lembar persetujuan tim /komisi promotor prof. dr. i made ... · teori keadilan oleh...

78
ii Lembar Persetujuan TIM /Komisi Promotor Promotor Prof. Dr. I Made Pasek Diantha S.H.,M.S. NIP: 19461231 1974031 025 Ko-Promotor I Ko-Promotor II Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H . Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H NIP: 19550306 198403 1 003 NIP: 19580917 198601 1 002 Mengetahui Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, Direktur, Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudi, S.H., M Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K ) NIP : 19530914 197903 1002 NIP : 19590215 198510 2 001

Upload: hoangthuy

Post on 02-May-2018

231 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

ii

Lembar Persetujuan TIM /Komisi Promotor

Promotor

Prof. Dr. I Made Pasek Diantha S.H.,M.S.

NIP: 19461231 1974031 025

Ko-Promotor I Ko-Promotor II

Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H

NIP: 19550306 198403 1 003 NIP: 19580917 198601 1 002

Mengetahui

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum, Direktur,

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudi, S.H., M Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S (K)

NIP : 19530914 197903 1002 NIP : 19590215 198510 2 001

iii

DISERTASI INI TELAH DIUJI DAN DINILAI TAHAP I (UJIAN TERTUTUP)

Oleh Panitia Penguji Pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana

Pada tanggal

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No :

Tanggal:

Panitia Penguji Disertasi adalah

Ketua : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S. (……………)

Sekretaris : Dr.I Wayan Wiryawan, S.H., M.H. (……………)

Anggota :

1. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H. (…………….)

2. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., L.LM (…………….)

3. Prof. R.A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D (…………….)

4. Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H. (…………….)

5. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.Hum (…………….)

6. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H. (…………….)

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas

segala limpahan berkat, rachmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan

penelitian disertasi yang berjudul “Pembuatan Kontrak Baku dalam Perspektif

Hak Asasi Manusia” ini. Penulis sadari sepenuhnya bahwa penyelesaian disertasi

ini terwujud berkat atas bimbingan dari Promotor, dan Ko-Promotor, serta sikap

kritis para penguji, dan para Dosen di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

Udayana selama penulis menempuh pendidikan. Bantuan dan motivasi segenap

pengajar di lingkungan Program Doktor Ilmu Hukum, teman-teman serta keluarga

dalam proses penulisan disertasi ini merupakan semangat dan pendorong bagi

penulis yang sangat berharga. Untuk itu dalam kesempatan yang baik ini, penulis

ingin menyampaikan ucapan terimakasih, rasa puji dan penghormatan sebesar-

besarnya penulis kepada:

1. Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S. dalam kedudukan sebagai

Promotor yang sangat tekun dalam membimbing, mengarahkan serta

memberikan petunjuk, motivasi secara terus menerus dan bantuan

literatur mulai dari penyusunan proposal sampai selesainya disertasi

ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya

karena beliau dengan sifat kebapaannya, dengan kesabarannya yang

sangat tinggi, membuka wawasan cara berpikir penulis untuk lebih

fokus dan tajam dalam menganalisa permasalah dan penulisan, selalu

memberikan semangat yang tidak henti-hentinya untuk tekun dan

bekerja keras dalam penulisan ini.

2. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H., dalam kedudukan sebagai Ko-

Promotor I yang selalu memberikan arahan-arahan dan masukan-

masukan, selalu meluangkan waktu kapanpun kepada penulis,

mencarikan jalan keluar apabila penulis merasa kehabisan ide untuk

penulisan, dengan terus semangat memberikan dorongan yang tiada

henti dalam penulisan ini.

3. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H., dalam kedudukan sebagai Ko-

Promotor II, yang mulai membimbing penulis sejak penulis

menempuh pendidikan Strata I hingga Strata III, dengan cara beliau

yang khas dan murah senyum, tetapi tetap mengkritik penulis agar

selalu fokus dan tidak bertele-tele dalam menyajikan uraian

pembahasan dalam penulisan ini, menjadi pembimbing sekaligus

tempat panutan bagi penulis.

4. Prof. Dr. dr. I Ketut Swastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor

Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan

v

fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas

Udayana;

5. Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K)., selaku Direktur

Pascasarjana Universitas Udayana, begitu pula Prof. Dr. Made

Budiarsa, MA selaku Asisten Direktur I, dan Prof. Made Sudiana

Mahendra, Ph.D. selaku Asisten Direktur II yang telah memberikan

kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Udayana ;

6. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudi, S.H., M.S sebagai Ketua Program

Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana

yang telah memfasilitasi ujian tertutup ini, yang tetap meluangkan

waktu bagi penulis untuk dimintai persetujuan, di tengah

kesibukannya yang sangat padat.

7. Dr. I Gede Artha,SH.,MH dalam kedudukan sebagai Pembimbing

Akademik penulis dan juga sebagai Sekretaris Program Studi Doktor

Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, yang mengarahkan

penulis untuk menulis apa yang benar-benar penulis minati, dan

selalu menanyakan perkembangan penulisan disertasi ini;

8. Segenap staf Administrasi Program Doktor Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Bapak Ketut Dyatmika Yadnya

yang selalu “diganggu” dan “disibukkan” tanpa henti-henti oleh

penulis, yang dengan sabar dan tetap tersenyum menjelaskan

segalanya, memberi support dan bantuan yang tak terkira, Bapak I

Made Oka, Luh Mastri Diansari dan Ketut Sri Nadi yang telah

banyak membantu di dalam penyelesaian proses administrasi selama

penulis menempuh studi di Program Doktor Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Udayana;

9. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., L.L.M, sebagai penguji

tamu dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, penulis

sampaikan dengan penuh penghargaan dan rasa terima kasih yang

sangat mendalam telah memberikan kontribusi pemikiran yang

sangat berarti untuk mempertajam fokus penelitian dan penulisan

disertasi ini;

10. Prof. R.A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D, sebagai anggota penguji

dan dosen Mata Kuliah Penunjang Disertasi yang telah membuka

cara berpikir penulis untuk lebih logis, mempertajam permasalahan,

memberikan ide-ide pemikiran yang sangat membantu, memberikan

penjelasan yang sangat bermanfaat dalam penulisan disertasi ini;

vi

11. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH., dan Dr. Desak Putu Dewi Kasih,

S.H., M.Hum., serta Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H. selaku anggota

penguji, penulis sampaikan terima kasih yang sangat mendalam telah

memberikan masukan pemikiran terhadap penulisan disertasi ini.

12. Seluruh Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana

Universitas Udayana, yang telah memberikan ilmunya secara tulus,

sehingga penulis memperoleh wawasan ilmu yang lebih luas dan

mendalam;

13. Teman-teman mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana

Universitas Udayana Angkatan II Tahun 2013, teristimewa Dr. Ni

Nyoman Juwita Arsawati S.H., M.H., yang setiap saat, setiap waktu

selalu bersedia membantu penulis tanpa pamrih, selalu memberikan

motivasi, selalu mengingatkan penulis untuk tidak “terlena”,

menemani penulis dalam menyiapkan penulisan, semangatnya dan

ketekunannya merupakan motivasi dan panutan bagi penulis,

14. Ayahanda Jiwaji Nisar Husain, sebagai ayah penulis, sebagai teman

penulis, sebagai idola penulis, sebagai segala-galanya bagi penulis,

yang tanpa semangat, support, dan doanya, penulis tidak akan

mampu menyelesaikan penulisan ini. Harapan agar anaknya menjadi

Doktor membuat penulis menjadi terpacu, tanpa semua itu penulis

tidak akan mampu menyelesaikan penulisan ini, tiada kata yang

pantas terucap selain “terimakasih, terimakasih, terimakasih” ayahku

tercinta;

15. Ibunda Sakinah Abdul Tayyib, sebagai ibu penulis, sebagai “teman

berdebat”, yang selalu bertanya “kapan lulus”, “kapan selesai kuliah”

namun tetap selalu mendoakan penulis (walau dalam hati), doa-

doanya dan harapan-harapannya memberkati penulis dalam

menyelesaikan penulisan ini, terimakasih ibundaku tercinta;

16. Suamiku, Murtaja Ibrahim, dan anak-anakku, Nakia Nasiba, Lajuba

Aiman, dan Firkhan Murtaza, yang dengan sabar meminjamkan

laptopnya untuk dipakai, dengan sabar merelakan ibunya untuk

menyelesaikan penulisan ini walaupun mengganggu waktu bagi

keluarga,

17. Adik-adik penulis, Amir Hamzah, Malika Jiwaji, Nur Octaviana,

Nina, Daniesh, Akmar, yang telah memberikan dukungan dan

semangat, selalu menanyakan “kapan jadi Doktor”, selalu bangga

dengan kakaknya, terimakasih saudara-saudaraku tersayang;

18. Sahabat-sahabat terkasih, Anisa, Tasnim, Ninik, Mufadal, yang selalu

mendoakan penulis, menemani penulis, memberikan semangat

kepada penulis, dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat penulis

vii

sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa dan motivasinya

sehingga dapat diselesaikan penulisan disertasi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini, dapat memberikan

manfaat khususnya dalam pembuatan kontrak baku di Indonesia.

Denpasar, Oktober 2016

Penulis

Munnie Yasmin

viii

PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Munnie Yasmin

NIM : 1390971011

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. Sekar Tunjung XIV/9 Denpasar

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di

dalam naskah Disertasi yang saya tulis ini adalah asli belum pernah diajukan oleh

orang lain untuk mendapatkan gelar akademik (Doktor) di suatu Perguruan

Tinggi. Karya tulis ini adalah murni hasil gagasan dan penelitian saya sendiri,

tanpa bantuan pihak lain kecuali Tim Promotor, dan tidak terdapat hasil karya atau

pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis jelas

dicantumkan untuk dikutip dalam naskah ini, dengan disebutkan sumber kutipan

dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila ternyata di dalam

naskah Disertasi ini terdapat unsur-unsur plagiat, saya bersedia menerima sanksi

akademik yang telah diperoleh (Doktor) untuk dibatalkan, serta diproses sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 12 Undang-Undang

No.17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan

Tinggi).

Denpasar, Oktober 2016

Yang membuat pernyataan

Munnie Yasmin

ix

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM DISERTASI ................................................................... i

PERSYARATAN GELAR DOKTOR .......................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR/KO-PROMOTOR ..................... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI DISERTASI ....................... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... v

PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................ x

DAFTAR TABEL/BAGAN ........................................................................ xv

ABSTRAK ................................................................................................... v

ABSTRACT .................................................................................................. vi

RINGKASAN ............................................................................................. vii

SUMMARY .....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1. ...........................................................................................

Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

1.2. ...........................................................................................

Rumusan Masalah.................................................................. 24

1.3. ...........................................................................................

Tujuan Penelitian ................................................................... 24

1.3.1.................................................................................

Tujuan umum ........................................................... 24

1.3.2.................................................................................

Tujuan khusus ........................................................... 24

1.4. ...........................................................................................

Manfaat Penelitian ................................................................. 25

1.4.1................................................................................. Ma

nfaat teoritis ............................................................ 25

x

1.4.2................................................................................. Ma

nfaat praktis ............................................................ 25

1.5. ...........................................................................................

Orisinalitas Penelitian ............................................................ 25

1.6. ...........................................................................................

Kerangka Berpikir ................................................................. 35

1.7. ...........................................................................................

Metode Penelitian .................................................................. 38

1.7.1................................................................................. Jeni

s penelitian ............................................................. 39

1.7.2................................................................................. Pen

dekatan penelitian ................................................... 40

1.7.3................................................................................. Su

mber bahan hukum ................................................. 45

1.7.4................................................................................. Tek

nik pengumpulan bahan hukum .............................. 46

1.7.5................................................................................. Tek

nik analisis bahan hukum ........................................ 47

BAB II KAJIAN TEORITIK .................................................................. 49

2.1. Kajian Teoritik Kontrak Baku ............................................ 49

2.1.1. Tinjauan umum kontrak baku ................................. 50

2.1.1.1. Peristilahan dan pengertian kontrak ........... 50

2.1.1.2. Peristilahan dan pengertian kontrak baku .. 56

2.1.1.3. Ciri-ciri kontrak baku ................................ 62

2.1.2. Teori-teori terkait kontrak baku ............................. 67

2.1.2.1. Teori keadilan oleh Aristoteles ................. 67

2.1.2.2. Teori kehendak (will theory) oleh

Roscoe Pound .......................................... 78

2.1.2.3. Teori keseimbangan (the balance theory-

of contract) oleh Joel Levin dan

xi

Banks.Mc.Dowell .................................... 81

2.1.3. Doktrin Unconscionability) ................................... 83

2.1.4. Asas-asas hukum kontrak ...................................... 86

2.2. Kajian Teoritik Hak Asasi Manusia ................................. 107

2.2.1. Tinjauan umum hak asasi manusia....................... 108

2.2.1.1. Pengertian hak dan kewajiban ................. 108

2.2.1.2. Peristilahan dan pengertian

hak asasi manusia ................................... 111

2.2.1.3. Klasifikasi hak asasi manusia .................. 117

2.2.2. Teori-teori terkait hak asasi manusia .................... 117

2.2.2.1. Teori perlindungan hak asasi manusia

oleh John Locke ................................... 117

2.2.2.2. Teori perlindungan minimum

(the minimum content of natural law)

H.L.A.Hart .......................................... 122

2.2.2.3. Teori fungsi negara sebagai regulator

oleh W.Friedmann................................ 123

2.2.3. Doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam

hukum perdata ................................................. 125

2.2.4. Ajaran hak asasi manusia ................................... 126

BAB III LANDASAN FILOSOFIS PEMBUATAN KONTRAK BAKU

DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA ................ 131

3.1. Landasan Filosofis Kontrak Baku ................................... 131

3.1.1. Latar belakang pembuatan kontrak baku ............... 132

3.1.2. Kekuatan mengikat kontrak baku.......................... 135

3.2. Landasan Filosofis Hak Asasi Manusia ........................... 138

3.2.1. Perkembangan dan klasifikasi hak asasi manusia .. 139

3.2.2. Makna substantif perlindungan hak asasi manusia 153

3.3. Landasan Filosofis Kontrak Baku dalam Perspektif

Hak Asasi Manusia ......................................................... 161

xii

3.3.1. Hubungan hukum perdata atau privat dengan

hak asasi manusia ................................................. 162

3.3.2. Landasan filosofis pembuatan kontrak baku

dalam perspektif hak asasi manusia ...................... 171

BAB IV KLAUSULA KONTRAK BAKU DALAM PERSPEKTIF

HAK ASASI MANUSIA ....................................................... 193

4.1. Keseimbangan Kedudukan Para Pihak dalam

Kontrak Baku ................................................................ 193

4.1.1. Kriteria keseimbangan kedudukan para pihak

dalam kontrak baku ............................................ 194

4.1.2. Keseimbangan kedudukan para pihak dalam

kontrak baku perspektif hak asasi manusia.......... 204

4.2. Klausula Kontrak Baku dalam Perspektif

Hak Asasi Manusia ....................................................... 227

4.2.1. Kaitan asas-asas hukum kontrak dengan

ajaran hak asasi manusia ...................................... 227

4.2.2. Klausula kontrak baku yang mencerminkan

nilai-nilai hak asasi manusia ................................ 228

4.2.3. Klausula kontrak baku yang bertentangan dengan

hak asasi manusia ................................................ 234

4.2.3.1. Klausula eksemsi .................................... 234

4.2.3.2. Analisa klausula-klausula kontrak baku

dalam kontrak-kontrak komersial ............ 237

BAB V ASAS-ASAS HUKUM RUJUKAN PEMBUATAN

KONTRAK BAKU YANG BERSPEKTIF

HAK ASASI MANUSIA ....................................................... 276

5.1. Asas-asas Hukum dalam Pembuatan Kontrak Baku ....... 276

5.1.1. Asas-asas hukum yang mendasari lahirnya

kontrak baku........................................................ 280

5.1.1.1. Asas kebebasan berkontrak .................... 280

xiii

5.1.1.2. Asas konsensualitas ............................... 286

5.1.1.3. Asas kekuatan mengikat kontrak

sebagai undang-undang

(pacta sunt servanda) ............................ 290

5.1.2. Asas-asas hukum yang berkaitan dengan

substansi kontrak baku....................................... 293

5.1.2.1. Asas keseimbangan ............................... 293

5.1.2.2. Asas proporsionalitas ............................ 295

5.1.2.3. Asas itikad baik..................................... 299

5.1.2.4. Asas perlindungan ................................. 307

5.2. Asas-asas Hukum Rujukan Penilaian

Klausula Baku ............................................................. 313

5.2.1. Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula

baku di Indonesia.............................................. 313

5.2.1.1. Peraturan perundang-undangan ............ 314

5.2.1.2. Putusan-putusan pengadilan ................ 317

5.2.2. Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula

di beberapa negara ........................................... 332

5.2.2.1. Penilaian klausula baku di Australia .... 332

5.2.2.2. Penilaian klausula baku di Inggris ....... 335

5.2.2.3. Penilaian klausula baku di

Amerika Serikat .................................. 341

5.2.2.4. Penilaian klausula baku di Perancis ..... 344

5.2.2.5. Penilaian klausula baku di Jerman ....... 345

5.2.2.6. Penilaian klausula baku di Belanda ..... 348

5.3. Konsep Pengaturan Kontrak Baku Perspektif

Hak Asasi Manusia ................................................... 354

5.3.1. Model pengaturan kontrak baku ...................... 354

5.3.2. Implementasi teori keseimbangan dalam

pengaturan kontrak baku ................................. 357

5.4. Asas-asas Hukum Rujukan Pengaturan Kontrak Baku

xiv

Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia ............... 363

5.4.1. Kriteria asas-asas hukum rujukan

pengaturan kontrak baku perspektif

hak asasi manusia ........................................... 363

5.4.2. Asas-asas hukum rujukan pengaturan

kontrak baku berdasarkan Pancasila ................ 378

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan ..................................................................... 387

6.2. Rekomendasi .................................................................. 389

DAFTAR PUSTAKA

xv

DAFTAR TABEL DAN BAGAN

A. Daftar Tabel

Tabel 1. Orisinalitas Penelitian .................................................................... 26

Tabel 2. Kerangka Berpikir ......................................................................... 35

Tabel 3. Pengaturan dan Sumber Hak Asasi Manusia Terkait Kontrak

Baku di Indonesia ....................................................................... 212

Tabel 4. Perbandingan Penilaian Klausula Baku di Beberapa Negara ........ 352

B. Daftar Bagan

Bagan 1. Landasan Kontrak Yang Mengikat

Menurut Teori Keseimbangan .................................................... 361

Bagan 2. Komponen Keadilan atau Kelayakan dan Kesukarelaan

Dalam Kontrak .......................................................................... 362

Bagan 3. Skema Kontrak Baku Perspektif Hak Asasi Manusia .................. 376

Bagan 4. Asas-asas Rujukan Pembuatan Kontrak Baku

Perspektif Hak Asasi Manusia ................................................... 378

xvi

ABSTRAK

Nama : Munnie Yasmin

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Disertasi : Pembuatan Kontrak Baku

Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Kontrak merupakan salah satu perangkat hukum untuk memenuhi kebutuhan

hidup manusia. Salah satu bentuk kontrak adalah kontrak baku. Keabsahan

kontrak baku tidak lagi menjadi hal yang perlu diperdebatkan karena telah

menjadi kebutuhan bisnis dalam kaitannya dengan efisiensi dan efektifitas.

Kontrak baku berpotensi adanya penyalahgunaan kedudukan oleh pihak yang

mempunyai kedudukan lebih tinggi akibat pengusaan salah satu sumber daya

(ekonomi, teknologi, atau ilmu) terhadap pihak yang lemah. Hal ini menyebabkan

perlunya campur tangan negara dalam pembuatan aturan hukum untuk untuk

melindungi pihak yang lemah. Ketidakseimbangan kedudukan dalam kontrak

baku menimbulkan permasalahan hukum baik secara filosofis yakni terkait nilai-

nilai keadilan, secara yuridis karena belum ada aturan mengenai kontrak baku

yang ditujukan tidak hanya untuk konsumen dan secara sosiologis masih banyak

klausula-klausula dalam kontrak baku yang mencerminkan ketidaseimbangan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Apakah yang menjadi landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam

perspektif hak asasi manusia? Apakah kontrak baku dapat melindungi hak asasi

manusia? Apakah asas-asas hukum yang harus dirujuk dalam pembuatan kontrak

baku agar dapat melindungi hak-hak asasi manusia?

Penelitian merupakan penelitian hukum normatif, dengan mempergunakan

Teori keadilan, Teori Kehendak, Teori Keseimbangan Dalam Kontrak, Teori

Perlindungan Hak Asasi Manusia, Teori Perlindungan Minimum dan Teori Fungsi

Negara Sebagai Regulator. Hasil penelitian dapat dirumuskan, landasan filosofis

pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia adalah perlindungan

terhadap pihak yang lemah dalam pembuatan kontrak baku melalui campur tangan

negara dalam pembuatan aturan sehingga tercapai keseimbangan kedudukan

karena menurut peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional hal

itu merupakan kewajiban negara dalam hak asasi manusia (to respect, to protect,

to fulfill). Kontrak baku tidak dapat melindungi nilai-nilai hak asasi manusia

apabila di dalamnya terdapat klausula-klausula yang berat sebelah atau tidak adil,.

Asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan adalah asas-asas hukum terkait

dengan substansi kontrak yang berisikan nilai-nilai keadilan yakni asas

keseimbangan, asas proporsionalitas, asas itikad baik dan asas perlindungan.

Rekomendasi dari penelitian ini, agar badan legislatif membentuk undang-

undang terkait kontrak baku yang tidak hanya ditujukan kepada kontrak

konsumen saja, namun juga kepada kontrak-kontrak komersial lainnya.

Rekomendasi terhadap hakim, agar dalam menyelesaikan sengketa terkait kontrak

xvii

baku mengacu pada keadilan substantif dan membatalkan hanya klausula baku

yang dinilai tidak adil bukan kontrak secara keseluruhan.

Kata Kunci: kontrak baku, hak asasi manusia, perliindungan

ABSTRACT

Name : Munnie Yasmin

Study Program : Law Science

Title of Dissertation : Standard Contract Writing in

Human Right Perspective

Contract is one of the legal instruments to meet the needs of human life.

One of the forms of contract is the standard form of contract. The validity of

standard form of contract is no longer a debated issue as it has become a business

necessity in relation to efficiency and effectiveness. The standard form of contract

is potential to have abuse of position by the parties having higher position due to

their control to one of the resources (economic, technology, or science) against the

weaker parties. This leads to the need of interference by government in drawing

up rules of law to protect the weaker parties. The imbalance position in standard

contract has caused legal issues both philosophically, namely, related to the value

of justice, and legally since there are no rules regarding standard contract intended

not only to consumers and sociologically there are a lot of clauses in the standard

contract reflecting imbalance. Based on the background, the problems are

formulated as follows: What are the philosophical foundations in the drawing up

standard contract in human rights perspective? Can standard form of contract

protect human rights? What legal principles to be referred to in drawing up

standard form of contract to protect human rights?

This study is a normative legal research, applying the theory of justice,

theory of will, theory of balance in contract, theory of human rights protection,

theory of minimum protection and state functional theory as regulator. The results

of the study can be formulated that the philosophical basis of the drawing up

standard form of contract in human rights perspective is the protection of weaker

parties in drawing up standard form of contract through state intervention in rules-

making in order to reach balance of position since under national and international

legislations, it is the obligation of the state in human rights (to respect, to protect,

to fulfill). Standard form of contracts cannot protect the values of human rights if

there are bias or unfair clauses in it. The legal principles that can be used as a

reference is the principles of law relating to the substance of contract which

contains the values of justice, namely, the principle of balance, proportionality,

the principle of good faith and protection.

The recommendation of this study is that the legislative drawing law

related standard form of contract should not only be addressed to consumer

contracts, but also to other commercial contracts. The recommendation to judges

is that to resolve disputes related standard contract should refer to substantive

justice and cancel only the standard clause considered unfair not to the contract as

awhole.

xviii

Keywords: standard form of contract, human rights, protection

RINGKASAN

PEMBUATAN KONTRAK BAKU

DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Penelitan ini didasari oleh latar belakang filosofis yakni pembuatan kontrak

baku belum dapat memenuhi nilai-nilai keadilan, latar belakang yuridis karena di

Indonesia belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai kontrak baku tanpa

membatasi keberlakuannya hanya pada konsumen akhir, dan landasan sosiologis

akibat adanya klausula-klausula baku dalam kontrak baku yang berat sebelah

sehingga merugikan salah satu pihak.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab 3 (tiga) rumusan masalah antara

lain: 1) Apakah yang menjadi landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam

perspektif hak asasi manusia?; 2) Apakah kontrak baku dapat melindungi hak

asasi manusia?; 3) Asas-asas hukum apakah yang harus dirujuk dalam pembuatan

kontrak baku agar dapat melindungi hak asasi manusia?.

Penelitian dilakukan dengan mempergunakan jenis penelitian normatif,

dengan mempergunakan jenis pendekatan undang-undang, pendekatan konsep,

pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan. Sumber bahan hukum baik

bahan hukum primer, sekunder dan tesier diperoleh melalui metode kepustakan

dengan sistem kartu elektronik applikasi “evernote.” Bahan-bahan hukum yang

ada diolah dan dianalisa secara preskriptif, argumentatif, interpretatif dan evaluatif

sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang ada.

Rumusan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai

berikut:

I. Landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi

manusia

1. Landasan filosofis kontrak baku

(a) Landasan filosofis kontrak baku adalah kebutuhan untuk

memfasilitasi perdagangan dalam bentuk yang seefisien mungkin.

Faktor efisiensi dan efektifitas sebagai faktor utama tumbuhnya

kontrak baku. Keuntungan dari segi efisiensi biaya, waktu dan

tenaga karena telah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir

atau blanko yang telah siap untuk ditandatangani. Pengurangan biaya

karena formulir atau blanko kontrak telah dicetak secara massal,

tidak perlu mencetak satu demi satu naskah kontrak yang akan

meningkatkan biaya. Pengurangan biaya akan meningkatkan laba

perusahaan. Dari segi waktu, penggunaan kontrak baku

menyebabkan penyelesaian cepat karena pihak penerima kontrak

tinggal menandatangani saja. Dari segi tenaga, kontrak baku tidak

memerlukan banyak tenaga karena tidak perlu bertatap muka

merundingkan poin-poin yang akan disepakati, sehingga jumlah

xix

tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit. Kontrak baku juga dapat

meningkatkan efektifitas karena sifat homogenitas kontrak yang

dibuat dalam jumlah banyak, dapat digunakan untuk mengontrol

penjualan dan jenis-jenis barang atau jasa yang lebih diminati karena

konsumen dihadapkan pada kontrak yang sifatnya sama.. Kontrak

baku dibutuhkan dalam lapangan bisnis yang berorientasi profit atau

keuntungan.

(b) Kekuatan mengikat dari kontrak baku berasal dari asas kebebasan

berkontrak dan kesepakatan para pihak yang berasal dari kehendak

bebas.

2. Landasan filosofis hak asasi manusia

(a) Perkembangan dan klasifikasi hak asasi manusia. Perkembangan hak

asasi manusia berasal dari keberadaan hak asasi manusia yang

melekat dari diri manusia itu sendiri dan merupakan hak-hak yang

berasal dari anugerah Tuhan. Hak asasi manusia ada akibat kodrat

manusia sebagai manusia itu sendiri. Hak asasi manusia turun dari

hukum alam. Perkembangan pemikiran perlindungan hak asasi

manusia dimulai dari hukum alam, yang merupakan proses dari

kelahiran alam itu sendiri.Tahap-tahap perkembangan hak asasi

manusia dari hukum alam ke arah hukum positif mengalami tiga

tahapan yakni tahapan paling abstrak dan filosif, tahap konstitusional

dan tahap legislatif. Perkembangan perlindungan hak asasi manusia

terbagi dalam beberapa generasi. Generasi pertama menekankan

perlindungan hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua menekankan

pada bidang sosial, ekonomi dan budaya. Generasi ketiga

menekankan pada hak-hak untuk pembangunan (rights to

development). Konteks yang berkembang pada masa ini adalah

konteks hak asasi manusia bukan hanya dalam hubungan kekuasaan

yang bersifat vertikal (antara rakyat dengan pemerintahan dalam

suatu negara) tapi juga bersifat horizontal antara rakyat dengan

pemegang kekuasaan di bidang ekonomi, teknologi dan industri

pelaku usaha (konsumen dengan produsen). Penekanan utama pada

konteks horizontal adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-

kepentingan konsumen dijamin.

(b) Makna substantif perlindungan hak asasi manusia adalah kebebasan

dan hak atas privasi. Kebebasan merupakan kemampuan manusia

untuk menentukan pilihannya. Menghalangi kebebasan berarti

menentang derajat dan harkat martabat manusia itu sendiri.

Kebebasan seseorang mungkin saja akan berbenturan dengan

kebebasan orang lain sehingga perlu diatur. Sarana yang paling tepat

untuk mengatur adalah hukum.

3. Landasan filosofis kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia

(a) Nilai hak asasi manusia melengkapi hukum privat. Nilai-nilai hak

asasi manusia secara tidak langsung tampak dalam asas-asas hukum

kontrak yakni asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik (good

faith), asas perlindungan, asas keseimbangan. Hal ini sesuai dengan

xx

model keberlakuan tidak langsung hak asasi manusia dalam hukum

privat.

(b) Dasar kekuatan mengikat kontrak adalah berasal dari hukum alam,

sehingga hak untuk mengadakan kontrak adalah salah satu hak asasi

manusia di bidang ekonomi. Pembuatan kontrak baku merupakan

salah satu perwujudan dari hak asasi manusia di bidang ekonomi

(property rights) Kontrak pada umumnya merupakan perwujudan

kebebasan kehendak oleh kontraktan. Salah atu bentuk dari kontrak

adalah kontrak baku. Kontrak baku lahir dari kebebasan itu sendiri

yakni kebebasan berkontrak. Permasalahan kontrak baku adalah

pada aspek keseimbangan kedudukan. Pembuatan kontrak baku yang

mencerminkan ketidakseimbangan kedudukan mengakibatkan nilai-

nilai keadilan tidak terwujud, sehingga melibatkan campur tangan

negara terkait kewajiban negara untuk menjamin terlaksananya hak

asasi manusia dan fungsi negara sebagai regulator. Fungsi negara

sebagai regulator dilakukan dengan membuat aturan hukum terkait

kontrak baku. Aturan ini diharapkan dapat mengembalikan

keseimbangan kedudukan para pihak dan melindungi pihak yang

memiliki kedudukan lebih lemah dibandingkan pihak lainnya,

sehingga nilai-nilai hak asasi manusia dapat dilindungi.

II. Klausula kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia:

1. Keseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak baku.

(a) Kriteria keseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak baku

dapat dilihat berdasarkan perbuatan para pihak, isi dari kontrak dan

pelaksanaan kontrak. Keseimbangan terwujud apabila perbuatan para

pihak didasarkan pada kehendak bebas (tidak ada cacat kehendak

yang disebabkan oleh penyalahgunaan keadaan. Isi dari kontrak

mencerminkan keadilan, tidak terdapat klausula yang tidak adil dan

sangat memberatkan salah satu pihak, tidak bertentangan dengan

undang-undang, tidak menyebabkan kerugian, tidak menyimpangi

prosedur, prestasi tidak dilarang. Pelaksanaan kontrak dilandasi

itikad baik, baik itikad subjektif (kejujuran para pihak) maupun

itikad baik objektif (mengacu pada norma yang objektif).

(b) Keseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak baku perspektif

hak asasi manusia. Hal ini terkait dengan salah satu jenis kriteria

keseimbangan yakni isi kontrak maka kontrak baku dalam perspektif

hak asasi manusia dilihat dari substansinya. kontrak baku secara

tidak langsung merupakan satu jenis hukum yang berlaku di

kalangan pihak yang membuatnya, sehingga substansinya dikatakan

memiliki nilai muatan hak asasi manusia apabila mampu menjunjung

tinggi dengan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan non-diskriminasi.

Nilai-nilai kesetaraan dan non diskriminasi dijabarkan dalam

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang

Nomor 39 Tentang 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)

dengan pertimbangan apa yang telah diatur dalam konvensi-konvensi

xxi

internasional telah pula diatur dalam UUD 1945 dan UU HAM.

kesempatan dan manfaat yang sama, hak akan kepastian hukum.

2. Klausula kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia,

(a) Kaitan antara asas-asas hukum kontrak dengan nilai-nilai hak asasi

manusia merupakan jenis model keberlakuan tidak langsung. Nilai-

nilai hak asasi manusia yaitu kebebasan, persamaan atau kesetaraan

dan non-diskriminasi tidak dapat digunakan secara langsung dalam

menangani perkara-perkara perdata khususnya terkait kontrak baku,

namun nilai-nilai itu diserap (absorption) dan dipakai sebagai asas-

asas atau doktrin-doktrin yang ada dalam hukum kontrak. Asas-asas

hukum kontrak yang mencerminkan nilai-nilai hak asasi manusia

tersebut dalam penulisan ini ada 7 (tujuh) yakni asas kebebasan

berkontrak, asas kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang

(pacta sunt servanda), asas konsensualitas, asas keseimbangan, asas

proporsionalitas, asas itikad baik dan asas perlindungan.

(b) Klausula-klausula kontrak baku yang mencerminkan nilai-nilai hak

asasi manusia yakni klausula-klausula yang menjamin nilai-nilai

kebebasan, persamaan dan non-diskriminasi. Klausula-klausula baku

yang memberikan hak kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa

tekanan (asas kebebasan berkontrak), menghargai harkat martabat

dan nilai-nilai kemanusiaan (asas keseimbangan, asas

proporsionalitas, asas itikad baik dan asas perlindungan), tidak

membedakan perlakuan antara para pihak dalam pemenuhan

hubungan kontraktual (asas keseimbangan, asas proporsionalitas,

asas itikad baik dan asas perlindungan),

(c) Klausula-klausula kontrak baku yang bertentangan dengan hak asasi

manusia adalah klausula eksemsi, klausula-klausula yang

memberikan kewajiban berlebihan kepada salah satu pihak,

memberikan ketidakpastian dan menghilangkan atau membatasi hak

upaya hukum salah satu pihak sehingga mengakibatkan keuntungan

yang tidak wajar pada salah satu pihak. Berdasarkan penelitian dapat

dikatakan bahwa kontrak baku belum dapat melindungi hak asasi

manusia.

III. Asas-asas hukum rujukan pembuatan kontrak baku yang berspektif hak

asasi manusia

1. Asas-asas hukum dalam pembuatan kontrak baku dibagi dua yakni asas-

asas hukum yang mendasari lahirnya kontrak baku dan asas-asas hukum

terkait substansi kontrak baku. Asas-asas hukum yang mendasari lahirnya

kontrak baku adalah asas kebebasan berkontrak, asas konsensualitas, asas

kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang (pacta sunt

servanda), sedangkan asas-asas hukum terkait substansi kontrak baku

adalah asas keseimbangan, asas proporsionalitas, asas itikad baik dan

asas perlindungan.

2. Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula baku

xxii

(a) Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula baku di Indonesia,

dilihat berdasarkan peraturan perundang-undangan dan putusan

pengadilan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

dan peraturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 01/POJK.07/2013

Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Surat

Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014

Tentang Perjanjian Baku. Asas hukum yang dianut dalam UUPK

ada 5 (lima) yakni asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan,

asas keamanan dan keselamatan konsumen dan asas kepastian

hukum. Asas-asas hukum yang menjiwai Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor: 01/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan adalah selain asas-asas terkait

perlindungan konsumen di bidang jasa keuangan yakni asas

perlakuan yang adil, asas keandalahan, asas kerahasiaan dan

keamanan data informasi konsumen, asas penanganan pengaduan

serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan

biaya rendah juga diakuinya asas hukum yang memberikan

perlindungan kepada pelaku jasa keuangan yakni asas itikad baik

yang ditujukan kepada konsumen. Asas-asas hukum terkait

pembuatan kontrak baku yang diatur berdasarkan Surat Edaran

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang

Perjanjian Baku ini adalah asas keseimbangan, keadilan dan

kewajaran dalam pembuatan kontrak baku. Berdasarkan hal

tersebut tampak bahwa UUPK dan OJK asas-asas hukum yang

dirujuk lebih banyak berpedoman pada substansi kontrak baku

untuk mewujudkan keadilan.

Asas-asas hukum rujukan yang dilihat berdasarkan putusan

pengadilan maka kesepakatan dipandang sebagai faktor penentu

keberlakuan klausula baku. Kesepakatan dilihat dari adanya tanda

tangan pada kontrak baku (kesepakatan secara formil), sehigga

kontrak menjadi sah sesuai Pasal 1320 KUHPer dan mengikat

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya Pasal 1338

kalimat pertama KUHPer Konsekuensinya adalah para pihak

dianggap telah tunduk dengan adanya kontrak tersebut. Kurangnya

kesempatan atau pemahaman dari pihak yang menerima kontrak

baku tidak menjadikan alasan pembatalan dari kontrak tersebut.

Secara tidak langsung hakim-hakim di Indonesia lebih

mengedepankan keadilan yang bersifat prosedural dengan

penekanan pada keberlakuan asas-asas hukum kontrak yang

mendasari lahirnya kontrak baku yakni asas kebebasan berkontrak,

asas konsensualitas dan asas kekuatan mengikat kontrak (pacta

sunt servanda). Sepanjang kontrak baku telah dibuat berdasarkan

prosedur formal yang diatur oleh undang-undang maka kontrak itu

xxiii

sah dan mengikat. Hal ini tidak menyampingkan bahwa terdapat

pula putusan pengadilan berkaitan dengan kontrak baku yang

mempertimbangkan asas itikad baik.

(b) Asas-asas hukum rujukan penilaian klausula baku di beberapa

negara yakni Australia, Inggris, Perancis dan Jerman menekankan

pada asas keseimbangan dan itikad baik, Belanda pada asas itikad

baik sedangkan di Amerika pada doktrin ketidakadilan dan

pelaksanaannya diserahkan pada hakim. Jika diperhatikan tampak

dari beberapa negara yang dipilih asas itikad baik dan asas

keseimbangan mendominasi penilaian klausula baku. Asas itikad

baik dan keseimbangan ini merupakan asas-asas yang terkait dengan

substansi kontrak baku dan terkandung nilai-nilai keadilan di

dalamnya. Asas-asas ini juga merupakan pencerminan dari nilai-nilai

hak asasi manusia.

3. Konsep pengaturan kontrak baku perspektif hak asasi manusia

(a) Terdapat 4 (empat) model pengaturan kontrak baku yakni 1) model

tanpa permasalahan tertentu (the no particular problem model); 2)

model kontrak baku (the standard-form contract model); 3) model

perlindungan konsumen (the consumer protection model); 4) model

pengaturan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan pada umumnya (the

general fairness model). Model tanpa permasalahan tertentu yakni

model pengaturan kontrak baku yang berdasarkan pada aturan-

atauran dan asas-asas yang melandasi kontrak pada umumnya

dengan tidak menutup kemungkinan penambahan beberapa aturan

yang menyesuaikan terhadap kontrak tersebut. Model kedua yakni

model kontrak baku adalah model yang merupakan penyempurnaan

dari prinsip-prinsip yang melandasi kontrak pada umumnya. Model

ketiga yakni model pengaturan berdasarkan perlindungan konsumen

adalah model yang menekankan pada perlindungan konsumen.

Model keempat yakni model yang menjangkau lebih luas hubungan

konsumen dan hubungan bisnis.

(b) Implementasi teori keseimbangan dalam pengaturan kontrak baku

adalah dengan menerapkan asas atau komponen keadilan sebagai

“check and balance.” Artinya apabila unsur komponen

kesukarelaannya berkurang maka unsur komponen keadilan akan

meningkat sehingga tercapai keseimbangan.

4. Asas-asas rujukan pengaturan kontrak baku perspektif hak asasi manusia

di Indonesia.

(a) Memperhatikan keempat model pengaturan tersebut di atas, maka

negara dalam fungsinya sebagai regulator dapat mengeluarkan aturan

dalam bentunk undang-undang yang mengatur mengenai pedoman

pembuatan kontrak baku sehingga menghasilkan pembuatan kontrak

baku yang adil. Undang-undang ini dibuat dengan menggabungkan

antara model kedua dengan keempat yakni membentuk aturan

mengenai kontrak baku dengan menerapkan asas-asas atau prinsip-

prinsip umum yang berkaitan dengan keadilan. Dalam kaitan

xxiv

pengaturan kontrak baku, fungsi negara yang lebih ditekankan

adalah fungsi negara sebagai regulator yang mencangkup berbagai

cara di mana negara melakukan intervensi melalui penggunaan

hukum langkah-lagkah kontrol di bidang legislatif. Undang-undang

ini akan mencangkup asas-asas yang merupakan pencerminan dari

nilai keadilan yakni asas keseimbangan, asas proporsioalitas, asas

itikad baik dan asas perlindungan. Dengan berpedoman pada asas-

asas hukum ini maka dalam pembuatan kontrak baku, klausula-

klausulanya tidak membuat salah satu pihak menjadi lebih baik

dengan menempatkan pihak lainnya menjadi lebih lemah.

(b) Asas-asas hukum rujukan dapat dijadikan ukuran atau pedoman

pembuatan aturan terkait kontrak baku yang berdasarkan Pancasila

sehingga dapat dilaksanakan sebagai suatu kesatuan dengan sila-sila

lainnya, yang artinya keadilan yang hendak dicapai dalam

pembuatan kontrak baku memperhatikan sifat keagamaan,

kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan. dalam pembuatan kontrak

baku. Kemanusiaan ditandai dengan kejujuran (asas itikad baik

subyektif), kepatutan (asas itikad baik objektif), dan melindungi

pihak yang lemah (asas perlindungan).

Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, maka diperoleh kesimpulan terhadap

rumusan masalah bahwa:

I. Kontrak baku lahir dari kebutuhan akan efisiensi dan efektifitas, dan

didasari dari kebebasan berkontrak dan kehendak bebas. Permasalahan yang

timbul adalah adanya ketidakseimbangan kedudukan sehingga nilai-nilai

keadilan tidak terwujud. Hal ini menyebabkan campur tangan negara dalam

fungsi negara sebagai regulator dan terkait kewajiban “to fulfil” dalam

menajmin hak asasi manusia. Campur tangan negara dalam hal pembuatan

undang-undang pedoman pembuatan kontrak baku.

II. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka Dalam pembuatan kontrak

baku, salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah, memiliki sedikit

kesempatan untuk dapat melakukan perubahan-perubahan dalam klausula

yang dibuat oleh pihak pembuat kontrak baku, sehingga pada umumnya

dalam klausula kontrak baku berpihak berat sebelah sehingga kedudukannya

menjadi tidak seimbang. klausula-klausula baku eksemsi, atau yang bersifat

mengurangi, menghilangkan, membatasi kewajiban salah satu pihak

sehingga menimbulkan keuntungan yang tidak wajar pada pihak lainnya

menyebabkan kontrak baku belum dapat melindungi hak asasi manusia.

III. Asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan undang-

undang terkait kontrak baku dengan melihat pemakaian di beberapa negara

seperti Australia, Inggris, Perancis dan Jerman menekankan pada asas

keseimbangan dan itikad baik, Belanda pada asas itikad baik sedangkan di

Amerika pada doktrin unconscionability dan pelaksanaannya diserahkan

pada hakim adalah asas-asas hukum yang bersifat substansi keadilan. Asas-

asas hukum tersebut, yakni itikad baik, keseimbangan, proporsionalitas,

perlindungan merupakan asas-asas hukum yang dijadikan acuan dalam

pembuatan undang-undang kontrak baku di Indonesia.

xxv

Rekomendasi yang dapat diajukan oleh penulis dalam disertasi ini adalah

sebagai berikut:

I. Negara perlu membuat undang-undang mengenai pedoman pembuatan

kontrak baku agar dapat mengembalikan keseimbangan kedudukan para

pihak dalam pembuatan kontrak baku.

II. Hakim dalam menangani perkara-perkara terkait kontrak baku, agar dapat

melihat keseluruhan proses pembuatan kontrak baku, dan membatalkan

klausula baku yang bertentangan dengan asas itikad baik, keseimbangan,

proporsionalitas dan perlindungan dengan tetap memperlakukan kontrak

tanpa adanya klausula baku yang dibatalkan;

III. Agar dalam pembuatan undang-undang terkait pedoman pembuatan kontrak

baku dengan menerapkan gabungan antara model khusus kontrak baku dan

prinsip-prinsip keadilan dalam hal ini adalah asas itikad baik, perlindungan,

asas keseimbangan dan asas perlindungan. Undang-undang yang akan

dibentuk ini tidak terbatas pada konsepsi “konsumen kecil” atau “pengusaha

kecil” tetapi dengan menerapkan konsep “vulnerability” atau perlindungan

bagi pihak yang lemah dan tidak dibatasi hanya pada konsumen akhir saja,

sehingga bisa pada segala transaksi komersial.

xxvi

SUMMARY

THE MAKING OF STANDARD CONTRACT

IN HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE

This legal research is based on the philosophical foundation that is making of

standard contract has not meet the values of justice, juridical background because

in Indonesia there is no special rules governing the standard contract without

limiting enforceability only on the end consumer, and the sociological base as

result of the clauses standard in standard form of contract to the detriment of

either party.

This legal research was carried out in order to address three (3) legal issues

in this dissertation, i.e.: 1) What are the philosophical foundations in the drawing

up standard contract in human rights perspective?; 2) Can standard form of

contract protect human rights?; 3) What legal principles to be referred to in

drawing up standard form of contract to protect human rights?

This legal research is normative legal research,that employs statutory,

conceptual, case and comparative approach. The legal materials used in this

research are primary, secondary and tertiary legal materials. These legal materials

obtained through literature method with application electronic card system

"Evernote." The existing legal materials are processed and analyzed by

prescriptive, argumentative, interpretive and evaluative technique.

The legal research results and obtained from this study can be described as

follows:

IV. Philosophical foundation in the drawing up standard contract in human

rights perspective

4. The philosophical foundation of standard contract

(c) Philosophical foundation of standard form of contract is the need to

facilitate trade in the form as efficiently as possible. Factors of

efficiency and effectiveness as a major factor of the growth of

standard contract. The advantages are in efficiency terms of cost,

time and energy, because the availability of hard copy document

namely form or blank that is ready to be signed. Cost reduction due

to the form or blank contract has been printed massively, do not have

to print out one by one of contract document that will increase costs.

Cost reduction will increase the profits of corporate. In terms of

time, the use of standard contracts led to a quick resolution because

the contract recipient just needs to sign only. In terms of energy,

standard contract does not require a lot of energy because of not

having to meet face to face to negotiate the points to be agreed upon,

so that the amount of energy needed is less. Standard contract can

also improve the effectiveness because of the nature of contract

homogeneity made in large quantities, can be used to control the sale

and the types of goods or services that are more desirable because

consumers are faced with a contract having the same characteristic.

xxvii

Standard contract is required in the busines field that oriented at

profit motive.

(d) The binding power of the standard contract comes from the freedom

of contract and the agreement of the parties that have a free

intention.

5. Philosophical foundation of human rights

(c) The development and classification of human rights. Development of

human rights derived from the existence of human rights inherent in

human beings themselves and the rights that come from God's grace.

Human rights exist due to human nature as human itself. Human

rights derived from the natural law. The development of human

rights protection begun from the natural law, which is the process of

the birth of nature itself. The development stages of human rights

from natural law to positive law undergo three phases namely the

most abstract and Philosophical stages, constitutional stage and

legislative stage. The development of human rights protection is

divided into several generations. The first generation emphasizes the

protection of civil rights and politics. The second generation

emphasizes on social, economic and cultural. The third generation

emphasizes on the right to development (rights to development). The

context developed in this period is the context of human rights not

only in the power relation vertically (between the society and

government in a country) but also horizontally between the society

and authorities in the fields of economy, technology and industry

businesses (consumer to producer). The main emphasis on horizontal

context is how the rights or interests of consumers is guaranteed.

(d) The substantive meaning of human rights protection is the freedom

and right to privacy. Freedom is the ability of humans to make their

choice. Obstructing freedom means opposing human dignity itself.

The freedom of a person may be in conflict with the freedom of

others so that need to be regulated. The most appropriate means to

regulate is the law.

6. The philosophical foundation of standard contract in human rights

perspective

(c) The values of human rights complement private law. The values of

human rights are not immediately apparent in the principles of

contract law namely the principle of freedom of contract, the

principle of good faith (good faith), the principle of the protection,

the principle of balance. This is consistent with the model of indirect

enforceability of human rights in private law.

(d) The foundation of the contract binding strength is derived from

natural law, so that the right to held into contracts is one of the

human rights in the economic field. The making of standard contract

is the manifestation of human rights in the economic fields (property

rights). Contracts are generally a manifestation of free intention by

the contractor. One type of contract is standard contract. The

xxviii

problems of standard contract is the imbalance position. The

imbalance position in standard contract has caused legal issues both

philosophically, namely, related to the value of justice, and legally

since there are no rules regarding standard contract intended not only

to consumers and sociologically there are a lot of clauses in the

standard contract reflecting imbalance. the philosophical basis of the

drawing up standard form of contract in human rights perspective is

the protection of weaker parties in drawing up standard form of

contract through state intervention in rules-making in order to reach

balance of position since under national and international

legislations, it is the obligation of the state in human rights (to

respect, to protect, to fulfill).

V. Standard contract clauses in the human rights perspective:

3. The balance position of the parties in standard contract.

(c) The criteria for the balance position of the parties in standard

contract can be seen by the actions of the parties, the contents and

the execution of the contract. The balance will be achieved if the

actions of the parties are based on the free will (no defects will

caused by the abuse of situation. The contents of the contract reflect

the justice, there are no clauses unfairly burdensome for one of the

parties, not in contrary with the law, not causing harm, does not

deviate from procedures, achievement is not prohibited.

Implementation of the contract is based on good faith, both

subjectively (honesty of the parties) and objectively (refer to

objective norms).

(d) The balance position of the parties in standard contract in human

rights perspective. It is associated with one type of balance criteria

that is the content of contract. The standard contract in human rights

perspective viewed from the substance of the contract. Standard

contract indirectly is one of the types of laws that prevail among the

parties who made it, so that the substance is said to have the value of

the content of human rights if it is able to uphold the values of

freedom, equality and non-discrimination. The values of equality and

non-discrimination are set out in the State Constitution of 1945

(UUDNRI 1945) and Human Rights Act No. 39 of 1999 (Human

Rights Act) with the consideration of what has been stipulated in the

international conventions has also stipulated in UUDNRI 1945 and

Human Rights Act.

4. The standard contract clauses in human rights perspective

(d) The relevancy between the principles of contract law with the values

of human rights is a indirectly applicable model. The values of

human rights, namely freedom, similarity or equality and non-

discrimination can not be used directly for handling the case-related

civil cases, especially standard contract, but the values are absorbed

(absorption) and are used as principles or doctrines in contract law.

The principles of contract law that reflect the values of human rights

xxix

in this disertatiion are seven (7) principles that is: freedom of

contract, the binding force of the contract (pacta sunt servanda),

consensuality, balance, proportionality, good faith and protection of

the weak party.

(e) The standard contract clauses which reflect the values of human

rights namely clauses that guarantee freedom, equality and non-

discrimination. Standard clauses which give the right of freedom to

express opinions without pressure (freedom of contract princple),

respect the dignity prestige and human values (the principle of

balance, proportionality, good faith and protection), indiscriminate

treatment between the parties in the fulfillment contractual relations

(principles of balance, proportionality, good faith and protection),

(f) The standard contract clauses contrary to human rights is standard

contract clause which provide obligations excessively to one side,

give uncertainty and eliminate or limit the right of law effort on one

of the parties resulting unfair advantage in any one party (an

exemption clause). Based on the research it can be said that the

standard contract clauses has not been able to protect human rights.

VI. Legal principles that can be used as reference of making standard contract

that have perspektive of human rights

5. The legal principles in making of standard contract are divided into two,

namely the legal principles underlie the emerge of standard contract and

legal principles related to the substance of standard contract. Legal

principles underlie the emerge of a standard contract are freedom of

contract principle, principle of consensuality, the binding force of the

contract principle (pacta sunt servanda), whereas the legal principles

related to the substance of the standard contract are the principle of

balance, proportionality, good faith and protection.

6. The reference of legal principles

(c) The reference of legal principles viewed by legislation and court

decision.

Based on the Consumer Protection Act No. 8 of 1999 (UUPK) and

the regulations issued by the Financial Services Authority (OJK)

namely Financial Services Authority Regulation No.

01/POJK.07/2013 on Consumer Protection of Finance Service

Sector and financial Services Authority Circular No.

13/SEOJK.07/2014 on standard Treaty. The legal principles

adopted in UUPK are five (5) principles, which are the principle of

benefit, principle of justice, principle of balance, principle of

security and safety of consumers and principle of legal certainty.

The legal principles according from Financial Services Authority

Regulation No.01/POJK.07/2013 on Consumer Protection of

Financial Services Sector is in addition to the principles related to

consumer protection in financial services namely the principle of

equal treatment, the principle of mainstay, confidentiality and

security of consumer information data, the principle of handling

xxx

complaints and consumer dispute resolution in a simple, fast and

low cost is also recognition of the principle of law that provides

protection to the implementer of financial services namely the

principle of good faith aimed at consumers. Legal principles related

to the making of standard contract regulated by the Financial

Services Authority Circular No. 13/SEOJK.07/2014 about standard

Treaty is the principle of balance, justice and reasonableness in

making standard contract. Based on this, it appears that legal

principles according to UUPK and OJK, are more based on the

substance of standard contract to achieve justice.

The legal principles which are seen based on the court decision, the

agreement is seen as a validity decisive factor of the standard

clause. Agreement is seen from the existence of signature on the

standard contract (agreement formally), so contract to be legal in

accordance with Article 1320 KUHPer and binding as law for them

who make it, Article 1338 of first sentence of KUHPer the

consequence of the parties are considered to have been subject to

the existence of the contract. The lack of opportunity or

understanding from the party who receives the standard contract

does not make reason for cancellation of the contract. Indirectly,

the judges in Indonesia more set out procedural justice with an

emphasis on the enforceability of contract law principles

underlying the emerge of the standard contract principle namely

freedom of contract, consensuality principle and the principle of the

binding force of contract (pacta sunt servanda). Throughout the

standard contract has been made based on formal procedure

stipulated by law, the contract is legal and binding. This does not

put beside that there is also a court decision related to a standard

contract which considers the principles of good faith.

(d) The legal principles based on the regulation in several countries

namely Australia, England, France and Germany are insists on the

principle of balance and good faith, the Netherlands on the principle

of good faith, while in America the doctrine of unconscionabilty and

its implementation is referred to the judge. If the taken note from

several countries which have the principles of good faith and the

principle of balance is visible to dominate assessment of standard

clause. The principles of good faith and balance are the principles

relating to the substance of standard contract and contained the

values of justice therein. These principles are also a reflection of the

values of human rights.

7. The regulatory concept of standard contract of human right perspective

(c) There are four (4) regulatory models of standard contract namely 1)

the model without particular problem (the no particular problem

model); 2) The standard contract model (the standard-form contract

model); 3) the consumer protection model (the consumer protection

model); 4) regulatory model based on the principles of justice in

xxxi

general (the general fairness model). Model without particular

problem namely the regulatory model of standard contract based on

rules and principles that underlie the contract in general by not

closing the possibility of adding some rules that adjust to the

contract. The second model is the standard contract model which is a

model that is action of perfecting of principles underlying the

contract in general. The third model is the regulatory model based on

consumer protection which is a model that emphasizes consumer

protection. And the fourth model is a model that reaches broader of

customer relationship and business relationship.

(d) Implementation of equilibrium theory in the standard contract

regulatory is to apply the principle or justice component as a "check

and balance." This means that if element of volunteerism component

is reduced, the element of justice component will be increased so as

to achieve a balance.

8. The legal principles of standard contract regulatory reference of human

right perspective in Indonesia.

(c) Based of the four regulatory models mentioned above, the state in its

function as a regulator can publish rule in legislation form governing

about guidelines the making of standard contract so produce the

making of a fair standard contract. This regulation will be created by

combining the second model with the fourth model, that is shaping

the rule on standard contract only by applying the principles or the

general principles relating to justice. In regard to standard contract

regulatory, the state function more emphasized is the function of

state as a regulator that covers the various ways in which the state

does intervene through the law use of control steps in the legislative

field. This law will cover the principles which is a reflection of the

justice values i.e. principle of balance, principle of proporsionality,

principle of good faith and principle of protection..

(d) The legal principles be used as standard or guidelines for the creation

of regulation related to the standard contract based on Pancasila so

that it can be implemented as a unity with other basic principles,

which means that the justice to be achieved in the standard contract

making harmonious to the characteristic of religion, humanity, unity

and populist.

Based on the results of the research, the answers of the issues could be

concluded:

I. Standard contract is emerge from the need for efficiency and effectiveness,

and is based on freedom of contract and free will. The problem that arises

is the imbalance position so that the values of justice are not materialized.

This leads to state interference in the state function as regulator and the

State obligation "to fulfil" in assure of human right.

II. Based on the research, in the process of making the standard contract, one

of the parties is in a weak position, has little chance to be able to make

changes in the clauses made by the other party. The position becomes

xxxii

unbalanced. The exemption standard clauses, or which have character of

reducing, eliminating, limiting the obligation one of the party, giving rise

to unfair advantage on the other party so that standard contract have not

been able to protect the human rights.

III. The legal principles can be used as a reference in legislation related to

standard contract by looking at regulation in several countries such as

Australia, Britain, France and Germany insists on the principle of balance

and good faith, the Netherlands on the principle of good faith, while in

America the doctrine of unconscionability and implementation referred

to the judge is the principles of law that are the substance of justice.

Legal principles, namely good faith, balance, proportionality, the

protection are the principles of law which are used as a reference in the

making of standard contract in Indonesia

Recommendations which can be submitted by the author in this dissertation

are as follows:

I. The State should make the regulation about guidelines of the making of

standard contract in order to balancing the position of the parties.

II. The judge for handling the cases related to standard contract, should see

the whole process of making standard contract, and cancel the standard

clause which is contrary to the principle of good faith, balance,

proportionality and protection without cancelling the whole contract.

III. The regulation of standard contract should be harmonious with the

Pancasila.

xxxiii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kontrak baku telah menjadi kebutuhan yang tak dapat dihindari lagi.1

Semua bidang bisnis dicangkup oleh kontrak baku, mulai dari browsing internet

sampai pada sewa rumah. Dalam sehari, seseorang bahkan bisa berhubungan

dengan kontrak baku beberapa kali, misalnya tiket parkir, struk belanja dari kasir,

kuitansi pengiriman barang, pembelian bensin untuk kendaraan, pembelian pulsa

untuk telepon genggam dan lain sebagainya2.

Pengertian kontrak baku diartikan secara ringkas menurut Black‟s Law

Dictionary yang mempergunakan istilah untuk kontrak baku dengan istilah

“standard-form contract” sebagai “Preprinted contract containing set clauses,

used repeatedly by a business or within a particular industry with only slight

additions or modifications to meet the specific situation (Terjemahan bebas:

Kontrak yang telah dicetak sebelumnya yang berisikan sekumpulan klausula-

klausula atau syarat-syarat, dipergunakan berulang kali dalam suatu kegiatan

usaha atau dalam industri tertentu dengan sedikit penambahan atau perubahan

yang disesuaikan dengan situasi tertentu).3 Pengertian kontrak baku tersebut

1Istilah yang dipergunakan dalam kontrak baku beragam. Di dalam penulisan ini

mempergunakan istilah kontrak baku dengan alasan istilah “baku” telah dipergunakan dalam Pasal

1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

yang menentukan bahwa “Setiap aturan baku (huruf tebal dari penulis) atau ketentuan dan syarat-

syarat yang telah dipersiapkan…”, penjelasan mengenai istilah kontrak baku diuraikan lebih detail pada Bab II disertasi ini.

2James Gibson menyatakan bahwa “That when it comes to boilerplate contracts, market

competition may not work as well as theory would have us believe.”(Terjemahan: Jika dihadapkan

pada kontrak baku, persaingan usaha tidak sejalan sebagaimana teori-teori yang diyakini). James

Gibson, 2013, Vertical Boilerplate, Washington and Lee Law Review Volume 70 Issue 1, sumber

http://scholarlycommons.law.wlu.edu/wlulr/vol70/iss1/4, h.163, diakses pada tanggal 1 Mei 2016.

3Bryan A.Garner, 1999, Black‟s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group Publishing,

America, h.325.

xxxiv

menekankan pada penggunaan yang berulang kali dalam suatu kegiatan usaha dan

penyusunan secara sepihak.

Kontrak baku kelahirannya tidak lepas dari pengaruh keberhasilan

proses produksi dan distribusi massal sebagaimana diuraikan oleh Friedrich

Kessler, bahwa:4

The development of large scale enterprise with its mass production and

mass distribution made a new type of contract inevitable-the standardized mass

contract. A standardized contract, once its contents have been formulated by a

business firm, is used in every bargain dealing with the same product or

service. The individually of the parties which so frequently gave color to the

old type contract has disappeared. The stereotyped contract of today reflects

the impersonality of the market.

(Terjemahan: Perkembangan perusahaan-perusahaan berskala besar

dengan jumlah produksi dan distribusi massal menimbulkan bentuk baru dari

kontrak yakni kontrak yang distandarkan dalam jumlah besar (massal), isinya

ditentukan oleh perusahaan-perusahaan bisnis, digunakan dalam setiap

penawaran terkait dengan barang atau jasa yang sama. Sifat individual para

pihak yang sering memberikan warna bagi kontrak model kuno telah hilang.

Kontrak jenis stereotip masa kini mencerminkan sifat umum pasar).”

Kontrak baku merupakan dampak dari perkembangan ekonomi, yang

menandai hubungan antara konsumen dengan produsen.

Dalam kegiatan bisnis barang dan jasa, kontrak baku telah lama menjadi

suatu kebiasaan, yang semakin lama semakin dibutuhkan dan memberikan

kontribusi terhadap kontrak yang ada. W.D Slawson bahkan telah memberikan

uraian mengenai penggunaan kontrak baku pada tahun 1971 yang menyatakan

bahwa:5

Standard form contracts probably account for more than ninety-nine

percent of all the contracts now made. Most persons have difficulty

4Friedrich Kessler, “Contracts of Adhesion-Some Thoughts About Freedom of Contract”,

Article, Yale Law School, sumber http://www.digitalcommons.law.yale.edu/fss_papers, diakses

pada tanggal 5 Juli 2016.

5W.D.Slawson, 1971, Standard Form Contract and Democratic Control of Lawmaking

Power, Harvard Law Review, h.529.

xxxv

remembering he last time they contracted othem thay bay standard form:

except for causal oral agreements, they probably never have.

(Terjemahan: kontrak standar mungkin memberikan sumbangan dari

sembilan puluh sembilan persen (99%) kontrak yang ada. Kebanyakan orang

mengalami kesulitan mengingat kapan mereka berkontrak selain melalui

kontrak baku, kecuali untuk perjanjian lisan, yang kemungkinan tidak pernah

mereka lakukan)

Faktor efisiensi dan efektifitas menjadi penekanan utama lahirnya

kontrak baku. Steven R.Salbu menyatakan bahwa:

Standardized language and culture can generate transaction efficiencies

by facilitating the trading of contractual rights. The transaction cost savings

that result from standardization of terms are akin to the economies of scale

that are realized in manufacturing when an investment in fixed assets is spread

across a large number of outputs. Like customized production processes,

individually tailored contracting incurs high variable costs that must be

renewed with each unit or producition, These variables costs are comprised of

the time and resources that must be invested in developing new contract terms

for otherwise familiar transactions, and analyzing these customized terms

whenever a contract is consulted.

(Terjemahan: bahasa dan kebudayaan yang distandarisasi dapat

menimbulkan efisiensi dengan memfasilitasi hak-hak perdaganganan dalam

kontrak. Transaksi jenis ini dapat menghemat akibat syarat-syarat yang

distandarisasi, mirip dengan skala ekonomi yang diwujudkan dalam

manufaktur ketika investasi dalam aktiva tetap tersebar dalam jumlah besar

output-output. Seperti proses produksi yang disesuaikan, pembuatan kontrak

secara individual menyebabkan biaya variabel yang tinggi yang harus

diperbaharui setiap unit produksi. Biaya variabel jenis ini terdiri dari waktu

dan sumber daya yang harus diinvestasikan dalam mengembangkan syarat-

syarat baru dalam kontrak untuk jenis-jenis transaksi yang umum sifatnya, dan

menganalisa syarat-syarat yang telah disesuaikan kapan pun kontrak

dibicarakan).6

Kontrak baku memberikan keuntungan karena memfasilitasi hak-hak

perdagangan dalam kontrak. Keuntungan dari segi efisiensi biaya, waktu dan

tenaga karena telah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang

telah siap untuk ditandatangani. Pengurangan biaya karena formulir atau blanko

6Steven R.Salbu, 1997, “Evolving Contract as a Device for Flexible Coordination and

Control”, Articles, American Bussines Law Journal, Volume 34, Issue 3, 375-376, sumber:

http://www.onlinelibrary.wiley.com, diakses pada tanggal 4 Juli 2016.

xxxvi

kontrak telah dicetak secara massal, tidak perlu mencetak satu demi satu naskah

kontrak yang akan meningkatkan biaya. Pengurangan biaya akan meningkatkan

laba perusahaan. Dari segi waktu, penggunaan kontrak baku menyebabkan

penyelesaian cepat karena pihak penerima kontrak tinggal menandatangani saja.

Dari segi tenaga, kontrak baku tidak memerlukan banyak tenaga karena tidak

perlu bertatap muka merundingkan poin-poin yang akan disepakati, sehingga

jumlah tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit.

Kontrak baku juga dapat meningkatkan efektifitas karena sifat

homogenitas kontrak yang dibuat dalam jumlah banyak, dapat digunakan untuk

mengontrol penjualan dan jenis-jenis barang atau jasa yang lebih diminati karena

konsumen dihadapkan pada kontrak yang sifatnya sama. Sifat homogenitas

kontrak baku yang sama menempatkan kedudukan semua konsumen sama

sehingga meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk atau jasa yang

akan dibeli atau dipergunakan. Kontrak baku dibutuhkan dalam lapangan bisnis

yang berorientasi profit atau keuntungan.

Berkembangnya kontrak baku tidak selamanya berkonotasi negatif,

karena tujuannya adalah memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak

yang bersangkutan. Keabsahan kontrak baku tidak lagi menjadi hal yang perlu

diperdebatkan karena telah menjadi kebutuhan bisnis dalam masyarakat kaitannya

dengan efisiensi dan efektifitas. Perusahaan-perusahaan yang komersial dengan

penekanan pada keuntungan lebih mengutamakan penggunaan kontrak baku.

Permasalahan yang dihadapkan pada kontrak baku adalah pada aspek

ketidakseimbangan kedudukan. Kontrak yang semula bertujuan mempertemukan

xxxvii

perbedaan kepentingan di antara para pihak yang diletakkan dalam sebuah

“bingkai” sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dibuat berdasarkan

kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum,

untuk melaksanakan prestasi yang diperjanjikan dalam hukum kontrak, sesuai

dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam undang-undang. Kenyataannya

dalam kontrak baku kedudukan dari kedua belah pihak yang seharusnya seimbang

menjadi tidak seimbang.

Ketidakseimbangan kedudukan dalam kontrak baku akibat para pihak

memiliki bargaining position yang tidak sama sehingga menimbulkan “unreal

bargaining”7. Ketidakseimbangan kedudukan dalam kontrak baku disebabkan

oleh beberapa hal. Salah satu faktor dikarenakan pihak pembuat kontrak baku

pada umumnya memiliki penguasaan terhadap sumber daya (ekonomi, teknologi,

atau ilmu) yang lebih tinggi dibandingkan pihak penerima kontrak baku. Salah

satu bentuknya adalah terlihat dalam klausul-klausul yang terdapat dalam bentuk

standar atau baku yang isinya cenderung berat sebelah atau disebut sebagai

klausula eksemsi atau eksonerasi. Klausula ini memberikan batasan dan atau

pengalihan bentuk tanggung jawab terhadap suatu resiko bisnis kepada pihak

7Parker Smith menyatakan bahwa “The bargain has been seen historically as a

safeguard to the reliability of the objective manifestation of consent; however, many recognize

thattoday most consumer contracts do not involve anything that resembles a meaningful

bargain.16 Instead, they are “adhesion contracts” that are “standard form printed contracts

prepared by one party and submitted to the other on a „take it or leave it‟ basis” (Terjemahan:

Tawar menawar secara historis dianggap sebagai pelindung dari manifestasi kehendak. tawar

secara historikal merupakan kekuatan, namun sekarang diakui kebanyakan dari kontrak konsumen tidak melibatkan atau menunjukkan tawar menawar yang seimbang. Bahkan, adanya kontrak

adhesive yang merupakan kontrak yang dicetak dalam bentuk standar, disiapkan oleh salah satu

phak dan disodorkan kepada pihak lain dengan syarat “take it or leave it”.) Parker Smith, 2016,

“Copying with The Death of The Bargain Without Burying The Spirit of The Law: A

“Foundational” Approach to Comparative Law and Its Application to Adhesion Contracts in

Lousiana”, Article, Luosiana Law Review Volume 76 No.4, sumber

http://www.digitalcommon.law.lsu.edu/cgi, h.1280, diakses pada tanggal 1 Mei 2016.

xxxviii

lainnya sehingga dapat menimbulkan kerugian atau keuntungan yang tidak wajar

terhadap salah satu pihak.

Klausula eksemsi menyebabkan keberadaan salah satu pihak menjadi

lebih rendah dibandingkan pihak lainnya (kedudukan konsumen yang jauh

dibawah produsen)8. Hal tersebut menyebabkan klausula eksemsi dalam kontrak

baku dikatakan bersifat merugikan akibat ketidakseimbangan kedudukan para

pihak.9 Ketidakseimbangan kedudukan ini dapat dilihat dengan adanya klausula-

klausula di dalam kontrak baku yang semata-mata hanya mementingkan

kepentingan si pelaku usaha atau pemilik modal yang posisi tawarnya lebih kuat.10

Faktor lain yang menyebabkan ketidakseimbangan kedudukan para

pihak adalah akibat adanya keterbatasan akses informasi yang seharusnya

diperoleh oleh penerima kontrak baku. Penerima kontrak dalam menandatangani

kontrak baku hanya berfokus pada hal-hal penting dalam kontrak, hal-hal seperti

pemilihan forum penyelesaian sengketa, ganti rugi apabila wanprestasi, kebijakan-

kebijakan yang berubah, dan sebagainya, tidak menjadi perhatian.11

Keterbatasan

8Anonim, 90% Klausula Baku Rugikan Konsumen, Hukum Online, sumber

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6735/90-persen-klausula-baku-rugikan-konsumen,

diakses pada tanggal 4 Juli 2016.

9Gunawan Widjadja menyatakan bahwa adakalanya kedudukan dari kedua belah pihak dalam

suatu negoisasi tidak seimbang, sehingga pada akhirnya akan melahirkan kontrak tidak terlalu

menguntungkan bagi salah satu pihak (Gunawan Widjadja, 2003, Hukum Tentang Perlindungan

Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.53).

10Christopher M. Kaiser, 2005, “Take It Or Leave It: Monsanto V.Mc.Farling, Bowers

v.Baystate Technologies, And The Federal Circuit’s Formalistic Approach To Contracts Of

Adhesion”, Article, Journal Chicago-Kent Law Review, Issue I Symposium: Final Status for Kosovo: Untying the Gordian Knot, Volume 80, h.17

11Shmuel L.Becher and Tal.Z.Zarsky, 2008, “E-Contract Doctrine 2.0:Standard Form

Contracting In The Age of Online User Participation”, Articles, sumber

http://www.mttlr.org/volfourteen/becher/zarsky.pdf, h.312-314, lihat juga pendapat Yannis Bakos,

Florencia Marotta Wurgler & David R.Trossen, berdasarkan penelitiannya dikemukakan “The

fraction of retail software shoppers that accesses (end-user licence agreement) at between 0.5%

and 0.22% and found that the very few shoppers that do access it do not, on average, spend

enough time on it to have digested more than a fraction of its content” (Terjemahan: Pembeli

xxxix

dalam hak untuk menyampaikan pendapat dalam kontrak terhambat karena pihak

penerima kontrak dihadapkan pada pilihan “take it or leave it” terutama apabila

penerima kontrak dihadapkan pada obyek kontrak yang bersifat pemenuhan

kebutuhan mendasar seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, maka

pilihan ini akan menimbulkan dilema.

Hal-hal lainnya adanya kelemahan di bidang ekonomi atau kelemahan di

bidang pengetahuan pada pihak penerima kontrak baku menyebabkan aspek

keseimbangan kedudukan menjadi tidak terpenuhi. Pihak penerima kontrak baku

pada umumnya menandatangani kontrak yang disodorkan akibat kebutuhan

terhadap obyek kontrak. Faktor lainnya adalah kekuasaan atau kewenangan yang

dimiliki salah satu pihak lebih besar, hal ini tampak dalam kontrak yang dilakukan

antara pemerintah dalam kapasitasnya selaku subyek hukum privat dalam

hubungan keperdataan misalnya kontrak pengadaan barang dan jasa.

Adanya kelebihan-kelebihan tersebut membuat pihak pembuat kontrak

baku menyiapkan kontrak dengan bersandar pada kepentingan-kepentingan yang

ada di pihaknya. Dalam kontrak jenis ini yang belum dibakukan adalah jenis,

harga, jumlah, tempat dan waktu atau dengan kata lain yang dibakukan bukan

formulirnya saja tetapi juga klausula-klausula yang terdapat di dalamnya. Kontrak

baku membuat salah satu pihak hanya memiliki dua pilihan menerima atau

menolak (take it or leave it).

software ritel yang mengakses (end-user perjanjian lisensi) pada antara 0,5% dan 0,22% dan

menemukan bahwa sangat sedikit pembeli yang mengaksesnya, rata-rata tidak menghabiskan

cukup waktu untuk mencerna isi ketentuan-ketentuan yang ada). Yannis Bakos, Florencia Marotta

Wurgler & David R.Trossen, 2014,, “Does Anyone Read The Fine Print? Consumer Attention to

Standard Form Contracts, Articles, New York University Law and Economic Working, sumber

http:/lsr.nellco.org/cgi, diakses pada tanggal 4 Juli 2016, h.35.

xl

Pihak pembuat kontrak dapat mencantumkan klausula eksemsi atau

eksonerasi yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab

salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan

tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan

di dalam kontrak tersebut.12

Pihak pembuat kontrak baku cenderung melindungi

kepentingannya sendiri sedemikian rupa dengan menetapkan sejumlah hak

sekaligus membatasi hak-hak pihak lawan dan meminimalkan kewajibannya

sendiri dengan mengatur sebanyak mungkin kewajiban pihak lawan.

Di dalam prakteknya, kedudukan yang tidak seimbang dapat dilihat dari

klausula-klausula baku dalam kontrak-kontrak konsumen yang termasuk sebagai

kontrak komersial dengan membatasi kebebasan pihak lainnya seperti dalam

kontrak kredit bank, kontrak di bidang perumahan, jasa parkir, listrik, dan lain-

lain. Kontrak-kontrak jenis ini di dalamnya memuat klausula-klausula baku.

Contoh ketidakseimbangan kedudukan dalam kontrak baku dapat dilihat dalam

12Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan perlindungan terhadap konsumen akibat adanya klausula eksonerasi dengan

menentukan : Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan

atau perjanjian apabila: menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; menyatakan bahwa

pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli oleh konsumen; menyatakan

pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung

untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen

secara angsuran; mengatur tentang perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk

mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jualb eli

jasa; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,

lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa

kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap

barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; pelaku usaha dilarang mencamtumkan

klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau

pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha

pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

(2) dinyatakan batal demi hukum; Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang

bertentangan dengan undang-undang ini.

xli

a) kontrak baku bidang kredit antara bank dengan nasabah;

b) kontrak baku bidang perumahan;

c) kontrak baku bidang jasa kelistrikan;

d) kontrak baku bidang perparkiran;

e) kontrak baku bidang penerbangan.

ad a) Kontrak baku bidang kredit antara bank dengan nasabah;

Kontrak baku bidang kredit antara bank dengan nasabah yang dalam

beberapa klausulanya menyatakan bahwa bank dapat membatalkan atau tidak

melanjutkan transaksi secara sepihak padahal disisi lain nasabah tidak dibenarkan

membatalkan kontrak. Bentuk dan isi model kontrak itu dipengaruhi

kebijaksanaan perkreditan yang ditentukan masing-masing bank secara mandiri,

sehingga masing-masing bank memiliki kontrak baku yang berbeda-beda terkait

pemberian kredit.13

Dalam application form kontrak kredit tersebut dtemukan klausula yang

menyatakan “Nasabah dengan ini memberikan kuasa kepada Bank untuk

mendebet rekening nasabah tanpa pemberitahuan lebih dahulu, termasuk untuk

mencairkan deposito nasabah meskipun deposito tersebut belum jatuh tempo

untuk melunasi seluruh tagihan kartu kredit nasabah (termasuk tagihan pokok,

bunga, biaya dan denda)”.

Klausula lainnya dalam dunia perbankan yakni ketentuan bahwa “Bank

berhak mengubah syarat dan ketentuan yang berlaku tanpa pemberitahuan

sebelumnya.” Akibat klausula ini telah timbul beberapa kasus antara lain kasus

13H.P.Panggabean, 2012, Praktik Standaard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian

Kredit Perbankan, Alumni, Bandung, h.113.

xlii

Agus Soetopo melawan Standard Chartered Bank dimana bank menerapkan biaya

administrasi bulanan secara sepihak yang sebelumnya adalah gratis, tanpa

sepengetahuan dan persetujuan nasabah. Bank berdalih bahwa nasabah telah

menandatangani formulir pembukaan rekening yang menyatakan bahwa nasabah

menyetujui apabila terdapat perubahan maupun penambahan aturan di kemudian

hari. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa Bank

telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerapkan biaya

administrasi secara sepihak tanpa persetujuan konsumen dan menghukum bank

untuk mengembalikan uang konsumen.14

Ad b) kontrak baku bidang perumahan

Ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam kontrak baku bidang

perumahan dapat ditemukan pada klausula yang terdapat pada Perjanjian

Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam hal keterlambatan pembayaran oleh konsumen

dan keterlambatan developer dalam menyelesaikan pembangunan. Konsumen

biasanya langsung dikenakan denda keterlambatan atas setiap hari konsumen

terlambat untuk membayarkan angsuran atau cicilan pembayaran rumah tersebut,

sedangkan developer diberi kelonggaran hingga enam bulan sampai satu tahun

atas keterlambatan untuk menyelesaikan pembangunan tanpa ada denda atau ganti

rugi. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan antara pihak developer dengan

konsumen.

Kasus Palm Residence Jambangan Surabaya (PT Solid Gold) dengan

Martinus Teddy Arus Bahterawan berkaitan dengan pemuatan klausula baku

14Anonim, Jangan Asal Potong Rekening Nasabah, Hukum Online, sumber:

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c71f45d46738/,diakses pada tanggal 27 April 2015.

xliii

mengenai tidak dapatnya konsumen menuntut dan meminta kembali uang yang

telah dibayarkan dalam PPJB15

. Kasus ini bermula akibat adanya pencantuman

klausul baku dalam Surat Pemesanan Rumah Pasal III yang menyatakan “maka

seluruh uang yang telah dibayarkan menjadi hak milik PT Solid Gold dan tidak

dapat dituntut kembali”. Hal ini dituangkan kembali dalam Pasal 2 PPJB yang

menyatakan “…..seluruh uang yang telah dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada

Pihak Kesatu menjadi hangus dan tidak dapat dituntut kembali.” Permasalahan

timbul akibat keterlambatan realisasi kredit maka uang yang telah dibayarkan oleh

Martinus dianggap hangus oleh pihak developer (PT Solid Gold). Kasus ini telah

diputus oleh Mahkamah Agung dengan menetapkan perbuatan developer

menahan uang sebagai perbuatan melawan hukum dan menetapkan perjanjian

menjadi batal demi hukum.

Ad.c) kontrak baku bidang jasa kelistrikan

Kontrak dalam bidang jasa kelistrikan juga memuat klausula-klausula yang

memberatkan konsumen. Pemadaman listrik secara sepihak yang dilakukan oleh

pelaku usaha penyiadaan tenaga listrik sangat merugikan pihak konsumen.

Perjanjian jual beli tenaga listrik antara pihak kosumen dengan Perusahaan Listrik

Negara (PLN) hanya memuat masalah penyambungan tenaga listrik, hak dan

kewajiban konsumen maupun PLN, larangan tertentu bagi konsumen, keadaan

force majeur, tata cara pembayaran rekening listrik, penyelesaian perselisihan.

Kontrak ini tidak mencantumkan beberapa hal diantaranya tidak adanya

15Anonim, Jangan Seenaknya Mencantumkan “Uang Hangus dan Tak Bisa Kembali”,

Gregnews, 07September2013, http://www.gresnews.com/berita/ekonomi/154979, diakses pada

tanggal 27 April 2014.

xliv

kewajiban PLN untuk memberikan informasi mengenai barang dan/atau jasa

dalam menjalankan usahanya, tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur

mengenai akibat yang mungkin timbul dari pemakaian jasa layanan listrik, tidak

adanya ketentuan ganti rugi yang harus diberikan oleh PLN jika terjadi

penyimpangan pemberian barang dan atau jasa.

Ad d) kontrak baku bidang perparkiran

Ketidakseimbangan kedudukan para pihak selain ditemukan dalam bidang

kelistrikan juga ditemukan dalam kontrak bidang perpakiran. Para pengelola

parkir selalu mencantumkan klausula eksemsi dalam tiket parkir yang menyatakan

“Segala kehilangan atau kerusakan bukan merupakan tanggung jawab pengelola

parkir”. Pengalihan bentuk tanggung jawab dalam klausula dalam tiket parkir

tersebut jelas sangat merugikan terhadap konsumen terutama jika terjadi

kehilangan padahal konsumen membayar sejumlah uang sebagai bentuk prestasi

kepada pihak pengelola parkir. Contoh kasus yang dihadapi oleh pengelola parkir

adalah kasus Anie Gultom melawan Secure Parkir pada tahun 2000 yang

mengajukan gugatan terhadap pengelola parkir karena tidak mau bertanggunjawab

atas hilangnya mobil milik konsumen. Mahkamah Agung menghukum pengelola

parkir untuk mengganti mobil yang hilang.16

Ad e) kontrak baku bidang penerbangan

Klausula baku pada kontrak konsumen di bidang penerbangan menempatkan

kedudukan para pihak tidak seimbang. Klausula baku yang ada pada pelaku usaha

penerbangan menyatakan “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian

16Anonim, Mobil Hilang Secure Parkir Kembali Digugat, Hukum Online,

sumberhttp://www.hukumonline.com /berita/ baca/hol22563/mobil-hilang-secure-parking-

kembali-digugat, diakses pada tanggal 27 April 2015.

xlv

apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan

pengangkutan, termasuk segala keterlambatan datang penumpang atau penyerahan

bagasi.” Dalam kasus bagasi hilang antara Herlina Sunarti melawan Lion Air,

Mahkamah Agung mengabulkan gugatan konsumen dan mewajibkan maskapai

mengganti rugi atas bagasi yang hilang yang dinilai seharga Rp.25.000.000,- (Dua

Puluh Lima Juta Rupiah).17

Berdasarkan contoh-contoh kontrak baku tersebut, ketidakseimbangan

kedudukan antara pihak yang lemah dengan pihak yang memiliki “bargaining

power” lebih kuat menyebabkan perlunya campur tangan negara untuk

mengembalikan keseimbangan kedudukan para pihak sehingga tercapai tujuan

kontrak yakni pertukaran kepentingan secara adil. Perlunya campur tangan negara

tersebut didasarkan pada teori H.L.Hart dalam “the minimum contect of natural

law (teori perlindungan minimum)” bahwa sifat manusia yang rentan (vulnerable)

merupakan salah satu alasan perlunya hukum18

. Dalam kaitan terhadap pembuatan

kontrak baku, diperlukan campur tangan negara dalam bentuk pembuatan aturan

hukum maupun penanganan perkara-perkara kontrak baku melalui pengadilan

(putusan-putusan pengadilan) untuk melindungi pihak yang lemah, pihak yang

memiliki bargaining power lebih rendah akibat keterbatasan terhadap akses dan

informasi, pendidikan dan modal.

Pengaturan mengenai kontrak baku dikaitkan dengan fungsi negara

sebagai regulator (pengatur) dan umpire (pengawas atau wasit). Fungsi negara

17Andi Saputra, Kisah Herlina, Sendirian Menang Melawan Lion Air Gugat Koper Hilang,

Detik News, sumber http://news.detik.com/read/2013/07/05/132225/2293645/10/, diakses pada

tanggal 27 April 2015.

18H.L.A.Hart, 1981, The Concept of Law, Clarendon Press, Oxford Great Britain, h.189-195.

xlvi

sebagaimana dikemukakan oleh W.Friedmann yang membagi fungsi negara

menjadi 4 (empat) yakni fungsi negara sebagai provider (penjamin) kesejahteraan

rakyat, fungsi negara sebagai regulator (pengatur), fungsi negara sebagai

entepreneur (pengusaha) atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui state

owned corporations dan fungsi negara sebagai umpire (pengawas, wasit) untuk

merumuskan standar-standar yang adil mengenai kinerja sektor ekonomi termasuk

perusahaan negara (state corporation)19

.

Negara memiliki kewenangan sebagai regulator dan penengah atau

wasit. Negara sebagai regulator dikaitkan dengan fungsi untuk membuat aturan-

aturan hukum atau pedoman pembuatan kontrak baku untuk melindungi pihak

yang lemah terhadap pihak yang memiliki modal atau nilai tawar yang lebih tinggi

sehingga keseimbangan dapat tercapai. Negara sebagai pengawas memiliki

kewenangan untuk mengawasi pembuatan kontrak baku dan melakukan

penyelesaian sengketa-sengketa terkait kontrak baku melalui pengadilan. Kedua

fungsi negara tersebut yang pada akhirnya bertujuan untuk mengembalikan

keseimbangan kedudukan para pihak dalam pembuatan kontrak baku.

Perlunya campur tangan negara dalam pembuatan kontrak baku karena

kontrak merupakan salah satu sarana hukum untuk memenuhi kebutuhan hidup

manusia. Pemenuhan kebutuhan hidup termasuk peningkatan kesejahteraan

merupakan salah satu bagian dari hak hidup yang merupakan hak asasi manusia.

Kontrak merupakan hak asasi manusia di bidang ekonomi. Hak asasi manusia di

bidang ekonomi adalah hak asasi manusia yang berkaitan dengan aktivitas-

19Wolfgang Friedmann, 1971, The State and The Rule of Law in A Mixed Economy, Stevens

and Sons, London, h.3.

xlvii

aktivitas perekonomian untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang meliputi

hak untuk bekerja, berusaha dalam bidang ekonomi, aktivitas perekonomian,

perburuhan dan aktivitas perbankan dan asuransi.20

Unsur-unsur hak asasi manusia yang tercermin dalam kontrak baku

sebagaimana telah diuraikan di atas, pada intinya mensyaratkan adanya

kedudukan para pihak yang seimbang dalam pembuatan kontrak. Kedudukan yang

seimbang dalam pembuatan kontrak bersentuhan dengan dimensi hak asasi

manusia khususnya dalam konteks hak asasi manusia yang bersifat horisontal

antara pihak yang memiliki kekuasaan lebih di bidang ekonomi, teknologi dan

industri dengan pihak yang lemah.

Kebutuhan untuk berkontrak yang pada awalnya dihadapkan pada

pemenuhan kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan dan papan) yang

merupakan kebutuhan pokok fisiologis, namun akibat perkembangan jaman,

kebutuhan-kebutuhan manusia yang semula bukan merupakan kebutuhan dasar

menjadi kebutuhan dasar. Kontrak baku meliputi juga bidang-bidang yang

berhadapan dengan kebutuhan dasar manusia, dimana penerima kontrak baku

memiliki ketergantungan terhadap barang atau jasa yang ditawarkan dalam

kontrak baku tersebut sehingga terkait dengan hak hidup21

. .

20Yohanes Usfunan, 2013, “Pengembangan HAM Generasi ke II (ekonomi, sosial, budaya)”,

Makalah dalam Seminar Nasional Tentang HAM di Jayapura Papua, Tanggal 10 Mei 2013, h.3.

21Chetan Sharma mengatakan bahwa saat ini penduduk Amerika menggunakan 15% dari penghasilannya pada puncak piramida Maslow yang di dalamnya termasuk pertemanan,

gengsi, membeli kepemilikan, keluarga dan aktualisasi diri. Di kategori itu bisa dilihat bahwa

kebanyakan dari dampak mobile ada di situ. Namun perlu dicatat bahwa dampak tersebut telah

cenderung beralih menjadi kebutuhan yang bersifat dasar atau pokok. Sebaliknya kebutuhan dasar

sebelumnya seperti kesehatan dan kesejahteraan justru turun dari puncak piramida Maslow karena

tergeser oleh kebutuhan tadi. (Lihat Chetan Sharma, 2011, “How Mobile Will Change The Way

We Spend”, Article, sumber http:www.mobilefuturefordward.com/docs, diakses pada tanggal 4

Juli 2016, h.17). Pendapat dari Chetan Sharma bersandar pada teori A.H. Maslow menyusun teori

xlviii

Ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam berkontrak

bertentangan dengan hak-hak fundamental yang diatur dalam Pasal 28 A

Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUDNRI 1945) “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan

hidup dan kehidupannya”, Pasal 28 H Perubahan Kedua UUDNRI 1945 ayat (4)

menentukan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak

milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”

Kegagalan mengakomodir keseimbangan kedudukan dalam kontrak

menyebabkan hak-hak fundamental rakyat terganggu. Kontrak baku tidak dilarang

karena merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak namun dengan

tidak adanya kesempatan bagi para pihak untuk menegoisasikan secara langsung

(face to face) membuat salah satu secara langsung atau tidak langsung seolah-olah

cenderung terpaksa, padahal pihak tersebut didesak oleh tingkat kebutuhan,

sehingga tidak mempunyai pilihan lain kecuali menandatangani kontrak yang

sebenarnya bertentangan dengan kepentingan dirinya.

Kontrak baku secara langsung atau tidak langsung seolah bagaikan pisau

bermata dua terhadap kebebasan berkontrak, karena dari segi pembentukannya

kontrak baku merupakan pencerminanan asas kebebasan berkontrak, namun di sisi

lain kontrak baku telah membatasi atau menghilangkan asas kebebasan berkontrak

hirearki kebutuhan (The Basic Need Hierarchy Theory), dimana variasi kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk hirarki atau berjenjang. Setiap jenjang kebutuhan dapat dipenuhi

hanya apabila jenjang sebelumnya telah terpenuhi. Terdapat lima tingkatan kebutuhan dasar

manusia yaitu (1) kebutuhan pokok fisiologis; (2) kebutuhan akan keselamatan dan keamananan

dari bahaya luar; (3) kebutuhan akan cinta, kemitraan dan kebutuhan seksual;(4) kebutuhan akan

martabat, penghargaan sosial dan harga diri serta kebutuhan untuk diperlakukan secara adil; (5)

Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai sesuatu (obsesi) (Lihat A.H. Maslow, “A Theory

of Human Motivation”, Paper, Psychology Review 50, sumber

http:www.psychclassics.yorku.ca/maslow/motivation.htm, diakses pada tanggal 4 Juli 2016).

xlix

dengan tidak adanya kesempatan bagi pihak lainnya untuk dapat bertatap muka

merundingkan poin-poin kesepakatan yang diinginkan.

Pembatasan kebebasan berkontrak yang ditujukan untuk kepentingan

pihak yang memiliki “kekuasaan” yang lebih, bertentangan dengan Pasal 28J ayat

(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945 yang

menentukan adanya kriteria pembatasan terhadap hak dan kebebasan yakni untuk

menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lainnya22

.

Berdasarkan hal tersebut, kontrak baku mencerminkan

ketidakseimbangan kedudukan para pihak. Ketidakseimbangan kedudukan para

pihak dalam berkontrak bertentangan dengan prinsip persamaan yang intinya

memberikan perlakuan yang sama terhadap orang sesuai dengan hukum yang

berlaku. Pasal 28D ayat (1) UUDNRI 1945 menentukan bahwa “Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Persamaan kedudukan merupakan

hal yang paling mendasar (asasi) yang harus dimiliki oleh semua orang, atau

singkatnya bahwa adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka

keadilan akan terwujud. Prinsip persamaan kedudukan merupakan prinsip yang

memberikan kesetaraan hak dan merupakan “ruh” dari asas kebebasan berkontrak.

Implementasi dari prinsip persamaan kedudukan ditentukan oleh proses

awal penyusunan kontrak. Dalam pembuatan kontrak baku maka prinsip-prinsip

dasar hak asasi manusia seperti persamaan atau kesetaraan dan kebebasan agar

22Pasal 28J ayat (2) UUDNRI 1945 menentukan bahwa “Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-

undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-

nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

l

dapat diimplementasikan dalam klausula-klausula yang dibuat, mengingat hingga

saat ini belum ada aturan yang mengatur mengenai isi dan berlakunya kontrak-

kontrak baku agar memiliki nilai keadilan yang menjunjung tinggi harkat dan

martabat manusia. Perbedaan posisi para pihak dalam pembuatan kontrak baku

tidak memberikan kesempatan untuk melakukan “real bargaining”, sehingga

pihak penerima kontrak tidak mampu mengutarakan kehendak dan kebebasannya

dalam menentukan isi kontrak baku, sehingga melanggar hak kebebasan untuk

menyatakan pendapat.

Negara berkewajiban untuk menjamin perlindungan akan hak-hak asasi

manusia sebagaimana dituangkan UUDNRI 1945. Pasal 28I ayat (4) UUDNRI

1945 yang menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan

hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Demikian

juga pasal 28I ayat (5) UUDNRI 1945 yang menyatakan bahwa untuk

menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Implementasi hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan

yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tiga sifat dan fungsi tanggung

jawab negara terkait dengan hak asasi manusia yakni kewajiban untuk

menghormati (to respect), kewajiban untuk melindungi (to protect), dan

kewajiban untuk memenuhi (to fulfil)23

. Ketiga kewajiban ini dikaitkan dengan

23Yosep Adi Prasetyo, 2012, “Hak Ekosob dan Kewajiban Negara”, Makalah, disampaikan

dalam rangka Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Seluruh Hakim di Indonesia,

Lombok tanggal 28-31 Mei 2012, h.2, sumber httpl://pusham.uii.ac.id/, diakses pada tanggal 1 Mei

2015.

li

dua sifat yang berbeda yakni sifat positif dan negatif dari kewajiban negara.

Kewajiban untuk menghormati (to respect) dikaitkan dengan kewajiban yang

bersifat negatif, dimana campur tangan negara tidak diperlukan, sedangkan dua

kewajiban lainnya yakni “to protect” dan “to fulfil” mensyaratkan negara untuk

melakukan tindakan aktif24.

Kewajiban negara untuk memenuhi (to fulfil) mewajibkan negara untuk

mengambil langkah-langkah positif melalui kebijakan, tindakan administratif dan

tindakan yudisial untuk memastikan setiap individu pemegang hak dapat

semaksimal mungkin menikmati hak asasi manusia dan klaim atas hak asasi

manusia. Kebijakan perumusan undang-undang yang menjamin hak asasi manusia

artinya menjamin penikmatan hak dan atau mencegah pelanggaran oleh pihak lain

merupakan kewajiban negara terkait dengan hak asasi manusia.

Indonesia masih mempergunakan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPer) peninggalan jaman kolonial Belanda untuk mengatur hubungan

hukum keperdataan di antara para pihak. KUHPer

tidak mengatur dan

mengantisipasi mengenai kontrak baku. Berdasarkan KUHPer sepanjang kontrak

telah memenuhi persyaratan yang diatur berdasarkan Pasal 1320 KUHPer maka

kontrak itu sah dan mengikat.25

KUHPer tidak mengatur mengenai kontrak baku

secara khusus. Di Belanda KUHPer yang lama telah diganti dengan Niew

Burgerlijk Wetboek (NBW) yang dalam Bab 6 mengatur mengenai kontrak baku.

24Nukila Evanty, Nurul Ghufron, 2014, Paham Peraturan Daerah (PERDA) berspekstif HAM

(Hak Asasi Manusia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.14-16.

25Pasal 1320 KUHPer menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu (1) sepakat; (2)

kecakapan; (3) Obyek tertentu; (4) Kausa yang halal.

lii

Setelah berlakunya seluruh ketentuan NBW sejak 1 Januari 1992, klausula baku

mendapatkan pengaturan khusus dengan titel algemene voorwaarden.26

Berdasarkan Pasal 6.233 NBW27

, mengatur bahwa suatu kontrak dengan

klausul baku dapat dibatalkan jika menurut sifatnya sangat bertentangan dengan

akal sehat, atau jika pihak yang menuntut dicantumkannya klausula baku, tidak

memberikan kesempatan kepada pihak lawannya untuk memperoleh penjelasan

tentang klausul-klausul itu. Aturan ini memberikan ketentuan bahwa pihak

pembuat kontrak baku memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan yang

layak kepada pihak penerima kontrak untuk memperoleh pengatahuan yang cukup

dan memberikan beban yang wajar. NBW menekankan pada keseimbangan

kedudukan para pihak dalam pembuatan kontrak baku.

Di Indonesia, aturan hukum yang ada mengenai klausula baku baru

dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

26Status Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) sendiri yang pada awalnya

jaman Hindia Belanda diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan

berdasarkan pasal 131 Indische Staatsregeling (I.S) jo 163 I.S. Setelah Indonesia merdeka,

keberlakuan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa & yang dipersamakan ini terus

berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal berdasakan aturan peralihan Pasal II Perubahan

Keempat UUD 1945. Namun,Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 yang

ditujukan kepada seluruh Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh

Indonesia agar beberapa pasal tertentu dari KUHPer dianggap tidak berlaku lagi menjadikan

kedudukan KUHPer di Indonesia hanya merupakan rechtboek (buku hukum) hanya sebagai

pedoman bukan sebagai wetboek (buku Undang-undang). Walaupun kenyataannya guna mengatasi

kevakuman (mengisi kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUHPer itu secara a priori

harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht). Namun apabila ditinjau secara yuridis formil,

KUHPer masih tetap sebagai hukum positip karena sampai pada saat ini belum ada undang-undang dan peraturan resmi mencabutnya.

27Article 6:233 Voidable stipulations from the applicable standard terms and conditions

A stipulation from the applicable standard terms and conditions is voidable:

a. if it is unreasonably burdensome for the counterparty, having regard to the nature and content

of the contract, the way in which these standard terms and conditions have been formed, the

interests of each party, as evident to the other, and the other circumstances of the case;

b. if the user has not given his counterparty a reasonable opportunity to take knowledge of the

content of the applicable standard terms and conditions.(sumber http:www.dutchcivillaw.com).

liii

Nomor:01/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014

Tentang Perjanjian Baku. UUPK hanya mengatur mengenai larangan

pencantuman klausula baku pada dokumen tertentu dan larangan pencamtuman

klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat (Pasal 18 UUPK), dan

ditujukan dalam kontrak konsumen akhir berkaitan dengan pemakaian barang dan

atau jasa.28

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor:01/POJK.07/2013 Tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan Surat Edaran Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku juga hanya

mengatur mengenai konsumen akhir khusus di bidang jasa keuangan. Aturan-

aturan yang ada tersebut tidak mengatur mengenai konsumen antara, padahal

dalam kenyataannya kontrak komersial (kontrak agensi, kontrak distributor)

mempergunakan klausula baku dalam kontraknya dan perkembangan yang ada,

kontrak baku selain digunakan dalam kontrak konsumen, juga digunakan dalam

kontrak-kontrak komersial lainnya.29

Banyaknya keberatan terhadap klausula baku tidak hanya terjadi di

Indonesia tetapi di juga terjadi di negara-negara maju lainnya. Menurut komisi

Eropa, pada Tahun 2000, terdapat 8858 kasus terkait kontrak baku.30

Penggunaan

28Lihat Penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK yang menjelaskan bahwa “Di dalam kepustakaan

ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna

atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen

dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir”

29Terdapat 3 (tiga) bentuk jenis kontrak komersial, yakni kontrak antara pelaku bisnis dengan

pelaku bisnis, kontrak antara pelaku bisnis dengan non pelaku bisnis (konsumen), dan kontrak

antara non pelaku bisnis dengan non pelaku bisnis. (Linda Mulcahy, 2008, Contract Law in

Perspective, Fifth Edition, Routledge-Cavendish, London, h.180).

30Commision of The European Communities, 2000, Report From The Commision on The

Implementation of Council Directive 93/13/EEC of 5 April 1993 on Unfair Terms in Consumer

liv

kontrak baku telah mengarahkan negara-negara luar untuk membuat aturan

tersendiri. Israel dengan Standard Contract Law pada Tahun 1964, Swedia

menetapkan Act Prohibiting Improper Contract Terms pada Tahun 1971, Jerman

menetapkan The Law on Standard Contract Terms pada tahun 1977 yang telah

diadopsi ke dalam German Civil Code, Inggris menetapkan the Unfair Contract

Terms Act 1977, Irlandia menetapkan the Sale of Goods and Supply of Services

Act 1980, Thailand menetapkan the Unfair Contract Terms Act pada Tahun

1997, sedangkan Indonesia belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai

kontrak baku.

Adanya kekosongan norma terkait kontrak baku di bidang kontrak-

kontrak komersial memerlukan suatu pengaturan khusus untuk melindungi pihak

yang lebih lemah kedudukannya karena negara memiliki kewajiban untuk

menjamin terlaksananya hak asasi manusia di bidang kontrak baku. Di samping

pengaturan juga diperlukan pengawasan terhadap klausula baku yang ada dalam

masyarakat. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Tobing

ditemukan bahwa pengawasan terhadap klausula baku tidak maksimal dilakukan

di Indonesia sehingga menimbulkan kelemahan hukum.31

Berdasarkan kasus-kasus yang telah dipaparkan, terdapat kelemahan

dalam praktek pembuatan kontrak baku yakni adanya klausula-klausula yang berat

Contracts, Brussel 27 April 2000, sumber http:eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF, diakses pada tanggal 26 Agustus 2016, h.44.

31Lihat tulisan David M L Tobing, “Konsumen dan Klausula”, Artikel, sumber

http:www.bpkn.go.id/uploads/document, diakses pada tanggal 1 Juli 2018, menyatakan bahwa

berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada awal tahun 2014 hingga awal tahun 2015,

faktanya klausula baku yang dilarang berdasarkan UUPK masih diperlakukan dan hasil dari

wawacara terhadap pengurus Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) belum ada yang

mampu mengawasi klausula baku hingga menindak pelaku usaha yang mencantumkan klausula

baku yang dilarang.

lv

sebelah sehingga tidak mencerminkan keseimbangan kedudukan. Demikian pula

dari penelusuran terhadap aturan-aturan yang ada serta hasil penelitian yang

dipaparkan di atas, terdapat kekosongan norma hukum yang perlu diteliti

khususnya dalam pengaturan dan pengawasan terhadap kontrak baku sehingga

mampu melindungi hak asasi manusia. Penelitian tersebut dituangkan dalam

disertasi ini dengan judul “Pembuatan Kontrak Baku dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia.”

1.2. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah

sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi landasan filosofis pembuatan kontrak baku

dalam perspektif hak asasi manusia?

2. Apakah kontrak baku dapat melindungi hak asasi manusia?

3. Asas-asas hukum apakah yang harus dirujuk dalam pembuatan

kontrak baku agar dapat melindungi hak asasi manusia?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Adapun yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam rangka

memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya aspek hukum

kontrak dalam lapangan hukum keperdataan dan aspek hukum hak asasi manusia

agar dalam pembuatan kontrak kontrak baku mampu menjamin perlindungan

terhadap hak asasi manusia.

lvi

1.3.2. Tujuan khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini dapat diuraikan

sebagai berikut:

1. Untuk mencari dan menganalisis landasan filosofis kontrak baku dalam

perspektif hak asasi manusia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis klausula-klausula dalam kontrak

baku dikaitkan dengan hak asasi manusia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis asas-asas kontrak yang harus

dirujuk dalam pembuatan kontrak baku, agar dapat menemukan tolok

ukur yang dapat dijadikan pedoman model pengaturan dan pengawasan

sebagai bentuk campur tangan negara untuk melindungi pihak yang

lemah dalam pembuatan kontrak baku sehingga sesuai dengan hak asasi

manusia.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan terhadap

pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dalam aspek hukum keperdataan dan

aspek hukum hak asasi manusia terhadap pengembangan hukum kontrak dan

memberikan bahan masukan bagi pembuatan kontrak baku.

1.4.2. Manfaat praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pembuatan aturan kontrak baku yang sesuai dengan jiwa dan

lvii

semangat Bangsa Indonesia dan pedoman hakim dalam menangani sengketa

kontrak baku sehingga dapat menjamin hak asasi manusia.

1.5. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, belum

dijumpai seluruhnya pembahasan terkait dengan pembuatan kontrak baku dalam

perspektif hak asasi manusia, namun demikian, penelitian-penelitian yang terkait

dengan asas-asas yang melandasi kontrak dapat ditemukan dalam disertasi-

disertasi sebagai berikut:

Tabel 1

Orisinalitas Penelitian

NA

MA

JUDUL

DISERTASI

POKOK

PENELITIAN

HASIL KETERANGAN

1 Abd

ul Hakim

Siagian32

Pertang

gungjawaban

Pelaku Usaha

Melalui

Kontrak Baku

dan Asas

Kepatutan

dalam

Perlindungan

Konsumen; Studi

Hubungan

Hukum antara

Pelaku Usaha

dengan

Konsumen

Perumahan

(1) Bagaimanakah

kedudukan asas

kepatutan sebagai

rujukan normatif

dalam Undang-

undang

Perlindungan

Konsumen dan

apakah figure

hukum perjanjian baku perlu

dimasukkan dan

dikualifikasi

dalam hukum

perdata sebagai

perjanjian

bernama?

(2) Bagaimanakah

bentuk

pertanggungjawa

ban pelaku usaha kepada konsumen

terhadap produk

(1) Kedudukan asas

kepatutan tidak

terwujud dalam

kerangka normatif

dan tidak terwujud

penemuan hukum,

figur perjanjian baku

perlu dimasukkan ke

dalam hukum perdata

sebagai perjanjian bernama;

(2) Pelaku usaha tetap

bertanggungjawab

kepada konsumen

terhadap produk

rumah yang dijual;

(3) Hakim tidak

menerapkan asas-

asas kepatutan dalam

memutuskan

sengketa antara pelaku usaha dengan

konsumen.

Disertasi ini

digunakan oleh

penulisa untuk

memberikan

pemahaman

mengenai

perjanjian

bernama dan asas

kepatutan

32Abdul Hakim Siagian, 2014, “Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan

Asas Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen; Studi Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha

dengan Konsumen Perumahan”, Disertasi, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara, Sumatera Utara, sumber http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/39983,

diakses pada tanggal 01 Agustus 2014.

lviii

rumah yang

menggunakan

kontrak baku?

(3) Bagaimanakah

penerapan asas kepatutuan oleh

hakim dalam

memutuskan

sengketa antara

pelaku usaha

dengan

konsumen?

2 Fenc

e M.Wantu

Peranan

Hakim Dalam

Mewujudkan

Kepastian

Hukum Keadilan dan

Kemanfaatan

di Peradilan

Perdata33

(1) Apakah putusan

hakim di

peradilan perdata

telah

menciptakan atau

menunjukkan

kepastian

hukum, keadilan

dan

kemanfaatan?

(2) Apakah

terdapat kendala-

kendala hakim

dalam

menciptakan

kepastian hukum, keadilan

dan kemanfaatan

di peradilan

perdata?

(3) Asas-asas atau

prinsip-prinsip

hukum apa yang

tercermin dari

putusan hakim di

peradilan perdata

dalam kaitannya dengan kepastian

hukum, keadilan

dan

kemanfaatan?

(1) Putusn hakim

dalam memutus

perkara tidak

terpaku pada satu

asas, hakim secara kasuistis dapat

berubah-rubah dari

asas yang satu ke

asas yang lain,

lebih cenderung

mempertahankan

norma-norma

tertulis

(2) Kendala yang

dihadapi yakni

Internal dalam

lingkungan hakim sendiri dan

Eksternal dalam

lingkungan

masyarakat

(3) Asas-asas yang

tercermin adalah

asas-asas yang ada

dalam hukum acara

perdata yang

berlaku umum

Disertasi ini

berguna untuk

memberikan

pemahaman

kepada penulis asas-asas dalam

kontrak yang

lebih sering

digunakan oleh

hakim dalam

memutus perkara

perdata

3 Suta

n Remi

Sjahdeini

Aspek

Hukum

Hubungan

Bank dan

Nasabah,

(1) Sejauh mana

luas asas

kebebasan

berkontrak.

(2) Seberapa jauh

(1) Asas kebebasan

berkontrak lahir di

abad-17 dan 18

mempunyai daya

kerja yang sangat

Disertasi ini

telah dibukukan

dan digunakan

oleh penulis untuk

memahami asas

33Fence M.Wantu, 2011, “Peranan Hakim Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum Keadilan

dan Kemanfaatan di Peradilan Perdata”, Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum

UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta, sumber http://repository.ugm.ac.id/digitasi/download.php,

diakses pada tanggal 1 Agustus 2014.

lix

Kebebasan Berkontrak

dan

Perlindungan

yang

Seimbang bagi

Para Pihak,

Studi

Mengenai

Perjanjian

Kredit Bank di

Jakarta.34

negara dapat campur tangan

dalam

menentukan isi

perjanjian.

(3) Bagaiman

bentuk dan sifat

hubungan hukum

antara bank dan

nasabah.

(4) Apakah dana

yang telah

disetorkan oleh nasabah

penyimpan dana

kepada bank dan

selama dalam

penyimpanan

oleh bank masih

milik nasabah

penyimpan dana

atau telah beralih

menjadi milik

bank. (5) Apakah aturan-

aturan dasar yang

harus

diperhatikan agar

klausul-klausul

dalam suatu

perjanjian baku

mengikat.

(6) Klausul-klausul

penting apa saja,

baik bagi

kepentingan bank maupun nasabah

debitur, yang

seyogyanya

terdapat atau

sebaliknya tidak

boleh dimuat

dalam perjanjian

kredit bank.

kuat dan tanpa dibatasi oleh rasa

keadilan

masyarakat atau

campur tangan

negara;

(2) Asas kebebasan

berkontrak yang

tak terbatas dapat

menciptakan

ketidakadilan

apabila para pihak

mempunyai kedudukan yang

tidak seimbang;

(3) Pancasila menolak

asas kebebasan

berkontrak yang

tak terbatas

(4) Bentuk hubungan

hukum antara bank

dan nasabah

penyimpan dana

adalah perjanjian pinjam meminjam

(pinjam mengganti)

(5) Bentuk hubungan

hukum antara bank

dan nasabah

debitur adalah

perjanjian yang

bersifat konsensuil;

(6) Status dana yang

telah disetorkan

oleh nasabah

penyimpan dana kepada bank

selama perjanjian

kredit bank adalah

milik bank

(7) Sifat hubungan

hukum antara bank

dan nasabah bukan

sekedar hubungan

kontraktual biasa

tetapi juga adalah

fiduciary relation, confidential

relation dan

prudential relation,

kebebasan berkontrak, dan

tolak ukur kontrak

yakni asas

kepatutan, asas

keadilan, asas

itikad baik, asas

ketertiban umum,

asas

moral/kesus

ilaan dan

penyalahgunaan

keadaan.

34Sutan Remi Sjahdeini, 1992, “Aspek Hukum Hubungan Bank dan Nasabah, Kebebasan

Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak, Studi Mengenai Perjanjian Kredit

Bank di Jakarta”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

lx

dan memberikan kewajiban-

kewajiban khusus

superadded

obligation kepada

masing-masing

pihak.

(8) Asas public policy

dan asas

unconscionability

merupakan tolak

ukur yang berlaku

dalam Common Law untuk

menentukan

apakah suatu

klausul perjanjian

adalah tidak wajar

dan memberatkan

bagi salah satu

pihak, dalam

KUHPer tolak ukur

adalah asas

ketertiban umum, asas

moral/kesusilaan,

asas kepatutan atau

keadilan, asas

itikad baik dan

ajaran

penyalahgunaan

keadaan.

(9) Posisi bank atau

nasabah dapat

berbeda pada saat

kredit akan diberikan

dibandingkan pada

saat kredit telah

diberikan

(10) sarana-sarana atau

upaya-upaya

hukum di Indonesia

tidak memadai

untuk dapat

melindungi bank

sebaga kreditor dalam rangka

contract

enforcement dari

perjanjian kredit

(11) perjanjian-

perjanijan kredit

dari bank-bank

umum di Jakarta

lxi

mengandung klausul-klausul

yang apabila diukur

oleh asas ketertiban

umum, asas moral

atau kesusilaan,

asas kepatutan atau

keadilan, asas

itikad baik dan asas

penyalahgunaan

keadaan maka

klausul-klausul

memberatkan bagi nasasbah debitur

atau memberatkan

bagi pihak bank;

(12) perjanjian-

perjanjian kredit

dari bank umum di

Jakarta tidak ada

yang

mencantumkan

klausul-klausul

lingkungan hidup

4 Agus Yudha

Hernoko

Asas Proporsionalit

as dalam

Kontrak

Komersial35.

(1) Makna dan fungsi asas

proporsionalits

dalam kontrak

komersial.

(2) Penerapan asas

proporsionalitas

dalam kontrak

komersial yang

meliputi seluruh

proses kontrak

mulai dari

tahapan pra kontraktual,

pembentukan,

pelaksanaan

kontrak bahkan

apabila terjadi

sengketa.

(1) Makna asas proporsionalitas

adalah asas ya

gmengatur

pertukaran hak dan

kewajiban para

pihak sesuai

proporsi atau

bagiannya, yang

meliputi seluruh

proses kontrak, dari

pra, pembentukan,

dan pelaksanaannya;

(2) Fungsi asas

proporsionalitas

dalah tahapan pra

kontrak menjamin

terwujudnya proses

negoisasi kontrak

yang fair, dalam

pembentukan

kontrak menjamin

kesetaraan hak serta kebebasan

dalam menentukan

isi perjanjian,

dalam tahap

Disertasi ini telah dibukukan,

dipergunakan oleh

penulis dalam

memahami asas

proporsionalitas.

35Agus Yudha Hernoko, 2009, “Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial”, Disertasi,

Program Pasca Sarjana Program Studi Doktor Ilmu Hukum , Universitas Airlangga, Surabaya.

lxii

pelaksanaan kontrak menjamin

terwujudnya

distribusi

pertukaran hak dan

kewajiban sesuai

proporsinya;

(3) Hakikat kontrak

adalah

mewujudkan

pertukaran hak dan

kewajiban secara

adil, sehingga ketidakseimbangan

hasil dapat diterima

sebagai sesuatu

yang fair apabila

proses

pertukaranan

dilakukan secara

proporsional;

(4) Dalam hal terjadi

kegagalan

pelaksanaan kontrak, maka

kadar kesalahan

harus diukur secara

proporsional.

(5) Secara substantif

asas

proporsionalitas

dapat diterima

dalam civil law dan

common law,

demikian pula

dalam UPICC, RUU Kontrak

ELIPS

5 P.

Lind

awaty

S.

Sewu

Aspek

Hukum

Perjanjian

Baku dan

Posisi

Berimbang

Para Pihak

dalam

Perjanjian

Waralaba36

(1) Apakah yang

dimaksud dengan

perjanjian baku

(standard

contract) pada

umumnya dan

khususnya dalam

perjanjan

waralaba serta

syarat-syarat dan ketentuan-

ketentuan apakah

yang

(1) Perjanjian yang

memuat satu atau

beberapa syarat-

syarat standar tidak

dapat disebut

perjanjian baku.

Perjanjian baku

adalah secara

melekat dapat

diterapkannya syarat-syarat

standar dalam

perjanjian tersebut;

Disertasi ini

dipergunakan oleh

penulis untuk

memahami aspek

perjanjian baku

dan posisi

berimbang dalam

suatu perjanjian.

36Lindawaty S.Sewu, 2006, “Aspek Hukum Perjanjian Baku dan Posisi Berimbang Para Pihak

Dalam Perjanjian Waralaba”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

lxiii

membangun suatu perjanjian

baku?

(2) Apakah yang

dimaksud dengan

kepentingan serta

posisi berimbang

para pihak dalam

suatu

pelaksanaan

perjanjian baku

(standard

contract) khususnya di

dalam perjanjian

waralaba?

(3) Apakah akibat

diterapkannya

perjanjian baku

(standard

contract) dalam

perjanjian

waralaba dapat

mengakomodir kepentingan para

pihak serta

menjamin posisi

berimbang dari

para pihak,

khususnya bagi

pihak yang

memiliki posisi

tawar

(bargaining

position) yang

lebih lemah dibandingkan

pihak lainnya?

(2) Para pihak dalam perjanjian memiliki

kepentingan agar

hak-haknya dapat

dilindungi, adalah

melalui perumusan

klausula-klausula

dalam suatu

perjanjian,;

(3) Hasil yang didapat

dari proses

waralaba

memberikan posisi berimbang,

masalah pilihan

hukum, masalah

persyaratan,

kewajiban pihak

pemberi waralaba,

syarat minimum,

dokumen

keterbukaan,

termination,

peranan pemerintah,

ketentuan

mengenai hal-hal

minimum,

ketentuan

mengenai

kewajiban bagi

pemberi waralaba

asing.

6 Rid

wan

Kahirandy

Itikad

Baik dalam

Kebebasan

Berkontrak37

(1) Bagaimana

pengaruh

paradigma

kebebasan

berkontrak

terhadap teori

hukum kontrak

klasik?

(2) Mengapa kemudian

paradigma

kebebasan

berkontrak

(1) Filsafat

individualisme

yang mempengaruh

di bidang ekonomi

sehingga timbul

politik liberalism

menimbulkan

paham laisses

faire, kebebasan berkontrak menjadi

ekspresi hukum

untuk mendukung

perkembangan

Disertasi ini

untuk

memperkaya

pemahaman

mengenai asas

itikad baik.

37Ridwan Khairandy, 2003, “Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak”, Disertasi, Program

Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta

lxiv

bergeser ke arah kepatutuan?

(3) Apakah

pengertian itikad

baik dalam

berkontrak

bersifat

universal?

(4) Bagaiman fungsi

itikad baik dalam

kontrak?

(5) Bagaiman standar

itikad baik dalam pelaksanaan

kontrak dan

itikad baik dalam

penyusunan

kontrak?

(6) Bagaimana

implementasi

makna, standar,

dan fungsi itikad

baik yang

digunakan pengadilan

Indonesia dalam

putusan-

putusannya?

tersebut, masuk ke dalam hukum

kontrak melalui

asas

konsensualisme,

dan penekanan

pada maksud para

pihak.

(2) Kebebasan

berkontrak

memiliki banyak

kelemahan yang

pada akhirnya mendapat

pembatasan oleh

undang-undang,

pengadilan, dan

extra legal

standard yang

bermuara pada

norma-norma

kepatutan

(3) Permasalahan

definisi itikad baik tetap sangat

abstrak, tidak ada

pengertian itikad

baik yang bersifat

universal,

memilliki dua

dimensi yakni

subjektif

(kejujuran) dan

dimensi objektif

kerasional yang

mengarah pada kepatutan/keadilan;

(4) Standar itikad baik

dalam pra kontrak

didasarkan pada

prinsip kecermatan

dalam kontrak

(5) Itikad baik dalam

kontrak memiliki

tiga fungsi, semua

kontrak harus

ditafsirkan dengan itikad baik, hakim

dalma perkara

tertentu dapat

menambahkan isi

perjanjan atau

bahkan ketentuan

undang-undang,

hakim dapat

lxv

mengurangi /meniadakan suatu

kewajiban

kontraktual apabila

bertentangan

dengan

keadilan/kepatutan;

(6) Pengadilan di

Indonesia belum

memiliki

pemahaman yang

utuh mengenai

itikad baik sehingga tidak

konsisten

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan belum ada penelitian yang

menganalisa pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia maka

dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap “Pembuatan Kontrak Baku dalam

Perspektif Hak Asasi Manusia” merupakan hal yang baru dan penting untuk

dilaksanakan.

lxvi

1.6. Kerangka Berpikir

Adapun yang menjadi kerangka berpikir dalam penulisan disertasi ini

dipaparkan dalam tabel berikut

Tabel 2. Kerangka Berpikir

Pembuatan Kontrak Baku Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

1.7 Metode Penelitan

Latar

Belakang Masalah Rumusan

Masalah

Kerangka

Teoritik

Metod

e Penelitian

1. Alasan filosofisnya: Adanya

ketidakseimbangan

kedudukan dalam pembuatan kontrak baku sehingga perlu campur tangan negara melindungi pihak yang lemah

2. Alasan sosiologisnya: Ditemukannya

klausula-klausula dalam kontrak baku yang mencerminkan ketidakseimbangan kedudukan sehingga melanggar nilai-nilai

keadilan dan hak asasi manusia

3. Alasan yuridis:

Kekosongan norma yang mengatur pembuatan kontrak baku yang

tidak hanya ditujukan pada konsumen akhir

1. Filosofi apakah yang merupakan landasan

pembuatan kontrak dalam perspektif hak asasi manusia ?

2. Apakah kontrak

baku dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia?

3. Asas-asas hukum apakah yang harus dirujuk dalam pembuatan

kontrak baku agar dapat melindungi hak asasi manusia?

Teori keadilan, Teori kehendak, Teori perlindungan hak asasi manusia, teori

perlindungan minimum, doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata

Teori keadilan, Teori kehendak,

Teori perlindungan minimum Doktrin unconscionability,

asas-asas hukum kontrak, doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata

perdataperdata

Teori Keadilan, TeoriKeseimbangan Teori Negara sebagai regulator, teori perlindungan

minimum, doktrin unconscionability, asas-asas dalam perjanjian

1. Jenis penelitan:

penelitian hukum normatif

2. Jenis

pendekatan: pendekatan undang-

undang, pendekatan konsep, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan

3. Sumber bahan hukum: bahan hukum primer, sekunder dan tersier

4. Teknik

pengumpulan bahan hukum:

kepustakaan dengan sistem kartu elektronik applikasi “evernote”

5. Teknik analisa

bahan hukum: preskriptif, argumentatif, interpretatif dan evaluatif

Sasaran Membentuk aturan hukum yang mengatur mengenai pembuatan

kontrak baku dan memberikan pedoman bagi hakim dalam penilaian terhadap klausula baku

lxvii

Kerangka berpikir yang dipergunakan dalam penulisan ini, berupa teori-

teori hukum, doktrin, asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, yurisprudensi,

hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penulisan ini. Teori-teori hukum

yang dipergunakan adalah teori perlindungan hak asasi manusia oleh John Locke,

teori keadilan dari Aristoteles, teori kehendak (will theory) oleh Roscoe Pound,

teori keseimbangan (the balance theory of contracts) oleh Joel Levin dan Banks

Mc.Dowell, teori fungsi negara sebagai regulator oleh W.Friedmann. Doktrin

keberlakuan hak asasi manusia dalam hukum perdata dan doktrin

unconciousnability. Asas-asas yang menunjang dalam penulisan ini yakni asas-

asas yang melandasi kontrak yakni asas kebebasan berkontrak, asas

konsensualitas, asas kekuatan mengikat kontrak sebagai undang-undang (pacta

sunt servanda), asas keseimbangan, asas proporsionalitas, asas itikad baik, asas

perlindungan dan asas atau prinsip-prinsip dalam hak asasi manusia. Konsep

hukum yang akan diuraikan adalah konsep hukum kontrak baku dan konsep

hukum hak asasi manusia.

Kerangka berpikir dalam penelitian ini, diuraikan dalam sistematika.

Tema inti penelitian yang menjadi judul disertasi yakni “Pembuatan Kontrak

Baku dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Uraian selanjutnya adalah mengenai

latar belakang masalah yang berasal dari problematik filosofi yakni bahwa

pembuatan kontrak baku dalam kenyataaanya belum mencerminkan kedudukan

yang seimbang bagi para pihak, padahal kontrak adalah salah satu hak dasar

manusia (hak asasi) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga diperlukan

campur tangan negara dalam wujud pembuatan aturan terkait kontrak baku untuk

lxviii

mengembalikan kedudukan para pihak menjadi seimbang. Problematika

sosiologis, yaitu timbulnya kontrak-kontrak baku yang memuat klausul-klausul

baku yang melanggar nilai keadilan dan tidak menjamin perlindungan terhadap

hak-hak asasi manusia. Problematika yuridis, yaitu adanya kekosongan norma

akibat belum adanya aturan hukum yang mengatur mengenai pembuatan kontrak

baku dalam kontrak komersial mengingat kontrak baku bukan hanya timbul dalam

kontrak konsumen namun juga terdapat pada kontrak-kontrak komersial.

Berdasarkan latar belakang tersebut, diperoleh 3 (tiga) permasalahan

yang diangkat. Rumusan masalah pertama yakni “Apakah yang menjadi landasan

filosofi pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia?”. Untuk

dapat menganalisa rumusan masalah pertama, maka landasan atau kajian teoritik

yang dipakai sebagai pisau analisa adalah teori keadilan dari Aristoteles, teori

kehendak (will theory) dari Roscoe Pound, teori perlindungan hak asasi manusia

dari John Locke yang dikembangkan lagi oleh Grotius dan teori perlindungan

minimum (the minimum content of natural law) dari H.L.A.Hart. Selain teori-teori

hukum juga mempergunakan doktrin keberlakuan hak asasi manusia dalam

hukum perdata, asas-asas dalam hukum kontrak dan hak asasi manusia.

Rumusan masalah yang kedua adalah “Apakah kontrak baku dapat

melindungi hak asasi manusia?’. Landasan atau kajian teoritik yang dipakai

adalah teori keadilan dari Aristoteles, teori kehendak (will theory) dari Roscoe

Pound dan doktrin unconsiousnability. Nilai-nilai keadilan sebagai landasan

filosofis dalam sebuah kontrak yang merupakan pencerminan hak asasi manusia

dengan memakai indikator kesamaan kedudukan para pihak. Apabila indikator ini

lxix

tidak terpenuhi, maka akan cenderung terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap

hak asasi manusia khususnya pada kontrak baku.

Terhadap rumusan masalah yang ke-3 (tiga) yakni “Asas-asas hukum

apakah yang harus dirujuk dalam menjamin kontrak baku agar dapat melindungi

hak asasi manusia? Terhadap rumusan masalah ini, teori hukum yang dipakai

adalah teori keadilan dari Aristoteles, teori keseimbangan (the balance theory of

contracts), teori fungsi negara sebagai regulator teori perlindungan minimum (the

minimum content of natural law) dari H.L.A. Hart dan doktrin unconscionability.

Selain teori terhadap rumusan masalah ini penulis juga mempergunakan asas-asas

dalam hukum kontrak.

Metode yang dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah tersebut

di atas adalah metode penelitian hukum normatif dengan mempergunakan

pendekatan undang-undang, pendekatan konsep, pendekatan kasus dan

pendekatan perbandingan. Bagian berikutnya adalah pembahasan mengenai

landasan filosofis pembuatan kontrak baku dalam perspektif hak asasi manusia,

klausula-klausula dalam kontrak baku yang bertentangan dengan hak-hak asasi

manusia, dan asas-asas hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam pembuatan

kontrak baku agar dapat melindungi hak asasi manusia.

1.7. Metode Penelitian

Terry Huchinson mengutip pandangan Organization for Economic

Cooperation and Development (OECD) menerangkan bahwa metode penelitan

dipahami sebagai kreativitas, originalitas, dan aktifitas sistematik dalam

lxx

meningkatkan dunia pengetahuan.38

Peter Mahmud Marzuki menyatakan

penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin guna menjawab isu hukum yang

dihadapi”39

1.7.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif. Menurut Abdul Kadir

Muhammad 40

Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma

berlaku menjadi acuan perilaku setiap orang. Penelitan hukum normatif berfokus

pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum

dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum,

perbandingan hukum dan sejarah hukum. Penelitian hukum ini menggunakan

studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum.

Timbulnya kontrak baku, akibat tuntutan efisiensi, dan berlandaskan asas

kebebasan berkontrak, yang dalam beberapa kasus ditemukan pencantuman

klausula-klausula yang menempatkan kedudukan para pihak menjadi tidak

seimbang. Kedudukan para pihak yang tidak seimbang dalam pembuatan kontrak

keperdataan atau komersial secara tidak langsung merupakan jenis pelanggaran

hak asasi manusia dalam bidang ekonomi, yaitu hak untuk membentuk kontrak.

Kontrak baku sebagai cerminan dan implementasi dari asas kebebasan

berkontrak merupakan kebutuhan yang tak dapat dihindari di era globalisasi ini.

38Terry Hutchhinson, 2010, Researching and Writing in Law, Third Edition, Thompson

Reuters (Proffesional) Autstralia Limited, p.6.

39Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Surabaya, Cetakan I,

(selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h.35.

40Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, h.52.

lxxi

Adanya kekosongan terhadap norma yang mengatur bagaimana pengaturan dan

pemanfaatan kontrak baku itu seoptimal mungkin agar dapat menampung

perimbangan hak dan kewajiban para kontraktan dengan layak demi terwujudnya

perlindungan terhadap hak asasi manusia di bidang ekonomi. Untuk keperluan

tersebut, asas kebebasan berkontrak yang merupakan “ruh” landasan kontraktual,

membutuhkan pengembangan pemberdayaan prinsip-prinsip (asas-asas) hukum

kontrak lainnya agar dapat memberikan batasan dan rambu-rambu terhadap

pembuatan kontrak keperdataan khususnya kontrak baku.

1.7.2. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini mempergunakan beberapa pendekatan untuk lebih

memahami permasalahan yang ada, diantaranya adalah;

a. Pendekatan perundang-undangan.

Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Johnny Ibrahim meminjam pendapat

Haryono, yang melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat

comprehensive (norma-norma hukum di dalamnya terkait antara yang satu dengan

yang lainnya), all inclusive (kumpulan norma hukum cukup mampu menampung

permasalahan hukum yang ada sehingga tidak ada kekosongan hukum) dan

systematic (disamping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma

hukum juga tersusun secara hirarkis) 41

.

Indikator jaminan hak asasi manusia yang digunakan dalam penelitian

ini sebagaimana diatur dalam UUDNRI 1945 sebagai hak-hak konstitusional

41Johnny Ibrahim, 2012, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media

Publishing, Malang, h.303.

lxxii

warga negara, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia (UU HAM). Kedua indikator di atas digunakan sebagai penilaian esensi

kontrak baku yang memiliki muatan perlindungan hak asasi manusia di

dalamnya.

Metode yang dipergunakan adalah metode interprestasi, sesuai pendapat

F.C.Von Savigny yang dipakai oleh Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya

Penelitian Hukum42

menyatakan bahwa “betapapun jelasnya Maklumat/Perintah,

namun tidak mungkin menolak adanya interprestasi karena adanya kekurangan”.

Dalam penelitian hukum normatif dikenal berbagai jenis interprestasi, diantaranya

interprestasi berdasarkan kata undang-undang, interprestasi berdasarkan kehendak

pembentuk undang-undang, interprestasi sistematis, interprestasi historis,

interprestasi teleologis, interprestasi antisipatoris, dan interprestasi modern.43

Penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran

gramatikal atau berdasarkan kata dari kontrak baku yang diteliti. Interprestasi

menurut kata-kata ditarik dari makna kata-kata yang tertuang dalam kontrak baku.

Akan tetapi jika tidak ditemukan makna dalam kontrak, karena tidak semua

kontrak baku mengandung kata yang jelas, maka dilakukan interprestasi sistematis

terhadap klausula-klausula lainnya dalam kontrak.

Interprestasi sistematis dengan melihat kepada hubungan di antara klausula-

klausula dalam suatu kontrak yang saling bergantung.44

Landasan pemikiran

interprestasi sistematis adalah kontrak merupakan satu kesatuan dan tidak satupun

ketentuan di dalam kontrak merupakan klausul yang berdiri sendiri. Kontrak

42Peter Mahmud Marzuki I, Op.Cit., h.11.

43Ibid, h.107.

44Ibid.

lxxiii

merupakan rangkaian dari beberapa klausul, dimana terdapat beberapa klausul

yang saling menunjang agar fungsi kontrak dapat berjalan sebagaiman mestinya.

Klausul baku ditafsirkan secara keseluruhan dengan klausul-klausul lainnya dalam

kontrak sehingga didapatkan maksud dan tujuan para pihak dalam kontrak.

b. Pendekatan konsep

Pendekatan konsep beranjak dari pendapat ahli (doktrin) yang terkait dengan

penulisan. Konsep hukum yang dipakai dalam penulisan ini adalah konsep

kontrak baku dan konsep hak asasi manusia. Konsep kontrak baku dengan

menjelaskan mengenai peristilahan dan pengertiannya. Konsep hak asasi manusia

dengan terlebih dahulu menguraikan konsep hak yang berkaitan dengan kontrak

dan konsep hak dalam bidang hak asasi manusia.

c. Pendekatan kasus

Pendekatan kasus dilihat dari putusan-putusan pengadilan. Dari

beberapa putusan tersebut, dicari ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang

digunakan oleh hakim sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan

klausula-klausula baku yang mencerminkan perlindungan hak asasi manusia.

Adapun putusan yang dijadikan penelitian dalam disertasi ini adalah:

1) Putusan No.1391K/Pdt/2011;

2) Putusan No.2157K/Pdt/2010;

3) Putusan No.08/Pdt.G/2011/PN.TGL;

4) Putusan No.476k/Pdt/2007;

5) Putusan No.52/Pdt.sus-BPSK/2015/PN.Pbr;

6) Putusan No.1609/Pdt.G/2009/PN.Jkt. Sel

lxxiv

d.Pendekatan komparatif

Pendekatan komparatif dipakai sebagai pendekatan terhadap perbandingan

terhadap hakekat kontrak baku dan asas asas yang melandasinya, dengan melihat

pada:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan alasan undang-undang ini yang

mengatur mengenai klausula baku dalam kontrak konsumen;45

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 01/POJK.07/2013 Tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;

5) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang

Perjanjian Baku;

6) Prinsip-prinsip Kontrak Perdagangan Internasional ( The Principles of

International Commercial Contract) yang dikeluarkan oleh The

International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT)

atau sering disebut UPICC (Unidroit Principles of International

Comercial Contracts) dengan pertimbangan substansi yang diatur telah

menyesuaikan dengan praktik kebiasaan internasional;

45UUPK dalam Pasal 18 mengatur mengenai klausula baku, walaupun yang diatur hanya

mengenai bentuk dan jenis klausula baku yang dilarang, namun merupakan satu-satunya undang-

undang yang mengatur mengenai klausula baku.

lxxv

7) Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kontrak –Kontrak bagi Jual

Beli Barang Internasional (CISG/ United Nations Convention on

International Sale of Good) karena merupakan kompromi dari

seperangkat asas dan aturan hukum kontrak jual beli yang dikenal dalam

berbagai tradisi hukum;

8) Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) dengan pertimbangan pada aspek

perbandingan historis substantif maupun perspektif perkembangan BW

Belanda Baru yang lebih mengikuti perkembangan jaman;

9) Undang-Undang Konsumen (The Trade Practices Amandment (Australian

Consumer Law) Act (No.1) 2010 dan Trade Practices Act 1974, sebagai

bahan mengenai penilaian klausula baku di Australia (negara dengan

sistem Common Law);

10) The Consumer Right Act 2015 (CRA), Unfair Contract Termas Act 1977

(UCTA ) dan Unfair Terms in Consumer Contract Regulations (UTCCR)

mengenai penilaian klausula baku di Inggris (negara dengan sistem

Common Law);

11) Uniform Commercial Code (UCC) sebagai penilaian klausula baku di

Amerika Serikat sebagai negara yang menganut sistem Common Law;

12) Code de la Consomnation sebagai penilaian klausula baku di Perancis

dengan sistem Civil Law;

13) Act on Standard Terms of Bussiness (Gezets zur Regelung des Rechts de

Allgemeinen Geschafts bedingungen AGBG) dan German Civil Code

lxxvi

(Burgerliches Gezetbuch/BGB) penilaian klausula baku di Jerman dengan

sistem Civil Law.

Ruang lingkup penelitian akan dibatasi pada kontrak baku yang ada pada

kontrak komersial yakni kontrak yang dilakukan antara pelaku bisnis dengan

pelaku bisnis, kontrak yang dilakukan antara pelaku bisnis dengan non-pelaku

bisnis (konsumen) dan kontrak yang dilakukan antara non pelaku bisnis dengan

non pelaku bisnis, dilakukan berdasarkan profit oriented.

1.7.3. Sumber bahan hukum.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan

pengkajian terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder

maupun tersier.46

Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan

yang bersifat mengikat yakni UUDNRI 1945, Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 39 Tahuan 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekundier diperoleh dari

hasil penelitian kepustakaan, berupa hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana

dalam bentuk buku teks, jurnal ataupun makalah, putusan pengadilan yang terkait

dengan kontrak baku dan kontrak-kontrak yang berkaitan dengan kontrak baku.

46Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,

Bandung, h.97.

lxxvii

Bahan hukum tersier yang dapat memberikan informasi terhadap bahan

hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa

Indonesia dan Kamus Hukum.

1.7.4. Teknik pengumpulan bahan hukum.

Bahan hukum diperoleh dengan metode kepustakaan dengan mengumpulkan

bahan-bahan berupa literatur tentang materi penelitian baik berupa undang-

undang, buku-buku literatur, jurnal hukum, makalah, artikel atau pendapat para

ahli yang berkaitan dengan penelitian ini baik yang ada pada media elektronik

maupun media cetak. Bahan hukum kepustakaan dikumpulkan melalui sistem

kartu yang dalam hal ini tidak berbentuk kartu fisik melainkan melalui applikasi

“evernote” dengan mengklasifkasikan bahan-bahan yang didapat berdasarkan

sistematika penulisan disertasi.

Pengumpulan bahan dilakukan melalui teknik bola salju (snow ball theory)47

dimana dalam suatu literatur atau bahan bacaan menemukan sumber lainnya yang

terkait dan dari sumber lainnya ini ditemukan pula sumber yang terkait. Bahan

hukum yang telah didapatkan kemudian ditulis, untuk selanjutnya diiventarisasi

dan diidentifikasi dalam menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan

penelitian ini. Bahan yang didapat dikumpulkan dan disistematisasikan

berdasarkan rumusan masalah yang dibahas.

47Ibid.

lxxviii

1.7.5. Teknik analisis bahan hukum

Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis terhadap bahan hukum

adalah menginventarisir seluruh klausula-klausula baku yang termuat dalam

bahan hukum sekunder yakni kontrak-kontrak baku terkait kegiatan bisnis

komersial. Proses selanjutnya adalah mengidentifkasi dengan menemukan asas-

asas hukum perjanjian yang “tersembunyi” dibalik atau di belakang klausula baku.

Asas-asas hukum perjanjian yang dicari dan diteliti dalam kaitan dengan nilai-

nilai hak asasi manusia. Klausula-klausula baku yang ada diukur atau dievaluasi

dengan mempergunakan tolak ukur yang terdapat dalam UUDNRI 1945 dan UU

HAM. Di samping itu, putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan

klausula baku dijadikan pedoman untuk merujuk asas yang dapat dipergunakan

dalam pembuatan kontrak baku yang memiliki substansi hak-hak asasi manusia.

Dalam penelitian ini, semua bahan hukum yang ada diinterprestasikan dan

dianalisis agar memperoleh hasil terkait dengan pembuatan kontrak baku yang

memiliki subtansi nilai-nilai hak asasi manusia. Berdasarkan argumentasi melalui

penalaran hukum, diperoleh apa yang seharusnya dilakukan oleh para pihak

(kontraktan) dan pemerintah terkait pembuatan kontrak baku agar memiliki

substansi perlindungan hak-hak asasi manusia di dalamya.

Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini, digunakan teknik

komparatif, evaluatif dan argumentatif48. Teknik komparatif dengan

membandingkan beberapa asas-asas hukum yang dijadikan rujukan penilaian

klausula baku di beberapa negara. Teknik evalutif melakukan evaluasi terhadap

48I Made Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori

Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.152-156.

lxxix

klausula-klausula dalam kontrak komersial yang memiliki klausula baku di

dalamnya dengan mempergunakan penafsiran gramatikal dan penafsiran

sistematikal. Penafsiran gramatikal dengan mencari arti kata-kata yang tertuang

dalam klausula-klausula kontrak dan penafsiran sistematikal dengan mengaitkan

beberapa klausula-klausula tersebut dan menghubungkannya dengan klausula-

klausula lainnya dalam kontrak untuk memperoleh arti. Teknik argumentatif yakni

dengan memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap pembuatan kontrak

baku dalam perspektif hak asasi manusia.