lembar persetujuan tim /komisi promotor prof. dr. i made ... · teori keadilan oleh...
TRANSCRIPT
ii
Lembar Persetujuan TIM /Komisi Promotor
Promotor
Prof. Dr. I Made Pasek Diantha S.H.,M.S.
NIP: 19461231 1974031 025
Ko-Promotor I Ko-Promotor II
Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H
NIP: 19550306 198403 1 003 NIP: 19580917 198601 1 002
Mengetahui
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, Direktur,
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudi, S.H., M Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP : 19530914 197903 1002 NIP : 19590215 198510 2 001
iii
DISERTASI INI TELAH DIUJI DAN DINILAI TAHAP I (UJIAN TERTUTUP)
Oleh Panitia Penguji Pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada tanggal
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No :
Tanggal:
Panitia Penguji Disertasi adalah
Ketua : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S. (……………)
Sekretaris : Dr.I Wayan Wiryawan, S.H., M.H. (……………)
Anggota :
1. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H. (…………….)
2. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., L.LM (…………….)
3. Prof. R.A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D (…………….)
4. Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H. (…………….)
5. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.Hum (…………….)
6. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H. (…………….)
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala limpahan berkat, rachmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penelitian disertasi yang berjudul “Pembuatan Kontrak Baku dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia” ini. Penulis sadari sepenuhnya bahwa penyelesaian disertasi
ini terwujud berkat atas bimbingan dari Promotor, dan Ko-Promotor, serta sikap
kritis para penguji, dan para Dosen di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Udayana selama penulis menempuh pendidikan. Bantuan dan motivasi segenap
pengajar di lingkungan Program Doktor Ilmu Hukum, teman-teman serta keluarga
dalam proses penulisan disertasi ini merupakan semangat dan pendorong bagi
penulis yang sangat berharga. Untuk itu dalam kesempatan yang baik ini, penulis
ingin menyampaikan ucapan terimakasih, rasa puji dan penghormatan sebesar-
besarnya penulis kepada:
1. Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S. dalam kedudukan sebagai
Promotor yang sangat tekun dalam membimbing, mengarahkan serta
memberikan petunjuk, motivasi secara terus menerus dan bantuan
literatur mulai dari penyusunan proposal sampai selesainya disertasi
ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya
karena beliau dengan sifat kebapaannya, dengan kesabarannya yang
sangat tinggi, membuka wawasan cara berpikir penulis untuk lebih
fokus dan tajam dalam menganalisa permasalah dan penulisan, selalu
memberikan semangat yang tidak henti-hentinya untuk tekun dan
bekerja keras dalam penulisan ini.
2. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., dalam kedudukan sebagai Ko-
Promotor I yang selalu memberikan arahan-arahan dan masukan-
masukan, selalu meluangkan waktu kapanpun kepada penulis,
mencarikan jalan keluar apabila penulis merasa kehabisan ide untuk
penulisan, dengan terus semangat memberikan dorongan yang tiada
henti dalam penulisan ini.
3. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H., dalam kedudukan sebagai Ko-
Promotor II, yang mulai membimbing penulis sejak penulis
menempuh pendidikan Strata I hingga Strata III, dengan cara beliau
yang khas dan murah senyum, tetapi tetap mengkritik penulis agar
selalu fokus dan tidak bertele-tele dalam menyajikan uraian
pembahasan dalam penulisan ini, menjadi pembimbing sekaligus
tempat panutan bagi penulis.
4. Prof. Dr. dr. I Ketut Swastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor
Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan
v
fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Udayana;
5. Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K)., selaku Direktur
Pascasarjana Universitas Udayana, begitu pula Prof. Dr. Made
Budiarsa, MA selaku Asisten Direktur I, dan Prof. Made Sudiana
Mahendra, Ph.D. selaku Asisten Direktur II yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Udayana ;
6. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudi, S.H., M.S sebagai Ketua Program
Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
yang telah memfasilitasi ujian tertutup ini, yang tetap meluangkan
waktu bagi penulis untuk dimintai persetujuan, di tengah
kesibukannya yang sangat padat.
7. Dr. I Gede Artha,SH.,MH dalam kedudukan sebagai Pembimbing
Akademik penulis dan juga sebagai Sekretaris Program Studi Doktor
Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, yang mengarahkan
penulis untuk menulis apa yang benar-benar penulis minati, dan
selalu menanyakan perkembangan penulisan disertasi ini;
8. Segenap staf Administrasi Program Doktor Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Bapak Ketut Dyatmika Yadnya
yang selalu “diganggu” dan “disibukkan” tanpa henti-henti oleh
penulis, yang dengan sabar dan tetap tersenyum menjelaskan
segalanya, memberi support dan bantuan yang tak terkira, Bapak I
Made Oka, Luh Mastri Diansari dan Ketut Sri Nadi yang telah
banyak membantu di dalam penyelesaian proses administrasi selama
penulis menempuh studi di Program Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Udayana;
9. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., L.L.M, sebagai penguji
tamu dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, penulis
sampaikan dengan penuh penghargaan dan rasa terima kasih yang
sangat mendalam telah memberikan kontribusi pemikiran yang
sangat berarti untuk mempertajam fokus penelitian dan penulisan
disertasi ini;
10. Prof. R.A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D, sebagai anggota penguji
dan dosen Mata Kuliah Penunjang Disertasi yang telah membuka
cara berpikir penulis untuk lebih logis, mempertajam permasalahan,
memberikan ide-ide pemikiran yang sangat membantu, memberikan
penjelasan yang sangat bermanfaat dalam penulisan disertasi ini;
vi
11. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH., dan Dr. Desak Putu Dewi Kasih,
S.H., M.Hum., serta Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H. selaku anggota
penguji, penulis sampaikan terima kasih yang sangat mendalam telah
memberikan masukan pemikiran terhadap penulisan disertasi ini.
12. Seluruh Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Udayana, yang telah memberikan ilmunya secara tulus,
sehingga penulis memperoleh wawasan ilmu yang lebih luas dan
mendalam;
13. Teman-teman mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Udayana Angkatan II Tahun 2013, teristimewa Dr. Ni
Nyoman Juwita Arsawati S.H., M.H., yang setiap saat, setiap waktu
selalu bersedia membantu penulis tanpa pamrih, selalu memberikan
motivasi, selalu mengingatkan penulis untuk tidak “terlena”,
menemani penulis dalam menyiapkan penulisan, semangatnya dan
ketekunannya merupakan motivasi dan panutan bagi penulis,
14. Ayahanda Jiwaji Nisar Husain, sebagai ayah penulis, sebagai teman
penulis, sebagai idola penulis, sebagai segala-galanya bagi penulis,
yang tanpa semangat, support, dan doanya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan penulisan ini. Harapan agar anaknya menjadi
Doktor membuat penulis menjadi terpacu, tanpa semua itu penulis
tidak akan mampu menyelesaikan penulisan ini, tiada kata yang
pantas terucap selain “terimakasih, terimakasih, terimakasih” ayahku
tercinta;
15. Ibunda Sakinah Abdul Tayyib, sebagai ibu penulis, sebagai “teman
berdebat”, yang selalu bertanya “kapan lulus”, “kapan selesai kuliah”
namun tetap selalu mendoakan penulis (walau dalam hati), doa-
doanya dan harapan-harapannya memberkati penulis dalam
menyelesaikan penulisan ini, terimakasih ibundaku tercinta;
16. Suamiku, Murtaja Ibrahim, dan anak-anakku, Nakia Nasiba, Lajuba
Aiman, dan Firkhan Murtaza, yang dengan sabar meminjamkan
laptopnya untuk dipakai, dengan sabar merelakan ibunya untuk
menyelesaikan penulisan ini walaupun mengganggu waktu bagi
keluarga,
17. Adik-adik penulis, Amir Hamzah, Malika Jiwaji, Nur Octaviana,
Nina, Daniesh, Akmar, yang telah memberikan dukungan dan
semangat, selalu menanyakan “kapan jadi Doktor”, selalu bangga
dengan kakaknya, terimakasih saudara-saudaraku tersayang;
18. Sahabat-sahabat terkasih, Anisa, Tasnim, Ninik, Mufadal, yang selalu
mendoakan penulis, menemani penulis, memberikan semangat
kepada penulis, dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat penulis
vii
sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa dan motivasinya
sehingga dapat diselesaikan penulisan disertasi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini, dapat memberikan
manfaat khususnya dalam pembuatan kontrak baku di Indonesia.
Denpasar, Oktober 2016
Penulis
Munnie Yasmin
viii
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Munnie Yasmin
NIM : 1390971011
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jl. Sekar Tunjung XIV/9 Denpasar
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di
dalam naskah Disertasi yang saya tulis ini adalah asli belum pernah diajukan oleh
orang lain untuk mendapatkan gelar akademik (Doktor) di suatu Perguruan
Tinggi. Karya tulis ini adalah murni hasil gagasan dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain kecuali Tim Promotor, dan tidak terdapat hasil karya atau
pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis jelas
dicantumkan untuk dikutip dalam naskah ini, dengan disebutkan sumber kutipan
dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila ternyata di dalam
naskah Disertasi ini terdapat unsur-unsur plagiat, saya bersedia menerima sanksi
akademik yang telah diperoleh (Doktor) untuk dibatalkan, serta diproses sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 12 Undang-Undang
No.17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan
Tinggi).
Denpasar, Oktober 2016
Yang membuat pernyataan
Munnie Yasmin
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM DISERTASI ................................................................... i
PERSYARATAN GELAR DOKTOR .......................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR/KO-PROMOTOR ..................... iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI DISERTASI ....................... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... v
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL/BAGAN ........................................................................ xv
ABSTRAK ................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................. vi
RINGKASAN ............................................................................................. vii
SUMMARY .....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. ...........................................................................................
Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2. ...........................................................................................
Rumusan Masalah.................................................................. 24
1.3. ...........................................................................................
Tujuan Penelitian ................................................................... 24
1.3.1.................................................................................
Tujuan umum ........................................................... 24
1.3.2.................................................................................
Tujuan khusus ........................................................... 24
1.4. ...........................................................................................
Manfaat Penelitian ................................................................. 25
1.4.1................................................................................. Ma
nfaat teoritis ............................................................ 25
x
1.4.2................................................................................. Ma
nfaat praktis ............................................................ 25
1.5. ...........................................................................................
Orisinalitas Penelitian ............................................................ 25
1.6. ...........................................................................................
Kerangka Berpikir ................................................................. 35
1.7. ...........................................................................................
Metode Penelitian .................................................................. 38
1.7.1................................................................................. Jeni
s penelitian ............................................................. 39
1.7.2................................................................................. Pen
dekatan penelitian ................................................... 40
1.7.3................................................................................. Su
mber bahan hukum ................................................. 45
1.7.4................................................................................. Tek
nik pengumpulan bahan hukum .............................. 46
1.7.5................................................................................. Tek
nik analisis bahan hukum ........................................ 47
BAB II KAJIAN TEORITIK .................................................................. 49
2.1. Kajian Teoritik Kontrak Baku ............................................ 49
2.1.1. Tinjauan umum kontrak baku ................................. 50
2.1.1.1. Peristilahan dan pengertian kontrak ........... 50
2.1.1.2. Peristilahan dan pengertian kontrak baku .. 56
2.1.1.3. Ciri-ciri kontrak baku ................................ 62
2.1.2. Teori-teori terkait kontrak baku ............................. 67
2.1.2.1. Teori keadilan oleh Aristoteles ................. 67
2.1.2.2. Teori kehendak (will theory) oleh
Roscoe Pound .......................................... 78
2.1.2.3. Teori keseimbangan (the balance theory-
of contract) oleh Joel Levin dan
xi
Banks.Mc.Dowell .................................... 81
2.1.3. Doktrin Unconscionability) ................................... 83
2.1.4. Asas-asas hukum kontrak ...................................... 86
2.2. Kajian Teoritik Hak Asasi Manusia ................................. 107
2.2.1. Tinjauan umum hak asasi manusia....................... 108
2.2.1.1. Pengertian hak dan kewajiban ................. 108
2.2.1.2. Peristilahan dan pengertian
hak asasi manusia ................................... 111
2.2.1.3. Klasifikasi hak asasi manusia .................. 117
2.2.2. Teori-teori terkait hak asasi manusia .................... 117
2.2.2.1. Teori perlindungan hak asasi manusia
oleh John Locke ................................... 117
2.2.2.2. Teori perlindungan minimum
(the minimum content of natural law)
H.L.A.Hart .......................................... 122
2.2.2.3. Teori fungsi negara sebagai regulator
oleh W.Friedmann................................ 123
2.2.3. Doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam
hukum perdata ................................................. 125
2.2.4. Ajaran hak asasi manusia ................................... 126
BAB III LANDASAN FILOSOFIS PEMBUATAN KONTRAK BAKU
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA ................ 131
3.1. Landasan Filosofis Kontrak Baku ................................... 131
3.1.1. Latar belakang pembuatan kontrak baku ............... 132
3.1.2. Kekuatan mengikat kontrak baku.......................... 135
3.2. Landasan Filosofis Hak Asasi Manusia ........................... 138
3.2.1. Perkembangan dan klasifikasi hak asasi manusia .. 139
3.2.2. Makna substantif perlindungan hak asasi manusia 153
3.3. Landasan Filosofis Kontrak Baku dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia ......................................................... 161
xii
3.3.1. Hubungan hukum perdata atau privat dengan
hak asasi manusia ................................................. 162
3.3.2. Landasan filosofis pembuatan kontrak baku
dalam perspektif hak asasi manusia ...................... 171
BAB IV KLAUSULA KONTRAK BAKU DALAM PERSPEKTIF
HAK ASASI MANUSIA ....................................................... 193
4.1. Keseimbangan Kedudukan Para Pihak dalam
Kontrak Baku ................................................................ 193
4.1.1. Kriteria keseimbangan kedudukan para pihak
dalam kontrak baku ............................................ 194
4.1.2. Keseimbangan kedudukan para pihak dalam
kontrak baku perspektif hak asasi manusia.......... 204
4.2. Klausula Kontrak Baku dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia ....................................................... 227
4.2.1. Kaitan asas-asas hukum kontrak dengan
ajaran hak asasi manusia ...................................... 227
4.2.2. Klausula kontrak baku yang mencerminkan
nilai-nilai hak asasi manusia ................................ 228
4.2.3. Klausula kontrak baku yang bertentangan dengan
hak asasi manusia ................................................ 234
4.2.3.1. Klausula eksemsi .................................... 234
4.2.3.2. Analisa klausula-klausula kontrak baku
dalam kontrak-kontrak komersial ............ 237
BAB V ASAS-ASAS HUKUM RUJUKAN PEMBUATAN
KONTRAK BAKU YANG BERSPEKTIF
HAK ASASI MANUSIA ....................................................... 276
5.1. Asas-asas Hukum dalam Pembuatan Kontrak Baku ....... 276
5.1.1. Asas-asas hukum yang mendasari lahirnya
kontrak baku........................................................ 280
5.1.1.1. Asas kebebasan berkontrak .................... 280
xiii
5.1.1.2. Asas konsensualitas ............................... 286
5.1.1.3. Asas kekuatan mengikat kontrak
sebagai undang-undang
(pacta sunt servanda) ............................ 290
5.1.2. Asas-asas hukum yang berkaitan dengan
substansi kontrak baku....................................... 293
5.1.2.1. Asas keseimbangan ............................... 293
5.1.2.2. Asas proporsionalitas ............................ 295
5.1.2.3. Asas itikad baik..................................... 299
5.1.2.4. Asas perlindungan ................................. 307
5.2. Asas-asas Hukum Rujukan Penilaian
Klausula Baku ............................................................. 313
5.2.1. Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula
baku di Indonesia.............................................. 313
5.2.1.1. Peraturan perundang-undangan ............ 314
5.2.1.2. Putusan-putusan pengadilan ................ 317
5.2.2. Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula
di beberapa negara ........................................... 332
5.2.2.1. Penilaian klausula baku di Australia .... 332
5.2.2.2. Penilaian klausula baku di Inggris ....... 335
5.2.2.3. Penilaian klausula baku di
Amerika Serikat .................................. 341
5.2.2.4. Penilaian klausula baku di Perancis ..... 344
5.2.2.5. Penilaian klausula baku di Jerman ....... 345
5.2.2.6. Penilaian klausula baku di Belanda ..... 348
5.3. Konsep Pengaturan Kontrak Baku Perspektif
Hak Asasi Manusia ................................................... 354
5.3.1. Model pengaturan kontrak baku ...................... 354
5.3.2. Implementasi teori keseimbangan dalam
pengaturan kontrak baku ................................. 357
5.4. Asas-asas Hukum Rujukan Pengaturan Kontrak Baku
xiv
Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia ............... 363
5.4.1. Kriteria asas-asas hukum rujukan
pengaturan kontrak baku perspektif
hak asasi manusia ........................................... 363
5.4.2. Asas-asas hukum rujukan pengaturan
kontrak baku berdasarkan Pancasila ................ 378
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan ..................................................................... 387
6.2. Rekomendasi .................................................................. 389
DAFTAR PUSTAKA
xv
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
A. Daftar Tabel
Tabel 1. Orisinalitas Penelitian .................................................................... 26
Tabel 2. Kerangka Berpikir ......................................................................... 35
Tabel 3. Pengaturan dan Sumber Hak Asasi Manusia Terkait Kontrak
Baku di Indonesia ....................................................................... 212
Tabel 4. Perbandingan Penilaian Klausula Baku di Beberapa Negara ........ 352
B. Daftar Bagan
Bagan 1. Landasan Kontrak Yang Mengikat
Menurut Teori Keseimbangan .................................................... 361
Bagan 2. Komponen Keadilan atau Kelayakan dan Kesukarelaan
Dalam Kontrak .......................................................................... 362
Bagan 3. Skema Kontrak Baku Perspektif Hak Asasi Manusia .................. 376
Bagan 4. Asas-asas Rujukan Pembuatan Kontrak Baku
Perspektif Hak Asasi Manusia ................................................... 378
xvi
ABSTRAK
Nama : Munnie Yasmin
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Disertasi : Pembuatan Kontrak Baku
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Kontrak merupakan salah satu perangkat hukum untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Salah satu bentuk kontrak adalah kontrak baku. Keabsahan
kontrak baku tidak lagi menjadi hal yang perlu diperdebatkan karena telah
menjadi kebutuhan bisnis dalam kaitannya dengan efisiensi dan efektifitas.
Kontrak baku berpotensi adanya penyalahgunaan kedudukan oleh pihak yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi akibat pengusaan salah satu sumber daya
(ekonomi, teknologi, atau ilmu) terhadap pihak yang lemah. Hal ini menyebabkan
perlunya campur tangan negara dalam pembuatan aturan hukum untuk untuk
melindungi pihak yang lemah. Ketidakseimbangan kedudukan dalam kontrak
baku menimbulkan permasalahan hukum baik secara filosofis yakni terkait nilai-
nilai keadilan, secara yuridis karena belum ada aturan mengenai kontrak baku
yang ditujukan tidak hanya untuk konsumen dan secara sosiologis masih banyak
klausula-klausula dalam kontrak baku yang mencerminkan ketidaseimbangan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Apakah yang menjadi landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam
perspektif hak asasi manusia? Apakah kontrak baku dapat melindungi hak asasi
manusia? Apakah asas-asas hukum yang harus dirujuk dalam pembuatan kontrak
baku agar dapat melindungi hak-hak asasi manusia?
Penelitian merupakan penelitian hukum normatif, dengan mempergunakan
Teori keadilan, Teori Kehendak, Teori Keseimbangan Dalam Kontrak, Teori
Perlindungan Hak Asasi Manusia, Teori Perlindungan Minimum dan Teori Fungsi
Negara Sebagai Regulator. Hasil penelitian dapat dirumuskan, landasan filosofis
pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia adalah perlindungan
terhadap pihak yang lemah dalam pembuatan kontrak baku melalui campur tangan
negara dalam pembuatan aturan sehingga tercapai keseimbangan kedudukan
karena menurut peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional hal
itu merupakan kewajiban negara dalam hak asasi manusia (to respect, to protect,
to fulfill). Kontrak baku tidak dapat melindungi nilai-nilai hak asasi manusia
apabila di dalamnya terdapat klausula-klausula yang berat sebelah atau tidak adil,.
Asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan adalah asas-asas hukum terkait
dengan substansi kontrak yang berisikan nilai-nilai keadilan yakni asas
keseimbangan, asas proporsionalitas, asas itikad baik dan asas perlindungan.
Rekomendasi dari penelitian ini, agar badan legislatif membentuk undang-
undang terkait kontrak baku yang tidak hanya ditujukan kepada kontrak
konsumen saja, namun juga kepada kontrak-kontrak komersial lainnya.
Rekomendasi terhadap hakim, agar dalam menyelesaikan sengketa terkait kontrak
xvii
baku mengacu pada keadilan substantif dan membatalkan hanya klausula baku
yang dinilai tidak adil bukan kontrak secara keseluruhan.
Kata Kunci: kontrak baku, hak asasi manusia, perliindungan
ABSTRACT
Name : Munnie Yasmin
Study Program : Law Science
Title of Dissertation : Standard Contract Writing in
Human Right Perspective
Contract is one of the legal instruments to meet the needs of human life.
One of the forms of contract is the standard form of contract. The validity of
standard form of contract is no longer a debated issue as it has become a business
necessity in relation to efficiency and effectiveness. The standard form of contract
is potential to have abuse of position by the parties having higher position due to
their control to one of the resources (economic, technology, or science) against the
weaker parties. This leads to the need of interference by government in drawing
up rules of law to protect the weaker parties. The imbalance position in standard
contract has caused legal issues both philosophically, namely, related to the value
of justice, and legally since there are no rules regarding standard contract intended
not only to consumers and sociologically there are a lot of clauses in the standard
contract reflecting imbalance. Based on the background, the problems are
formulated as follows: What are the philosophical foundations in the drawing up
standard contract in human rights perspective? Can standard form of contract
protect human rights? What legal principles to be referred to in drawing up
standard form of contract to protect human rights?
This study is a normative legal research, applying the theory of justice,
theory of will, theory of balance in contract, theory of human rights protection,
theory of minimum protection and state functional theory as regulator. The results
of the study can be formulated that the philosophical basis of the drawing up
standard form of contract in human rights perspective is the protection of weaker
parties in drawing up standard form of contract through state intervention in rules-
making in order to reach balance of position since under national and international
legislations, it is the obligation of the state in human rights (to respect, to protect,
to fulfill). Standard form of contracts cannot protect the values of human rights if
there are bias or unfair clauses in it. The legal principles that can be used as a
reference is the principles of law relating to the substance of contract which
contains the values of justice, namely, the principle of balance, proportionality,
the principle of good faith and protection.
The recommendation of this study is that the legislative drawing law
related standard form of contract should not only be addressed to consumer
contracts, but also to other commercial contracts. The recommendation to judges
is that to resolve disputes related standard contract should refer to substantive
justice and cancel only the standard clause considered unfair not to the contract as
awhole.
xviii
Keywords: standard form of contract, human rights, protection
RINGKASAN
PEMBUATAN KONTRAK BAKU
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Penelitan ini didasari oleh latar belakang filosofis yakni pembuatan kontrak
baku belum dapat memenuhi nilai-nilai keadilan, latar belakang yuridis karena di
Indonesia belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai kontrak baku tanpa
membatasi keberlakuannya hanya pada konsumen akhir, dan landasan sosiologis
akibat adanya klausula-klausula baku dalam kontrak baku yang berat sebelah
sehingga merugikan salah satu pihak.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab 3 (tiga) rumusan masalah antara
lain: 1) Apakah yang menjadi landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam
perspektif hak asasi manusia?; 2) Apakah kontrak baku dapat melindungi hak
asasi manusia?; 3) Asas-asas hukum apakah yang harus dirujuk dalam pembuatan
kontrak baku agar dapat melindungi hak asasi manusia?.
Penelitian dilakukan dengan mempergunakan jenis penelitian normatif,
dengan mempergunakan jenis pendekatan undang-undang, pendekatan konsep,
pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan. Sumber bahan hukum baik
bahan hukum primer, sekunder dan tesier diperoleh melalui metode kepustakan
dengan sistem kartu elektronik applikasi “evernote.” Bahan-bahan hukum yang
ada diolah dan dianalisa secara preskriptif, argumentatif, interpretatif dan evaluatif
sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang ada.
Rumusan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
I. Landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi
manusia
1. Landasan filosofis kontrak baku
(a) Landasan filosofis kontrak baku adalah kebutuhan untuk
memfasilitasi perdagangan dalam bentuk yang seefisien mungkin.
Faktor efisiensi dan efektifitas sebagai faktor utama tumbuhnya
kontrak baku. Keuntungan dari segi efisiensi biaya, waktu dan
tenaga karena telah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir
atau blanko yang telah siap untuk ditandatangani. Pengurangan biaya
karena formulir atau blanko kontrak telah dicetak secara massal,
tidak perlu mencetak satu demi satu naskah kontrak yang akan
meningkatkan biaya. Pengurangan biaya akan meningkatkan laba
perusahaan. Dari segi waktu, penggunaan kontrak baku
menyebabkan penyelesaian cepat karena pihak penerima kontrak
tinggal menandatangani saja. Dari segi tenaga, kontrak baku tidak
memerlukan banyak tenaga karena tidak perlu bertatap muka
merundingkan poin-poin yang akan disepakati, sehingga jumlah
xix
tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit. Kontrak baku juga dapat
meningkatkan efektifitas karena sifat homogenitas kontrak yang
dibuat dalam jumlah banyak, dapat digunakan untuk mengontrol
penjualan dan jenis-jenis barang atau jasa yang lebih diminati karena
konsumen dihadapkan pada kontrak yang sifatnya sama.. Kontrak
baku dibutuhkan dalam lapangan bisnis yang berorientasi profit atau
keuntungan.
(b) Kekuatan mengikat dari kontrak baku berasal dari asas kebebasan
berkontrak dan kesepakatan para pihak yang berasal dari kehendak
bebas.
2. Landasan filosofis hak asasi manusia
(a) Perkembangan dan klasifikasi hak asasi manusia. Perkembangan hak
asasi manusia berasal dari keberadaan hak asasi manusia yang
melekat dari diri manusia itu sendiri dan merupakan hak-hak yang
berasal dari anugerah Tuhan. Hak asasi manusia ada akibat kodrat
manusia sebagai manusia itu sendiri. Hak asasi manusia turun dari
hukum alam. Perkembangan pemikiran perlindungan hak asasi
manusia dimulai dari hukum alam, yang merupakan proses dari
kelahiran alam itu sendiri.Tahap-tahap perkembangan hak asasi
manusia dari hukum alam ke arah hukum positif mengalami tiga
tahapan yakni tahapan paling abstrak dan filosif, tahap konstitusional
dan tahap legislatif. Perkembangan perlindungan hak asasi manusia
terbagi dalam beberapa generasi. Generasi pertama menekankan
perlindungan hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua menekankan
pada bidang sosial, ekonomi dan budaya. Generasi ketiga
menekankan pada hak-hak untuk pembangunan (rights to
development). Konteks yang berkembang pada masa ini adalah
konteks hak asasi manusia bukan hanya dalam hubungan kekuasaan
yang bersifat vertikal (antara rakyat dengan pemerintahan dalam
suatu negara) tapi juga bersifat horizontal antara rakyat dengan
pemegang kekuasaan di bidang ekonomi, teknologi dan industri
pelaku usaha (konsumen dengan produsen). Penekanan utama pada
konteks horizontal adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-
kepentingan konsumen dijamin.
(b) Makna substantif perlindungan hak asasi manusia adalah kebebasan
dan hak atas privasi. Kebebasan merupakan kemampuan manusia
untuk menentukan pilihannya. Menghalangi kebebasan berarti
menentang derajat dan harkat martabat manusia itu sendiri.
Kebebasan seseorang mungkin saja akan berbenturan dengan
kebebasan orang lain sehingga perlu diatur. Sarana yang paling tepat
untuk mengatur adalah hukum.
3. Landasan filosofis kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia
(a) Nilai hak asasi manusia melengkapi hukum privat. Nilai-nilai hak
asasi manusia secara tidak langsung tampak dalam asas-asas hukum
kontrak yakni asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik (good
faith), asas perlindungan, asas keseimbangan. Hal ini sesuai dengan
xx
model keberlakuan tidak langsung hak asasi manusia dalam hukum
privat.
(b) Dasar kekuatan mengikat kontrak adalah berasal dari hukum alam,
sehingga hak untuk mengadakan kontrak adalah salah satu hak asasi
manusia di bidang ekonomi. Pembuatan kontrak baku merupakan
salah satu perwujudan dari hak asasi manusia di bidang ekonomi
(property rights) Kontrak pada umumnya merupakan perwujudan
kebebasan kehendak oleh kontraktan. Salah atu bentuk dari kontrak
adalah kontrak baku. Kontrak baku lahir dari kebebasan itu sendiri
yakni kebebasan berkontrak. Permasalahan kontrak baku adalah
pada aspek keseimbangan kedudukan. Pembuatan kontrak baku yang
mencerminkan ketidakseimbangan kedudukan mengakibatkan nilai-
nilai keadilan tidak terwujud, sehingga melibatkan campur tangan
negara terkait kewajiban negara untuk menjamin terlaksananya hak
asasi manusia dan fungsi negara sebagai regulator. Fungsi negara
sebagai regulator dilakukan dengan membuat aturan hukum terkait
kontrak baku. Aturan ini diharapkan dapat mengembalikan
keseimbangan kedudukan para pihak dan melindungi pihak yang
memiliki kedudukan lebih lemah dibandingkan pihak lainnya,
sehingga nilai-nilai hak asasi manusia dapat dilindungi.
II. Klausula kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia:
1. Keseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak baku.
(a) Kriteria keseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak baku
dapat dilihat berdasarkan perbuatan para pihak, isi dari kontrak dan
pelaksanaan kontrak. Keseimbangan terwujud apabila perbuatan para
pihak didasarkan pada kehendak bebas (tidak ada cacat kehendak
yang disebabkan oleh penyalahgunaan keadaan. Isi dari kontrak
mencerminkan keadilan, tidak terdapat klausula yang tidak adil dan
sangat memberatkan salah satu pihak, tidak bertentangan dengan
undang-undang, tidak menyebabkan kerugian, tidak menyimpangi
prosedur, prestasi tidak dilarang. Pelaksanaan kontrak dilandasi
itikad baik, baik itikad subjektif (kejujuran para pihak) maupun
itikad baik objektif (mengacu pada norma yang objektif).
(b) Keseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak baku perspektif
hak asasi manusia. Hal ini terkait dengan salah satu jenis kriteria
keseimbangan yakni isi kontrak maka kontrak baku dalam perspektif
hak asasi manusia dilihat dari substansinya. kontrak baku secara
tidak langsung merupakan satu jenis hukum yang berlaku di
kalangan pihak yang membuatnya, sehingga substansinya dikatakan
memiliki nilai muatan hak asasi manusia apabila mampu menjunjung
tinggi dengan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan non-diskriminasi.
Nilai-nilai kesetaraan dan non diskriminasi dijabarkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang
Nomor 39 Tentang 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
dengan pertimbangan apa yang telah diatur dalam konvensi-konvensi
xxi
internasional telah pula diatur dalam UUD 1945 dan UU HAM.
kesempatan dan manfaat yang sama, hak akan kepastian hukum.
2. Klausula kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia,
(a) Kaitan antara asas-asas hukum kontrak dengan nilai-nilai hak asasi
manusia merupakan jenis model keberlakuan tidak langsung. Nilai-
nilai hak asasi manusia yaitu kebebasan, persamaan atau kesetaraan
dan non-diskriminasi tidak dapat digunakan secara langsung dalam
menangani perkara-perkara perdata khususnya terkait kontrak baku,
namun nilai-nilai itu diserap (absorption) dan dipakai sebagai asas-
asas atau doktrin-doktrin yang ada dalam hukum kontrak. Asas-asas
hukum kontrak yang mencerminkan nilai-nilai hak asasi manusia
tersebut dalam penulisan ini ada 7 (tujuh) yakni asas kebebasan
berkontrak, asas kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang
(pacta sunt servanda), asas konsensualitas, asas keseimbangan, asas
proporsionalitas, asas itikad baik dan asas perlindungan.
(b) Klausula-klausula kontrak baku yang mencerminkan nilai-nilai hak
asasi manusia yakni klausula-klausula yang menjamin nilai-nilai
kebebasan, persamaan dan non-diskriminasi. Klausula-klausula baku
yang memberikan hak kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa
tekanan (asas kebebasan berkontrak), menghargai harkat martabat
dan nilai-nilai kemanusiaan (asas keseimbangan, asas
proporsionalitas, asas itikad baik dan asas perlindungan), tidak
membedakan perlakuan antara para pihak dalam pemenuhan
hubungan kontraktual (asas keseimbangan, asas proporsionalitas,
asas itikad baik dan asas perlindungan),
(c) Klausula-klausula kontrak baku yang bertentangan dengan hak asasi
manusia adalah klausula eksemsi, klausula-klausula yang
memberikan kewajiban berlebihan kepada salah satu pihak,
memberikan ketidakpastian dan menghilangkan atau membatasi hak
upaya hukum salah satu pihak sehingga mengakibatkan keuntungan
yang tidak wajar pada salah satu pihak. Berdasarkan penelitian dapat
dikatakan bahwa kontrak baku belum dapat melindungi hak asasi
manusia.
III. Asas-asas hukum rujukan pembuatan kontrak baku yang berspektif hak
asasi manusia
1. Asas-asas hukum dalam pembuatan kontrak baku dibagi dua yakni asas-
asas hukum yang mendasari lahirnya kontrak baku dan asas-asas hukum
terkait substansi kontrak baku. Asas-asas hukum yang mendasari lahirnya
kontrak baku adalah asas kebebasan berkontrak, asas konsensualitas, asas
kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang (pacta sunt
servanda), sedangkan asas-asas hukum terkait substansi kontrak baku
adalah asas keseimbangan, asas proporsionalitas, asas itikad baik dan
asas perlindungan.
2. Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula baku
xxii
(a) Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula baku di Indonesia,
dilihat berdasarkan peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
dan peraturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 01/POJK.07/2013
Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014
Tentang Perjanjian Baku. Asas hukum yang dianut dalam UUPK
ada 5 (lima) yakni asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan,
asas keamanan dan keselamatan konsumen dan asas kepastian
hukum. Asas-asas hukum yang menjiwai Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor: 01/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan adalah selain asas-asas terkait
perlindungan konsumen di bidang jasa keuangan yakni asas
perlakuan yang adil, asas keandalahan, asas kerahasiaan dan
keamanan data informasi konsumen, asas penanganan pengaduan
serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan
biaya rendah juga diakuinya asas hukum yang memberikan
perlindungan kepada pelaku jasa keuangan yakni asas itikad baik
yang ditujukan kepada konsumen. Asas-asas hukum terkait
pembuatan kontrak baku yang diatur berdasarkan Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang
Perjanjian Baku ini adalah asas keseimbangan, keadilan dan
kewajaran dalam pembuatan kontrak baku. Berdasarkan hal
tersebut tampak bahwa UUPK dan OJK asas-asas hukum yang
dirujuk lebih banyak berpedoman pada substansi kontrak baku
untuk mewujudkan keadilan.
Asas-asas hukum rujukan yang dilihat berdasarkan putusan
pengadilan maka kesepakatan dipandang sebagai faktor penentu
keberlakuan klausula baku. Kesepakatan dilihat dari adanya tanda
tangan pada kontrak baku (kesepakatan secara formil), sehigga
kontrak menjadi sah sesuai Pasal 1320 KUHPer dan mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya Pasal 1338
kalimat pertama KUHPer Konsekuensinya adalah para pihak
dianggap telah tunduk dengan adanya kontrak tersebut. Kurangnya
kesempatan atau pemahaman dari pihak yang menerima kontrak
baku tidak menjadikan alasan pembatalan dari kontrak tersebut.
Secara tidak langsung hakim-hakim di Indonesia lebih
mengedepankan keadilan yang bersifat prosedural dengan
penekanan pada keberlakuan asas-asas hukum kontrak yang
mendasari lahirnya kontrak baku yakni asas kebebasan berkontrak,
asas konsensualitas dan asas kekuatan mengikat kontrak (pacta
sunt servanda). Sepanjang kontrak baku telah dibuat berdasarkan
prosedur formal yang diatur oleh undang-undang maka kontrak itu
xxiii
sah dan mengikat. Hal ini tidak menyampingkan bahwa terdapat
pula putusan pengadilan berkaitan dengan kontrak baku yang
mempertimbangkan asas itikad baik.
(b) Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula baku di beberapa
negara yakni Australia, Inggris, Perancis dan Jerman menekankan
pada asas keseimbangan dan itikad baik, Belanda pada asas itikad
baik sedangkan di Amerika pada doktrin ketidakadilan dan
pelaksanaannya diserahkan pada hakim. Jika diperhatikan tampak
dari beberapa negara yang dipilih asas itikad baik dan asas
keseimbangan mendominasi penilaian klausula baku. Asas itikad
baik dan keseimbangan ini merupakan asas-asas yang terkait dengan
substansi kontrak baku dan terkandung nilai-nilai keadilan di
dalamnya. Asas-asas ini juga merupakan pencerminan dari nilai-nilai
hak asasi manusia.
3. Konsep pengaturan kontrak baku perspektif hak asasi manusia
(a) Terdapat 4 (empat) model pengaturan kontrak baku yakni 1) model
tanpa permasalahan tertentu (the no particular problem model); 2)
model kontrak baku (the standard-form contract model); 3) model
perlindungan konsumen (the consumer protection model); 4) model
pengaturan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan pada umumnya (the
general fairness model). Model tanpa permasalahan tertentu yakni
model pengaturan kontrak baku yang berdasarkan pada aturan-
atauran dan asas-asas yang melandasi kontrak pada umumnya
dengan tidak menutup kemungkinan penambahan beberapa aturan
yang menyesuaikan terhadap kontrak tersebut. Model kedua yakni
model kontrak baku adalah model yang merupakan penyempurnaan
dari prinsip-prinsip yang melandasi kontrak pada umumnya. Model
ketiga yakni model pengaturan berdasarkan perlindungan konsumen
adalah model yang menekankan pada perlindungan konsumen.
Model keempat yakni model yang menjangkau lebih luas hubungan
konsumen dan hubungan bisnis.
(b) Implementasi teori keseimbangan dalam pengaturan kontrak baku
adalah dengan menerapkan asas atau komponen keadilan sebagai
“check and balance.” Artinya apabila unsur komponen
kesukarelaannya berkurang maka unsur komponen keadilan akan
meningkat sehingga tercapai keseimbangan.
4. Asas-asas rujukan pengaturan kontrak baku perspektif hak asasi manusia
di Indonesia.
(a) Memperhatikan keempat model pengaturan tersebut di atas, maka
negara dalam fungsinya sebagai regulator dapat mengeluarkan aturan
dalam bentunk undang-undang yang mengatur mengenai pedoman
pembuatan kontrak baku sehingga menghasilkan pembuatan kontrak
baku yang adil. Undang-undang ini dibuat dengan menggabungkan
antara model kedua dengan keempat yakni membentuk aturan
mengenai kontrak baku dengan menerapkan asas-asas atau prinsip-
prinsip umum yang berkaitan dengan keadilan. Dalam kaitan
xxiv
pengaturan kontrak baku, fungsi negara yang lebih ditekankan
adalah fungsi negara sebagai regulator yang mencangkup berbagai
cara di mana negara melakukan intervensi melalui penggunaan
hukum langkah-lagkah kontrol di bidang legislatif. Undang-undang
ini akan mencangkup asas-asas yang merupakan pencerminan dari
nilai keadilan yakni asas keseimbangan, asas proporsioalitas, asas
itikad baik dan asas perlindungan. Dengan berpedoman pada asas-
asas hukum ini maka dalam pembuatan kontrak baku, klausula-
klausulanya tidak membuat salah satu pihak menjadi lebih baik
dengan menempatkan pihak lainnya menjadi lebih lemah.
(b) Asas-asas hukum rujukan dapat dijadikan ukuran atau pedoman
pembuatan aturan terkait kontrak baku yang berdasarkan Pancasila
sehingga dapat dilaksanakan sebagai suatu kesatuan dengan sila-sila
lainnya, yang artinya keadilan yang hendak dicapai dalam
pembuatan kontrak baku memperhatikan sifat keagamaan,
kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan. dalam pembuatan kontrak
baku. Kemanusiaan ditandai dengan kejujuran (asas itikad baik
subyektif), kepatutan (asas itikad baik objektif), dan melindungi
pihak yang lemah (asas perlindungan).
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, maka diperoleh kesimpulan terhadap
rumusan masalah bahwa:
I. Kontrak baku lahir dari kebutuhan akan efisiensi dan efektifitas, dan
didasari dari kebebasan berkontrak dan kehendak bebas. Permasalahan yang
timbul adalah adanya ketidakseimbangan kedudukan sehingga nilai-nilai
keadilan tidak terwujud. Hal ini menyebabkan campur tangan negara dalam
fungsi negara sebagai regulator dan terkait kewajiban “to fulfil” dalam
menajmin hak asasi manusia. Campur tangan negara dalam hal pembuatan
undang-undang pedoman pembuatan kontrak baku.
II. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka Dalam pembuatan kontrak
baku, salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah, memiliki sedikit
kesempatan untuk dapat melakukan perubahan-perubahan dalam klausula
yang dibuat oleh pihak pembuat kontrak baku, sehingga pada umumnya
dalam klausula kontrak baku berpihak berat sebelah sehingga kedudukannya
menjadi tidak seimbang. klausula-klausula baku eksemsi, atau yang bersifat
mengurangi, menghilangkan, membatasi kewajiban salah satu pihak
sehingga menimbulkan keuntungan yang tidak wajar pada pihak lainnya
menyebabkan kontrak baku belum dapat melindungi hak asasi manusia.
III. Asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan undang-
undang terkait kontrak baku dengan melihat pemakaian di beberapa negara
seperti Australia, Inggris, Perancis dan Jerman menekankan pada asas
keseimbangan dan itikad baik, Belanda pada asas itikad baik sedangkan di
Amerika pada doktrin unconscionability dan pelaksanaannya diserahkan
pada hakim adalah asas-asas hukum yang bersifat substansi keadilan. Asas-
asas hukum tersebut, yakni itikad baik, keseimbangan, proporsionalitas,
perlindungan merupakan asas-asas hukum yang dijadikan acuan dalam
pembuatan undang-undang kontrak baku di Indonesia.
xxv
Rekomendasi yang dapat diajukan oleh penulis dalam disertasi ini adalah
sebagai berikut:
I. Negara perlu membuat undang-undang mengenai pedoman pembuatan
kontrak baku agar dapat mengembalikan keseimbangan kedudukan para
pihak dalam pembuatan kontrak baku.
II. Hakim dalam menangani perkara-perkara terkait kontrak baku, agar dapat
melihat keseluruhan proses pembuatan kontrak baku, dan membatalkan
klausula baku yang bertentangan dengan asas itikad baik, keseimbangan,
proporsionalitas dan perlindungan dengan tetap memperlakukan kontrak
tanpa adanya klausula baku yang dibatalkan;
III. Agar dalam pembuatan undang-undang terkait pedoman pembuatan kontrak
baku dengan menerapkan gabungan antara model khusus kontrak baku dan
prinsip-prinsip keadilan dalam hal ini adalah asas itikad baik, perlindungan,
asas keseimbangan dan asas perlindungan. Undang-undang yang akan
dibentuk ini tidak terbatas pada konsepsi “konsumen kecil” atau “pengusaha
kecil” tetapi dengan menerapkan konsep “vulnerability” atau perlindungan
bagi pihak yang lemah dan tidak dibatasi hanya pada konsumen akhir saja,
sehingga bisa pada segala transaksi komersial.
xxvi
SUMMARY
THE MAKING OF STANDARD CONTRACT
IN HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE
This legal research is based on the philosophical foundation that is making of
standard contract has not meet the values of justice, juridical background because
in Indonesia there is no special rules governing the standard contract without
limiting enforceability only on the end consumer, and the sociological base as
result of the clauses standard in standard form of contract to the detriment of
either party.
This legal research was carried out in order to address three (3) legal issues
in this dissertation, i.e.: 1) What are the philosophical foundations in the drawing
up standard contract in human rights perspective?; 2) Can standard form of
contract protect human rights?; 3) What legal principles to be referred to in
drawing up standard form of contract to protect human rights?
This legal research is normative legal research,that employs statutory,
conceptual, case and comparative approach. The legal materials used in this
research are primary, secondary and tertiary legal materials. These legal materials
obtained through literature method with application electronic card system
"Evernote." The existing legal materials are processed and analyzed by
prescriptive, argumentative, interpretive and evaluative technique.
The legal research results and obtained from this study can be described as
follows:
IV. Philosophical foundation in the drawing up standard contract in human
rights perspective
4. The philosophical foundation of standard contract
(c) Philosophical foundation of standard form of contract is the need to
facilitate trade in the form as efficiently as possible. Factors of
efficiency and effectiveness as a major factor of the growth of
standard contract. The advantages are in efficiency terms of cost,
time and energy, because the availability of hard copy document
namely form or blank that is ready to be signed. Cost reduction due
to the form or blank contract has been printed massively, do not have
to print out one by one of contract document that will increase costs.
Cost reduction will increase the profits of corporate. In terms of
time, the use of standard contracts led to a quick resolution because
the contract recipient just needs to sign only. In terms of energy,
standard contract does not require a lot of energy because of not
having to meet face to face to negotiate the points to be agreed upon,
so that the amount of energy needed is less. Standard contract can
also improve the effectiveness because of the nature of contract
homogeneity made in large quantities, can be used to control the sale
and the types of goods or services that are more desirable because
consumers are faced with a contract having the same characteristic.
xxvii
Standard contract is required in the busines field that oriented at
profit motive.
(d) The binding power of the standard contract comes from the freedom
of contract and the agreement of the parties that have a free
intention.
5. Philosophical foundation of human rights
(c) The development and classification of human rights. Development of
human rights derived from the existence of human rights inherent in
human beings themselves and the rights that come from God's grace.
Human rights exist due to human nature as human itself. Human
rights derived from the natural law. The development of human
rights protection begun from the natural law, which is the process of
the birth of nature itself. The development stages of human rights
from natural law to positive law undergo three phases namely the
most abstract and Philosophical stages, constitutional stage and
legislative stage. The development of human rights protection is
divided into several generations. The first generation emphasizes the
protection of civil rights and politics. The second generation
emphasizes on social, economic and cultural. The third generation
emphasizes on the right to development (rights to development). The
context developed in this period is the context of human rights not
only in the power relation vertically (between the society and
government in a country) but also horizontally between the society
and authorities in the fields of economy, technology and industry
businesses (consumer to producer). The main emphasis on horizontal
context is how the rights or interests of consumers is guaranteed.
(d) The substantive meaning of human rights protection is the freedom
and right to privacy. Freedom is the ability of humans to make their
choice. Obstructing freedom means opposing human dignity itself.
The freedom of a person may be in conflict with the freedom of
others so that need to be regulated. The most appropriate means to
regulate is the law.
6. The philosophical foundation of standard contract in human rights
perspective
(c) The values of human rights complement private law. The values of
human rights are not immediately apparent in the principles of
contract law namely the principle of freedom of contract, the
principle of good faith (good faith), the principle of the protection,
the principle of balance. This is consistent with the model of indirect
enforceability of human rights in private law.
(d) The foundation of the contract binding strength is derived from
natural law, so that the right to held into contracts is one of the
human rights in the economic field. The making of standard contract
is the manifestation of human rights in the economic fields (property
rights). Contracts are generally a manifestation of free intention by
the contractor. One type of contract is standard contract. The
xxviii
problems of standard contract is the imbalance position. The
imbalance position in standard contract has caused legal issues both
philosophically, namely, related to the value of justice, and legally
since there are no rules regarding standard contract intended not only
to consumers and sociologically there are a lot of clauses in the
standard contract reflecting imbalance. the philosophical basis of the
drawing up standard form of contract in human rights perspective is
the protection of weaker parties in drawing up standard form of
contract through state intervention in rules-making in order to reach
balance of position since under national and international
legislations, it is the obligation of the state in human rights (to
respect, to protect, to fulfill).
V. Standard contract clauses in the human rights perspective:
3. The balance position of the parties in standard contract.
(c) The criteria for the balance position of the parties in standard
contract can be seen by the actions of the parties, the contents and
the execution of the contract. The balance will be achieved if the
actions of the parties are based on the free will (no defects will
caused by the abuse of situation. The contents of the contract reflect
the justice, there are no clauses unfairly burdensome for one of the
parties, not in contrary with the law, not causing harm, does not
deviate from procedures, achievement is not prohibited.
Implementation of the contract is based on good faith, both
subjectively (honesty of the parties) and objectively (refer to
objective norms).
(d) The balance position of the parties in standard contract in human
rights perspective. It is associated with one type of balance criteria
that is the content of contract. The standard contract in human rights
perspective viewed from the substance of the contract. Standard
contract indirectly is one of the types of laws that prevail among the
parties who made it, so that the substance is said to have the value of
the content of human rights if it is able to uphold the values of
freedom, equality and non-discrimination. The values of equality and
non-discrimination are set out in the State Constitution of 1945
(UUDNRI 1945) and Human Rights Act No. 39 of 1999 (Human
Rights Act) with the consideration of what has been stipulated in the
international conventions has also stipulated in UUDNRI 1945 and
Human Rights Act.
4. The standard contract clauses in human rights perspective
(d) The relevancy between the principles of contract law with the values
of human rights is a indirectly applicable model. The values of
human rights, namely freedom, similarity or equality and non-
discrimination can not be used directly for handling the case-related
civil cases, especially standard contract, but the values are absorbed
(absorption) and are used as principles or doctrines in contract law.
The principles of contract law that reflect the values of human rights
xxix
in this disertatiion are seven (7) principles that is: freedom of
contract, the binding force of the contract (pacta sunt servanda),
consensuality, balance, proportionality, good faith and protection of
the weak party.
(e) The standard contract clauses which reflect the values of human
rights namely clauses that guarantee freedom, equality and non-
discrimination. Standard clauses which give the right of freedom to
express opinions without pressure (freedom of contract princple),
respect the dignity prestige and human values (the principle of
balance, proportionality, good faith and protection), indiscriminate
treatment between the parties in the fulfillment contractual relations
(principles of balance, proportionality, good faith and protection),
(f) The standard contract clauses contrary to human rights is standard
contract clause which provide obligations excessively to one side,
give uncertainty and eliminate or limit the right of law effort on one
of the parties resulting unfair advantage in any one party (an
exemption clause). Based on the research it can be said that the
standard contract clauses has not been able to protect human rights.
VI. Legal principles that can be used as reference of making standard contract
that have perspektive of human rights
5. The legal principles in making of standard contract are divided into two,
namely the legal principles underlie the emerge of standard contract and
legal principles related to the substance of standard contract. Legal
principles underlie the emerge of a standard contract are freedom of
contract principle, principle of consensuality, the binding force of the
contract principle (pacta sunt servanda), whereas the legal principles
related to the substance of the standard contract are the principle of
balance, proportionality, good faith and protection.
6. The reference of legal principles
(c) The reference of legal principles viewed by legislation and court
decision.
Based on the Consumer Protection Act No. 8 of 1999 (UUPK) and
the regulations issued by the Financial Services Authority (OJK)
namely Financial Services Authority Regulation No.
01/POJK.07/2013 on Consumer Protection of Finance Service
Sector and financial Services Authority Circular No.
13/SEOJK.07/2014 on standard Treaty. The legal principles
adopted in UUPK are five (5) principles, which are the principle of
benefit, principle of justice, principle of balance, principle of
security and safety of consumers and principle of legal certainty.
The legal principles according from Financial Services Authority
Regulation No.01/POJK.07/2013 on Consumer Protection of
Financial Services Sector is in addition to the principles related to
consumer protection in financial services namely the principle of
equal treatment, the principle of mainstay, confidentiality and
security of consumer information data, the principle of handling
xxx
complaints and consumer dispute resolution in a simple, fast and
low cost is also recognition of the principle of law that provides
protection to the implementer of financial services namely the
principle of good faith aimed at consumers. Legal principles related
to the making of standard contract regulated by the Financial
Services Authority Circular No. 13/SEOJK.07/2014 about standard
Treaty is the principle of balance, justice and reasonableness in
making standard contract. Based on this, it appears that legal
principles according to UUPK and OJK, are more based on the
substance of standard contract to achieve justice.
The legal principles which are seen based on the court decision, the
agreement is seen as a validity decisive factor of the standard
clause. Agreement is seen from the existence of signature on the
standard contract (agreement formally), so contract to be legal in
accordance with Article 1320 KUHPer and binding as law for them
who make it, Article 1338 of first sentence of KUHPer the
consequence of the parties are considered to have been subject to
the existence of the contract. The lack of opportunity or
understanding from the party who receives the standard contract
does not make reason for cancellation of the contract. Indirectly,
the judges in Indonesia more set out procedural justice with an
emphasis on the enforceability of contract law principles
underlying the emerge of the standard contract principle namely
freedom of contract, consensuality principle and the principle of the
binding force of contract (pacta sunt servanda). Throughout the
standard contract has been made based on formal procedure
stipulated by law, the contract is legal and binding. This does not
put beside that there is also a court decision related to a standard
contract which considers the principles of good faith.
(d) The legal principles based on the regulation in several countries
namely Australia, England, France and Germany are insists on the
principle of balance and good faith, the Netherlands on the principle
of good faith, while in America the doctrine of unconscionabilty and
its implementation is referred to the judge. If the taken note from
several countries which have the principles of good faith and the
principle of balance is visible to dominate assessment of standard
clause. The principles of good faith and balance are the principles
relating to the substance of standard contract and contained the
values of justice therein. These principles are also a reflection of the
values of human rights.
7. The regulatory concept of standard contract of human right perspective
(c) There are four (4) regulatory models of standard contract namely 1)
the model without particular problem (the no particular problem
model); 2) The standard contract model (the standard-form contract
model); 3) the consumer protection model (the consumer protection
model); 4) regulatory model based on the principles of justice in
xxxi
general (the general fairness model). Model without particular
problem namely the regulatory model of standard contract based on
rules and principles that underlie the contract in general by not
closing the possibility of adding some rules that adjust to the
contract. The second model is the standard contract model which is a
model that is action of perfecting of principles underlying the
contract in general. The third model is the regulatory model based on
consumer protection which is a model that emphasizes consumer
protection. And the fourth model is a model that reaches broader of
customer relationship and business relationship.
(d) Implementation of equilibrium theory in the standard contract
regulatory is to apply the principle or justice component as a "check
and balance." This means that if element of volunteerism component
is reduced, the element of justice component will be increased so as
to achieve a balance.
8. The legal principles of standard contract regulatory reference of human
right perspective in Indonesia.
(c) Based of the four regulatory models mentioned above, the state in its
function as a regulator can publish rule in legislation form governing
about guidelines the making of standard contract so produce the
making of a fair standard contract. This regulation will be created by
combining the second model with the fourth model, that is shaping
the rule on standard contract only by applying the principles or the
general principles relating to justice. In regard to standard contract
regulatory, the state function more emphasized is the function of
state as a regulator that covers the various ways in which the state
does intervene through the law use of control steps in the legislative
field. This law will cover the principles which is a reflection of the
justice values i.e. principle of balance, principle of proporsionality,
principle of good faith and principle of protection..
(d) The legal principles be used as standard or guidelines for the creation
of regulation related to the standard contract based on Pancasila so
that it can be implemented as a unity with other basic principles,
which means that the justice to be achieved in the standard contract
making harmonious to the characteristic of religion, humanity, unity
and populist.
Based on the results of the research, the answers of the issues could be
concluded:
I. Standard contract is emerge from the need for efficiency and effectiveness,
and is based on freedom of contract and free will. The problem that arises
is the imbalance position so that the values of justice are not materialized.
This leads to state interference in the state function as regulator and the
State obligation "to fulfil" in assure of human right.
II. Based on the research, in the process of making the standard contract, one
of the parties is in a weak position, has little chance to be able to make
changes in the clauses made by the other party. The position becomes
xxxii
unbalanced. The exemption standard clauses, or which have character of
reducing, eliminating, limiting the obligation one of the party, giving rise
to unfair advantage on the other party so that standard contract have not
been able to protect the human rights.
III. The legal principles can be used as a reference in legislation related to
standard contract by looking at regulation in several countries such as
Australia, Britain, France and Germany insists on the principle of balance
and good faith, the Netherlands on the principle of good faith, while in
America the doctrine of unconscionability and implementation referred
to the judge is the principles of law that are the substance of justice.
Legal principles, namely good faith, balance, proportionality, the
protection are the principles of law which are used as a reference in the
making of standard contract in Indonesia
Recommendations which can be submitted by the author in this dissertation
are as follows:
I. The State should make the regulation about guidelines of the making of
standard contract in order to balancing the position of the parties.
II. The judge for handling the cases related to standard contract, should see
the whole process of making standard contract, and cancel the standard
clause which is contrary to the principle of good faith, balance,
proportionality and protection without cancelling the whole contract.
III. The regulation of standard contract should be harmonious with the
Pancasila.
xxxiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kontrak baku telah menjadi kebutuhan yang tak dapat dihindari lagi.1
Semua bidang bisnis dicangkup oleh kontrak baku, mulai dari browsing internet
sampai pada sewa rumah. Dalam sehari, seseorang bahkan bisa berhubungan
dengan kontrak baku beberapa kali, misalnya tiket parkir, struk belanja dari kasir,
kuitansi pengiriman barang, pembelian bensin untuk kendaraan, pembelian pulsa
untuk telepon genggam dan lain sebagainya2.
Pengertian kontrak baku diartikan secara ringkas menurut Black‟s Law
Dictionary yang mempergunakan istilah untuk kontrak baku dengan istilah
“standard-form contract” sebagai “Preprinted contract containing set clauses,
used repeatedly by a business or within a particular industry with only slight
additions or modifications to meet the specific situation (Terjemahan bebas:
Kontrak yang telah dicetak sebelumnya yang berisikan sekumpulan klausula-
klausula atau syarat-syarat, dipergunakan berulang kali dalam suatu kegiatan
usaha atau dalam industri tertentu dengan sedikit penambahan atau perubahan
yang disesuaikan dengan situasi tertentu).3 Pengertian kontrak baku tersebut
1Istilah yang dipergunakan dalam kontrak baku beragam. Di dalam penulisan ini
mempergunakan istilah kontrak baku dengan alasan istilah “baku” telah dipergunakan dalam Pasal
1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
yang menentukan bahwa “Setiap aturan baku (huruf tebal dari penulis) atau ketentuan dan syarat-
syarat yang telah dipersiapkan…”, penjelasan mengenai istilah kontrak baku diuraikan lebih detail pada Bab II disertasi ini.
2James Gibson menyatakan bahwa “That when it comes to boilerplate contracts, market
competition may not work as well as theory would have us believe.”(Terjemahan: Jika dihadapkan
pada kontrak baku, persaingan usaha tidak sejalan sebagaimana teori-teori yang diyakini). James
Gibson, 2013, Vertical Boilerplate, Washington and Lee Law Review Volume 70 Issue 1, sumber
http://scholarlycommons.law.wlu.edu/wlulr/vol70/iss1/4, h.163, diakses pada tanggal 1 Mei 2016.
3Bryan A.Garner, 1999, Black‟s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group Publishing,
America, h.325.
xxxiv
menekankan pada penggunaan yang berulang kali dalam suatu kegiatan usaha dan
penyusunan secara sepihak.
Kontrak baku kelahirannya tidak lepas dari pengaruh keberhasilan
proses produksi dan distribusi massal sebagaimana diuraikan oleh Friedrich
Kessler, bahwa:4
The development of large scale enterprise with its mass production and
mass distribution made a new type of contract inevitable-the standardized mass
contract. A standardized contract, once its contents have been formulated by a
business firm, is used in every bargain dealing with the same product or
service. The individually of the parties which so frequently gave color to the
old type contract has disappeared. The stereotyped contract of today reflects
the impersonality of the market.
(Terjemahan: Perkembangan perusahaan-perusahaan berskala besar
dengan jumlah produksi dan distribusi massal menimbulkan bentuk baru dari
kontrak yakni kontrak yang distandarkan dalam jumlah besar (massal), isinya
ditentukan oleh perusahaan-perusahaan bisnis, digunakan dalam setiap
penawaran terkait dengan barang atau jasa yang sama. Sifat individual para
pihak yang sering memberikan warna bagi kontrak model kuno telah hilang.
Kontrak jenis stereotip masa kini mencerminkan sifat umum pasar).”
Kontrak baku merupakan dampak dari perkembangan ekonomi, yang
menandai hubungan antara konsumen dengan produsen.
Dalam kegiatan bisnis barang dan jasa, kontrak baku telah lama menjadi
suatu kebiasaan, yang semakin lama semakin dibutuhkan dan memberikan
kontribusi terhadap kontrak yang ada. W.D Slawson bahkan telah memberikan
uraian mengenai penggunaan kontrak baku pada tahun 1971 yang menyatakan
bahwa:5
Standard form contracts probably account for more than ninety-nine
percent of all the contracts now made. Most persons have difficulty
4Friedrich Kessler, “Contracts of Adhesion-Some Thoughts About Freedom of Contract”,
Article, Yale Law School, sumber http://www.digitalcommons.law.yale.edu/fss_papers, diakses
pada tanggal 5 Juli 2016.
5W.D.Slawson, 1971, Standard Form Contract and Democratic Control of Lawmaking
Power, Harvard Law Review, h.529.
xxxv
remembering he last time they contracted othem thay bay standard form:
except for causal oral agreements, they probably never have.
(Terjemahan: kontrak standar mungkin memberikan sumbangan dari
sembilan puluh sembilan persen (99%) kontrak yang ada. Kebanyakan orang
mengalami kesulitan mengingat kapan mereka berkontrak selain melalui
kontrak baku, kecuali untuk perjanjian lisan, yang kemungkinan tidak pernah
mereka lakukan)
Faktor efisiensi dan efektifitas menjadi penekanan utama lahirnya
kontrak baku. Steven R.Salbu menyatakan bahwa:
Standardized language and culture can generate transaction efficiencies
by facilitating the trading of contractual rights. The transaction cost savings
that result from standardization of terms are akin to the economies of scale
that are realized in manufacturing when an investment in fixed assets is spread
across a large number of outputs. Like customized production processes,
individually tailored contracting incurs high variable costs that must be
renewed with each unit or producition, These variables costs are comprised of
the time and resources that must be invested in developing new contract terms
for otherwise familiar transactions, and analyzing these customized terms
whenever a contract is consulted.
(Terjemahan: bahasa dan kebudayaan yang distandarisasi dapat
menimbulkan efisiensi dengan memfasilitasi hak-hak perdaganganan dalam
kontrak. Transaksi jenis ini dapat menghemat akibat syarat-syarat yang
distandarisasi, mirip dengan skala ekonomi yang diwujudkan dalam
manufaktur ketika investasi dalam aktiva tetap tersebar dalam jumlah besar
output-output. Seperti proses produksi yang disesuaikan, pembuatan kontrak
secara individual menyebabkan biaya variabel yang tinggi yang harus
diperbaharui setiap unit produksi. Biaya variabel jenis ini terdiri dari waktu
dan sumber daya yang harus diinvestasikan dalam mengembangkan syarat-
syarat baru dalam kontrak untuk jenis-jenis transaksi yang umum sifatnya, dan
menganalisa syarat-syarat yang telah disesuaikan kapan pun kontrak
dibicarakan).6
Kontrak baku memberikan keuntungan karena memfasilitasi hak-hak
perdagangan dalam kontrak. Keuntungan dari segi efisiensi biaya, waktu dan
tenaga karena telah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang
telah siap untuk ditandatangani. Pengurangan biaya karena formulir atau blanko
6Steven R.Salbu, 1997, “Evolving Contract as a Device for Flexible Coordination and
Control”, Articles, American Bussines Law Journal, Volume 34, Issue 3, 375-376, sumber:
http://www.onlinelibrary.wiley.com, diakses pada tanggal 4 Juli 2016.
xxxvi
kontrak telah dicetak secara massal, tidak perlu mencetak satu demi satu naskah
kontrak yang akan meningkatkan biaya. Pengurangan biaya akan meningkatkan
laba perusahaan. Dari segi waktu, penggunaan kontrak baku menyebabkan
penyelesaian cepat karena pihak penerima kontrak tinggal menandatangani saja.
Dari segi tenaga, kontrak baku tidak memerlukan banyak tenaga karena tidak
perlu bertatap muka merundingkan poin-poin yang akan disepakati, sehingga
jumlah tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit.
Kontrak baku juga dapat meningkatkan efektifitas karena sifat
homogenitas kontrak yang dibuat dalam jumlah banyak, dapat digunakan untuk
mengontrol penjualan dan jenis-jenis barang atau jasa yang lebih diminati karena
konsumen dihadapkan pada kontrak yang sifatnya sama. Sifat homogenitas
kontrak baku yang sama menempatkan kedudukan semua konsumen sama
sehingga meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk atau jasa yang
akan dibeli atau dipergunakan. Kontrak baku dibutuhkan dalam lapangan bisnis
yang berorientasi profit atau keuntungan.
Berkembangnya kontrak baku tidak selamanya berkonotasi negatif,
karena tujuannya adalah memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak
yang bersangkutan. Keabsahan kontrak baku tidak lagi menjadi hal yang perlu
diperdebatkan karena telah menjadi kebutuhan bisnis dalam masyarakat kaitannya
dengan efisiensi dan efektifitas. Perusahaan-perusahaan yang komersial dengan
penekanan pada keuntungan lebih mengutamakan penggunaan kontrak baku.
Permasalahan yang dihadapkan pada kontrak baku adalah pada aspek
ketidakseimbangan kedudukan. Kontrak yang semula bertujuan mempertemukan
xxxvii
perbedaan kepentingan di antara para pihak yang diletakkan dalam sebuah
“bingkai” sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dibuat berdasarkan
kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum,
untuk melaksanakan prestasi yang diperjanjikan dalam hukum kontrak, sesuai
dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam undang-undang. Kenyataannya
dalam kontrak baku kedudukan dari kedua belah pihak yang seharusnya seimbang
menjadi tidak seimbang.
Ketidakseimbangan kedudukan dalam kontrak baku akibat para pihak
memiliki bargaining position yang tidak sama sehingga menimbulkan “unreal
bargaining”7. Ketidakseimbangan kedudukan dalam kontrak baku disebabkan
oleh beberapa hal. Salah satu faktor dikarenakan pihak pembuat kontrak baku
pada umumnya memiliki penguasaan terhadap sumber daya (ekonomi, teknologi,
atau ilmu) yang lebih tinggi dibandingkan pihak penerima kontrak baku. Salah
satu bentuknya adalah terlihat dalam klausul-klausul yang terdapat dalam bentuk
standar atau baku yang isinya cenderung berat sebelah atau disebut sebagai
klausula eksemsi atau eksonerasi. Klausula ini memberikan batasan dan atau
pengalihan bentuk tanggung jawab terhadap suatu resiko bisnis kepada pihak
7Parker Smith menyatakan bahwa “The bargain has been seen historically as a
safeguard to the reliability of the objective manifestation of consent; however, many recognize
thattoday most consumer contracts do not involve anything that resembles a meaningful
bargain.16 Instead, they are “adhesion contracts” that are “standard form printed contracts
prepared by one party and submitted to the other on a „take it or leave it‟ basis” (Terjemahan:
Tawar menawar secara historis dianggap sebagai pelindung dari manifestasi kehendak. tawar
secara historikal merupakan kekuatan, namun sekarang diakui kebanyakan dari kontrak konsumen tidak melibatkan atau menunjukkan tawar menawar yang seimbang. Bahkan, adanya kontrak
adhesive yang merupakan kontrak yang dicetak dalam bentuk standar, disiapkan oleh salah satu
phak dan disodorkan kepada pihak lain dengan syarat “take it or leave it”.) Parker Smith, 2016,
“Copying with The Death of The Bargain Without Burying The Spirit of The Law: A
“Foundational” Approach to Comparative Law and Its Application to Adhesion Contracts in
Lousiana”, Article, Luosiana Law Review Volume 76 No.4, sumber
http://www.digitalcommon.law.lsu.edu/cgi, h.1280, diakses pada tanggal 1 Mei 2016.
xxxviii
lainnya sehingga dapat menimbulkan kerugian atau keuntungan yang tidak wajar
terhadap salah satu pihak.
Klausula eksemsi menyebabkan keberadaan salah satu pihak menjadi
lebih rendah dibandingkan pihak lainnya (kedudukan konsumen yang jauh
dibawah produsen)8. Hal tersebut menyebabkan klausula eksemsi dalam kontrak
baku dikatakan bersifat merugikan akibat ketidakseimbangan kedudukan para
pihak.9 Ketidakseimbangan kedudukan ini dapat dilihat dengan adanya klausula-
klausula di dalam kontrak baku yang semata-mata hanya mementingkan
kepentingan si pelaku usaha atau pemilik modal yang posisi tawarnya lebih kuat.10
Faktor lain yang menyebabkan ketidakseimbangan kedudukan para
pihak adalah akibat adanya keterbatasan akses informasi yang seharusnya
diperoleh oleh penerima kontrak baku. Penerima kontrak dalam menandatangani
kontrak baku hanya berfokus pada hal-hal penting dalam kontrak, hal-hal seperti
pemilihan forum penyelesaian sengketa, ganti rugi apabila wanprestasi, kebijakan-
kebijakan yang berubah, dan sebagainya, tidak menjadi perhatian.11
Keterbatasan
8Anonim, 90% Klausula Baku Rugikan Konsumen, Hukum Online, sumber
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6735/90-persen-klausula-baku-rugikan-konsumen,
diakses pada tanggal 4 Juli 2016.
9Gunawan Widjadja menyatakan bahwa adakalanya kedudukan dari kedua belah pihak dalam
suatu negoisasi tidak seimbang, sehingga pada akhirnya akan melahirkan kontrak tidak terlalu
menguntungkan bagi salah satu pihak (Gunawan Widjadja, 2003, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.53).
10Christopher M. Kaiser, 2005, “Take It Or Leave It: Monsanto V.Mc.Farling, Bowers
v.Baystate Technologies, And The Federal Circuit’s Formalistic Approach To Contracts Of
Adhesion”, Article, Journal Chicago-Kent Law Review, Issue I Symposium: Final Status for Kosovo: Untying the Gordian Knot, Volume 80, h.17
11Shmuel L.Becher and Tal.Z.Zarsky, 2008, “E-Contract Doctrine 2.0:Standard Form
Contracting In The Age of Online User Participation”, Articles, sumber
http://www.mttlr.org/volfourteen/becher/zarsky.pdf, h.312-314, lihat juga pendapat Yannis Bakos,
Florencia Marotta Wurgler & David R.Trossen, berdasarkan penelitiannya dikemukakan “The
fraction of retail software shoppers that accesses (end-user licence agreement) at between 0.5%
and 0.22% and found that the very few shoppers that do access it do not, on average, spend
enough time on it to have digested more than a fraction of its content” (Terjemahan: Pembeli
xxxix
dalam hak untuk menyampaikan pendapat dalam kontrak terhambat karena pihak
penerima kontrak dihadapkan pada pilihan “take it or leave it” terutama apabila
penerima kontrak dihadapkan pada obyek kontrak yang bersifat pemenuhan
kebutuhan mendasar seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, maka
pilihan ini akan menimbulkan dilema.
Hal-hal lainnya adanya kelemahan di bidang ekonomi atau kelemahan di
bidang pengetahuan pada pihak penerima kontrak baku menyebabkan aspek
keseimbangan kedudukan menjadi tidak terpenuhi. Pihak penerima kontrak baku
pada umumnya menandatangani kontrak yang disodorkan akibat kebutuhan
terhadap obyek kontrak. Faktor lainnya adalah kekuasaan atau kewenangan yang
dimiliki salah satu pihak lebih besar, hal ini tampak dalam kontrak yang dilakukan
antara pemerintah dalam kapasitasnya selaku subyek hukum privat dalam
hubungan keperdataan misalnya kontrak pengadaan barang dan jasa.
Adanya kelebihan-kelebihan tersebut membuat pihak pembuat kontrak
baku menyiapkan kontrak dengan bersandar pada kepentingan-kepentingan yang
ada di pihaknya. Dalam kontrak jenis ini yang belum dibakukan adalah jenis,
harga, jumlah, tempat dan waktu atau dengan kata lain yang dibakukan bukan
formulirnya saja tetapi juga klausula-klausula yang terdapat di dalamnya. Kontrak
baku membuat salah satu pihak hanya memiliki dua pilihan menerima atau
menolak (take it or leave it).
software ritel yang mengakses (end-user perjanjian lisensi) pada antara 0,5% dan 0,22% dan
menemukan bahwa sangat sedikit pembeli yang mengaksesnya, rata-rata tidak menghabiskan
cukup waktu untuk mencerna isi ketentuan-ketentuan yang ada). Yannis Bakos, Florencia Marotta
Wurgler & David R.Trossen, 2014,, “Does Anyone Read The Fine Print? Consumer Attention to
Standard Form Contracts, Articles, New York University Law and Economic Working, sumber
http:/lsr.nellco.org/cgi, diakses pada tanggal 4 Juli 2016, h.35.
xl
Pihak pembuat kontrak dapat mencantumkan klausula eksemsi atau
eksonerasi yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab
salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan
tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan
di dalam kontrak tersebut.12
Pihak pembuat kontrak baku cenderung melindungi
kepentingannya sendiri sedemikian rupa dengan menetapkan sejumlah hak
sekaligus membatasi hak-hak pihak lawan dan meminimalkan kewajibannya
sendiri dengan mengatur sebanyak mungkin kewajiban pihak lawan.
Di dalam prakteknya, kedudukan yang tidak seimbang dapat dilihat dari
klausula-klausula baku dalam kontrak-kontrak konsumen yang termasuk sebagai
kontrak komersial dengan membatasi kebebasan pihak lainnya seperti dalam
kontrak kredit bank, kontrak di bidang perumahan, jasa parkir, listrik, dan lain-
lain. Kontrak-kontrak jenis ini di dalamnya memuat klausula-klausula baku.
Contoh ketidakseimbangan kedudukan dalam kontrak baku dapat dilihat dalam
12Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan perlindungan terhadap konsumen akibat adanya klausula eksonerasi dengan
menentukan : Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan
atau perjanjian apabila: menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; menyatakan bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli oleh konsumen; menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran; mengatur tentang perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jualb eli
jasa; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; pelaku usaha dilarang mencamtumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau
pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(2) dinyatakan batal demi hukum; Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan undang-undang ini.
xli
a) kontrak baku bidang kredit antara bank dengan nasabah;
b) kontrak baku bidang perumahan;
c) kontrak baku bidang jasa kelistrikan;
d) kontrak baku bidang perparkiran;
e) kontrak baku bidang penerbangan.
ad a) Kontrak baku bidang kredit antara bank dengan nasabah;
Kontrak baku bidang kredit antara bank dengan nasabah yang dalam
beberapa klausulanya menyatakan bahwa bank dapat membatalkan atau tidak
melanjutkan transaksi secara sepihak padahal disisi lain nasabah tidak dibenarkan
membatalkan kontrak. Bentuk dan isi model kontrak itu dipengaruhi
kebijaksanaan perkreditan yang ditentukan masing-masing bank secara mandiri,
sehingga masing-masing bank memiliki kontrak baku yang berbeda-beda terkait
pemberian kredit.13
Dalam application form kontrak kredit tersebut dtemukan klausula yang
menyatakan “Nasabah dengan ini memberikan kuasa kepada Bank untuk
mendebet rekening nasabah tanpa pemberitahuan lebih dahulu, termasuk untuk
mencairkan deposito nasabah meskipun deposito tersebut belum jatuh tempo
untuk melunasi seluruh tagihan kartu kredit nasabah (termasuk tagihan pokok,
bunga, biaya dan denda)”.
Klausula lainnya dalam dunia perbankan yakni ketentuan bahwa “Bank
berhak mengubah syarat dan ketentuan yang berlaku tanpa pemberitahuan
sebelumnya.” Akibat klausula ini telah timbul beberapa kasus antara lain kasus
13H.P.Panggabean, 2012, Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian
Kredit Perbankan, Alumni, Bandung, h.113.
xlii
Agus Soetopo melawan Standard Chartered Bank dimana bank menerapkan biaya
administrasi bulanan secara sepihak yang sebelumnya adalah gratis, tanpa
sepengetahuan dan persetujuan nasabah. Bank berdalih bahwa nasabah telah
menandatangani formulir pembukaan rekening yang menyatakan bahwa nasabah
menyetujui apabila terdapat perubahan maupun penambahan aturan di kemudian
hari. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa Bank
telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerapkan biaya
administrasi secara sepihak tanpa persetujuan konsumen dan menghukum bank
untuk mengembalikan uang konsumen.14
Ad b) kontrak baku bidang perumahan
Ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak baku bidang
perumahan dapat ditemukan pada klausula yang terdapat pada Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam hal keterlambatan pembayaran oleh konsumen
dan keterlambatan developer dalam menyelesaikan pembangunan. Konsumen
biasanya langsung dikenakan denda keterlambatan atas setiap hari konsumen
terlambat untuk membayarkan angsuran atau cicilan pembayaran rumah tersebut,
sedangkan developer diberi kelonggaran hingga enam bulan sampai satu tahun
atas keterlambatan untuk menyelesaikan pembangunan tanpa ada denda atau ganti
rugi. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan antara pihak developer dengan
konsumen.
Kasus Palm Residence Jambangan Surabaya (PT Solid Gold) dengan
Martinus Teddy Arus Bahterawan berkaitan dengan pemuatan klausula baku
14Anonim, Jangan Asal Potong Rekening Nasabah, Hukum Online, sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c71f45d46738/,diakses pada tanggal 27 April 2015.
xliii
mengenai tidak dapatnya konsumen menuntut dan meminta kembali uang yang
telah dibayarkan dalam PPJB15
. Kasus ini bermula akibat adanya pencantuman
klausul baku dalam Surat Pemesanan Rumah Pasal III yang menyatakan “maka
seluruh uang yang telah dibayarkan menjadi hak milik PT Solid Gold dan tidak
dapat dituntut kembali”. Hal ini dituangkan kembali dalam Pasal 2 PPJB yang
menyatakan “…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada
Pihak Kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali.” Permasalahan
timbul akibat keterlambatan realisasi kredit maka uang yang telah dibayarkan oleh
Martinus dianggap hangus oleh pihak developer (PT Solid Gold). Kasus ini telah
diputus oleh Mahkamah Agung dengan menetapkan perbuatan developer
menahan uang sebagai perbuatan melawan hukum dan menetapkan perjanjian
menjadi batal demi hukum.
Ad.c) kontrak baku bidang jasa kelistrikan
Kontrak dalam bidang jasa kelistrikan juga memuat klausula-klausula yang
memberatkan konsumen. Pemadaman listrik secara sepihak yang dilakukan oleh
pelaku usaha penyiadaan tenaga listrik sangat merugikan pihak konsumen.
Perjanjian jual beli tenaga listrik antara pihak kosumen dengan Perusahaan Listrik
Negara (PLN) hanya memuat masalah penyambungan tenaga listrik, hak dan
kewajiban konsumen maupun PLN, larangan tertentu bagi konsumen, keadaan
force majeur, tata cara pembayaran rekening listrik, penyelesaian perselisihan.
Kontrak ini tidak mencantumkan beberapa hal diantaranya tidak adanya
15Anonim, Jangan Seenaknya Mencantumkan “Uang Hangus dan Tak Bisa Kembali”,
Gregnews, 07September2013, http://www.gresnews.com/berita/ekonomi/154979, diakses pada
tanggal 27 April 2014.
xliv
kewajiban PLN untuk memberikan informasi mengenai barang dan/atau jasa
dalam menjalankan usahanya, tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai akibat yang mungkin timbul dari pemakaian jasa layanan listrik, tidak
adanya ketentuan ganti rugi yang harus diberikan oleh PLN jika terjadi
penyimpangan pemberian barang dan atau jasa.
Ad d) kontrak baku bidang perparkiran
Ketidakseimbangan kedudukan para pihak selain ditemukan dalam bidang
kelistrikan juga ditemukan dalam kontrak bidang perpakiran. Para pengelola
parkir selalu mencantumkan klausula eksemsi dalam tiket parkir yang menyatakan
“Segala kehilangan atau kerusakan bukan merupakan tanggung jawab pengelola
parkir”. Pengalihan bentuk tanggung jawab dalam klausula dalam tiket parkir
tersebut jelas sangat merugikan terhadap konsumen terutama jika terjadi
kehilangan padahal konsumen membayar sejumlah uang sebagai bentuk prestasi
kepada pihak pengelola parkir. Contoh kasus yang dihadapi oleh pengelola parkir
adalah kasus Anie Gultom melawan Secure Parkir pada tahun 2000 yang
mengajukan gugatan terhadap pengelola parkir karena tidak mau bertanggunjawab
atas hilangnya mobil milik konsumen. Mahkamah Agung menghukum pengelola
parkir untuk mengganti mobil yang hilang.16
Ad e) kontrak baku bidang penerbangan
Klausula baku pada kontrak konsumen di bidang penerbangan menempatkan
kedudukan para pihak tidak seimbang. Klausula baku yang ada pada pelaku usaha
penerbangan menyatakan “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian
16Anonim, Mobil Hilang Secure Parkir Kembali Digugat, Hukum Online,
sumberhttp://www.hukumonline.com /berita/ baca/hol22563/mobil-hilang-secure-parking-
kembali-digugat, diakses pada tanggal 27 April 2015.
xlv
apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan
pengangkutan, termasuk segala keterlambatan datang penumpang atau penyerahan
bagasi.” Dalam kasus bagasi hilang antara Herlina Sunarti melawan Lion Air,
Mahkamah Agung mengabulkan gugatan konsumen dan mewajibkan maskapai
mengganti rugi atas bagasi yang hilang yang dinilai seharga Rp.25.000.000,- (Dua
Puluh Lima Juta Rupiah).17
Berdasarkan contoh-contoh kontrak baku tersebut, ketidakseimbangan
kedudukan antara pihak yang lemah dengan pihak yang memiliki “bargaining
power” lebih kuat menyebabkan perlunya campur tangan negara untuk
mengembalikan keseimbangan kedudukan para pihak sehingga tercapai tujuan
kontrak yakni pertukaran kepentingan secara adil. Perlunya campur tangan negara
tersebut didasarkan pada teori H.L.Hart dalam “the minimum contect of natural
law (teori perlindungan minimum)” bahwa sifat manusia yang rentan (vulnerable)
merupakan salah satu alasan perlunya hukum18
. Dalam kaitan terhadap pembuatan
kontrak baku, diperlukan campur tangan negara dalam bentuk pembuatan aturan
hukum maupun penanganan perkara-perkara kontrak baku melalui pengadilan
(putusan-putusan pengadilan) untuk melindungi pihak yang lemah, pihak yang
memiliki bargaining power lebih rendah akibat keterbatasan terhadap akses dan
informasi, pendidikan dan modal.
Pengaturan mengenai kontrak baku dikaitkan dengan fungsi negara
sebagai regulator (pengatur) dan umpire (pengawas atau wasit). Fungsi negara
17Andi Saputra, Kisah Herlina, Sendirian Menang Melawan Lion Air Gugat Koper Hilang,
Detik News, sumber http://news.detik.com/read/2013/07/05/132225/2293645/10/, diakses pada
tanggal 27 April 2015.
18H.L.A.Hart, 1981, The Concept of Law, Clarendon Press, Oxford Great Britain, h.189-195.
xlvi
sebagaimana dikemukakan oleh W.Friedmann yang membagi fungsi negara
menjadi 4 (empat) yakni fungsi negara sebagai provider (penjamin) kesejahteraan
rakyat, fungsi negara sebagai regulator (pengatur), fungsi negara sebagai
entepreneur (pengusaha) atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui state
owned corporations dan fungsi negara sebagai umpire (pengawas, wasit) untuk
merumuskan standar-standar yang adil mengenai kinerja sektor ekonomi termasuk
perusahaan negara (state corporation)19
.
Negara memiliki kewenangan sebagai regulator dan penengah atau
wasit. Negara sebagai regulator dikaitkan dengan fungsi untuk membuat aturan-
aturan hukum atau pedoman pembuatan kontrak baku untuk melindungi pihak
yang lemah terhadap pihak yang memiliki modal atau nilai tawar yang lebih tinggi
sehingga keseimbangan dapat tercapai. Negara sebagai pengawas memiliki
kewenangan untuk mengawasi pembuatan kontrak baku dan melakukan
penyelesaian sengketa-sengketa terkait kontrak baku melalui pengadilan. Kedua
fungsi negara tersebut yang pada akhirnya bertujuan untuk mengembalikan
keseimbangan kedudukan para pihak dalam pembuatan kontrak baku.
Perlunya campur tangan negara dalam pembuatan kontrak baku karena
kontrak merupakan salah satu sarana hukum untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Pemenuhan kebutuhan hidup termasuk peningkatan kesejahteraan
merupakan salah satu bagian dari hak hidup yang merupakan hak asasi manusia.
Kontrak merupakan hak asasi manusia di bidang ekonomi. Hak asasi manusia di
bidang ekonomi adalah hak asasi manusia yang berkaitan dengan aktivitas-
19Wolfgang Friedmann, 1971, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens
and Sons, London, h.3.
xlvii
aktivitas perekonomian untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang meliputi
hak untuk bekerja, berusaha dalam bidang ekonomi, aktivitas perekonomian,
perburuhan dan aktivitas perbankan dan asuransi.20
Unsur-unsur hak asasi manusia yang tercermin dalam kontrak baku
sebagaimana telah diuraikan di atas, pada intinya mensyaratkan adanya
kedudukan para pihak yang seimbang dalam pembuatan kontrak. Kedudukan yang
seimbang dalam pembuatan kontrak bersentuhan dengan dimensi hak asasi
manusia khususnya dalam konteks hak asasi manusia yang bersifat horisontal
antara pihak yang memiliki kekuasaan lebih di bidang ekonomi, teknologi dan
industri dengan pihak yang lemah.
Kebutuhan untuk berkontrak yang pada awalnya dihadapkan pada
pemenuhan kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan dan papan) yang
merupakan kebutuhan pokok fisiologis, namun akibat perkembangan jaman,
kebutuhan-kebutuhan manusia yang semula bukan merupakan kebutuhan dasar
menjadi kebutuhan dasar. Kontrak baku meliputi juga bidang-bidang yang
berhadapan dengan kebutuhan dasar manusia, dimana penerima kontrak baku
memiliki ketergantungan terhadap barang atau jasa yang ditawarkan dalam
kontrak baku tersebut sehingga terkait dengan hak hidup21
. .
20Yohanes Usfunan, 2013, “Pengembangan HAM Generasi ke II (ekonomi, sosial, budaya)”,
Makalah dalam Seminar Nasional Tentang HAM di Jayapura Papua, Tanggal 10 Mei 2013, h.3.
21Chetan Sharma mengatakan bahwa saat ini penduduk Amerika menggunakan 15% dari penghasilannya pada puncak piramida Maslow yang di dalamnya termasuk pertemanan,
gengsi, membeli kepemilikan, keluarga dan aktualisasi diri. Di kategori itu bisa dilihat bahwa
kebanyakan dari dampak mobile ada di situ. Namun perlu dicatat bahwa dampak tersebut telah
cenderung beralih menjadi kebutuhan yang bersifat dasar atau pokok. Sebaliknya kebutuhan dasar
sebelumnya seperti kesehatan dan kesejahteraan justru turun dari puncak piramida Maslow karena
tergeser oleh kebutuhan tadi. (Lihat Chetan Sharma, 2011, “How Mobile Will Change The Way
We Spend”, Article, sumber http:www.mobilefuturefordward.com/docs, diakses pada tanggal 4
Juli 2016, h.17). Pendapat dari Chetan Sharma bersandar pada teori A.H. Maslow menyusun teori
xlviii
Ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam berkontrak
bertentangan dengan hak-hak fundamental yang diatur dalam Pasal 28 A
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUDNRI 1945) “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya”, Pasal 28 H Perubahan Kedua UUDNRI 1945 ayat (4)
menentukan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”
Kegagalan mengakomodir keseimbangan kedudukan dalam kontrak
menyebabkan hak-hak fundamental rakyat terganggu. Kontrak baku tidak dilarang
karena merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak namun dengan
tidak adanya kesempatan bagi para pihak untuk menegoisasikan secara langsung
(face to face) membuat salah satu secara langsung atau tidak langsung seolah-olah
cenderung terpaksa, padahal pihak tersebut didesak oleh tingkat kebutuhan,
sehingga tidak mempunyai pilihan lain kecuali menandatangani kontrak yang
sebenarnya bertentangan dengan kepentingan dirinya.
Kontrak baku secara langsung atau tidak langsung seolah bagaikan pisau
bermata dua terhadap kebebasan berkontrak, karena dari segi pembentukannya
kontrak baku merupakan pencerminanan asas kebebasan berkontrak, namun di sisi
lain kontrak baku telah membatasi atau menghilangkan asas kebebasan berkontrak
hirearki kebutuhan (The Basic Need Hierarchy Theory), dimana variasi kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk hirarki atau berjenjang. Setiap jenjang kebutuhan dapat dipenuhi
hanya apabila jenjang sebelumnya telah terpenuhi. Terdapat lima tingkatan kebutuhan dasar
manusia yaitu (1) kebutuhan pokok fisiologis; (2) kebutuhan akan keselamatan dan keamananan
dari bahaya luar; (3) kebutuhan akan cinta, kemitraan dan kebutuhan seksual;(4) kebutuhan akan
martabat, penghargaan sosial dan harga diri serta kebutuhan untuk diperlakukan secara adil; (5)
Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai sesuatu (obsesi) (Lihat A.H. Maslow, “A Theory
of Human Motivation”, Paper, Psychology Review 50, sumber
http:www.psychclassics.yorku.ca/maslow/motivation.htm, diakses pada tanggal 4 Juli 2016).
xlix
dengan tidak adanya kesempatan bagi pihak lainnya untuk dapat bertatap muka
merundingkan poin-poin kesepakatan yang diinginkan.
Pembatasan kebebasan berkontrak yang ditujukan untuk kepentingan
pihak yang memiliki “kekuasaan” yang lebih, bertentangan dengan Pasal 28J ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945 yang
menentukan adanya kriteria pembatasan terhadap hak dan kebebasan yakni untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lainnya22
.
Berdasarkan hal tersebut, kontrak baku mencerminkan
ketidakseimbangan kedudukan para pihak. Ketidakseimbangan kedudukan para
pihak dalam berkontrak bertentangan dengan prinsip persamaan yang intinya
memberikan perlakuan yang sama terhadap orang sesuai dengan hukum yang
berlaku. Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945 menentukan bahwa “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Persamaan kedudukan merupakan
hal yang paling mendasar (asasi) yang harus dimiliki oleh semua orang, atau
singkatnya bahwa adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka
keadilan akan terwujud. Prinsip persamaan kedudukan merupakan prinsip yang
memberikan kesetaraan hak dan merupakan “ruh” dari asas kebebasan berkontrak.
Implementasi dari prinsip persamaan kedudukan ditentukan oleh proses
awal penyusunan kontrak. Dalam pembuatan kontrak baku maka prinsip-prinsip
dasar hak asasi manusia seperti persamaan atau kesetaraan dan kebebasan agar
22Pasal 28J ayat (2) UUDNRI 1945 menentukan bahwa “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
l
dapat diimplementasikan dalam klausula-klausula yang dibuat, mengingat hingga
saat ini belum ada aturan yang mengatur mengenai isi dan berlakunya kontrak-
kontrak baku agar memiliki nilai keadilan yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Perbedaan posisi para pihak dalam pembuatan kontrak baku
tidak memberikan kesempatan untuk melakukan “real bargaining”, sehingga
pihak penerima kontrak tidak mampu mengutarakan kehendak dan kebebasannya
dalam menentukan isi kontrak baku, sehingga melanggar hak kebebasan untuk
menyatakan pendapat.
Negara berkewajiban untuk menjamin perlindungan akan hak-hak asasi
manusia sebagaimana dituangkan UUDNRI 1945. Pasal 28I ayat (4) UUDNRI
1945 yang menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Demikian
juga pasal 28I ayat (5) UUDNRI 1945 yang menyatakan bahwa untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Implementasi hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tiga sifat dan fungsi tanggung
jawab negara terkait dengan hak asasi manusia yakni kewajiban untuk
menghormati (to respect), kewajiban untuk melindungi (to protect), dan
kewajiban untuk memenuhi (to fulfil)23
. Ketiga kewajiban ini dikaitkan dengan
23Yosep Adi Prasetyo, 2012, “Hak Ekosob dan Kewajiban Negara”, Makalah, disampaikan
dalam rangka Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Seluruh Hakim di Indonesia,
Lombok tanggal 28-31 Mei 2012, h.2, sumber httpl://pusham.uii.ac.id/, diakses pada tanggal 1 Mei
2015.
li
dua sifat yang berbeda yakni sifat positif dan negatif dari kewajiban negara.
Kewajiban untuk menghormati (to respect) dikaitkan dengan kewajiban yang
bersifat negatif, dimana campur tangan negara tidak diperlukan, sedangkan dua
kewajiban lainnya yakni “to protect” dan “to fulfil” mensyaratkan negara untuk
melakukan tindakan aktif24.
Kewajiban negara untuk memenuhi (to fulfil) mewajibkan negara untuk
mengambil langkah-langkah positif melalui kebijakan, tindakan administratif dan
tindakan yudisial untuk memastikan setiap individu pemegang hak dapat
semaksimal mungkin menikmati hak asasi manusia dan klaim atas hak asasi
manusia. Kebijakan perumusan undang-undang yang menjamin hak asasi manusia
artinya menjamin penikmatan hak dan atau mencegah pelanggaran oleh pihak lain
merupakan kewajiban negara terkait dengan hak asasi manusia.
Indonesia masih mempergunakan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) peninggalan jaman kolonial Belanda untuk mengatur hubungan
hukum keperdataan di antara para pihak. KUHPer
tidak mengatur dan
mengantisipasi mengenai kontrak baku. Berdasarkan KUHPer sepanjang kontrak
telah memenuhi persyaratan yang diatur berdasarkan Pasal 1320 KUHPer maka
kontrak itu sah dan mengikat.25
KUHPer tidak mengatur mengenai kontrak baku
secara khusus. Di Belanda KUHPer yang lama telah diganti dengan Niew
Burgerlijk Wetboek (NBW) yang dalam Bab 6 mengatur mengenai kontrak baku.
24Nukila Evanty, Nurul Ghufron, 2014, Paham Peraturan Daerah (PERDA) berspekstif HAM
(Hak Asasi Manusia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.14-16.
25Pasal 1320 KUHPer menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu (1) sepakat; (2)
kecakapan; (3) Obyek tertentu; (4) Kausa yang halal.
lii
Setelah berlakunya seluruh ketentuan NBW sejak 1 Januari 1992, klausula baku
mendapatkan pengaturan khusus dengan titel algemene voorwaarden.26
Berdasarkan Pasal 6.233 NBW27
, mengatur bahwa suatu kontrak dengan
klausul baku dapat dibatalkan jika menurut sifatnya sangat bertentangan dengan
akal sehat, atau jika pihak yang menuntut dicantumkannya klausula baku, tidak
memberikan kesempatan kepada pihak lawannya untuk memperoleh penjelasan
tentang klausul-klausul itu. Aturan ini memberikan ketentuan bahwa pihak
pembuat kontrak baku memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan yang
layak kepada pihak penerima kontrak untuk memperoleh pengatahuan yang cukup
dan memberikan beban yang wajar. NBW menekankan pada keseimbangan
kedudukan para pihak dalam pembuatan kontrak baku.
Di Indonesia, aturan hukum yang ada mengenai klausula baku baru
dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
26Status Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) sendiri yang pada awalnya
jaman Hindia Belanda diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan
berdasarkan pasal 131 Indische Staatsregeling (I.S) jo 163 I.S. Setelah Indonesia merdeka,
keberlakuan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa & yang dipersamakan ini terus
berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal berdasakan aturan peralihan Pasal II Perubahan
Keempat UUD 1945. Namun,Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 yang
ditujukan kepada seluruh Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh
Indonesia agar beberapa pasal tertentu dari KUHPer dianggap tidak berlaku lagi menjadikan
kedudukan KUHPer di Indonesia hanya merupakan rechtboek (buku hukum) hanya sebagai
pedoman bukan sebagai wetboek (buku Undang-undang). Walaupun kenyataannya guna mengatasi
kevakuman (mengisi kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUHPer itu secara a priori
harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht). Namun apabila ditinjau secara yuridis formil,
KUHPer masih tetap sebagai hukum positip karena sampai pada saat ini belum ada undang-undang dan peraturan resmi mencabutnya.
27Article 6:233 Voidable stipulations from the applicable standard terms and conditions
A stipulation from the applicable standard terms and conditions is voidable:
a. if it is unreasonably burdensome for the counterparty, having regard to the nature and content
of the contract, the way in which these standard terms and conditions have been formed, the
interests of each party, as evident to the other, and the other circumstances of the case;
b. if the user has not given his counterparty a reasonable opportunity to take knowledge of the
content of the applicable standard terms and conditions.(sumber http:www.dutchcivillaw.com).
liii
Nomor:01/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014
Tentang Perjanjian Baku. UUPK hanya mengatur mengenai larangan
pencantuman klausula baku pada dokumen tertentu dan larangan pencamtuman
klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat (Pasal 18 UUPK), dan
ditujukan dalam kontrak konsumen akhir berkaitan dengan pemakaian barang dan
atau jasa.28
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:01/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku juga hanya
mengatur mengenai konsumen akhir khusus di bidang jasa keuangan. Aturan-
aturan yang ada tersebut tidak mengatur mengenai konsumen antara, padahal
dalam kenyataannya kontrak komersial (kontrak agensi, kontrak distributor)
mempergunakan klausula baku dalam kontraknya dan perkembangan yang ada,
kontrak baku selain digunakan dalam kontrak konsumen, juga digunakan dalam
kontrak-kontrak komersial lainnya.29
Banyaknya keberatan terhadap klausula baku tidak hanya terjadi di
Indonesia tetapi di juga terjadi di negara-negara maju lainnya. Menurut komisi
Eropa, pada Tahun 2000, terdapat 8858 kasus terkait kontrak baku.30
Penggunaan
28Lihat Penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK yang menjelaskan bahwa “Di dalam kepustakaan
ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna
atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen
dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir”
29Terdapat 3 (tiga) bentuk jenis kontrak komersial, yakni kontrak antara pelaku bisnis dengan
pelaku bisnis, kontrak antara pelaku bisnis dengan non pelaku bisnis (konsumen), dan kontrak
antara non pelaku bisnis dengan non pelaku bisnis. (Linda Mulcahy, 2008, Contract Law in
Perspective, Fifth Edition, Routledge-Cavendish, London, h.180).
30Commision of The European Communities, 2000, Report From The Commision on The
Implementation of Council Directive 93/13/EEC of 5 April 1993 on Unfair Terms in Consumer
liv
kontrak baku telah mengarahkan negara-negara luar untuk membuat aturan
tersendiri. Israel dengan Standard Contract Law pada Tahun 1964, Swedia
menetapkan Act Prohibiting Improper Contract Terms pada Tahun 1971, Jerman
menetapkan The Law on Standard Contract Terms pada tahun 1977 yang telah
diadopsi ke dalam German Civil Code, Inggris menetapkan the Unfair Contract
Terms Act 1977, Irlandia menetapkan the Sale of Goods and Supply of Services
Act 1980, Thailand menetapkan the Unfair Contract Terms Act pada Tahun
1997, sedangkan Indonesia belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai
kontrak baku.
Adanya kekosongan norma terkait kontrak baku di bidang kontrak-
kontrak komersial memerlukan suatu pengaturan khusus untuk melindungi pihak
yang lebih lemah kedudukannya karena negara memiliki kewajiban untuk
menjamin terlaksananya hak asasi manusia di bidang kontrak baku. Di samping
pengaturan juga diperlukan pengawasan terhadap klausula baku yang ada dalam
masyarakat. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Tobing
ditemukan bahwa pengawasan terhadap klausula baku tidak maksimal dilakukan
di Indonesia sehingga menimbulkan kelemahan hukum.31
Berdasarkan kasus-kasus yang telah dipaparkan, terdapat kelemahan
dalam praktek pembuatan kontrak baku yakni adanya klausula-klausula yang berat
Contracts, Brussel 27 April 2000, sumber http:eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF, diakses pada tanggal 26 Agustus 2016, h.44.
31Lihat tulisan David M L Tobing, “Konsumen dan Klausula”, Artikel, sumber
http:www.bpkn.go.id/uploads/document, diakses pada tanggal 1 Juli 2018, menyatakan bahwa
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada awal tahun 2014 hingga awal tahun 2015,
faktanya klausula baku yang dilarang berdasarkan UUPK masih diperlakukan dan hasil dari
wawacara terhadap pengurus Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) belum ada yang
mampu mengawasi klausula baku hingga menindak pelaku usaha yang mencantumkan klausula
baku yang dilarang.
lv
sebelah sehingga tidak mencerminkan keseimbangan kedudukan. Demikian pula
dari penelusuran terhadap aturan-aturan yang ada serta hasil penelitian yang
dipaparkan di atas, terdapat kekosongan norma hukum yang perlu diteliti
khususnya dalam pengaturan dan pengawasan terhadap kontrak baku sehingga
mampu melindungi hak asasi manusia. Penelitian tersebut dituangkan dalam
disertasi ini dengan judul “Pembuatan Kontrak Baku dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia.”
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi landasan filosofis pembuatan kontrak baku
dalam perspektif hak asasi manusia?
2. Apakah kontrak baku dapat melindungi hak asasi manusia?
3. Asas-asas hukum apakah yang harus dirujuk dalam pembuatan
kontrak baku agar dapat melindungi hak asasi manusia?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Adapun yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam rangka
memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya aspek hukum
kontrak dalam lapangan hukum keperdataan dan aspek hukum hak asasi manusia
agar dalam pembuatan kontrak kontrak baku mampu menjamin perlindungan
terhadap hak asasi manusia.
lvi
1.3.2. Tujuan khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Untuk mencari dan menganalisis landasan filosofis kontrak baku dalam
perspektif hak asasi manusia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis klausula-klausula dalam kontrak
baku dikaitkan dengan hak asasi manusia.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis asas-asas kontrak yang harus
dirujuk dalam pembuatan kontrak baku, agar dapat menemukan tolok
ukur yang dapat dijadikan pedoman model pengaturan dan pengawasan
sebagai bentuk campur tangan negara untuk melindungi pihak yang
lemah dalam pembuatan kontrak baku sehingga sesuai dengan hak asasi
manusia.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan terhadap
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dalam aspek hukum keperdataan dan
aspek hukum hak asasi manusia terhadap pengembangan hukum kontrak dan
memberikan bahan masukan bagi pembuatan kontrak baku.
1.4.2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pembuatan aturan kontrak baku yang sesuai dengan jiwa dan
lvii
semangat Bangsa Indonesia dan pedoman hakim dalam menangani sengketa
kontrak baku sehingga dapat menjamin hak asasi manusia.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, belum
dijumpai seluruhnya pembahasan terkait dengan pembuatan kontrak baku dalam
perspektif hak asasi manusia, namun demikian, penelitian-penelitian yang terkait
dengan asas-asas yang melandasi kontrak dapat ditemukan dalam disertasi-
disertasi sebagai berikut:
Tabel 1
Orisinalitas Penelitian
NA
MA
JUDUL
DISERTASI
POKOK
PENELITIAN
HASIL KETERANGAN
1 Abd
ul Hakim
Siagian32
Pertang
gungjawaban
Pelaku Usaha
Melalui
Kontrak Baku
dan Asas
Kepatutan
dalam
Perlindungan
Konsumen; Studi
Hubungan
Hukum antara
Pelaku Usaha
dengan
Konsumen
Perumahan
(1) Bagaimanakah
kedudukan asas
kepatutan sebagai
rujukan normatif
dalam Undang-
undang
Perlindungan
Konsumen dan
apakah figure
hukum perjanjian baku perlu
dimasukkan dan
dikualifikasi
dalam hukum
perdata sebagai
perjanjian
bernama?
(2) Bagaimanakah
bentuk
pertanggungjawa
ban pelaku usaha kepada konsumen
terhadap produk
(1) Kedudukan asas
kepatutan tidak
terwujud dalam
kerangka normatif
dan tidak terwujud
penemuan hukum,
figur perjanjian baku
perlu dimasukkan ke
dalam hukum perdata
sebagai perjanjian bernama;
(2) Pelaku usaha tetap
bertanggungjawab
kepada konsumen
terhadap produk
rumah yang dijual;
(3) Hakim tidak
menerapkan asas-
asas kepatutan dalam
memutuskan
sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen.
Disertasi ini
digunakan oleh
penulisa untuk
memberikan
pemahaman
mengenai
perjanjian
bernama dan asas
kepatutan
32Abdul Hakim Siagian, 2014, “Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan
Asas Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen; Studi Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha
dengan Konsumen Perumahan”, Disertasi, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara, Sumatera Utara, sumber http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/39983,
diakses pada tanggal 01 Agustus 2014.
lviii
rumah yang
menggunakan
kontrak baku?
(3) Bagaimanakah
penerapan asas kepatutuan oleh
hakim dalam
memutuskan
sengketa antara
pelaku usaha
dengan
konsumen?
2 Fenc
e M.Wantu
Peranan
Hakim Dalam
Mewujudkan
Kepastian
Hukum Keadilan dan
Kemanfaatan
di Peradilan
Perdata33
(1) Apakah putusan
hakim di
peradilan perdata
telah
menciptakan atau
menunjukkan
kepastian
hukum, keadilan
dan
kemanfaatan?
(2) Apakah
terdapat kendala-
kendala hakim
dalam
menciptakan
kepastian hukum, keadilan
dan kemanfaatan
di peradilan
perdata?
(3) Asas-asas atau
prinsip-prinsip
hukum apa yang
tercermin dari
putusan hakim di
peradilan perdata
dalam kaitannya dengan kepastian
hukum, keadilan
dan
kemanfaatan?
(1) Putusn hakim
dalam memutus
perkara tidak
terpaku pada satu
asas, hakim secara kasuistis dapat
berubah-rubah dari
asas yang satu ke
asas yang lain,
lebih cenderung
mempertahankan
norma-norma
tertulis
(2) Kendala yang
dihadapi yakni
Internal dalam
lingkungan hakim sendiri dan
Eksternal dalam
lingkungan
masyarakat
(3) Asas-asas yang
tercermin adalah
asas-asas yang ada
dalam hukum acara
perdata yang
berlaku umum
Disertasi ini
berguna untuk
memberikan
pemahaman
kepada penulis asas-asas dalam
kontrak yang
lebih sering
digunakan oleh
hakim dalam
memutus perkara
perdata
3 Suta
n Remi
Sjahdeini
Aspek
Hukum
Hubungan
Bank dan
Nasabah,
(1) Sejauh mana
luas asas
kebebasan
berkontrak.
(2) Seberapa jauh
(1) Asas kebebasan
berkontrak lahir di
abad-17 dan 18
mempunyai daya
kerja yang sangat
Disertasi ini
telah dibukukan
dan digunakan
oleh penulis untuk
memahami asas
33Fence M.Wantu, 2011, “Peranan Hakim Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Keadilan
dan Kemanfaatan di Peradilan Perdata”, Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta, sumber http://repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php,
diakses pada tanggal 1 Agustus 2014.
lix
Kebebasan Berkontrak
dan
Perlindungan
yang
Seimbang bagi
Para Pihak,
Studi
Mengenai
Perjanjian
Kredit Bank di
Jakarta.34
negara dapat campur tangan
dalam
menentukan isi
perjanjian.
(3) Bagaiman
bentuk dan sifat
hubungan hukum
antara bank dan
nasabah.
(4) Apakah dana
yang telah
disetorkan oleh nasabah
penyimpan dana
kepada bank dan
selama dalam
penyimpanan
oleh bank masih
milik nasabah
penyimpan dana
atau telah beralih
menjadi milik
bank. (5) Apakah aturan-
aturan dasar yang
harus
diperhatikan agar
klausul-klausul
dalam suatu
perjanjian baku
mengikat.
(6) Klausul-klausul
penting apa saja,
baik bagi
kepentingan bank maupun nasabah
debitur, yang
seyogyanya
terdapat atau
sebaliknya tidak
boleh dimuat
dalam perjanjian
kredit bank.
kuat dan tanpa dibatasi oleh rasa
keadilan
masyarakat atau
campur tangan
negara;
(2) Asas kebebasan
berkontrak yang
tak terbatas dapat
menciptakan
ketidakadilan
apabila para pihak
mempunyai kedudukan yang
tidak seimbang;
(3) Pancasila menolak
asas kebebasan
berkontrak yang
tak terbatas
(4) Bentuk hubungan
hukum antara bank
dan nasabah
penyimpan dana
adalah perjanjian pinjam meminjam
(pinjam mengganti)
(5) Bentuk hubungan
hukum antara bank
dan nasabah
debitur adalah
perjanjian yang
bersifat konsensuil;
(6) Status dana yang
telah disetorkan
oleh nasabah
penyimpan dana kepada bank
selama perjanjian
kredit bank adalah
milik bank
(7) Sifat hubungan
hukum antara bank
dan nasabah bukan
sekedar hubungan
kontraktual biasa
tetapi juga adalah
fiduciary relation, confidential
relation dan
prudential relation,
kebebasan berkontrak, dan
tolak ukur kontrak
yakni asas
kepatutan, asas
keadilan, asas
itikad baik, asas
ketertiban umum,
asas
moral/kesus
ilaan dan
penyalahgunaan
keadaan.
34Sutan Remi Sjahdeini, 1992, “Aspek Hukum Hubungan Bank dan Nasabah, Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak, Studi Mengenai Perjanjian Kredit
Bank di Jakarta”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
lx
dan memberikan kewajiban-
kewajiban khusus
superadded
obligation kepada
masing-masing
pihak.
(8) Asas public policy
dan asas
unconscionability
merupakan tolak
ukur yang berlaku
dalam Common Law untuk
menentukan
apakah suatu
klausul perjanjian
adalah tidak wajar
dan memberatkan
bagi salah satu
pihak, dalam
KUHPer tolak ukur
adalah asas
ketertiban umum, asas
moral/kesusilaan,
asas kepatutan atau
keadilan, asas
itikad baik dan
ajaran
penyalahgunaan
keadaan.
(9) Posisi bank atau
nasabah dapat
berbeda pada saat
kredit akan diberikan
dibandingkan pada
saat kredit telah
diberikan
(10) sarana-sarana atau
upaya-upaya
hukum di Indonesia
tidak memadai
untuk dapat
melindungi bank
sebaga kreditor dalam rangka
contract
enforcement dari
perjanjian kredit
(11) perjanjian-
perjanijan kredit
dari bank-bank
umum di Jakarta
lxi
mengandung klausul-klausul
yang apabila diukur
oleh asas ketertiban
umum, asas moral
atau kesusilaan,
asas kepatutan atau
keadilan, asas
itikad baik dan asas
penyalahgunaan
keadaan maka
klausul-klausul
memberatkan bagi nasasbah debitur
atau memberatkan
bagi pihak bank;
(12) perjanjian-
perjanjian kredit
dari bank umum di
Jakarta tidak ada
yang
mencantumkan
klausul-klausul
lingkungan hidup
4 Agus Yudha
Hernoko
Asas Proporsionalit
as dalam
Kontrak
Komersial35.
(1) Makna dan fungsi asas
proporsionalits
dalam kontrak
komersial.
(2) Penerapan asas
proporsionalitas
dalam kontrak
komersial yang
meliputi seluruh
proses kontrak
mulai dari
tahapan pra kontraktual,
pembentukan,
pelaksanaan
kontrak bahkan
apabila terjadi
sengketa.
(1) Makna asas proporsionalitas
adalah asas ya
gmengatur
pertukaran hak dan
kewajiban para
pihak sesuai
proporsi atau
bagiannya, yang
meliputi seluruh
proses kontrak, dari
pra, pembentukan,
dan pelaksanaannya;
(2) Fungsi asas
proporsionalitas
dalah tahapan pra
kontrak menjamin
terwujudnya proses
negoisasi kontrak
yang fair, dalam
pembentukan
kontrak menjamin
kesetaraan hak serta kebebasan
dalam menentukan
isi perjanjian,
dalam tahap
Disertasi ini telah dibukukan,
dipergunakan oleh
penulis dalam
memahami asas
proporsionalitas.
35Agus Yudha Hernoko, 2009, “Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial”, Disertasi,
Program Pasca Sarjana Program Studi Doktor Ilmu Hukum , Universitas Airlangga, Surabaya.
lxii
pelaksanaan kontrak menjamin
terwujudnya
distribusi
pertukaran hak dan
kewajiban sesuai
proporsinya;
(3) Hakikat kontrak
adalah
mewujudkan
pertukaran hak dan
kewajiban secara
adil, sehingga ketidakseimbangan
hasil dapat diterima
sebagai sesuatu
yang fair apabila
proses
pertukaranan
dilakukan secara
proporsional;
(4) Dalam hal terjadi
kegagalan
pelaksanaan kontrak, maka
kadar kesalahan
harus diukur secara
proporsional.
(5) Secara substantif
asas
proporsionalitas
dapat diterima
dalam civil law dan
common law,
demikian pula
dalam UPICC, RUU Kontrak
ELIPS
5 P.
Lind
awaty
S.
Sewu
Aspek
Hukum
Perjanjian
Baku dan
Posisi
Berimbang
Para Pihak
dalam
Perjanjian
Waralaba36
(1) Apakah yang
dimaksud dengan
perjanjian baku
(standard
contract) pada
umumnya dan
khususnya dalam
perjanjan
waralaba serta
syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan apakah
yang
(1) Perjanjian yang
memuat satu atau
beberapa syarat-
syarat standar tidak
dapat disebut
perjanjian baku.
Perjanjian baku
adalah secara
melekat dapat
diterapkannya syarat-syarat
standar dalam
perjanjian tersebut;
Disertasi ini
dipergunakan oleh
penulis untuk
memahami aspek
perjanjian baku
dan posisi
berimbang dalam
suatu perjanjian.
36Lindawaty S.Sewu, 2006, “Aspek Hukum Perjanjian Baku dan Posisi Berimbang Para Pihak
Dalam Perjanjian Waralaba”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
lxiii
membangun suatu perjanjian
baku?
(2) Apakah yang
dimaksud dengan
kepentingan serta
posisi berimbang
para pihak dalam
suatu
pelaksanaan
perjanjian baku
(standard
contract) khususnya di
dalam perjanjian
waralaba?
(3) Apakah akibat
diterapkannya
perjanjian baku
(standard
contract) dalam
perjanjian
waralaba dapat
mengakomodir kepentingan para
pihak serta
menjamin posisi
berimbang dari
para pihak,
khususnya bagi
pihak yang
memiliki posisi
tawar
(bargaining
position) yang
lebih lemah dibandingkan
pihak lainnya?
(2) Para pihak dalam perjanjian memiliki
kepentingan agar
hak-haknya dapat
dilindungi, adalah
melalui perumusan
klausula-klausula
dalam suatu
perjanjian,;
(3) Hasil yang didapat
dari proses
waralaba
memberikan posisi berimbang,
masalah pilihan
hukum, masalah
persyaratan,
kewajiban pihak
pemberi waralaba,
syarat minimum,
dokumen
keterbukaan,
termination,
peranan pemerintah,
ketentuan
mengenai hal-hal
minimum,
ketentuan
mengenai
kewajiban bagi
pemberi waralaba
asing.
6 Rid
wan
Kahirandy
Itikad
Baik dalam
Kebebasan
Berkontrak37
(1) Bagaimana
pengaruh
paradigma
kebebasan
berkontrak
terhadap teori
hukum kontrak
klasik?
(2) Mengapa kemudian
paradigma
kebebasan
berkontrak
(1) Filsafat
individualisme
yang mempengaruh
di bidang ekonomi
sehingga timbul
politik liberalism
menimbulkan
paham laisses
faire, kebebasan berkontrak menjadi
ekspresi hukum
untuk mendukung
perkembangan
Disertasi ini
untuk
memperkaya
pemahaman
mengenai asas
itikad baik.
37Ridwan Khairandy, 2003, “Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak”, Disertasi, Program
Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta
lxiv
bergeser ke arah kepatutuan?
(3) Apakah
pengertian itikad
baik dalam
berkontrak
bersifat
universal?
(4) Bagaiman fungsi
itikad baik dalam
kontrak?
(5) Bagaiman standar
itikad baik dalam pelaksanaan
kontrak dan
itikad baik dalam
penyusunan
kontrak?
(6) Bagaimana
implementasi
makna, standar,
dan fungsi itikad
baik yang
digunakan pengadilan
Indonesia dalam
putusan-
putusannya?
tersebut, masuk ke dalam hukum
kontrak melalui
asas
konsensualisme,
dan penekanan
pada maksud para
pihak.
(2) Kebebasan
berkontrak
memiliki banyak
kelemahan yang
pada akhirnya mendapat
pembatasan oleh
undang-undang,
pengadilan, dan
extra legal
standard yang
bermuara pada
norma-norma
kepatutan
(3) Permasalahan
definisi itikad baik tetap sangat
abstrak, tidak ada
pengertian itikad
baik yang bersifat
universal,
memilliki dua
dimensi yakni
subjektif
(kejujuran) dan
dimensi objektif
kerasional yang
mengarah pada kepatutan/keadilan;
(4) Standar itikad baik
dalam pra kontrak
didasarkan pada
prinsip kecermatan
dalam kontrak
(5) Itikad baik dalam
kontrak memiliki
tiga fungsi, semua
kontrak harus
ditafsirkan dengan itikad baik, hakim
dalma perkara
tertentu dapat
menambahkan isi
perjanjan atau
bahkan ketentuan
undang-undang,
hakim dapat
lxv
mengurangi /meniadakan suatu
kewajiban
kontraktual apabila
bertentangan
dengan
keadilan/kepatutan;
(6) Pengadilan di
Indonesia belum
memiliki
pemahaman yang
utuh mengenai
itikad baik sehingga tidak
konsisten
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan belum ada penelitian yang
menganalisa pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia maka
dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap “Pembuatan Kontrak Baku dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia” merupakan hal yang baru dan penting untuk
dilaksanakan.
lxvi
1.6. Kerangka Berpikir
Adapun yang menjadi kerangka berpikir dalam penulisan disertasi ini
dipaparkan dalam tabel berikut
Tabel 2. Kerangka Berpikir
Pembuatan Kontrak Baku Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
1.7 Metode Penelitan
Latar
Belakang Masalah Rumusan
Masalah
Kerangka
Teoritik
Metod
e Penelitian
1. Alasan filosofisnya: Adanya
ketidakseimbangan
kedudukan dalam pembuatan kontrak baku sehingga perlu campur tangan negara melindungi pihak yang lemah
2. Alasan sosiologisnya: Ditemukannya
klausula-klausula dalam kontrak baku yang mencerminkan ketidakseimbangan kedudukan sehingga melanggar nilai-nilai
keadilan dan hak asasi manusia
3. Alasan yuridis:
Kekosongan norma yang mengatur pembuatan kontrak baku yang
tidak hanya ditujukan pada konsumen akhir
1. Filosofi apakah yang merupakan landasan
pembuatan kontrak dalam perspektif hak asasi manusia ?
2. Apakah kontrak
baku dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia?
3. Asas-asas hukum apakah yang harus dirujuk dalam pembuatan
kontrak baku agar dapat melindungi hak asasi manusia?
Teori keadilan, Teori kehendak, Teori perlindungan hak asasi manusia, teori
perlindungan minimum, doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata
Teori keadilan, Teori kehendak,
Teori perlindungan minimum Doktrin unconscionability,
asas-asas hukum kontrak, doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata
perdataperdata
Teori Keadilan, TeoriKeseimbangan Teori Negara sebagai regulator, teori perlindungan
minimum, doktrin unconscionability, asas-asas dalam perjanjian
1. Jenis penelitan:
penelitian hukum normatif
2. Jenis
pendekatan: pendekatan undang-
undang, pendekatan konsep, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan
3. Sumber bahan hukum: bahan hukum primer, sekunder dan tersier
4. Teknik
pengumpulan bahan hukum:
kepustakaan dengan sistem kartu elektronik applikasi “evernote”
5. Teknik analisa
bahan hukum: preskriptif, argumentatif, interpretatif dan evaluatif
Sasaran Membentuk aturan hukum yang mengatur mengenai pembuatan
kontrak baku dan memberikan pedoman bagi hakim dalam penilaian terhadap klausula baku
lxvii
Kerangka berpikir yang dipergunakan dalam penulisan ini, berupa teori-
teori hukum, doktrin, asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, yurisprudensi,
hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penulisan ini. Teori-teori hukum
yang dipergunakan adalah teori perlindungan hak asasi manusia oleh John Locke,
teori keadilan dari Aristoteles, teori kehendak (will theory) oleh Roscoe Pound,
teori keseimbangan (the balance theory of contracts) oleh Joel Levin dan Banks
Mc.Dowell, teori fungsi negara sebagai regulator oleh W.Friedmann. Doktrin
keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata dan doktrin
unconciousnability. Asas-asas yang menunjang dalam penulisan ini yakni asas-
asas yang melandasi kontrak yakni asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualitas, asas kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang (pacta
sunt servanda), asas keseimbangan, asas proporsionalitas, asas itikad baik, asas
perlindungan dan asas atau prinsip-prinsip dalam hak asasi manusia. Konsep
hukum yang akan diuraikan adalah konsep hukum kontrak baku dan konsep
hukum hak asasi manusia.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini, diuraikan dalam sistematika.
Tema inti penelitian yang menjadi judul disertasi yakni “Pembuatan Kontrak
Baku dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Uraian selanjutnya adalah mengenai
latar belakang masalah yang berasal dari problematik filosofi yakni bahwa
pembuatan kontrak baku dalam kenyataaanya belum mencerminkan kedudukan
yang seimbang bagi para pihak, padahal kontrak adalah salah satu hak dasar
manusia (hak asasi) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga diperlukan
campur tangan negara dalam wujud pembuatan aturan terkait kontrak baku untuk
lxviii
mengembalikan kedudukan para pihak menjadi seimbang. Problematika
sosiologis, yaitu timbulnya kontrak-kontrak baku yang memuat klausul-klausul
baku yang melanggar nilai keadilan dan tidak menjamin perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia. Problematika yuridis, yaitu adanya kekosongan norma
akibat belum adanya aturan hukum yang mengatur mengenai pembuatan kontrak
baku dalam kontrak komersial mengingat kontrak baku bukan hanya timbul dalam
kontrak konsumen namun juga terdapat pada kontrak-kontrak komersial.
Berdasarkan latar belakang tersebut, diperoleh 3 (tiga) permasalahan
yang diangkat. Rumusan masalah pertama yakni “Apakah yang menjadi landasan
filosofi pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia?”. Untuk
dapat menganalisa rumusan masalah pertama, maka landasan atau kajian teoritik
yang dipakai sebagai pisau analisa adalah teori keadilan dari Aristoteles, teori
kehendak (will theory) dari Roscoe Pound, teori perlindungan hak asasi manusia
dari John Locke yang dikembangkan lagi oleh Grotius dan teori perlindungan
minimum (the minimum content of natural law) dari H.L.A.Hart. Selain teori-teori
hukum juga mempergunakan doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam
hukum perdata, asas-asas dalam hukum kontrak dan hak asasi manusia.
Rumusan masalah yang kedua adalah “Apakah kontrak baku dapat
melindungi hak asasi manusia?’. Landasan atau kajian teoritik yang dipakai
adalah teori keadilan dari Aristoteles, teori kehendak (will theory) dari Roscoe
Pound dan doktrin unconsiousnability. Nilai-nilai keadilan sebagai landasan
filosofis dalam sebuah kontrak yang merupakan pencerminan hak asasi manusia
dengan memakai indikator kesamaan kedudukan para pihak. Apabila indikator ini
lxix
tidak terpenuhi, maka akan cenderung terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap
hak asasi manusia khususnya pada kontrak baku.
Terhadap rumusan masalah yang ke-3 (tiga) yakni “Asas-asas hukum
apakah yang harus dirujuk dalam menjamin kontrak baku agar dapat melindungi
hak asasi manusia? Terhadap rumusan masalah ini, teori hukum yang dipakai
adalah teori keadilan dari Aristoteles, teori keseimbangan (the balance theory of
contracts), teori fungsi negara sebagai regulator teori perlindungan minimum (the
minimum content of natural law) dari H.L.A. Hart dan doktrin unconscionability.
Selain teori terhadap rumusan masalah ini penulis juga mempergunakan asas-asas
dalam hukum kontrak.
Metode yang dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah tersebut
di atas adalah metode penelitian hukum normatif dengan mempergunakan
pendekatan undang-undang, pendekatan konsep, pendekatan kasus dan
pendekatan perbandingan. Bagian berikutnya adalah pembahasan mengenai
landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia,
klausula-klausula dalam kontrak baku yang bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia, dan asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan
kontrak baku agar dapat melindungi hak asasi manusia.
1.7. Metode Penelitian
Terry Huchinson mengutip pandangan Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) menerangkan bahwa metode penelitan
dipahami sebagai kreativitas, originalitas, dan aktifitas sistematik dalam
lxx
meningkatkan dunia pengetahuan.38
Peter Mahmud Marzuki menyatakan
penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin guna menjawab isu hukum yang
dihadapi”39
1.7.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif. Menurut Abdul Kadir
Muhammad 40
Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma
berlaku menjadi acuan perilaku setiap orang. Penelitan hukum normatif berfokus
pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum
dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum,
perbandingan hukum dan sejarah hukum. Penelitian hukum ini menggunakan
studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum.
Timbulnya kontrak baku, akibat tuntutan efisiensi, dan berlandaskan asas
kebebasan berkontrak, yang dalam beberapa kasus ditemukan pencantuman
klausula-klausula yang menempatkan kedudukan para pihak menjadi tidak
seimbang. Kedudukan para pihak yang tidak seimbang dalam pembuatan kontrak
keperdataan atau komersial secara tidak langsung merupakan jenis pelanggaran
hak asasi manusia dalam bidang ekonomi, yaitu hak untuk membentuk kontrak.
Kontrak baku sebagai cerminan dan implementasi dari asas kebebasan
berkontrak merupakan kebutuhan yang tak dapat dihindari di era globalisasi ini.
38Terry Hutchhinson, 2010, Researching and Writing in Law, Third Edition, Thompson
Reuters (Proffesional) Autstralia Limited, p.6.
39Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Surabaya, Cetakan I,
(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h.35.
40Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, h.52.
lxxi
Adanya kekosongan terhadap norma yang mengatur bagaimana pengaturan dan
pemanfaatan kontrak baku itu seoptimal mungkin agar dapat menampung
perimbangan hak dan kewajiban para kontraktan dengan layak demi terwujudnya
perlindungan terhadap hak asasi manusia di bidang ekonomi. Untuk keperluan
tersebut, asas kebebasan berkontrak yang merupakan “ruh” landasan kontraktual,
membutuhkan pengembangan pemberdayaan prinsip-prinsip (asas-asas) hukum
kontrak lainnya agar dapat memberikan batasan dan rambu-rambu terhadap
pembuatan kontrak keperdataan khususnya kontrak baku.
1.7.2. Pendekatan penelitian
Dalam penelitian ini mempergunakan beberapa pendekatan untuk lebih
memahami permasalahan yang ada, diantaranya adalah;
a. Pendekatan perundang-undangan.
Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Johnny Ibrahim meminjam pendapat
Haryono, yang melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat
comprehensive (norma-norma hukum di dalamnya terkait antara yang satu dengan
yang lainnya), all inclusive (kumpulan norma hukum cukup mampu menampung
permasalahan hukum yang ada sehingga tidak ada kekosongan hukum) dan
systematic (disamping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma
hukum juga tersusun secara hirarkis) 41
.
Indikator jaminan hak asasi manusia yang digunakan dalam penelitian
ini sebagaimana diatur dalam UUDNRI 1945 sebagai hak-hak konstitusional
41Johnny Ibrahim, 2012, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media
Publishing, Malang, h.303.
lxxii
warga negara, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia (UU HAM). Kedua indikator di atas digunakan sebagai penilaian esensi
kontrak baku yang memiliki muatan perlindungan hak asasi manusia di
dalamnya.
Metode yang dipergunakan adalah metode interprestasi, sesuai pendapat
F.C.Von Savigny yang dipakai oleh Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya
Penelitian Hukum42
menyatakan bahwa “betapapun jelasnya Maklumat/Perintah,
namun tidak mungkin menolak adanya interprestasi karena adanya kekurangan”.
Dalam penelitian hukum normatif dikenal berbagai jenis interprestasi, diantaranya
interprestasi berdasarkan kata undang-undang, interprestasi berdasarkan kehendak
pembentuk undang-undang, interprestasi sistematis, interprestasi historis,
interprestasi teleologis, interprestasi antisipatoris, dan interprestasi modern.43
Penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran
gramatikal atau berdasarkan kata dari kontrak baku yang diteliti. Interprestasi
menurut kata-kata ditarik dari makna kata-kata yang tertuang dalam kontrak baku.
Akan tetapi jika tidak ditemukan makna dalam kontrak, karena tidak semua
kontrak baku mengandung kata yang jelas, maka dilakukan interprestasi sistematis
terhadap klausula-klausula lainnya dalam kontrak.
Interprestasi sistematis dengan melihat kepada hubungan di antara klausula-
klausula dalam suatu kontrak yang saling bergantung.44
Landasan pemikiran
interprestasi sistematis adalah kontrak merupakan satu kesatuan dan tidak satupun
ketentuan di dalam kontrak merupakan klausul yang berdiri sendiri. Kontrak
42Peter Mahmud Marzuki I, Op.Cit., h.11.
43Ibid, h.107.
44Ibid.
lxxiii
merupakan rangkaian dari beberapa klausul, dimana terdapat beberapa klausul
yang saling menunjang agar fungsi kontrak dapat berjalan sebagaiman mestinya.
Klausul baku ditafsirkan secara keseluruhan dengan klausul-klausul lainnya dalam
kontrak sehingga didapatkan maksud dan tujuan para pihak dalam kontrak.
b. Pendekatan konsep
Pendekatan konsep beranjak dari pendapat ahli (doktrin) yang terkait dengan
penulisan. Konsep hukum yang dipakai dalam penulisan ini adalah konsep
kontrak baku dan konsep hak asasi manusia. Konsep kontrak baku dengan
menjelaskan mengenai peristilahan dan pengertiannya. Konsep hak asasi manusia
dengan terlebih dahulu menguraikan konsep hak yang berkaitan dengan kontrak
dan konsep hak dalam bidang hak asasi manusia.
c. Pendekatan kasus
Pendekatan kasus dilihat dari putusan-putusan pengadilan. Dari
beberapa putusan tersebut, dicari ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang
digunakan oleh hakim sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan
klausula-klausula baku yang mencerminkan perlindungan hak asasi manusia.
Adapun putusan yang dijadikan penelitian dalam disertasi ini adalah:
1) Putusan No.1391K/Pdt/2011;
2) Putusan No.2157K/Pdt/2010;
3) Putusan No.08/Pdt.G/2011/PN.TGL;
4) Putusan No.476k/Pdt/2007;
5) Putusan No.52/Pdt.sus-BPSK/2015/PN.Pbr;
6) Putusan No.1609/Pdt.G/2009/PN.Jkt. Sel
lxxiv
d.Pendekatan komparatif
Pendekatan komparatif dipakai sebagai pendekatan terhadap perbandingan
terhadap hakekat kontrak baku dan asas asas yang melandasinya, dengan melihat
pada:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan alasan undang-undang ini yang
mengatur mengenai klausula baku dalam kontrak konsumen;45
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 01/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
5) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang
Perjanjian Baku;
6) Prinsip-prinsip Kontrak Perdagangan Internasional ( The Principles of
International Commercial Contract) yang dikeluarkan oleh The
International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT)
atau sering disebut UPICC (Unidroit Principles of International
Comercial Contracts) dengan pertimbangan substansi yang diatur telah
menyesuaikan dengan praktik kebiasaan internasional;
45UUPK dalam Pasal 18 mengatur mengenai klausula baku, walaupun yang diatur hanya
mengenai bentuk dan jenis klausula baku yang dilarang, namun merupakan satu-satunya undang-
undang yang mengatur mengenai klausula baku.
lxxv
7) Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kontrak –Kontrak bagi Jual
Beli Barang Internasional (CISG/ United Nations Convention on
International Sale of Good) karena merupakan kompromi dari
seperangkat asas dan aturan hukum kontrak jual beli yang dikenal dalam
berbagai tradisi hukum;
8) Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) dengan pertimbangan pada aspek
perbandingan historis substantif maupun perspektif perkembangan BW
Belanda Baru yang lebih mengikuti perkembangan jaman;
9) Undang-Undang Konsumen (The Trade Practices Amandment (Australian
Consumer Law) Act (No.1) 2010 dan Trade Practices Act 1974, sebagai
bahan mengenai penilaian klausula baku di Australia (negara dengan
sistem Common Law);
10) The Consumer Right Act 2015 (CRA), Unfair Contract Termas Act 1977
(UCTA ) dan Unfair Terms in Consumer Contract Regulations (UTCCR)
mengenai penilaian klausula baku di Inggris (negara dengan sistem
Common Law);
11) Uniform Commercial Code (UCC) sebagai penilaian klausula baku di
Amerika Serikat sebagai negara yang menganut sistem Common Law;
12) Code de la Consomnation sebagai penilaian klausula baku di Perancis
dengan sistem Civil Law;
13) Act on Standard Terms of Bussiness (Gezets zur Regelung des Rechts de
Allgemeinen Geschafts bedingungen AGBG) dan German Civil Code
lxxvi
(Burgerliches Gezetbuch/BGB) penilaian klausula baku di Jerman dengan
sistem Civil Law.
Ruang lingkup penelitian akan dibatasi pada kontrak baku yang ada pada
kontrak komersial yakni kontrak yang dilakukan antara pelaku bisnis dengan
pelaku bisnis, kontrak yang dilakukan antara pelaku bisnis dengan non-pelaku
bisnis (konsumen) dan kontrak yang dilakukan antara non pelaku bisnis dengan
non pelaku bisnis, dilakukan berdasarkan profit oriented.
1.7.3. Sumber bahan hukum.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan
pengkajian terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder
maupun tersier.46
Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan
yang bersifat mengikat yakni UUDNRI 1945, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahuan 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekundier diperoleh dari
hasil penelitian kepustakaan, berupa hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana
dalam bentuk buku teks, jurnal ataupun makalah, putusan pengadilan yang terkait
dengan kontrak baku dan kontrak-kontrak yang berkaitan dengan kontrak baku.
46Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,
Bandung, h.97.
lxxvii
Bahan hukum tersier yang dapat memberikan informasi terhadap bahan
hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum.
1.7.4. Teknik pengumpulan bahan hukum.
Bahan hukum diperoleh dengan metode kepustakaan dengan mengumpulkan
bahan-bahan berupa literatur tentang materi penelitian baik berupa undang-
undang, buku-buku literatur, jurnal hukum, makalah, artikel atau pendapat para
ahli yang berkaitan dengan penelitian ini baik yang ada pada media elektronik
maupun media cetak. Bahan hukum kepustakaan dikumpulkan melalui sistem
kartu yang dalam hal ini tidak berbentuk kartu fisik melainkan melalui applikasi
“evernote” dengan mengklasifkasikan bahan-bahan yang didapat berdasarkan
sistematika penulisan disertasi.
Pengumpulan bahan dilakukan melalui teknik bola salju (snow ball theory)47
dimana dalam suatu literatur atau bahan bacaan menemukan sumber lainnya yang
terkait dan dari sumber lainnya ini ditemukan pula sumber yang terkait. Bahan
hukum yang telah didapatkan kemudian ditulis, untuk selanjutnya diiventarisasi
dan diidentifikasi dalam menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan
penelitian ini. Bahan yang didapat dikumpulkan dan disistematisasikan
berdasarkan rumusan masalah yang dibahas.
47Ibid.
lxxviii
1.7.5. Teknik analisis bahan hukum
Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis terhadap bahan hukum
adalah menginventarisir seluruh klausula-klausula baku yang termuat dalam
bahan hukum sekunder yakni kontrak-kontrak baku terkait kegiatan bisnis
komersial. Proses selanjutnya adalah mengidentifkasi dengan menemukan asas-
asas hukum perjanjian yang “tersembunyi” dibalik atau di belakang klausula baku.
Asas-asas hukum perjanjian yang dicari dan diteliti dalam kaitan dengan nilai-
nilai hak asasi manusia. Klausula-klausula baku yang ada diukur atau dievaluasi
dengan mempergunakan tolak ukur yang terdapat dalam UUDNRI 1945 dan UU
HAM. Di samping itu, putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan
klausula baku dijadikan pedoman untuk merujuk asas yang dapat dipergunakan
dalam pembuatan kontrak baku yang memiliki substansi hak-hak asasi manusia.
Dalam penelitian ini, semua bahan hukum yang ada diinterprestasikan dan
dianalisis agar memperoleh hasil terkait dengan pembuatan kontrak baku yang
memiliki subtansi nilai-nilai hak asasi manusia. Berdasarkan argumentasi melalui
penalaran hukum, diperoleh apa yang seharusnya dilakukan oleh para pihak
(kontraktan) dan pemerintah terkait pembuatan kontrak baku agar memiliki
substansi perlindungan hak-hak asasi manusia di dalamya.
Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini, digunakan teknik
komparatif, evaluatif dan argumentatif48. Teknik komparatif dengan
membandingkan beberapa asas-asas hukum yang dijadikan rujukan penilaian
klausula baku di beberapa negara. Teknik evalutif melakukan evaluasi terhadap
48I Made Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.152-156.
lxxix
klausula-klausula dalam kontrak komersial yang memiliki klausula baku di
dalamnya dengan mempergunakan penafsiran gramatikal dan penafsiran
sistematikal. Penafsiran gramatikal dengan mencari arti kata-kata yang tertuang
dalam klausula-klausula kontrak dan penafsiran sistematikal dengan mengaitkan
beberapa klausula-klausula tersebut dan menghubungkannya dengan klausula-
klausula lainnya dalam kontrak untuk memperoleh arti. Teknik argumentatif yakni
dengan memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap pembuatan kontrak
baku dalam perspektif hak asasi manusia.