laporan volume molal parsial

34
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIK II VOLUME MOLAL PARSIAL Nama : Titissari Indah NIM : 111810301010 Fak/Jurusan : MIPA/Kimia Kelompok : 3 Nama Asisten : Cinde LABORATORIUM KIMIA FISIK

Upload: titis-nugroho

Post on 06-Dec-2015

1.231 views

Category:

Documents


90 download

DESCRIPTION

Menentukan volume molal parsial komponen dalam larutan

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA FISIK II

VOLUME MOLAL PARSIAL

Nama : Titissari Indah

NIM : 111810301010

Fak/Jurusan : MIPA/Kimia

Kelompok : 3

Nama Asisten : Cinde

LABORATORIUM KIMIA FISIK

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS JEMBER

2015

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Larutan merupakan campuran homogen dimana kombinasi fisikal dua atau lebih

substansi-substansi murni. Sebagaimana diketahui bahwa setiap zat memiliki sifat yang

berbeda-beda antara satu zat dengan zat lainnya . Secara umum, sifat-sifat tersebut dapat

dibagi dalam dua kelompok yaitu sifat ekstensif dan sifat intensif. Kedua sifat ini dapat

diketahui besarannya melalui konsep kimia fisik. Sifat ekstensif adalah sifat dimana

besaran atau kuantitasnya ini tergantung pada jumlah bahan yang sedang ditelit i,

sedangkan sifat intensif yaitu suatu kuantitas sifat yang tidak bergantung pada

jumlah bahan yang diamati. Konsep ini dideskripsikan dalam kimia potensial yang

mulai berkembang pada kuantitas molar parsial untuk menunjukkan kasus khusus sifat

suatu campuran sederhana.

Salah satu sifat-sifat parsial yang ada yakni sifat molal parsial yang lebih mudah

digambarkan dengan volume molal parsial, yaitu konstribusi pada volume dari satu

komponen dalam sampel terhadap volume total .Volume molal parsial biasanya digunakan

dalam menentukan tekanan uap campuran. Selain itu dalam mencampurkan suatu zat

tertentu dengan zat lain dalam temperatur tertentu, harus diketahui terlebih dahulu volume

molal parsial dari zat-zat tersebut. Jadi, sangatlah penting untuk mengetahui volume molal

parsial komponen larutan.

Kuantitas molal parsial menginformasikan sifat larutan akibat kosentrasi yang

berubah-ubah. Kuantitas molal parsial termasuk dalam sifat ekstensif larutan. Enegi bebas

Gibs molal parsial yang disebut juga sebagai potensial kimia adalah pusat pembelajaran

sifat ekstensif larutan, tetapi visualisasi dari sifat laruutan lebih mudah melalui volume

molal parsial. Aplikasi dari volume molal parsial adalah oceanography and aquatic

environmental science. Secara sederhana pengukuran volume molal parsial dapat

dilakukan pada larutan NaCl karena larutan NaCl merupakan contoh dari larutan sederhana

yang dengan mudah diubah-ubah kosentrasinya.

1.2 Tujuan Percobaan

Menentukan volume molal parsial komponen dalam larutan

BAB 2. DASAR TEORI

2.1 Material Safety Data Sheet (MSDS)

2.1.1 Natrium Klorida (NaCl)

Keadaan fisik natrium klorida adalah padat atau berupa serbuk kristal padat

yang memiliki berat molekul 58,44 g/mol, titik didih 14130C dan titik leleh 8010C.

Sedangkan sifat kimianya, natrium klorida larut dalam air panas maupun air dingin,

gliserol, dan tidak larut dalam asam klorida. Sebelum menggunakan natrium klorida, perlu

diketahui bahaya dan penangannya bila terjadi kontak fisik. Natrium klorida dapat

menyebabkan iritasi kulit, mata, pernapasan, dan pencernaan. Substansi ini memiliki efek

potensial akut pada kesehatan mata dan kulit . Penanganan bila terjadi kontak fisik dengan

natrium klorida pada mata dan kulit yaitu dengan mengaliri bagian yang terkena kalium

sulfat dengan air mengalir selama 15 menit (tidak menggunakan sabun pada kulit yang

teriritasi). Khusus untuk mata yang terkena natrium klorida, tetap membiarkannya terbuka

dan melepas kontak lensa bila menggunakan. Bila terjadi iritasi pada pernapasan,

dibutuhkan tindakan medis secepatnya (Anonim, 2015).

2.2 Tinjauan Pustaka

Sistem biner merupakan kasus khusus pada multikomponen sistem dimana

tersedia dua komponen dalam sistem pelarut. Sistem tersebut sering disebut sebagai

campuran. Contoh dari sistem campuran ini adalah larutan, dimana komponen yang

berlebih disebut pelarut, dan komponen lainnya disebut sebagai zat terlarut. Larutan adalah

sekelompok molekul-molekul yang bercampur dan terkadang terdistribusi dalam suatu

sistem. Larutan campuran sederhana adalah larutan yang hanya terdiri dari dua campuran

substansi. Karakteristik umum dari sistem biner seperti larutan yaitu komponen yang

becampur pada temperatur dan tekanan yang sama, dan sifat ektensif yang begabung

(entalpi, entropi, dan volume). Sifat-sifat termodinamika dari larutan sederhana ini dapat

diamati melalui volume molal parsial (Bulyarskii, 1999)

Visualisasi termudah sifat molar parsial adalah volume molal parsial yang

berkonstribusi pada campuran yang dibuat pada volume total sampel. Volume molal

parsial komponen campuran berubah-ubah tergantung komposisi campuran karena

lingkungan masing-masing molekul berubah saat komposisi berubah dari substansi murni

A menjadi substansi murni B. Perubahan lingkungan molekul ini, menghasilkan variasi

sifat-sifat termodinamika campuran saat komposisi berubah. Volume molal parsial, V j,

substansi J saat dalam beberapa komposisi ditetapkan sebagai berikut:

V j=( ∂V∂n j )p ,T ,n'

[1]

Dimana subscript n’ mengartikan bahwa jumlah semua substansi-substansi yang tersedia

konstan (IUPAC merekomendaikan simbol parsial molar dengan χ , tetapi hanya ketika

terjadinya kebingungan dengan kuantitas χ . Misalnya volume molal parsial NaCl dalam

air dituliskan sebagai V (NaCl, aq) untuk membedakannya dengan volume larutan V

(NaCl, aq). Parsial molal volume adalah slope dari plot antara volume total sebagai jumlah

J yang berubah, tekanan, temperatur, dan jumlah komponen lain yang konstan, sedangkan

nilainya tergantung pada komposisi.

Ketika komposisi campuran berubah dengan penambahan nA substansi A dan nB substansi

B, maka persamaan [1] volume total campuran berubah menjadi:

dV =( ∂ V∂ nA

)p ,T ,nB

dnA +( ∂V∂nB

)P,T ,n A

dnB =V A dnA +V B dnB

[2]

Karena volume molal parsial adalah konstan, maka komposisi yang ada dalam campuran

harus dianggap konstan sehingga persamaan [2] harus dintegralkan:

V=∫0

nA

V A dnA+∫0

nB

V B dnB=V A∫0

n A

dnA +V B∫0

nB

dnB

=V A n A+V B nB

(Atkins, 2006 ).

Sifat termodinamika molal parsial dibagi dalam tiga golongan utama yaitu : (i)

volume molal parsial dari komponen-komponen dalam larutan, (ii) entalpi molal parsial.

dan (iii) energi bebas molal parsial yang nerupakan potensial kimia substansi dalam

campuran . Satu hal yang harus diingat adalah bahwa sifat molal parsial dari suatu

komponen dalam suatu larutan dan sifat molal untuk senyawa murni adalah sama jika

larutan tersebut ideal (Dogra,1990).

Volume molal semu pada zat terlarut dinyatakan sebagai ∅V , yang erat

hubungannya dengan volume molal parsial zat terlarut. Penentuan secara eksperimental

volume molal parsial yaitu cukup sederhanadengan melalui perhitungan densitas pelarut

dari kosentrasi yang telah diketahui.

∅=(V−n1 V 1

0)n2

Dengan V 1

0

adalah volume pelarut murni. Dianggap molalitas suatu larutan adalah m

dengan pelarut berupa air. Didalam larutan ini untuk 100 gram air (55,51 mol), terdapat

sebanyak m mol zat terlarut. Sehingga n1 = 55,51 mol dan N2 = m. Sehingga persamaan

diatas menjadi:

∅=(V−55 , 51 V 1

0)m

V 1

0

dapat dihitung dari berat molekul (18,016 untuk air) dibagi dengan berat jenis, pada

keadaan yang diamati. Maka untuk larutan tersebut dapat dipenuhi:

V=(1000+mM 2 )

d dan n1V 1

0=1000d0

Dengan d, d0 berturut-turut adalah berat jenis larutan, bebrat jenis air murni. Sedangkan M 2

adalah berat molekul zat terlarut. Jika duapersamaan diatas disubstitusikan ke dalam

persamaan sebelumnya akan diperoleh persamaan volume molal semu sebagai berikut:

∅={M2−(1000

m)[ (d−d0)d0

]}d

={M2−(M 2−1000

m)[ (W −W 0 )(W 0−W e ) ]}

d

Persamaan tersebut digunakan untuk menghitung apabila menggunakan piknometer. Disini

W, W0, dan We berturut-turut adalah berat piknometer yang dipenuhi larutan, piknometer

yang dipenuhi air, dan piknometer yang kosong

(Tim Penyusun, 2015).

Massa jenis suatu zat dapat ditentukan dengan berbagai alat, salah satunya adalah

dengan menggunakan piknometer. Piknometer adalah suatu alat yang terbuat dari kaca,

bentuknya menyerupai botol parfum atau sejenisnya. Jadi dapat diartikan disini,

piknometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur nilai massa jenis atau

densitas fluida. Terdapat beberapa macam ukuran dari piknometer, tetapi biasanya volume

piknometer yang banyak digunakan adalah 10 ml dan 25 ml, dimana nilai volume ini valid

pada temperatur yang tertera pada piknometer tersebut. Cara penggunaan piknometer

diuraikan dibawah ini:

Lihat berapa volume piknometernya

Timbang piknometer dalam keadaan kosong

Masukkan fluida yang akan diukur massa jenisnya ke dalam piknometer tersebut

Jika volume sudah sesuai, piknometer ditutup

Timbang massa piknometer yang berisi fluida tersebut

Hitung massa fluida yang dimasukkan dalam piknometer dengan cara

mengurangkan massa piknometer yang berisi fluida dengan piknometer kosong

Setelah data massa dan volume fluida sudah diukur, maka berat jenis dapat

ditentukan

(Fathoni, 2000).

Untuk larutan elektrolit sederhana misalnya larutan NaCl ditemukan bahwa volume

molal parsial linear terhadap √m, untuk kosentrasi yang tidak pekat. Karena

d ∅dm

=(d∅d√m)(d √m

dm)=[1 (2√m )(d ∅d√m)]

Maka diperoleh persamaan:

V 1=∅+(m2√m)(d∅

d √m) volume molal semu linear terhadap m, maka

∅=∅0+(d∅d√m)

sehingga akan diperoleh persamaan volume molal pasial zat

terlarut sebagai berikut:

V 2=∅+(3√m2)(d ∅

d√m)(Tim Penyusun, 2015).

BAB 3. METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Piknometer

Labu ukur 50 mL

Gelas Ukur 50 mL dan 100 mL

Beaker Glass 250 mL dan 100 mL

Pipet Mohr

Pipet Volume

3.1.2 Bahan

Larutan NaCl 3 M

3.2 Prosedur Percobaan

Dibuat 200 mL larutan NaCl 3,0 M dengan pelarut air

Diencerkan larutan NaCl menjadi kosentrasi ½; ¼; 1/8; 1/16 dari

larutan NaCl 3M

Ditimbang piknometer kosong (We), piknometer penuh dengan

aquades (W0), dan piknometer penuh berisi larutan NaCl (W)

Dicatat masing-masing massa piknometer

Dicatat temperatur didalam piknometer

Dihitung densitas larutan

Larutan NaCl

Hasil

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Data Pengukuran

Pengukuran Kosentrasi We (gr) W0 (gr) W (gr)

Massa

0,1875 M

31,48 41,510

41,577

0,375 M 41,640

0,75 M 41,781

1,5 M 42,099

Temperatur

0,1875 M

300C 26,80C

280C

0,375 M 27,80C

0,75 M 28 0C

1,5 M 28,40C

Keterangan: We: piknometer kosong

W0: piknometer berisi aquades

W : piknometer berisi larutan NaCl

4.1.2 Densitas dan Molalitas

Kosentrasi (M) Densitas (gr/cm3) Molalias (mol/gr)

0,1875 1,003 0,189

0,375 1,0095 0,3796

0,75 1,023 0,766

1,5 1,054 1,55

4.1.3 Volume Molal Semu dan Volume Molal Parsial

Kosentrasi ∅ (cm3/mol) V1 (cm3/mol) V2 (cm3/mol)

0,1875 86,602 82,772 75,114

0,375 89,064 86,37 80,990

0,75 89,786 87,891 84,102

1,5 91,966 90,631 87,952

Keterangan: ∅ : volume molal semu zat terlarut

V1: volume molal parsial pelarut

V2: volume molal parsial zat terlarut

4.2 Pembahasan

Setiap material memiliki sifat fisik yang membedakan antara material yang satu

dengan material yang lainnya baik material tersebut murni atau sebuah campuran.

Campuran itu sendiri terdiri dari campuran sederhana dan campuran kompleks. Contoh

campuran sederhana adalah larutan biner yang hanya terdiri dari dua substansi. Substansi-

substansi tersebut adalah pelarut dan zat terlarut. Kedua campuran substansi ini

mempengaruhi sifat dari larutan biner, dimana sifat dari larutan biner dapat ditentukan

melalui kimia fisik. Secara umum sifat suatu material terbagi menjadi dua golongan yakni

sifat ekstensif dan sifat intensif. Sifat ekstensif lebih mudah diamati dan ditentukan melalui

konsep kimia fisik karena sifat ini tergantung pada besaran atau kuantitas jumlah yang

sedang diteliti. Terutama untuk karakteristik umum dari sistem biner yang terdiri dari dua

komponen yang bercampur pada tekanan dan temperatur yang sama, yang dapat diamati

melalui sifat termodinamikanya (ekstensif) melalui entalpi, entropi, dan volume. Diantara

ketiga cara ini, sifat termodinamika dari volume yaitu volume molal parsial yang paling

mudah diamati pada sistem biner.

Percobaan volume molal parsial ini bertujuan untuk menentukan volume molal

parsial komponen dalam larutan biner yaitu larutan NaCl.Volume molal parsial sangat

dipengaruhi oleh jumlah komposisi mol zat yang terkandung dalam larutan biner dimana

komposisi murni dari suatu zat A yang berubah menjadi substansi B akan mempengaruhi

lingkungan masing-masing molekul . Oleh karena itu dilakukan pengamatan volume molal

parsial larutan NaCl dalam berbagai macam kosentrasi antara lain pada kosentrasi 1,5M;

0,75 M; 0,375 M; dan 0,1875 M. Volume molal parsial larutan NaCl dapat ditentukan

apabila densitas, molalitas, dan volume molal semu larutan NaCl dalam berbagai macam

kosentrasi telah diketahui. Data yang umum dibutuhkan dan digunakan untuk

menghasilkan informasi volume adalah densitas larutan. Pengukuran densitas, molalitas,

dan volume molal semua larutan menggunakan alat piknometer. Piknometer berguna untuk

menetukan densitas suatu fluida yang tidak hanya cukup menggunakan formulasi biasa

seperti rho (ρ) untuk menghitung densitas karena larutan NaCl merupakan larutan dengan

sistem biner yang penentuannya menggunakan rumus khusus seperti:

d=d0 (W−W e )(W 0−W e )

Densitas larutan NaCl dipengaruhi oleh besarnya kosentrasi larutan NaCl yang mengisi

penuh piknometer dan densitas air murni yang bergantung besarnya suhu air didalam

piknometer untuk menentukan densitas air murni yg cocok. Penentuan densitas air murni

ditentukan dengan mengisi penuh piknometer dengan aquades dan mengamati suhunya

melalui termometer yang ada dalam piknometer. Suhu aquades dalam piknometer

menunjukkan 270, sehingga densitas air yang digunakan sebesar 0,997 gr/cm3. Telah

diketahui sebelumnya bahwa volume sangat dipengaruhi oleh tekanan, temperatur, dan

jumlh zat. Saat pengukuran temperatur menggunakan piknometer kosong dan berisi fluida

dalam berbagai kosentrasi diperoleh temperatur yang relatif sama. Sedangkan tekanan

dalam piknometer diangaap konstan dengan adanya fluida maupun tidak adanya fluida .

Maka, hal ini sesuai dengan definisi volume molal parsial yang merupakan volume yang

tetap dalam konndisi tekanan, temperatur, dan kondisi komposisi yang konstan. Densitas

larutan NaCl berbanding lurus dengan kosentrasi, dimana semakin besar kosentrasi larutan

NaCl maka densitas larutan semakin meningkat. Kosentrasi larutan NaCl 0,1875 M; 0,375

M; 0,75 M; 1,5 M memiliki nilai densitas yang berturut-turut sebesar 1,054; 1,023; 1,0095;

1,003 gr/cm3. Bertambah besarnya densitas siring kenaikan ksentrasi menunjukkan jumlah

komposisi zat terlarut yang semakin besar seiring dengan bertambahya kosentrasi. Densitas

menunjukkan kerapatan partikel dalam suatu larutan, sehingga ketika kosentrasi semakin

bertambah kerapatan antar molekul didalam larutan juga akan bertambah

Molalitas sering disebut sebagai kosentrasi molal. Molalitas merupakan

pengukuran kosentrasi zat terlarut dalam larutan yang disimbolkan dalam sejumlah mol

substansi dalam massa pelarut. Pada umumnya satuan molalitas yang digunakan adalah

mol/kg yang juga disimbolkan sebagai molal. Molalitas dan densitas sangat berpengaruh

dalam perhitungan volume molal semu karena kedua variabel ini adalah dua variabel yang

menyatakan komposisi komponen dalam larutan yang berguna untuk menghitung volume

molal parsial larutan. Sebelumnya molalitas sering dianalogikan sebagai molaritas

kosentrasi. Tetapi sejak G.N Lewis dan M. Randall mempublikasikan Termodinamika dan

Energi Bebas Substansi,molalitas dianggap sebagai unit sifat intensif yang tidak bisa

disamakan dengan molaritas karena molalitas adalah salah satu unit yang lebih tepat dalam

menentukan sifat ekstensif volume suatu larutan campuran sederhana daripada molaritas.

Molalitas dalam larutan biner dinyatakan dalam persamaan dibawah ini:

m= 1

(dM )−(M 2

1000)Melalui persamaan tersebut diperoleh besarnya molalitas sebanding dengan besarnya

kosentrasi larutan NaCl. Dari kosentrasi terbesar larutan NaCl hingga kosentrasi terkecil,

nilai molalitas berturut-turut sebesar 1,55 mol/gr; 0,766 mol/gr; 0,3796 mol/gr; dan 0,189

mol/gr. Molalitas larutan terbesar berasal dari larutan dengan kosentrasi yang paling besar

karena jumlah mol zat terlarut NaCl dalam pelarut lebih besar pada kosentrasi yang besar

pula.

Volume larutan ideal dapat dihitung hanya dengan menjumlahkan volume

pelarut murni dengan volume zat terlarut murni. Tetapi bila larutan tersebut bukan larutan

ideal seperti larutan NaCl, pennentuan volume larutn mengunakan volume molal parsial

yang merupakan salah satu dari sifat ekstensif. Volume larutan dengan satu komponen zat

terlarut didefinisikan sebagai jumlah dari hasil perkalian volum molar larutan dengan

jumlah mol pelarut dan volum molal semu zat terlarut dengan jumlah mol zat terlarut.

Volum molar pelarut diasumsikan sebagai volume yang kuantitasnya sama dengan volume

pelarut tanpa adanya zat terlarut, sedangkan volume molal semu adalah volume molal zat

terlarut yang jika diasumsikan bahwa volume molar pelarut tidak berubah walaupun zat

terlarut ditambahkan. Tetapi asumsi volume molar zat pelarut dianggap tidak realistis,

sehingga digambarkan sebagai nilai semu. Volume molal zat terlarut adalah fungsi

molalitas zat terlarut dan densitas zat terlarut. Volume efektif pelarut diasumsikan sebagai

volume sisa dari volume molar murni, ketika semua volume berubah (pelarut dan zat

terlarut) dalam larutan yang kemudian dikenal sebagai volume molal semu zat terlarut.

Volume molal semu berawal dari keseluruhan perubahan volume akibat zat terlarut.

Karena volume molal semu berasal dari volume sisa dari volume molar murni, maka

volume molal semu berbanding terbalik dengan molalitas yang apabila dinyatakan sebagai

persamaan adalah

∅=(V −n1V 1

0 )m

Volume larutan dan volume molal air murni dapat diperoleh melalui hubungan

V=(1000+mM2)/d dan n1V 10=1000/d0. Bila hubungan kedua persamaan ini disubstitusikan

ke persamaan atas akan diperoleh persamaan:

∅=

M 2−(M 2−1000

m)(W−W 0

W 0−W e)

d

Untuk larutan sederhana seperti NaCl diketahui bahwa volume molal semu dan akar

molalitas dapat dihubungkan melalui kurva linear seperti yang ditunjukkan oleh gambar

dibawah ini:

0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.383

84

85

86

87

88

89

90

91

92

93

f(x) = − 6.15145980353326 x + 94.231069759251R² = 0.95594829787105

√( ) vs 𝑚 ∅

√𝑚( ^1∕2∕ r^1∕2)𝑚𝑜𝑙 𝑔

(cm

3/m

ol)

Kurva bernilai linear negatif karena volume molal semu berbanding terbalik dengan akar

dari molalitas. Semakin besar molalitas larutan NaCl volume molal semua semakin kecil.

Dari grafik, dapat dilihat penurunan drastis volume molal semu yaitu pada larutan NaCl

dengan kosentrasi 1,5 M menuju 0,75 M yaitu dengan nilai volume molal semu berturut-

turut sebesar 86,602 cm3 /mol dan 89,064 cm3 /mol. Perbedaan penurunan kurva yang tidak

terlalu besar yaitu dari larutan kosentrasi 0,75 M menuju kosentrasi 0,375 M, dimana

besarnya volume molal semu larutan NaCl 0,375 M adalah 89,786 M. Bila diamati,

perubahan besarnya volume molal semu dari larutan NaCl 0,75 M dan 0,375 M

dipengaruhi oleh besarnya massa piknometer yang berisi larutan NaCl (W) larutan 0,375

M yang tidak jauh berbeda besarnya dengan W larutan NaCl 0,75 M. Hal ini disebabkan

saat penimbangan piknometer terlalu penuh sehingga tutup piknometer tidak menutup

piknometer dengan rapat sehingga kerapatan larutan menjadi berkurang sehingga massa

larutan NaCl 0,75 M yang ditimbang menjadi berkurang dan mempengaruhi saat

perhitungan densitas larutan yang secara langsung juga mempengaruhi besarnya molalitas.

Persamaan Gibbs-Duhem digunakan untuk menyatakan sifat-sifat

termodinamika komponen dalam larutan. Hubungan persamaan Gibbs-Duhem diperoleh

dari enenrgi bebas molal parsial. Pengaplikasian persamaan Gibbs-Duhem untuk semua

kuantitas molal parsial adalah sama. Lebih mudahnya, volume molal parsial dapat

digunakan untuk enggambarkan hubungan terebut. Volume molal parsial dibagi menjadi

dua macam antara lain volume molal parsial pelarut dan volume molal parsial zat terlarut.

Dengan kata lain, volume molal parsial zat terlarut adalah volume efektif zat terlarut dan

volume molal parsial pelarut termasuk dalam perubahan volume pelarut yang disebabkan

oleh interaksi pelarut dengan zat terlarut. Besarnya volume molal parsial pelarut

dinyatakan sebagai V1 dapat ditentukan melalui persamaan:

V 1=∅+( m2√m )( d∅

d √m )

Dimana

d∅d √m merupakan turunan antara volume molal semu terhadap akar molalitas

dalam berbagai macam kosentrasi larutan NaCl, yang nilainya merupakan slope dari kurva

volume molal semu terhadap akar molalitas yaitu sebesar -6,1515 cm3gr1/2/mol3/2. Setelah

nilai tersebut diketahui maka besarnya volume molal parsial pelarut dapat ditentukan.

Besarnya volume molal parsial larutan NaCl dalam berbagai macam kosentrasi dapat

dibuat kurva terhadap besarnya molalitas dalam berbagai variasi kosentrasi larutan NaCl.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.878

80

82

84

86

88

90

92

f(x) = − 5.29845569135637 x + 90.7369813218216R² = 0.948641826761516

V1 vs m

m (mol/gr)

V1

(cm

3/m

ol)

Kelinieran kurva volume molal parsial terhadap molalitas terlihat dalam point kedua

hingga point terakhir yaitu pada kosentrasi 1,5 M; 0,75 M; dan 0,375 M yang

menunjukkan nilia volume molal parsial sebesar 82,772; 86,37; 87,891 cm3/mol.

Sedangkan volume molal parsial zat terlarut dinyatakan dalam persamaan:

V 2=∅+( 3√m2 )( d∅

d √m )Melalui persaman diatas diperoleh kurva volume molal parsial terhadap molalitas sebagai

berikut:

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.865

70

75

80

85

90

f(x) = − 8.85164050195736 x + 88.4228605479866R² = 0.966434998236969

V2 vs m

m (mol/gr)

V2

(cm

3/m

ol)

Kurva volume molal zat terlarut terhadap molalitas menunjukkan nilai linear yang negatif.

Dari kurva diatas diketahui bahwa semakin besar molarlitas larutan NaCl, maka semakin

kecil nilai volume molal parsial zat terlarut.

Kedua kurva volume molal parsial pelarut (V1) dan volume molal parsial zat

terlarut (V2) menunjukkan kurva linear negatif. Volume molal parsial berkaitan dengan

interaksi antara komponen-komponen dalam larutan. Volume molal parsial pelarut pada

kosentrasi larutan terendah memiliki nilai sebesar 90,631 cm3/mol, sedangkan volume

molal parsial zat terlarut pada kosentrasi terendah sebesar 87,952 cm3/mol. Bila dilihat dari

besarnya volume molal parsial keduanya, interaksi pelarut-ion pada volume molal parsial

pelarut lebih besar daripada interaksi antara ion-ion zat terlarut pada volume molal parsial

zat terlarut. Interaksi ion0ion berkurang karena larutan yang semakin encer sehingga

memisahkan interaksi antara i-ion dalam larutan. Penurunan volume molal parsial yang

sangat signifikan terjadi pada larutan NaCl pada larutan 0,375 M dimana memiliki suhu

larutan paling rendah 27,80C. Suhu rendah mengurangi interaksi antara pelarut-ion dan ion-

ion, sehingga penurunan besarnya volume molal parsial sangat terlihat dari volume molal

parsial larutan dengan kosentrasi 0,1875 M ke kosentrasi 0,375 M. Sedangkan penurunan

volume molal parsial dari kosentrasi 0,375 hingga kosentrasi 1,5 M menunjukkan

penurunan yang tidak signifikan karena suhu ketiga larutan sama yaitu 280C.

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Menyesuaikan tujuan dilaksanakannya praktikum yaitu menentukan volume molal

parsial kmponen dalam larutan,maka kesimpulan dari hasil percobaan adalah:

Volume molal parsial pelarut larutan NaCl dari kosentrasi 1,5 M hingga kosentrasi

rendah 0,1875 M berturut-turut memiliki nilai sebesar 82,772 cm3/mol ; 86,37

cm3/mol; 87,891 cm3/mol; 90,631 cm3/mol

Volume molal parsial zat terlarut larutan NaCl memiliki nilai semakin menurun

ketika kosentrasi larutan NaCl semakin kecil. Nilai voume molal parsial zat terlarut

dari larutan NaCl kosentrasi tinggi hingga kosentrasi rendah sebesar 75,114

cm3/mol; 80,990 cm3/mol; 84,102 cm3/mol; 87,952 cm3/mol.

5.2 Saran

Menggunakan 1 jenis alat pipet saat pengambilan larutan untuk pengenceran akan

menghasilkan hasil pengenceran yang lebih akurat dari pada menggunakan 2 pipet

yang berbeda jenis.

Pengulangan pengukuran perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang presisi

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. MSDS Natrium Klorida. http://www.sciencelab.com/msds.php?

msdsId=9927593. Diakses tanggal 14 September 2015

Atkins, Peter. 2006. Physical Chemistry Eight Edition. United Stated: W.H Freeman and

Company

Bulyarskii, 1999. Chemical Potensial of A Binary Solution. Technicalphysic: Springer

Dogra,S.K.1990.Kimia Fisik dan Soal-Soal. Jakarta:Universitas Indonesia.

Fathoni, Sun’an. 2000. Identifikasi Massa Jenis Minyak Goreng Menggnakan Piknometer.

Jember: Universitas Jember

Tim Penyusun. 2015. Penuntun Praktikum Kimia Fisik II. Jember: FMIPA Universitas

Jember

LAMPIRAN

1. Pengenceran dari Larutan NaCl 3 M

Larutan NaCl Kosentrasi 1,5 M

M 1 .V 1=M 2 .V 2

3 M . V 1=1,5 M . 50 ml

V 1=75 Mml3 M

=25 ml

Dimana M1: kosentrasi larutan NaCl 3 M

V1: volume larutan NaCl 3M

M2: kosentrasi yang diencerkan

V2: volume labu ukur

Larutan NaCl kosentrasi 0,75 M

M 1 .V 1=M 2 .V 2

3 M . V 1=0 ,75 M .50 ml

V 1=37 , 5 Mml3 M

=12 , 5ml

Larutan NaCl kosentrasi 0,375 M

M 1 .V 1=M 2 .V 2

3 M .V 1=0 ,375 M .50 ml

V 1=18 ,75 Mml3 M

=6 ,25 ml

Larutan NaCl kosentrasi 0,1875

M 1 .V 1=M 2 .V 2

3 M .V 1=0 ,1875M .50 ml

V 1=Mml3 M

=3 ,125ml

2. Berat Jenis Larutan

Kosentrasi 1,5 M

d=d0 (W −W e )(W 0−W e )

=0 ,997 gr /cm3 (42 ,099 gr−31 ,148 gr )( 41,510 gr−31 ,148gr )

=0 ,997 gr /cm3×10 , 951gr10 , 362gr

=10 , 91810 , 362

gr /cm3

=1,054 gr /cm3

Kosentrasi 0,75 M

d=d0 (W −W e )(W 0−W e )

=0 ,997 gr /cm3 (41 , 781 gr−31, 148 gr )( 41, 510 gr−31 , 148 gr )

=0 ,997 gr /cm3×10 ,633 gr10 , 362 gr

=10 , 60110 , 362

gr /cm3

=1,023 gr /cm3

Kosentrasi 0,375 M

d=d0 (W −W e )(W 0−W e )

=0 ,997 gr /cm3 (41 , 640 gr−31 ,148 gr )( 41, 510 gr−31 , 148 gr )

=0 ,997 gr /cm3×10 , 492 gr10 , 362 gr

=10 , 46010 , 362

gr /cm3

=1 ,0095 gr /cm3

Kosentrasi 0,1875 M

d=d0 (W −W e )(W 0−W e )

=0 ,997 gr /cm3 (41 , 577 gr−31 ,148 gr )( 41, 510 gr−31 , 148 gr )

=0 ,997 gr /cm3×10 , 429 gr10 , 362 gr

=10 , 39810 , 362

gr /cm3

=1,003 gr /cm3

3. Molalitas Larutan

Kosentrasi 1,5 M

m=1

(d M )−(M 2

1000) =1

(1 ,054 gr /cm3

1,5 mol/cm3)−(58 , 44 gr /mol1000)

=10 , 703 gr /mol−0 ,058 gr /mol

=10 , 645 gr /mol

=1 , 55 mol/ gr

Kosentrasi 0,75M

m=1

(d M )−(M 2

1000) =1

(1 ,023 gr /cm3

0 , 75 mol /cm3)−(58 , 44 gr /mol1000)

=11 , 364 gr /mol−0 ,058 gr /mol

=11 , 306 gr /mol

=0 , 766 mol /gr

Kosentrasi 0,375

m=1

(d M )−(M 2

1000) =1

(1 ,0095 gr /cm3

0 , 375 mol /cm3)−(58 ,44 gr /mol1000)

=12 , 692 gr /mol−0 , 058 gr /mol

=12 . 634 gr /mol

=0 , 3796 mol /gr

Kosentrasi 0,1875

m=1

(d M)−(M 2

1000) =1

(1 ,003 gr /cm3

0 , 1875 mol /cm3)−(58 ,44 gr /mol1000)

=15 ,349 gr /mol−0 ,058 gr /mol

=15 ,291 gr /mol

=0 ,189 mol /gr

4. Volume Molal Semu Zat Terlarut

Kosentrasi 1,5 M

∅=

M 2−(M 2−1000

m)(W −W 0

W 0−W e)

d

=58,44 gr /mol−(58 , 44 gr /mol−1000

1 ,55 mol/ gr )(42 , 099 gr−41, 510 gr41 , 510 gr−31 ,148 gr )

1 , 054 gr /cm3

=58,44 gr /mol−(58 , 44 gr /mol−645 ,161 gr /mol )(0 ,589 gr

10 ,362 gr )1 , 054 gr /cm3

=58,44 gr /mol−(−586 , 721 gr /mol ) (0 , 05597 )1 , 054 gr /cm3

=91 , 279 gr /mol1 , 054 gr /cm3

=86,602 cm3/mol

Kosentrasi 0,75M

∅=

M 2−(M 2−1000

m)(W −W 0

W 0−W e)

d

=58,44 gr /mol−(58 , 44 gr /mol−1000

0 ,766mol /gr )(41 ,781 gr−41,510 gr41 ,510 gr−31 ,148gr )

1 , 023gr /cm3

=58,44 gr /mol−(58 , 44 gr /mol−1305 , 483gr /mol )(0 , 271gr

10 ,362gr )1 , 023gr /cm3

=58,44 gr /mol−(−1247 ,043 gr /mol ) (0 . 0262 )1 , 023gr /cm3

=91 , 112 gr /mol1 , 023gr /cm3

=89 , 064 cm3 /mol

Kosentrasi 0,375 M

∅=

M 2−(M 2−1000

m)(W −W 0

W 0−W e)

d

=58,44 gr /mol−(58 , 44 gr /mol−1000

0 ,3796 mol /gr )(41 ,640 gr−41 ,510 gr41 ,510 gr−31 , 148 gr )

1 , 0095 gr /cm3

=58,44 gr /mol−(58 , 44 gr /mol−2634 , 352 gr /mol )(0 , 13 gr

10 ,362 gr )1 , 0095 gr /cm3

=58,44 gr /mol−(−2575 , 912 gr /mol ) (0 . 0125 )1 , 0095 gr /cm3

=90 , 639 gr /mol1 , 0095 gr /cm3

=89 , 786 cm3/mol

Kosentrasi 0,1875

∅=

M 2−(M 2−1000

m)(W −W 0

W 0−W e)

d

=58,44 gr /mol−(58 , 44 gr /mol−1000

0 ,189mol /gr )(41 ,577 gr−41 ,510 gr41 ,510 gr−31 ,148gr )

1 , 003gr /cm3

=58,44 gr /mol−(58 , 44 gr /mol−5291 . 005gr /mol )(0 ,067 gr

10 , 362gr )1 , 003gr /cm3

=58,44 gr /mol−(−5232 , 565gr /mol ) (0 .00646 )1 , 003gr /cm3

=92 , 242gr /mol1 , 003gr /cm3

=91 , 966cm3/mol

5. Grafik √m vs ∅

Kosentrasi √m¿ ∅ (cm3/mol)

1,5 M 1,245 86,602

0,75 M 0,875 89,064

0,375 M 0,616 89,786

0,1875 M 0,435 91,966

0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.38384858687888990919293

f(x) = − 6.15145980353326 x + 94.231069759251R² = 0.95594829787105

√( ) vs 𝑚 ∅

√𝑚( ^1∕2∕ r^1∕2)𝑚𝑜𝑙 𝑔

(cm

3/m

ol)

d ∅dm

=m

=−6 ,1515cm3 gr1

2 /mol3

2

6. Nilai V1

Kosentrasi 1,5 M

V 1=∅+(m2√m )(d ∅

d √m ) =86 ,602 cm3/mol+ (1 ,55 mol / gr

2×1 , 245 mol1

2/ gr1

2 )(−6 , 1515 cm3 gr1

2 /mol3

2)

=86,602 cm3/mol−3 , 83 cm3 /mol =82 ,772 cm3 /mol

Kosentrasi 0,75 M

V 1=∅+(m2√m )(d ∅

d √m ) =89 ,064 cm3 /mol+ (0 ,766 mol / gr

2×0 , 875 mol1

2/ gr1

2 )(−6 , 1515cm3 gr1

2 /mol3

2)

=89,064 cm3 /mol−2 ,694 cm3 /mol =86 ,37 cm3 /mol

Kosentrasi 0,375 M

V 1=∅+(m2√m )(d ∅

d √m ) =89 ,786 cm3/mol+ (0 , 3796 mol /gr

2×0 ,616 mol1

2 / gr1

2 )(−6 ,1515 cm3 gr1

2 /mol3

2 )

=89,786 cm3 /mol−1 , 895 cm3/mol =87 ,891 cm3/mol

Kosentrasi 0,1875

V 1=∅+(m2√m )(d ∅

d √m ) =91 ,966 cm3/mol+ (0 , 189 mol /gr

2×0 , 435 mol1

2/ gr1

2 )(−6 , 1515cm3 gr1

2 /mol3

2)

=91,966 cm3 /mol−1, 335 cm3/mol =90 ,631 cm3 /mol

7. Grafik V1 vs m

Kosentrasi (mol/cm3) V1 (cm3/mol) m (mol/gr)

1,5 82,772 1,55

0,75 86,37 0,766

0,375 87,891 0,3796

0,1875 90,631 0,189

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.878

80

82

84

86

88

90

92

f(x) = − 5.29845569135637 x + 90.7369813218216R² = 0.948641826761516

V1 vs m

m (mol/gr)

V1

(cm

3/m

ol)

8. Nilai V2

Kosentrasi 1,5 M

V 2=∅+(3√m2 )(d ∅

d √m ) =86 ,602 cm3/mol+(3×1 ,245 mol1/ 2/ gr1/ 2

2 )(−6 , 1515cm3 gr1

2 /mol3

2) =75,114 cm3 /mol

Kosentrasi 0,75 M

V 2=∅+(3√m2 )(d ∅

d √m ) =89 ,064 cm3 /mol+(3×0 ,875 mol1/2 / gr1/ 2

2 )(−6 , 1515 cm3 gr1

2 /mol3

2) =80,990 cm3 /mol

Kosentrasi 0,375 M

V 2=∅+(3√m2 )(d ∅

d √m ) =89 ,786 cm3/mol+(3×0 , 616 mol1/2 /gr 1/2

2 )(−6 , 1515 cm3 gr1

2 /mol3

2 ) =84,102 cm3/mol

Kosentrasi 0,1875 M

V 2=∅+(3√m2 )(d ∅

d √m ) =91 ,966 cm3/mol+(3×0 , 435 mol1/2 / gr1/ 2

2 )(−6 , 1515cm3 gr1

2 /mol3

2) =87,952 cm3/mol

9. Grafik V2 vs m

Kosentrasi (mol/cm3) V2 (cm3/mol) m (mol/gr)

1,5 75,114 1,55

0,75 80,990 0,766

0,375 84,102 0,3796

0,1875 87,952 0,189

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.865

70

75

80

85

90

f(x) = − 8.85164050195736 x + 88.4228605479866R² = 0.966434998236969

V2 vs m

m (mol/gr)

V2

(cm

3/m

ol)