liberalisasi syariah islam

27
1 Wacana Liberalisasi Islam: Studi Kasus atas bidang Syariah* Nirwan Syafrin (Peneliti Institute for Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)) Pendahuluan Kehadiran Islam liberal dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ‘aqidah dan syari’at Islam seperti mempertanyakan kesucian dan otentisitas al-Qur’an; 1 mengkritik otoritas nabi beserta hadith-hadith sahih-nya, menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para ‘ulama. Umumnya kaum liberalis ini menolak penerapan syari’at Islam. karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat hari ini. Secara eksplisit mereka menyatakan beberapa hukum Islam bertentangan dengan prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Seperti hukum Islam yang berkaitan dengan non-Muslim, dikatakan sangat diskriminatif karena menempatkan penganut agama lain lebih rendah daripada penganut Islam, 2 lalu merekapun menghujat hukum murtad karena dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan Agama. 3 Belum lagi tentang hukum Islam tentang wanita; ia selalu dituduh tidak ramah dan melecehkan perempuan sehingga mereka menyarankan agar dilakukan penafsiran ulang dan kalau didekonstruksi. 4 Belakangan ini gugatan semacam itu mulai ditujukan pada persoalan ‘ibadah mahdah seperti salat, puasa, haji dan lain-lain. Dan contoh yang paling kasat mata 1 Ide ini banyak disuarakan oleh Mohammad Arkoun, pemikir asal al-Jazair yang sudah puluhan tahun menetap di Perancis dan menjadi Professor di Sarbone University dalam bidang kajian keIslaman. Idenya ini dapat dibaca dalam beberapa karyanya seperti, Mohammad Arkoun, Al-Fikr al-Islami: Qir’aah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996); idem, Al-Qur’an min al-Tafsir al-Mawruth ila tahlil al-Khitab al-Dini, terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr); idem, Tarikhiyyah al-Fikr al- Islami, terj. Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi,1996). Ringkasan ide-ide Arkoun tentang al-Qur’an ini dapat dibaca di Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajj, “Intihak Qadasah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” Al-Muslim al-Mu’asir, no. 115, 2005, 103 -123; Nu’man ‘Abd al-Razzaq al- Samarra’i, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikr al-Ishtishraqi bayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id (Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’), hal. 57-66. Dan studi kritis atas idenya bisa dilihat pada, Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist Approach to the Qur’an: Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writings of Two Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun (Kuala Lumpur, Disertasi Doktoral di International Islamic University Malaysia (IIUM), 2003), dan Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 63-69. 2 Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadian Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), ix. 3 Lihat Abdullah Saeed dan Hassan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy, and Islam (Berlington: Ashgate, 2004) 4 Diantara usulan mereka tertuang dalam Counterdraft Kompilas Hukum Islam

Upload: hudzai83

Post on 08-Jun-2015

2.964 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Liberalisasi Syariah Islam

1

Wacana Liberalisasi Islam: Studi Kasus atas bidang Syariah*

Nirwan Syafrin (Peneliti Institute for Study of Islamic Thought

and Civilization (INSISTS))

Pendahuluan

Kehadiran Islam liberal dalam dunia pemikiran Islam akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang mereka usung dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ‘aqidah dan syari’at Islam seperti mempertanyakan kesucian dan otentisitas al-Qur’an; 1 mengkritik otoritas nabi beserta hadith-hadith sahih-nya, menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para ‘ulama. Umumnya kaum liberalis ini menolak penerapan syari’at Islam. karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat hari ini. Secara eksplisit mereka menyatakan beberapa hukum Islam bertentangan dengan prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Seperti hukum Islam yang berkaitan dengan non-Muslim, dikatakan sangat diskriminatif karena menempatkan penganut agama lain lebih rendah daripada penganut Islam, 2 lalu merekapun menghujat hukum murtad karena dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan Agama. 3 Belum lagi tentang hukum Islam tentang wanita; ia selalu dituduh tidak ramah dan melecehkan perempuan sehingga mereka menyarankan agar dilakukan penafsiran ulang dan kalau didekonstruksi. 4

Belakangan ini gugatan semacam itu mulai ditujukan pada persoalan ‘ibadah mahdah seperti salat, puasa, haji dan lain-lain. Dan contoh yang paling kasat mata

1 Ide ini banyak disuarakan oleh Mohammad Arkoun, pemikir asal al-Jazair yang sudah puluhan tahun menetap di Perancis dan menjadi Professor di Sarbone University dalam bidang kajian keIslaman. Idenya ini dapat dibaca dalam beberapa karyanya seperti, Mohammad Arkoun, Al-Fikr al-Islami: Qir’aah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996); idem, Al-Qur’an min al-Tafsir al-Mawruth ila tahlil al-Khitab al-Dini, terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr); idem, Tarikhiyyah al-Fikr al- Islami, terj. Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi,1996). Ringkasan ide-ide Arkoun tentang al-Qur’an ini dapat dibaca di Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajj, “Intihak Qadasah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” Al-Muslim al-Mu’asir, no. 115, 2005, 103 -123; Nu’man ‘Abd al-Razzaq al- Samarra’i, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikr al-Ishtishraqi bayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id (Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’), hal. 57-66. Dan studi kritis atas idenya bisa dilihat pada, Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist Approach to the Qur’an: Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writings of Two Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun (Kuala Lumpur, Disertasi Doktoral di International Islamic University Malaysia (IIUM), 2003), dan Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 63-69. 2 Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadian Bekerjasama dengan The Asia

Foundation, 2004), ix. 3 Lihat Abdullah Saeed dan Hassan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy, and Islam (Berlington: Ashgate, 2004) 4 Diantara usulan mereka tertuang dalam Counterdraft Kompilas Hukum Islam

Page 2: Liberalisasi Syariah Islam

2

adalah apa yang telah dipraktekkan oleh Aminah Wadud dalam soal mengimami dan menjadi khatib salat Jum’at. 5 Beberapa bulanlalu beberapa cendekiawan Muslim Indonesia menyokong praktek salat dengan menggunakan dwi bahasa (Arab dan Indonesia) yang dipraktekkan oleh sekelompok Muslim di Jawa Timur. 6 Dan dua tahun silam seorang kiyai (ustad) muda dari organisasi Nahdhatul ‘Ulama (NU) merekomendasikan agar mengubah waktu pelaksaan ibadah haji yang selama ini dilakukan pada ayyam al-tashriq bulan Dhul Hijjah. 7

Demikianlah beberapa masalah keislaman yang belakangan ini telah mencuat dalam wacana pemikiran Islam di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Artikel ini mencoba untuk mengeksplorasi dan sekaligus mengkritisi beberapa pandangan pemikir Muslim liberal tentang beberapa isu yang terkait dengan syari’at Islam. Namun sebelum membahas topik tersebut, penulis akan menjelaskan makna liberal dan isu-isu yang terkait dengannya.

Wacana Liberalisme dalam Pemikiran Islam Kontemporer

Trend pemikiran Islam liberal merupakan penomena global yang belakangan ini mulai menggejala di hampir seluruh belahan dunia Islam seiring dengan derasnya arus ekspansi neo-imperialisme Barat. Di Indonesia trend ini selalu diidentikkan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun tidak seluruh liberalis yang ada di Indonesia tergabung dalam Jaringan ini; mereka menyebar di berbagai institusi-institusi perguruan tinggi, organisasi keagamaan, dan juga LSM-LSM. Bila dicermati sejak awal berdirinya, JIL sebenarnya bukanlah sebuah gerakan intelektual murni, tapi gerakan ideologis. Ia lahir sebagai respon terhadap apa yang mereka anggap sebagai radikalisme dan fundamentalisme Islam yang mulai marak seiring dengan jatuhnya rejim pemerintahan Orde Baru Soeharto. Ada yang mengatakan bahwa Jaringan ini hanya merupakan kelanjutan dari gerakan ‘pembaharuan’ yang pernah digagas Nucholish Madjid, Abdur Rahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Harun Nasution dan lain-lain. 8 Ada juga yang melihat gerakan JIL sebagai ungkapan ketidak berdayaan dalam berhadapan dengan penomena global yang di dominasi dan dihegemoni peradaban Barat. Mereka merasa rendah diri (inferior) serta silau dengan kemajuan yang diraih Barat sehingga mereka merasakan bahwa bila umat Islam ingin maju maka mereka harus mengikuti jejak langkah Barat. Untuk itu umat Islam harus mengadopsi

5 Meskipun para ‘ulama terkemuka di dunia telah menyatakan kesalahan atas perbuatan Aminah Wadud ini, oleh beberapa pendukung JIL perbuatan itu malah diberikan justifikasi .lihat wawancara K.H. Hussein Muhammad dan Nur Rofi’ah, “Perempuan Boleh Mengimami Laki-Laki”, 04/04/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=793. 6 Lihat misalnya wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,” 16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816. 7 Lihat Masdar F. Mas’udi, “Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji,” http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=480. 8 Untuk keterangan lanjut tentang proses lahir dan berkembangnya Jaringan ini bisa dibaca pada Muhamad Ali, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia,” American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 22, no. 1, 2005, hal. 1-27.

Page 3: Liberalisasi Syariah Islam

3

prinsip-prinsip seperti demokrasi, kebebasan agama dan berpendapat, persamaan kedudukan laki-laki dan wanita, pemisahan agama dari ruang publik, dan lain sebagainya.

Pada batas-batas tertentu dunia Islam memang perlu mengkaji ulang beberapa kebijakan mereka berhubung isu-isu kebebasan berpendapat, hak wanita, kebebasan dan lain sejenisnya. Tetapi melakukan importasi membabi buta atas konsep Barat tentang persoalan ini tanpa kritis bukanlah langkah yang bijak. Menurut Fazlur Rahman, yang ide-idenya banyak di serap dan dijadikan rujukan kelompok liberal di Indonesia, inilah sesungguhnya salah satu kelemahan gerakan modernis Muslim, “the ad hoc issues the Modernists chose were, in the nature of case, those that had become issues in and for the West. Although the Modernists were sincere both in adopting them, their ad hoc character left strong impression that the Modernists were both Westernized and Westernizers.” 9

Gerakan liberalisme Islam di Indonesia sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari skenario percaturan politik dan intelektual dunia. Mereka banyak dipengaruhi oleh karya-karya cendikiawan Muslim Arab liberal. Tokoh-tokoh seperti Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmad Na’em, Muhammad Sa’id ‘Ashmawi, M. ‘Abid al-Jabiri, Fazlur Rahman, Fatima Mernisi, Amina Wadud, Rif’at Hassan dan pemikir lain yang sangat kritis-dekonstruktif terhadap kajian Islam klasik telah menjadi rujukan utama mereka. Hampir keseluruhan karya para intelektual ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun sayangnya, mereka begitu saja menerima pemikiran para cendikiawan tersebut tanpa kritis.

Tidak dapat dinafikan bahwa popularitas istilah Islam liberal di Indonesia sangat terkait dengan terbitnya karya Charles Kurzman Liberal Islam: A Source Book dalam terjemahan Indonesianya. Tapi jauh sebelum Kurzman, Albert Hourani juga telah menggunakan istilah yang sama untuk bukunya Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 10 . Istilah liberal disini ditujukan Hourani kepada pergolakan pemikiran yang terjadi di dunia Arab pada era Kebangkitan (‘asr al-nahdah). Selang lebih kurang dua puluh tahun, Leonard Binder kembali menggunakan perkataan liberal untuk karyanya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. 11 Hourani tidak memberikan definisi definitif atas terma liberal ini. Demikian juga dengan para pendiri JIL tidak mendefisinikan istilah yang mereka gunakan ini. Bagi Kurzman:

“liberal Islam” refers to interpretations of Islam that have a special concern regarding such issues as democracy, separating religion from

9 Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch dan Pierre Chachia (eds.), Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 324. 10 Cambridge: Cambridge University Press, 1988. Buku ini pertama kali dicetak pada tahun 1962. 11 Chicago: The University of Chicago Press, 1988.

Page 4: Liberalisasi Syariah Islam

4

political involvement, women's rights, freedom of thought, and promoting human progress.” 12

Definisi ini jelas tidak definitif. Karena ia tidak memberikan batasan jelas yang dapat membedakannya dengan trend pemikiran Islam lain seperti modernisme atau neo- modernisme. Mungkin atas sebab ini pula, makanya tokoh seperti Yusuf al-Qaradawi dan M. Natsir dia kategorikan sebagai liberal.

Binder mencoba mendefinsikan liberalisme berdasarkan cara pandang mereka terhadap al-Qur’an. Katanya:

For Islamic Liberals, the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and meaning of the revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effrot beyond them, seeking that which is represented or revealed by language. 13

Definisi Binder ini pun juga agak kabur. Andaikan ini yang dijadikan ukuran liberalisme maka keseluruhan ‘ulama Islam akan masuk kategori liberal. Sebab pada prinsipnya tidak ada seorang ‘ulamapun yang sepenuhnya berpegang pada tekstual al- Qur’an dalam memahami al-Qur’an terkecuali mungkin mazhab Zahiriyyah. Hatta Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn Taimiyyah, yang selalu disebut sebagai gembong Islam literalis, juga bukan orang yang secara membabi buta berpegang pada harfiyyah al-Qur’an tanpa mengindahkan makna yang terkandung dibaliknya. Banyak fatwa- fatwa tokoh ini yang selalu melampaui apa yang tersurat. Mungkin atas ketidak jelasan definisi ini juga, mereka akhirnya melabel sahabat seperti ‘Umar bin Khattab dan ‘ulama seperti Abu Hanifah sebagai orang yang bertanggung jawab meletakkan dasar berpikir liberalisme. 14

Di dunia pemikiran Arab modern dan kontemporer istilah liberal atau liberalisme memang sudah tidak asing. Para penulis dan intelektual Arab biasanya menggunakan istilah tersebut merujuk kepada sekelompok intelektual Arab yang menyanjung tinggi peradaban Barat dan berusaha untuk mengikutinya. Bagi kelompok ini Barat adalah model peradaban masa kini dan untuk maju tidak ada jalan lain kecuali mencontoh Barat. Kelompok ini biasanya dianggap sebagai anti-tesis kepada gerakan salafiyyah yang menjadikan kejayaan masa silam sebagai model yang patut dianut untuk melepaskan umat dari belenggu keterbelakangan. Berdiri diantara keduanya adalah aliran intiqa’iyyah, yaitu kelompk yang berusaha menggabungkan apa yang baik dan positif dari kedua peradaban Barat dan Islam. 15

12 Charles Kurzman, “Islamic Liberalism; Prospects and Challenges”, http://www.biu.ac.il/SOC/besa/meria/journal/1999/issue3/jv3n3a2.html. 13 Leonard Binder, Islamic Liberalism, 4. 14 Ahmad Sahal, “Umar bin Khattab dan Islam Liberal,” Tempo, 7 April 2002, 49-50. 15 Lihat Fahmi Jad’an, Nazariyyah al-Turats (‘Amman, Jordan: Dar al-Shuruq li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1985), 23ff; Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’asir (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah,

Page 5: Liberalisasi Syariah Islam

5

Dalam wacana Arab kontemporer istilah liberal seringnya berkonotasi ‘negatif’ sehingga tak seorangpun pemikir Muslim Arab yang mau disebut liberal, meskipun oleh penulis lain mereka selalu dipandang sebagai gembong liberal. Hasan Hanafi sendiri -yang dikenal dengan aliran Islam Kirinya dan dijadikan sebagai pemikir liberal garda depan di Indonesia- tidak ingin dikategorikan dalam kelompok ini. Ia bahkan memberikan beberapa catatan kritis atas gerakan liberalisme sekularis yang ia saksikan berkembang di dunia Arab. Menurutnya gerakan ini telah gagal merealisasikan cita- cita Kebangkitan (al-nahdah) karena tidak berpijak pada warisan (turath/heritage) sendiri; mereka melepaskan diri dari warisan masa lalunya sendiri dan berpeluk pada warisan orang lain (Barat). Apa yang dilakukan kelompok ini bukannya reformasi tapi westernisasi. Dan westernisasi jelas akan menemui kegagalan, kata Hanafi, karena ia akan bertabrakan dengan warisan keagamaan yang sudah sejak ribuan tahun hidup ditengah masyarakat dan dengan budaya lokal yang eksistensinya menancap jauh dalam kehidupan masyarakat. 16

Muhammad ‘Abid al-Jabiri, pemikir asal Maroko yang juga menjadi salah satu rujukan utama para liberalis Indonesia, juga melontarkan kritik pedas atas trend liberalisme. Dalam pandangannya trend ini tidak berpijak pada ‘bumi’ nyata’; pendukungnya hidup dalam mimpi dan angan-angan. Mereka ingin menjiplak Barat untuk merekonstruksi peradaban bangsanya tanpa menghiraukan perbedaan pengalaman sejarah yang dilalui kedua bangsa ini. Jabiri bukan saja menolak liberalisme, ia juga tidak setuju dengan penggunaan perkataan nahdah untuk mendiskripsikan projek pembaharuan yang berlangsung di dunia Arab Islam sejak abad 19 silam. Katanya nahdah adalah terjemahan langsung dari kata Renaisance. Secara konseptual kuduanya memiliki perbedaan signifikan. Renaisance artinya hidup kembali (rebirth) atau bangkit dari zaman kegelapan (dark age/’asr al-dhalam) dengan cara merevitalisasi warisan Yunani dan Roman kuno; ia bermula di Italia pada abad 15 dan 16 dan kemudian menyebar kesuluruh dunia Eropa. Jadi renaisance sebagai sebuah konsep merujuk pada realitas nyata masa lalu masyarakat Barat, ia bukan sekedar angan-angan. Hal ini berbeda dengan nahdah, karena yang terakhir ini tak lebih dari sekedar angan-angan yang diharapakan akan berlaku pada masa akan datang. 17 Dalam konteks inilah, Jabiri kemudian mengkritik Salamah Musa yang mengajak untuk

1992), 38ff. Tayyib Tizini mengkalsifikasinya kepada dua tipologi berdasarakan komitmen ideologi dan epistemologi; pertama, kelompok Kiri, kelompok yang berjuang demi kepentingan golongan tertindas (tabaqat kadiha), dan kedua golongan anti progress dan berjuang untuk kepentingan ‘pemeras’. Dalam tipologi terakhir ini, dia memasukkan aliran salafiyyah (atavism), ‘asraniyyah (modernism), talfiqiyyah (eclecticism), tahyidiyyah (neutralism), dan markiziyyah Awrubbiyyah (eurocentrism). Berbeda dengan Tizini, Ghali Shukri membaginya kepada tiga corak saja: Islamis, liberal, dan Kiri (yasariyyah). Sementara itu, Abdullah ‘Urwi memetakannya menjadi salafiyyah, intiqa’iyyah, dan tarikhaniyah. Lihat Loauy M. Safi, The Challenge of Modernity: the quest for authenticity in the Arab world (University Press of America, 1994), 175; Muhammad Najib BuTalib, “Qira’at fi al-Qira’at al-Jadaliyyah li al- Turats al-‘Arabi,” Al-Mustaqbal al-‘Arabi, no. 104, Oktober 1987, 148. 16 Ahmad Muhammad Salim, “Muqarabah bayn ‘al-Turath wa al-Tajdid” wa “Naqd al-‘Aql al-‘Arabi”,” dalam Ahmad ‘Abd al-Halim ‘Atiyyah (ed.), Jadal al-Ana wa al-Akhar: qira’ah naqdiyyah fi Fikr Hasan Hanafi fi ‘id miladihi al-sittin (Al-Qahirah: Maktabah Madbuli al-Saghir, 1997), 883-84. 17 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’asir, 21.

Page 6: Liberalisasi Syariah Islam

6

meniru Barat secara total, Abdullah Laroui tokoh Marxis Arab, dan Zaki Najib Mahmud pengusung ide logika positivisme. 18

Terlepas dari kritik yang mereka lontarkan, bila pemikiran kedua tokoh ini diteliti lebih jauh, sebenarnya, baik mereka sadari atau tidak, merekapun sebenarnya termasuk dalam kategori pengusung ide-ide liberal. Seperti orang yang mereka kritisi, baik Hanafi dan Jabiri, kedua-duanya juga telah menjadikan Barat sebagai model untuk membangun peradaban Islam Arab. Hasan Hanafi yang getol mengkritisi trend liberalisme Islam adalah orang yang bertanggung jawab membawa masuk dan mengembangkan metode hermeneutika dalam kajian al-Qur’an. 19 Padahal hermeneutika merupakan sebuah metode yang lahir dari pandangan hidup sekuler (secular worldview) yang bertujuan untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi ketika berhadapan dengan Kitab Suci Bibel. 20

Jabiripun demikian juga. Meskipun tokoh ini keras mengkritisi liberalisme karena terikut-ikut dengan Barat, dia sendiri juga banyak mengikuti jejak langkah Barat terutama dalam kajiannya tentang konsep akal Arab. Pemikiran Jabiri sangat kental sekali diwarnai pemikiran Barat, khususnya yang berasal dari mazhab-mazhab filsafat Perancis. Secara inteltual dia banyak berhutang budi pada tokoh-tokoh seperti Gaston Bachelard, Georges Canguilhem, Michel Foucoult, Derrida, Gramsci, dan lain-lain. 21 Secara spesifik George Tarabishi bahkan menuduh Jabiri telah melakukan palagiat terhadap definis akal yang dikembangkan Lalande. 22 Pandangan Jabiri tentang akal Islam juga dapat dikategrikan cukup liberal. Kritikannya atas epistemologi bayani dan ‘irfani yang dikembangkan masing-masing oleh fuqaha’ dan kaum sufis dan tuduhannya atas Imam Ghazali sebagai orang yang bertanggung jawab menyebabkan akal Arab-Islam kehilangan fungsi dan dinamikanya (al-‘aql al-mustaqil) 23 merupakan sebuah afirmasi atas tesis orientalis Ernest Renan yang menilai bangsa Semit, termasuk Arab-Muslim, tidak mempunyai kompetensi untuk berfilsafat, dan 24 dan orientalis E. F. Gautier pernah menyatakan “The oriental mind is quite different from ours.

18 Ibid., 40ff. 19 Keterangan lebih lanjut tentang metode hermeneutika yang dikembang kedua pemikir ini sila baca, Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analysis Study of His Method of Interpreting the Qur’an (Montreal, Canada, Disetasi Doktor di Institute of Islamic Studies, McGill University, 2001); Moch. Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003); Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebesan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002). 20 Kritik atas aplikasi hermeneutika atas al­Qur’an bisa dibaca pada edisi perdana ISLAMIA, No. 1, Muharram 1425/Maret 2004. 21 Lihat Taha ‘Abdurrahaman, Tajdid al-Manhaj fi Taqwim al-Turats (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1994), 34; Ibrahim Abu Rabi’s, “Toward a Critical Arab Reason: The Contribution of the Moroccan Philosopher Muhamad ‘Abid al-Jabiri,” Islamic Studies, no.1, 2003, 70. 22 George Tarabishi, Naqd Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, yaitu: Nazariyyah al-‘Aql (Beirut: Dar al-Saqi, 1999), 12-15. 23 Lihat karyanya, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al- ‘Arabiyyah), 1989, cetakan pertama buku ini adalah 1984, khususnya 134ff; idem, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1992, cetakan pertama buku ini 1986. 24 Lihat Mustafa ‘Abd al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah (Al-Qahirah: maktabah al-Thaqafah al- Diniyyah, t.t), 10-11.

Page 7: Liberalisasi Syariah Islam

7

The oriental mind has no sense of critical rationalism, no sense of reality.” 25 Sebenarnya para intelektual ini dapat merasakan kerancuan pikiran kolega mereka masing-masing sehingga akhirnya mereka saling melontarkan kritikan sesama sendiri. Hanafi mengkritik Nasr Hamid 26 begitu juga sebaliknya. 27 Jabiri juga mendapat kritikan sorotan tajam para kalangan pemikir Arab kontemporer. 28

Liberalisasi atau Pembaharuan Syari’ah Gerakan liberalisasi selalu menjadikan Sayri’ah sebagai objek kritik karena

dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Dan usaha tersebut selalu mereka identifikasikan dengan pembaharuan. Wacana pembaharuan atau sering disebut dengan tajdid, islah, atau ihya’ (renewal, reform) bukanlah barang baru dalam Islam; ia merupakan built-in-system dalam dunia intelektual Islam. Rasullullah sendiri sudah mewanti-wanti kemungkinan terjadinya pembaharuan ini dalam sabdanya: “sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiap pangkal abad seorang mujaddid yang akan memperbaharui agamaNya”. Menurut data yang diberikan Ibn Athir dan Suyuti, program pembaharuan sudah berjalan sejak awal abad pertama hijriyah. Ini terbukti dengan tersenarainya ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz dan Imam Syafi‘i sebagai pembaharu abad pertama dan kedua. 29

Persoalan pembaharuan menjadi kritis menjelang abad ke 18 ketika kebanyakan dunia Islam mulai jatuh satu persatu ketangan imperialisme Barat dan mencapai titik kulminasinyanya tahun 1798 ketika Napoleon dengan kekuatan militernya menginvansi Mesir. Kehadiran Barat dengan segala perangkat modernitasnya telah menimbulkan berbagai persoalan bagi dunia Islam. Para pemimpin dan pemikir Muslim ketika itu mulai bertanya: kenapa bangsa Arab yang dulunya menguasi peradaban dunia ini kalah tertunduk dihadapan bangsa Barat?, sebuah pertanyaan yang kemudian diformulasikan Sakib Arsalan menjadi judul bukunya limadha ta’akhkhara al-muslimun wa taqaddama ghayruhum. Bisakah umat Islam sukses seperti Barat? Apakah Islam dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai modern sekular Barat? Awal abad kedelapan belas beberapa tokoh reformis Muslim mulai tampil untuk menjawab persoalan ini dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (m. 1792) terhitung sebagai tokoh yang paling awal mencanangkan pembaruan Islam

25 Dikutip dari Karim Douglas Crow, “Islam and Reason,” al-Shajarah, no. 1, vol. 8, 2003, hal. 109. 26 Hasan Hanafi, “’Ulum al-Ta’wil bayna al-Khassah wa al-‘Ammah: qira’ah fi ba’d A’mal Nasr Hamid Abu Zayd,” dalam Al-Ijtihad, no. 23, 1994. 27 Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, “Al-Turath bayn al-Ta’wil wa al-Talwin: qira’ah fi mashru’ al-yasar al-islami”, dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (al-Qahirah: Maktabah Madbuli, 1995), 139-193. 28 Diantara buku-buku yang mengkritik Jabiri karya GerogeTarabishi dalam seri Naqd Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, yaitu: Nazariyyah al-‘Aql (Beirut: Dar al-Saqi, 1999), idem, Ishkaliyyat al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Dar al-Saqi, 1998); Taha ‘Abd al-Rahman, Tajdid al-Manhaj fi Taqwim al-Turath (Beirut: Al-Markaz al-Thaqafi, 1994); Tayyib Tizini, Min al-Ishtishraq al-Gharbi ila al-Istighrab al-Maghribi (Dimashq: Dar al-Dhakirah, 1996): Hisham Ghasib, Hal Hunaka ‘Aql ‘Arabi (‘Amman, Jordan: Dar al-Tanwir al-‘Ilmi, 1993) 29 Bustami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdid al-Din (Kuwait: Dar al-Da’wah, 1984), 40, 41, dan 43.

Page 8: Liberalisasi Syariah Islam

8

dalam sejarah modern Islam. 30 Ini kemudian disusuli oleh al-Kawakibi di Syiria, Dahlawi dan Sayyid Ahmad Khan di India, Rifa’ah Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rashid Ridha di Mesir, dan lain-lain.

Menjelang tahun 1970an persoalan Islam dan modernitas, atau oleh para pemikir Muslim kontemporer secara bervariasi menyebutnya dengan al-Islam wa al- hadathah, al-asalah wa al-mu’asarah, al-turath wa al-tajdid, menjadi lebih rumit berikutan kekalahan bangsa Arab melawan Israel pada perang enam hari tahun 1967. Pertanyaan yang pernah diajukan ketika Napoleon menginvansi Mesir kembali mengemuka. Tapi kali ini pertanyaan itu lebih serius mengingat kekalahan ini terjadi setelah dunia Arab melakukan modernisasi besar-besaran dalam bidang militer dan pemerintahan. Makanya Issa J. Boullata menyebut peristiwa ini ujian pahit bagi modernisasi bangsa Arab (it is the acid test of Arab modernization). 31 Sebagai respon atas kekalahan ini, beberapa gerakan Islam mulai bermunculan. Mereka menilai bahwa pemerintahan dengan ideologi sekulernya telah gagal bukan saja untuk mensejahterakan rakyatnya hatta untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya. Sejak itulah gema kebangkitan Islam menyapa persada dunia Arab. Mereka menuntut penerapan syari’ah Islam sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan problema yang mereka. Karena didukung oleh massa yang banyak, gerakan ini pada tahap tertentu berhasil juga mempengaruhi banyak kebijakan pemerintah Arab. Ibrahim Abu Rabi’ menulis: “One can convingcingly argue that 1967 paved the way for various Islamic movements and ideologues to reformulate an alternative to the crisis of the nation/state and the social and political vacuum from the defeat,” 32

Ide penerapan syari’ah ini bagaimanapun tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari semua kalangan Muslim. Berbeberapa sarjana dan cendikiawan Muslim sebaliknya mengecam dan mencemoohkan kelompok yang memperjuangkan ide ini seperti yang dilakukan Faraj Fawdah. Fawdah memang bukan cendikiawan yang berlatar belakang pendidikan syari’ah, bidang studi garapannya adalah Teknik Pertanian (agricultural engineering), tapi dia sangat keras menentang gerakan Islam dan mereka yang menginginkan penerapan syari’ah Islam. Dia selalu menantang kelompok ini untuk berdebat dan perdebatannya yang terakhir adalah pada Pameran Buku Kairo 1992 dengan al-marhum Syaikh Muhammad al-Ghazali. Dalam perdebatan tersebut dia menyatakan: “saya menolak penerapan Syari’at Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau secara tadarrauj... karena saya melihat dalam penerapan Syari’at Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)... barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya

30 Tapi bagi Fazlur Rahman tokoh reformis Muslim abad modern adalah Ahmad Sirhindi (m. 1625). Lihat Fazlur Rahman, “Revival and Reform”, dalam P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 2: 673. 31 Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought (Albany: State University of New York, 1990),1. 32 Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Arab World (Albany: State University of New York Press, 1966), 262.

Page 9: Liberalisasi Syariah Islam

9

dapat menerima applikasi Syari’ah Islam... dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan Syari’at Islam.” 33 Ringkasnya Fawdah mendukung sekularisme dan menolak campur tangan agama dalam urusan pemerintahan. Di Mesir ide seperti ini tentunya tidak baru, ia pernah dilontarkan ‘Ali ‘Abd al-Razzak dalam bukunya Usul al-Hukm.

Fawdah kerap memperolok-olokan kelompok Islam yang ingin membentuk negara Islam. Menurutnya tidak ada satupun negara Islam ideal yang dapat dijadikan contoh. Diapun mengkritisi para Islamis ini karena terlalu mengagungkan sejarah masa silam. Baginya sejarah masa silam Islam tidaklah seindah yang mereka sangkakan. Ia penuh noda dan juga dosa. Sejarah Islam menurutnya adalah sejarah tragis umat manusia dibayangi dengan pertumpahan darah. Dia kemudian mengambil kasus kematian ketiga-tiga khulafa’ al-rashidun yang meninggal akibat pembunuhan untuk memperkuat argumentasinya. Dengan cara ini ia juga ingin membuktikan bahwa penerapan syari’ah Islam tidak dapat menjamin bahwa seluruh persoalan yang dihadapi umat akan selesasi.Banyak-banyak peristiwa tragis dan memalukan di masa lalu berlaku ketika syari’ah Islam masih diterapkan. Disini dia mencoba membawa beberapa kasus yang melibatkan beberapa sahabat seperti ‘Uthman bin ‘Affan, Talha ibn ‘Ubaidillah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Awf yang dituduhnya terlibat dalam skandal politk. Ia bahkan menuduh Ibn ‘Abbas terlibat korupsi. 34

Selain Fawdah, Muhammad Sa’id ‘Ashmawi juga terhitung sebagai cendikiawan Muslim Mesir yang keras menentang penerapan syari’ah. Menurut As’ad Abukhalil, Fawdah drndiri sebenarnya banyak mendapat inspirasi dari tokoh ini. 35 ‘Ashmawi, tidak seperti Fawdah, memiliki kepakaran dalam bidang hukum. Dia menyelesaikan studinya dari Fakultas Hukum Universitas Kairo tahun 1954 dan kemudian bekerja di bidang kehakiman. Dia pernah bekerja sebagai pembantu jaksa wilayah (assistant district attorney) sebelum diangkat menjadi jaksa wilayah (district attorney) untuk Alexandria. Tahun 1961 dia diangkat menjadi hakim dan beberapa tahun selanjutnya menduduki posisi penting dalam kehakiman, yaitu sebagai ketua hakim pada Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Kriminal, dan pada Pengadilan Tinggi bidang Keamanan Negara. Tahun 1978 ‘Ashmawi melanjutkan pelajarannya di Harvad Law of School. 36

‘Ashmawi termasuk penulis produktif. Dia telah menulis beberapa buku yang beberapa diantaranya sempat mendapat perhatian untuk

33 Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1990), 14. 34 Issa J. Boullata, Trends and Issues, 157-159; Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins, 256-257; As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of Islam: Anti-Conformist Tendencies in Contemporary Arab/Islamic Thought”, dalam Charles E. Butterworth dan I William Zartman (eds.), Between the State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Press and Cambridge University Press, 2001), 117 – 120. 35 Lihat catatan kaki no. 31 dari tulisan As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of Islam”, 123. 36 William E. Shepard, “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi and The Application of the Shari’a in Eypt”, dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 28, no. 1, February 1996, hal. 42.

Page 10: Liberalisasi Syariah Islam

10

diterjemahkan dalam bahasa Ingris seperti Usul al-Shari’ah. 37 ‘Ashmawi kerap mengkritik gerakan Islam sehingga menyebabkannya beberapa kali mendapat ancaman bunuh. Dia sempat mencetuskan polemik dengan al-Azhar karena mengkritik legalitas yang diberikan kepada institusi ini untuk menyensor musik, filem dan video. Kritikannya ini telah menimbulkan kemarahan ‘ulama al-Azhar sehingga sempat melarang peredaran beberapa buku-bukunya. Pelarangan itu ditarik kembali setelah intervensi presiden Mesir Husni Mubarak. 38

‘Ashmawi membedakan dua Islam, “political Islam” dan “enlightened Islam.” Dia memasukkan gerakan Islam pada kelompok pertama. Dia melihat bahwa tuntutan penerapan syari’at (tatbiq sl-shari’ah) atau enakmen syari’at (taqnin al-shari’ah) hanya slogan politik semata yang bertujuan untuk meraih dukungan politik. 39 Menurutnya tidak satupun perkataan syari’ah dalam al- Qur’an yang berkonotasi hukum (qanun ataupun tashri’) yang menjadi tanggung jawab umat untuk melaksanakannya. Menurutnya hanya ada satu ayat yang menyebut perkataan syari’ah surah 45: 18. Dan itupun bukan berarti hukum tapi ‘jalan’ (tariq, sabil, atau manhaj). Jadi syari’ah Islam berarti Jalan Islam atau Jalan Allah. kalau begitu, dia menyimpulkan, isu penerapan syari’ah Islam tak lain hanya rekaan manusia semata. ‘Ashmawi menerangkan bahwa pada awalnya perkataan syari’at bermaksud aturan-aturan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah berkenaan ibadah dan masyarakat. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya perkataan ini melebar sehingga mencakup ijtihadnya para ‘ulama. Padahal yang terakhir lebih tepat disebut fiqh bukan syari’at. Mereka yang menuntut penerapan syari’ah, katanya, sesungguhnya bukan menuntut pengaplikasian Islam secara utuh tapi menuntut penerapan ijtihad-ijtihad ‘ulama seperti yang tercantum dalam kitab fiqh klasik. 40

Perbedaan antara syari’at dengan fiqh bukan barang baru dalam wacana pemikiran Islam, para ‘ulama sejak dulu sudah melakukan pembedaan ini. Memang perkataan syari’ah telah mengalami penyempitan. Semula ia mencakup seluruh aspek Islam: hukum, ‘aqidah dan juga akhlaq tapi kemudian menyempit menjadi identik dengan Islam. Kata Ibn Athir syari’ah adalah ketentuan agama yang diwajibkan Allah keatas hambanya. 41

Berdasarkan definisi ini berarti syari’ah sama dengan Islam: Islam adalah syari’ah, dan begitu juga sebaliknya. Sebagaimana syari’ah, istilah fiqh pun mengalami penyempitan juga. Pada awal perkembangan pemikiran Islam, perkatan ini mencakup seluruh keilmuan Islam. Imam Abu Hanifah misalnya menggunakan istilah fiqh ini untuk bukunya yang membahas tentang

37 Al-Qahirah: Maktabah Madbuli, 1983) 38 William E. Shepard, “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi”, 42-43. 39 Ibid., 43. 40 Ibid., 43 dan 44; As’ad Abukhlail, “Against the Taboo of Islam”, 125-126. 41 Dikutip dari Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqasid al-‘Ammah li Shari’ah al-Islamiyyah (Virginia: Al-Ma’had al- ‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1991), 20.

Page 11: Liberalisasi Syariah Islam

11

persoalan aqidah (usul al-din). Dia menamakan bukunya al-Fiqh al-Akbar. Akan tetapi seperti perkataan syari’ah juga, istilah kemudian menyempit dan akhirnya hanya terbatas pada masalah-masalah hukum seperti yang terlihat dari definisi yang diberikan para ‘ulama bahwa fiqh adalah “pengetahuan tentang hukum syara‘ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia” 42

Lantas apa hubungan syari’ah dengan fiqh? Apakah fiqh memiliki nilai syari’ah atau sebaliknya? Para ‘ulama kita menjelaskannya seperti berikut. Memang fiqh merupakan hasil ijtihad para ‘ulama, oleh sebab itu ia terkadang berubah sesuai dengan dalil dan juga kondisi nyata yang berlaku ditengah masyrakat. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa fiqh produk pikiran manusia semata atau hasil rekayasa para fuqaha’. Karena fiqh seperti dikatakan al-Asmandi adalah “al-ahkam al-mustafadah bi al-syar ’ la al-ahkam al-mudrikah bi al-‘aql.” 43 Dalam pendefinsian fiqh pun para ‘ulama lazimnya menggunakan dua perkataan beikut: “istinbat al-ahkam” atau “ma’rifah al- ahkam”. 44 Kedua perkataan ini mengisyaratkan bahwa tugas para fuqaha hanyalah menderivasi atau mengetahui hukum saja. Artinya para fuqaha berusaha “menampakkan” hukum yang pada prinsipnya sudah ada dalam teks-teks aslinya akan tetapi tidak dapat ditangkap dengan mudah oleh kebanyakan orang. Makanya ia disebut fiqh yang oleh Abu Muzaffar al- Sam’ani dikatakan “istinbat hukm al-mushkil min al-wadih” (mengeluarkan hukum yang rumit dari sesuatu yang jelas). 45 Bagaimana dengan hukum- hukum yang secara jelas dapat ditangkap seperti salat, puasa, haji, dsb atau disebut dengan al-qat’iyyat atau al-ma’lum min al-din bi aldarurah. Para ‘ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa ini termasuk bahagian fiqh ada juga yang mengatakan tidak. 46 ‘Umar Sulayman al-Ashqar menjelaskan fiqh adakalanya bisa menjadi syari’ah yaitu ketika ijtihad sesuai dengan ketetapan Allah. Tapi ada kalanya ijtihad juga salah, maka ketika itu fiqh tetap sebagai fiqh tidak berubah menjadi syari’ah. 47

42 ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968), 22. 43 Muhammad bin ‘Abd al-Hamid al-Asmandi, Badhl al-Nazar fi al-Usul, ed. Muhammad Zaki ‘Abd al-Barr (Al- Qahirah: maktabah Dar al-Turath, 1992), 6. 44 Para ‘ulama berbeda pendapat tentang ketepatan penggunaan perkataan ‘ilm dalam definisi ini. Sebagian menolaknya dengan alasan bahwa perkataan ‘ilm berkonotasi ‘pasti dan yakin (al-qaÏ‘)’, padahal kebanyakan hukum fiqh bersifat zann. Oleh sebab itu Abu Ishaq al-Syirazi mengusulkan menggunakan perkataan ma‘rifah al- ahkam. Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi (w. 393), Syarh al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al- Gharb al-Islami, 1989) 1:158-9. Seperti Syirazi, Sadr al-Shari‘ah (w. 747) juga berpendapat sama. Menurutnya fiqh adalah “ma‘rifah al-nafs ma lahu wa ma ‘alayh”. Al-Talqih Syarh al-Tanqih, diedit oleh Najm al-Din Muhammad al-Warkani (Bayrut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), 26. 45 Abu Muzaffar al­Sam’ani (426­489), Qawati’ al­Adillah fi al­Usul, ed. Muhammad Hasan Hitu (bayrut: Muassasah al­Risalah, 1996), 33. 46 Untuk penjelasan lanjut dapat dibaca ‘Abid bin Muhammad Sufyan, al­Thabat wa al­Syumul fi al­ Syari’ah al­Islamiyyah, 63­73. 47 Untuk keterangan lanjut tentang perbandingan fiqh dan syari’at lihat ‘Umar Sulayman al‐Asyqar, Tarikh

al‐Fiqh al‐Islami, 17‐19.

Page 12: Liberalisasi Syariah Islam

12

‘Ashmawi selanjutnya menegaskan agar kita membedakan antara agama dan pemikiran keagamaan. Agama merupakan seperangkat prinsip yang disampaikan oleh nabi atau rasul, tapi pemikiran keagamaan hanya berupa metode dalam memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Pemahaman atau penafsian atas teks keagamaan adalah pemikiran keagamaan bukan agama. Sebagai pemikiran ia bisa saja sesuai dengan inti ajaran agama, tapi bisa juga tidak. 48 Pendapat ini sama dengan yang ditegaskan Nasr Hamid dalam karyanya Naqd al-Khitab al-Dini Menurutnya salah satu kesalahan kelompok Islamis adalah mereka bisa tidak membedakan antara al-din dan al-fikr al-dini. Akibatnya mereka terjerumus pada pensucian pemikiran (taqdis al-afkar).

Persoalannya adalah apakah kriteria yang dapat digunakan untuk membedakan agama dan pemiki`ran keagamaan. ‘Ashmawi dan Nasr Hamid tidak memberikan kriteria itu. Karena tidak adanya kriteria ini maka baik pemikir liberal maupun kelompok Islamis jatuh pada kesalahan yang sama. Bila kelompok Islamis salah karena menganggap pemikiran Agama sebagai Agama, kaum liberalis juga salah karena menganggap apa yang seharusnya menjadi bagian agama sebagai pemikiran keagaman alias produk akal manusia. Maka tidak heran jika banyak kalangan Muslim hari ini yang mrededuksi ajaran Islam menjadi sekedar budaya Arab. Pemakain jilbab, hukum waris, potong tangan bagi pencuri, qishash, rajam dan lain sebagainya dianggap refleksi budaya Arab bukan hukum Islam. Oleh sebab itu tidak wajib diikuti. Lebih ekstrem lagi ada yang menilai salat yang tuturannya dalam bahasa Arab dianggap bagian dari budaya Arab. “Andaikata dia (red. nabi Muhammad saw) diutus di tanah Jawa, sudah pasti dia akan salat dengan bahasa Jawa. Jadi faktor bahasa hanyalah faktor budaya dan bukan bagian inti dari ibadah.” 49

Bagi Nasr Hamid sendiri sesungguhnya apa yang disebutnya sebagai Agama yang bersifat suci itu tidak wujud di alam dunia ini. Hatta al-Qur’an yang ada ditangan kita sekarang ini pun bukan dianggap sebagai ‘Agama’ dalam arti turun langsung dari Allah, oleh sebab itu ia juga tidak suci. Ini karena dalam pandangan Nasr al-Qur’an yang kita miliki sekarang ini juga merupakan “pemahaman manusia”, yaitu pemahaman nabi Muhammad Saw. Apa yang disebut suci itu hanya sebuah wujud metafisis yang tak dapat dijangkau manusia. Berikut petikan dari Nasr:

Wa min al-daruri huna an nu’akkida anna halah al-nass al-kham al-muqaddas halah mitafiziqiyyah la nadri ‘anha shay’an illa

48 Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi, Usul al-Shari’ah (al-Qahirah: Sina, 1992), 28 sebagaimana yang dikutp oleh As’ad Abu Khalil, “Against the Taboo of Islam”, 125. 49 Lihat misalnya wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,” 16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.

Page 13: Liberalisasi Syariah Islam

13

madhakarahu al-nass ‘anha wa nafhamuhu bi al-darurah min zawiyah al-insan al-mutaghayyir al-nisbi. al-nass mundhu lahdhah nuzulihi al-ula –ayy, mundhu qira’ah al-nabi lahu lahdha al-wahy – tahawwal minkawnihi (nassan ilahiyyan) wa sara fahman (nassan insaniyyan), liannahu tahawwal min al-tanzil ila al-ta’wil. 50

Dari Sudan penentangan terhadap syari’at disuarakan oleh Abdullah Ahmad an-Na’em. Na’em, seperti ‘Ashmawi, juga terdidik dalam disiplin hukum, khususnya hukum publik seperti kriminal, hak asasi manusia, dan kebebasan sipil (civil liberties). Dia sempat mengecap pendidikan di Universitas Khourtoum sebelum melanjutkan ke University of Cambridge dimana dia meraih gelar LL.B dan Diploma dalam Kriminologi. Pada tahun 1976, ia memperoleh gelar Ph.D dari University of Edinburgh. Sekembalinya ke Sudan dia diangkat menjadi jaksa dan pada saat yang sama dosen di alma mater-nya. Na’em juga aktif dalam politik. Sejak muda dia sudah menggabungkan diri dengan partai Republican Brotherhood pimpinan Mahmud Muhammad Taha, tokoh politik yang mati ditiang gantungan dieksekusi oleh pemerintahan Numeiri karena dituduh murtad. 51

Naem berbeda dengan kebanyakan pemikir Islam yang ada. Bagi tokoh ini syari’ah sama sekali tidak sakral (divine), karena bukan wahyu yang langsung datang dari Allah, ia merupakan “the product of a process of interpretation of, analogical derivation from, the text of the Qur’an and Sunna and other tradition.” 52 Ia menamakannya syari’ah historis (historical shari’ah).Dengan mengutip pandangan John L. Esposito, Na’em menyatakan kekurang setujuannya atas perbedaan yang dibuat oleh Muslim modernis antara syari’at dan fiqh, karena dalam prakteknya perbedaan ini menurutnya kurang signifikan. 53

Pandangan Na’em ini jelas bertentangan dengan mainstream pemikiran Islam yang selama ini selalu membedakan antara syari’ah dengan fiqh. Penyamaan ini jelas dapat menimbulkan implikasi fatal dalam kehidupan beragama. Ia dapat menghilangkan nilai sakralitas syari’ah, karena dianggap bukan dari Allah, juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan syari’at, karena dinilai produk manusia.

50 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al­Khitab al­Dini, 126. 51 John O. Voll, “Foreword,” dalam Abdullah Ahmad Naem, Toward an Islamic Reformation, XI; Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap Pemikiran An-Na’im (Yogyakarta: Gama Media), 19-26. 52 Abdullah Ahmad an-Na’em, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990), 11. 53 Ibid., 50 dan xiv

Page 14: Liberalisasi Syariah Islam

14

Na’em tampaknya tidak peduli dengan implikasi diatas. Dia malah menyerukan perubahan hukum Islam yang terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan internasional, dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang sebahagiannya telah diputuskan secara qat’i dalam al-Qur’an. Alasan perubahan ini sangat sederhana: ia bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan standard hukum international. Sebagai contoh kasus perbudakan. Menurutnya meskipun perbudakan dikecam kebanyakan intelektual Muslim, secara teori Islam masih mengakui legalitasnya. Pengakuan inilah yang dianggapnya melanggar prinsip fundamental dan universal hak asasi manusia. 54 Naem selanjutnya menyatakan “...some definite and generally agreed principles of Shari’a are in clear conflict with corresponding principles of international law,” 55 keduanya tidak mungkin dapat hidup berdampingan. 56 Andaikan kaum Muslim tetap memaksakan untuk menerapkan syari’at Islam tersebut, mereka akan kerugian karena tidak dapat mengecapi hasil dari sekularisasi (If historical shari’a is applied today, the population of Muslim countries would lose the most significant benefits of secularisation). 57 Menurutnya yang paling merasakan kerugian ini adalah masyarakat non-Muslim dan kaum wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas kedua, dan bagi wanita pula mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Tapi kaum lelakipun katanya juga akan merasakan dampaknya, sebab mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-udang. 58 Kecaman Na’em ini persis seperti apa yang selalu didengungkan oleh para orientalis. Ia mirip dengan apa yang pernah diungkapkan Elizabeth Meyer dan Donna Arzt bahwa syari’at Islam bersifat diskriminatif terhadap non-Muslim, 59

memperlakukan ahl al-dhimmah sebagai masyarakat kelas kedua serta menyekat hak mereka untuk berpartisipasi mengatur negara. 60 Jadi diam- diam Na’em telah memasukkan kerangka pemikiran Barat kedalam alam bawah sadarnya.

Bagi Na’em hanya ada satu cara agar syari’at Islam tetap eksis dalam dunia modern ini yaitu dengan mereformasinya bahkan kalau perlu mendekonstruksinya. Tapi ia menolak reformasi ini dilakukan dalam framework syari’at yang ada. Sebab dalam framework ini menurutnya ijtihad tidak bisa berlaku pada hukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara

54 Ibid., 177. 55 Ibid., 151. 56 Ibid., 8. 57 Ibid., 8. 58 Ibid., 8-9. 59 Ann Elizabeth Meyer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Boulder and San Francisco: Westview Press, 1991), 98; Donna Arzt, “The Treatment of Religious Dissidents under Islamic Law,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), 413-416. 60 Donna Azrt, “Religious Dissidents,”, 412-414.

Page 15: Liberalisasi Syariah Islam

15

definitif. Sementara hukum yang perlu di reformasi itu adalah hukum-hukum yang masuk kategori ini seperti hukum hudud dan qisas, status wanita dan non-Muslim, hukum waris dan seterusnya. 61 Inilah dilematis yang dihadapi para pembaharu hukum Islam, kata Na’em. Disatu sisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka dihalang oleh ketentuan usul fiqh klasik “la ijtihad fi mawrid al-nass.” Na’em ingin melakukan sebuah reformasi seperti yang pernah dilakukan umat Kristen. Untuk itu, ia lantas mengusulkan penggunaan metode hermeneutika untuk membaca tujuan serta kandungan normatif ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana orang Kristen telah menggunakannya untuk membaca Kitab Bibel mereka, 62 tanpa menghiraukan perbedaan fundamental yang dimiliki kedua Kitab suci ini. Pada titik ini, ide Na’em sama saja dengan Muslim kontemporer lain seperti Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd.

Penggunaan hermeneutika Na’em telah menghasilkan sebuah pendekatan baru yang disebutnya dengan Evolutionary Approach, sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-Risalah al-Thaniyah. 63 Essensi pendekatan ini adalah “...reversing the process of naskh or abrogation so that those texts which were abrogated in the past can be enacted into law now, with the consequent abrogation of text taht used to be enacted as Shari’a.” 64

Ditempat lain dia menegaskan:

To achieve that degree of reform, we must be able to set aside clear and definite texts of the Qur’an and Sunna of Medina as having served their transitional purpose and implement those texts of the Meccan stage which were previously inappropriate for practical application but are now the only what to proceed. 65

Menurut Naem pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyah bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalm al- Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurutnya, tidak semestinya merefleksikan pesan ayat-ayat makkiyyah. 66

61 Abdullah Ahmad an-Na’em, Toward an Islamic Reformation, 49-50. 62 Abdullah Ahmad an-Na’im, “Islamic Foundations of Islamic Human Rights,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), 70. 63 Pemikiran keagamaan Mahmud Muhammad Taha dapat dibaca pada Mohamed Mahmoud, “Mahmud Muhammad Taha’s Second Message of Islam and His Modernist Project,” dalam John Coper, Ronald L. Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), Islam and Modernity: Muslim Intellectuals Respond (London and New York: I.B Tauris, 1998), 105-128. 64 Abdullah Ahmad an-Na’em, Toward an Islamic Reformation, 56 dan 180. 65 Ibid., 180. 66 Ibid., 13.

Page 16: Liberalisasi Syariah Islam

16

Lagi-lagi Na’em melawan arus pemikiran yang sudah mapan dalam dunia pemikiran. Persoalannya bukan karena Na’em melawan mainstream pemikiran yang sudah mapan, tapi karena pendekatan ini dapat menimbulkan persoalan metodologis. Mungkin orang akan menanyakan atas dasar apa ayat makkiyah bisa menasakh ayat madaniyyah. Jawabannya sudah tentu bukan atas dasar kronologis seperti yang selama ini dipahami, sebab kalau atas dasar ini sudah pasti yang terakhir (ayat-ayat madaniyyah) yang akan jadi nasikh kepada yang lebih awal (ayat-ayat makkiyyah). Adapun kalau berdasarkan pesan dan kandungannya, permasalahan yang timbul tentu lebih rumit. Karena Na‘em seolah-olah menolak adanya konsistensi dan kesinambungan antara ayat makkiyah dengan ayat madaniyyah. Ini terbukti dari pernyataannya ahwa “the specific political and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did not always reflect the exact meaning and implications of the message as revealed in Mecca.” 67 Menurut Rahman inilah salah satu kesalahan fatal kaum Muslim modernis, mereka gagal menangkap al-Qur’an dalam satu-kesatuannya yang utuh. Al-Qur’an di lihat secara terpisah-pisah dimana yang satu terkait dengan yang lain. Selain itu, metodologi ini juga menimbulkan kesan bahwa seolah-olah ayat-ayat madaniyyah tidak mengajarkan sikap toleransi, persamaan, perdamaian, prinsip kemanusiaan dan persaudaraan, prinsip kebebasan dan lain-lain yang menurutnya menjadi inti ayat-ayat makkiyyah yang juga merupakan prinsip dasar Islam. Na’em sepertinya menyadari kesalahan ini. Oleh sebab itu dia kemudian merevisi makna makkiyah dan madaniyyah. Menurutnya kalau ayat itu mengandung nilai-nilai egaliter, kemanusian dst maka ia termasuk ayat makkiyah meskipun turun di Madinah. Dan begitu juga sebaliknya, meskipun ayat itu turun di Makkah tapi tidak mengandung prinsip-prinsip penghormatan HAM maka ia digolongkan madaniyyah. Tapi persoalannya bukan pada definisi saja, tapi juga pada konsep nasakh itu sendiri. Para ‘ulama berbeda pendapat tentang konsep nasakh ini. Ada yang mengatakan tidak ada nasakh dalam al- Qur’an, tapi majoriti berpendapat nasakh terjadi pada al-Qur’an. Kelompok yang terakhir pun juga berbeda pendapat, berapa banyak ayat al-Qur’an yang dinasakh. Dan masih banyak lagi persoalan nasakh yang perlu di ungkap sebelum konsep ini di aplikasikan. Persoalan lain yang terkait dengan metodologi nasakh terbalik ini adalah berkenaan dengan perintah salat, zakat, haji, perkawinan, riba, dan lain-lain yang hampir keseluruhannya terkandung dalam ayat-ayat madaniyyah. Apakah hukum-hukum ini pun harus diabaikan juga? Kalau Na’em konsisten dengan metodologinya maka jawabannya sudah pasti affirmatif.

.

67 Ibid., 13.

Page 17: Liberalisasi Syariah Islam

17

Akhir-akhir beberapa cendikiawan Muslim dan aktivis perempuan gencar menyerang hukum Islam yang berkaitan wanita. 68 Ini karena adanya asumsi yang berkembang bahwa perempuan dalam hukum Islam tidak diberikan tempat selayaknya, diperlakukan tidak adil dan cenderung dilecehkan; mereka selalu diposisikan lebih rendah dari kaum laki-laki. Sebagai contoh mereka mengangkat persoalan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga yang biasanya didasarkan pada surah al-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta meeka.” 69

Para ‘ulama menafsirkan perkataan faddala secara bervariasi, intinya mereka mengatakan bahwa laki-laki memiliki kelebihan dari aspek fisikal, psikologi, akal, pikiran dan lain sebagainya. Dalam Tafsir Abi Su’ud dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat tafdil disini adalah “kesempurnaan akal, pentadbiran yang bagus, kejernihan pikiran, memiliki kemampuan yang lebih, baik untuk melakukan pekerjaan maupun ketaatan. Oleh sebab inilah makanya kenabian, kepemimpinan, kewaliyan, mendirikan syi’ar-syiar, kesaksian dalam seluruh perkara, kewajiban jihad, solat jum’at dan lain, dikhususkan kepada mereka kaum laki-laki.” 70

Tapi tafsir ini dianggap ini sekarang ini sudah dianggap tidak relevan atas berbagai alasan. Menurut Amina Wadud perkataan faddala dalam ayat ini tidak merujuk kepada aspek fisikal, psikologi, maupun akal pikiran karena pada prinsipnya laki-laki dan perempuan adalah setara, mereka memiliki kapasitas intelektual yang sama. Disamping itu al-Qur’an pun tidak merinci makna kelebihan tadi dalam arti yang disebutkan Abi Su’ud diatas. Menurut Wadud hanya ada satu kelebihan lak-laki yang disebut dalam al-Qur’an yaitu: warisan. Dalam surah al-Nisa’ ayat 7 dikatakan bahwa anak laki-laki mendapat dua bahagian anak perempuan. Berdasarkan ayat ini Wadudu lalu menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘kelebihan’ (faddala) disini adalah kelebihan material. Kelebihan ini sebanding dengan tanggung jawab yang harus pikul mereka yaitu memberi nafkah keluarga. Meski demikian, Amina menolak kalau hal ini diberlakukan secara umum, artinya seluruh laki-

68 Lihat misalnya Hasan al-Shafi’I, “Harakah al-Ta’wil al-Nisawi li al-Qur’an wa al-Din wa Khataruha ‘ala al- Bayan al-‘Arabii wa Turathuhu,” Al-Muslim al-Mu’asir, no. 115, Jan-Feb-Maret, 2005, 55-74; Elizabeth Shlala Leo, “Islamic Female Sexuality and Gender in Modern feminist Interpretation,” Islam and Christian-Muslim relations, vol. 16, no. 2, April 2005, 129-140. 69 Lihat misalnya, Didin Syafruddin, “Argumen Supremasi Atas Perempuan: Penafsiran Klasik QS al-Nisa’: 34,” Jurnal Ulumul Qur’an, no. 5 & 6, vol. V, 1994, hal 4-10; Mufidah Ch, Paradigma Gender, 108-111; Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 101-113. 70 Abi Su’ud Muhammad bin Muhammad al-‘Amadi (m. 951), Tafsir Abi al-Su’ud (Bayrut: Dar Ihya’ al-Turath al- ‘Arabi, t.t), 2:173. Penafsiran yang sama juga dapat dilihat pada Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Singapua: Sulaiman Mar’I, t.t), 5: 67 dan Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Manar (Mesir: al-Hay’ah al-Misriyyah, t.t), 1: 608 seperti yang dikutp oleh Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsri Qur’an (Yogyakarta: LKis, 1999), 102.

Page 18: Liberalisasi Syariah Islam

18

laki adalah pemimpin atas perempuan karena memiliki kelebihan material tadi. Ini karena ayat tersebut hanya menyebut “sebahagian” (ba’d) bukan seluruhnya “All men do not excel over all women in all manners. Some men excel over some women in some manners. Likewise, some women excel over some men in soime manners.” Oleh sebab itu, kepemimpinan laki-laki atas perempuan pun tidak absolut. Ia tergantung pada prinsip tafdil yang baru saja dijelaskan. 71

Argumen Wadud ini kelihatannya kontradiktif. Pertama dia mengatakan bahwa kelebihan laki-laki yang dimaksud dalam ayat ini adalah material karena disebut dalam al-Qur’an. Disini Wadud tampaknya menerima absolusitas ayat ini, kalau tidak tentu seluruh argumentasinya diatas menjadi absurd. Tapi pada poin kedua Amina sepertinya mengalihkan arti ‘kelebihan’ diatas kepada dimensi lain yang bukan material. Ini jelas terlihat dari pernyataannya bahwa tidak semua laki-laki melebihi (excel) kaum wanita, karena ada juga wanita yang melebihi laki-laki, sebuah fakta sosial yang tidak dapat bantah. Pertanyaannya apakah yang membuat sebahagian wanita ini melebihi laki-laki. Wadud tentu saja menolak kelebihan itu berdasarkan akal atau sejenisnya, karena Wadud percaya bahwa faddala disini bukan bermaksud pada akal. Lantas apakah kelebihan sebahagian wanita yang disebutkan Wadud tadi berdasarkan harta/material. Hal ini juga tidak mungkin karena bahagian perempuan tidak akan pernah melebihi warisan laki-laki sebagaimana yang telah ditetapkan al-Qur’an, premis awal yang dijadikan Wadud untuk membangun argumentasinya. Dengan demikian, pernyataan “some women excel over some men in soime manners” menjadi tidak berarti (meaningless). Selanjutnya andaikan tafsir Wadud ini juga diterima, apakah tafsir seperti ini juga tidak bias gender.

Selain masalah kepemimpinan rumah tangga, soal poligami dan hukum warisan juga kerap menjadi objek kecaman. Kebanyakan Muslim Modernis liberal menyarankan agar poligami diharamkan semntara hukum warisan anak laki-laki dan perempuan disama ratakan. 72 Alasan pengharaman poligami sangat beragam. Ada yang mengharamkannya karena berpendapat bahwa persyaratan untuk berlaku adil tidak mungkin terpenuhi. Alasan ini sangat lemah. Andaikan syarat berlaku adil tidak mungkin direalisasikan, ini

71 Aminah Wadudu, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York, Oxford: Oxford University Press, 1999), 69-74; Mufidah Ch, Paradigma Gender, 108-111; Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 101-113. 72 Di Indonesia penyamaan bahagaian warisan ini sepertinya mula dilontarkan oleh (alm) Munawir Sjadzali yang ketika itu menjabat sebagai Mentri Agama. Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Iqbal Abdul rauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Antara, 1988), 1-12; idem, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Eddi Rudiana Arief dkk (eds.), Hukum Islam di Indonesia; Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: remaja Rosdakarya, 1994), 89-93. lihat juga Amina Wadud, Qur’an and Women, 87-88; Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, 123-129; Ilyas Supana dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 265-266.

Page 19: Liberalisasi Syariah Islam

19

berarti bahwa Allah telah menetapkan suatu hukum yang sia-sia sebab ia tidak mungkin dilaksanakan. Hal ini mustahil pada Allah. Karena Dia Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Makanya dalam surah yang sama ayat 129 Allah menegaskan “dan sekali-kali kamu tidak dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” Bila kedua ayat ini digabungkan maka ia berbunyi: ‘poligami diperbolehkan dengan syarat dapat berlaku adil, meskipun untuk berlaku adil secara sempurna merupakan sesuatu yang sulit dan tidak mungkin untuk dilakukan.”.

Menurut Fazlur Rahman hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan persoalan ini, yaitu dengan cara membaca surah 4:3 ini dari dua aspek; pertama aspek legalitas dimana poligami hingga sampai empat dibenarkan dan kedua aspek moralitas dimana al-Qur’an berharap bahwa pada akhirnya masyarakat akan bergerak menuju pernikahan monogami. Rahman menganalogikan kasus ini dengan masalah perbudakan dimana al-Qur’an, meskipun mengakui legalitasnya, ia tetap bercita-cita untuk menghapuskanya secara total. 73

Penolakan atas praktek poligami dan hukum waris sebenarnya bukan barang baru; kelompok modernis liberal sudah sejak sekian lama memperjuangkannya. Sayyid Ahmad Khan dari India mungkin merupakan salah seorang pemikir Muslim modern yang pertma kali menentang kedua ketentuan hukum diatas. Jejaknya kemudian diikuti oleh Qasim Amin (1863- 1908) dari Mesir melalui karyanya Tahrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadidah. Amin menyatakan bahwa poligami merupakan penghinaan besar terhadap wanita. Dia lantas mengajak wanita Muslimah untuk menanggalkan hijab- hijab mereka seperti yang dilakukan wanita Barat. 74

Satu abad berlalu sejak Qasim Amin, gerakan ‘feminisme’ didunia Islam kelihatanya semakin intensif dan bahkan bertambah ‘radikal’. Bila dulunya yang digugat adalah kewajaran poligami, sekarang upaya sistematik pun dilakukan untuk mendekonstruksi hukum perkawinan Islam. Sekitar Oktober tahun 2004, Tim Pengarusutamaan Jender dibawah Depatemen Agama Republik Indonesia dibiayai oleh The Asia Foundation mengajukan Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tim ini menawarkan rumusan baru fiqih Islam yang diselaraskan dengan karakteristik demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, dan persamaan. Di antara pasal-pasal “pembaharuan” yang mereka susun adalah: monogami (pasal 3 ayat 1); ijab dapat dilakukan calonn istri dan kabul oleh calon suami (pasal 9 ayat 2); perempuan bisa menjadi saksi pernikahan sebagaimana laki-laki (pasal 11 ayat 1 dan 2); calon istri bisa memberikan mahar (pasal 16); perkawinan beda agama

73 Fazlu Rahman, “A Survey of Modernization of Muslim Family Law,” International Journal of Middle East Studies, vol. 2, 1980, hal. 452. 74 Bustami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdid al-Din (Kuwait: Dar al-Da’wah, 1984), 130 dan 146.

Page 20: Liberalisasi Syariah Islam

20

diperbolehkan (pasal 54 ayat 1); bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama (pasal 8 ayat 3); anak di luar nikah (zina) yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya (Bab IV, pasal 16 ayat 2); suami mempunyai masa ‘iddah setelah terjadi perceraian (Pasal 88 ayat1). 75

Draft KHI rancangan Depag ini terjegal oleh kritikan keras dari berbagai ormas-ormas Islam, namun kasus ini seolah menjadi bukti betapa pemikiran liberal telah merasuk hampir seluruh pemikiran Islam kontemporer. Silih berganti muncul wacana baru, diskursus baru, sudut pandang baru, yang intinya sama, yaitu memperjuangkan hak-hak perempuan yang tertindas atau dianggap tertindas. Gerakan untuk mengangkat harkat perempuan, yang diberi label gerakan feminisme, seolah menjadi sebuah isu atau gerakan yang bernilai jual tinggi

Argumentasi Atas Penolakan Sharia’h Islam

Secara umum argumentasi kaum modernis liberal untuk menolak penerapan syari’at Islam dapat dikategorikan menjadi tiga, pertama, argumentasi historis, kedua, berdasarkan pertimbangan maqasid syari’at, dan ketiga atas pertimbangan hak asasi manusia. Ketiga-tiga argumen ini berkaitan saling berkaitan satu dengan yang lain.

1. Argumentasi Historis

Argumen ini berbunyi bahwa hukum Islam yang ada sekarang adalah produk abad pertengahan. Ia dibentuk berdasarkan latar belakang sosial dan politik masyarakat ketika itu. Ia merupakan sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat itu. Menurut Fazlur Rahman: “The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.” 76 Kalau demikian, maka tidak menutup kemungkinan bahwa hukum Islam pun dipengaruhi sistem budaya, politik, dan ideologi yang berlaku ditengah-tengah masyarakat waktu itu. dikatakan Khalil ‘Abdul Karim banyak hukum-hukum pra Islam yang telah diadopsi Islam bahkan dalam bidang ibadah. 77 Para pengkritik hukum Islam selalu mengatakan banyak produk hukum Islam khususnya yang terkait dengan perempuan

75 Pembaharuan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender, Departemen Agama RI, 2004) 76 Fazlur Rahman, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979), 2. 77 Lihat misalnya Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Page 21: Liberalisasi Syariah Islam

21

terinspirasi dari budaya patriarki Arab abad ke tujuh. Dalam wawancaranya dengan Jakarta Post Musdah Mulia salah seorang yang bertanggung jawab dalam Tim Pengarusutamaan Gender mengatakan “Because Islam descends from the very patriarchal Arab society, so a patriarchal interpretation is inevitable.” 78 Amina Wadud juga melontarkan pernyatan sama Katanya, “The established order wihtin the Arabian penisula at the time of the revelation was patriarchial; a ‘culture built on a structure of domination and subordination...’ which demands hierarchy.” 79

Salah satu contoh yang selalu diangkat dalam konteks ini adalah hukum waris. Menurut kaum liberalis laki-laki diberikan porsi yang lebih banyak dari perempuan karena ketika itu mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar, baik terhadap keluarga maupun kelompok sukunya. Akan tetapi corak kehidupan masyarakat hari ini sudah berubah. Wanita bukan lagi sekedar beban kepada keluarga tapi juga menjadi tonggak penyangga utama dalam kehidupan rumah tangga. Oleh demikian, wajar jika hukum 2:1 ini ditinjau kembali. 80

Persoalan ‘iddah pun dikatakan sebagai konstruk budaya Arab ketujuh. Salah seorang penulis menyatakan “’Iddah sebagai konsep keagamaan lebih merupakan konstruk budaya dari pada ajaran agama. Sebagai konsep agama, ‘iddah berfungsi mengecek ada tidaknya kehamilan. Disisi lain, ‘iddah merupakan penahanan istri pada wilayah domestik yang berakar dari konsep budaya yang dipakai sebagai alasan keagamaan.” 81 Oleh sebab itu, maka konsep ‘iddah pun harus direvisi.

Secara ringkas argumen diatas ingin menegaskan bahwa syari’at Islam tidak mungkin diaplikasikan untuk saat ini karena ia tidak merefleksikan kepentingan masyarakat hari ini. Ketika mengomentrai hukum publik Islam, Abdullah Ahmad an- Na'em mengatakan, “the public law of Shari’a was fully justified and consistent with historical context. But it does not make it justified and consistent with present context. Furthermore, given the concrete realities of the modern nation-state and present international order, these aspects of the public law of Shari’a are no longer politically tenable.” 82

Argumen ini menyisakan beberapa persoalan. Pertama, argumen ini telah menghilangkan nilai universalitas hukum Islam, karena ia hanya berlaku untuk masyrakat Arab abad ketujuh. Kedua, argumen ini telah mereduksi Islam menjadi sekedar budaya Arab. Kelompok ini bagaimana pun menolak kesimpulan ini, karena bagi mereka yang universal dan permanen itu bukan bentuk legal formalnya tapi objektif yang ingin ditujunya. Dari sini mereka kemudian mengembangkan argumen kedua yang dibagun atas konsep maqasid syari’ah.

78 Jakarta Post, 3 October 2004. 79 Amina Wadud, Qur’an and Women, 80. 80 Lihat ‘Abd al-Hadi ‘Abd al-Rahman, Sultah al-Nass: qiraa’t fi tawzif al-nass al-dini (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 152-153; Fazlur Rahman, A Survey of Modernization, 463. 81 Mufidah Ch, Paradigma Gender, 190. 82 Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse University Press, 1990) 59.

Page 22: Liberalisasi Syariah Islam

22

2. Argumentasi berdasarkan Pertimbangan Maqasid Syari’ah

Argumen ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai objektif/maqasid utamanya. Dan objektif utama syari’at Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan (kebaikan) bagi ummat manusia. Riba diharamkan untuk menjaga kepentingan golongan lemah dan miskin dari tereksploitasi oleh kelompok kapitaslis. Hudud disyari’atkan untuk menciptakan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat disamping untuk menciptakan rasa adil ditengah masyarakat.

Akan tetapi menurut mereka ini konsep maslahah itu sendiri bisa berubah seiring dengan berputarnya waktu. Apa yang dianggap maslahah pada saat tertentu dan oleh masyarakat tertentu belum tentu diaanggap sama oleh masyarakat lain dan dalam konteks waktu yang lain. Jadi, apa yang dianggap masyarakat Arab abad ketujuh sebagai maslahah, belum tentu demikian bagi masyarakat hari ini. Misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi penzina, hukum waris dan lain sebagainya meskipun sesuai dengan masyarakat Arab ketika itu belum tentu sesuai bagi masyarakat hari ini.

Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri hukum potong tangan bagi pencuri memang sesuai untuk diterapkan pada masyarakat ketika itu. Pertama, karena hukum ini memang sudah wujud sejak sebelum Islam. Dan kedua, dalam kondisi masyarakat yang kehidupannya berpindah-pindah pelaksanaan hukum penjara jekas tidak memungkinkan, karena tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk mengawas para nara pidana dan menutupi keperluan harian mereka seperti makan dan minum. Jalan satu-satunya yang memungkinkan untuk menghukum pencuri adalah hukuman jasad. Hukuman ini dapat merealisasikan dua objektif utama: pertama untuk menutup kemungkinan berulangnya kriminalitas pencurian tanpa batas, dan kedua, sebagai tanda bahwa orang tersebut adalah pencuri supaya dengan demikian orang dapat berhati-hati. Jadi ringkasnya “(hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional sesuai untuk masyarakat baduwi padang pasir dimana penduduknya hidup secara nomadik.” Setelah Islam datang, hukum ini kemudian diberikan legalitas. 83 . Berdasarkan argumen ini maka hukum potong tangan tidak bisa diterapkan saat ini, pertama kehidupan masyrakat hari ini tidak lagi nomadik dan kedua mereka sudah memiliki institusi mekanisme lain untuk menghukum pencuri yaitu penjara.

Qasim Haj Hamad tampaknya membenarkan argumen Jabiri diatas. Ketika membahas surah al-Maidah ayat 48 (likullin minkum shir’atan wa minhaja), pemikir yang asal i Sudan ini menjelaskan bahwa Allah menetapkan sesuatu syari’ah sesuai dengan karakteristik, kejadian, dan adat kebiasaan manusia itu sendiri. Hal ini mengingatkan

83 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Din wa al-Dawlah wa Tatbiq al-Shari’ah (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al- ‘Arabiyyah, 1996), 175..

Page 23: Liberalisasi Syariah Islam

23

manusia bahwa syari’ah itu relatif, ia bisa sesuai dengan masyarakat tertentu tapi tidak dengan masyarakat lain. Atas dasar ini, Haj Hamad menyimpulkan: “bahwa hukum potong tangan, rajam, dan cambuk hanya sesuai untuk diberlakukan pada masa lalu bukan masa sekarang. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita telah mengubah hukum Tuhan, “yang tidak berubah dalam tasyri’ itu adalah prinsip hukuman hudud atau balasan itu sendiri. Adapun mekanisme pelaksanaan prinsip itu, diserahkan kepada peredaran masa sesuai dengan kondisi, adat kebiasaan, dan nilai-nilai (yang berlaku).” 84

Hamad Farhan Nur Farhat juga melontarkan ide yang sama. Dia mengakui bahwa hukum Islam itu ada yang berubah dan ada yang absolute. Yang absolute hanyalah prinsip dan ide pokok hukum tersebut. Adapun ukuran dan bentuk hukum itu sendiri adalah mutaghayyirat (berubah). Jadi, seperti Jabiri Nur Farhat juga menolak hukum potong tangankarena tidak sesuai dengan norma dan nilai hidup masyarakat hari ini. 85

Ringkasnya bagi para intelektual ini berpendapat bahwa essensi ajaran Islam bukan terletak pada bentuk legal-formalistik hukum yang disyari’atkannya tapi pada tujuan (maqasid al-syari’ah) yang ingin dicapainya. Pembunuh tidak semestinya dijatuhi hukuman bunuh, selagi objektif dari hukum bunuh yang seharusnya di terapkan kepada orang tersebut dapat direalisasikan, apakah melalui mekanisme penjara atau yang lain.

Kajian maqasid syari’ah dalam pemikiran Islam sama sekali bukan merupakan topik baru. Ia sudah dibahas bahkan seawal Imam al-Turmidhi (w. 3 H). Turmidhi telah menggunakan istilah maqasid untuk judul bukunya al-Salah wa Maqasiduha. Ide ini kemudian dikembangkan oleh ‘ulama-ulama berikutnya seperti Abu Mansur al- Maturidi (w. 333H0, Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyhi (w.365), Abu Bakar al-Abhari (w. 375H), Imam al-Baqillani (w. 403H), Imam Juwaini hingga Ibn taymiyyah. Ghazali (w. 505H), murid Juwayni, kemudian mensistemasikan konsep ini dengan membaginya kepada tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat atau tazyiniyyat. Fakhruddin al- Razi (w.606) -sebagaimana yang diungkapkan oleh Raysuni- tidak memberikan kontribusi banyak dalam pengembangan ide ini. Hal ini, kata Raysuni, tidak mengherankan karena memang kitab al-Mahsul fi Usul al-Fiqh karya al-Razi ini hanya merupakan ringkasan dari Mu’tamad-nya Abu Husayn al-Basri, al-Burhan-nya Imam Juwayni, dan Mustasfa-nya Imam Ghazali. Pun demikian, Razi patut dipuji karena dia telah bersungguh-sungguh mempertahankan rasionalisasi hukum (ta’lil al-ahkam), ketika konsep ini mulai mengalami proses degradasinya. 86 Popularitas konsep ini

84 Muhammad Abu al-Qasim Haj Hamad, Al-‘Alamiyyah al-Islamiyyah al-Thaniyyah (British West Indies: International Studies and Research Bureau, 1996), 496-497. 85 Yusuf al-Qaradawi, Al-Siyasah al-Shar’iyyah fi daw’ nusus al-shari’ah wa maqasidiha (Bayrut: Muassasah al-Risalah, 2000), 232 dan 234. 86 Lihat Ahmad Raysuni, Nazariyyah al-Maqasid ‘Ind al-Imam al-Shatibi (Virginia: The International of Islamic Thought and Civilization, 1997)

Page 24: Liberalisasi Syariah Islam

24

mencapai klimaknya ditangan Imam Abu Ishaq al-Shatibi melalui karyanya al- Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah. Jejak Shatibi di ikuti Ibn ‘Ashur dengan bukunya Maqasid al-Syari’ah dan ‘Alal al-Fasi melalui karyanya Maqasid al-Syari’ah wa Makarimuha.

Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer prinsip maqasid syari’ah memang telah menjadi rujukan utama dalam merespon isu-isu kontemporer. Ia digunakan oleh para ‘ulama dan juga para cendikiawan Muslim liberal. Akan tetapi sangat disayangkan, ketika konsep ini jatuh ketangan kaum liberal, ia mengalami perubahan menjadi entry point mendekonstruksi seluruh tatanan hukum Islam. Maka tidak heran bila ada orang yang menggunakan maqasid untuk menggugurkan wajibnya memakai jilbab (bagian dari penutupan aurat bagi perempuan), karena “jilbab (pada) intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.” 87 Akan tetapi bagaimana bila konsep “kepantasan umum” masyarakat itu bertentangan dengan prinsip syari’ahMisalnya: bagi masyarakat India bahagian perut wanita tidak dianggap ‘awrat yang harus ditutup. Apakah ‘kepantasan’ ini bisa dijadikan acuan?

Atas nama maqasid juga seorang cendikiawan di Indonesia membolehkan salat dengan menggunakan dwi bahasa (bahasa Arab dan Indonesia) karena “Inti salat adalah bagaimana orang bisa berkomunikasi dengan Tuhan secara mesra. Dan itu biasanya diungkapkan dalam bentuk bahasa yang merupakan ungkapan hati. Inti dari ibadah sebetulnya hati.” 88 Hukum hudud, qisas, rajam, waris, ‘iddah, dan lain sebagainya tidak lagi penting selagi objektif yang dimaksudkan dari hukum tersebut dapat dicapai. Melihat cara konsep ini digunakan, tidak salah kiranya bila Ahmad Idris al-Ta’an al-Haj mengatakan bahwa konsep maqasid al-syari’ah telah menjadi “kalimat al- haq yuridu biha al-batil”. 89

Pertanyaannya adalah benarkah hukum pidana Islam tidak dapat menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat hari ini? Apa yang di maksudkan dengan masalahah? Apakah maslahah konsep relatif? Bagaimana bila terjadi konflik di tengah masyarkat dalam mempersepsikan maslahah? Para liberalis perlu menjawab persoalan ini sebelum mereka menggunakan konsep ini untuk dijadikan bumper menjustifikasi kan ide-ide ‘nyeleneh’ mereka.

Bila konsep ini di aplikasiakan seperti diatas maka bukan hanya syari’at Islam yang akan runtuh, konsep agama pun akan menjadi absurd dan tidak berarti (meaningless). Orang akan mengatakan bahwa tujuan beragama adalah untuk menciptakan kebaikan, kemaslahatan, kesejahteraan bagi manusia dan juga untuk

87 Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Kompas, 18 November 2002. 88 Wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,” 16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816. 89 Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajj, “Al-Madjhal al-Maqasidi li al-Khitab la-‘Ilmani: dirasah naqdiyyah,” Al-Muslim al-Mu’asir, no. 114, Oktober-Nov.-Des 2004, 21.

Page 25: Liberalisasi Syariah Islam

25

mencapai ketenangan dan kebahagian. Maka bila seseorang dapat mencapai tujuan ini tanpa melalui agama, maka dia tidak perlu lagi beragama. Musdah Mulia, aktivis perempuan yang mengetuai Tim Pengurusutamaan Gender, Depag RI dan juga pemegang gelar Doktor dari UIN Jakarta ini, membenarkan hal ini. Ketika ditanya apakah Agama masih diperlukan, dia mengatakan, “If he or she thinks religion doesn't bring peace of mind, then there's no use in having a religion. Just follow your conscience, seriously.” 90

3. Argumentasi Atas Nama Hak Asasi Manusia

Argumen ketiga ini menjadi salah satu argumen favorite para pengkritisi hukum Islam. Argumen ini biasanya banyak digunakan oleh kalangan orientalis Barat. Tapi belakangan ini cendikiawan Muslim pun banyak menggunakan dalih yang sama untuk menghujat hukum Islam seperti yang terlihat pada Abdullah Ahmad Na’em diatas. Counter draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang di usung Tim Pengarusutamaan Jender pun berpijak atas dasar ini. Salah seorang tim penyusun ini mengatakan, “KHI tidak paralel dengan produk perundang-undangan, baik hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi.... Dalam konteks internasional, juga bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan dan perlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966).” 91

Kesalahan kelompok ini adalah mereka terlalu mengagungkan HAM, mereka telah menempatkannya sebagai ‘Kitab Suci’ yang tanpa cacat, menjadi acuan untuk menakar dan menilai segala­galanya, termasuk.. Kebenaran dan kesalahan ditakar sejauh mana ia sesuai dengan ketentuan HAM. Sehingga ketika syari’ah dianggap bertabrakan dengan prinisp HAM, maka ia harus diubah dan disesuaikan dengan HAM. Persolalannya adalah apakah yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia tersebut. Perlu digaris bawahi bahwa HAM bukan konsep neutral; ia dibangun atas landasan filosofis dan pandangan hidup masyarakat Barat sekuler yang secara diametrikal bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Dalam pandangan hidup Barat manusia merupakan pusat segala­galanya. Ia memiliki otoritas penuh untuk menetukan apa yang terbaik untuk dirinya. Tidak ada institusi lain yang dapat mengatur hidup dan kehidupannya. Dia memiliki kekebebasan mutlak. Bahkan Tuhan pun tidak berhak untuk turut campur mengaturnya. Benarlah apa yang dikatakan Syed Naquib al­Attas bahwa di Barat “Man is deified, Deity humanized.” 92 Konsep ini sangat bertolak belakang dengan

90 Jakarta Post, 3 Oktober 2004, diposting kembali di http://www.wluml.org/english/newsfulltxt.shtml?cmd%5B157%5D=x-157-75549 91 Abd Moqsith Ghazali, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774 92 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), 87.

Page 26: Liberalisasi Syariah Islam

26

konsep manusia Islam. Dalam framewok Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang diangkat oleh Allah untuk menjadi khalifah. Sebagai khalifah, tugasnya adalah taat dan patuh menjalankan perintah sang penciptanya demi untuk kesejahteraan dirinya sendiri.Oleh sebab itu menggunakan HAM untuk mengkritik hukum Islam bukan hanya tidak tepat tapi juga merupakan sebuah kekeliruan besar.

Selanjutnya beberapa catatan berikut pun bisa di tujukan kepada para pengkritisi diatas. Bila hukum Islam dikatakan dipengaruhi oleh budaya Arab abad pertengahan, bukankah HAM yang dibentuk atas dasar filosifis sekuler Barat juga dipengaruhi oleh nilai dan budaya Barat? Kalau demikian, kenapa ia harus diterapkan ke masyarakat Islam yang struktur dan keperluan masyarakatnya berbeda dengan masyarakat Barat? Kita tidak menafikan bahwa ada beberapa unsur-unsur dalam HAM yang bersifat universal. Akan tetapi menjadikan HAM sebagai standard mutlak untuk mengukur kebenaran dan kesalahan adalah perbuatan keliru.

Kesimpulan

Gerakan liberalisme Islam dengan menjadikan Barat sebagai rujukan utama sebenarnya sudah lama di praktekkan beberapa dunia Islam. Kerajaan Uthmaniyyah merupakan contoh real yang dapat dijadikan ‘itibar. Ketika Kerajaan ini gagal mempertahankan beberapa wilayah kekuasaannya, para pemegang kekuasaan telah berusaha membawa masuk segala kemajuan teknologi militer Barat ke negara mereka. Ini disebabkan adanya dugaan bahwa kekalahan mereka yang mereka derita disebabkan oleh lemahnya kekuatan militer meraka. Tapi importasi alat-alat militer saja tidak cukup, karena merek juga memerlukan tenaga-tenaga mahir untuk mengendalikan peralatan tersebut. Akhirnya merekapun mengirimkan putra terbaik mereka ke institusi-institusi pendidikan di Barat. Sekembalinya ke tanah air, mereka mendapati bahwa keahlian yang mereka miliki tidak dapat dipraktekkan melainkan sistem pendidikan yang ada tersebut perlu di perbaharui. Akhirnya dilakukan pembaharuan pendidikan. Tapi itu saja tidak cukup, karena ia juga menuntut pembaharuan politik. Begitulah seterusnya hingga akhirnya Kamal Attartuk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Uthmaniyyah dan mendirikan negara Turki berideologikan sekularisme. Proses westernisasi pun berjalan dan segala yang berbau Agama segera dihabisi. Hampir satu abad negara Turki sekuler sudah berdiri namun hingga hari ini sebuah Turki tidak ada bedanya dengan negara dunia ketiga yang lain, terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.

Dari kasus Turki ini kita bisa mendapatkan ‘itibar bahwa sekularisasi dengan mencontoh dan mengikuti Barat secara membabi buta bukanlah jalan keberhasilan untuk menggapai kemajuan. Mungkin kita bisa bertanya: apakah dengan diharamkannya poligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki dan perempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yang diinginkan para pemikir Muslim kontemporer diatas, masyarakat Islam akan menjadi lebih mulia dan terhormat,

Page 27: Liberalisasi Syariah Islam

27

dihargai dan disanjung, menjadi lebih maju dan berkembang. Sesungguhnya sejak zaman kolonialisme umat Islam telah jauh meningalkan syari’ahnya. Mereka mengadopsi hukum Barat untuk diaplikasikan di negara mereka masing-masing. Sayangnya hingga hari ini bukannya bertambah maju sebahagian malah menjadi lebih sengsara. Lantas apakah hukum Islam yang tidak di terapkan itu yang salah atau karena hukum model Barat yang menjadi biang kehancuran umat hari ini.

Wallahu ‘Allam

Segambut, 28 September 2007