lembaga administrasi negara pusat kajian...

91
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintah Desa : Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Marsono Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa : Potensi Permasalahan dan Solusi Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Edy Sutrisno Dinamika dan Problematika Implementasi UU Desa : Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat Rusman Nurjaman Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-Undangan Rico Hermawan Menilik Potensi Disharmoni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Sabilla Ramadhiani Firdaus Jurnal Desentralisasi LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Volume 13 Nomor 1 Halaman 1-83 2015 ISSN : 1412-3568 JURNAL DESENTRALISASI VOLUME 13 NOMOR 1 TAHUN 2015

Upload: doanlien

Post on 05-Feb-2018

278 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintah Desa : Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Marsono Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa : Potensi Permasalahan dan Solusi Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Edy Sutrisno Dinamika dan Problematika Implementasi UU Desa : Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat Rusman Nurjaman Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-Undangan Rico Hermawan Menilik Potensi Disharmoni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Sabilla Ramadhiani Firdaus

Jurnal

Desentralisasi

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Volume 13 Nomor 1 Halaman 1-83 2015

ISSN : 1412-3568

JUR

NA

L D

ESE

NT

RA

LISA

SI VO

LU

ME

13

NO

MO

R 1

TA

HU

N 2

01

5

Page 2: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan
Page 3: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

i

ISSN : 1412-3568

Jurnal Desentralisasi Vol. 13 No. 1 Tahun 2015

Redaksi :

Pengarah : Sri Hadiati WK SH, MBA Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si Dewan Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si

Ani Suprihartini, SE, MM Widhi Novianto, S.Sos, M.Si Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si

Mitra Bestari : Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Administrasi

Publik) Dr. Makhdum Priyatno, MA (Administrasi Publik) Dr. Hanif Nurcholis, M.Si (Pemerintahan Desa) Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, MA (Politik Lokal)

Redaktur Pelaksana : Tony Murdianto Hidayat, S.Si Redaksi : Rico Hermawan, SIP Rusman Nurjaman, S.Fil

Maria Dika Puspita Sari, SIA

Diterbitkan oleh:

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

(Center For Decentralization and Local Autonomy Studies)

Lembaga Administrasi Negara

(National Institute Of Public Administration)

Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110

Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102

Website : www.lan.go.id/web/dkk/

Email : [email protected]

2015

UNDANGAN MENULIS :

Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Politik Lokal. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile copy. Redaksi berhak, melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan yang menarik

Page 4: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ii JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Daftar Isi

Editorial iii - iv

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintah Desa : Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Marsono

1-15

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa : Potensi Permasalahan dan Solusi Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis

16-31

Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Edy Sutrisno

32-46

Dinamika dan Problematika Implementasi UU Desa : Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat Rusman Nurjaman

47-60

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-Undangan Rico Hermawan

61-75

Menilik Potensi Disharmoni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Sabilla Ramadhiani Firdaus

76-83

Petunjuk Penulisan 84-85

Page 5: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 iii

Editorial

Kehadiran Undang-undang Nomor 6 Ta-hun 2014 tentang Desa membawa harapan sekaligus kegelisahan baru. Semangat untuk membangun Indonesia melalui pembangun-an desa menjadi filosofi penyusunan undang-undang tersebut. Kucuran dana milIaran yang akan diterima desa menjadi pendorong untuk mensejahterakan masyarakat desa. Sudah saatnya desa diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk membangun wilayah-nya sendiri, untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan, sejajar dengan daerah-daerah perkotaan.

Di sisi lain, muncul kegelisahan terkait kapasitas sumber daya manusia (SDM) penyelenggara pemerintahan desa. SDM di desa dipandang belum mampu diserahi tugas dan tanggung jawab seberat itu. Apalagi mengelola dana yang mencapai milyaran rupiah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 14 potensi penyeleweng-an dana desa yang meliputi aspek regulasi dan kelembagaan, tata laksana pengawasan, dan sumber daya manusia.

Terlepas dari pro dan kontra yang timbul, kehadiran Undang-undang tentang Desa me-mang membuka ruang diskusi bagi publik. Untuk itulah, Jurnal Desentralisasi kali ini mengangkat tema besar seputar implemen-tasi UU Desa. Melalui topik tersebut, diharap-kan muncul ide, gagasan maupun pemikiran konstruktif tentang penguatan desa dan ka-pasitas pemerintah desa.

Edisi ini menyajikan sejumlah tulisan yang merefleksikan sejumlah gagasan seba-gai respon atas dinamika yang berkembang terkait implementasi UU Desa. Melalui tulisan berjudul “Penguatan Kapasitas Pelayanan Pu-blik Pemerintah Desa: Membangun Konstruk-si Model Pelayanan Publik Desa”, Marsono menawarkan pengembangan suatu model pelayanan publik bagi masyarakat desa. Ada-nya UU Desa baru tentu akan mengubah mo-del pelayanan publik yang selama ini diberi-kan kepada masyarakat desa.

Tulisan berikutnya menyoal aspek penge-lolaan keuangan desa. Dalam tulisan bertajuk “Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasa-lahan dan Solusi”, Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis mencoba mengidentifikasi

potensi permasalahan pengelolaan keuangan desa yang timbul akibat dikucurkannya dana desa dan mencoba menawarkan solusinya.

Sementara itu, Edy Sutrisno mengangkat tema kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah dalam sistem pemerintahan. Melalui tulisan berjudul “Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pem-erintahan Daerah di Negara Kesatuan Repu-blik Indonesia”, Edy menguraikan analisisnya mengenai efektivitas kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan rumusan kedudukan, peran dan fungsi gubernur seba-gai wakil pemerintah pusat di masa menda-tang. Menurut dia, terdapat sejumlah faktor determinan yang menjadi penyebab mengapa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerin-tah pusat tidak berjalan efektif. Selain itu, dia juga merumuskan dua desain sistem peme-rintahan daerah, yaitu 1) provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom-kabupaten/ kota daerah otonom; dan 2) provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom-ka-bupaten/kota wilayah administrasi dan dae-rah otonom.

Artikel selanjutnya membahas dinamika dan problematika dalam implementasi UU Desa yang ditulis oleh Rusman Nurjaman. Melalui tulisan bertajuk “Dinamika dan Pro-blematika Implementasi UU Desa: Pembelaja-ran dari Tiga Daerah Kabupaten di Jawa Ba-rat”, dia menilik bagaimana kesiapan Desa dalam implementasi UU Desa di beberapa daerah di Jawa Barat. Penulis berharap, pengalaman beberapa desa dalam mempersi-apkan diri pada masa-masa awal implemen-tasi UU Desa bisa menjadi pembelajaran ber-harga bagi upaya perumusan kebijakan baru dalam mengoptimalkan implementasi UU De-sa.

Rico Hermawan menelusuri riwayat peng-aturan desa dalam rentang sejarah kebijakan tentang desa. Melalui tulisannya yang ber-judul “Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia: Melihat Desa Dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-undangan”, penulis menyoroti sejarah pelaksanaan oto-nomi desa. Apakah UU Desa mampu mem-berikan jalan keluar bagi upaya pembaharu-an desa dan otonomi desa.

Page 6: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

iv JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Terakhir, melalui sebuah artikel lepas, Sabilla Ramadhiani mengetengahkan suatu tinjauan mengenai UU Desa itu sendiri. Dalam artikel berjudul “Menilik Potensi Dis-harmoni dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”, Sabilla mengiden-tifikasi adanya potensi ketidakselarasan da-lam peraturan perundang-undangan terse-but, utamanya menyangkut kewenangan ke-menterian yang terkait desa. Selain itu, dia juga mengingatkan kembali mengenai pera-turan pemerintah apa saja yang harus dibuat untuk menghindari dan meminimalisir ada-nya disharmoni atau tumpang tindih kewe-nangan kementerian terkait desa dalam menjalankan amanat undang-undang dan pengoptimalan implementasi UU Desa.

Redaksi menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan serta apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari sela-ku reviewer yang memberikan masukan yang berharga atas seluruh naskah yang masuk. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua penulis yang telah berupaya keras dan tidak putus asa telah melakukan revisi dan perbaikan naskahnya sesuai ko-reksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada sidang pembaca budiman, kami haturkan selamat membaca. Komentar dan masukkan dari pembaca mengenai isi, topik, dan penge-mbangan jurnal ke depan juga sangat kami nantikan. Semoga bermanfaat.

Page 7: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 1

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa

Strengthening the Capacity of Village Government in Public Services: The

Construction of Public Services Model

Marsono Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak: Pembangunan model pelayanan publik desa menjadi hal yang mendesak sejalan dengan meningkat-nya kewenangan Pemerintahan Desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintahan desa menyusun RPJMDes, APBDes, serta menyusun rencana pembangunan tahunan desa secara mandiri. Dengan demikian, terbuka peluang bagi pemerintahan desa untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada seluruh warga masyarakatnya sesuai dengan sifat dan karakteristik Desa masing-masing. Oleh karena itu, dalam perspektif pelayanan publik desa kedepan perlu disusun pola/model pelayanan publik desa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Berdasarkan data empiris, pelayanan publik desa selama ini hanya berupa pelayanan administratif berupa surat pengantar, yang selanjutnya masyarakat desa mengurus sendiri ke Kantor Kecamatan dan/atau ke Kantor Dinas Ka-bupaten/Kota. Untuk menghasilkan sebuah model pelayanan publik desa yang ideal, maka dalam kajian ini digunakan metode analisis yang relevan yaitu deskriptif eksploratif. Metode deskriptif dimaksudkan untuk menelaah dan mendeskripsikan pelayanan publik desa selama ini secara komprehensif. Sedangkan eksploratif lebih kepada upaya mengidentifikasi dan mengekplorasi jenis dan lingkup pelayanan publik desa yang secara tersirat dalam kewenangan-kewenangan yang dimili-ki pemerintah desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Selanjutnya berdasarkan kondisi eksisting dan kewenangan baru yang dimiliki, maka dapat disusun desain/konstruksi model pelayanan publik pemerintahan desa sesuai yang diamanatkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kata Kunci: Penguatan kapasitas, pelayanan publik, pemerintahan Desa

Abstract

Development model of rural public services becomes an urgent matter in line with the increasing

authority of the village government as mandated by Law No. 6 of 2014 on the village. With authority

possessed, village governance arrange RPJMDes, APBDes, as well as the village's annual development

plans independently. Thus, there are opportunities for rural districts to provide the best public

services to all citizens of the community in accordance with the nature and characteristics of each

village. Therefore, in the perspective of rural public services need to be developed in the future

pattern / model of rural public services in accordance with its authority. Based on empirical data, the

public service during the village's only form of administrative services in the form of a letter of

introduction, which then takes care of the villagers themselves to the District Office and / or to the

Office of the District / City. To produce a model of public service ideal village, then in this study used

a method of analysis that is descriptive exploratory relevant. Descriptive method is intended to

examine and describe the public services the village has been comprehensively. While exploratory

rather the effort to identify and explore the type and scope of public services that are implied in the

village of powers owned by the village government in accordance with Act No. 6 of 2014.

Furthermore, based on the conditions existing and new authority owned, it can be arranged design /

construction of village governance model of public service as mandated Act No. 6 of 2014 on the

village.

Keyword : Capacity building, public services, the village government

Page 8: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa

2 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

A. PENDAHULUAN

Pelaksanaan otonomi dan demokrasi Desa

yang dibingkai dengan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bukan

sekadar perkara kelembagaan semata, mela-

inkan mempunyai dasar filosofis yang dalam.

Masa depan negara ini, membutuhkan bangsa

yang mandiri, bermartabat, pemerintah yang

kuat (berkapasitas dan bertenaga) dan demo-

kratis. Upaya penguatan otonomi daerah dan

“otonomi desa” menjadi bagian dari cita-cita

itu, sekaligus hendak membangun imajinasi

Indonesia yang kuat dan sempurna, yang me-

lampaui (beyond) sentralisme dan lokalisme.

NKRI akan menjadi lebih kuat bila ditopang

oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian

lokal (daerah dan Desa), yakni pusat yang

“menghargai” lokal dan lokal yang “menghor-

mati” pusat. Kemandirian Desa akan menjadi

fondasi dan kekuatan NKRI, oleh karenanya

jika Desa selamanya marginal dan tergan-

tung, maka justru akan menjadi beban berat

pemerintah dan melumpuhkan fondasi NKRI

tersebut.

Jika menilik amanat Undang-Undang No-

mor 6 Tahun 2014, disebutkan bahwa pada

dasarnya otonomi Desa memiliki tujuan

sebagai berikut: (1) memperkuat kemandiri-

an Desa sebagai basis kemandirian NKRI; (2)

memperkuat posisi Desa sebagai subyek

pembangunan; (3) mendekatkan perencana-

an pembangunan ke masyarakat; (4) mem-

perbaiki pelayanan publik dan pemerataan

pembangunan; (5) menciptakan efisiensi

pembiayaan pembangunan yang sesuai

dengan kebutuhan lokal; (6) menggairahkan

ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat

Desa; (7) memberikan kepercayaan, tang-

gung jawab dan tantangan bagi Desa untuk

membangkitkan prakarsa dan potensi Desa;

(8) menempa kapasitas Desa dalam menge-

lola pemerintahan dan pembangunan; (9)

membuka arena pembelajaran yang sangat

berharga bagi pemerintah Desa, lembaga-

lembaga Desa dan masyarakat; dan (10)

merangsang tumbuhnya partisipasi masyara-

kat lokal.

Untuk mewujudkan kondisi Desa sebagai-

mana tersebut di atas, tentu banyak sekali hal

yang harus dilakukan oleh pemerintah, baik

pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan

serta seluruh stake holders terkait. Salah satu

hal yang sangat krusial adalah terkait dengan

penguatan kapasitas pelayanan publik Peme-

rintahan Desa, dimana esensi desentralisasi

dan otonomi daerah salah satunya adalah

mendekatkan pelayanan publik kepada

masyarakat. Oleh karena itu, membangun

model pelayanan publik dalam Pemerintahan

Desa menjadi sebuah keniscayaan dalam

mendorong desentralisasi dan otonomi desa

sebagai strategi dalam memperkuat NKRI

kedepan.

Membangun konstruksi model pelayanan

publik Desa paling tidak harus dimulai dari

mengidentifikasi aspek-aspek yang berkaitan

dengan manajemen pelayanan publik Desa

secara menyeluruh. Beberapa aspek yang

berpengaruh terhadap totalitas dalam pem-

berian pelayanan publik Desa yang berkua-

litas, antara lain terkait dengan: (1) peng-

organisasiannya; (2) bisnis proses; (3) SDM;

(4) Standar-standar; (5) IT dan Sarana pe-

ndukung lainnya.

Oleh karena itu, penguatan kapasitas pe-

layanan publik Desa pada dasarnya adalah

upaya-upaya untuk mengidentifikasi, mem-

bangun, menerapkan dan mengevaluasi seca-

ra baik dan konsisten seluruh aspek-aspek

pelayanan publik Desa sebagaimana tersebut

di atas. Dengan demikian, akan dapat dikem-

bangkan konstruksi model pelayanan publik

Desa baik menyangkut jenis dan jumlahnya,

pengorganisasiannya, ruang lingkupnya,

kompetensi SDM pelayanan Desa, standar-

standar pelayanannya serta penggunaan IT

untuk mendukung kelancaran dan kualitas

pelayanan publik Desa.

B. KONSTRUKSI PELAYANAN PUBLIK

DALAM UNDANG-UNDANG DESA

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa merupakan instrumen untuk

membangun visi menuju kehidupan Desa

yang mandiri, demokratis dan sejahtera.

Kemandirian Desa bukanlah kesendirian

Desa dalam menghidupi dirinya sendiri serta

berada di ruang yang hampa politik, tetapi

juga terkait dengan dimensi keadilan yang

berada dalam konteks relasi antara Desa

Page 9: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 3

(sebagai entitas lokal) dengan kekuatan

supra Desa (pusat dan daerah) yang lebih

besar. Secara lokal-internal, kemandirian

Desa berarti kapasitas dan inisiatif lokal yang

kuat. Inisiatif lokal adalah gagasan, kehendak

dan kemauan entitas Desa yang berbasis

pada kearifan lokal, komunalisme dan modal

sosial (kepemimpinan, jaringan dan solida-

ritas sosial). Dengan demikian, inisiatif lokal

yang kuat merupakan fondasi lokal bagi ke-

mandirian Desa.

Perspektif pelayanan publik Desa, berda-

sarkan amanat Undang-undang Republik In-

donesia Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 4 butir f,

dinyatakan bahwa pengaturan desa bertu-

juan meningkatkan pelayanan publik bagi

warga masyarakat desa guna mempercepat

perwujudan kesejahteraan umum. Sedang-

kan dalam Pasal 7 ayat (3) butir c, disebutkan

bahwa penataan Desa dimaksudkan untuk

mempercepat proses pelayanan publik. Sela-

njutnya Pasal 67 ayat (2) butir e, menya-

takan bahwa Desa berkewajiban memberi-

kan dan meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat desa. Lebih lanjut, dalam Pasal

68 ayat (1) butir b disebutkan bahwa masya-

rakat desa berhak memperoleh pelayanan

yang sama dan adil.

Isu kesejahteraan mencakup dua kompo-

nen besar, yakni penyediaan layanan dasar

(pangan, papan, pendidikan dan kesehatan)

dan pengembangan ekonomi Desa yang

berbasis pada potensi lokal. Kemandirian dan

demokrasi Desa merupakan alat dan peta

jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat

Desa. Desentralisasi memungkinkan alokasi

sumberdaya kepada Desa, dan demokrasi

memungkinkan pengelolaan sumberdaya

Desa berpihak pada rakyat Desa. Hak Desa

untuk mengelola sumberdaya alam, misalnya,

merupakan modal yang sangat berharga bagi

ekonomi rakyat Desa. Demikian juga dengan

alokasi dana Desa yang lebih besar akan

sangat bermanfaat untuk menopang fungsi

Desa dalam penyediaan layanan dasar warga

Desa. Namun, kesejahteraan rakyat Desa

yang lebih optimal tentu tidak mungkin

mampu dicakup oleh pemerintah Desa sema-

ta, karena itu dibutuhkan juga kebijakan

pemerintah yang responsif dan partisipatif,

yang berorientasi pada perbaikan pelayanan

dasar dan pengembangan ekonomi lokal.

Secara garis besar konstruksi penataan Pemerintahan Desa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ten-tang Desa dan PP pelaksanaannya dapat dilihat gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1

Konstruksi Peraturan Perundangan tentang Desa

Page 10: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa

4 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Metode Pemodelan Pelayanan Publik De-

sa

Dalam studi pengembangan model pela-

yanan publik desa ini, pendekatan yang digu-

nakan adalah deskriptif eksploratif. Dimana

pada tahap awal dilakukan pendeskripsian

terhadap data empiris berupa pola atau mo-

del pelayanan publik desa yang selama ini

dilakukan. Disamping itu, pemanfaatan data

empiris pelayanan publik desa juga akan

dipergunakan dalam menentukan gap antara

model pelayanan publik desa eksisting

dengan model pelayanan publik desa ke de-

pan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki

berdasarkan Undang-Undang Desa.

Sedangkan terkait dengan pendekatan

eksploratif, pada prinsipnya bahwa kewena-

ngan desa yang telah diamanatkan Undang-

Undang Desa tersebut harus diidentifikasi,

ditelaah, diekplorasi sehingga kewenangan-

kewenangan tersebut dapat diwujudkan ke

dalam tindakan-tindakan nyata berupa kegi-

atan-kegiatan pelayanan publik kepada ma-

syarakat desa. Dengan demikian, maka pem-

bangunan model pelayanan publik desa pada

dasarnya adalah mengisi gap antara pelaya-

nan publik desa existing dan jenis, jumlah

serta lingkup pelayanan publik desa berda-

sarkan kewenangan yang dimiliki berdasar-

kan Undang-undang Desa.

Selanjutnya bagaimana perspektif model

pelayanan publik desa ke depan, yang memi-

liki berbagai karakteristik yang berbeda-

beda. Dari aspek tipologi ada desa adat, yang

juga memilki berbagai bentuk yang juga

berbeda-beda. Sedangkan dari aspek geogra-

fis, karakteristik desa dapat dibedakan men-

jadi desa industri, desa maritim, desa perta-

nian dan desa wisata. Berbagai karakteristik

desa tersebut akan sangat berpengaruh ter-

hadap pola/model pelayanan publik desa

masing-masing. Contoh untuk desa pertani-

an, kebutuhan pelayanan publik di luar kebu-

tuhan dasar dan administratif, tentu akan

lebih diutamakan pada pelayanan penyuluh-

an, pengadaan bibit, pengadaan pupuk, peng-

olahan hasil panen serta pemasaran hasil

panen. Begitu juga akan berlaku untuk desa-

desa dengan karakteristik yang berbeda, baik

berdasarkan tipologi maupun karakteristik

berdasarkan geografis.

Berikut ini adalah frame work kerangka

pemodelan dalam membangun model pela-

yanan publik pemerintah desa pasca Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014.

Gambar 2

Frame Work Kerangka Pemodelan Pelayanan Publik Desa

C.

D.

Masyarakat

Pelayanan Publik Desa Sesuai

Kewenangan Desa UU 6 2014

Pelayanan Publik Desa

Existing

Gap

Model Pelayanan Publik Desa

Page 11: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 5

C. PELAYANAN PUBLIK DESA : KONDISI

TERKINI

Studi tentang pelayanan publik desa telah

dilakukan Joni Suwarno (2012) yang telah

dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Politik dan

Pemerintahan Lokal, Volume I Edisi 2, Juli-

Desember 2012. Adapun judul penelitiannya

adalah : “Kualitas Pelayanan Pemerintahan

Desa (Studi Pelayanan KTP Dan KK Di Desa

Teluk Kepayang Kecamatan Kusan Hulu

Kabupaten Tanah Bumbu)”.

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa

bentuk pelayanan yang diberikan oleh Desa

Teluk Kepayang dalam hal administrasi kepe-

ndudukan adalah berupa rekomendasi dari

desa untuk dapat diteruskan ke Dinas Kepe-

ndudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)

melalui Kantor Kecamatan Kusan Hulu.

Namun pelayanan yang tidak resmi lainnya

adalah adanya masyarakat yang meminta

pengurusan sampai selesai atas KTP dan KK

yang berimplikasi kepada biaya tambahan

seperti biaya transportasi serta biaya tak

terduga lainnya.

Kualitas pelayanan publik yang diberikan

oleh Pemerintah Desa Teluk Kepayang Keca-

matan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu

khususnya dalam pemberian dokumen surat

pengantar pembuatan atau pencetakan Kartu

Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga

(KK) masih belum maksimal dalam hal kete-

patan waktu, prosedur pembiayaan dan ting-

kat kesalahan pencetakan dokumen. Dengan

demikian artinya bahwa kualitas pelayanan

publik di kantor desa Teluk Kepayang masih

belum begitu memuaskan.

Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa

secara umum, pelayanan yang diberikan

Pemerintahan Desa Teluk Kepayang kurang

memadai. Seperti jumlah petugas yang

memberikan pelayanan saat ini hanya terdiri

dari tujuh orang yang terdiri dari Kepala

Desa, Sekretaris Desa, Kaur Pemerintahan,

Bendahara Desa, Kaur Pembangunan, Kaur

Umum dan Tata Usaha. Ditinjau dari segi

peralatan dan fasilitas pada kantor Pemerin-

tahan Teluk Kepayang terlihat bahwa keter-

sediaan peralatan sangat tidak memadai,

dimana fasilitas penunjang kerja yang

tersedia hanya terdiri dari 2 (dua) mesin

ketik. Jadi pegawai dalam memberikan

pelayanan masih menggunakan mesin ketik

manual.

Sejalan dengan kondisi di atas, dalam

Diskusi Terbatas di LAN yang mengangkat

tema “Pelayanan Publik Pemerintahan Desa,

Bagaimana Kualitas dan Inovasinya”, dengan

salah satu narasumber Kepala Desa Suka-

manah, Kecamatan Megamendung, Kabupa-

ten Bogor, menyatakan bahwa beberapa

pelayanan yang bersifat administratif

memang sudah bisa diselesaikan di Desa

Sukamanah, namun bentuknya masih berupa

pengantar saja. Setelah itu, masyarakat

datang sendiri ke dinas terkait untuk melan-

jutkan pengurusan pelayanannya. Lebih

lanjut dikatakan bahwa ada beberapa bentuk

pelayanan administratif lainnya yang

disesuaikan dengan hukum adat masyarakat

lokal, seperti pengurusan peralihan hak atas

tanah dan bangunan, pembagian waris dan

sebagainya dimana pelayanan ini dilakukan

atas sepengetahuan pemerintah daerah

setempat. Selain pelayanan yang bersifat

administratif, Desa Sukamanah sudah

memberikan pelayanan non-administratif

yakni berupa kegiatan pemberdayaan masya-

rakat desa untuk pembangunan yang dike-

mas dalam “Geser” (Gerakan Sebungkus Ro-

kok untuk pembiayaan pembangunan yang

tidak masuk ke dalam APBD, APBN, dan

APBDes), Gerakan Membangun untuk Petani,

serta untuk pendidikan berupa SMU Gratis

bagi masyarakat kurang mampu.

Data empiris lain terkait dengan

pelayanan publik desa, adalah hasil visitasi

Pusat Inovasi Pelayanan Publik ke beberapa

desa seperti Desa Lambangsari, Kecamatan

Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi Jawa

Barat, Desa Gabus, Kecamatan Ngrampal,

Kabupaten Sragen Jawa Tengah serta Desa

Lebo, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sido-

arjo dan Desa Masangan, Kecamatan Bangil,

Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, telah

menemukan kondisi bahwa pelayanan di

desa hanya bersifat administratif dan masih

berupa pengantar. Dari hasil visitasi tersebut

ditemukan jumlah dan jenis pelayanan publik

desa, yang dituangkan ke dalam dua kelom-

Page 12: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa

6 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

pok, sebagai berikut: (1) Pelayanan bersifat

Pengantar, mencakup : (a) KTP (baru dan

Perpanjang); (b) KK (baru dan perubahan);

(c) SKDU (Baru dan Perpanjang); (d) Domisili

Haji; (e) Surat Pengantar SKCK; (f) Surat

Pindah; (g) SKTM; (h) Izin Keramaian; (i)

Surat Pengantar Nikah (NA); (2) Pelayanan

Selesai di desa: (a) Surat keterangan Kelahi-

ran; dan (2) Surat keterangan Kematian.

Selanjutnya terkait dengan pelaksanaan

pelayanan publik desa saat ini, Sekretaris

Camat Sidoarjo Jawa Timur (2015), menyata-

kan bahwa : (1) sudah ada sistem Pelayanan

Kecamatan Terpadu (PATEN); (2) pelayanan

tidak ada yang selesai di desa karena bersi-

fat rekomendasi yang harus ditandatangani

camat (antar provinsi), sekcam, atau

kasubbid pelayanan kecamatan (dalam

hitungan menit); dan (3) pelayanan publik

yang selesai di tingkat kecamatan: pengantar

kegiatan kades, surat keterangan waris (jika

tidak untuk keperluan sertifikat ke BPN, KTP

sementara (KTP kertas), IMB 200 m ke

bawah, Ijin Keramaian (dengan Polsek).

Sejalan dengan penjelasan Sekretaris

Camat Sidoarjo tersebut di atas, Lisbetty B.

Tambunan (2015), pejabat Direktorat

Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemenda-

gri, menyatakan bahwa “menurut PP Nomor

43 Tahun 2014, dari 4 (empat) urusan

pemerintah yang menjadi kewenangan desa,

kewenangan yang paling mendasar dan

dapat diselesaikan di desa hanya 2 (dua)

kewenangan, yakni kewenangan berdasarkan

hak asal usul dan kewenang-an lokal berskala

desa. Dalam ranah tersebutlah desa dapat

menciptakan dan mengem-bangkan inovasi

yang seluas-luasnya demi terselenggaranya

pelayanan yang prima bagi masyarakat desa”.

D. KEBIJAKAN DAN KONSEPSI PELAYAN-

AN PUBLIK

Pemberian pelayanan publik yang berku-

alitas pada hakekatnya adalah pemenuhan

pelayanan kepada masyarakat yang merupa-

kan perwujudan kewajiban pemerintah seba-

gai agent dan masyarakat sebagai principal

(pemegang kedaulatan). Kewajiban pemberi-

an pelayanan tersebut mencakup pelayanan

yang bersifat welfare (kesejahteraan) seperti

kesehatan, pendidikan, sandang dan pangan,

maupun pelayanan terkait dengan barang

publik, jasa publik, pelayanan administratif

serta berbagai jenis pelayanan perizinan dan

non-perizinan. Oleh karena itu, peran dan

tanggung jawab pemerintah sebagai regula-

tor, fasilitator dan katalisator menjadi sangat

penting dalam mendorong dan mewujudkan

pelayanan publik yang inovatif, kontekstual

dan partisipatoris (LAN, 2013).

Sejalan dengan hal tersebut di atas,

beberapa agenda prioritas Rencana Pemba-

ngunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

2015-2019 bidang pelayanan publik yang

harus dicapai oleh Kementerian/Lembaga

dan Pemerintah Daerah antara lain menca-

kup: (a) peningkatan kualitas implementasi

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik; (b) modernisasi

sistem dan manajemen pelayanan publik

(SDM, ICT, Standar Pelayanan); (c) monito-

ring dan supervisi kinerja pelayanan publik;

(d) membuka ruang partisipasi publik mela-

lui Citizen Charter; dan (e) penguatan integri-

tas dalam pelayanan publik.

Pengertian pelayanan publik berdasarkan

Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa

“pelayanan publik adalah kegiatan atau rang-

kaian kegiatan dalam rangka pemenuhan

kebutuhan pelayanan sesuai dengan peratur-

an perundang-undangan bagi setiap warga

negara dan penduduk atas barang, jasa,

dan/atau pelayanan administratif yang

disediakan oleh penyelenggara pelayanan

publik”. Selanjutnya berdasarkan Pasal1

butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 96

Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor

25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, di-

sebutkan bahwa pengertian pelayanan publik

adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan da-

lam rangka pemenuhan kebutuhan pelayan-

an sesuai dengan peraturan perundang-

undangan bagi setiap warga negara dan

penduduk atas barang, jasa, dan/atau pela-

yanan administratif yang disediakan oleh

penyelenggara pelayanan publik.

Secara konseptual pelayanan publik diba-

gi kedalam tiga kelompok jenis pelayanan,

yaitu : Pertama, Kelompok Pelayanan Admi-

Page 13: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 7

nistratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan

berbagai bentuk dokumen resmi yang dibu-

tuhkan oleh publik, misalnya status kewarga-

negaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan

atau penguasaan terhadap suatu barang dan

sebagainya. Contoh : KTP, Akta Kelahiran,

Akta Kematian, SIM, STNK, BPKB, IMB, Pas-

por dan sebagainya. Kedua, Kelompok Pela-

yanan Barang yaitu pelayanan yang meng-

hasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang

digunakan oleh publik, misalnya jaringan

telepon, tenaga listrik, air bersih dan

sebagainya. Ketiga, Kelompok Pelayanan Jasa,

yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai

jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya

pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penye-

lenggaraan jasa transportasi, pos dan seba-

gainya.

Adapun ruang lingkup pelayanan publik

berdasarkan Pasal Pasal 5 Ayat (1) disebut-

kan bahwa ruang lingkup pelayanan publik

meliputi pelayanan barang publik dan jasa

publik serta pelayanan administratif yang

diatur dalam peraturan perundang-undang-

an. Secara lebih jelas terkait dengan ruang

lingkup pelayanan publik dapat dilihat pada

tabel 1 sebagai berikut:

Tabel1

Ruang lingkuppelayanan publik Sumber : Undang-Undang No. 25 Tahun 2009

Merujuk pada Undang-undang Pelayanan

Publik tersebut, setidaknya ada empat hal

yang harus dilakukan oleh pemerintah desa,

meliputi: 1) Menyusun dan menetapkan stan-

dar pelayanan; 2) Menyusun, menetapkan,

dan mempublikasikan maklumat pelayanan;

3) Menempatkan pelaksana yang kompeten;

dan 4) Menyediakan sarana, prasarana, dan/

atau fasilitas pelayanan publik yang mendu-

kung terciptanya iklim pelayanan yang me-

madai.

Pada dasarnya karakteristik pelayanan

publik yang diselenggarakan oleh pemerin-

tah adalah: (1) memiliki dasar hukum yang

jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memili-

ki kelompok kepentingan yang luas termasuk

kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide

stakeholders), (3) memiliki tujuan sosial, (4)

dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5)

memiliki konfigurasi indikator kinerja yang

perlu kelugasan (complex and debated perfor-

mance indicators), serta (6) seringkali menja-

di sasaran isu politik (LAN, 2006).

Berbeda dengan pelayanan yang

diberikan oleh pemerintah, penyediaan pela-

yanan oleh sektor swasta memiliki karak-

Page 14: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa

8 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

teristik: (1) didasarkan kepada kebijakan

Dewan Direksi (board of directors), (2) terfo-

kus pada pemegang saham (share holders)

dan manajemen, (3) memiliki tujuan mencari

keuntungan, (4) harus akuntabel pada kala-

ngan terbatas (limited share holders), (5)

kinerjanya ditentukan atas dasar kinerja

manajemen, termasuk didalamnya kinerja

finansial, serta (6) tidak terlalu terkait

dengan isu politik.

Terkait dengan pengertian dan konsepsi

pelayanan publik, Pamudji (1994) mengemu-

kakan “pelayanan publik adalah berbagai ke-

giatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan

masyarakat akan barang-barang dan jasa-

jasa”. Hal yang sama dikemukakan Widodo

(2001 : 269) bahwa ”Pelayanan publik seba-

gai pemberian layanan (melayani) keperluan

orang atau masyarakat yang mempunyai ke-

pentingan pada organisasi itu sesuai dengan

aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan”.

Selanjutnya Boediono (2003) menyatakan

bahwa pelayanan pelanggan adalah upaya

atau proses yang secara sadar dan terencana

dilakukan organisasi atau badan usaha agar

produk/jasanya menang dalam persaingan

melalui pemberian/penyajian pelayanan ke-

pada pelanggan sehingga tercapai kepuasan

optimal bagi pelanggan. Sedangkan, Djaenuri

(1999:15) mendefinisikan pelayanan masya-

rakat sebagai suatu kegiatan yang merupa-

kan perwujudan dari tugas umum pemerin-

tahan mengenai bidang tugas pokok suatu

instansi untuk dapat melayani kebutuhan

masyarakat secara maksimal.

Ndraha (1996) mengemukakan bahwa

pelayanan pemerintah kepada masyarakat

adalah terkait dengan suatu hak dan lepas

dari persoalan apakah pemegang hak itu

dibebani suatu kewajiban atau tidak. Dalam

hal ini dikenal adalah hak bawaan (sebagai

manusia) dan hak berian. Hak bawaan bersi-

fat individual dan pribadi, sedangkan hak

berian meliputi hak sosial politik dan hak

individual. Lembaga yang berkewajiban

memenuhi hak tersebut adalah pemerintah.

Kegiatan pemerintah untuk memenuhi hak

bawaan dan hak berian itulah yang disebut

pelayanan pemerintah kepada masyarakat

termasuk pribadi-pribadi pemilik hak bawa-

an.

Dalam konteks hubungan pemerintah

dengan masyarakat, menurut Saefullah

(1999: 5), pelayanan publik (public service)

adalah pelayanan yang diberikan kepada

masyarakat umum yang menjadi warga

negara atau secara sah menjadi penduduk

negara yang bersangkutan. Karenanya

birokrasi publik (pemerintah) berkewajiban

untuk memberi-kan layanan publik yang baik

dan profesional.

Dalam perkembangan konsep pelayanan

publik, seiring dengan reformasi di sektor

publik, mulai di adopsi pendekatan-pende-

katan pelayanan yang dilakukan sektor privat

dalam rangka kompetisi untuk memberikan

yang terbaik kepada masyarakat. Dalam kon-

teks ini masyarakat mulai ditempatkan tidak

hanya sebagai penerima layanan, akan tetapi

masyarakat juga ditempatkan sebagai pela-

nggan atau konsumen yang ikut menentukan

kualitas pelayanan itu sendiri.

Adapun terkait dengan penguatan pen-

tingnya peningkatan kualitas pelayanan

publik di daerah, diamanatkan pula dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-

tang Pemerintahan Daerah dimana disebut-

kan bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah diarahkan untuk mempercepat ter-

wujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan

peran serta masyarakat, serta peningkatan

daya saing daerah.

Upaya penyediaan pelayanan yang berku-

alitas antara lain dapat dilakukan dengan

memperhatikan ukuran-ukuran apa saja yang

menjadi kriteria kinerja pelayanan. Berdasar-

kan Kep MenPAN No 63 tahun 2003 kriteria-

kriteria pelayanan tersebut adalah :

1. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan.

2. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelaya-

Page 15: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 9

nan, seperti menjaga keakuratan perhi-tungan keuangan, teliti dalam pencatatan data dan tepat waktu.

3. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabila terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan.

4. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang di-butuhkan.

5. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus diperhatikan.

6. Keramahan, meliputi kesabaran, perhati-an dan persahabatan dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan. Kera-mahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Seba-liknya, pihak penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang diberikan tidak dikon-sumsi para pelanggan melalui kontak langsung.

7. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mere-ka butuhkan secara mudah dan gamblang, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.

8. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak dipe-rolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti.

9. Kredibilitas, meliputi adanya saling perca-ya antara pelanggan dan penyedia pela-yanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak diperca-yai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan un-tuk menjaga pelanggan tetap setia.

10. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu pe-nyelesaian layanan tersebut. Hal ini sangat penting karena pelanggan tidak

boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang diberikan.

11. Keamanan, yaitu usaha untuk memberi-kan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finan-sial dan kepercayaan pada diri sendiri.

12. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pela-nggan. Mengerti apa yang diinginkan pela-nggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pela-nggan dan memberikan perhatian secara personal.

13. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wu-jud nyata dari pelayanan, berupa fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pela-nggan, peralatan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang lainnya.

14. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayan-an hanya dibatasi pada hal-hal yang ber-kaitan langsung dengan pencapaian sasa-ran pelayanan dengan tetap memperhati-kan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.

15. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk mem-bayar.

Mengenai kualitas pelayanan publik,

Goetsch dan Davis (2002) mendefinisikan

kualitas pelayanan sebagai suatu kondisi

dinamis yang berhubungan dengan produk,

jasa, manusia, proses dan lingkungan yang

memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas

pelayanan juga diartikan sebagai sesuatu

yang berhubungan dengan terpenuhinya

harapan/kebutuhan pelanggan, di mana pela-

yanan dikatakan berkualitas apabila dapat

menyediakan produk dan jasa (pelayanan)

sesuai dengan kebutuhan dan harapan pela-

nggan.

Senada dengan pendapat di atas, Evans

dan Lindsay (1997) berpendapat bahwa kua-

litas pelayanan dapat dilihat dari berbagai

sudut. Jika dilihat dari sudut pandang

konsumen, maka kualitas pelayanan selalu

dihubungkan dengan sesuatu yang baik/

Page 16: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa

10 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

prima (excellent). Jika kualitas pelayanan

dipandang dari sudut ”product-based”, maka

kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagi

suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel

pengukuran yang berbeda-beda dalam mem-

berikan penilaian kualitas sesuai dengan

karakteristik produk yang bersangkutan.

Kualitas pelayanan jika dilihat dari sudut

“user-based”, maka kualitas pelayanan adalah

sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau

tingkat kesesuaian dengan keinginan pela-

nggan. Sedangkan, jika dilihat dari “value-

based”, maka kualitas pelayanan merupakan

keterkaitan antara kegunaan atau kepuasan

dengan harga.

Berdasarkan konsepsi kualitas pelayanan

publik tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa pelayanan publik desa yang berku-

alitas, hanya akan diwujudkan apabila dalam

pemerintahan desa terdapat sistem pelayan-

an yang mengutamakan kepentingan warga

masyarakat desa sebagai pengguna jasa

pelayanan dan perangkat desa memeliki

kepedulian terhadap kebutuhan dan kepen-

tingan warga masyarakat desa.

E. MEMBANGUN MODEL PELAYANAN

PUBLIK DESA

Dalam konteks pemerintahan desa,

dengan semakin kuatnya otonomi pemerin-

tahan desa maka otorisasi pelayanan publik

pemerintahan desa harus segera diwujudkan.

Lantas bagaimana mewujudkan dan melak-

sanakan otorisasi pelayanan publik pemerin-

tahan desa tersebut di atas? Tentu saja kita

harus mengidentifikasi urusan atau kewena-

ngan yang dimiliki pemerintah desa sesuai

dengan amanat UU Nomor 6 tahun 2014.

Disamping itu, juga perlu mengidentifikasi

kondisi empiris dan current conditions terkait

dengan jenis, jumlah dan lingkup pelayanan

publik pemerntah desa yang selama ini

dilakukan. Dari hasil identifikasi tersebut,

akan ditemukan jenis, jumlah dan lingkup

pelayanan publik pemerintahan desa yang

kontekstual, yang pada akhirnya akan menja-

di model pelayanan publik pemerintahan

desa yang seluruhnya menjadi totalitas sepe-

nuhnya pemerintah desa. Model ini paling

tidak akan dapat menjadi rumusan secara

umum terkait dengan pelayanan publik desa

yang bersifat administratif.

Berdasarkan kondisi empiris diketahui

bahwa pelayanan publik desa secara umum

berupa pengantar atau rekomendasi saja dan

penyelesaian pelayanannya berada di Kantor

Kecamatan atau bahkan di Dinas Teknis

Pemerintah Kabupaten. Beberapa pelayanan

publik di salah satu desa di Kabupaten Bekasi

antara lain meliputi: (1) Surat Pengantar

Pembuatan KTP; (2) Surat Pengantar Akte

Kelahiran; (3) Surat Keterangan Domisili; (4)

Surat Pengantar Nikah; (5) Surat Keterangan

Sudah/Belum Menikah; (6) Surat Keterangan

Tidak Mampu (SKTM); (7) Surat Keterangan

Pindah Penduduk; (8) Surat Pengantar IMB;

(9) Surat Keterangan Duda/Janda; (10) Surat

Keterangan Kematian; (11) Surat Keterangan

Kelahiran; (12) Surat Pengantar Calon

Tenaga Kerja; (13) Surat Keterangan Tanah;

(14) Surat Pengantar Izin Keramaian; (15)

Legalisir; (16) Surat Keterangan Usaha; dan

(17) Surat Pengantar SKCK.

Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 6 Tahun

2014 disebutkan bahwa kewenangan desa

meliputi kewenangan di bidang penyeleng-

garaan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pe-

mbangunan Desa, pembinaan kemasyaraka-

tan Desa, dan pemberdayaan masyarakat

Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak

asal usul, dan adat istiadat Desa.

Selanjutnya dalam Pasal 19, secara lebih

eksplisit disebutkan bahwa kewenangan

Desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan

hak asal usul; (b) kewenangan lokal berskala

Desa; (c) kewenangan yang ditugaskan oleh

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,

atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

dan (d) kewenangan lain yang ditugaskan

oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provin-

si, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

sesuai dengan ketentuan peraturan perun-

dang-undangan.

Berdasarkan kewenangan desa tersebut

di atas, sesuai dengan Pasal 26, Kepala Desa

berwenang: (a) memimpin penyelenggaraan

Pemerintahan Desa; (b) mengangkat dan

memberhentikan perangkat Desa; (c) meme-

gang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan

Page 17: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 11

Aset Desa; (d) menetapkan Peraturan Desa;

(e) menetapkan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Desa; (f) membina kehidupan masya-

rakat Desa; (g) membina ketenteraman dan

ketertiban masyarakat Desa; (h) membina

dan meningkatkan perekonomian Desa serta

mengintegrasikannya agar mencapai pereko-

nomian skala produktif untuk sebesar-be-

sarnya kemakmuran masyarakat Desa; (i)

mengembangkan sumber pendapatan Desa;

(j) mengusulkan dan menerima pelimpahan

sebagian kekayaan negara guna meningkat-

kan kesejahteraan masyarakat Desa; (k)

mengembangkan kehidupan sosial budaya

masyarakat Desa; (l) memanfaatkan teknolo-

gi tepat guna; (m) mengoordinasikan Pemba-

ngunan Desa secara partisipatif; (n) mewakili

Desa di dalam dan di luar pengadilan atau

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya

sesuai dengan ketentuan peraturan per-

undang-undangan; dan (o) melaksanakan

wewenang lain yang sesuai dengan keten-

tuan peraturan perundang-undangan.

Atas dasar wewenang Kepala Desa terse-

but di atas, dalam melaksanakan tugasnya,

Kepala Desa berkewajiban: (a) memegang

teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksa-

nakan Undang-Undang Dasar Negara Repu-

blik Indonesia Tahun 1945, serta memper-

tahankan dan memelihara keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka

Tunggal Ika; (b) meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Desa; (c) memelihara ketentera-

man dan ketertiban masyarakat Desa; (d)

menaati dan menegakkan peraturan perun-

dang-undangan; (e) melaksanakan kehidu-

pan demokrasi dan berkeadilan gender; (f)

melaksanakan prinsip tata Pemerintahan

Desa yang akuntabel, transparan, profesional,

efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari

kolusi, korupsi, dan nepotisme; (g) menjalin

kerja sama dan koordinasi dengan seluruh

pemangku kepentingan di Desa; (h) menyele-

nggarakan administrasi Pemerintahan Desa

yang baik; (i) mengelola Keuangandan Aset

Desa; (j) melaksanakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan Desa; (k) menye-

lesaikan perselisihan masyarakat di Desa; (l)

mengembangkan perekonomian masyarakat

Desa; (m) membina dan melestarikan nilai

sosial budaya masyarakat Desa; (n) member-

dayakan masyarakat dan lembaga kemasya-

rakatan di Desa; (o) mengembangkan potensi

sumber daya alam dan melestarikan ling-

kungan hidup; dan (p) memberikan infor-

masi kepada masyarakat Desa.

Selanjutnya bagaimana perspektif pelaya-

nan publik desa kedepan, yang memiliki

berbagai karakteristik yang berbeda-beda.

Dari aspek tipologi ada desa adat, yang juga

memilki berbagai bentuk yang juga berbeda-

beda. Sedangkan dari aspek geografis, karak-

teristik desa dapat dibedakan menjadi desa

industri, desa maritim, desa pertanian dan

desa wisata. Berbagai karakteristik desa

tersebut akan sangat berpengaruh terhadap

pola/model pelayanan publik desa masing-

masing. Contoh untuk desa pertanian, kebu-

tuhan pelayanan publik di luar kebutuhan

dasar dan administratif, tentu akan lebih

diutamakan pada pelayanan penyuluhan,

pengadaan bibit, pengadaan pupuk, pengo-

lahan hasil panen serta pemasaran hasil

panen. Begitu juga akan berlaku untuk desa-

desa dengan karakteristik yang berbeda, baik

berdasarkan tipologi maupun didasarkan

pada karakteristik berdasarkan geografis.

Untuk membangun pola/model pelayanan

publik desa yang kontekstual, maka harus

dimulai dari kewenangan desa serta melihat

kembali pelayanan empiris saat ini.

Framework untuk mendesain model

pelayanan publik pemerintahan desa dapat

dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:

Page 18: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa

12 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Gambar 3 Framework Kerangka Pemodelan Pelayanan Publik Desa

Berdasarkan framework tersebut di atas,

maka dapat didesain pola/model pelayanan

publik pemerintahan desa sesuai dengan

kewenangan yang dimiliki serta karakteristik

desa baik berdasarkan tipologi maupun mau-

pun berdasarkan geografis. Oleh karena itu,

pola/model pelayanan publik pemerintahan

desa yang dapat dibangun ke depan dapat di

lihat pada gambar 4 sebagai berikut:

Gambar 4

Desain Pola/ModelPelayanan PublikPemerintahan Desa

Sumber : Kewenangan desaUU 6/2014 dan pelayanan desa existing diolah

Dari model pelayanan publik pemerintah-

an desa tersebut di atas, maka selanjutnya

perlu disusun bisnis proses pelayanan publik

desa baik untuk pelayanan publik yang bera-

khir di Desa, Kantor Kecamatan, maupun pe-

layanan publik yang berakhir di Dinas Kabu-

paten. Pada gambar 5 berikut ini adalah

Bisnis proses pelayanan publik pemerintahan

desa terintegrasi dari Desa, Kecamatan dan

Dinas Kabupaten.

Page 19: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 13

Gambar 5 Bisnis Proses Pelayanan PublikPemerintahan Desa Terintegrasi

Dinas Kabupaten

Proses

Kantor Kecamatan

Pemerintahan Desa

Masyarakat Desa

Jika dicermati bisnis proses tersebut di

atas, maka sesungguhnya pelayanan publik

desa merupakan bagian yang tak terpisahkan

dari sistem pelayanan publik Kecamatan dan

Pemerintah Kabupaten. Namun demikian,

seiring dengan kewenangan yang dimiliki

maka pemerintahan desa sudah selayaknya

dapat membuat model pelayanan publiknya

yang benar-benar mandiri dan selesai di

pemerintahan desa masing-masing. Atau

dengan kata lain, pemerintahan desa harus

segera menyusun manajemen pelayanan

publik desa. Mulai dari menentukan jenis

pelayanan publik apa saja yang harus dilaku-

kan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki

desa berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014.

Selanjutnya menentukan lingkupnya, pelaya-

nan apa saja yang menjadi kewenangan dan

selesai di tingkat pemerintahan desa, pelaya-

nan apa yang selesai di Kantor Kecamatan,

serta pelayanan apa saja yang selesai di Dinas

Kabupaten. Untuk jenis pelayanan publik

yang menjadi kewenangan mutlak pemerin-

tahan desa dan selesai di tingkat desa, maka

dapat disusun bisnis proses pelayanan publik

internal desa sebagaimana dapat dilihat pada

gambar 6 sebagai berikut.

Gambar 6

Bisnis Proses Pelayanan Publik Internal Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa

Proses

Masyarakat Desa

Mengajukan Permohonan

Menerima hasil

Proses

Meneruskan ke Kecamatan

Mengajukan Permohonan

Menerima hasil

Proses

Meneruskan ke dinas

Page 20: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa

14 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Berdasarkan peta bisnis proses (business

process mapping) jenis dan lingkup pelaya-

nan publik pemerintahan desa, maka perlu

disusun Standar Pelayanan (SP) dan Maklu-

mat Pelayanan serta disusun Standar Opera-

sional Prosedur (SOP) untuk setiap jenis pe-

layanan.

F. PENUTUP

Seiring dengan meningkatnya kewenang-

an desa sebagaimana diamanatkan Undang-

undang Desa, serta ketersediaan anggaran

Desa yang relatif besar saat ini, tentu akan

berpengaruh terhadap tuntutan dan

kebutuhan masyarakat desa terhadap

pelayanan publik desa. Oleh karena itu,

kapasitas pemerintah desa perlu ditingkat-

kan sesuai dengan ekspektasi dan transfor-

masi dalam penyelenggaraan pelayanan

publik desa.

Agar transformasi pelayanan publik desa

tersebut dapat diwujudkan dengan baik,

maka perlu disusun desain model/pola pela-

yanan publik desa. Studi ini telah menghasil-

kan desain model pelayanan publik desa,

yang penyusunannya melalui telaah data

empiris pelayanan publik desa dan kewena-

ngan desa sesuai dengan Undang-undang

Desa.

Namun demikian, desain model yang

telah disusun masih terbatas pada kerangka

model serta mapping business process pelaya-

nan publik desa sebagai satu kesatuan pela-

yanan publik Kecamatan dan Dinas Teknis

Pemerintah Kabupaten. Desain model pela-

yanan publik desa ini, belum dapat mengha-

silkan jumlah, jenis dan ruang lingkup pela-

yanan publik desa yang baru sebagaimana

diamanatkan Undang-undang Desa. Mengi-

ngat hingga saat ini, belum ada tindak lanjut

kebijakan operasional terkait dengan kewe-

nangan desa. Oleh karena itu, diperlukan

studi lebih lanjut terkait dengan penjabaran

terhadap wewenang pemerintah desa, sehi-

ngga dapat diidentifikasi jumlah, jenis dan

lingkup pelayanan publik desa secara

konkrit.

Adapun terkait dengan upaya percepatan

penguatan kapasitas desa dalam rangka me-

ningkatkan kualitas pelayanan publik desa,

dapat dilakukan melalui: (1) training peruba-

han mindset dan cultur set aparat desa untuk

melayani warganya; (2) perubahan budaya

kerja; (3) Bimtek penyusunan visi dan misi

pelayanan publik desa, penyusunan SP dan

SOP; (4) pelaksanaan survey kepuasan

masyarakat desa dan pengelolaan pengadu-

an; (5) monitoring dan evaluasi pelaksanaan

SP dan SOP.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa.

Kep MenPAN No 63 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggara-an Pelayanan Publik.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Lembaga Administrasi Negara RI, Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta, 2006.

Lembaga Administrasi Negara RI, Simplifikasi Administrasi Pelayanan Perizinan Dunia Usaha, Jakarta, 2013.

Lembaga Administrasi Negara RI, Pelayanan Publik Desa, Bagaimana Kualitas dan Inovasinya, Bahan Paparan Diskusi Terbatas, Jakarta, 2015.

Boediono, Pelayanan Prima Perpajakan. PT. Rineka Cipta: Jakarta, 1993.

Evan. James R and Lindsay, The Management and Control of Quality, West Publishing Company, United State.

Page 21: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 15

Jaenuri, Peranan Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPPP) Kabupaten Pati Dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Membayar Pajak, Jurnal Ilmiah Ppkn Ikip Veteran, Semarang,1999.

Joni Suwarno, Kualitas Pelayanan Pemerintah Desa Teluk Kepayang, Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Jurnal Ilmu Politik dan

Pemerintahan Lokal, Volume I, Edisi 2 Tahun 2012.

Ndraha, Kybernologi Ilmu Pemerintahan Baru 1, Jakarta, 2003.

Saefullah, Konsep dan Metode Pelayanan Umum yang Baik, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Sumedang: FISIP UNPAD, 1999.

Widodo, Joko. Membangun Birokrasi Berbasis

Kinerja. Jakarta : Bayumedia Pub-

lishing. 2001.

Page 22: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

16 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

Village Financial Management After Implementation of Law No. 6/2014:

Potential Problems and Solutions

Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis

Peneliti dan Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak:

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa pengakuan dan ke-

kuasaan baru kepada desa yang selama ini diabaikan dalam pembangunan. Di antara berbagai hal

yang tercakup di dalamnya, dana desa merupakan isu yang paling hangat dibicarakan. Desa akan me-

nerima uang dalam jumlah besar tanpa ada presedennya. Sementara sebagian kalangan meragukan

kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu, sebagian lainnya meyakini bahwa desa telah siap.

Sesungguhnya, dengan menengok kondisi riil pemerintah dan masyarakat desa saat ini, memang ada

risiko bahwa pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Kompetensi kepala desa dan pendamping desa menjadi dua faktor kunci krusial dari sisi SDM yang

memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Agar keuangan desa dapat terkelola dengan

baik, dibutuhkan pemeriksaan atas kebijakan yang ada, pengawasan yang kuat, dan peningkatan

kapasitas serta kesadaran aparatur desa.

Kata-kata kunci: UU Desa; Desa; Dana desa; Pengelolaan keuangan

Abstract:

The birth of Law No. 6 of 2004 on Village gives village recognition and power to village which until

then has been neglected in development. Among many things covered in it, village fund is the most

talked about issue. Village will receive money in big size without precedent. While some people

hesitate the readiness of village to manage such a big fund, others believe that village is ready.

Actually, by visiting the real condition of village’s government and society today, there are risks that

village finance management cannot be done in transparent and accountable manner. The competency

of village head and village facilitator are two crucial key factors from human resources perspective

which affect the success of village finance management. In order to manage village finance properly,

policy checking, strong monitoring, and capacity and consciousness development are needed.

Keywords: Law on Village; Village; Village fund; financial management

PENDAHULUAN

Disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun

2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU

Desa) pada 15 Januari 2014 merupakan se-

buah tonggak bersejarah dalam sejarah kebi-

jakan mengenai desa. UU tersebut merupa-

kan balikan paradigmatis (paradigmatic

turn) dari pendekatan atau cara pandang pe-

merintah terhadap desa sebagai satuan

masyarakat terkecil, di mana desa kini dipan-

dang sebagai subjek pembangunan dengan

kewenangan yang luas. Melalui asas rekog-

nisi, hak asal-usul desa sebagai self governing

community dan self local government diakui.

Sementara melalui asas subsidiaritas, desa

diberi kewenangan untuk menyelenggarakan

empat domain urusannya secara penuh,

yakni penyelenggaraan pemerintahan desa,

pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan

kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan

masyarakat desa.

Sebagai satuan masyarakat dengan seja-

rah panjang yang sudah ada sebelum Repu-

blik ini berdiri, sudah seharusnyalah desa

kini menikmati hak-hak yang sesungguhnya

merupakan fitrahnya. Meskipun dibahas dan

disahkan pada masa pemerintahan Susilo

Bambang Yudhoyono, spirit yang terkandung

dalam UU Desa sesungguhnya berselaras

pula dengan visi-misi pemerintahan Joko

Page 23: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 17

Widodo-Jusuf Kalla, yang dalam Nawacita-

nya memuat ikhtiar “membangun Indonesia

dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-

daerah dan Desa dalam kerangka Negara

Kesatuan.”

(http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J

okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015). Misi

tersebut berusaha membalik desa yang

selama ini menjadi alas kaki kekuasaan dan

obyek pembangunan yang pasif sebagai

penonton pembangunan menjadi entitas

yang menjadi lebih mandiri, berdaulat,

demokratis, dan sejahtera.

Tetapi setelah UU Desa lahir, bukan

berarti perdebatan selesai. Banyak pakar,

pengamat, dan praktisi yang mempersoalkan

hakikat sesungguhnya dari UU Desa: apakah

roh yang ada di dalamnya didorong oleh

pilihan democratic driven (pokoknya proses

demokratisasi pembagian kue pembangunan

sudah didistribusikan hingga tingkat desa)

atau economic driven (berorientasi mencari

pengungkit pemberdayaan ekonomi yang

berasal dari desa)? (Huseini, 2015: 7),

apakah UU Desa mengadopsi paradigma

“desa membangun” atau “membangun desa”

atau gabungan dari keduanya?, apakah UU

Desa dapat diartikan sebagai otonomi desa

dan dengan demikian memunculkan rezim

desentralisasi tingkat tiga yang lebih kom-

pleks? Muncul juga kekhawatiran pada tata-

ran implementasi: sudahkah pemerintah

desa dan tingkatan pemerintah di atasnya

benar-benar siap melaksanakannya?

Sementara pada aras kelembagaan, per-

debatan diwujudkan melalui rebutan kewe-

nangan antara Kementerian Dalam Negeri

(Kemendagri) dengan Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans-

migrasi (Kemendes PDTT). Masing-masing

merasa yang paling berhak mengurus desa

dengan mangajukan logika dan argumennya

masing-masing. Akhirnya, setelah percekco-

kan selama hampir enam bulan, polemik ter-

sebut baru dapat diakhiri, atau demikianlah

kelihatannya, setelah Presiden Joko Widodo

menerbitkan Perpres No. 11 Tahun 2015

tentang Kemendagri dan Perpres No. 12

Tahun 2015 tentang Kemendes PDTT sebagai

pelengkap atas Perpres No. 165 Tahun 2014

tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet

Kerja. Melalui Direktorat Jenderal (Ditjen)

Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri berwe-

nang mengurusi pembinaan pemerintahan

desa dan melalui Direktorat Jenderal Pemba-

ngunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

serta Direktorat Jenderal Pembangunan Ka-

wasan Perdesaan, Kemendes PDTT berwe-

nang mengurusi hal-hal lain di luar pemerin-

tahan desa. Diharapkan, dengan pembagian

kerja semacam ini, tidak muncul lagi

instrumen kebijakan dari kementerian yang

menerobos lingkup wewenangnya, seperti

misalnya Permendagri No. 114 Tahun 2014

tentang Pedoman Pembangunan Desa. Meski

demikian, ada juga yang berpendapat bahwa

format pembagian kerja semacam itu

sesungguhnya mengingkari prinsip pengelo-

laan desa dalam UU Desa yang bersifat siste-

mik-integratif (Jaweng, 2015: 6). Sementara

menurut Hasani (2015: 7), karena Kemenda-

gri tetap memiliki kaki hingga ke desa, maka

otonomi desa dibonsai dengan tetap menjadi-

kannya unit pemerintahan paling rendah.

Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan

bahwa desa adalah kesatuan masyarakat

hukum yang otonom dalam NKRI.

Namun, dari berbagai isu dan tema di

seputar UU Desa, tidak ada diskursus yang

lebih hangat dari satu hal ini, yakni dana

desa. Sejalan dengan pengakuan dan

perhatian besar yang diberikan kepada desa,

pendanaan yang diberikan kepadanya pun

meningkat. Terkait dengan dana ini, dulu

pada waktu RUU Desa masih dibahas ada

wacana bahwa kelak setiap desa akan

mendapat dana Rp 1,4 miliar setiap tahun.

Isu ini tentu menarik sebagai janji politik

yang manis, sehingga tak heran bahwa kala

itu sejumlah fraksi di DPR berebut menjadi

pimpinan panitia khusus (pansus) ketika

pembahasan RUU Desa dimulai Maret 2012

(Kompas, 3 Juli 2015). Bahkan, setelah UU

Desa disahkan dan musim kampanye politik

untuk pemilihan umum presiden 2014

dimulai, calon presiden berlomba-lomba

menjanjikan akan memberikan miliaran

rupiah untuk setiap desa jika terpilih, seolah

mengabaikan fakta siapapun yang terpilih

dana desa akan tetap turun karena itu

Page 24: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

18 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

merupakan amanat UU Desa. Ketertarikan

terhadap iming-iming dana desa juga dite-

ngarai menyebabkan terjadinya lonjakan

usulan pemekaran desa. Kemendagri menca-

tat, jumlah desa meningkat dari 72.944 pada

awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015

(http://www.koran-

sindo.com/read/964858/149/dana-desa-

picu-tingginya-pemekaran-1424055604,

diakses 9 Juli 2014).

Kenyataannya, hal yang terjadi tidaklah

demikian. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU

Desa menyebutkan bahwa “Besaran alokasi

anggaran yang peruntukannya langsung ke

Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus)

dari dan di luar dana Transfer Daerah (on

top) secara bertahap.” Artinya, pemberian

dana dalam hitungan miliar untuk tiap desa

baru akan diberlakukan di masa depan

setelah melalui tahapan waktu tertentu. Pada

APBN Perubahan (APBN-P) 2015, total dana

desa sebesar Rp 20,766 triliun atau 3,1

persen dari jumlah APBN-P sekitar Rp 2.000

triliun (naik dari APBN 2015 yang hanya

mengalokasikan Rp 9,1 triliun) yang

disalurkan selama tiga tahap pada minggu

kedua bulan April, Agustus, dan Oktober.

Rata-rata desa yang jumlahnya 74.093

mendapat Rp 280 juta. Baru pada tahun 2017

persentase 10 persen tersebut akan

dipenuhi. Dalam Pasal 30A ayat (1) PP No. 22

Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No.

60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang

Bersumber dari APBN, dinyatakan bahwa

pengalokasian dana desa untuk tahun

anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3

persen, pada tahun anggaran 2016 paling

sedikit sebesar 6 persen, dan baru pada

tahun 2017 dan seterusnya sebesar 10

persen dari anggaran transfer ke daerah.

Meskipun dana desa yang diperoleh desa

pada tahun ini masih terbatas, isu tentang

pengelolaannya tidak boleh dikesampingkan

karena sebesar apa pun dana publik yang

diterima oleh sebuah entitas harus diperta-

nggungjawabkan secara transparan dan

akuntabel. Lagipula dana desa sebenarnya

hanyalah sebagian saja dari total pendapatan

yang diterima desa untuk dikelola dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

(APBDes). Dana desa adalah salah satu jenis

dari kelompok pendapatan desa yang

digolongkan sebagai transfer bersama

dengan alokasi dana desa (ADD), bagian dari

hasil pajak daerah kabupaten/kota dan

retribusi daerah (PDRB), dan bantuan

keuangan dari APBD Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Selain itu, masih ada juga

pos pendapatan asli desa (PAD) dan

pendapatan lain-lain. Salah satu jenis

pendapatan dari kelompok transfer yang

besar, bahkan lebih besar dari dana desa,

adalah ADD yang dalam APBN-P dialokasikan

sebesar Rp 33,2 triliun. Berdasarkan data

yang dikumpulkan IRE (2015) sebagaimana

dikutip Muhammad (2015: 6), misalnya,

Kabupaten Sleman tahun 2015 ini

mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per

desa, Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta

per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp

300 juta per desa. Sementara dari PDRB

tahun ini sebesar Rp 2,1 triliun sehingga total

dana yang akan masuk ke desa tahun ini di

luar PAD dan pendapatan lain-lain sebesar

Rp 53,6 triliun (Kompas, 27 Februari 2015).

Total pendapatan desa akan semakin

bertambah setiap tahunnya. Dari pos dana

desa, diperkirakan bahwa pada tahun 2016

jumlahnya meningkat menjadi sekitar Rp 47

triliun dan tahun 2017 sekitar Rp 81 triliun.1

Adapun menurut data yang dimiliki Jaweng

(2015: 6), rencana pertumbuhan dana desa

di masa depan berturut-turut sebesar Rp 44

triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6

triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019).

Sementara Farouk Muhammad mengkalkula-

si bahwa pada 2017 minimum per desa akan

memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau

lebih (Muhammad, 2015: 6).

1 Informasi disampaikan oleh Direktur Bina Pemerintahan Desa Eko Prasetyanto pada diskusi terbatas yang dilakukan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, 26 Juni 2015. Perkiraan ini menjadi kenyataan karena dalam pidatonya saat Sidang Paripurna Pembukaan Masa Sidang 1 DPR, 14 Agustus 2015, Presiden menyampaikan RUU APBN Tahun Anggaran 2016 di mana pos dana desa dialokasikan sebesar Rp 47 triliun (Kompas, 15 Agustus 2015).

Page 25: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 19

Jumlah pendapatan yang diterima desa,

baik pada tahun ini dan terlebih di tahun-

tahun mendatang, dengan demikian dapat

dikatakan cukup besar. Hal ini menimbulkan

kekhawatiran mengenai kesiapan desa dalam

menggunakan dana tersebut secara bertang-

gungjawab dan berkeadilan. Banyak kala-

ngan yang skeptis dan meremehkan kemam-

puan desa. Pengamat ekonomi Didik J. Rach-

bini misalnya, mengatakan bahwa kebijakan

dana desa bak memberi uang dari langit ke

kerumunan massa di mana masyarakat akan

saling berebut dan bertengkar untuk menda-

patkan uang itu. Birokrasi desa menurutnya

tak punya tradisi akuntabilitas

(http://www.koran-

sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-

dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-

1423968895, diakses 9 Juli 2015).

Karena khawatir bahwa dana desa dapat

menjadi jebakan yang menjerat kepala desa

untuk korupsi, baik secara sengaja maupun

tidak sengaja akibat ketidaktahuan akan

mekanisme pengelolaan dan pertanggungja-

waban anggaran, maka berbagai pihak pun

menyerukan solusi, misalnya dengan usulan

agar pada masa transisi (tahun pertama dan

kedua) pemerintah dan penegak hukum

jangan terlalu kaku dalam menerapkan

pengawasan dan penegakan hukum, harus

ada langkah persuasif jika pelanggaran

sifatnya administratif (Muhammad, 2015: 6).

Ada juga usulan untuk mempertanggungja-

wabkan dana desa cukup dengan bukti yang

menunjukkan dana telah masuk ke rekening

kas desa (RKD) dengan memperlakukan dana

itu sebagai anggaran dalam kelompok mata

anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial.

Selanjutnya, urusan selesai begitu dana

diterima desa (Padjung, 2015: 7).

Kementerian yang mengurusi desa juga

melakukan berbagai upaya untuk mencegah

dana desa disalahgunakan atau dikelola

dengan tidak mengikuti kaidah yang benar.

Dalam pernyataannya, Menteri Dalam Negeri

(Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bah-

wa pihaknya berkoordinasi dengan Kemen-

des PDTT telah melatih para aparat desa se-

cara terpadu mengenai tata kelola dan siste-

matika dalam membuat laporan penggunaan

keuangan desa secara benar. Kemendagri

juga akan memberikan pelatihan kepada ke-

pala desa dan aparat desa untuk peningkatan

kapasitas dalam penyusunan anggaran dan

pengelolaan anggaran. Satu desa minimal

mengirimkan tiga perwakilan sehingga

seluruhnya ada 273.000 orang yang akan

ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, Menda-

gri juga telah meminta Badan Pemeriksa Keu-

angan (BPK) selaku pihak yang akan mengau-

dit dana desa secara langsung agar mengizin-

kan penyederhanaan pelaporan keuangan

bagi desa sehingga dalam membuat laporan

tidak perlu tebal-tebal, cukup satu lembar

saja (http://www.koran-

sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-

audit-anggaran-desa-1434331148, diakses

10 Juli 2015). Di sisi lain, Kemendes PDTT

menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan

Indonesia (IAI) untuk pendampingan audit

dan pelaporan serta pelatihan administrasi

kepada aparat desa agar dana desa terkelola

secara akuntabel dan transparan

(http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-

penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa,

diakses 9 Juli 2015), selain juga menyiapkan

perekrutan untuk pendamping desa yang

dapat membantu pemerintah desa mengelola

keuangannya.

Namun, ada juga kalangan yang meyakini

bahwa desa telah siap menerima dan menge-

lola dana desa. Menurut Padjung, pengelola-

an uang dalam jumlah yang relatif besar

sesungguhnya bukan barang yang sama

sekali baru bagi desa. Kelompok masyarakat,

melalui Badan Keswadayaan Masyarakat dan

Unit Pengelola Kegiatan sudah biasa

mengelola bantuan langsung masyarakat.

Selama ini juga telah ada ADD yang

disalurkan langsung ke kas desa. Pengalaman

melalui Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang

telah menyentuh 67.108 desa juga telah

memberikan pembelajaran kepada masyara-

kat desa mengenai arti penting akuntabilitas

dan transparansi pengelolaan dana, termasuk

tentang pentingnya menempelkan fotokopi

rekening dan rincian penggunaan dana di

papan informasi (Padjung, 2015: 7). Sukas-

manto memberikan bukti lain bahwa desa

Page 26: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

20 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

sesungguhnya mampu mengelola keuangan.

Pada tahun 2009, total jumlah pendapatan

yang diterima desa sebesar Rp 8,569 triliun.

Jumlah ini kemudian meningkat pada tahun

2010 menjadi Rp 10,612 triliun (Sukasmanto,

2014: 5). Hal ini menyiratkan bahwa desa

mampu mengelola dana dengan baik karena

bila tidak maka secara logis tidak mungkin

pendapatan yang diberikan kepadanya me-

ningkat.

Tulisan ini menyoroti isu pengelolaan

keuangan desa pasca-UU Desa berlaku. Tuju-

annya adalah untuk memberikan pemaham-

an secara komprehensif mengenai pengelola-

an keuangan desa, substansi peraturan yang

mengaturnya, potensi permasalahan, dan

solusi untuk menghindari problem yang

mungkin muncul. Untuk mencapai tujuan

tersebut, tulisan ini distrukturkan sebagai

berikut. Pertama, dipaparkan mengenai

keuangan desa secara rinci, mulai dari

peraturan yang menjadi landasannya dan

alur atau mekanisme pengelolaannya, mulai

dari awal sampai akhir. Dengan demikian,

pembaca dapat memahami kerangka legal,

aturan main, dan logika dari pengelolaan

keuangan desa secara menyeluruh. Selanjut-

nya, dipaparkan mengenai potensi risiko dari

pengelolaan keuangan desa yang dilihat dari

berbagai aspek, mulai dari tata laksana,

kelembagaan, regulasi, dan SDM. Pemahaman

atas risiko ini memampukan pembaca untuk

melihat celah yuridis, sosiologis, dan politis

dari konstruksi yang membentuk tatanan

pengelolaan keuangan desa. Bagian ini

banyak memanfaatkan hasil kajian yang telah

dibuat oleh berbagai lembaga. Selanjutnya,

dituliskan mengenai dua isu penting yang

menjadi kunci dan faktor determinan yang

secara krusial memengaruhi keberhasilan

pengelolaan keuangan desa dari sisi SDM,

yakni isu kompetensi kepala desa selaku

kuasa pengguna anggaran di desa dan isu

pendamping desa sebagai fasilitator yang

membantu segala permasalahan di desa,

termasuk pengelolaan keuangan.2 Tulisan

2Keberhasilan pengelolaan keuangan desa tentu tidak hanya ditentukan dari sisi SDM yang menjadi fokus dari tulisan ini, melainkan juga dipengaruhi oleh sisi sistem, di antaranya regulasi yang baik

diakhiri dengan penutup yang berisi

kesimpulan dan rekomendasi.

METODE

Data dan analisis yang menjadi bagian

dari hasil kajian ini didapatkan dengan

metode kajian pustaka (literary studies) dan

diskusi terbatas. Kajian pustaka dilakukan

dengan mempelajari UU dan berbagai

peraturan terkait lain yang berhubungan

dengan pengelolaan keuangan desa, juga

berbagai artikel dan tulisan yang membahas

mengenai isu tersebut. Sementara diskusi

terbatas dilakukan untuk mendapatkan data

primer yang relevan dengan isu pengelolaan

keuangan desa dengan mengundang nara-

sumber dari kalangan kementerian, SKPD,

dan kepala desa. Diskusi terbatas dilakukan

oleh Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lem-

baga Administrasi Negara (LAN) selama dua

kali kesempatan pada 26 Juni 2015 dan 9 Juli

2015 dengan peserta para peneliti di lingku-

ngan LAN.3

KEUANGAN DESA DAN PENGELOLAANNYA

Ihwal keuangan desa diatur dalam Pasal

71-75 UU Desa. Dalam Pasal 71 ayat (1),

dinyatakan bahwa “Keuangan Desa adalah

semua hak dan kewajiban Desa yang dapat

dinilai dengan uang serta segala sesuatu

berupa uang dan barang yang berhubungan

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

Desa.” Selanjutnya, pengaturan mengenai

keuangan desa dan hal lain yang terkait

(lengkap, jelas, dan tidak tumpang tindih) dan mekanisme pengawasan yang efektif, ketat, dan menyeluruh. Tentang hal ini, lihat Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015. 3 Diskusi terbatas tanggal 26 Juni 2015 menghadirkan narasumber Eko Prasetyanto (Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri) dan Tifna Purnama (Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang), sedangkan diskusi terbatas 9 Juli 2015 menghadirkan narasumber Bito Wikantosa (Ditjen PPMD Kemendes PDTT), Beni Yusnandar (BPMPD Kabupaten Bekasi), dan Saidih (Kepala Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi). Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak di Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN sebagai penyelenggara diskusi terbatas, terutama kepada Dr. Basseng.

Page 27: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 21

dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam

berbagai peraturan, di antaranya PP No. 43

Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 60

Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersu-

mber dari APBN, PP No. 22 Tahun 2015

tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun

2014, PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peru-

bahan atas PP No. 43 Tahun 2014, Permen-

dagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelola-

an Keuangan Desa, Permenkeu No.

241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan

Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan

Dana Desa, Permenkeu No. 250/PMK.07/-

2014 tentang Pengalokasian Transfer ke

Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No.

93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalo-

kasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantau-

an, dan Evaluasi Dana Desa, dan Permendes

PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas

Penggunaan Dana Desa.

Mengenai pendapatan desa, seturut Per-

mendagri No. 113 Tahun 2014 Bab IV Bagian

Kesatu (Pasal 9-11), dinyatakan bahwa

pendapatan desa terdiri atas tiga elemen,

yakni 1) PAD (yang terdiri atas hasil usaha;

hasil aset; swadaya, partisipasi, dan gotong-

royong; dan lain-lain PAD); 2) transfer

(terdiri atas dana desa; PDRB; ADD; bantuan

keuangan APBD provinsi; dan bantuan

keuangan APBD kabupaten/kota); dan 3)

pendapatan lain-lain (terdiri atas hibah dan

sumbangan dari pihak ketiga yang tidak

mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang

sah).

Terkait dengan nomenklatur jenis-jenis

pendapatan desa di atas, perlu dicatat bahwa

Permendagri No. 113 Tahun 2014 membeda-

kan antara dana desa dengan ADD. Dana desa

adalah dana yang bersumber dari APBN yang

diperuntukkan bagi desa yang ditransfer me-

lalui APBD kabupaten/kota dan digunakan

untuk membiayai penyelenggaraan pemerin-

tahan, pelaksanaan pembangunan, pembina-

an kemasyarakatan, dan pemberdayaan

masyarakat. Sementara itu, dinyatakan bah-

wa ADD adalah dana perimbangan yang dite-

rima kabupaten/kota dalam APBD kabupa-

ten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khu-

sus (DAK). Pembedaan ini sesungguhnya

tidak dikenal dalam UU Desa sehingga berpo-

tensi menimbulkan kebingungan dan kesa-

lahpahaman meskipun istilah ADD sebenar-

nya pernah muncul dan diatur dalam PP No.

72 Tahun 2005 tentang Desa. Agusta memba-

ca bahwa pembedaan kedua jenis dana

tersebut bermotif politik, yakni sebagai upa-

ya Kemendagri mengamankan dana desa

sesuai peruntukannya, yakni untuk pemerin-

tahan, pembangunan, pembinaan, dan pem-

berdayaan. Dengan demikian, Kemendagri

yang menangani urusan pemerintahan masih

mempunyai ruang yang luas untuk bekerja

karena dana desa tidak melulu dititikberat-

kan pada urusan pembangunan dan pember-

dayaan masyarakat sesuai ketentuan Per-

mendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Pe-

netapan Prioritas Penggunaan Dana Desa

(Agusta, 2015a: 7). Argumen ini, bagaimana-

pun, terlalu tipis kekuatannya mengingat Pa-

sal 19 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2014 sudah

mengunci bahwa dana desa memang harus

diprioritaskan untuk membiayai pembangun-

an dan pemberdayaan masyarakat.

Terlepas dari masalah tersebut, dana desa

dalam pengertian keseluruhan rupa-rupa

pendapatan desa yang dikelola dalam APB-

Des harus dikelola secara transparan, akun-

tabel, partisipatif serta dilakukan dengan ter-

tib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permenda-

gri No. 113 Tahun 2014). Karena bersumber

dari negara, maka pengelolaannya harus

mengikuti aturan main yang berlaku terkait

pengelolaan dana publik. Dalam Permendagri

No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan

Keuangan Desa, ihwal pengelolaan dan desa

telah diatur dalam Bab V. Di dalamnya, diatur

bahwa pengelolaan dana desa terdiri atas

lima hal, yakni perencanaan, pelaksanaan,

penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung-

jawaban.

Jika ditilik mulai dari hulu, pengelolaan

keuangan desa dimulai dari perencanaan.

Pertama kali diadakan musyawarah desa

yang diselenggarakan oleh Badan Permusya-

waratan Desa (BPD) untuk membahas hal-hal

yang sifatnya strategis (lihat Pasal 54 UU

Desa). Kemudian, hasil musyawarah desa

berupa perencanaan pembangunan desa

ditindaklanjuti dengan musyawarah pemba-

Page 28: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

22 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

ngunan perencanaan desa (musrenbangdes)

yang diselenggarakan kepala desa dan pe-

rangkatnya. Musren-bangdes inilah yang me-

mbahas mengenai Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tiap enam

tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah

Desa (RKPDes) serta APBDes tiap setahun se-

kali. Setelah Raperdes tentang APBDes dise-

pakati bersama oleh kepala desa dan BPD

paling lambat bulan Oktober dan hasil eva-

luasi dari bupati/walikota atau camat (yang

mendapat delegasi untuk mengevaluasi Ra-

perdes APBDes) menyatakan bahwa Raper-

des APBDes tidak bertentangan dengan ke-

pentingan umum dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, APBDes dapat

ditetapkan.

Sebelum desa dapat menerima pencairan

dana desa, terlebih dahulu kabupaten/kota

harus mengesahkan APBD kabupaten/kota

dan peraturan bupati/walikota mengenai

tata cara pembagian dan penetapan besaran

dana desa (Pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun

2014 dan Pasal 16 ayat (2) Permenkeu No.

93/PMK.07/2015). Sebelum peraturan bupa-

ti/walikota itu dibuat, desa menyelesaikan

terlebih dahulu APBDes-nya. Keharusan ada-

nya peraturan kepala daerah tersebut seba-

gai indikasi bahwa kabupaten telah siap

untuk menyalurkan dana sesuai peraturan.

Per 1 Juli 2015, masih ada 16 kabupaten/

kota yang belum menerima pencairan dana

desa tahap pertama senilai Rp 8,306 triliun

karena belum menyerahkan persyaratan

tersebut, di antaranya Kabupaten Biak Num-

for, Kabupaten Merauke, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Sarmi, Kabupaten Tolikara, Kabu-

paten Waropen, Kabupaten Supiori, Ka-

bupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mam-

beramo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabu-

paten Teluk Bintuni, Kabupaten Bekasi, Ka-

bupaten Majalengka, Kota Batu, Kabupaten

Kepahiang, dan Kabupaten Konawe (Kompas,

2 Juli 2015).4

4 Menurut Eko Prasetyanto, keterlambatan penyerahan dokumen tersebut disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terlambatnya revisi PP No. 60 tahun 2014 yang memuat pengubahan formula pembagian dana desa sehingga membuat daerah harus menghitung ulang alokasi dana desa

Penggunaan dana desa dikelola oleh pe-

merintah desa melalui kuasa kepala desa dan

digunakan sesuai RPJMDes, RKPDes, dan AP-

BDes. Adapun laporan realisasi pelaksanaan

APBDes disampaikan kepala desa kepada

bupati/walikota berupa laporan semester

pertama yang harus disampaikan paling

lambat akhir bulan Juli dan laporan semester

akhir tahun paling lambat pada akhir bulan

Januari tahun berikutnya (Pasal 37 Permen-

dagri No. 113 Tahun 2014). Selain pelaporan,

kepala desa juga harus menyampaikan

laporan pertanggungjawaban realisasi pelak-

sanaan APBDes dalam bentuk peraturan desa

kepada bupati/walikota setiap akhir tahun

anggaran (Pasal 38 Permendagri No. 113

Tahun 2014).

Lalu, siapa yang mengawasi pengelolaan

keuangan desa? Pengawasan memegang pe-

ranan penting dalam memastikan agar pe-

ngelolaan dana desa berjalan dengan akun-

tabel, transparan, dan partisipatif demi ke-

maslahatan umum masyarakat desa. Penga-

wasan yang ketat, terkontrol, profesional,

dan berintegritas menjadi prasyarat penting.

Pengelolaan keuangan desa sesungguhnya

diawasi secara berlapis oleh banyak pihak.

Pada Pasal 44 Permendagri No. 113 Tahun

2014 disebutkan bahwa “Pemerintah Kabu-

paten/Kota membina dan mengawasi pelak-

sanaan pengelolaan keuangan desa.” Dalam

hal ini, Inspektorat Daerah akan berperan

penting sebagai leading institution ihwal pe-

ngawasan pengelolaan keuangan desa. Se-

mentara di tingkat pusat, BPK dan Badan Pe-

ngawasan Keuangan dan Pembangunan (BP-

KP) juga akan mengawasi pengelolaan keu-

angan desa secara sampling. Dana desa

menjadi ranah pengawasan mereka karena

untuk daerahnya, sebagian daerah adalah daerah otonom baru, dan bupati atau kepala desanya digantikan oleh pejabat sementara sehingga masih memerlukan waktu untuk memahami peraturan. Sementara itu, Beni Yusnandar dari BPMPD Kabupaten Bekasi mengatakan bahwa daerahnya sengaja tidak mengeluarkan perbup karena menunggu keluarnya Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 agar penghitungan yang dilakukan dalam perbup mempunyai landasan hukum yang kokoh dan jelas. Sejak 8 Juli 2015, dana desa sudah masuk ke rekening kabupaten.

Page 29: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 23

dana desa adalah uang negara yang bersum-

ber dari APBN sehingga pengelolaannya

harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan

kaidah yang berlaku. Untuk memantau pelak-

sanaan pembinaan dan pengawasan dana

desa, pemerintah pusat juga telah mem-

bentuk tim pengendali dana desa yang bera-

nggotakan pejabat lintas kementerian

(http://www.koran-

sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-

dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180,

diakses 10 Juli 2014).

POTENSI PROBLEMATIK PENGELOLAAN

KEUANGAN DESA

Sebagaimana telah disinggung sebelum-

nya, para pengamat terbelah dalam penilai-

annya atas pembagian dana desa, yakni me-

reka yang percaya bahwa dana desa dalam

jumlah yang besar belum tepat diberikan ke-

pada desa saat ini dan mereka yang percaya

bahwa desa telah mampu mengelola dana

desa dengan baik dan benar. Menurut Sofyan

Sjaf, keterbelahan tersebut berkaitan dengan

paradoks dari ketentuan mengenai dana desa

tersebut. Ada tiga paradoks yang diidentifi-

kasinya (Sjaf, 2015: 7). Pertama, pemberian

dana desa menciptakan birokratisasi alih-alih

pemberdayaan desa. Beberapa peraturan

yang mengatur dana desa dipandang sebagai

bentuk birokratisasi baru karena terlalu me-

ngatur secara teknis dan prosedural hal-hal

seperti dasar alokasi dana desa, pengelolaan

dan pertanggungjawaban dana desa, priori-

tas penggunaan dana desa, pendirian Badan

Usaha Milik Desa (BUMDes), dan sebagainya.

Makna pemberdayaan desa yang menjadi in-

tensi normatif dari UU Desa menjadi poten-

sial terlupakan. Sejatinya, apa yang lebih sub-

stantif adalah penguatan pengetahuan aparat

dan warga desa dalam pengambilan keputu-

san penggunaan dana desa sesuai kebutuhan

dan kondisi yang dihadapi desa, juga monito-

ring serta evaluasi penggunaan dana desa

yang partisipatif melibatkan warga desa.

Pada titik ini, paradigma “membangun desa”

yang bernuansa top-down menjadi terasa

lebih dominan daripada paradigma “desa me-

mbangun” yang lebih bottom-up sifatnya.

Kedua, dana desa meretas kesenjangan

struktural antara negara dengan desa tetapi

menciptakan kesenjangan antarwilayah, atau

lebih tepatnya kesenjangan antarpulau. Dari

Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribu-

sikan tahun ini, 61,49 persennya alias lebih

dari separuh berada di Pulau Jawa dan Suma-

tra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73

persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan

Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku

dan Papua (12,08 persen). Ini terjadi karena

dana desa setiap kabupaten/kota dihitung

berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1)

PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak

berbanding lurus dengan luas pulau. Di Jawa

ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa.

Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di

kedua pulau tersebut.5

Padahal, sesungguhnya desa yang terting-

gal lebih banyak berada di luar kedua pulau

ini sehingga dana desa seharusnya lebih

banyak terdistribusi di luar keduanya.

Dengan fakta ini, maka problem pemerataan

masih belum dapat diatasi.

Ketiga, perencanaan desa tidak sesuai

antara harapan dan kenyataan. Dokumen

yang disyaratkan untuk pencairan dana desa

seperti RPJMDes dan RKPDes tidak disusun

secara partisipatif dan transparan. Karena

keterburu-buruan, dokumen tersebut dibuat

secara elitis, tidak jarang menggunakan jasa

konsultan, sehingga hanya segelintir warga

desa yang mengetahuinya. Ini tentu berten-

tangan dengan harapan pemerintah bahwa

perencanaan desa hendaknya dilakukan se-

cara partisipatif, akuntabel, dan transparan.

Eksesnya, apa yang tertuang dalam dokumen

perencanaan juga belum tentu sesuai dengan

kebutuhan aktual masyarakat desa.

Berbagai paradoks di atas membuka tili-

kan kepada proposisi bahwa pengelolaan

dana desa rentan disalahgunakan. Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaji-

annya menemukan 14 persoalan dana desa

yang berpotensi menjadi korupsi yang

terbagi dalam empat aspek, yakni regulasi

5Informasi dari Eko Prasetyanto dalam diskusi terbatas 26 Juni 2015.

Page 30: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

24 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan,

dan sumber daya manusia

(http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-

pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-

persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7

Juli 2015).

Pada aspek regulasi dan kelembagaan,

persoalan tersebut antara lain: 1) belum

lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pe-

laksanaan yang diperlukan dalam pengelo-

laan keuangan desa; 2) potensi tumpang tin-

dih kewenangan antara Kemendes PDTT dan

Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri;

3) formula pembagian dana desa dalam PP

No. 22 Tahun 2015 yang tidak cukup trans-

paran dan hanya didasarkan atas pemerata-

an; 4) pengaturan pembagian penghasilan

tetap bagi perangkat desa dari ADD dalam PP

No. 43 Tahun 2014 yang kurang adil; dan 5)

kewajiban penyusunan laporan pertanggung-

jawaban oleh desa tidak efisien akibat

ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

Pada aspek tata laksana, terdapat lima

persoalan, antara lain: 1) kerangka waktu si-

klus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi

oleh desa; 2) satuan harga baku barang/jasa

yang dijadikan acuan bagi desa dalam me-

nyusun APBDes belum tersedia; 3) transpa-

ransi rencana penggunaan dan pertanggung-

jawaban APBDes masih rendah; 4) laporan

pertanggungjawaban yang dibuat desa belum

mengikuti standar dan rawan manipulasi,

salah satunya disebabkan karena ketidakjela-

san sistem akuntansi yang akan dipakai; ser-

ta 5) APBDes yang disusun tidak sepenuhnya

menggambarkan kebutuhan yang diperlukan

desa karena penyusunan tidak dilakukan

secara partisipatif.

Sementara pada aspek pengawasan, ter-

dapat tiga potensi persoalan, yakni 1) efekti-

vitas inspektorat daerah dalam melakukan

pe-ngawasan terhadap pengelolaan keuang-

an di desa masih rendah; 2) saluran pengadu-

an masyarakat tidak dikelola dengan baik

oleh semua daerah dan mekanisme pengadu-

annya tidak jelas; dan 3) ruang lingkup

evaluasi dan pengawasan yang dilakukan

oleh camat belum jelas.

Sedangkan pada aspek sumber daya

manusia, terdapat potensi persoalan berupa

tenaga pendamping yang berpotensi melaku-

kan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya

pengetahuan aparat desa. Hal ini berkaca pa-

da program sejenis sebelumnya, PNPM Per-

desaan, di mana tenaga pendamping yang

seharusnya berfungsi membantu masyarakat

dan aparat desa justru melakukan korupsi

dan kecurangan.

Sebuah lembaga swadaya masyarakat

(LSM), Forum Indonesia untuk Transparansi

Anggaran (FITRA), juga melakukan kajian

yang serupa dengan KPK. Dalam kajian

FITRA, terdapat enam potensi penyimpangan

dana desa, di antaranya: 1) adanya mafia

anggaran dari pusat dan kabupaten; 2) dana

desa dipakai untuk anggaran pilkada seren-

tak yang tidak teralokasi di APBD; 3) peng-

gunaan dana desa tidak sesuai peruntukan di

desa; 4) aset desa tidak terinventarisir

dengan baik; 5) ketidakmampuan adminis-

trasi dan rumitnya pertanggungjawaban yang

berdampak pada potensi penyalahgunaan

wewenang dan melanggar hukum; dan 6)

minimnya pengawasan dari masyarakat dan

pendamping (Kompas, 3 Juli 2015).

Dari berbagai kajian mengenai risiko

pengelolaan dana desa di atas, ada beberapa

hal yang patut dicatat. PP No. 47 Tahun 2015

telah mengatur ulang mengenai pembagian

penghasilan tetap bagi perangkat desa dari

ADD. Ketentuan tersebut dalam PP No. 43

Tahun 2014 menurut KPK kurang adil, di

mana disebutkan dalam Pasal 81 ayat (2)

bahwa penghasilan tetap kepala desa dan

perangkat desa bagi desa yang ADD-nya

kurang dari Rp 500 juta maksimal 60 persen,

kalau Rp 500-700 juta maksimal 50 persen,

kalau Rp 700-900 juta maksimal 40 persen,

dan kalau di atas Rp 900 juta maksimal 30

persen. Ini kemudian direvisi dalam Pasal 81

ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015 menjadi: ADD

sampai dengan Rp 500 juta maksimal 60

persen, ADD Rp 500-700 juta maksimal 50

persen dengan nominal minimal Rp 300 juta,

ADD Rp 700-900 juta maksimal 40 persen

dengan nominal minimal Rp 350 juta, dan

ADD di atas Rp 900 juta maksimal 30 persen

dengan nominal minimal Rp 360 juta. Keten-

Page 31: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 25

tuan ini kemudian dikunci lebih lanjut pada

pasal 100 ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015, di

mana disebutkan bahwa paling banyak 30

persen dari APBDes digunakan untuk

penghasilan tetap dan tunjangan kepa-la desa

dan perangkat desa, operasional pe-merintah

desa, tunjangan dan operasional BPD, dan

insentif rukun tetangga (RT) dan rukun

warga (RW).

Kemudian, terkait dengan formula pem-

bagian dana desa juga diadakan perubahan

seiring dengan hadirnya PP No. 22 Tahun

2015 menggantikan PP No. 60 Tahun 2014.

KPK menilai bahwa formulasi penentuan

besaran dana desa per kabupaten/kota pada

PP No. 22 Tahun 2015 tidak adil karena lebih

condong didasarkan pada pertimbangan pe-

merataan, dengan alokasi dasar sebesar 90

persen dibagi secara merata kepada setiap

desa (rata-rata Rp 280 juta) dan hanya 10

persen sisanya yang memperhitungkan

variabel jumlah penduduk, angka kemiskin-

an, luas wilayah, dan indeks kesulitan geo-

grafis (IKG). Maka tak heran apabila jumlah

dana yang diterima setiap desa dalam satu

kabupaten tidak jauh berbeda, padahal kon-

disi demografis, geografis, dan sosiologis an-

tara desa satu dengan yang lain bisa jadi

sangat berbeda. Namun, sesungguhnya aloka-

si dasar sebesar 90 persen yang dibagi secara

merata tersebut sesungguhnya hanya berla-

ku untuk tahun 2015 saja (lihat Pasal 29 PP

No. 22 tahun 2015). Menurut keterangan Eko

Prasetyanto, hal tersebut dilakukan demi

pertimbangan kepraktisan karena dikejar

waktu. Kemendagri bersama dengan Kemen-

terian Keuangan (Kemenkeu) dan kementeri-

an terkait tidak sanggup untuk menghitung

dana desa untuk lebih dari 74 ribu desa

sesuai formula yang ditetapkan PP No. 60

Tahun 2014 sebelum pencairan tahap

pertama dilakukan. Data yang paling susah

adalah data yang menyangkut IKG.

KOMPETENSI KEPALA DESA SEBAGAI

PENJAMIN PENGELOLAAN KEUANGAN

DESA YANG BAIK.

Kepala desa memegang peranan penting

dalam pengelolaan keuangan desa karena dia

merupakan pemegang kekuasaan pengelola-

an keuangan desa (Pasal 3 ayat (1) Permen-

dagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya

tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas,

antara lain: menetapkan kebijakan tentang

pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana

Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD)

yang terdiri atas sekretaris desa, kepala

seksi, dan bendahara; menetapkan petugas

yang melakukan pemungutan penerimaan

desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan

yang ditetapkan dalam APBDes; dan

melakukan tindakan yang mengakibatkan

pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat

(2) Permendagri No. 113 Tahun 2014).

Jelaslah di sini bahwa kepala desa

menjadi tumpuan utama untuk memastikan

apakah pengelolaan keuangan desa sudah

dijalankan sesuai dengan asas-asas dan

prinsip-prinsip yang ditentukan. Apakah ke-

pala desa sanggup menanggung tanggungja-

wabnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut

bisa saja beragam mengingat kualitas kepala

desa berbeda di desa satu dengan yang lain.

Dalam diskusi terbatas yang diadakan Pusat

Inovasi Tata Pemerintahan LAN pada tanggal

26 Juni 2015, salah satu narasumber yaitu

Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD

Kabupaten Tangerang Tifna Purnama mem-

berikan kesaksian bahwa banyak kepala desa

di Kabupaten Tangerang yang kualitasnya di

bawah standar. Ada kepala desa yang korup

(menggunakan ADD untuk menutup hutang

kampanye pemilihan kepala desa), berkonflik

terus dengan BPD sehingga telat atau gagal

menghasilkan APBDes dan perdes lainnya,

tidak paham perencanaan, bahkan ada yang

buta huruf.

Salah satu hal yang ditengarai menjadi

muara dari banyaknya kepala daerah yang

tidak kompeten adalah ketentuan yang ter-

maktub dalam Permendagri No. 112 Tahun

2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peratu-

ran tersebut tidak memberikan persyaratan

kompetensi bagi calon kepala desa menyang-

kut hal-hal substantif seperti memahami

(setidaknya secara teoretis) manajemen

kepemimpinan desa, manajemen pengelolaan

keuangan, perencanaan pembangunan desa,

dan sebagainya. Pasal 21 hanya memuat per-

syaratan yang sifatnya normatif dan adminis-

Page 32: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

26 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

tratif seperti bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, memegang teguh dan mengamal-

kan Pancasila, berpendidikan paling rendah

tamat sekolah menengah pertama (SMP) atau

sederajat, berusia paling rendah 25 tahun

pada saat mendaftar, terdaftar sebagai pen-

duduk dan bertempat tinggal di desa setem-

pat paling kurang satu tahun sebelum pen-

daftaran, tidak sedang menjalani hukuman

pidana penjara, berbadan sehat, tidak pernah

sebagai kepala desa selama tiga kali masa

jabatan, dan sebagainya.

Dengan persyaratan seperti di atas, tentu

tidak ada jaminan bahwa calon-calon kepala

desa yang lulus seleksi merupakan orang-

orang dengan kualitas dan kapasitas mumpu-

ni.6

Seharusnya, kepala desa dituntut dan di-

persyaratkan untuk memiliki kompetensi

dalam hal teknis dan manajerial terkait pe-

nyelenggaraan pemerintahan desa agar dana

desa dapat dioptimalkan sebaik mungkin

untuk peningkatan kesejahteraan masyara-

kat dengan tanpa mengorbankan kualitas pe-

ngelolaannya. Seiring dengan titik berat pem-

bangunan yang semakin bertumpu kepada

desa, seharusnyalah persyaratan untuk pen-

calonan kepala desa juga ditingkatkan kuali-

fikasinya.

Penjaringan calon kepala desa yang ber-

kualitas sedikit banyak akan ditentukan oleh

masyarakat desa itu sendiri. Setiap masyara-

kat mendapatkan pemimpin yang pantas dia

dapatkan. Jika dinamika dan tatanan masya-

rakat desa berkembang secara organis dan

demokratis, maka akan muncul pemimpin-

6 Terkait dengan syarat pencalonan kepala desa yang cukup berpendidikan SMP diakui menjadi masalah di Kabupaten Bekasi. Salah satu narasumber dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen kepala desa di Bekasi merupakan lulusan SMP, dan keterbatasan pendidikan tersebut membuat mereka tidak dapat memahami manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik. Pihaknya pernah ingin membuat peraturan daerah yang mensyaratkan pendidikan minimal kepala desa adalah SMA, namun hal itu terbentur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi, yakni Permendagri No. 112 tahun 2014.

pemimpin alamiah yang bijak sekaligus kom-

peten. Sebaliknya, jika masyarakat tersebut

telah diinfiltrasi oleh nilai-nilai yang merusak

modal sosialnya seperti individualisme, kese-

rakahan, pemaksaan, dan kekerasan, maka

akan sulit untuk mengharapkan lahirnya ca-

lon-calon pemimpin asli yang berkualitas.

PENDAMPING DESA SEBAGAI AGEN

PEMBERDAYA

Pendampingan desa merupakan aspek la-

in yang berperan krusial dalam menentukan

terjaminnya pengelolaan keuangan desa se-

cara transparan, akuntabel, dan partisipatif.

Pasal 128 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014

menyebutkan bahwa pendampingan masya-

rakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja pe-

rangkat daerah (SKPD) kabupaten/kota dan

dapat dibantu oleh tenaga pendamping pro-

fesional, kader pemberdayaan masyarakat

desa, dan/atau pihak ketiga. Sementara itu,

ayat 3 pasal yang sama menyebutkan bahwa

camat atau sebutan lain melakukan koor-

dinasi pendampingan masyarakat desa di

wilayahnya. Ini artinya, pendampingan dapat

dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari

pemerintah, masyarakat, dan bahkan swasta.

Pendampingan oleh jajaran pemerintah diko-

ordinasikan oleh Kemendagri dan pendam-

pingan oleh masyarakat dikoordinasikan Ke-

mendes PDTT.

Menarik untuk disoroti di sini adalah

tugas pendampingan yang dilaksanakan oleh

masyarakat. Pendamping desa merupakan

aktor di tingkat masyarakat yang berperan

penting dalam mengawal pengelolaan keu-

angan desa. Mereka melakukan fasilitasi un-

tuk pemerintah dan masyarakat desa agar

kegiatan pemerintahan, pembangunan, pem-

berdayaan, dan kemasyarakatan dapat ber-

jalan dengan efektif demi percepatan pening-

katan kesejahteraan masyarakat desa. Per-

mendes PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pen-

dampingan Desa telah mengatur dengan rinci

mengenai pendamping desa ini, di antaranya

tujuan pendampingan desa, ruang lingkup

pendampingan desa, tugas pendamping desa,

manajemen pendampingan desa, dan penda-

naannya. Di dalamnya disebutkan bahwa tu-

juan pendampingan desa meliputi: a) me-

Page 33: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 27

ningkatkan kapasitas, efektivitas dan akunta-

bilitas pemerintahan desa dan pembangunan

Desa; b) meningkatkan prakarsa, kesadaran

dan partisipasi masyarakat Desa dalam

pembangunan desa yang partisipatif; c)

meningkatkan sinergi program pembangun-

an Desa antarsektor; dan d) mengoptimalkan

aset lokal Desa secara emansipatoris (Pasal 2

Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015). Ada

pun pendamping desa terdiri atas tenaga

pendamping profesional (yang terdiri atas

pendamping desa yang berkedudukan di

kecamatan, pendamping teknis yang berke-

dudukan di kabupaten, dan tenaga ahli pem-

berdayaan masyarakat yang berkedudukan

di pusat dan provinsi), kader pemberdayaan

masyarakat desa yang berkedudukan di desa

dan diperoleh melalui mekanisme musya-

warah desa, dan pihak ketiga (terdiri dari

LSM, perguruan tinggi, organisasi masyara-

kat, dan perusahaan).

Pendamping desa profesional memiliki

tugas dalam ruang lingkup yang luas, di mana

fasilitasi dan bimbingan pengelolaan keuang-

an hanya salah satu di antaranya, meskipun

hal itu tak disebutkan secara ekplisit di

dalam Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.7

Rekrutmen pendamping profesional dilaku-

kan secara terbuka. Mengingat tugas dan

tanggungjawabnya yang luas, maka wajar

bila ditetapkan bahwa mereka harus memili-

ki kualifikasi yang tinggi. Untuk pendamping

desa misalnya, disebutkan bahwa mereka

harus memiliki kompetensi yang sekurang-

kurangnya memenuhi unsur kualifikasi anta-

ra lain: memiliki pengetahuan dan kemampu-

an dalam pemberdayaan masyarakat; memi-

liki pengalaman dalam pengorganisasian ma-

syarakat desa; mampu melakukan pendam-

pingan usaha ekonomi masyarakat desa;

mampu melakukan teknik fasilitasi kelom-

pok-kelompok masyarakat desa dalam mu-

syawarah des; dan/atau memiliki kepekaan

terhadap kebiasaan, adat-istiadat, dan nilai-

nilai budaya masyarakat desa (Pasal 24

Permendes PDTT No. 3 tahun 2015). Khusus

untuk tenaga pendamping profesional, mere-

7 Tugas pendamping desa profesional secara rinci dapat dilihat dalam Bab II (Pasal 11-17) Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.

ka bahkan harus memiliki sertifikasi kompe-

tensi yang diterbitkan oleh lembaga sertifi-

kasi profesi (Pasal 27 ayat (1)). Sebelum

terjun ke lapangan, tenaga pendamping

profesional juga diberikan pembekalan pe-

ningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan

(Pasal 28 ayat (1)). Dalam catatan Kemendes

PDTT, dibutuhkan lebih dari 44.030 pendam-

ping desa di tingkat kabupaten, kecamatan,

dan desa. Dari jumlah tersebut, 12.442 orang

merupakan eks fasilitator PNPM dan 31.558

sisanya merupakan tenaga baru lulusan sar-

jana dan pendamping lokal desa yang dire-

krut dari kalangan masyarakat desa sendiri.8

Meskipun telah diatur dalam suatu

instrumen kebijakan yang cukup ideal secara

normatif, namun bukan berarti isu pendam-

ping desa bebas dari masalah dan risiko. Sya-

rat kualifikasi yang tinggi bisa jadi terpaksa

dikompromikan mengingat kebutuhan akan

pendamping desa dalam jumlah yang banyak

perlu segera dilakukan, padahal jumlah calon

pendamping yang benar-benar kompeten

dan berpengalaman terbatas. Salah satu poin

dalam kajian KPK mengenai risiko pengelola-

an dana desa juga menyoroti mengenai pelu-

ang korupsi yang dilakukan oleh pendamping

desa. Dengan otoritas pengetahuan dan pe-

ngalamannya, mereka dapat memanipulasi

aparatur desa sehingga penggunaan dana

desa disetir sedemikian rupa untuk kepenti-

ngan pribadinya. Ada juga kekhawatiran bah-

wa pendamping desa menjadi lahan profesi

yang dijatahkan untuk kader partai politik

atau sukarelawan pendukung calon presiden

pemenang pemilu, dengan demikian mengor-

bankan tuntutan profesionalitas.

Keterpakuan berlebihan akan dimensi

profesionalitas pendamping desa juga harus

dijaga agar jangan sampai membawa kerja

pendampingan sebagai usaha yang melulu

bernapaskan teknokratis. Pengalaman dalam

program PNPM Mandiri Perdesaan dapat di-

petik sebagai pelajaran. Di luar cerita dan ci-

tra keberhasilan yang sering digembar-gem-

borkan pemerintah, sesungguhnya banyak

8 Informasi disampaikan Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT dalam diskusi terbatas, 9 Juli 2015.

Page 34: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

28 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

hal defektif yang berada di baliknya. Persen-

tase dana yang macet atau tidak bergulir

memang rendah, namun pembelajaran akan

pengembangan demokrasi dan pemberdaya-

an mandiri masyarakat desa rendah. Fasilita-

tor lebih banyak perperan sebagai perancang

yang mendikte alih-alih transformator. Dana

secara seragam lebih banyak dihabiskan un-

tuk pembangunan infrastruktur dengan sedi-

kit alokasi untuk kegiatan-kegiatan pember-

dayaan dan peningkatan produktivitas mas-

yarakat. Terjadi “eksploitasi warga lewat tira-

ni partisipasi” (Agusta, 2008) dengan me-

maksa warga membangun proyek secara

gotong-royong, padahal di sisi lain orang kota

mendapatkan fasilitas serupa secara gratis.

Dana yang berasal dari hutang lembaga do-

nor lebih banyak mengalir ke pendamping in-

ternasional, nasional, kabupaten, hingga ke-

camatan sehingga tak heran bahwa menurut

BPS, hanya 14 persen desa yang melaporkan

rumah tangga miskin mendapatkan manfaat

PNPM (Agusta, 2015b: 7). Lebih jauh, Carroll

(2010) secara kritis menilai bahwa program

PNPM mengintrodusir nilai-nilai good

governance (partisipasi, akuntabilitas) dan

kompetisi yang kompatibel dengan

neoliberalisme.

Dengan berpijak pada pengalaman terse-

but, ada yang khawatir bahwa pendampingan

desa akan terjebak pada logika yang sama,

yakni berorientasi teknokratis-birokratis.

Meminjam istilah James Ferguson (1990),

pendamping desa berpotensi menjadi “mesin

antipolitik” yang melakukan depolitisasi war-

ga, di mana hak warga desa akan edukasi po-

litik dan penguatan representasi politik di-

blok oleh rasionalitas instrumental (Eko,

2015: 7). Ini patut menjadi peringatan yang

diantisipasi dengan serius, mengingat sebagi-

an besar eks fasilitator PNPM Mandiri sejum-

lah 13 ribu orang yang kontraknya berakhir

pada 31 Desember 2014 inilah yang menjadi

pendamping desa dalam era UU Desa.9 Cara-

9 Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT menginformasikan bahwa eks fasilitator PNPM Mandiri telah dimobilisasi sebagai pendamping desa pada awal Juli 2015. Jumlahnya yang berada di kecamatan 10.604 orang dan di tingkat kabupaten 1.834 orang.

cara dan paradigma lama mereka dalam me-

lakukan pendampingan dan fasilitasi harus

diubah. UU Desa mentransformasi dimensi

keproyekan ala PNPM menjadi lebih

tersistematisir dalam kerangka pembangun-

an desa yang holistik. Oleh karenanya, pen-

damping tidak boleh menyisihkan pemerin-

tah desa sebagaimana terjadi dalam PNPM,

melainkan mendudukkannya sebagai aktor

pembangunan bersama dengan warga

(Agusta, 2015b: 7).

PENUTUP

Dana desa menjadi tema yang paling

euforis sejak UU Desa disahkan. Wajar saja,

melalui dana desa, desa akan mendapatkan

dana dalam jumlah yang besar tanpa prese-

den. Berbagai kekhawatiran pun mencuat di

kalangan publik pada umumnya dan pemer-

hati desa pada khusunya. Sosiolog Viviana

Zelizer berpendapat bahwa uang dapat di-

maknai secara jamak dan cair. Cara dalam

mana masing-masing pihak memberikan

makna tertentu kepada uang disebutnya se-

bagai pencirian (earmarking) (Zelizer, 1994).

Pemerintah pusat yang mengalokasikan dana

desa dalam jumlah tertentu kepada desa

memandang uang tersebut sebagai instru-

men untuk membuat desa lebih sejahtera dan

otonom, anggota DPR memandang persetu-

juannya atas dana desa dalam APBN sebagai

modal politik yang dapat dipromosikan kepa-

da konstituen di desa bahwa dirinya adalah

pihak yang berjasa, demikian pula macam-

macam aktor yang berkecimpung di desa

akan memandang dana desa dalam pers-

pektifnya masing-masing, entah apakah itu

sebagai amanah, bonus cuma-cuma, peluang

mencari untung, dan sebagainya.

Uang dalam jumlah yang besar adalah

gula-gula, dan berbagai pihak dengan berba-

gai kepentingan pun bisa diprediksi akan

tertarik untuk masuk ke desa mendesakkan

kepentingannya. Uang yang banyak dikhawa-

tirkan dapat merusak pranata sosial dan bu-

daya yang berlaku di desa, menggerus modal

sosial melalui infiltrasi praktik-praktik kotor.

Beberapa desa di Jawa Timur misalnya, sebe-

lum menerima dana desa sudah melakukan

pengadaan laptop yang dananya ditalangi pe-

Page 35: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 29

ngusaha setempat. Sementara di Sulawesi Se-

latan ada pengusaha menyumbang dana

kampanye pada pemilihan kepala desa agar

mendapat proyek pengadaan dari dana desa

(Kompas, 3 Juli 2015) dan di Bekasi ada desa

yang menerima sumbangan dua mobil ambu-

lans dari perusahaan sebelum dana desa

turun.10 Fenomena kolusi dan praktik perbu-

ruan rente (rent-seeking) yang selama ini

marak di pemerintah daerah pasca-desentra-

lisasi bisa jadi akan mengalir turun ke desa.

Pemilihan kepala desa juga diperkirakan

akan semakin sengit dan diintervensi oleh

politik uang dan manipulasi, antara lain kare-

na tergiur oleh dana desa yang besar. Jika ke-

pala desa yang terpilih memiliki kaitan

dengan partai politik, maka dana desa bisa

dikorupsi tidak saja untuk menutupi biaya

kampanye dan kepentingan pribadi namun

juga untuk “sumbangan” ke partainya.

Sebagai rekomendasi untuk mencegah

pengelolaan dana desa dapat dilakukan

dengan baik dan berintegritas, maka diperlu-

kan pencermatan atas poin-poin berikut. Per-

tama, berbagai peraturan yang mengatur ten-

tang dana desa mulai dari tingkat UU, PP,

Permen, Perda dan Perbup/Perwal harus

dicek keselarasan dan koherensinya. Jangan

sampai ada peraturan yang tumpang tindih

dan bertentangan dan jangan sampai ada pe-

raturan yang substansinya bukan menjadi

urusan dari pihak yang mengeluarkan pera-

turan. Dengan demikian, tidak akan ada ceri-

ta pelanggaran pengelolaan dana desa akibat

peraturan yang bertentangan atau tidak jelas.

Lebih jauh, peraturan tersebut juga hendak-

nya dievaluasi agar jangan terlalu restriktif

dan kaku (dengan tanpa mengorbankan

prinsip-prinsip tata kelola yang baik) karena

itu hanya akan memperluas birokratisasi dan

ujung-ujungnya ruang gerak desa menjadi

terbatas. Kemungkinan untuk perubahan

atau revisi juga harus dibuka setiap saat se-

bagai respons atas feedback dan dinamika

yang terjadi di lapangan, atau manakala pera-

turan yang ada di dalamnya tidak sesuai

dengan aspirasi otentik masyarakat desa. Ke-

sediaan pemerintah untuk merevisi PP No.

10 Informasi disampaikan Beni Yusnandar (BPMPD Kab. Bekasi) dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015.

43 Tahun 2014 dan PP No. 60 Tahun 2014

merupakan contoh yang baik bahwa peme-

rintah mau mendengar aspirasi tersebut.11

Kedua, sistem pengawasan dan monev

yang tegas dan cermat perlu diterapkan. Saat

ini, pengelolaan dana desa dikawal dan dia-

wasi secara berlapis oleh banyak pihak, mulai

dari pemerintah pusat (melalui BPK dan

BPKP), pemerintah daerah (melalui Inspekto-

rat Daerah, BPKD), dan KPK. BPD hendaknya

juga melakukan penguatan dalam fungsi pe-

ngawasan internal, termasuk dalam hal pe-

ngelolaan keuangan desa. Semua pihak terse-

but harus memiliki kesamaan persepsi me-

ngenai apa yang dimaksud dengan penge-

lolaan keuangan desa yang baik dan benar. Di

luar lembaga-lembaga pemerintah tersebut,

masyarakat desa sendiri juga harus dibekali

dengan kesadaran kritis mengenai penting-

nya dana desa dikelola dengan transparan

dan akuntabel. Untuk itu, pendamping desa

dan organisasi masyarakat sipil harus aktif

memberikan pelatihan mengenai cara dan

strategi melakukan pengawasan. Penciptaan

model-model pengawasan yang efektif harus

diujicoba dengan seksama.

Ketiga, penguatan kapasitas dan kesada-

ran bagi aparatur desa mutlak diperlukan.

Kepala desa dan jajarannya perlu diberikan

pemahaman dan pelatihan mengenai hal ih-

wal pengelolaan keuangan desa, mulai dari

awal (perencanaan dan penganggaran) sam-

pai akhir (laporan pertanggungjawaban). Pe-

ran pendamping desa yang memfasilitasi

desa berperan krusial di sini. Mereka harus

mampu untuk melakukan transfer pengeta-

huan dan pembimbingan intensif. Selain itu,

pendamping pada aras pemerintahan supra-

11 Misalnya, Pasal 100 PP No. 47 Tahun 2015 menyebutkan bahwa perhitungan belanja desa yang ditetapkan dalam APBDes di luar pendapatan yang bersumber dari hasil pengelolaan tanah bengkok (atau sebutan lain). Hasil pengelolaan tanah bengkok dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan dari maksimal 30 persen APBDes. Ketentuan ini telah memenuhi aspirasi kepala desa yang khawatir bila pendapatan hasil pengelolaan tanah bengkok dimasukkan dalam perhitungan belanja desa maka pendapatannya akan berkurang.

Page 36: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

30 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

desa juga harus mampu untuk melakukan

kerja peningkatan kapasitas dan pelatihan.

Untuk ini, salah satu hal yang dapat direko-

mendasikan adalah memperlengkapi keca-

matan dengan keberadaan tenaga fungsional

yang paham dalam aspek-aspek teknis dan

sektoral tata kelola desa (keuangan, teknik,

pengembangan usaha, pertanian, dan seba-

gainya), jadi tidak hanya diisi oleh staf admi-

nistrasi, agar pemerintah desa dapat berkon-

sultasi kepada kecamatan. Dalam perencana-

an pembangunan dan penganggaran yang ha-

sil akhirnya tertuang dalam RPJMDes, RKP-

Des, dan APBDes, aparat desa tidak cukup

hanya paham mengenai teknis mekanisme

pelaksanaannya, melainkan juga mampu un-

tuk melakukannya secara berkeadilan dan

demokratis, yakni disusun dengan benar-be-

nar memperhatikan kebutuhan aktual ma-

syarakat dan melibatkan partisipasi otentik

(bukan partisipasi semu dan mobilisasi) dari

masyarakat desa seluas-luasnya. Dengan de-

mikian, pembelanjaan desa dapat diaranse-

men agar mampu meningkatkan kesejahtera-

an, kemandirian, dan keberdayaan masyara-

kat desa. Untuk mencapai ini, peningkatan

kapasitas hanya akan melahirkan keahlian

teknis yang mekanis jika tidak diiringi

dengan perubahan kesadaran. Diperlukan

peningkatan kesadaran agar kepala desa dan

aparat benar-benar memahami bahwa dana

desa adalah amanah besar yang harus diper-

tanggungjawabkan secara akuntabel, bukan-

nya hadiah yang dapat digunakan secara be-

bas oleh elite desa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Artikel Agusta, Ivanovich, 2008, “Kritik Paradigma

PNPM Mandiri (Critique on Paradigm of PNPM Mandiri)”, dalam http://iagusta.blogspot.com/2008/11/kritik-paradigma-pnpm-mandiri-critique.html, diakses 10 Juli 2015.

_______________, 2015a, “Memandirikan Keuangan Desa”, Kompas, 4 April, hal. 7.

_______________, 2015b, “Membalik Pendamping Desa”, Kompas, 4 Mei, hal. 7.

Carroll, Toby, 2010, “Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal”, Prisma, Vol. 29, No. 3, hal. 84-101.

Eko, Sutoro, 2015, “Pendampingan Desa”, Kompas, 2 Juli 2015, hal. 7.

Hasani, Ismail, 2015, “Mantra Membangun Desa”, Kompas, 22 April, hal. 7.

Huseini, Martani, 2015, “”Saemaul Undong”, Semua Berawal dari Desa”, Koran Sindo, 25 Juni 2015, hal. 7.

Jaweng, Robert Endi, 2015, “Setahun UU Desa”, Kompas, 14 Februari, hal. 6.

Muhammad, Farouk, 2015, “Menjaga Momentum UU Desa”, Kompas, 3 Juli, hal. 6.

Padjung, Rusnadi, 2015, “Khawatir Dana Desa Dikorupsi”, Kompas, 6 Juli, hal. 7.

Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015, “Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014”, Jakarta: Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN.

Sjaf, Sofyan, 2015, “Menjawab Kekhawatiran Dana Desa”, Kompas, 25 Juni, hal. 7.

Sukasmanto, 2014, “Potensi Penyalahgunaan Dana Desa dan Rekomendasi”. Disampaikan dalam 4th Indonesia Anti-Corruption Forum, Jakarta, 10-12 Juni 2014.

Zelizer, Viviana A., 1994, The Social Meaning of Money, Princeton: Princeton University Press.

Undang-undang dan Peraturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik

Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia

Page 37: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 31

Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Bela-nja Negara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksa-naan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang

Penataan Tugas dan Fungsi Kabi-net Kerja.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmi-grasi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Berita “Dana Besar Akan Banjiri Desa”, Kompas, 27

Februari 2015, hal. 5. “Pendulum Anggaran Mulai ke Daerah”,

Kompas, 15 Agustus 2015, hal. 1. “Persyaratan Hambat Pencairan”, Kompas, 2

Juli 2015, hal. 5. “Tantangan di Balik Janji Manis”, Kompas, 3

Juli 2015, hal. 5. Laman Website http://www.koran-

sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/964858/149/dana-desa-picu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-audit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015.

http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015.

http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015.

http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa, diakses 9 Juli 2015.

Page 38: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

32 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia

Governor as a Representative of the Central Government in Local Government

System in the Republic of Indonesia

Edy Sutrisno

Peneliti Muda pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak:

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki kedudukan sangat penting dalam sistem peme-

rintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan strategis tersebut mengalami

banyak tantangan dan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa kedudu-

kan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak efektif dan untuk merumuskan konstruksi kedu-

dukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan

daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berjalan

tidak efektif yang disebabkan oleh 6 (enam) determinant factor, yaitu lemahnya dukungan instrumen

kebijakan, ketiadaan institusi kelembagaan, ketiadaan personil aparatur, ketidakjelasan anggaran,

kepemimpinan, dan political will pemerintah. Hasil penelitian merumuskan dua desain sistem peme-

rintahan daerah. Pertama, provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom – kabupaten/kota dae-

rah otonom. Kedua, provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom – kabupaten/kota wi-

layah administrasi dan daerah otonom. Kedua desain tersebut meletakkan dekonsentrasi dan desen-

tralisasi pada provinsi dan mendudukkan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat mapun

selaku kepala daerah. Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya institusi kelembagaan gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat yang dalam penelitian ini dirumuskan sebagai intermediate govern-

ment dalam bentuk direktorat dekonsentrasi.

Kata kunci: Gubernur, Wakil Pemerintah Pusat, Dekonsentrasi, Desentralisasi, Prefectoral

System, Intermediate Government, Direktorat Dekonsentrasi

Abstract:

Governor as the Central Government representative has a very important position on the local

government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia. The strategic position have

faced lots of challenges and problems. This study aims to analyze why the position of the governor as

the central government representative is ineffective and to formulate the construction of the

governor’s position, role and function as the Central Government representative on the local

government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia for the future.

The results show that the governor’s position as the central government representative is ineffective.

The ineffectiveness determinant factors are the lack of support in policy instruments, institutions,

personnel officers, budget uncertainty, leadership, and political will of the governments. This study

formulates two designs for the local administration system. First, the provinces are both an

administrative area and an autonomous region, then the regencies/municipalities are an

autonomous region. Second, both the provinces and regencies/municipalities are an administrative

area and an autonomous region. Both designs set deconcentration and decentralization at the

province as well as governor as the Central Government representative and as the head area. This

study indicate the need of governor’s institution as the central government representative which in

this study is formulated as an intermediate government in the deconcentration directorate format.

Keywords: Governor, Central Government Representative, Deconcentration, Decentralization,

Prefectoral System, Intermediate Government, Directorate Deconcentration

Page 39: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 33

LATAR BELAKANG

Sejarah sistem pemerintahan daerah di

Indonesia menunjukkan kecenderungan ber-

impitnya daerah otonom dan daerah admi-

nistrasi melalui implementasi asas desentra-

lisasi dan dekonsentrasi. Bhenyamin

Hoessein (2009) mengemukakan, penyeleng-

garaan desentralisasi mewujudkan local self

government dengan terbentuknya daerah

otonom, sedangkan dekonsentrasi mencipta-

kan field administration (instansi vertikal)

dan/atau local state government.1 Penyeleng-

garaan dekonsentrasi memperoleh pijakan

yang kuat ketika UU No. 5 Tahun 1974 ten-

tang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

dilaksanakan. Desain dekonsentrasi dalam

undang-undang tersebut mengadaptasi pola

Integrated Field Administration yang dijalan-

kan secara paralel dengan desentralisasi.

Model tersebut mengharuskan terwujudnya

keseragaman batas-batas wilayah kerja (yu-

risdiksi) dari berbagai instansi vertikal me-

nurut wilayah administrasi di bawah wakil

pemerintah.2

Di samping dekonsentrasi, UU No. 5 Ta-

hun 1974 juga mengamanatkan pelaksanaan

desentralisasi. Maka dianutnya Integrated

Field Administration menuntut berimpitnya

wilayah daerah otonom dengan wilayah ad-

ministrasi (fused model) serta perangkapan

jabatan kepala daerah sekaligus sebagai wa-

kil pemerintah (dual role).3 Pada masa berla-

kunya UU No. 5 Tahun 1974, provinsi, kabu-

paten/kota menempati posisi sebagai daerah

otonom dan wilayah administrasi sedangkan

gubernur, bupati, dan walikota merangkap

jabatan sebagai kepala daerah dan selaku wa-

kil pemerintah. Menurut Hoessein, sesuai

dengan pendapat Fried (1967), sistem peme-

rintahan daerah dengan karakteristik seperti

tersebut adalah model Integrated Prefectoral

System.4

1Bhenyamin Hoessein, Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Konteks Pemerintahan Umum, “Pemerintahan Daerah Di Indonesia”(Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, 2009). 2Ibid. 3Ibid. 4Ibid.

Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun

1974, gubernur baik sebagai wakil pemerin-

tah pusat maupun selaku kepala daerah me-

miliki peran dan fungsi yang efektif sebagai

figur sentral dalam penyelenggaraan peme-

rintahan daerah dimana dekonsentrasi dan

desentralisasi dilaksanakan secara paralel.

Peran dan fungsi tersebut diantaranya adalah

membina ketenteraman dan ketertiban, me-

laksanakan pembinaan ideologi, politik

dalam negeri serta pembinaan kesatuan

bangsa, menyelenggarakan koordinasi kegia-

tan instansi vertikal dan dinas daerah, serta

membimbing dan mengawasi penyelengga-

raan pemerintahan Daerah. Tetapi saat ini,

lebih dari satu dasawarsa pasca dihentikan-

nya UU No. 5 Tahun 1974 dan diberlakukan-

nya UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Ta-

hun 2004 kedudukan gubernur baik sebagai

wakil pemerintah maupun selaku kepala

daerah mengundang kontroversi terkait

dengan tidak efektifnya peran ganda yang

dimiliki gubernur.

Kedudukan gubernur sebagai wakil peme-

rintah dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak

jauh berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999

yang digantikannya. Dihapuskannya kantor

wilayah kementerian/lembaga serta pemba-

tasan kedudukan bupati/walikota dibatasi

hanya sebagai kepala daerah dan tidak lagi

menjabat sebagai wakil pemerintah mem-

bawa implikasi bagi pemerintah pusat. Kons-

truksi demikian mengharuskan pemerintah

pusat mengoptimalkan peran gubernur agar

pemerintah pusat dapat menjalankan fungsi

pemerintahannya secara efektif. Tetapi revisi

UU No. 22 Tahun 1999 tidak memberikan ha-

rapan cerah bagi perbaikan pengaturan ke-

dudukan gubernur sebagai wakil pemerin-

tah. Upaya pemerintah untuk memperkuat

kedudukan, tugas dan wewenang gubernur

sebagai wakil pemerintah melalui UU No. 32

Tahun 2004 Pasal 37 dan Pasal 38 tidak

menghasilkan formulasi yang jelas.

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat

sudah seharusnya diletakkan dalam konteks

dekonsentrasi. Analisis yang dilakukan oleh

Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum, dan

Teguh Kurniawan (2006) menunjukkan kele-

mahan-kelemahan dekonsentrasi dalam un-

Page 40: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

34 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

dang-undang tersebut sebagai berikut:

pertama, UU No. 32 Tahun 2004 tidak memu-

at satu pasalpun yang menyebutkan adanya

wilayah administrasi untuk kepentingan de-

konsentrasi. Kedua, provinsi sebagai wilayah

yurisdiksi operasi gubernur selaku wakil pe-

merintah tidak didefinisikan sebagai wilayah

administrasi. Ketiga, ketidaktepatan penggu-

naan frasa “di wilayah tertentu” dalam defini-

si dekonsentrasi yang dapat mengakibatkan

munculnya perbedaan batas yurisdiksi anta-

ra peta administrasi lapangan dengan peta

yurisdiksi daerah otonom tertentu baik

provinsi maupun kabupaten/kota bagi ope-

rasi instansi vertikal.5 Keempat, ketidakjela-

san tugas dan wewenang gubernur sebagai

wakil pemerintah terhadap instansi vertikal,

ini terkait dengan ketidaksinkronan antara

Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1).6 Legal

problem tersebut jelas mempengaruhi efekti-

fitas pelaksanaan dekonsentrasi sebagai bagi-

an dari amanat UU No. 32 Tahun 2004.

Konstruksi UU No. 32 Tahun 2004

menempatkan provinsi secara fused model.

Selain itu terdapat pula karakteristik Integra-

ted Field Administration dan Integrated Pre-

fectoral System yang dijalankan. Dengan de-

mikian maka instansi vertikal yang berope-

rasi di wilayah administrasi provinsi seha-

rusnya berada di bawah koordinasi gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat. Tetapi kons-

truksi dekonsentrasi yang dibangun dalam

undang-undang tersebut secara implisit jus-

tru mereduksi peran dan fungsi gubernur

sebagai wakil pemerintah dalam hubungan-

nya dengan instansi vertikal penyelenggara

dekonsentrasi. Argumentasi untuk menjelas-

kan fakta ini terletak pada substansi Pasal 37

ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) UU No. 32

Tahun 2004 yang menurut Irfan Ridwan

Maksum (2008) bahwa, gubernur sebagai

5 Definisi dekonsentrasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah pelimpahan wewenang pemerintah-an oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 6 Eko Prasojo, et al, Desentralisasi dan Pemerin-tahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural (Depok: Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006).

wakil pemerintah tidak diberi tugas untuk

berhadapan langsung dengan instansi verti-

kal.7 Dalam arti gubernur tidak memiliki

peran dan fungsi apapun terhadap instansi

vertikal, sedangkan merujuk teori wakil

pemerintah yang dinyatakan oleh Hoessein

mengacu Fried (1967) tidak demikian, yang

menyebutkan terdapatnya tanggungjawab

wakil pemerintah sebagai integrator dan ko-

ordinator seluruh instansi vertikal di daerah-

nya.8

KONSTRUKSI PERAN DAN FUNGSI GUBER-

NUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PU-

SAT KE DEPAN

Berdasarkan analisis, terdapat sejumlah

faktor determinan yang menyebabkan me-

ngapa tugas, wewenang dan fungsi gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat tidak berja-

lan seperti yang diharapkan, yaitu:

• Instrumen Kebijakan, pengaturan guber-

nur sebagai wakil pemerintah dalam UU

No. 32 Tahun 2004 sangat miskin sehi-

ngga dapat dikatakan pada tataran im-

plementasi gubernur sebagai wakil pe-

merintah tidak memiliki dasar kebijakan

yang kuat. Dukungan instrumen kebija-

kan sangat lamban, lemah dan tidak

implementatif.

• Kelembagaan, semenjak UU No. 32

Tahun 2004 diterbitkan dan memposisi-

kan gubernur sebagai wakil pemerintah

selain selaku kepala daerah, faktor kele-

mbagaan menjadi persoalan krusial bagi

pelaksanaan peran dan fungsi gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat. Ketidak-

jelasan struktur kelembagaan gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat menye-

babkan gubernur tidak dapat menjalan-

kan peran dan fungsinya secara optimal.

• Personil Aparatur, personil sebagai salah

satu perangkat gubernur keberadaannya

sangat penting dan strategis, idealnya an-

tara personil gubernur sebagai wakil pe-

7 Irfan Ridwan Maksum, Dekonsentrasi dan Instansi Vertikal (Catatan Kritis UU No.32 Tahun 2004), Seluk Beluk Pemerintahan Daerah Mencari Alternatif Memperkuat Negara Bangsa. FISIP UI Press, Depok, 2008. 8Ibid.

Page 41: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 35

merintah pusat dengan aparatur guber-

nur selaku kepala daerah adalah terpisah

berdasarkan kompetensi serta ruang

lingkup tugas dan fungsi masing-masing.

• Pembiayaan/Anggaran Keuangan, berda-

sarkan analisis data diketahui bahwa

gubernur sebagai wakil pemerintah tidak

memiliki anggaran yang memadai untuk

membiayai dan menunjang pelaksanaan

tugas dan wewenang yang diembannya,

setidaknya hingga PP No. 19 Tahun 2010

belum dikeluarkan.

• Kepemimpinan Gubernur, lima faktor de-

terminan yang dikemukakan di atas me-

rupakan faktor-faktor mutlak untuk me-

ndorong gubernur dapat menjalankan

tugas, wewenang dan fungsinya secara

efektif. Namun demikian berdasarkan

analisis yang dilakukan terhadap data la-

pangan diketahui bahwa faktor kepe-

mimpinan juga menjadi salah satu deter-

minan faktor yang tidak kalah penting

bagi efektifitas kedudukan gubernur se-

bagai wakil pemerintah pusat. Faktor ke-

pemimpinan gubernur dalam konteks ini

meliputi kepemimpinan politik dan kepe-

mimpinan birokrasi.

• Political Will Pemerintah, pemerintah

terkesan tidak serius dan setengah hati

dalam memberikan mandat atas kedudu-

kan ganda gubernur sebagai wakil peme-

rintah pusat dan selaku kepala daerah.

Sinyalemen ini dapat dijelaskan dalam

beberapa argumentasi, seperti lemahnya

dukungan instrumen kebijakan, perang-

kat organisasi, ruang lingkup tugas dan

wewenang serta kedudukan keuangan

yang tidak jelas.

1. Konstruksi Kedudukan Gubernur

Sebagai Wakil Pemerintah Pusat

Dalam Sistem Pemerintahan Daerah

di Negara Kesatuan Republik Indone-

sia

Berdasarkan analisis dirumuskan pokok-pokok pemikiran konstruksi pemerintahan daerah berkaitan dengan kedudukan provin-si, kabupaten/kota dan kedudukan, tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerin-tah pusat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstruksi tersebut ter-diri dari 2 (dua) desain sebagai berikut:

a. Desain 1, Provinsi: Wilayah Adminis-

trasi dan Daerah Otonom – Kabupa-

ten/Kota: Daerah Otonom

Desain pertama meletakkan provinsi se-bagai wilayah administrasi dan daerah otonom dan memposisikan daerah kabupa-ten/kota hanya sebagai daerah otonom. Pada level provinsi dianut Fused Model, kedudukan daerah otonom provinsi dengan wilayah administrasi berimpit. Provinsi menjalankan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi konsekuensinya gubernur memiliki kedudu-kan ganda, yakni: sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Dalam de-sain ini daerah kabupaten dan kota hanya berkedudukan sebagai daerah otonom dan posisi bupati/walikota adalah murni sebagai kepala daerah.

a.1. Struktur Organisasi Pemerintah

Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota

Desain pertama dengan dasar teori Inte-grated Prefectoral System mewujudkan pe-nyatuan wilayah pemerintahan, yakni wila-yah administrasi dengan daerah otonom pa-da level provinsi. Gubernur memiliki dual role, sebagai kepala wilayah administrasi/ wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Tugas dan wewenang desentralisasi di serahkan kepada gubernur, bupati/wali-kota sebagai kepala daerah otonom. Adapun tugas dan wewenang dekonsentrasi dilim-pahkan kepada gubernur sebagai kepala wi-layah administrasi yang berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat.

Page 42: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

36 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Gambar 1 Desain 1, Provinsi Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom – Kabupaten/Kota Daerah

Otonom

a.2. Konstruksi Kelembagaan Guber-

nur sebagai Wakil Pemerintah Pusat/

Deputi Dekonsentrasi

Institusi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seharusnya bersifat operasional, taktis dan memiliki tugas dan fungsi menyelesaikan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Institusi tersebut diisi oleh personil dengan kualitas yang memadai dan

desain anggaran keuangan yang mantap. Apabila tidak demikian, maka peran dan fungsi gubernur selaku wakil pemerintah pu-sat tidak berjalan. Berdasarkan analisis data, penulis merumuskan desain kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam bentuk unit kedeputian sebagai beri-kut:

Page 43: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 37

Gambar 2 Struktur Kelembagaan Deputi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat/ Deputi

Dekonsentrasi

Keterangan :

• Asisten 1 : Asisten Deputi Bidang Perencanaan dan Program

• Asisten 2 : Asisten Deputi Urusan Pemerintahan Umum

• Asisten 3 : Asisten Deputi Bidang Koordinasi, Pembinaan, dan Pengawasan

• Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota

• Asisten 4 : Asisten Deputi Bidang Koordinasi Instansi Vertikal

• Gubernur WPP: Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat

1) Konstruksi Kewenangan Gubernur

Sebagai Wakil Pemerintah Pusat

Dalam konteks kedudukan gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat konstruksi peran dan

fungsi gubernur dirumuskan ke dalam dua

bentuk, yaitu: kewenangan atributif dan ke-

wenangan delegatif. Kewenangan atributif

merupakan kewenangan yang melekat pada

jabatan gubernur sebagai kepala wilayah

administrasi dan/atau wakil pemerintah

pusat. Kewenangan atributif dalam konteks

ini mengacu pada konsep Integrated Field

Administration dan Integrated Prefectoral

System dan lebih kepada urusan-urusan yang

berhubungan dengan pemerintahan umum.

Kewenangan delegatif, merupakan kewena-

ngan yang berkaitan dengan pelimpahan we-

wenang urusan-urusan kementerian teknis

kepada gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat dalam konteks Fragmented Field Admi-

nistration.

2) Distribusi Urusan Pemerintahan

Organisasi negara dalam menjalankan peran

dan fungsinya selalu terdapat sejumlah uru-

san yang diselenggarakan secara sentralistis

dan diperhalus melalui dekonsentrasi. Pada

sisi lain tidak pernah ada suatu urusan

pemerintahan yang mutlak diserahkan sepe-

nuhnya kepada daerah melalui desentralisa-

si. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 urusan pe-

merintahan terdiri atas urusan pemerintahan

yang sepenuhnya menjadi kewenangan pe-

merintah dan urusan pemerintahan yang

dibagi bersama antar tingkatan dan/atau su-

sunan pemerintahan. Pemerintah pusat seca-

ra absolut memegang 6 (enam) urusan peme-

rintahan meliputi: politik luar negeri, perta-

hanan, keamanan, moneter dan fiskal nasi-

onal, yustisi, dan agama. Sedangkan di luar

urusan absolut di atas adalah 31 (tiga puluh

satu) urusan pemerintahan yang dibagi ber-

sama antar tingkatan dan/atau susunan pe-

merintahan, seperti pendidikan, kesehatan,

Page 44: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

38 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

pekerjaan umum, dan seterusnya. Penyeleng-

garaan urusan pemerintahan dibagi berda-

sarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,

dan efisiensi dengan mengedepankan kesera-

sian hubungan antar susunan pemerintahan.

3) Anggaran Keuangan

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintah-

an daerah di Indonesia, terdapat tiga meka-

nisme pembiayaan atau asas yang dianut

oleh pemerintah, yakni asas desentralisasi,

asas dekonsentrasi, dan asas tugas pemban-

tuan. Besaran anggaran keuangan dekonsen-

trasi bagi gubernur di suatu wilayah adminis-

trasi menurut peneliti ditentukan berdasar-

kan beberapa variabel, yaitu: besar kecilnya

wilayah administrasi provinsi, besar kecilnya

beban tugas gubernur yang diukur berdasar-

kan kompleksitas dan dinamika permasala-

han dimasing-masing provinsi. Besaran ang-

garan dekonsentrasi harus mampu memberi

peluang bagi gubernur sebagai wakil peme-

rintah pusat untuk melakukan program dan

kegiatan secara nyata. Besaran anggaran bu-

kan hanya untuk kegiatan rapat koordinasi

dan kegiatan-kegiatan yang bersifat seremo-

nial.

Anggaran dekonsentrasi seharusnya dapat

digunakan untuk membiayai program-pro-

gram kegiatan termasuk proyek-proyek de-

konsentrasi yang mampu memberikan man-

faat nyata bagi masyarakat. Dana dekonsen-

trasi untuk gubernur sebagai wakil pemerin-

tah pusat baru diberikan mulai tahun 2011

hanya untuk membiayai kegiatan rapat dan

koordinasi dengan jumlah peserta terbatas

khususnya anggota Forkopimda (Forum Ko-

munikasi Pimpinan Daerah). Bahkan desain

anggaran tidak dapat memberikan kebutuh-

an akomodasi seperti biaya transportasi dan

honorarium bagi peserta dari luar sekretariat

daerah. Menurut peneliti dalam konteks ang-

garan, gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat harus dapat berperan sebagai budget

optimizer.

4) Mekanisme Pengisian Jabatan Guber-

nur

Tarik ulur tentang mekanisme pengisian ja-

batan gubernur, bupati, dan walikota apakah

dipilih presiden dan/atau DPRD atau melalui

pilkada terjadi karena lemahnya konsep yang

digunakan dalam pengisian kepala daerah.

Pilihan yang paling memungkinkan dan visi-

ble untuk digunakan adalah dengan melaku-

kan tahapan seleksi pemimpin daerah

melalui metode campuran, misalnya seleksi

oleh presiden dan dipilih oleh DPRD atau

seleksi calon oleh presiden dan dipilih

langsung oleh rakyat melalui pilkada. Metode

ini dapat menjadi alternatif solusi bagi

polemik penyelenggaraan pilkada yang tidak

berkesudahan, meskipun mekanisme ini juga

belum tentu memberikan pilihan terbaik atas

proses pengisian jabatan gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat dan selaku kepala

daerah. Dalam metode ini setiap pasangan

calon gubernur diajukan kepada presiden

dalam jumlah pasangan tertentu misalnya

minimal empat pasangan dan maksimal tujuh

pasangan. Presiden selanjutnya memilih pa-

sangan yang akan dipilih oleh DPRD atau

melalui pilkada minimal tiga pasangan dan

maksimal empat pasangan. Kemudian pasa-

ngan-pasangan tersebut dipilih oleh DPRD

atau pilkada melalui tahapan yang telah

ditentukan.

b. Desain 2, Provinsi Sebagai Wilayah

Administrasi dan Daerah Otonom -

Kabupaten/Kota Sebagai Wilayah

Administrasi dan Daerah Otonom

Dalam desain kedua kedudukan kabupaten/

kota sama dengan provinsi yaitu sebagai wi-

layah administrasi dan daerah otonom. Pada

posisi ini daerah kabupaten/kota menganut

Fused Model. Seperti yang dikemukakan

Leemans (1970) Fused Model mengakomoda-

si terciptanya penyatuan antara unit adminis-

trasi lapangan dari pusat dengan pemerinta-

han lokal. Konsekuensinya kepala daerah ka-

bupaten/kota memiliki peran ganda sebagai

kepala daerah otonom kabupaten/kota dan

selaku kepala wilayah administrasi kabupa-

ten/kota. Fused Model identik dengan Inte-

grated Prefectoral System yang dikemukakan

oleh Fried (1963) dalam konteks kesatuan

kewilayahan antara daerah otonom dan wila-

yah administrasi serta peran ganda yang di-

pegang oleh kepala wilayah administrasi dan

kepala daerah. Sebagai kepala wilayah admi-

Page 45: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 39

nistrasi bupati/walikota berperan sebagai

wakil pemerintah pusat dan menjalankan

asas dekonsentrasi, sedangkan selaku kepala

daerah bupati/walikota melaksanakan asas

desentralisasi.

Kedudukan kabupaten/kota sebagai wila-

yah administrasi dalam desain kedua dimak-

sudkan untuk menjamin terwujudnya unbro-

ken chain of command antara pemerintah

pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah

daerah kabupaten/kota. Dalam arti hierarki

antara pemerintah pusat, pemerintah

provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/

kota tidak terputus. Posisi pemerintah pro-

vinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah

subordinat bagi pemerintah pusat, sebab ga-

ris hierarki wilayah administrasi melalui ke-

dudukan gubernur, bupati/walikota sebagai

wakil pemerintah pusat menjamin tercipta-

nya garis komando oleh pusat bagi wilayah

administrasi di bawahnya yaitu provinsi dan

kabupaten/kota. Hierarkhi pemerintah pusat,

pemerintah provinsi dan pemerintah kabu-

paten/kota tidak terputus dan pada tataran

penyelenggaraan pembangunan terwujud ke-

sinambungan program antara pemerintah

pusat dengan pemerintah provinsi, kabupa-

ten/kota.

Desain kedua memiliki substansi bahasan

yang sama dengan desain pertama khusus-

nya pada level provinsi karena konstruksinya

sama yakni provinsi menjalankan dekonsen-

trasi dan desentralisasi serta kedudukan ga-

nda gubernur sebagai wakil pemerintah pu-

sat dan selaku kepala daerah. Berdasarkan

hal tersebut maka, struktur organisasi pro-

vinsi, konstruksi kelembagaan gubernur se-

bagai wakil pemerintah pusat, konstruksi

peran dan fungsi gubernur, distribusi urusan

pemerintahan, personil gubernur, anggaran

keuangan serta mekanisme pengisian jabatan

gubernur memiliki substansi yang sama

dengan desain pertama.

Beberapa perbedaan yang terdapat pada

desain pertama dan kedua yaitu: pertama,

pada desain pertama hanya menjalankan

desentralisasi dan kedudukan bupati/wali-

kota murni sebagai kepala daerah. Sementara

pada desain kedua kabupaten/kota menja-

lankan dekonsentrasi dan desentralisasi sa-

ma halnya provinsi dan kedudukan bupati/

walikota ganda sama seperti gubernur seba-

gai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala

daerah. Kedua, apabila pada desain pertama

kabupaten/kota tidak terdapat unit dekon-

setrasi, maka pada desain kedua terdapat

unit dekonsentrasi yakni direktorat dekon-

sentrasi yang berada di bawah koordinasi

langsung bupati/walikota sebagai wakil pe-

merintah pusat. Apabila digambarkan, maka

konstruksi organisasi yang menempatkan

provinsi, kabupaten/kota sebagai wilayah

administrasi dan daerah otonom adalah se-

bagai berikut:

Page 46: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

40 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Gambar 3 Provinsi Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom – Kabupaten/KotaWilayah Administrasi

dan Daerah Otonom

Untuk menghindari pengulangan dalam

pembahasan atau repetisi, maka dimensi-di-

mensi yang sama tersebut di atas tidak diba-

has lagi dalam desain kedua kecuali aspek-

aspek yang berbeda dan perlu penguatan di-

bahas peneliti secara tersendiri. Aspek-aspek

tersebut adalah sebagai berikut:

b.1. Kelembagaan Gubernur, Bupati/

Walikota Sebagai Wakil Pemerintah

Pusat

Seperti yang dituangkan dalam gambar 3 di

atas tampak bahwa dalam konstruksi pe-

merintahan daerah kabupaten/kota terdapat

unit dekonsentrasi yang oleh peneliti secara

titelatur disebut direktorat dekonsentrasi.

Direktorat dekonsentrasi di kabupaten/kota

dijabat oleh direktur dekonsentrasi yang

secara hierarkhis berada di bawah kendali

langsung bupati/walikota sebagai wakil

pemerintah pusat dan memiliki hubungan

koordinasi dengan deputi dekonsentrasi

pada level provinsi. Tugas dan fungsi direk-

torat dekonsentrasi adalah untuk mencapai

dan melaksanakan tugas dan wewenang

bupati/walikota sebagai wakil pemerintah

pusat. Secara struktur direktorat dekonsen-

trasi membawahi bidang-bidang tertentu se-

Page 47: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 41

laras dengan deputi dekonsentrasi. Gambar

direktorat dekonsentrasi pada kabupaten/

kota dikemukakan sebagai berikut:

Gambar 4 Direktorat Dekonsentrasi Pada Kabupaten/Kota

Keterangan:

Bidang 1 :Bidang Perencanaan dan Program

Bidang 2 :Bidang Urusan Pemerintahan Umum

Bidang 3 :Bidang Koordinasi Instansi Vertikal

Bidang 4 :Bidang Urusan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Posisi direktur dekonsentrasi diisi oleh

Pegawai Negeri Sipil karier, yang direkrut

melalui mekanisme seleksi terbuka yang da-

pat diikuti oleh PNS baik dari Kabupaten/

kota maupun provinsi dan pusat. Bidang

Perencanaan dan Program memiliki tugas

dan fungsi menyusun program dan rencana

kegiatan yang akan dilakukan direktorat

dekonsentrasi setiap tahun. Sumber dari pro-

gram dan rencana tersebut berasal dari

bidang-bidang yang lain. Adapun Bidang Uru-

san Pemerintahan Umum melaksanakan

tugas dan fungsi menyelenggarakan urusan

pemerintahan umum, menghidupkan Forko-

pimda tingkat kabupaten. Sementara Bidang

Koordinasi Instansi Vertikal menjalankan

tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan

mengintegrasikan program dan kegiatan

yang dilakukan instansi vertikal dengan pro-

gram dan kegiatan pemerintah kabupaten/

kota. Bidang Urusan Dekonsentrasi dan

Tugas Pembantuan melaksanakan tugas dan

fungsi mengkoordinasikan dan memfasilitasi

program dan kegiatan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan di kabaupaten dan kota.

Sama halnya dengan deputi dekonsentrasi

pada provinsi yang tidak dijabat secara ex-

officio oleh sekretaris daerah provinsi, direk-

tur dekonsentrasi juga tidak dijabat oleh ex-

officio sekretaris daerah kabupaten/kota,

tetapi diisi oleh PNS karier melalui meka-

nisme rekrutmen terbuka. Jabatan-jabatan

yang dijabat secara ex-officio seringkali tidak

berjalan secara optimal. Conflict of interest

serta kapasitas dan kapabilitas yang terbatas

ketika seseorang merangkap jabatan juga

menjadi alasan mengapa jabatan deputi

dekonsentrasi maupun direktur dekonsen-

trasi tidak harus dijabat secara ex-officio oleh

sekretaris daerah baik di provinsi maupun

kabupaten/kota. Direktur dekonsentrasi me-

mbawahi bidang-bidang yang secara tugas

dan fungsi seperti yang dikemukakan di atas

dan dijabat oleh kepala bidang. Kepala bi-

dang selanjutnya mengkoordinir dan mensi-

nergikan kelompok jabatan fungsional yang

Page 48: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

42 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

memiliki keahlian dan keterampilan sesuai

dengan bidang masing-masing.

b.2. Tugas dan Wewenang Gubernur

Sebagai Wakil Pemerintah Pusat

Sebagai wakil pemerintah, gubernur memili-

ki konstruksi peran dan fungsi yang sama

dengan desain pertama, sebab basisnya ada-

lah pada teori Integrated Prefectoral System,

Fused Model, maupun Integrated Field

Administration. Demikian juga dengan peran

dan fungsi gubernur sebagai kepala daerah

tugas dan fungsi utamanya adalah menye-

lenggarakan pemerintahan daerah otonom

dengan berbagai urusan pemerintahan yang

diserahkan oleh pemerintah dalam konteks

desentralisasi. Konstruksi tugas dan wewe-

nang gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat baik dalam konteks kewenangan atri-

butif maupun delegatif seharusnya sejajar

dengan tugas dan wewenang gubernur sela-

ku kepala daerah. Gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat perlu diberikan ruang dan

diskresi kebijakan untuk menjalankan tugas

dan wewenang yang diembannya.

Komitmen pemerintah dalam mendukung

gubernur sebagai wakil pemerintah pusat

untuk melaksanakan urusan pemerintahan

umum, menjalankan fungsi koordinasi, pem-

binaan, dan pengawasan penyelenggara-an

pemerintahan daerah, dan melakukan fungsi

koordinasi dan integrasi instansi vertikal

menjadi faktor mutlak terwujudnya efektifi-

tas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Begitu juga dengan kewenangan delegatif,

gubernur sebagai wakil pemerintah pusat

seharusnya memiliki peran untuk sinkro-

nisasi, mengawasi, dan membina urusan pe-

merintahan lingkup dekonsentrasi dan tugas

pembantuan.

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat

merupakan intermediator bagi pemerintah

pusat dengan daerah otonom provinsi, kabu-

paten/kota. Gubernur menjadi penghubung

bagi gubernur kepala daerah dan bupati/wa-

likota. Dengan desain seperti ini, derajat oto-

nomi daerah tidak berkurang bagi pemerin-

tahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Pe-

merintah tetap dapat melaksanakan peran

dan fungsinya menjalankan koordinasi, mem-

bina, dan mengawasi serta memfasilitasi pe-

ran dan fungsi pemerintah pusat di daerah

otonom dengan gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat sebagai aktornya. Konsep

ini sesungguhnya telah tertuang dalam peran

dan fungsi Prefek dalam Integrated Prefec-

toral System dimana gubernur adalah mata,

telinga, dan mulut pemerintah.

Pemerintah pusat dapat mendelegasikan

penyelenggaraan urusan pemerintahan dan

program pembangunan kepada gubernur dan

gubernur menyampaikan ke bupati/walikota

termasuk kepada instansi vertikal. Demikian

pula sebaliknya gubernur selaku kepala dae-

rah adalah institusi penghubung bagi kepen-

tingan pemerintah daerah provinsi, kabupa-

ten/kota dalam konteks daerah otonom. Me-

lalui peran intermediary government ini kebe-

radaan pemerintah pusat tetap dapat dirasa-

kan oleh pemerintah daerah dan rakyat di

daerah. Peran dan fungsi pemerintah secara

nyata dikawal oleh gubernur, bupati/wali-

kota dengan kedudukannya sebagai wakil

pemerintah pusat di daerah. Presiden sebagai

representasi dari pemerintah tetap terjaga

kewibawaannya melalui peran dan fungsi

yang ditugaskan kepada gubernur, bupati/

walikota sebagai wakil pemerintah pusat di

daerah otonom.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis diatas, terdapat 6

(enam) faktor determinan yang menyebab-

kan peran dan fungsi gubernur berjalan tidak

efektif, yaitu:

a. Instrumen kebijakan, pemerintah sangat

lamban dalam menyiapkan dan mener-

bitkan kebijakan pendukung kedudukan,

tugas dan wewenang gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat.

b. Ketiadaan kelembagaan, gubernur seba-

gai wakil pemerintah pusat tidak memi-

liki konstruksi kelembagaan yang jelas.

c. Personil aparatur, gubernur sebagai wa-

kil pemerintah pusat tidak memiliki du-

kungan personil aparatur.

d. Anggaran keuangan, gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat tidak didukung

Page 49: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 43

oleh desain anggaran keuangan yang je-

las guna mendukung pelaksanaan peran

dan fungsi gubernur sebagai wakil peme-

rintah pusat.

e. Kepemimpinan, kapabilitas kepemimpin-

an gubernur berpengaruh terhadap efek-

tifitas pelaksanaan tugas, wewenang dan

fungsi gubernur sebagai wakil pemerin-

tah pusat.

f. Political will pemerintah, berupa dukung-

an nyata dari pemerintah terhadap gu-

bernur sebagai wakil pemerintah pusat

memberi pengaruh besar terhadap efek-

tifitas pelaksanaan tugas, wewenang dan

fungsi gubernur sebagai wakil pemerin-

tah pusat.

Kedudukan, peran dan fungsi gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat ditentukan

oleh desain sistem pemerintahan daerah.

Berdasarkan analisis, desain kedudukan,

peran dan fungsi gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat di Negara Kesatuan

Republik Indonesia ke depan dikonstruksi-

kan, sebagai berikut:

Terdapat 2 (dua) konstruksi kedudukan

gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,

yaitu:

1) Provinsi, kabupaten/kota berkedudukan

sebagai wilayah administrasi dan daerah

otonom – kabupaten/kota berkedudukan

sebagai daerah otonom. Dalam arti, de-

konsentrasi dan desentralisasi diimple-

mentasikan di provinsi - kabupaten/kota

menyelenggarakan desentralisasi. Kons-

truksi demikian menempatkan gubernur

pada kedudukan ganda, sebagai wakil

pemerintah pusat dan selaku kepala dae-

rah, sedangkan bupati/walikota sebagai

kepala daerah.

2) Provinsi berkedudukan sebagai wilayah

administrasi dan daerah otonom – kabu-

paten/kota berkedudukan sebagai wila-

yah administrasi dan daerah otonom.

Provinsi, kabupaten/kota menyelengga-

rakan dekonsentrasi dan desentralisasi.

Kedudukan gubernur, bupati/walikota

adalah ganda sebagai wakil pemerintah

pusat dan selaku kepala daerah.

Konstruksi peran dan fungsi gubernur seba-

gai wakil pemerintah pusat meliputi:

1) Wewenang atributif yang menjalankan 3

(tiga) tugas, wewenang dan fungsi pokok,

meliputi:

Melaksanakan urusan pemerintahan

umum;

Menjalankan fungsi koordinasi, pem-

binaan, dan pengawasan penyeleng-

garaan pemerintahan daerah kabu-

paten/kota;

Menjalankan fungsi koordinator dan

integrator instansi vertikal

2) Wewenang delegatif, berhubungan

dengan wewenang, tugas dan fungsi gu-

bernur sebagai wakil pemerintah pusat

untuk membina dan mengendalikan uru-

san-urusan pemerintahan dalam konteks

dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

3) Ketiadaan institusi kelembagaan mem-

pengaruhi efektifitas pelaksanaan tugas,

wewenang dan fungsi gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat. Hasil analisis

data menunjukkan bahwa gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat memer-

lukan institusi kelembagaan. Titelatur

kelembagaan tersebut pada level provin-

si dalam bentuk deputi dekonsentrasi,

sedangkan pada level kabupaten/kota

adalah direktorat dekonsentrasi untuk

mendukung peran dan fungsi gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat.

4) Konstruksi sistem pemerintahan daerah

secara teori dan konseptual menganut

Integrated Prefectoral System yang ditun-

jukkan melalui pembagian wilayah Nega-

ra Kesatuan Republik Indonesia menjadi

provinsi, kabupaten, dan kota yang men-

jalankan dekonsentrasi dan/atau desen-

tralisasi secara paralel serta terwujudnya

kedudukan dan peran ganda gubernur,

bupati/walikota sebagai wakil pemerin-

tah pusat dan selaku kepala daerah.

5) Indonesia sebagai negara kesatuan ter-

desentralisasi telah memiliki konstruksi

ideal penyelenggaraan sistem pemerinta-

han daerah seperti yang saat ini berjalan.

Desain pemerintahan daerah yang me-

nempatkan dekonsentrasi dan desentra-

lisasi pada provinsi dan desentralisasi

pada kabupaten/kota yang mewujudkan

Page 50: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

44 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

kedudukan gubernur baik sebagai wakil

pemerintah pusat maupun selaku kepala

daerah dan kedudukan bupati/walikota

sebagai kepala daerah relevan diperta-

hankan, diperkuat dan disempurnakan.

2. Rekomendasi dan Implikasi Akademis

dan Praktis

Berdasarkan analisis yang dilakukan, pe-

neliti merumuskan rekomendasi serta impli-

kasi akademis dan praktis sebagai berikut:

a. Memperjelas kedudukan, tugas dan we-

wenang gubernur sebagai wakil peme-

rintah pusat melalui penguatan instru-

men kebijakan baik pada level undang-

undang maupun peraturan perundang-

undangan lainnya.

b. Memperkuat kedudukan, tugas dan fung-

si kelembagaan gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat, pada level provinsi di-

bentuk unit deputi dekonsentrasi sebagai

intermediate government (struktur pe-

rantara) bagi kepentingan pemerintah

pusat, pemerintah daerah dan instansi

vertikal.

c. Memperkuat tugas dan fungsi personil

aparatur pendukung bagi gubernur seba-

gai wakil pemerintah pusat. Posisi deputi

dekonsentrasi bukan diisi secara ex-

officio oleh sekretaris daerah provinsi.

Posisi tersebut diisi oleh PNS karier yang

direkrut secara terbuka. Demikian pula

pada posisi asisten deputi dan staf perso-

nil, diisi oleh kelompok jabatan fungsi-

onal yang memiliki kompetensi andal di

bidang masing-masing.

d. Kedudukan, peran dan fungsi gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat perlu

didukung dengan anggaran keuangan

yang kuat. Gubernur dapat berperan

sebagai budget optimizer sehingga dapat

melaksanakan program dan kegiatan

yang signifikan bagi pemerintah daerah

dan tidak sekedar anggaran untuk

kegiatan rapat, koordinasi, dan seremo-

nial belaka.

e. Political will pemerintah terhadap kedu-

dukan ganda gubernur sangat diperlukan

melalui dukungan nyata terhadap pe-

rangkat kelembagaan, anggaran keuang-

an, dan aspek lainnya sehingga kedudu-

kan ganda gubernur memiliki kontribusi

optimal dalam penyelenggaraan peme-

rintahan daerah.

Konstruksi kedudukan, peran dan fungsi

gubernur sebagai wakil pemerintah pusat

dalam sistem pemerintahan daerah bagi

Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu

disempurnakan melalui strategi sebagai

berikut:

a. Memperkuat dekonsentrasi dan desen-

tralisasi di provinsi dan desentralisasi

pada level kabupaten/kota;

b. Mempertahankan dan memperkut kedu-

dukan gubernur sebagai wakil pemerin-

tah pusat dan selaku kepala daerah serta

didukung dengan perangkat kelembaga-

an, peran dan fungsi, personil aparatur,

dan kedudukan keuangan yang jelas;

c. Teori Integrated Prefectoral System perlu

terus dikembangkan dan diselaraskan

sesuai dengan karakteristik dan tantang-

an penyelenggaraan pemerintahan dae-

rah yang dihadapi Negara Kesatuan Re-

publik Indonesia.

d. Pemerintah bersama dengan Dewan

Perwakilan Rakyat perlu menginisiasi

dan menerbitkan peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang

kedudukan, tugas dan fungsi instansi

vertikal di daerah sebagai panduan bagi

instansi vertikal dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya termasuk keberada-

anya dalam sistem pemerintahan daerah

secara nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Albertini, Jean-Benoit, La Deconcentration, L’Administration Territoriale La Reforme De L’Etat, Economica, Paris, 1997.

Alderfer Harold .F: Local Government in Developing Countries, McGraw-Hill Series in International Development, 1964.

Bakry La, Pengaturan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah,

Page 51: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 45

Pemerintahan Daerah di Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2009.

Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development. Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publications, London, 1983.

Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, Decentralizing Governance, Emerging Concepts and Practice, Brookings Institution Press, Washington, D.C.

Cohen, John M. dan Stephen B. Peterson, Administrative Decentralization, Strategies for Developing Countries, Kumarian Pers, Connecticut, USA, 1999.

Corbin, Juliet dan Anselm Staruss, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalang-kah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, (2003).

Creswell W John., Research Design: Qualita-tive & Quantitative Approach, Sage Publications, Inc, California, 1994.

Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qulitative Research, Norman K. Denzin , Yvonna S. Lincoln, Edisi Bahasa Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.

Fried .C Robert, The Italian Prefects, A Study in Administrative Politics, New Haven and London, Yale university Press, 1963.

Hendratno, Edie Toet, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Universitas Pancasila, Jakarta, 2009.

Hoessein, Bhenyamin, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, “Perubahan Model, Pola, danBentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi”, Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009.

Hoessein, Bhenyamin, et al, Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerin-tah Pusat dan Daerah, Depok: PKPADK FISIP Universitas Indonesia, 2005.

Huberman.A. Michael dan Matthew B. Miles, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Universi-tas Indonesia, Jakarta, 1992.

Koswara, E Kertapraja, Pemerintahan Daerah: Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Dulu, Kini dan Tan-

tangan Globalisasi, Inner bekerja sama dengan Universitas Satyagama, Jakarta, 2012.

Khairuddin, Ahmad, Fenomena Keadilan Dalam Otonomi Daerah: Otonomi Daerah, Etnonasionalisme dan Masa Depan Indonesia, Editor: Bungaran Antonius Simnajuntak, Yayasan Pus-taka Obor Indonesia, Jakarta, 2010.

Leemans, A.F.: Changing Patterns of Local Governemnt, IULA, The Hague, Nether-lands, 1970.

Machin, Howard. The Prefect in French Public Administration, Croom Helm Ltd, Lon-don, 1977.

Maksum, Irvan Ridwan, Seluk Beluk Pemerintahan Daerah, Mencari Alter-natif Memperkuat Negara Bangsa, Fisip UI Press, Depok, 2008.

Mawhood, Phillip, Decentralization: The Concept and The Practice, Local Government in The Third World, The Experience of Tropical Africa, edited by Philip Mawhood, John Wiley and Sons, 1983.

Prasojo, Eko, et al, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Admi-nistrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006.

Prasojo, Eko, Federalisme dan Negara Federal: Sebuah Pengantar, Departe-men Ilmu Administrasi, FISIP UI, Depok, 2005.

Ramses, Andy M dan La Bakry, Politik & Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2009.

Smith, B.C., Field Administration: An Aspect of Decentralization. Routhledge and Kegan Paul, London, 1967.

Smith, B.C, Decentralization: The Territorial Dimension of The State, George Allen & Unwin (publishers) Ltd, London, 1985.

Makalah:

Hoessein, Bhenyamin, Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, makalah disampaikan dalam “DiskusiKebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Jangka Panjang”, diselenggarakan oleh Direk-

Page 52: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

46 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

torat Pengembangan Otonomi Daerah, Bappenas, 27 November 2002.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedu-dukan Komite Nasional Daerah.

Permendagri No. 66 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewe-nang Serta Kedudukan Keuangan Gu-bernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekon-sentrasi dan Tugas Pembantuan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi.

Page 53: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 47

Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat

Dynamics and Problems of Implementation of Law Village : Lesson Learn from

Three Districts in West Java

Rusman Nurjaman

Peneliti pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak:

Lahirnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa menjanjikan harapan pembaharuan untuk

mewujudkan desa yang mandiri, maju, demokratis, dan sejahtera. Kajian ini bertujuan untuk melihat

bagaimana praktik implementasi UU Desa tersebut dijalankan di beberapa daerah. Pengalaman desa

dan pemerintah daerah di beberapa daerah kabupaten di Jawa Barat dalam mempersiapkan diri dan

masa-masa awal implementasi UU Desa di sana menarik untuk dikaji sebagai sumber pembelajaran

berharga bagi upaya pengoptimalan implementasi UU Desa di masa depan. Kajian ini menggunakan

metode kualitatif dengan varian studi kasus terhadap persiapan dan pelaksanaan UU Desa di tiga

daerah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, dan

Kabupaten Sukabumi, yang dipilih karena alasan-alasan metodologis dan praktis tertentu. Pengum-

pulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang relevan, focus group discussion (FGD), wawan-

cara mendalam, dan observasi. Hasil kajian menunjukkan adanya dinamika dan sejumlah tantangan

persoalan dalam implementasi UU Desa di desa-desa di ketiga daerah kabupaten yang menjadi lokus

kajian. Telaahan yang cermat dan mendalam terhadap problem normatif di lapangan dapat menjadi

sumber pembelajaran berharga bagi upaya perumusan kebijakan baru dalam mengoptimalkan im-

plementasi UU Desa.

Kata kunci: kapasitas desa,pemerintahan desa, perencanaan desa.

Abstract:

The enactment of Law No. 6/ 2014 concerning villagespromising new hopes to realize an

independent, advanced, democratic, and prosperous villages. This study aims to look at the practice

of implementation of the Law in several areas. The experiencee of villages and local governments in

several districts in West Java in the preparation and implementation of Village Law in the early days

is interesting to be studied as a valuable learning resources to optimize the implementation of Village

Law in the future. This study used qualitative method with case study variant of the preparation and

execution of Village Law in three districts in West Java province, namely Sumedang, Bandung, and

Sukabumi. Those three regions were chosen for specific methodological and practical reasons. Data

collected through the study of relevant literature, focus group discussion (FGD), in-depth interviews,

and observation. The results show the dynamics and challenges in the implementation of Village Law

in the village in three districts that became the locus of the study. A careful and in-depth research on

normative problems in the field can be a valuable learning resources for the formulation of new

policies in order to optimize the implementation of Law No. 6/ 2014 concerning.

Keyword: the capacity of the village, the village planning, the village administration

PENDAHULUAN

Tak pelak lagi, lahirnya UU No. 6 tahun

2014 tentang Desa medio Januari 2014 silam

membuka babak sejarah baru dalam perjala-

nan republik ini. Regulasi baru yang mengu-

sung semangat pembaharuan desa ini men-

dorong munculnya optimisme yang merebak,

terutama di kalangan masyarakat desa, aka-

demisi ilmu sosial, dan para pegiat advokasi

isu pedesaan. Dengan berlandaskan prinsip

yang jauh lebih substantif dan komprehensif,

banyak pihak yang meyakini bahwa UU Desa

yang baru tersebut bakal mampu membawa

desa meninggalkan citra keterbelakangan

dan ketertinggalannya menuju desa yang

Page 54: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat

48 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

kuat, demokratis, maju, sejahtera, dan mandi-

ri.

Gayung bersambut manakala presiden

yang baru terpilih juga datang dengan visi-

misi dan program yang sejalan dengan sema-

ngat pembaharuan desa. Kita tahu, Presiden

Joko Widodo dalam teks Nawacita menegas-

kan kembali visinya untuk mengkoreksi

perencanaan dan praktik pembangunan yang

salah arah dan melahirkan ketimpangan ta-

jam melalui apa yang disebutnya sebagai

“membangun Indonesia dari pinggir dengan

memperkuat daerah dan desa” (Tim

Kampanye Jokowi-JK, 2014: 7).

Namun demikian, rupanya terlalu dini un-

tuk menjawab sejauh mana optimisme ini ba-

kal terwujud. Hal ini karena banyaknya tan-

tangan dan menumpuknya pekerjaan rumah

yang tak lain dan tak bukan merupakan wari-

san dari tatanan sosial politik sebelumnya

(Aloysius Gunadi Brata dalam Baskara T

Wardaya, dkk, 2007: 119-129; Dwi Astuti

dalam Baskara T Wardaya, dkk, 2007: 209-

222). Bahkan lebih dari itu, kajian para sar-

jana yang lama memfokuskan diri pada studi

seputar isu agraria dan pedesaan menunjuk-

kan bahwa semua rezim yang pernah tampil

dalam panggung sepanjang sejarah negeri ini

tidak mempunyai basis sosial atau komitmen

yang kuat bagi berlangsungnya perubahan

sosial yang mendasar di ranah desa

(Benjamin White dalam Hadiz dan Dhakidae,

2006: 119-155).

Dalam suatu review kritisnya mengenai

perjalanan satu tahun implementasi UU Desa,

misalnya, Robert Endi Jaweng (2015) menye-

but setidaknya terdapat dua tantangan utama

dalam implementasi UU Desa. Pertama, suk-

sesi pemerintahan/kepemimpinan nasional

yang memengaruhi teknis peralihan dan lan-

jutan persiapan pelaksanaan UU Desa. Kedua,

dominannya logika uang (dana desa/DD),

yang awalnya dipandang sebagai langkah

maju dalam pembagian alokasi kue pemba-

ngunan bagi desa, pada gilirannya menjadi

kontraproduktif karena bisa membuat ele-

men-elemen lain hanya sebagai faktor pendu-

kung.

Di lapangan, bisa jadi problemnya jauh

lebih beragam dan kompleks. Ambil saja satu

soal, misalnya, terkait isu kelembagaan desa.

Problem struktur kelembagaan desa tidak

bisa dipandang sebelah mata. Sebab, optima-

lisasi pelaksanaan UU Desa salah satunya

juga mengandaikan penguatan struktur kele-

mbagaan desa itu sendiri. Oleh karena itu,

penguatan struktur dan kelembagaan desa

menjadi satu agenda penting nan krusial

demi menunjang penataan jalannya pemerin-

tahan desa dan pengelolaan dana desa yang

efektif dalam rangka implementasi UU Desa.

Masalah muncul manakala selama ini, seba-

gaimana terjadi di banyak tempat, kapasitas

aparatur desa masih terbatas sehingga perlu

pendampingan dan bimbingan teknis yang

lebih intensif dari pusat ke daerah (Kompas,

9 Juli 2015). Tak heran jika banyak pihak

yang masih meragukan tingkat pemahaman

aparatur desa terhadap pelaksanaan pemba-

ngunan desa. Jika memang demikian, jelas hal

itu bisa menjadi halangan dalam memastikan

efektivitas penyaluran dana desa.

Namun, para pihak juga menengarai bah-

wa situasi ini tak lepas dari belum optimal-

nya persiapan yang dilakukan oleh aktor

pemerintahan supradesa, dalam hal ini

pemerintah pusat dan pemerintah daerah

(kabupaten/kota dan provinsi). Padahal, me-

reka mengemban kewajiban untuk memberi-

kan bimbingan teknis secara berkala terkait

dengan tugas pokok dan fungsi aparatur

desa. Selain membuat regulasi turunan, pe-

merintah daerah memang sudah melakukan

bimbingan teknis untuk penguatan kapasitas

dan struktur kelembagaan desa melalui pen-

didikan dan penyuluh dan pendampingan

terhadap para aparatur desa.

Selain persoalan kelembagaan desa, pena-

taan sistem administrasi desa juga menjadi

tantangan yang sama bobotnya. Kedua tan-

tangan ini, baik tantangan kelembagaan mau-

pun penataan sistem administrasi, mensya-

ratkan perlunya pengembangan kapasitas

sumber daya manusia aparatur desa untuk

membangun manajemen tata kelola pemerin-

tahan dan pengelolaan dana desa yang efek-

tif, transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Page 55: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 49

Di luar itu, dalam rangka implementasi

UU Desa, dimensi tantangan dan persoalan

yang dihadapi pemerintah desa bisa jadi

teramat luas. Mulai dari belum adanya peta

jalan (road map), regulasi turunan, instru-

mentasi kebijakan, persiapan operasional,

kapasitas aparatur desa, yang belum sepe-

nuhnya berada dalam kondisi ideal untuk

memulai tahapan pelaksanaan yang optimal.

Mencermati implementasi UU Desa di

beberapa daerah kabupaten di Jawa Barat,

terdapat beberapa isu, tantangan, dan

dinamika di aras lokal yang menarik untuk

dikaji lebih jauh. Berdasarkan catatan lapang-

an tersebut, sejatinya kita dapat melihat dan

memetakan beberapa problem normatif dan

problem lapangan, serta dinamika lokal yang

tergolong unik—yang sedikit banyak berkai-

tan dengan struktur demografi, tantangan

geografis, kebijakan, konstelasi politik lokal,

dan struktur sosiologis masyarakatnya.

Oleh karena itu, pada bagian berikutnya

tulisan ini akan menguraikan dan memeta-

kan bagaimana problematika dan dinamika

implementasi UU Desa di beberapa daerah

kabupaten di Jawa Barat tersebut, yaitu anta-

ra lain Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ban-

dung, dan Kabupaten Sumedang. Dari situ

kemudian akan diperoleh beberapa catatan

yang dapat menjadi pijakan dalam merumus-

kan rekomendasi kebijakan untuk mengopti-

malkan implementasi UU Desa di masa de-

pan.

Berdasarkan uraian di muka, pada bagian

selanjutnya tulisan ini akan mencoba untuk

menjawab beberapa masalah berikut: Bagai-

mana problematika yang dihadapi pemerin-

tah desa dalam rangka implementasi UU

Desa? Bagaimana pula upaya yang dilakukan

pemerintah daerah (kabupaten/kota) dalam

mengatasi problem tersebut?

METODE KAJIAN

Kajian ini menggunakan metode kualitatif

dengan varian metode studi kasus terhadap

pelaksanaan implementasi UU Desa di 3

(tiga) daerah kabupaten di Provinsi Jawa

Barat. Dalam hal ini ketiga daerah yang men-

jadi lokus kajian antara lain Kabupaten Suka-

bumi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten

Sumedang. Ketiga lokus ini dipilih karena

kedudukannya sebagai daerah kabupaten di

Jawa Barat yang dianggap cukup merepre-

sentasikan karakteristik umum tipologi desa-

desa di daerah kabupaten di Jawa Barat, baik

dari segi struktur sosial ekonomi, demografis,

maupun tingkat kesulitan geografis.

Kabupaten Sukabumi yang memiliki 364

desa dan 4 kelurahan, secara demografis dan

geografis, merepresentasikan daerah dengan

karakteristik desa yang cukup lengkap, yaitu

meliputi desa-desa pantai, desa pedalaman

dengan basis produksi agraris, desa pedala-

man dengan basis ekonomi industri (pabrik),

dan desa-desa dengan berbasis ladang atau

kebun di daerah lereng pegunungan. Sedang-

kan Kabupaten Sumedang yang memiliki 276

desa dan 7 kelurahan merepresentasikan

daerah dengan karakteristik desa-desa peda-

laman berbasis agraris dan industri. Adapun

Kabupaten Bandung yang melingkupi 270

desa dan 10 kelurahan merepresentasikan

daerah dengan karakteristik desa yang

secara geografis berdekatan dengan ibukota

Provinsi Jawa Barat dan dengan tingkat

urbanisasi (baca: proses pengkotaan desa)

yang cukup tinggi.

Pengumpulan data dilakukan melalui

studi kepustakaan yang relevan, focus group

discussion (FGD), dan wawancara mendalam

dengan para pihak terkait, serta observasi

lapangan, yang dilakukan pada bulan April

2015.

KERANGKA TEORI

Sebagai kerangka kajian, bagian berikut

tulisan ini akan memaparkan beberapa kon-

sep kunci. Beberapa konsep seperti paradig-

ma pengaturan desa, pemerintahan desa,

kapasitas pemerintahan desa, merupakan

konsep kunci yang menjadi kerangka penje-

las dalam tulisan ini.

PARADIGMA PENGATURAN DESA

Lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang

Desa berimplikasi pada perubahan kedudu-

kan desa dalam bangunan tata negara

Indonesia dan relasinya dengan negara dan

Page 56: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat

50 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

warga. UU Desa yang baru menegaskan

bahwa paradigma atau asas yang mengkons-

truksi hubungan negara dan desa berdasar-

kan pada prinsip rekognisi dan subsidiaritas.

Konstruksi mengenai kedudukan dan relasi

baru ini tentunya sangat berbeda dengan

konstruksi sebelumnya. Dalam konstruksi

awal, sebagaimana dijelaskan dalam UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun

2005 tentang Desa, kedudukan desa merupa-

kan bagian dari daerah, sebab desentralisasi

hanya berhenti di kabupaten/kota. Dengan

konstruksi residualitas yang menempatkan-

nya sebagai bagian dari daerah tersebut, desa

hanya menerima pelimpahan sebagian kewe-

nangan dari kabupaten/kota. Konstruksi se-

rupa ini bersifat residualitas karena hanya

menempatkan desa sebagai penerima “sisa-

sisanya” kewenangan daerah, baik sisa kewe-

nangan maupun sisa keuangan dalam bentuk

alokasi dana desa (Sutoro Eko, 2014: 23).

Menurut Sutoro Eko (2014: 28), ditetap-

kannya konsep rekognisi sebagai asas

pertama bagi kedudukan desa dalam UU Desa

berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, desa

atau yang disebut dengan nama lain, sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat merupa-

kan entitas yang berbeda dengan kesatuan

masyarakat hukum yang disebut daerah.

Kedua, desa atau yang disebut dengan nama

lain merupakan entitas yang sudah ada

sebelum NKRI lahir pada tahun 1945, dan

sudah mempunyai susunan asli maupun

membawa hak asal usul. Ketiga, desa meru-

pakan bagian dari keragaman atau multikul-

turalisme Indonesia yang tidak bisa serta

merta diseragamkan. Keempat, dalam linta-

san sejarah yang panjang, desa secara struk-

tural menjadi arena eksploitasi terhadap

tanah dan penduduk, sekaligus diperlakukan

secara tidak adil, mulai dari era kerajaan,

pemerintahan kolonial, hingga pemerintah

NKRI. Kelima, konstitusi telah memberikan

amanat kepada negara untuk mengakui dan

menghormati desa atau yang disebut dengan

nama lain sebagai kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Asas rekognisi berarti negara mengakui

dan menghormati keragaman desa, keduduk-

an, kewenangan, dan hak asal-usul maupun

susunan pemerintahan. Namun sesungguh-

nya rekognisi tidak hanya dilakukan melalui

upaya-upaya yang mendorong pengakuan

dan penghormatan terhadap keragaman desa

dalam mewujudkan keadilan politik dan

keadilan budaya tersebut, melainkan juga,

sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa,

negara melakukan redistribusi sumber daya

ekonomi melalui bentuk alokasi dana dari

APBN maupun APBD. Redistribusi uang me-

rupakan resolusi untuk menjawab ketidak-

adilan sosial-ekonomi karena intervensi, eks-

ploitasi dan marjinalisasi yang dilakukan

oleh negara selama ini terhadap desa.

Dengan mengacu pada asas rekognisi, UU

Desa juga melindungi desa dari berbagai

bentuk imposisi (pemaksaan) dan mutilasi

yang dilakukan oleh aktor-aktor supradesa,

politisi, dan investor.

Sedangkan asas subsidiaritas atau kewe-

nangan lokal berskala desa berarti bahwa

urusan lokal atau kepentingan masyarakat

setempat berskala lokal lebih baik ditangani

organisasi lokal, dalam hal ini desa, yang

paling dekat dengan masyarakat. Sebagai-

mana ditegaskan oleh Sutoro Eko (2014: 31),

dalam penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 sub-

sidiaritas mengandung makna penetapan lo-

kal berskala desa menjadi kewenangan desa.

Dalam hal ini, asas subsidiaritas hadir untuk

mengkoreksi dan menggantikan asas residu-

alitas yang selama ini diterapkan dalam UU

No. 32 Tahun 2004, yang menempatkan desa

sebagai hanya sebagai penerima sisa-sisa ke-

wenangan yang dilimpahkan pemerintah su-

pradesa (kabupaten/kota). Hal ini juga seka-

ligus meluruskan pemahaman keliru dari se-

bagian kelompok yang menganggap UU No. 6

Tahun 2014 tentang Desa mempunyai kesa-

maan dengan PP No. 72 Tahun 2005, yang

merupakan regulasi turunan dari UU No. 32

Tahun 2004.

Sebaliknya, menurut Sutoro Eko, sebagai-

mana asas rekognisi yang menghormati dan

mengakui kewenangan asal usul desa, penja-

baran subsidiaritas sebagai penetapan kewe-

nangan lokal berskala desa berarti bahwa UU

secara langsung menetapkan sekaligus mem-

beri batas-batas yang jelas tentang kewena-

Page 57: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 51

ngan desa tanpa melalui mekanisme penye-

rahan dari kabupaten/kota. Pemerintah juga

tidak mempunyai kewenangan untuk mela-

kukan campur tangan (intervensi) dari atas

terhadap kewenangan lokal desa. Pemerintah

supradesa sebagai lembaga sosial yang lebih

kuat dan lebih besar justru mempunyai tang-

gung jawab moral untuk memberikan duku-

ngan, kepercayaan dan bantuan (fasilitasi)

terhadap desa dalam mengatur dan mengu-

rus kepentingan masyarakat setempat.

Dalam konteks mendorong keadilan eko-

nomi dan politik (distribusi sumberdaya),

skema alokasi keuangan dari APBN untuk

desa juga merupakan salah satu wujud kon-

kret dari pengakuan negara terhadap

kewenangan berdasarkan hak asal usul (asas

rekognisi) dan kewenangan lokal berskala

desa (asas subsidiaritas) (Sudjatmiko dan

Zakaria: 2014: 6).

Pemerintahan Desa

Desa merupakan organisasi pemerintahan

terkecil. Sebagai organisasi pemerintahan,

desa berbeda dengan daerah walaupun kedu-

anya sama-sama merupakan suatu kesatuan

masyarakat hukum. Implikasinya, pemerin-

tahan desa pun memiliki konsepsi dan karak-

ter yang berbeda dengan pemerintahan dae-

rah. Pemerintahan daerah bersama dengan

DPRD merupakan unsur pembentuk daerah

otonom dan merupakan subjek hukum yang

merepresentasi-kan daerah, sedangkan kepa-

la daerah (bupati/walikota) dalam hal ini me-

rupakan personifikasi pemerintah daerah.

Adapun desa sebagai kesatuan masya-

rakat hukum merupakan organisasi kekuasa-

an ataupun organisasi pemerintahan, yang

secara jelas—sebagaimana ditegaskan dalam

UU No. 6 Tahun 2014—mempunyai batas-

batas dan kewenangan untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepen-

tingan masyarakat setempat. Dengan demi-

kian, desa bukanlah kelompok atau orga-

nisasi komunitas lokal semata, atau desa

bukanlah masyarakat. Bahkan, posisinya

sebagai organisasi pemerintahan desa berbe-

da dengan posisi pemerintahan desa teren-

dah di bawah camat sebagaimana yang di-

konstruksikan dalam UU No. 5 Tahun 1979.

Pemerintahan desa juga berbeda dengan

pemerintahan daerah yang tidak memiliki

unsur masyarakat, melainkan hanya perang-

kat birokrasi.

Oleh karena itulah UU No. 6 Tahun 2014

tentang Desa dalam penjelasannya menem-

patkan bahwa desa sebagai organisasi

campuran (hybrid) antara masyarakat berpe-

merintahan (self governing community)

dengan pemerintahan lokal (local self govern-

ment). Inilah yang menjadi bentuk desa

sebagai pemerintahan masyarakat atau pe-

merintahan berbasis masyarakat. Artinya,

desa tidak identik dengan pemerintah desa

dan kepala desa, melainkan desa menga-

ndung pemerintahan dan sekaligus meng-

andung masyarakat sehingga membentuk

kesatuan subjek hukum (Sutoro Eko, 2014:

34)

Dalam praktiknya sebagai organisasi

pemerintahan, pemerintahan desa merupa-

kan penyelenggara pemerintahan dan kepen-

tingan masyarakat setempat (desa) dalam

sistem pemerintahan Negara Kesatuan Repu-

blik Indonesia, sebagaimana disebutkan da-

lam UU No. 6 Tahun 2014. Bertindak sebagai

unsur penyelenggara pemerintahan desa

adalah kepala desa yang merupakan repre-

sentasi dari pemerintah desa dengan dibantu

oleh perangkat desa. Lebih lanjut, UU Desa

juga menjelaskan bahwa pemerintahan desa

dijalankan dengan bertumpu pada beberapa

asas, antara lain: a) kepastian hukum; b) ter-

tib penyelenggaraan pemerintahan; c) kepen-

tingan umum; d) keterbukaan; e) proporsio-

nalitas; f) profesionalitas; g) akuntabilitas; h)

efektivitas dan efisiensi; i) kearifan lokal; j)

keberagaman; dan k) partisipatif.

Kapasitas dan Kinerja Pemerintahan Desa

Dalam satu elaborasi mendalam tentang

UU No. 6 Tahun 2014, Sutoro Eko (2014: xv)

mengatakan bahwa kehadiran UU Desa yang

baru ini menegaskan komitmen politik dan

konstitusional bahwa negara melindungi dan

memberdayakan desa agar menjadi kuat,

maju, mandiri, dan demokratis sehingga

dapat menciptakan landasan yang kokoh

dalam melaksanakan pemerintahan dan

pembangunan menuju masyarakat yang adil,

Page 58: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat

52 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

makmur dan sejahtera. Namun dalam imple-

mentasinya, visi mulia tersebut sudah barang

tentu tidak akan terwujud tanpa ditopang

oleh kapasitas dan kinerja desa dalam peme-

rintahan dan pembangunan. Pada titik ini,

kapasitas dan kinerja desa merupakan kom-

ponen penting dalam mendorong kemandiri-

an desa. Lalu, kapasitas pemerintahan desa

seperti apakah yang menjadi prasyarat

keberhasilan implementasi UU Desa untuk

mencapai visi kemandirian tersebut? Sebe-

lum menjawab pertanyaan ini, pada bagian

berikut akan mendiskusikan konsep kapa-

sitas pemerintahan desa terlebih dahulu

dengan berpijak pada kewenangan pemerin-

tahan desa.

UU No. 6/2014 menyebutkan bahwa ke-

wenangan desa meliputi kewenangan di bi-

dang penyelenggaraan pemerintahan desa,

pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan

kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan

masyarakat desa berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat

desa. Dengan memperhatikan sejumlah

kewe-nangan desa tersebut, maka urusan

yang menjadi fokus pemerintah desa meli-

puti 1) urusan pemerintahan yang sudah ada

berdasarkan hak asal usul; 2) urusan peme-

rintahan berdasarkan kewenangan lokal ber-

skala desa; 3) urusan pemerintahan berda-

sarkan kewenangan yang ditugaskan oleh

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;

dan 4) urusan pemerintahan kewenangan

lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Peme-

rintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ke-

tentuan peraturan perundang-perundangan.

Kapasitas pemerintah desa tentunya ter-

kait dengan kemampuan pemerintahan desa

dalam melaksanakan tugas dan fungsi ter-

sebut di atas. Dalam konteks ini pengemba-

ngan kapasitas pemerintah desa idealnya

sejalan dengan kewenangan yang diemban

desa sebagaimana diamanatkan oleh UU

Desa. Kapasitas pemerintah desa menjadi

parameter penting bagi pencapaian kinerja

pemerintahan desa. Dengan kata lain, penca-

paian kinerja pemerintahan desa yang baik

hanya akan terwujud jika mendapat dukung-

an dari individu, organisasi dan sistem yang

memadai. Namun banyak pihak selama ini

justru menganggap kapasitas pemerintah

desa sangat terbatas, sehingga yang terjadi

adalah ketergantungan terhadap pemerintah

(Sutoro Eko, 2014: 131).

Namun, menurut Sutoro Eko pula,

lemahnya kapasitas dan kinerja desa bukan

fakta yang abadi. Berpijak dari pengalaman

menjalankan program di desa-desa damping-

an ACCESS (The Austalian Community Deve-

lopment and Civil Society Strengthening

Scheme)—yang kemudian menginspirasi

para perumus UU Desa—pendampingan,

pemanfaatan jaringan, dan pembelajaran

yang berkelanjutan terbukti mampu men-

dongkrak kapasitas dan kinerja desa dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan pemba-

ngunan desa. Setidaknya, terdapat dua hal

pokok yang menjadi fokus pengembangan

kapasitas dan kinerja pemerintah desa. Per-

tama, kapasitas dalam pemetaan sosial dan

perencanaan pembangunan desa. Kedua,

kapasitas dalam mengelola dan mengalokasi-

kan anggaran desa untuk kepentingan ma-

syarakat luas. Sebagai contoh, pembuatan

perencanaan desa dapat menjadi salah satu

titik masuk untuk melihat kapasitas dan

kinerja desa. Dalam konteks implementasi

UU Desa, dokumen perencanaan (RPJMDes,

APBDes, dan RKPDes) merupakan syarat

pencairan Alokasi Dana Desa dari Kabupaten.

Proses perumusan dokumen perencanaan

desa pun tidak hanya berlangsung seperti

halnya kegiatan seremonial Musrembangdes

belaka, melainkan lebih dari itu. Proses

perencanaan desa dirumuskan melalui suatu

mekanisme bertahap dan agenda panjang

yang dilakukan secara kolektif dan inklusif,

yakni mulai dari musyawarah desa, pemeta-

an desa, sensus, eksplorasi, pengorganisasian

aset, pertemuan apresiatif, perencanaan dan

penganggaran.

Tak hanya itu, pengalaman ACCESS juga

menunjukkan bahwa pemerintah desa dan

masyarakatnya mempunyai kemampuan un-

tuk memetakan potensi, aset, dan kemiskinan

desa dengan menggunakan instrumen peme-

taan desa maupun analisis kemiskinan parti-

Page 59: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 53

sipatif. Hasilnya kemudian menjadi pijakan

dalam penyusunan perencanaan desa. Lebih

dari itu, pengalaman desa-desa ACCESS bah-

kan tidak hanya mampu menyusun dokumen

administratif, tetapi juga yang lebih penting

adalah meyusun strategi dan program secara

logis sebagai jawaban atas permasalahan dan

tantangan yang dihadapi desa. Pengalaman

inilah yang terjadi antara lain di desa Bonto-

sungu, Kepulauan Selayar dan desa-desa di

Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dan

desa Lepadi, Dompu, Nusa Tenggara Barat.

PEMBAHASAN

Implementasi UU Desa: Bagaimana Res-

pon Pemerintah Daerah?

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu

provinsi penyangga dan berbatasan langsung

dengan daerah khusus ibukota Jakarta. Di

Jawa Barat sendiri terdapat 5.321 desa dan

643 kelurahan yang tersebar 18 wilayah

kabupaten dan 9 kota. Dalam rangka imple-

mentasi UU Desa, jumlah desa yang mencapai

ribuan tersebut tentunya menjadi tantangan

tersendiri dalam upaya menjalankan amanat

UU Desa. Namun letak geografis yang berde-

katan dengan pusat pemerintahan di Jakarta,

tentunya akan memudahkan proses sosiali-

sasi, implementasi, dan monitoring setiap ke-

bijakan atau regulasi dari pusat. Berdasarkan

temuan di lapangan, kajian ini menunjukkan

bahwa implementasi UU No. 6/2014 di Jawa

Barat memunculkan dinamika dan problema-

tika tersendiri. Suatu hal yang pada giliran-

nya membutuhkan strategi dan regulasi turu-

nan baru yang lebih kontekstual guna men-

jawab tantangan lapangan dalam melaksana-

kan amanat UU. Selain itu, ada juga peluang

yang dapat terus digali demi mengoptimal-

kan pelaksanaan UU Desa.

Sebagai contoh, sebelum berlaku UU Desa

No. 6 Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Jawa

Barat sendiri sudah memberikan bantuan

secara langsung kepada setiap desa sebesar

Rp 100 juta. Hingga bulan April 2015, Pem-

prov Jabar termasuk daerah provinsi yang

lebih dini melakukan sosialisasi penerapan

UU Desa, terutama terkait pertanggungjawa-

ban dana desa, walaupun peraturan dari

pusat belum ada yang lebih rinci dan jelas.

Bahkan peraturan yang sudah ada pun, yaitu

Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 tentang

Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014

tentang Desa dan PP No. 60 Tahun 2014 ten-

tang Dana Desa yang Bersumber dari Angga-

ran dan Pendapatan Belanja Negara pun dire-

visi lagi. Berdasarkan pembagian alokasi

dana desa dari APBN dalam rangka melak-

sanakan UU Desa, setiap desa di Provinsi

Jabar diperkirakan mendapat alokasi dana

sekitar Rp 300-400juta.1 Lalu bagaimana res-

pon pemerintah daerah dan desa mengenai

implementasi UU Desa tersebut?

Berdasarkan penelusuran ke tiga daerah

lokus kajian, yaitu Kabupaten Sukabumi, Ka-

bupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang,

pemerintah daerah sudah melakukan bebe-

rapa persiapan, baik terkait dengan pembu-

atan regulasi turunan (Perda/Perbup) mau-

pun program peningkatan kapasitas desa dan

perangkatnya. Pemerintah Kabupaten Ban-

dung, misalnya, dalam melaksanakan imple-

mentasi UU Desa, sudah membuat 2 Perda

dan 1 Perbup, antara lain: Peraturan Daerah

No. 19 Tahun 2014 tentang Pemilihan dan

Pemberhentian Kepala Desa, yang kemudian

diimplementasikan melalui Perbup No. 3

Tahun 2014, Peraturan Daerah No. 20 Tahun

2014 tentang Keuangan Desa, dan Peraturan

Bupati tentang peruntukan anggaran desa

yang tengah dalam proses penyusunan2.

Sedangkan Pemkab Sumedang sejauh ini

sudah membuat 3 Perda dan 1 Perbup, anta-

ra lain Perda No. 2 Tahun 2014 tentang Tata

Cara Pencalonan, Pemilihan, dan Pemberhen-

tian Kepala Desa; Perda No. 3 Tahun 2014

tentang Pilkades Serentak; dan Perda No. 4

Tahun 2014 tentang Badan Permusyawara-

tan Desa.3 Mereka juga tengah menyiapkan

Peraturan Bupati tentang pemilihan kepala

desa serentak. Adapun Pemkab Sukabumi

1Wawancara dengan Radian, Bagian Tata Pemerintahan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 22 April 2015. 2Wawancara dengan Agus Rizal, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Kabupaten Bandung, 22 April 2015. 3Wawancara dengan Teti, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Sumedang, 22 April 2015.

Page 60: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat

54 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

baru menyelesaikan rancangan 2 Perbup,

yaitu Perbup tentang Pengaturan ADD yang

bersumber dari APBD dan Perbup tentang

pengaturan ADD yang bersumber dari APBN.

Pengesahan kedua Perbup ini akan dilakukan

setelah revisi PP Permendagri selesai. Sebe-

lumnya, Kabupaten Sukabumi mempunyai 4

Perda dan Perbup tentang desa. Kini sudah

tidak bisa dipakai karena harus menyesuai-

kan dengan UU baru.

Pelaksanaan UU Desa yang beriringan

dengan pelaksanaan Pilkada, menjadi masa-

lah tersendiri bagi beberapa pemerintah

daerah. Di Kabupaten Sukabumi, misalnya,

terserapnya anggaran untuk penyelenggara-

an Pilkada berdampak pada kurangnya ang-

garan untuk membangun sarana dan prasa-

rana, termasuk di desa. yang lebih genting

lagi, Pemda juga mengalami kekurangan

anggaran untuk mengawal pelaksanaan UU

Desa, sementara bebannya kian bertambah.

Namun di luar segala keterbatasan yang ada,

pemerintah daerah kabupaten/kota tetap

berkomitmen menjalankan amanah UU

dengan segenap kemampuan fiskal yang

ada.4 Mendekati pelaksanaan UU Desa, sejak

tahun 2014 beberapa mereka melakukan

kegiatan persiapan, yaitu melalui Badan

Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah-

an Desa (BPMD) atau lembaga sejenis di

setiap kabupaten/kota. Kegiatan yang dilaku-

kan antara lain adalah melakukan sosialisasi

tentang UU Desa dan mengadakan pelatihan

untuk meningkatkan kapasitas perangkat

desa.

Mengacu pada PP No. 43/2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014

tentang Desa, pemerintah dan pemerintah

daerah masih mempunyai kewenangan

menyelenggarakan pemberdayaan masyara-

kat Desa dengan pendampingan secara

berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Dalam

pelaksanaannya, pendampingan masyarakat

Desa dapat dilaksanakan oleh satuan kerja

perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat

dibantu oleh tenaga pendamping profesional,

4Wawancara dengan Agus Rahmat, Sekretaris BPMPD Kabupaten Sukabumi, 23 April 2015.

kader pemberdayaan masyarakat Desa,

dan/atau pihak ketiga. Hal ini ditegaskan

pula melalui Permendesa No. 3 Tahun 2015

tentang pendampingan desa. Masalah muncul

manakala,baik pemerintah provinsi maupun

pemerintah kabupaten, terbentur keterbata-

san waktu, tenaga, biaya. Akibatnya, meski

dana sudah dapat dicairkan, pendamping

belum siap. Dari wacana yang bergulir, bebe-

rapa pihak menyarankan agar pendampingan

tersebut ditangani oleh pihak ketiga saja, dan

dalam hal ini rekomendasinya jatuh tidak

lain dan tidak bukan kepada mantan fasilita-

tor program PNPM Mandiri.

Dua Isu Krusial

1. Pengelolaan Keuangan Desa

Dalam prosesnya, pelaksanaan UU Desa di

Jawa Barat memang memunculkan dinamika

dan permasalahan baik yang bersifat norma-

tif maupun permasalahan di lapangan. Terka-

it dengan menyebutkan bahwa pengalokasi-

an ADD secara proporsional dengan memper-

timbangkan 4 faktor berikut: jumlah pendu-

duk desa, angka kemiskinan desa, luas wila-

yah desa, dan tingkat kesulitan geografis

desa. Namun dalam kenyataan di lapangan

menunjukkan adanya problem. Jika tetap

dipaksakan, mekanisme pembagian ADD

menggunakan asas proporsionalitas, meng-

hasilkan pembagian yang timpang dan berpo-

tensi memicu konflik horisontal di ranah

desa. Selain itu, pembagian ADD menurut

asas proporsional mensyaratkan pemutakhi-

ran dan akurasi data wilayah dan demografi

dari BPS. Masalah muncul karena data yang

dimiliki BPS seringkali berasal dari penda-

taan duadi daerah adalah data lama yang

berasal dari 2-3 tahun silam. Dengan kondisi

demikian, tak pelak lagi, pengelolaan keu-

angan desa merupakan salah satu isu krusial

dalam implementasi UU Desa.5

Di awal-awal periode pelaksanaannya, UU

Desa memunculkan kebingungan, baik di ka-

langan pemerintah daerah kabupaten/kota,

pemerintah desa, maupun masyarakat um-

um. Dana desa memang sudah tersedia di kas

pemerintah kabupaten/kota, namun belum

5Wawancara dengan Agus Rahmat...

Page 61: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 55

bisa dicairkan karena peraturannya belum

jelas dan operasional. Di satu sisi, mekanisme

pencairan harus menunggu revisi peraturan

PP 43 dan PP 60 yang hingga laporan ini

ditulis belum tuntas. Di desa juga beredar

kabar bahwa Permendagri No. 113 tentang

Pengelolaan Keuangan Desa juga tengah

direvisi. Di sisi lain, sebagian pemerintah

daerah masih belum membuat aturan-aturan

yang diperlukan, semisal Perbup atau Perda,

karena menunggu peraturan yang lebih jelas

dan rinci. Sementara itu, daerah sangat

terbatas dengan waktu, padahal harus segara

mengimplementasikan UU Desa.

Baik di kalangan aparatur pemerintah

daerah dan perangkat desa, muncul kesan

bahwa implementasi UU Desa ini terlalu

birokratis mengingat banyaknya peraturan

yang harus diperhatikan untuk mencairkan

dana desa. Kepala desa sering beranggapan

Pemkab mempersulit pemberian dana desa.

Banyak desa yang belum menyiapkan

RPJMDes, APBDes, RKP Desa, sebagai per-

syaratan untuk mencairkan dana desa karena

pembuatan semua dokumen itu mengandai-

kan adanya kepastian besaran jumlah dana

yang akan dikelola oleh setiap desa. Desa

memang mempunyai RPJMDes pola lama,

tapi dengan adanya UU Desa perlu ada

penyesuaian baru.6

Masing-masing daerah merespon secara

beragam adanya kecenderungan birokratisa-

si yang kian menguat dalam pengelolaan

dana desa ini. Karena khawatir dana desa

akan diselewengkan, Pemerintah Kabupaten

Bandung merasa perlu untuk membentuk tim

verifikasi di tingkat kecamatan dan pengawa-

san pembinaan oleh camat.7 Sedangkan di

Kabupaten Sumedang selama ini ada kecen-

derungan desa tidak tahu tentang pola-pola

penggunaan dana desa sehingga banyak

Kepala Desa yang diundang ke kejaksa-

an/kepolisian untuk dimintai keterangan.

Untuk itu, Pemkab Sumedang menyambut

baik upaya Polda Jawa Barat yang menugas-

kan jajaran Polres di setiap kabupaten/kota

melakukan pembinaan aparatur pemerintah-

6Wawancara dengan Teti... 7Wawancara dengan Agus Rizal...

an desa dalam rangka menyongsong imple-

mentasi UU Desa. Hal ini bertujuan agar desa

lebih waspada dalam mengoptimalkan peng-

gunaan dana dan sesuai aturan. Sementara

itu, pemerintah Kabupaten Sukabumi meng-

hadapi problem yang berbeda. Keluhan mun-

cul karena dalam APBD kabupaten tidak ada

pos anggaran untuk membiayai kegiatan

sosialisasi tentang anggaran desa. Padahal,

seperti yang dialami oleh desa-desa di Kabu-

paten Sumedang, desa-desa di Kabupaten

Sukabumi kesulitan menyusun RAPBDes

karena besaran nominalnya belum pasti dan

aturannya pun belum jelas alias membi-

ngungkan.

Masih dalam konteks pengelolaan dana

desa, menjadi penting pula kiranya untuk

memperhatikan temuan Tim STIA LAN Ban-

dung. Penelitian mereka yang dilakukan di

wilayah kabupaten Bandung menjelang

ditetapkannya UU Desa menemukan bahwa

sebagian desa di sana dalam beberapa tahun

terakhir mempunyai sumber anggaran desa

yang cukup besar dan beragam. Selain dari

penghasilan asli dan swadaya masyarakat

desa, aliran dana yang masuk ke dalam

anggaran desa juga antara lain berasal dari

dana bantuan pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten, perusahaan/dana

CSR, dana Parpol, hibah, dan lain-lain.

Dengan sumber yang beragam tersebut, se-

tiap desa dapat mengelola anggaran berkisar

antara Rp 600-800 juta. Namun, mekanisme

pengaturan dan pertanggungjawabannya

yang selama ini belum jelas dapat menjadi

masalah di kemudian hari.

2. Perencanaan Pembangunan Desa

Isu krusial lainnya dalam rangka imple-

mentasi UU Desa adalah perencanaan pemba-

ngunan desa. Pasal 79 UU Desa antara lain

menyebutkan bahwa penyusunan perenca-

naan pembangunan desa dilakukan dengan

memperhatikan: 1) mengacu pada perenca-

naan pembangunan Kabupaten/ Kota; 2) Pro-

gram Pemerintah dan/atau Pemerintah Dae-

rah yangberskala lokal Desa dikoordinasikan

dan/atau didelegasikan pelaksanaannya ke-

pada Desa; 3) sebagai salah satu sumber ma-

Page 62: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat

56 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

sukan dalam perencanaan pembangunan Ka-

bupaten/ Kota.

Pada Pasal 80 juga disebutkan bahwa pri-

oritas, program, kegiatan, dan kebutuhan

pembangunan desa yang didanai oleh Ang-

garan Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya

masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Penda-

patan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota

ditetapkan melalu mekanisme musyawarah

perencanaan pembangunan desa. Namun

dalam kenyataannya di lapangan tidak semua

kegiatan desa sesuai dengan perencanaan

desa. Kasus yang sering terjadi justru desa

membuat program tanpa memperhatikan

dokumen perencanaan. Di Kabupaten Sume-

dang, bahkan tidak sedikit desa yang belum

tahu bentuk perencanaannya seperti apa;

apakah harus mengikuti model daftar

pengeluaran anggaran (DPA, seperti di SKPD)

atau model rencana anggaran belanja (RAB)

saja. Berdasarkan kasus di Kabupaten Sume-

dang, selama ini bentuk perencanaan belanja

mengikuti model RAB, tetapi pelaksanaan

pembelanjaannya sering tidak sesuai.8

Problem juga muncul terkait dengan

rancangan pembangunan kawasan perdesa-

an. Pasal 83 UU Desa mengamanatkan agar

rancangan pembangunan kawasan perdesaan

dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerin-

tah DaerahProvinsi, Pemerintah Daerah Ka-

bupaten/Kota, dan Pemerintah Desa. Hasil-

nya, kemudian ditetapkan oleh Bupati/Wali-

kota sesuai dengan Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupa-

ten/kota. Namun perencanaan desa belum

bisa dilakukan sepenuhnya karena peren-

canaan di tingkat kabupaten/provinsi sering

terlambat. Padahal sejak bulan Desember,

desa sudah menetapkan Perdes tentang

pembangunan desa. Tidak hanya itu, sosiali-

sasi rencana tata ruang dari atas ke bawah

(provinsi-kabupaten-desa) juga kadang tidak

sampai hingga ke tingkat desa, sehingga

menyebabkan perencanaan desa bentrok

dengan perencanaan kabupaten/provinsi.

Masalah kian bertambah karena di desa

sering juga dipimpin oleh figur-figur pemim-

pin desa yang berwawasan sempit. Dalam

8Wawancara dengan Teti...

segi ini, desa seyogyanya justru membutuh-

kan figur pemimpin yang paling tidak dapat

memahami perencanaan wilayah yang dibuat

kabupaten.9

Sesungguhnya, lemahnya koordinasi anta-

ra pemerintah desa dengan lembaga peme-

rintahan supra desa seperti yang tergambar

di atas terkait dengan hubungan antara kedu-

anya dalam konteks lebih luas yang selama

ini, sayangnya, juga memperlihatkan pola

hubungan yang tidak “sedang baik-baik saja”.

Pasal 15 dan 16 UU Desa memang mengatur

hubungan pemerintah desa dengan pemerin-

tahan supra desa (Pemerintah Pusat, Pemda

Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota).

Dalam hal ini, UU Desa menyebutkan bahwa-

sanya Pemerintah, Pemda Provinsi dan

Pemda Kabupaten/Kota mempunyai kewena-

ngan untuk melakukan: 1) pembinaan dan

pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

desa; 2) mendelegasikan pembinaan dan

pengawasan kepada perangkat daerah; dan

3) memberdayakan masyarakat desa. Yang

perlu menjadi catatan bahwa semenjak ada-

nya otonomi hubungan berjenjang antara

Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi,

Pemerintah Kabupaten/Kota, hingga ke desa

justru sering berjalan kurang lancar. Hal ini

karena dalam banyak kasus seorang kepala

daerah kadang-kadang masih membawa

kepentingan Parpol-nya sendiri. Jika dari atas

hingga ke bawah Parpolnya berbeda, biasa-

nya hubungan yang terbangun diwarnai kete-

gangan.10

Terkait perencanaan pembangunan desa,

hal yang juga perlu diperhatikan di masa

depan adalah seputar ketimpangan akses

terhadap informasi. Berdasarkan pengala-

man desa-desa di Jawa Barat, salah satu

hambatan penyampaian informasi rencana

pembangunan desa adalah disebabkan oleh

kesenjangan pemahaman dan penerimaan

informasi tentang anggaran desa. Untungnya,

guna menjawab masalah ini UU Desa sudah

mengakomodasi isu mengenai pentingnya

membangun sistem informasi desa. Pasal 86

antara lain menyebutkan “Pemerintah dan

9Wawancara dengan Radian... 10Ibidem.

Page 63: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 57

Pemerintah Daerah wajib mengembangkan

sistem informasi Desa dan pembangunan

Kawasan Perdesaan”. Lebih lanjut, Pasal 86

mengamanatkan agar sistem informasi desa

tersebut yang dikelola oleh pemerintah desa

dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan

semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini,

sistem informasi desa meliputi data desa,

data pembangunan desa, kawasan perdesaan,

serta informasi lain yang berkaitan dengan

pembangunan desa dan pembangunan kawa-

san perdesaan.

Dimensi akses terhadap informasi ini

tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata.

Sistem informasi desa yang tertata dengan

baik dan solid memungkinkan terwujudnya

kemudahan dan pemerataan akses atas

informasi yang relevan dengan pembangun-

an desa. Penguasaan akses informasi desa

yang relatif merata dan memadai pada gili-

rannya akan berdampak pada peningkatan

kepercayaan diri masyarakat desa untuk

kemudian turut terlibat dalam pembangunan

desanya. Dari segi ini, pemerataan akses

informasi akan berdampak pada dua hal:

penguatan demokratisasi desa dan pendo-

rong partisipasi masyarakat dalam pemba-

ngunan desa. Dengan demikian, hal tersebut

dapat menjawab problem bahwa selama ini

tidak banyak desa yang mempunyai penga-

laman untuk melibatkan partisipasi masya-

rakat dalam pembangunan desa, baik dalam

tataran perencanaan, pelaksanaan, dan per-

tanggungjawaban. Dalam Pasal 80, UU No. 6

Tahun 2014 sendiri secara eksplisit menga-

manatkan bahwa perencanaan pembangunan

desa harus mengikutsertakan masyarakat

desa.

Tantangan SDM Desa

Dari pemaparan di atas tampak jelas

bahwa yang menjadi tantangan utama di desa

salah satunya adalah potensi dan kapasitas

sumber daya manusia setempat yang masih

minim. Hal ini tidak hanya tercermin dari

sulitnya mencari figur-figur pemimpin desa

yang visioner, berwawasan luas, dengan

kapasitas yang mumpuni, melainkan juga

problem yang kurang lebih sama terletak

pada kelompok perangkat desa dengan kapa-

sitas yang terbatas. Di Jawa Barat memang

terdapat beberapa desa yang berhasil meng-

optimalkan potensi sumber daya yang ada

karena sejumlah faktor seperti kapasitas

pemimpin, perangkat desa dan masyarakat-

nya, serta sebagai buah dari kolaborasinya

dengan organisasi masyarakat sipil, sehingga

tampil menjadi desa yang mandiri—seperti

desa Ciburial di Kabupaten Bandung.11

Namun, umumnya desa-desa di Jawa Barat

masih mengalami kesulitan serius dalam

menghadapi tantangan rendahnya kapasitas

sumber daya manusia di pedesaan.

Minimnya potensi sumber daya manusia

di desa selama ini tidak mengherankan kare-

na rata-rata tingkat pendidikan penduduk

desa hanya lulusan sekolah dasar (SD).

Tentunya hal ini menjadi tantangan ter-

sendiri dalam implementasi UU Desa. Sebab,

Pasal 50 UU Desa menyebutkan bahwa

persyaratan perangkat desa antara lain

berpendidikan minimal SMA dan berusia 20-

42 tahun. Padahal selain hambatan tingkat

pendidikan, berdasarkan temuan lapangan

dari ketiga daerah kabupaten di Jawa Barat

yang menjadi lokus kajian, selama ini posisi

perangkat desa serungkali diisi oleh orang-

orang yang menjelang usia pensiun. Mereka

dipilih berdasarkan pertimbangan ketokohan

atau pengalaman yang bersangkutan.

Dinamika politik desa pun tak jarang

mempengaruhi pemilihan dan pengangkatan

perangkat desa. Di sejumlah desa di Jawa

Barat, misalnya, ada kecenderungan feno-

mena “ganti kepala desa, ganti perangkat”.

Fenomena ini jelas merugikan desa karena

pembinaan yang sudah dilakukan BPMPD

selama ini menjadi sia-sia.12 Dimensi keberla-

njutan program pembinaan juga menjadi

terancam dan hanya menghambur-hambur-

kan anggaran.

Apa sebenarnya yang menyebabkan desa

mengalami kelangkaan sumber daya manusia

yang mumpuni, termasuk untuk menjalankan

pemerintahan desa? Benarkah desa tak per-

nah melahirkan sumber daya manusia yang

11Wawancara dengan Agus Rizal... 12Wawancara dengan Radian...

Page 64: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat

58 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

mampu menjawab tantangan kebutuhan

pembangunan dan pemerintahan di tingkat

desa?

Para ahli sosiologi dan antropologi

pedesaan sesungguhnya mempunyai panda-

ngan yang cukup menarik disimak. Salah

satunya datang dari Robert Z Lawang, guru

besar sosiologi pedesaan Universitas Indone-

sia. Menurut Lawang, paradigma pemba-

ngunan yang cenderung “anti-desa” yang

selama ini melahirkan struktur sosial yang

timpang antara desa dan kota menyebabkan

hidup di desa serba susah (Lawang, 2006).

Kurangnya perhatian pemerintah dan sektor

swasta pada pembangunan prasarana jalan,

pendidikan, kesehatan, perbankan di daerah

pedesaan, membuat desa itu menjadi tempat

yang penuh masalah yang tidak teratasi. Tak

heran jika kemudian desa ditinggalkan oleh

orang-orang terbaik yang pernah

dilahirkannya.

EF Schumacher, ahli ekonomi dan pemikir

sosial dari Inggris yang mempunyai

perhatian besar terhadap desa, bahkan sejak

jauh-jauh hari mengingatkan perihal kondisi

ini. Menurut Schumacher (1979:182), pokok

persoalan kemiskinan di dunia adalah

terutama menyangkut masalah dua juta desa.

Selama beban hidup di pedesaan tidak dapat

diringankan, masalah kemiskinan di dunia

tidak akan dapat diselesaikan, malah

kondisinya akan semakin memburuk.

Penutup

Kesimpulan

Geliat desa dan pemerintah daerah dalam

mengimplementasikan UU No. 6 Tahun 2014

tentang desa menunjukkan dinamika dan

tantangan yang menarik. Berdasarkan temu-

an lapangan di tiga daerah kabupaten di Jawa

Barat yang menjadi lokus kajian ini, umum-

nya pemerintah daerah dan desa sudah mem-

persiapkan diri dalam rangka pelaksanaan

UU Desa. Persiapan yang dilakukan antara

lain dengan membuat regulasi turunan di

tingkat daerah (Perda dan Perbup), sosiali-

sasi dan upaya peningkatan kapasitas apara-

tur desa melalui serangkaian kegiatan bim-

bingan teknis yang dilakukan oleh BPMPD.

Namun rupanya, seiring beban pemerintah

daerah yang bertambah tidak diimbangi

dengan kemampuan fiskal yang memadai.

Kondisi ini menyebabkan kegiatan sosialisasi

dan upaya peningkatan kapasitas aparatur

desa oleh BPMPD tidak bisa berjalan optimal,

bahkan cenderung seadanya. Di Kabupaten

Sukabumi, misalnya, sisa anggaran yang ada

harus berebut dengan kebutuhan penyeleng-

garaan Pilkada.

Sedangkan pembuatan regulasi turunan

(Perda dan Perbup) agak tersendat karena

adanya revisi PP No. 60 Tahun 2014 dan PP

No. 43 Tahun 2014 dan pengesahan Permen-

dagri yang terlambat. Hal ini menyebabkan

pelaksanaan UU Desa menjadi terhambat

karena peraturan turunannya yang belum

jelas dan operasional. Hingga April 2015,

banyak desa yang belum dapat menyusun

dokumen perencanaan karena peraturan

yang belum jelas ini.

Penyusunan perencanaan pembangunan

desa dan pengelolaan keuangan desa menjadi

dua isu krusial dalam implementasi UU Desa.

Tantangannya adalah bagaimana agar desa

mampu menyusun perencanaan desa berda-

sarkan problem dan kebutuhan yang ada

dengan tidak hanya melalui mekanisme yang

bersifat teknokratis belaka, melainkan juga

membuka dengan ruang keterlibatan masya-

rakat seluas-luasnya dengan memanfaatkan

saluran yang ada sebagaimana diatur dalam

UU Desa. Dalam konteks, ini penguatan BPD

dan musyawarah desa layak menjadi prio-

ritas, kendati memerlukan proses panjang

dan berliku mengingat banyak desa yang

belum berpengalaman untuk mengakomoda-

si partisipasi warga dalam merumuskan

perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggung-

jawaban pembangunan desa.

Selain itu, ada juga beberapa problem lapangan dan problem normatif bagi imple-mentasi UU Desa. Kelangkaan sumber daya manusia yang memadai di ranah desa men-jadi problem kunci di lapangan karena hal ini pada gilirannya berimbas pada rendahnya kapasitas desa dalam mengoptimalkan age-nda pembangunan desa sebagaimana diama-natkan dalam UU Desa.

Page 65: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 59

Rekomendasi

Berpijak pada uraian di muka, beberapa rekomendasi yang perlu ditempuh bagi upaya mengoptimalkan implementasi UU Desa di masa mendatang adalah: Pertama, penataan desa perlu segera disiapkan oleh pemerintah pemerintah kabupaten/kota dengan memprioritaskan penataan sistem administrasi desa dan memasukkan agenda pengembangan kapasitas SDM untuk memba-ngun manajemen yang efektif.

Kedua, perlunya memprioritaskan peme-

taan kapasitas desa untuk menentukan

tipologi desa melalui penghitungan aset desa,

kapasitas sumber daya manusia, jumlah dan

sebaran penduduk desa, ketersediaan infra-

struktur dasar bagi masyarakat desa, serta

kondisi ekonomi, sosial, dan kultural masya-

rakat desa. Dengan demikian, perencanaan

desa di masa mendatang tidak hanya sekadar

mengacu padaapa yang sudah ada saat ini.

Ketiga, lembaga sosial supradesa (peme-

rintah kabupaten/kota), perlu mengoptimal-

kan program pendampingan desa, pemanfa-

atan jaringan, dan menetapkan program

pembelajaran yang berkelanjutan untuk

mendongkrak kapasitas dan kinerja desa

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan desa.

Keempat, peningkatan kapasitas perang-

kat desa diarahkan pada dua hal pokok: 1)

penguatan kapasitas dalam pemetaan sosial

dan perencanaan pembangunan desa; 2)

penguatan kapasitas dalam mengelola dan

mengalokasikan anggaran desa untuk

kepentingan masyarakat luas.

Kelima, pemerintah desa perlu menginte-

grasikan sistem informasi desa (SID) tidak

hanya ke dalam sistem perencanaan pemba-

ngunan, tapi juga dalam pengelolaan keu-

angan dan aset desa. Dalam hal ini, kiranya

penting bagi desa diberi kewenangan untuk

membentuk unit organisasi baru yang

memiliki tugas pokok dan fungsi dalam

pembuatan dan pembaharuan data base

desa, hingga melakukan pemantauan atas

perubahan struktur geografis desa, baik

karena proses alamiah atau penetrasi modal

yang masuk ke desa.

Keenam, partisipasi masyarakat merupa-

kan salah satu elemen kunci dalam peru-

musan perencanaan, pelaksanaan, dan per-

tanggungjawaban program pembangunan

desa. Proses perencanaan desa dirumuskan

melalui suatu mekanisme bertahap dan

agenda panjang yang dilakukan secara

kolektif-partisipatif dan inklusif, yakni mulai

dari musyawarah desa, pemetaan desa, sen-

sus, eksplorasi, pengorganisasian aset,

pertemuan apresiatif, perencanaan dan

penganggaran.

Ketujuh, perencanaan daerah dan peren-

canaan desa mempunyai hubungan yang

terkonsolidasi. Desa dalam menyusun RPJM

Desa dan RKP Desa memuat program prio-

ritas, program dan kegiatan lokal berskala

desa yang akan dibiayai sendiri oleh desa.

Sedangkan kabupaten/kota berkewajiban

memberikan informasi tentang program dan

prioritas kegiatan pembangunan daerah yang

akan dilaksanakan di desa. Untuk memudah-

kan desa dalam mengacu program-program

daerah, maka informasi perencanaan daerah

yang diberikan kepada desa dibuat lebih

sederhana, misalnya berupa ringkasan

RPJMD/RKPD. Hal ini dimaksudkan agar

RPJM Desa/RKP Desa dan RPJMD/RKPD

kabupaten/kota dapat terkonsolidasi dengan

baik.

Kedelapan, dalam perencanaan dan

pelaksanaan pembangunan berskala desa,

pemerintah supra desa (Kementerian/Lem-

baga Sektoral dan Dinas/SKPD) hadir dalam

rangka memberikan panduan (asistensi) dan

dukungan (fasilitasi), misalnya melalui

penyelenggaraan-penyelenggaraan pelatihan

atau bantuan teknis yang dibutuhkan desa.

Kesembilan, perlunya memperkuat musyawarah desa dengan melibatkan lebih banyak aktor dalam proses perencanaan desa. Semakin banyak aktor yang dilibatkan dalam proses perencanaan, maka hasilnya semakin legitimated. Selain melibatkan aktor-aktor yang merepresentasikan kelom-pok elite desa seperti pemerintah desa, BPD, tokoh agama/adat, musyawarah desa perlu melibatkan kelompok-kelompok kegiatan/ kepentingan tertentu seperti kelompok tani, kelompok rentan (warga miskin, perempuan,

Page 66: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat

60 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

dan penyandang disabilitas), serta organisasi masyarakat sipil yang ada di desa.

DAFTAR PUSTAKA Buku, Majalah, Media Cetak Astuti, Dwi. “Pedesaan: Potret Kemiskinan

yang Belum Usai” dalam Baskara T. Wardaya, dkk, 2007, Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Jakarta: ELSAM.

Eko,Sutoro, dkk., 2014, Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa.

Gunadi Brata,Aloysius. “Kehancuran Ekonomi Perdesaan, Mengapa Berlanjut?” dalam Baskara T. Wardaya, dkk, 2007, Menelusuri Akar Otoritaria-nisme di Indonesia, Jakarta: ELSAM.

Jaweng, Robert Endi. 2015, “Setahun UU Desa”, Harian Kompas 14 Februari, hal. 6

Kompas, 2015. “Untuk Kelancaran Dana Desa, Perkuat Struktur Kelembagaan Desa”, Harian Kompas Edisi Siang, 9 Juli 2015.

Lawang, Robert Z. 2006, “Anti Desa: Sebuah Telaah Sosiologis”, Teks Pidato Upacara Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Modern FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 16 November.

Schumacher, EF. 1979, Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil (diterjemahkan oleh S. Supomo dari Small Is Beautiful: A Study of Economics as If People Mattered), Jakarta: LP3ES.

Sudjatmiko, Budiman dan Zakaria,Yando. 2014, Desa Kuat, Indonesia Hebat!: Buku Pegangan bagi Aparat/ Perangkat Desa Seluruh Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia.

Tim Kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla,

2014, “Jalan Perubahan untuk

Indonesia yang Berdaulat, Mandiri,

dan Berkepribadian: Visi Misi dan

Program Aksi Joko Widodo-Jusuf

Kalla 2014”, Jakarta: Tim Kampa-

nye Jokowi-JK

White,Ben. “Di Antara Apologia Diskursus Kritis: Transisi Agraria dan Peliba-

tan Dunia Ilmiah di Indonesia” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (Peny.), 2006, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta-Singapore: Equinox Publi-shing.

Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang

Desa Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005

tentang Desa Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014

tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa

Peraturan Kementerian Desa No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa.

Wawancara Wawancara dengan Radian, Bagian Tata

Pemerintahan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 22 April 2015.

Wawancara dengan Agus Rizal, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Kabu-paten Bandung, 22 April 2015.

Wawancara dengan Teti, Badan Pember-dayaan Masyarakat dan Pemerin-tah Desa Kabupaten Sumedang, 22 April 2015.

Wawancara dengan Agus Rahmat, Sekretaris BPMPD Kabupaten Sukabumi, 23 April 2015.

Page 67: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 61

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan

The Village within the Framework of the Unitary State of the Republic of

Indonesia (NKRI): Looking at the Village from Regulations Perspective

Rico Hermawan

Peneliti pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Lembaga Administrasi Negara

Abstrak Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana masyarakat memiliki pemerintahannya sendiri. Secara jelas, dalam konstitusi pemerintah mengakui keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum asli Indonesia ini yang jenisnya kurang lebih mencapai 250 jenis. Pada awal Indonesia berdiri, melalui berbagai peraturan per-undang-undangan, pemerintah telah mengakui dan memberikan otonomi kepada desa untuk menyelenggara-kan pemerintahannya sendiri. Desa mengemban tugas sebagai agen pembangunan terkecilatau dengan kata lain pembangunan nasional dimulai dari desa. Akan tetapi, situasi berubah sejak orde baru berkuasa dan melakukan proses negaranisasi terhadap desa. Sentralisasi pemerintahan berimbas pada peran desa. Penyeragaman terhadap desa di seluruh Indonesia dilakukan atas nama stabilisasi politik. Pasca Orde Baru, peran dan fungsi desa mulai direposisi. Pemerintah mulai mengakui kembali esksistensi desa-desa adat. Desentralisasi dan demokratisasi menjadi isu krusial dalam upaya pembaharuan terhadap desa. Tulisan ini mencoba untuk melacak kebelakang upaya pelaksanaan otonomi desa di Indonesia. Apakah undang-undang tentang desa teranyar yaitu UU Nomor 6 tahun 2014 akan menjadi jalan keluar dari upaya melakukan pembaharuan terhadap desa dan otonomi desa itu sendiri. Kata kunci : Desa, Undang-Undang Desa, Otonomi Desa

Abstract The village (Desa) is an entity in which the community has its own government. Clearly, the constitution recognizes the existence of the units of the original Indonesian legal community is that kind reaches approximately 250 types. At the beginning of Sukarno’s government, through a variety of laws and regulations, the government has acknowledged and give autonomy to the village to hold its own government. The village carry out duties as agents of development, or in other words the national development started from the village. However, the situation changed since the Soeharto’s New Order ran and did the negaranization over the villages. Centralized administration impact on the role of the village. Uniformity of the villages in Indonesia carried out on behalf of political stabilization. Post new order, the role and function of the village began to be repositioned. The government began to acknowledge the existence of the desa adat. Decentralization and democratization become a crucial issue in the reform efforts of the village. This paper attempts to trace backward village autonomy implementation efforts in Indonesia. Are the laws about the latest village namely Law No. 6 of 2014 will be the way out of the reform efforts of the villagers and village autonomy itself. Keywords : The Village,Law Village, Village Autonomy

PENDAHULUAN

Sejak dahulu desa digambarkan sebagai ibu kandung suatu negara. Secara argumen sosiologis, nuansa-nuansa kehidupan yang ditampilkan di desa merupakan gambaran riil dari kehidupanmasyarakat suatu negara. Pencerminan sebagainegara yang beasaskan gotong royong dalam Pancasila merupakan cerminan perilaku dan modal sosialdari masyarakat desa, atau disebut dengan nama lain, di horizon Indonesia.

Sebagai entitas yang terlebih dahulu ada sebelum NKRI berdiri, Desa telah memiliki susunan asli atau asal usul yang tidak bisa diganggu gugat. Artinya, NKRI memiliki kewajiban untuk mengakui keberadaan merekabaik secara kontekstual maupun konstitusional.

Dalam perjalanannya, proses pengakuan ini mengalami pasang surut. Meski secara konstitusi pendiri bangsa secara istimewa memberi pengakuan keberadaan desa namun, selama puluhan tahun upaya rekog-nisi ini cenderung diabaikan. Rezim Orde

Page 68: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan

62 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Baru yang berkuasa selama tiga dasawarsa berhasil mengubah pandangan tentang desa, dari entitas yang nyata ada menjadi seolah-olah semu. Hal ini berimbas pada pola relasi negara dengan desa yang menjadi tidak jelas. Seolah-olah ia ada tapi cenderung terabaikan.

Dalam proses pembangunan, peran desa hanya diletakkan sebatas objek pembangun-an, yaitu tempat segala kebijakan pembangu-nan bermuara. Hal ini tidak terlepas dari pandangan minor terhadap desa sebagai kantung utama seluruh permasalahan negara yang seolah-olah menjadi beban bagi peme-rintah.

Padahal pandangan tersebut tidak terlepas dari proses pelemahan yang terstruktur. Rezim pembangunan (develop-mentalisme) yang mengedepankan industria-lisasi sebagai prioritas pembangunan masa depan, seolah “tidak memerlukan” Desa seba-gai agen. Permasalahan-permaslahan seperti kemiskinan di desa akan bisa teratasi dari efek rembes keuntungan-keuntungan yang diterima melalui jalur pembangunan top-down dan pelayanan publik. Tetapi, semua itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi justru adalah Desa mengalami proses pemiskinan akibat proyek negaranisasi masuk ke desa, yang membuat desa mengalami krisis multi-dimensi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal

di desa. Survei penduduk tahun 1980 menyebutkan sekitar 78 persen penduduk Indonesia tinggal di desa. Namun, situasi kian berubah. Populasi desa makin tergerus karena terjadi kesenjangan akibat ketidak-merataan pembangunan. Akibatnya, sektor inti desa seperti pertanian semakin mengala-mi kemunduran. Berdasarkan sensus pendu-duk tahun 2010, perbandingan jumlah penduduk desa dengan kota semakin berim-bang. Sekitar 50,2 persen penduduk Indone-sia ada di desa, dan 49,8 persen berada di kota (BPS, 2010). Apabila tren ini terus berla-njut, sangat mungkin jumlah penduduk desa ke depan akan semakin sedikit (lihat Gambar 1). Dan ini merupakan ancaman besar bagi keberlangsungan hidup suatu negara.

Pilihan meninggalkan desa menjadi pilihan yang dianggap rasional bagi pendu-duk desa karena desa semakin dilanda per-masalahan internal dan eksternal. Kehidupan ekonomi di desa dinilai sudah tidak menja-njikan. Desa terus-menerus mengalami pro-ses kapitalisasi baik berskala lokal maupun global. Proyek pembangunan-isme, negarani-sasi, modernisasi, dan kapitalisasi menyerbu desa yang membuat desa terus mengalami krisis ekonomi-politik. Tumbuh pesatnya pasar-pasar modern di desa menjadi salah satu contoh dari bagaimana desa mengalami proses ditundukkan secara struktural terse-but.

Gambar 1.

Komposisi Penduduk Pedesaan dan Perkotaan

Sumber : Kementerian Pertanian, 2013; Lembaga Demografi UI, 2012.

Page 69: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 63

Regulasi yang mengatur tentang desa sudah banyak diterbitkan oleh pemerintah. Namun sayangnya, silih bergantinya rezim ikut berimbas pada silih bergantinya pula cara pandang memperlakukan desa dari sebagaimana mestinya menjadi sebagaimana kehendaknya pemerintah.

Setidaknya dalam memahami soal Desa, seringkali kita dihadapkan pada petimbang-an-pertimbangan yang terkesan rumit, seper-ti kondisi asimetris daerah dan desa-desa di Indonesia. Apakah dengan jumlah dan karak-ter yang banyak dan beragam, apakah bisa pemerintahan terendah ini diatur dalam suatu regulasi perundang-undangan, seperti Undang-Undang Desa. kerumitan seperti ini yang kerap pada akhirnya menimbulkan distorsi di level elit hingga bawah.

Tulisan ini mencoba untuk mendiskusi-kan desa. Melihat bagaimana negara selama ini mendudukkan desa dalam sistem ketata-negaraan Indonesia sekaligus mencoba men-diskusikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang digadang-gadang sebagai petunjuk sekaligus jawaban melaku-kan pembaharuan terhadap desa. Dengan menggunakan perspektif kesejarahan serta membaca ulang peraturan perundang-unda-ngan tentang pemerintahan daerah dan desa, dijadikan sebagai bahan kajian dan alat anali-sis dalam tulisan ini.

PENGATURAN TENTANG DESA DI AWAL

KEMERDEKAAN

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indone-sia, keberadaan desa telah ada sebelum negara-bangsa bernama Indonesia dilahirkan pada 1945. Pada sidang BPUPKI 1945, Muhammad Yamin, seorang Minangkabau, dan Soepomo, seorang Jawa dan bergelar ahli hukum adat, mengusulkan agar volksgemeen-schappen (persekutuan-persekutuan masya-rakat pribumi) didudukkan sebagai daerah otonom yang bersifat istimewa, yang artinya menempatkan mereka sebagai komunitas mandiri. Mereka dianggap daerah yang memiliki susunan asli dan tidak dapat diperlakukan sama dengan daerah-daerah kesatuan teritorial lain yang tidak memiliki susunan asli (Zakaria, 2000 : 205). Gagasan tersebut akhirnya disetujui dan dituangkan dalam UUD 1945 -sebelum amandeman- pasal 18 yang mengatur pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil

dimana desa diatur sebagai “daerah kecil”. Daerah besar dan daerah kecil yang dmaksud dalam pasal tersebut adalah daerah otonom (Nurcholis, 2013: 405). Penjelasan Bab 18 UUD menjadi alat legitimasi bahwa negara mengakui keberadaan mereka sebagai entitas natuur :

“dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 ‘Zelfbestu-rende Landschappen’ dan ‘Volksgee-meenschappeu’ seperti Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susu-nan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersi-fat istimewa. Negara Republik Indonesia menghor-mati kedudukan daerah-daerah isti-mewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.”

Pada pemerintahan awal kemerdekaan, pembagian kekuasaan antara pusat, daerah, dan desa pada orde Sukarno sangat memper-hatikan kesesuaiannya dengan konstitusi. Ada empat undang-undang pemerintahan daerah yang memasukkan aturan tentang otonomi desa, yaitu, UU No. 22 tahun 1948, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965 dan UU No. 19 tahun 1965.

Pada UU Nomor 22 Tahun 1948, pemerin-tah membagi wilayah Negara Republik Indonesia ke dalam tiga tingkatan, yaitu : Propinsi, Kabupaten (Kota Besar), dan Desa (Kota Kecil). Pemerintah mengakui desa sebagai agen pembangunan untuk menegas-kan orientasi pembangunan negara dari bawah ke atas. Desa adalah daerah otonom terbawah yang diberikan hak kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tang-ganya sendiri, seperti digambarkan dalam bagian penjelasan tentang “titik berat dalam memberi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”:

“Menurut Undang-undang pokok ini, maka daerah otonom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu adalah sendi negara,

Page 70: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan

64 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala-segalanya, diperkuat dan didinamisir, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap kea-daannya). Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente-ordonnantie adalah tidak berarti apa-apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya didesa itu sudah tidak hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pulaatau sebaliknya adat yang hidup dimatikan, bertenta-ngan dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu. Desa tetap tinggal terbelakang, negara tidak ber-daya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah. Tetapi Pemerintah Republik kita mempunyai tujuan sebaliknya. Untuk memenuhi Pasal 33 UUD., negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemak-muran ini harus dimulai dari bawah, dari desa. Oleh karena itu desa harus dibikin didalam keadaan senantiasa bergerak maju, (dinamis). Maka, untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan didalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern), malah tidak se-begitu saja, tetapi juga akan diusul-kan supaya bimbingan terhadap daerah-daerah yang mendapat peme-rintahan menurut Undang-undang pokok ini lebih diutamakan diadakan didesa”.

Pengakuan dan pemberian hak otonomi kepada desa sebagai agen utama pembangu-nan tidak lain merupakan bentuk ikhtiar pemerintah terhadap amanat konstitusi. Agar tujuan negara dalam menciptakan kemakmu-ran tercapai, caranya adalah dengan memu-lainya dari desa. Desa harus senantiasa bergerak dinamis karena desa merupakan bentuk pemerintahan terkecil dan terdekat dengan rakyat.

Undang-undang No. 1 Tahun 1957 ten-tang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menjadi undang-undang otonomi daerah pertama sejak berlakunya sistem pemerin-

tahan semi-parlementer dan UUD Sementara (UUDS) 1950. Dalam UU ini, daerah otonom yang diatur oleh pemerintah hanya dua jenis, yaitu Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Mengenai pembentukan Daerah Tingkat III, pemerintah menilai bahwa pembentukannya harus dilakukan dengan hati-hati dikarena-kan desa merupakan batu sandar pembangu-nan sehingga harus dipersiapkan secara matang dan tidak serampangan, seperti dije-laskan dalam penjelasan UU tersebut :

“Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin-bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang ada.”

Dinamika pemerintahan pada pertengah-an 1950-an yang ditandai dengan pergulatan politik di parlemen dan daerah memaksa UU ini tidak berjalan hingga Presiden Sukarno pada 1959 mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD 1945 yang membuat UUDS 1950 dan Demokrasi semi-parlementer dibubarkan. Dengan demikian Desapraja (sebagai daerah Tingkat III) dan sebagai daerah otonom terbawah hingga UU No. 1 tahun 1957 belum dapat dilaksanakan.

Ketika Sukarno telah berkuasa penuh atas pemerintahan sejak 1959, pemerintahannya menerbitkan UU No. 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pengaturan tentang desa tetap menjadi bagian dalam UU ini dengan penekanan bahwa akan ada suatu undang-undang yang mengatur tentang Daerah Otonomi Tingkat III. Pada 1 Septem-ber 1965 terbitlah UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Republik Indo-nesia.

Pemerintah memberikan istilah baru un-tuk menyebut kesatuan masyarakat hukum ini yaitu Desapraja. Meski menggunakan sebutan baru, namun pemerintah tetap mengakui bentuk kesatuan masyarakat hukum asli Indonesia dengan segala aturan-aturan (adat) yang berlaku. Di UU ini keberadaan desapraja bukanlah sebagai ben-tuk terakhir dari hirarkis otonomi daerah, namun suatu saat semua Desapraja harus di-tingkatkan menjadi Daerah Otonomi tingkat III seperti yang telah diamanatkan dan dije-laskan dalam UU No. 18 tahun 1965 dimana

Page 71: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 65

Daerah Otonomi tingkat III adalah Kecama-tan dan/atau Kotapraja.

Sama halnya dengan UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 19 tahun 1965 tidak bisa ber-jalan efektif. Tepat satu bulan setelah diter-bitkan, pemerintahan Sukarno diterpa badai politik yang dimulai dari peristiwa G30S yang berdampak pada jatuhnya kekuasaan Sukar-no. UU ini tidak sempat dilaksanakan di selu-ruh daerah. Namun, anehnya, UU No. 19 Tahun 1965 sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui ins-truksi Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 1966 (Kemendagri, Naskah Akademik 2013 : 47). Dengan demikian, apa yang dinamakan sebagai Desapraja dan Daerah Otonomi Tingkat III praktis tidak terwujud dan dengan itu pengaturan desa kembali berdasarkan IGO 1906 dan IGOB 1938 zaman Belanda.

Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pertama republik sebenarnya telah meletak-kan fondasi kuat untuk mendudukan desa sebagai daerah otonom. Akan tetapi, dinami-ka politik yang terjadi membuat efektivitas aturan itu tidak berjalan sesuai harapan.

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1979:

NEGARANISASI DESA ALA ORDE BARU

Namun, pengakuan terhadap otonomi desa hanya bertahan sampai ketika rezim orde baru melakukan pelanggaran konstitusi melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Rezim orde baru yang mengedepankan sen-tralisasi, atau meminjam istilah Mas’oed (1989) sebagai pemerintahan “otoritarianis-me-birokratik”, menutup keran otonomi ter-hadap desa. Terlihat kesan orde baru begitu anti terhadap konsep otonomi yang seluas-luasnya seperti yang telah dilakukan sebe-lumya melalui UU No. 5 Tahun 1974. Orde baru mencoba melakukan penyeragaman seluruh desa di Indonesia yang menyebabkan hilangnya eksistensi desa-desa adat. Seperti yang tertuang dalam pasal 1 UU tersebut, bahwa desa adalah,

“suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan ru-mah tangganya sendiri dalam ikatan

Negara Kesatuan Republik Indone-sia”.

Melalui UU ini, pusat menjadikan desa sebagai perpanjangan (subordinat) pemerin-tahan terkecil. Konsep desa yang dibentuk adalah desa administratif yang berada di bawah kecamatan dalam hirarki pemerintah-an. UU ini menjadi instrumen untuk memper-kuat birokratisasi, otoritarianisme, sentrali-sasi, dan pembangunan yang berorientasi pada pembentukan pemerintah pusat di daerah-daerah (local state government). Menurut Eko (2005) secara menyolok UU ini mengedepankan korporatisasi politik untuk menciptakan stabilitas politik desa, memper-kuat birokratisasi dan kontrol politik untuk membuat loyalitas pemerintah desa, membu-ka ruang-ruang bagi penetrasi modal ke desa, serta membuang berbagai bantuan ke desa yang terkesan populis. Asas yang dibangun oleh rezim otoriter orde baru adalah asas uniformitas yang menghilangkan eksistensi desa-desa adat karena semua desa merupa-kan kepanjangan tangan pemerintah. Terda-pat beberapa bukti empirik yang meng-gambarkan desa mengalami krisis ekonomi-politik dari implementasi UU No. 5 Tahun 1979 itu diantaranya adalah:

Pertama, hilangnya kontrol desa terhadap tanah sehingga menghancurkan kedaulatan rakyat desa. Sebagian besar tanah dikuasai oleh negara. Negara seolah menjadi kompra-dor pemberi lisensi terhadap pemilik modal untuk menguasai tanah yang menyebabkan marjinalisasi terhadap rakyat desa. Kedua, hancurnya basis sosial otonomi desa. Peran pemimpin desa diganti menjadi bawahan camat dan bupati. Di luar Jawa, peran penghulu adat dipinggirkan oleh perangkat desa. Peraturan-peraturan adat digantikan dengan peraturan negara yang menghancur-kan pranata sosial. Ketiga, negaranisasi telah menciptakan kematian demokratisasi di tingkat desa. Desa dikelola secara sentralisasi dan otoriter. Kepala desa merupakan pengu-asa tunggal yang mengendalikan segala hajat hidup orang desa. Kepala desa bukanlah pemimpin masyarakat namun sebagai bagian birokratisasi negara. Kepala desa selalu tam-pil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi ia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan dipercaya. Keempat, kebijakan pemba-ngunan desa memang telah menyajikan se-

Page 72: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan

66 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

jumlah cerita sukses, namun di satu sisi justru membawa kerugian besar. Kemiskinan selalu menghantui masyarakat desa. Peme-rintah menjadikan kemiskinan tersebut seba-gai komoditas proyek. Atas nama pemba-ngunan dan pemberantasan kemiskinan pro-yek-proyek pemerintah masuk yang salah satu akibatnya adalah meminggirkan petani dari sawahnya. Harga produk-produk perta-nian rendah yang menyebabkan kemiskinan dan pengangguran merajalela di desa.

Kelima, berbagai program bantuan yang mengalir ke desa merupakan jebakan yang mematikan kemandirian desa. Gotong-royong yang selama ini menjadi modal sosial bagi masyarakat desa justru tergerus oleh ban-tuan-bantuan pembangunan pemerintah. Program bantuan tidak meningkatkan kapa-sitas dan kemandirian (otonomi) desa, tetapi justru menciptakan ketergantungan abadi desa terhadap bantuan pemerintah suprade-sa. Salah satu kasus yang mencolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan peme-rintah desa “menguangkan” gotong royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Keenam, serbuan kapitalisasi telah membuat keterbatasan sumberdaya lokal dan pemiskinan desa. Di bawah skenario pembangunanisme Orde Baru, eksploitasi sumberdaya lokal (desa) terjadi secara besar-besaran yang mengalir ke negara serta kota-kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Akibatnya desa dihadapkan pada kemiskinan struktural. Pergerakan ekonomi baru ditem-puh dengan cara-cara kapitalisasi desa yaitu dengan membuka selebar-lebarnya investasi yang ramah bagi pemilik modal. Elit desa dalam pengambilan keputusan cenderung meminimalkan proses demokrasi dengan berkolaborasi dengan elit lain. Ketujuh, ter-ciptanya relasi dengan model ketergantu-ngan baru desa terhadap sektor ekonomi kota, atau masyarakat lokal terhadap pasar. Terserapnya sumber daya desa akibat proses kapitalisasi membuat keuntungan produksi lari ke kota dan mobilitas warga desa semakin deras ke kota yang membuat desa menjadi tidak berkembang akibat semakin berkurangnya masyarakat produktif desa (Eko, 2005).

Setelah kejatuhan Orde Baru, sistem poli-tik Indonesia mengalami periode transisi. Seiring dengan gelombang demokrasi dan desentralisasi membuat desa mulai bangkit

dan menjanjikan harapan baru bagi desa sekaligus tantangan-tantangan baru baik dari domestik maupun global.

DESA PASCA ORDE BARU: PEMBAHARU-

AN DESA DAN UPAYA PEMERATAAN PEM-

BANGUNAN

Kejatuhan rezim otoriter Orde Baru menjadi langkah awal membangun kehidu-pan pemerintahan yang lebih adil dan demo-kratis. Undang-Undang Pemerintahan Dae-rah, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004, dan yang terbaru UU No. 23 tahun 2014 lahir sebagai jawaban atas kebutuhan tersebut. Demokrasi, Desentralisasi dan oto-nomi daerah menjadi jargon suci sekaligus sebuah antitesis dari pengelolaan pemerin-tahan yang sentralistis dan otoriter di masa lalu. Melalui desentralisasi, daerah menda-patkan kewenangan mengelola rumah tangga pemerintahannya sendiri secara mandiri, adil, dan demokratis.

Khusus bagi desa, semangat yang hendak dibangun dari undang-undang otonomi daerah adalah semangat kemandirian. Desa sudah saatnya diberikan kepercayaan untuk berdaya, mengambil keputusan, bahkan me-ngelola keuangan sendiri sesuai dengan asas subsidiaritas, lokalisasi pengambilan kepu-tusan dan penggunaan wewenang oleh struktur atau organisasi untuk kepentingan masyarakat desa. Mendorong desa untuk lebih mandiri sama saja mengurangi beban pemerintah.

Situasi pemerintah telah berubah sejak periode krisis ekonomi 1997/98, reformasi hingga era sustainabilitas ekonomi seperti sekarang ini. Hal ini membuat cara pandang pembangunan di daerah ikut berubah. Sentralisasi ditinggalkan. Desentralisasi dile-takkan sebagai pilihan, selain demi integritas nasional, membagi urusan ke daerah menjadi pilihan lebih rasional. Salah satu produk penting dari reformasi salah satunya adalah Ketetapan MPR (TAP MPR) No. XV/MPR/ 1998 yang menetapkan kewajiban pelak-sanaan penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, pemanfaatan sum-ber daya nasional yang berkeadilan serta (berkeadilan) dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI di-mana desa berada dalam entitas penting ter-sebut dalam pelaksanaan pembagunan nasi-onal Indonesia. UU Desa Nomor 6 tahun 2014

Page 73: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 67

lahir dari perjuangan para aktivis desa, kepa-la dan perangkat desa, hingga politisi di DPR selama kurang lebih 7 tahun.

a. UU No. 22 tahun 1999 : Melepaskan

Atribut-atribut Orde Baru

Pemerintahan reformasi terlihat jelas ingin melepaskan semua atribut-atribut yang berbau Orde Baru. UU No. 22/1999 lahir dengan semangat menghapus bayang-bayang sentralisasi pemerintahan yang selama ini hanya memperkaya pusat tetapi memiskin-kan daerah. Desentralisasi daerah dengan pemberian otonomi kepada daerah kemudian menjadi jawaban seperti yang dimaktubkan dalam UU tersebut.

Secercah harapan muncul dari UU 22 Tahun 1999 dimana dalam UU tersebut pemerintah mengakui kembali asal-usul desa di Indonesia (rekognisi) yang hilang selama periode Orde Baru, artinya UU ini menghapus uniformitas desa yang terkesan Jawaisme selama Orde Baru berkuasa. Dalam UU 22 Tahun 1999, definisi Desa diubah menjadi,

“kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasar-kan hak asal-usul yang bersifat isti-mewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Peme-rintahan Desa adalah keanekaraga-man, partisipasi, otonomi asli, demo-kratisasi, dan pemberdayaan masya-rakat.”

Permasalahan tentang penyeragaman desa sungguh menarik perhatian para penyu-sun UU No. 22 Tahun 1999 untuk segera mengganti dan mengubahnya menjadi rumu-san yang lebih demokratis. Akhirnya keputu-san untuk mengganti peraturan tentang desa itu tertuang pada Bagian Menimbang butir e :

“Bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyera-gamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”

Rumusan tentang desa diatas merupakan sebuah lompatan luar biasa. Dalam pengerti-an tersebut disebutkan kembali karakteristik alami desa-desa di Indonesia yang beraneka-ragam, menjunjung nilai-nilai leluhur (asal-usul), gotong royong, otonom, dan demokra-tis yang menjadi modal sosial dan mem-bentuk pranata sosial sebagai modal pelaksa-naan pembangunan dan pelayanan publik.

Poin penting lain dari UU No. 22 Tahun 1999 adalah tentang demokratisasi desa. Kepala Desa tidak lagi memiliki kekuasaan dominan, dimana sebelumnya, disamping menjadi kepala desa juga menjabat ketua Lembaga Musyawarah Desa sebagai lembaga legislatif desa. Dalam undang-undang terse-but disebutkan pula bahwa pertanggungja-waban kapala desa tidak lagi kepada bupati (melalui Camat), tetapi langsung kepada masyarakat desa yang terwakili dalam lem-baga perwakilan desa yaitu, Badan Perwakil-an Desa (BPD).

Pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) sendiri merupakan perwujudan dari demokratisasi desa. BPD lahir sebagai kritik terhadap Lembaga Musyawarah Desa (LMD) bentukan orde baru. Pada era orba, LMD merupakan lembaga pemerintahan yang sifatnya korporatis. Ketua LMD adalah kepala desa. Menurut UU No. 22/1999 anggota BPD dipilih dengan melibatkan masyarakat. Ber-beda dengan LMD yang anggotanya ditunjuk oleh lurah/kepala desa. Dalam UU ini telah ada pemisahan antara lembaga eksekutif dengan legislatif. Setidaknya terdapat tiga (3) domain kekuasaan yang dibagi oleh kepala desa dengan BPD, (1) pembuatan keputusan dalam bentuk peraturan desa (perdes) yang dikerjakan bersama-sama antara kepala desa dengan BPD, (2) pengelolaan keuangan yang melibatkan BPD seperti penyusunan APBDes dan pelelangan tanah kas desa, (3) rekruit-men perangkat desa yang dulu dikendalikan oleh lurah dan kecamatan, sekarang dikenda-likan oleh BPD. Fungsi pengawasan yang dila-kukan BPD pun telah lebih baik meskipun masih sebatas pada laporan pertanggungja-waban kepala desa (Eko, 2008).

Namun di sisi lain, tidak jarang keberada-an BPD justru menimbulkan masalah, teruta-ma terkait hubungan antara BPD dengan ke-pala desa. Dalam beberapa kondisi ada kepala desa yang sulit atau tidak mau berbagi kekuasaan dengan BPD, ada pula yang tidak

Page 74: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan

68 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

mau di kontrol oleh BPD, dan ada pula kepala desa yang berpandangan kekuasaan itu adalah “tunggal” (Abdul Rozak, dkk, 2004). Ada pula ketegangan antara keduanya ber-mula dari lemahnya pemahaman para ang-gota BPD terhadap tugas pokok dan fungsi-nya, sehingga BPD sering kali melanggar batas-batas kekuasaan yang ditetapkan oleh regulasi (Eko, 2003). Keberadaan BPD pun dalam tugasnya menyerap aspirasi masyara-kat terkadang juga perlu dipertanyakan kare-na kerap kali BPD bergerak dalam koridor kepentingan mereka dan elit lain.

Dari sisi keuangan, sumber pembiayaan pemerintahan desa berupa pendapatan desa, bantuan dari pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, atau sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa. Bantuan dari pemerintah kabupaten sendiri meliputi dana bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah kabupaten dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD). ADD merupakan perwujudan pemenuhan terhadap hak-hak desa yang diamanatkan dalam penyelengga-raan otonomi daerah dan otonomi desa. Fungsi ADD sebagai bentuk pemerataan pembangunan di desa dan untuk memenuhi pelayanan publik di desa. Meskipun demiki-an, pada beberapa kasus masih banyak daerah yang tidak serius melaksanakan peri-mbangan keuangan yang menyebabkan nasib pembangunan di desa terkatung-katung.

b. UU Nomor 32 Tahun 2004 : Resen-

tralisasi Orde Baru?

Antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 22 Tahun 1999 sebenarnya tidak memili-ki banyak perbedaan yang signifikan. Penga-turan tentang desa dalam UU ini, yang diper-jelas pelaksanaannya dalam Peraturan Peme-rintah No. 72 tahun 2005 sebagai bagian dari penguatan pelaksanaan otonomi daerah. Secara umum UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 1999 sama-sama telah membe-rikan pengakuan terhadap keberadaan desa-desa adat tradisional asli Indonesia. Pengaku-an terhadap desa adat berserta hak-hak tradisional juga terlihat dalam undang-undang yang mengatur otonomi khusus seperti di Aceh misalnya dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengakui keberadaan ”mukim” (berada

di antara kecamatan dan desa/gampong), yang selama orde baru mukim dihilangkan dari sistem hirarkis pemerintahan di Aceh (Naskah Akademik UU Desa Kemendagri, 2013: 77).

Namun demikian, beberapa akademisi mengkritisi pemberlakuan undang-undang ini sebagai bagian dari resentralisasi sistem pemerintahan rezim orde baru. UU No. 32 Ta-hun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 menga-ndung banyak kecacatan. Menurutnya, subs-tansi UU No. 32 Tahun 2004 menjauh dari UU No. 22 Tahun 1999 yang bersifat devolutif-li-beral, sebaliknya UU No. 32 Tahun 2004 ber-sifat sentralistik-otokratis-korporatis (Eko, 2008). Gejala resentralisasi ini terlihat pada pola hubungan pusat-daerah dan akuntabili-tas kepala daerah maupun kepala desa. UU No. 32 Tahun 2004 menghendaki penegasan hirarkis kekuasaan yang simetris dari pusat hingga desa/kelurahan. Artinya level di atas memiliki kontrol kekuasaan yang besar ter-hadap level di bawahnya. Pasal 200 pada undang-undang ini menyebutkan bahwa “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/ko-ta dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Permu-syawaratan Desa (BPD)”. Ini menandakan bahwa desa menjadi entitas bagian dari pe-merintah kabupaten. Padahal dalam konsep aslinya, kedudukan desa adalah berdiri oto-nom terpisah dari pemerintah. Pertanggung-jawaban yang diberikan oleh pemerintah desa bukan kepada level pemerintahan di atasnya, tetapi kepada rakyatnya. Peminda-han akuntabilitas itulah yang disebut sebagai upaya resentralisasi (Eko, 2008).

Bukti lain dari upaya tersebut adalah pengangkatan seorang sekretaris desa dari pegawai negeri sipil, yaitu PNS kecamatan yang ditugaskan di desa. Keberadaan sekre-taris desa di desa dari kalangan PNS menun-jukkan bentuk birokratisasi negara terhadap desa dengan meletakkan desa berada lang-sung di bawah camat. Dalam beberapa kondi-si, seringkali Sekdes mengerjakan wewenang yang seharusnya dilakukan kepala desa. Tu-gas-tugas kepala desa dikerjakan oleh Sek-des. Sehingga kemandirian desa menjadi hi-lang karena campur tangan kecamatan yang begitu besar. Bahkan dari segi pendapatan Sekdes yang berasal dari Negara sedangkan Kepala Desa hanya mendapatkan sebuah ta-nah bengkok, rentan menimbulkan kecembu-

Page 75: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 69

ruan sosial. Dari sisi keuangan desa, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 sebenarnya telah meletakkan dasar perimba-ngan keuangan untuk desa. Alokasi Dana Desa yang menjadi dana pembangunan ber-asal dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/ Kota untuk Desa paling sedikit 10 persen, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional. Artinya porsi keuangan yang diterima oleh desa dari dana perimbangan pusat telah ditentukan besarannya. Namun, dalam kenyataannya dana alokasi desa se-ringkali belum dilandasi komitmen besar dari pemerintah daerah. Masih banyak kabupaten atau kota yang tidak mengucurkan dananya untuk desa. Bahkan, untuk desa yang wila-yahnya jauh dari pusat pemerintahan, dana desa hampir tidak pernah menyentuh mere-ka.

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014:

UPAYA PEMBAHARUAN DESA?

Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2014 menjadi undang-undang kedua yang secara spesifik mengatur tentang desasejak terakhir UU No. 5 tahun 1979. UU Desa 2014 hadir membawa semangat baru pembaharuan de-sa. Undang-undang ini menjadi koreksi seka-ligus otokiritik terhadap peraturan perunda-ngan tentang desa selama ini yang terkesan tidak serius. Mengenai pembaharuan desa, pembaharuan yang dimakud adalah tidak ha-nya sekedar melakukan renovasi desa atau merekonstruksi desa yang sudah rusak. Pem-baharuan adalah proses transformasi sosial, atau perubahan yang sustain (berkelanjutan) yang direkayasa melalui perubahan paradig-ma, kebijakan publik, dan gerakan sosial dari masyarakat sipil (Eko 2008).

UU Desa 2014 berada pada koridor peme-rintah mengakui seluruh hak asal-usul desa beserta pranata tradisionalnya yang telah ada sejak dahulu. Artinya asas rekognisi tetap diakui oleh pemerintah terhadap beragam desa asli (adat) Indonesia. Disamping itu, de-sa juga diberikan kewenangan otonom untuk mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri (subsidiaritas). Kombinasi antara asas rekognisi dan subsidiaritas ini mengha-silkan definisi Desa yang baru (Eko, dkk : 2014) yaitu

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, sela-

njutnya disebut Desa, adalah kesatu-an masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pe-merintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa ma-syarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerin-tahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

UU ini menggunakan dua pendekatan pembangunan yaitu “desa membangun” dan “membangun desa”. UU Desa juga meletak-kan desa dalam sifatnya sebagai komunitas inklusif. Tidak bersifat eksklusif. Desa tidak boleh lagi menjadi tempat bermuaranya ke-pentingan-kepentingan elit yang menandai desa bukanlah milik segelintir elit lokal mau-pun elit desa. Sifatnya yang inklusif ini mem-berikan ruang kepada masyarakat desa untuk memikirkan nasib desanya sendiri bersama-sama (rembug). Perencanaan pembangunan dilakukan secara musyawarah dan tugas ke-pala desa adalah melaksanakan mandat mu-syawarah rakyat.

Untuk mendukung pembangunan dan pe-ngembangan kawasan pedesaan, pemerintah memperkuat dua poin aturan penting yang mengatur instrumen pembangunan tersebut yaitu mengenai Dana Alokasi Desa yang ber-sumber dari APBN dan Sumber Pendapatan Desa. Dana alokasi desa yang selama ini ke-rap tidak diindahkan oleh pemerintah kabu-paten/kota diatur dengan jelas bahwa alokasi dana desa paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana alokasi khusus (DAK). Dengan besaran tersebut, seti-ap desa di Indonesia bisa mendapatkan dana alokasi yang lebih besar. Harapannya, dengan dana yang lebih besar itu dapat mendukung program pengembangan kapasitas dan pem-bangunan di desa. Disamping itu, desa juga diberikan kesempatan untuk mengelola sum-ber-sumber pendapatan desa mandiri yang dapat berasal dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pengelolaan pasar desa, pengelo-laan kawasan wisata skala desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam, tambang ba-tuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber pendapatan lain yang tidak un-tuk dijualbelikan.

Di samping memperkuat basis ekonomi desa, UU Desa 2014 juga memberikan kesem-patan untuk penguatan demokrasi di desa.

Page 76: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan

70 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Berbeda dengan UU No.32 Tahun 2004, da-lam UU ini dijelaskan adanya pembagian ke-kuasaan antara kepala desa dan Badan Per-musyawaratan Desa (BPD) yang jelas. Kedua-nya memiliki kedudukan yang sama, yakni sebagai lembaga pemerintahan desa, dan fungsi yang berbeda, yaitu kepala desa seba-gai lembaga eksekutif, sedangkan BPD seba-gai lembaga legislatif. Pembagian tugas kepa-la desa dan BPD, antara lain :

1. Kepala Desa dan BPD membahas dan menyepakati bersama peraturan de-sa (Pasal 1 angka 7)

2. Kepala Desa dan BPD memprakarsai perubahan status desa menjadi kelu-rahan melalui musyawarah desa (Pa-sal 11 ayat (1))

3. Kepala desa memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan se-cara tertulis kepada BPD (Pasal 27 huruf c)

4. BPD memberitahukan kepada Kepa-la Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara ter-tulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir (Pasal 32 ayat (1))

5. Kepala Desa mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan memusyawarahkannya bersama BPD (Pasal 73 ayat (2))

6. Kepala Desa dan BPD membahas bersama pengelolaan kekayaan mi-lik desa (Pasal 77 ayat (3))

Mengenai keanggotaan BPD, UU Desa me-ngisyaratkan pemilihan anggota BPD yang lebih demokratis. Jika pada UU No. 32 Tahun 2004 keanggotaan BPD terdiri dari Ketua Ru-kun Warga (RW), Pemangku Adat, Golongan Profesi, Pemangku Agama, dan tokoh masya-rakat, dan ikut campurnya kecamatan dalam penentuan anggota, memberikan kepala desa kekuasaan yang dominan, dikarenakan po-tensi keberadaan anggota BPD yang merang-kap sebagai bawahan kepala desa sehingga menyulitkan fungsi kontrol terhadap kepala desa. Sedangkan dalam UU Desa 2014, keang-gotaan BPD dilakukan secara demokratis dengan diberikan keleluasaan pemilihan me-nggunakan cara-cara yang dianut dan diakui oleh masing-masing desa.

Di samping itu, sekretaris desa yang sela-ma berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 bera-sal dari kalangan PNS, yaitu orang kecamatan

yang ditempatkan di desa, dihapuskan. Me-nempatkan PNS dalam struktur organisasi pemerintah desa sebenarnya tidak mengan-dung tujuan jelas. Meski, keberadaannya di-maksudkan untuk menjembatani hubungan antara desa dengan pemerintah, namun keberadaannya justru malah menimbulkan polemik. Jabatan sebagai PNS sangat berpo-tensi menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan perangkat desa. Hal ini sangat berdampak pada efektivitas jalannya peme-rintahan desa. Dalam UU Desa 2014 ditegas-kan posisi sekretaris desa bukan dari kala-ngan PNS. Hal ini membuat posisi desa men-jadi lebih otonom dan menghilangkan upaya birokratisasi negara.

Ambivalensi dan Resistensi : Kasus Suma-

tera Barat

Namun, upaya ini bisa saja redup pasal-nya dalam undang-undang tersebut juga me-ngandung pasal-pasal yang cukup bisa diper-tanyakan keseriusannya dalam membentuk pemerintahan desa yang mandiri, seperti pa-da pasal 26 ayat 3 poin a disebutkan bahwa, Kepala desa dalam melaksanakan tugasnya memiliki hak mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa. Kata “meng-usulkan” menimbulkan ambivalensi yang berkepanjangan jika tidak diperjelas pemak-naannya. Kata ini bisa saja mereduksi tujuan utama dari undang-undang yaitu membentuk pemerintahan desa mandiri. Jika seorang ke-pala desa hanya memiliki hak untuk meng-usulkan struktur organisasi dimana hak un-tuk memutuskan struktur tersebut berada di tingkat kabupaten, maka bisa saja usulan struktur yang telah dibentuk dan disesuaikan dengan kondisi riil kebutuhan desa dianulir atas nama “kemudahan koordinasi” antara kabupaten/kecamatan dengan desa, seperti aturan sebelumnya dimana struktur organi-sasi di desa (urusan) disesuaikan dengan sek-si-seksi yang ada di kecamatan. Apalagi da-lam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang peraturan pelaksanaan UU De-sa pada pasal 62 ayat 2 juga telah menentu-kan komposisi sekretariat desa dibatasi pa-ling banyak hanya tiga bidang urusan. Arti-nya, keleluasaan yang diberikan kepada desa sebenarnya begitu sedikit. Hal ini memancing kecurigaan untuk menjaga hegemoni negara di desa yang sangat mungkin bisa mengham-bat proses transisi pola pikir (mindset) ma-syarakat desa.

Page 77: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 71

Selain itu, pengakuan terhadap eksistensi desa-desa adat juga menjadi concern utama dalam undang-undang ini. Meski pemerintah mengedepankan asas pengakuan terhadap desa-desa asli Indonesia, akan tetapi masih terdapat ketidakjelasan dalam tataran imple-mentasi. Terdapat kesan adanya penyamara-taan memahami desa-desa adat di seluruh Indonesia. Padahal tiap-tiap mereka memiliki karakteristik berbeda. Nagari di Minangka-bau sangat berbeda dengan Desa Adat di Bali, dan sebagainya. Hal ini yang kemudian menimbulkan resistensi dan reaksi terhadap ketidakjelasan UU ini memaknai dan mem-perlakukan eksistensi mereka. Di Minangka-bau, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minang-kabau (LKAAM) menunjukkan kekecewaan terhadap UU Desa ini. Menurut Ketua LKAAM Sumatera Barat, Datuk Sayuti, konsep desa tidak cocok diaplikasikan di Sumbar. Karena sejak berabad-abad lalu Sumbar mengguna-kan konsep Nagari, yang menghimpun ma-syarakat hukum adat berdasarkan filosofi ‘Adat Basandi Syara’, ‘Syara Basandi Kitabul-lah’ (ABS-SBK). “Ia meminta pemerintah pu-sat untuk tidak memaksakan konsep desa yang dipakai oleh Jawa, Madura dan Bali, ter-hadap Sumbar. Kalau tetap dipaksakan, pe-merintah pusat berarti telah mengangkangi UUD 1945 yang menghargai keragaman, dan telah mengobrak-abrik keutuhan NKRI” (Wa-wancara dengan Sayuti, 2 September 2015 di Padang).

Pertanyaan menarik menyangkut hal ter-sebut adalah apa alasan sebenarnya dari pe-merintah menggunakan kata “Desa” sebagai judul Undang-Undang nomor 6 tersebut. Hal ini yang menjadi pertanyaan besar bagi Sayuti dalam wawancaranya dengan penulis (2 September 2015). Sebelumnya, menurut pengakuannya, LKAAM telah mencoba untuk menemui dan memberikan usulan kepada Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang notabene Putra asli Minangkabau. Akan teta-pi pertemuan itu tidak pernah terjadi karena sikap menghindar dari Mendagri, kata Sayuti. LKAAM mengajukan tawaran kepada Kemen-dagri untuk tidak menggunakan nama “Desa” dalam judul UU, tetapi mengajukan istilah “Undang-Undang Pemerintahan Terendah” yang dianggapnya akan lebih mengakomoda-si kebhinekaan desa-desa di Indonesia (Wa-wancara, 2 September 2015).

Selama ini pemahaman publik terhadap desa adalah seperti desa yang ada di Jawa. Padahal secara argumen filosofis dan sosio-logis, desa-desa di Jawa (Madura dan Bali) berbeda dengan “desa-desa” di luar Jawa. Di Jawa (Madura dan Bali) pengaruh peningga-lan hindu dan islam begitu kental mempenga-ruhi corak sosiologis desa di Jawa yang ken-tal nuansa feodal yang oleh Schrieke (1960) dibahasakan sabagai konsekuensi dari buda-ya masyarakat pertanian. Kerukunan dan ke-patuhan penduduk desa menjadi ikatan dan modal sosial desa, sedangkan kehidupan eko-nomi pada tingkat di atas desa yang meme-nuhi kebutuhan raja dan bangsawan didasar-kan atas pungutan barang dan jasa yang dina-mai ikatan feodal yang menjadi corak ikatan tradisional masyarakat desa. Ikatan tradisio-nal inilah yang meresap ke sendi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat desa (Burger, 1962) atau menurut Wertheim, hubungan-hubungan patrimonial dalam masyarakat pedesaan Jawa (dalam Breman, 1980). Sedangkan di luar Jawa, sebagai contoh Naga-ri di Sumatera Barat. Nagari adalah bentuk desa asli masyarakat Minangkabau. Nagari berfungsi sebagai organisasi sosial dan poli-tik tertinggi, sekaligus unit pemerintahan utama. Pada dasarnya nagari merupakan “re-publik otonom” yang memiliki wilayah geo-grafis sendiri dan pemerintahan sendiri. Se-cara simbolis nagari-nagari melekatkan diri ke dalam suatu federasi yang bersifat longgar yang disebut luhak (Abdullah, 1984: 108). Luas wilayah suatu nagari dapat berukuran sama dengan luas sebuah kabupaten dengan jumlah penduduk dapat mencapai 50 ribu ji-wa. Nagari dan desa di Jawa tidak hanya ber-beda dalam ukuran luas dan struktur admi-nistratif, tetapi juga dalam hal filosofi kebera-daannya (Naim, 1990 dalam Beckmann dan Beckmann, 2007). Dalam Nagari berlaku sis-tem sosial-politik yang egaliter-demokratis. Tanah sebagai faktor produksi terpenting da-lam adat minangkabau bukanlah kepemilikan raja, sebagaimana dalam sistem feodalisme di wilayah lain. Kepemilikan tanah dimiliki ber-sama oleh masyarakat desa. Karena kepemi-likan bersama tanah desa ini, maka, hasrat tiap orang untuk menggunakan tanah ini ha-rus melalui persetujuan bersama kaumnya (Latif, 2011: 387). Semua yang menyangkut kepentingan umum diputuskan secara mufa-kat, seperti disebut dalam pepatah minang-kabau: Bulek aei dek pambuluah, bulek kato

Page 78: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan

72 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

dek mufakat (bulat air karena pembuluh, bu-lat kata karena mufakat).

Jumlah nagari di Sumatera Barat yang hanya berjumlah 880 –hampir sama dengan jumlah desa di satu kabupaten di Kabupaten Aceh Utara yang mencapai 852 desa– ikut berpengaruh terhadap jumlah dana desa yang akan diterima oleh Sumatra Barat. Hal ini ternyata menimbulkan resistensi lebih tajam di tingkat aras bawah karena “iming-iming” dana desa yang besar sejak UU diter-bitkan menjadi alasan untuk meneriakkan keseteraan penerimaan dana desa. Saat desa dibawah peraturan UU No. 5 Tahun 1979, jumlah desa yang ada di Sumatera Barat ber-dasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 1977 tentang Peneta-pan Jumlah Desa di Seluruh Indonesia men-capai 3.516. Jumlah yang sangat banyak ini tidak terlepas dari pilihan Pemerintah Dae-rah Tingkat I Sumatera Barat yang menghen-daki Jorong, yang berada di bawah Nagari, dinaikkan statusnya menjadi Desa sesuai UU No. 5 tahun 1979. Jumlah ini kemudian mengalami penyusutan seiring pilihan untuk “kembali ke Nagari” setelah rezim Orde Baru runtuh, yang membuat eksistensi Nagari kembali bangkit dan Jorong-Jorong banyak melakukan penyatuan dan kembali berada di bawah Nagari. Akan tetapi, lahirnya UU Desa 2014 ini disambut dengan seruan untuk melakukan pemekaran besar-besaran. Kini pilihan untuk memekarkan Jorong-Jorong dan menaikkan statusnya menjadi Nagari/ Desa bermunculan di Sumatera Barat, seperti yang terjadi di Kabupaten Solok (wawancara dengan Kepala Bagian Pemerintahan Nagari, Kabupaten Solok, 2 September 2015). Masa-lah jumlah Jorong yang banyak ini ditambah dengan problem jumlah penduduk yang ter-hitung cukup besar untuk ukuran sebuah de-sa di beberapa Nagari di Sumatera Barat. Se-buah Nagari di Kabupaten Pasaman bernama Nagari Aia Bangih jumlah penduduknya men-capai 62 ribu jiwa. Untuk ukuran sebuah de-sa, jumlah ini tentu sangat besar. Maka dari itu, desakan untuk melakukan pemekaran cu-kup kuat menguat di beberapa nagari di Su-matera Barat.

Terlepas dari persoalan ambivalensi regu-lasi dan resistensi yang muncul, lahirnya UU Desa telah memberikan keyakinan tentang tercapainya sebuah transformasi desa yang berkeadilan, mandiri dan berbudaya. Jenis

desa asli Indonesia jika mengacu pada penje-lasan UUD 1945 mencapai 250 jenisnya. Dengan jumlahnya yang begitu banyak ini, otomatis karakteristik desa secara sosiologis dan filosofis sangatlah beragam. Pemerintah perlu untuk mengakomodasi keberadaan me-reka dalam aturan kelembagaan yang secara khusus mengatur tentang desa-desa adat In-donesia. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka, memi-nimalisir konflik dan disintegrasi, serta men-jaga kearifan lokal khas Indonesia.

PENUTUP

a. Rekomendasi

Konsep pembaharuan desa muncul seba-gai bentuk keprihatinan terhadap ketimpang-an pembangunan yang terjadi selama ini an-tara pusat dan daerah, atau antara kota dan desa. Orientasi pembangunan yang bias desa menjadikan desa terus tergerus pada mo-dernitas absurd yang tidak disadari oleh para pemangku kepentingan sebagai bentuk peng-hancuran terhadap kehidupan negara secara perlahan. Semua ini tidak terlepas dari posisi desa sebagai “saka bumi” kehidupan suatu negara, titik tolak pembangunan.

Bagaimana sebenarnya kita meletakkan konsep pembaharuan desa dalam konteks UU Desa 2014 sekarang? Pembaharuan desa se-mestinya diletakkan sebagai usaha “perjua-ngan kelas”, yaitu kelas masyarakat desa, ke-las masyarakat petani, untuk membawa mo-dernitas abad dua puluh satu ke desa-desa di seluruh Indonesia. Kita tidak bisa menafikan bahwa sisi-sisi tradisional desa selama ini se-perti menjadi faktor penghambat pemba-ngunan desa. Akan tetapi, kita juga tidak bisa meminggirkan faktor struktural yang telah menjadikan desa terpinggirkan sebagai enti-tas pemerintahan rakyat. Dengan kata lain, negara menjadi pihak yang paling bertang-gung jawab terjadinya pelemahan tersebut.

Lahirnya UU Desa harus dijadikan sebagai usaha menempatkan konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) sebagai basis utama pemba-ngunan desa. Rakyat harus bergerak mandiri untuk membangun pemerintahannya, baik dalam tatanan sosial-politiknya, ekonomi, maupun kebudayaan.

Dari segi sosial-politik, UU ini memberi-kan kesempatan bagi masyarakat desa men-

Page 79: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 73

jalankan sebuah praktik politik yang lebih mengedepankan “swadaya politik masyara-kat”. Konsep ini diterjemahkan ke dalam praktik demokrasi partisipatoris yang aktif dimana masyarakat sejak masa persiapan pelaksanaan pilkades hingga penjaringan calon kades melakukannya secara swadaya. Sebagai contoh dalam pelaksanaan, masyara-kat dapat melakukan pengumpulan dana dari para kepala keluarga untuk membiayai pe-laksanaan pilkades. Kemudian, dalam penja-ringan kepala desa, masyarakat bisa menga-jukan calonnya sesuai dengan kemampuan kepemimpinannya dan tingkat kejujurannya selama ini di mata masyarakat desa. Mencon-toh apa yang dilakukan dalam adat Minang-kabau, dalam alam Minangkabau, setiap Na-gari terbagi ke dalam beberapa “partai kecil” yang mewakili beberapa golongan yaitu golo-ngan Niniak Mamak (perhimpunan datuk-da-tuk kepala suku); Bundo Kanduang (pemim-pin seluruh perempuan-perempuan dan anak cucunya dalam suatu kaum); Alim Ulama (pe-mimpin dalam urusan agama); Pemuda (perhimpunan orang-orang muda pada suatu kaum); Cerdik Pandai (perhimpunan orang-orang yang disebabkan karena ia memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta arif dan bijaksana). Dari kelima golongan ter-sebut, setiap golongan kemudian mengajukan salah satu orang sebagai calon Wali Nagari yang dianggapnya memiliki kemampuan se-bagai pemimpin, arif, dan bijaksana. Setelah itu dilakukan pemilihan secara demokratis (pemilihan langsung) dan mufakat untuk me-milih Wali Nagari (Sanggoeno Diradjo, 2015). Praktik seperti ini tentunya akan meminima-lisir munculnya elite-elite desa yang bisa dengan mudah menggunakan menguasai pa-nggung politik desa. Dengan demikian, diha-rapkan pemimpin yang lahir adalah pemim-pin yang sesuai kehendak masyarakat.

Dari segi ekonomi, tujuan utama dari lahirnya UU Desa adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Ada sebuah usaha reposisi peran desa yang coba dilakukan me-lalui UU ini. Tidak lagi menjadi objek pemba-ngunan semata namun, desa mesti berperan secara langsung sebagai agen pembangunan itu sendiri. Dalam UU Desa telah diatur seca-ra jelas mengenai beberapa hal yang terkait dalam bidang ekonomi seperti Keuangan De-sa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pe-mbangunan Kawasan Pedesaan, Badan Usaha Milik Desa, dan juga Kerjasama Antar Desa.

Beberapa langkah yang perlu dilakukan saat ini dalam usaha pembangunan desa ada-lah pertama, pentingnya pemahaman masya-rakat terhadap arti penting dan peran Desa ikut serta dalam pembangunan nasional. Jangan sampai apa yang telah diatur dengan jelas dalam UU ternyata tidak dipahami sebagai tugas dan kewenangan mereka ikut serta dalam pembangunan. Pengetahuan me-reka terhadap hal ini diharapkan mampu menggerakkan masyarakat desa untuk bersi-nergi, membangun soliditas dan kegotong-royongan. Tentu saja, kondisi ini juga mem-butuhkan peran serta pemerintah pusat dan daerah untuk memandu dan menata sumber-sumber daya di desa, membangun trust, serta menciptakan sinergitas pembangunan yang terencana dan berkeadilan.

Kedua, perlunya membangun hubungan emosional yang erat antara masyarakat dengan desanya. Selama ini, dimensi ini luput dari perhatian masyarakat desa. Tidak hanya masyarakat di itu sendiri, akan tetapi, juga bagi para kaum urban (perantau) yang telah lama meninggalkan desanya. Desa kerap menghadapi persoalan putusnya hubungan emosional dengan masyarakatnya yang telah pergi merantau ke kota. Menengok kasus di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat da-pat menjadi contoh, dimana Pemerintah Dae-rah Kabupaten Tanah Datar memiliki sebuah unit pemerintahan bernama Bagian Pemerin-tah Nagari dan Urusan Rantau. Dimana salah satu tugas fungsi unit ini salah satunya ada-lah mewadahi para perantau-perantau dari Kabupaten Tanah Datar untuk terlibat dalam pembangunan di Kabupaten Tanah Datar. Hubungan emosional terhadap Nagari-Nagari yang ditinggalkan itulah yang menjadikan permasalahan pembangunan di Sumatera Ba-rat tidak begitu nyata terlihat.

Ketiga, terpecahnya UU tentang Pemerin-tah Daerah, menjadi salah satunya UU Desa, membuat pembagian kewenangan dan uru-san serta pembagian kue keuntungan yang diterima Desa menjadi samar-samar. Perlu adanya regulasi yang mengatur secara jelas mengenai hak-hak apa saja yang bisa dipe-roleh desa untuk memperjelas posisi keoto-nomiannya. Sebagai contoh dalam hal penge-lolaan objek-objek pariwisata yang berada langsung di Desa, seperti apa pembagian keuntungan antara Desa dan daerah. Sehi-ngga keberadaan objek pariwisata tersebut

Page 80: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan

74 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

mampu membawa manfaat langsung masya-rakat desa dan berguna bagi sustainabilitas pembangunannya.

Keempat, meskipun telah ada aturan ten-tang dana desa, namun, dalam implementasi-nya diharapkan masyarakat dan pemerintah desa tidak memandang dana tersebut sebagai satu-satunya pemecah persoalan desa. Bagai-manapun sumber utama yang dimiliki oleh Desa adalah modal sosialnya seperti gotong royong dan musyawarah mufakat. Semua ini harus dimanfaatkan untuk mendorong kema-juan desa. Dana desa tidak lebih sebagai ins-trumen pelengkap dalam upaya pembangun-an Desa.

b. Kesimpulan

Dalam proses perjalanan bangsa Indone-sia, Desa adalah entitas negara yang telah la-ma diabaikan perannya dalam proses pemba-ngunan. Meskipun pemerintah berkali-kali mengatur posisi desa dalam regulasi perun-dangan, tetap saja Desa seperti mengalami proses penundukkan yang terstruktur.

Dampak dari pelemahan ini adalah mele-mahnya institusi modal sosial desa seperti gotong royong dan musyawarah desa. Rezim pembangunan yang tidak merata juga mem-buat penduduk desa bermigrasi meninggal-kan desa yang membuat desa kehilangan sumber daya produktifnya. Selain itu, gera-kan sosial desa semakin lemah karena ori-entasi pembangunan tidak berpusat pada masyarakat (people) tetapi pada pertumbuh-an (growth).

Dapat dikatakan, tugas berat menanti dalam proses pembaharuan dan pembangun-an kembali institusi desa. Desa telah terlanjur mengalami masalah begitu besar yang, itu berarti adalah masalah besar bangsa. Tren penduduk desa terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Proyeksi dalam dua pu-luh tahun ke depan menunjukkan komposisi penduduk Indonesia akan didominasi pendu-duk perkotaan. Artinya adalah, dalam skala nasional, hal ini akan berdampak pada pere-konomian Indonesia. Ancaman utama jelas datang dari ancaman pangan. Sebagai negara yang mengatasnamakan diri negara agraris, sektor pangan dihadapkan pada semakin menghilangnya penduduk petani. Terkesan adanya upaya menghilangkan desa (derurali-zation) dan petani (depeasantization) dalam

pembangunan. Sebagai core sector perekono-mian, pertanian adalah penopang utama bagi sektor-sektor ekonomi lainnya. Dari sektor pertanian muncul sektor-sektor pendukung (supporting sector) seperti: industri pengola-han, jasa, teknologi informasi. Andai sektor inti mengalami penurunan, maka sektor pen-dukung juga akan mengalami penurunan. Namun, berbeda apabila sektor pendukung yang mengalami penurunan, maka sektor inti masih bisa menopang perekonomian. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar adalah dengan memperkuat peran dan fungsi desa atau dengan kata lain pembangunan nasional harus dimulai dari desa.

Undang-undang Desa No. 6 tahun 2014 lahir sebagai usaha penyempurnaan tujuan diadakannya pembaharuan desa. Semangat yang coba dihembuskan undang-undang ini adalah semangat “Desa Membangun” dan “Membangun Desa”. Desa Membangun yaitu menempatkan desa sebagai subjek pemba-ngunan, yaitu desa merencanakan, melaksa-nakan, dan menerima manfaat pembangun-an. Sedangkan Membangun Desa yaitu peme-rintah melibatkan masyarakat desa dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Artinya adalah bahwa diharap-kan adanya sinergitas antara Desa dengan Negara dalam proses pembangunan.

Harapan saat ini adalah dengan pemberi-an kewenangan kepada desa untuk mandiri, desa dapat menyukseskan pelaksananaan de-sentralisasi daerah sebagai bagian dari agen pembangunan dan pelayanan publik yang le-bih prima. Dengan desa menjadi maju maka eksistensi desa dalam kerangka NKRI akan tetap terjaga dan dengan itu pemerataan eko-nomi menjadi sebuah keniscayaan karena ke-miskinan pedesaan yang selama ini menjadi sebuah beban bagi pemerintah dapat berku-rang.

DAFTAR PUSTAKA Buku Abdullah, Taufik. 1984. “Studi tentang

Minangkabau”, dalam Ahmad Ibra-him (ed.). Minangkabau Minang-rantau. Medan: Penerbit Madju.

Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk Indonesia 2010.

Breman, Jan. 1980. The Village on Java and The Early Colonial State. Rotter-dam: CASP.

Page 81: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 75

Burger, D.H. 1962. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia (3rd Edition). Jakarta : Pradnjaramita.

Diradjo, Ibrahim Dt. Sanggoeno. 2015. Tambo Alam Minangkabau : Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Mi-nang. Bukittinggi: Kristal Multime-dia.

Eko, Sutoro (ed). 2005. Prakarsa Desentra-lisasi & Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE PRESS

Eko, Sutoro. 2008. Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Otonomi Desa. IRE’s Insight Working Paper/Eko/II/Februari. Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta.

Eko, Sutoro. Jalan Panjang Pembaharuan Desa (Pengantar : Epilog) dalam Kusmanto, Heri, dkk. 2007. Desa Tertekan Kekuasaan. Medan: BITRA Indonesia.

Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984. Desa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisi-tas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pusta-ka Utama.

Mas'oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struk-tur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES.

Nurcholis, Hanif. 2013. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa dalam Jurnal Desentralisasi, Vol. 11, No. 2, hal. 401-417.

Schrieke, B. 1960. Indonesian Sosiological Studies.:The Position Of The Regents From The Days Of the Dutch East India Company To The Constitutio-

nal Regulation of 1854. Bandung : Sumur Bandung.

Von Benda-Beckmann. 2007. Franz dan Von Benda-Beckmann, Keebet. Identi-tas-Identitas Ambivalen: Desentrali-sasi dan Komunitas-Komunitas Poli-tik Minangkabau, dalam Politik Lokal di Indonesia. Editor Henk S. Nordholt dan Gary van Klinken. Ja-karta : Yayasan Obor Indonesia.

Zakaria, R. Yando. 2000. Abih Tandeh: Masya-rakat Desa di Bawah Rejim Orde Ba-ru. Jakarta : Elsam.

Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014

tentang Desa. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005

tentang Desa. Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001

tentang Pedoman Umum Pengatu-ran Mengenai Desa.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah-an Daerah

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 ten-tang Penetapan Aturan-Aturan Po-kok Mengenai Pemerintahan Sen-diri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ten-tang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ten-tang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 ten-tang Pemerintahan Desa.

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 ten-tang Desa.

Page 82: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

76 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Menilik Potensi Disharmoni

dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Sabilla Ramadhiani Firdaus Staf pada Bagian Hukum dan Organisasi

Lembaga Administrasi Negara

LATAR BELAKANG

Sejarah pengaturan mengenai desa yang tersusun dalam hukum formil sudah ada se-menjak republik ini baru seumur jagung. Mu-lai dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ten-tang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Un-dang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mem-percepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Un-dang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Un-dang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Dae-rah, dan terakhir dengan Undang-Undang No-mor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam pelaksanaannya, pengaturan me-ngenai desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyara-kat desa. Padahal hingga saat ini, Indonesia mempunyai sedikitnya 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa dan sekitar 8.000 (delapan ri-bu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan penga-turan desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan za-man, terutama antara lain menyangkut kedu-dukan masyarakat hukum adat, demokratisa-si di ranah desa, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan yang selama ini menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat menggang-gu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indo-nesia.1

1 Dalam Penjelasam Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Setelah Rancangan Undang-Undang Desa disahkan pada Januari 2014, lahir peraturan mengenai desa yang membawa semangat pembaharuan dalam menjawab permasalah-an-permasalahan yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa). Namun dalam pelaksanaannya, muncul permasalahan ke-wenangan untuk mengurus desa yang sesuai dengan amanah UU Desa tersebut. Saat ini ada lebih dari satu kementerian yang menya-takan diri mempunyai kewenangan dalam mengurus desa, baik dalam hal merumuskan kebijakan maupun terkait dengan kewenang-an untuk melakukan pengawalan implemen-tasi UU Desa yang menjadi harapan besar un-tuk pembangunan dan pengembangan desa.

RUMUSAN PERMASALAHAN

a. Bagaimana pengaturan mengenai batas-batas kewenangan antar kementerian mengenai desa jika dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 6 Ta-hun 2014 dan peraturan turunannya (Pe-raturan Presiden hingga pada peraturan pelaksananya)?

b. Hal apa saja yang di diamanatkan Un-dang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ten-tang Desa dalam berbagai bentuk pera-turan turunannya? Apakah berbagai ben-tuk peraturan turunan yang ada seka-rang sudah mencerminkan semangat dan amanat UU Desa?

c. Adakah atau sejauh manakah potensi dis-harmoni dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud di atas?

PEMBAHASAN

Penggunaan istilah “Menteri” dalam UU Desa merujuk pada 2 (dua) institusi yang berbeda. Pasal 1 UU Desa menyebutkan bah-wa Menteri yang dimaksud di sana adalah menteri yang menangani Desa. Sedangkan di dalam penjelasan umum penjelasan menge-nai istilah Menteri adalah :

Page 83: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 77

Menteri yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedudu-kan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasi-litasi mengenai penyelenggaraan pemerinta-han Desa, pelaksana-an Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakat-an Desa, dan pem-berdayaan masyarakat Desa.

Lalu, dalam penjelasan Pasal 112 (Ayat 1 dan 3) pun disebutkan yang dimaksud peme-rintah saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Sementara itu, berdasarkan nomenklaturnya maupun visi-misi yang dibangun, Kementeri-an Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi diharapkan dapat menja-

lankan amanat serta pengawalan UU Desa. Hanya saja, pada saat lahirnya UU Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi belum dibentuk sehingga penyebutan “Menteri” dalam UU Desa masih mengacu pada Menteri Dalam Negeri. Dalam perkembangannya, “Menteri” yang menangani desa mulai disebutkan secara jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2015 tentang Peruba-han atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang Desa, yang juga mengalami peruba-han antar kedua peraturan tersebut, sebagai-mana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Dasar Hukum Konteks Penggunaan Istilah Menteri

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Menteri adalah menteri yang menangani Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Menghapus istilah menteri sebagaimana dimak-sud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 dan langsung menyebutkan men-teri mana yang memiliki wewenang untuk me-nyusun ketentuan-ketentuan yang diamanah-kan untuk dibentuk, antara lain sebagai berikut:

1. Tata cara pengubahan status Desa menjadi Desa adat diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerinta-han di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 28 Ayat 2)

2. Penataan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 32)

3. Penetapan kewenangan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyele-nggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 39 Ayat 1)

4. Pemilihan Kepala Desa diatur dengan pera-turan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerin-tahan dalam negeri (Pasal 46)

5. Sekretariat Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan da-lam negeri (Pasal 62 ayat 3)

6. Pelaksana teknis sebagai pelaksana tugas operasional diatur dengan peraturan men-teri yang menyelenggarakan urusan peme-rintahan di bidang pemerintahan dalam ne-

Page 84: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

78 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Dasar Hukum Konteks Penggunaan Istilah Menteri

geri (Pasal 64 Ayat 3)

7. Ketentuan mengenai Kepala Desa dan Pe-rangkat Desa diatur dalam peraturan men-teri yang menyelenggarakan urusan peme-rintahan di bidang pemerintahan dalam ne-geri (Pasal 70)

8. Pakaian dinas dan atribut Kepala Desa dan Perangkat Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan da-lam negeri (Pasal 71 Ayat 2)

9. Tahapan, tata cara, dan mekanisme penye-lenggaraan musyawarah Desa diatur dengan peraturan menteri yang menye-lenggarakan urusan pemerintahan di bi-dang pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan da-lam negeri (Pasal 80 Ayat 5)

10. Pedoman teknis mengenai peraturan di Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerinta-han di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 89)

11. Pengalokasian ADD dan pembagian ADD kepada setiap Desa diatur dengan pera-turan bupati/ walikota (Pasal 96 Ayat 4)

12. Tata cara penundaan dan/atau pemotong-an dana perimbangan diatur dengan pera-turan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan yang ditetapkan setelah dikoordinasikan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerin-tahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, pembangun-an kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 96 Ayat 8)

13. Ketentuan mengenai hasil pengelolaan ta-nah bengkok atau sebutan lain diatur dengan peraturan bupati/walikota (Pasal 100 Ayat 4)

14. Pengelolaan kekayaan milik Desa diatur dengan peraturan Desa dengan berpedo-man pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

Page 85: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 79

Dasar Hukum Konteks Penggunaan Istilah Menteri

di bidang pemerintahan dalam negeri (Pa-sal 110 Ayat 2)

15. Pengelolaan kekayaan milik Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyele-nggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 113)

16. Tata cara pendirian, pengurusan dan pe-ngelolaan, serta pembubaran BUM Desa dan BUM Desa Bersama diatur dengan pe-raturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangu-nan desa, pembangunan kawasan perdesa-an, dan pemberdayaan masyarakat Desa berkoordinasi dengan menteri yang me-nyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 142)

17. Tata cara kerja sama Desa di bidang Peme-rintahan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan da-lam negeri (Pasal 149)

18. Lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyele-nggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 153)

Tabel 1. Konteks penggunaan istilah Menteri.

Pembagian kewenangan mengenai desa

yang menuai polemik baik di masyarakat hi-ngga kalangan pemerintahan, memicu terbit-nya Peraturan Presiden untuk membedakan dan menjelaskan secara rinci batas-batas kewenangan yang masing-masing tertuang dalam Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Ta-hun 2015 tentang Kementerian Desa, Pemba-ngunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI TERKAIT DESA

Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri mengatur tentang kewenangan, tugas, dan fungsi Kementerian Dalam Negeri terkait penyelenggaraan peme-rintahan Desa sebagaimana disebutkan da-lam Pasal 2 dan 3 berikut:

Pasal 2

Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang peme-rintahan dalam negeri untuk membantu Pre-siden dalam menyelenggarakan pemerintah-an negara.

Pasal 3

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana di-maksud dalam Pasal 2, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik dan pemerin-tahan umum, otonomi daerah, pembi-naan administrasi kewilayahan, pembi-naan pemerintahan desa, pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah, pembinaan keuangan daerah,

Page 86: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

80 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

serta kependudukan dan pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembina-an, dan pemberian dukungan adminis-trasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;

c. pengelolaan barang milik/kekayaan ne-gara yang menjadi tanggung jawab Ke-menterian Dalam Negeri;

d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;

e. pelaksanaan bimbingan teknis dan su-pervisi atas pelaksanaan urusan Kemen-terian Dalam Negeri di daerah;

f. pengoordinasian, pembinaan dan penga-wasan umum, fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan per-undang-undangan;

g. pelaksanaan penelitian dan pengemba-ngan di bidang pemerintahan dalam ne-geri;

h. pelaksanaan pengembangan sumber da-ya manusia di bidang pemerintahan da-lam negeri;

i. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah; dan

j. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organi-sasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.

KEWENANGAN KEMENTERIAN DESA, PDT, DAN TRANSMIGRASI TERKAIT DESA

Perpres No. 12 Tahun 2015 tentang Ke-menterian Desa, PDT, dan Transmigrasi mengatur kewenangan, tugas, dan fungsi Ke-menterian Desa, PDT, dan Transmigrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintah-an di bidang pembangunan desa dan kawas-an perdesaan, pemberdayaan masyarakat de-sa, percepatan pembangunan daerah terting-gal, dan transmigrasi untuk membantu Presi-den dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 2 dan 3 berikut:

Pasal 2

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mempunyai tu-gas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal,

dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan ne-gara.

Pasal 3

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana di-maksud dalam Pasal 2, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trans-migrasi menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah tertentu, pembangunan daerah terting-gal, penyiapan, pembangunan permuki-man, dan pengembangan kawasan trans-migrasi;

b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembi-naan, dan pemberian dukungan adminis-trasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Desa, Pembang-unan Daerah Tertinggal, dan Transmigra-si;

c. pengelolaan barang milik/kekayaan ne-gara yang menjadi tanggung jawabnya;

d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Desa, Pembang-unan Daerah Tertinggal, dan Transmigra-si;

e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Keme-nterian Desa, Pembangunan Daerah Ter-tinggal, dan Transmigrasi;

f. pelaksanaan penelitian dan pengemba-ngan, pendidikan dan pelatihan, serta pengelolaan informasi di bidang pemba-ngunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, penge-mbangan daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi; dan

g. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organi-sasi di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Dari ketentuan dua Perpres di atas yang menjelaskan batas wewenang dan penjaba-ran tugas dan fungsi masing-masing kemen-terian, jelas terdapat pembedaan yang men-dasar namun tetap saling bersinggungan an-tar kementerian terkait. Kementerian Dalam Negeri mengurusi pemerintahan desa dengan batas-batas perumusan, penetapan, dan pe-

Page 87: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 81

laksanaan kebijakan di bidang politik dan pe-merintahan umum, otonomi daerah, pembi-naan administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa. Sedangkan wewenang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi lebih dititikbe-ratkan pada penyelenggaraan urusan peme-rintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyara-kat desa dengan melaksanakan fungsi peru-musan, penetapan, dan pelaksanaan kebijak-an di bidang pembangunan desa dan kawas-

an perdesaan, pemberdayaan masyarakat de-sa.

AMANAH PERATURAN PELAKSANA UU DESA

Terkait dengan pelaksanaan UU Desa, ter-dapat beberapa hal yang menjadi amanah un-tuk dibentuk peraturan lebih lanjut yaitu dengan Peraturan Pemerintah. Berikut ada-lah rincian ketentuan yang menjadi amanah agar dijabarkan dalam bentuk peraturan pe-laksanaanya:

No. Peraturan Pelaksana Keterangan

1. Tata Cara Pemilihan Kepala Desa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Peme-rintah (Pasal 31 Ayat 3)

Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai Tata Cara Pemilihan Kepala Desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelak-sanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 40-Pasal 46). PP ini menyebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peratu-ran menteri, yang saat ini diatur dalam Pera-turan Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa dan Pera-turan Daerah.

2. Pemberhentian Kepala Desa diatur lebih lanjut dalam PP (Pasal 40 Ayat 3)

Peraturan yang mengatur mengenai pember-hentian kepala desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 54-Pasal 60). PP ini menyebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk pera-turan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang mengatur meka-nisme pemberhentian kepala desa.

3. Musyawarah Desa diatur lebih lanjut da-lam Peraturan Pemerintah (Pasal 47 Ayat 6)

Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai Pemberhentian Kepala Desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU Desa (Pasal 80). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, yang saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi No. 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawa-rah Desa.

4. Perangkat Desa diatur lebih lajut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berda-sarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 50 Ayat 2)

Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai perangkat desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 dan PP No. 43 Tahun 2014 (beberapa ketentuan masih mengacu pada PP No. 43 Tahun 2014, dan ada 2 pasal yang diubah dan diatur dalam PP No. 47 Tahun 2015).

Page 88: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

ARTIKEL

82 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

No. Peraturan Pelaksana Keterangan

Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang menga-tur mengenai perangkat desa.

5. Pemberhentian Perangkat Desa diatur da-lam Peraturan Pemerintah (Pasal 53 Ayat 4)

Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai pemberhentian perangkat desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelak-sanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 68-Pasal 70). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang menga-tur mengenai pemberhentian perangkat desa.

6. Besaran penghasilan tetap dan tunjangan serta penerimaan lainnya yang sah diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 66 Ayat 5)

Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai penghasilan tetap dan penerimaan lainnya adalah PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peruba-han atas PP No. 43 Tahun 2014 tentang pelak-sanaan UU Desa (Pasal 81-Pasal 82). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang menga-tur mengenai penghasilan tetap dan penerima-an lainnya.

7. Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 75 Ayat 3)

Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai keuangan desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 dan PP No. 43 Tahun 2014 (beberapa ketentuan masih mengacu pada PP No. 43 Ta-hun 2014, dan ada beberapa pasal yang diubah dan diatur dalam PP No. 47 Tahun 2015). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri. Saat ini, sudah ter-dapat beberapa peraturan menteri yang meng-atur mengenai keuangan desa, antara lain se-bagai berikut:

1. PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara seba-gaimana telah diubah dengan PP No. 22 Tahun 2015;

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa;

3. Peraturan Menteri Keuangan No. 93 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penga-lokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pe-mantauan, dan Evaluasi Dana Desa;

4. Peraturan Menteri Keuangan No. 241 Tahun 2014 tentang Transfer Dana Daerah dan Desa;

Page 89: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 83

No. Peraturan Pelaksana Keterangan

5. Peraturan Menteri Keuangan No. 250 Tahun 2014 tentang Pengalokasian Transfer Dana Daerah dan Desa;

6. Peraturan Menteri Keuangan No. 263 Tahun 2014 Sistem Akuntansi dan Pelaporan Dana Desa;

8. Perangkat Desa yang berstatus sebagai pe-gawai negeri sipil melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pa-sal 118 Ayat 6)

Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai Perangkat Desa yang berstatus sebagai pe-gawai negeri sipil adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Tabel 2. Amanah UU Desa yang harus dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah

PENUTUP

Pengaturan mengenai desa menimbulkan polemik tentang potensi disharmoni kewena-ngan antar kementerian, hingga pada imple-mentasi kebijakan peraturan perundang-un-dangan yang saling tumpang tindih satu sama lain. Identifikasi dan kajian mengenai hal ini dirasa sangat perlu untuk memberikan keje-lasan mengenai batas-batas kewenangan hi-ngga pada kejelasan pengaturan dan tercipta-nya harmonisasi peraturan perundang-unda-ngan terkait desa.

Dalam pembahasan di muka dijelaskan bahwa dengan munculnya PP No. 11 Tahun

2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan PP No. 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah memberikan kejelasan mengenai batas kewenangan antar dua ke-menterian yang pada pelaksanaanya pun juga perlu saling koordinasi. Demikian pula hal-nya dengan UU Desa yang juga perlu dilihat amanah penyusunan peraturan pelaksana dan aspek apa saja yang kiranya bisa diidentifikasi dan dilakukan klasifikasi pera-turan perundang-undangan agar tercipta su-atu sistem peraturan perundang-undangan yang harmonis dalam rangka mengoptimal-kan implementasi UU Desa.

Page 90: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

84 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015

Petunjuk Penulisan

JURNAL DESENTRALISASI merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian

Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode

ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para

peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau pengamat untuk menyum-

bangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran kritis di bidang desentralisasi

dan otonomi daerah dan otonomi daerah. Topik jurnal desentralisasi mencakup

berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan me-

liputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dimensi-dimensi pelaksanaan

otonomi daerah.

Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut :

1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang

desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan

otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah;

2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik

dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran ku-

arto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan hu-

ruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3

cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm.

3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di bawah tabel, sedangkan posisi

judul gambar berada di atas gambar.

4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas :

a. Judul tulisan;

b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama

adalah penulis utama;

c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor te-

lepon dan alamat email penulis;

d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-ma-

sing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci;

e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema

tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemuka-

kan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data

pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis;

f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu ditulis-

kan metode penelitian yang digunakan;

g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan

topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap

data;

h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan pe-

nulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan;

i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan

dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma),

tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang dipe-

roleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa

contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:

Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Cha-

nges: a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York: Routledge.

Page 91: LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN …dkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Jurnal-Desentralisasi... · Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan

JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 85

Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Gha-

lia Indonesia.

5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi nas-

kah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip;

6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung,

gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam

daftar pustaka;

7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan

alamat:

Redaksi Jurnal Desentralisasi

Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara

Gedung B Lantai 3

Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110

Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115

Email : [email protected]

Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra

Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan

yang layak kepada penulis.***