasi PRB dalam perangkat pembelajaran. Program ini memfasilitasi pengembangan perangkat pembelajaran (Silabus dan RPP) yang mengintegrasikan PRB sehingga praktik pendidikan PRB akan senantiasa dilakukan secara rutin dalam kegiatan belajar-‐mengajar.
4. Integrasi kegiatan PRB dalam kegiatan ekstrakurikuler. Mendorong terlembagakannya PRB ke dalam kegiatan-‐kegiatan, seperti Dokter Kecil dan Hadroh Sekolah dengan lagu-‐lagu PRB.
5. Media belajar/rujukan. Program ini memproduksi berbagai modul dan media belajar yang bisa digunakan untuk mereplikasi kegiatan-‐kegiatan serupa di kemudian hari.
6. Integrasi PRB dalam kebijakan sekolah. Program ini memfasilitasi pengarusutamaan PRB dan konsep Sekolah Aman dan Siaga Bencana ke dalam dokumen kebijakan dan perencanaan manajemen sekolah, seperti rencana pengembangan sekolah (RPS), rencana strategis sekolah, visi/misi sekolah, RKAS, KTSP, surat keputusan kepala sekolah tentang rencana kedaruratan
18
sekolah, dan lainnya. Hal ini juga untuk menjamin adanya alokasi program, kegiatan, maupun sumberdaya yang mendorong dan mendukung usaha-‐usaha PRB di sekolah.
7. Advokasi. Dukungan pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan, sangatlah penting untuk keberlanjutan program ini dan program-‐program serupa lainnya. Selain kerjasama dengan dinas pendidikan yang diwujudkan dengan membuka ruang dialektis untuk pihak dinas pendidikan, Lingkar juga menjalin aliansi/kerjasama dengan lembaga-‐lembaga lain yang bergerak di bidang serupa, seperti PMI, Pemerintah Desa, dan Forum PRB Desa, serta berkoordinasi secara aktif dengan Forum PRB Provinsi DIY.
8. Pemanfaatan jaringan peers yang ada. Replikasi program dan penyebaran pengetahuan kepada guru/sekolah yang lain juga dilakukan dengan memanfaatkan jaringan yang sudah ada seperti jaringan sekolah se-‐UPT-‐PPD kecamatan, MGMP, dan lainnya.
9. Peningkatan pemahaman program untuk Pengawas Sekolah. Pengawas sekolah merupakan ‘klik’ strategis dalam rangka memonitor pelaksanaan SASB pasca program. Untuk itu, komunikasi kepada pengawas sekolah untuk memberikan asupan pemahaman tentang program menjadi sangat relevan.
10. Membangun koalisi SBDRR (School Based DRR). Kunci dari kemandirian keberlanjutan program ini adalah bagaimana masing-‐masing sekolah bisa saling berhubungan satu dengan yang lain. Dengan adanya koalisi, komunitas sekolah akan mampu tetap eksis daripada bergerak secara sendiri-‐sendiri. Koalisi juga akan menarik perhatian para pihak, misalnya pers untuk publik ekspose dan lebih strategis lagi akan mampu mendorong kebijakan pemerintah. Embrio dari koalisi ini sudah mulai muncul terutama karena lokasi yang berdekatan; SD 1 Cepokojajar dengan SD Payak, SD Brajan dengan SD Putren dan SD Muhammadiyah Pandes dengan MIN Jejeran. Selain itu, ruang komunikasi yang ada di tingkat UPT-‐PPD juga dimaksimalkan untuk membuka ruang diskusi dan bagi-‐tukar informasi antar-‐sekolah. Dan dalam hal tersebut, program ini membuka dan mendorong UPT-‐PPD kecamatan untuk dapat berperan.
HAMBATAN DAN PEMECAHAN SERTA TANTANGAN PROGRAM Dalam proses pelaksanaannya, Lingkar mengidentifikasi beberapa hambatan baik secara internal maupun eksternal atau dengan kata lain baik dari sekolah maupun tim pelaksana. Karakteristik, kondisi, dan motivasi sekolah yang berbeda dalam merespon rencana dan implementasi program yang juga disokong dengan berbedanya peran dan inisiatif Kepala Sekolah untuk mendorong terlibat dan mendorong keterlibatan aktif stafnya dalam kegiatan program.
Berbeda hal apabila dengan program populer, misalnya program sekolah sehat, sekolah unggulan (lomba gugus), sekolah adiwiyata, dsb. Sekolah lebih memprioritaskan program seperti ini. Apalagi dukungan nyata dari dinas ataupun pemerintah. Sekolah lebih menyukai program/kegiatan yang berorientasi untuk meningkatkan image dan prestise sekolah, sehingga kurang memperhatikan pentingnya kegiatan pengurangan risiko bencana
Dari sisi para guru antara lain adalah besarnya anggapan bahwa program akan berkonsekuensi pada penambahan pekerjaan bagi guru menimbulkan sikap resisten dan acuh. Dalam pengembangan kurikulum, sudah menjadi kebiasaan para guru dengan menggunakan RPP yang sama dari tahun-‐tahun sebelumnya atau keengganan guru untuk mengembangkan.
Selain itu, banyaknya kegiatan/pertemuan yang melibatkan banyak pihak membutuhkan proses koordinasi yang panjang.
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
19
Dalam konteks manajemen program, tahapan perencanaan masih dirasa lemah. Akibatnya, waktu pelaksanaan acapkali ‘bertabrakan’ dengan jadwal akademik/ujian sekolah. Dengan kata lain, dengan keterbatasan waktu pelaksanaan program dan dengan padatnya kegiatan internal sekolah itu sendiri maka target program tidaklah cukup jika dibandingkan dengan kuantitas dan kulaitas pencapaian serta intervensi yang dibutuhkan
Disamping itu, pengarsipan atau dokumentasi proses dan hasil kegiatan sebelumnya. Kelemahan monitoring pelaksanaan program berakibat lemahnya koordinasi dan komunikasi internal tim pelaksana program.
Dari hambatan-‐hambatan yang ada tersebut pelbagai pemecahan masalah telah disepakati sebagai solusi alternatif yang ditempuh guna menyikapi tantangan dan hambatan yang teridentifikasi selama pelaksanaan program. Pertama, dalam kegiatan-‐kegiatan pelatihan, seperti Analisis Risiko Bencana Partisipatif anak-‐anak dan orang dewasa, koordinasi dilakukan langsung kepada Kepala Sekolah dalam menentukan jadwal kegiatan di luar jam pelajaran/proses belajar-‐mengajar di masing-‐masing sekolah mitra. Ini untuk mendorong agar semua guru dapat selalu aktif mengikuti kegiatan. Selama ini partisipasi guru lebih banyak diwakilkan kepada guru-‐guru muda.
Kepala Sekolah kemudian memutuskan dan ‘memerintahkan’ agar tenaga kependidikan (guru) dan non kependidikan (karyawan, selain penjaga sekolah) mengikuti kegiatan adalah orang yang sama dari masing-‐masing sekolah. Dengan partisipasi penuh dari para guru, memungkin atau menjadi jaminan adanya penyerapan materi pengetahuan kebencanaan yang nanti digunakan dalam penyusunan RPP pada mata pelajaran tertentu (seperti IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Penjaskes, dsb).
Kedua, koordinasi kepada pihak sekolah dalam monitoring internal yang kemudian menyepakati adanya akselerasi untuk mengejar ketertinggalan dalam pelaksanaan kegiatan yang tertunda/digantikan sebab benturan jadwal ujian/ulangan umum, UAN, dan liburan sekolah (awal masa puasa, Idul Fitri, dsbnya). Ketiga, membangun kesepakatan bersama dengan sekolah untuk pembentukan dan penunjukan guru-‐guru sebagai focal point sekolah dalam kegitaan atau tema tertentu. Keempat, memutuskan adanya akselerasi kegiatan rutin mingguan tiap sekolah dengan kunjungan serempak ke sekolah untuk memimalisir terlalu banyak kegiatan sekolah. Kelima adalah dengan menerapkan buddy system dalam setiap kunjungan sekolah.
Solusi keenam adalah mengefektifkan koordinasi mingguan dengan tambahan agenda diskusi tematik output. Ini untuk melihat relasi tema/output/kegiatan dengan tema/output/kegiatan yang lain.
Dari identifikasi hambatan dan penyelesaian masalah atas hambatan tersebut, namun bukan berarti bahwa hingga berakhirnya pelaksanaannya, program ini tidak menyisakan ‘pekerjaan rumah’. Artinya hal-‐hal yang masih mungkin menjadi permasalahan atau hambatan dalam melaksanakan program serupa. Berikut adalah beberapa catatan yang bisa menjadi pertimbangan pemikiran dan pemecahan ke depan;
1. Pelembagaan isu-‐isu kebencanaan dan/atau pengelolaan risiko bencana berbasis sekolah/PRBBS sesuai dengan konteks sekolah setempat. Pekerjaan ini membutuhkan lebih dari sekadar kemauan untuk mendampingi dan mengawal proses implementasi program dengan sungguh-‐sungguh. Asumsi bahwa pasca program, sekolah telah dapat siap apabila ada bencana terjadi di masa mendatang merupakan menjadi tantangan besar.
20
2. Tanggung jawab dalam mengupayakan tumbuh-‐kembang anak yang baik, yang dilakukan oleh semua pihak keluarga, masyarakat, pemerintah, dan sekolah; (termasuk) kebijakan dan kinerja UPT-‐PPD Kecamatan (Pleret dan Piyungan), Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul dan focal point PB Bantul belum cukup kondusif. Untuk itu tetap membutuhkan kerjasama yang lebih intensif dari semua pihak terkait; yakni dengan komunikasi, koordinasi, dan partisipasi-‐sadar.
3. Menumbuhkan semangat dan kesadaran dari sebagian kalangan tenaga kependidikan masih sangat diperlukan dan merupakan hal terpenting bagi upaya menuju pembangunan sekolah aman dan siaga bencana.
4. Paradigma berpikir bahwa bencana adalah takdir di kalangan guru masih cukup kuat. Meski guru tersebut aktif dalam mengikuti kegiatan-‐kegiatan program.
5. Paradigma responsif (kedaruratan) masih dominan. Ini terbukti dengan rendahnya partisipasi dalam diskusi, kajian dan/atau perencanaan, namun pada proses simulasi semangat dan keterlibatannya cukup massif.
6. Intervensi program atau program serupa lainnya hanya dialokasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, Dinas Pendidikan Dasar, dan sekolah, namun masih sangat minim intervensi pada level UPT-‐PPD Kecamatan atau Pengawas Sekolahnya. Sangat perlu dan penting adanya intervensi peningkatan kapasitas dengan mempertimbangan letak strategisnya UPT-‐PPD dalam pengawasan dan evaluasi sekolah.
7. Belum ada pelembagaan pengelolaan risiko bencana berbasis sekolah oleh pemerintah maupun melalui dinas terkait sehingga tidak ada mekanisme yang mendukung implementasi di sekolah. Ini berbanding terbalik dengan kebijakan pendidikan lainnya, seperti Pendidikan Berkarakter Bangsa.
8. Ketersediaan staf pelaksana program dengan integritas, kapabilitas, dan kapasitas yang baik dan menunjang dalam kerja-‐kerja pengembangan masyarakat, isu pendidikan PRB, dan isu anak merupakan faktor penting yang sangat mendukung pelaksanaan program di mana pesan kunci program dan kegiatan dapat diartikulasikan sehingga dipahami oleh komunitas dan proses-‐proses dapat terdokumentasikan dan terlembagakan dengan baik.
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
21
PEMBELAJARAN PELAKSANAAN PROGRAM SASB Pembelajaran dan pengalaman baik dari implementasi program ini adalah sebagai berikut: (1) Selama program berlangsung, kegiatan bersama anak lebih banyak dilaksanakan di luar ruangan kelas dengan dasar bahwa dunia anak adalah “dunia belajar melalui permainan”. Padatnya jadwal dan content materi pelajaran dari level pendidikan dasar di Indonesia telah cukup menyita energi serta perhatian anak dalam mencerna esensi “Sekolah Aman dan Siaga Bencana” itu sebagai bagian integral dari re-‐eksistensinya sendiri. Hal ini perlu lebih dari sekadar kreativitas pelaksana program untuk membaca situasi lapangan yang dihadapi. Tidak cukup hanya mengejar target muncul di hadapan anak-‐anak tanpa mengenal dunia dan ketertarikannya terhadap terpaan berbagai sumber informasi media (khususnya di wilayah perkotaan). Sebab pernah terjadi, anak-‐anak pun “justru tak dapat diatur” sekehendak hati, mereka menunjukan resistensi dengan menabuh meja (mungkin sebagai ungkapan protes); yang secara kreatif dapat diarahkan untuk mengajaknya “menciptakan” lagu/nyanyian dari tetabuhan bunyi-‐bunyian barang bekas, seperti yang dilakukan dalam kegiatan program “kunjungan rutin sekolah”. (2) Pengalaman bermain dan belajar bersama anak-‐anak menjadi penting bagi semua pihak (utamanya orang dewasa). Ada sisi dan sifat “ingin bermain dan sekaligus” belajar. Tidak mudah memang, tetapi bukan mustahil untuk bisa dilakukan. Melaksanakan pendampingan sekaligus di 6 sekolah mitra dengan kegiatan rutin bersama anak-‐anak di luar jam pelajaran sekolah, telah memberikan pembelajaran berharga bahwa tidak ada pencapaian terbaik (prestasi) tanpa pengertian bersama dari orangtua dan pihak sekolah itu sendiri. Sebab, bila keberhasilan itu hanya diukur dari nilai hasil ulangan-‐pelajaran, maka raport untuk “pelajaran Sekolah Aman dan Siaga Bencana” di 6 sekolah mitra boleh jadi tidak ada angka merah-‐nya. Bahkan peta jalur evakuasi bencana di lingkungan sekolah, yang dihasilkan oleh anak-‐anak jelas menggambarkan harapan ideal pelaksanaan program ini dari “pengetahuan dan interpretasi” anak-‐anak. Artinya, anak-‐anak memiliki proyeksi ke depan guna mewujudkan lingkungan terbaik dalam proses pembelajarannya di sekolah, di masyarakat Indonesia. (3) Pendampingan dan penguatan secara khusus kepada Kepala Sekolah sebagai top-‐level di institusi sekolah untuk mendorong wacana penting dan strategisnya SASB ini bagi sekolah tersebut menjadi kunci. Di salah satu Kepala Sekolah mitra hampir tidak pernah bisa dihubungi untuk berdiskusi atas sekadar memberikan update pelaksanaan program bersama siswa dan staf guru dan non-‐guru. Akibatnya, semangat maju yang ada di level bawah terkendala dengan pasifnya Kepala Sekolah. Berbeda dengan para Kepala Sekolah yang aktif dan terbuka dalam menerima program. Justru
22
Kepala Sekolah yang mendorong dan memberikan pengertian kepada para stafnya tentang pentingnya program ini bagi anak dan juga prestasi sekolah. (4) Pendampingan sekolah dalam bentuk kunjungan (pendekatan informal) adalah kunci dalam membangun komitmen bersama dalam kemitraan yang baik sehingga mewujudkan Sekolah Aman dan Siaga Bencana adalah cita-‐cita bersama (5) Hasil program pengembangan SASB menjadi salahsatu yang dibanggakan sekolah dalam rangka lomba sekolah. Ini menjadi peluang pengembangan atau pelembagaan SASB/PRBBS pada level pemerintahan. Atau, yang paling sederhanan adalah perlu dimunculkan wahana kompetitif, seperti yang Sekolah Adiwiyata, sehingga akan menumbuhkan inisiatif-‐inisiatif dari sekolah lain. (6) Keswadayaan sekolah dalam implementasi program di mana selain tenaga dan waktu, sekolah juga berkontribusi dalam ruang maupun pembiayaan untuk penyelenggaraan kegiatan. (7) Sekolah mitra berinisiatif untuk berbagi pengalaman kepada sekolah lain dalam satu wilayah UPT-‐PPD Kecamatan. (8) Sekolah mampu mengartikulasikan konsepsi sekolah aman dan siaga bencana. Terbukti dari seminar pembelajaran yang suda dilakukan, sekolah mitra dapat menyampaikan dengan baik tentang apa dan bagaimana program ini kepada sekolah-‐sekolah lain. Dan lebih menarik lagi adalah memberikan strategi-‐strategi atau tips-‐tips integrasi PRB dalam kurikulum, perangkat pembelajaran, maupun kebijakan (RPS). (9) Penguatan kemitraan pengawas sekolah/UPT-‐PPD dengan sekolah cukup strategis untuk mendorong sekolah dalam pengembangan SASB. Kemitraan tersebut memberikan semangat sekolah, terutama kepala sekolah, dalam pengelolaan sekolah. (10) Dengan jadwal akademis yang padat, durasi pelaksanaan untuk 6 sekolah yang ideal untuk mengimplementasikan program dengan pendekatan proses adalah 2 tahun. Sehingga hasil yang baik atas capaian parameter SASB dapat tercapai. (11) Dengan durasi tersebut, konsekuensi logisnya adalah meningkatnya jumlah sumberdaya yang dibutuhkan, yakni pembiayaan. (12) Pemahaman seluruh staf pelaksana konsepsi, tujuan dan alur program menjadi kunci utama, sehingga pemahaman atas target dan ‘relasi’ output di antara staf dapat meminimalisir kesalahpahaman. (13) Perhitungan yang baik dan matang dalam menentukan strategi pelaksanaan proyek (waktu, sumberdaya, maupun jumlah pembiayaan) adalah kunci pelaksanaan dan hasil yang diharapkan.
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
23
PEMBELAJARAN
Pembelajaran Penyusunan Profil Risiko Bencana Sekolah Penilaian risiko terhadap komunitas terpapar bahaya ancaman menjadi salah satu prasyarat yang harus ada dalam upaya Pengelolaan Risiko Bencana. Dalam komunitas sekolah, proses kajian ini ditujukan untuk upaya mengukur risiko bencana di sekolah. Kegiatan penilaian risiko dilakukan bertujuan untuk (1) menemu-‐kenali jenis-‐jenis bahaya ancaman yang ada di sekitar lingkungan sekolah dan/atau lingkungan tinggal; (2) mengidentifikasi jenis-‐jenis kerentanan di komunitas sekolah yang berpotensi memperparah tingkat keterpaparan masyarakat terhadap jenis bahaya ancaman tertentu; (3) mengidentifikasi kemampuan/kekuatan sebagai kapasitas yang ada dan dimiliki komunitas sehingga bisa dimobilisir secara mandiri untuk bertahan hidup, jika sewaktu-‐waktu ancaman menyerang, dan (4) menilai seberapa besar tingkat keparahan suatu komunitas terhadap serangan bahaya ancaman tertentu berdasarkan pada frekuensi, kerugian dan kerusakan, cakupan wilayah terdampak, dan seberapa besar kapasitas yang dibutuhkan masyarakat dalam mencegah, memitigasi, dan membangun kesiapsiagaannya. Proses menemu-‐kenali risiko bencana di sekolah telah dilakukan oleh siswa maupun orang dewasa (tenaga pendidikan dan komite sekolah) dalam kegiatan kajian ancaman, kerentanan, kapasitas, dan risiko bencana sekolah. Di samping itu, aktivitas ini sebagai sarana peningkatan kapasitas warga sekolah dalam praktik-‐praktik SASB dan PRB yang sesuai dengan konteks sekolah masing-‐masing. Kegiatan dalam kerangka menginisiasi (mendorong terbangunnya) komunitas sekolah yang aman dan siaga bencana ini mencakup mencakup 2 sub kegiatan, yaitu pengembangan pendekatan/perangkat penilaian risiko bencana oleh anak-‐anak dan penilaian risiko bencana (HVCA Identification and Analysis) oleh dewasa. Secara umum, alurnya adalah bahwa hasil dari kegiatan pengkajian ancaman, kerentanan, kapasitas dan risiko yang dilakukan oleh kelompok anak-‐anak akan diperbandingkan atau divalidasi dalam kajian risiko oleh kelompok dewasa. Proses. Secara umum, pengkajian ini meliputi 4 variabel yaitu, kajian ancaman, kerentanan, kapasitas, dan risiko. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa anak-‐anak sebenarnya mampu mengidentifikasi ancaman, kerentanan, kapasitas dan risiko di sekolahnya. Masing-‐masing sekolah
24
mempunyai jenis ancaman yang berbeda-‐beda, walaupun terletak pada satu wilayah yang relatif berdekatan. Hasil kajian ini, selain untuk penyusunan peta tempat aman dari masing-‐masing sekolah, juga kemudian dikomunikasikan kepada pihak sekolah sebagai masukan dalam pembuatan kebijakan di sekolah. Hasil validasi atau verifikasi oleh kelompok dewasa ternyata tidaklah berbeda. Ancaman yang sama juga diamini oleh pihak dewasa. No Sekolah Ancaman 1 SD Brajan Gempa Bumi, Banjir 2 SD Cepokojajar Gempa Bumi, Banjir 3 SD Payak Gempa Bumi, Angin Puting Beliung 4 SD Muh Pandes Gempa Bumi, Angin Puting Beliung 5 MIN Jejeran Gempa Bumi, Banjir 6 SD Putren Gempa Bumi, Banjir Dalam pengkajian bersama anak, hanya variabel ancaman saja yang dikaji. Dengan 2 materi pokok yaitu ”Pengenalan Istilah Dasar Kebencanaan” dan ”Identifikasi Ancaman di Sekolah”. Pilihan materi dan variabel ini didasarkan kesesuaian usia perkembangan anak. Selain itu, sejak dini anak mulai diperkenalkan pada istilah dasar kebencanaan, yaitu “bencana” dan “bahaya” (atau ancaman, hazard). Proses pembelajaran ini dilakukan sembari bermain. Dalam identifikasi ancaman bencana di sekolah, anak-‐anak juga diajak untuk mengidentifikasi apa dan siapa yang terkena dampak serta bagaimana menanggulanginya. Berikut salah satu hasil proses kajian bersama anak di SD Payak. Akibat yang mungkin menimpa
Angin Puting Beliung § Sekolah hancur § Murid-‐murid tertimpa bangunan § Tidak bisa bersekolah § Semua barang hilang Gempa Bumi § Sekolah hancur § Murid tertimpa bangunan § Tidak bisa bersekolah
Siapa yang terkena dampak
§ Semua murid dan guru § Semua warga sekolah
Mengurangi risiko
Gempa Bumi § Meliburkan semua murid § Menyiapkan tenda § Memperkuat bangunan Angin Puting Beliung § Menyiapkan tenda untuk menyimpan barang-‐barang § Memperkuat bangunan agar tahan angin topan
Pembelajaran. Dalam kerja-‐kerja pengkajian, kemampuan dan kapasitas fasilitator acapkali menjadi kendala. Proses ini membutuhkan jumlah pertemuan yang banyak, sehingga keterbatasan waktu
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
25
partisipan menjadi jamak dan tidak perlu pembahasan khusus. Dengan kata lain, fasilitator adalah kunci dalam kajian risiko (HVCRA) ini. Dari proses yang sudah dilakukan, hal dasar yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan Analisis Risiko Bencana Partisipatif A (Analisis Risiko) adalah pemahaman metodologis fasilitator tentang konsep PB/PRB dan berbasis komunitas. Kami mengidentifikasi 5 kompetensi dan kapasitas dasar yang patut dikuasai. Pertama, adalah pemahaman yang utuh dan komprehensif menjadi prasyarat sebelum melakukan proses-‐proses kajian yang dilakukan secara partisipatif untuk menemu-‐kenali faktor-‐faktor pemicu terjadinya risiko bencana di tingkat lokal (komunitas). Kedua adalah kemampuan memaparkan definisi masing-‐masing variabel yang menjadi tema bahasan secara jelas dan disertai contoh-‐contoh nyata dan kontekstual sebelum melakukan proses kajian. Ketiga, adalah kemampuan pemaparan tentang fase/tahapan dalam Pengelolaan Bencana melalui penggalian pengetahuan berdasarkan pengalaman partisipan ketika menghadapi situasi/kondisi darurat. Keempat, proses kajian dilakukan sebagai proses peletakan dasar konstruksi berfikir partisipan/komunitas dalam Pengelolaan Risiko Bencana. Dan kelima adalah kemampuan menstrukturkan informasi berdasarkan rumusan-‐rumusan pengetahuan dan pengalaman partisipan/komunitas serta memberikan feedback berupa susunan pengetahuan baru yang akan sama-‐sama dipakai sebagai sarana/media belajar bersama. Apabila kemampuan mengawal tahapan proses dilakukan secara baik, maka niscaya pondasi dan substansi-‐konstruktif berpikir masyarakat tentang upaya-‐upaya Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas akan relatif mudah. Selain itu, kemampuan dasar tersebut tentu saja harus disertai kemampuan metodis dalam penggalian pengalaman dan pengetahuan komunitas, beserta contoh-‐contoh sederhana terhadap usaha sehari-‐hari yang bisa dan biasa dilakukan di masyarakat.
Pembelajaran Pengintegrasian PRB ke dalam Kurikulum Kondisi kerawanan terhadap bencana di Indonesia menyebabkan pentingnya pendidikan tentang Pengurangan Risiko Bencana menjadi materi pembelajaran di lingkungan pendidikan, dan dimasukkan ke dalam Kurikulum Sekolah.
Penerapan ke dalam sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memungkinkan pihak Sekolah untuk mengembangkan kurikulumnya; yang tentu saja sesuai dengan situasi dan kondisi di sekolah setempat. Lebih dari itu, kebutuhan untuk memasukkan Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) menjadi lebih terbuka dan memungkinkan untuk dapat terus dikembangkan oleh pihak sekolah itu sendiri.
Salah satu indikator penting Sekolah Siaga Bencana (SSB) di Indonesia adalah “adanya Kurikulum Sekolah yang siap mengaplikasikan Pendidikan PRB”. Meskipun masih perlu digarisbawahi bahwa beban kurikulum nasional yang sangat padat menyebabkan peluang guna memasukkan Pendidikan PRB masih penuh tantangannya.
Menggunakan strategi ini, berarti tidak perlu memunculkan mata pelajaran baru; tetapi, memerlukan satu Tim Kerja Kurikulum di sekolah yang memiliki kemampuan memadai untuk mengintegrasikan Pendidikan tentang PRB tersebut ke dalam kurikulum Sekolah-‐nya masing-‐masing.
26
Proses. Pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dilaksanakan melalui proses peningkatan kapasitas dan pendampingan yang intensif-‐efisien. Peningkatan kapasitas dengan pelatihan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam kurikulum dilaksanakan dengan melibatkan Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul. Dengan begitu, para guru mendapat gambaran dan strategi yang sesuai dengan aturan atau kebijakan pemerintah/Dinas Pendidikan Dasar. Di samping itu para guru juga telah mengetahui, memahami, dan kemudia memilih bahwa strategi integrasi adalah strategi yang relevan untuk dilakukan.
Pendampingan dilakukan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Penyusunan RPP dilaksanakan langsung oleh guru kelas dengan menyesuaikan silabus yang telah ada atau yang sudah dipakai di sekolah tersebut. Dengan jenis ancaman bencana yang didasarkan hasil kajian risiko bencana di masing-‐masing sekolah, para guru menentukan indikator perilaku upaya pengurangan risiko bencana. Indikator perilaku PRB tersebut kemudian dianalisis kesesuaiannya dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) di Silabus. Begitu hingga terintegrasi dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Pembelajaran. Hikmah pengalaman selama proses pengintegrasian PRB ini adalah penentuan perangkat yang tepat, mudah, dan sesuai dengan tujuan pendidikan PRB. Masih banyak rumusan-‐rumusan yang belum berorientasi pada perubahan perilaku. Tantangan lainnya berkenaan dengan cross-‐cutting issue, yaitu bagaimana pembahasan pengarusutamaan gender, isu lingkungan ataupun perubahan iklim juga memiliki porisi pembahasan yang seimbang dalam pembahasan ancaman, kerentanan, kapasitas, dan risiko bencana sekolah.
Kamanfaatan yang mampu dirasakan oleh para guru maupun stakeholder sekolah adalah ketrampilan guru dalam perencanaan kegiatan belajar mengajar. Kini para guru dapat membaca permasalahan dengan lebih luas dan komprehensif. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sebelumnya. Proses copy-‐paste dari RPP yang telah ada merupakan hal yang jamak terjadi. Terlebih lagi adalah meningkatnya kesadaran dan wawasan bahwa integrasi PRB menjadi bagian penilaian akreditasi guru dan sekolah masing-‐masing. Di samping itu, adalah kewajiban bagi setiap guru untuk menyusun dan memiliki RPP.
Namun begitu bukan berarti proses ini berjalan tanpa kendala dan tantangan, yakni pertama, bagaimana mendorong proses ini mendapat porsi perhatian para guru, di samping kesibukan mereka dalam kegiatan dan kesibukan hariannya. Kedua adalah cara atau metode pengintegrasian PRB dalam RPP yang efektif, mudah dimengerti dan diterjemahkan oleh para guru. Setidaknya para guru mampu menerjemahkan secara mandiri tentang cita-‐cita dan tujuan pendidikan PRB dalam 3 aspek (kognisi, afeksi, dan perubahan perilaku).
Awal strategi penyelesaiannya adalah memberikan referensi bahan bacaan yang berhubungan dengan kebencanaan dan PRB dan diskusi tentang indikator dengan manual yang mudah dan sesuai dengan tujuan pendidikan PRB. Harapannya dari referensi dan proses diskusi tersebut, akan memperkaya khasanah pengetahuan dan pemahaman yang mendukung dalam proses penyusunan Silabus, RPP, dan penetuan bahan ajar.
Akhirnya, pengalaman ini dapat diimplementasi di sekolah lain dengan beberapa catatan tentunya. Pertama adalah perlunya menyusun dan/atau menerapkan manual dan metode yang tepat dan efektif untuk dilakukan. Kedua adalah, selain siklus kebencanaan, pengetahuan dan pemahaman para guru atas pemetaan ancaman dan risiko bencana, khususnya risiko bencana sekolah. Karena ini menjadi dasar dalam proses penyusunan dan penentuan indikator-‐indikator dalam Silabus dan RPP.
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
27
Bilamana para guru sudah mampu menganalisa risiko sekolah dan akhirnya menganalisa indikator PRB dalam Silabus dan RPP, maka pekerjaan mengintegrasikan PRB ke dalam kurikulum menjadi relatif lebih bermakna.
Pembelajaran Penyusunan Dokumen Utama SASB: Dokumen Rencana Kedaruratan Sekolah Rencana kedaruratan sekolah merupakan pedoman dalam pelaksanaan respon/tanggap darurat sekolah ketika menghadapi bencana sekaligus sebagai perangkat untuk memobilisasi sumber daya yang dimiliki sekolah bahkan masyarakat untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada warga sekolah. Dengan diujicobakannya rencana kedaruratan, perbaikan dokumen dapat dilakukan dan sekaligus meningkatkan kesiagaan warga sekolah terhadap ancaman yang terjadi.
Proses. Penyusunan dokumen ini melalui 4 tahapan dengan pelibatan aktif warga sekolah. Pertama adalah review pelatihan sekolah siaga bencana dengan menggali input terhadap draft dokumen dan kesepakatan pembentukan tim siaga sekolah berikut focal point proses penyusunan proses penyusunan dokumen.
Kedua, pendampingan penyusunan dokumen dan persiapan uji materi. Di sini pendampingan secara intesif dilakukan terhadap guru penanggungjawab penyusunan yang ditunjuk. Materi pendampingan antara lain adalah (a) memvalidasi hasil diskusi penyusunan rencana kedaruratan, (b) menyusun isi bab pendahaluan dan penutup, (c) memvalidasi jalur evakuasi, (d) menganalisis kebutuhan sumber daya pendukung, (e) merencanakan tahapan uji materi/simulasi, (f) pelatihan PPGD (Pelatih PPGD dari PMI Cabang Kota Yogyakarta), (g) pemasangan denah dan rambu evakuasi, (h) gladi posko, (i) uji materi/simulasi dan evaluasi, dan (j) pengesahan rencana kedaruratan.
Setelah berhasil disusun, ketiga, dokumen tersebut uji materi dan evaluasi. Perencanaan uji materi yang telah disusun oleh Tim Siaga Sekolah selanjutnya diajukan pada Kepala Sekolah dalam bentuk Kerangka Acuan Kegiatan (TOR). Dalam TOR tesrsebut dijelaskan rangkaian sub-‐kegiatan yang diperlukan sebelum uji materi (pelatihan PPGD bagi tim siaga, gladi posko, sosialisasi) dan kegiatan evaluasi bersama. Tidak semua melakukan pelatihan PPGD karena telah/pernah mendapatkan pelatihan serupa. Kegiatan gladi posko dilakukan sebagai memastikan sarana dan prasarana pendukung telah ada dan siap serta sebagai media sosialisasi tahapan-‐tahapan tindakan seperti cara berlindung (drill) saat terjadi bencana (gempa bumi). Gladi posko diikuti pada siswa oleh guru maupun fasilitator anak. Dan akhirnya, proses simulasi lengkap dilakukan dengan dipimpin langsung oleh Kepala Sekolah. Evaluasi dilakukan oleh Tim Siaga setelah proses simulasi dilakukan untuk melihat dan mencatat kesesuaian/ketepatan tahapan/tindakan yang telah dirancang dalam dokumen.
Dan, keempat, hasil praktik dan evaluasi uji coba materi tersebut menjadi dasar perbaikan dan penyesuaian dokumen. Apabila sudah tepat, maka dokumen tersebut disahkan oleh Kepala Sekolah sebagai kebijakan sekolah.
Pembelajaran. Antusiasme warga sekolah untuk segera melaksanakan uji materi/simulasi merupakan salah satu pendukung keberhasilan kegiatan selain dukungan dari UPTD Dikdas yang terlibat dalam uji materi. Namun, ketidakmampuan sekolah dalam menyusun dokumen secara tertulis menjadi kendala disamping komunikasi antar tenaga kependidikan yang terputus satu
28
dengan lainnya. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pendampingan yang intensif dan efektif menjadi kunci.
Pembelajaran lainnya adalah simulasi dapat dilaksanakan dengan biaya yang murah dan tidak membutuhkan waktu lama, kesungguhan/komitmen warga sekolah merupakan kunci untuk melaksanakannya secara reguler pada jam pelajaran maupun pada kegiatan ekstra kulikuler. Sayangnya, rencana kedaruratan ini belum terpadu dengan rencana kontinjensi atau rencana operasi desa dan SOP pendidikan darurat yang belum dimiliki oleh Dinas Pendidikan.
Tantangan. Keberadaan sekolah, khususnya tingkat dasar, berada satu wilayah administrati desa. Dalam konteks kebencanaan, wacana kesiapsiagaan juga sedang dan telah coba dibangun dan kembangkan dalam komunitas desa. Untuk itu, masih menjadi pekerjaan rumah tentang bagaimana memadukan rencana kontinjensi dan rencana operasi desa dengan rencana kedaruratan, setelah siswa diserahkan kepada orang tua maka menjadi kewajiban desa dalam proses evakuasi.
Tantangan lain adalah saat ini belum ada mekanisme pelaporan dan standar penyelenggaraan pendidikan di saat darurat yang ditetapkan oleh pemerintah, khususnya Dikdas Kabupaten Bantul. Rencana kontijensi pendidikan menjadi penting sebagai wujud komitmen dan kesiapsiagaan pemerintah dalam situasi darurat sehingga memberikan kepastian koordinasi sekolah dengan pemerintah/dinas. Dan mengimbaskan program ke sekolah lain bahwa penyusunan rencana kedaruratan berikut simulasinya bukanlah pekerjaan yang berbiaya mahal menjadi tantangan tersendiri. Selama ini banyak sekolah beranggapan bahwa penyusunan rencana kedaruratan dan simulasi adalah bukan kegiatan yang berbiaya murah.
Pembelajaran Pengintegrasian PRB dalam Kebijakan Sekolah Kebijakan sekolah adalah keputusan yang dibuat secara formal oleh sekolah mengenai hal-‐hal yang perlu didukung dalam pelaksanaan PRB di sekolah, baik secara khusus maupun terpadu. Keputusan tersebut bersifat mengikat. Pada praktiknya, kebijakan sekolah akan landasan, panduan, arahan pelaksanaan kegiatan terkait dengan pengurangan risiko bencaca (PRB) di sekolah. (Kerangka Kerja Sekolah Siaga Bencana, Konsorsium Pendidikan Bencana, 2011).
Dengan demikian, sebagai salahsatu parameter SASB, kebijakan sekolah yang mengintegrasikan PRB merupakan payung hukum yang memberikan jaminan dan kepastian bagi warga sekolah dalam mengupayakan dan pengelolaan kegiatan/tindakan PRB di sekolah. Program ini juga mendorong sekolah untuk memastikan adanya ketersediaan dukungan sumber daya untuk upaya kesiagaan sekolah. Selain itu, kebijakan ini juga menjamin bahwa pengelolaan PRB dapat dilaksanakan secara berkelanjutan oleh warga sekolah. Strategi taktisnya adalah upaya-‐upaya pengelolaan dan pengurangan risiko bencana berbasis sekolah diarahkan sebagai bagian terpadu dalam pengelolaan sekolah (RPS/Renstra Sekolah, RKAS, KTSP) dan kebijakan pendidikan sekolah di mana integrasi PRB dilakukan dalam setiap proses; perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi.
Proses. Terdapat 3 tahapan utama dalam pengupayaan pengintegrasian PRB dalam kebijakan sekolah yakni analisa stakeholder dan kebijakan sekolah, workshop integrasi PRB dalam perencanaan pengembangan sekolah; dan penyusunan rencana pengembangan sekolah (RPS).
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
29
Analisa Stakeholder dan Kebijakan Sekolah. Secara umum tahapan ini lebih melihat apa, siapa, dan bagaimana pemangku kepentingan dan kebijakan yang dapat mendukung proses pengembangan SASB, dalam ranah kebijakan sekolah.
Secara khusus, stakeholders sekolah yang dilihat meliputi UPT-‐PPD Kecamatan Pleret dan Kecamatan Piyungan, Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul, level desa (aparatur desa dan Forum PRB Desa) dan lembaga terkait lainnya. Dalam konteks kebencanaan dan kesiapsiagaan di wilayahan desa/dusun, diketemukan bahwa belum ada komunikasi dan koordinasi antas pihak sekolah dengan komunitas pemerintah desa.
Analisa kebijakan digunakan untuk memetakan bagaimana kebijakan sekolah dan juga kebijakan lain terkait dengan sekolah. Dari proses ini ditemukan bahwa (1) tidak semua sekolah memiliki dokumen RPS dan (2) dokumen kebijakan sekolah (RPS/Renstra Sekolah, RKAS, KTSP) belum mengintegrasikan PRB. Dari sisi eksternal bahwa sudah ada orientasi/integrasi PRB dalam rencana stategis pemerintah daerah Kabupaten Bantul c.q. Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul, namun sudah klasik memang bahwa sosialisasi hingga level sekolah belumlah maksimal dilakukan.
Bahkan, Kabupaten Bantul sudah menerbitkan Surat Edaran tentang kegiatan PRB di sekolah. Namun, karena dalam bentuk Surat Edaran dirasa hanya sekadar himbauan. Alhasil, banyak sekolah yang belum atau enggan melaksanakannya. Perlakuan yang sama adalah pada Surat Edaran Mendiknas Surat Edaran No. 70a/MPN/SE/2010 tentang pengintegrasian PRB di Sekolah. Di samping semua sekolah mitra belum mengetahui tentang surat edaran menteri ini, sekolah menganggap bahwa surat edaran tersebut tidak cukup kuat dan tidak dapat mengikat.
Workshop integrasi PRB ke dalam kebijakan sekolah. Hasil analisa stakeholder dan kebijakan tersebut, workshop ini dilaksanakan degan fokus pada perkuatan kebijakan sekolah dan peningkatan kapasitas, wahana pengetahuan dan ketrampilan kebijakan eksternal sekolah. Selain itu, workshop ini dipergunakan sebagai ruang advokasi di mana terbangun komunikasi dan pemahaman sekolah atas kebijakan Pemerintah Kabupaten Bantul/Dinas Pendidikan Dasar, termasuk bagaimana strategi penganggaran program dan kegiatan PRB sekolah yang sesuai dengan nomenklatur yang ada.
Penyusunan Rencana Pengembangan/Rencana Strategis Sekolah. Proses ini dilakukan dengan kunjungan rutin dengan melakukan pendampingan yang intensif dan efisien. Fokus pendampingan adalah pada asistensi Kepala Sekolah dan Tim Sekolah untuk memastikan bahwa pemahaman integrasi benar-‐benar dipahami dan menjadi ketrampilan dalam penyusunan RPS. Selain itu, keterlibatan aktif UPT-‐PPD atau Pengawas Sekolah didorong untuk memberikan arahan ke sekolah terkait dengan mekanisme-‐mekanisme yang berlaku dan yang sebaiknya dilakukan oleh sekolah.
Hasilnya, bagi yang sudah memiliki dokumen RPS, pertama, sekolah ‘memarkir’ hasil penyusunan untuk ditetapkan di tahun depan. Ini dilakukan oleh sekolah yang telah memiliki RPS yang akan berakhir tahun dengan 1 tahun dan integrasi PRB masuk dalam RKAS atau rencana tahunan atau kalender tahunan sekolah dan, kedua, sekolah tetap merevisi RPS karena sudah dianggap tidak update. Proses revisi inilah yang melibatkan Pengawas Sekolah dengan memberikan arahan yang sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Dan bagi sekolah yang belum memiliki RPS, akhirnya memiliki dokumen RPS dan dokumen tersebut juga telah mengintegrasikan PRB.
Pembelajaran. Keberagaman kemampuan Kepala Sekolah dalam penyusunan dan pengelolaan di sekolah masing-‐masing merupakan dinamika pendampingan sekolah yang menarik. Bukan menjadi persoalan bagi Kepala Sekolah yang sudah terbiasa dalam proses penyusunan kebijakan sekolah.
30
Namun berbeda dengan Kepala Sekolah yang cenderung melimpahkan kewenangannya kepada guru yang memiliki kemampuan.
Selain itu, pemahaman yang berbeda di antara 2 UPT-‐PPD terkait dengan revisi Rencana Pengembangan Sekolah. Dalam perubahan atau revisi RPS dan belum ada kebijakan yang mengatur, menurut salah satu UPT, sekolah bisa melakukan revisi. Hal tersebut merupakan otonomi sekolah. Bagi UPT yang tidak memperbolehkan proses perubahan RPS, sekolah harus menunggu hingga RPS terkait selesai masa periodisasinya. Tentu saja menjadi kontradiktif dengan semangat pengembangan prestasi dari pihak sekolah. Sebab, sekolah ingin pada dewan juri lomba sekolah mengenai menunjukkan integrasi PRB dalam RPS sebagai salah satu output sekolah. Penting untuk dicatat bahwa lomba gugus menjadi salahsatu faktor yang memotivasi sekolah dalam menyusun dan merevisi RPS yang mengintegrasikan PRB.
Salahsatu praktik baik dalam pengintegrasian PRB dalam kebijakan sekolah adalah peranan Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul. Peran dinas cukup efektif dalam meyakinkan sekolah tentang otonomi sekolah yang luas, terutama merevisi dan menggunakan sumber-‐sumber anggaran untuk program dan kegiatan PRB oleh sekolah. Pemahaman sekolah atas enabling environment dari dinas terkait menguatkan keyakinan dan kepastikan hukum dalam melaksanaan kegiatan PRB sekolah.
Selain itu, fungsi UPT-‐PPD dan Pengawas Sekolah sebagai mitra sekolah perlu didayagunakan, terutama untuk membantu dan mendorong sekolah dalam pelaksanaan kegiatan PRB sekolah. Namun, masih cukup langka kerja-‐kerja atau program PRB yang menyasar pada peningkatan kapasitas UPT-‐PPD dan Pengawas Sekolah. Dengan pemahaman dan pengetahuan PRB yang seimbang, maka boleh jadi relasi kemitraannya dengan sekolah tidak terbatas pada koordinasi dan pelaporan, namun juga bersinergi.
Pembelajaran Fasilitas Rencana Aksi Anak untuk PRB Pengembangan Sekolah Aman dan Siaga Bencana (SASB) merupakan salah satu bagian dari kerja-‐kerja PRB dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat yang tangguh dan tanggap terhadap bencana. Komunitas sekolah, termasuk warga sekolah merupakan komponen utama di sekolah. Dalam lingkup sekolah, siswa (anak-‐anak) termasuk dalam kelompok rentan. Meski demikian, para siswa juga memiliki peranan dalam pengelolaan risiko bencana di sekolah. Pengetahuan dan kapasitas siswa tentang bencana akan dapat bermakna dalam kerja-‐kerja pengurangan dampak bencana. Selain itu, mereka juga memiliki potensi sebagai agent of change. Paling tidak, selain mengajak dan mendorong perilaku siaga dan waspada, minimal dapat menjadi sumber informasi kebencanaan bagi teman sebayanya. Dan berangkat dari pemikiran tersebut, program ini secara khusus menyasar kepentingan, kebutuhan dan partisipasi anak dalam upaya pengurangan risiko bencana, di mana siswa memliki kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatannya. Proses. Kegiatan bersama anak diawali dengan proses memetakan pengetahuan, sikap dan praktik siswa (anak) tentang pengurangan risiko bencana, perubahan iklim dan partisipasi anak. Melalui survei dengan menggunakan kuisioner untuk anak di kelas kecil dan besar, hasilnya dijadikan dasar untuk menyusun rencana tindaklanjut dalam berkegiatan PRB bersama siswa. Tahap selanjutnya
Sekolah Aman dan Siaga Bencana
31
adalah Analisis Risiko Bencana Partisipatif Anak. Siswa diajak untuk dapat mengidentifikasi risiko bencana di sekolah masing-‐masing. Proses ini siswa dapat mengidentifikasi ancaman bencana di sekolah, apa dan siapa yang rentan, apa dan bagaimana kapasitas yang dimiliki sekolahnya. Dari identifikasi ini siswa diajak untuk membuat perencanaan tindaklanjut dalam upaya mengurangi risiko bencana utama. Untuk menambah wahana pengetahuan dan inspirasi serta peningkatan kapasitas siswa, dilakukan pemutaran film. Dalam proses menyusun rencana kegiatan aksi pengurangan risiko bencana di sekolah, para siswa dibagi dalam 2 kelompok; yaitu laki-‐laki dan perempuan. Pertama-‐tama, masing-‐masing menyusun sebuah ‘proposal’ sederhana tentang kegiatan PRB di sekolah. Proposal tersebut kemudian disampaikan ke sekolah untuk diverifikasi dan disepakati oleh pihak sekolah. Dalam proses pelaksanaannya, siswa diminta untuk berpartisipasi aktif dalam mencari, membuat dan menilai hasil-‐hasil kreativitas mereka sendiri. Hasil karya anak-‐anak dikomunikasikan kepada pihak sekolah untuk dapat diapresiasi dan ditindaklanjuti oleh sekolah secara mandiri.
Dalam penyebarluasan informasi kebencanaan, para siswa melaksanakan kampanye dengan menggunakan karya mereka sendiri. Kampanye dilakukan kepada kelas kecil atau adik kelasnya. Harapannya, ada transfer pengetahuan dari anak ke anak untuk dapat ditindaklanjuti juga oleh mereka tentang pengetahuan mengenai kebencanaan khususnya upaya pengurangan risiko bencana. Berikut adalah tema-‐tema aksi PRB siswa:
No Nama Sekolah Tema Aksi PRB Anak 1 SD Payak 1. Kampanye PRB Melalui Media Poster
2. Pembuatan Peta Tempat Aman Sekolah 2 SD Cepokojajar 1. Kampanye Tas Siaga
2. Kelompok Hansip Sampah 3 SD Putren 1. Kampanye Tas Siaga
2. Media Informasi 3. Kelompok Perkusi Bencana
4 SD Brajan 1. Kampanye Tas Siaga 2. Pembuatan Peta Tempat Aman Sekolah
5 MIN Jejeran 1. Kampanye Pengurangan Risiko Bencana dengan Media Poster
2. Pembuatan Peta Tempat Aman Sekolah 6 SD Muh. Pandes 1. Kampanye Pengurangan Risiko Bencana dengan Media
Poster 2. Penanaman Pohon 3. Pembuatan Peta Evakuasi dan Peta Tempat Aman
Pembelajaran. Dalam proses terdapat beberapa hal yang menjad catatan di sini. Pertama adalah terkait dengan waktu kegiatan yakni di luar jam sekolah. Akibatnya, kondisi anak sudah lelah dan tidak fokus mengikuti kegiatan, sehingga perlu strategi kegiatan yang menyenangkan yang mendukung antusiasme siswa. Kedua, masih minimnya inisiatif guru untuk mendampingi kegiatan bersama siswa, sehingga komunikasi secara intensif musti dilakukan kepada guru/sekolah tentang
32
perkembangan kegiatan bersama siswa dan bagaimana tindak lanjut sekolah terhadap gagasan mereka.
Paling tidak ada 5 hal baik dari proses ini yang bisa menjadi catatan praktik kegiatan serupa di masa mendatang maupun di sekolah yang lain. Pertama, keinginan dari keinginan/ketertarikan siswa kelas lain untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Awalnya kegiatan ini dirancang untuk kelas tertentu. Dengan begitu akhirnya kegatan ini diikuti oleh siswa-‐siswa dari beberapa tingkat/kelas.
Kedua, kemampuan siswa (SD Brajan) dalam menciptakan yel-‐yel tentang PRB untuk sekolahnya sendiri. Ketiga, kelompok siswa kelas 6 dari SD Payak mengajak siswa dari kelas 5 untuk mendiskusikan dan mengidentifikasi ancaman. Dalam melakukan indentifikasi ini mereka mengembangkan metode fasilitasinya dan permainan didiskusikan bersama timnya.
Keempat adalah dalam pembelajaran bencana, siswa kelas 1 sampai 3 lebih menyukai gambar dan cerita-‐cerita. Hal ini teridentifikasi pada saat proses kampanye siswa dengan menggunakan poster. Mereka lebih banyak bertanya tentang gambar dan cerita gambar tersebut. Sehingga dalam hal melakukan diseminasi informasi kepada siswa kelas kecil harus menggunakan bahasa cerita yang menarik. Dan kelima adalah anak-‐anak kelas kecil juga menyukai permainan dan bernyanyi bersama.
Dalam kerja-‐kerja fasilitasi anak dalam aksi PRB memiliki tantangan khusus, yakni bagaimana menciptakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, disukai dan mudah diingat. Sehingga anak senang untuk menceritakannya kembali kepada orang lain. Selain itu, dibutuhkan kesabaran, ketelatenan dalam memfasilitasi anak karena psikologi anak masih senang bermain dan bertindak refleks. Selebihnya, dalam membangun sekolah aman dan siaga bencana, penting dalam menciptakan sinergitas kegiatan bersama anak dengan kegiatan orang dewasa, yang dalam hal ini adalah tenaga kependidikan guru dan non-‐guru.