laporan tugas perkim

63
ABSTRAK Rumah Aceh, rumah panggung berbahan kayu, salah satu rumah tradisional di Nusantara yang mampu tetap berdiri saat gempa dan tsunami melanda wilayah Aceh 26 Desember 2004 lalu. Satu benang merah yang dapat dirunut dari beberapa peristiwa bencana di daerah yang lain yaitu ketahanan terhadap bencana alam. Contohnya Oma Hada di Nias dan joglo di Yogyakarta dan Jawa Tengah (saat gempa 27 Mei 2006). Rumoh Aceh masih banyak ditinggali di daerah pesisir maupun pedalaman. Namun saat ini semakin jarang bisa ditemui karena dinamika kehidupan masyarakat dan bencana besar 26 Desember 2004 lalu. Padahal tipologi rumoh Aceh ini banyak sepadan dengan banyaknya suku bangsa di daerah Aceh yaitu suku bangsa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Singkil, dan Simeulu. Suku bangsa Aceh yang paling banyak jumlahnya yaitu di daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, serta sebagian Aceh Timur dan Aceh Selatan. Sedangkan suku bangsa Gayo hanya mendiami Aceh Tengah saja. Oleh karena itu ada kemiripan pada rumoh Aceh di beberapa wilayah yang didiami sesama suku bangsa Aceh. Rumoh Aceh berkembang berdasar konsep kehidupan masyarakat Islam yaitu suci. Konsep suci ini menyebabkan rumoh Aceh berdiri di atas panggung. Dari segi nilai-nilai agama, berbagai sumber menyebutkan bentuk panggung ini untuk menghindari binatang yang najis seperti anjing. Selanjutnya mengenai peletakan ruang kotor seperti toilet atau area basah seperti sumur. Berdasar cerita nenek moyang masyarakat Aceh, toilet dsn sumur harus dibuat jauh dari rumah. Konsep selanjutnya adalah penyesuaian terhadap tata cara beribadah dalam agama Islam. Kebiasaan Shalat menyebabkan peletakan rumoh Aceh memanjang mengikuti arah kiblat (ke barat) sehingga rumoh Aceh dapat menampung banyak orang bersholat. Kemudian peletakan tangga (reunyeun atau alat untuk naik ke bangunan rumah) juga tidak boleh di depan orang sholat sehingga tangga ditempatkan di ujung timur atau dibawah kolong rumah. Reunyeun ini juga berfungsi sebagai titik batas yang boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka Perumahan dan Permukiman (JTA115) 1 | Page

Upload: zulfan-hendri-afriadi

Post on 03-Jan-2016

99 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: laporan tugas perkim

ABSTRAK

Rumah Aceh, rumah panggung berbahan kayu, salah satu rumah tradisional di Nusantara yang mampu tetap berdiri saat gempa dan tsunami melanda wilayah Aceh 26 Desember 2004 lalu. Satu benang merah yang dapat dirunut dari beberapa peristiwa bencana di daerah yang lain yaitu ketahanan terhadap bencana alam. Contohnya Oma Hada di Nias dan joglo di Yogyakarta dan Jawa Tengah (saat gempa 27 Mei 2006).

Rumoh Aceh masih banyak ditinggali di daerah pesisir maupun pedalaman. Namun saat ini semakin jarang bisa ditemui karena dinamika kehidupan masyarakat dan bencana besar 26 Desember 2004 lalu. Padahal tipologi rumoh Aceh ini banyak sepadan dengan banyaknya suku bangsa di daerah Aceh yaitu suku bangsa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Singkil, dan Simeulu. Suku bangsa Aceh yang paling banyak jumlahnya yaitu di daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, serta sebagian Aceh Timur dan Aceh Selatan. Sedangkan suku bangsa Gayo hanya mendiami Aceh Tengah saja. Oleh karena itu ada kemiripan pada rumoh Aceh di beberapa wilayah yang didiami sesama suku bangsa Aceh.

Rumoh Aceh berkembang berdasar konsep kehidupan masyarakat Islam yaitu suci. Konsep suci ini menyebabkan rumoh Aceh berdiri di atas panggung. Dari segi nilai-nilai agama, berbagai sumber menyebutkan bentuk panggung ini untuk menghindari binatang yang najis seperti anjing. Selanjutnya mengenai peletakan ruang kotor seperti toilet atau area basah seperti sumur. Berdasar cerita nenek moyang masyarakat Aceh, toilet dsn sumur harus dibuat jauh dari rumah.

Konsep selanjutnya adalah penyesuaian terhadap tata cara beribadah dalam agama Islam. Kebiasaan Shalat menyebabkan peletakan rumoh Aceh memanjang mengikuti arah kiblat (ke barat) sehingga rumoh Aceh dapat menampung banyak orang bersholat. Kemudian peletakan tangga (reunyeun atau alat untuk naik ke bangunan rumah) juga tidak boleh di depan orang sholat sehingga tangga ditempatkan di ujung timur atau dibawah kolong rumah. Reunyeun ini juga berfungsi sebagai titik batas yang boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka ‘pantang dan tabu’ bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) untuk naik ke rumah.

Konsep ukhuwah Islamiah atau hubungan antar warga yang dekat dan terbuka menyebabkan jarak rumoh Aceh yang relatif rapat dan tidak adanya pagar permanen atau pun tidak ada pagar sama sekali di sekitar area rumoh Aceh. Selain konsep filosofi Islam, pada dasarnya berbagai bentukan di dalam rumoh Aceh merupakan hasil respon penghuni terhadap kondisi geografis. Rumoh Aceh yang memiliki tipe berbentuk panggung memberikan kenyamanan thermal kepada penghuninya. Tipe rumah ini juga membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong. Sehingga rumah panggung dapat dimanfaatkan sebagai sistem kontrol yang praktis untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan penghuni dari banjir, binatang buas, dan orang asing.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 1 | P a g e

Page 2: laporan tugas perkim

KATA PENGANTAR

Ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Perumahan dan Permukiman yang sudah mengajarkan tentang betapa berpengaruhnya mempelajari Rumah Aceh sebagai salah satu bentuk vernakular dalam masyarakat tradisional di Aceh sehingga menambahkan pengetahuan bagi Penulis dalam menyusun tulisan ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Kelompok tentang Rumah Aceh di Permukiman Aceh Besar. Semoga dengan adanya tulisan ini dapat memenuhi tugas tersebut dan menambah pemahaman baik terhadap Penulis sendiri maupun Pembaca dalam konteks perancangan demi melestarikan Bentukan Arsitektur Vernakular di Nusantara terutama bangunan Rumah Aceh yang kerap akan mengalami kepunahan jika tidak dilestarikan sebagai salah satu warisan Arsitektur Nusantara.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 2 | P a g e

Page 3: laporan tugas perkim

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................

ABSTRAKSI............................................................................. 1

KATA PENGANTAR............................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................... 4

1.1 Latar Belakang................................................................. 41.2 Perumusan Masalah......................................................... 51.3 Maksud dan Tujuan......................................................... 51.4 Batasan Permasalahan..................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................... 6

2.1 Filosofi dan Arsitektur Rumah Aceh.................................. 6

2.2 Bagian-Bagian dan Fungsi Ruangan Rumah Aceh...................................................................................... 9

2.3 Upacara Mendirikan Rumah Aceh................................. 11

2.4 Upacara Ek Rumoh Baro................................................... 12

2.5 Ukiran................................................................................. 13

BAB III ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN................. 34

3.1 Provinsi Aceh..................................................................... 34

3.2 Kabupaten Aceh Besar....................................................... 34

3.3 Rumoh Aceh di Aceh Besar............................................... 35

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.................................. 49

4.1 Kesimpulan......................................................................... 49

4.2 Saran................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA............................................................... 50

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 3 | P a g e

Page 4: laporan tugas perkim

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumoh Aceh berkembang berdasar konsep kehidupan masyarakat Islam yaitu suci. Konsep suci ini menyebabkan rumoh Aceh berdiri di atas panggung. Dari segi nilai-nilai agama, berbagai sumber menyebutkan bentuk panggung ini untuk menghindari binatang yang najis seperti anjing. Selanjutnya mengenai peletakan ruang kotor seperti toilet atau area basah seperti sumur. Berdasar cerita nenek moyang masyarakat Aceh, toilet dsn sumur harus dibuat jauh dari rumah.

Konsep selanjutnya adalah penyesuaian terhadap tata cara beribadah dalam agama Islam. Kebiasaan Shalat menyebabkan peletakan rumoh Aceh memanjang mengikuti arah kiblat (ke barat) sehingga rumoh Aceh dapat menampung banyak orang bersholat. Kemudian peletakan tangga (reunyeun atau alat untuk naik ke bangunan rumah) juga tidak boleh di depan orang sholat sehingga tangga ditempatkan di ujung timur atau dibawah kolong rumah. Reunyeun ini juga berfungsi sebagai titik batas yang boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka ‘pantang dan tabu’ bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) untuk naik ke rumah.

Konsep ukhuwah Islamiah atau hubungan antar warga yang dekat dan terbuka menyebabkan jarak rumoh Aceh yang relatif rapat dan tidak adanya pagar permanen atau pun tidak ada pagar sama sekali di sekitar area rumoh Aceh. Selain konsep filosofi Islam, pada dasanya berbagai bentukan di dalam rumoh Aceh merupakan hasil respon penghuni terhadap kondisi geografis. Rumoh Aceh yang memiliki tipe berbentuk panggung memberikan kenyamanan thermal kepada penghuninya. Tipe rumah ini juga membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong. Sehingga rumah panggung dapat dimanfaatkan sebagai sistem kontrol yang praktis untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan penghuni dari banjir, binatang buas, dan orang asing.

Berbagai konsep tersebut akhirnya dapat membentuk beragam bentuk rumoh Aceh. Dari jenisnya, rumoh Aceh sebenarnya memiliki dua jenis rumah, yaitu rumoh Aceh dan rumoh santeut (datar) atau tampong limong atau rumah panggung. Memang kebiasaan penyebutan rumoh Aceh dalam masyarakat Aceh hanya untuk rumah yang sangat tinggi seperti yang terdapat di Museum Aceh. Perbedaan penyebutan rumoh aceh dan rumah panggung yang sangat kontras karena ketinggian lantai panggung ini menyebabkan salah pemahaman dari definisi pada masa lalu dan mendorong pengeklusifan rumoh aceh hanya sekedar miniatur yang dipajang di Museum Aceh.

Untuk meluruskan kembali istilah rumoh Aceh perlulah kiranya ditegaskan kembali bahwa pengertian rumoh Aceh adalah bangunan tempat tempat tinggal (Hadjah:1985), yang dibangun di wilayah Aceh, berbentuk panggung (1-5 meter), berbahan kayu, dan berornamen maupun tidak. Berawal dari pekarangan (leun rumoh) yang seperti menjadi milik bersama (konsep ukhuwah Islamiah), setiap bangunan rumah biasanya terdiri dari ruang seuramo likeu (serambi depan), jure (ruang keluarga), seuramo likot (serambi belakang), dan dapue (dapur).

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 4 | P a g e

BAB I

Page 5: laporan tugas perkim

Di bagian bawah rumah (lantai satu atau kadang disebut kolong rumah) dibiarkan kosong dan terbuka atau diberi panteu (sebuah tempat duduk menyerupai meja berbahan bambu atau kayu) atau digunakan untuk meletakkan alat-alat yang terkait dengan mata pencaharian sehari-hari atau dipakai untuk melakukan mata pencaharian seperti membuat kain tenun atau digunakan untuk tempat lumbung padi (krong) atau digunakan untuk kandang hewan peliharaan. Ruang utama atau rambat diisi dengan hamparan tikar ngom lapis tikar pandan. Kondisi ini memberikan keleluasaan ruang sehingga bisa multifungsi dan memberi sirkulasi udara yang baik. Secara kualitas ruang, ruang utama seperti ini juga mampu menghadirkan suasana kehangatan persaudaraan.

Demikianlah, bagi masyarakat Aceh baik nenek moyang maupun warga yang masih menempati rumoh Aceh hingga saat ini, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah yang menyebabkan pendirian rumah harus melalui beberapa tata cara tertentu, seperti pemilihan hari baik yang ditentukan oleh teungku (ulama setempat) dan pelaksanaan kenduri dengan upacara peusijuk.

Rumoh Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun tentunya didukung oleh konstruksi yang kokoh dan mutu bahan bangunan yang berkualitas. Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang rumoh Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24.

Apresiasi seni penghuni rumoh Aceh sangat tampak pada berbagai motif seni rupa yang tampak pada elemen-elemen rumoh Aceh. Contohnya pintoe (pintu) rumoh Aceh yang didesain hanya setinggi 120-150 cm seperti menyadarkan sikap yang baik untuk saling menghormati terutama kepada pemilik rumah. Pintu sebagai salah satu elemen rumah yang dipercayai memiliki nilai filosofi yang tinggi ini mendorong terbentuknya seni rupa unik. Hal ini membentuk ungkapan yang sangat terkenal di masyarakat Aceh yaitu “Pintoe rumoh Aceh ibarat hati orang Aceh, sulit untuk memasukinya namun begitu masuk akan diterima dengan penuh lapang dada serta kehangatan”. Bahkan motif ini tidak hanya digunakan pada elemen bangunan, namun pada pakaian hingga ke perhiasan.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini berkaitan dengan bagaimana bentuk Rumah Aceh yang ada di Daerah Aceh Besar. Baik itu terkait penataan eksterior yang masih bertahan maupun interior yang ada dalam Rumah Aceh di Lokasi Pemukiman tersebut. Hal ini dikaitkan dengan kebudayaan serta adat yang ada di sana.

1.3 Maksud dan Tujuan

Menjelaskan dan menelaah bentukan vernakular dari Rumah Aceh di Aceh Besar baik itu dari segi bentukan, filosofi, motif ukiran yang ada pada Rumah Aceh tersebut.

1.4 Batasan Permasalahan

Permasalahan disini dibatasi pada Arsitektur Rumah Aceh dan Lokasi Aceh Besar yang ditargetkan berada di Desa Piyeeng Datu dan Desa Lamme Garot.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 5 | P a g e

Page 6: laporan tugas perkim

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Filosofi dan Arsitektur Rumah Aceh

Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang miliki tinggi beragam sesuai dengan arsitektur si pembuatnya, namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5 – 3 meter dari atas tanah. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.

Merombak rumoh Aceh terbilang tidak begitu susah, misalnya saja ingin menambah ruangan dari tiga menjadi lima, maka tinggal menambahkan atau menghilangkan tiang bagian yang ada pada sisi kiri atau kanan rumah. Karena bagian ini yang sering disebut dengan seuramoe likot (serambi belakang) dan seuramoe reunyeun(serambi bertangga), yakni bagian tempat masuk ke rumoh Aceh yang selalu menghadap ke timur.

Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an) yang berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja-raja Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang, sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar. Ukuran tiang-tiang yang menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 – 35 cm.

Saat pembuatan film sejarah Pahlawan Nasional Tjut Nyak Dien dalam Perang Aceh – Belanda, sang sutradara Eros Djarot, memilih rumoh Aceh besar tersebut untuk mengisi beberapa scene dari filmnya tersebut.Memasuki pintu utama rumoh Aceh, kita akan berhadapan dengan beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu pada umumnya. Untuk tingginya sendiri, pintu tersebut pasti lebih rendah dari tinggi orang dewasa.

Biasanya tinggi pintu sekitar 120 – 150 cm dan membuat siapa pun yang masuk harus sedikit merunduk, konon makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga, ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun begitu kita masuk akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.

Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi dan meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara lesehan atau bersila di atas tikar bak ngom (sejenis tumbuhan ilalang yang ada di rawa lalu diproses dan dianyam) serta dilapisi dengan tikar pandan.Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang di yakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia.

Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika hendak menggabungkan bagian-bagian rumah yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 6 | P a g e

BAB II

Page 7: laporan tugas perkim

Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun. Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat.

Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.

Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:

1. Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;

2. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat padarinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;

3. Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai;

4. Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan

5. Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.

Lekuk ukiran yang masih terasa begitu khas di rumoh Aceh Tgk. Chik Awe Geutah

Wujud dari arsitektur rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adap

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 7 | P a g e

Page 8: laporan tugas perkim

tasimasyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosialuntuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung).

Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya.

Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan.

Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong. Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat.

Tali hitam yang menghubungkan seluruh elemen dari atap rumah/abuafatah.blogspot.com

Ada juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak di atapnya. Tali hitam atau tali ijuk tersebut (lihat gambar sebelah kiri) mempunyai kegunaan yang sangat berarti, saat terjadi kebakaran misalnya yang rentan menyerang atap karena bahan dari rumbia yang begitu mudah terbakar, maka pemilik rumah hanya perlu memotong tali tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang terjadi.

Dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa dalam pembuatan rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 8 | P a g e

Page 9: laporan tugas perkim

Jika arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk rumoh Aceh.

Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat.

Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka “pantang dan tabu” bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.

2.2 Bagian-Bagian dan Fungsi Ruangan Rumah Aceh

Saat melihat rumoh Aceh, kita akan menjumpai terlebih dahulu dengan bagian bawahnya. Bagian bawah ini akrab disebut dengan yup moh/miyup moh, yakni bagian antara tanah dan lantai rumah.

Bincang-bincang santai, juga merupakan salah satu kegiatan di "yup moh"

Lazimnya dibagian bawah ini bisa kita dapati berbagi benda, seperti jeungki(penumbuk padi) dankroeng (tempat menyimpan padi). Tidak hanya itu, bagian yup moh juga sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak, membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.

Beranjak ke bagian dalam rumoh Aceh merupakan tempat dimana segala aktifitas tuan rumah, baik yang bersifat pribadi ataupun bersifat umum. Pada bagian ini, secara umum terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 9 | P a g e

Page 10: laporan tugas perkim

Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe reungeun merupakan ruangan yang tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji saat malam atau siang hari. Disaat-saat tertentu, seperti ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi tempat penjamuan tamu untuk makan bersama.

Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe teungoh merupakan bagian inti dari rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula disebut sebagai rumoh inong (rumah induk). Sedikit perbedaan dengan ruang lain, dibagian ruangan ini terlihat lebih tinggi dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan bersifat sangat pribadi. Di ruangan ini pula akan kita dapati dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri dengan posisi menghadap ke utara atau selatan dengan pintu yang menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik itu terdapat pula gang yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang. Rumoh inong biasanya ditempat untuk tidur kepala keluarga, dan anjong untuk tempat tidur anak gadis.

Bila anak perempuan baru saja kawin, maka dia akan menempati rumah inong ini. Sedang orang tuanya akan pindah ke anjong. Bila ada anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke seuramoe likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat upacara perkawinan, mempelai akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada kematian rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.

Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang memiliki tinggi lantai yang sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan seperti menenun dan menyulam.

Namun, ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada di bagian belakang seuramoe likot. Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu(dapur) sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot. 

Setelah bagian bawah dan bagian dalam, kita lihat bagian atas dari rumoh Aceh. Tentunya bagian ini terletak di bagian atas seuramoe teungoh. Pada bagian tersebut sering diberi loteng yang memiliki fungsi untuk menyimpan barang-barang penting keluarga.

Ternyata membuat rumoh Aceh bukan hal mudah, jika dilihat dari segi bahan-bahan bangunan yang digunakan bisa susah kepayang untuk dicari saat ini, terutama kayu yang merupakan bahan utamanya. Kayu sendiri banyak digunakan untuk membuattameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya. Ada juga kayu yang telah dijadikan sebagai papan, ini biasanya akan digunakan untuk membuat lantai dan dinding rumah.

Trieng (bambu) juga tidak kalah penting dalam pembuatan rumoh Aceh, salah satu gunanya untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain sebagainya. Enau atau aren juga adakalanya digunakan untuk membuat lantai dan dinding selain menggunakan bambu, daun Enau sendiri bisa juga sebagai pengganti daun rumbia untuk atap rumoh Aceh.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 10 | P a g e

Page 11: laporan tugas perkim

Ada juga taloe meu-ikat (tali pengikat) yang dibuat ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang untuk saat ini biasa digunakan tali plastik. ‘Oen meuria (daun rumbia, buahnya sering dikenal dengan salak Aceh) merupakan salah satu bagian penting untuk pembuatan atap dari rumoh Aceh. Dan yang terakhir setelah ada daun rumbia, tentu peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Salah satu kegunaan pelepah rumbia digunakan untuk membuat dinding rumah, seperti rak-rak, dan sanding. Namun, pelepah ini bukan semata-semata pengganti dari papan.

Ruangan DepanRuangan ini biasanya dimanfaatkan serbaguna, disebabkan keadaannya ruangan yang

terbuka (tidak berbilik-bilik) dipergunakan antara lain:a. Tempat menerima tamub. Tempat anak-anak mengajic. Tempat anak-anak belajard. Tempat acara khandurie. Tempat sembahyangf. Tempat tidur tamu laki-laki/anak laki-lakig. Tempat istirahath. Tempat menyulam, menganyam tikarRuangan TengahRuangan ini dibagi tiga dipergunakan dua uran untuk tenpat tidur (juree), bahagian tengahnya sebagai tempat lalu lintas antara seuramo keu dengan seuramo likot.Beberapa hal yang istimewa pada bangunan Rumoh Aceh1. Bangunan rumoh aceh tanpa memakai paku2. Rumoh Aceh dapat dengan mudah dibongkar kalau mau dipindahkanke tempat

lain. Segala alat/bahan dapat dengan mudah dipasang kembali di tempat lain yang baru.

3. Mudah diselamatkan bila terjadi kebakaran, karena atap rumah aceh dalam tempo yang singkat dapat diturunkan ke tanah, dengan demikian bahaya kebakaran dapat diatasi dengan mudah dan cepat.

4. Berhubung dibangun dengan tiang-tiang yang tinggi, dia mudah sekali digeser kemana saja yang diperlukan. Umpamanya di tempat runmah tersebut dibangun jalan umum, dia mudah saja digeser ke tempat lain, tanpa membongkarnya.

2.3 Upacara Mendirikan Rumah Aceh

Upacara Sebelum Mendirikan Rumah

Sebelum mendirikan rumah Aceh ada upacarayang telah menjadi tradisi bagi suku Aceh, merupakan sedikit khanduri (kenduri).

a. Waktu memotong kayu untuk keprluan mendirikan rumah, biasanya dilakukan dengan kenduri peusijuk dengan ketan kuning

b. Mulai mengerjakan kayu-kayu yang telah terkumpul (peutamong utoh) hari pertama masuk tukang

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 11 | P a g e

Page 12: laporan tugas perkim

c. Pada hari mendirikan rumah, biasanya dengan ketan kuning dan makan bersama

Khanduri adalah sejenis upacara makan bersama yang dihadiri oleh kerabat/kawan dekat, famili dan orang-orang kampung dengan membaca doa bersama yang dipimpin oleh teungku Meunasah (imam meunasah). Khenduri ini merupakan hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat suku Aceh dalam setiap upacara.

Mengingat kenduri ini dianggap suatu hal (unsur) yang sangat penting dalam setiap upacar (pekerjaan) bagi pemeluk agama Islam untuk menyerahkan dan mohon perlindungan kepada Allah, dengan mengharapkan agar pekerjaan itu dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.

Sebelum upacara khanduri/makan bersama dimulai, pihak yang bersangkutan/tuan rumah menyampaikan maksud/tujuan serta segala hal yang menyangkut dengan rencana akan mendirikan sebuah bangunan tempat tinggal. Kepada seluruh yang hadir diharapkan bantuan sepenuhnya baik moril/tenaga/doa, yang terutama sekali bantuan dirikan tiang-tiang rumah pada hari didirikan. Setelah selesai makan bersama, maka disampaikan maksud dan tujuan oleh pemilik rumah segala persoalan selanjutnya, di kampung oleh kepala kampung (keuchik) bersama imam (teungku meunasah). Oleh keuchik (kepala kampung) mengadakan musyawarah secara kekeluargaan untuk memilih hari dan waktu yang baik, untuk melaksanakan maksud yang dicita-citakan oleh umpunya rumah tadi. Kalau pada zaman sekarang diistilahkan dengan perletakan batu pertama.

Pada saat mendirikan rumah ada dua upacara penting yang dilakukan

1. Upacara Tanom Kurah2. Upacara Peusijuk

Upacara tanom kurah di zaman dahulu telah menjadi tradisi bagi yang hendakmendirikan rumah Aceh. Malamnya jam 24.00 harus dipancangkan kurah ditengah-tengah tanah tempat yang akan didirikan rumah (bangunan). Menurut kepercayaan hal ini dapat membawa ketentraman/kebahagiaan bagi si penghuni rumah tersebut.

Upacara peusijuk dilakukan pada pagi harinya oleh si pemilik rumah itu sendiri ataupun yang mewakilinya kepada teungku meunasah (teungku imum). Tujuannya sama dengan memancangkan kurah tadi, agar yang akan menghuni rumah tersebut ataupun selama mendirikan rumah tidak ada hal yang merintang dan terhindar dari segala bahaya. Selesai upacara peusijuk, makan ketan kuning bersama, kemudian mendirikan rumah dimulai. Hal ini biasanya dilakukan pagi-pagi sebelum matahari tinggi. Ini suatu keprcayaan kalau matahri sudah tinggi kurang baik, rezeki akan berkurang, kalu matahari sudah condong ke Barat dapat membawa efek yang negatif bagi yang punya rumah.

2.4 Upacara Ek Rumoh Baro (Mendiami Rumah Baru)

Pada saat mendiami rumah baru diadakan suatu upacara yaitu khanduri Ek Rumoh Baro. Upacara ini biasa dilakukan siang hari ataupun setalah sembahyang Maghrib di rumah yang akan didiami tersebut.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 12 | P a g e

Page 13: laporan tugas perkim

Keuchik, teungku, famili, teman, kerabat serta seluruh penduduk kampung diundang. Juga tidak ketinggalan utoh rumoh itu sendiri. Dalam upacara tersebut setelah makan bersama pemilik rumah (wakilnya) menyampaikan ucapan terimakasih kepada segala pihak yang telah membantu baik moril/materil sehingga terlaksananya bangunan rumah tersebut tanpa rintangan apa-apa. Akhirnya diiringi doa yang dipimpin oleh teungku Meunasah. Hal ini sampai sekarang di Kabupaten Aceh Besar masih berjalan dengan baik.

2.5 Ukiran

Bangunan rumah tradisional Aceh banyak kita jumpai ukiran-ukiran. Hal ini dapat mengingatkan kita beberapa abad yang lalu, waktu itu semua rumah di Aceh Besar berbentuk rumah tradisional, penuh dengan ukiran-ukiran dengan motif-motif yang indah.

Akibat terjadinya perang Aceh dengan Belanda 1873 sampai dengan1904 banyak rumah-rumah tradisional ikut musnah dibakar oleh Belanda. Penduduk Aceh Besar terpaksa berpindah-pindah dan bergerilya. Untuk tempat tinggal mereka terpaksa dibuat rumah-rumah darurat, karena semua harta benda mereka ikut terbakar ataupun dirampas oleh Belanda.

Membuat rumah baru memakan waktu lama dan biaya banyak. Oleh sebab itu rumah-rumah yang dibangun kmudiang tidak terdapat ukiran-ukiran sepertisebalumnya. Hanya di sana-sini yang masih tinggal dan dapat kita hitung dengan jari seprti di kecamatan-kecamatan:

1. Seulimum2. Suka Makmur3. Montasik4. Ingin Jaya5. Darul Imarah6. Mesjid Raya7. Indrapuri8. Lhoong9. Peukan Bada10. Darussalam11. Kota Baro12. Lhoknga

Di pulau weh (Sabang) sekarang ini tidak terdapat lagi rumah tradisional. Begitu juga Kodya Banda Aceh terkecuali sebuah rumah Aceh (Museum Negeri Aceh) di depan pendopo. Rumah Aceh yang ada di komplek perumnas (jl Mata Ie) sekarang ini adalah rumah Almarhum Teuku Bachtiar Panglima Polem ex Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Besar, rumah yang dipindahkan dari Lampakuk Indrapuri.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 13 | P a g e

Page 14: laporan tugas perkim

Dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain dalam proponsi Aceh, Aceh Besar merupakan daerah yang masih banyak kita jumpai rumah-rumah adat tradisional, walaupun diantaranya banyak yang tidak ada ukiran.

Ukiran yang kita jumpai di rumah Aceh antara lain pada:

1. Rinyeuen (tangga)2. Kindang3. Binteih (dinding)4. Peulangan5. Bara6. Tingkap (jendela)7. Pinto (pintu)8. Diri, dan lain-lain

Mendirikan rumah adat trdisional Aceh mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri antara lain:

1. Kayu yang dipergunakan2. Cara memotong3. Cara mendirikan4. Upacara-upacara yang dilakukan di waktu mendirikan rumah antara lain:

a. Peusijuk bak kaye waktu hendak dipotongb. Peusijuk Utok (tukang)c. Peusijuk tanah tempat mendirikan rumahd. Peusijuk rumah dan sebagainya

Di antara ukiran-ukiran yang dapat dibanggakan/menakjubkan yang telah dibuat sekitar lima abad lalu ialah mimbar yang terdapat di mesjid Lambadeuk Kec. Peukan Bada.

Di samping ayat-ayat Al-Qur’an/kaligrafi yang indah, bentuk mimbar sedikit ada pengaruh kebudayaan Hindu. Hal ini karena sebelum datang agama Islam ke Aceh terlebih dahulu telah berkembang agama Hindu.

Cakra Donya

Cakra Donya adalah suatu lonceng besar yang sekarang terdapat di komplek Museum Negeri Aceh. Lonceng ini terbuat dari besi dalam bentuk stupa dengan ukiran tinggi 1,25 meter dan diameternya 0,75 meter. Pada bagian luarnya terdapat hiasan-hiasan berupa ukiran simbul dalam bentuk huruf Arab tidak dapat dibaca lagi. Inkripsi dalam bahasa China berbunyi “Sang Fang Niat Tung Yuut Kat Yatco” yang dapat diartikan “Sultan Sing Fang yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke lima”.

Diduga tuangan lonceng tersebut dahulu dilapisi dengan emas di bagian luarnya. Sesuai dengan tahun yang tertera di atasnya, lonceng tersebut dituang dalam tahun 14009 M (menurut G.L. Tiechelmen). Menurut Kreemer Cakradonya dituang pada tahun 1469 M, sangat disayangkan anak geunta yang asli dari lonceng ini telah hilang sejak tahun 1915.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 14 | P a g e

Page 15: laporan tugas perkim

Gendrang/Seurunee Kalee

Gendrang salah satu alat kesenian (instrumental) yang terbuat dari kayu, kulit dan bambu. Pada alat ini terdapat ukiran-ukiran yang bermacam-macam motif.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 15 | P a g e

Page 16: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 16 | P a g e

Page 17: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 17 | P a g e

Page 18: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 18 | P a g e

Page 19: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 19 | P a g e

Page 20: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 20 | P a g e

Page 21: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 21 | P a g e

Page 22: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 22 | P a g e

Page 23: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 23 | P a g e

Page 24: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 24 | P a g e

Page 25: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 25 | P a g e

Page 26: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 26 | P a g e

Page 27: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 27 | P a g e

Page 28: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 28 | P a g e

Page 29: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 29 | P a g e

Page 30: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 30 | P a g e

Page 31: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 31 | P a g e

Page 32: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 32 | P a g e

Page 33: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 33 | P a g e

Page 34: laporan tugas perkim

PEMBAHASAN

3.1 Provinsi Aceh

Aceh yang pada awalnya digelar oleh Panglima Meurah Johansyah disebut Atjih/Aceh Darussalam (1205-1959) selanjutnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) dan menjadi provinsi Aceh (2009-sekarang)adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasansejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.

Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.

Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.

3.2 Kabupaten Aceh Besar

Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Sebelum dimekarkan di akhir tahun 1970-an, ibu kota Kabupaten Aceh Besar adalah Kota Banda Aceh, kemudian Kota Banda Aceh berpisah menjadi kotamadya sehingga ibu kota Kabupaten Aceh Besar pindah ke daerah Jantho di Pegunungan Seulawah. Kabupaten Aceh Besar juga merupakan tempat kelahiran pahlawan nasional Cut Nyak Dhien yang berasal dari Lampadang.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 34 | P a g e

BAB III

Page 35: laporan tugas perkim

Wisata budaya

Museum Cut Nyak Dhien pada mulanya merupakan tempat tinggal pahlawan wanita yang bernama Cut Nyak Dhien. Di dalamnya berisi koleksi sejarah Aceh yang dikelola dan dirawat oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Hanya pondasi yang asli dari bangunan ini, sedangkan yang berdiri sekarang ini adalah hasil renovasi bangunan yang sebelumnya telah dibakar oleh Belanda.

Masjid Tua Indra Puri berlokasi sekitar 25 km ke selatan arah ke Medan dan dapat ditempuh dengan transportasi apapun. Indra Puri adalah Kerajaan Hindu dan merupakan tempat pemujaan sebelum Islam masuk. Kemudian, Sultan Iskandar Muda memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Dan setelah seluruh masyarakat memeluk Islam, tempat yang sebelumnya kuil diubah menjadi sebuah masjid. Bangunan mesjid berdiri di atas tanah seluas 33.875 m², terletak di ketinggian 4,8 meter diatas permukaan laut dan berada sekitar 150 meter dari tepi Sungai Krueng Aceh.

Benteng Indra Patra terletak ± 19 km dari Banda Aceh arah ke Krueng Raya, dekat Pantai Ujong Batee. Menurut riwayat dibangun pada masa pra Islam di Aceh yaitu pada masa Kerajaan Hindu,Indra Patra. Namun ada sumber yang menyebutkan bahwa benteng ini dibangun pada masa Kesultanan Aceh Darussalam dalam upaya menahan serangan Portugis. Benteng ini sangat besar fungsinya pada zaman Sultan Iskandar Muda yang angkatan lautnya, pada waktu itu, dipimpin oleh Laksamana Malahayati.[7]

Makam Laksamana Malahayati terletak sekitar 32 km dari Kota Banda Aceh. Ia adalah seorang laksamana wanita pertama yang memimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Museum Ali Hasymi merupakan kebanggaan lain kota Banda Aceh. Ali Hasymi yang mantan Gubemur Aceh dan seniman memiliki koleksi pribadi yang berharga dan menarik. Kini koleksi beliau dijadikan pajangan di museum tersebut antara lain kitab- kitab karya para ulama besar Aceh tempo dulu, keramik kuno, senjata khas Aceh, cendera mata dari berbagai pelosok dunia, dll.

Perpustakaan Kuno Tanoh Abee terdapat di Desa Tanoh Abee, di kaki Gunung Seulawah, Aceh Besar. Perpustakaan Tanoh Abee terletak di dalam kompleks Pesantren Tanoh Abee yang didirikan oleh keluarga Fairus yang mencapai klimaks kejayaannya pada masa pimpinan Syekh Abdul Wahab yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee. Ia meninggal pada tahun1894 dan dimakamkan di Tanoh Abee. Pengumpukan naskah (manuskrip) Dayah Tanoh Abee telah dimulai sejak Syekh Abdul Rahim, kakek dari Syekh Abdul Wahab. Naskah yang terakhir ditulis pada masa Syekh Muhammad Sa’id, anak Syekh Abdul Wahab yang meninggal dunia pada tahun 1901 di Banda Aceh, dalam tahanan Belanda.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 35 | P a g e

Page 36: laporan tugas perkim

Rumoh Teunuen Nyak Mu merupakan pusat produksi tenun asli khas Aceh, yang berlokasi di Gampong Siem Mukim Siem Kecamatan Darussalam. Lokasi ini berjarak 12 KM ke sebelah Timur Kota Banda Aceh. Di Rumoh Teunuen Nyak Mu ini di produksi aneka kain tenun Aceh dengan beragam motif khas Aceh.

Wisata alam

Pantai Lhok Nga

Pantai Lam Pu'uk

Pantai Ujong Batee

Pantai Lhok Me

Air terjun Sihom, Lhong

Air terjun Kuta Malaka

Air terjun Peukan Biluy

Waduk Keuliling[8]

Taman Hutan Rakyat Po Cut Meurah Intan[9]

Pusat Latihan Gajah Saree

Gunung Seulawah Agam

Cagar Alam Jantho[10]

Brayen (Irigasi) Leupung

Pantai Riting Leupung

Pantai Lhok Seudu Leupung

3.3 Rumoh Aceh di Aceh Besar

Rumah Aceh di sekitar Aceh Besar, terbagi atas 2 level yaitu:

Rumah perombakan

Rumah yang bentukannya masih asli

Daerah Desa yang di survei adalah Desa Lamme Garot dan Desa Piyeung Datu.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 36 | P a g e

Page 37: laporan tugas perkim

Rumoh Aceh 1

Rumoh aceh pertama terletak pada desa lammme garot

Daerah lamme garot ini memiliki meunasah di dekatnya.

Juga Terdapat sebuah Mesjid yang merupakan Markas Tabligh

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 37 | P a g e

Masjid cot goh

Meunasah lamme garot

Daerah rumoh aceh 1

Denah Rumah 1

Lokasi Survey Rumah 1

Page 38: laporan tugas perkim

Bagian Kaki Bangunan

Pada bagian kakinya bangunan rumah pertama yang kami survey masih berupa pondasi asli, yakni pondasi umpak yang banyak ditemui pada Rumah Aceh. Sambungan pada bagian yang dinamakan “toi” nya juga masih merupakan ciri khas dari sambungan konstruksi tanpa paku.

Tangga Rumah

Jumlah anak tangga merupakan jumlah bilangan ganjil, yakni 5 anak tangga.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 38 | P a g e

Page 39: laporan tugas perkim

Jendela

Tak banyak perubahan yang di modifikasi dari bangunan rumah Aceh 1 yang kami survey ini. Perubahan mendasar hanya terdapat pada bagian atap rumah. Material dinding seperti yang terlihat pada gambar di atas masih merupakan material awal yang berupa dinding kayu sebagaimana informasi dari pemilik rumah dinding kayu ini sudah digunakan sejak pembangunan rumah, tanpa ada tambahan atau paenggantian apapun.

Meunasah di Lamme Garot

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 39 | P a g e

Page 40: laporan tugas perkim

Desa Lamme Garut ini memiliki sebuah meunasah yang terletak berdekatan dengan rumah Aceh 1 hasil survey kami. Berdasarkan observasi yang kami lakukan pada meunasah ini tidak terdapat shaft yang diperuntukkan bagi kaum hawa (wanita). Dari gambar diatas terlihat ruang dalam dari meunasah tersebut yang hanya berupa shaft pria. Sesuai dengan apa yang menjadi tradisi masyarakat Aceh dimana kaum wanita melakukan sholat di rumah. Dan kaum pria melaksanakan sholat berjamaah di meunasah atau di mesjid. Dari pengamatan kami, pola perlatakan meunasah membentuk pola radial dari perumahan penduduk sekitar meunasah tersebut. Ini dikarenakan letak meunasah yang berada di tengah-tengah perumahan penduduk.

Setelah melakukan survey di desa Lamme Garot, kami beranjak melanjutkan perjalanan menuju Desa Piyeng Datu yang berada ±1 km dari Desa Lamme Garot melewati jalan lingkungan. Gambaran jarak tempuh kami dapat dilihat pada gambar dibawah.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 40 | P a g e

Page 41: laporan tugas perkim

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 41 | P a g e

Desa Lamme garot

Desa Piyeeng Datu

meunasah

Rumoh aceh 2

Rumoh aceh 3

Skema perjalanan menuju Desa Piyeng Datu serta gambar tata letak Rumoh Aceh 2 dan Rumoh Aceh 3

Page 42: laporan tugas perkim

Rumah Aceh 2

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 42 | P a g e

Page 43: laporan tugas perkim

Bagian bawah Rumah Aceh 2

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 43 | P a g e

Perspektif dari jalan depan Rumah

Denah Rumah ke 2

Page 44: laporan tugas perkim

Terlihat “toi” dan “lhue” serta “tameh” pada gambar di atas. “tameh” pada rumah ini merupakan bentuk umum yang banyak terdapat pada rumah Aceh yakni bentuk silinder. Pada bagian tangga rumah terlihat jumlah anak tangga yang merupakan hitungan ganjil, yakni tujuh anak tangga. Dari obserfasi kami, bagian bawah rumah ini dimanfaatkan untuk area bermain anak-anak. Si pemilik rumah memiliki 2 orang cucu yang masih belia, yang satu sudah sekolah di SD dan satunya lagi belum sekolah, masih berumur empat tahun. Bagian bawah ini juga digunakan sebagai tempat bersantai oleh empunya rumah. Sekedar duduk menikmati kopi pagi bagi si kakek dan menikmati siang hari bagi anggota rumah lainnya.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 44 | P a g e

Page 45: laporan tugas perkim

Jendela rumah sebagian sudah mengalami modifikasi, yakni penggunaan material kaca, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Namun, masih ada yang merupakan bagian asli dari awal pembangunan rumah, seperti yang terlihat pada gambar di bawah.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 45 | P a g e

Page 46: laporan tugas perkim

Rumah Aceh 3

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 46 | P a g e

Denah Rumah Aceh ke 3

Page 47: laporan tugas perkim

Konstruksi bangunan dan tangga

Terlihat “toi” sebagai konstruksi utama pada lantai yang tanpa ukiran pada gambar di atas, hanya berupa balok segiempat. Struktur pondasi umpak sebagai penyangga beban “tameh” pada gambar diatas berupa batu bulat yang diletakkan begitu saja, namun terlihat seperti ditanam.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 47 | P a g e

Page 48: laporan tugas perkim

Pada bagian tangga, sebagaimana pembahasan pada rumah-rumah sebelumnya, jumlah anak tangga pada rumah ini juga berjumlah ganjil, yakni tujuh anak tangga. Namun, pada rumah yang terakhir ini tangganya menggunakan penutup yang berfungsi sebagai pencegahan terjadinya pencurian pada malam hari. Dari observasi kami, penutup tangga ini dapat menimbulkan bunyi berderit ketika dibuka. Fungsi lainnya untuk mencegah naiknya hewan

seperti ayam pada siang hari. Penutup ini juga mendukung pencegahan serangan hewan liar yang mampu menaiki tangga seperti harimau.

Bagian dalam Rumah

Pada gambar diatas terlihat interior serambi depan (“seuramo keu”) yang mana terdapat ukiran-ukiran sepanjang “bara”. Sebagian tulak angen juga terlihat menarik dari sisi dalam seuramo keu. Selain menonjolkan sisi estetis, ukiran tulak angen ini juga memberikan efek yang baik bagi pertukaran udara dari dalam ke luar rumah atau sebailknya.

Setelah menikmati seuramo keu, kami beranjak menuju ruang tengah yang disebut seuramo teungoh yang terdapat 1 kamar tidur.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 48 | P a g e

Page 49: laporan tugas perkim

Menuju ke seuramo keu kami melewati satu tanjakan anak tangga seperti yang terlihat pada gambar di atas. Anak tangga ini juga diberikan sedikit bentuk ukiran.

Di seuramo keu terdapat satu kamar tidur (juree) tepat di sebelah kiri.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 49 | P a g e

Page 50: laporan tugas perkim

Setelah melewati koridor tersebut, kami menuju ke seuramo likot dengan menuruni tangga kecil.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 50 | P a g e

Koridor di seuramo tingoh

Juree (kamar tidur)

Page 51: laporan tugas perkim

gambar di atas merupakan lantai dapur.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 51 | P a g e

Tulak Angen dan ukirannya

Page 52: laporan tugas perkim

Terdapat beberapa variasi ukiran yang terlihat dari Rumah Aceh satu ini. Sangat khas dengan bentukan yang kata penduduk setempat memiliki makna tersendiri. Sebagaimana teldapat pada beberapa bagian gambar diatas.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan telaah dari penulis, beberapa bangunan di daerah ini telah mengalami beberapa modifikasi. Modifikasi yang dimaksud disini berupa perubahan material atap, penambahan area atau dapat dikatakan peeluasan area rumah, beberapa rumah memiliki sedikit ukiran.

4.2 Saran

Saran dari Penulis berdasar dari pembahasan yang ada sebelumnya, mari kita lestarikan warisan nusantara yang berwujud Arsitektural tersebut.

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 52 | P a g e

BAB

Page 53: laporan tugas perkim

SUMBER PUSTAKA

www.AtjehLINK.com

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Besar

http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh

Buku Seni Rupa Aceh

Perumahan dan Permukiman (JTA115) 53 | P a g e