laporan tetap teknologi emulsi
DESCRIPTION
DzTRANSCRIPT
Teknologi Emulsi
I. Tujuan Percobaan
Mahasiswa dapat mengetahui teknologi emulsi pada berbagai jenis produk
pangan
Mahasiswa dapat mempelajari mekanismme kerja emulsifier di dalam teknologi
pangan
II. Alat dan Bahan
a. Alat
Mixer
Kompor
Baskom
Panci
Pengaduk
Thermometer
Gelas ukur
Timbangan
b. Bahan
Susu bubuk skim
Susu kental manis
Gula pasir
Essence cokelat
Gelatin (agar-agar)
Telur
CMC
Aquadest
III. Dasar Teori
Emulsi adalah suatu system yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling
melarutkan, dimana salah satu cairan terdispersi dalam brntuk globula-globula di dalam
cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi,
sedangkan cairan yang mengelilingi globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium
dispersi. Berdasarkan jenis fase kontinyu dan fase terdispersinya dikenal dua tipe emulsi
yaitu emulsi tipe O/ W dan tipe
W/ O.
Di dalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan campuran dua atau lebih
bahan kimia yang tergolong ke dalam emulsifier dan stabilizer. Tujuan dari penambahan
emulsifier adalah untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan
interfasial) sehingga memudahkan terbentuknya emulsi. Sedangkan tujuan penambahan
stabiliser adalah untuk meningkatkan viscositas fase kontinyu agar supaya emulsi yang
terbentuk menjadi lebih stabil.
Emulsifier dan stabiliser biasanya ditambahkan juga ke dalam emulsi alamiah yang
tidak stabil seperti susu dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan emulsi dan
meningkatkan kestabilannya.
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan
yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase terdispersi dan
larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi minyak dalam air. Sebaliknya,
jika air atau larutan air yang merupakan fase terdispersi dan minyak atau bahan seperti
minyak sebagai fase pembawa, sistem ini disebut emulsi air dalam minyak. Emulsi dapat
distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang mencegah koalesensi, yaitu
penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besardan akhirnya menjadi suatu fase tunggal yang
memisah (Anonim, 1995). Emulsi merupakan preparat farmasi yang terdiri 2 atau lebih zat
cair yang sebetulnya tdk dapat bercampur (immicible) biasanya air dengan minyak lemak.
Salah satu dari zat cair tersebut tersebar berbentuk butiran-butiran kecil kedalam zat cair yang
lain distabilkan dengan zat pengemulsi (emulgator/emulsifiying/surfactan). Sedang menurut
Farmakope Indonesia edisi ke III, emulsi merupakan sediaan yang mengandung bahan obat
cair atau larutan obat terdispersi dalam cairan pembawa distabilkan dengan zat pengemulsi
atau surfactan yang cocok.
Dalam batas emulsi, fase terdispers dianggap sebagai fase dalam dan medium dispersi
sebagai fase luar atau kontinu. Emulsi yang mempunyai fase dalam minyak dan fase luar air
disebut emulsi minyak-dalam-air dan biasanya diberi tanda sebagai emulsi “m/a”. Sebaliknya
emulsi yang mempunyai fase dalam air dan fase luar minyak disebut emulsi air-dalam-
minyak dan dikenal sebagai emulsi ‘a/m”. Karena fase luar dari suatu emulsi bersifat kontinu,
suatu emulsi minyak dalam air diencerkan atau ditambahkan dengan air atau suatu preparat
dalam air. Umumnya untuk membuat suatu emulsi yang stabil, perlu fase ketiga atau bagian
dari emulsi, yakni: zat pengemulsi (emulsifying egent). Tergantung pada konstituennya,
viskositas emulsi dapat sangat bervariasi dan emulsi farmasi bisa disiapkan sebagai cairan
atau semisolid (setengah padat) (Ansel, 1989).
Zat pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar
memperoleh emulsa yang stabil. Zat pengemulsi adalah PGA, tragakan, gelatin, sapo dan
lain-lain. Emulsa dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu emulsi vera (emulsi alam) dan
emulsi spuria (emulsi buatan). Emulsi vera dibuat dari biji atau buah, dimana terdapat
disamping minyak lemak juga emulgator yang biasanya merupakan zat seperti putih telur
(Anief, 2000).
Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari cairan yang mudah dituang hingga
krim setengah padat. Umumnya krim minyak dalam airdibuat pada suhu tinggi, berbentuk
cair pada suhu ini, kemudian didinginkan pada suhu kamar, dan menjadi padat akibat
terjadinya solidifikasi fase internal. Dalam hal ini, tidak diperlukan perbandingan volume
fase internal terhadap volume fase eksternal yang tinggi untuk menghasilkan sifat setengah
padat, misalnya krim stearat atau krim pembersih adalah setengah padat dengan fase internal
hanya hanya 15%. Sifat setengah padat emulsi air dalam minyak, biasanya diakibatkan oleh
fase eksternal setengah padat (Anonim, 1995).
Polimer hidrofilik alam, semisintetik dan sintetik dapat dugunakan bersama surfakatan
pada emulsi minyak dalam air karena akan terakumulasi pada antar permukaan dan juga
meningkatkan kekentalan fase air, sehingga mengurangi kecepatan pembenrukan agregat
tetesan. Agregasi biasanya diikuti dengan pemisahan emulsi yang relatif cepat menjadi fase
yang kaya akan butiran dan yang miskin akan tetesan. Secara normal kerapatan minyak lebih
rendah daripada kerapatan air, sehingga jika tetesan minyak dan agregat tetesan meningkat,
terbentuk krim. Makin besar agregasi, makin besar ukuran tetesan dan makin besar pula
kecepatan pembentukan krim (Anonim, 1995).
Semua emulsi memerlukan bahan anti mikroba karena fase air mempermudah pertumbuhan
mikroorganisme. Adanya pengawetan sangat penting untuk emulsi minyak dalam air karena
kontaminasi fase eksternal mudah terjadi. Karena jamur dan ragi lebih sering ditemukan
daripada bakteri, lebih diperlukan yang bersifat fungistatik atau bakteriostatik. Bakteri
ternyata dapat menguraikan bahn pengemulsi ionik dan nonionik, gliserin dan sejumlah
bahan pengemulsi alam seperti tragakan dan gom (Anonim, 1995).
Komponen utama emulsi berupa fase disper (zat cair yang terbagi-bagi menjadi
butiran kecil kedalam zat cair lain (fase internal)); Fase kontinyu (zat cair yang berfungsi
sebagai bahan dasar (pendukung) dari emulsi tersebut (fase eksternal)); dan Emulgator (zat
yang digunakan dalam kestabilan emulsi). Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi
sebagai fase internal ataupun eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi 2 : Emulsi tipe
w/o (emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar ke dalam minyak, air berfungsi sebagai
fase internal & minyak sebagai fase eksternal) dan Emulsi tipe o/w (emulsi yang terdiri dari
butiran minyak yang tersebar ke dalam air) (Ansel, 1989).
Tujan pemakaian emulsi antara lain secara umum untuk mempersiapkan obat yang larut
dalam air maupun minyak dalam satu campuran:
a.Emulsi dalam pemakaian dalam (peroral) umumnya tipe O/W
b.Emulsi untuk pemakaian luar dapat berbentuk O/W maupun W/O
2. Teori Lapisan Adsorpsi dan Tegangan Permukaan
Tegangan permukaan mempunyai peranan yang besar sekali dalam proses
pembentukan emulsi. Apabila tegangan permukaan antara kedua fase sama maka tidak akan
terbentuk emulsi. Oleh karena itu perlu adanya penurunan tegangan permukaan pada salah
satu fase.
Pada proses pembentukan emulsi dibutuhkan emulsifier dan energy untuk memecah
fase terdispersi menjadi butiran-butiran yang halus. Emulsifier tersebut akan diadsorpsi oleh
medium disperse lebih besar dari pada zat yang terdispersi. Adsorpsi emulsifier ini akan
menurunkan tegangan permukaan dari medium disperse lebih besar dari zat yang terdispersi,
sehingga mengurangi kecenderungan medium disperse membentuk suatu lapisan yang
terpisah, akibatnya akan terbentuk emulsi.
Sistem kerja emulsifier berhubungan erat dengan tegangan permukaan antara kedua
fase (tegangan interfasial). Selama emulsifikasi, emulsifier berfungsi menurunkan tegangan
interfasial sehingga mempermudah pembentukan permukaan interfasial yang sangat luas
(gambar 1). Bila tegangan interfasial turun sampai dibawah 10 dyne/cm maka emulsi dapt
dibentuk, sedangkan bila tegangan interfasial mendekati nilai nol maka emulsi akan terbentuk
dengan spontan.
Gambar 1. Skema terjadinya emulsi minyak dalam air
Pada suatu emulsifikasi, energy yang dibutuhkan untuk membentuk batas permukaan
dua fase (interfasial) yang baru akan berkurang bila tegangan interfasialnya swemakin rendah.
Hal ini telah dibuktikan oleh Powrie dan Tung (1976) dengan percobaan sebagai berikut.
Untuk mendispersikan satu milliliter air dibutuhkan engergi kira-kira sebesar 247.800 erg.
Tetapi bila ke dalam system emulsi minyak olive-air tersebut ditambahkan sejenis emulsifier
untuk menurunkan tegangan interfasialnya dari 22.9 menjadi 3.0 dyne/cm (pada 20 oC) maka
energy yang dibutuhkan untuk membentuk interfase yang baru hanya berjumlah 36.00 erg.
3. Teori Polar dan Non Polar
Pada dasarnya emulsifier merupakan “surfactant” yang mempunyai dua gugus yaitu
gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Gugus hidrofilik bersifat polar dan mudah bersenyawa
dengan air sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah besenyawa dengan mi
nyak. Di dalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila
gugus polarnya lebih dominan maka molekul-molekul emulsifier terseburt akan diadsorpsi
lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air
dibandingkan dengan minyak, tegangan permukaan air lebih rendah sehingga mudah
menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian juga sebaliknya, bila gugus non polarnya
yang lebih dominan maka molekul-molekul emulsifier tersebut akan diadsorpsi lebih kuat
oleh minyak dibandingkan dengan oleh air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi
lebh rendah sehingga mudah menyebar menjadi fase kontinyu. Pada gambar 2 dapat dilihat
diagram yang menunjukkan orientasi suatu emulsifier di dalam suatu emulsi minyak dalam
air.
Selain factor-faktor diatas perbandingan antara volume minyak dengan air
menentukan tipe emulsi yang terjadi. Bila suatu sitem emulsi emngandung lebih dari 31-45 %
air maka tipe emulsi yang terbentuk umumnya minyak dalam air. Sedangkan bial system
tersebut mengandung air kurang dari 10-25 % air maka tipe emulsi yang terbentuk umumnya
air dalam minyak. Bila diasumsikan bahwa butiran-butiran yang terdispersi dari suatu emulsi
berbentuk bola berukuran seragam dana tidak ada yang pecah maka 74 % dari volume total
dari suatu emulsi dapat menjadi fase terdispersi.
Gambar 2. Orientasi suatu emulsifier di dalam suatu emulsi minyak dalam air
Pada proses pembuatan emulsi dibutuhkan jenis emulsifier yang cocok dengan tujuan
memperoleh tipe emulsi yang diinginkan secara tepat dan ekonpmis. Mengingat saat ini
terdapat banyak sekali jenis emulsifier maka diperlukan cara yang sistematis untuk
menentukan emulsifier mana yang paling cocok untuk suatu jenis emulsi. Untuk menjawab
masalah ini, Griffin mengembangkan suatu konsep yang diberi nama “ Hydrophilic-
Lipophilic Balance”. Konsep ini ternyata telah digunakan dengan sukses dalam berbagain
proses pembuatan emulsi.
Hydrophilic-Lipophilic Balance yang disingkat dengan HLB menggambarkan rasio
berat gugus hidrofilik dan lipofilik di dalam molekul emulsifier. Nilai HLB suatu emulsifier
dapat ditentukan dengan salah satu diantara metode-metode berikut, yaitu:
Metode titrasi
Membandingkan stuktur kimia molekul
Mencari korelasi dengan nilai tegangan permukaan dan tegangan interfasial
Koefisien pengolesan
Daya larut zat warna
Konstanta dielektrika
Dengan teknik kromatograafi gas-cairan
Penentuan nilai HLB secara kasar dapat dilakukan dengan melihat dispersibilitasnya di
dalam air dan membandingkannya dengan nilai-nilai pada table 1. Khusus untuk emulsifier
non ioni, nilai HLBnya dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
1. HLB =E5
Dimana:
E : persentase berat gugus hidrofilik molekul
Contoh :
Kandungan oksietilen di dalam polioksietilen stearat adalah 85 persen maka HLB =
855
=17
2. HLB = 20(1− SA )
Dimana:
S : bilangan yang saponifikasi ester dari emulsifier yaitu bilangan yang menunjukkan
jumlah alkali yang dibutuhkan (mg KOH) untuk mengsabunkan satu gram lemak
A : bilangan asam dari emulsifier yang ditentukan dengan prosedur sebagai berikut: mula-
mula asam lemak dipisahkan dari emulsifier dengan proses penyabunan yang
menggunakan alkali berlebiha kemudian diasamkan dengan asam anorganik dan
diekstraksi dengan heksan. Hasilnya dipisahkan dari heksan sehingga diperoleh asam
lemak murni. Nilai bilangan asam emulsifier dapat dihitung dari jumlah alkali yang
dibutuhkan untuk menetralkan satu gram lemak.
Contoh:
Bilangan saponifikasi dari gliserol monostearat tipe komersil (mono dan digliserol)
adalah 175 dan bilangan asamnya adalah 200, maka nilai HLB= 20(1−175200 )=2.5
Tabel 1. Dispersibilitas emulsifier di dalam air pada berbagai nilai HLB
Dispersibilitas Kisaran nilai HLB
Tidak terdispersi
Sedikit terdispersi
Terdispersi seperti susu dengan
pengadukan
Terdispersi seperti susu dengan kondisi
yang stabil
Terdispersi menjadi larutan yang tembus
cahaya hingga jernih
Terdispersi menjadi larutan jernih
1-4
3-6
6-8
8-10
10-13
13+
Sumber: becher (1965) di dalam Pwrie dan Tung 1976
Pada emulsifier yang mempunyai nilai HLB antara 3-6 akan membentuk tipe emulsi
air dalam minyak, sedangkan emulsiofier yang mempunyai nilai HLB 8-18 akan membentuk
tipe minyak dalam air. Namun untuk memperoleh suatu emulsi yang stabil biasanya
dibutuhkan campuran dari dua atau lebih ewmulsifier yang merupakan kombinasi dari
persenyawaan hidrofilik dan lipofilik.
Bila kita menginginkan suatu campuran emulsifier , misalnya campuran A dan B
dengan nilai HLB tertentu maka persentase berat tiap persenyawaan yang dibutuhkan untuk
membentuk campuran tersebut dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
% A=100 ( X−HLB B )HLB A−HLB B
Contoh:
Jumlah polioksietilen sorbitan oleat (HLB=15.0) dan sorbitan oleat (HLB=4.3) yang
dibutuhkan untuk memperoleh suatu vcampuran yang mempunyai nilai HLB=12 ssebagai
berikut:
% Polioksietilen sorbitan oleat =100 (12.0−4.3 )
15.0−4.3=72
% Sorbitan oleat = 100 – 72 = 28
4. Jenis-jenis Emulsi
4.1. Jenis-jenis Emulsi berdasarkan medium pendispersinya
Berdasarkan medium pendispersinya, emulsi dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu sebagai
berikut:
1. Emulsi Gas
Emulsi gas dapat disebut juga aerosol cair yang adalah emulsi dalam medium
pendispersi gas. Pada aerosol cair, seperti; hairspray dan obat nyamuk dalam kemasan
kaleng, untuk dapat membentuk system koloid atau menghasilkan semprot aerosol yang
diperlukan, dibutuhkan bantuan bahan pendorong/ propelan aerosol, anatar lain; CFC
(klorofuorokarbon atau Freon). Aerosol cair juga memiliki sifat-sifat seperti sol liofob;
efek Tyndall, gerak Brown, dan kestabilan dengan muatan partikel.
Contoh: dalam hutan yang lebat, cahaya matahari akan disebarkan oleh partikel-partikel
koloid dari sistem koloid kabut adalah merupakan contoh efek Tyndall pada aerosol cair.
2. Emulsi Cair
Emulsi cair melibatkan dua zat cair yang tercampur, tetapi tidak dapat saling
melarutkan, dapt juga disebut zat cair polar &zat cair non-polar. Biasanya salah satu zat
cair ini adalah air (zat cair polar) dan zat lainnya; minyak (zat cair non-polar). Emulsi cair
itu sendiri dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu; emulsi minyak dalam air (contoh:
susu yang terdiri dari lemak yang terdispersi dalam air,jadi butiran minyak di dalam air),
atau emulsi air dalam minyak (contoh: margarine yang terdiri dari air yang terdispersi
dalam minyak, jadi butiran air dalam minyak).
3. Emulsi Padat atau gel
Gel adalah emulsi dalam medium pendispersi zat padat, dapat juga dianggap sebagai
hasil bentukkan dari penggumpalan sebagian sol cair. Partikel-partikel sol akan
bergabung untuk membentuk suatu rantai panjang pada proses penggumpalan ini. Rantai
tersebut akan saling bertaut sehingga membentuk suatu struktur padatan di mana medium
pendispersi cair terperangkap dalam lubang-lubang struktur tersebut. Sehingga,
terbentuklah suatu massa berpori yang semi-padat dengan struktur gel. Ada dua jenis gel,
yaitu:
(i) Gel elastic
Karena ikatan partikel pada rantai adalah adalah gaya tarik-menarik yang relatif tidak
kuat, sehingga gel ini bersifat elastis. Maksudnya adalah gel ini dapat berubah bentuk jika
diberi gaya dan dapat kembali ke bentuk awal bila gaya tersebut ditiadakan. Gel elastis
dapat dibuat dengan mendinginkan sol iofil yang cukup pekat. Contoh gel elastis adalah
gelatin dan sabun.
(ii) Gel non-elastis
Karena ikatan pada rantai berupa ikatan kovalen yang cukup kuat, maka gel ini dapat
bersifat non-elastis. Maksudnya adalah gel ini tidak memiliki sifat elastis, gel ini tidak
akan berubah jika diberi suatu gaya. Salah satu contoh gel ini adalah gel silica yang dapat
dibuat dengan reaksi kia; menambahkan HCl pekat ke dalam larutan natrium silikat,
sehingga molekul-molekul asam silikat yang terbentuk akan terpolimerisasi dan
membentuk gel silika.
4.2. Jenis-jenis Emulsi Berdasarkan Kestabilannya
1. Emulsi temporer
Emulsi yang memerlukan pengocokan kuat sebelum digunakan dan biasanya memiliki
viscositas rendah. Contoh: frech dressing yang terbuat dari minyak, cuka dan bumbu
kering.
2. Emulsi semipermanen
Emulsi yang mempunyai viscositas kental seperti krim. Contoh: salad dressing yang
mengandung sirup, madu, dan condensed soup atau stabiliser komersil seperti gum dan
pectin.
3. Emulsi permanen
Emulsi yang mempunyai viscositas tinggi yang akan memperlambat penggumpalan
fase terdispersi.
IV. Prosedur Percobaan
1. Mencampurkan 150 gram gula pasir, 115 gr susu krim ( 1 kaleng susu kental manis ), 2
gram agar-agar bubuk dan 1 gram karagenan, aduk hingga merata ingredient kering ini.
2. Menghangatkan 635 ml air, bila suhu sudah 30oC tambahkan ingredient kering sedikit
demi sedikit
3. Memanaskan formulasi dengan cepat dan diaduk terus hingga mencapai suhu 69oC,
pertahankan pada suhu ini sekurangnya selama 15 menit kemudian masukkan susu skim
(Dapat divariasikan dengan susu kental manis cokelat) dan bubuk cokelat ke dalam gelas
yang berisi air sambil diaduk , kemudian campurkan dengan formulasi yang dipanaskan
tadi
4. Menghomogenisasikan adonan selama 5 menit dengan ultra thorax
5. Segera turunkan suhu adonan hingga 4oC gunakan campuran es batu + garam untuk
keperluan ini
6. Bagi adonan menjadi 2 bagian, satu bagian langsung dibekukan dalam votator dan bagian
yang lain diaging satu malam dalam kulkan dengan suhu 4oC
7. Menyimpan es krim yang telah beku dalam freezer -28oC (hardening) selama semalam.
Lakukan hal yang sama pada bagian yang diaging
8. Mengukur % over-run dan bandingkan kelembutan tekstur dari keduanya, makin lembut
tekstur maka semakin sempurna emulsinya.
% over-run = Berat 100ml formulasi – Berat 100ml es krim x 100%
Berat 100ml es krim
V. Data Pengamatan
No Perlakukan Pengamatan
1Mixer 2 butir kuning telur + 100 gr gula
pasir
Mengembang, padat berwarna kuning
gading
2
Panaskan susu cokelat dalam air
1500ml hingga suhu 80oC sambil
diaduk
Berwarna cokelat , tekstur encer dan
berbusa
3
Memasukkan adonan mixer ke dalam
campuran susu cokelat ( lakukan
pengadukan )
Menanaskan pada suhu 80oC semakin
lama adonan semakin berat dan kental,
busa menghilang
4Masukkan agar-agar sebagai pengganti
gelatinKental dan busa menghilang
5Pendinginan dalam wadah batu es +
garam
Suhu adonan turun dari 80oC menjadi
35oC
6 Tuangkan ke dalam cup es krim Berat satu cup es krim = 60 gram
7 Dinginkan dalam freezerEs krim mengeras dan tekstur kurang
lembut (sedikit keras)
Perhitungan
Nama Bahan Jumlah Harga
Susu Kental Manis (cokelat) 1 kaleng Rp. 9.000,-
Agar-agar powder 2 gram Rp. 500,-
Telur 2 butir Rp. 3.000,-
Gula Pasir 100 gram Rp. 1.500,-
Cup es krim 30 buah Rp. 7.500,-
Total Rp. 21.500,-
Jumlah es krim yang diperoleh 30 buah
Harga jual 1 buah es krim Rp. 1.500,-
Harga jual seluruh es krim = Rp. 1.500,- x 30 buah
= Rp. 45.000,-
Modal 1 buah es krim = Rp. 21.500,- / 30 buah
= Rp. 71,- = Rp. 100,-
Keuntungan yang diperoleh = harga jual – modal awal
= Rp. 45.000,- – Rp. 21.500,-
= Rp. 23.500,-
Menghitung % over-run
% over-run = Berat 100ml formulasi – Berat 100ml es krim x 100%
Berat 100ml es krim
= 60 gram – 57 gram x 100%
57 gram
= 5,3 %
VI. Analisa Percobaan
Setelah melakukan praktikum tentang teknologi emulsi ini dapat dianalisa bahwa emulsi
dapat terbentuk dalam penggabungan dua fase yaitu fase terdispersi dan fase kontinyu. Agar
fase terdispersi dan fase kontinyu dapat bercampur sempurna dibutuhkan komponen ketiga
yaitu emulsifier, komponen ini berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara
kedua fase tersebut (interfacial tension) sehingga keduanya mudah membentuk emulsi. Cairan
yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi , sedangkan cairan yang
mengelilingi globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium disperse.
Untuk memperoleh suatu emulsi yang stabil, biasanya dibutuhkan campuran dua buah
atau lebih emulsifier yang merupakan kombinasi dari persenyawaan hidrofilik dan lipofilik.
Pada percobaan ini, kami mencoba mengemulsikan susu sebagai fase terdispersi dan air
sebagai fase kontinyu dan emulsifier yang digunakan adalah telur. Emulsi jenis ini merupakan
suatu emulsi yang memiliki nilai kestabilan emulsi temporer, yang membutuhkan pengocokan
kuat sebelum digunakan.
Dalam praktikum teknologi emulsi untuk pembuatan es krim ini, emulsifier yang
digunakan adalah kuning telur. Di dalam kuning telur terdapat senyawa organic yang
mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofobik yang lebih banyak daripada bagian putih telur.
Bagian hidrofobik akan berinteraksi dengan susu sedangkan bagian hidrofilik dengan air
sehingga terbentuklah emulsi yang bisa menyatukan air dan susu pada bahan pembuatan es
krim kali ini.
VII. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Emulsi merupakan suatu system yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling
melarutkan, dimana satu cairan terdispersi dengan cairan lainnya (fase kontinyu)
Emulsi jenis ini merupakan jenis emulsi temporer yang membutuhkan pengocokan
kuat sebelum digunakan
Emulsifier yang digunakan adalah kuning telur karena memiliki gugus hidrofilik dan
hidrofobik yang masing-masing gugus akan berinteraksi dengan susu dan air sehingga
membentuk emulsi yang stabil dalam pembuatan es krim
% over-run yang diperoleh adalah sebesar 5,3 %