2. tinjauan p - digilib.itb.ac.id · diawali dengan teori ... 1943), level of aspiration (levin et....
TRANSCRIPT
16
2. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan ilmu yang melandasi penelitian. Diawali dengan teori
mengenai perilaku, Theory of Reasoned Action, Theory of Planned Behavior,
metoda, instrumen penelitian serta analsis data statistik yang akan digunakan.
2.1. Perilaku Konsumen
Asosiasi pemasaran di Amerika mendefinisikan Perilaku Konsumen sebagai
interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku, dan kejadian dimana
manusia melakukan aspek pertukaran hidup mereka. Sesuai dengan hal tersebut,
maka tiga hal penting yang dapat ditarik adalah (1) perilaku konsumen adalah
dinamis, (2) hal tersebut melibatkan interaksi antara pengaruh dan kognisi,
perilaku dan kejadian sekitar, dan (3) hal tersebut melibatkan pertukaran (Peter &
Olson, 1996). Istilah perilaku erat hubungannya dengan permasalahn manusia dan
konsep perilaku konsumen secara terus menerus dikembangkan dengan berbagai
pendekatan. Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam
mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa, termasuk
keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan ini (Setiadi, 2003).
Kotler (2000) menyatakan bahwa titik tolak untuk memahami perilaku pembeli
(konsumen) adalah model rangsangan-tanggapan yang diperlihatkan dalam gambar
2.1. Dari model ini, Kotler menyatakan bahwa perilaku pembelian konsumen
dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi dan psiologis. Faktor-faktor
budaya memiliki pengaruh yang paling luas dan paling dalam. Faktor budaya
merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Masing-masing
budaya terdiri dari sub budaya yang lebih kecil yang lebih banyak memberikan
ciri-ciri dan sosialisasi khusus bagi anggota-anggotanya. Sub Budaya terdiri dari
kebangsaan, agama, kelompok ras dan daerah geografis. Dalam faktor budaya juga
17
termasuk kelas sosial, karena pada dasarnya semua masyarakat memiliki strata
sosial, dan strata sosial ini lebih sering ditemukan dalam kelas sosial dimana
perbedaan kelas sosial akan menunjukan preferensi produk dan merek yang
berbeda dalam banyak hal.
Gambar 2.1 Model Perilaku Konsumen – Kotler
Sumber: Kotler, 2000
Selain faktor budaya, perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
seperti acuan, keluarga, serta peran dan status sosial. Keputusan pembelian
konsumen juga diengaruhi oleh karateristik pribadi. Karakteristik ini meliputi usia
dan tahap siklus hidup, pekerjaan dan keadaan ekonomi, gaya hidup serta
kepribadian dan konsep diri pembeli. Selain ketiga faktor yang telah disebutkan
sebelumnya, terdapat faktor lain yaitu faktor psikologis yang terdiri dari empat hal
yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran serta keyakinan dan pembelian.
Dalam salah satu penelitian mengenai periklanan dengan pendekatan gaya hidup,
Lekakos (2004) menyatakan bahwa model perilaku konsumen yang banyak
digunakan dalam penelitian perilaku adalah model yang berasal dari Hawkins.
Model ini menambahkan satu proses yaitu penerjemahan pengaruh internal dan
eksternal konsumen menjadi konsep diri dan gaya hidup sebelum akhirnya
mempengaruhi keputusan pembelian konsumen.
Selain dua model yang telah disebutkan, Peter dan Olson memberikan tiga elemen
utama dalam analisis konsumen, yang pertama adalah afeksi dan kognisi, kedua
18
adalah perilaku dan ketiga adalah lingkungan. Hubungan antara elemen-elemen ini
adalah suatu interaksi yang berkesinambungan yang disebut reciprocal
determinism (penetapan timbal balik).
2.2. The Theory of Reasoned Action
The Theory of Reasoned Action telah umum dibahas dalam buku-buku perilaku
konsumen, diantaranya adalah Peter dan Olson (1996) serta Kanuk dan Schifman
(2004) untuk menjelaskan sikap dan perilaku. Teori ini disusun sejak tahun 1971
dan dibukukan oleh Ajzen dan Fishbein tahun 1980 dengan tujuan untuk
menyempurnakan dan menjelaskan dimensi yang tidak dapat dijelaskan oleh teori
sebelumnya yaitu teori expectancy value model yang disusun oleh Fishbein pada
awal tahun 1967 sampai dengan awal tahun 1970
(www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht). Dalam teori expectancy value model,
perilaku merupakan fungsi dari harapan yang dimiliki seseorang dan nilai dari
tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang. Teori ini menyatakan bahwa manusia
adalah mahluk yang berorientasi kepada hasil (www.tcw.utwente.nl/
theorieenoverzicht), behavior ditentukan oleh intensi dan intensi ditentukan oleh
attitude yang dipengaruhi oleh expectancy dan evaluation.
Teori EVM kemudian diperbaiki oleh TRA yang menyatakan bahwa selain
ditentukan oleh attitude, intensi seseorang juga dipengaruhi oleh subjective norm,
yaitu pendapat orang-orang yang berarti disekelilingnya. Meskipun komponen
yang berada di dalam TRA serupa dengan komponen dalam tricomponent attitude
model (TAM) yang menghubungkan komponen cognitive, affective dan conative,
namun penyusunan hubungannya berbeda (Kanuk, Schifman, 2004). Model TRA
dapat dilihat dalam gambar 2.4. Dalam model ini, intensi tidak hanya diukur
dengan attitude, namun juga dipahami dengan jalan mengukur subjective norm
yang terdiri dari dua hal, yaitu normative beliefs atau pendapat orang lain yang
19
berada disekitarnya dan motivation to comply atau kepatuhan seseorang terhadap
orang lain.
Gambar 2.2 Theory of Reasoned Action
Sumber: Kanuk & Shiffman, 2004
.
2.3. The Theory of Planned Behavior
The Theory of Planned Behavior (TPB) dikembangkan oleh Icak Ajzen pada tahun
1991, dan sampai saat ini dipakai luas oleh para peneliti diberbagai negara di dunia
untuk meneliti perilaku konsumen pada populasi tertentu. Teori ini merupakan
pengembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA) yang ditujukan untuk
menjelaskan dan mengukur perilaku dengan lebih baik. Seperti dalam teori
sebelumnya, pengaruh dominan terhadap perilaku masih dimiliki oleh intensi.
20
Menurut TPB, behavior (perilaku) dipengaruhi oleh intensi dan perceived
behavior control. Intensi diasumsikan meliputi faktor-faktor motivasional yang
mempengaruhi behavior. Faktor-faktor ini seperti seberapa kuatnya seseorang
bersedia untuk berusaha agar dapat melakukan suatu tindakan. Namun perilaku
tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi, perilaku juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor non motivasional seperti misalnya faktor waktu, keahlian, uang dan
dukungan dari pihak lain. Faktor-faktor nonmotivasional ini disebut sebagai actual
control of the behavior (Ajzen, 2006). Jika dikaitkan dengan model yang diusung
peneliti lain, maka faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ini umum disebut
sebagai faktor dari internal individu dan external individu (Engel, et.al, 1992;
Peter & Olson,1996; Hawkins, 2004 ).
Ide dipengaruhinya perilaku oleh motivasi (intensi) dan kemampuan pengendalian
(control) sudah ada sejak dasawarsa 40-an pada beragam teori seperti pada animal
learning (Hull, 1943), level of aspiration (Levin et. al. 1944 dalam Hawkins,
2004), performance on psychomotor and cognitive task (e.g., Pleishman 1958;
Locke, 1965; Vroom, 1964 dalam Hawkins, 2004)) dan person perception and
attribution (e.g Heider, 1944; Anderson 1974, dalam Hawkins 2004). Konsep
behavioral control juga disarankan untuk dimasukan pada model perilaku manusia
seperti pada konsep “facilitating factors” (Triandis, 1977 dalam Hawkins, 2004)),
“the context of opportunity” (Sarver, 1983 dalam Hawkins, 2004), atau dalam
“action control” (Kulul, 1985, dalam Hawkins, 2004). Saran tersebut diajukan
dengan asumsi bahwa motivasi dan kemampuan berinteraksi dan mempengaruhi
perilaku. Intensis diharapkan mempengaruhi perilaku sesuai dengan derajat
pengendalian yang dimiliki seseorang. Performance perilaku seseorang diharapkan
meningkat sesuai dengan besarnya motivasi seseorang untuk mencoba melakukan
sesuatu. Model TPB dapat dilihat dalam gambar 2.3.
21
Gambar 2.3 The Theory of Planed Behavior
Sumber: Ajzen, 2006
Menurut teori ini, terdapat tiga hal yang akan mempengaruhi niat atau intensi
konsumen yaitu (1) behavioral beliefs yaitu keyakinan tentang kemungkinan
akibat dari suatu perilaku (b) dan evaluasi dari akibat perilaku tersebut (e), (2)
normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain (n) dan
motivasi untuk mencapai harapan tersebut (m) dan (3) control beliefs, yaitu
keyakinan tentang sebesar apa seseorang mampu melakukan sesuatu (c) dan
sepercaya diri apakah seseorang merasa mampu atau tidak mampu untuk
melakukan suatu perilaku (p). Behavioral beliefs menghasilkan attitude towards
the behavior (sikap positif atau negatif terhadap perilaku), normative beliefs
menghasilkan subjective norms (norma subjektif) dan control beliefs menghasilkan
perceived behavioral control (pengendalian prilaku). Kombinasi sikap, norma
subjektif dan pengendalian perilaku akan mempengaruhi behavioral intension.
22
Berikut adalah gambaran persamaan dari beberapa setiap variabel yang terdapat
dalam TPB:
Attitude toward behavior (AB) dapat digambarkan dengan persamaan:
AB = iieb∑ ............................................................................................(1)
Dimana:
AB - Attitude toward behavior, sikap terhadap suatu perilaku
ib - Behavioral beliefs, keyakinan terhadap perilaku tertentu
ie - Outcome evaluation, evaluasi mengenai perilaku tertentu
Subjective norm (SN) dapat digambarkan dengan persamaan:
SN = ii mn∑ ...........................................................................................(2)
Dimana:
SN - Subjective Norm, norma subjektif individu atas suatu perilaku
in
- Normative beliefs, keyakinan normatif dari orang-orang yang menurut
seseorang penting atas suatu perilaku
im - Motivation to comply, motivasi untuk menuruti pendapat dari orang-orang
yang menurut seseorang penting atas suatu perilaku
Perceived behavior control (PBC) dapat digambarkan dengan persamaan:
PBC= ii pc∑ ..........................................................................................(3)
23
Dimana:
PBC - Perceived behavior control, sebesar apa seseorang merasa mampu
melakukan suatu perilaku
ic - Control beliefs, keyakinan tentang sebesar apa seseorang mampu
ip - Perceived powers, sepercaya diri apakah seseorang merasa mampu atau
tidak mampu untuk melakukan suatu perilaku
Ketentuan umum dari teori ini adalah semakin positif attitude dan subjective norm,
dan semakin besar perceived behavioral control, maka akan semakin kuat juga
intensi seseorang untuk berperilaku (Ajzen, 2006). Faktor utama dalam teori ini
adalah intensi atau niat seseorang untuk melakukan sesuatu. Intensi diasumsikan
mencakup faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku serta indikator dari
seberapa kuat seseorang akan berusaha untuk melakukan sesuatu. Namun perilaku
juga tergantung pada faktor non motivasi seperti peluang dan sumber daya (uang,
waktu dan keahlian) yang dibutuhkan untuk melakukan sesuatu.
2.4. Intensi
Memperkirakan perilaku yang akan datang dari seorang konsumen, khususnya
perilaku pembelian mereka adalah aspek yang sangat penting dalam peramalan
dan perencanaan pemasaran. Ketika merencanakan strategi, para pemasar perlu
memprediksi perilaku pembelian dan perilaku penggunaan konsumen beberapa
minggu, bulan, atau kadang beberapa tahun sebelumnya. Untuk memprediksi
perilaku secara akurat, pemasar harus mengukur keinginan konsumen, pada tingkat
abstraksi dan kekhususan seperti komponen tindakan, target dan waktu dari
perilaku (Peter & Olson, 1996). Konteks perilaku juga harus dirinci jika dianggap
penting. tabel 2.1 memuat beberapa faktor yang dapat melemahkan hubungan
antara keinginan berperilaku yang diukur dengan keinginan yang diamati. Pada
situasi dimana hanya sedikit dari faktor tersebut yang beroperasi, keinginan yang
diukur harus memperkirakan perilaku dengan baik.
24
Dalam pengertian luas, waktu adalah faktor utama yang mengurangi keakuratan
prediksi pengukuran keinginan. Keinginan, seperti halnya faktor kognitif lainnya,
dapat dan berubah sepanjang waktu. Semakin lama tenggang waktu yang
diberikan, maka akan semakin banyak lingkungan yang tidak terantisipasi dapat
terjadi dan mengubah keinginan pembelian awal konsumen. Oleh karena itu,
pemasar harus memandang kekauratan pengukuran dalam tingkat yang lebih
rendah ketika keinginan diukur jauh sebelum perilaku muncul. Akan tetapi,
kejadian yang tidak terantisipasi juga dapat terjadi dalam periode yang singkat.
Tabel 2.1 Faktor-faktor yang mengurangi atau melemahkan hubungan
antara keinginan berperilaku yang diukur dengan perilaku yang
diamati
Faktor Contoh
Penghalang
Waktu
Sejalan dengan melebarnya waktu antara pengukuran keinginan dengan
pengamatan perilaku, semakin banyak faktor yang dapat terjadi yang
bertindak untuk memodifikasi atau mengubah keinginan awal, sehingga
tidak memiliki kaitan lebih lanjut dengan perilaku yang diamati
Tingkat
kekhususan
yang berbeda
Keinginan yang diukur harus dapat dispesifikasi pada tingkat yang sama
dengan perilaku yang diamati, jiika tidak, maka hubungan diantaranya
akan lemah
Kejadian
lingkungan
yang tak
terduga
Contoh dari situasi ini misalnya ketika seseorang terpaksa mengubah
keinginan seseorang untuk membeli suatu barang di supermarket dengan
merek lain karena persediaan barang tersebut habis.
Konteks
situasional
yang tak
terduga
Kadangkala konteks situasional dalam benak konsumen pada saat
keinginan diukur berbeda dengan situasi pada saat perilaku dinyatakan.
Derajat
pengendalian
kesengajaan
Beberapa perilaku tidak berada di bawah pengendalian kemauan penuh.
Oleh karena itu keinginan tidak dapat memperkirakan secara akurat
perilaku yang dipengendalian.
25
Faktor Contoh
Stablitas
keinginan
Beberapa keinginan cukup stabil karena didasarkan pada struktur
kepercayaan utama pada sikap konsumen terhadap perilaku dan norma
subjektif yang dibangun dengan baik. Keinginan lain tidah stabil, karena
hanya didirikan di atas sejumlah kecil keyakinan yang dipegang lemah
dan dapat dengan mudah berubah
Informasi baru
Konsumen dapat menerima informasi baru tentang konsekwensi utama
perilaku mereka, yang membawa pada perubahan keyakinan dan sikap
mereka terhadap tindakan dan atau norma subjektif. Perubahan ini pada
akhirnya akan mengubah keinginan. Keinginan awal tidak lagi relefan
pada perilaku dan tidak dapat memperkirakan perilaku akhir secara
akurat.
Sumber:Peter & Olson, 1996
Perilaku konsumen yang berisi sedikit pengetahuan dan tingkat keterlibatan yang
rendah dalam ingatan sangat sulit untuk diperkirakan, karena konsumen hanya
memiliki sedikit kepercayaan dalam ingatan yang akan menjadi dasar bagi sikap
dan keinginan mereka. Pada kasus tersebut, keinginan konsumen yang diukur
mungkin diciptakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Namun, sebelum
mendasarkan prediksi masa mendatang atas pengukuran sikap dan keinginan,
peneliti perlu menentukan apakah konsumen dapat diharapkan memiliki
kepercayaan, sikap, dan keinginan yang terbentuk dengan baik terhadap perilaku
tersebut.
2.5. Attitudes (sikap)
Sikap dapat diuraikan sebagai respon konsisten yang memiliki kecenderungan
positif atau negatif berkenaan dengan suatu obyek (Aizen, 1985), sementara Kotler
(2000) menyatakan bahwa sikap adalah evaluasi, perasaan emosional, dan
kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dan
bertahan lama dari seseorang terhadap suatu obyek atau gagasan. Peter & Olson
(1996) mendefinisikan sikap sebagai evaluasi konsep secara menyeluruh yang
26
dilakukan seseorang. Selama proses integrasi, konsumen mengkombinasikan
beberapa pengetahuan, arti dan kepercayaan tentang produk atau merek untuk
membentuk evaluasi menyeluruh. Kepercayaan ini dapat dibentuk melalui proses
interpretasi atau diaktifkan dari ingatan. Kanuk dan Schiffman (2004) menyatakah
bahwa sikap adalah kecenderungan perilaku positif atau negatif yang konsisten
terhadap suatu objek yang didapatkan dari hasil pembelajaran.
Selain empat definisi tersebut, terdapat hampir 100 definisi lain tentang sikap
(Peter & Olson, 1996) yang kesemuanya memiliki satu kesamaan yang umum
yaitu pada evaluasi seseorang. Orang memiliki sikap terhadap hampir semua hal
mulai dari agama, politik, pakaian, musik, makanan dan lain-lain. Sikap
menempatkan semua itu kedalam sebuah kerangka pemikiran yang menyukai atau
tidak menyukai sebuah obyek, bergerak mendekati atau menjauhi obyek tersebut.
Sikap menyebabkan orang-orang berperilaku secara cukup konsisten terhadap
obyek serupa. Sikap seseorang membentuk pola konsisten dan sangat mungkin
sulit berubah karena itu untuk mengubah suatu sikap mungkin mengharuskan
penyesuaian sikap-sikap lain secara besar-besaran. Seseorang dapat memiliki sikap
terhadap berbagai obyek fisik dan sosial (produk, merek, toko, dll) dan sikap
terhadap obyek imajiner seperti ide dan konsep (kapitalisme, harga murah, dsb),
serta sikap terhadap perilaku atau tindakan mereka, termasuk didalamnya tindakan
masa lalu dan tindakan masa depan.
Perilaku berada di dalam dan dipengaruhi oleh situasi, dimana situasi tertentu
dapat mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen. Sehingga situasi harus
dipertimbangkan dalam penelitian mengenai pengukuran sikap, sehingga dapat
dihindari kesalahan interpretasi dalam menganalisis hubungan antara sikap dan
perilaku (Kanuk & Schiffman, 2004). Umumnya pada situasi dimana seorang
konsumen ingin memecahkan suatu masalah atau memuaskan kebutuhan, maka
mereka akan membangun sikap terhadap suatu produk atau jasa berdasarkan
informasi (pengetahuan dan keyakinan) yang dimilikinya. Para peneliti
27
menyarankan bahwa dalam memformulasikan sikap, maksimal terdapat tiga
keyakinan (beliefs) yang akan memberikan kontribusi yang penting, sementara
sisanya hanya memberikan input yang rendah terhadap sikap (Holbrook, 1981
dalam Kanuk & Schiffman, 2004).
Pembentukan sikap konsumen menurut Kanuk & Schiffman (2004) dipengaruhi
oleh pengalaman pribadi, pengaruh teman dan keluarga, pemasaran langsung dan
media masa. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut; pengalaman pribadi
mempengaruhi ketika konsumen pernah merasakan membeli atau mengkonsumsi
produk dan layanan dan menyimpulkan sikap dari pengalaman mereka. Hasil
penelitian menunjukan bahwa sikap yang dibentuk oleh pengalaman pribadi
bertahan lebih kuat dibandingkan sikap yang dibentuk bukan oleh pengalaman
pribadi.
Pengaruh lain selain pengalaman adalah keterlibatan dengan orang-orang terdekat
seperti teman dan keluarga. Peranan keluarga dalam memberikan informasi yang
mempengaruhi sikap sangat penting, karena keluarga mendidik seseorang dengan
bilai-nilai dasar dan keyakinan. Kegiatan para pemasar melalaui pemasaran
langsung juga mengubah formasi sikap. Pemasaran langsung dilakukan untuk
menjangkau pangsa pasar tertentu (niches) agar produk dan jasa yang ditawarkan
dapat sesuai dengan minat dan gaya hidup mereka. Pemasaran langsung dapat
mengubah formasi sikap konsumen karena produk dan jasa yang ditawarkan serta
pesan dalam promosi yang dilakukan dirancang sedemikian rupa sehingga
memiliki kesempatan lebih besar untuk dapat mengubah sikap dibandingkan
dengan pemasaran masal.
Selain pengaruh yang telah disebutkan sebelumnya, pengaruh lain adalah
informasi yang didapatkan dari media massa. Media massa menyediakan informasi
penting yang mempengaruhi pembentukan sikap. Hasil penelitian menunjukan
bahwa informasi yang berasal dari media masa akan lebih mempengaruhi mereka
28
yang belum pernah memiliki pengalaman dengan produk atau jasa yang
ditawarkan daripada mereka yang sebelumnya telah memiliki pengalaman.
Sehingga iklan lebih cocok ditawarkan bagi mereka yang belum pernah
mengkonsumsi atau memakai jasa yang diiklankan, karena pengaruhnya terhadap
pembentukan sikap akan lebih terlihat.
Para pemasar yakin bahwa mengubah sikap konsumen merupakan salah satu
strategi kunci dalam pemasaran. Perusahaan selalu berusaha mengubah sikap
konsumen terhadap produk mereka menjadi lebih positif dan sebaliknya terhadap
produk pesaing. Beberapa strategi untuk mengubah sikap antara lain adalah
mengubah fungsi dasar motivasi konsumen, menghubungkan sebuah produk
dengan kelompok atau kegiatan yang digemari konsumen, memecahkan atau
menjembatani dua skap yang saling bertentangan, mengubah komponen dari
model multiatribut dan mengubah keyakinan konsumen pada produk pesaing
Kanuk & Schiffman; 2004).
2.6. Nilai dan Norma
Konsumen memiliki nilai tentang pribadi dan simbolis yang dapat dipenuhi atau
dipuaskan oleh suatu produk atau merek. Nilai adalah sasaran hidup yang luas dari
masyarakat seperti misalnya pernyataan “saya ingin berhasil”. Nilai juga
melibatkan afeksi hubungan dengan kebutuhan atau tujuan tersebut (perasaan dan
emosi yang menyertai keberhasilan). Menyadari bahwa nilai telah terpuaskan atau
tujuan utama hidup telah tercapai cenderung tidak nyata dan subjektif (contoh pada
kalimat: “saya merasa aman”, “saya dihormati oleh orang lain”, “saya berhasil”).
Sebaliknya, konsekwensi fungsional dan psikologis lebih nyata, dan lebih jelas
ketika terjadi misalnya saja pada pernyataan “semua orang memperhatikan saya
ketika saya menggunakan baju sutra itu” (Peter & Olson, 1996).
29
Sementa itu Engel meyatakan bahwa nilai adalah kepercayaan bersama atau norma
kelompok yang telah diserap oleh individu melalui tahap modifikasi. Individu
memiliki nilai yang didasarkan pada nilai inti dari masyarakat tempat mereka
tinggal, tetapi kemudian dimodifikasi oleh nilai dari kelompok lain dimana mereka
menjadi anggotanya dan situasi kehidupan individual atau kepribadian. Nilai
pribadi menjawab pertanyaan, “Apakah produk ini untuk saya?” Nilai tersebut
khususnya penting dalam tahap pengenalan kebutuhan dari pengambilan
keputusan konsumen. Nilai juga digunakan oleh konsumen dalam menentukan
kriteria evaluasi, dengan menjawab pertanyaan “Apakah merek ini untuk saya?”
Nilai juga mempunyai pengaruh pada keefektifan program komunikasi sewaktu
konsumen bertanya, “Apakah suatu situasi yang digambarkan dalam iklan adalah
situasi dimana saya akan berpartisipasi?”.
Engel (1992) juga menyatakan bahwa norma adalah kepercayaan yang dianut
dengan konsesnus dari suatu kelompok sehubungan dengan kaidah perilaku untuk
anggota individual. Manusia mempelajari norma mereka melalui peniruan atau
dengan mengamati proses ganjaran dan hukuman di dalam masyarakat dari
anggota-anggota yang mematuhi atau menyimpang dari norma kelompok. Bila
norma tidak lagi memberikan kepuasan di dalam masyarakat, maka norma tersebut
akan punah. Misalnya untuk mengerti konsumen, maka perusahaan harus
memperhatikan respon pemuasan fisik atau sosial seperti apa yang diberikan oleh
norma budaya. Para pekerja kantoran yang jarang bergerak, mungkin akan lebih
berminat untuk membeli daging olahan yang lezat, namun berkalori rendah
dibandingkan dengan daging tebal yang banyak mengandung lemak.
Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan nilai. Salah satu cara yang
sangat berguna adalah dengan mengidentifikasikan dua jenis nilai, yaitu nilai
instrumen dan nilai terminal. Nilai Instrumen adalah pola perilaku atau cara
bertindak yang diinginkan seperti misalnya bersenang-senang, bertindak
independent dan menunjukan rasa percaya diri. Nilai terminal disisi lain adalah
30
adalah status keberadaan yang diinginkan atau status psikologis yang luas seperti
misalnya perasaan bahagia, damai dan berhasil. Nilai instrumental dan terminal
(tujuan atau kebutuhan) mewakili konekuensi terluas dan paling personal yang
ingin dicapai seseorang dalam hidupnya.
Nilai yang merupakan aspek sentral dari konsep pribadi seseorang atau disebut
sebagai pengetahuan tentang diri mereka sendiri disebut sebagai nilai inti (core
values). Nilai inti adalah elemen kunci dalam suatu skema pribadi, yaitu satu
jaringan asosiatif pengetahuan tentang diri sendiri yang saling berhubungan.
Disamping nilai, termasuk dalam skema pribadi adalah kepercayaan dan perasaan
tentang tubuh seseorang, pengetahuan tentang kejadian penting dalam hidup, dan
pengetahuan tentang perilaku seseorang. Nilai inti konsumen memiliki pengaruh
besar terhadap proses kognitif dan perilaku pemilihan mereka, sehingga menjadi
hal yang menarik bagi pemasar dan biasanya dipakai dalam iklan. Karena
mewakili konsekuensi penting yang relevan secara pribadi, maka nilai sering
dihubungkan dengan tanggapan afektif yang kuat. Memuaskan suatu nilai biasanya
menciptakan afeksi positif (kebahagiaan, suka cita, kepuasan), sementara memblok
suatu nilai menciptakan afeksi negatif (frustasi, amarah, kekecewaan). Kesimpulan
yang dapat ditarik adalah bahwa konsumen dapat memiliki pengetahuan produk
tentang ciri produk, konsekuensi menggunakan produk dan nilai personal.
2.7. Perceived Behavioral Control
Telah banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan dan memprediksikan
perilaku. Dalam berbagai penelitian terlihat indikasi bahwa intensi adalah
indikator utama dari perilaku, namun pencapaian perilaku seseorang bukan hanya
ditentukan oleh intensi, namun juga ditentukan oleh faktor lain. Misalnya saja
dalam perilaku usaha seseorang untuk menurunkan berat badan, bukan hanya
dengan mengurangi makan dan menambah frekuensi olahraga, namun juga
31
terdapat faktor lain seperti faktor psikologis dan faktor lain yang tidak dapat
dikendalikan. Dapat dikatakan bahwa manusia memiliki pengendalian yang lebih
besar atas kemauan dibandingkan dengan pengendalian terhadap perilakunya. Dari
dekat dapat terlihat bahwa perilaku yang sesuai dengan kemauan seseorang juga
merupakan subjek dari pengendalian kemauan yang tidak lengkap. Hal ini
misalnya dapat dilihat dalam perilaku mengemudi kendaraan bermotor yang
mengharuskan seseorang memiliki keahlian dan surat izin mengemudi untuk
mengendarainya, meskipun orang itu tetap dapat mengemudikan kendaraan
bermotor tanpa memiliki surat izin mengemudi. Dengan demikian, perilaku dan
tujuan memiliki derajat pengendalian keinginan pribadi, jika perilaku biasanya
berakhir dikeinginan pribadi, maka tujuan biasanya berujung dikeinginan
nonpribadi.
Jelas bahwa pengukuran intensi hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki
keterbatasan atau pengendalian atas sesuatu yang berasal dari keinginan pribadi.
Maka jika dalam sebuah penelitian ditemukan korelasi yang rendah antara intensi
dan perilaku, maka mungkin hal tersebut disebabkan karena peneliti berusaha
untuk mengukur kriteria yang memiliki pengendalian keinginan pribadi yang
relatif rendah. Dengan demikian, agar peneliti dapat menjelaskan perilaku dengan
lebih baik, maka perlu dilakukan penelitian dengan mempertimbangkan tidak
hanya intensi, namun juga derajat pengendalian keinginan pribadi. Pengendalian
keinginan pribadi dapat menjadi variabel moderator dalam hubungan intensi dan
perilaku. Hubungan antara intensi dan perilaku menjadi lebih kuat jika
pengendalian keinginan pribadi juga tinggi. Namun seseorang hanya bisa
memasukkan pengaruh dari pengendalian keinginan pribadi jika seseorang
menyakini bahwa seiap individu memiliki derajat pengendalain yang berbeda.
Dikarenakan keterbatasan untuk mengukur pengendalian keinginan nyata, maka
sangat memungkinkan untuk mengukur pengendalian perilaku dari persepsi
seseorang atas pengendalian perilaku (perceived behavioral control) yang
dimilikinya. Perceived behavioral control dapat mewakili kontrol nyata untuk
32
memprediksi behavior. Banyak penelitian yang dilakukan sejak tahun 1975
memperlihatkan bahwa peneliti dapat memprediksikan perilaku dengan lebih baik
ketika mereka memasukkan faktor perceived behavioral control. Dari hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa aturan umum yang berlaku dalam memprediksikan
perilaku adalah bahwa jika seseorang memiliki control yang tinggi terhadap
performance perilakunya, maka mereka akan berperilaku sesuai dengan intensi
yang mereka miliki. Ketika perilaku tidak dipengaruhi oleh control keinginan yang
lengkap dan control perilaku nyata sulit untuk diketahui, maka peneliti dapat
mengukurnya dengan menggunakan persepsi control atau perceived behavioral
control untuk memperbaiki prediksi perilaku. Hal lain yang penting adalah untuk
memastikan cocoknya ukuran intensi dan behavior, juga stabilitas intensi terhadap
waktu, karena perubahan intensi cenderung akan mengubah validitas dari prediksi
yang dilakukan.
2.8. Beliefs (keyakinan)
Kotler (2000) memberikan definisi keyakinan sebagai gambaran pemikiran yang
dianut seseorang tentang suatu hal. Keyakinan mungkin berdasarkan pengetahuan,
pendapat atau kepercayaan. Keyakinan dapat membentuk citra dan merek sehingga
orang akan bertindak berdasarkan citra tersebut.
Sikap seseorang seringkali diukur dari keyakinannya. Keyakinan atau beliefs
terhadap sebuah obyek menjelaskan informasi mendasar mengenai sikap terhadap
obyek tersebut. Secara umum, keyakinan merujuk kepada penilaian subjektif
seseorang terhadap aspek-aspek yang berbeda dalam hidupnya, atau dapat
dikatakan tentang bagaimana seseorang memandang dirinya dan lingkungan
disekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka beliefs didefinisikan sebagai
probabilitas subjektif diantara obyek yang diyakini dengan obyek, nilai, atribut dan
konsep lainnya (Ajzen, 1985). Definisi ini secara tidak langsung menggambarkan
33
bahwa beliefs melibatkan hubungan antara dua aspek dari dunia seseorang.
Informasi mengenai hubungan ini didapatkan dari observasi langsung, yaitu ketika
seseorang melalui inderanya melihat bahwa sebuah obyek memiliki atributnya
masing-masing. Misalnya ketika seseorang melihat bahwa meja berbentuk bulat,
mencium atau merasakan bahwa segeas susu sudah basi atau melihat hitamnya
kulit seseorang. Pengalaman langsung seseorang terhadap suatu obyek
memberikannya informasi mengenai descriptive beliefs. Pandangan seseorang
memiliki validitas yang baik, sehingga jarang dipertanyakan kebenarannya,oleh
sebab itu biasanya descriptive beliefs memiliki kepastian maksimal, namun
semakin lama, ketika orang cenderung lupa maka descriptive beliefs ini menjadi
semaki lemah.
Interaksi seseorang dengan orang lain dapat menimbulkan beliefs atau keyakinan
tentang sifat atau sika seseorang yang tidak terobservasi. Perkenalan dengan
seseorang A dapat menciptakan keyakinan mengenai kepribadian dan sifat orang
tersebut meskipun kenyataannya tidak terobservasi. Misalnya orang yang gemuk
dan lucu diyakini memiliki sifat yang ceria dan gembira, dan orang yang menangis
diyakini sedang sedih. Keyakinan yang ditarik bukan berdasarkan observasi
langsung dikatakan sebagai inferential beliefs. Keyakinan seperti ini
menyimpulkan suatu kondisi dari hasil observasi langsung, misalnya saja karena
pernah melihat seseorang yang sedih menangis, maka jika seseorang menangis,
dapat disimpulkan bahwa orang tersebut sedang bersedih. Inferential beliefs
dibentuk berdasarkan kesimpulan sebelumnya, namun jika dianalisis lebih lanjut,
maka keyakinan ini berasal dari descriptive beliefs.
Keyakinan yang dimiliki seseorang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung
terhadap suatu obyek, atau melalui proses pengambilan kesimpulan. Seringkali
seseorang menerima informasi mengenai suatu obyek yang berasal dari sumber
eksternal seperti buku, majalah, televisi, radio, perkuliahan, teman dan lain
sebagainya. Jika terbentuknya keyakinan dipengaruhi oleh informasi dari luar,
34
maka hal ini disebut sebagai informational beliefs. Sehingga meskipun observasi
langsung mengenai hubungan suatu obyek dan atributnya dapat menghasilkan
descriptive beliefs, informasi dari luar yang menghubungkan suatu obyek dengan
suatu atribut dapat menghasilkan informational beliefs. Jika seseorang
mendapatkan informasi dari surat kabar bahwa seorang politisi memiliki sifat licik,
maka dia akan memiliki keyakinan bahwa seorang politisi memiliki sifat licik, dan
orang itu akan mengulang memorinya tentang kelicikan seorang politisi ketika
suatu saat ditanya mengenai hal yang sama. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi apakah informasi yang diterima seseorang dari luar dapat diterima
menjadi informational beliefs.
Pembentukan descriptive beliefs diyakini merupakan hasil dari observasi langsung.
Kesimpulan ini didapatkan dari banyak hasil penelitian eksperimental yang
dilakukan dengan memanipulasi rangsangan yang diberikan terhadap seseorang,
baik itu perempuan maupun laki-laki, tentang suatu obyek. Hasilnya menunjukkan
bahwa, keyakinan yang dibentuk merupakan refleksi dari hasil observasi seseorang
terhadap suatu obyek. Hanya dalam kasus tertentu seseorang cenderung memiliki
keyakinan yang berbeda dengan kenyataan, yaitu ketika observasi dilakukan
sangat singkat pada kejadian yang mendadak seperti kecelakaan atau kejadian
traumatis dan saat seseorang terhipnotis dan membentuk persepsi yang salah.
Namun dalam kondisi yang normal, hal ini jarang sekali terjadi. Dalam banyak
penelitian terungkap bahwa sikap, karakter, dan keyakinan pribadi seseorang tidak
mempengaruhi descriptive beliefs yang terbentuk dari hasil observasi langsung,
namun tetap harus diperhatikan sebagai faktor-faktor tersebut berperan penting
terhadap terbentuknya inferential beliefs.
Peter dan Olson (1996) menyatakan bahwa melalui pengalaman konsumen
mendapatkan kepercayaan (beliefs) tentang produk, merek, dan obyek lain dalam
lingkungan. Kepercayaan atau keyakinan ini merupakan suatu jaringan asosiatif
dari arti yang saling dihubungkan dan tersimpan dalam ingatan. Karena kapasitas
35
kognitif seseorang terbatas, maka sebagian kecil dari kepercayaan ini yang dapat
diaktifkan dan dikendalikan dengan baik pada suatu saat. Keyakinan yang
diaktifkan disebut sebagai keyakinan utama. Hanya keyakinan utama (salient
beliefs) tentang suatu obyek tertentu yang menyebabkan atau menciptakan sikap
seseorang terhadap obyek tertentu. Oleh karena itu, salah satu kunci untuk
memahami sikap konsumen adalah dengan mengidentifikasi dan memahami apa
yang mendasari salient beliefs.
2.9. Kerangka Teoritis
Sekaran (2003) menyatakan bahwa tahap penyusunan kerangka teoritis membahas
saling ketergantungan antar variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi
dinamika situasi yang sedang diteliti. Penyusunan kerangka ini akan membantu
peneliti untuk mengendalikan, menghipotesiskan dan menguji hubungan tertentu
sehingga meningkatkan pemahaman mengenai dinamika situasi. Pada tahap ini
dapat disusun hipotesis yang dapat diuji untuk mengetahui apakah teori yang
dirumuskan valid atau tidak. Hubungan yang dihipotesiskan kemudian dapat diuji
dengan analisis statistik yang tepat.
Dalam hubungannya dengan perilaku masyarakat pedesaan terhadap teknologi
telekomunikasi telepon, maka peneliti tertarik untuk menguraikan perilaku
masyarakat pedesaan dengan mengunakan model dasar TRA dan TPB yang
menempatkan intensi sebagai variabel terikat. Variavel bebas yang mempengaruhi
variabel terikat terdiri dari variabel-variabel yang terdapat di dalam model TPB
yang dikembangkan oleh Ajzen (1991) sebagai berikut (1) keyakinan tentang
kemungkinan akibat dari suatu perilaku dan evaluasi dari akibat perilaku tersebut
(behavioral beliefs), (2) keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan
motivasi untuk mencapai harapan tersebut (normative beliefs) dan (3) keyakinan
tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat mendukung atau menghambat
36
terjadinya perilaku dan sebesar apa pengaruh faktor-faktor tersebut (control
beliefs). Behavioral beliefs menghasilkan sikap positif atau negatif terhadap
perilaku, normative beliefs menghasilkan norma subjektif dan control beliefs
menghasilkan pengendalian perilaku. Kombinasi sikap terhadap perilaku, norma
subjektif dan pengendalian perilaku akan mempengaruhi behavioral intensi. Salah
satu variabel dari tiga variabel bebas tersebut di atas yaitu perceived behavioral
control merupakan variabel baru yang membedakan model TPB dan TRA. Penting
atau tidaknya variabel-variabel ini relatif dan tergantung pada perilaku dan situasi
yang berbeda-beda. Dalam satu kasus dapat ditemukan bahwa attitude yang
berpengaruh signifikan terhadap intensi, sementara dalam kasus lainnya
dimungkinkan kedua variabel ini sama-sama memberikan pengaruh yang
signifikan. Aturan umum dalam hubungan variabel ini adalah: semakin baik
attitude dan subjective norm terhadap perilaku, maka akan semakin besar intensi
seseorang untuk melakukan sesuatu.
Pada model TRA (Fischbein, 1980), intensi hanya dipengaruhi oleh attitude dan
subjective norm. Ajzen (1991) kemudian mengikutsertakan variabel perceived
behavior control (PBC) ke dalam model TRA dan menamakan model ini sebagai
TPB. Penambahan variabel ini dilakukan karena dalam perkembangannya, TRA
dirasa kurang mengakomodir perilaku seseorang ketika subjek tidak memiliki
kebebasan untuk berperilaku atas kemauannya sendiri. (Ajzen, 1991; Ajzen, 2006).
Pendapat Ajzen ini diperkuat oleh telah dilakukannya 16 penelitian di berbagai
bidang mengenai perilaku yang menunjukan bahwa keikutsertaan PBC dalam
model meningkatkan kekuatan model untuk memprediksi dan menjelaskan niat
seseorang.
Sampai dekade terakhir, TRA dan TPB masih digunakan untuk menjelaskan
perilaku dala berbagai bidang dan menghasilkakn temuan yang beragam. Dalam
penelitian mengenai perilaku guru dalam menggunakan komputer, Smarkola
(2008) menyatakan bahwa model TPB menunjukan manfaat yang besar dalam
37
menjelaskan perilaku yang dimaksud dalam penelitian. Sementara TRA dapat
menjelaskan perilaku konsumsi daging di Irlandia dengan hasil bahwa kedua
variabel (Attitude dan Subjective norm) berpengaruh signifikan positif terhadap
intensi (McCarthy, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Nasco et.al (2007) dengan menggunakan teori TPB
pada studi kasus para manajer dan pengusaha kecil menengah di Chile
menunjukan bahwa perceived behavioral control tidak berpengaruh signifikan
pada pembentukan intensi. Penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan
dengan TPB juga ditemukan menggambarkan hubungan yang tidak konsisten
mengenai PBC dalam TPB. Penelitian yang membuktikan bahwa PBC
berpengaruh signifikan terhadap intensi dilakukan oleh Chang (Nasco et.al, 2007)
yang menemukan bahwa PBC merupakan prediktor dari intensi yang paling kuat,
Verkatesh (dalam Nasco et. al, 2007) menemukan bahwa PBC dapat menjadi
prediktor dari intensi hanya dalam beberapa bagian dari hubungan, sementara
Riemenscheider et.al. (2003) bahkan menemukan bahwa PBC tidak dapat
dibuktikan sebagai prediktor bagi intensi. Celuch et.al. (2007) bahkan
menyarankan agar penelitian lanjutan melakukan pengujian hubungan moderasi
diantara variabel yang terdapat di dalam model TPB.
Berdasarkan beberapa penelitian empiris yang diuraikan diatas, maka peneliti
melihat masih terdapat kemungkinan untuk menggali hubungan intensi dengan
variabel-variabel lainnya dalam model PBC. Untuk itu, peneliti tertarik untuk
menempatkan PBC sebagai variabel moderator yang akan mengubah hubungan
attitude towards the behavior (AB) dan subjective norm (SN) terhadap intensi (I)
dalam konteks teknologi telekomunikasi telepon di pedesaan. Model penelitian
dapat dilihat pada gambar 2.4.
38
Gambar 2.4 Model Penelitian
2.10. Hipotesis Penelitian
Sugiyono (1999) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang
diberikan baru berdasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-
fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat
dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian dan
belum jawaban yang empirik. Bila dilihat dari tingkat eksplanasinya, bentuk
rumusan masalah penelitian ada tiga, yaitu rumusan masalah deskriptif (variabel
mandiri), komparatif (perbandingan) dan asosiatif (hubungan). Oleh karena itu,
maka bentuk hipotesis penelitian juga ada tiga yaitu hipotesa deskriptif, komparatif
dan asosiatif/hubungan.
Penyusunan hipotesis dilakukan setelah variabel-variabel dalam penelitian
diidentifikasi dan dicari hubungannya melalui pemikiran logis dan kerangka
teoritis. Peneliti kemudian berada dalam posisi untuk menguji apakah hubungan
39
yang diteorikan benar-benar terbukti kebenarannya. Dengan menguji hipotesis dan
menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan solusi dapat ditemukan untuk
masalah yang dihadapi (Sekaran 2003).
Lebih lanjut disebutkan bahwa menurut kaidah ilmu sosial, untuk menyebutkan
sebuah hubungan signifikan secara statistik, maka peneliti harus yakin bahwa 95
dari 100 hubungan yang diamati akan mendukung hipotesis. Hanya boleh ada 5%
peluang bahwa hubungan tersebut tidak ditemukan.
Hipotesis direksional adalah hipotesis yang menyatakan hubungan antara dua
variabel atau membandingkan dua kelompok dengan menggunakan istilah-istilah
seperti positif, negatif, lebih dari, kurang dari dan sebagainya. Sementara hipotesis
nondireksional adalah hipotesis yang mendalikan hubungan atau perbedaan, tapi
tidak memberikan indikasi mengenai arah dari hubungan atau perbedaan tersebut.
Dari latar belakang penelitian dapat digambarkan bahwa terdapat dorongan yang
kuat untuk menghubungkan seluruh pedesaan di Indonesia dengan jaringan
telekomunikasi. Ini tidak hanya menjadi agenda pemerintah, namun juga pihak
swasta. Terlihat dengan semakin meluasnya jaringan telekomunikasi ke wilayah
pedesaan yang dilakukan oleh operator-operator telekomunikasi di Indonesia.
Meskipun jumlah pedesaan di Indonesia yang belum terjangkau oleh telepon
masih tinggi, namun di beberapa daerah khususnya pulau Jawa, sudah hampir
semua pedesaan terjangkau oleh layanan telekomunikasi (Depkominfo, 2007).
Populasi masyarakat pedesaan yang telah terjangkau oleh teknologi
telekomunikasi akan menjadi objek dari penelitian ini. Meskipun telah terjangkau
oleh layanan teknologi telekomunikasi telepon, tidak semua masyarakat pedesaan
memiliki telepon. Oleh sebab itu menarik kiranya untuk mengetahui variabel apa
saja yang dapat dijadikan parameter untuk mengukur attitude, subjective norm dan
perceived behavioral control masyarakat pedesaan dan bagaimana hubungan
40
masing-masing variabel terhadap intensi masyarakat pedesaan untuk memiliki dan
menggunakan teknologi telekomunikasi.
Mengacu pada kaidah umum hubungan setiap variabel dalam TPB yang
dikemukakan oleh Ajzen (2006), maka hipotesis penelitian yang disusun untuk
hubungan antara variabel attitude toward behavior (AB) dengan intensi (I) adalah
H1 Sikap masyarakat pedesaan terhadap telepon berpengaruh positif terhadap
intensi mereka untuk memiliki dan menggunakan teknologi
telekomunikasi telepon
Untuk hubungan antara subjective norm (SN) dengan intensi (I), hipotesis
penelitian yang disusun adalah :
H2 Norma subjektif masyarakat pedesaan terhadap telepon berpengaruh
positif terhadap intensi mereka untuk memiliki dan menggunakan
teknologi telekomunikasi telepon
Dalam penelitian ini, hubungan variabel perceived behavior control (PBC) diteliti
pada dua model, yang pertama adalah sebagai variabel independen (gambar 2.4)
dan yang kedua sebagai variabel moderator yang mempengaruhi hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen. Sebagai variabel independen,
hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
H3.1 Peceived behavior control masyarakat pedesaan terhadap telepon
berpengaruh positif terhadap intensi mereka untuk memiliki dan
menggunakan teknologi telekomunikasi telepon
Sementara sebagai variabel moderator, hipotesis penelitian yang diajukan adalah
sebagai berikut :
41
H3.2 Perceived behavior control masyarakat pedesaan terhadap kepemilikan dan
penggunaan telepon mempengaruhi hubungan antara sikap dan intensi
serta hubungan antara norma subjektif dan intensi masyarakat pedesaan
untuk memiliki dan menggunakan teknologi telekomunikasi telepon
Hubungan hipotesis yang dimiliki peneliti dapat dilihat dalam gambar 2.5.
Gambar 2.5 Peta Hipotesis dalam Penelitian