lim foma

32
BAB I PENDAHULUAN Limfoma adalah massa tumor dari kelenjar limfe dan jaringan limfatik di organ lainnya. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain. 1 Limfoma terbagi menjadi dua golongan besar yaitu limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma non-Hodgkin (LNH). 2 Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologis dari kedua penyakit di atas, dimana pada limfoma Hodgkin terdapat suatu gambaran yang khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg. 3 Di Indonesia, LH bersama- sama dengan LNH dan leukemia menduduki urutan keenam tersering. 1 Limfoma dapat terjadi pada saluran cerna (gastrointestinal), yaitu jenis limfoma non-Hodgkin (ekstranodal), dengan angka kejadian 10-15% dari seluruh LNH. Lambung merupakan organ yang paling sering terkena. Munculnya limfoma gastrointestinal diduga memiliki hubungan kuat dengan adanya inflamasi kronik yang terjadi. 4 1

Upload: sinde-nijucimi-sekai

Post on 17-Sep-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ftyiv87bo87o87t6b87y6vbi8t7vbu6

TRANSCRIPT

21

BAB I

PENDAHULUANLimfoma adalah massa tumor dari kelenjar limfe dan jaringan limfatik di organ lainnya. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain.1Limfoma terbagi menjadi dua golongan besar yaitu limfoma Hodgkin (LH) dan limfoma non-Hodgkin (LNH).2 Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologis dari kedua penyakit di atas, dimana pada limfoma Hodgkin terdapat suatu gambaran yang khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg.3 Di Indonesia, LH bersama-sama dengan LNH dan leukemia menduduki urutan keenam tersering.1Limfoma dapat terjadi pada saluran cerna (gastrointestinal), yaitu jenis limfoma non-Hodgkin (ekstranodal), dengan angka kejadian 10-15% dari seluruh LNH. Lambung merupakan organ yang paling sering terkena. Munculnya limfoma gastrointestinal diduga memiliki hubungan kuat dengan adanya inflamasi kronik yang terjadi.4BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. LIMFOMA MALIGNAA.1. DEFINISILimfoma merupakan suatu kelainan limfoproliferatif. Kelainan limfoproliferatif dapat bermanifestasi sebagai limfoma dan leukemia, namun keganasan sel limfoid terjadi pada tahap diferensiasi yang berbeda. Pada tahap perkembangan sel pre-B dan pre-T pada sumsum tulang, keganasan yang terjadi adalah limfoblastik leukemi sel prekursor B dan T yang bermanifestasi di sumsum tulang. Sebaliknya pada limfoma maligna terjadi perubahan keganasan dari sel limfoid yang terdapat terutama pada jaringan limfoid.5A.2. KLASIFIKASI Limfoma dibagi limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin berdasakan gambaran histopatologinya.

B.1. Limfoma Hodgkin; limfoma ini hampir selalu berasal dari satu nodus atau satu rangkaian kelenjar getah bening dan biasanya menyebar ke kelenjar sekitarnya. Limfoma Hodgkin ditandai secara morfologis dengan adanya sel raksasa neoplastik khas yang disebut sel reed-sternberg (RS). Karakteristik histologi utama limfoma ini adalah sel tumor berinti tunggal, intinya banyak atau berinti sepasang simetris yang terebar sporadik, dengan latar belakang berbagai jenis sel radang reaktif non-neoplastik, termasuk limfosit, sel plasma, granulosit eosinofilik.2,6 Sel Reed-Sternberg berukuran besar berdiameter 15-45 mm, dengan sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti sel adanya anak inti yang besar seperti inklusi dan seperti mata burung hantu (owl-eyes), yang biasanya dikelilingi suatu halo yang bening.3Klasifikasi Rye membagi limfoma Hodgkin menjadi 4 jenis, yaitu predominan limfositik (LP), nodular sklerosis (NS), sel campuran (MC), depresi limfositik (LD). Sedangkan sistem klasifikasi menurut WHO, limfoma Hodgkin dibagi menjadi limfoma jenis predominan limfosit nodular dan klasik, nodular sklerosis, jenis klasik sarat limfosit, sel campuran, depresi limfositik.6,7 B.2. Limfoma non-Hodgkin; didefInisikan sebagai kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan terkadang berasal dari sel NK (natural killer) yang berasal dari sistem kelenjar getah bening (limfe); yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosanya. Penyakit ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan penyakit Hodgkin. 1 (a) (b)

Gambar 1. Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg (tanda panah) dan (b) Limfoma Non HodgkinA.3. EPIDEMIOLOGISebagian besar limfoma berasal dari sel B (80%-85%), dengan tumor sel T membentuk sisanya. Tumor sel NK juga terjadi, tapi jarang.3 Pada tahun 2002, tercatat 62.000 kasus LH di seluruh dunia. Di negara-negara berkembang ada dua tipe limfoma Hodgkin yang paling sering terjadi, yaitu mixed cellularity (MC) dan limphocyte depletion (LD), sedangkan di negara-negara yang sudah maju lebih banyak limfoma Hodgkin tipe nodular sclerosis (NS). Limfoma Hodgkin lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dengan distribusi usia antara 15-34 tahun dan di atas 55 tahun.8Berbeda dengan LH, LNH lima kali lipat lebih sering terjadi dan menempati urutan ke-7 dari seluruh kasus penyakit kanker di seluruh dunia.9 Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Secara umum dapat terjadi pada semua usia meskipun pada LNH indolent lebih banyak pada usia lanjut, lebih sering terjadi pada pria dan insidennya meningkat sejalan dengan bertambah umur dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84 tahun.1 Secara keseluruhan, LNH sedikit lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita. Rata-rata untuk semua tipe LNH terjadi pada usia di atas 50 tahun.9

Gambar 1. Frekuensi relatif limfoma

A.4. ETIOLOGIEtiologi dari limfoma Hodgkin tidak banyak diketahui. Terdapat beberapa laporan mengenai adanya hubungan terjadinya LH dengan infeksi virus Epstein-Barr.10 Analisis PCR menunjukkan bahwa sel Reed-Sterberg berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur pada immunoglobulin, sel ini juga mengandung suatu faktor transkripsi inti sel (NFkB), kedua hal tersebut menyebabkan gangguan apoptosis. Faktor resiko terjadinya penyakit ini adalah infeksi virus, yaitu selain virus Epstein-Barr; Sitomegalovirus, HIV dan Human Herpes Virus-6 (HHV-6). Faktor resiko lain adalah defisiensi imun, misalnya pada pasien transplantasi organ dengan pemberian obat imunosupresif atau pada pasien cangkok sumsum tulang.Etiologi LNH sebagian besar tidak diketahui, namun terdapat beberapa faktor resiko:1) Imunodefisiensi; 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah: severe combined immunodeficiency, hypogammaglobulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.2) Agen infeksius; EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkitt endemik, lebih jarang pada limfoma Burkitt sporadik. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan genetic.

3) Paparan lingkungan dan pekerjaan; beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan risiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.

4) Diet dan paparan lainnya; risiko LNH meningkat pada orang yang mengonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet..5A.5. TRANSFORMASI DAN MIGRASI LIMFOSIT

Seperti sel darah lainnya, sel limfosit dalam kelenjar limfe juga berasal dari sel-sel induk multipotensial di dalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial pada tahap awal bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami pematangan dalam kelenjar thymus untuk menjadi sel limfosit T, dan sebagian menuju kelenjar limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi menjadi sel limfosit B.

Apabila terdapat rangsangan oleh antigen yang sesuai, maka limfosit T maupun B akan bertransformasi menjadi bentuk aktif dan berproliferasi. Limfosit T akan menjalankan fungsi respon imunitas seluler, sedangkan limfosit B aktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi sel plasma yang membentuk imunoglobulin. Terjadi perubahan morfologi yang mencolok pada perubahan ini dimana sitoplasma yang sedikit/kecil pada limfosit B tua menjadi bersitoplasma banyak/luas pada sel plasma, perubahan ini terjadi pada sel limfosit B di sekitar atau di dalam centrum germinativum. Sedangkan limfosit T aktif berukuran lebih besar dibanding limfosit T tua.

Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: (1) ukurannya semakin besar (2) kromatin inti menjadi lebih halus (3) nukleolinya terlihat (4) protein permukaan sel mengalami perubahan. Tahap diferensiasi limfosit yang terjadi keganasan menentukan tipe limfoma.

Gambar 2. Diferensiasi sel limfositA.6. PATOGENESIS

Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada sel-sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi terjadinya keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor tumor, gen yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA.

Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya, kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi tanpa henti.

Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan seharusnya sudah mati menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker.3

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya keganasan

Beberapa gen berperan dalam patogenesis limfoma. Abnormalitas sitogenetik telah ditemukan pada beberapa tipe limfoma. Translokasi kromosom merupakan genetic hallmark keganasan limfoid. Proses ini diduga berhubungan dengan antigen receptor gene rearrangement (gen Ig pada sel B dan gen TCR pada sel T). Gambaran umum translokasi gen ini adalah berubahnya letak protoonkogen pada daerah proksimal rekombinasi kromosom. Hal ini menyebabkan berubahnya pola ekspresi gen sebagai akibat juxtaposition regulatory sequens dari kromosom (deregulasi protoonkogen). Sekuens DNA dari beberapa translokasi kromosom menunjukkan bahwa gen-gen yang dalam keadaan normal mengatur sintesis imunoglobulin rantai ringan dan berat berpindah posisi pada gen-gen yang mengatur aktivasi dan proliferasi sel. Diduga gen-gen yang mengalami transformasi ini (onkogen) diatur oleh elemen regulator yang dalam keadaan normal mengatur proliferasi dan diferensiasi sel.5A.7. MANIFESTASI KLINISLimfoma non-Hodgkin memiliki gejala klinis berupa adanya massa abdominal dan intratroakal (mediastinum) yang sering kali disertai dengan adanya efusi pleura. Pada anak seringkali ditemukan pada limfoblastik sel T. Gejala yang menonjol adalah nyeri, disfagia, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher akibat adanya obstruksi vena cava superior. Pembengkakan kelenjar limfe (limfadenopati) di sebelah atas diafragma meliputi leher, supraklavikula, atau aksila, tetapi jarang sekali retroperitoneal adanya pembesaran kelenjar limfa dan hati menunjukkan adanya keterlibatan sumsum tulang dan seringkali pasien menunjukkan gejala-gejala leukemia limfoblastik akut, jarang sekali melibatkan gejala susunan saraf pusat, kadang-kadang disertai pembesaran testis.14,15Limfoma limfoblastik merupakan bentuk yang berkembanng secara progresif, dengan gejala yang timbul dalam waktu singkat kurang dari 1 bulan. Gambaran labratorium biasanya masih dalam batas normal dengan kadar LDH dan asam urat yang meningkat sebagai akibat adanya tumor lisis maupun adanya nekrosis jaringan.15Pada limfoma Hodgkin, pembesaran limfe daerah servikal dan supraklavikula yang hilang timbul dan tidak menimbulkan rasa nyeri (asimtomatik). Pada 80% anak dengan penyakit Hodgkin pembesaran kelenjar leher yang menonjol, 60% diantaranya juga disertai pembesaran massa di mediastinum yang akan menimbulkan gejala kompresi pada trakea dan bronkus. Pembesaran kelenjar juga ditemukan di daerah inguinal, aksila, dan supradiafragma meskipun jarang. Gejala konstitusi yang menyertai diantaranya adalah demam, keringat malam hari, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, ditemukan pada 40% pasien, sedangkan demam intermiten diobservasi pada 35% kasus.14Gambaran laboratorium pada umumnya tidak spesifik, diantaranya adalah leukositosis, limfopenia, eosinofilia, dan monositosis. Gambaran laboratorium ini merupakan refleksi dari aktivitas yang meningkat di sistem retikuloendotelial (misalnya meningkatkan laju endap darah, kadar serum ferritin, dan kadar serum tembaga) dipergunakan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit setelah terdiagnosis. Anemia yang timbul merupakan deplesi dari imobilisasi zat besi yang terhambat ini menunjukkan adanya penyakit yang telah meluas. Anemia hemolitik pada penyakit Hodgkin menggambarkan tes Coomb positif menunjukkan adanya retikulosis dan normoblastik hiperplasia dari sumsum tulang. Pada pemeriksaan fisik berupa palpasi terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri dapat ditemukan di leher terutama supraklavikula (60-80%), aksila (6-20%), dan yang paling jarang adalah di daerah inguinal (6-20) dengan konsistensi kenyal seperti karet.16Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi Costwell.8,9,13Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang dimodifikasi CostwellKeterlibatan/Penampakan

Stadium

IKanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ ekstralimfatik

IIKanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama

IIIKanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma ditambah dengan organ ekstralimfatik atau limpa

IVKanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ ekstralimfatik

Suffix

ATanpa gejala B

BTerdapat salah satu gejala di bawah ini:

Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui penyebabnya

Demam intermitten > 38 C

Berkeringat di malam hari

XBulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm, atau , massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari diameter transthoracal maximum pada foto polos dada PA

Gambar 4. Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor

Penentuan stadium juga dapat didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan. Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja yang baru, yaitu17:Tingkat rendah: Tipe yang baik

1. Limfositik kecil

2. Sel folikulas, kecil berbelah

3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah

Tingkat sedang: Tipe yang tidak baik

1. Sel folikulis, besar

2. Sel kecil berbelah, difus

3. Sel campuran besar dan kecil, difus

4. Sel besar, difus

Tingkat tinggi: Tipe yang tidak menguntungkan

1. Sel besar imunublastik

2. Limfoblastik

3. Sel kecil tak berbelahTiap stadium dibagi lagi ke dalam kategori A dan B. B untuk pasien dengan gejala tertentu dan A untuk yang tanpa gejala tersebut. Klasifikasi B akan diberikan pada pasien dengan:

1. Penurunan berat badan yang tidak dapat diterangkan dimana besarnya lebih dari 10% dari berat badan dalam 6 bulan sebelum masuk rumah sakit.

2. Demam yang tidak dapat diterangkan dengan suhu di atas 38C

3. Keringat malam hari.

A.8. DIAGNOSIS

Diagnosis dilakukan dengan berbagai tahap mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Keluhan pasien terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam, kerringat dan gatal.14,15Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan mengenai luas penyakit atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien dengan LH serta pada penakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besim tetapi denan simpanan besi yang nomal atau meningkat. Di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan. Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang menerita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolut, limfositopenia absolut ( 15,000/mm3

Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih

Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%, sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan hidupnya hanya 59%.8

Sedangkan untuk limfoma non-Hodgkin, faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain:

usia (>60 tahun) Ann Arbor stage (III-IV) hemoglobin (4) and serum LDH (meningkat)

Kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah (memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).9B. LIMFOMA GASTROINTESTINALSaluran gastrointesinal merupakan lokasi predominan dari limfoma non-Hodgkin ekstranodal (NHL). Jumlah kasusya mencapai sepertiga dari NHL ekstranodal primer, namun hanya 1-4% yang menuju keganasan.Limfoma gastrointestinal merupakan suatu limfoma yang jarang terjadi, dengan 0,8-1,2 kasus per 100.000 individu per tahun.18 Lokasi tersering yang terkena adalah lambung, diikuti oleh usus halus dan regio ileocecal. Limfoma gastrointestinal biasanya merupakan keganasan sekunder. Limfoma difus sel B merupakan bentuk yang paling umum ditemui pada limfoma gastrointestinal, dapat terjadi di seluruh saluran pencernaan. Dibandingkan dengan limfoma sel B, limfoma sel T dan limfoma Hodgkin sangat sedikit terjadi di saluran gastrointestinal.19Limfoma gastrointestinal dapat berasal dari limfoma non-Hodgkin, yaitu mucosa-associated lymphoid tissue (MALT). Bentuk ini terjadi pada jaringan limfe ekstranodal sebagai respon adanya inflamasi tertentu. Infeksi Helicobacter pylori, imunosupresi terkait transplantasi, inflammatory bowel disease (IBD), dan human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor resiko dari limfoma gastrointestinal.20Transformasi sel menuju keganasan disebabkan oleh mutasi gen spesifik tertentu. Inaktivasi dari gen supresor tumor p53, fenotip replication error repair (RER), dan mutasi proto onkogen c-myc terjadi pada perkembangan limfoma high grade. Infeksi H. pylori menghasilkan autoantigen yang menginisiasi aktivasi sel T dan kemotaksis neutrofil yang diperlukan dalam proses peradangan. Aktivasi humoral lokal dan respons sel T menginduksi produksi sitokin proinflamatori, yang pada akhirnya menstimulasi proliferasi sel B. Adanya gen sel B autoreaktif yang tidak stabil yang berhubungan dengan adanya infeksi H. pylori menyebabkan perkembangan limfoproliferatif monoklonal, yang nantinya akan menjadi autonom, menstimulasi poliferasi sel T lebih banyak lagi, yang akhirnya berubah menjadi keganasan.Diagnosis limfoma gastrointestinal primer memerlukan konfirmasi histologi dari limfoma tanda adanya bukti akan adanya imfadenopati perifer atau hepatosplenomegali. Kriteria Dawson untuk melihat adanya limfoma gastrointestinal primer yaitu (1) tidak adanya limfadenopati di daerah lain; (2) tidak atau terjadi pembesaran nodus limfe mediastinum yang minimal; (3) jumlah sel dan hitung jenis sel darah putih normal; (4) lesi usus predominan dan (5) tidak adanya keterlibatan hati dan limpa. Terdapat tumpang tindih dalam gambaran klinis limfoma gaster dan adenokarsinoma. Limfoma gaster dapat menimbulkan gejala non-spesifik seperti nyeri abdomen, anoreksia, nausea (dengan atau tanpa muntah), dan penurunan berat badan. Gejala lain seperti lelah, diare, dan konstipasi dapat terjadi namun tidak dominan. Limfoma gaster lebih umum menyebabkan perdarahan daripada perforasi. Obstruksi jarang terjadi dan cenderung terjadi apabila terjadi di lambung bagian distal atau usus halus.Sebelum adanya endoskopi, diagnosis limfoma gaster berdasarkan atas radiologi atau pembedahan eksplorasi. Namun, sulit membedakan limfoma gaster dengan adenokarsinoma berdasarkan pemeriksaan radiologi saja. Pemeriksaan sitologi dari sikat lambung dapat mendiagnosis limfoma gastrointestinal pada 28-56% kasus. Endoskopi dapat dilakukan sambil mengambil sampel, sehingga lebih baik tanpa perlu tindakan pembedahan. Endoskopi sendiri atau dikombinasi dengan radiografi barium merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mendiagnosis limfoma.

Gambar 5. Gambaran endoskopi dari limfoma gaster primer. Tampak massa di daerah submukosa. (A) Penebalan difus dan (B) lipatan mukosa iregularSebagian besar limfoma GI berasal dari sel B (98%). Penentuan staging dapat dibedakan menjadi low grade dan high grade. Limfoma low grade tampak dengan adanya sel centrocyte-like diantara folikel limfosit pada dinding lambung dengan gambaran seperti Plak Payer dibanding nodus life perifer. Adanya lesi limfoepitelial merupakan patogmonik pada limfoma MALT. Limfoma high grade ditandai dengan adanya sel yang menginvasi hingga kelenjar mukosa, dengan destruksi lebih besar. Klasifikasi Ann Arbor yang dimodiikasi digunakan untuk menentukan staging limfoma GI, yaitu berdasarkan lokal atau tidaknya, regional nodus limfe, keterlibatan hati atau limfe, dan sumsum tulang (Tabel 1)Tabel 1 . Klasifikasi Ann Arbor mengenai staging limfoma GI

Tata laksana limfoma low grade dilakukan dengan melihat jenis keganasan yang terjadi. Pada limfoma MALT yang behubungan dengan infeksi H. pylori terapi antimkroba diberikan paling tidak selama 7 hari. Pada sebuah studi prospektif, pasien dengan grade I dan II limfoma MALT diberikan terapi dengan dua atau tiga antibiotik selama 32 hari, menunjukkan adanya remisi penuh dengan gambaran histopatologi bebas limfoma. Terapi pembedahan atau kemoterapi diperlukan pada kasus-kasus tertentu.

Gambar 6. Algoritma tata laksana limfoma MALT low grade dan non-MALTStadium klinikopatologi dari limfoma menentukan respons tumor terhadap terapi, kemungkinan relaps, dan waktu bertahan hidup. Penyebaran limfoma ke nodus limfe intraabdominal menandakan prognosis yang buruk. Pada sebuah studi yang dilakkan oleh Brands et al meyatakan kemungkinan bertahan hidup pada stadium IE adalah 77%, stadium II1E 70%, stadium II2E 37%, staidum IIIE 31%, dan stadium IV 27%.DAFTAR PUSTAKA

1. Reksodiputro, A. dan Irawan, C. 2006. Limfoma Non-Hodgkin disunting oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta: EGC p:475-479

3. Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th Edition. Philadelphia: Elsevier & Saunders

4. Cardona DM, Layne A, Lagoo AS. Review Article: Lymphomas of the gasro-intestinal tract: Patophysiology, patology, and differential diagnosis. Indian Journal of Pathology and Microbiology. 2012: 55, 1, p1-165. Oehadian A & Fadjari TH. Dasar-Dasar Biologis Limfoproliferatif dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007

6. Departemen Onkologi FKUI. Limfoma Maligna disunting Wan Desen dalam Buku Ajar Onkologi Klinik Edisi II. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008 h:547-63

7. Depar temen Ilmu Bedah FKUI. Tumor Onkologi dalam Reksprodjo S Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang: Bina Rupa Aksara. 20088. Dessain, SK. Hodgkin Disease. [serial online]. http://emedicine. medscape.com/article/201886-overview. 2009.9. Vinjamaram, S. 2010. Lymphoma, Non-Hodgkin. [serial online]. http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview. 10. Chabner BA, Lynch TJ, Longo DL. Lymphoid Malignancies in Harrisons Manual of Oncology. The McGrew Hill p213-22411. Sumantri R. Penyakit Hodgkin disunting oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia12. Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant Lymphoma. Swiss Med Wkly (134) : 472-480.13. Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes, Sixth Edition. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari dan Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC

14. Sudarmanto M,Sumantri AG. Limfoma Maligna dalam Buku Ajar Hematologi Onkologi. Edisi III. IDAI. Jakarta. 2012 h.248-54

15. Hudson MM. Limfoma non Hodgkin dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2012. h. 1780-8316. Gillchrist G. Lymphoma. Dalam Nelson Textbook of Pediatrics 17th Edition. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2007. h. 1701-617. Santoso M, Krisifu C. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. DEXA MEDIA. 2004;4(17)18. Fatin M. Al Sayes. Gastrointestinal Non-Hodgkin Lymphoma: A Clinico-Pathological Study. The Saudi Journal of Gastroenterology 2008.12;319. World J Gastroenteriol

20. Arenas RB. Gastric Lymphoma in: American Cancer Society. Atlas of Clinical Oncology. Cancer of the Upper Gastrointestinal Tract. Hamilton: BC Decker Inc. 20021