2. tinjauan p - digilib.itb.ac.id · diawali dengan teori ... 1943), level of aspiration (levin et....

26
16 2. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan ilmu yang melandasi penelitian. Diawali dengan teori mengenai perilaku, Theory of Reasoned Action, Theory of Planned Behavior, metoda, instrumen penelitian serta analsis data statistik yang akan digunakan. 2.1. Perilaku Konsumen Asosiasi pemasaran di Amerika mendefinisikan Perilaku Konsumen sebagai interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku, dan kejadian dimana manusia melakukan aspek pertukaran hidup mereka. Sesuai dengan hal tersebut, maka tiga hal penting yang dapat ditarik adalah (1) perilaku konsumen adalah dinamis, (2) hal tersebut melibatkan interaksi antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian sekitar, dan (3) hal tersebut melibatkan pertukaran (Peter & Olson, 1996). Istilah perilaku erat hubungannya dengan permasalahn manusia dan konsep perilaku konsumen secara terus menerus dikembangkan dengan berbagai pendekatan. Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa, termasuk keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan ini (Setiadi, 2003). Kotler (2000) menyatakan bahwa titik tolak untuk memahami perilaku pembeli (konsumen) adalah model rangsangan-tanggapan yang diperlihatkan dalam gambar 2.1. Dari model ini, Kotler menyatakan bahwa perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi dan psiologis. Faktor-faktor budaya memiliki pengaruh yang paling luas dan paling dalam. Faktor budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Masing-masing budaya terdiri dari sub budaya yang lebih kecil yang lebih banyak memberikan ciri-ciri dan sosialisasi khusus bagi anggota-anggotanya. Sub Budaya terdiri dari kebangsaan, agama, kelompok ras dan daerah geografis. Dalam faktor budaya juga

Upload: phamlien

Post on 02-May-2018

218 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

16

2. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan ilmu yang melandasi penelitian. Diawali dengan teori

mengenai perilaku, Theory of Reasoned Action, Theory of Planned Behavior,

metoda, instrumen penelitian serta analsis data statistik yang akan digunakan.

2.1. Perilaku Konsumen

Asosiasi pemasaran di Amerika mendefinisikan Perilaku Konsumen sebagai

interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku, dan kejadian dimana

manusia melakukan aspek pertukaran hidup mereka. Sesuai dengan hal tersebut,

maka tiga hal penting yang dapat ditarik adalah (1) perilaku konsumen adalah

dinamis, (2) hal tersebut melibatkan interaksi antara pengaruh dan kognisi,

perilaku dan kejadian sekitar, dan (3) hal tersebut melibatkan pertukaran (Peter &

Olson, 1996). Istilah perilaku erat hubungannya dengan permasalahn manusia dan

konsep perilaku konsumen secara terus menerus dikembangkan dengan berbagai

pendekatan. Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam

mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa, termasuk

keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan ini (Setiadi, 2003).

Kotler (2000) menyatakan bahwa titik tolak untuk memahami perilaku pembeli

(konsumen) adalah model rangsangan-tanggapan yang diperlihatkan dalam gambar

2.1. Dari model ini, Kotler menyatakan bahwa perilaku pembelian konsumen

dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi dan psiologis. Faktor-faktor

budaya memiliki pengaruh yang paling luas dan paling dalam. Faktor budaya

merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Masing-masing

budaya terdiri dari sub budaya yang lebih kecil yang lebih banyak memberikan

ciri-ciri dan sosialisasi khusus bagi anggota-anggotanya. Sub Budaya terdiri dari

kebangsaan, agama, kelompok ras dan daerah geografis. Dalam faktor budaya juga

17

termasuk kelas sosial, karena pada dasarnya semua masyarakat memiliki strata

sosial, dan strata sosial ini lebih sering ditemukan dalam kelas sosial dimana

perbedaan kelas sosial akan menunjukan preferensi produk dan merek yang

berbeda dalam banyak hal.

Gambar 2.1 Model Perilaku Konsumen – Kotler

Sumber: Kotler, 2000

Selain faktor budaya, perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial

seperti acuan, keluarga, serta peran dan status sosial. Keputusan pembelian

konsumen juga diengaruhi oleh karateristik pribadi. Karakteristik ini meliputi usia

dan tahap siklus hidup, pekerjaan dan keadaan ekonomi, gaya hidup serta

kepribadian dan konsep diri pembeli. Selain ketiga faktor yang telah disebutkan

sebelumnya, terdapat faktor lain yaitu faktor psikologis yang terdiri dari empat hal

yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran serta keyakinan dan pembelian.

Dalam salah satu penelitian mengenai periklanan dengan pendekatan gaya hidup,

Lekakos (2004) menyatakan bahwa model perilaku konsumen yang banyak

digunakan dalam penelitian perilaku adalah model yang berasal dari Hawkins.

Model ini menambahkan satu proses yaitu penerjemahan pengaruh internal dan

eksternal konsumen menjadi konsep diri dan gaya hidup sebelum akhirnya

mempengaruhi keputusan pembelian konsumen.

Selain dua model yang telah disebutkan, Peter dan Olson memberikan tiga elemen

utama dalam analisis konsumen, yang pertama adalah afeksi dan kognisi, kedua

18

adalah perilaku dan ketiga adalah lingkungan. Hubungan antara elemen-elemen ini

adalah suatu interaksi yang berkesinambungan yang disebut reciprocal

determinism (penetapan timbal balik).

2.2. The Theory of Reasoned Action

The Theory of Reasoned Action telah umum dibahas dalam buku-buku perilaku

konsumen, diantaranya adalah Peter dan Olson (1996) serta Kanuk dan Schifman

(2004) untuk menjelaskan sikap dan perilaku. Teori ini disusun sejak tahun 1971

dan dibukukan oleh Ajzen dan Fishbein tahun 1980 dengan tujuan untuk

menyempurnakan dan menjelaskan dimensi yang tidak dapat dijelaskan oleh teori

sebelumnya yaitu teori expectancy value model yang disusun oleh Fishbein pada

awal tahun 1967 sampai dengan awal tahun 1970

(www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht). Dalam teori expectancy value model,

perilaku merupakan fungsi dari harapan yang dimiliki seseorang dan nilai dari

tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang. Teori ini menyatakan bahwa manusia

adalah mahluk yang berorientasi kepada hasil (www.tcw.utwente.nl/

theorieenoverzicht), behavior ditentukan oleh intensi dan intensi ditentukan oleh

attitude yang dipengaruhi oleh expectancy dan evaluation.

Teori EVM kemudian diperbaiki oleh TRA yang menyatakan bahwa selain

ditentukan oleh attitude, intensi seseorang juga dipengaruhi oleh subjective norm,

yaitu pendapat orang-orang yang berarti disekelilingnya. Meskipun komponen

yang berada di dalam TRA serupa dengan komponen dalam tricomponent attitude

model (TAM) yang menghubungkan komponen cognitive, affective dan conative,

namun penyusunan hubungannya berbeda (Kanuk, Schifman, 2004). Model TRA

dapat dilihat dalam gambar 2.4. Dalam model ini, intensi tidak hanya diukur

dengan attitude, namun juga dipahami dengan jalan mengukur subjective norm

yang terdiri dari dua hal, yaitu normative beliefs atau pendapat orang lain yang

19

berada disekitarnya dan motivation to comply atau kepatuhan seseorang terhadap

orang lain.

Gambar 2.2 Theory of Reasoned Action

Sumber: Kanuk & Shiffman, 2004

.

2.3. The Theory of Planned Behavior

The Theory of Planned Behavior (TPB) dikembangkan oleh Icak Ajzen pada tahun

1991, dan sampai saat ini dipakai luas oleh para peneliti diberbagai negara di dunia

untuk meneliti perilaku konsumen pada populasi tertentu. Teori ini merupakan

pengembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang ditujukan untuk

menjelaskan dan mengukur perilaku dengan lebih baik. Seperti dalam teori

sebelumnya, pengaruh dominan terhadap perilaku masih dimiliki oleh intensi.

20

Menurut TPB, behavior (perilaku) dipengaruhi oleh intensi dan perceived

behavior control. Intensi diasumsikan meliputi faktor-faktor motivasional yang

mempengaruhi behavior. Faktor-faktor ini seperti seberapa kuatnya seseorang

bersedia untuk berusaha agar dapat melakukan suatu tindakan. Namun perilaku

tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi, perilaku juga dipengaruhi oleh faktor-

faktor non motivasional seperti misalnya faktor waktu, keahlian, uang dan

dukungan dari pihak lain. Faktor-faktor nonmotivasional ini disebut sebagai actual

control of the behavior (Ajzen, 2006). Jika dikaitkan dengan model yang diusung

peneliti lain, maka faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ini umum disebut

sebagai faktor dari internal individu dan external individu (Engel, et.al, 1992;

Peter & Olson,1996; Hawkins, 2004 ).

Ide dipengaruhinya perilaku oleh motivasi (intensi) dan kemampuan pengendalian

(control) sudah ada sejak dasawarsa 40-an pada beragam teori seperti pada animal

learning (Hull, 1943), level of aspiration (Levin et. al. 1944 dalam Hawkins,

2004), performance on psychomotor and cognitive task (e.g., Pleishman 1958;

Locke, 1965; Vroom, 1964 dalam Hawkins, 2004)) dan person perception and

attribution (e.g Heider, 1944; Anderson 1974, dalam Hawkins 2004). Konsep

behavioral control juga disarankan untuk dimasukan pada model perilaku manusia

seperti pada konsep “facilitating factors” (Triandis, 1977 dalam Hawkins, 2004)),

“the context of opportunity” (Sarver, 1983 dalam Hawkins, 2004), atau dalam

“action control” (Kulul, 1985, dalam Hawkins, 2004). Saran tersebut diajukan

dengan asumsi bahwa motivasi dan kemampuan berinteraksi dan mempengaruhi

perilaku. Intensis diharapkan mempengaruhi perilaku sesuai dengan derajat

pengendalian yang dimiliki seseorang. Performance perilaku seseorang diharapkan

meningkat sesuai dengan besarnya motivasi seseorang untuk mencoba melakukan

sesuatu. Model TPB dapat dilihat dalam gambar 2.3.

21

Gambar 2.3 The Theory of Planed Behavior

Sumber: Ajzen, 2006

Menurut teori ini, terdapat tiga hal yang akan mempengaruhi niat atau intensi

konsumen yaitu (1) behavioral beliefs yaitu keyakinan tentang kemungkinan

akibat dari suatu perilaku (b) dan evaluasi dari akibat perilaku tersebut (e), (2)

normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain (n) dan

motivasi untuk mencapai harapan tersebut (m) dan (3) control beliefs, yaitu

keyakinan tentang sebesar apa seseorang mampu melakukan sesuatu (c) dan

sepercaya diri apakah seseorang merasa mampu atau tidak mampu untuk

melakukan suatu perilaku (p). Behavioral beliefs menghasilkan attitude towards

the behavior (sikap positif atau negatif terhadap perilaku), normative beliefs

menghasilkan subjective norms (norma subjektif) dan control beliefs menghasilkan

perceived behavioral control (pengendalian prilaku). Kombinasi sikap, norma

subjektif dan pengendalian perilaku akan mempengaruhi behavioral intension.

22

Berikut adalah gambaran persamaan dari beberapa setiap variabel yang terdapat

dalam TPB:

Attitude toward behavior (AB) dapat digambarkan dengan persamaan:

AB = iieb∑ ............................................................................................(1)

Dimana:

AB - Attitude toward behavior, sikap terhadap suatu perilaku

ib - Behavioral beliefs, keyakinan terhadap perilaku tertentu

ie - Outcome evaluation, evaluasi mengenai perilaku tertentu

Subjective norm (SN) dapat digambarkan dengan persamaan:

SN = ii mn∑ ...........................................................................................(2)

Dimana:

SN - Subjective Norm, norma subjektif individu atas suatu perilaku

in

- Normative beliefs, keyakinan normatif dari orang-orang yang menurut

seseorang penting atas suatu perilaku

im - Motivation to comply, motivasi untuk menuruti pendapat dari orang-orang

yang menurut seseorang penting atas suatu perilaku

Perceived behavior control (PBC) dapat digambarkan dengan persamaan:

PBC= ii pc∑ ..........................................................................................(3)

23

Dimana:

PBC - Perceived behavior control, sebesar apa seseorang merasa mampu

melakukan suatu perilaku

ic - Control beliefs, keyakinan tentang sebesar apa seseorang mampu

ip - Perceived powers, sepercaya diri apakah seseorang merasa mampu atau

tidak mampu untuk melakukan suatu perilaku

Ketentuan umum dari teori ini adalah semakin positif attitude dan subjective norm,

dan semakin besar perceived behavioral control, maka akan semakin kuat juga

intensi seseorang untuk berperilaku (Ajzen, 2006). Faktor utama dalam teori ini

adalah intensi atau niat seseorang untuk melakukan sesuatu. Intensi diasumsikan

mencakup faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku serta indikator dari

seberapa kuat seseorang akan berusaha untuk melakukan sesuatu. Namun perilaku

juga tergantung pada faktor non motivasi seperti peluang dan sumber daya (uang,

waktu dan keahlian) yang dibutuhkan untuk melakukan sesuatu.

2.4. Intensi

Memperkirakan perilaku yang akan datang dari seorang konsumen, khususnya

perilaku pembelian mereka adalah aspek yang sangat penting dalam peramalan

dan perencanaan pemasaran. Ketika merencanakan strategi, para pemasar perlu

memprediksi perilaku pembelian dan perilaku penggunaan konsumen beberapa

minggu, bulan, atau kadang beberapa tahun sebelumnya. Untuk memprediksi

perilaku secara akurat, pemasar harus mengukur keinginan konsumen, pada tingkat

abstraksi dan kekhususan seperti komponen tindakan, target dan waktu dari

perilaku (Peter & Olson, 1996). Konteks perilaku juga harus dirinci jika dianggap

penting. tabel 2.1 memuat beberapa faktor yang dapat melemahkan hubungan

antara keinginan berperilaku yang diukur dengan keinginan yang diamati. Pada

situasi dimana hanya sedikit dari faktor tersebut yang beroperasi, keinginan yang

diukur harus memperkirakan perilaku dengan baik.

24

Dalam pengertian luas, waktu adalah faktor utama yang mengurangi keakuratan

prediksi pengukuran keinginan. Keinginan, seperti halnya faktor kognitif lainnya,

dapat dan berubah sepanjang waktu. Semakin lama tenggang waktu yang

diberikan, maka akan semakin banyak lingkungan yang tidak terantisipasi dapat

terjadi dan mengubah keinginan pembelian awal konsumen. Oleh karena itu,

pemasar harus memandang kekauratan pengukuran dalam tingkat yang lebih

rendah ketika keinginan diukur jauh sebelum perilaku muncul. Akan tetapi,

kejadian yang tidak terantisipasi juga dapat terjadi dalam periode yang singkat.

Tabel 2.1 Faktor-faktor yang mengurangi atau melemahkan hubungan

antara keinginan berperilaku yang diukur dengan perilaku yang

diamati

Faktor Contoh

Penghalang

Waktu

Sejalan dengan melebarnya waktu antara pengukuran keinginan dengan

pengamatan perilaku, semakin banyak faktor yang dapat terjadi yang

bertindak untuk memodifikasi atau mengubah keinginan awal, sehingga

tidak memiliki kaitan lebih lanjut dengan perilaku yang diamati

Tingkat

kekhususan

yang berbeda

Keinginan yang diukur harus dapat dispesifikasi pada tingkat yang sama

dengan perilaku yang diamati, jiika tidak, maka hubungan diantaranya

akan lemah

Kejadian

lingkungan

yang tak

terduga

Contoh dari situasi ini misalnya ketika seseorang terpaksa mengubah

keinginan seseorang untuk membeli suatu barang di supermarket dengan

merek lain karena persediaan barang tersebut habis.

Konteks

situasional

yang tak

terduga

Kadangkala konteks situasional dalam benak konsumen pada saat

keinginan diukur berbeda dengan situasi pada saat perilaku dinyatakan.

Derajat

pengendalian

kesengajaan

Beberapa perilaku tidak berada di bawah pengendalian kemauan penuh.

Oleh karena itu keinginan tidak dapat memperkirakan secara akurat

perilaku yang dipengendalian.

25

Faktor Contoh

Stablitas

keinginan

Beberapa keinginan cukup stabil karena didasarkan pada struktur

kepercayaan utama pada sikap konsumen terhadap perilaku dan norma

subjektif yang dibangun dengan baik. Keinginan lain tidah stabil, karena

hanya didirikan di atas sejumlah kecil keyakinan yang dipegang lemah

dan dapat dengan mudah berubah

Informasi baru

Konsumen dapat menerima informasi baru tentang konsekwensi utama

perilaku mereka, yang membawa pada perubahan keyakinan dan sikap

mereka terhadap tindakan dan atau norma subjektif. Perubahan ini pada

akhirnya akan mengubah keinginan. Keinginan awal tidak lagi relefan

pada perilaku dan tidak dapat memperkirakan perilaku akhir secara

akurat.

Sumber:Peter & Olson, 1996

Perilaku konsumen yang berisi sedikit pengetahuan dan tingkat keterlibatan yang

rendah dalam ingatan sangat sulit untuk diperkirakan, karena konsumen hanya

memiliki sedikit kepercayaan dalam ingatan yang akan menjadi dasar bagi sikap

dan keinginan mereka. Pada kasus tersebut, keinginan konsumen yang diukur

mungkin diciptakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Namun, sebelum

mendasarkan prediksi masa mendatang atas pengukuran sikap dan keinginan,

peneliti perlu menentukan apakah konsumen dapat diharapkan memiliki

kepercayaan, sikap, dan keinginan yang terbentuk dengan baik terhadap perilaku

tersebut.

2.5. Attitudes (sikap)

Sikap dapat diuraikan sebagai respon konsisten yang memiliki kecenderungan

positif atau negatif berkenaan dengan suatu obyek (Aizen, 1985), sementara Kotler

(2000) menyatakan bahwa sikap adalah evaluasi, perasaan emosional, dan

kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dan

bertahan lama dari seseorang terhadap suatu obyek atau gagasan. Peter & Olson

(1996) mendefinisikan sikap sebagai evaluasi konsep secara menyeluruh yang

26

dilakukan seseorang. Selama proses integrasi, konsumen mengkombinasikan

beberapa pengetahuan, arti dan kepercayaan tentang produk atau merek untuk

membentuk evaluasi menyeluruh. Kepercayaan ini dapat dibentuk melalui proses

interpretasi atau diaktifkan dari ingatan. Kanuk dan Schiffman (2004) menyatakah

bahwa sikap adalah kecenderungan perilaku positif atau negatif yang konsisten

terhadap suatu objek yang didapatkan dari hasil pembelajaran.

Selain empat definisi tersebut, terdapat hampir 100 definisi lain tentang sikap

(Peter & Olson, 1996) yang kesemuanya memiliki satu kesamaan yang umum

yaitu pada evaluasi seseorang. Orang memiliki sikap terhadap hampir semua hal

mulai dari agama, politik, pakaian, musik, makanan dan lain-lain. Sikap

menempatkan semua itu kedalam sebuah kerangka pemikiran yang menyukai atau

tidak menyukai sebuah obyek, bergerak mendekati atau menjauhi obyek tersebut.

Sikap menyebabkan orang-orang berperilaku secara cukup konsisten terhadap

obyek serupa. Sikap seseorang membentuk pola konsisten dan sangat mungkin

sulit berubah karena itu untuk mengubah suatu sikap mungkin mengharuskan

penyesuaian sikap-sikap lain secara besar-besaran. Seseorang dapat memiliki sikap

terhadap berbagai obyek fisik dan sosial (produk, merek, toko, dll) dan sikap

terhadap obyek imajiner seperti ide dan konsep (kapitalisme, harga murah, dsb),

serta sikap terhadap perilaku atau tindakan mereka, termasuk didalamnya tindakan

masa lalu dan tindakan masa depan.

Perilaku berada di dalam dan dipengaruhi oleh situasi, dimana situasi tertentu

dapat mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen. Sehingga situasi harus

dipertimbangkan dalam penelitian mengenai pengukuran sikap, sehingga dapat

dihindari kesalahan interpretasi dalam menganalisis hubungan antara sikap dan

perilaku (Kanuk & Schiffman, 2004). Umumnya pada situasi dimana seorang

konsumen ingin memecahkan suatu masalah atau memuaskan kebutuhan, maka

mereka akan membangun sikap terhadap suatu produk atau jasa berdasarkan

informasi (pengetahuan dan keyakinan) yang dimilikinya. Para peneliti

27

menyarankan bahwa dalam memformulasikan sikap, maksimal terdapat tiga

keyakinan (beliefs) yang akan memberikan kontribusi yang penting, sementara

sisanya hanya memberikan input yang rendah terhadap sikap (Holbrook, 1981

dalam Kanuk & Schiffman, 2004).

Pembentukan sikap konsumen menurut Kanuk & Schiffman (2004) dipengaruhi

oleh pengalaman pribadi, pengaruh teman dan keluarga, pemasaran langsung dan

media masa. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; pengalaman pribadi

mempengaruhi ketika konsumen pernah merasakan membeli atau mengkonsumsi

produk dan layanan dan menyimpulkan sikap dari pengalaman mereka. Hasil

penelitian menunjukan bahwa sikap yang dibentuk oleh pengalaman pribadi

bertahan lebih kuat dibandingkan sikap yang dibentuk bukan oleh pengalaman

pribadi.

Pengaruh lain selain pengalaman adalah keterlibatan dengan orang-orang terdekat

seperti teman dan keluarga. Peranan keluarga dalam memberikan informasi yang

mempengaruhi sikap sangat penting, karena keluarga mendidik seseorang dengan

bilai-nilai dasar dan keyakinan. Kegiatan para pemasar melalaui pemasaran

langsung juga mengubah formasi sikap. Pemasaran langsung dilakukan untuk

menjangkau pangsa pasar tertentu (niches) agar produk dan jasa yang ditawarkan

dapat sesuai dengan minat dan gaya hidup mereka. Pemasaran langsung dapat

mengubah formasi sikap konsumen karena produk dan jasa yang ditawarkan serta

pesan dalam promosi yang dilakukan dirancang sedemikian rupa sehingga

memiliki kesempatan lebih besar untuk dapat mengubah sikap dibandingkan

dengan pemasaran masal.

Selain pengaruh yang telah disebutkan sebelumnya, pengaruh lain adalah

informasi yang didapatkan dari media massa. Media massa menyediakan informasi

penting yang mempengaruhi pembentukan sikap. Hasil penelitian menunjukan

bahwa informasi yang berasal dari media masa akan lebih mempengaruhi mereka

28

yang belum pernah memiliki pengalaman dengan produk atau jasa yang

ditawarkan daripada mereka yang sebelumnya telah memiliki pengalaman.

Sehingga iklan lebih cocok ditawarkan bagi mereka yang belum pernah

mengkonsumsi atau memakai jasa yang diiklankan, karena pengaruhnya terhadap

pembentukan sikap akan lebih terlihat.

Para pemasar yakin bahwa mengubah sikap konsumen merupakan salah satu

strategi kunci dalam pemasaran. Perusahaan selalu berusaha mengubah sikap

konsumen terhadap produk mereka menjadi lebih positif dan sebaliknya terhadap

produk pesaing. Beberapa strategi untuk mengubah sikap antara lain adalah

mengubah fungsi dasar motivasi konsumen, menghubungkan sebuah produk

dengan kelompok atau kegiatan yang digemari konsumen, memecahkan atau

menjembatani dua skap yang saling bertentangan, mengubah komponen dari

model multiatribut dan mengubah keyakinan konsumen pada produk pesaing

Kanuk & Schiffman; 2004).

2.6. Nilai dan Norma

Konsumen memiliki nilai tentang pribadi dan simbolis yang dapat dipenuhi atau

dipuaskan oleh suatu produk atau merek. Nilai adalah sasaran hidup yang luas dari

masyarakat seperti misalnya pernyataan “saya ingin berhasil”. Nilai juga

melibatkan afeksi hubungan dengan kebutuhan atau tujuan tersebut (perasaan dan

emosi yang menyertai keberhasilan). Menyadari bahwa nilai telah terpuaskan atau

tujuan utama hidup telah tercapai cenderung tidak nyata dan subjektif (contoh pada

kalimat: “saya merasa aman”, “saya dihormati oleh orang lain”, “saya berhasil”).

Sebaliknya, konsekwensi fungsional dan psikologis lebih nyata, dan lebih jelas

ketika terjadi misalnya saja pada pernyataan “semua orang memperhatikan saya

ketika saya menggunakan baju sutra itu” (Peter & Olson, 1996).

29

Sementa itu Engel meyatakan bahwa nilai adalah kepercayaan bersama atau norma

kelompok yang telah diserap oleh individu melalui tahap modifikasi. Individu

memiliki nilai yang didasarkan pada nilai inti dari masyarakat tempat mereka

tinggal, tetapi kemudian dimodifikasi oleh nilai dari kelompok lain dimana mereka

menjadi anggotanya dan situasi kehidupan individual atau kepribadian. Nilai

pribadi menjawab pertanyaan, “Apakah produk ini untuk saya?” Nilai tersebut

khususnya penting dalam tahap pengenalan kebutuhan dari pengambilan

keputusan konsumen. Nilai juga digunakan oleh konsumen dalam menentukan

kriteria evaluasi, dengan menjawab pertanyaan “Apakah merek ini untuk saya?”

Nilai juga mempunyai pengaruh pada keefektifan program komunikasi sewaktu

konsumen bertanya, “Apakah suatu situasi yang digambarkan dalam iklan adalah

situasi dimana saya akan berpartisipasi?”.

Engel (1992) juga menyatakan bahwa norma adalah kepercayaan yang dianut

dengan konsesnus dari suatu kelompok sehubungan dengan kaidah perilaku untuk

anggota individual. Manusia mempelajari norma mereka melalui peniruan atau

dengan mengamati proses ganjaran dan hukuman di dalam masyarakat dari

anggota-anggota yang mematuhi atau menyimpang dari norma kelompok. Bila

norma tidak lagi memberikan kepuasan di dalam masyarakat, maka norma tersebut

akan punah. Misalnya untuk mengerti konsumen, maka perusahaan harus

memperhatikan respon pemuasan fisik atau sosial seperti apa yang diberikan oleh

norma budaya. Para pekerja kantoran yang jarang bergerak, mungkin akan lebih

berminat untuk membeli daging olahan yang lezat, namun berkalori rendah

dibandingkan dengan daging tebal yang banyak mengandung lemak.

Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan nilai. Salah satu cara yang

sangat berguna adalah dengan mengidentifikasikan dua jenis nilai, yaitu nilai

instrumen dan nilai terminal. Nilai Instrumen adalah pola perilaku atau cara

bertindak yang diinginkan seperti misalnya bersenang-senang, bertindak

independent dan menunjukan rasa percaya diri. Nilai terminal disisi lain adalah

30

adalah status keberadaan yang diinginkan atau status psikologis yang luas seperti

misalnya perasaan bahagia, damai dan berhasil. Nilai instrumental dan terminal

(tujuan atau kebutuhan) mewakili konekuensi terluas dan paling personal yang

ingin dicapai seseorang dalam hidupnya.

Nilai yang merupakan aspek sentral dari konsep pribadi seseorang atau disebut

sebagai pengetahuan tentang diri mereka sendiri disebut sebagai nilai inti (core

values). Nilai inti adalah elemen kunci dalam suatu skema pribadi, yaitu satu

jaringan asosiatif pengetahuan tentang diri sendiri yang saling berhubungan.

Disamping nilai, termasuk dalam skema pribadi adalah kepercayaan dan perasaan

tentang tubuh seseorang, pengetahuan tentang kejadian penting dalam hidup, dan

pengetahuan tentang perilaku seseorang. Nilai inti konsumen memiliki pengaruh

besar terhadap proses kognitif dan perilaku pemilihan mereka, sehingga menjadi

hal yang menarik bagi pemasar dan biasanya dipakai dalam iklan. Karena

mewakili konsekuensi penting yang relevan secara pribadi, maka nilai sering

dihubungkan dengan tanggapan afektif yang kuat. Memuaskan suatu nilai biasanya

menciptakan afeksi positif (kebahagiaan, suka cita, kepuasan), sementara memblok

suatu nilai menciptakan afeksi negatif (frustasi, amarah, kekecewaan). Kesimpulan

yang dapat ditarik adalah bahwa konsumen dapat memiliki pengetahuan produk

tentang ciri produk, konsekuensi menggunakan produk dan nilai personal.

2.7. Perceived Behavioral Control

Telah banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan dan memprediksikan

perilaku. Dalam berbagai penelitian terlihat indikasi bahwa intensi adalah

indikator utama dari perilaku, namun pencapaian perilaku seseorang bukan hanya

ditentukan oleh intensi, namun juga ditentukan oleh faktor lain. Misalnya saja

dalam perilaku usaha seseorang untuk menurunkan berat badan, bukan hanya

dengan mengurangi makan dan menambah frekuensi olahraga, namun juga

31

terdapat faktor lain seperti faktor psikologis dan faktor lain yang tidak dapat

dikendalikan. Dapat dikatakan bahwa manusia memiliki pengendalian yang lebih

besar atas kemauan dibandingkan dengan pengendalian terhadap perilakunya. Dari

dekat dapat terlihat bahwa perilaku yang sesuai dengan kemauan seseorang juga

merupakan subjek dari pengendalian kemauan yang tidak lengkap. Hal ini

misalnya dapat dilihat dalam perilaku mengemudi kendaraan bermotor yang

mengharuskan seseorang memiliki keahlian dan surat izin mengemudi untuk

mengendarainya, meskipun orang itu tetap dapat mengemudikan kendaraan

bermotor tanpa memiliki surat izin mengemudi. Dengan demikian, perilaku dan

tujuan memiliki derajat pengendalian keinginan pribadi, jika perilaku biasanya

berakhir dikeinginan pribadi, maka tujuan biasanya berujung dikeinginan

nonpribadi.

Jelas bahwa pengukuran intensi hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki

keterbatasan atau pengendalian atas sesuatu yang berasal dari keinginan pribadi.

Maka jika dalam sebuah penelitian ditemukan korelasi yang rendah antara intensi

dan perilaku, maka mungkin hal tersebut disebabkan karena peneliti berusaha

untuk mengukur kriteria yang memiliki pengendalian keinginan pribadi yang

relatif rendah. Dengan demikian, agar peneliti dapat menjelaskan perilaku dengan

lebih baik, maka perlu dilakukan penelitian dengan mempertimbangkan tidak

hanya intensi, namun juga derajat pengendalian keinginan pribadi. Pengendalian

keinginan pribadi dapat menjadi variabel moderator dalam hubungan intensi dan

perilaku. Hubungan antara intensi dan perilaku menjadi lebih kuat jika

pengendalian keinginan pribadi juga tinggi. Namun seseorang hanya bisa

memasukkan pengaruh dari pengendalian keinginan pribadi jika seseorang

menyakini bahwa seiap individu memiliki derajat pengendalain yang berbeda.

Dikarenakan keterbatasan untuk mengukur pengendalian keinginan nyata, maka

sangat memungkinkan untuk mengukur pengendalian perilaku dari persepsi

seseorang atas pengendalian perilaku (perceived behavioral control) yang

dimilikinya. Perceived behavioral control dapat mewakili kontrol nyata untuk

32

memprediksi behavior. Banyak penelitian yang dilakukan sejak tahun 1975

memperlihatkan bahwa peneliti dapat memprediksikan perilaku dengan lebih baik

ketika mereka memasukkan faktor perceived behavioral control. Dari hal tersebut

dapat disimpulkan bahwa aturan umum yang berlaku dalam memprediksikan

perilaku adalah bahwa jika seseorang memiliki control yang tinggi terhadap

performance perilakunya, maka mereka akan berperilaku sesuai dengan intensi

yang mereka miliki. Ketika perilaku tidak dipengaruhi oleh control keinginan yang

lengkap dan control perilaku nyata sulit untuk diketahui, maka peneliti dapat

mengukurnya dengan menggunakan persepsi control atau perceived behavioral

control untuk memperbaiki prediksi perilaku. Hal lain yang penting adalah untuk

memastikan cocoknya ukuran intensi dan behavior, juga stabilitas intensi terhadap

waktu, karena perubahan intensi cenderung akan mengubah validitas dari prediksi

yang dilakukan.

2.8. Beliefs (keyakinan)

Kotler (2000) memberikan definisi keyakinan sebagai gambaran pemikiran yang

dianut seseorang tentang suatu hal. Keyakinan mungkin berdasarkan pengetahuan,

pendapat atau kepercayaan. Keyakinan dapat membentuk citra dan merek sehingga

orang akan bertindak berdasarkan citra tersebut.

Sikap seseorang seringkali diukur dari keyakinannya. Keyakinan atau beliefs

terhadap sebuah obyek menjelaskan informasi mendasar mengenai sikap terhadap

obyek tersebut. Secara umum, keyakinan merujuk kepada penilaian subjektif

seseorang terhadap aspek-aspek yang berbeda dalam hidupnya, atau dapat

dikatakan tentang bagaimana seseorang memandang dirinya dan lingkungan

disekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka beliefs didefinisikan sebagai

probabilitas subjektif diantara obyek yang diyakini dengan obyek, nilai, atribut dan

konsep lainnya (Ajzen, 1985). Definisi ini secara tidak langsung menggambarkan

33

bahwa beliefs melibatkan hubungan antara dua aspek dari dunia seseorang.

Informasi mengenai hubungan ini didapatkan dari observasi langsung, yaitu ketika

seseorang melalui inderanya melihat bahwa sebuah obyek memiliki atributnya

masing-masing. Misalnya ketika seseorang melihat bahwa meja berbentuk bulat,

mencium atau merasakan bahwa segeas susu sudah basi atau melihat hitamnya

kulit seseorang. Pengalaman langsung seseorang terhadap suatu obyek

memberikannya informasi mengenai descriptive beliefs. Pandangan seseorang

memiliki validitas yang baik, sehingga jarang dipertanyakan kebenarannya,oleh

sebab itu biasanya descriptive beliefs memiliki kepastian maksimal, namun

semakin lama, ketika orang cenderung lupa maka descriptive beliefs ini menjadi

semaki lemah.

Interaksi seseorang dengan orang lain dapat menimbulkan beliefs atau keyakinan

tentang sifat atau sika seseorang yang tidak terobservasi. Perkenalan dengan

seseorang A dapat menciptakan keyakinan mengenai kepribadian dan sifat orang

tersebut meskipun kenyataannya tidak terobservasi. Misalnya orang yang gemuk

dan lucu diyakini memiliki sifat yang ceria dan gembira, dan orang yang menangis

diyakini sedang sedih. Keyakinan yang ditarik bukan berdasarkan observasi

langsung dikatakan sebagai inferential beliefs. Keyakinan seperti ini

menyimpulkan suatu kondisi dari hasil observasi langsung, misalnya saja karena

pernah melihat seseorang yang sedih menangis, maka jika seseorang menangis,

dapat disimpulkan bahwa orang tersebut sedang bersedih. Inferential beliefs

dibentuk berdasarkan kesimpulan sebelumnya, namun jika dianalisis lebih lanjut,

maka keyakinan ini berasal dari descriptive beliefs.

Keyakinan yang dimiliki seseorang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung

terhadap suatu obyek, atau melalui proses pengambilan kesimpulan. Seringkali

seseorang menerima informasi mengenai suatu obyek yang berasal dari sumber

eksternal seperti buku, majalah, televisi, radio, perkuliahan, teman dan lain

sebagainya. Jika terbentuknya keyakinan dipengaruhi oleh informasi dari luar,

34

maka hal ini disebut sebagai informational beliefs. Sehingga meskipun observasi

langsung mengenai hubungan suatu obyek dan atributnya dapat menghasilkan

descriptive beliefs, informasi dari luar yang menghubungkan suatu obyek dengan

suatu atribut dapat menghasilkan informational beliefs. Jika seseorang

mendapatkan informasi dari surat kabar bahwa seorang politisi memiliki sifat licik,

maka dia akan memiliki keyakinan bahwa seorang politisi memiliki sifat licik, dan

orang itu akan mengulang memorinya tentang kelicikan seorang politisi ketika

suatu saat ditanya mengenai hal yang sama. Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi apakah informasi yang diterima seseorang dari luar dapat diterima

menjadi informational beliefs.

Pembentukan descriptive beliefs diyakini merupakan hasil dari observasi langsung.

Kesimpulan ini didapatkan dari banyak hasil penelitian eksperimental yang

dilakukan dengan memanipulasi rangsangan yang diberikan terhadap seseorang,

baik itu perempuan maupun laki-laki, tentang suatu obyek. Hasilnya menunjukkan

bahwa, keyakinan yang dibentuk merupakan refleksi dari hasil observasi seseorang

terhadap suatu obyek. Hanya dalam kasus tertentu seseorang cenderung memiliki

keyakinan yang berbeda dengan kenyataan, yaitu ketika observasi dilakukan

sangat singkat pada kejadian yang mendadak seperti kecelakaan atau kejadian

traumatis dan saat seseorang terhipnotis dan membentuk persepsi yang salah.

Namun dalam kondisi yang normal, hal ini jarang sekali terjadi. Dalam banyak

penelitian terungkap bahwa sikap, karakter, dan keyakinan pribadi seseorang tidak

mempengaruhi descriptive beliefs yang terbentuk dari hasil observasi langsung,

namun tetap harus diperhatikan sebagai faktor-faktor tersebut berperan penting

terhadap terbentuknya inferential beliefs.

Peter dan Olson (1996) menyatakan bahwa melalui pengalaman konsumen

mendapatkan kepercayaan (beliefs) tentang produk, merek, dan obyek lain dalam

lingkungan. Kepercayaan atau keyakinan ini merupakan suatu jaringan asosiatif

dari arti yang saling dihubungkan dan tersimpan dalam ingatan. Karena kapasitas

35

kognitif seseorang terbatas, maka sebagian kecil dari kepercayaan ini yang dapat

diaktifkan dan dikendalikan dengan baik pada suatu saat. Keyakinan yang

diaktifkan disebut sebagai keyakinan utama. Hanya keyakinan utama (salient

beliefs) tentang suatu obyek tertentu yang menyebabkan atau menciptakan sikap

seseorang terhadap obyek tertentu. Oleh karena itu, salah satu kunci untuk

memahami sikap konsumen adalah dengan mengidentifikasi dan memahami apa

yang mendasari salient beliefs.

2.9. Kerangka Teoritis

Sekaran (2003) menyatakan bahwa tahap penyusunan kerangka teoritis membahas

saling ketergantungan antar variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi

dinamika situasi yang sedang diteliti. Penyusunan kerangka ini akan membantu

peneliti untuk mengendalikan, menghipotesiskan dan menguji hubungan tertentu

sehingga meningkatkan pemahaman mengenai dinamika situasi. Pada tahap ini

dapat disusun hipotesis yang dapat diuji untuk mengetahui apakah teori yang

dirumuskan valid atau tidak. Hubungan yang dihipotesiskan kemudian dapat diuji

dengan analisis statistik yang tepat.

Dalam hubungannya dengan perilaku masyarakat pedesaan terhadap teknologi

telekomunikasi telepon, maka peneliti tertarik untuk menguraikan perilaku

masyarakat pedesaan dengan mengunakan model dasar TRA dan TPB yang

menempatkan intensi sebagai variabel terikat. Variavel bebas yang mempengaruhi

variabel terikat terdiri dari variabel-variabel yang terdapat di dalam model TPB

yang dikembangkan oleh Ajzen (1991) sebagai berikut (1) keyakinan tentang

kemungkinan akibat dari suatu perilaku dan evaluasi dari akibat perilaku tersebut

(behavioral beliefs), (2) keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan

motivasi untuk mencapai harapan tersebut (normative beliefs) dan (3) keyakinan

tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat mendukung atau menghambat

36

terjadinya perilaku dan sebesar apa pengaruh faktor-faktor tersebut (control

beliefs). Behavioral beliefs menghasilkan sikap positif atau negatif terhadap

perilaku, normative beliefs menghasilkan norma subjektif dan control beliefs

menghasilkan pengendalian perilaku. Kombinasi sikap terhadap perilaku, norma

subjektif dan pengendalian perilaku akan mempengaruhi behavioral intensi. Salah

satu variabel dari tiga variabel bebas tersebut di atas yaitu perceived behavioral

control merupakan variabel baru yang membedakan model TPB dan TRA. Penting

atau tidaknya variabel-variabel ini relatif dan tergantung pada perilaku dan situasi

yang berbeda-beda. Dalam satu kasus dapat ditemukan bahwa attitude yang

berpengaruh signifikan terhadap intensi, sementara dalam kasus lainnya

dimungkinkan kedua variabel ini sama-sama memberikan pengaruh yang

signifikan. Aturan umum dalam hubungan variabel ini adalah: semakin baik

attitude dan subjective norm terhadap perilaku, maka akan semakin besar intensi

seseorang untuk melakukan sesuatu.

Pada model TRA (Fischbein, 1980), intensi hanya dipengaruhi oleh attitude dan

subjective norm. Ajzen (1991) kemudian mengikutsertakan variabel perceived

behavior control (PBC) ke dalam model TRA dan menamakan model ini sebagai

TPB. Penambahan variabel ini dilakukan karena dalam perkembangannya, TRA

dirasa kurang mengakomodir perilaku seseorang ketika subjek tidak memiliki

kebebasan untuk berperilaku atas kemauannya sendiri. (Ajzen, 1991; Ajzen, 2006).

Pendapat Ajzen ini diperkuat oleh telah dilakukannya 16 penelitian di berbagai

bidang mengenai perilaku yang menunjukan bahwa keikutsertaan PBC dalam

model meningkatkan kekuatan model untuk memprediksi dan menjelaskan niat

seseorang.

Sampai dekade terakhir, TRA dan TPB masih digunakan untuk menjelaskan

perilaku dala berbagai bidang dan menghasilkakn temuan yang beragam. Dalam

penelitian mengenai perilaku guru dalam menggunakan komputer, Smarkola

(2008) menyatakan bahwa model TPB menunjukan manfaat yang besar dalam

37

menjelaskan perilaku yang dimaksud dalam penelitian. Sementara TRA dapat

menjelaskan perilaku konsumsi daging di Irlandia dengan hasil bahwa kedua

variabel (Attitude dan Subjective norm) berpengaruh signifikan positif terhadap

intensi (McCarthy, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Nasco et.al (2007) dengan menggunakan teori TPB

pada studi kasus para manajer dan pengusaha kecil menengah di Chile

menunjukan bahwa perceived behavioral control tidak berpengaruh signifikan

pada pembentukan intensi. Penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan

dengan TPB juga ditemukan menggambarkan hubungan yang tidak konsisten

mengenai PBC dalam TPB. Penelitian yang membuktikan bahwa PBC

berpengaruh signifikan terhadap intensi dilakukan oleh Chang (Nasco et.al, 2007)

yang menemukan bahwa PBC merupakan prediktor dari intensi yang paling kuat,

Verkatesh (dalam Nasco et. al, 2007) menemukan bahwa PBC dapat menjadi

prediktor dari intensi hanya dalam beberapa bagian dari hubungan, sementara

Riemenscheider et.al. (2003) bahkan menemukan bahwa PBC tidak dapat

dibuktikan sebagai prediktor bagi intensi. Celuch et.al. (2007) bahkan

menyarankan agar penelitian lanjutan melakukan pengujian hubungan moderasi

diantara variabel yang terdapat di dalam model TPB.

Berdasarkan beberapa penelitian empiris yang diuraikan diatas, maka peneliti

melihat masih terdapat kemungkinan untuk menggali hubungan intensi dengan

variabel-variabel lainnya dalam model PBC. Untuk itu, peneliti tertarik untuk

menempatkan PBC sebagai variabel moderator yang akan mengubah hubungan

attitude towards the behavior (AB) dan subjective norm (SN) terhadap intensi (I)

dalam konteks teknologi telekomunikasi telepon di pedesaan. Model penelitian

dapat dilihat pada gambar 2.4.

38

Gambar 2.4 Model Penelitian

2.10. Hipotesis Penelitian

Sugiyono (1999) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang

diberikan baru berdasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-

fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat

dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian dan

belum jawaban yang empirik. Bila dilihat dari tingkat eksplanasinya, bentuk

rumusan masalah penelitian ada tiga, yaitu rumusan masalah deskriptif (variabel

mandiri), komparatif (perbandingan) dan asosiatif (hubungan). Oleh karena itu,

maka bentuk hipotesis penelitian juga ada tiga yaitu hipotesa deskriptif, komparatif

dan asosiatif/hubungan.

Penyusunan hipotesis dilakukan setelah variabel-variabel dalam penelitian

diidentifikasi dan dicari hubungannya melalui pemikiran logis dan kerangka

teoritis. Peneliti kemudian berada dalam posisi untuk menguji apakah hubungan

39

yang diteorikan benar-benar terbukti kebenarannya. Dengan menguji hipotesis dan

menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan solusi dapat ditemukan untuk

masalah yang dihadapi (Sekaran 2003).

Lebih lanjut disebutkan bahwa menurut kaidah ilmu sosial, untuk menyebutkan

sebuah hubungan signifikan secara statistik, maka peneliti harus yakin bahwa 95

dari 100 hubungan yang diamati akan mendukung hipotesis. Hanya boleh ada 5%

peluang bahwa hubungan tersebut tidak ditemukan.

Hipotesis direksional adalah hipotesis yang menyatakan hubungan antara dua

variabel atau membandingkan dua kelompok dengan menggunakan istilah-istilah

seperti positif, negatif, lebih dari, kurang dari dan sebagainya. Sementara hipotesis

nondireksional adalah hipotesis yang mendalikan hubungan atau perbedaan, tapi

tidak memberikan indikasi mengenai arah dari hubungan atau perbedaan tersebut.

Dari latar belakang penelitian dapat digambarkan bahwa terdapat dorongan yang

kuat untuk menghubungkan seluruh pedesaan di Indonesia dengan jaringan

telekomunikasi. Ini tidak hanya menjadi agenda pemerintah, namun juga pihak

swasta. Terlihat dengan semakin meluasnya jaringan telekomunikasi ke wilayah

pedesaan yang dilakukan oleh operator-operator telekomunikasi di Indonesia.

Meskipun jumlah pedesaan di Indonesia yang belum terjangkau oleh telepon

masih tinggi, namun di beberapa daerah khususnya pulau Jawa, sudah hampir

semua pedesaan terjangkau oleh layanan telekomunikasi (Depkominfo, 2007).

Populasi masyarakat pedesaan yang telah terjangkau oleh teknologi

telekomunikasi akan menjadi objek dari penelitian ini. Meskipun telah terjangkau

oleh layanan teknologi telekomunikasi telepon, tidak semua masyarakat pedesaan

memiliki telepon. Oleh sebab itu menarik kiranya untuk mengetahui variabel apa

saja yang dapat dijadikan parameter untuk mengukur attitude, subjective norm dan

perceived behavioral control masyarakat pedesaan dan bagaimana hubungan

40

masing-masing variabel terhadap intensi masyarakat pedesaan untuk memiliki dan

menggunakan teknologi telekomunikasi.

Mengacu pada kaidah umum hubungan setiap variabel dalam TPB yang

dikemukakan oleh Ajzen (2006), maka hipotesis penelitian yang disusun untuk

hubungan antara variabel attitude toward behavior (AB) dengan intensi (I) adalah

H1 Sikap masyarakat pedesaan terhadap telepon berpengaruh positif terhadap

intensi mereka untuk memiliki dan menggunakan teknologi

telekomunikasi telepon

Untuk hubungan antara subjective norm (SN) dengan intensi (I), hipotesis

penelitian yang disusun adalah :

H2 Norma subjektif masyarakat pedesaan terhadap telepon berpengaruh

positif terhadap intensi mereka untuk memiliki dan menggunakan

teknologi telekomunikasi telepon

Dalam penelitian ini, hubungan variabel perceived behavior control (PBC) diteliti

pada dua model, yang pertama adalah sebagai variabel independen (gambar 2.4)

dan yang kedua sebagai variabel moderator yang mempengaruhi hubungan antara

variabel independen dan variabel dependen. Sebagai variabel independen,

hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

H3.1 Peceived behavior control masyarakat pedesaan terhadap telepon

berpengaruh positif terhadap intensi mereka untuk memiliki dan

menggunakan teknologi telekomunikasi telepon

Sementara sebagai variabel moderator, hipotesis penelitian yang diajukan adalah

sebagai berikut :

41

H3.2 Perceived behavior control masyarakat pedesaan terhadap kepemilikan dan

penggunaan telepon mempengaruhi hubungan antara sikap dan intensi

serta hubungan antara norma subjektif dan intensi masyarakat pedesaan

untuk memiliki dan menggunakan teknologi telekomunikasi telepon

Hubungan hipotesis yang dimiliki peneliti dapat dilihat dalam gambar 2.5.

Gambar 2.5 Peta Hipotesis dalam Penelitian