laporan teknik akhir tahun 2013

102
LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013 UNIT PELAKSANA TEKNIS BALAI BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIOMATERIAL LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Editor: Ismail Budiman Ari Kusumaningtyas UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong 2013

Upload: ngokhue

Post on 12-Jan-2017

235 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

UNIT PELAKSANA TEKNIS

BALAI BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

BIOMATERIAL

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Editor:

Ismail Budiman

Ari Kusumaningtyas

UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Cibinong 2013

Page 2: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013
Page 3: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... i

Pertumbuhan dan Viabilitas Jamur Entomopatogen yang Diproduksi Secara

Massal pada Substrat Beras .............................................................................. 1

Pengaruh Ekstrak Kayu Bawang (Scorodocarpus Borneensis) pada

Perlakuan Tanah (Soil Treatment) .................................................................... 5

Efikasi Asam Oleat Hasil Isolasi dari Ekstrak Biji Bintaro (Cerbera

Manghas) Terhadap Rayap Tanah Coptotermes Gestroi Wasmann dan

Rayap Kayu Kering Cryptotermes Cynocephalus Ligh ................................... 10

Pretreatment Naoh dan Hidrolisis Enzimatis pada Ampas Tebu ..................... 18

Pengaruh Pretreatment Ca(Oh)2 dan Hidrolisis Enzimatis Terhadap Produksi

Gula Pereduksi pada Ampas Tebu ................................................................... 29

Sintesis Sodium Lignosulfonat dari Limbah Lignin Pretreatment Ampas

Tebu .................................................................................................................. 41

Physical and Mechanical Properties Of Polylactic Acid-Filled Chitin and

Chitosan Composites ........................................................................................ 46

Characteristics Of Composites From Recycled Polypropelene and Three

Kinds Of Indonesian Bamboos Fiber .............................................................. 51

Pengaruh Rasio Air dengan Bahan Pengikat pada Autoclaved Aerated

Concrete (Aac) Berbasis Limbah Cangkang Kerang ....................................... 58

Mechanical Properties and Chemical Changes Of Mahoni Wood (Swietenia

Mahagoni) By Close System Compression Hot Press Machine....................... 64

Karakteristik Kayu Kompresi dengan Metode Close System Compression

(Csc) pada Kondisi Kering ............................................................................... 72

Pengaruh Waktu Pengepresan Terhadap Perubahan Komponen Kimia Kayu

Durian Kompresi Skala Pemakaian .................................................................. 79

Teknologi Pertanian Organik Untuk Biovillage ............................................... 87

Pemanfaatan Komposit Serat Alam Untuk Media Tanam Vertikal ................. 92

Page 4: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013
Page 5: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 1

PERTUMBUHAN DAN VIABILITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN YANG

DIPRODUKSI SECARA MASSAL PADA SUBSTRAT BERAS

Deni Zulfiana

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan viabilitas beberapa

jamur entomopatogen yang diproduksi secara massal pada media substrat beras melalui

fermentasi padat selama 14 hari. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa jamur

entomopatogen Metarhizium sp., Beauveria sp., dan Humicola menunjukan

pertumbuhan yang baik pada media beras dibandingkan dengan Nomurea sp. dan

Phaecylomyces sp. Hal ini berdasarkan pada pengamatan daya kecambah, jumlah

konidia dan viabilitas konidia jamur.

Kata kunci: Jamur entomopatogen, substrat beras, konidia, viabilitas

PENDAHULUAN

Jamur entomopatogen seperti Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana,

Phaecilomyces sp., dan Nomurea rileyi adalah patogen terhadap lebih dari 40 spesies

serangga hama baik hama pertanian, vektor penyakit, hama gudang dan hama rumah

tangga. Seperti pemanfaatan jamur entomopatogen untuk mengendalikan berbagai

beberapa jenis hama yang menyerang kubis, belalang, aphid, beberapa jenis hama

gudang, hama penggerek buah kopi, hama rayap, penggerek batang tebu, dan hama

wereng coklat, Nilaparvata lugens. (Butt et al. 1994; Brinkmann et al. 1997; Sun et al.

2003).

Mekanisme infeksi jamur terhadap serangga diawali pada saat jamur yang dalam

bentuk spora atau konidia menempel pada permukaan tubuh serangga. Konidia tersebut

menempel pada lapisan dinding atau kulit luar (integumen) serangga. Pada kondisi suhu

dan kelembaban yang sesuai, konidia akan tumbuh dan menembus tubuh serangga.

Jamur akan memperbanyak diri di dalam sebuh serangga sehingga tubuh serangga

tertutup miselium yang berupa benang-benang halus. Dalam bentuk seperti ini

diistilahkan sebagai propagul. Penetrasi jamur ke dalam tubuh serangga bisa melalui

proses mekanis dan kimia. Hal tersebut terjadi karena jamur memproduksi enzim

tertentu seperti enzim kitinase, glukanase, dan protease yang dapat meluruhkan kulit

luar serangga, kemudian setelah konidia tumbuh, miselium akan mengeluarkan

senyawa aktif yang bersifat antibiosis yang dapat bersifat racun atau menghambat

proses metabolisme di dalam sel serangga. Lacey, 1997)

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan jamur

entomopatogen yaitu mudah menginfeksi serangga target, tidak membunuh serangga

bukan hama, mempunyai banyak strain, dan aman terhadap lingkungan (Butt, 1994; St

Leger et al. 1992).

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui cara untuk memperbanyak

jamur entomopatogen untuk produksi secara massal, antara lain dengan cara fermentasi

Page 6: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

2 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

cair (subemerged culture), submerged conidia, miselium kering (serta dengan

perbanyakan konidia pada media cair (Ferron 1978). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pertumbuhan dan viabilitas beberapa jamur entomopatogen yang

diproduksi secara massal pada media substrat beras melalui fermentasi padat.

BAHAN DAN METODOLOGI

Perbanyakan jamur entomopatogen pada medi PDB (potato dextrose broth)

Jamur entomopatogen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi

dari Laboratorium Mikrobiologi, UPT. BPP. Biomaterial-LIPI. Jamur yang dibiakkan

pada PDA (potato dextrosa agar) sebanyak satu loop penuh dengan kerapatan konidia

kira-kira 107 konidia/ml dipindahkan ke dalam botol yang berisi 50 ml media PDB.

Mulut botol media PDB yang telah diisi dengan jamur kemudian ditutup dengan

aluminium foil, biakan kemudian digoyang pada 150 rpm selama 12 jam dan

diinkubasikan selama 3 hari. Pertumbuhan jamur pada media PDB diamati secara

visual.

Persiapan media substrat pertumbuhan jamur entomopatogen

Beras dibersihkan/dicuci kemuadian direbus sampai setengah matang dan sedikit

lunak dalam dandang selama 20 menit. Sebanyak 300 g beras dimasukkan ke dalam

kantong plastik, kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada 121 oC

selama 15 menit. Kemudian dibiarkan dingin selama ±12 jam. Selanjutnya sebanyak 10

ml biakan jamur dalam media PDB (setelah 3 hari inkubasi) diinokulasikan ke dalam

kantong plastik berisi substrat beras. Kantong berisi biakan ini kemudian ditutup dan

distapler. Selanjutnya diinkubasi dalam suhu ruang selama 14 hari, sampai substrat

ditutupi oleh miselium jamur. Biakan dalam kantong plastik ini diperiksa setiap 2 hari

sekali sambil diaduk-aduk secara steril. Setelah 14 hari biakan pada substrat dipanen.

Sebagian digunakan untuk analisis jumlah konidia dan viabilitas konidia, sisanya

dioven pada suhu 60 oC selama 3 hari, dan diblender untuk dikemas sebagai tepung

konidia.

Untuk analisis konidia, setiap kantong dari masing-masing media substrat

diambil sebanyak 10 g, diaduk dengan 90 ml air steril dan ditambahkan 0,05% tween,

kemudian diamati:

a. Persentase perkecambahan konidia (daya kecambah) diketahui dengan cara

mengambil suspensi biakan dengan densitas 100 konidia yang dituangkan ke

dalam petridis yang berisi media PDA dan diinkubasikan pada suhu kamar.

Masing-masing suspensi biakan diulang tiga kali, persentase perkecambahan

konidia dihitung setelah 24 jam.

b. Jumlah konidia/g substrat/ml diamati melalui pengenceran secara berseri. Jumlah

konidia g substrat/ml dihitung menggunakan haemacytometer.

c. Viabilitas konidia diamati dengan cara 0,1 ml suspensi konidia dari pengenceran

105 dituangkan dan diratakan pada petridis steril. Media PDA pada temperatur 45

oC dituangkan ke dalam petridis yang telah berisi suspensi konidia dan

diinkubasikan selama 5 hari pada suhu kamar. Viabilitas konidia dihitung

berdasarkan jumlah konidia yang tumbuh berupa koloni pada media PDA dalam

petridis.

Data dari persentase perkecambahan spora, jumlah konidia per g substrat/ml

dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Page 7: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jamur entomopatogen yang ditumbuhkan media substrat beras menunjukan

pertumbuhan yang cukup baik selama masa 14 hari inkubasi. Pertumbuhan

Metarhizium, Humicola dan Beauveria pada media substrat beras terlihat lebih baik

karena seluruh permukaan substrat tertutup miselium dibanding Nomurea dan

Phaecilomyces yang hanya sebagian substrat tertutup oleh miselium jamur.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 1. Tepung konodia jamur entomopatogen yang ditumbuhkan pada substrat

beras. (a) Metarhizium (b) Beauveria (c) Humicola (d) Nomurea, dan (e)

Phaecilomyces

Jamur Metarizium, Humicola dan Beauveria yang dibiakkan pada substrat beras

memiliki jumlah konidia per g substrat yang nyata lebih banyak dengan daya kecambah

dan viabilitas yang nyata lebih tinggi dibandingkan jamur Nomurea dan Phaecilomyces

yang dibiakkan pada substrat yang sama (Tabel 1).

Tabel 1. Daya kecambah jamur entomopatogen, jumlah konidia/g substrat dan

viabilitas konidia/ml yang dibiakkan pada substrat beras

Jenis jamur Daya kecambah

(%)

Jumlah konidia

(%)

Viabilitas konidia

x105 konidia/ml

Metarhizium sp. 83,75 a 2,6 x 108 a 24,6 a

Humicola sp. 79,45 a 1,87 x 108 a 16,4 a

Beaveria sp. 33,67 a 1,20 x 106 b 4,7 b

Nomurea sp. 25,00 a 4,86 x 105 b 1,5 b

Paecilomyces sp. 22,67 a 3,35 x 105 b 1,02 b

Tingginya daya kecambah, jumlah konidia, dan viabilitas jamur Metarhizium,

Humicola dan Beauveria pada beras, karena beras mengandung cukup karbohidrat dan

protein yang dibutuhkan oleh ketiga jamur tersebut untuk perkecambahan, pertumbuhan

dan sporulasinya, sehingga pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dua jenis jamur

entomopatogen lain. Hasil penelitian Junianto & Semangun (2000) memperoleh konidia

2,7 x 1010

konidia/g substrat dengan masa panen 10 hari. Tingkat perkecambahan akan

tinggi (95–100%).

Page 8: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

4 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Penggunaan bahan berkarbohidrat dan protein tinggi akan mendorong

pertumbuhan vegetatif jamur. Komposisi hara media mempengaruhi produksi

mikotoxin jamur entomopatogen dan media terbaik untuk memroduksi racun proteolitik

kompleks harus mengandung karbohidrat, yeast ekstrak dan ekstrak daun.

KESIMPULAN

Media beras merupakan substrat yang bagus untuk produksi secara massal jamur

entomopatogen Metarhizium sp. Humicola sp. dan Beauveria sp.

DAFTAR PUSTAKA

Brinkmann, M.A., B.W. Fuller, and M.B. Hildret. 1997. Effect of Beauveria bassiana

on migratory grasshoppers (Orthoptera: Acrididae) in spraytower bioassay. J.

Agric. Entomol. 14:121-127.

Butt, T.M., L. Ibrahim, B.W. Ball, and S.J. Clark. 1994. Pathogenicity of the

entomogenous fung Metarrhizium anisopliae and Beauveria bassiana against

crucifer pests and honey bee. Biocontrol Sci. Technol. 4:207-214.

Ferron, P. 1978. Biological control of insect pest by entomogenous fungi. Annu. Rev.

Entomol. 23:409- 442.

Junianto Y.D. dan H. Semangun. 2000. Susu skim dan Monosodium glutamat sebagai

media pensuspensi dalam pengering bekuan spora B. bassiana. J. Pelita

Perkebunan 11(2)

Lacey, L.A. 1997. Initial handling and diagnosis of diseases insect. In Lacey, L.A.

(Ed.). Biological Tech- niques. Manual of techniques in Insect Pathology.

Academic Press. London. p.1–30.

St. Leger, R.J., Allee, L. L., May, B., Staples, R. C., and Roberts, D. W. 1992. World

wide distribution of genetic variation among isolates of Beuveria spp. Mycol.

Res. 96:1007-1015.

Sun. J., J.R. Fuxa and G. Henderson. 2003. Effect of virulence, sporulation and

temperature on Metarhizium anisopliae and Beuveria bassiana labo- ratory

transmission in Coptotermes formosanus. Interv. Pathol. 84:38-46.

Page 9: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 5

PENGARUH EKSTRAK KAYU BAWANG (SCORODOCARPUS BORNEENSIS)

PADA PERLAKUAN TANAH (SOIL TREATMENT)

Didi Tarmadi1, Ikhsan Guswenrivo

1, Deni Zulfiana

1, Ngatiman

2, Sulaeman Yusuf

1

1)

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

e-mail: [email protected]

2)

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa

Jl. A. Wahab Syahranie No. 68 Sempaja Selatan, Samarinda, Kalimantan Timur

ABSTRAK

Perlakuan/peracunan tanah (soil treatment) masih menjadi solusi terbaik dalam

kegiatan proteksi bangunan terhadap serangan rayap tanah. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui keampuhan ekstrak kayu bawang (Scorodocarpus borneensis) pada

perlakukan/peracunan tanah. Pengujian mengacu pada Standar JWPA No. 13-1992.

Ekstrak kulit dan daun kayu bawang dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8%

diaplikasikan pada pasir kemudian diaplikasikan pada botol ‘H’. Hasil pengujian

menunjukkan bawah ekstrak kayu Bawang pada konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8%

tergolong ke dalam kriteria tidak andal sehingga aktivitas termitisidal nya tidak sesuai

pada parlakuan/peracunan tanah.

Kata kunci: Perlakuan/peracunan tanah, kayu Bawang (Scorodocarpus

borneensis),rayap tanah Coptotermes gestroi

PENDAHULUAN

Sampai saat ini proteksi bangunan merupakan treatment yang masih sangat

diperlukan mengingat komponen selulosa masih menjadi material utama dalam

bangunan. Secara alami materil selulosa tersebut merupakan sumber makanan serangga

perusak bangunan seperti rayap tanah. Indonesia dengan iklim tropisnya menjadi

habitat yang sangat cocok sebagai tempat perkembangbiakan rayap. Tak kurang 200

jenis rayap dikenal di Indonesia. Ditaksir kerugian ekonomis akibat serangan rayap

mencapai 200 milyar/pertahun (Prasetiyo dan Yusuf, 2004).

Kegiatan proteksi bangunan terhadap serangan rayap salah satunya yang umum

dilakukan yaitu soil treatment (perlakuan tanah). Dimana bahan termitisida diinjeksi ke

area sekitar bangunan sehingga akan tercipta chemical barrier sehingga rayap tanah

tidak bisa masuk ke dalam bangunan dan material selulosa dalam bangunan tersebut

aman terhadap serangan rayap tanah dalam jangka waktu tertentu. Soil treatment masih

umum digunakan mengingat kayu masih dipakai sebagai komponen utama bangunan.

Dan kayu yang digunakan umumnya berkeawetan sedang sampai rendah. Hal ini karena

supply kayu berkeawetan tinggi dari hutan alam atau hutan rakyat sudah semakin

langka dan harganya mahal. Pemanfaatan kayu berkeawetan rendah memiliki

konsekuensi fatal yaitu rentah terhadap serangan rayap tanah.

Bahan termitisida yang beredar dipasaran umumnya bahan kimia. Bahan kimia

tersebut akan berkontak langsung dengan tanah saat ditaburkan atau diinjeksi. Sehingga

Page 10: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

6 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

dikhawatirkan bahan kimia tersebut dapat mencemari lingkungan dan membahayakan

kesehatan manusia. Sehingga perlu dicari alternatif bahan termitisida yang lebih ramah

terhadap lingungan. Penelitian terhadap ekstrak bahan alam yang memiliki aktivitas

termitisidal sedang gencar dilakukan sebagai upaya mensubstitusi bahan termitisida

kimia dan mencari alternatif teknologi proteksi bangunan yang lebih aman terhadap

manusia dan lingkungan. Beberapa bahan ekstrak yang telah diteliti sebagai soil

treatment diantaranya ekstrak biji Bintaro (Cerbera manghas L) biji Pinang (Areca

catechu L) dan daun Saga (Tarmadi et al. 2010). Kayu Bawang salah satu jenis tanaman

yang banyak ditemui di Kalimantan. Menurut penelitian Sudrajat (2012), ekstrak kayu

Bawang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus

dan memiliki peluang untuk dikembangan sebagai termitisida alami. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui keampuhan ekstrak kayu Bawang pada

perlakuan/peracunan tanah (soil treatment)

METODE PENELITIAN

1. Prosedur Ekstraksi

Kulit dan daun kayu Bawang yang diperoleh dari Kalimantan Timur terlebih

dahulu dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Masing-

masing serbuk kering seberat 150 g diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode

maserasi. Ekstrasi dilakukan selama empat kali untuk mendapatan larutan ekstrak

maksimal. Larutan ekstrak kemudian dievaporator pada suhu 40 oC kemudian

dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.

2. Prosedur pengujian

Prosedur pengujian mengacu pada standard JWPA (Japan Wood Preserving

Association) no. 13 tahun 1992. Ekstrak kasar kulit dan daun kayu Bawang dengan

konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% dicampur merata dengan pasir (berukuran lolos

saringan 20 mesh). Pasir kemudian diangin-angin lalu dikeringkan. Pasir yang telah

diberi perlakuan kemudian dimasukkan ke dalam tabung gelas dengan diameter 1.5 cm

dan panjang 5 cm secara horisontal. Tabung tersebut dihubungkan dengan botol gelas

berdiameter 5 cm di bagian kanan dan kiri yang telah diisi dengan pasir. Pada salah

satu sisi gelas diisi dengan rayap pekerja dari jenis Coptotermes gestroi sebanyak 200

ekor sedangkan di sisi lain diletakkan umpan kayu karet sehingga diharapkan rayap

akan menuju makanan yang sebelumnya harus melalui pasir yang telah diberi

perlakuan. Unit-unit gelas tersebut disimpan ke dalam tempat yang gelap bersuhu 28

2C dengan kelembaban di atas 85 %.

Page 11: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 7

Gambar 1. Gelas uji penetrasi horisontal (sumber JWPA No. 13-1992)

3. Pengamatan dan Kriteria efikasi

Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 21 hari untuk mengetahui panjang

penetrasi yang dilakukan oleh rayap. Persentase penetrasi rayap tanah terhadap panjang

pasir contoh uji dihitung dengan rumus :

Persen Penetrasi = ( P / Po ) x 100%, dimana :

P = panjang penetrasi rayap pada tanah/pasir contoh uji (mm)

Po = panjang tanah/pasir contoh uji (mm)

Kriteria efikasi contoh uji terhadap rayap pada perlakuan pasir dibuat berdasarkan

kriteria keandalan seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria efikasi berdasarkan kepada panjang penetrasi rayap masuk ke dalam

pasir yang telah diberi perlakuan bahan kimia. (Sumber : JWPA standard No.

13-1992)

Panjang Penetrasi

(cm)

Skor Kriteria Keandalan

0,0 0 Sangat Tinggi

0,1 - 1,0 1 Tinggi

1,1 - 2,0 2 Sedang

2,1 - 3,0 3 Rendah

> 3,0 4 Tidak andal

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran panjang penetrasi rayap terhadap pasir yang diberi perlakuan ekstrak

dengan tingkat konsentrasi tertentu yang diaplikasikan dalam sumbu horizontal botol H

menjadi variabel yang sangat penting dalam penilaian kriteria keandalan. Semakin

rendah penetrasi maka semakin andal ekstrak tersebut. Kriteria keandalan akan

menentukkan lamanya proteksi bahan ekstrak tersebut melindungi bangunan dari

serangan rayap tanah.

Page 12: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

8 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Panjang penetrasi dari ekstrak kasar kayu Bawang disajikan pada Tabel 2. Pada

ekstrak kulit kayu Bawang dengan konsentrasi 2%, 4% dan 6%, rayap tanah

Coptotremes gestroi mampu menembus pasir perlakuan pada pengamatan hari kedua,

sedangkan pada konsentrasi 8%, rayap hanya membutuhkan waktu selama enam hari

untuk menembus pasir perlakuan. Hal senada terlihat pada ekstrak daun. Rayap mampu

menembus pasir perlakuan dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% pada hari kedua

pengamatan.

Tabel 2. Panjang penetrasi rayap pada pasir yang telah diberi perlakuan ekstrak kasar

kulit dan daun kayu Bawang.

Karakteristik senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak kayu Bawang

tidak tergolong ke dalam racun kontak. Pada perlakuan/peracuanan tanah senyawa

bioaktif yang sesuai yaitu yaitu memiliki karakteristik sebagai repelen atau racun

kontak. Senyawa bioaktif tersebut menjadi hambatan (barrier) bagi rayap tanah

Coptotermes gestroi untuk menembus pasir. Senyawa bioaktif ini menyebabkan

kematian pada rayap ketika melakukan aktivitas penetrasi. Senyawa bioaktif yang

bersifat repelen akan memaksa rayap kembali ke salah satu botol H yang tidak ada

makanan sehingga perlahan-lahan rayap akan mati. Kematian rayap tanah yang menjadi

indikator penunjang keberhasilan pada peracunan tanah tidak menunjukkan hasil yang

bagus (Tabel 3). Sampai dengan enam hari pengamatan, kematian rayap pada ekstrak

kulit dan daun kayu Bawang, menunjukkan nilai yang sama dengan kontrol.

Tabel 3. Persentase mortalitas rayap sampai dengan 6 hari pengamatan

Jenis Bahan Ekstrak Konsentrasi (%) Mortalitas (%)

Kulit

2 2

4 2,54

6 3

8 4

Daun

2 2

4 2

6 2,89

8 2,93

Kontrol 0 2

H2 H4 H6 H8 H10 H12 H14 H16 H18 H20 H21

2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

6 87,33 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

8 51,33 72,67 100 100 100 100 100 100 100 100 100

2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

6 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

8 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Kontrol 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Jenis Bahan

Ekstrak

Konsentrasi

(%)

Persentase penetrasi pada pengamatan hari ke-

Kulit

Daun

Page 13: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 9

Dari Tabel 4 terlihat dengan jelas kriteria keandalan dari masing-masing jenis

ekstrak dan konsentrasinya. Ekstrak kulit dan daun Bawang pada semua konsentrasi

yang diuji tergolong ke dalam kriteria tidak andal. Hal ini menunjukkan bawak ekstrak

kasar kulit dan daun kayu Bawang tidak dapat mencegah serangan rayap tanah,

sehingga aktivitas termitisidalnya tidak cocok pada peracunan tanah.

Tabel 4. Kriteria keandalan ekstrak kulit dan daun kayu Bawang

Jenis Bahan

Ekstrak

Konsentrasi

(%)

Panjang

Penetrasi (Cm)

Persentase

Penetrasi Skor

Kriteria

Keandalan

Kulit

2 5 100 4 Tidak andal

4 5 100 4 Tidak andal

6 5 100 4 Tidak andal

8 5 100 4 Tidak andal

Daun

2 5 100 4 Tidak andal

4 5 100 4 Tidak andal

6 5 100 4 Tidak andal

8 5 100 4 Tidak andal

Kontrol 0 5 100 4 Tidak andal

KESIMPULAN

Ekstrak kulit dan daun kayu Bawang pada konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8%

tergolong ke dalam kriteria keandalan tidak andal, sehingga aktivitas termitisidalnya

tidak cocok pada perlakuan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim . 1992. Japan Wood Preserving Asociation, Japan.

Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf. 2004. Mencegah dan Membasmi Rayap secara Ramah

Lingkungan dan Kimia. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Sudrajat. 2012. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA BIOAKTIF ZAT

EKSTRAKTIF TUMBUHAN KAYU BAWANG (Scorodocarpus borneensis

Becc) SEBAGAI TERMISIDA RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus

Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae). Mulawarman Scientifie (11): 219-227.

Tarmadi, D., M. Ismayati, K.H. Setiawan, S. Yusuf. 2011. Evaluasi Aktivitas Ekstrak

Bahan Alam pada Perlakuan Tanah (Soil Treatment). Prosiding Seminar

Nasional XIII Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Bali, 10-11

November 2010

Page 14: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

10 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

EFIKASI ASAM OLEAT HASIL ISOLASI DARI EKSTRAK BIJI BINTARO

(CERBERA MANGHAS) TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES

GESTROI WASMANN DAN RAYAP KAYU KERING CRYPTOTERMES

CYNOCEPHALUS LIGHT

Didi Tarmadi, Ikhsan Guswenrivo, Deni Zulfiana, Sulaeman Yusuf

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian terhadap pemanfaatan ekstrak bahan alam sebagai biotermitisida

semakin meningkat seiiring dengan dampak negatif termitisda konvensional terhadap

lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi asam oleat yang diisolasi

dari biji Bintaro terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan rayap kayu

kering Cryptotermes cynocephalus Light. Identifikasi asam oleat menggunakan Gas

Chromatography (GC-MS) and Nuclear magnetic resonance spectroscopy (NMR). Dari

hasil tahapan kromatografi kolom diperoleh 10 sub fraksi dan rendemen paling tinggi

terdapat pada sub fraksi 3. Hasil analisis kandungan senyawa kimia pada sub fraksi 3

diketahui sebagai asam oleat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa asam oleat

yang diisolasi dari biji Bintaro memberikan pengaruh yang rendah terhadap tingkat

mortalitas rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Walaupun

demikian asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah C.

gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.

Kata kunci: Cerbera manghas, Coptotermes gestroi, Cryptotermes cynocephalus

PENDAHULUAN

Rayap tanah khususnya Coptotermes gestroi merupakan hama pertanian dan

perkebunan yang memiliki sebaran yang luas (Jenkins et al. 2007). Kerugian akibat

serangan rayap tanah di Amerika Serikat mencapai US$5 juta pertahun (Peterson 2010).

Penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut secara luas untuk aplikasi pertanian

maupun pemukiman, tentunya sangat membahayakan kesehatan manusia dan

lingkungan (Wright et al. 1994). Pengendalian menggunakan insektisida konvensional

telah menimbulkan masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi

sehingga perlu dicari alternatif bahan yang lebih ramah lingkungan (Yoon et al. 2007).

Salah satu alternatif pengendalian yaitu menggunakan ekstrak herbal dari tanaman obat

tertentu (Promsiri et al. 2008). Tanaman memiliki potensi sebagai bahan alternatif

pengendalian serangga karena didalamnya terkandung senyawa kimia yang bersifat

bioaktif (Wink 1993).

Binatro (Cerbera manghas) merupakan pohon beracun dari famili Apocynacea.

yang menyebabkan 10% kasus keracunan di Kerala India (Gaillard et al. 2004).

Mengandung dua cardenolide yang diidentifikasi dari akar C. manghas sebagai agent

antiproliferatif dan antiestrogenik ketika dievaluasi terhadap sel kanker usus besar

manusia (Chang et al. 2000). Dalam buah juga terkandung tanghinigenin dan neriifolin

Page 15: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 11

masuk dalam kelas steroid sebagai cardiac glycoside yang bersifat antikanker (Wang et

al. 2010; Zhao et al. 2011). Cerbera manghas bersifat toksik terhadap organisme hama

seperti rayap tanah Coptotermes gestori (Tarmadi et al. 2010), hama tanamana

perkebunan Eurema spp (Utami 2010), serangga hama gudang Sitophilus oryzae

(Tarmadi et al. 2013). Ekstrak metanol C. odollam menunjukkan aktivitas anti jamur

yang tinggi terhadap Trametes versicolor, Pycnoporus sanguineus, dan Schizophyllum

commune (Hashim et al. 2009).

Asam oleat merupakan asam lemak terbanyak penyusun trigliserida minyak biji

Bintaro yaitu sebesar 36,46% (Endriana 2007). Asam lemak yang diisolasi dari biji

Nimba memiliki bersifat toksik terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dengan nilai

LC50 = 78, 45 ppm. Asam oleat dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Dilika et al.

2000). Menurut Rahuman et al. 2008, asam oleat dan asam oleic cukup mematikan

terhadap larva Aedes aegypti L. (LC50 8.80, 18.20 and LC90 35.39, 96.33 ppm),

Anopheles stephensi Liston (LC50 9.79, 11.49 and LC90 37.42, 47.35 ppm), and Culex

quinquefasciatus Say (LC50 7.66, 27.24 and LC90 30.71, 70.38 ppm).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi asam oleat yang diisolasi dari

biji Bintaro terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan rayap kayu kering

Cryptotermes cynocephalus Light.

METODE PENELITIAN

Isolasi asam oleat

Sebanyak 2000 gram ekstrak kering biji bintaro diekstraksi menggunakan pelarut

metanol dengan metode maserasi. 175 gram ekstrak kering hasil ekstraksi kemudian

ditambahkan aquades sampai diperoleh 300 ml ekstrak. Ekstrak kemudian dimasukkan

dalam corong pisah 1000 ml dan diekstraksi dengan pelarut berikutnya yaitu n-heksana

sebanyak 300 ml (1:1). Ekstrak dalam corong pisah dikocok agar aquades dan n-

heksana berinterksi lalu diamkan beberapa saat sampai ada pemisahan yang jelas antara

kedua pelarut. Pada tahap ini diperoleh fraksi terlarut n-heksana dan tidak terlarutnya.

Fraksi tidak terlarut diekstraksi kembali dengan pelarut berikutnya yaitu etil asetat.

Tahap ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh ekstrak n-heksana dan etil asetat

yang jernih. Larutan ekstrak hasil fraksinasi kemudian dievaporasi menggunakan

rotavapor pada suhu 40 oC kemudian dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan

ekstrak kering.

Delapan gram ekstrak kering fraksi etil asetat dimasukkan ke dalam kolom

kromatografi. Eleun yang digunakan yaitu kombinasi pelarut n-heksan dan kloroform.

Dengan perbandingan n-heksan dan kloroform (100:0, 50:1, 25:1, 10:1, 9:1, 8:1, 7:1,

6:1, 5:1, 4:1, 3:1, 2:1, 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, 1:6, 1:7, 1:8, 1:9, 1:10, 1:25, 1:50, 0:100)

Selanjutnya ekstrak yang keluar dari kolom ditampung tiap 20 ml dalam botol.

Senyawa dalam tiap botol dilihat spotnya dengan KLT, Senyawa yang memiliki nilai Rf

yang sama disatukan menjadi satu fraksi. Dari kegiatan kromatografi kolom didapatkan

10 sub fraksi. Asam oleat diperoleh dari sub fraksi 3 (senyawa tunggal). Identifikasi

senyawa asam olet menggunakan GC-MS.

Page 16: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

12 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Uji bioassay terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi

Uji bioassay dilakukan dengan mengujikan larutan asam oleat yang telah

ditentukan konsentrasinya yaitu 1%, 2%, 3%, 4% (w/v). Sebanyak 50 ekor rayap

pekerja dan 5 ekor rayap prajurit dari jenis Coptotermes gestroi serta paper disc

(sebagai umpan) yang telah ditetesi larutan asam oleat dimasukkan bersama-sama ke

dalam cawan petri yang telah dilapisi plaster paris setebal 3 mm. Sebelum diumpankan,

paper disc yang telah ditetesi larutan asam oleat terlebih dahulu divaccum di desikator

selama 6 jam untuk menghilangkan pelarut. Pada penelitian ini menggunakan metode

umpan paksa (forced feeding test) rayap dipaksa memakan paper disc yang telah

ditetesi oleh ekstrak. Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 14 hari. Data yang

diamati yaitu persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat paper disc.

Uji bioassay terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light

Pengujian mengacu pada Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7207-2006,

dengan menggunakan metode forced-feeding test (metode umpan paksa). Larutan asam

oleat dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% (w/v) dilaburkan pada seluruh permukaan

kayu karet (Hevea brasiliensis) dengan ukuran (5 x 2,5 x 2) cm. Kayu uji kemudian

diangin-anginkan selama 15 hari pada suhu kamar sampai menjadi kering udara

kembali. Pada salah satu sisi terlebar dari masing-masing kayu uji dipasangkan tabung

gelas/pipa kaca berdiameter 1,8 cm dan tinggi 4 cm. Selanjutnya, 50 ekor kasta pekerja

rayap kayu kering yang sehat dan aktif dimasukkan ke dalam tabung gelas tersebut.

Lubang tabung gelas yang satu lagi disumbat dengan kapas (Gambar 2). Unit

perlakuan yang sudah berisi rayap tersebut kemudian disimpan di tempat gelap.

Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 14 hari. Data yang diamati yaitu

persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat kayu uji.

Gambar 1. Skema uji pengujian rayap kayu kering

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan identifikasi asam oleat

Dari hasil tahapan kromatografi kolom didapatkan 10 sub fraksi dengan tingkat

rendemen yang bervariasi (Tabel 1). Dari Tabel 1 terlihat bahwa rendemen terbanyak

terdapat pada sub fraksi 3 yaitu sebesar 0,95 %. Setelah dilakukan analisis awal

menggunakan KLT, sub fraksi 3 memiliki senyawa tunggal, sedangkan sub fraksi

Page 17: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 13

lainnya masih mengandung beberapa senyawa. Selanjutnya dari sub fraksi 3 dilanjutkan

analisis kandungan senyawa kimia menggunakan GC-MS dan NMR.

Tabel 1. Rendemen sub fraksi

Sub fraksi Rendemen (%)

fraksi 1 0,218

fraksi 2 0,389

fraksi 3 0,95

fraksi 4 0,301

fraksi 5 0,389

fraksi 6 0,212

fraksi 7 0,478

fraksi 8 0,376

fraksi 9 0,218

Fraksi 10 0,297

Berdasarkan hasil pengukuran spektrum 1H-NMR (CDCl3, 500 MHz),

H 0,88 (t, J = 7,2 Hz)

merupakan gugus metil (-CH3), dan metilen (CH2 H 1,25-1,31 (24H, 12 x CH2,

bs), 1,63 (2H, CH2, qintet, J = 7,1 Hz), 2,01 (bd, CH2, J = 5,4 Hz) dan 2,34 (CH2, t, J =

H 5,35 (m, J =

3,9 Hz). Berdasarkan hasil ini diduga merupakan asam oleat, dengan rumus molekul

C18H34O2 (BM 282,46).

Gambar 2. Spektrum 1H-NMR

-CH3

14 x CH2

CH2 CH2 CH2 HC=CH

Page 18: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

14 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

O

OH

oleic acid Gambar 3. Struktur Molekul Asam oleat

Dugaan tersebut diperkuat dengan hasil pengukuran 13

C-NMR terlihat adanya

C 180,54 (- C 130,21 dan

C 14,30 (CH3) dan gugus metilen (CH2) pada dC

antara 22,88; 24,87; 29,26-29,88 dan 32,13.

Gambar 4. Spektrum

13C-NMR

Disamping itu bila dibandingkan data spektrum asam oleat hasil presiksi,

menunjukkan adanya kesamaan/kemiripan nilai geseran kimianya maka dapat

disimpulkan bahwa senyawa tersebut adalah asam oleat.

Hasil uji bioassay efikasi asam oleat terhadap rayap tanah C. gestroi dan rayap

kayu kering C. cynocephalus

Tabel 2 menunjukkan tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah memakan

paper disc yang ditetesi larutan asam oleat dengan variasi konsentrasi yang diuji. Dari

Tabel 2 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi memberikan pengaruh terhadap

mortalitas rayap tanah C. gestroi. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi

-COOH HC=CH CH2 -CH3

Page 19: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 15

mortalitas rayap tanah C. gestroi. Pada konsentrasi tertinggi (4 %) memberikan tingkat

mortalitas sebesar 33 % sampai dengan akhir pengamatan, sedangkan pada konsentrasi

1%, 2% dan 3% hanya menyebabkan tingkat mortalitas dibawah 30%. Pada perlakukan

kontrol, tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi sebesar 19,33% sampai dengan akhir

pengamatan. Hal ini mengindikasikan bahwa, asam oleat memberikan pengaruh yang

rendah terhadap mortalitas rayap tanah C. gestroi.

Tabel 2. Mortalitas rayap tanah C. gestroi selama 14 hari pengamatan

Tabel 3 menunjukkan tingkat mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus

setelah terpapar asam oleat dengan variasi konsentrasi yang diuji. Dari Tabel 3 terlihat

bahwa pada konsentrasi terbesar yaitu 4% hanya memberikan persentase tingkat

mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus sebesar 15,33 %. Pada konsentrasi 1%,

2% dan 3%, menyebabkan tingkat mortalitas dibawah 15%. Hal ini mengindikasikan

bahwa asam oleat memberikan pengaruh yang rendah terhadap mortalitas rayap kayu

kering C. cynocephalus.

Tabel 3. Mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus selama 14 hari pengamatan

Tabel 4. Persentase penuruan berat sampel uji selama 14 hari pengujian

Concentration

Weight loss (%)

Subterranean termite Dry wood termite C.

cynocephalus C. gestroi

Methanol

solvent 50,00±2,71 1,68±0,20

Untrated 49,57±4,85 1,83±0,05

1% 49,84±7,82 1,60±0,14

2% 48,54±2,57 1,56±0,10

3% 42,30±3,02 1,44±0,13

4% 36,80±2,92 1,25±0,16

2 4 6 8 10 12 14

Methanol solvent 5,33± 1,15 9,33±1,15 13,33±3,06 16,00±0,00 18,00±2,00 18,00±2,00 18,00±2,00

Untreated 6,67±1,15 10,00±2,00 14,67±1,15 17,33±1,15 18,67±2,31 19,33±1,15 19,33±1,15

1 6,67±1,15 10,67±1,15 14,00±2,00 18,00±2,00 18,67±1,15 19,33±1,15 20,00±0,00

2 6,67±1,15 11,33±1,15 15,33±3,06 18,67±1,15 19,33±1,15 20,67±2,31 21,33±1,15

3 8,00±2,00 13,33±1,15 19,33±1,15 21,33±1,15 24,67±1,15 26,00±0,00 30,00±2,00

4 9,33±1,15 19,33±1,15 21,33±1,15 24,67±2,31 27,33±2,31 30,67±1,15 33,33±1,15

Concentration

(%)

Daily Termite Mortality Percentage (Mean±Sdev)

2 4 6 8 10 12 14

Methanol solvent 1,33±1,15 2,67±1,15 5,33±1,15 6,67±2,31 9,33±2,31 10,00±2,00 10,67±1,15

Untreated 0,67±1,15 1,33±1,15 3,33±1,15 4,67±1,15 6,67±1,15 8,00±0,00 8,67±1,15

1 0,67±1,15 0,67±1,15 2,00±2,00 4,00±2,00 7,33±1,15 8,67±1,15 10,00±0,00

2 0,67±1,15 1,33±1,15 2,00±0,00 4,67±1,15 8,00±2,00 10,67±1.15 11,33±1.15

3 1,33±1,15 2,67±1,15 4,00±0,00 5,33±1,15 8,67±3,06 11,33±1,15 12,67±1,15

4 2,00±0,00 3,33±1,15 5,33±1,15 7,33±1,15 8,67±1,15 13,33±1,15 15,33±1,15

Concentration

(%)

Daily Termite Mortality Percentage (Mean±Sdev)

Page 20: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

16 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Tingkat konsumsi rayap terhadap sampel uji menjadi salah satu parameter yang

diamati dalam penelitian ini. Besarnya tingkat konsumsi rayap terhadap paper disc dan

kayu yang telah diberi perlakuan asam oleat dinyatakan dalam persentase penurunan

berat. Persentase penurunan berat menjadi indikator yang sangat penting karena

berpengaruh terhadap efektivitas asam oleat terhadap rayap tanah C. gestroi daan C.

cynocephalus. Penurunan berat paper disc akibat peningkatan konsentrasi ekstrak

menunjukkan penambahan ekstrak memberikan peningkatan ketahanan paper disc

terhadap serangan rayap (Fallah 2005). Tabel 4 menunjukkan persentase penurunan

berat sampel uji yang telah diberi perlakuan asam oleat kemudian diumpankan terhadap

rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Dari Tabel 4 terlihat

bahwa terdapat kecendrungan penuruan persentase penurunan berat paper sampel uji

seiring dengan peningkatan konsentrasi baik pada uji terhadap rayap tanah C. gestroi

maupun rayap kayu kering C. cynocephalus. Jika dibandingkan dengan kontrol,

pemberian perlakukan asam oleat memberikan pengaruh terhadap penurunan

persentase penurunan berat. Walaupun pengaruhnya tidak terlalu signifikan tetapi dapat

diasumsikan bahwa asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap

tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.

KESIMPULAN

Asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro memberikan pengaruh yang rendah

terhadap tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C.

cynocephalus. Walaupun demikian asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap

serangan rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.

DAFTAR PUSTAKA

Chang LC, Joell JG, Krishna PL, Lumonadio L, Norman RF, John MP, A. Douglas K.

2000. Activity-Guided Isolation of Constituents of Cerbera manghas with

Antiproliferative and Antiestrogenic Activities. Bioorganic & Medicinal

Chemistry Letters. 10 2431-2434

Endriana D. 2007. Sintesis Biodiesel (metil ester) dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera

manghas ) Hasil Ekstraksi. Kimia MIPA-UI, depok.

Falah, S., T. Katayama, Mulyaningrum. 2005. Utilization of Bark Extractives from

Some Tropical Hardwoods as Natural Wood Preservatives: Termitidial Activities

of Extractives from Barks of Some Tropical Hardwoods. Proceeding of the 6th

International Wood Science Symposium. Bali, August, 29-31. pp. 323-328

Gillard Y, Ananthasankaran, K Fabien B. 2004. Cerbera odollam: a ‘suicide tree’ and

cause of death in the state of Kerala, India. J. Ethnopharmacology .95 123–126

Hashim R, Boon JG, Sulaiman O, Kawamura F, Lee CY. 2009. Evaluation of the

decay resistance properties of Cerbera odollam extracts and their influence on

properties of particleboard. International Biodeterioration & Biodegradation 63:

1013–1017

Jenkins TC, Jones SC, Lee CY, Forschler BT, Chen Z,Martinez GL, Gallagher NT,

Brown G, Neal M,Thistleton B, Kleinschmidt S. (2007). Phylogeography

illuminates maternal origins of exotic Coptotermes gestroi (Isoptera:

Rhinotermitidae). Molecular Phylogenetics and Evolution 42, 612–621

Page 21: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 17

Peterson C. Considerations of Soil-Applied Insecticides for Termite Control. Outlooks

Pest. Manag. 2010; 21: 89 93.

Promsiri S, Amara N, Maleeya K, Usavadee T. 2006. Evaluations of larvicidal activity

of medicinal plant extractsto Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) and other effects

ona non target fish. Insect Science. 13: 179-188.

Tarmadi D, M. ismayati, KH. Setiawan, S. Yusuf. 2010. Antitermite activitiy of

Carbera manghas L seeds extracts. Proceeding of The 7th Pacific Rim Termite

Research Group. Singapura, 1-2 Maret 2010.

Tarmadi D, Guswenrivo I, Prianto AH, Yusuf S. 2013. The effect of Cerbera manghas

(Apocynaceae) Seed Extract against Storage Product Pest Sitophilus oryzae

(Coleoptera: Curculionidae). Proceeding of The 2th International Symposium of

Sustainable Humanosphere. Bandung, 29 August 2012.

Utami S. 2010. Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Terhadap Hama

Eurema spp. Pada Skala Laboratorium. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7:

211-220.

Wang GF, Yue WG, Bo F, Liang L, Cai GH, Bing HJ. 2010. Tanghinigenin from seeds

of Cerbera manghas L. induces apoptosis in human promyelocytic leukemia HL-

60 cells. Environmental Toxicology and Pharmacology. 30 31–36

Wink, M., 1993. Production and application of phytochemicals from an agricultural

perspective. In: van Beek, T.A., Breteler, H. (Eds.), Phytochemistry and

Agriculture, Vol. 34. Clarendon, Oxford, UK, pp. 171–213

Wright, C.G., R.B. Leidy and H.E. Dupree, Jr. 1994. Chlorpyrifos in the air and soil of

houses eight years after its application for termite control. Bull. Environ. Contam.

Toxicol. 52(1):131-134

Yoon C, SH. Kang, SA. Jang, YJ. Kim, GH. Kim. 2007. Reppelent efficacy of Caraway

and Grapefruit Oils for Sitphilus oryzae (Colepotera: Curculionidae). Journal of

Asia-Pacific Entomol. 10(3): 263-267

Zhao Q, Yuewei G, Bo F, Liang L, Caiguo H, Binghua J. 2011. Neriifolin from seeds of

Cerbera manghas L. induces cell cycle arrest and apoptosis in human

hepatocellular carcinoma HepG2 cells. Fitoterapia .82 735–741.

Page 22: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

18 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

PRETREATMENT NaOH DAN HIDROLISIS ENZIMATIS PADA AMPAS

TEBU

Triyani Fajriutami*, Widya Fatriasari, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis

Hermiati

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Bioetanol dari biomassa lignoselulosa yang merupakan bioetanol generasi

kedua masih terus dikembangkan dan diteliti secara mendalam. Kandungan serat yang

tinggi dan ketersediaan limbah ampas tebu yang besar menjadikan alternatif

pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol cukup strategis dan

menjanjikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment

NaOH encer pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap

gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol.

Hasil pretreatment dengan NaOH dan waktu pemanasan pada ampas tebu

mempengaruhi kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan ligninnya. Pada

penelitian ini, pretreatment NaOH 1% dengan lama pemanasan 60 menit di suhu 121°C

dilanjutkan hidrolisis selulase 10 FPU/g menghasilkan gula pereduksi sebanyak 33.97

g/100 g ampas tebu atau sekitar 43% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah

maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu.

Kata kunci: Ampas tebu, pretreatment NaOH, gula pereduksi, hidrolisis enzim

PENDAHULUAN

Salah satu penelitian bioenergi yang ditekuni saat ini adalah bioetanol dari

biomassa lignoselulosa yang merupakan bioetanol generasi kedua. Generasi pertama

bioetanol bersumber dari pati yang umumnya merupakan bahan pangan bagi penduduk

dunia. Generasi pertama tersebut menciptakan beberapa masalah, diantaranya

terganggunya ketersediaan pangan dan kenaikan harga pangan dunia. Oleh karena itu,

dikembangkan penelitian untuk mengkonversi bahan lain selain pangan, misalnya

lignoselulosa, menjadi bioetanol. Di dalam penerapan transportasi, bahan bakar etanol

yang terbuat dari bahan lignoselulosa mengurangi 91% emisi gas rumah kaca

dibandingkan bahan bakar fosil, sedangkan bahan bakar etanol yang terbuat dari pati

jagung hanya mengurangi 22% emisi gas rumah kaca (Menon and Rao, 2012).

Salah satu sumber biomassa lignoselulosa yang potensial di dunia adalah ampas

tebu. Di Indonesia, produksi tebu nasional adalah 33 juta ton/tahun dan terdapat 58

pabrik gula dengan kapasitas giling total 195.622 ton tebu per hari (TTH) (Hermiati et

al., 2010). Jumlah ampas tebu yang dihasilkan dalam pengolahan nira tebu cukup besar,

yaitu sekitar 35 - 40% dari bobot tebu dengan kandungan air 48 - 52%, gula 2.5 - 6%,

dan serat 44 - 48%. Kandungan serat yang tinggi dan ketersediaan limbah ampas tebu

yang besar menjadikan alternatif pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol

cukup strategis dan menjanjikan (Hambali et al., 2007).

Page 23: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 19

Proses konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol memerlukan beberapa

tahap, yaitu pretreatment, hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dan fermentasi

gula sederhana menjadi etanol. Pretreatment bertujuan untuk menghilangkan lignin,

mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Tahap ini dinilai

sebagai tahap yang paling mahal. Oleh karena itu, pretreatment merupakan tantangan

utama dalam proses konversi lignoselulosa menjadi bioetanol (Hermiati et al., 2010).

Karena beragamnya bahan lignoselulosa, penelitian proses pretreatment masih terbuka

lebar. Pretreatment dapat dilakukan secara mekanik, kimia, biologi, dan kombinasi dari

cara tersebut (Sun and Cheng, 2002).

Penelitian kali ini menggunakan larutan NaOH yang menurut penelitian

sebelumnya menunjukkan hasil yang cukup baik. Sudiyani et al., (2010) melaporkan

bahwa pretreatment alkali (NaOH 1N) pada tandan kosong kelapa sawit lebih mampu

menghilangkan lignin dibandingkan dengan asam dan persen kehilangan lignin yang

optimal adalah 45,8%. Nlewem and Thrash Jr. (2010) membandingkan pretreatment

terhadap switchgrass dengan 0,5-10% NaOH, 80-90°C, 1 jam; asam sulfat 0,5-6%,

121°C, 1 jam; dan air panas 100°C, 1 jam. Hasilnya adalah konsentrasi gula lebih tinggi

diperoleh pada pretreatment NaOH 0.5% dibandingkan dengan lainnya. McIntosh and

Vancov (2011) melaporkan bahwa kisaran delignifikasi jerami gandum sebesar 33-72%

pada suhu 121°C dengan menggunakan konsentrasi 0,75-2% NaOH.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment NaOH

encer pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula

pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol.

BAHAN DAN METODE

Persiapan Bahan Baku

Ampas tebu diperoleh dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat yang kemudian

dikeringkan, digiling, dan disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Sebelum digunakan

untuk proses selanjutnya, ampas tebu tersebut disimpan dalam wadah yang tertutup

rapat.

Pretreatment

Larutan NaOH dipersiapkan dengan variasi konsentrasi 1%, 2% dan 3% (b/v).

Selanjutnya 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya dimasukkan dalam

labu erlenmeyer volume 250 ml dan ditambahkan 150 ml larutan NaOH atau 150 ml air

suling sebagai pembanding. Kemudian labu tersebut dipanaskan selama 30, 60, dan 90

menit dalam pemanas bertekanan (autoclave) pada suhu 121°C. Setelah pemanasan

selesai, sampel disaring untuk memisahkan pulp ampas tebu dengan limbah cairnya.

Pulp ampas tebu dibilas beberapa kali dengan air suling untuk menetralkan pH-nya.

Sebagian pulp ampas tebu yang sudah netral dikeringkan di oven 60°C selama 3 hari,

dan sebagian lainnya tetap disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan

untuk proses hidrolisis enzimatis.

Hidrolisis enzimatis

Hidrolisis enzimatis pada penelitian ini menggunakan enzim selulase komersial

(Meicellase dari Meiji Seika, Jepang) dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Larutan buffer

sodium sitrat 0.05 M, pH 5 disiapkan sebagai pelarut enzim selulase. Sebanyak 1 gram

Meicellase dilarutkan dalam larutan buffer sodium sitrat hingga volume 100 ml,

sehingga didapatkan konsentrasi larutan stok enzim selulase 2 FPU/ml.

Page 24: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

20 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Proses hidrolisis dilakukan terhadap ampas tebu setelah proses pretreatment

NaOH. Sebanyak 0.1 g pulp ampas tebu (berat kering) ditimbang dalam botol vial

volume 20 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 ml

larutan sodium azide 20 mg/ml. Setelah itu, ditambahkan larutan stok enzim selulase

0.5 ml (untuk konsentrasi enzim 10 FPU/g) atau 1 ml (untuk konsentrasi enzim 20

FPU/g). Larutan buffer sodium sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total

campuran mencapai 10 g. Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer

(tanpa substrat dan tanpa penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa

substrat). Proses hidrolisis dilakukan dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C

selama 48 jam. Posisi vial diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak

substrat dengan enzim.

Analisa

Ampas tebu sebelum pretreatment dianalisa komponen kimianya meliputi kadar

air, kadar abu, kadar ekstraktif, kadar lignin, kadar hemiselulosa dan kadar alfaselulosa.

Struktur sel ampas tebu dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM)

dengan perbesaran 2000 kali (15kV, WD 11 mm). Analisa gugus fungsi ampas tebu

dilakukan dengan Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectometric. Sebanyak 4 mg

serbuk ampas tebu dicampur dengan 200 mg KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam

tempat pembuat pelet selanjutnya diberi tekanan 5000 psi. Spetrum direkam

menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1

dan 5 scan tiap sampel

dengan kisaran frekuensi 4000-500 cm-1

.

Pulp ampas tebu setelah pretreatment yang sudah dikeringkan di oven 60°C

dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar ekstraktif, dan kadar ligninnya.

Kemudian dilakukan penghitungan kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan

kehilangan lignin. Analisa SEM dan FTIR dilakukan terhadap pulp ampas tebu setelah

pretreatment yang dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer).

Filtrat hasil hidrolisis enzimatis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode

Nelson-Somogyi. Gula pereduksi substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula

pereduksi pada kontrol buffer dan kontrol enzim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen kimia ampas tebu sebelum proses pretreatment dapat dilihat pada

Tabel 1. Komponen terbesar pada ampas tebu adalah alfaselulosa, yaitu 41.35%.

Alfaselulosa merupakan polimer glukosa yang menjadikan ampas tebu berpotensi besar

sebagai sumber gula untuk produksi bioetanol. Namun, untuk memaksimalkan produksi

gula pada bahan lignoselulosa seperti ampas tebu, diperlukan proses penghilangan

lignin atau delignifikasi terlebih dahulu.

Tabel 1. Komponen kimia ampas tebu sebelum pretreatment

No Komponen Persentase (% berat kering)

1 Alfaselulosa 41.35

2 Hemiselulosa 31.11

3 Lignin 20.16

4 Ekstraktif 8.73

5 Abu 1.47

Page 25: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 21

Pada penelitian ini, setelah ampas tebu diberi perlakuan NaOH, kehilangan lignin

dan kehilangan ekstraktif dihitung berdasarkan kehilangan berat rata-rata ampas tebu.

Gambar 1 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan

terhadap kehilangan berat ampas tebu. Konsentrasi NaOH berpengaruh terhadap

kehilangan berat ampas tebu (p<0.05). Penggunaan larutan NaOH 1% sebagai

pengganti air mengurangi berat ampas tebu sebanyak 10-20 kali lipat pada proses

pretreatment. Berdasarkan perhitungan uji lanjut, pengaruh konsentrasi NaOH yang

menghasilkan perbedaan nyata kehilangan berat ampas tebu tersebut hanya terjadi

antara konsentrasi 1% NaOH dan 3% NaOH.

Salah satu yang mengurangi berat ampas tebu adalah kehilangan ekstraktif.

Gambar 2 memperlihatkan kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah proses

pretreatment. Kehilangan ekstraktif ini dipengaruhi oleh penggunaan NaOH (p<0.05).

Pelarut NaOH dengan konsentrasi sama dengan atau lebih dari 2% mampu mengurangi

kandungan ekstraktif lebih banyak dibandingkan dengan pelarut air. Namun kehilangan

ekstraktif tidak berbeda nyata hanya dengan menaikkan konsentrasi NaOH sampai

dengan 3%.

Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan

pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Gambar 2. Kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan

pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Waktu pemanasan juga mempengaruhi kehilangan berat, kehilangan ekstraktif,

dan kehilangan lignin pada ampas tebu setelah pretreatment NaOH (p<0.05). Lama

pemanasan 60 menit mengurangi komponen lebih banyak dibandingkan 30 menit.

Namun, memperpanjang waktu selama 90 menit tidak menyebabkan perbedaan nyata

terhadap kehilangan komponen ampas tebu.

Page 26: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

22 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Kehilangan lignin merupakan salah satu indikator terpenting dalam penilaian

efektifitas sebuah metode pretreatment. Gambar 3 memperlihatkan pengaruh

konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan terhadap kehilangan lignin ampas

tebu. Kehilangan lignin sangat dipengaruhi oleh penggunaan NaOH dibandingkan air

(p<0.05). Semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan, semakin banyak

kehilangan lignin ampas tebu.

Analisa SEM dilakukan pada ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment

dengan air dan NaOH 3%. Ampas tebu awal terlihat permukaannya sedikit terkoyak

akibat proses penggilingan (Gambar 4a). Namun lignin masih berikatan dengan

karbohidrat sehingga serat ampas tebu masih dominan terlihat rata. Kemudian serat

ampas tebu memperlihatkan pola yang berbeda setelah diberi perlakuan dengan air dan

NaOH. Dengan menggunakan pelarut air, serat ampas tebu hanya menerima perlakuan

fisik, oleh karena itu permukaan ampas tebu yang makin terkoyak dan pecah (Gambar

4b). Sedangkan pretreatment NaOH memperlihatkan bahwa kerusakan serat ampas

tebu dimulai dari permukaan ke dalam sehingga diharapkan ikatan struktur

lignoselulosa mulai terbuka dan menyediakan permukaan yang semakin luas untuk

reaksi hidrolisis enzimatis berikutnya (Gambar 4c).

Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan

pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Gambar 4. Hasil analisa SEM (Scanning Electron Microscope) penampang melintang

ampas tebu: (a) sebelum pretreatment, (b) setelah pretreatment dengan air

pada suhu 121°C, dan (c) setelah pretreatment dengan NaOH 3% pada

suhu 121°C

Page 27: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 23

Tabel 2. Lateral order indeks (LOI) ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment

A1427 (kristalin) A897 (amorf) LOI

Ampas tebu awal 0.640 0.350 1.829

Ampas tebu pretreatment air 1.020 0.920 1.109

Ampas tebu pretreatment NaOH 1.070 0.880 1.216

Perubahan struktur ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment juga dianalisa

dengan FTIR. Lateral Order Index (LOI) merupakan rasio antara jumlah selulosa

kristalin dan amorf yang merupakan sifat terpenting pada lignoselulosa yang

menyebabkan serat selulosa resisten terhadap enzim selulosa. Nilai LOI ini sebagai

pendekatan sifat kristalinitas selulosa. Tabel 2 memperlihatkan terjadinya penurunan

LOI setelah ampas tebu diberi perlakuan dengan air dan NaOH pada suhu 121°C. Hal

ini mungkin disebabkan oleh terjadinya perusakan daerah kristalin selulosa serta

pembesaran rasio pori-pori dan bagian dalam daerah permukaan, dimana akan

memperbaiki digestibilitas enzim dalam proses hidrolisis. Penurunan LOI pada

pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan pretreatment NaOH

(33.51%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda dimana pretreatment

dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa

dibandingkan dengan NaOH. Hal ini karena pretreatment NaOH lebih menyerang

polimer lignin.

Umumnya, bilangan gelombang 1509, 1464 dan 1422 cm-1

pada spektrum FTIR

identik dengan struktur lignin (Sun et al., 2003). Gambar 5a menunjukkan spektrum

FTIR ampas tebu awal. Sedangkan Gambar 5b dan Gambar 5c menunjukkan spektrum

FTIR setelah pretreatment air dan NaOH 3% secara berurutan. Berdasarkan spektrum

FTIR tersebut tampak jelas bahwa karakteristik puncak lignin dapat ditemukan di

sampel tanpa dan dengan perlakuan pada bilangan gelombang 1250 cm-1

(11) untuk unit

guaiasil dan 1327 cm-1

(10) untuk unit siringil. Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio

siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan perlakuan NaOH lebih besar dibandingkan

dengan perlakuan air. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan NaOH meningkatkan

laju delignifikasi pada ampas tebu.

Tabel 3. Rasio siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan pretreatment NaOH dan air

Unit Propana

Lignin

Tinggi puncak

Ampas tebu awal Ampas tebu-NaOH Ampas tebu-Air

Siringil (10) 0.70 1.15 1.20

Guaiasil (11) 0.78 1.03 1.29

Rasio S/G 0.89 1.12 0.93

Page 28: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

24 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Gambar 5. Spektrum FTIR pada ampas tebu: (a) sebelum pretreatment; (b) setelah

pretreatment dengan air pada suhu 121°C; (c) setelah pretreatment dengan

NaOH 3% pada suhu 121°C

Gugus fungsional yang teridentifikasi pada ampas tebu sebelum dan sesudah

pretreatment dapat dilihat pada Tabel 4. Tampak bahwa pretreatment NaOH dan air

menyebabkan kehilangan beberapa gugus fungsional. Selain itu terjadi perbedaan

intensitas pada masing-masing gugus fungsional yang teridentifikasi. Pretreatment

dengan NaOH dan air menyebabkan peningkatan absorbansi dan luas area dan lebar

puncak pada bilangan gelombang 3410 cm-1

yang berkaitan dengan regangan dari

gugus OH. Hal ini mengindikasikan pelemahan ikatan intra dan intermolekul pada

gugus OH dan menurunnya kristalinitas (Goshadrou et al., 2011). Pretreatment NaOH

menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada hemiselulosa, sedangkan

pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan gugus fungsi C-H pada

selulosa dan hemiselulosa.

Setelah diberi perlakuan pendahuluan, pulp ampas tebu yang dihasilkan

dihidrolisis secara enzimatis dengan enzim selulase. Rendemen gula pereduksi per 100

g ampas tebu kering dapat dilihat pada Gambar 6 (untuk konsentrasi enzim selulase 10

FPU/g) dan Gambar 7 (untuk konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g). Dengan waktu

inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, peningkatan konsentrasi enzim dari 10 FPU/g

menjadi 20 FPU/g tidak berbeda secara nyata terhadap rendemen gula pereduksi

(p>0.05). Perlakuan pretreatment sebelum hidrolisis dengan penambahan konsentrasi

NaOH sampai dengan 3% serta lama pemanasan pretreatment sampai dengan 90 menit

juga tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen gula pereduksi (p>0.05).

Page 29: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 25

Tabel 4. Karakterisasi bilangan gelombang FTIR pada ampas tebu

Gambar 6. Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100

gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 10 FPU/g selama 48

jam pada suhu 50°C

Raw Water NaOH

1 3410 3410 3410O-H (H-bonded) stretching; Vibration,O(3)H---O(3)

intermolecular in cellulose

Pandey and Pitman, 2003; Isroi et al 2012; Lai

and Idris et al 2013; Nomanbhay et al. 2013;

Corrales et al 2012

2 2916 2901 2901 C-H alifatic axial deformation Corrales et al. 2012

C-H stretching in methyl and metylene group Nomanbhay et al. 2013

3 1728 1728 - Unconjugated C=O in xylans (hemicellulose) Pandey and Pitman, 2003

4 1659 1651 1636 C=O,C=C, Absorbed O-H and conjugated C=O Lai and Idris 2013

Conjugated p-substituted aryl ketone in lignin Isroi et al. 2012

5 1605 - - C-Ph vibration Carroles et al. 2012

6 - 1597 - Aromatic skeletal vibration in lignin plus C=O stretch Pandey and Pitman 2003;Nomanbhay et al. 2013

S > G; G condensed > G etherified Isroi et al. 2012

7 1443 1443 - C=O (in ring) 2 bands Lai and Idris 2013

8 - - 1435C-H alifatik angular deformation,, C-H deformation in

lignin and carbohydrate

Corrales et al 2012; Pandey and Pitman 2003; Lai

and Idris 2013

9 1381 - 1373 C-H deformation in cellulose and hemicellulose Lai and Idris 2013; Pandey and Pitman, 2003

10 1327 1327 1327 C-H vibration in cellulose Pandey and Pitman, 2003

C1-O vibration in syringyl derivates Lai and Idris 2013

11 1250 1250 1257 C-O of guaiacyl units and C-O strech in lignin and xylan Pandey and Pitman, 2003; He et al. 2008

C-O stretching of phenol Corrales et al. 2012

12 1165 1165 1165 O-H stretching of secondary alcohol; Corrales et al. 2012

C-O-C vibration in anomeric regions of hemicellulose, C-

C plus C-O plusHe et al. 2012; Isroi et al. 2012

13 1111 1111 1111 C-O-C stretching , β-xylan Corrales et al. 2012; He et al. 2008

14 1041 1041 1034 C-O stretch in cellulose and hemicellulose Pandey and Pitman, 2003

15 903 903 895C-H deformation in cellulose o β-glicosidic linkages

between the sugar units

Nelson and O'Connor,1964; Pandey and Pitman

2003

Lai and Idris 2013; Corrales et al. 2012;

Nomanbhay et al. 2013

16 833 -  - C-H vibration Cheng et al. 2013

No

Pretreatment

Functional Groups References

Wave number (cm-1)

Page 30: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

26 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Gambar 7. Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100

gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 20 FPU/g selama 48

jam pada suhu 50°C

Perubahan signifikan jumlah rendemen gula pereduksi berlaku jika

membandingkan pelarut yang digunakan, yaitu air dan NaOH (p<0.05). Delignifikasi

ampas tebu oleh NaOH yang menghasilkan kehilangan lignin 63-78% diikuti proses

hidrolisis enzim selulase menghasilkan rendemen gula pereduksi 28-39 g/100 g ampas

tebu kering. Sedangkan delignifikasi oleh air yang menghasilkan kehilangan lignin 0.1-

4% menghasilkan rendemen gula pereduksi yang juga rendah, yaitu 2-3 g/100 g ampas

tebu kering.

Secara teori, konversi ampas tebu menjadi gula pereduksi dengan 100% derajat

hidrolisis dapat menghasilkan sekitar 80 g gula pereduksi/100 g ampas tebu kering.

Oleh karena itu, pretreatment NaOH encer pada penelitian kali ini menghasilkan sekitar

31-50% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang

dapat dikonversi dari ampas tebu.

KESIMPULAN

Penggunaan larutan NaOH dan lama pemanasan berpengaruh terhadap

kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin pada proses pretreatment

ampas tebu. Namun, untuk mengefisienkan proses pretreatment, cukup menggunakan

NaOH 1% dan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C.

Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan

pretreatment NaOH (33.51%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda

dimana pretreatment dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin

pada selulosa dibandingkan dengan NaOH. Sedangkan pretreatment NaOH lebih

menyerang polimer lignin dibandingkan dengan selulosa. Rasio siringil/ guaiasil pada

ampas tebu dengan perlakuan NaOH lebih besar dibandingkan dengan perlakuan air

yang menunjukkan bahwa perlakuan NaOH meningkatkan laju delignifikasi pada

ampas tebu. Pretreatment NaOH menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi

C=O pada hemiselulosa, sedangkan pretreatment dengan air berpengaruh terhadap

kehilangan gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa.

Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, konsentrasi enzim

Meicellase yang dapat dipilih adalah 10 FPU/g dibandingkan 20 FPU/g sebagai

efisiensi proses. Pada penelitian ini, pretreatment NaOH 1% dengan lama pemanasan

60 menit di suhu 121°C dilanjutkan hidrolisis selulase 10 FPU/g menghasilkan gula

pereduksi sebanyak 33.97 g/100 g ampas tebu atau sekitar 43% gula pereduksi dari

Page 31: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 27

penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas

tebu.

SARAN

Untuk meningkatkan rendemen gula pereduksi, penelitian lebih lanjut dapat

diutamakan pada proses hidrolisis ampas tebu setelah pretreatment NaOH, misalnya

dengan optimalisasi kondisi hidrolisis. Untuk mendukung data pretreatment NaOH

perlu dilakukan analisa lebih lengkap tentang kehilangan selulosa dan hemiselulosa.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami sangat menghargai kerja sama Sudarmanto dan Rizky Rissa Bella dalam

menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Cheng, D., S. Jiang, and Q. Zhang. 2013. Effect of hydrothermal treatment with

different aqueous solutions on the mold resistance of Moso bamboo with

chemical and FTIR analysis. BioResources 8(1): 371-382.

Corrales, R.C.N.R., F.M.T. Mendes, C.C. Perrone, C. Santana, W. de Souza, Y. Abud,

E. da Silva Bon and V. Ferreira-Leitao. 2012. Structural evaluation of sugar cane

bagasse steam pretreated in presence of CO2 and SO2. Biotechnology for Biofuel

5(36): 1-8.

Goshadrou, A., K. Karimi, and M.J. Taherzadeh. 2011. Improvement of sweet sorghum

bagasse hydrolysis by alkali and acidic pretreatment. Wood Renewable Energy

Congress 374-380, 8-13 May 2011, Linkoping Sweden.

Hambali, E., S. Mudjalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007.

Teknologi Bioenergi: Biodiesel, Bioetanol, Biogas, Pure Plant Oil, Biobriket, dan

Bio-Oil. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta.

He, Y., Y. Pang, Y. Liu, X. Li, and K. Wang. 2008. Physicochemical characterization

of rice straw pretreated with sodium hydroxide in the solid state for enhancing

biogas production. Energy and Fuel 22(4): 2775–2781.

Hermiati, E, D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, dan B. Prasetya. 2010.

Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol.

Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130.

Isroi, M.M. Ishola, R. Milati, S. Syamsiah, M.N. Cahyanto, C. Niklason and M.J.

Taherzadeh. 2012. Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB)

after fungal and phosporic acid pretreatment. Molecules 17: 14995-15012.

Lai, Long-Wee and A. Idris. 2013. Disruption of oil palm trunks and fronds by

microwave-alkali pretreatment. BioResources 8(2): 2792-2804.

McIntosh, S. and T. Vancov. 2011. Optimisation of dilute alkaline pretreatment for

enzymatic saccharification of wheat straw. Biomass and Bioenergy 35: 3094-

3103.

Menon, V. and M. Rao. 2012. Trends in bioconversion of lignocellulose: Biofuels,

platform chemicals & biorefinery concept. Progress in Energy and Combustion

Science. doi:10.1016/j.pecs.2012.02.002.

Page 32: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

28 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Nelson, M.L., and R.T. O’Connor. 1964. Relation of certain infrared bands to cellulose

crystallinity and crystal lattice type. Part II a new infrared ratio for estimation of

crystallinity in cellululoses I and II. J.Appl.Polym.Sci 8: 1325-1341.

Nlewem, K.C. and M.E. Thrash Jr. 2010. Comparison of different pretreatment

methods based on residual lignin effect on the enzymatic hydrolysis of

switchgrass. Bioresource Technology 101: 5426–5430.

Nomanbhay, S.M., R. Hussain, and K. Palanisamy. 2013. Microwave-assisted alkaline

pretreatment and microwave assisted enzymatic saccarification of oil palm empty

fruit bunch fiber for enhanced fermentable sugar yield. Journal of Sustainable

Bioenergy System 3: 7-17.

Pandey, K.K. and A.J. Pitman. 2003. FTIR studies of the changes in wood chemistry

following decay by brown-rot and white-rot fungi. International

Biodeterioration and Biodegradation 52: 51-160.

Sudiyani, Y., K.C. Sembiring, H. Hendarsyah dan S. Alawiyah. 2010. Pengolahan awal

dengan basa NaOH dan sakarifikasi enzimatis serat tandan kosong kelapa sawit

(TKKS) untuk produksi etanol. Menara Perkebunan 78(2): 73-77.

Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol

production: a review. Bioresource Technology 83: 1–11.

Sun, J.X., X.F. Sun, R.C. Sun, F. Paul, and S.B. Mark. 2003. Inhomogeneities in the

chemical structure of sugarcane bagasse lignin. J.Agric.Food.Chem 51: 6719-

6729.

Page 33: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 29

PENGARUH PRETREATMENT Ca(OH)2 DAN HIDROLISIS ENZIMATIS

TERHADAP PRODUKSI GULA PEREDUKSI PADA AMPAS TEBU

Triyani Fajriutami*, Widya Fatriasari, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis

Hermiati

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Harga bioetanol yang masih mahal menjadi permasalahan utama saat ini. Untuk

skala besar produksi bioetanol, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih

disukai oleh industri. Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang sangat

potensial sebagai bahan baku bietanol yang berkelanjutan di dunia. Penelitian ini

menggunakan Ca(OH)2 karena keuntungannya adalah tidak mahal dan aman untuk

digunakan. Pretreatment Ca(OH)2 dengan konsentrasi 0.2 g/g ampas tebu dengan

waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C untuk dilanjutkan dengan hidrolisis enzim

selulase selama 48 jam pada suhu 50°C menghasilkan gula pereduksi sebanyak 25.12

g/100 g ampas tebu yang setara dengan 31.4% dari penghitungan teori gula pereduksi

maksimal dari ampas tebu.

Kata kunci: Ampas tebu, pretreatment Ca(OH)2, gula pereduksi, hidrolisis enzim

PENDAHULUAN

Solusi untuk menghadapi kelangkaan energi fosil pada masa mendatang adalah

pengembangan bioenergi. Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2012-2050 menetapkan

bahwa peran energi baru dan terbarukan tahun 2025 minimal 25% dan tahun 2050

minimal 40%. Sedangkan peranan minyak bumi akan dikurangi menjadi kurang dari

25% di tahun 2025 dan kurang dari 20% di tahun 2050 (ESDM, 2012).

Harga bioetanol yang masih mahal menjadi permasalahan utama saat ini. Untuk

skala besar produksi bioetanol, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih

disukai oleh industri. Biomassa lignoselulosa dapat digunakan sebagai alternatif bahan

baku untuk produksi bioetanol. Ketika menggunakan pati atau molase, bahan baku

tersebut menghabiskan sekitar 40-70% biaya produksi (Dalgaard et al., 2006;

Sendelius, 2005; Quintero et al., 2008). Limbah industri pertanian, dalam penelitian ini

adalah ampas tebu, diharapkan mampu menjadi salah satu bahan baku yang melimpah

dan murah sehingga dapat mengurangi biaya produksi bioetanol.

Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang sangat potensial sebagai

bahan baku bietanol yang berkelanjutan di dunia. Indonesia pun memiliki banyak

pabrik gula tebu yang dikelola oleh Negara (PT Perkebunan Nusantara/PTPN) maupun

swasta. Produksi gula selalu meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan Dirjen

Perkebunan pada tahun 2009, produksi tebu nasional adalah 33 juta ton/tahun dan saat

ini terdapat 58 pabrik gula dengan kapasitas giling total 195.622 ton tebu per hari.

Sementara itu, data P3GI pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat 15 perusahaan

dengan 62 pabrik gula dengan jumlah tebu yang digiling 29,911 juta ton. Berdasarkan

Page 34: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

30 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

data P3GI tersebut, dilakukan perhitungan mengikuti metoda Badger dengan asumsi

ampas tebu kering 10% dari tebu giling, kadar selulosa (glukan) dan hemiselulosa

(xilan) ampas tebu masing-masing 40% dan 20%, efisiensi sakarifikasi glukan dan xilan

masing-masing 76% dan 90%, serta efisiensi fermentasi glukosa dan xilosa masing-

masing 75% dan 50%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa potensi etanol yang

dapat dihasilkan berkisar 467-112.552 kL/tahun dan potensi total untuk seluruh

Indonesia adalah 614.827 kL/tahun (Hermiati et al., 2010).

Pretreatment Ca(OH)2 merupakan metode kimia dan seperti perlakuan alkali

lainnya, efek pretreatment ini adalah menghilangkan lignin. Selain itu, grup asetil

dihilangkan yang akan meningkatkan digestibilitas dan menghilangkan inhibitor

komponen dalam fermentasi etanol. Pretreatment Ca(OH)2 menawarkan tiga

keuntungan dibanding pretreatment lainnya, yaitu tidak banyak mendegradasi selulosa

dan hemiselulosa, tidak mahal sehingga bisa diaplikasikan pada produksi energi tidak

terbarukan dan bahan kimia, dan aman untuk digunakan (Sierra et al., 2009).

Pretreatment Ca(OH)2 dilakukan pada kisaran suhu 25-200°C dengan selang

waktu jam sampai mingguan. Pretreatment Ca(OH)2 dibagi menjadi 3 kategori

berdasarkan lama waktunya, yaitu pretreatment jangka panjang (1-8 minggu),

pretreatment jangka pendek (1-24 jam), dan pretreatment sederhana (1 jam dalam air

mendidih) (Sierra et al., 2009). Beberapa laporan penelitian yang menghasilkan kondisi

optimum penggunaan basa Ca(OH)2 pada pretreatment lignoselulosa, yaitu

pretreatment switchgrass dengan kisaran suhu 100–120°C selama 2 jam (Chang et al.,

1997); dan corn stover dengan suhu 120°C selama 4 jam (Kaar and Holtzapple, 2000).

Kim and Holtzapple (2005) juga melaporkan bahwa delignifikasi corn stover sampai

dengan 57.8%, 66.2%, 80.9%, dan 87.5% pada suhu 25, 35, 45, dan 55°C selama 16

minggu perlakuan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment Ca(OH)2

pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi

yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol.

BAHAN DAN METODE

Ampas tebu dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat dikeringkan, digiling, dan

disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Ampas tebu tersebut mengandung 41.35%

alfaselulosa, 31.11% hemiselulosa, 20.16% lignin, 8.73% ekstraktif dan 1.47% abu.

Ampas tebu disimpan dalam wadah tertutup rapat sebelum digunakan.

Pretreatment dilakukan dengan menimbang 10 gram ampas tebu yang sudah

diketahui kadar airnya kemudian dimasukkan dalam labu erlenmeyer volume 250 ml.

Konsentrasi Ca(OH)2 yang digunakan adalah 0.1, 0.2 dan 0.3 g/g ampas tebu. Oleh

karena itu, serbuk Ca(OH)2 ditimbang sebanyak 1 gram, 2 gram dan 3 gram untuk

dicampurkan bersama ampas tebu yang sudah ditimbang sebelumnya. Kemudian

ditambahkan air sebanyak 15 g/g ampas tebu atau 150 g air. Diasumsikan berat jenis air

adalah 1 g/ml, sehingga air yang ditambahkan ke dalam campuran adalah 150 ml.

Sebagai pembanding hanya ditambahkan 150 ml air bersama dengan ampas tebu.

Kemudian labu tersebut dipanaskan selama 30, 60, dan 90 menit dalam pemanas

bertekanan (autoclave) pada suhu 121°C. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring

untuk memisahkan pulp ampas tebu dengan limbah cairnya. Pulp ampas tebu dibilas

beberapa kali dengan air suling untuk menetralkan pH-nya. Sebagian pulp ampas tebu

yang sudah netral dikeringkan di oven 60°C selama 3 hari, dan sebagian lainnya tetap

Page 35: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 31

disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan untuk proses hidrolisis

enzimatis. Pulp ampas tebu kering dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air,

kadar ekstraktif, dan kadar ligninnya. Kemudian dilakukan penghitungan kehilangan

berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin. Analisa SEM dan FTIR dilakukan

terhadap pulp ampas tebu basah yang dikeringkan dengan pengering beku (freeze

dryer). Struktur sel ampas tebu dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope

(SEM) dengan perbesaran 2000 kali (15kV, WD 11 mm). Persiapan analisa FTIR

dilakukan dengan mencampur 4 mg serbuk ampas tebu dicampur dengan 200 mg KBr

(kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi tekanan

5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1

dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-400 cm-1

.

Hidrolisis enzimatis pada penelitian ini menggunakan enzim selulase komersial

(Meicellase dari Meiji Seika, Jepang) dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Larutan buffer

sodium sitrat 0.05 M, pH 5 disiapkan sebagai pelarut enzim selulase. Sebanyak 1 gram

Meicellase dilarutkan dalam larutan buffer sodium sitrat hingga volume 100 ml,

sehingga didapatkan konsentrasi larutan stok enzim selulase 2 FPU/ml. Proses hidrolisis

dilakukan terhadap ampas tebu setelah proses pretreatment Ca(OH)2. Sebanyak 0.1 g

pulp ampas tebu (berat kering) ditimbang dalam botol vial volume 20 ml. Kemudian

ditambahkan 5 ml larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 ml larutan sodium azide 20

mg/ml. Setelah itu, ditambahkan larutan stok enzim selulase 0.5 ml (untuk konsentrasi

enzim 10 FPU/g) atau 1 ml (untuk konsentrasi enzim 20 FPU/g). Larutan buffer sodium

sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total campuran mencapai 10 g.

Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer (tanpa substrat dan tanpa

penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa substrat). Proses hidrolisis

dilakukan dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C selama 48 jam. Posisi vial

diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak substrat dengan enzim.

Kemudian filtrat hasil hidrolisis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode

Nelson-Somogyi. Gula pereduksi substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula

pereduksi kontrol buffer dan kontrol enzim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ca(OH)2 secara signifikan mengurangi berat, kandungan ekstraktif, dan

lignin pada ampas tebu dibandingkan dengan air (p<0.05). Namun peningkatan

konsentrasi Ca(OH)2 dari 0.1 g/g sampai dengan 0.3 g/g tidak berpengaruh terhadap

kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu (p>0.05).

Lama pemanasan juga mempengaruhi kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin

pada ampas tebu (p<0.05). Kehilangan komponen ampas tebu tersebut paling banyak

terjadi setelah pemanasan 60 menit pada temperatur 121°C.

Gambar 1 memperlihatkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap kehilangan

berat pada ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan ampas tebu sebesar

2.40% jika hanya dengan perlakuan air. Dengan perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu

selama 60 menit, kehilangan berat ampas tebu sebanyak 19.53%.

Page 36: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

32 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan

pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Gambar 2 menunjukkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap kehilangan

ekstraktif ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, ampas tebu berkurang kandungan

ekstraktifnya sebesar 78.77% jika diberi perlakuan air, sedangkan jika diberi perlakuan

Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu maka kehilangan ekstraktifnya sebanyak 89.39%.

Gambar 2. Kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan

pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Seperti alkali lainnya, perlakuan Ca(OH)2 akan berdampak pada kehilangan

lignin bahan lignoselulosa. Gambar 3 memperlihatkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2

terhadap kehilangan lignin pada ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan

lignin dengan perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu mampu mengurangi lignin

sebanyak 25.65% pada ampas tebu. Walaupun Ca(OH)2 cukup selektif dalam

mendegradasi lignin, dibandingkan dengan NaOH misalnya, degradasi beberapa jenis

karbohidrat juga terjadi. Namun, pada pretreatment jangka pendek, telah dibuktikan

bahwa karbohidrat masih banyak yang bisa dipertahankan pada pretreatment Ca(OH)2

(Sierra et al., 2009).

Page 37: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 33

Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan

pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Dapat dilihat pada hasil analisa struktur serat ampas tebu pada Gambar 4.

Lubang-lubang yang terdapat pada struktur serat setelah pretreatment Ca(OH)2

(Gambar 4c) menunjukkan adanya degradasi hemiselulosa, akibat dari rusaknya ikatan

lignin dan hemiselulosa yang mulai terjadi.

Perubahan struktur ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment juga dianalisa

dengan FTIR. Lateral Order Index (LOI) merupakan rasio antara jumlah selulosa

kristalin dan amorf yang merupakan sifat terpenting pada lignoselulosa yang

menyebabkan serat selulosa resisten terhadap enzim selulosa. Nilai LOI ini sebagai

pendekatan sifat kristalinitas selulosa. Absorbansi pada bilangan gelombang 1427 dan

898 cm-1

sebagai ciri selulosa dapat digunakan untuk mempelajari perubahan

kristalinitas selulosa. Tabel 1 menunjukkan terjadi penurunan LOI setelah ampas tebu

diberi perlakuan dengan air dan Ca(OH)2 pada suhu 121°C. Hal ini mungkin

disebabkan oleh terjadinya perusakan daerah kristalin selulosa serta pembesaran rasio

pori-pori dan bagian dalam daerah permukaan, dimana akan memperbaiki digestibilitas

enzim dalam proses hidrolisis. Pembesaran pori-pori tersebut akibat dari aktifitas

pemecahan gugus ester pada ikatan silang antara lignin dan xylan (Tarkow and Feist,

1969). Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan

dengan pretreatment Ca(OH)2 (36.74%) yang mengindikasikan pola degradasi yang

berbeda. Seperti perlakuan NaOH di penelitian sebelumnya, pretreatment dengan air

mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa dibandingkan

dengan alkali. Hal ini karena pretreatment alkali lebih menyerang polimer lignin

dibandingkan dengan selulosa.

Tabel 1. Lateral order indeks (LOI) ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment

A1427 (kristalin) A897 (amorf) LOI

Ampas tebu awal 0.640 0.350 1.829

Ampas tebu pretreatment air 1.020 0.920 1.109

Ampas tebu pretreatment Ca(OH)2 1.290 1.110 1.162

Page 38: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

34 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Gambar 4. Hasil analisa SEM (Scanning Electron Microscope) penampang melintang

ampas tebu: (a) sebelum pretreatment, (b) setelah pretreatment dengan air

pada suhu 121°C, dan (c) setelah pretreatment dengan Ca(OH)2 0.3 g/g

pada suhu 121°C

Umumnya, bilangan gelombang 1509, 1464 dan 1422 cm-1

pada spektrum FTIR

identik dengan struktur lignin (Sun et al., 2003). Ampas tebu yang termasuk dalam

kelompok rumput-rumputan mengandung tiga kelompok lignin yaitu unit guaiasil

propana yang mengandung satu gugus metoksil, unit siringil propana dengan dua gugus

metoksil dan para-coumaryl alkohol tanpa gugus metoksil. Besar kandungan unit lignin

tersebut pada umumnya adalah 40% guaiasil, 40% siringil dan 20% para-coumaryl

alkohol. Gambar 5a menunjukkan spektrum FTIR ampas tebu awal. Sedangkan Gambar

5b dan Gambar 5c menunjukkan spektrum FTIR setelah pretreatment air dan Ca(OH)2

0.3 g/g ampas tebu secara berurutan. Berdasarkan spektrum FTIR tersebut tampak jelas

bahwa karakteristik puncak lignin dapat ditemukan di sampel tanpa dan dengan

perlakuan pada bilangan gelombang 1250 cm-1

(11) untuk unit guaiasil dan 1327 cm-1

(10) untuk unit siringil.

Perbandingan siringil dan guaiasil (Rasio S/G) dapat digunakan untuk melihat

pola degradasi unit penyusun polimer lignin lebih dalam dimana makin tinggi rasio s/g

menunjukkan peningkatan laju delignifikasi. Jumlah gugus metoksil pada unit siringil

yang menyebabkan proses substitusi dengan gugus lain terjadi lebih mudah. Rasio s/g

pada ampas tebu dengan perlakuan Ca(OH)2 lebih besar dibandingkan dengan

perlakuan air (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan alkali meningkatkan

laju delignifikasi pada ampas tebu.

Page 39: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 35

Gambar 5. Spektrum FTIR pada ampas ebu: (a) sebelum pretreatment; (b) setelah

pretreatment dengan air pada suhu 121°C; (c) setelah pretreatment dengan

Ca(OH)2 0.3 g/g ampas tebu pada suhu 121°C

Tabel 2. Rasio siringil/ guaiasil ampas tebu dengan pretreatment Ca(OH)2 dan air

Unit Propana Lignin Tinggi puncak

Ampas tebu awal Ampas tebu-Ca(OH)2 Ampas tebu-Air

Siringil (10) 0.70 1.39 1.20

Guaiasil (11) 0.78 1.30 1.29

Rasio S/G 0.89 1.07 0.93

Gugus fungsional yang teridentifikasi pada ampas tebu sebelum dan sesudah

pretreatment dapat dilihat pada Tabel 3. Tampak bahwa pretreatment Ca(OH)2 dan air

menyebabkan kehilangan beberapa gugus fungsional. Selain itu terjadi perbedaan

intensitas pada masing-masing gugus fungsional yang teridentifikasi. Absorbansi yang

lebar pada bilangan gelombang 3394-3390 cm-1

berkaitan dengan gugus OH, sedangkan

bilangan gelombang 2900-2800 cm-1

menunjukkan regangan O-H (Wang et al., 2007).

Pretreatment dengan Ca(OH)2 dan air menyebabkan peningkatan absorbansi dan luas

area dan lebar puncak pada bilangan gelombang 3410 cm-1

yang berkaitan dengan

regangan dari gugus OH. Hal ini mengindikasikan pelemahan ikatan intra dan

intermolekul pada gugus OH dan menurunnya kristalinitas (Goshadrou et al., 2011)

Page 40: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

36 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Tabel 3. Karakterisasi bilangan gelombang FTIR pada ampas tebu

Pretreatment Ca(OH)2, seperti halnya pretreatment NaOH pada penelitian

sebelumnya, menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada

hemiselulosa(3), sedangkan pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan

gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa (9). Gugus fungsi C-O-C dalam

hemiselulosa dan C-H dalam selulosa tetap ada dalam ampas tebu setelah pretreatment

air dan Ca(OH)2, hanya terjadi perbedaan tingkat intensitas diantara perlakuan. Hal ini

karena dalam aktifitas penyerangan polimer lignin, pretreatment juga menyebabkan

terjadinya kehilangan karbohidrat terutama hemiselulosa. Struktur rantai bercabang

pada hemiselulosa dan derajat polimerisasi yang lebih rendah pada hemiselulosa

menyebabkan polimer ini lebih mudah terdegradasi dibandingkan dengan selulosa yang

didominasi struktur kristalin.

Rendemen gula pereduksi per 100 g ampas tebu kering dapat dilihat pada

Gambar 6 (untuk konsentrasi enzim selulase 10 FPU/g) dan Gambar 7 (untuk

Raw WaterCa(OH

)2

1 3410 3410 3410O-H (H-bonded) stretching; Vibration,O(3)H---O(3)

intermolecular in cellulose

Pandey and Pitman, 2003; Isroi et al 2012; Lai

and Idris et al 2013; Nomanbhay et al. 2013;

Corrales et al 2012

2 2916 2901 2901 C-H alifatic axial deformation Corrales et al. 2012

C-H stretching in methyl and metylene group Nomanbhay et al. 2013

3 1728 1728 - Unconjugated C=O in xylans (hemicellulose) Pandey and Pitman, 2003

4 1659 1651 1636 C=O,C=C, Absorbed O-H and conjugated C=O Lai and Idris 2013

Conjugated p-substituted aryl ketone in lignin Isroi et al. 2012

5 1605 - - C-Ph vibration Carroles et al. 2012

6 - 1597 1597 Aromatic skeletal vibration in lignin plus C=O stretch Pandey and Pitman 2003;Nomanbhay et al. 2013

S > G; G condensed > G etherified Isroi et al. 2012

7 1443 1443 - C=O (in ring) 2 bands Lai and Idris 2013

8 - - 1427C-H alifatik angular deformation,, C-H deformation in

lignin and carbohydrate

Corrales et al 2012; Pandey and Pitman 2003; Lai

and Idris 2013

9 1381 - 1373 C-H deformation in cellulose and hemicellulose Lai and Idris 2013; Pandey and Pitman, 2003

10 1327 1327 1327 C-H vibration in cellulose Pandey and Pitman, 2003

C1-O vibration in syringyl derivates Lai and Idris 2013

11 1250 1250 1250 C-O of guaiacyl units and C-O strech in lignin and xylan Pandey and Pitman, 2003; He et al. 2008

C-O stretching of phenol Corrales et al. 2012

12 1165 1165 1165 O-H stretching of secondary alcohol; Corrales et al. 2012

C-O-C vibration in anomeric regions of hemicellulose, C-

C plus C-O plusHe et al. 2012; Isroi et al. 2012

13 1111 1111 1111 C-O-C stretching , β-xylan Corrales et al. 2012; He et al. 2008

14 1041 1041 1034 C-O stretch in cellulose and hemicellulose Pandey and Pitman, 2003

15 903 903 895C-H deformation in cellulose o β-glicosidic linkages

between the sugar units

Nelson and O'Connor,1964; Pandey and Pitman

2003

Lai and Idris 2013; Corrales et al. 2012;

Nomanbhay et al. 2013

16 833 - - C-H vibration Cheng et al. 2013

No

Pretreatment

Functional Groups References

Wave number (cm-1)

Page 41: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 37

konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g). Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses

hidrolisis, konsentrasi enzim selulase 20 FPU/g menghasilkan gula pereduksi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi 10 FPU/g (p<0.05). Perlakuan

pretreatment sebelum hidrolisis dengan penambahan konsentrasi Ca(OH)2 berpengaruh

nyata terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi Ca(OH)2

yang digunakan maka gula pereduksinya semakin tinggi. Sedangkan waktu pemanasan

saat pretreatment tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen gula pereduksi (p>0.05).

Gambar 6. Pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap rendemen gula pereduksi per

100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 10 FPU/g selama

48 jam pada suhu 50°C

Gambar 7. Pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap rendemen gula pereduksi per

100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 20 FPU/g selama

48 jam pada suhu 50°C

Perubahan signifikan jumlah rendemen gula pereduksi juga berlaku jika

membandingkan pelarut yang digunakan, yaitu air dan Ca(OH)2 (p<0.05). Delignifikasi

ampas tebu oleh Ca(OH)2 yang menghasilkan kehilangan lignin 3.8-29.6% diikuti

proses hidrolisis enzim selulase menghasilkan rendemen gula pereduksi 16-29 g/100 g

ampas tebu kering.

Secara teori, konversi ampas tebu menjadi gula pereduksi dengan 100% derajat

hidrolisis dapat menghasilkan sekitar 80 g gula pereduksi/100 g ampas tebu kering.

Oleh karena itu, pretreatment Ca(OH)2 pada penelitian kali ini menghasilkan sekitar

20-36% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang

dapat dikonversi dari ampas tebu.

Page 42: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

38 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

KESIMPULAN

Pengaruh Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C secara

signifikan mengurangi berat, kandungan ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu

dibandingkan dengan air. Setelah pemanasan 60 menit, kehilangan lignin dengan

perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu mampu mengurangi lignin sebanyak 25.65%

pada ampas tebu.

Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan

pretreatment Ca(OH)2 (36.74%). Begitu juga rasio s/g pretreatment Ca(OH)2 lebih

besar dibandingkan air. Hal ini menunjukkan laju delignifikasi Ca(OH)2 cukup

menjanjikan seperti halnya laju delignifikasi di pretreatment NaOH pada penelitian

sebelumnya dengan waktu dan suhu yang sama.

Dengan waktu inkubasi 48 jam selama proses hidrolisis, konsentrasi enzim

selulase 20 FPU/g menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan

konsentrasi 10 FPU/g pada ampas tebu yang telah diberi pretreatment Ca(OH)2. Oleh

karena itu, berdasarkan profil delignifikasi sebelumnya, dapat dipilih Ca(OH)2 dengan

konsentrasi 0.2 g/g ampas tebu dengan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C

untuk dilanjutkan dengan hidrolisis enzim selulase selama 48 jam pada suhu 50°C.

Kondisi perlakuan tersebut akan menghasilkan gula pereduksi sebanyak 25.12 g/100 g

ampas tebu yang setara dengan 31.4% dari penghitungan teori gula pereduksi maksimal

dari ampas tebu.

SARAN

Pretreatment Ca(OH)2 merupakan pretreatment alkali yang memiliki banyak

keuntungan. Oleh karena itu perlu dioptimalkan kondisi pretreatment yang tepat untuk

ampas tebu menggunakan Ca(OH)2. Kondisi yang perlu diteliti lebih lanjut adalah

pemilihan temperatur dan waktu pretreatment. Kemudian setelah itu optimalisasi

hidrolisis enzim selulase juga perlu dikembangkan. Oleh karena itu perlu dianalisa

kandungan selulosa dan hemiselulosa ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment

Ca(OH)2.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami sangat menghargai kerja sama Sudarmanto dan Rizky Rissa Bella dalam

menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Chang, V.S, B. Burr, M.T. Holtzapple. 1997. Lime pretreatment of switchgrass,

Applied Biochemistry and Biotechnology 63-65:3-19.

Cheng, D., S. Jiang, and Q. Zhang. 2013. Effect of hydrothermal treatment with

different aqueous solutions on the mold resistance of Moso bamboo with

chemical and FTIR analysis. BioResources 8(1): 371-382.

Corrales, R.C.N.R., F.M.T. Mendes, C.C. Perrone, C. Santana, W. de Souza, Y. Abud,

E. da Silva Bon and V. Ferreira-Leitao. 2012. Structural evaluation of sugar cane

bagasse steam pretreated in presence of CO2 and SO2. Biotechnology for Biofuel

5(36): 1-8.

Page 43: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 39

Dalgaard, T., U. Jorgensen, J.E. Olesen, E.S. Jensen, and E.S. Kristensen. 2006.

Looking at biofuels and bioenergy. Science 312, pp 1743.

ESDM. 2012. 10 Jawaban Kenaikan Harga BBM. http://prokum.esdm.go.id/Lain-

lain/10%20Jawaban%20Kenaikan%20Harga%20BBM.pdf (diakses tanggal 26

Oktober 2012).

Goshadrou, A., K. Karimi, and M.J. Taherzadeh. 2011. Improvement of sweet sorghum

bagasse hydrolysis by alkali and acidic pretreatment. Wood Renewable Energy

Congress 374-380, 8-13 May 2011, Linkoping Sweden.

He, Y., Y. Pang, Y. Liu, X. Li, and K. Wang. 2008. Physicochemical characterization

of rice straw pretreated with sodium hydroxide in the solid state for enhancing

biogas production. Energy and Fuel 22(4): 2775–2781.

Hermiati, E, D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, dan B. Prasetya. 2010.

Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol.

Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130.

Isroi, M.M. Ishola, R. Milati, S. Syamsiah, M.N. Cahyanto, C. Niklason and M.J.

Taherzadeh. 2012. Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB)

after fungal and phosporic acid pretreatment. Molecules 17: 14995-15012.

Kaar, W.E and M.T. Holtzapple. 2000. Using lime pretreatment to facilitate the enzyme

hydrolysis of corn stover. Biomass and Bioenergy 18(3):189-199.

Kim, S. and M.T. Holtzapple. 2005. Lime pretreatment and enzymatic hydrolysis of

corn stover. Bioresource Technology 96:1994–2006.

Lai, L. and A. Idris. 2013. Disruption of oil palm trunks and fronds by microwave-

alkali pretreatment. BioResources 8(2): 2792-2804.

Nelson, M.L., and R.T. O’Connor. 1964. Relation of certain infrared bands to cellulose

crystallinity and crystal lattice type. Part II a new infrared ratio for estimation of

crystallinity in cellululoses I and II. J.Appl.Polym.Sci 8: 1325-1341.

Nomanbhay, S.M., R. Hussain, and K. Palanisamy. 2013. Microwave-assisted alkaline

pretreatment and microwave assisted enzymatic saccarification of oil palm empty

fruit bunch fiber for enhanced fermentable sugar yield. Journal of Sustainable

Bioenergy System 3: 7-17.

Pandey, K.K. and A.J. Pitman. 2003. FTIR studies of the changes in wood chemistry

following decay by brown-rot and white-rot fungi. International

Biodeterioration and Biodegradation 52: 51-160.

Quintero, J.A., M.I. Montoya, O.J. Sánchez, O.H. Giraldo, and C.A. Cardona. 2008.

Fuel ethanol production from sugarcane and corn: Comparative analysis for a

Colombian case. Energy 33, pp 385–399.

Sendelius, J, 2005. Steam pretreatment optimisation for sugarcane bagasse in

bioethanol production. Master of Science Thesis. Department of Chemical

Engineering, Lund University, Sweden.

http://www.chemeng.lth.se/exjobb/063.pdf (diakses tanggal 19 September 2011).

Sierra, R., C.B. Granda, and M.T. Holtzapple. 2009. Chapter 9: Lime Pretreatment.

Biofuels: Methods and Protocols. Methods in Molecular Biology, vol. 581.

Jonathan R. Mielenz (ed.). Humana Press, a part of Springer Science+Business

Media.

Sun, J.X., X.F. Sun, R.C. Sun, F. Paul, and S.B. Mark. 2003. Inhomogeneities in the

chemical structure of sugarcane bagasse lignin. J.Agric.Food.Chem 51: 6719-

6729.

Page 44: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

40 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Tarkow, H. and W. Feist. 1969. A mechanism for improving the digestibility of

lignocellulosic materials with dilute alkali and liquid amonia.

Adv.Chem.Ser.95:197-218.

Wang, L.L., G.T. Han, Y.M. Zhang. 2007. Comparative study of composition, structure

and properties of Apocynum venetum fibers under different pretreatments.

Carbohydrate Polymer 69:391-397.

Page 45: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 41

SINTESIS SODIUM LIGNOSULFONAT DARI LIMBAH LIGNIN

PRETREATMENT AMPAS TEBU

Fitria*, Widya Fatriasari, Faizatul Falah, Triyani Fajriutami dan Euis Hermiati

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Studi pemanfaatan limbah cair pengolahan ampas tebu menjadi lignosulfonat

telah dilakukan. Lignin dari lindi hitam yang berasal dari perlakuan alkali NaOH

terhadap ampas tebu ini diisolasi dan selanjutnya diproses menjadi sodium

lignosulfonat. Dari 9 jenis perlakuan pendahuluan pada ampas tebu menggunakan

kombinasi perlakuan alkali NaOH dengan konsentrasi 1%, 2% dan 3 % serta lama

pemanasan 30, 60 dan 90 menit di dalam autoclave, dilakukan proses isolasi lignin pada

lindi hitam yang dihasilkan dan selanjutnya sodium lignosulfonat disintesis dari lignin

ini. Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi alkali dan lama

pemanasan, semakin besar kadar lignin yang didapatkan. Analisis spektroskopi FTIR

menunjukkan bahwa sodium lignosulfonat yang dihasilkan memiliki kualitas yang lebih

baik daripada sodium lignosulfonat komersil.

Kata kunci: lignin, sodium lignosulfonat, pretreatment ampas tebu

PENDAHULUAN

Salah satu tantangan terbesar dari produksi bioetanol dari bahan lignoselulosa

adalah penggunaan limbah yang terbuang dari keseluruhan proses. Oleh karena itu

berkembang strategi produksi bioetanol dari ampas tebu bersama dengan

pengembangan konsep biorefinery. Biorefinery merupakan suatu proses produksi

berbagai produk kimiawi dan biofuel dari suatu biomassa dengan teknologi ramah

lingkungan yang menghasilkan sedikit limbah (Li et al., 2008). Konsep ini dapat

diterapkan pada proses konversi ampas tebu menjadi bioetanol.

Hasil samping dari proses produksi bioetanol dapat langsung digunakan atau

dikonversi dengan cara kimiawi, enzimatik atau biologis. Beberapa manfaat dari konsep

biorefinary ini adalah meningkatkan nilai tambah produk samping, meningkatkan nilai

ekonomis lignoselulosa, meminimalkan penggunaan air dan mengurangi

ketergantungan terhadap produk berbahan dasar minyak bumi. Biorefinery menawarkan

peluang ekonomi baru untuk industri pertanian dan kimia dengan menghasilkan

bermacam-macam produk kimia, bahan bakar transportasi, dan energi (FitzPatrick et

al., 2010). Konsep biorefinery digunakan oleh Rabelo et al. (2011) untuk

mengintegrasikan proses produksi bioetanol dari ampas tebu dengan produksi biogas.

Mariano et al. (2012) menerapkan biorefinery tebu untuk menghasilkan gula, etanol dan

butanol.

Limbah buangan lignin bila tidak dimanfaatkan dapat mencemari lingkungan

karena sulit terdegradasi dalam kondisi anaerob (Ahring and Westermann, 2007). Pada

umumnya sebagian lignin dibakar untuk menyediakan panas dan kelistrikan pada

proses, dan sisanya dijual sebagai produk samping untuk bahan bakar (Galbe and

Page 46: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

42 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Zacchi, 2007) atau sebagai campuran atau pengikat (binder) dalam pakan ternak

(ruminansia).

Salah satu usaha untuk memanfaatkan limbah cair yang mengandung lignin

adalah dengan memanfaatkannya sebagai bahan perekat kayu atau mereaksikannya

dengan senyawa bisulfit sehingga menjadi lignosulfonat yang secara luas dikenal

sebagai bahan tambahan pada semen, pupuk, paper coating, dan lain-lain. Proses

sulfonasi pada lignin mengubah sifat hidrofilitas dari lignin yang kurang polar dengan

memasukkan gugus sulfonat yang lebih polar dari gugus hidroksil. Hal ini

menyebabkan meningkatnya sifat hidrofilitas dan menjadikan lignosulfonat larut dalam

air.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengisolasi lignin yang terdapat dalam limbah

pretreatment alkali (lindi hitam) terhadap ambas tebu dan selanjutnya disulfonasi untuk

menghasilkan sodium lignosulfonat. Sehingga dapat diketahui pengaruh beda perlakuan

pendahuluan ini terhadap rendemen padatan limbah, rendemen lignin dan karakter

sodium lignosulfonat yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair (lindi hitam)

pretreatment ampas tebu pada penelitian sebelumnya. Pretreatment ampas tebu tersebut

dilakukan dengan mencampur 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya

dan ditambahkan 150 ml larutan NaOH 1%, 2% dan 3% (b/v) dengan lama waktu

pemanasan dalam autoclave selama 30, 60 dan 90 menit.

Metode isolasi lignin mengacu pada Falah (2012). Dalam proses isolasi lignin,

sebanyak 100 ml lindi hitam pretreatment ampas tebu dimasukkan ke dalam gelas

beaker 300 ml kemudian ditetesi dengan H2SO4 2 N hingga pH 2 di atas stirrer plate.

Selanjutnya larutan ini dibiarkan selama 24 jam hingga mengendap kemudian disaring

menggunakan kertas saring. Hasil saringannya dilarutkan kembali dengan NaOH 1 N

dan selanjutnya ditetesi kembali dengan H2SO4 2N hingga pH 2, didiamkan selama 24

jam hingga terbentuk endapan. Berikutnya disaring dengan kertas saring dan

dikeringkan dalam oven suhu 60°C hingga berat konstan. Rendemen lignin yang

dihasilkan dihitung berdasarkan berat padatan lindi hitam.

Proses sintesis sodium lignosulfonat dilakukan dengan mencampur serbuk lignin

hasil isolasi lindi hitam (hasil perlakuan NaOH 3% selama 30 menit pemanasan) dan

NaHSO3 dengan perbandingan 2:1, kemudian ditambahkan air suling sebanyak 30 ml

per gram lignin (Sirait dkk, 2013). Dalam hal ini, 2.501 g serbuk lignin dicampur

dengan 0.93 ml larutan NaHSO3 (1 L = 1.34 kg), ditambah dengan 75 ml air suling

dalam erlenmeyer 100 ml, dengan pH diatur antara 5-7 dengan penambahan NaOH

15%. Campuran ini diaduk selama 3 jam pada suhu 100°C di atas hot plate stirrer.

Selanjutnya larutan ini disaring dengan kertas saring dan dioven pada suhu 60°C hingga

berat konstan. Rendemen sodium lignosulfonat yang dihasilkan dihitung dari masukan

lignin dan NaHSO3 awal.

Spektroskopi FTIR dilakukan terhadap lignin N330 (lignin hasil isolasi limbah

pretreatment NaOH 3% selama 30 menit), SLS N330 (sodium lignosulfonat dari lignin

N330) dan sodium lignosulfonat (SLS) komersial (Borresperse NA produksi

Borregaard LignoTech, Norway). Sebanyak 4 mg sampel dicampur dengan 200 mg

KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi

Page 47: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 43

tekanan 5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi

16 cm-1

dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-400 cm-1

.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar padatan tertinggi terdapat pada lindi hitam

hasil perlakuan ampas tebu dengan NaOH 3% selama 90 menit pemanasan dengan

autoclave, sedangkan kadar padatan terendah dimiliki oleh lindi hitam hasil perlakuan

NaOH 1 % selama 30 menit dengan autoclave. Selain itu, dapat dilihat adanya

kecenderungan peningkatan kadar padatan dengan semakin besarnya konsentrasi NaOH

dan lama pemanasan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh makin banyaknya struktur

lignoselulosa ampas tebu yang terombak dengan makin tingginya konsentrasi alkali dan

makin lamanya pemanasan. Dengan makin lama waktu pemanasan, penetrasi larutan ini

semakin dalam ke dalam sel ampas tebu, yang mengakibatkan tidak hanya struktur

lignin yang terombak namun holoselulosa kemungkinan juga makin banyak terombak.

Pada akhirnya, komponen yang terdegradasi ini membuat kadar padatan dalam lindi

makin meningkat.

Gambar 1. Kadar padatan dan rendemen lignin dari lindi hitam tiap perlakuan

pendahuluan (Nxy=NaOH x% dengan waktu pemanasan autoclave y

menit)

Untuk rendemen lignin, Gambar 1 memperlihatkan kecenderungan yang cukup

unik, yaitu nilainya tinggi pada konsentrasi alkali rendah dan waktu pemanasan pendek

kemudian berfluktuasi hingga meningkat lagi pada konsentrasi alkali tinggi. Hal ini

disebabkan dengan makin tingginya konsentrasi alkali dan makin lamanya pemanasan,

struktur sel yang terombak tidak hanya lignin namun juga struktur selulosa dan

hemiselulosa, terutama struktur hemiselulosa. Dengan demikian, kadar padatan pada

lindi hitam akan semakin tinggi namun persentase lignin secara keseluruhan akan

berkurang. Adapun bila dilihat berdasarkan berat lignin yang berhasil diisolasi per 100

ml lindi hitam, cenderung bahwa lignin yang diperoleh tetap meningkat dengan

semakin besarnya konsentrasi alkali dan lama pemanasan yang dapat dilihat pada

Gambar 2.

Rendemen sodium lignosulfonat yang disintesis dari lignin yang diisolasi dari

lindi hitam dengan perlakuan NaOH 3% dengan pemanasan 30 adalah 73%. Hasil ini

cukup positif dan berada dalam kisaran rendemen SLS seperti yang dilakukan oleh

Sirait dkk (2013).

Page 48: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

44 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Gambar 2. Kadar lignin dari lindi hitam tiap perlakuan pendahuluan

(Nxy=NaOH x% dengan waktu pemanasan autoclave y menit)

Perbandingan spektrum FTIR lignin N330, SLS N330 dan SLS komersial dapat

dilihat pada Gambar 3. Spektrum FTIR menggambarkan hampir semua karakteristik

pita serapan pada struktur kimia yang berbeda. Analisis ini dilakukan untuk melihat

terjadinya proses sulfonasi pada sintesis SLS.

Gambar 3. Spektrum FTIR lignin N330, sodium lignosulfonat N330 dan sodium

lignosulfonat komersial

Dari hasil analisis spektroskopi FTIR secara umum terlihat bahwa kualitas SLS

N330 lebih baik dari pada SLS komersial dimana intensitas gugus sulfonat (SO3) pada

SLS N330 lebih tinggi dibandingkan dengan SLS komersial (1120-1230 cm-1

) serta

intensitas vibrasi cincin aromatic-nya pada bilangan gelombang 1512 cm-1

juga lebih

tinggi dibandingkan pada SLS komersial. Pada Gambar 4 dapat dilihat secara visual

lignin N330, SLS N330 dan SLS komersial.

KESIMPULAN

Semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama waktu pemanasan pada

pretreatment NaOH pada ampas tebu, semakin besar total padatan dan kadar lignin

yang diperoleh. Kualitas SLS dari hasil isolasi lindi hitam lebih baik dari pada SLS

komersial.

Page 49: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 45

Gambar 4. Lignin N330 (kiri), sodium lignosulfonat N330 (tengah), dan sodium

lignosulfonat komersial (kanan)

SARAN

Untuk selanjutnya perlu dilakukan uji kemurnian sodium lignosulfonat untuk

mengetahui efektifitas proses sintesis yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahring, B.K. and P. Westermann. 2007. Coproduction of Bioethanol with Other

Biofuels. Advance Biochemical Engineering/Biotechnology 108, pp 289-302.

Falah, F. 2012. Pemanfaatan limbah lignin dari proses pembuatan bioetanol dari TKKS

sebagai bahan aditif pada mortar. Tesis. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.

Depok.

Fitzpatrick, M., P. Champagne, M.F. Cunningham, and R.A. Whitney. 2010. A

biorefinery processing perspective: treatment of lignocellulosic materials for the

production of value-added products. Bioresource Technology 101, pp 8915-8922.

Galbe, M. and G. Zacchi. 2007. Pretreatment of Lignocellulosic Materials for Efficient

Bioethanol Production. Advance Biochemical Engineering/Biotechnology 108,

pp 41-65.

Li, Y., M. Horsman, N. Wu, C.Q. Lan and N.D. Calero. 2008. Biocatalysis and

Bioreactor Design: Biofuels from Microalgae. Biotechnol. Prog. 24, pp. 815-820.

Mariano, A.P., M.O.S. Dias, T.L. Junqueira, M.P. Cunha, A. Bonomi, and R.M. Filho.

2012. Butanol production in a first-generation Brazilian sugarcane biorefinery:

technical aspects and economics of greenfield projects. Bioresource Technology,

doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.biortech.2012.09.109

Rabelo, S.C., H. Carrere, R. Maciel Filho, and A.C. Costa. 2011. Production of

bioethanol, methane and heat from sugarcane bagasse in a biorefinery concept.

Bioresource Technology 102, pp 7887–7895.

Sirait, JPR., N. Sihombing, Z. Masyithah, 2013. Pengaruh suhu dan kecepatan

pengadukan pada proses pembuatan surfaktan natrium lignosulfonat dari

tempurung kelapa. Jurnal teknik kimia USU, vol. 2 no. 1. Pp. 21-25

Page 50: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

46 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF POLYLACTIC ACID-

FILLED CHITIN AND CHITOSAN COMPOSITES

Kurnia Wiji Prasetiyo*, Lisman Suryanegara and Subyakto

Research & Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences,

Cibinong Science Center, Cibinong-Bogor 16911, Indonesia

*Corresponding author: [email protected]

ABSTRACT

Polylactic acid (PLA) is a kind of biodegradable materials with low toxicity and

excellent biocompatibility. PLA has a great potential to replace petroleum-based

plastics due to its high stiffness and strength. Among many biodegradable polyesters,

PLA has attracted the most attention because it is not only higly biodegradable, but can

also be derived from renewable natural resources susch as corn starch. In addition, PLA

can be processed using similar equipments that used for convential plastics such as

polypropylene (PP). However, the drawbacks of PLA are low toughness. The purpose

of this research was to examine the effect of added chitin and chitosan filler on the

physical and mechanical properties of composites. PLA was mixed with chitin and

chitosan in acetone. After well mixed, the mixture was dried at room temperature for 24

hours followed by drying in oven at 55 C for 12 hours. The physical properties of

composites were evaluated by light microscope and the mechanical properties by

Universal Testing Machine (UTM). Result showed that the tensile strength and

elongation at break decreased but the tensile modulus of the composites increased with

increasing chitin and chitosan filler.

Keywords: polylactic acid, chitin, chitosan, composites, physical and mechanical

properties

INTRODUCTION

Polylactid acid (PLA) as a high strength, high modulus polymer has received

much attention in the research of alternative biodegradable and biocompatible polymers

produced from renewable resources. This fact is responsible for a growing interest in

PLA for many applications, as it is expected to reduce an impact on the environment

caused by the production and utilization of petrochemical polymers [1].

Amorphous PLA is rigid and brittle due to the high glass transition temperature

(Tg) in the range of 50-60o C. So below this temperature, the low deformation at break

limits the application of PLA materials. Therefore, considerable efforts have been made

to improve the ability to plastic deformation. Some chemical modifications with

plasticizers have been done to improve the flexibility of PLA for example citrate ester

[2], polypropelene glycol (PPG) [3], triacetine [4], oligomeric lactic acid and glycerol

[5]. However, the addition of plasticizers generally deteriorates the precious strength

and modulus of PLA.

Chitin and chitosan polymers are natural aminopolysaccharides having unique

structures, multidimentional properties, highly sophisticated functions and wide ranging

applications in biomedical and other industrial areas [6]. Some researchs have been

Page 51: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 47

done to improve the properties of thermoplastic composites for example with chitin and

chitosan as filler. According Husseisyah et al [7], chitosan as filler with chemical

modification by acrylic acid could be increased Young’s modulus of PP composites.

Therefore, the addition of chitin and chitosan as filler be expected to improve the

properties of PLA composites with chemical treatment by acetone solvent.

The aims of this research was to investigate the characteristics of amorphous

polylactid acid composites with chitin and chitosan as filler also chemical treatment

with acetone solvent.

MATERIALS AND METHODS

Amorphous polylactid acid (PLA) used in this study was of injection molding

grade from Japan with code number H4060D. Chitin was obtained from Japan and

chitosan was industrial grade obtained from PT. Biotech Surindo Cirebon Indonesia

with degree of deacetylation (DD) of 90%. Technical acetone solution was used in this

study.

Almost 45 g (90% w/w) amorphous PLA was dissolved in 350 ml aceton

solution at room temperature. The mixture was mechanically stirred for 4 hours in order

to make it homogenous. After homogenous, the chitin or chitosan powder was added

with concentration is 10% w/w (5 g). Mixing was continued for another 1 hour at

overhead stirrer. After well mixed, the mixture was casted in the mold and dried at

room temperature for 24 hours followed by drying in oven at 55o C for 12 hours. Than,

the mixture was kneaded in laboplastomill at 140o C, 40 rpm for 10 minutes.

Samples of composites were molded in a electrically heated hydraulic press at

140o C, 1 MPa for 15 minutes. In this study was made chitin-amorphous PLA

composites without dissolved in acetone solution previously. The mixture was direct

kneaded in laboplastomill at same procedures. The physical properties of composites

were evaluated by light microscope and the mechanical properties by Universal Testing

Machine (UTM) according to ASTM D-638 and ASTM D-790.

RESULTS AND DISCUSSION

Phisically, all the material of thermoplastics composites has been mixed during

mixing process in laboplastomill. But, the results of imaging with light microscope for

PLA-chitin or chitosan composites still visible white spots from chitin and chitosan

powder that has not decomposed perfectly (Figure 1: middle and right).

Figure 1. Composites of pure amorphus PLA (left), amorphus PLA + chitin (middle)

and amorphus PLA + chitosan (right) at light microscope (50x)

Page 52: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

48 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

The phenomenon of persistence from chitin and chitosan spots at composites

related to the decomposition temperature of chitin and chitosan itself which results from

concerning thermogravimetric analysis (TGA) test for chitin and chitosan are

approximately 270o C-320

o C [8]. So, the mixing and hot pressing temparature at 140

o

C have not been able to melt and composed chitin or chitosan powder completely.

According Kaban [9], chitin and chitosan tends to decompose rather than melt at the

time of heating.

Figure 2 shows the effect of chitin and chitosan filler on the tensile strength of

PLA composites. The results exhibit that with adding of polymer filler the tensile

strength of composites decreased than pure PLA. Results of the test showed that

composites with chitin 5% by unsolved in aceton-direct kneading posses the highest

tensile strength which is 42,3 MPa and the lowest is chitosan 5% by dissolved in

aceton-kneading with approximately 24,6 MPa. This might be due to poor interfacial

bonding between filler and matrix polymer. The chemical treatment of chitin and

chitosan with solved in aceton have not been able to improve the tensile strength of

composites significantly. The tensile strength of composites with direct kneading and

unsolved in aceton are higher than other treatments.

Figure 2. Tensile strength histogram of composites

According Husseinsyah et al. [10], the higher of chitosan percentage could be

reduced the tensile strength of composites. Chitin or chitosan as filler could be reduced

the stiffning and decreased deformability of composites so this condition related to the

tensile strength of composites.

Page 53: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 49

Figure 3. Tensile modulus histogram of composites

The tensile modulus (MOE) is one of the most important mechanical properties

of composites. MOE describe the stiffness of materials. The higher MOE the higher

stiffness of materials. Results of the test showed that composites with chitin 5% by

unsolved in aceton-direct kneading posses the highest MOE which is 3,50 GPa and the

lowest is chitosan 5% by dissolved in aceton-kneading with approximately 3,08 GPa

(Figure 3). Adding the filler chitin and chemical treatment by aceton could improved of

composites than other processes. Though unsignificant, it is believed that the

modification of chitin and chitosan with aceton had a positive effect on the tensile

modulus because of reduced agglomeration and increased interfacial adhesion between

chitin or chitosan and the PLA matrix.

The effect of chitin and chitosan fillers adding on the elongation of composites is

given in Figure 4. Adding the chitin and chitosan fillers and chemical treatment by

aceton significantly reduced the elongation of composites than pure PLA. Results of the

test showed that composites with chitin 5% by unsolved in aceton-direct kneading

posses the highest elongation which is 3,14% and the lowest is chitosan 5% by

dissolved in aceton-kneading with approximately 2,61%.

Figure 4. Elongation histogram of composites

This observation might be due to the stiffning effect of chitin or chitosan and

decreased deformability of a rigid interface between filler and PLA matrix. Adding

Page 54: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

50 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

chitin or chitosan fillers and chemical treatment by aceton solvent resulted in good

stress propagation and improved the tensile modulus but made the composites more

brittle than the PLA matrix. This condition has been influenced for the elongation of

composites because of the composites ductility made decreased.

CONCLUSION

Physically, composites with chitin and chitosan fillers have in good stress

propagation but made more brittle than the PLA matrix. As for the effect of chemical

treatment with aceton solvent and adding of chitin and chitosan fillers has improved the

tensile modulus, but reduced the tensile strength and the elongation of composites

though unsignificant. The increased tensile modulus was attributed to improved

interfacial adhesion between chitin or chitosan filler and the amorphous PLA matrix.

ACKNOWLEDGMENTS

This work was supported by Competitive Program of Indonesian Institute of

Sciences 2013. This paper is also a part of the outcome of the DIPA Program of LIPI

2013: The Manufacture of Bionanocomposites Based on Microfibril Cellulose for Raw

Materials Industry.

REFERENCES

[1] Yu L, Dean K. 2006. Polymer blends and composites from renewable resources.

Prog Polymer Science. 31: 576-602.

[2] Labrecque LV., Dave RA., and Gross RA. 1997. Citrate esters as plasticizers for

poly(lactid acid). Journal Appl Polymer Science. 66: 1507-1513.

[3] Kulinski Z., Piorkowska E., and Gadzinowska K. 2006. Plasticization of poly (L-

lactide) with poly(propelene glycol). Biomacromolecules. 7: 2128-2135.

[4] Ljunberg N., and Wesslen B. 2005. Preparation and properties of plasticized

poly(lactid acid) films. Biomacromolecules. 6: 1789-1796.

[5] Martin O., and Ave’rous L. 2001. Poly(lactid acid): Plasticization and properties

of biodegradable multiphase systems. Polymer. 42: 6209-6219.

[6] Muzzarelli RAA, Muzzarelli C. 2005. Chitosan chemistry: relevance to the

biomedical sciences. Advanced Polymer Science. 186: 151-209.

[7] Husseinsyah, S., Amri, F., Husin, K., and Ismail, H. 2011. Mechanical and

thermal properties of chitosan-filled polypropylene composites: The effect of

acrylic acid. Journal of vinyl and additive techology.

[8] Prasetiyo, KW. 2012. Polypropelene Substitution by Chitosan on Polypropelene-

Empty Fruit Bunch Fiber of Oil Palm Microfibril Thermoplastic Composites.

Thesis: Post Graduate of IPB.

[9] Kaban. 2009. Chemical Modification of Chitosan and Product Application.

Inagural Speech: Noth Sumatra University-Medan.

[10] Husseinsyah, S., Amri, F., and Husin, K. 2010. Chemical modification of

chitosan-filled polypropylene (PP) composites: The effect of 3-

Aminopropyltriethoxysilane on mechanical and thermal properties. International

Journal of Polymeric Materials, 60:429-440

Page 55: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 51

CHARACTERISTICS OF COMPOSITES FROM RECYCLED

POLYPROPELENE AND THREE KINDS OF INDONESIAN BAMBOOS

FIBER

Kurnia Wiji Prasetiyo1*

, Lilik Astari1 and M. Yusram Massijaya

2

1R&D Unit for Biomatetials, Indonesian Institute of Sciences, Jalan Raya Bogor KM

46 Cibinong Bogor Indonesia 2Forest Product Departmen, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University,

Dramaga, Bogor Indonesia

ABSTRACT

Plastic composite can be defined as a composite that contains natural fibers and

thermosets or thermoplastics materials. Natural fibers, for example from bamboo,

generally utilize as reinforce and filler that able to enhance the strength and stiffness of

composites. Besides, natural fibers are low cost, lightweight and recycleable. This

research was conducted to investigate the effect of bamboo species variation and ratio

of recycled polypropelene with bamboo fiber to the characteristics of composites.

Three species of bamboo that used were Bamboo Betung, Bamboo Sembilang and

Bamboo Kuning. Bamboo clum were reduced in size and sieved with disc mill into

pass through 40 mesh. Composition of recycled polypropelene and bamboo fiber were

50:50, mixed materials were molded in circle form, 14 cm diameter and 3 mm thickness

with target density 1,0 g/cm3. The materials then hot pressed at 185⁰C, 1 MPa for 15

minutes. Mechanical properties of composites were tested according to ASTM D 638

and ASTM D 790.

Keywords: plastic composites, bamboo species, ratio of recycled polypropelene :

bamboo fiber, mechanical properties

INTRODUCTION

The decerese of live quality is occur globally, this situation demands an effort to

minimize the degradation of nature that usually caused by plastic wastes. Ashori[1]

mentioned that from 34,12 million tons wastes from urban area in Indonesia around

3,17 million tons are plastic wastes. That’s huge number of plastic waste forecasted

contaminate soil and water in the future. The case above is serious problem that

urgently need preventation and solution. The enomous number of plastic wastes is a

great potency as a raw material for plastic composites. Recycled polypropelene (RPP)

that gained from plastic wastes can be occupied to substitute pure plastics such as

polypropelene (PP).

Plastic composites or well-known with wood plastic composites (WPC) is a

green material or green composites that have a wide potencies in usage and

sustainable. Plastic composites could be defined as a composite that contains natural

fiber (wood and non-wood) with thermosets or thermoplastics materials. Nowadays,

condition of WPC industries as the supplier for furniture products, household and

pipes experience a problem in lack of availability of wood as raw material polymer

petroleum based. Those conditions encourage the utilization of non-wood natural fiber

Page 56: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

52 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

as a filler to replace wood fiber and recycled PP to substitute pure PP. Non-wood fiber

are abundant and easy to gather as well as RPP, this is a beneficial conditions.

Furthermore, the utilization of non-wood fiber and RPP assisting the effort to prevent

deforestration and decrease the consumption of petroleum.

The term WPCs refers to any composites that contain plant including wood and

non-wood fibers and thermosets or thermoplastics. Thermosets are plastics that, once

cured, cannot be melted by repeating. These include resins such as epoxies and

phenolics, plastics with which the forest products industry is most familiar.

Thermoplastics are plastics that can be repeatedly melted. This property allows other

materials, such as wood fibers, to be mixed with the plastic to form a composite

product. Polypropylene (PP), polyethylene (PE) and polyvinyl chloride (PVC) are the

widely used thermoplastics for WPCs and currently they are very common in

building, construction, furniture and automotive products[2]

.

The possibility of using recycled materials in the development of composites is

very attractive, especially with respect to the large quantity of wood fiber/plastic waste

generated daily. Waste paper can meet all the requirements in order to replace

inorganic fillers in thermoplastic composites. Advantages associated with bio-

composite products include lighter weight and improved acoustic, impact and heat

reformability properties-all at a cost less than that of comparable products made from

plastics alone. In addition these composites may possibly be reclaimed and recycled for

the production of second-generation composites[3]

.

One of the non-wood natural fiber as substitution for wood fiber for WPC is

bamboo which is lignocellulosic materials. Bamboo are abundant in nature, easy to

grown and a kind of fast growing plant. According to Dransfield and Widjaja[4]

, there

are 60 species of bamboo from around 200 species in South East Asia. Bamboo are

grow and adapt with almost all type of soil except soil with high alkali, desert and

swamp. In Indonesia bamboo are commonly found in dry and open space area, spread

from low land to about 300 meter above sea level. In the world bamboo are

vegetation with very fast growing time this is due to bamboo have uniquely dependt-

rhizome system where in a day bamboo able to grow about 60 cm (24 inch) even more,

depend on the conditions of soil and climatology of the area.

The aims of this research was to investigate the characteristics of plastics

recycled polypropelene composites with non-wood natural fibers from 3 kinds of

bamboo: Bamboo Betung (Dendrocalamus asper Backer), Bamboo Sembilang

(Dendrocalamus giganteus) and Bamboo Kuning (Bambusa vulgaris Schrad).

MATERIALS AND METHODS

Bamboo materials gained from bamboo collection of R&D Unit for Biomaterials,

Indonesia Institute of Science, Cibinong, Bogor. The bamboo are those with age about

2-3 years. There were 3 kinds of bamboo : Bamboo Betung, Bamboo Sembilang and

Bamboo Kuning. Bamboo had been cutted and processed with ring flaker, so that

results into particle of bamboo. Bamboo chips then air dried, followed by milled using

disc mill until the particle size passed through 40 mesh and held at 60 mesh. Powder

then oven dried at 60⁰C until the water content 5% reached.

Polymer occupied on this research are recycled polypropelene (RPP) with ratio

between RPP and bamboo powder are 50 : 50 (%) based on weight. The form of

composite samples are circle with diameter 14 cm, thickness 3 mm, target of density 1,0

Page 57: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 53

g/cm3

. Composites were hot pressed at 185⁰C with gradually pressure for 15 minutes.

After hot pressed, composites cooled in steel plat in order to gain the excellent surface.

Composites conditioned at room temperature for 2 weeks. Following this, composites

cutted into samples testing and tested for its mechanical properties according to ASTM

D 638 and ASTM D 790.

(A)

(B)

(C)

Figure 1. Composites from recycled polypropelene and three kinds of Indonesian

bamboos fiber : Sembilang (A), Betung (B) and Kuning (C)

RESULTS AND DISCUSSION

Modulus of Elasticity (MOE)

Modulus of elasticity (MOE) is one of the most important from mechanical

properties of composites. MOE describe the stiffness of materials. The higher MOE

means the higher stiffness of materials. Results of the test showed that Bamboo Betung

posses the highest MOE which is 2,63 GPa and the lowest is Bamboo Kuning with

approximately 2,02 GPa (Figures 2).

Page 58: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

54 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Figure 2. Modulus of elasticity from composites

Flexural Strength (FS).

Flexural strength (FS) is an indicator for the composites strength to hold the

load. Diagram below shows that Bamboo Betung is the highest FS with about 36,17

MPa and Bamboo Kuning is the lowest with 25,37 MPa.

Figure 3. Flexural strength from composites

Tensile Strength

Similar to MOE and MOR, for tensile strength WPC from Bamboo Betung in

the first position of the highest value is 10,26 MPa than Bamboo Sembilang WPC is

8,28 MPa and Bamboo Kuning WPC is 4,74 MPa. This indicate that Bamboo Betung

Page 59: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 55

able to hold load better than both Bamboo Kuning and Bamboo Sembilang. This might

be due to good interfacial bonding between Bamboo Betung fiber and matrix polimer

RPP than Bamboo Kuning and Bamboo Sembilang fibers as filler at composites.

Figure 4. Tensile strength from composites

Elongation

From the diagram it is clearly shown that Bamboo Betung samples have the

highest elongation for about 7,58%. Bamboo Sembilang WPC posses inconsiderable

difference from Bamboo Betung which is 7,01% and Bamboo Kuning is the lowest

with approximately 4,84%.

Figure 5. Elongation from composites

Page 60: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

56 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

From the data above composites with natural fiber from Bamboo Betung have the

best mechanical properties of composites among 3 kinds of bamboo that utilize in this

research. Physical properties such as density and bamboo age are some of main

consideration in determine particular bamboo species as raw materials for

biocomposite.

Wahab et al.[5]

mentioned that bamboo properties such as age, moisure content,

internode diameter, internode length and basic density are main factors to determine

bamboo for various applications and chemical treatments. Moreover, a critical

parameter that affected plastic composites strength is a density of fiber or dust fiber. As

known that, dust of bamboo betung have higher density and larger structure compared

to Bamboo Sembilang dan Bamboo Kuning. Hassine et al., Migneault et al.,Sain et

al.[6-8]

mentioned that some factors such as fiber dimension, chemical compositions,

density, thickness, amount and type of bonding agent could influenced the strength of

plastic composites.

All bamboos that occupied in this research was approxymately 10 year in age,

thus the bamboo are sufficient in term of age. The higher results shown by composite

with Bamboo Betung (Dendrocalamus asper) probably affected by properties of its cell

walls. Gritsch, Kleist and Murphy[9]

investigated Bamboo Betung’s cell wall properties

and found that cell wall of Bamboo Betung is multilayered which is different from the

others bamboo.

CONCLUSION

Plastics composites made from recycled polypropelene and Bamboo Betung fiber

presents higher mechanical properties (MOE, flexural strength, tensile strength and

elongation) compared to plastics composites from Bamboo Sembilang and Bamboo

Kuning. The differences are influenced by density of Bamboo Betung that relatively

higher than Bamboo Sembilang and Kuning. To conclude, the difference of density and

species of bamboo closely related to the mechanical properties of plastic composites

that comprises of recycled PP and dusty-fiber of three species bamboo.

REFERENCES

[1] Ashori, A. Review Paper : Wood-plastics composites as promising green-

composites for automotive industries. Bioresource Technology. 2008, 99, 4661–

4667.

[2] Panthapulakkal, S., Zereshkian, A., and Sain, M. Preparation and characterization

of wheat straw fibers for reinforcing application injection molded thermoplastic

composites. Bioresource Technology. 2006, 97 (2), 265–272.

[3] Ashori, A and Amir Nourbaksh. Characteristics of wood–fiber plastic composites

made of recycled materials. Waste Management. 2009, 29, 1291–1295.

[4] Dransfield, S. and Widjaja, E. A., eds. Plant resources of South-east Asia, no. 7:

Bamboos. Prosea, Bogor, Indonesia. 1995.

[5] Wahab, R., Mohamed, A., Mustafa, M.T., and Hassan, A. Physical properties and

anatomical properties of cultivated bamboo (Bambusa vulgaris Schrad.) culms.

Journal of Biological Science. 2009, 9 (7), 753-759.

Page 61: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 57

[6] Hassine, B., Ahmed K., Patrick P., and Alain C. Effects of fiber characteristics

on the physical and mechanical properties of wood plastic composites.

Composites: Part A, 2009, 40: 1975–1981.

[7] Migneault, S., Ahmed K., Fouad E., Abdelkader C., Karl E., and Michael

P.Wolcott. Effects of processing method and fiber size on the structure and

properties of wood–plastic composites. Composites: Part A. 2009, 40: 80–85.

[8] Sain, M., Suhara, P., Law, S. and Bouilloux, A. Interface modification and

mechanical properties of natural fiber-polyolefin composite products. Journal of

Reinforced Plastics and Composites. 2005, 24 (2): 121–130.

[9] Gritsch, C.S., Kleist, G. and Murphy, R.J. Development changes in cell wall

structure of phloem fiber of bamboo Dendrocalamus asper. Annals of Botany.

2004, 94: 497-505.

Page 62: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

58 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

PENGARUH RASIO AIR DENGAN BAHAN PENGIKAT PADA AUTOCLAVED

AERATED CONCRETE (AAC) BERBASIS LIMBAH CANGKANG KERANG

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

ABSTRAK

Salah satu permasalahan yang ada saat sekarang ini adalah kebutuhan akan batu

bata sebagai bahan dinding pada bangunan. Proses pembakaran batu bata merupakan

salah satu sumber gas CO2 yang pada akhirnya mengakibatkan efek rumah kaca dan

menimbulkan pemanasan global, oleh karena itu perlu dicari material yang dapat

digunakan sebagai pengganti tanah liat pada produksi bata. Limbah serbuk kulit kerang

memiliki sifat bahan seperti pozzolan karena mengandung senyawa kapur (CaO),

alumina (Al2O3) dan senyawa silikat (SiO2) sehingga berpotensi untuk dikembangkan

menjadi bahan campuran beton. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh

rasio air dengan bahan pengikat (semen dan serbuk kerang) terhadap sifat-sifat

karakterisasi dan juga nilai kekuatannya. Dalam penelitian ini beton ringan aerasi

(AAC) dibuat dengan menggunakan bahan serbuk kulit kerang sebagai pengikat

pengganti semen. Pembuatan dan pengujian beton ringan dilakukan pada skala

laboratorium dengan sampel benda uji 5 x 5 x 5 cm dengan komposisi 40 persen bahan

pengikat, 60 persen bahan pasir dan hydrogen peroxide bersama dengan cacium

hypocloride sebagai bahan peng-aerasi. Rasio air dengan bahan pengikat yang dipakai

adalah sebesar 0,55 dan 0,65. Sedangkan untuk proses pengerasan beton ringan aerasi

dilakukan dengan steam uap bertekanan dengan menggunakan autoclave selama 1 jam.

Pengujian density dan kuat tekan dilakukan pada umur 7, 21 dan 28 hari. Hasil

pengujian menunjukkan bahwa AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen

Peroxide dan bahan pengikat 0,55 menghasilkan kuat tekan yang lebih besar daripada

kuat tekan yang dihasilkan oleh AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen

Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,65. Density yang dihasilkan pada kedua

komposisi tidak berbeda jauh, sehingga rasio perbandingan antara larutan Hydrogen

peroxide dengan bahan pengikat tidak berpengaruh terhadap density yang dihasilkan.

Kata kunci: beton ringan aerasi (AAC), autoclave, kuat tekan, density, serbuk kerang

PENDAHULUAN

AAC pertama kali dikembangkan di Swedia pada tahun 1923, kemudian

dikembangkan lagi oleh Joseph Hebel di Jerman pada tahun 1943. Di Indonesia sendiri

AAC mulai dikenal pada tahun 1995, dengan berdirinya PT Hebel Indonesia di

Karawang Timur, Jawa Barat.

AAC mempunyai sifat yang ramah lingkungan, tahan lama, kuat, mudah

dibentuk, efisien dan berdaya guna tinggi. Autoclaved Aerated Concrete atau disebut

juga beton aerasi adalah beton dengan campuran antara semen, pasir, air dan buih.

Tujuan dari penggunaan buih disini adalah untuk membuat rongga-rongga udara yang

dapat menghasilkan pori-pori halus pada beton. AAC dapat dibuat dengan berbagai

cara, antara lain dengan menggunakan agregat ringan (fly ash, batu apung, expanded

Page 63: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 59

polystyrene/EPS dan lain-lain), campuran antara semen, silika atau pozolan dengan

cairan kimia penghasil gelembunga udara.

Beton aerasi (AAC) memiliki pori sekitar 50 – 70 % yang berupa rongga-rongga

udara , hal ini membuat beton aerasi memiliki density kurang dari 1.200 kg/m3.

Kelebihan dari penggunaan beton ringan antara lain memiliki berat jenis yang sangat

kecil dibandingkan dengan beton normal pada umumnya; mudah dalam pemasangan,

sangat bagus untuk peredaman panas dan peredaman suara, serta waktu konstruksi akan

berlangsung dengan cepat.

Chemical aerated agent yang dapat digunakan dalam pembuatan AAC

diantaranya : serbuk alumina (Alumunium powder), Hydrogen Peroxide dan bleaching

powder. Pada penelitian ini, menggunakan gabungan Hydrogen Peroxide dan Bleacing

Powder yang berupa kaporit sebagai chemical aerated agent.

Penelitian ini menggunakan limbah cangkang kerang sebagai bahan pengganti

semen Portland untuk memperoleh pembiayaan beton yang lebih ekonomis dan ramah

lingkungan. Pemilihan serbuk kerang sebagai pengganti Semen Portland, dikarenakan

dalam serbuk kerang mengandung senyawa kapur yaitu CaO, sehingga diharapkan

dapat bereaksi dengan chemical aerated agent membentuk gelembung oksigen dalam

adukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio air dengan bahan

pengikat terhadap karakteristik dan kekuatan AAC. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat menghasilkan AAC yang lebih ramah lingkungan.

BAHAN DAN METODE

1. Bahan Penelitian

Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari serbuk

kerang, semen Portland, pasir, Hydrogen Peroxide (H2O2), Kalsium Hipoklorit dan air.

Limbah cangkang kerang terlebih dahulu dihaluskan menjadi serbuk kerang. Penelitian

ini menggunakan serbuk kerang yang lolos saringan No. 100, semen Portland Tipe I

yang dikenal dengan Ordinary Portland Cement dan pasir dengan BJ 2,4 gr/cm3.

Sebelumnya pasir diayak dengan menggunakan saringan No.20 dan tertahan pada

saringan No.40. Bahan pengaerasi dalam penelitian ini adalah larutan Hydrogen

Peroxide dengan kadar 10%.

2. Metode Penelitian

Pembuatan AAC skala laboratorium ini menggunakan benda uji berbentuk kubus

dengan ukuran 5 x 5 x 5 cm, dengan komposisi campuran 60% agregat halus dan 40%

bahan pengikat yang terdiri dari semen dan serbuk kerang. Rasio larutan Hydrogen

Peroxide dan bahan pengikat (binder) sebanyak 0,55 dan 0,65 serta penambahan bahan

additive Kalsium Hipoklorit sebanyak 3% dari berat total campuran yang bertujuan

untuk meningkatkan gelembung oksigen dan homogenitas dalam campuran. Variable

serbuk kerang yang digunakan sebagai pengganti semen adalah interval 5% terhadap

berat total campuran. Mix design penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Page 64: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

60 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Tabel 1. Mix Design dengan rasio larutan Hydrogen Perokside dan bahan pengikat 0,55 Ca(OCL)2

Kaporit

gr gr % gr ml gr

1 1800 1200 0 0 660 90

2 1800 1050 5 150 660 90

3 1800 900 10 300 660 90

4 1800 750 15 450 660 90

Serbuk KerangNo

Pasir Semen H2O2

Tabel 2. Mix Design dengan rasio larutan Hydrogen Perokside dan bahan pengikat 0,65

Ca(OCL)2

Kaporit

gr gr % gr ml gr

1 1800 1200 0 0 780 90

2 1800 1050 5 150 780 90

3 1800 900 10 300 780 90

4 1800 750 15 450 780 90

Pasir Semen Serbuk kerang H2O2No

Pasir, dan Semen Portland terlebih dahulu dicampur dalam mixer selama 1 menit,

setelah itu serbuk kerang dicampur dalam mixer sampai tercampur dengan rata.

Kemudian ditambahkan dengan Kalsium Hipoklorit, larutan Hydrogen Peroxide dan

aduk rata sampai adonan tercampur serta mengalami pengembangan volume. Adukan

kemudian dimasukkan ke dalam cetakan kubus ukuran 5 x 5 x 5 cm sambil dipadatkan.

Adukan didiamkan selama 24 jam kemudian dikeluarkan dari cetakan. Selanjutnya

kubus-kubus tersebut dimasukkan ke dalam autoclave selama 1 jam dengan tekanan

0,05 – 0,14 Mpa dan suhu autoclave sekitar 108 – 1260C. Setelah 1 jam, kubus-kubus

tersebut dikeluarkan dari autoclave dan didinginkan sampai waktu pengujian yaitu

ketika kubus-kubus tersebut berumur 7, 21 dan 28 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengujian Kuat Tekan

Berdasarkan European Norm, kelas kuat tekan AAC dapat dibagi menjadi (prEN

12602,1999 ; Tasdemir et all, 2002) :

Jenis AAC 1,5 AAC 2 AAC 2,5 AAC 3 AAC 3,5

Kuat Tekan (Mpa) 1,5 2 2,5 3 3,5

Jenis AAC 4 AAC 4,5 AAC 5 AAC 6 AAC 7

Kuat Tekan (Mpa) 4 4,5 5 6 7

Sedangkan menurut RILEM, Klasifikasi AAC berdasarkan kuat tekan dapat dibedakan

menjadi (RILEM, 1993 p.4):

Sifat Rendah Medium Tinggi

Kuat Tekan (Mpa) ˂ 1,8 1,8 – 4,0 ˃ 4,0

Modulus Young ˂ 900 900 - 2500 ˃ 2500

Density 200 - 400 300 - 600 500 - 1000

Thermal Conductivity ( dry) (W/m K) ˂ 0,1 0,01 – 0,14 ˃ 0,12

Gambar 1 menunjukkan bahwa kuat tekan yang dihasilkan menghasilkan kuat

tekan pada umur 28 hari rata-rata diatas 4 Mpa. Berdasarkan European Norms, AAC

Page 65: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 61

berbasis serbuk kerang termasuk ke dalam Kelas kuat AAC jenis AAC 4 sampai AAC

7. Namun berdasarkan RILEM, AAC berbasis serbuk kerang termasuk ke dalam jenis

AAC Tinggi dengan kuat tekan melebihi 4 Mpa.

Berdasarkan grafik yang dihasilkan persentase serbuk kerang sebesar 7 persen

menghasilkan kuat tekan maksimum untuk rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan

bahan pengikat sebesar 0,65 dan 0,55. Pada Gambar 1.B terlihat bahwa pada umur 7

hari, setiap komposisi AAC menghasilkan kuat tekan rata-rata yang tidak jauh berbeda.

Keempat komposisi menghasilkan kuat tekan rata-rata sebesar 6 MPa. Kenaikan kuat

tekan rata-rata pada umur 21 dan 28 hari tidak terlalu tinggi, rata-rata kenaikannya

sebesar 1 Mpa pada masing-masing komposisi campuran maupun komposisi rasio

larutan Hydrogen peroxide dengan bahan pengikat.

(a)

(b)

Gambar 1. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan persentase serbuk kerang yang

digunakan dengan rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat

sebesar (A) 0,55 dan (B) 0,65

Gambar 2.A menunjukkan grafik kenaikan kuat tekan rata-rata yang dihasilkan

AAC dengan menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,55. Dari grafik

diatas dapat terlihat bahwa pada umur 7 hari, pada persentase serbuk kerang sebesar

0%, 5% dan 15% menghasilkan kuat tekan rata-rata yang sama, yaitu sekitar 6 Mpa.

Setelah umur 14 hari, kuat tekan rata-rata yang dihasilkan pada persentase serbuk

kerang 0%, 5%, dan 15% sudah maksimal dan tidak terjadi kenaikan kuat tekan. Hal ini

dimungkinkan karena air yang terjebak dalam AAC sudah menguap dan menghasilkan

rongga-rongga udara. Pada umur 14 hari kuat tekan rata-rata tertinggi dihasilkan oleh

komposisi dengan persentase serbuk kerang 0% (Kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa

penggantian serbuk kerang pada komposisi dengan rasio larutan Hydrogen Peroxide

tidak berpengaruh pada peningkatan kuat tekan AAC.

Gambar 2.B memperlihatkan grafik kenaikan kuat tekan rata-rata pada rasio

larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,65. Pada gambar ini memperlihatkan bahwa kuat

tekan rata-rata tertinggi pada umur 7 hari dihasilkan oleh komposisi campuran yang

menggunakan 10% serbuk kerang sebagai penganti semen Portland. Namun pada umur

21 dan 28 hari, kuat tekan rata-rata tertinggi terjadi pada komposisi 5% serbuk kerang.

Pada komposisi 15% serbuk kerang, di umur 21 hari kuat tekannya sudah mencapai

maksimal. Hal ini terlihat dengan tidak adanya pengaruh umur terhadap penambahan

nilai kuat tekannya setelah umur 21 hari. Serbuk kerang sebagai pengganti Semen

Portland pada rasio larutan Hydrogen Peroxide sebesar 0,65, dapat menghasilkan kuat

tekan yang melebihi kuat tekan yang menggunakan Sement Portland sebagai bahan

pengikatnya.

Page 66: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

62 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

(a)

(b)

Gambar 2. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan umur AAC dengan rasio larutan

Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar (A) 0,65 dan (B) 0,55

Hasil pengujian density untuk kedua rasio larutan Hydrogen Peroxide dapat

dilihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3.A dan Gambar 3.B terlihat bahwa density AAC

yang dihasilkan pada setiap komposisi, di setiap umur pengujian tidak jauh berbeda.

Semua density yang dihasilkan rata-rata di bawah 1800 kg/m3, hal ini menunjukkan

bahwa AAC dalam penelitian ini termasuk jenis beton ringan. Namun pada komposisi

AAC menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar

0,55, density yang dihasilkan pada umur 14 hari lebih rendah daripada umur 7 hari, 21

hari dan 28 hari. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pemadatan yang kurang ataupun

karena adanya rongga-rongga udara yang terjadi lebih besar. Density yang dihasilkan

pada kedua komposisi lebih besar dari density yang disarankan oleh RILEM yaitu

sebesar 500 – 1000 kg/m3, sedangkan density yang dihasilkan oleh kedua komposisi

berkisar antara 1400 – 1500 kg/m3.

Density dipengaruhi oleh dengan rasio air dan semen dari sebuah campuran,

karena rasio air dan semen ini sangat berpengaruh terhadap penguapan yang terjadi

pada beton (Aldoson, 2006). Pada penelitian ini rasio lautan Hydrogen Peroxide dan

bahan pengikat 0,55 menghasilkan density lebih besar daripada rasio Hydrogen

Peroxide dan bahan pengikat 0,66 pada umur 7 hari yaitu 1600 kg/m3. Hal ini terjadi

karena pada umur 7 hari air belum menguap semuanya sehingga masih terjebak dalam

adukan.

(a)

(b)

Gambar 3. Hasil Pengujian Kuat Tekan berdasarkan umur AAC dengan rasio larutan

Hydrogen Peroxide dengan bahan pengikat sebesar (A) 0,55 dan (B) 0,65

Page 67: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 63

KESIMPULAN

Hasil pengujian menunjukkan bahwa AAC dengan komposisi 60% agregat halus

(pasir) dan 40% bahan pengikat (semen Portland dan atau serbuk kerang) dengan

menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,55

menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan AAC yang

menggunakan rasio larutan Hydrogen Peroxide dan bahan pengikat sebesar 0,65. Kuat

tekan rata-rata tertinggi didapat pada komposisi 0% serbuk kerang yaitu sebesar 8,73

MPa. Density yang dihasilkan berkisar 1400 – 1600 kg/m3, dibawah density beton

ringgan yang disyaratkan.

DAFTAR PUSTAKA

prEN 12602, 1999. “Prefabricated Reinforced Components of Autoclaved Aerated

Concrete”. Februari, 128 pp.

RILEM, 1993. Recommended practice – RILEM Technical Commities : 78-MCA and

51 – ALC. Autoclaved Aerated Concrete – Properties, Testing and Design. S.

Aroni, G.J. de Groot, M. J. Robinson, G. Svanholm and F.H. Wittman ed. Taylor

& Francis Group, London and New York.

Tasdemir, C. & N. Ertokat., (2002), “Gazbetonum Fiziksel ve Mekanik Ozellikleri

Uzerine Bir Degerlendir, in” Proceedings of 1 Ulusal Yapi Malzemesi Kongresi

ve Sergisi, Vol. (2) pp. 425 – 437.

Aldolsun, Simge (2006), “ A Study on Material Properties of Autoclaved Aerated

Concrete (AAC) and Its Complementary Wall Elements : Their Compatibility in

Contemporary and Historocal Wall Sections”. Master Thesis, Graduate School of

Natural and Applied Sciences, Middle East Techical University, Turki

Page 68: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

64 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

MECHANICAL PROPERTIES AND CHEMICAL CHANGES OF MAHONI

WOOD (SWIETENIA MAHAGONI) BY CLOSE SYSTEM COMPRESSION

HOT PRESS MACHINE

W. Dwianto1, T. Darmawan

1, D.S. Adi

1, Y. Amin

1, I. Wahyuni

1, Fitria

1, M. Karina

2

1 Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences,

Cibinong Science Center, Jl. Raya

Bogor Km.46, Bogor 16911, Indonesia 2 Research Center for Physics, Indonesian Institute of Sciences, Jl. Cisitu 21/154,

Bandung 40135, Indonesia

This paper deals with mechanical properties of compressed wood by Close

System Compression (CSC) and its chemical component changes. A conventional hot

press was equipped with an air-tight seal frame placed between the two hot plates of the

machine. The wood with high moisture content was laid in the CSC and pressed. The

trapped wood moisture produced steam and acted as a self steam treatment. Previous

study showed that permanent fixation by a conventional hot press could be achieved at

a heating temperature of 180ºC for 20h and accompanied by a great reduction of

mechanical properties of the compressed wood. On the other hand, that for steam

treatment in an autoclave was achieved at 180ºC for 10 min and no marked decrease in

the modulus of rupture was observed. The wood species used in this research was

Mahoni (Swietenia mahagoni), with 0.39 ~ 0.42 g/cm3 density and 61% moisture

content. The wood specimens were cut into 30 cm (L) x 2 cm (T) x 2 cm (R) and

compressed into 50% of their initial thickness in radial direction inside the CSC at 160,

180, and 200ºC for 10 and 20 min. Chemical components of 40 ~ 60 mesh wood

powder were also analyzed to observe the changes of their holocellulose, α-celulose,

lignin and extractives contents. The result showed that the density of the compressed

woods increased between 0.58 ~ 0.81 g/ cm3; fixation was achieved at 180ºC for 20 min

with recovery of set (RS) of 0.36% and mechanical properties increased by 50%

compression level. However, mechanical properties decreased with the increasing of

temperature and time. It also revealed that holocellulose and α-cellulose decreased

around 13 ~ 33% and 1 ~ 10%, respectively. Therefore, we considered that the fixation

of compressive deformation by CSC resulted from the release of internal stresses stored

in the cell wall by a structural change in the cellulose and partial hydrolysis of

hemicelluloses due to their degradations.

Keywords: compressed wood, CSC, fixation, mechanical properties, chemical changes

INTRODUCTION

Compressed wood intends to enhance its surface hardness and strength through

the increasing of its density. Compression process of wood could be devided into three

stages, i.e softening, deforming dan fixing [1].

When a compressed wet wood specimen is dried under restraint, the stress

gradually decreases until it disappears and the wood is fixed in the deformed state.

However, the fixation of deformation is impermanent [2]

, because it can be almost

Page 69: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 65

completely reversed by boiling. Therefore, permanent fixation of deformation is

required to utilize compressed wood.

Many attempts have been made to fix the compressive deformation of wood

permanently. Resin treatments in which impregnated resins are polymerized during the

deformation stage of wood [3][4][5]

and chemical modifications of compressed wood [6][7]

are some of the effective methods of fixing.

Heat treatment, i.e. heating of wood under dry conditions at high temperatures, is

another effective method of fixing. Seborg et al. [8]

reported that solid wood could be

compressed to a densified-product known as Staypak. Inoue and Norimoto [9]

investigated the permanent fixation of compressive deformation of Sugi (Cryptomeria

japonica D. Don) wood by heat treatment under dry conditions. They reported that

permanent fixation could be achieved at heating temperature of 180ºC for 20h, 200ºC

for 5h or 220ºC for 3h. Heat treatment can be performed easily using a conventional hot

press and is of practical use for small-scale production. Unfortunately, not only it takes

a long time to achieve complete fixation, it also causes a great reduction of mechanical

properties of the compressed wood.

Steam treatment, i.e. heating of wet wood or having high moisture content at high

temperatures, is also an effective method of fixing the compressive deformation of

wood. Steaming is performed in an autoclave [10]

or using a hot press equipped with an

airtight seal [11].

Inoue et al. [10]

compressed wood under restraint at vapor pressures of 9

to 20 kgf/cm2 in an autoclave. They reported that permanent fixation was achieved at

180ºC for 10 min or at 200ºC for 1 min. They also observed no effect of steam

treatment on fixation for dry specimens by using a hot press equipped with an airtight

seal [11]

, and concluded that the moisture content of the wood affected fixation. No

marked decrease in the modulus of rupture or drastic color changes, which were seen

following heat treatment of wood, were observed with steam treatment.

Ito et al. [12]

attempted to mold Sugi logs to squares and to fix the shape

permanently by steaming using a pressure vessel in which a press cylinder was

installed. They reported that sufficient fixation was achieved by steaming at 200ºC for 3

min. They concluded that fixation was caused by a structural change in the cellulose [13]

.

Hsu et al. [14]

increased dimensional stability by pre steaming fibers at 200ºC for 3 to 4

min before compressing them into fiberboards. They suggested that steam treatment

could cause partial hydrolysis of hemicelluloses without any apparent changes in the

cellulose or lignin content which markedly increased the compressibility of wood and

in turn significantly reduced the build-up of internal stresses in composites during hot

pressing. These results suggested that the mechanism of fixation was an increase in

cellulose crystallinity and release of internal stresses stored in the cell wall during

compression by partial hydrolysis of hemicelluloses.

Although complete fixation can be achieved by steaming in a very short time, the

apparatus is expensive and the operation is difficult. This problem can be solved by

Close System Compression (CSC) method. A conventional hot press is equipped with

an air-tight seal frame placed between the two hot plates of the machine. The wood

with high moisture content is laid in the CSC frame and pressed. The trapped wood

moisture will produce steam and act as self steam treatment [11]

.

Amin and Dwianto [15]

reported that wood compressed by using CSC method at

180ºC temperature for 30 min with vapor pressure of 9.5 kg/cm2 was still recovered to

a 8.92% from its initial thickness and lost 12.79% of its weight. Moisture content of the

wood, pressing temperature and time, and vapor pressure has an effect on the

Page 70: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

66 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

decreasing of recovery of set (RS). It needed 180ºC temperature and 10 kg/cm2 vapor

pressure to get the permanent fixation. Therefore, it was necessary to add water to

produce the steam pressure besides the one that was produced from the evaporation of

wood moisture content.

Wood is lignocellulosic material which is susceptible against thermal

degradation. Steam treatment inside the CSC frame is needed to fix the deformation,

though it causes degradation of its chemical components. Amin dan Dwianto [15]

stated

that weight loss of compressed wood by CSC method was higher than that by heat

treatment [16]

, because heated wood in wet condition had more degraded wood chemical

components. However, how much the degradation of its chemical components has been

not yet known.

This paper deals with mechanical properties of compressed wood by CSC

method and its chemical component changes. The aim of this research was to observe

the changes of its holocellulose, α-celulose, lignin and extractive contents and the

decreasing of mechanical properties at the fixation state.

MATERIALS AND METHODS

The wood species used in this research was Mahoni (Swietenia mahagoni), with

0.39 ~ 0.42 g/cm3 density (average = 0.41 g/ cm

3) and 61% moisture content. The wood

specimens were cut into 30 cm in longitudinal (L) x 2 cm in tangential (T) x 2 cm in

radial (R) and compressed into 50% of their initial thickness in R direction inside the

CSC frame at 160, 180 and 200ºC for 10 and 20 min. The compressed wood specimens

were then dried at 60ºC under restraint for 24h.

Density and fixation measurements were conducted based on their oven dried

weight. The wood specimen size was 2 cm (L) x 2 cm (T) x 1 cm (R). Fixation level

was calculated by a formulation as follows [9]

:

RS (%) = [(Tr – Tc) / (To – Tc)] x 100,

where To = thickness of wood specimen before compression (mm), Tc = thickness after

compression (mm), dan Tr = thickness after boiling for 30 min. (mm).

Static bending tests were done by using Universal Testing Machine (UTM)

according to ASTM D 143-94 [17]

. The wood specimen size after compression was 30

cm (L) x 2 cm (T) x 1 cm (R).

Chemical components of 40 ~ 60 mesh wood powder were also analyzed based

on Mokushitsu Kagaku Jiken Manual [18]

to observe the changes of their holocellulose,

α-celulose, lignin and extractives contents. Chemical components of initial wood and

after treatments were then compared to obtain the percentage of loss.

RESULTS AND DISCUSSION

Physical Properties

The results show that density of compressed woods were between 0.58 ~ 0.81 g/

cm3 (average = 0.69 g/ cm

3), increased almost 2-fold compared to the average density

of uncompressed wood. Narrowing of wood pores by the compression caused the

increase of wood density [19]

. These results fitted the experiments done by Murhofiq [20]

that 50% compression increased the density of agathis wood from 0.41 g/ cm3 to 0.79 g/

Page 71: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 67

cm3 and sengon wood from 0.23 g/ cm

3 to 0.48 g/ cm

3. Sulistyono

[21] also observed that

the density of agathis wood increased between 0.43 ~ 0.46 g/ cm3 to 0.70 ~ 0.85 g/ cm

3

by 50% compression.

RS decreased with the increasing pressing temperature and time. Fixation state

has been achieved at 180ºC temperature for 20 min, resulting in RS = 0.36%. This

result was better than the previous research done by Amin and Dwianto [15]

. This was

due to the vapour pressure inside CSC frame was maintained at 10 kg/cm2. However,

the compressed woods were damaged at 200ºC because pressing time to reach fixation

at this temperature was shorter [10][12]

.

Mechanical Properties

The results of static bending tests were shown by Modulus of Elasticity (MOE) and

Modulus of Rupture (MOR) values (Figure 1).

Figure 1. MOE and MOR values of compressed wood by CSC method with various

pressing temperatures and times.

By 50% compression, MOE and MOR values increased more than 2-fold

compared to the uncompressed wood. Besides as the effect of the increase of wood

density, these values were probably due to the partly formed crystalline cellulose [22]

.

The highest MOE value was achieved at pressing temperature of 180ºC for 10 min,

while the highest MOR value was reached at pressing temperature of 160ºC for 10 min.

However, the values declined with the increase of pressing temperature and time,

especially at 200ºC temperature. The decline of MOE and MOR values indicated the

starting degradations of chemical components of wood occurred. MOE dan MOR

values at the fixation state were 114.3 x 103 kg/cm2 and 830.9 kg/cm

2, respectively.

Chemical Component Analysis

Wood chemical component analysis of holocellulose, α-cellulose, lignin and

extractive content are given in Table 1. It can be seen that the higher the temperature

and the longer the pressing time, the lower holocellulose content. According to Fengel

and Wegener [23]

, when lignin is removed from wood, the holocellulose represents the

amount of cellulose and hemicellulose. The low level of the holocellulose was

suspected as the effect of thermal degradation of hemicellulose since the content of α-

cellulose did not significantly change.

Page 72: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

68 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Hsu et al. [14]

stated that the steam treatment can cause wood fixation due to the

hydrolysis of hemicellulose. Hemicellulose has a lower degree of polymerization

compared to cellulose [24]

, and has lower and unstable molecular chains that are easily

degraded by heat. Besides, hemicellulose is a polymer consisted of six carbon sugars

such as mannose, galactose, glucose and 4-O-methyl-D-glucuronic acid, and five

carbon sugars such as xylose and arabinose [25][26]

. Therefore, as the pressure and

pressing time increase, the sugar polymer chains of hemicellulose will be broken and

turn into simple sugars. These simple sugars will become more unstable against

temperature which leads to the excessive degradation.

The decrease of α-cellulose at fixation state, at the temperature of 180ºC for 20

min, was 10.52% of the initial, where the degraded part was suspected to be its

amorphous region. At the same time, the holocellulose was degraded for 33.17% of the

initial, in which most of this was its hemicellulose fraction.

It is assumed that the fixation occured was due to the removal of some of OH-

functional group that decreased the ability of wood cellulose to bind water

(hygroscopicity). This removal of some hemicellulose fraction would lead the

contiguous cellulose components to link to each other or to form new chemical bond,

i.e. ether linkage [24]

. Actually, the α-cellulose fraction did not degrade significantly

since it has long molecular chain with high degree of polymerization [24]

that makes it

resistant to heat degradation under 200ºC.

Table 1. Wood chemical component analysis

Chemical

components

Control

(%)

160ºC 180ºC 200ºC

10' 20' 10' 20' 10' 20'

Holocellulose 77.6 66.8 66.43 58.57 51.86 55.72 53.84

α-cellulose 47.89 44.12 45.76 45.34 42.85 47.11 47.84

Lignin 26.1 35.31 34.28 35.88 35.36 33.95 33.99

Extractive content 4.98 4.61 4.53 5.96 7.64 8.69 10.61

To clarify the mechanism of the permanent fixation of compressive deformation

of wood by high temperature steaming, the stress relaxation and stress-strain

relationships in the radial compression for Sugi wood has been measured under steam at

temperatures up to 200ºC by Dwianto [27][28]

. The relationship between the residual

stress and RS at the end of relaxation measurements could be expressed by a single

curve regardless of time and temperature. This fact proved that the permanent fixation

of compressive deformation was resulted from the release of stresses stored in the cell

wall polymers by their degradation.

Table 1 also shows that the lignin content increases with increasing pressing

temperature and time. This trend of increasing lignin content is relatively similar to the

research conducted by Akyildiz et al. [29]

. The same result was also uncovered by

Fengel and Wegener [23]

that the lignin content remains constant in a wide temperature

range and will increase at the temperature above 140 ~ 150ºC. At temperature above

200ºC, lignin will be degraded while at the temperature below 200ºC, it will only

soften. Glassy transition of lignin occurs at temperature of 130 ~ 150ºC [25]

. Lignin is

thermoplastic, which will soften at its glass transition temperature and will harden

below that temperature.

Page 73: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 69

The extractive content will increase with the increase of pressing temperature and

time. This contradicts the existing theory. Extractives are extraneous components that

are not included as the integral part of cell wall, but they settle in cell cavities and

penetrate into the micro cavities of cell wall [24]

. Therefore, the extractives would be

vanished from cell cavities and micro cavities of cell wall due to the effect of pressing

and steam pressure in the CSC. Moisture content of wood in CSC method will be

transformed into high pressure hot steam. This hot steam will diffuse into the inner part

of wood structure [30]

that will trigger steam pressure (internal vapour pressure) in wood

cell cavities [31]

. As a consequence, the extractives in cell cavities will be force out of

the wood. Apart from this, this hot treatment will cause chemical composition

change of the extractives that will evaporate out of the wood, especially the unsaturated

compounds, fats and fatty acids [23]

.

The increase of extractive quantification on that table is estimated as the soluble

compound that was dissolved in alcohol-benzene solution from hemicellulose

degradation, not extractives. As mentioned before, hemicellulose tends to degrade into

simple sugars due to the split of molecular linkage caused by heat. Sugars, oils, resins,

waxs, fats, starch, colour pigments, etc are included in extractives dissolved in neutral

solvents [24]

. As a result, the broken linkage in hemicellulose will lead to the formation

of simple sugars dissolved in alcohol-benzene. However, further study is needed to

confirm these compounds.

CONCLUSION

The density of woods compressed into 50% of their initial thickness almost

increased by 2-fold, i.e. from the average of 0.41 g/ cm3 to 0.69 g/ cm

3.

The increase of pressing temperature and time decreased the value of RS.

Fixation was achieved for the specimen pressed at temperature of 180ºC for 20 min,

with RS value of 0.36%.

With 50% compression level, the values of MOE and MOR increased more than

2-fold compared to the initial values. The MOE and MOR values at fixation state were

114.3 x 103 kg/cm2 and 830.9 kg/cm

2, respectively.

The decrease of α-cellulose content at fixation state was 10.52% of the initial

which was assumed to be its amorphous region. At the same time, the degraded

holocellulose was 33.17% of the initial with most of it was hemicellulose. It also

revealed that holocellulose and α-cellulose decreased around 13 ~ 33% and 1 ~ 10%,

respectively. Therefore, we considered that the fixation of compressive deformation by

CSC was resulted from the release of internal stresses stored in the cell wall by a

structural change in the cellulose and partial hydrolysis of hemicelluloses due to their

degradations.

REFERENCES

[1] Grill J., Norimoto M. Compression of wood at high temperature, COST 508-

Wood Mechanics, Workshop on Plasticity and Damage, University of Limerick,

Ireland, April 1–2, 1993.

[2] Norimoto, M.; Gril, J. J. Microwave Power and Electromagnetic Energy 1989, 24

(4), 203–212.

Page 74: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

70 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

[3] Stamm, A.J.; Seborg, R.M. Resin-treated, laminated, compressed wood. Trans.

Am. Inst. Chern. Eng. 1941, 37, 385–397.

[4] Inoue, M.; Norimoto, M.; Otsuka, Y.; Yamada, T. Surface compression of

coniferous lumber II: Permanent set of the surface compression wood by a low

molecular weight phenolic resin and some physical properties of the products.

Mokuzai Gakkaishi 1991, 37 (3), 227–233.

[5] Itoh, T.; Ishihara, S. Mokuzai Gakkaishi 1997, 43 (1), 52–60.

[6] Fujimoto, H. New Zealand FRI Bull. 1992, 176, 87–96.

[7] Inoue, M.; Minato, K.; Norimoto, M. Mokuzai Gakkaishi 1994, 40 (9), 931–936.

[8] Seborg, R.M.; Millet, M.A.; Stamm, A.J. Heat-stabilized compressed wood,

Staypak. Mech. Eng. 1945, 67 (1), 25–31.

[9] Inoue, M.; Norimoto, M. Permanen fixation of compressive deformation in wood

by heat treatment. Wood Research and Technical Notes 1991, 27, 31–40.

[10] Inoue, M.; Norimoto, M.; Tanahashi, M.; Rowell, R.M. Steam or heat fixation of

compressed wood. Wood and Fiber Science 1993, 25 (3), 224–235.

[11] Inoue, M.; Norimoto, M. The Proceedings of the International Symposium on the

Utilization of Fast-Growing Trees. China Forestry Publishing House, Beijing

1994, 56–64.

[12] Ito, Y.; Tanahashi, M.; Shigematsu, M.; Shinoda, Y.; Ohta, C. Holzforchung

1998, 52 (2), 211–216.

[13] Ito, Y.; Tanahashi, M.; Shigematsu, M.; Shinoda, Y. Compresive-molding of

wood by high-pressure steam treatment: Part 2. Mechanism of permanent

fixation. Holzforchung, 1998, 52 (2), 217–221.

[14] Hsu, W.E.; Schwald, W.; Schwald, J; Shields. J.A. Chemical and physical

changes for producing dimensionally stable wood-based composites. Part I:

Steam pretreatment. Wood Sci. Technol. 1988, 22, 281–289.

[15] Amin, Y.; Dwianto, W. Temperature and steam pressure dependency on the

fixation of compressed wood by close system compression. Journal of Tropical

Wood Science and Technology 2006, 4 (2), 55–60.

[16] Dwianto, W.; Inoue, M.; Norimoto, M. Fixation of compressive deformation of

wood by heat treatment. Mokuzai Gakkaishi 1997, 43 (4), 303–309.

[17] American Standard Testing Method (ASTM). D143-94 : Standard Test Methods

for Small Clear Specimens of Timber, 2005.

[18] Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, Japan Wood Research Society Publisher,

2000.

[19] Darwis, A.; Dwianto, W.; Wahyudi, I. Fixation of Agathis and Gmelina densified

woods at radial directions and observation of their anatomical structure.

Proceedings of the First International Symposium of Indonesian Wood Research

Society. Bogor. 2009, 71–78

[20] Murhofiq, S. Pengaruh pemadatan arah radial disertai suhu tinggi terhadap sifat

fisis dan mekanis kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb) dan Sengon

(Paraserianthes falcataria (l.) Nielsen). Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Unpublished, 2000 (In

Indonesian).

[21] Sulistyono; Nugroho, N.; Surjokusumo, S. Teknik Rekayasa Pemadatan Kayu II:

Sifat fisis dan mekanis kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salibs) terpadatkan

dalam konstruksi bangunan. Buletin Teknik Pertanian 2003, 17 (1) (In

Indonesian).

Page 75: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 71

[22] Hartono, R. Peningkatan kualitas batang Kelapa Sawit bagian dalam dengan

close system compression dan kompregnasi phenol formaldehyde. Program Studi

Ilmu Pengetahuan dan Kehutanan. Program Pascasarjana IPB. Thesis Doktor.

Unpublished, 2011.

[23] Fengel D., Wegener, G. Wood, Chemistry, Ultrastructure, Reactions. New York.

De Gruyter, 1984.

[24] Prawirohatmodjo, S. Kimia Kayu. Diktat Kuliah Kimia Kayu Mahasiswa Jurusan

Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta, 1996 (In Indonesian).

[25] Biermann, C.J. Hand Book of Pulping and Papermaking. Second Edition.

Academic Press. California. USA, 1996.

[26] Marsoem, S. N. Pulp dan Kertas. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan Teknologi

Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005 (In

Indonesian).

[27] Dwianto, W.; Morooka, T.; Norimoto, M. 1998c. A Method of Measuring

Viscoelastic Properties of Wood under High-Temperature and High-Pressure

Steam Conditions. Mokuzai Gakkaishi 44 (2): 77-81.

[28] Dwianto, W.; Morooka, T.; Norimoto, M.; Kitajima, T. Stress relaxation of Sugi

(Cryptomeriajaponica D. Don) wood in radial compression under high-

temperature steam. Holzforschung 1999, 53 (5), 541–546.

[29] Akyildiz, H.M.; Ates, S.; Osdemir, H. Technological and chemical properties of

heat treated Anatolian Black Pine wood. African Journal of Biotechnology 2009,

8 (11), 2565–2572.

[30] Kawai, S.; Sasaki, H. Steam injection compressing technology. Proc. of the First

International Wood Science Seminar. Kyoto. Japan, 1996.

[31] Krisdianto. Aplikasi teknologi microwave dalam meningkatkan kualitas kayu.

Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hasil Hutan. Bogor, 2004 (In Indonesian).

Page 76: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

72 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

KARAKTERISTIK KAYU KOMPRESI DENGAN

METODE CLOSE SYSTEM COMPRESSION (CSC) PADA KONDISI KERING

Teguh Darmawan*, Danang Sudarwoko Adi, Yusup Amin, Ika Wahyuni, dan

Wahyu Dwianto

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

*E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Alat Close System Compression (CSC) menerapkan teknik pemadatan kayu

dengan memanfaatkan kadar air tinggi yang tersimpan dalam kayu sebagai sumber uap.

Kadar air kayu yang tinggi tersebut dapat membantu pelunakan dan fiksasi kayu

kompresi. Namun pada kondisi pelunakkan dan diberikan pembebanan berupa suhu dan

tekanan dari luar yang tinggi, seringkali menghasilkan kayu kompresi yang kurang baik

atau bahkan terjadi kerusakan. Pemadatan kayu kering dan perlakuan uap lebih lanjut

dapat dijadikan alternatif proses densifikasi kayu. Untuk mendapatkan kayu kompresi

dengan nilai Recovery of Set (RS) optimum, penggunaan kayu kering membutuhkan

perlakuan uap yang lebih lama apabila dibandingkan dengan metode CSC pada kondisi

kayu basah. Namun, penggunaan kayu kering menghasilkan kayu kompresi yang lebih

baik dilihat dari target tebal dan pengamatan visual kayu kompresi yang dihasilkan.

Kata kunci : Kayu kompresi, Close Sytem Compression (CSC), Recovery of set (RS).

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan sifat kayu dapat dilakukan dengan memampatkan kayu

sehingga kerapatan kayunya meningkat. Teknik pemadatan kayu pada umumnya

diterapkan untuk meningkatkan kualitas dari jenis kayu berkerapatan rendah-sedang,

dimana jenis-jenis kayu tersebut biasanya memiliki nilai sifat mekanis yang rendah.

Permasalahan utama dalam pemadatan kayu adalah fiksasi atau stabilitas dimensi dari

pengaruh kondisi kelembaban udara, air, ataupun kondisi lingkungan lainnya. Oleh

karena itu, studi tentang teknologi dan mekanisme fiksasi kayu kompresi terus

dikembangkan. Menurut Morsing (2000), ada tiga mekanisme memperbaiki atau

mempertahankan kayu kompresi, yaitu mencegah terjadinya pelunakan kayu kompresi

dengan mengubah higroskopisitas dinding sel sehingga dinding sel tidak dapat diakses

air, membentuk ikatan silang kovalen antara komponen kayu di dalam kayu kompresi,

dan merelaksasi tegangan yang tersimpan di dalam mikrofibril dan polimer matriks

selama kompresi.

Mendeformasi kayu melalui kompresi harus dilakukan pada di atas suhu transisi

glass (Tg) dari komponen dinding sel kayu, sehingga tidak terjadi kerusakan. Selama

proses kompresi, daerah kristal dari mikrofibril bersifat elastis. Energi regangan elastis

disimpan dalam makromolekul selulosa, dan pelepasan energi ini dianggap

menyebabkan pemulihan tebal. Selain itu, diyakini bahwa selama proses tersebut,

tegangan internal juga terbentuk dan disimpan dalam amorphous hemiselulosa dan

Page 77: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 73

lignin dan semi-kristal selulosa (Dwianto et al. 1998, Dwianto et al. 1999, Fang et al.

2012)

Inoue et al. (1993) menyatakan bahwa fiksasi dapat dicapai dengan perlakuan

uap lanjut pada suhu 200 oC selama 1 menit atau 180

oC selama 8 menit. Reynolds

(2004) menyimpulkan bahwa pengembangan tebal bisa secara signifikan dikurangi

dengan perlakuan uap jenuh pada suhu 200 oC. Sebuah studi oleh Dwianto et al. (1999)

menunjukkan bahwa pemulihan tekanan deformasi (recovery of compressive

deformation) menurun dengan perlakuan uap dan selama 10 menit pada suhu 200 oC

terjadi relaksasi tegangan. Navi dan Heger (2004) melaporkan bahwa fiksasi kayu

kompresi dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan berbagai kondisi uap jenuh,

yaitu 165 oC selama 30 menit, 190

oC selama 8 menit, atau 200

oC selama 2 menit.

Teknik pemadatan kayu dengan memanfaatkan kadar air yang tersimpan dalam kayu

basah sebagai sumber uap, diterapkan pada alat Close System Compression (CSC).

Terdapat tiga tahapan dalam metode ini, yaitu (1) Proses pelunakan, kayu dalam

kondisi titik jenuh air (TJS) di panaskan di atas suhu Tg di dalam alat CSC di antara

pelat hotpress, (2) Pengempaan, kayu yang sudah mulai melunak dimampatkan secara

perlahan sampai target ketebalan tercapai dan alat CSC tertutup, (3) Proses Fiksasi,

perlakuan uap dengan memanfaatkan kadar air yang tersimpan dalam kayu.

Karena kondisi kayu yang terlalu lunak dan karakteristik mekanik yang rendah,

perlakuan tekanan dan suhu tinggi seringkali menghasilkan kayu kompresi dengan

bentuk dan ukuran yang kurang baik, atau bahkan terjadi kerusakan. Selain itu,

perlakuan uap dapat mengakibatkan kehilangan berat pada kayu kompresi yang

dihasilkan. Pemberian tekanan uap dan suhu yang semakin tinggi dengan metode CSC

mengakibatkan kehilangan berat yang semakin tinggi (Amin et al. 2006). Menurut Adi

(2009) proses pemadatan kayu dengan metode CSC mengakibatkan terdegradasinya

komponen kimia kayu yaitu hemiselulosa antara 13-33% dan α-selulosa 1-10%.

Terdegradasinya komponen penyusun kayu akibat perlakuan tekanan uap yang terlalu

tinggi diindikasikan sebagai salah satu penyebab kerusakan kayu kompresi yang

dihasilkan. Penelitian ini berkaitan dengan pengamatan karakteristik kayu dari kayu

kompresi yang di kempa panas pada kondisi kering dan dilanjutkan dengan perlakuan

uap pada chamber CSC dibandingkan dengan pembuatan kayu kompresi pada kondisi

basah atau (TJS) dengan metode CSC.

Bahan dan Metode

Contoh uji menggunakan kayu sengon (Albizia falcataria L. Nielsen) bebas cacat

dengan ukuran 50 mm (longitudinal) x 50 mm (tangensial) x 40mm (radial). Pemadatan

kayu dilakukan pada arah radial sebesar 50 % atau dengan target tebal 20 mm. Contoh

uji memiliki kerapatan kering oven ± 0.23 g/cm3.

Proses Kompresi Kayu Kering

Pada kondisi kering oven, dilakukan pengukuran untuk mendapatkan tebal (to),

berat (wo), dan kerapatan (bjo). Pemadatan kayu dilakukan dengan kempa panas dengan

suhu 170 oC. Sebelum contoh uji dikempa, terlebih dahulu diberikan pemanasan awal

selama 10 menit dengan cara meletakkan di antara pelat. Pengempaan dilakukan selama

30 menit setelah target ketebalan tercapai. Selanjutnya contoh uji kayu dimasukan ke

dalam desikator untuk meminimalisir kontak langsung dengan udara ruang. Contoh uji

yang telah dikompresi (kondisi setting) diberikan perlakuan uap lebih lanjut didalam

alat CSC yang dikempa panas. Air dimasukkan ke dalam alat CSC sebagai sumber uap,

Page 78: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

74 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

dengan suhu 170 dan 180 oC selama 15, 30, 45, dan 60 menit. Selanjutnya dioven pada

suhu 105 oC selama 24 jam dan dilakukan pengukuran tebal (tc), berat (wc).

Proses Kompresi Kayu Basah

Pengukuran awal dilakukan seperti pada contoh uji kompresi kondisi kayu

kering. Selanjutnya contoh uji direndam air sampai kadar air ± 125 %. Proses

pemadatan kayu dilakukan dengan metode CSC pada suhu 180 oC selama 30 menit.

Selanjutnya dikering ovenkan dan dilakukan pengukuran tebal (tc), berat (wc).

Pengujian

Karakteristik kayu kompresi yang diamati diantaranya pengamatan tebal dan

peningkatan kerapatan dilakukan pada kondisi kering oven. Sedangkan untuk

mengetahui fiksasi atau nilai rasio Recovery of Set (RS), kayu kompresi direbus ke

dalam air mendidih (± 100 oC) selama 60 menit, dan dikeringkan dengan oven pada

suhu 105 oC selama 24 jam. Selanjutnya diukur pengembangan tebalnya (tr).

Nilai rasio RS dihitung dengan menggunakan rumus:

RS = tr-tc

to-tc 100 ( )

Sedangkan rasio kehilangan berat (WL) dihitung dengan rumus :

WL = wo-wc

wo 100 ( )

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyimpangan Ketebalan Secara visual perlakuan uap pada suhu dan waktu yang sama (180

oC, 30 menit)

menghasilkan kayu kompresi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 a dan b. Secara

umum kayu kompresi dari kondisi kering menghasilkan bentuk dan ukuran yang lebih

baik. Perlakuan uap dengan suhu dan tekanan juga dapat mengakibatkan kerusakan

kayu kompresi (Gambar 1 c).

Gambar 1. Hasil kayu kompresi dari kayu (a) kering, (b) basah, dan (c) kerusakan

kayu kompresi dengan metode CSC pada kondisi kayu basah.

Ukuran tebal dari contoh uji kayu kompresi setelah perlakuan uap ditunjukkan

pada Gambar 2. Perlakuan panas memberikan pengaruh pada target ketebalan yang

dihasilkan, baik contoh uji pada dari kondisi kering maupun basah. Contoh uji kayu

kompresi dengan metode CSC yang menggunakan kayu basah memiliki ukuran tebal

yang lebih kecil atau terjadi penyimpangan ketebalan yang lebih besar, dan penggunaan

kayu kering menghasikan kayu kompresi dengan ketebalan lebih mendekati ketebalan

yang ditargetkan.

Page 79: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 75

Gambar 2. Ukuran tebal hasil kayu kompresi

Dalam kondisi basah (TJS), kayu akan cenderung lebih mudah melunak.

Peningkatan suhu dan atau kadar air kayu akan melunakkan struktur kayu (Lenth and

Kamke 2001), sehingga komponen-komponen polimer amorphous kayu berada pada

kondisi di atas suhu Tg dan berarti bahwa kayu berada dalam keadaan melunak (Lenth

and Haslett 2003; Dwianto et al. 1999). Kawai (1996), Krisdianto (2004) dalam Amin

dan Dwianto (2006) memaparkan bahwa kadar air kayu yang berubah menjadi uap

panas dapat terdifusi ke bagian dalam struktur kayu, sehingga akan menimbulkan

tekanan uap (internal vapour pressure) di dalam rongga sel kayu. Dengan demikian

kadar air yang lebih tinggi membantu terbentuknya kondisi lunak yang lebih cepat

sejalan dengan tekanan uap yang semakin tinggi. Kayu yang melunak dan di dalam

ruang bertekanan dan panas yang tinggi, mengakibatkan kayu terdeformasi melebihi

dari ketebalan yang ditentukan dan juga dapat mengakibatkan kerusakan kayu kompresi

(Gambar 1. b, c). Hal tersebut juga disebabkan oleh penggunaan contoh uji dari jenis

kayu dengan kerapatan rendah, yang pada umumnya memiliki dinding sel tipis.

Peningkatan Kerapatan Kayu (BJ)

Pembebanan pada permukaan kayu akan mendesak dinding sel dan pori-pori

kayu lebih rapat sehingga kayu akan menjadi lebih padat. Pada contoh uji yang

menggunakan kayu basah menghasilkan nilai kerapatan lebih tinggi dengan nilai lebih

dari 0.45 g/cm2 atau naik sekitar 117 % dari kerapatan awal (Gambar 3).

Gambar 3. Peningkatan kerapatan kayu kompresi.

Page 80: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

76 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Sedangkan perlakuan suhu dan lama pengempaan pada contoh uji yang

menggunakan kayu kering terjadi BJ rata-rata sebesar 102% untuk suhu 170 oC dan 95

% untuk perlakuan suhu 180 oC. Metode CSC yang menggunakan kayu kondisi basah

mampu memampatkan kayu melebihi target ketebalan yang ditetapkan. Hal tersebut

menjadi faktor utama peningkatan BJ yang lebih tinggi dibanding BJ dari kayu

kompresi dari kayu kondisi kering baik pada perlakuan suhu 170 oC maupun 180

oC.

Rasio Recovery of Set (RS)

Perlakuan uap dengan perbedaan suhu dan waktu pada proses pembuatan kayu

kompresi baik dengan metode CSC dengan menggunakan kayu basah maupun yang

menggunakan kayu kering mampu menghasilkan kayu kompresi yang permanen. Nilai

RS ditunjukkan pada Gambar 4. Pada penggunaan kayu kering, perlakuan suhu 170 oC

membutuhkan waktu lebih dari 60 menit untuk mencapai fiksasi, dan untuk suhu 180 oC membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit. Sedangkan penggunaan metode CSC

pada kayu basah suhu 180 oC dengan waktu pengempaan 30 menit lebih dari cukup

untuk menjadikan fiksasi pada kayu kompresi. Proses fiksasi dengan menggunakan uap

secara umum lebih cepat apabila dibandingkan dengan perlakuan dengan pemanasan

oven dengan suhu yang sama atau lebih pada tekanan udara ruang. Darwis et al. (2009)

dengan perlakuan panas (oven) 180 oC selama 20 jam belum mendapatkan kayu

kompresi yang bersifat permanen.

Perbedaan suhu yang diberikan akan menentukan kecepatan terbentuknya

tekanan uap di dalam ruang CSC. Pada suhu lebih rendah, akan membentuk tekanan

uap yang lebih rendah, sehingga relaksasi tegangan yang terjadi cenderung lebih lama

Pada penggunaan kayu kering, perlakuan suhu 170 oC membutuhkan waktu lebih

dari 60 menit untuk mencapai fiksasi, dan untuk suhu 180 oC membutuhkan waktu

kurang lebih 45 menit. Sedangkan penggunaan metode CSC pada kayu basah,

perlakuan suhu 180 oC dengan waktu pengempaan 30 menit lebih dari cukup untuk

menjadikan fiksasi kayu kompresi yang permanen.

Gambar 4. Rasio recovery of Set (RS)

Kehilangan Berat (WL)

Perlakuan uap pada proses pemadatan kayu akan mengakibatkan WL pada kayu

kompresi yang dihasilkan. Sebagian komposisi kimia kayu akan terdegradasi akibat

perlakuan panas dan uap yang diberikan. Amin dan Dwianto (2006) mencatat bahwa

densifikasi kayu dengan metode CSC pada kondisi kayu jenuh serat mengakibatkan

kehilangan berat 7.2 - 12.7 %. Adi et al. (2009) melaporkan bahwa penggunaan metode

RS

(%)

Page 81: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 77

CSC mendegradasi hemiselulosa antara 13 - 33% dan α-selulosa 1 - 10% pada kayu

Mahoni (Swietenia mahagoni).

Pengaruh suhu dan lama perlakuan uap pada proses pemadatan kayu terhadap

nilai WL ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Kehilangan berat.

Pada penggunaan kayu kering, semakin lama perlakuan uap dan semakin tinggi

suhu terjadi WL yang semakin tinggi. Pengunaan kayu basah terjadi WL yang lebih

tinggi sebesar 6,8 % pada kondisi suhu dan lama perlakuan uap yang sama (180 oC, 30

menit) apabila dibandingkan dengan kayu kering sebesar 4,7 %. Namun pada kondisi

perlakuan tersebut, kayu kompresi dari kayu kering belum terjadi fiksasi (Gambar 4).

KESIMPULAN

Memadatkan kayu pada kondisi kering dan perlakuan uap lebih lanjut dapat

dijadikan alternatif proses densifikasi kayu. Densifikasi kayu kering membutuhkan

perlakuan uap yang lebih lama apabila dibandingkan dengan proses densifikasi kayu

metode CSC pada kayu basah. Namun, penggunaan kayu kering menghasilkan kayu

kompresi yang lebih baik dilihat dari hasil target tebal dan pengamatan visual kayu

kompresi yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, D. S., I. Wahyuni, Y. Amin, T. Darmawan, W. Dwianto. 2009. Degradasi

Komponen Kimia Kayu Akibat Proses Densifikasi Kayu dengan Metode Close

Sytem Compression (CSC). Prosiding Simposium Nasional I FTHH, Bogor 30-

31 Oktober 2009.197-202.

Amin, Y. dan W. Dwianto. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap

Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 4(2) : 55 – 60

Darwis, A.; W, Dwianto, I. Wahyudi. 2009 Fixation of Agathis and Gmelina Densified

Woods at Radial Directions and Observation of their Anatomical Strukture.

Proceedings of the1st International Symposium of Indonesian Wood Research

Society. Bogor. 71:78

Dwianto, W.; M Norimoto; T Morooka; F Tanaka; M Inoue; Y Liu. 1998. Holz Roh

Werkst. 56:403

WL

(%

)

Page 82: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

78 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Dwianto, W.; T Morooka; M Norimoto; T Kitajima. 1999. Stress relaxation of Sugi

(Cryptomeria japonica D.Don) wood in radial compression. Holzforschung

53(5):541–546.

Fang, C.H.; N Mariotti, A Cloutier, A Koubaa, P Blanchet. 2012. Densification of wood

veneers by compression combined with heat and steam. Eur. J. Wood Prod.

70:155–163

Inoue M, M Norimoto, M Tanahashi, Rowell RM. 1993. Steam or heat fixation of

compressed wood. Wood Fib Sci. 25:224–235

Kawai, S and H. Sasaki. 1996. Steam Injection Compressing Technology. Proc. of the

First International Wood Science Seminar. Kyoto. Japan

Krisdianto. 2004. Aplikasi Teknologi Microwave dalam Meningkatkan Kualitas Kayu.

Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hasil Hutan. Bogor

Lenth CA, A.N. Haslett (2003) Moisture uptake patterns in pressure steaming of

Radiata Pine. Holz als Roh- und Werkstoff 61:444–448

Lenth CA, Kamke FA. 2001. Moisture dependent softening behavior of wood. Wood

and Fiber Sci 33(3):492–507

Morsing, N. 2000. Densification of wood. The influence of hygrothermal treatment on

compression of beech perpendicular to the grain. PhD thesis. Technical

University of Denmark. Department of structural engineering and materials.

Navi, P.; Heger, F. 2004. Combined densification and Thermo-Hydro-Mechanical

processing of wood. Mater Res Society Bull, 332–336.

Reynolds, M.S. 2004. Hydro-thermal stabilization of wood-based materials. Master

thesis, Virginia Tech

Page 83: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 79

PENGARUH WAKTU PENGEPRESAN TERHADAP PERUBAHAN

KOMPONEN KIMIA KAYU DURIAN KOMPRESI SKALA PEMAKAIAN

Ika Wahyuni, Danang S. Adi, Teguh Darmawan, Sudarmanto, Wahyu Dwianto

UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

ABSTRACT

This study evaluated the effect of pressing time on chemical composition of full-

scale compressed wood. It is also concerned on the changes of wood chemical

components within the wood after compression. The full-scale compression process of

Durian (Durio zibetinus) wood into 33 % and 50 % of their initial thickness had

successfully been done by utilizing the full scale compression machine. Wood blocks

with dimension 4 m (L) 12 cm (R) 12 cm (T) were compressed in a radial direction

at 180C for two different time levels (60 and 120 min). Wet chemical analysis was

conducted following the relevant Mokushitsu Kagaku Jiken Manual. The results

showed that the pressing time generally affected the changes of chemical composition

within Durian compressed wood; however, it was quite significant. The alcohol-

benzene solubility content decreased (12 %) due to evaporation. Holocellulose

decreased considerably (6368 %) as an effect of hemicellulose degradation, while

lignin increased by 3637 %. As a result of thermal existence (180 C) and longer

pressing time (120 min), lignin and alcohol-benzene solubility contents in wood surface

were higher than in the middle part, proving that there were lignin movement and

extractive evaporation within compressed wood.

Keywords: Durian, full-scale, compression, compressed wood, chemical

components.

PENDAHULUAN

Kayu kurang dikenal (lesser-known species) dan kayu hutan rakyat umumnya

memiliki sifat fisik-mekanik yang lebih rendah dari pada kayu-kayu komersial. Kayu

ini masih sedikit mendapat perhatian untuk dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai

tinggi, seperti halnya bahan konstruksi atau lantai kayu. Oleh karena itu, untuk

mengoptimalkan penggunaannya, kualitas jenis kayu rakyat ini perlu ditingkatkan

terlebih dahulu dengan suatu teknologi yang tepat.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas kayu adalah

dengan proses densifikasi kayu. Teknologi ini merupakan teknik pengempaan/

pengepresan kayu utuh (solid) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu

(kekerasan dan kekuatan). Teknik ini dapat diterapkan pada jenis-jenis kayu cepat

tumbuh yang pada umumnya berkualitas rendah (Amin et al. 2007). Tahun 2009, telah

dilakukan rancang bangun mesin kempa skala pemakaian (full-scale compression

machine) di UPT Balitbang Biomaterial LIPI dan telah dilakukan uji proses pembuatan

dan karakterisasi kayu kompresi skala pemakaian terhadap kayu Sengon

(Paraserianthes falcataria) dan Randu (Ceiba pentandra) berukuran 400 cm (P) 12

cm (L) 12 cm (T) dengan perlakuan suhu 180 C dan waktu kempa 60 menit. Hasil

uji coba dan karakterisasi pembuatan kayu kompresi skala pemakaian menunjukkan

Page 84: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

80 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

bahwa pembuatan produk kayu kompresi berbahan baku kayu Sengon dengan target

kompresi 50% memberikan hasil yang terbaik (Amin 2011). Akan tetapi masih perlu

dilakukan penelitian lanjut untuk mendapatkan metode dan formulasi perlakuan yang

tepat agar dapat meningkatkan produktifitas mesin dan meningkatkan kualitas produk

kayu kompresi skala pemakaian, terutama dalam hal kestabilan dimensi (fixation) kayu

kompresi.

Parameter penting yang mempengaruhi keberhasilan proses densifikasi kayu

diantaranya adalah suhu dan waktu pengempaan (Arinana dan Diba 2009). Salah satu

cara meningkatkan kestabilan dimensi kayu kompresi dapat diperoleh dengan memberi

perlakuan panas (heat treatment) selama jangka waktu tertentu. Inoue et al. (1991)

mencoba meningkatkan kestabilan dimensi dengan memanaskan kayu Sugi

(Cryptomeria japonica) pada kondisi kering dalam kondisi kayu terkompresi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pemulihan tebal kayu kompresi dipengaruhi oleh suhu

dan waktu pemanasan.

Dinding sel kayu merupakan bahan berlignoselulosa yang terdiri dari tiga

komponen polimer, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Umumnya, komponen

kimia tersebut akan stabil pada perlakuan suhu sampai 100 C selama 48 jam (Fengel

dan Wegener, 1995). Pada perlakuan suhu di atas itu maka akan mulai terjadi

perubahan struktur kimia kayu yang disebabkan oleh reaksi autokatalisis dalam dinding

sel (Grinins et al. 2012). Windeisen et al. (2007) dalam Cademartori et al. (2013),

menyatakan bahwa perubahan struktur kayu oleh perlakuan suhu dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya adalah suhu, waktu pemanasan, jenis spesimen dan kondisi

perlakuan (Cademartori et al. 2013).

Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji coba densifikasi kayu Durian

skala pemakaian dengan perlakuan suhu 180 C pada kondisi kering dan waktu kempa

selama 60 dan 120 menit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

perlakuan suhu dan waktu kempa terhadap perubahan komponen kimia di dalam kayu

kompresi skala pemakaian, sehingga dapat diperoleh kombinasi perlakuan yang

optimal.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat

Penelitian ini menggunakan kayu Durian (Durio zibetinus) dengan kerapatan

0,47 0,56 g/cm3. Pemotongan kayu dilakukan sedemikian sehingga diperoleh

potongan berbentuk balok tangensial berukuran panjang 400 cm; lebar 12 cm; dan tebal

12 cm. Kemudian balok-balok tersebut dikering-udarakan sampai kadar airnya berkisar

14 ~ 18 %.

Proses Densifikasi

Modifikasi kayu dilakukan dengan menggunakan Alat Kompresi Kayu Skala

Pemakaian, dengan ukuran 415 cm x 70 cm x 10 cm (Gambar 1) dan suhu modifikasi

180 C (dengan waktu pengempaan 60 dan 120 menit).

Page 85: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 81

Gambar 1. Full-Scale Wood Compression Machine.

Proses densifikasi kayu skala pemakaian pada penelitian ini meliputi empat

tahap, yaitu : (1) pengkondisian mesin dengan mengatur suhu plat pada 180 C; (2)

pelunakan kayu (softening) dengan cara pemberian perlakuan panas (heat treatment)

pada suhu 180 C selama 1 jam terhadap balok kayu yang akan dipadatkan; (3)

densifikasi kayu Durian (forming) pada arah radial (R), dengan metode kering, target

densifikasi 33% (tebal 8 cm) dan 50% (tebal 6 cm), serta waktu kempa 60 dan 120

menit ; (4) penurunan suhu.

Analisis Komponen Kimia Kayu

Contoh uji untuk analisis komponen kimia kayu diambil dari bagian ujung dari

balok kayu. Kemudian analisis kimia kayu kontrol dan kayu hasil densifikasi dilakukan

dengan sampel berupa serbuk berukuran 40 ~ 60 mesh berdasarkan posisi seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Persiapan contoh uji serbuk dan analisis komponen kimia kayu.

Pada Gambar 2, huruf A menunjukkan posisi permukaan atas, B adalah posisi

inti/tengah, dan C adalah posisi permukaan bawah. Pengujian ini dilakukan untuk

mengetahui pengaruh waktu kompresi terhadap distribusi komponen kimia dalam kayu

Page 86: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

82 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

kompresi skala pemakaian. Parameter yang diamati adalah kadar ekstraktif terlarut

dalam alkohol-benzena, holoselulosa, -selulosa, dan lignin berdasarkan standar

Mokushitsu Kagaku Jiken Manual (2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Waktu Pengempaan

Hasil rata-rata analisis komponen kimia kayu Durian kompresi yang terdiri

dari ekstraktif terlarut dalam alkohol-benzena, lignin, holoselulosa, dan -selulosa

ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi komponen kimia kayu Durian kompresi.

Perlakuan

Target (%)/

Waktu (min)

Komponen kayu (%)

Ekstraktif terlarut

alkohol-benzena Lignin Holoselulosa -selulosa

Kontrol 3,84 32,32 68,04 39,46

D33/60 1,90 36,41 68,34 39,82

D33/120 2,07 36,54 63,20 31,17

D50/60 1,39 37,80 65,22 37,81

D50/120 1,26 37,44 64,56 40,48

Keterangan: D33 = Durian, target kompresi 33 %

D50 = Durian, target kompresi 50 %

Tabel 1 menunjukkan bahwa adanya perlakuan suhu dan waktu kempa telah

menimbulkan perubahan komposisi komponen kimia dalam kayu Durian kompresi jika

dibandingkan dengan kayu yang tidak diberi perlakuan.

Kandungan zat ekstraktif yang terlarut dalam alkohol-benzena pada kayu Durian

kompresi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kayu kontrol. Nilai

kandungan zat ekstraktif terendah (1,26 %) terjadi pada saat pengempaan selama 120

menit dengan suhu 180 C dan target kompresi 50 %. Hal ini sesuai dengan teori yang

ada, karena zat ekstraktif bukan merupakan bagian integral dinding sel melainkan

hanya komponen luar (extraneous components), sehingga akan mudah dipisahkan dari

dinding sel (Prawirohatmodjo, 1996). Oleh karena itu, umumnya zat ekstraktif akan

terdegradasi atau menguap dengan mudah selama perlakuan panas (Ates, 2009;

Grinins, 2012). Semakin lama waktu kempa, maka kayu akan semakin lama terpapar

oleh panas, akibatnya semakin banyak zat ekstraktif terdegradasi. Oleh karena itu, nilai

kandungan zat ekstraktif dalam kayu Durian kompresi akan semakin rendah jika

dibandingkan dengan kayu kontrol.

Perubahan kandungan holoselulosa memiliki korelasi yang negatif dengan

bertambah-lamanya waktu kempa. Semakin lama waktu kempa maka kandungan

holoselulosa dalam kayu Durian kompresi semakin rendah, baik D33 maupun D50.

Kandungan holoselulosa terendah ditemukan pada kayu D33 yang dikempa selama 120

menit, yaitu sebesar 63,20 %. Menurut Prawirohatmodjo (1996), holoselulosa

menggambarkan fraksi karbohidrat total yang di dalamnya terkandung hemiselulosa.

Penurunan kadar holoselulosa ini kemungkinan besar disebabkan oleh menurunnya

kandungan hemiselulosa akibat perlakuan panas (Adi et al.2009; Gonzales-Pena et al.

2009; Ates et al. 2009; Cademartori et al. 2013). Goldstein (1991) dalam Gonzales-

Pena et al. (2009) menyatakan bahwa hemiselulosa ini merupakan karbohidrat yang

Page 87: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 83

paling rentan terhadap perlakuan panas dan akan terdegradasi lebih dulu dibandingkan

selulosa karena strukturnya yang amorf dan memiliki berat molekul lebih rendah

daripada selulosa.

Hasil analisis komponen kimia pada Tabel 1 secara umum menunjukkan bahwa

kandungan -selulosa kayu Durian kompresi tidak berbeda signifikan dari kayu

kontrol. Hal ini dapat dikaitkan dengan strukturnya yang kristalin sehingga lebih stabil

terhadap perlakuan panas (Esteves dan Pereira 2009). Pada D33/120 dan D50/60

kandungan -selulosa dalam kayu kompresi menurun jika dibandingkan kayu kontrol

(39,46 %), berturut-turut 31,17 % dan 37,81 % . Fenomena ini serupa dengan

penelitian densifikasi kayu Mahoni (Adi et al. 2009), hal ini diduga karena adanya

bagian amorf dari selulosa yang terdegradasi.

Kandungan lignin kayu Durian kompresi meningkat seiring dengan

bertambahnya waktu pengempaan. Nilai tertinggi diperoleh pada kayu Durian kompresi

dengan target kompresi 50 % selama 120 menit, yaitu sebesar 37,80 %. Hal ini

menunjukkan bahwa lignin merupakan komponen kimia kayu yang paling stabil baik

terhadap perlakuan panas maupun waktu kempa. Kenaikan nilai Klason lignin ini

disebabkan degradasi dari hemiselulosa dan selulosa yang berstruktur amorf sehingga

proporsi lignin seolah-olah naik (Boonstra dan Tjeerdsna 2006). Dilaporkan pula bahwa

kenaikan kandungan lignin dapat disebabkan oleh reaksi polikondensasi lignin dengan

komponen dinding sel yang lain menghasilkan ikatan silang (cross-linking) dan

meningkatkan kandungan lignin. Pendapat lain menyatakan bahwa analisa lignin

dengan metode Klason memungkinkan ada beberapa produk degradasi karbohidrat

kayu yang tertahan dalam fraksi lignin, sehingga kandungan lignin meningkat (Yildiz et

al. 2006).

Distribusi Komponen Kimia pada Balok Kayu Kompresi Skala Pemakaian

Pada penelitian ini, proses kompresi dilakukan pada kondisi kering dengan

menggunakan mesin kompresi skala pemakaian yang dilengkapi dengan plat hot press.

Untuk mencapai keadaan fiksasi maka kayu Durian diberi perlakuan panas (180 C)

dan waktu kempa (60 dan 120 menit). Gambar 3 menunjukkan distribusi komponen

kimia pada balok kayu kompresi skala pemakaian dalam rangka untuk mengetahui

pengaruh kompresi terhadap perubahan komponen kimia pada balok kayu Durian

kompresi.

Ka

da

r (

%)

Komponen kimia

D33 (60 mnt)

Posisi A

D33 (60 mnt)

Posisi B

D33 (60 mnt)

Posisi C

Ka

da

r (

%)

Komponen kimia

D33 (120 mnt)

Posisi A

D33 (120 mnt)

Posisi B

D33 (120 mnt)

Posisi C

Page 88: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

84 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Gambar 3. Grafik distribusi komponen kima pada balok kayu Durian kompresi

Gambar 3 menunjukkan secara umum bahwa nilai zat ekstraktif terlarut dalam

alkohol-benzena di dalam balok kayu Durian kompresi masih relatif seragam yaitu

berkisar antara 1,832,27 %. Akan tetapi setelah pemanasan selama 120 menit mulai

terlihat bahwa nilai zat ekstraktif di bagian permukaan atas kayu kompresi lebih tinggi

jika dibandingkan dengan bagian tengah dan bawah. Nilai kandungan zat ekstraktif

tertinggi terjadi pada permukaan atas kayu Durian yang dikompresi dengan target 50 %

selama 120 menit. Hal ini menguatkan pernyataan sebelumnya bahwa zat ekstraktif

merupakan komponen luar yang akan menguap dengan mudah selama proses kompresi

dengan perlakuan panas.

Fenomena serupa juga terjadi pada nilai lignin di bagian permukaan kayu yang

lebih tinggi jika dibandingkan bagian tengah. Hal ini disebabkan dengan perlakuan

suhu 180 C belum cukup membuat lignin terdegradasi. Adi et al. (2009) menyatakan

bahwa pada lignin hanya akan mengalami pelunakan pada suhu perlakuan di bawah 200

C. Hasil ini sesuai dengan penelitian densifikasi parsial dari kayu Akasia dan Agatis

dengan perlakuan panas pada suhu 170 C, 180 C, dan 190 C (Hadiyane, 2011).

Penulis menyatakan bahwa proses kompresi mampu merelokasi lignin dari bagian

dalam ke bagian permukaan. Phuong, Shida, dan Saito (2007) menyatakan bahwa

relokasi lignin ini mulai terjadi pada suhu perlakuan 160 C.

Gambar 4 menunjukkan bahwa distribusi komponen holoselulosa di bagian

permukaan dan bagian tengah tidak terlalu berbeda secara signifikan. Hanya pada balok

kayu Durian yang dikompresi dengan target 50 % selama 120 menit, nilai kandungan

holoselulosa di bagian tengah lebih tinggi daripada di bagian permukaan, yaitu sebesar

67,10 %. Hal ini mungkin disebabkan pada bagian permukaan lebih banyak

hemiselulosa yang terdegradasi akibat langsung bersentuhan dengan plat hot press,

sehingga lebih banyak terpapar dengan panas.

KESIMPULAN

Secara umum perlakuan suhu dan waktu kempa pada penelitian ini

mengakibatkan perubahan komponen kimia kayu kompresi. Semakin lama waktu

pengepresan maka akan semakin lama kayu terpapar oleh panas, sehingga komponen

kimia yang terdegradasi akan semakin besar. Penurunan kandungan zat ekstraktif yang

larut dalam alkohol-benzena (12 %) adalah akibat penguapan zat tersebut. Kandungan

holoselulosa juga menurun (6368 %) jika dibandingkan dengan kayu yang tidak

Ka

da

r (

%)

Komponen kima

D50 (60 mnt)

Posisi A

D50 (60 mnt)

Posisi B

D50 (60 mnt)

Posisi C

Ka

da

r (

%)

Komponen kimia

D50 (120 mnt)

Posisi A

D50 (120 mnt)

Posisi B

D50 (120 mnt)

Posisi C

Page 89: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 85

dikompresi karena adanya degradasi hemiselulosa. Sedangkan nilai lignin kayu Durian

kompresi meningkat menjadi 3637 % terkait dengan adanya degradasi holoselulosa.

Selain itu, perlakuan panas dan (180 C) dan waktu kempa yang lebih lama (120 min)

menyebabkan terjadinya pergerakan lignin dan penguapan zat ekstraktif sehingga

kandungan keduanya di bagian permukaan lebih tinggi daripada di bagian tengah.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa parameter proses berupa

suhu kempa 180 C dan waktu kempa 60 dan 120 menit belum memberikan perubahan

komponen kimia kayu kompresi skala pemakaian secara signifikan sehingga

berpengaruh pada tingkat fiksasi kayu kompresi. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan parameter proses yang dapat memberikan

tingkat fiksasi yang optimal dari produk kayu kompresi skala pemakaian.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, D.S., Wahyuni, I., Amin, Y., Darmawan, T., Dwianto, W. 2009. Prosiding

Simposium Nasional I Forum Teknologi Hasil Hutan(FTHH). 30-31 Oktober

2009. Bogor, Indonesia.

Amin, Y., Darmawan, T., Wahyuni, I., Dwianto, W. 2007. Pengaruh Perendaman dalam

NaOH terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan Menggunakan Close System

Compression. 2007. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu

Indonesia X, Pontianak.

Amin, Y. 2011. Uji Proses Pembuatan dan Karakterisasi Kayu Kompresi Skala

Pemakaian. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI.

Arinana, Diba, F. 2009. Kualitas Kayu Pulai (Alstonia scholaris) Terdensifikasi (Sifat

Fisis, Mekanis, dan Keawetan). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 2 (2): 78-

88.

Ates, S., Akyildiz, M. H., Ozdemir, H. 2009. Effects of Heat Treatment On Calabrian

Pine (Pinus brutia Ten.) Wood. BioResources 4 (3): 1032-1043.

Boonstra, M. J., Tjeerdsma, B. 2006. Chemical Analysis of Heat Treated Softwoods.

Holz als Roh-und Werkstoff 64: 204-211.

Cademartori, P. H. G., dos Santos, P. S. B., Serrano, L., Labidi, J., Gatto, D. A. 2013.

Effect of thermal treatment on physicochemical properties of Gympie messmate

wood. Industrial Crops and Products 45: 360-366.

Esteves, B. M., Pereira, H. M. 2009. Wood Modification By Heat Treatment: A

Review. BioResources 4 (1): 370-404.

Fengel, D., Wegener, G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan

Harjono Sastrohamijoyo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Gonzales-Pena, M. M., Curling, S. F., Hale, M. D. C. 2009. On the effect of heat on the

chemical composition and dimensions of thermally-modified wood. Polymer

Degradation and Stability 94(12): 2184-2193

Grinins, J., Andersons, B., Biziks, V., Andersone, I., Dobele, G. 2013. Analytical

pyrolysis as an instrument to study the chemical transformations of

hydrothermally modified wood. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 103:

36-41.

Hadiyane, A., Coto, Z., Wahyudi, I., Febrianto, F., Pari, G. 2011. Perubahan Komponen

Kimia Kayu Terpadatkan Secara Parsial. Prosiding Seminar Nasional Mapeki

XIV. 2 November 2011. Yogyakarta, Indonesia.

Page 90: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

86 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Inoue, M., Norimoto, M. 1991. Permanent Fixation of Compressive Deformation of

Wood. Proceedings of the International Symposium on Chemical Modification of

Wood. May 17-18. Kyoto, Japan.

Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000, Japan Wood Research Society Publisher.

Phuong , L.X., Shida , S., Saito , Y., 2007. Effects of heat treatment on brittleness of

Styrax tonkinensis wood. J Wood Sci, 53: 181-186.

Prawirohatmodjo, S., Prof.,Dr., 1996. Kimia Kayu. Diktat Kuliah Kimia Kayu

Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas

Gadjah Mada (Untuk Kalangan Sendiri). Yogyakarta.

Yildiz, S., Gezer, E. D., Yildiz, U. C. 2006. Mechanical and Chemical Behavior of

Spruce Wood Modified by Heat. Build. Environ. 41(12): 1762-1765

Page 91: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 87

TEKNOLOGI PERTANIAN ORGANIK UNTUK BIOVILLAGE

Arief Heru Prianto, Helbert, Lisman Suryanegara, Ari K. Anggita SP

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

ABSTRAK

Biovillage merupakan konsep pengembangan wilayah yang diarahkan untuk

mengatasi masalah pembangunan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat melalui usaha kemandirian dan kegiatan perekonomian masyarakat desa.

Komponen biovillage antara lain mobilisasi sosial, pembentukan kelompok/komunitas,

perencanaan aktivitas, diklat/training, monitoring dan evaluasi serta

networking/jaringan. Pengembangan biovillage dapat dilakukan dengan implementasi

teknologi yang memanfaatkan sumber daya alam setempat. Dalam pemanfaatan sumber

daya alam setempat, khususnya bidang pertanian diperlukan suatu teknologi yang dapat

menjamin keberlangsungan proses produksi/budidaya yang mandiri dan berkelanjutan

serta ramah lingkungan. Salah satu teknologi pertanian yang dapat memberikan solusi

untuk permasalahan ini adalah teknologi pertanian organik. Paket teknologi pertanian

organik harus bisa meningkatkan kesuburan tanah, baik dalam sifat fisik, kimia,

maupun biologi tanah. Untuk itu dalam penelitian ini akan diimplementasikan paket

teknologi pertanian organik yang meliputi paket produksi kompos hayati, pupuk

organik cair, maupun nutrisi untuk pengembangan biovillage.

Pengembangan biovillage dilakukan dengan membentuk suatu unit usaha kecil

sebagai implementor teknologi hasil penelitian dalam hal ini untuk memproduksi dan

agen penyedia pupuk organik. Produk ini akan dimanfaatkan oleh komunitas pertanian

organik. Komunitas ini diharapkan dapat memanfaatkan secara optimal teknologi

pertanian organik, sehingga perlu dilakukan pelatihan pemanfaatan paket teknologi

tersebut. Agar terjadi sustainability kegiatan ekonomi ini perlu dijamin akses market

dan penyediaan bahan baku produksi serta akses terhadap lembaga keuangan.

Pada penelitian ini, akan dibuat model biovillage berbasis pertanian organik

dengan komponen utama yang akan dibentuk adalah unit pemasok bahan baku, unit

produksi pupuk organik, dan komunitas pertanian organik.

Kata kunci: biovillage, system teknologi pertanian organik.

PENDAHULUAN

Biovillage merupakan konsep pengembangan wilayah yang ditujukan untuk

mengatasi masalah pembangunan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat melalui usaha kemandirian dan kegiatan perekonomian masyarakat desa.

Pengembangan biovillage yaitu dengan memanfaatkan sumberdaya alam daerah

tersebut. Untuk menjamin keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien

dan ramah lingkungan, maka perlu diperkenalkan kepada masyarakat tentang pertanian

organik. Pertanian organik dapat didefenisikan sebagai sistem pengelolaan produksi

pertanian yang holistik yang mendorong dan meningkatkan kesehatan agro-ekosistem,

termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah, dengan menekankan

Page 92: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

88 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

pada penggunaan input dari dalam dan menggunakan cara-cara mekanis, biologis dan

kultural. Dalam sistem pertanian organik masukan (input) dari luar (eksternal) akan

dikurangi dengan cara tidak menggunakan pupuk kimia buatan, pestisida dan bahan-

bahan sintetis lainnya. Mikroba tanah dimanfaatkan untuk meningkatkan dan

mempertahankan kesuburan tanah karena mampu melakukan daur ulang hara,

menghasilkan senyawa-senyawa berguna bagi tanah dan tanaman.

Keberhasilan konsep biovillage dengan pertanian organik harus

mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Teknologi pertanian organik

memanfaatkan mikroorganisme yang akan digunakan sebagai biofertilizer dan

biokontrol.Transfer teknologi tersebut harus dilakukan kepada petani agar mereka

mandiri akan pupuk organik hayati dan pengendali hama yang ramah lingkungan

Permasalahan teknologi pertanian organik tersebut merupakan kendala bagi

petani yang mempunyai keterbatasan penguasaan teknologi untuk memproduksi pupuk

hayati dan biokontrol pada skala perbanyakan. Melalui kegiatan ini, UPT Balai Litbang

Biomaterial LIPI mendeseminasikan teknologi produksi pupuk organik dan aplikasinya

pada tanaman padi dan hortikultura

POKOK PERMASALAHAN

Lahan pertanian untuk tanaman sayuran di desa Mlatiharjo terbatas, dilain pihak

tenaga kerja wanita di desa Mlatiharjo yang tergabung dalam Komunitas Wanita Tani

(KWT) mempunyai potensi yang besar. Wanita - wanita tani ini sangat antusias dalam

kegiatan pertanian organik dalam greenhouse. Kegiatan pertanian organik ini harus

tidak mengganggu aktifitas mereka sebagai ibu rumahtangga.

METODE KEGIATAN

Metode pada kegiatan biovillage di desa Mlatiharjo dilakukan melalui beberapa

tahap. Tahap pertama dilakukan sosialisasi kegiatan konsep biovillage pada masyarakat

desa. Tahap kedua dilakukan produksi indukan miroba yang terdiri atas Lactobacillus,

Azotobacter, Rhizobium, Pseudomonas, dan Aspergillus niger. Starter untuk produksi

pupuk organik diperbanyak masing-masing pada media yang sesuai dengan

mikrobanya. Tahap ketiga adalah pembuatan unit produksi pupuk organik cair dan

padat sebagai penunjang pertanian organik yang dikelola oleh warga masyarakat.

Sebelum dibuatkan unit produksi pupuk organik, dilakukan pelatihan pembuatan pupuk

organik sebagai transfer teknologi kepada warga masyarakat. Alih teknologi ini sangat

penting untuk mendukung keberlangsungan kegiatan yaitu dengan meningkatkan

kemandirian masyarakat akan kebutuhan pupuk. Tahap terakhir yaitu aplikasi pupuk

organik pada tanaman oleh Komunitas wanita tani dilakukan dengan konsep

vertikulture dalam greenhouse. Siklus penanaman berikutnya secara terus menerus

akan disiapkan oleh BUMDes (Badan Usaha Milik Desa)

Sosialisasi kegiatan

Sosialisasi ditingkat aparat desa dan masyarakat telah dilakukan agar mereka

lebih memahami tujuan dari kegiatan dan keberlangsungan biovillage ke depannya.

Sosialisasi kegiatan meliputi konsep kegiatan biovillage, aplikasi pupuk organik dalam

budidaya organik, dan budidaya sayuran dengan teknik vertikultur. Budidaya sayuran

secara vertikultur dilakukan dalam grenhouse berukuran 4x3 meter persegi. Warga yang

Page 93: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 89

memiliki halaman yang mencukupi dan bersedia lahannya ditempati greenhouse ada 40

keluarga.

Produksi mikrobia

Produksi mikroba dimulai dari perbanyakan indukan (stock culture) yang terdiri

dari 5 isolat yaitu : Pseudomonas sp., Lactobacillus sp., Azotobacter sp., Rhizobium

sp.n dan Aspergillus niger. Kelima isolat ini diperbanyak dengan media yang sesuai

untuk mendapatkan pre-culture. Masing-masing pre-culture diperbanyak dalam

fermentor sehingga diperoleh starter. Starter ini yang digunakan unit usaha pupuk

organik di desa Mlatihardjo untuk memproduksi pupuk organik.

Biakan mikrobia

Produksi starter

Pelatihan

Untuk mewujudkan komunitas biovillage mandiri yang berkelanjutan, diperlukan

alih teknologi kepada masyarakat melalui pelatihan-pelatihan diantaranya pelatihan

teknologi pembuatan pupuk dan budidaya sayuran secara vertikultur. Pelatihan ini

bertujuan untuk memberikan keahlian yang dibutuhkan untuk membangun kemandirian

dan meningkatkan pendapatan. Pelatihan dapat mengubah cara pandang masyarakat

akan pertanian yang lebih sehat, ramah lingkungan dan dapat memanfaatkan lahan

sempit disekitar rumah untuk vertikultur.

Pelatihan teknologi diperlukan untuk menginisiasi masyarakat dengan teknologi

baru yang mampu membantu meningkatkan efisiensi pekerjaan, meningkatkan

produktivitas, meningkatkan daya saing, dan meningkatkan harga jual yang berdampak

pada peningkatan pendapatan masyarakat.

Pelatihan pembuatan POC

Page 94: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

90 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Pada kasus pelatihan pada hortikultur biovillage, maka pelatihan teknologi yang

diberikan antara lain pelatihan dasar mengenai teknologi yang dapat meningkatkan

produktivitas tanaman melalui pupuk yang diproduksi secara mandiri, teknologi

pencegahan hama, hingga teknologi pengolahan hasil panen yang dapat menjaga mutu

produk baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga dapat meningkatkan harga jual

produk.

Aplikasi pupuk organik

Dalam aplikasi pupuk organik dalam pertanian organik, telah dilakukan

sosialisasi mengenai pertanian organik kepada petani dan petugas penyuluh lapangan di

desa Mlatiharjo, Demak. Bersamaan dengan itu, dilakukan penanaman sayuran di desa

tersebut sebagai tempat aplikasi pupuk organik yang dihasilkan. Budidaya sayuran

dilakukan dalam greenhouse ukuran 4x3 m2 sebanyak 40 buah greenhouse. Greenhouse

ini menggunakan pupuk organik yang dihasilkan dari pelatihan sebelumnya.

Pengendalian hama dilakukan dengan biokontrol diproduksi di tingkat petani pelaksana.

Agar melengkapi organik village yang sedang dikembangkan, pupuk organik

yang dihasilkan akan diaplikasikan pada budidaya hortikultura.

STRATEGI PENGEMBANGAN

Pengembangan biovillage kedepan dilakukan dengan membentuk suatu unit

usaha kecil sebagai implementor teknologi pupuk hayati, yaitu menjamin kebutuhan

masyarakat petani akan pupuk hayati. Produk pupuk organik diharapkan dapat terus

Produksi POC

POC “Biomat” yang dipakai petani

Greenhouse dihalaman rumah

Tanaman dalam greenhouse

Page 95: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 91

dimanfaatkan masyarakat petani secara berkesinambungan, sehingga supervisi kualitas

pupuk organik yang dihasilkan terus dikontrol oleh UPT. Balai litbang Biomaterial.

Dimasa datang perlu dilakukan kerjasama dengan litbang daerah sehingga lebih dekat

untuk melakukan koordinasi dengan mereka. Akses masyarakat petani terhadap bahan

baku dan pasar harus selalu mendapat perhatian.

Kapasitas maksimal produksi produksi pupuk organik cair di desa Mlatihardjo

sebesar 4000 liter per bulan. Kapasitas yang cukup besar tersebut dapat dimanfaatkan

oleh lahan seluas 400 Ha, dengan luas lahan desa disekitar Mlatihardjo yang sekitar 105

Ha maka pupuk cair tersebut sudah cukup untuk dimanfaatkan pada desa sekitar.

PEMANFAATAN HASIL

Pupuk organik cair dan padat telah diproduksi secara mandiri oleh petani di desa

Mlatihardjo. Produksi yang cukup besar membuat stok pupuk berlebih sehinggga

mereka sudah menularkan keterampilannya pada petani pada desa lainnya. Penggunaan

pupuk organik cair dan padat telah dirasakan memberikan pengaruh positif pada

pertumbuhan tanaman. Petani merasakan manfaat dari penggunaan pupuk organik

sehingga produksi pupuk organik terus dilakukan.

KESIMPULAN

Keberhasilan pertanian organik untuk bioviilage dipengaruhi oleh banyak faktor

diantaranya kesiapan teknologi, antusiasme masyarakat desa, aparat pemerintah desa,

dan dukungan pemerintah daerah. Teknologi yang akan diseminasikan dalam biovillage

harus dapat menggunakan sumberdaya alam yang tersedia di desa tersebut. Pelatihan

pembuatan pupuk organik mutlak diperlukan untuk menambah kemandirian

sumberdaya manusia desa akan teknologi pembuatan pupuk. Setelah masyarakat petani

merasakan manfaat dari kegiatan tersebut, mereka lebih antusias untuk melanjutkan

pertanian organiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Chopra, S., and Meindl, P. (2001). Supply chain management-Strategy, planning, and

operations. New Jersey - Prentice-Hall.

LPDB-KUMKM.2011. Peraturan Direksi Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi

dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Nomor- 011/Per/Lpdb/2011tentang

Petunjuk Teknis Pemberian Pinjaman Kepada Usaha Kecil dan Menengah.

Jakarta.

Swaminathan, M.S.. 2006. Biovillage programme at Kodathur (Pondicherry). India-

AMM Prints.

Swaminathan, M.S.. 2004. Ecoenterprises for Sustainable Livelihoods. India- AMM

Prints.

Pkapbn.KEM dan PPKF 2013 Disampaikan Kepada DPR RI.2012.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten

Page 96: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

92 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM

VERTIKAL

Mohamad Gopar, Ismadi, Sudarmanto, Fazhar Akbar

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI

Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

ABSTRAK

Konsep vertical garden city (sistem taman vertikal) merupakan sebuah tren baru

dewasa ini didalam dunia arsitektur tata ruang perkotaan (landscaping) dan dapat

diaplikasikan dalam skala perumahan pada daerah sub-urban. Salah satu permasalahan

yang ada pada pengembangan sistem ini adalah material untuk media tanam. Modul

atau media tanam, umumnya terbuat dari bahan polimer seperti polipropilena atau

bahan sintetis geo-tekstil. Disamping bahan sintetis tersebut, bahan alam seperti pohon

pakis (Cycas rumphii miq) dapat dijadikan sebagai modul media tanam vertikal.

Namun, bahan-bahan tersebut cenderung tidak ramah lingkungan, mahal, bahkan

tanaman pakis merupakan pohon konservasi yang dilindungi pemerintah. Oleh karena

itu, diperlukan alternatif media tanam yang dapat mensubstitusi material konvensional

yang ada. Pada penelitian ini dibuat sebuah modul media tanam vertikal yang terbuat

dari serat alam yaitu pelepah kelapa sawit dan bambu. Teknologi yang dikembangkan

merupakan teknologi pembuatan papan komposit namun dengan kerapatan (densitas)

yang rendah sehingga morfologi media yang dihasilkan identik dengan modul media

tanam vertikal dari batang pakis. Bahan yang digunakan adalah partikel bambu dan

pelepah kelapa sawit yang sebelumnya dilakukan perlakuan rendaman dalam air selama

2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu baru dibuat komposit dengan kerapatan 0.4 g/cm3.

Perekat yang digunakan adalah Phenol formaldehyde (PF) dengan konsentrasi 12%.

Campuran serat dan perekat dikempa panas dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 2 cm pada

suhu 1400C selama 20 menit. Papan komposit diuji sifat mekaniknya dengan

menggunakan acuan standar JIS A-5908. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa

tanaman pangan dan tanaman hias. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi

komposit serat alam sebagai media tanam vertikal yang memenuhi kebutuhan pasar

seperti karakteristik kekuatan, ketahanan terhadap kondisi lingkungan, estetika serta

kelayakan ekonomis. Dampak lain yang diharapkan dari penelitian ini adalah

peningkatan nilai ekonomi limbah pertanian, pengembangan sistem pertanian modern

(garden agriculture) serta menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman.

Kata kunci : sistem tanam vertikal, media tanam, pelepah kelapa sawit dan bambu,

komposit.

PENDAHULUAN

Pertumbuhan pembangunan perkotaan di negara maju yang kian pesat

mengakibatkan daerah perkotaan semakin kehilangan area hijau nya. Keberadaan ruang

terbuka hijau di tengah perkotaan menjadi sesuatu yang langka. Sebagai contoh Kota

Jakarta, ruang terbuka hijau pada tahun 1983 berkisar 32185.9 hektar (50.2%) dan pada

tahun 2002 menjadi berkisar 9430.6 hektar (14.7%). Dalam kurun waktu 19 tahun turun

Page 97: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 93

berkisar -22755.3 hektar (-159.0 %) dari luas yang ada. Sebagian besar digunakan

sebagai areal urban, dimana urban mengalami kenaikan berkisar 24411.0 hektar (72.7

%). (Suwargana, 2005).

Kondisi pemukiman yang padat memiliki andil negatif dalam kehidupan

perkotaan seperti terbatasnya persediaan udara bersih, pemanasan lingkungan, hingga

percepatan tingkat strees masyarakat. Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk

mengoptimalkan tersedianya ruang terbuka hijau di daerah pemukiman perkotaan.

Upaya tersebut antara lain melalui penghijauan sisi-sisi kosong dalam lanskape

perkotaan seperti dinding bangunan, jalur pedestrian, lahan sempit, interior

mall/perkantoran, kawasan perumahan bahkan baliho iklan (Taman Vertikal V-ga,

2011).

Pada tahun 1994, seorang botaniawan, Patrick Blanc memperkenalkan konsep

taman vertical modern; yaitu membuat sebuah taman untuk memanfaatkan lahan

kosong yang tidak mungkin ditanami oleh tanaman/pohon pada mulanya. Konsep

tanam vertikal selain diterapkan untuk dekorasi pertamanan, dapat pula dijadikan

sebagai konsep pertanian modern. Konsep ini ditawarkan sebagai solusi semakin

sempitnya lahan pertanian di daerah perkotaan. Sistem pertanian ini sudah banyak

dikembangkan di negara-negara maju. Investasi per-m2 untuk satu sistem taman vertikal

pada tahun 2007 dapat mencapai US$ 2,500 s.d. 10,000 (Cochrane, 2010). Hal ini

memacu inovasi-inovasi teknologi untuk menekan biaya produksi. Saat ini diperkirakan

untuk per-m2 diperlukan biaya US$ 125 s.d 150 atau sekitar 1 juta hingga 4 juta rupiah.

Komponen utama dalam sistem tanam vertikal adalah jenis tanaman, media

tanam dan sistem modul. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian

tentang Vertical Greening Module (VGM). Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik

dan sehat, dilakukan penanaman dengan bibit didalam kotak VGM yang telah diisi

dengan media tanam. Apabila tanaman telah cukup umur, kotak VGM siap dibawa

ketempat pemasangan pilaster (tiang penggantung) beserta sistim drainasenya di lokasi

yang akan dibuat taman vertikal.

Sebagai upaya menekan biaya produksi instalasi taman vertikal, dalam penelitian

ini dilakukan substitusi media tanam yang terbuat dari bahan polimer dan serat sintetis

dengan sebuah desain modul yang terbuat dari papan serat yang terbuat dari serat alam

(biokomposit).

Keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan serat sintetis maupun plastik

antara lain bersifat renewable, bisa didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi

lingkungan, memiliki sifat mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan

harganya lebih murah (Mohanty et al. 2002, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003

dan Zimmermann et al. 2004) serta densitas yang lebih rendah. Dengan memanfaatkan

limbah perkebunan, diharapkan upaya ini dapat menjadi solusi penanganan limbah,

meningkatkan nilai ekonomi serta menurunkan biaya produksi VGM.

METODE DAN BAHAN

Pelepah kelapa sawit dan sagu yang masih basah dibersihkan dari daun-daun

yang terikut. Pelepah kemudian di pipihkan dengan menggunakan bamboo crusher

sehingga pelepah terpipihkan dan sebagian cairan yang terkandung pada pelepah akan

terpisahkan. Serat pelepah kelapa sawit kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 5-6

cm mempergunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper

dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat

Page 98: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

94 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oCatau

dijemur hingga kadar airnya -+5%. Serat kering disimpan dalam kantong plastik kedap

udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan

perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan

dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -+5%.

Bambu betung basah dengan umur tanam 5 tahun dipotong-potong dengan

ukuran kurang lebih 2 meter kemudian dibelah dua untuk bambu berdiameter kecil (<7

cm) yang berdiameter besar (>7 cm) dibelah empat. Bambu setelah dibelah kemudian

dipipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga diperoleh serat bambu.

Serat kemudian dipotong-potong dengan ukuran 5-6 cm dengan menggunakan mesin

Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker

sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat yang diperoleh kemudian

dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -

+5%. Serat kering disimpan dalam plastic kedap udara untuk kegiatan penelitian

selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan perlakuan rendaman selama 2

minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC

atau dijemur hinggakadarairnya -+5%.

Perekat yang digunakan adalah phenol formaldehyde (PF) sebanyak 12%

berdasarkan berat kering bahan baku. Pencampuran perekat dan serat alam dilakukan

dengan mempergunakan spray gun di dalam wadah rotary drum. Kerapatan dari modul

panel komposit yang dibuat adalah 0.4 g/cm3. Selanjutnya campuran serat dan perekat

dikempa panas pada suhu 1400C selama 20 menit di dalam cetakan 40 cm x 40 cm x 3

cm. Selanjutnya sampel diuji fisik mekaniknya dengan mengacu standar JIS A 5908-

2003. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman tanaman hias.

Panel komposit untuk uji tanam dibuat modul media tanam vertikal yaitu panel

dicetak dengan cetakan yang salah satu permukaannya dibuat beralurl. Cetakan tersebut

berbahan aluminium dengan panjang 155 cm, lebar 55 cm dan beralur dengan

kedalaman alur 1,5 cm. Untuk mendapatkan modul tanaman vertikal dengan ketebalan

3,5 cm, digunakan pembatas /stopper. Setelah dikempa panas, komposit tersebut

dirapihkan dengan dipotong keempat sisi pinggirnya. Ukuran yang diinginkan adalah

panjang 150 cm dan lebar 48 cm. Selanjutnya untuk menyesuaikan dengan kondisi

penanaman, modul komposit untuk tanaman vertikal dilubangi dengan diameter 10 mm

dan jarak 10 cm. Lubang ini digunakan sebagai tempat meletakkan tanaman. Letak

lubang-lubang pada modul komposit menyesuaikan dengan pola-pola tanaman yang

diinginkan, sehingga membentuk pola gambar yang indah.

Proses selanjutnya yang dilakukan untuk mendapatkan modul tanaman vertikal

adalah seting modul pada bingkai. Bingkai yang digunakan berbahan baja ringan

galvanis dengan ukuran panjang 150 cm, lebar 49 cm dan tebal 4 cm. Modul komposit

yang telah berpola pada bidang belakang (bagian berprofil) dibungkus dengan filter

geotextile kemudian dimasukkan pada bingkai plat baja ringan. Lapisan geotextile ini

berfungsi sebagai alas/filter cairan hara dari kompos.

Proses selanjutnya adalah pengisian modul tanaman vertikal dengan media tanam

yang berupa kompos dan pupuk organik. Selanjutnya modul tanaman vertika disiram

air dan ditanami sesuai pola warna tanaman yang diinginkan.

Page 99: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 95

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Fisik Mekanik

Kuat Lentur (MOR)

Nilai kuat lentur dari papan komposit serat pelepah kelapa sawit dan serat bambu

berkisar pada angka 0,85 – 2,68 MPa. Nilai tertinggi diperoleh papan komposit serat

bambu yang direndam 4 minggu sedangkan nilai terendah diperoleh papan komposit

dari serat pepelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu. Hasil selengkapnya dapat

dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Grafik MOR vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat

Berdasarkan data pada Gambar 1 nilai kuat lentur dari papan komposit serat

pelepah kelapasawit dengan penambahan waktu rendam cenderung turun kemudian

naik lagi dan papan komposit serat bambu cenderung naik kemudian turun. Hal ini

menujukkan bahwa penambahan waktu rendam mempengaruhi ikatan antara serat

dengan perekat Phenol Formaldehyde (PF) Berdasarkan data pada Ganbar 1 Nilai MOR

untuk papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu bernilai optimal.

Penambahan waktu rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai MOR. Jika dilihat

dari serat yang dipakai papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOR yang

lebih baik jika dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit.

Modulus Elastisitas (MOE)

Nilai modulus elastisitas dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit dan

serat bambu berkisar pada angka 88,59 – 222,26 Mpa. Nilai tertinggi diperoleh papan

komposit dari serat bambu yang direndam selama 2 minggu sedangkan nilai terendah

diperoleh papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam 4 minggu.

Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Page 100: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

96 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Gambar 2. Grafik MOEvs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat

Berdasarkan data pada Ganbar 2 Nilai MOE untuk papan komposit dari serat

bambu yang direndam 2 minggu bernilai optimal. Penambahan waktu rendam memberi

pengaruh negatif terhadap nilai MOE. Jika dilihat dari serat yang dipakai papan

komposit dengan serat bambu memiliki nilai MOE yang lebih baik jika dibandingkan

dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit.

Thickness Swelling

Nilai pengembangan tebal dari papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit

dan serat bambu berkisar pada angka 6,36 – 14,26 %. Nilai tertinggi diperoleh papan

komposit dari serat pelepah kelapa sawit yang direndam selama 6 minggu sedangkan

nilai terendah diperoleh papan komposit dari serat bambu yang direndam 4 minggu.

Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3. Grafik TS vs Perlakuan Perendaman pada bahan baku serat.

Berdasarkan data pada Ganbar 3 Nilai TS untuk papan komposit dari serat bambu

yang direndam 4 minggu bernilai terendah yang paling bagus. Penambahan waktu

rendam memberi pengaruh negatif terhadap nilai TS. Jika dilihat dari serat yang dipakai

papan komposit dengan serat bambu memiliki nilai TS yang lebih baik jika

dibandingkan dengan papan komposit dari serat pelepah kelapa sawit.

Page 101: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI 97

Karakterisasi Kualitatif

Untuk modul media tanam telah dicoba ditanami tanaman hias. Uji coba tanam

pada modul media tanam ditunjukkan oleh Gambar 4 dan Gambar 5. Dari uji tanam

tersebut diketahui bahwa modul tanaman vertical dari bahan serat bambu yang direndam 2

minggu; 4 minggu dan 6 minggu, tanaman bisa tumbuh bagus hingga waktu tanam dua

bulan, sedangkan dari uji tanam pada modul dari bahan pelepah kelapa sawit yang

direndam 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu setelah seminggu mati kemudian ditanami lagi

seminggu kemudian mati, kemudian ditanami lagi sudah bisa tumbuh bagus hingga waktu

tanam dua bulan (Gambar 5).

(a) (b) (c)

Gambar 4. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat bambu direndam 2

minggu; (b) serat bambu direndam 4 minggu; (c) serat bambu direndam 6

minggu.

(a) (b) (c)

Gambar 5. Uji coba penanaman ; usia tanam 3 minggu. (a) serat pelepah kelapa sawit

direndam 2 minggu; (b) serat pelepah kelapa sawit direndam 4 minggu; (c)

serat pelepah kelapa sawit direndam 6 minggu.

Dari Gambar 5 dan gambar 6 terlihat bahwa dalam masa tanam +- 3 minggu, modul

media tanam dari serat bambu memiliki kemampuan tanam yang bagus. Dan modul media

tanam dari serat pelepah kelapa sawit memiliki mampu tanam yang rendah.

Dari hasil uji coba tanam, terlihat bahwa semakin semakin lama direndam makin

bagus tingkat pertumbuhannya.

Page 102: LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

98 Laporan Teknik Akhir tahun 2013. UPT BPP Biomaterial-LIPI

Meskipun semua komposit yang dibuat bisa ditanami akan tetapi yang lebih

bagus yang memiliki nilai MOR yang tertinggi dan yang memiliki nilai TS terendah.

Papan komposit yang akan diproduksi untuk modul media tanam vertikal serat bambu

sebelum di cetak jadi komposit direndam air dahulu selama 4 minggu.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa papan komposit serat alam

dapat dimanfaatkan sebagai media tanam vertikal. Perlakuan terbaik secara mekanik

dan memenuhi syarat untuk penanaman adalah perlakuan perendaman serat bambu

selama 4 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan mekanik papan komposit, dapat

dilakukan dengan pembuatan penampang papan komposit yang berprofil atau beralur.

DAFTAR PUSTAKA

Cochrane T, 2010, Growing up the wall, The Guru, 36, pp. 04-06

Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable bio-composites from

renewable resources: Opportunities and challenges in the green materials world.

J. Polymers and the Environment, 10 (1/2): 19-26.

Oksman, K., Skrifvas, M., Selin, J.F. 2003. Natural fibers as reinforcement in

polylactic acid (PLA) composites. Composites Science and Technology 63: 1317-

1324.

Suwargana, N. dan Susanto Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik

Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Di DKI Jakarta). Pertemuan Ilmiah Tahunan

MAPIN XIV Surabaya, 14 – 15 September 2005.

Taman vertikal V-ga,2010/11, http://www.facebook.com/pages/Taman-Vertikal-V-

ga/125313897553090.

Wambua, P., Ivens, J., Verpoest, I. 2003. Natural Fibres: Can They Replace Glass In

Fibre Reinforced Plastics. Composites Science and Technology 63: 1259-1264.

Zimmermann, T., Pohler, E., Geiger, T. 2004. Cellulose fibrils for polymer

reinforcement. Advanced Engineering Materials 6 (9): 754-761.