laporan survei indikator kesehatan nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga,...

237
Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 i KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr.wb. Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya Laporan Hasil Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 telah dapat diselesaikan. Dalam laporan ini disampaikan gambaran pencapaian beberapa indikator kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 2019 dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 2019 yang dapat diperoleh melalui survei. Persiapan Sirkesnas 2016 sudah dilakukan sejak tahun 2015. Pelaksanaan pengumpulan data Sirkesnas 2016 dilakukan pada Bulan Mei Juni 2016 di 34 provinsi dan 264 kabupaten/kota, melibatkan sekitar 1600 enumerator, serta para Penanggung Jawab Teknis (PJT) kabupaten/kota/provinsi yang terdiri dari peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, dosen Politeknik Kesehatan (Poltekkes), jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Perguruan Tinggi. Keseluruhan proses memerlukan waktu serta menguras tenaga dan pikiran dari segenap pihak terkait, sehingga pada kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus atas semua kerja keras dan kerja cerdas yang penuh dedikasi dari seluruh peneliti, struktural, litkayasa dan staf Balitbangkes, mitra kerja dari unit utama di lingkungan Kementerian Kesehatan, dan Badan Pusat Statistik (BPS) baik di pusat maupun daerah, para pakar dari Perguruan Tinggi, Penanggung Jawab Operasional dari jajaran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, seluruh enumerator serta semua pihak yang telah mensukseskan pelaksanaan Sirkesnas 2016. Secara khusus, kami dan keluarga besar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan mengucapkan terima kasih kepada Ibu Menteri Kesehatan yang telah memberi kepercayaan kepada kami untuk dapat menunjukkan sumbangsih dalam pembangunan kesehatan khususnya melalui penyampaian data pencapaian indikator pembangunan kesehatan seperti yang ditunjukkan dalam hasil Sirkesnas 2016. Kendati upaya maksimal telah dilakukan, tentu masih ada kekurangan, kelemahan, dan kesalahan yang dilakukan. Kritik, masukan, dan saran yang konstruktif untuk penyempurnaan Sirkesnas maupun pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan lainnya sangat dinantikan dengan hati terbuka. Semoga hasil Sirkesnas 2016 dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Billahit taufiq walhidayah, wassalamu’alaikum wr. wb. Jakarta, 30 November 2016 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dr. Siswanto, MHP, DTM

Upload: others

Post on 12-Sep-2019

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya Laporan Hasil Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 telah dapat diselesaikan. Dalam laporan ini disampaikan gambaran pencapaian beberapa indikator kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 – 2019 yang dapat diperoleh melalui survei.

Persiapan Sirkesnas 2016 sudah dilakukan sejak tahun 2015. Pelaksanaan pengumpulan data Sirkesnas 2016 dilakukan pada Bulan Mei – Juni 2016 di 34 provinsi dan 264 kabupaten/kota, melibatkan sekitar 1600 enumerator, serta para Penanggung Jawab Teknis (PJT) kabupaten/kota/provinsi yang terdiri dari peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, dosen Politeknik Kesehatan (Poltekkes), jajaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Perguruan Tinggi.

Keseluruhan proses memerlukan waktu serta menguras tenaga dan pikiran dari segenap pihak terkait, sehingga pada kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan yang tinggi serta terima kasih yang tulus atas semua kerja keras dan kerja cerdas yang penuh dedikasi dari seluruh peneliti, struktural, litkayasa dan staf Balitbangkes, mitra kerja dari unit utama di lingkungan Kementerian Kesehatan, dan Badan Pusat Statistik (BPS) baik di pusat maupun daerah, para pakar dari Perguruan Tinggi, Penanggung Jawab Operasional dari jajaran Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, seluruh enumerator serta semua pihak yang telah mensukseskan pelaksanaan Sirkesnas 2016.

Secara khusus, kami dan keluarga besar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan mengucapkan terima kasih kepada Ibu Menteri Kesehatan yang telah memberi kepercayaan kepada kami untuk dapat menunjukkan sumbangsih dalam pembangunan kesehatan khususnya melalui penyampaian data pencapaian indikator pembangunan kesehatan seperti yang ditunjukkan dalam hasil Sirkesnas 2016.

Kendati upaya maksimal telah dilakukan, tentu masih ada kekurangan, kelemahan, dan kesalahan yang dilakukan. Kritik, masukan, dan saran yang konstruktif untuk penyempurnaan Sirkesnas maupun pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan lainnya sangat dinantikan dengan hati terbuka. Semoga hasil Sirkesnas 2016 dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.

Billahit taufiq walhidayah,

wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, 30 November 2016

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

dr. Siswanto, MHP, DTM

Page 2: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

ii

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) tahun 2016 merupakan salah satu riset kesehatan nasional antar Riskesdas yang dilakukan oleh Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI. Survei ini dilaksanakan karena belum tersedianya sistem penilaian capaian Indikator Renstra dan RPJMN 2015 – 2019 bidang Kesehatan yang komprehensif. Sistem pencatatan dan pelaporan rutin juga belum memenuhi seluruh indikator kesehatan, sehingga perlu penguatan dan dukungan survei.

Sirkesnas 2016 melakukan pengukuran dan pengamatan data primer serta penelusuran data sekunder di fasilitas kesehatan dan komunitas untuk mengetahui situasi terkini gambaran status kesehatan masyarakat yang didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, puskesmas, dan rumah tangga/individu. Data cakupan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan puskesmas merujuk pada catatan tahun 2015.

Rancangan Sirkesnas 2016 adalah studi potong lintang (cross sectional). Pengumpulan data dilakukan di 34 provinsi, 264 kabupaten/kota, 400 kecamatan, 400 puskesmas, 1.200 blok sensus, 22.795 rumah tangga, dan 97.986 individu. Pengumpul data adalah peneliti Badan Litbangkes, politeknik kesehatan (poltekkes), universitas (perguruan tinggi), organisasi profesi, ataupun institusi penelitian kesehatan lainnya yang memenuhi kriteria yang dipersyaratkan.

Kegiatan yang dilakukan dalam Sirkesnas 2016 adalah : 1. Pembahasan indikator (desk) dengan masing – masing unit terkait di lingkungan Kemenkes, 2. Pembahasan hasil desk bersama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) dan Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Kesehatan, lokakarya bersama unit utama Kemenkes, 3. Pembahasan draft instrumen dan definisi operasional masing – masing indikator dengan lintas program terkait, 4. Pertemuan pakar, 5. Penyusunan instrumen dan pedoman pengisiannya, 6. Ujicoba instrumen (2 kali), 7. Perbaikan instrumen dan pedomannya, 8. Rapat koordinasi teknis tingkat provinsi, 9. Pelatihan pengisian instrumen bagi penanggung jawab teknis (PJT) povinsi/kabupaten/kota, 10. Pembuatan program entry oleh Tim Laboratorium Manajemen Data Badan Litbangkes, 11. Pelatihan pengisian instrumen bagi enumerator, 12. Pengumpulan data di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota oleh PJT dan pengumpulan data di puskesmas dan rumah tangga oleh Tim Enumerator, sekaligus entry data di lapangan, 13. Proses validasi data oleh IAKMI yang dilakukan sejak Rakornis Provinsi hingga pengumpulan data lapangan, 14. Penyusunan dummy table oleh Tim Teknis, 15. Pengiriman data ke Laboratorium Manajemen Data, editing dan cleaning data, 16. Analisis data, 17. Penyusunan laporan, dan 18. Diseminasi.

Pengorganisasian Sirkesnas 2016 meliputi tingkat Pusat, tingkat Koordinator Wilayah I sampai V (1 Korwil bertanggung jawab atas 6 – 7 provinsi), tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota. Susunan organisasi Sirkesnas 2016 tingkat Pusat terdiri dari Tim Pengarah, Tim Pakar, Penanggung Jawab, Tim Teknis, Tim Manajemen Data, serta Tim Manajemen dan Keuangan.

Validasi studi ini dilaksanakan oleh organisasi profesi kesehatan masyarakat, yaitu IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia). Proses validasi dilaksanakan pada saat rapat koordinasi teknis provinsi, pelatihan PJT, pelatihan enumerator, serta beberapa hari setelah enumerator mengumpulkan data.

Page 3: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

iii

Hasil Sirkesnas 2016 memberikan informasi mengenai pencapaian 36 (tiga puluh enam) indikator kesehatan dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan 2015 – 2019, meliputi indikator : kesehatan ibu, kesehatan anak, gizi, kesehatan kerja dan olahraga, penyehatan pangan, pengendalian penyakit menular dan tidak menular, pelayanan kesehatan tradisional, dan pelayanan kefarmasian.

Terdapat 4 (empat) indikator kesehatan ibu yang disurvei dalam Sirkesnas 2016, yaitu persentase ibu hamil yang mendapat pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4), persentase puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil, persentase puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), dan persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil Sirkesnas menunjukkan bahwa persentase ibu hamil K4 adalah 72,5 persen (target 2015: 72%), persentase puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil 94 persen (target 2015: 78%), persentase puskesmas yang melakukan orientasi P4K adalah 88,8 persen (target 2015: 77%), dan persentase persalinan di fasyankes adalah 79,3 persen (target 2015: 75%). Persentase capaian ke-empat indikator kesehatan ibu dalam Sirkesnas ini lebih tinggi dari target Renstra Kemenkes tahun 2015.

Indikator kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), persentase kunjungan neonatus, persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas satu, persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas tujuh dan sepuluh, dan persentase puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR). Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan prevalensi BBLR sebesar 6,9 persen (target 2019: 8%), persentase KN1 sesuai standar sebesar 15,2 persen (target 2015: 75%), persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas satu sebesar 56,6 persen (target 2015: 50%), persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10 sebesar 34 persen (target 2015: 30%), dan persentase puskesmas yang menyelenggarakan PKPR sebesar 35 persen (target 2015: 25%).

Secara nasional capaian indikator bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada Sirkesnas 2016 sebesar 11,2 persen, namun capaian ini tidak bisa dibandingkan dengan target indikator IMD tahun 2015 yang tertuang dalam Renstra tahun 2015-2019, karena berbeda definisi operasional dan cara perhitungannya. Secara nasional capaian indikator bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada Sirkesnas 2016 sebesar 21,5 persen, capaian indikator ini juga tidak bisa dibandingkan dengan target indikator bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif tahun 2015 seperti yang tertuang dalam Renstra tahun 2015-2019 karena berbeda definisi operasional dan cara perhitungannya. Secara nasional capaian ASI eksklusif pada umur 0 bulan hanya sebesar 50 persen dan cenderung terus menurun dengan semakin bertambahnya umur bayi. Hal ini tentunya menjadi salah satu point yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya peningkatkan cakupan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan. Secara nasional, capaian indikator persentase remaja putri (12-18 tahun) yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) dalam Sirkesnas 2016 sebesar 7,6 persen, lebih rendah dari target capaian indikator tahun 2015 seperti yang ditetapkan dalam Renstra Kemenkes tahun 2015-2019 sebesar 10 persen. Menurut wilayah, capaian indikator persentase remaja putri (12-18 tahun) yang mendapat TTD di perkotaan adalah sedikit lebih tinggi (8,3%) dibandingkan dengan di perdesaan (7,1%). Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD baik yang berasal dari program ataupun mandiri minimal 90 tablet selama kehamilannya adalah 35,8 persen.

Page 4: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

iv

Dalam menentukan indikator kinerja terkait penurunan prevalensi anemia pada ibu hamil hendaknya tidak hanya mengukur yang mendapat TTD saja tetapi perlu juga mengukur berapa banyak TTD yang sudah diminum ibu selama kehamilan. Selain itu perlu adanya upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) agar ibu hamil mengetahui manfaat suplemen tambah darah dan mau mengonsumsi TTD selama kehamilannya. Secara nasional capaian indikator persentase ibu hamil yang mendapat Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada Sirkesnas 2016 adalah sebesar 14,7 persen, capaian indikator ini juga tidak bisa dibandingkan dengan indikator persentase ibu hamil KEK yang mendapat PMT tahun 2015 seperti yang tertuang dalam Renstra tahun 2015-2019, karena keterbatasan Sirkesnas 2016 tidak mempunyai data status gizi ibu hamil pada saat menerima PMT pada tahun 2015 termasuk risiko KEK atau tidak. Secara nasional capaian indikator persentase balita kurus yang mendapat PMT pada Sirkesnas 2016 sebesar 28,5 persen, capaian indikator ini juga tidak bisa dibandingkan dengan target indikator persentase balita kurus yang mendapat PMT tahun 2015 seperti yang tertuang dalam Renstra tahun 2015-2019, karena keterbatasan Sirkesnas 2016 tidak mempunyai status gizi balita pada saat menerima PMT pada tahun 2015 termasuk kategori kurus atau tidak.

Indikator kesehatan kerja adalah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar. Definisi operasional indikator kesehatan kerja dasar adalah puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja (K3) internal dan layanan kesehatan pada pekerja di wilayah kerjanya. Baseline indikator pada tahun 2014, yaitu sebanyak 1034 puskesmas telah menyelenggarakan kesehatan kerja dasar. Target capaian tahun 2015 sebesar 40 persen, dan pada tahun 2016 sebesar 50 persen. Puskesmas melaksanakan kesehatan kerja dasar ditentukan apabila (1) puskesmas memiliki dua komponen kesehatan kerja dan (2) puskesmas menyelenggarakan K3 internal minimal dan melaksanakan layanan kesehatan minimal pada pekerja di wilayah kerjanya. Berdasarkan hasil Sirkesnas, dari seluruh puskesmas (400) yang didata, persentase puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja dasar yaitu puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja internal minimal di puskesmas dan yang melaksanakan layanan K3 minimal sebanyak 43,3 persen, sedangkan yang tidak melaksanakan kesehatan kerja dasar sebanyak 56,8 persen.

Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga apabila menyelenggarakan upaya kesehatan olahraga melalui pembinaan kelompok olahraga dan pelayanan kesehatan olahraga di wilayah kerjanya. Indikator upaya kesehatan olahraga adalah persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya. Baseline indikator upaya kesehatan olahraga pada tahun 2014 yaitu sebanyak 671 puskesmas telah menyelenggarakan kesehatan olahraga. Target capaian tahun 2015 sebesar 20 persen, dan pada tahun 2016 sebesar 30 persen. Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga minimal adalah apabila (1) ada komponen kesehatan olahraga yaitu puskesmas memiliki tenaga yang bertugas melaksanakan kesehatan olahraga dan puskesmas membuat laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan), dan (3) puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal (melaksanakan satu pelayanan olahraga). Hasil Sirkesnas menunjukkan, dari 400 puskesmas, sebanyak 32,3 persen puskesmas (ada komponan tenaga dan membuat laporan) melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal dan melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal.

Page 5: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

v

Terkait dengan penyehatan pangan, indikator Renstra yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase Tempat Pengolahan Makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan dengan target capaian tahun 2015 sebesar 8 persen. Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa persentase TPM yang memenuhi syarat sudah melebihi target Renstra yaitu sebesar 42,8 persen dan persentase TPM yang sudah memiliki sertifikat laik sehat adalah sebesar 13,9 persen.

Indikator imunisasi dasar yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi dan persentase anak usia 0 sampai 11 bulan mendapat imunisasi dasar lengkap. Target persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi pada 2015 sebesar 75 persen, sedangkan target persentase anak usia 0 sampai 11 bulan mendapat imunisasi dasar lengkap pada tahun 2015 adalah sebesar 91 persen. Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa capaian target persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap pada bayi sebesar 75 persen sudah tercapai (79,9%), dan persentase anak usia 0 sampai 11 bulan mendapat imunisasi dasar lengkap baru mencapai 65,3 persen. Jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007, Riskesdas 2010, dan Riskesdas 2013, cakupan imunisasi lengkap hasil penelitian ini lebih tinggi (2007 : 41,6%, 2010 : 53,8%, 2013 : 59,2% dan 2015 : 65,3%).

Indikator Renstra deteksi dini Hepatitis B, yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini Hepatitis B pada kelompok berisiko dengan target capaian tahun 2015 sebesar 5 persen. Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa capaian indikator program ini sudah melebihi target Renstra yaitu sebesar 11 persen.

Indikator tatalaksana pneumonia yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase kabupaten/kota yang 50 persen puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana pneumonia melalui program MTBS dengan target capaian tahun 2015 sebesar 20 persen. Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa capaian program ini telah melebihi target yaitu 67,1 persen. Persentase kota yang telah melaksanakan program ini lebih tinggi (81,8%), dibandingkan dengan kabupaten (64,1%).

Indikator Renstra Pengendalian Vektor Terpadu yang diukur pada Sirkesnas 2016 adalah persentase kabupaten/kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu dengan target capaian tahun 2015 sebesar 40 persen. Hasil Sirkesnas menunjukkan bahwa dari empat jenis pengendalian penyakit tular vektor yang diamati masih belum mencapai target tersebut, masing-masing Malaria 13,3 persen, Filariasis 3,8 persen, Demam Berdarah Dengue (DBD) 30,7 persen, dan Chikungunya 13,6 persen.

Ada 7 indikator dalam program penyakit tidak menular yang dikumpulkan dalam Sirkesnas 2016. Indikator persentase desa/kelurahan yang melaksanakan kegiatan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PTM sebesar 55 persen. Persentase puskesmas yang memiliki ≥10 persen desa melaksanakan pengendalian PTM sebanyak 80,5 persen. Kanker payudara dan kanker serviks merupakan 2 jenis kanker terbanyak pada perempuan baik di negara maju maupun berkembang. Proporsi perempuan umur 30-50 tahun yang pernah melakukan deteksi dini kanker payudara dan serviks sebesar 1 persen sedangkan target capaian deteksi dini dalam Renstra pada tahun 2015 sebesar 10 persen. Persentase kabupaten/kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama sebesar 17,8 persen. Sebanyak 57,2 kabupaten/kota dengan sekolah melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), sedangkan kabupaten/kota dengan minimal 50 persen sekolah melaksanakan KTR sebesar 15,9 persen. Prevalensi merokok penduduk pada umur ≤18 tahun sebesar 8,8 persen dan prevalensi

Page 6: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

vi

tekanan darah tinggi pada penduduk usia ≥18 tahun sebesar 32,4 persen. Sedangkan prevalensi obesitas sebesar 20,7 persen pada penduduk usia ≥18 tahun.

Indikator Pelayanan kesehatan tradisional dan komplementer yang dinilai dalam riset ini adalah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional terhadap masyarakat di wilayah kerjanya, yang memenuhi salah satu kriteria berikut : Puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan sudah dilatih bidang Kesehatan Tradisional (Kestrad), Puskesmas yang melaksanakan asuhan mandiri kestrad ramuan dan ketrampilan, dan Puskesmas yang melaksanakan kegiatan pembinaan meliputi pengumpulan data kesehatan tradisional, fasilitasi registrasi/perizinan dan bimbingan teknis serta pemantauan pelayanan kesehatan tradisional. Namun kriteria ketiga tidak dilibatkan dalam proses analisis data Sirkesnas 2016, karena pembinaan merupakan tanggung jawab dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Target indikator tersebut dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 adalah 15 persen pada tahun 2015. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa puskesmas yang sudah melaksanakan program pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia sebanyak 39,8 persen.

Dalam Sirkesnas 2016 terdapat 3 indikator Rencana Strategis dalam hal pelayanan farmasi meliputi persentase ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas, persentase puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar, dan persentase penggunaan obat rasional di puskesmas. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas yaitu tersedianya obat dan vaksin indikator di puskesmas untuk program pelayanan kesehatan dasar pada akhir November 2015 (ada 20 item obat dan vaksin yang digunakan sebagai indikator). Capaian indikator ketersediaan obat dan vaksin pada akhir tahun 2015 yaitu 69,1 persen dari target tahun 2015 sebesar 77 persen sedangkan pada pelaksanaan Sirkesnas 2016 (Mei 2016) diperoleh hasil sebesar 78,5 persen dari target tahun 2016 sebesar 80 persen.

Persentase puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar yaitu persentase puskesmas yang melaksanakan pemberian informasi obat dan konseling. Capaian indikator dari Sirkesnas 2016 yaitu 19,8 persen puskesmas yang melakukan pemberian informasi obat dan konseling, sedangkan puskesmas yang melakukan pemberian informasi obat atau konseling sebesar 46,3 persen, sementara target capaian indicator program pada tahun 2015 adalah sebesar 40 persen.

Penggunaan Obat Rasional (POR) adalah persentase penggunaan obat rasional di puskesmas yang diperoleh dari 4 indikator Peresepan yaitu persentase antibiotik pada ISPA non pneumonia, persentase antibiotik pada diare non spesifik, persentase injeksi pada myalgia dan rerata item obat per lembar resep. Capaian indikator POR berdasarkan Sirkesnas 2016 (Desember 2015) yaitu 64,4 persen dari target sebesar 62 persen pada tahun 2015. Persentase antibiotik pada ISPA non pneumonia yaitu 52,4 persen dengan batas toleransi 20 persen, persentase antibiotik pada diare non spesifik yaitu 48,9 persen dengan batas toleransi 8 persen, persentase injeksi pada myalgia 4,1 persen dengan batas toleransi 1 persen dan rerata item obat per lembar resep sebesar 3,4 dengan batas toleransi 2,6.

Direkomendasikan untuk : 1). Melibatkan aspek kualitas dalam perhitungan pencapaian beberapa indikator kesehatan seperti : cakupan pelayanan kesehatan ibu saat hamil (ANC) agar hasil kuantitas berkorelasi dengan outcome yang ingin dicapai (penurunan AKI dan AKB), Kelas Ibu Hamil, orientasi P4K, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), 2). Melakukan revisi terhadap baseline dan target, seperti Berat Badan Lahir Rendah

Page 7: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

vii

(BBLR), dan beberapa indikator Penyakit Tidak Menular (PTM), 3). Perbaikan definisi operasional (DO) terhadap indikator penjaringan kesehatan peserta didik kelas kelas 1, penjaringan kesehatan peserta didik kelas kelas 7 dan 10, indikator kesehatan kerja dan kesehatan olahraga, indikator pengendalian vektor terpadu, dan indikator pelayanan kesehatan tradisional, dan indikator ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas, 4). Perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dapat menjawab indikator Tempat Pengolahan Makanan (TPM), indikator status Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (khususnya imunisasi Polio), indikator deteksi dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HbsAg, tatalaksana pneumonia menggunakan MTBS, indikator Pengendalian Vektor Terpadu, serta indikator terkait Penyakit Tidak Menular (hipertensi, obesitas, merokok), 5). Peninjauan ulang perhitungan komposit 4 (empat) indikator Penggunaan Obat Rasional (POR) dengan formula yang ada, karena tidak relevan dan menimbulkan misinterpretasi rasionalitas. Penggunaan target penurunan persentase penggunaan antibiotik, injeksi dan rerata jumlah item per lembar resep merupakan alternatif yang baik mengingat setiap indikator mempunyai tujuan dan konteks masing-masing yang tidak bisa dibuat komposit.

Page 8: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

viii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

RANGKUMAN EKSEKUTIF ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xvi

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xx

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar belakang ................................................................................................ 1

1.2 Tujuan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 ....................... 2

1.3 Ruang lingkup Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 ........... 2

1.4 Indikator yang diukur ...................................................................................... 2

1.5 Kerangka dan alur pikir Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 ....................................................................................................................... 3

1.6 Pengorganisasian Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 ..... 6

1.7 Proses pelaksanaan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 . 7

1.7.1 Persiapan Survei ................................................................................... 7

1.7.2 Penyusunan Instrumen .......................................................................... 7

1.7.3 Persiapan Lapangan ............................................................................11

BAB 2 METODOLOGI .........................................................................................12

2.1 Disain survei ..................................................................................................12

2.2 Populasi dan sampel .....................................................................................12

2.2.2. Penentuan Puskesmas Lokasi Survei ..........................................................26

2.2.3. Penentuan dinas kesehatan Lokasi Survei...................................................27

2.3 Alat dan tata cara pengumpulan data ............................................................27

2.4 Manajemen data ............................................................................................29

2.4.1 Editing ..................................................................................................29

2.4.2 Entry .....................................................................................................30

2.4.3 Cleaning ...............................................................................................30

2.5 Analisis dan penyajian data ...........................................................................30

2.6 Pengendalian mutu survei .............................................................................30

2.6.1 Penentuan Penanggungjawab Teknis (PJT) .........................................30

2.6.2 Rekrutmen tenaga enumerator .............................................................31

2.7 Keterbatasan survei .......................................................................................31

BAB 3 HASIL SURVEI .........................................................................................32

3.1 Perolehan Sampel .........................................................................................32

3.2 Indikator Kesehatan Ibu .................................................................................33

Page 9: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

ix

3.2.1 Indikator persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) .........................................................................................35

3.2.2 Indikator pelaksanaan program Kelas Ibu Hamil oleh puskesmas ........42

3.2.3 Indikator pelaksanaan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) oleh puskesmas ............................................47

3.2.4 Indikator persentase persalinan di fasiltas pelayanan kesehatan ..........50

3.3 Indikator Program Kesehatan Anak ...............................................................57

3.3.1 Berat dan panjang lahir .........................................................................58

3.3.2 Indikator kunjungan neonatal ................................................................61

3.3.3 Penjaringan kesehatan peserta didik ....................................................69

3.3.4 Indikator Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) .......................75

3.4 Indikator Program Gizi ...................................................................................78

3.4.1 Indikator Persentase Bayi Baru Lahir Mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) 79

3.4.2 Indikator Persentase bayi usia kurang dari 6 Bulan mendapat ASI Eksklusif ........................................................................................................83

3.4.3 Indikator persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan .86

3.4.4 Indikator persentase remaja puteri (12-18 tahun) mendapat Tablet Tambah Darah ...............................................................................................92

3.4.5 Indikator persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah .94

3.4.6 Indikator persentase pemberian makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil Risiko Kurang Energi Kronis (KEK) .....................................................97

3.4.7 Status Gizi .......................................................................................... 101

3.5 Indikator Program Kesehatan Kerja dan Kesehatan Olahraga ..................... 109

3.5.1 Indikator Program Kesehatan Kerja: persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar .................................................. 109

3.5.2 Indikator Kesehatan Olahraga ............................................................ 128

3.6 Indikator Program Penyehatan Pangan ....................................................... 137

3.6.1 Indikator Tempat Pengolahan Makanan (TPM) Memenuhi Syarat Kesehatan ................................................................................................... 137

3.7 Indikator Program Surveilans, imunisasi karantina dan kesehatan .............. 139

matra 139

3.7.1 Indikator Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) ............................................ 139

3.7.2 Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HBsAg ......... 148

3.7.3 Indikator Tatalaksana pneumonia menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ................................................... 150

3.7.4 Indikator Pengendalian Vektor Terpadu .............................................. 152

3.8 Indikator Program Penyakit Tidak Menular .................................................. 157

3.8.1 Indikator persentase desa/kelurahan yang melaksanakan kegiatan Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak menular (Posbindu PTM) .................... 157

Page 10: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

x

3.8.2 Indikator Puskesmas yang melaksanakan pengendalian PTM Terpadu 159

3.8.3 Indikator Perempuan umur 30-50 tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara ................................................................................... 161

3.8.4 Indikator Kabupaten/Kota yang Melakukan Pemeriksaan Kesehatan Pengemudi di Terminal Utama .................................................................... 165

3.8.5 Indikator kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), minimal 50 persen sekolah .................................................... 165

3.8.6 Indikator prevalensi merokok penduduk pada umur ≤ 18 tahun (10 - 18 tahun) ............................................................................................. 167

3.8.7 Indikator prevalensi tekanan darah tinggi pada penduduk usia ≥ 18 tahun 169

3.9 Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional ................................................. 171

3.9.1 Capaian Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional di Puskesmas ... 172

3.9.2 Capaian Kriteria Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional di Puskesmas .................................................................................................. 173

3.9.3 Rekomendasi Perbaikan Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional 174

3.10 Indikator Program Farmasi .......................................................................... 174

3.10.1 Indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas .............. 174

3.10.2 Indikator puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar ............................................................................................. 184

3.10.3 Persentase Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas ............... 191

BAB 4 REKOMENDASI ..................................................................................... 202

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 210

Page 11: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.4.1 Indikator Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dan unit instansi, Sirkesnas 2016.............................................................................................. 2

Tabel 1.4.2 Indikator RPJMN, Sirkesnas 2016 ......................................................... 3

Tabel 1.7.1 Pemetaaan indikator berdasarkan basis pengumpulan data, unit analisa dan sumber data, Sirkesnas 2016 ................................................................ 8

Tabel 2.2.1 Simulasi penghitungan besar sampel berdasarkan proporsi target dan besarnya toleransi margin of error, Sirkesnas 2016 .....................................12

Tabel 3.1.1 Response Rate Sirkesnas 2016 ...........................................................32

Tabel 3.2.1 Indikator dan target Kesehatan Ibu, .....................................................34

Tabel 3.2.2 Persentase perempuan 10-54 tahun yang melakukan pemeriksaan kesehatan ibu hamil (ANC) saat hamil anak terakhir menurut indikator pelayanan antenatal (ANC) berdasarkan karakteristik ibu, Sirkesnas 2016 ...........................................................................................37

Tabel 3.2.3.a Persentase puskesmas yang memberikan layanan laboratorium menurut lokasi berdasarkan jenis pemeriksaan laboratorium, Sirkesnas 2016............................................................................................42

Tabel 3.2.3.b Persentase puskesmas yang memberikan layanan laboratorium menurut kecukupan pelayanan dan lokasi puskesmas berdasarkan jenis pemeriksaan laboratorium, Sirkesnas 2016 .................................................42

Tabel 3.2.5 Persentase perempuan 10-54 tahun yang tidak mengikuti kelas ibu hamil, berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ........................................46

Tabel 3.2.6 Persentase pelaksanaan Orientasi P4K di puskesmas menurut lokasi, Sirkesnas 2016............................................................................................49

Tabel 3.2.7 Distribusi persentase perempuan 10-54 tahun yang pernah bersalin periode 1 Januari 2014 sampai dengan wawancara ....................................52

Tabel 3.2.8 Distribusi persentase ibu menurut tempat persalinan menurut karakteristik, Sirkesnas 2016 .......................................................................53

Tabel 3.2.9 Distribusi persentase ibu yang mempunyai riwayat kehamilan anak terakhir menurut tenaga penolong persalinan pertama, terakhir dan tempat terakhir bersalin, Sirkesnas 2016 ................................................................55

Tabel 3.2.10 Distribusi persentase perempuan 10-54 tahun yang bersalin di rumah/lainnya menurut alasan tidak melahirkan di fasyankes .....................56

Tabel 3.3.1 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ......................................................................59

Tabel 3.3.2 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Sirkesnas 2016 ......................................................................60

Tabel 3.3.3 Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) sesuai standar berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ..................................................62

Tabel 3.3.4 Persentase kunjungan neonatal berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ............................................................................................................64

Tabel 3.3.5 Persentase kunjungan neonatal lengkap pada anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ..................................................65

Tabel 3.3.6 Persentase komponen pelayanan KN1 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016............................................................................................66

Tabel 3.3.7 Persentase alasan tidak melakukan pemeriksaan neonatal pada anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016........................68

Page 12: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xii

Tabel 3.3.8 Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1, Sirkesnas 2016 .........................................................71

Tabel 3.3.9 Kegiatan yang dilakukan dalam penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1, Sirkesnas 2016 ..............................................................................72

Tabel 3.3.10 Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10, Sirkesnas 2016 ..............................................74

Tabel 3.3.11 Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja, Sirkesnas 2016..............................................................76

Tabel 3.3.12 Persentase komponen utama Puskesmas PKPR, 2016 .....................77

Tabel 3.4.1 Persentase bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) menurut karakteristik keluarga, Sirkesnas 2016..........................82

Tabel 3.4.2 Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif menurut kelompok umur 0-5 bulan, Sirkesnas 2016 ..............85

Tabel 3.4.3 Persentase bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulan menurut karakteristik keluarga, Sirkesnas 2016 ........................................................86

Tabel 3.4.4 Persentase anak balita (6-59 bulan) yang mendapatkan PMT berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal tahun 2015, Sirkesnas 2016............................................................................................89

Tabel 3.4.5 Distribusi Persentase Anak Balita (6-59 bulan) yang mendapatkan PMT menurut Karakteristik Ibu Tahun 2015, Sirkesnas 2016 ......................90

Tabel 3.4.6 Persentase Anak Balita (6-59 bulan) yang mendapat PMT pada tahun 2015 berdasarkan Status Gizi BB/TB tahun 2016 ..............................91

Tabel 3.4.7 Persentase Anak Balita (6-59 bulan) berdasarkan bentuk PMT yang diperoleh dan Status Gizi BB/TB tahun 2016 ...............................................91

Tabel 3.4.8 Karakteristik remaja putri yang mendapat TTD, Sirkesnas 2016 ..........93

Tabel 3.4.9 Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD selama kehamilan berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal, Sirkesnas 2016............................................................................................96

Tabel 3.4.10 Persentase ibu hamil yang mengonsumsi TTD selama kehamilan menurut karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal, Sirkesnas 2016............................................................................................97

Tabel 3.4.11 Persentase Ibu Hamil yang mendapat Makanan Tambahan menurut karakteristik, Sirkesnas tahun 2016 .............................................................99

Tabel 3.4.12 Prevalensi obesitas (IMT ≥ 25) pada dewasa usia > 18 tahun menurut kelompok umur dan jenis kelamin, Sirkesnas 2016 ................................... 106

Tabel 3.4.13 Persentase anemia ibu hamil berdasarkan karakteristik tempat tinggal, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 108

Tabel 3.4.14 Persentase anemia ibu hamil menurut jenis anemia berdasarkan karakteristik tempat tinggal, Sirkesnas 2016 .............................................. 109

Tabel 3.5.1 Persentase puskesmas yang melaksanakan komponen kesehatan kerja berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ........................................ 114

Tabel 3.5.2 Persentase puskesmas yang memiliki Standard Operating Procedure (SOP) berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016 ............................................... 115

Tabel 3.5.3 Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di ruang KIA berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ............................ 116

Tabel 3.5.4 Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di ruang tindakan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 .................................. 117

Page 13: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xiii

Tabel 3.5.5 Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di seluruh ruang pelayanan dan di dua ruang (KIA dan tindakan) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ..................................................................... 117

Tabel 3.5.6 Persentase puskesmas yang memiliki media KIE dan rambu/petunjuk K3 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 .................. 118

Tabel 3.5.7 Persentase puskesmas yang mengidentifikasi faktor risiko ruang kerja, Sirkesnas 2016 ...................................................................... 119

Tabel 3.5.8 Persentase puskesmas menurut pelaksanaan mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ...... 120

Tabel 3.5.9 Persentase puskesmas menurut penggunaan alat pelindung diri berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ................................................ 120

Tabel 3.5.10 Persentase puskesmas menurut pemilahan sampah medis dan non medis berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ............................... 121

Tabel 3.5.11 Persentase puskesmas menurut sterilisasi alat medis rutin berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ................................................ 122

Tabel 3.5.12 Persentase puskesmas menurut kegiatan sanitasi ruangan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ................................................ 122

Tabel 3.5.13 Persentase puskesmas menurut pelaksanaan K3 internal di puskesmas berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ............................. 123

Tabel 3.5.14 Persentase puskesmas yang melaksanakan penyuluhan K3 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ................................................ 124

Tabel 3.5.15 Persentase puskesmas yang melakukan deteksi dini penyakit pada pekerja berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ........................... 124

Tabel 3.5.16 Persentase puskesmas yang melakukan pencatatan jenis pekerjaan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ................................ 125

Tabel 3.5.17 Persentase puskesmas yang melakukan pembinaan Pos UKK berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ................................................ 125

Tabel 3.5.18 Persentase puskesmas berdasarkan pelaksanaan layanan K3, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 126

Tabel 3.5.19 Persentase puskesmas berdasarkan K3 internal minimal dan layanan K3 minimal, Sirkesnas 2016 .................................................. 127

Tabel 3.5.20 Persentase puskesmas menurut pelaksanaan K3 internal dan layanan K3 di 400 puskesmas berdasarkan karakteristik puskesmas, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 127

Tabel 3.5.21 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmas di wilayahnya berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016 ................. 128

Tabel 3.5.22 Persentase puskesmas yang melaksanakan komponen kesehatan olahraga, Sirkesnas 2016 .......................................................................... 133

Tabel 3.5.23 Persentase puskesmas berdasarkan penyuluhan masyarakat dan pendataan kelompok olahraga, Sirkesnas 2016 ................................. 134

Tabel 3.5.24 Persentase puskesmas berdasarkan pelayanan kesehatan olahraga, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 135

Tabel 3.5.25 Persentase puskesmas berdasarkan indikator kesehatan olahraga, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 135

Tabel 3.5.26 Persentase puskesmas berdasarkan indikator kesehatan olahraga di 400 puskesmas, Sirkesnas 2016 ........................................................... 136

Page 14: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xiv

Tabel 3.5.27 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmas berdasarkan lokasi dinas kesehatan, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 136

Tabel 3.6.1 Persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan menurut data dinas kesehatan kabupaten/kota, Sirkesnas 2016 ..................................... 139

Tabel 3.7.1 Persentase bayi usia 0-11 bulan yang memperoleh imunisasi dasar lengkap berdasarkan karakteristik imunisasi, Sirkesnas 2016. .................. 142

Tabel 3.7.2 Persentase imunisasi bayi usia 0-11 bulan yang tidak lengkap menurut catatan yang dimiliki responden berdasarkan jenis imunisasi, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 145

Tabel 3.7.3 Persentase imunisasi bayi usia 12-23 bulan yang tidak lengkap menurut ingatan responden berdasarkan jenis imunisasi, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 146

Tabel 3.7.4 Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap berdasarkan karakteristik responden, Sirkesnas 2016 ................. 147

Tabel 3.7.5 Persentase dinas kesehatan yang melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan HbsAG, Sirkesnas 2016 ....................................................... 149

Tabel 3.7.6 Persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya menjalankan program MTBS, Sirkesnas 2016 ................................................................ 152

Tabel 3.7.7 Persentase dinas kesehatan yang melaksanakan program MTBS pada 2015, Sirkesnas 2016 ....................................................................... 152

Tabel 3.7.8 Persentase dinas kesehatan kabupaten/kota yang telah melakukan pengendalian vektor terpadu berdasarkan karakteristik tahun 2015, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 154

Tabel 3.7.9 Persentase dinas kesehatan yang melakukan pengendalian penyakit tular vektor berdasarkan jenis penyakit pada tahun 2015, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 155

Tabel 3.7.10 Pelaksanaan program pengendalian penyakit tular vektor menurut data dinas kesehatan kabupaten/kota tahun 2014 dan 2015, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 155

Tabel 3.7.11 Proporsi dinas kesehatan kabupaten/kota menurut ketersediaan elemen kunci penunjang strategi manajemen pengendalian vektor terpadu berdasarkan karakteristik dinas kesehatan tahun 2015, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 157

Tabel 3.8.1 Persentase desa/kelurahan melaksanakan posbindu PTM di Indonesia, Sirkesnas 2016 ..................................................................... 158

Tabel 3.8.2 Proporsi puskesmas yang mempunyai posbindu PTM, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 158

Tabel 3.8.3 Proporsi Puskesmas yang mempunyai Posbindu PTM aktif, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 159

Tabel 3.8.4 Persentase puskesmas yang memiliki ≥10 persen desa melaksanakan pengendalian PTM berdasarkan lokasi dan jenis puskesmas, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 160

Tabel 3.8.5 Persentase puskesmas melaksanakan pelayanan PTM terpadu berdasarkan lokasi dan jenis puskesmas, Sirkesnas 2016 ........................ 160

Tabel 3.8.6 Perempuan umur ≥20 tahun yang melakukan deteksi dini kanker payudara dengan Sadari dan Sadanis berdasarkan tempat tinggal*), Sirkesnas 2016.......................................................................................... 162

Page 15: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xv

Tabel 3.8.7 Proporsi perempuan umur ≥ 20 tahun yang melakukan deteksi dini kanker serviks dengan IVA atau pap smear berdasarkan tempat tinggal*), Sirkesnas 2016.......................................................................................... 163

Tabel 3.8.8 Proporsi perempuan umur 30-50 tahun yang pernah melakukan deteksi dini kanker payudara dan serviks berdasarkan tempat tinggal, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 164

Tabel 3.8.9 Proporsi perempuan umur 30-50 tahun yang pernah melakukan pemeriksaan Sadanis, IVA untuk deteksi dini berdasarkan tempat tinggal, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 164

Tabel 3.8.10 Proporsi kabupaten/kota yang sudah mempunyai program pemeriksaan kesehatan pengemudi berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 165

Tabel 3.8.11 Persentase (%) sekolah yang menerapkan peraturan KTR

berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016 .......................................................... 167

Tabel 3.8.12 Prevalensi merokok pada populasi umur 10–18 tahun berdasarkan jenis kelamin, Sirkesnas 2016 ................................................................... 168

Tabel 3.9.1 Puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ............................... 172

Tabel 3.9.2 Puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional yang memenuhi salah satu kriteria indikator berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ..................................................................... 173

Tabel 3.9.3 Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang memiliki SDM sudah dilatih pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 173

Tabel 3.9.4 Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang sudah menjalankan kegiatan asuhan mandiri bidang kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ............................................... 174

Tabel 3.10.1 Pelayanan kefarmasian sesuai standar di puskesmas (pemberian informasi obat dan konseling) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 185

Tabel 3.10.2 Persentase puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar (informasi atau konseling) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 187

Tabel 3.10.3 Persentase puskesmas yang melakukan Pemberian Informasi Obat Terdokumentasi berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ............. 188

Tabel 3.10.4 Persentase puskesmas yang melakukan kegiatan pemberian minimal 4 jenis informasi obat berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016.......................................................................................... 189

Tabel 3.10.5 Puskesmas yang melakukan pelayanan konseling terdokumentasi berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016 ................................................ 190

Tabel 3.10.6 Jumlah puskesmas yang membuat laporan dan dilakukan perhitungan POR, Sirkesnas 2016 ........................................................... 194

Tabel 3.10.7 Jumlah dan persentase puskesmas yang dihitung POR berdasarkan kriteria puskesmas, Sirkesnas 2016 ...................................... 194

Page 16: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.5.1 Tahapan pembangunan dan arahan kebijakan RPJPN 2005-2025 ... 4

Gambar 1.5.2 Kerangka evaluasi RPJMN 2015-2019 .............................................. 5

Gambar 1.5.3 Keterkaitan program/kegiatan antar dokumen perencanaan ............. 5

Gambar 1.5.4 Kerangka konsep Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 ................................................................................................................. 6

Gambar 2.2.1 Perbedaan antara kondisi sampel saat Sensus Penduduk 2010 dengan kondisi saat Sirkesnas dilakukan ........................................................16

Gambar 3.2.1 Alur analisis data hasil survei komunitas indikator kesehatan ibu, Sirkesnas 2016 ................................................................................................34

Gambar 3.2.2 Capaian indikator pelayanan ibu hamil K1, K1 ideal dan K4 menurut hasil Sirkesnas 2016 dibandingkan Riskesdas 2013 ........................................38

Gambar 3.2.3 Persentase perempuan 10-54 tahun pernah melahirkan menurut alasan tidak melakukan ANC*), Sirkesnas 2016 ..............................................39

Gambar 3.2.4 Persentase ibu yang melakukan ANC menurut jenis tenaga kesehatan pelayanan kesehatan .....................................................................40

Gambar 3.2.5 Persentase ibu yang melakukan ANC menurut jenis fasilitas pelayanan kesehatan .......................................................................................40

Gambar 3.2.6 Persentase ibu menerima pelayanan kesehatan saat hamil anak terakhir menurut komponen ANC, Sirkesnas 2016 ..........................................41

Gambar 3.2.8 Persentase keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil menurut laporan ibu saat hamil anak terakhir, Sirkesnas 2016 ...................................................45

Gambar 3.2.9 Persentase keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil menurut frekuensi, Sirkesnas 2016 ................................................................................................45

Gambar 3.2.10 Persentase puskesmas yang pernah melakukan orientasi P4K .....48

Gambar 3.2.11 Persentase puskesmas yang melaksanakan Orientasi P4K, Sirkesnas 2016 ................................................................................................48

Gambar 3.2.12 Observasi stiker pada rumah responden, Sirkesnas 2016 ..............50

Gambar 3.2.13 Persentase penolong persalinan, Sirkesnas 2016* ........................51

Gambar 3.2.14 Persentase persalinan menurut tempat bersalinan, Sirkesnas 2016* ..............................................................................................51

Gambar 3.3.1 Indikator kesehatan anak, Sirkesnas 2016 .......................................57

Gambar 3.3.2 Algoritma balita dengan riwayat berat badan dan panjang badan lahir rendah ...........................................................................................58

Gambar 3.3.3 Algoritma kunjungan neonatal pada balita ........................................61

Gambar 3.3.4 Algoritma penjaringan peserta didik ...................................................70

Gambar 3.3.5 Persentase penjaringan peserta didik kelas 1 menurut jumlah kegiatan, ..........................................................................................................73

Gambar 3.3.6 Persentase penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 menurut jumlah kegiatan, Sirkesnas 2016 .....................................................................75

Gambar 3.3.7 Persentase puskesmas tidak melaksanakan program PKPR dan alasannya, Sirkesnas 2016 ..............................................................................78

Gambar 3.4.1 Algoritma sampel bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) .........................................................................................80

Gambar 3.4.2 Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) ..80

Page 17: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xvii

Gambar 3.4.3 Algoritma sampel anak usia 0-23 bulan yang mendapat ASI Eksklusif ....................................................................................................83

Gambar 3.4.4 Persentase bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan hanya mendapat ASI Eksklusif ...................................................................................84

Gambar 3.4.5 Algoritma sampel balita yang mendapat PMT pada tahun 2015 .......87

Gambar 3.4.6 Persentase balita yang mendapat PMT ............................................88

Gambar 3.4.7 Algoritma sampel Balita yang mendapat PMT tahun 2015 berdasarkan hasil pengukuran Status Gizi tahun 2016 ....................................90

Gambar 3.4.8 Persentase Balita Kurus hasil pengukuran Status Gizi tahun 2016 yang mendapat PMT pada tahun 2015 ............................................................91

Gambar 3.4.9 Persentase remaja puteri mendapat TTD .........................................92

Gambar 3.4.10 Algoritma sampel ibu hamil yang mendapat TTD selama kehamilan, Sirkesnas 2016 .................................................................94

Gambar 3.4.11 Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli suplemen tambah darah selama kehamilan, Sirkesnas 2016 ..........................................95

Gambar 3.4.12 Algoritma ibu hamil yang mendapat PMT pada Tahun 2015 ..........98

Gambar 3.4.13 Persentase ibu hamil yang mendapat PMT pada Tahun 2015 .......99

Gambar 3.4.14 Algoritma perempuan dengan risiko KEK (tahun 2016) yang mendapat PMT pada Tahun 2015 ................................................................. 100

Gambar 3.4.15 Persentase Perempuan dengan risiko KEK di tahun 2016 yang mendapat PMT pada tahun 2015 .......................................................... 101

Gambar 3.4.16 Algoritma sampel penilaian status gizi .......................................... 101

Gambar 3.4.17 Perbandingan status gizi balita menurut indeks BB/U .................. 103

Gambar 3.4.18 Perbandingan status gizi Anak balita menurut indeks TB/U .......... 104

Gambar 3.4.19 Perbandingan status gizi anak baduta menurut indeks TB/U ........ 104

Gambar 3.4.20 Perbandingan Status Gizi Anak Balita menurut indeks BB/TB ...... 105

Gambar 3.4.21 Persentase status gizi lebih dan Obese pada dewasa usia > 18 tahun .............................................................................................. 106

Gambar 3.4.22 Persentase kegemukan (IMT ≥ 25) pada dewasa usia > 18 tahun menurut tempat tinggal dan jenis kelamin ............................ 107

Gambar 3.4.23 Prevalensi Anemia pada Ibu Hamil menurut tempat tinggal ......... 108

Gambar 3.5.1 Algoritma Komponen Kesehatan Kerja ........................................... 110

Gambar 3.5.2 Algoritma Layanan Kesehatan Kerja .............................................. 111

Gambar 3.5.3 Algoritma indikator kesehatan kerja ................................................ 111

Gambar 3.5.4 Algoritma kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmasnya ............................................................................................... 112

Gambar 3.5.5 Algoritma komponen kesehatan olahraga ...................................... 129

Gambar 3.5.6 Algoritma Pembinaan Kesehatan Olahraga .................................... 129

Gambar 3.5.7 Algoritma Pelayanan Kesehatan Olahraga ..................................... 130

Gambar 3.5.8 Algoritma Indikator Kesehatan Olahraga ........................................ 130

Gambar 3.5.9 Algoritma Kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmasnya ........................................................... 131

Gambar 3.6.1 Persentase tempat pengelolaan makanan yang sudah memenuhi syarat kesehatan, Sirkesnas 2016 ................................................ 138

Gambar 3.7.1 Algoritma imunisasi dasar lengkap bayi 0-11 bulan, Sirkesnas 2016 .............................................................................................. 141

Page 18: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xviii

Gambar 3.7.2 Algoritma imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan menurut kabupaten/kota, Sirkesnas 2016 .................................................................... 141

Gambar 3.7.3 Kecenderungan persentase imunisasi dasar lengkap pada anak usia 0-11 bulan menurut hasil Riskesdas dan Sirkesnas. .............................. 143

Gambar 3.7.4 Persentase capaian imunisasi dasar lengkap kabupaten/kota ........ 143

Gambar 3.7.5 Proporsi dinas kesehatan kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini Hepatitis B menggunakan HbsAG, Sirkesnas 2016..................... 148

Gambar 3.7.6 Proporsi kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG tahun 2015, Sirkesnas 2016 ..................... 149

Gambar 3.7.7 Algoritma dinas kesehatan dengan 50% puskesmas sudah menjalankan MTBS, Sirkesnas 2016 ............................................................. 151

Gambar 3.7.8 Algoritma pengendalian vektor terpadu menurut jenis penyakit tular vektor, Sirkesnas 2016 .......................................................................... 153

Gambar 3.8.1 Prevalensi merokok pada populasi umur 10–18 tahun pada .......... 168

Gambar 3.8.2 Algoritma sampel responden hipertensi umur ≥18 tahun berdasarkan diagnosis nakes dan pengukuran serta kepatuhan minum obat, Sirkesnas 2016 ......................................................................... 169

Gambar 3.8.3 Kecenderungan hipertensi berdasarkan pengukuran*, diagnosis nakes** dan kepatuhan minum obat**, Riskesdas 2007 dan 2013, Sirkesnas 2016 ................................................... 170

Gambar 3.8.4 Prevalensi responden yang minum obat pada yang didiagnosis hipertensi oleh nakes, Sirkesnas 2016 ........................................................... 171

Gambar 3.10.1 Persentase ketersediaan item obat dan vaksin indikator di puskesmas dan dinkes, Sirkesnas 2016 ........................................................ 176

Gambar 3.10.2 Persentase ketersediaan item obat dan vaksin indikator di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas 2016 .............................................................................................. 177

Gambar 3.10.3 Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015, Sirkesnas 2016 ............................................................ 178

Gambar 3.10.4 Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015 di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas 2016 ............................................ 179

Gambar 3.10.5 Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016, Sirkesnas 2016 ............................................................ 180

Gambar 3.10.6 Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016 di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas 2016 ............................................ 181

Gambar 3.10.7 Persentase dinkes kabupaten/kota menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015, Sirkesnas 2016 .......................................... 182

Gambar 3.10.8 Persentase dinas kesehatan kabupaten/kota menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016, Sirkesnas 2016 ............. 183

Gambar 3.10.9 Target dan capaian indikator POR, Sirkesnas 2016 ..................... 192

Gambar 3.10.10 Persentase puskesmas yang membuat laporan POR dan tidak membuat laporan, Sirkesnas 2016 ................................................. 192

Gambar 3.10.11 Persentase puskesmas menurut alasan tidak membuat laporan POR, ................................................................................................. 193

Gambar 3.10.12 Alur pengumpulan data POR, Sirkesnas 2016 ........................... 195

Page 19: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xix

Gambar 3.10.13 Persentase antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non pneumonia, .................................................................................................... 196

Gambar 3.10.14 Persentase antibiotik pada penatalaksanaan kasus diare non spesifik, ......................................................................................................... 197

Gambar 3.10.15 Persentase injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia, Sirkesnas 2016 .............................................................................................. 197

Gambar 3.10.16 Jumlah rerata item obat per lembar resep, Sirkesnas 2016 ........ 198

Gambar 3.10.17 Persentase POR di puskesmas, Sirkesnas 2016 ....................... 199

Gambar 3.10.18 Persentase puskesmas yang memenuhi kriteria POR, Sirkesnas 2016 .............................................................................................. 200

Page 20: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xx

DAFTAR SINGKATAN

ANC : Antenatal Care

APN : Asuhan Persalinan Normal

ASI : Air Susu Ibu

Balita : Bawah Lima Tahun

Battra : Pengobat Tradisional

BBLR : Berat Badan Lahir Rendah

BCG : Bacille Calmete Guerin

Bimtek : Bimbingan Teknis

Binfar : Bina Farmasi

BLU : Badan Layanan Umum

BOK : Bantuan Operasional Kesehatan

BS : Blok Sensus

DIII : Diploma-3

D-IV : Diploma-4

DBD : Demam Berdarah Dengue

DHF : Dengue Hemorrhagic Fever

Dinkes : Dinas Kesehatan

Ditjen : Direktorat Jenderal

DPT : Difteri Pertusis Tetanus

DTP : Dengan Tempat Perawatan

Email : Electronic Mail

FR-PTM : Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Gakin : Keluarga Miskin

Hattra : Penyehat Tradisional

HB : Hepatitis B

HP : Handphone

IMD : Inisiasi Menyusu Dini

IPRT : Industri Pangan Rumah Tangga

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Page 21: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xxi

IUD : Intrauterine Device

Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah

Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat

Jampersal : Jaminan Persalinan

Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Juklak : Petunjuk Pelaksanaan

Juknis : Petunjuk Teknis

KB : Keluarga Berencana

Kemenkes : Kementerian Kesehatan

Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan

Kesling : Kesehatan Lingkungan

Kesmas : Kesehatan Masyarakat

KN : Kunjungan Neonatus

Keswa : Kesehatan Jiwa

KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

KIPI : Kejadian Ikutan Paska Imunisasi

KLB : Kejadian Luar Biasa

KMS : Kartu Menuju Sehat

Korwil : Koordinator Wilayah

KTA : Kekerasan Terhadap Anak

Lansia : Lanjut Usia

LB : Laporan Bulanan

Lokmin : Lokakarya Mini

LP LPO : Laporan Penerimaan dan Lembar Permintaan Obat

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

Monev : Monitoring dan Evaluasi

MP ASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu

MTBM : Manajemen Terpadu Bayi Muda

MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

Ormas : Organisasi Massa

P2M : Pengendalian Penyakit Menular

P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi

Page 22: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xxii

PA : Pembantu Administrasi

PAH : Penampungan Air Hujan

PAM : Perusahaan Air Minum

PE : Penyelidikan Epidemiologis

Perkesmas : Perawatan Kesehatan Masyarakat

Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan

PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

PHN : Public Health Nursing

PJO : Penanggungjawab Operasional

PJT : Penanggungjawab Teknis

PKPR : Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja

PLN : Perusahaan Listrik Negara

PMT : Pemberian Makanan Tambahan

PMK : Pengembangan Manajemen Kinerja

PNS : Pegawai Negeri Sipil

POA : Plan of Action

POD : Pos Obat Desa

Podes : Potensi Desa

Polindes : Pondok Bersalin Desa

PONED : Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Dasar

PONEK : Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Komprehensif

Posbindu : Pos Pembinaan Terpadu

Poskesdes : Pos Kesehatan Desa

Poskestren : Pos Kesehatan Pesantren

Pos UKK : Pos Upaya Kesehatan Kerja

Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Promkes : Promosi Kesehatan

Protap : Prosedur Tetap

PTT : Pegawai Tidak Tetap

PUS : Pasangan Usia Subur

Pusdatin : Pusat Data dan Informasi

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

Pusling : Puskesmas Keliling

Pustu : Puskesmas Pembantu

PWS : Pemantauan Wilayah Setempat

Renstra : Rencana Strategis

Rifaskes : Riset Fasilitas Kesehatan

Page 23: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xxiii

Rikhus : Riset Khusus

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RPK : Rencana Pelaksanaan Kegiatan

RS : Rumah Sakit

RUK : Rencana Usulan Kegiatan

RW : Rukun Warga

S1 Kes : Sarjana Strata-1 Kesehatan

S2 Kes : Sarjana Strata-2 Kesehatan

SAA : Sekolah Asisten Apoteker

SBH : Saka Bhakti Husada

SD : Sekolah Dasar

SDM : Sumber Daya Manusia

SDIDTK : Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang

SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional

SIMPUS : Sistem Manajemen Puskesmas

SK : Surat Keputusan

SKp : Sarjana Keperawatan

SLE : Sistemik Lupus Eritemasus

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SMD : Survei Mawas Diri

SMU : Sekolah Menengah Umum

SOP : Standard Operational Procedures

SP2TP : Sistem Pencatatan dan PelaporanTerpadu Puskesmas

SPAG : Sekolah Pembantu Ahli Gizi

SPAL : Sistem Pembuangan Air Limbah

SPK : Sekolah Perawat Kesehatan

SPM : Standar Pelayanan Minimal

SPM-BK : Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

SPPH : Sekolah Pembantu Penilik Hygiene

SPR : Sekolah Pengatur Rawat

SPRG : Sekolah Pengatur Rawat Gigi

SPTP : Surat Tanda Penyehat Tradisional

Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional

Tb : Tuberkulosis

THT : Telinga, Hidung, Tenggorokan

TOGA : Taman Obat Keluarga

Page 24: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

xxiv

TPA : Tempat Pemrosesan Akhir

TPM : Tempat Pengelolaan Makanan/Minuman

TT : Tetanus Toksoid

TTU : Tempat-tempat Umum

UCI : Universal Child Immunization

UKBM : Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat

UKGS : Usaha Kesehatan Gigi Sekolah

UKK : Usaha Kesehatan Kerja

UKS : Usaha Kesehatan Sekolah

UKP : Upaya Kesehatan Pengembangan

UKW : Upaya Kesehatan Wajib

USG : Ultrasonografi

Usila : Usia Lanjut

UU : Undang-Undang

VCCM : Vaccine Cold Chain Monitor

VCT : Voluntary Counseling and Testing

Vit-A : Vitamin A

VVM : Vaccine Vial Monitor

WOD : Warung Obat Desa

Yankes : Pelayanan Kesehatan

Yankespro : Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Yankestrad : Pelayanan Kesehatan Tradisional

Page 25: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Undang-undang No 17 tahun 2007 menjabarkan tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025, sebagai upaya mewujudkan tujuan negara yang dilakukan secara bertahap. Tahapan pembangunan jangka panjang tersebut dirinci ke dalam 4 (empat) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada saat ini, Indonesia memasuki RPJMN yang ke-tiga (2015-2019). Sebagai operasionalisasi pelaksanaan dari RPJMN tersebut disusun rencana strategis (Renstra) dari masing-masing kementerian.

Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan menyusun Rencana Strategis (Renstra) di bidang kesehatan, yang berisi upaya-upaya pembangunan kesehatan yang dijabarkan dalam bentuk program atau kegiatan, indikator, target, hingga pendanaan dan kerangka regulasinya. Renstra di bidang kesehatan ini menjadi dasar dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia. Renstra disusun untuk periode lima tahunan, dengan melibatkan seluruh stakeholders jajaran kesehatan baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk dukungan lintas sektor dan dunia usaha (Kemenkes, 2015).

Memasuki awal RPJMN dan Renstra ke-tiga (2015-2019), maka pada tahun 2016 diperlukan data yang dapat dijadikan dasar pemantauan pencapaian target indikator yang telah ditetapkan. Pemantauan terhadap pencapaian indikator pembangunan kesehatan dapat dilakukan baik melalui data rutin, pelaporan program atau melalui survei khusus. Pemantauan dilakukan untuk dapat melakukan koreksi terhadap program.

Target indikator yang harus dicapai dalam Renstra 2015-2019 sejumlah 174 indikator dan dalam RPJMN 2015-2019 sebanyak 28 indikator, sehingga total terdapat 202 indikator kesehatan di dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019, namun ada 7 indikator yang sama sehingga total indikator yang harus diukur dan dipantau sebanyak 195 indikator. Dari 195 indikator tersebut, tidak semua data capaian indikator harus diperoleh melalui survei, karena sebagian besar data capaian indikator diperoleh melalui laporan pusat serta pencatatan dan pelaporan rutin. Dari beberapa kali hasil pertemuan bersama dengan lintas program di Kemenkes, akhirnya diputuskan bahwa terdapat 36 indikator yang datanya diperoleh melalui survei khusus.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan merupakan unit Eselon I di lingkungan Kemenkes, dengan salah satu misinya adalah menghasilkan data dan informasi sebagai opsi kebijakan dan perbaikan program, memiliki kapasitas melakukan survei khusus untuk dapat menyediakan data dan informasi

pencapaian target indikator kinerja Kemenkes, dimana di tahun 2016 dilihat target pencapaian dari 36 indikator kesehatan.

Page 26: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

2

1.2 Tujuan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

Secara umum tujuan dari Sirkesnas adalah mengetahui capaian indikator Renstra Kemenkes tahun 2015-2019 yang tidak terdapat dalam laporan pusat, pencatatan dan pelaporan rutin, serta capaian indikator RPJMN bidang kesehatan tahun 2015-2019, dimana keduanya dilihat secara lingkup nasional.

1.3 Ruang lingkup Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 dilakukan dalam rangka menyediakan data ke-36 indikator yang sebaiknya didapat melalui survei. Ketiga puluh enam indikator tersebut menggambarkan pencapaian indikator di tingkat kabupaten/kota, puskesmas dan masyarakat, sehingga pengumpulan data dilakukan dengan berbasis data fasilitas kesehatan (Facillity Based) dan berbasis data masyarakat (Community Based). Untuk dapat memberikan gambaran pelaksanaan Renstra secara utuh, maka sebagian besar data pencapaian atau cakupan program atau kegiatan yang diambil adalah data tahun 2015. Sesuai dengan tujuan dari survei ini adalah untuk melihat capaian program tahun pertama pelaksanaan RPJMN ke-tiga, maka pengumpulan dan analisis data dilakukan secepat mungkin untuk dapat memberikan koreksi terhadap kegiatan yang dilakukan. Jumlah sampel yang dikumpulkan dalam Sirkesnas 2016 ini hanya dapat menggambarkan capaian indikator tingkat nasional, dan tidak dapat menggambarkan pencapaian di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

1.4 Indikator yang diukur

Terdapat 36 indikator yang disurvei dalam Sirkesnas 2016, baik di tingkat fasilitas (dinas kesehatan kabupaten/kota dan puskesmas) maupun komunitas (rumah tangga dan individu), dimana 30 indikator berasal dari Renstra dan 6 indikator dari RPJMN. Indikator yang disurvei dalam Sirkesnas 2016 adalah indikator yang terdapat dalam struktur organisasi Kemenkes sebelum adanya Restruktur Organisasi tahun 2016. Dari 36 indikator tersebut, 22 indikator berasal dari Ditjen GKIA, 11 indikator dari Ditjen. P2PL dan 3 indikator dari Ditjen. Binfar dan Alat Kesehatan. Adapun penjabaran dari masing-masing indikator dapat dilihat pada tabel 1.4.1 dan tabel 1.4.2 di bawah ini.

Tabel 1.4.1

Indikator Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dan unit instansi, Sirkesnas 2016

No INDIKATOR

1. DITJEN BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK 1.1. Direktorat Bina Kesehatan Ibu a. Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil b. Persentase Puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) c. Persentase ibu hamil yang mendapat pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) d. Persentase Persalinan di fasyankes

1.2. Direktorat Bina Kesehatan Anak a. Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) b. Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 c. Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 & 10 d. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja

1.3. Direktorat Bina Gizi

Page 27: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

3

No INDIKATOR

a. Persentase bayi baru lahir mendapat IMD b. Persentase bayi kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif c. Persentase remaja puteri yang mendapat TTD d. Persentase ibu hamil yang mendapat TTD e. Persentase ibu hamil KEK yang mendapat makanan tambahan f. Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan

1.4. Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga a. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar b. Persentase Puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok

masyarakat di wilayah kerjanya

1.5. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Komplementer a. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan tradisional

2. DITJEN PENGENDALIAN PENYAKIT & PENYEHATAN LINGKUNGAN 2.1 Direktorat Simkarkesma a. Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap

2.2. Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung a. Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini Hepatitis B pada kelompok

berisiko b. Persentase Kab/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan pemeriksaan & tatalaksana

Pneumonia melalui pendekatan MTBS

2.3. Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang a. Persentase Kab/Kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu.

2.4. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular a. Persentase Puskesmas yang melaksanakan pengendalian PTM terpadu. b. Persentase perempuan usia 30-50 tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara c. Persentase Kab/Kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama d. Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia < 18 tahun e. Persentase Kab/Kota yang menerapkan KTR di tempat pendidikan

2.5. Direktorat Penyehatan Lingkungan a. Persentase Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan

3. DITJEN BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN 3.1. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian a. Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar b. Persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas

3.2. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan a. Persentase ketersedian obat dan vaksin di Puskesmas

Tabel 1.4.2

Indikator RPJMN, Sirkesnas 2016

No INDIKATOR

1 Menurunnya prevalensi anemia pada ibu hamil (persen) 2 Menurunnya bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (persen) 3 Menurunnya prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita (persen) 4 Menurunnya prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) anak baduta (persen) 5 Prevalensi tekanan darah tinggi (persen) 6 Prevalensi berat badan lebih dan obesitas penduduk usia > 18 tahun

1.5 Kerangka dan alur pikir Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas)

2016

Undang-undang No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), menjabarkan bahwa pembangunan jangka panjang di

Page 28: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

4

Indonesia akan dicapai dalam 4 kali rencana pembangunan jangka menengah. Saat ini Indonesia memasuki tatanan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ke 3 yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015 – 2019.

Gambar 1.5.1

Tahapan pembangunan dan arahan kebijakan RPJPN 2005-2025 Sumber: Bappenas 2014

Hasil proyeksi penduduk menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami

bonus demografi dengan menurunnya angka ketergantungan sebesar 50,5% pada tahun 2010 dan akan terus menurun pada titik terendah 46,9% pada tahun 2028 (BPS, 2013), sehingga kebijakan perlu disusun secara berkesinambungan dimulai dari RPJM 1 (2005 – 2009) hingga RPJM 4 (2020 – 2025). Pada gambar 1.5.1 terlihat bahwa pada RPJM 3 yang sekarang sedang dilakukan, difokuskan pada pemantapan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing secara kompetitif, berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk dapat mewujudkan rencana pembangunan tersebut diperlukan suatu sistem yang berkesinambungan. Dimulai dari telaah masalah yang harus ditangani, kemudian disusun indikator yang harus dicapai dalam mengatasi masalah tersebut. Untuk mempermudah pelaksanaan upaya mencapai indikator tersebut diperlukan adanya suatu rencana strategis dan rencana kerja yang tepat. Setelah rencana strategis dan rencana kerja dilaksanakan, dibutuhkan evaluasi agar dapat menilai apakah perencanaan yang telah disusun dapat dilaksanakan dengan baik, sesuai target, efisien dan efektif. Penilaian kinerja dapat diperoleh melalui laporan rutin, survei maupun penelitian khusus, sehingga didapatkan informasi kesesuaian antara target dan realisasi kinerja, untuk kemudian dilakukan perbaikan yang lebih efisien dan efektif dan dapat dipertahankan secara berkesinambungan.

Page 29: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

5

Gambar 1.5.2

Kerangka evaluasi RPJMN 2015-2019 Sumber: Bappenas 2014

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra), yang disusun oleh masing-masing kementerian atau lembaga, berdasarkan Peraturan Presiden selama periode pemerintahan terpilih sebagai wujud dukungan pencapaian prioritas presiden. RPJMN dan Renstra yang telah disusun akan diterjemahkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai dokumen perencanaan nasional, dan rencana kerja sebagai wujud pelaksanaan dari kebijakan masing-masing kementerian. Untuk lebih jelasnya keterkaitan antara RPJMN, Renstra, RKP dan Renja dapat dilihat pada gambar 1.5.3.

Gambar 1.5.3

Keterkaitan program/kegiatan antar dokumen perencanaan Sumber: Bappenas 2014

Page 30: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

6

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merupakan Institusi Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaran pembangunan kesehatan, untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, ditetapkan beberapa indikator yang harus dicapai. Dalam RPJMN 2015-2019 terdapat 28 Indikator dan dalam Renstra Kemenkes 2015-2019 terdapat 174 indikator, sehingga total terdapat 202 indikator. Terdapat 7 indikator yang ada baik di RPJMN dan juga di Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019, sehingga secara keseluruhan ada 195 indikator yang diharapkan dapat menjadi tolok ukur dalam mewujudkan Indonesia Sehat, dengan meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 1.5.4.

Indikator Renstra Indikator Kesehatan Kemenkes 2015-2019 RPJMN 2015-2019 (174 Indikator) (28 Indikator) Indikator Kesehatan Indikator Kesehatan Kemenkes 2015-2019 Kemenkes 2015-2019 (195 indikator) dipantau melalui laporan pusat (172 indikator) Indikator Kesehatan Indikator Kesehatan

SURVEI Kemenkes 2015-2019 Kemenkes 2015-2019

INDIKATOR Dipantau melalui survey dipantau melalui laporan rutin

(36 Indikator) (35 Indikator Pencapaian Indikator Kesehatan Kemenkes 2015-2019

PEN

GU

AT

AN

SISTEM P

ENC

ATA

TA

N D

AN

PELA

PO

RA

N

Gambar 1.5.4

Kerangka konsep Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

1.6 Pengorganisasian Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

Sirkesnas dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai pihak, diantaranya adalah Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penentuan dan penghitungan sampel, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (BPPSDMK) dalam perekrutan enumerator, dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengumpulan data, Tim pakar dari kalangan akademisi dan organisasi profesi. Dengan mempertimbangkan luasnya wilayah pengumpulan data dan kompleksnya pengorganisasian di lapangan maka proses dan prosedur kerja terbagi dalam 5 koordinator wilayah:

Page 31: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

7

1. Koordinator wilayah I : Tanggung jawab dipegang oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, yang meliputi Provinsi Aceh, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogjakarta, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan

2. Koordinator wilayah II : Tanggung jawab dipegang oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Banten dan Maluku

3. Koordinator wilayah III : Tanggung jawab dipegang oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan, yang meliputi Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua.

4. Koordinator wilayah IV : Tanggung jawab dipegang oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu, yang meliputi Provinsi Jambi, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat.

5. Koordinator wilayah V : Tanggung jawab dipegang oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga yang meliputi Provinsi Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Papua Barat.

1.7 Proses pelaksanaan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

1.7.1 Persiapan Survei Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 dimulai dengan

persiapan sejak tahun 2015, dengan penentuan Indikator yang akan dievaluasi. Pertemuan antara Badan Litbangkes, Biro Perencanaan dan Anggaran, Pusat Data dan Informasi, dan Pemangku Program lain dilakukan secara serial untuk menetapkan indikator yang akan dinilai melalui survei.

Setelah indikator tersusun kemudian dilakukan konsolidasi di dalam Badan Litbangkes untuk menentukan masing-masing indikator dikumpulkan pada tingkatan mana dengan sumber data apa dan siapa sasaran populasi target, agar seluruh indikator yang telah ditentukan dapat tergambarkan dengan baik. Setelah tingkatan pengumpulan data telah ditentukan dan siapa sasaran populasi target, kemudian dilakukan penghitungan sampel secara seksama dengan mempertimbangkan Margin of Error. Badan Litbangkes berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung besarnya sampel baik di tingkat masyarakat, puskesmas dan dinas kesehatan.

1.7.2 Penyusunan Instrumen Penyusunan instrumen dilakukan oleh masing-masing Blok (8 Blok) dengan

menterjemahkan indikator yang telah ditentukan kedalam pertanyaan yang dapat diukur. Adapun 8 blok tersebut adalah: Blok Ibu, Blok Anak, Blok Gizi, Blok Kesehatan Kerja dan Olah Raga, Blok Surveilans, Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra (Simkarkesma), Blok Penyakit Tidak Menular (PTM), Blok Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) dan Blok Farmasi. Secara umum pertanyaan terbagi dalam dua garis besar, pertanyaan utama yang berkaitan secara langsung dengan indikator yang akan diukur, dan pertanyaan tambahan merupakan pertanyaan yang secara tidak langsung berkaitan dengan indikator yang akan diukur.

Data dikumpulkan dengan menggunakan 4 instrumen yaitu: Kuesioner Individu, Kuesioner Rumah Tangga, Kuesioner Puskesmas dan Kuesioner Dinas

Page 32: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

8

Kesehatan. Pada Tabel 1.7.1 digambarkan pemetaan indikator berdasarkan basis pengumpulan data, unit analisa dan sumber data.

Tabel 1.7.1

Pemetaaan indikator berdasarkan basis pengumpulan data, unit analisa dan sumber data, Sirkesnas 2016

No Indikator Basis Unit Analisa Kuesioner Pertanyaan

DITJEN BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Direktorat Bina Kesehatan Ibu

1. Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF)

Komunitas Ibu pernah bersalin

Individu Blok E

E08-E16 Fasilitas Puskesmas Blok IV

16-18 2 Persentase ibu hamil yang

mendapatkan pelayanan antenatal min 4 kali (K4)

Komunitas Ibu pernah bersalin

Individu Blok E 17-27

3 Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil

Komunitas Ibu pernah bersalin

Individu Blok E 33-38

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 10-15

Dinkes Dinas Blok VII 11-13

4 Persentase Puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)

Komunitas Ibu pernah bersalin

Individu Blok E 39-46

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 4-9

Dinkes Dinas Blok VII 3-10

Direktorat Bina Kesehatan Anak

5 Menurunnya bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Komunitas Balita Individu Blok F

03-06 6 Persentase kunjungan neonatal

pertama (KN1) Komunitas Balita Individu Blok F

07-10 Fasilitas Puskesmas Blok IVB

03 7 Persentase Puskesmas yang

melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 1

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 08-12

8 Persentase Puskesmas yang Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IVB 13-15

9 Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IVB 19-30

Direktorat Bina Gizi

10 Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK)

Komunitas WUS Individu Blok G

G05 11 Menurunnya prevalensi anemia pada

ibu hamil (persen) Komunitas Ibu hamil Individu Blok G

G06-07 12 Persentase ibu hamil KEK yang

mendapat makanan tambahan Komunitas WUS Individu Blok E

57-67

Page 33: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

9

No Indikator Basis Unit Analisa Kuesioner Pertanyaan

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 10-17

13 Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)

Komunitas WUS Individu Blok E 28-32

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 18-22

14 Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI ekslusif

Komunitas Bayi 0-11 bulan Individu Blok F 19-30

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 18-22

15 Menurunnya prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita

Komunitas Balita Individu Blok G 1-2

16 Menurunnya prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta

Komunitas Baduta Individu Blok G 1-2

17 Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan

Komunitas Balita Individu Blok F 31-41

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 03-09

18 Persentase remaja putri yang mendapat TTD

Komunitas Remaja putri 12-18 tahun

Individu Blok D 1-5

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IV 23-31

19 Prevalensi Berat Badan Lebih dan Obesitas penduduk usia ≥18 tahun

Komunitas Sampel ≥ 18 tahun

Individu Blok G

Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olah Raga

20 Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok VIII 3-14

Dinas Dinas Blok V A 3-5

21 Persentase Puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IX 3-11

Dinas Dinas Blok V B 6-8

Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Koplementer

22 Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan tradisional

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok VII

3-14

Dinas Dinas Blok IV

3-32

DITJEN PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

Direktorat Simkarkesma

23 Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap

Komunitas Bayi 12-23 bulan

Individu Blok F

11-17 Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IVB

06-07 Dinas Dinas Blok VIB

3

Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung

24 Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B pada kelompok berisiko

Fasilitas Dinkes Kab/Kota

Dinas Blok VID

11-12

Page 34: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

10

No Indikator Basis Unit Analisa Kuesioner Pertanyaan

25 Persentase Kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana Pneumonia melalui pendekatan MTBS

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok IVB

04-05

Dinas Dinas Blok VI D

11-12

Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang

26 Persentase Kabupaten/Kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu

Fasilitas Dinkes Kab/Kota

Dinas Blok VI

3-10

Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular

27 Persentase Puskesmas yang melaksanakan pengendalian PTM terpadu

Fasilitas Puskesmas+Dinkes Kab/Kota

Puskesmas Blok VI

03-06

Dinas Blok VI E

6-9 28 Persentase perempuan usia 30-50

tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara

Komunitas WUS 30-50 tahun

Individu Blok C 05-20

Puskesmas Blok VI 7-14

29 Persentase Kabupaten/Kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama.

Fasilitas Dinkes Kab/Kota

Dinas Blok VI E 10-12

30 Persentase penurunan prevalensi merokok pada usia < 18 tahun

Komunitas Penduduk usia > 5 tahun

Individu Blok B 01-06

31 Persentase Kabupaten/Kota yang menerapkan KTR di tempat pendidikan

Fasilitas Dinkes Kab/Kota

Dinas Blok VI E 3-5

32 Prevalensi Tekanan Darah Tinggi Komunitas Sampel ≥15 tahun

Individu Blok G

Direktorat Penyehatan Lingkungan

33 Persentase Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) yang memenuhi syarat kesehatan

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok V

3-5

Dinas Blok VI A 3

DITJEN BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian

34 Persentase Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok X

1-15 Dinas Dinas Blok VIII

3 35 Persentase penggunaan obat

rasional di Puskesmas Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok X

1-15 Dinas Dinas Blok VIII

3

Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

36 Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas

Fasilitas Puskesmas Puskesmas Blok X

1-15 Dinas Dinas Blok VIII

3

Page 35: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

11

Setelah instrumen tersusun, selanjutnya dilakukan dua kali uji coba dan perbaikan agar apa yang ditanyakan dapat dimengerti oleh responden dan data yang dikumpulkan sesuai dengan indikator yang akan dievaluasi. Uji coba pertama dilakukan untuk melihat kesesuaian antara indikator dan pertanyaan, alur pertanyaan, serta tingkat kesulitan menjawab. Uji coba kedua dilakukan untuk melihat ketersediaan sumber data dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan wawancara. Hasil ujicoba dan draft terakhir instrumen disepakati bersama dengan program terkait melalui pertemuan koordinasi. 1.7.3 Persiapan Lapangan

Tahapan yang dilakukan sebelum pengumpulan data meliputi: 1. Rekrutmen PJT provinsi dan PJT Kabupaten/Kota 2. Workshop PJT provinsi dan kabupaten/kota, merupakan pendalaman materi

Sirkesnas yang ditujukan kepada PJT provinsi dan PJT kabupaten/kota yang akan memberikan pemahaman materi pada enumerator.

3. Rekrutmen enumerator 4. Sosialisasi Sirkesnas ke 34 provinsi, dengan tujuan untuk memberikan wacana

pada pemerintah daerah tentang survey Sirkesnas 2016 5. Workshop enumerator, merupakan kegiatan pendalaman materi Sirkesnas yang

ditujukan kepada enumerator, dilakukan oleh PJT provinsi dan PJT kabupaten.

Page 36: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

12

BAB 2 METODOLOGI

2.1 Disain survei

Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016 adalah survei yang dilakukan secara potong lintang. Pengumpulan data dilakukan baik di tingkat dinas kesehatan Kabupaten/Kota, di tingkat puskesmas dan di tingkat masyarakat. Disain dari Sirkesnas ditujukan untuk dapat menggambarkan pencapaian indikator yang telah disusun di tingkat nasional, sehingga diharapkan dapat membantu para pemegang kebijakan dalam melakukan evaluasi dan perbaikan program yang telah disusun apakah dapat mencapai target dan sasaran dengan tepat.

2.2 Populasi dan sampel

Populasi dari Sirkesnas 2016 ini adalah seluruh rumah tangga yang berada di Indonesia, sedangkan sampel adalah rumah tangga yang mempunyai anak 0 – 59 bulan (rumah tangga eligible) terpilih. Sampel Sirkesnas 2016 didesain untuk penyajian pada level nasional. Jumlah sampel yang ditetapkan memperhitungkan populasi target, prevalensi kejadian terhadap target populasi, proporsi target populasi terhadap populasi dan margin of error.

Tabel 2.2.1 Simulasi penghitungan besar sampel berdasarkan proporsi target dan besarnya

toleransi margin of error, Sirkesnas 2016

No

Indikator

Populasi Target

Prevalensi kejadian terhadap

target populasi

Proporsi target

populasi terhadap populasi

Jumlah Sampel Rumah Tangga Menurut Margin of Error

10%

15%

18%

20%

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (9) (10) (11)

1 Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF)

Perempuan 10-54 th

0,704 0,2744 1350 150 125 100

2 Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK)

Perempuan 10-54 th

0,242 0,2744 10050 1125 800 650

3 Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)

Perempuan 10-54 th

0,891 0,2744 400 50 50 25

4 Persentase bayi < 6 bulan yang mendapat ASI ekslusif (kategori 1)

Bayi 0,348 0,0185 39250 4375 3050 2475

5 Persentase bayi < 6 bulan yang mendapat ASI ekslusif (kategori 2)

Bayi 0,223 0,0185 165725 18425 12800 10375

6 Persentase bayi < 6 bulan yang mendapat ASI ekslusif (kategori 3)

Bayi 0,153 0,0185 263325 29275 20325 16475

7 Persentase balita kurus Balita 0,121 0,0954 67025 7450 5175 4200

8 Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)

Balita 0,713 0,0934 3725 425 300 250

9 Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4)

WUS 0,835 0,2744 650 75 50 50

Dengan mempertimbangkan proporsi target terkecil (persentase bayi < 6

bulan) diharapkan mendapatkan sampel terbesar. Berdasarkan penghitungan

Page 37: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

13

beberapa simulasi menggunakan Proporsi target populasi terhadap populasi pada bayi dibawah 6 bulan dan besarnya margin of error 18% maka diperoleh sampel terbesar adalah 20.325 rumah tangga. Untuk dapat menyajikan data pada level nasional pembulatan sampel dilakukan hingga 30.000 rumah tangga. Sampel sebanyak 30.000 rumah tangga yang tersebar pada 1.200 Blok Sensus (BS) dan 400 kecamatan terpilih di 34 provinsi seluruh Indonesia. 2.2.1. Metode Sampling Responden Individu dan Rumah Tangga Sirkesnas 2016

Penghitungan sampel dan penentuan lokasi penelitian dilakukan oleh BPS berdasarkan data Sensus Penduduk (SP) 2010. Primary Sampling Unit (PSU) adalah kecamatan yang dipilih secara Probability Proportional to Size (PPS) berdasarkan jumlah penduduk setiap kecamatan pada SP 2010. Jarak waktu berselang 6 tahun antara pelaksanaan Sirkesnas dan pelaksanaan Sensus Penduduk 2010 memungkinkan adanya perubahan data kependudukan. Oleh karena itu untuk mempermudah pengumpulan data di lapangan maka dilakukan updating data di Bulan November 2015. Pemutakhiran data (updating) bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan rumah tangga dan informasi keberadaan anak balita dalam rumah tangga. Sampel yang diambil dalam Sirkesnas ini adalah Keluarga Eligible yaitu keluarga yang memiliki anak berusia 0-59 bulan (Balita). Dari total 30.000 rumah tangga eligible akan terbagi kedalam 1.200 BS maka setiap BS diambil 25 rumah tangga eligible yang dipilih secara simple random sampling dari sejumlah rumah tangga eligible. Dalam Sirkesnas tidak disediakan sampel cadangan sehingga tim tidak dapat mengganti rumah tangga yang hilang, hal ini akan mempengaruhi respon rate dari perolehan sampel.

2.2.1.1. Kerangka Sampel

Penarikan sampel dilakukan independen, untuk tiap provinsi melalui tiga tahapan penarikan sebagai berikut:

Kerangka sampel pemilihan tahap pertama adalah daftar kecamatan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia yang dilengkapi informasi jumlah rumah tangga hasil SP2010. Jumlah primary sampling unit (PSU) yang terpilih adalah 400 kecamatan yang dipilih secara probability proportional to size (PPS) dengan jumlah rumah tangga hasil sensus penduduk (SP) 2010. PSU adalah gabungan dari beberapa blok sensus (BS) yang merupakan wilayah kerja tim pencacahan SP2010.

Kerangka sampel pemilihan tahap kedua adalah memilih 3 Blok Sensus (BS) di tiap kecamatan terpilih secara PPS dengan size jumlah rumah tangga. Sebelum dilakukan penarikan sampel, blok sensus terlebih dahulu diurutkan berdasarkan klasifikasi urban/rural sehingga akan menjamin keterwakilan secara proporsional daerah urban dan rural dalam sampel terpilih.

Kerangka sampel pemilihan tahap ketiga adalah memilih 25 rumah tangga secara sistematik dari rumah tangga hasil pemutakhiran yang mempunyai anggota rumah tangga usia balita. Pemutakhiran telah dilakukan oleh BPS pada bulan November 2015.

Pemutakhiran rumah tangga bertujuan untuk mendapatkan daftar rumah tangga eligible yang lengkap dan mutakhir yang selanjutnya digunakan untuk kerangka pemilihan sampel rumah tangga. Rumah tangga eligible dalam Sirkesnas adalah rumah tangga yang di dalamnya mempunyai anggota rumah tangga usia balita (0-4 tahun). Oleh karena itu, pada saat pemutakhiran selain mengidentifikasi

Page 38: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

14

keberadaan rumah tangga, juga menanyakan informasi keberadaan balita dalam rumah tangga-rumah tangga di blok sensus terpilih.

Pemutahiran data dimulai dengan melakukan listing rumah tangga diwilayah Blok Sensus (BS) terpilih, jumlah rumah tangga dalam 1 BS pada umumnya 80 hingga 100 rumah tangga (ruta). Format Daftar Pemutahiran Data Rumah Tangga seperti dibawah ini:

Pada daftar pemutahiran rumah tangga tersebut terdapat 8 kolom, kolom 1 hingga 6 merupakan indentitas setiap rumah tangga yang ada dibawah BS terpilih. Kolom 7 dan 8 merupakan kolom yang akan digunakan untuk dasar melakukan updating. Kolom 7 berisikan perubahan status keberadaan rumah tangga dari kondisi SP2010 hingga kahir tahun 2015. Dan kolom 8 berisikan status keberadaan balita dalam rumah tangga.

Ada 7 status perubahan keberadaan rumah tangga:

Kode 1: Ditemukan, adalah kondisi dimana nama kepala rumah tangga dan alamat pada saat pemutakhiran sama dengan nama kepala rumah tangga dan alamat pada saat pencacahan SP2010. Termasuk dalam kategori ini bila nama kepala rumah tangga berbeda karena nama yang tercantum adalah nama panggilan atau alias

Di isi kode 1 sampai dengan 7

Page 39: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

15

dan kesalahan dalam penulisan nama atau alamat dalam pencacahan SP2010 (Tuliskan nama yang sebenarnya)

Kode 2: Ganti Kepala Rumah Tangga, adalah kondisi dimana alamat pada saat pemutakhiran rumah tangga sama dengan alamat pada saat pencacahan SP2010, tetapi terjadi pergantian kepala rumah tangga karena kepala rumah tangga yang tercantum pada daftar ini telah pindah, meninggal, bercerai, atau sebab lain.

Kode 3: Pindah Dalam Blok Sensus, adalah kondisi dimana alamat pada saat pemutakhiran rumah tangga berbeda dengan alamat rumah tangga pada saat pencacahan SP2010 sedangkan nama kepala rumah tangga tetap sama.

Kode 4: Rumah Tangga Baru adalah kondisi dimana rumah tangga ditemukan pada saat pemutakhiran tetapi tidak tercantum dalam Daftar PEMUTAKHIRAN, pada umumnya adalah pada saat pencacahan SP2010 rumah tangga tersebut dicacah oleh petugas SP2010 di blok sensus lain tetapi pada saat pemutakhiran rumah tangga tersebut telah pindah ke blok sensus tersebut.

Kode 5: Pindah Keluar Blok Sensus adalah kondisi dimana rumah tangga yang tercatat pada Daftar PEMUTAKHIRAN tidak ditemukan pada saat pemutakhiran, dan setelah dikonfirmasikan dengan tetangga disekitarnya diperoleh informasi bahwa rumah tangga tersebut telah pindah tempat tinggal di luar blok sensus

Kode 6: Bergabung dengan Rumah Tangga Lain adalah kondisi dimana rumah tangga bergabung dengan rumah tangga lain, baik dalam blok sensus maupun di luar blok sensus.

Kode 7: Tidak Ditemukan adalah kondisi dimana kepala rumah tangga pada saat pemutakhiran tidak dapat ditemukan (setelah dikonfirmasikan dengan tetangga disekitarnya memang tidak dikenal).

Berikut ini adalah ilustrasi perubahan status keberadaan rumah tangga sampel:

Page 40: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

16

Gambar 2.2.5

Perbedaan antara kondisi sampel saat Sensus Penduduk 2010 dengan kondisi

saat Sirkesnas dilakukan

Contoh:

1. Rumah tangga Sunardi terdapat pada daftar PEMUTAKHIRAN. Pada saat pemutakhiran pada alamat tersebut, ternyata nama kepala rumah tangga yang benar adalah Suhardi. Maka nama kepala rumah tangga dicoret dan dituliskan nama yang benar, selanjutnya rumah tangga Suhardi dikatakan rumah tangga ditemukan (kode 1).

2. Hendrik Jamil meninggal dunia 2 bulan yang lalu. Pada saat pemutakhiran yang tinggal di rumah (alm) Hendrik Jamil adalah isterinya, Intan Itsnaini dan kedua anak laki-lakinya yang masih bersekolah di jenjang SMP dan SD. Maka rumah tangga Hendrik Jamil dikatakan sebagai rumah tangga ganti kepala rumah tangga (kode 2).

3. Yulianti tinggal bersama kedua anak laki-lakinya. Setahun yang lalu ia berpisah/ bercerai dengan suaminya yang bernama Mustofa, kemudian Mustofa pindah ke luar kota. Maka pada saat pemutakhiran nama kepala rumah tangga “Mustofa” di daftar PEMUTAKHIRAN dicoret dan dituliskan nama kepala rumah tangga sekarang “Yulianti”, selanjutnya rumah tangga Yulianti dikatakan sebagai rumah tangga ganti kepala rumah tangga (kode 2).

4. Rumah tangga Budi Akbar pindah rumah (hal ini ditandai dengan keberadaan tetangga pak Budi Akbar berbeda antara di pre-printed dengan kondisi lapangan) tetapi masih berada di blok sensus yang sama. Dia sehari-hari tinggal bersama isteri, seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuannya. Maka rumah tangga Budi Akbar dikatakan sebagai rumah tangga pindah dalam blok sensus (kode 3).

5. Blok sensus 001B terdiri dari 2 SLS, yaitu RT001/RW001 dan RT002/RW001. Setelah SP2010 Rumah tangga Supriadi pindah menempati rumah barunya

Page 41: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

17

dari RT001/RW001 ke RT002/RW001. Maka rumah tangga Supriadi dikatakan sebagai rumah tangga pindah dalam blok sensus (kode 3).

6. Rumah tangga Sosro pada SP2010 terdiri dari Sosro (suami), Suswati (isteri), serta anak kandung: Suradi, Sutari, dan Sutardi. Pada waktu pemutakhiran Suradi sudah menikah dengan Rosa Angraini. Suradi dan istrinya menempati salah satu kamar rumah Sosro dan mengurus makan sendiri. Maka rumah tangga Suradi dikatakan sebagai rumah tangga baru (kode 4).

7. Pada saat pemutakhiran rumah tangga Saleh ternyata semenjak tahun 2008 tinggal di blok sensus tersebut, tetapi rumah tangga tersebut tidak terdaftar pada daftar PEMUTAKHIRAN. Maka rumah tangga Saleh dikatakan sebagai rumah tangga baru (kode 4).

8. Salman tinggal bersama Yuanita (istri) dan Nayla (anak), rumah tangga ini baru pindah di blok sensus tersebut sejak Januari 2015. Maka pada saat pemutakhiran rumah tangga Salman dikatakan sebagai rumah tangga baru (kode 4).

9. Rumah tangga Afrizal tinggal di blok sensus tersebut sejak tahun 2005 bersama mertua perempuan, isteri, dan 2 orang anak laki-lakinya. Pada bulan April 2014 Afrizal, isteri dan kedua anak laki-lakinya pindah ke Jakarta. Rumah nya dibeli Effendi dan ditempati bersama istrinya sejak Mei 2014. Maka pada saat pemutakhiran rumah tangga Afrizal dikatakan sebagai rumah tangga pindah keluar blok sensus (kode 5).

10. Busnir meninggal dunia sebulan yang lalu. Sebelum meninggal, dia tinggal seorang diri di rumahnya. Maka rumah tangga Busnir dikatakan sebagai rumah tangga pindah keluar blok sensus (kode 5).

11. Pada saat pemutakhiran rumah tangga Widodo didatangi oleh petugas Sirkesnas 2016 sesuai dengan daftar PEMUTAKHIRAN. Ternyata rumah tangga tersebut berada di luar wilayah blok sensus. Maka rumah tangga Widodo dikatakan sebagai rumah tangga pindah keluar blok sensus (kode 5).

12. Rohadi dan Rohana menikah pada bulan Januari 2014, mereka tinggal bersama orang tua Rohadi dan anak dari Rohana hasil perkawinannya yang pertama. Sebelum menikah dengan Rohadi, Rohana tinggal bersama anaknya tidak jauh dari rumah yang sekarang ia tinggali (satu blok sensus). Maka pada saat pemutakhiran rumah tangga Rohana dikatakan sebagai rumah tangga bergabung dengan rumah tangga lain (kode 6).

13. Pada SP2010 Suwardi tinggal bersama istrinya Maemunah, dan anak laki-lakinya Rahmad Basuki tinggal istri dan anaknya di sebelah rumah Suwardi (satu blok sensus). Setahun yang lalu Suwardi meninggal dunia, kemudian Maemunah memilih untuk tinggal bersama anaknya Rahmad Basuki. Pada saat pemutakhiran rumah tangga Suwardi dikatakan sebagai rumah tangga bergabung dengan rumah tangga lain (kode 6).

14. Rumah Tangga Andi Lukman sesuai dengan yang tertera pada PEMUTAKHIRAN didatangi petugas Sirkesnas 2015. Ternyata rumah tangga Andi Lukman sudah tidak menempati rumah tinggal tersebut, dan yang menempati rumah tinggal sekarang adalah keluarga Budi Gumelar. Andi Lukman meninggal dunia 2 tahun yang lalu dan istrinya Aminah telah menikah lagi serta ikut suaminya di blok sensus lain. Maka rumah tangga Andi Lukman dikatakan sebagai rumah tangga pindah keluar blok sensus (kode 5).

15. Rumah tangga Bukhari terdaftar pada daftar PEMUTAKHIRAN. Pada saat pemutakhiran tidak seorang pun tetangga sekitar yang mengenal/mengetahui

Page 42: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

18

keberadaan rumah tangga Bukhari. Maka rumah tangga Bukhari dikatakan sebagai rumah tangga tidak ditemukan (kode 7).

Selain mengisi kolom 7 dalam pemutahiran rumah tangga juga mengisi kolom 8. Kolom 8 berisi tentang status kepemilikan anak balita dalam rumah tangga tersebut.

Setelah kolom 7 dan kolom 8 terisi semua, tahap selanjutnya adalah memberi nomor urut berdasarkan kolom 7 berkode 1-4 dan kolom 8 memiliki balita. Setelah seluruh rumah tangga pada blok sensus terpilih selesai dimutakhirkan, berilah nomor urut eligible rumah tangga di samping kanan Kolom (8) jika Kolom (8) berkode tanda “chek (V)” mulai nomor urut 1 sampai dengan seluruh tanda check pada halaman terakhir.

Kemudian pilih rumah tangga dengan kode 1-4 dan memiliki balita secara

random sistematik. Cara pemilihan sistematik dilakukan dengan cara:

1. Bangkitkan angka random (AR) dengan menggunakan Ms. Excell, yaitu dengan

menggunakan formula =rand(). Angka random yang muncul akan berada pada

interval 0-1. Jika angka random yang dibangkitkan bernilai 0, maka ulangi

langkah membangkitkan angka random.

2. Hitung interval (I) untuk penarikan sampel rumah tangga dengan rumus:

N Nomor urut eligible rumah tangga terakhir pada kolom (8)

I = -----= -----------------------------------------------------------------------------

n 25 jumlah rumah tangga eligible yang dibutuhkan

Interval sampel dihitung sampai dua angka dibelakang koma 3. Gunakan angka random yang telah dibangkitkan. Untuk menghitung no urut

sampel rumah tangga pertama digunakan R1=ARxI

Page 43: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

19

CATATAN: apa bila R1<1, maka R1 adalah 1 4. Gunakan interval sampel untuk menentukan random penarikan sampel rumah

tangga berikutnya, R2=R1+I R3=R2+1 ………

5. Nomor urut rumah tangga terpilih diperolah dengan membulatkan hasil perhitungan sampai 0 angka dibelakang koma

6. Lingkari nomor urut pada kolom (8) sesuai dengan nomor urut sampel terpilih 7. Lingkari nomor urut bangunan fisik, bangunan sensus, dan rumah tangga sesuai

dengan nomor urut pada kolom (8) yang dilingkari 8. Salin 25 rumah tangga terpilih ke Daftar Sampel Rumah Tangga (DSRT)

Page 44: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

20

Contoh: Misal jumlah eligible rumah tangga hasil pemutakhiran rumah tangga Sirkesnas 2016 yang tercantum dalam Daftar Pemutakhiran adalah 56 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah tangga berumur 0-4 tahun. Interval penarikan sampel rumah tangga adalah :

Gunakan angka random (AR) yang terdapat di DSBS. Untuk mendapatkan nomor urut sampel rumah tangga pertama digunakan rumus berikut:

Catatan: apabila , maka nya adalah 1

Page 45: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

21

Contoh:

Misalkan dari angka random yang tercantum di DSBS adalah 0.72 maka

R1=0.72 × 2,24 = 1,61 ≈ 2

Selanjutnya gunakan interval sampel untuk menentukan angka random penarikan sampel rumah tangga berikutnya, yaitu R2, R3, ...., R25 sebagai berikut:

Nomor urut rumah tangga terpilih diperoleh dengan membulatkan hasil perhitungan sampai 0 angka di belakang koma. Contoh:

Dengan demikian, nomor urut eligible rumah tangga 2, 4, 6, 8, ..., dst terpilih sebagai sampel Sirkesnas 2016.

Page 46: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

22

Ada 2 dokumen penting yang diperlukan dalam pencarian sampel Sirkesnas 2016: a. DSRT b. Peta blok sensus

A. Format DSRT

Format DSRT terdiri atas dua blok dengan rincian sebagai berikut:

a. Blok I. Identitas Blok Sensus

DSRT Blok I telah diisi oleh BPS Kabupaten/Kota. Perlu dipastikan bahwa jumlah rumah tangga hasil pemutakhiran dan jumlah rumah tangga eligible terisi.

Blok I. Identitas Blok Sensus: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok I. Keterangan Tempat). Jumlah rumah tangga hasil pemutakhiran dan rumah tangga eligible diambil dari Blok II Form Updating. Daftar rumah tangga hasil pemutakhiran diambil dari kolom 7 dan rumah tangga eligible diambil dari kolom 8 Blok V.

b. Blok II. Keterangan Rumah Tangga Terpilih

PJT dan PJO Kabupaten/Kota wajib memastikan bahwa DSRT sudah terisi lengkap, yaitu sejumlah 25 rumah tangga eligible.

Kolom (1): Nomor urut dalam daftar DSRT, no urut ini tidak selalu sama dengan nomor urut rumah tangga.

Kolom (2): Nomor urut bangunan fisik: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (2)).

Kolom (3): Nomor urut bangunan sensus: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (3))

Kolom (4): Nomor urut rumah tangga: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (4))

Kolom (5): Nama kepala rumah tangga: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (5))

Kolom (6): Alamat: disalin dari Daftar Pemutakhiran Rumah Tangga (Blok V. Keterangan Rumah Tangga Kolom (6))

Page 47: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

23

B. Peta Blok Sensus

Peta blok sensus adalah peta yang berisikan letak setiap rumah tangga dalam 1 blok sensus (BS)

Contoh bentuk peta blok sensus seperti dalam contoh berikut.

Gambar 2.2.2

Sketsa Peta Blok Sensus

2.2.1.2 Sampel Sirkesnas 2016 Sirkesnas 2016 dilakukan di 34 provinsi dan 261 kabupaten serta 400

kecamatan. Jumlah total sampel sebanyak 30.000 rumah tangga yang tersebar pada 1200 blok sensus. Sampel blok sensus dialokasikan menurut perkotaan dan pedesaan, Adapun rincian jumlah kabupaten, kecamatan, blok sensus dan rumah tangga di setiap provinsi tercantum sebagai berikut:

Page 48: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

24

Kode

Nama Provinsi

Jumlah sampel

Kab

Kec

Blok sensus

Rumah tangga

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

11 Aceh 8 8 24 600

12 Sumatera Utara 9 13 39 975

13 Sumatera Barat 8 9 27 675

14 Riau 8 13 39 975

15 Jambi 8 10 30 750

16 Sumatera Selatan 6 13 39 975

17 Bengkulu 7 10 30 750

18 Lampung 8 12 36 900

19 Kepulauan Bangka Belitung 6 10 30 750

21 Kepulauan Riau 4 9 27 675

31 DKI Jakarta 4 14 42 1050

32 Jawa Barat 11 20 60 1500

33 Jawa Tengah 18 22 66 1650

34 DI Yogyakarta 4 10 30 750

35 Jawa Timur 19 27 81 2025

36 Banten 6 11 33 825

51 Bali 9 18 54 1350

52 Nusa Tenggara Barat 7 12 36 900

53 Nusa Tenggara Timur 7 7 21 525

61 Kalimantan Baratr 8 10 30 750

62 Kalimantan Tengah 9 12 36 900

63 Kalimantan Selatan 8 12 36 900

64 Kalimantan Timur 7 11 33 825

65 Kalimantan Utara 4 08 24 600

71 Sulawesi Utara 9 13 39 975

72 Sulawesi Tengah 6 10 30 750

73 Sulawesi Selatan 13 17 51 1275

74 Sulawesi Tenggara 4 7 21 525

75 Gorontalo 6 12 36 900

76 Sulawesi Barat 4 8 24 600

81 Maluku 5 7 21 525

82 Maluku Utara 6 7 21 525

91 Papua Barat 6 8 24 600

94 Papua 9 10 30 750

Untuk mengetahui desa, kecamatan, kabupaten disetiap provinsi yang terpilih dapat dilihat pada Daftar Sampel Blok Sensus (DSBS) yang telah dirinci hingga tingkat desa. Contoh DSBS dapat dilihat seperti dibawah ini:

Page 49: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

25

Contoh DSBS Sirkesnas 2016 untuk provinsi Aceh:

Prop Kab Kec Desa Nbs Nmprop Nmkab Nmkec Nmdesa

11 01 020 022 003B ACEH Simeuleu Simeuleu Timur Air Pinang

11 01 020 027 001B ACEH Simeuleu Simeuleu Timur Sinabang

11 01 020 029 008B ACEH Simeuleu Simeuleu Timur Suka Karya

11 03 040 002 001B ACEH Aceh Selatan Kluet Utara Pasi Kuala Bau

11 03 040 010 002B ACEH Aceh Selatan Kluet Utara Krueng Batu

11 03 040 039 001B ACEH Aceh Selatan Kluet Utara Alur Mas

11 06 031 001 002B ACEH Aceh Tengah Lut Tawar Asir Asir

11 06 031 012 007B ACEH Aceh Tengah Lut Tawar Takengon Timur

11 06 031 014 002B ACEH Aceh Tengah Luta Tawar Takengon Barat

11 08 110 020 004B ACEH Aceh Besar Darul Imarah Punie

11 08 110 027 009B ACEH Aceh Besar Darul Imarah Gue Gajah

11 08 110 045 002B ACEH Aceh Besar Darul Imarah Lamreung

11 09 160 001 001B ACEH Pidie Indrajaya Tuha Suwiek

11 09 160 021 001B ACEH Pidie Indrajaya Cot Suekee

11 09 160 037 001B ACEH Pidie Indrajaya Ulee Birah

11 11 040 013 001B ACEH Aceh Utara Syamtalira Baru Cut Neuheun

11 11 040 030 001B ACEH Aceh Utara Syamtalira Baru Cibrek

11 11 040 046 001B ACEH Aceh Utara Syamtalira Baru Bungong

11 15 040 022 001B ACEH Nagan Raya Seunagan Kulu

11 15 040 039 002B ACEH Nagan Raya Seunagan Latong

11 15 040 060 001B ACEH Nagan Raya Seunagan Alue Dodok

11 16 040 002 004B ACEH Aceh Jaya Setia Bakti Lhok Geulumpang

11 16 040 004 001B ACEH Aceh Jaya Setia Bakti Gampong Baro

11 16 040 010 002B ACEH Aceh Jaya Setia Bakti Sapek

Kolom (1): Kode provinsi Kolom (2): Kode Kabupaten/Kota Kolom (3): Kode Kecamatan Kolom (4): Kode Desa/Kelurahan Kolom (5): Nomor Blok Sensus Kolom (6): Nama provinsi Kolom (7): Nama kabupaten Kolom (8): Nama kecamatan Kolom (9): Nama desa

2.2.1.3. Kriteria Keberadaan Sampel

Jumlah rumah tangga disetiap blok sensus terpilih pada Sirkesnas 2016 adalah 25 rumah tangga eligible (rumah tangga yang mempunyai balita). Kerangka sampel diambil dari hasil pemutahiran data yang dilakukan November 2015, dengan jarak lebih dari 5 bulan kemungkinan perubahan status keberadaan sampel dapat terjadi. Beberapa status keberadaan sampel yang mungkin dapat terjadi ketika pengumpulan data dilakukan, bagaimana status keberadaan sampel dan penanganannya seperti diuraikan dibawah ini:

1. Sampel hanya diambil dari DSRT yang telah disediakan, tidak di perkenankan untuk mengganti

2. Tidak ada cadangan sampel sehingga semaksimal mungkin sampel harus dapat diperoleh.

Page 50: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

26

3. Rumah tangga sampel pindah kealamat lain:

a. Masih terjangkau dalam 1 blok sensus wajib untuk diambil menjadi sampel

b. Tidak terjangkau atau diluar blok sensus, tidak diambil menjadi sampel namun mintakan tanda pengesahan dari pamong setempat dan laporkan pada PJT kabupaten/kota.

4. Nama kepala rumah tangga tidak sesuai dengan daftar DSRT, setelah ditelusuri ternyata orang yang sama maka rumah tangga tersebut tetap diambil dengan nama sesungguhnya.

5. Alamat bukan tempat tinggal tapi toko atau tempat usaha (tidak ada yang tinggal disitu) tidak perlu diganti mintakan tanda tangan pengesahan dari pamong setempat

6. Rumah dari rumah tangga sampel tertutup dan tetangga mengetahui mereka pergi beberapa hari/minggu hingga melebihi batas waktu pengumpulan data berakhir di blok sensus tersebut (5 hari) diskusikan dengan tim dan PJT kabupaten/kota untuk menentukan apakah rumah tangga sampel diambil atau tidak, bila tidak mintakan tanda tangan bukti tetangga yang memberikan informasi dan pengesahan dari pamong setempat pada blok catatan di kuesioner rumah tangga

7. Pada alamat tidak ditemukan rumah tangga sampel dan tetangga mengatakan bangunan telah terbakar atau terkena bencana, bila keberadaan rumah tangga sampel tersebut terjangkau dan masih ada dalam blok sensus yang sama tetap diambil menjadi sampel, namun bila tidak terjangkau atau keluar blok sensus diskusikan dalam tim dan PJT kabupaten/kota, bila PJT kabupaten/kota memutuskan tidak diambil maka mintakan tanda pengesahan dari tetangga yang memberikan informasi, pamong setempat dan PJT kabupaten/kota di catatan kuesioner rumah tangga.

8. Untuk rumah tangga pada saat updating memiliki 1 balita dengan usia batas limit (59 bulan) pada saat pengumpulan data sudah berusia lebih dari 60 bulan tetap diambil menjadi sampel

9. Prinsip rumah tangga extended family (keluarga besar dimana tinggal lebih dari 1 keluarga di rumah tersebut) digunakan prinsip satu dapur yaitu biaya hidup (terutama pengeluaran untuk pangan sama satu sumber) sehingga keluarga-keluarga akan diambil menjadi sampel dan dihitung menjadi satu keluarga

10. Untuk blok sensus yang memiliki rumah tangga tidak terjangkau atau pindah keluar blok sensus lebih dari 3 rumah tangga wajib di supervisi oleh PJT kabupaten/kota atau PJT provinsi untuk meyakinkan keluarnya rumah tangga dari daftar sampel

2.2.2. Penentuan Puskesmas Lokasi Survei

Puskesmas lokasi survei ditentukan berdasarkan lokasi desa dan lokasi Blok Sensus (BS) yang terpilih. Primary Sampling Unit (PSU) yang terpilih adalah 400 kecamatan yang dipilih secara probability proportional to size (PPS), dan terdapat 3 Blok Sensus (BS) di tiap kecamatan terpilih. Berdasarkan hal tersebut, maka penetapan puskesmas yang menjadi lokasi survei mengikuti lokasi desa terpilih atau BS terpilih. Puskesmas terpilih adalah puskesmas yang wilayah kerjanya mencakup desa terpilih atau BS terpilih tersebut berada. Dari 400 kecamatan terpilih akan diambil 400 puskesmas. Bila desa atau BS terpilih tersebar di 2 puskesmas berbeda maka pemilihan puskesmas dilakukan secara random.

Page 51: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

27

Penanggungjawab teknis (PJT) kabupaten/kota dan Penanggungjawab operasional (PJO) kabupaten/kota menentukan puskesmas mana yang dijadikan sampel dari daftar yang tersedia.

Khusus untuk puskesmas-puskesmas di kota besar yang memiliki puskesmas kelurahan, misalnya puskesmas-puskesmas di DKI Jakarta, maka data yang diambil cukup data Puskesmas Induk (Kecamatan) saja.

Contoh cara pemilihan sampel puskesmas:

Identifikasi kabupaten, kecamatan dan desa terpilih

Dari Provinsi Aceh, Kabupaten Simeulue, Kecamatan Simeuleu Timur dan

desa Suka Karya Lihat daftar puskesmas pada lampiran dimana alamat dari puskesmas yang

mencakup desa tersebut. Puskesmas terpilih

Dari pemilihan tersebut pada Provinsi Aceh, Kabupaten Simeulue, Kecamatan Simeuleu Timur terpilih Puskesmas Simeuleu Timur.

2.2.3. Penentuan dinas kesehatan Lokasi Survei

Untuk penentuan sampel dinas kesehatan kabupaten/kota merujuk kabupaten/kota yang terpilih menjadi sampel sirkesnas 2016. Dari 507 kabupaten/kota di Indonesia 261 kabupaten/kota yang akan diambil menjadi sampel pada sirkesnas 2016.

Contoh: Untuk Provinsi Aceh, salah satu kabupaten/kota terpilih adalah Simeuleu maka sampel dinas kesehatan-nya adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu.

2.3 Alat dan tata cara pengumpulan data

Pengumpulan data Sirkesnas 2016 dilakukan pada 3 tingkat sampel, yakni masyarakat, puskesmas, dan dinas kesehatan kabupaten/kota. Pengumpulan data dilakukan secara serentak pada bulan Mei-Juni 2016 di lokasi terpilih. Alat dalam pengumpulan data Sirkesnas 2016 di komunitas adalah kuesioner, alat ukur antropometeri untuk mengukur status gizi, HB meter untuk mengukur kadar HB, dan tensimeter untuk mengukur tekanan darah. Sedangkan di Puskesmas dan Dinas Kesehatan menggunakan kuesioner dengan metode wawancara dan penelusuran dokumen.

Page 52: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

28

Pengumpulan data berupa pertanyaan, digunakan kuesioner yang telah disusun sesuai indikator yang akan diukur. Pada tingkat masyarakat, alat ukur yang digunakan adalah kuesioner SIKN16.IND disusun sesuai dengan segmen usia sampel, sebagai berikut :

Usia 5-9 : pertanyaan menyangkut perilaku merokok

Usia ≥ 15 tahun:pertanyaan tentang riwayat hipertensi

Perempuan 10-14 tahun pernah kawin: pertanyaan menyangkut kanker serviks

Perempuan 10-14 tahun belum pernah kawin: pertanyaan pemberian tablet tambah darah

Perempuan ≥ 20 tahun: pertanyaan tentang kanker payudara

Perempuan 15-19 tahun pernah kawin: pertanyaan tentang kanker servik

Perempuan 15-19 tahun belum pernah kawin: pertanyaan pemberian tablet tambah darah

Perempuan 10-19 tahun belum pernah kawin: pertanyaan pemberian tablet tambah darah

Perempuan 10-54 tahun pernah kawin: pertanyaan tentang riwayat kehamilan, persalinan, hasil kehamilan dan pemberian makanan tambahan

ART 0-59 bulan: pertanyaan tentang Berat Badan Lahir, riwayat pemeriksaan neonatus, imunisasi, pemberian makanan tambahan dan pemberian ASI dan MP-ASI

Seluruh kelompok umur: pemeriksaan antropometri

ART ≥ 15 tahun (kecuali wanita hamil:pengukuran lingkar perut

Perempuan 15-49 tahun atau perempuan sedang hamil: pengukuran lingkar lengan atas

Perempuan hamil : pemeriksaan Hemoglobin

ART ≥ 15 tahun: pengukuran tekanan darah.

Kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data di puskesmas adalah kuesioner SIKN16.PKM. Kuesioner ini disusun dengan isi yang sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing petugas pemegang program. - Petugas program pelayanan kesehatan ibu : pertanyaan melingkupi Program

Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), kelas ibu hamil, pelayanan persalinan di wilayah puskesmas.

- Petugas program pelayanan kesehatan anak : pertanyaan melingkupi program pelayanan KN1, Pemeriksaan tata laksana pneumonia melalui pendekatan MTBS, program imunisasi, Penjaringan kesehatan peserta didik, Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)

- Petugas program pelayanan gizi : pertanyaan melingkupi program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita, pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil, program pemberian tablet tambah darah ibu hamil, program pemberian tablet tambah darah remaja putri, program pemberian ASI

- Petugas program kesehatan lingkungan: pertanyaan melingkupi program pembinaan dan pengawasan Tempat Pengelolaan Makanan/Minuman (TPM)

- Petugas program penyakit tidak menular: pertanyaan melingkupi program posbindu, pemeriksaan CBE/Sadanis

- Petugas program pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad): pertanyaan melingkupi pelatihan yankestrad, pelaksanaan yankestrad, dan pembinaan yankestrad

- Petugas program kesehatan kerja : pertanyaan melingkupi program kegiatan Kesehatan dan Keselamatan Kesehatan (K3) di puskesmas, pengamatan kewaspadaan universal di puskesmas, pelaksanaan K3 di puskesmas.

Page 53: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

29

- Petugas program kesehatan olah raga: pertanyaan melingkupi penyelenggaraan upaya kesehatan olah raga di wilayah kerja puskesmas.

- Petugas program pelayanan farmasi : pertanyaan melingkupi pelatihan tenaga penanggung jawab farmasi, kepemilikan dokumen, system pencatatan dan ketersediaan obat dan vaksin serta penggunaan obat rasional.

Kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data di dinas kesehatan

adalah kuesioner SIKN16.DINKES. Kuesioner ini disusun sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing pemegang program dinas kesehatan. Khusus untuk pengumpulan data di dinas kesehatan dilakukan oleh Penanggungjwab Teknis (PJT) Kabupaten/kota. Responden di dinas kesehatan terdiri dari: - Pemegang program kesehatan tradisional: pertanyaan melingkupi pelatihan,

ketersediaan tenaga dan pembinaan program kesehatan tradisional. - Pemegang program kesehatan kerja: pertanyan melingkupi kegiatan kesehatan

kerja, pendanaan, tenaga dan monitoring evaluasi. - Pemegang program kesehatan olah raga: pertanyan melingkupi kegiatan

kesehatan olah raga, pendanaan, tenaga dan monitoring evaluasi. - Pemegang program penyehatan lingkungan, imunisasi dan pemberantasan

penyakit: pertanyaan melingkupi pengendalian vektor, pelaksanaan program pengendalian tular vektor, pelaksanaan program Hepatitis B.

- Pemegang program penyakit tidak menular: pertanyaan melingkupi peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu (posbindu) Penyakit Tidak Menular (PTM), pengendalian PTM terpadu, program pemeriksaan kesehatan pengemudi.

- Pemegang program kesehatan ibu: pertanyaan melingkupi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, kelas ibu hamil, pelayanan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan.

- Pemegang program kesehatan anak: pertanyaan melingkupi program pemeriksaan dan tata laksana pneumonia melalui Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), penjaringan kesehatan peserta didik, pelayanan kesehatan peduli remaja.

- Pemegang program pelayanan kefarmasian: pertanyaan meliputi ketersediaan obat dan vaksin.

2.4 Manajemen data

Manajemen data dilakukan oleh tim Manajemen Data Badan Litbangkes, dengan tahapan: 2.4.1 Editing

Editing dilakukan oleh enumerator sejak di lapangan dengan melihat kembali kelengkapan dan konsistensi jawaban responden. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan bila ditemukan adanya jawaban yang tidak konsisten dan tidak lengkap, enumerator dapat menelusuri kembali kepada responden untuk melengkapi atau memperbaiki jawaban. Enumerator bertanggung jawab melakukan editing seluruh kuesioner yang menjadi tanggung jawabnya. Proses editing ini tidak hanya dilakukan oleh enumerator akan tetapi dilakukan juga oleh ketua tim. Ketua tim melakukan editing seluruh kuesioner dari tim yang ada di bawah pengawasannya, kemudian diserahkan kepada PJT kabupaten/kota untuk dilakukan editing secara random.

Page 54: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

30

2.4.2 Entry Proses entry data Sirkesnas 2016 dilakukan di lapangan oleh enumerator. Entry data dilakukan setelah selesai pengumpulan data 1 BS, untuk kemudian dikirim melalui email ke tim Manajemen Data Pusat. 2.4.3 Cleaning

Cleaning merupakan proses terakhir dari manajemen data. Setelah proses entry data dan seluruh data diterima tim Manajemen Data, kemudian dilakukan penggabungan data. Data yang telah tergabung dilakukan cleaning dengan cara melihat capaian yang diperoleh apakah menunjukkan angka yang tidak logis dibandingkan dengan baseline data ataupun target cakupan. Bila ditemukan data yang tidak logis, dilakukan penelusuran kuesioner untuk selanjutnya dilakukan perbaikan.

2.5 Analisis dan penyajian data Analisis data Sirkesnas 2016 dilakukan secara deskritif analitik, karena tidak dimaksudkan untuk melihat faktor penyebab dari indikator yang diukur. Penyajian data Sirkesnas 2016 berupa tabel dan grafik. Penyajian tabel dapat berupa distribusi frekuensi sederhana atau tabulasi silang dengan dimensi karakteristik yang telah ditetapkan, sedangkan grafik disajikan hanya pada beberapa yang perlu digambarkan lebih mendalam. 2.6 Pengendalian mutu survei

Untuk menjaga kualitas dari hasil survei dilakukan beberapa kegiatan diantaranya : 1. Fokus penilaian terhadap indikator yang akan diukur. Dilakukan diskusi yang

cukup panjang di dalam tim teknis serta melibatkan para pemegang program dimulai sejak penentuan indikator hingga kuesioner tersusun.

2. Menyelenggarakan workshop secara bertahap yaitu: a) workshop Penanggungjawab Teknis (PJT) Provinsi dan Kabupaten/Kota dimana pemateri adalah tim teknis dan peserta adalah para PJT, b) workshop enumerator dimana pemateri adalah para PJT dan peserta adalah enumerator (tim pengumpul data). Workshop ini dilakukan untuk memberikan kesamaan persepsi mengenai konsep Risnakes dan instrumen yang digunakan.

3. Melibatkan tim pakar dari Badan Litbangkes maupun dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia, untuk mendapatkan masukan atau saran agar pelaksanaan Risnakes dapat berjalan lebih baik.

4. Melakukan supervisi baik supervisi teknis maupun supervisi manajemen pelaksanaan di lapangan. Supervisi dilakukan baik oleh PJT, PJO (penanggung jawab operasional) maupun tim teknis untuk melihat permasalahan yang ditemukan di lapangan beserta solusinya.

5. Validasi eksternal. Seperti beberapa survei Badan Litbangkes berskala nasional lainnya, pada Sirkesnas 2016 juga dilakukan validasi eksternal. Untuk menjaga kenetralan, maka validasi dilakukan oleh IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia).

2.6.1 Penentuan Penanggungjawab Teknis (PJT) Dalam pelaksanaan pengumpulan data di lapangan dibentuk Penanggung Jawab Teknis (PJT) Provinsi dan Kabupaten/Kota. PJT provinsi bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Rapat Koordinasi Teknis, workshop enumerator serta pengumpulan data di masing-masing provinsi. Persyaratan dari PJT provinsi adalah peneliti Badan Litbangkes berpendidikan minimal S2 kesehatan.

Page 55: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

31

PJT kabupaten/kota bertanggungjawab terhadap pelaksanaan workshop enumerator, pelaksanaan pengumpulan data di kabupaten/kota, dan mengawasi jalannya pengumpulan data oleh enumerator. PJT Kabupaten/Kota adalah peneliti/calon peneliti Badan Litbangkes, peneliti balitbangda, lulusan poltekkes/universitas bidang kesehatan yang tidak sedang bekerja atau yang telah mendapatkan ijin atasan langsung, pendidikan minimal S1 kesehatan.

2.6.2 Rekrutmen tenaga enumerator

Di dalam pengumpulan data di lapangan baik atau tidaknya data yang dikumpulkan sangat bergantung dari faktor enumerator. Menyadari hal tersebut dalam pelaksanaan Sirkesnas 2016 perekrutan enumerator diperketat, dimulai dari pengumuman perekrutan di Politeknik Kesehatan (Poltekkes) ataupun dinas kesehatan setempat, hingga penentuan enumerator terpilih. Pengujian rekrutmen tenaga dilakukan oleh Poltekkes setempat dan dinas kesehatan namun penentuan enumerator terpilih tetap dilakukan oleh tim dari Badan Litbangkes.

Persyaratan yang harus dipenuhi dalam rekrutmen tenaga enumerator adalah : 1. Latar belakang pendidikan minimal D3 kesehatan (dibuktikan dengan ijazah yang

dilegalisir atau surat keterangan lulus) 2. Dalam tim terdiri dari 4 orang, dengan latar belakang pendidikan masing-masing:

1. Farmasi/Dokter umum/Sarjana kedokteran, 2. Bidan/Perawat, 3. Gizi, 4. Kesehatan Masyarakat/Kesehatan Lingkungan/Analis Kesehatan

3. Khusus untuk tenaga farmasi, bagi daerah yang tidak memiliki institusi pendidikan D3 farmasi, diperbolehkan lulusan SMK Farmasi yang sudah berpengalaman kerja di bidang farmasi

4. Usia ≤ 35 tahun 5. Bukan PNS dinas kesehatan atau puskesmas

2.7 Keterbatasan survei

Berikut ini adalah kendala dan keterbatasan yang ditemukan dalam proses persiapan maupun pengumpulan data : 1. Data sampel belum ter-update dengan baik. Mengingat updating data dilakukan

November 2015 sedangkan pengumpulan data dilakukan berkisar antara Mei hingga Juni 2016, maka terdapat selang waktu 6 bulan yang memungkinkan data yang sudah ter-update berubah terutama pada daerah-daerah dengan mobilitas penduduk tinggi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dilakukan cek ulang daftar sampel yang diberikan oleh BPS, konfirmasi pada tetangga sekitar, pamong setempat dan Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) mengenai kebenaran nama dan alamat sampel yang dimaksud.

2. Jeda waktu antara updating bulan November dan pengumpulan data di bulan Mei dan Juni yang berselang 6 bulan memungkinkan keluarga eligible (mempunyai anak 0-5 tahun) sudah tidak lagi masuk dalam kriteria balita.

Page 56: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

32

BAB 3 HASIL SURVEI

3.1 Perolehan Sampel

Selang waktu cukup lama antara updating dan pengumpulan data berdampak pada jumlah perolehan sampel. Banyak sampel ter-update di Bulan November 2015 namun ketika dikunjungi sudah pindah ketempat lain yang tidak terjangkau atau keluar dari blok sensus terpilih.

Ditargetkan semula besar sampel Sirkesnas adalah 30.000 rumah tangga yang tersebar pada 1200 blok sensus (BS). Pada saat pengumpulan data terdapat 2 blok sensus yang tidak memenuhi syarat, yakni 1 BS berupa asrama (dormitory) di Kepulauan Riau dan 1 BS lagi telah digusur di DKI Jakarta. Dengan demikian, sebanyak 1198 BS (99,83 %) yang dapat dicakup di dalam Sirkesnas 2016.

Sampel rumah tangga yang terkumpul sebanyak 22795 rumah tangga (75,98%) dan rumah tangga yang eligible (memiliki balita) sebanyak 16564 rumah tangga (55,21%). Terdapat sebanyak 97986 individu, dan 19003 balita. Kondisi ini menunjukkan bahwa besar sampel Sirkesnas 2016 masih memenuhi besar sampel minimal berdasarkan perhitungan margin of error 20% (16475 rumah tangga), lebih sedikit dari besar sampel 20325 rumah tangga yang ditetapkan pada margin of error 18%.

Tabel 3.1.1

Response Rate Sirkesnas 2016

Ko

de

Provinsi

Blok Sensus Rumah tangga Ruta Balita Individu

Targ

et

Cap

aian

%

Targ

et

Cap

aian

%

Jum

ah

%

Ind

ivid

u

Bal

ita

11 Aceh 24 24 100,0 600 439 73,2 312 52,0 1863 357 12 Sumatera

Utara 39 39 100,0 975 785 80,5 585 60,1 3563 752

13 Sumatera Barat

27 27 100,0 675 581 86,1 401 59,4 2748 494

14 Riau 39 39 100,0 975 756 77,5 577 59,2 3318 674 15 Jambi 30 30 100,0 750 542 72,3 397 52,9 2343 438 16 Sumatera

Selatan 39 39 100,0 975 750 76,9 572 58.7 3382 643

17 Bengkulu 30 30 100,0 750 660 88,0 419 55,9 2761 478 18 Lampung 36 36 100,0 900 786 87,3 579 64,3 2942 626 19 Kepupauan

Bangka Belitung

30 30 100,0 750 556 74,1 406 54,1 2327 457

21 Kepulauan Riau

27 26 96,3 675 492 72,9 295 43,7 1965 335

31 DKI Jakarta 42 41 97,6 1050 731 69,6 535 51,0 3178 613 32 Jawa Barat 60 60 100,0 1500 1109 73,9 833 55,5 4422 895 33 Jawa Tengah 66 66 100,0 1650 1390 84,2 1079 65,4 6034 1183 34 DI Yogyakarta 30 30 100,0 750 520 69,3 425 56,7 2347 466 35 Jawa Timur 81 81 100,0 2025 1361 67,2 956 47,2 5710 1046 36 Banten 36 36 100,0 825 668 81,0 532 64,5 2997 607 51 Bali 54 54 100,0 1350 1035 76,7 828 61,3 4721 949 52 NTB 36 36 100,0 900 714 79,3 565 62,8 2703 614

Page 57: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

33

Ko

de

Provinsi

Blok Sensus Rumah tangga Ruta Balita Individu

Targ

et

Cap

aian

%

Targ

et

Cap

aian

%

Jum

ah

%

Ind

ivid

u

Bal

ita

53 NTT 21 21 100,0 525 458 87,2 374 71,2 2313 474 61 Kalimantan

Barat 30 30 100,0 750 556 74,1 354 47,2 2252 402

62 Kalimantan Tengah

36 36 100,0 900 629 69,9 473 52,6 2454 523

63 Kalimantan Selatan

36 36 100,0 900 742 82,4 596 66,2 3203 655

64 Kalimantan Timur

33 33 100,0 825 526 63,8 397 48,1 2302 457

65 Kalimantan Utara

24 24 100,0 600 442 73,7 324 54,0 1990 391

71 Sulawesi Utara

39 39 100,0 965 618 63,4 397 40,7 2578 443

72 Sulawesi Tenggara

30 30 100,0 750 610 81,3 456 60,9 2774 531

73 Sulawesi Selatan

51 51 100,0 1275 1004 78,8 636 49,9 4454 755

74 Sulawesi Tenggara

21 21 100,0 525 432 82,8 248 47,2 1723 302

75 Gorontalo 36 36 100,0 900 672 74,7 471 52,3 2940 534 76 Sulawesi

Barat 24 24 100,0 600 497 82,8 348 58,0 2174 405

81 Maluku 21 21 100,0 525 453 86,3 298 56,8 2232 381 82 Maluku Utara 21 21 100,0 525 487 92,8 328 62,5 2360 381 91 Papua Barat 24 24 100,0 600 416 69,3 323 53,8 1517 422 94 Papua 30 30 100,0 750 378 50,4 243 32,4 1432 320

Total 1200 1198 99,8 30000 22795 76,0 16564 55,2 97986 19.003

3.2 Indikator Kesehatan Ibu

Program pembangunan kesehatan di Indonesia dewasa ini masih diprioritaskan pada upaya peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak, terutama pada kelompok yang paling rentan yaitu ibu hamil dan bersalin serta bayi pada masa perinatal. Capaian indikator utama terkait status kesehatan ibu dan anak yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih belum memenuhi target Millennium Development Goals (MDGs) 2015. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan menuangkan target program kesehatan ibu dalam Renstra Kemenkes. Sasaran Program Kesehatan Ibu dan Reproduksi dalam Renstra Kemenkes 2015-2019 adalah meningkatnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi (Kementerian Kesehatan, 2015).

Informasi Program Kesehatan Ibu yang dikumpulkan dalam Sirkesnas 2016 bertujuan untuk mengetahui capaian indikator kegiatan program Bina Kesehatan Ibu dalam Renstra Kemenkes 2015-2019. Indikator program kesehatan ibu dalam Renstra yang ditelusuri dalam Sirkesnas 2016 dapat dilihat pada Tabel 3.2.1. Capaian yang dicari melalui Sirkesnas adalah capaian tahun 2015.

Page 58: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

34

Tabel 3.2.1 Indikator dan target Kesehatan Ibu,

Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019

Indikator Baseline Target

2015 2016 2017 2018 2019

Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4)

70,0 72,0 74,0 76,0 78,0 80,0

Persentase puskesmas yang pernah melaksanakan kelas ibu hamil 27,0 78,0 81,0 84,0 87,0 90,0

Persentase puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)

72,0 77,0 83,0 88,0 95,0 100,0

Persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan (PF) (oleh tenaga kesehatan)

70,4 75,0 77,0 79,0 82,0 85,0

Informasi Program Kesehatan Ibu dikumpulkan melalui survei fasilitas (puskesmas) dan survei komunitas (rumah tangga) serta penelusuran data dukung di dinas kesehatan. Pengumpulan data blok kesehatan ibu dilaksanakan dengan merujuk pada sampel 400 puskesmas dari 264 dinas kesehatan kabupaten/kota dan 30.000 rumah tangga. Blok Kesehatan Ibu pada survei fasilitas ditanyakan kepada Penanggung Jawab Kegiatan Kesehatan Ibu Anak (KIA) sebagai responden, sedangkan responden untuk survei komunitas ditanyakan kepada anggota keluarga perempuan 10-54 tahun.

Analisis data puskesmas dari survei fasilitas dilakukan terhadap sampel 400 puskesmas, sedangkan analisis data yang menggunakan data individu dari survei komunitas merujuk pada riwayat masa kehamilan, bersalin dan masa nifas dari riwayat kehamilan anak terakhir yang lahir pada periode 1 Januari 2014 sampai dengan saat wawancara. Gambar 3.2.1 berikut merupakan bagan alur analisis data survei komunitas.

Gambar 3.2.1 Alur analisis data hasil survei komunitas indikator kesehatan ibu,

Sirkesnas 2016

ART Perempuan 10-54 tahun (n = 31.238 )

Belum kawin

n = 7883

Pernah kawin (kawin, cerai hidup, cerai mati, hidup bersama, hidup

terpisah) n = 23.355

Belum pernah hamil

n = 385 Pernah hamil

n = 22.970

Bersalin 1 Januari 2014 sd

wawancara

n = 7.313

Sedang

hamil

n =969

Bersalin sebelum

1 Jan 2014

n = 15.657

Anak terakhir

n= 7.313

Page 59: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

35

Keterbatasan analisis data blok Kesehatan Ibu Sirkesnas 2016 adalah

data dari survei komunitas untuk analisis data capaian indikator no 1 dan 4 tentang capaian pelayanan ibu hamil dan persalinan, menggunakan referensi waktu numerator dan denominator yang berbeda bila membandingkan perhitungan capaian antara definisi menurut Buku Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 dengan analisis data Sirkesnas. Pada Renstra angka baseline menggunakan sumber data hasil survei sehingga pada Sirkesnas 2016 perolehan kedua indikator ini dikumpulkan melalui survei komunitas. Namun terdapat perbedaan definisi operasional perhitungan cakupan indikator menurut Renstra dan analisis Sirkesnas. Perbedaan definisi operasional dan formula keempat indikator dirangkum dalam lampiran 2.

Analisis data blok kesehatan ibu dari komunitas merujuk pada riwayat kehamilan anak terakhir sehingga bila ada dua kehamilan yang berakhir pada periode 1 Januari 2014 sampai dengan saat wawancara yang dianalisis hanya dari riwayat kehamilan anak terakhir. Periode referensi waktu informasi kesehatan ibu Sirkesnas ini memiliki persamaan referensi waktu dengan Riskesdas 2013 sehingga beberapa indikator yang sama memungkinkan untuk membandingkan antara Sirkesnas 2016 dengan Riskesdas 2013.

Hasil Sirkesnas 2016 terkait dengan Indikator Program Kesehatan Ibu sesuai Renstra Kemenkes 2015-2019 adalah sebagai berikut: 1. Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali

(K4) sebesar 72,5 persen. 2. Persentase puskesmas yang melaksanakan program kelas ibu hamil adalah

94,3 persen 3. Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan orientasi Program

Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) adalah sebesar 88,8 persen

4. Persentase persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit, rumah bersalin, klinik, praktek tenaga kesehatan, puskesmas, puskesmas pembantu, pondok bersalin desa dan pos kesehatan desa) adalah 79,3 persen.

3.2.1 Indikator persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal

minimal 4 kali (K4)

Setiap kehamilan berisiko terhadap kejadian kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya.

Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan/SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemenkes RI, 2010). Tujuan pemberian layanan ANC adalah untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat (Kemenkes, 2014). Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan meliputi dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat.

Sirkesnas mengumpulkan informasi tentang pelayanan kesehatan ibu hamil yang diterima selama kehamilan anak terakhir. Selain indikator utama

Page 60: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

36

Renstra tentang cakupan K4, juga diperoleh indikator pelayanan kesehatan ibu hamil lainnya yaitu cakupan ANC K1 dan ANC K1 ideal.

a. Indikator persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal (K4)

Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini tertuang dalam Permenkes No.97 Tahun 2014 (Kementerian Kesehatan, 2014). Pada Sirkesnas 2016, indikator pelayanan kesehatan ibu hamil dibedakan dalam K1 akses, K1 ideal dan K4. Definisi operasional masing-masing indikator ANC tersebut dapat lihat di boks berikut

Tabel 3.2.2 berikut adalah capaian indikator pelayanan kesehatan ibu hamil (K1, K1 ideal dan K4) menurut karakteristik ibu. Indikator ini merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan ANC.

Secara nasional indikator cakupan K1 adalah 96,9 persen, namun ibu yang melakukan ANC sejak awal kehamilan (pertama kali ANC pada trimester 1/K1 ideal) adalah 81,4 persen. Diantara ibu yang ANC sejak trimester 1 tersebut, terdapat 72,5 persen yang melakukan ANC secara berkelanjutan pada trimester berikutnya. ANC minimal (K4) sesuai kriteria 1-1-2 yaitu frekuensi ANC minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3 yang disebut dengan ANC K4. Indikator K4 ini menggambarkan keberlangsungan pelayanan kesehatan minimal yang diperoleh ibu hamil di Indonesia (continuum of care). Apabila merujuk target Renstra Kemenkes 2015-2019, maka pelaksanaan program kesehatan ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC minimal 4 kali (K4) sebesar 72% telah tercapai menurut data Sirkesnas 2016. Di antara ibu hamil tersebut terdapat 3,1 persen yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan. Alasan mereka yang tidak melakukan ANC disajikan khusus pada Gambar 3.2.3.

Cakupan indikator ANC menurut karakteristik ibu yang terdiri dari kelompok umur saat bersalin, pendidikan ibu, pekerjaan Kepala Keluarga (KK) dan klasifikasi daerah tempat tinggal juga disajikan pada tabel 3.2.2. Umur ibu saat bersalin merupakan proksi untuk mengidentifikasi umur saat hamil. Ibu yang hamil saat usia terlalu muda (<20 tahun) dan usia terlalu tua (>35 tahun) merupakan kelompok ibu hamil yang berisiko tinggi. Identifikasi ibu hamil yang berisiko tinggi bisa dilakukan saat ibu melakukan ANC sehingga ibu hamil kelompok risiko tinggi tersebut mendapat pelayanan kesehatan yang optimal untuk mencegah terjadi komplikasi dan kematian ibu.

Definisi operasional indikator ANC: K1 atau ANC akses adalah proporsi ibu yang akses terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil kepada tenaga kesehatan minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan kehamilan pertama kali

K1 ideal adalah proporsi ibu yang akses terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil kepada tenaga kesehatan pertama kali pada trimester 1.

ANC minimal 4 kali (K4) adalah proporsi ibu yang akses terhadap pelayanan kesehatan ibu hamil kepada tenaga kesehatan minimal 4 kali dan memenuhi kriteria 1-1-2 yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3.

Page 61: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

37

Tabel 3.2.2 Persentase perempuan 10-54 tahun yang melakukan pemeriksaan kesehatan

ibu hamil (ANC) saat hamil anak terakhir menurut indikator pelayanan antenatal (ANC) berdasarkan karakteristik ibu, Sirkesnas 2016

Karakteristik ibu

Jumlah perempuan 10-54 tahun yang pernah

bersalin*

Melakukan ANC

Total

Melakukan ANC

Cakupan ANC

K1 ideal

Cakupan ANC K4

Ya

(K1) Tidak ANC

K1 ideal

Tidak K1

ideal

ANC K4

ANC tidak K4

Umur saat bersalin

10 - 14 tahun 4 100,0 0,0 100,0 0,0 100,0

0,0 100,0 15 - 19 tahun 350 92,9 7,1 100,0 67,1 25,8

57,3 35,5

20 - 24 tahun 1393 96,9 3,1 100,0 84,3 12,6

75,7 21,2 25 - 29 tahun 2008 97,3 2,7 100,0 83,5 13,8

74,6 22,7

30 - 34 tahun 2021 97,5 2,5 100,0 84,5 13,0

75,4 22,1 35 - 39 tahun 1127 96,4 3,6 100,0 77,7 18,7

69,2 27,2

40 - 44 tahun 377 96,5 3,5 100,0 70,0 26,5

60,5 36,1 45 - 49 tahun 27 88,9 11,1 100,0 55,6 33,3

44,4 44,4

50 - 54 tahun 7 100,0 0,0 100,0 71,4 28,6

66,7 33,3

Pendidikan ibu

Tidak/belum pernah sekolah

152

71,7 28,3 100,0 53,3 18,4

40,1 31,6

Tidak tamat SD/MI 475 90,1 9,9 100,0 70,1 20,0

56,6 33,5

Tamat SD/MI 1908 95,9 4,1 100,0 75,2 20,7

66,2 29,7

Tamat SLTP/MTS 1796 98,3 1,7 100,0 81,6 16,7

72,6 25,8

Tamat SLTA/MA 2175 98,8 1,2 100,0 87,1 11,6

78,6 20,1

Tamat D1/D2/D3 353 99,7 0,3 100,0 90,4 9,3

87,0 12,7

Tamat PT 455 99,3 0,7 100,0 93,0 6,4

85,2 14,1

Pekerjaan Kepala Keluarga

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD

385

98,2 1,8 100,0 88,3 9,9

77,5 20,7

Pegawai swasta 1190 98,8 1,2 100,0 90,4 8,4

81,2 17,6

Wiraswasta 1763 99,0 1,0 100,0 86,2 12,8

78,7 20,4

Petani 1646 92,6 7,4 100,0 69,3 23,3

59,6 33,0

Nelayan 137 93,4 6,6 100,0 73,0 20,4

59,9 33,6

Buruh 1343 97,6 2,4 100,0 82,0 15,6

72,3 25,3

Lainnya 340 95,0 5,0 100,0 77,4 17,6

70,4 24,6

Tidak bekerja 511 97,5 2,5 100,0 80,7 16,8

73,6 23,9

Daerah tempat tinggal

Perkotaan 3628 98,8 1,2 100,0 87,9 10,9

80,0 18,9

Perdesaan 3685 94,9 5,1 100,0 74,9 20,0

65,1 29,8

Indonesia 7313 96,9 3,1 100,0 81,4 15,5 72,5 24,4

*) periode rujukan (1 Januari 2014 sampai dengan survei)

Kelompok umur ibu hamil berisiko yaitu <20 tahun dan >35 tahun menunjukkan persentase melakukan K1 ideal dan K4 cenderung lebih rendah (<80%) dibandingkan kelompok umur tidak berisiko (20-35 tahun) yang menunjukkan capaian rata-rata lebih dari 80 persen. Kelompok umur berisiko ini

Page 62: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

38

seharusnya mendapat pelayanan kesehatan yang optimal untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Cakupan ANC berhubungan positif dengan pendidikan ibu, makin tinggi pendidikan ibu persentase ANC K1 ideal dan K4 semakin tinggi. Pola ANC menurut pekerjaan KK terlihat bahwa ibu dengan KK yang bekerja sebagai pegawai (pemerintah/PNS, BUMN/BUMD maupun swasta) dan wiraswasta merupakan kelompok dengan persentase pelayanan ANC K1 ideal dan K4 lebih tinggi dibandingkan KK dengan pekerjaan buruh, nelayan, lainnya atau tidak bekerja. Ibu hamil yang tinggal di perkotaan (87,9% dan 80%) lebih mudah akses untuk mendapatkan pelayanan ANC dibandingkan ibu di perdesaan (74,9% dan 65,1%) untuk cakupan K1 ideal dan K4.

Pada awal sub bab ini telah dijelaskan bahwa data indikator ANC Sirkesnas 2016 memungkinkan untuk dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Gambar 3.2.2 adalah perbandingan capaian program ANC menurut indikator K1, K1 ideal dan K4 dari Riskesdas 2013 dan Sirkesnas 2016.

Gambar 3.2.2 Capaian indikator pelayanan ibu hamil K1, K1 ideal dan K4 menurut

hasil Sirkesnas 2016 dibandingkan Riskesdas 2013

Gambar 3.2.2 menunjukkan bahwa secara umum persentase cakupan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4) yang dihasilkan oleh Sirkesnas 2016 cenderung tidak mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan data Riskesdas 2013, yaitu 96,9 persen. Begitu pula untuk persentase cakupan K1 dan K1 ideal dari data Sirkesnas 2016 yang tidak jauh berbeda dengan data Riskesdas 2013, yaitu masing-masing 81,4 persen dan 72,5 persen.

Capaian program kesehatan ibu hamil K4 Renstra Kementerian Kesehatan menurut survei komunitas Sirkesnas adalah 72,5 persen. Target Renstra Kemenkes 2015-2019 adalah 72 persen pada tahun 2015, dengan demikian target program kesehatan ibu untuk indikator ini telah tercapai.

Tabel 3.2.2 juga menunjukkan bahwa terdapat 3,1 persen ibu yang tidak melakukan ANC. Dilakukan identifikasi lebih lanjut alasan mereka yang tidak melakukan ANC saat hamil anak terakhir. Gambar 3.2.3 menyajikan alasan ibu hamil tidak melakukan ANC, dimana tiga besar alasannya adalah tidak ada biaya (45,4%), jauh (42,1%) dan merasa tidak perlu periksa kehamilan (34,7%).

Page 63: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

39

Gambar 3.2.3 Persentase perempuan 10-54 tahun pernah melahirkan menurut alasan tidak

melakukan ANC*), Sirkesnas 2016 Keterangan *) alasan boleh lebih dari satu

b. Pelayanan ANC menurut tenaga dan tempat fasilitas pelayanan kesehatan

Pelayanan ANC diberikan oleh tenaga kesehatan dan tempat fasilitas pelayanan kesehatan. Sirkesnas 2016 mengumpulkan informasi ibu yang mendapat pelayanan ANC menurut jenis tenaga kesehatan yang memberi pelayanan dan tempat mendapat pelayanan ANC. Gambar 3.2.4 dan Gambar 3.2.5 berikut adalah persentase ibu yang mendapat pelayanan ANC menurut tenaga kesehatan yang memberi pelayanan ANC dan jenis tempat fasilitas pelayanan kesehatan. Dari Gambar 3.2.4 terlihat bahwa sebagian besar ANC diberikan oleh bidan (82,4%), sedangkan fasilitas pelayanan kesehatan yang paling banyak dikunjungi oleh ibu untuk ANC adalah bidan praktek mandiri (40,5%) (Gambar 3.2.5).

Page 64: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

40

Gambar 3.2.4 Persentase ibu yang melakukan ANC

menurut jenis tenaga kesehatan pelayanan kesehatan

Gambar 3.2.5

Persentase ibu yang melakukan ANC menurut jenis fasilitas pelayanan kesehatan

Tabel lengkap pelayanan ANC menurut jenis tenaga kesehatan dan jenis fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel 1 dan Tabel 2.

c. Komponen ANC

Peningkatan kualitas pelayanan ANC diupayakan oleh Kementerian Kesehatan dengan menetapkan standar pelayanan yang harus dilakukan bidan atau tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil yang diawali dengan komponen ANC 5T. Kemudian komponen ANC 5T tersebut berkembang menjadi komponen ANC 7T dan pada tahun 2009 menjadi Komponen ANC 10T sebagaimana tertuang dalam Permenkes No 97 Tahun 2014.

Komponen ANC 10 T terdiri dari : 1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan 2. Ukur tekanan darah 3. Ukur tinggi fundus uteri 4. Skrining Status Imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid

(TT) bila diperlukan 5. Beri tablet tambah darah (tablet besi) 6. Periksa laboratorium* (rutin dan khusus) 7. Temu wicara (konseling) 8. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LiLA) 9. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)

10. Tata laksana/penanganan kasus *) tes protein urin, tes golongan darah dan pemeriksaan Hb **Komponen ANC 7T mencakup komponen ANC No 1 sampai 7

Data Sirkesnas 2016 mengenai komponen layanan ANC yang diterima oleh ibu hamil di Indonesia didasarkan dari survei komunitas. Responden ditanya tentang jenis item komponen ANC yang telah diterima selama hamil anak terakhir dan disajikan pada Gambar 3.2.6 di bawah ini. Pada gambar tersebut

Page 65: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

41

juga disajikan komposit dari ANC yang mendapat pelayanan item komponen ANC 7T dan 10T yang menunjukkan bahwa komponen ANC yang diterima untuk lengkap seluruh 10T masih rendah yaitu 2,7 persen. Adapun jenis pelayanan komponen ANC 7T dan 10T yang diterima menurut karakteristik disajikan pada Lampiran 3 Tabel 3.

Gambar 3.2.6

Persentase ibu menerima pelayanan kesehatan saat hamil anak terakhir menurut komponen ANC, Sirkesnas 2016

Rendahnya capaian 7T dan 10T dimungkinkan karena adanya komponen

yang tidak bersifat umum seperti tata laksana kasus yang dilakukan terhadap ibu hamil dengan indikasi sehingga tidak semua ibu hamil menerima komponen ini. Secara umum pengukuran berat badan dan tekanan darah paling banyak dilaporkan oleh ibu yang mendapat layanan ANC. Pemeriksaan laboratorium yang bersifat rutin masih di bawah 50 persen. Terkait dengan informasi pemeriksaan laboratorium ini, pada survei fasilitas di puskesmas ditanyakan tentang penyediaan layanan pemeriksaan laboratorium terkait pelayanan KIA di puskesmas. Informasi yang dikumpulkan di puskesmas adalah ketersediaan jenis pelayanan pemeriksaan terkait ibu hamil di puskesmas yang di survei. Selanjutnya untuk puskesmas yang menjawab tersedia dilanjutkan dengan pertanyaan kecukupan dan tidak cukup. Hasil analisis data puskesmas terkait dengan pemeriksaan laboratorium tersebut disajikan pada Tabel 3.2.3.

Page 66: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

42

Tabel 3.2.3.a Persentase puskesmas yang memberikan layanan laboratorium menurut lokasi

berdasarkan jenis pemeriksaan laboratorium, Sirkesnas 2016

Tabel 3.2.4.b Persentase puskesmas yang memberikan layanan laboratorium menurut

kecukupan pelayanan dan lokasi puskesmas berdasarkan jenis pemeriksaan laboratorium, Sirkesnas 2016

Tabel di atas menunjukkan bahwa di antara puskesmas yang memberikan layanan laboratorium, pemeriksaan Hb merupakan jenis pelayanan laboratorium yang paling besar ketersediaannya baik di wilayah perkotaan (92,6%) maupun perdesaan (82%). Dari puskesmas yang menyatakan tersedia pemeriksaan Hb, 94 persen (di puskesmas perkotaan) dan 91,3 persen (di puskesmas perdesaan) melaporkan kapasitas yang cukup untuk pelayanan pemeriksaan Hb, sebaliknya pemeriksaan sifilis atau penyakit PMS lainnya paling kecil ketersediaannya di puskesmas sampel.

3.2.2 Indikator pelaksanaan program Kelas Ibu Hamil oleh puskesmas

Program Kelas Ibu Hamil merupakan salah satu program unggulan Kementerian Kesehatan. Buku Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil

Pelayanan Laboratorium di Puskemas

Perkotaan Perdesaan Total

Tersedia Tidak

tersedia Tersedia

Tidak tersedia

Tersedia Tidak

tersedia

Pemeriksaan Gol. Darah 89,4 10,6 69,4 30,6 80,3 19,8

Pemeriksaan Hb 92,6 7,4 82,0 18,0 87,8 12,3

Pemeriksaan protein dalam urin 89,4 0,6 70,5 29,5 80,8 19,3

Pemeriksanaan darah malaria 55,8 44,2 65,6 34,4 60,2 39,8

Pemeriksaan sifilis 37,3 62,7 11,5 88,5 25,5 74,5

Pemeriksaan HIV 60,4 39,6 23,0 77,0 43,3 56,8

Lainnya 46,1 53,9 22,4 77,6 35,3 64,8

Pelayanan Laboratorium Di Puskemas

Perkotaan Perdesaan Total

Cukup Tidak cukup Cukup Tidak cukup Cukup Tidak cukup

Pemeriksaan Gol. Darah 94,3 5,7 92,1 7,9 93,5 6,5

Pemeriksaan Hb 94,0 6,0 91,3 8,7 92,9 7,1

Pemeriksaan protein dalam urin 93,3 6,7 93,0 7,0 93,2 6,8

Pemeriksanaan darah malaria 90,1 9,9 91,7 8,3 90,9 9,1

Pemeriksaan sifilis 90,1 9,9 95,2 4,8 91,2 8,8

Pemeriksaan HIV 92,4 7,6 88,1 11,9 91,3 8,7

Lainnya 93,0 7,0 85,4 14,6 90,8 9,2

Page 67: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

43

menyebutkan bahwa Kelas Ibu Hamil adalah kelompok belajar ibu-ibu hamil dengan umur kehamilan antara 4 minggu sampai 36 minggu (menjelang persalinan) dengan jumlah peserta maksimal 10 orang (Kementerian Kesehatan, 2014).

Program ini menjadi salah satu indikator yang ditetapkan dalam Renstra Kemenkes 2015-2019, yaitu persentase puskesmas yang telah melaksanakan program kelas ibu hamil. Indikator ini dikumpulkan melalui survei fasilitas yaitu pengumpulan data di puskesmas terpilih dengan wawancara kepada Penanggungjawab kegiatan KIA.

Hasil analisis data Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa capaian puskesmas yang telah melaksanakan program kelas ibu hamil adalah 94,3 persen. Total puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil adalah 377 puskesmas (94,3%), dengan rincian di perkotaan sebanyak 210 puskesmas, dan di perdesaan 167 pukesmas. Terdapat 23 puskesmas (5,8%) yang tidak melaksanakan kelas ibu hamil, dengan rincian di perkotaan sebanyak 7 puskesmas (3,2%) dan di perdesaan 16 puskesmas (8,7%) (lihat Gambar 3.2.7).

Gambar 3.2.7

Persentase puskesmas yang melaksanakan program kelas ibu hamil berdasarkan lokasi puskesmas dan pelaksanaan program kelas ibu hamil,

Sirkesnas 2016

Tabel 3.2.4 menggambarkan pelaksanaan kelas ibu hamil di puskesmas perkotaan dan perdesaan berdasarkan fasilitator dalam kelas ibu hamil dan materi yang diberikan saat kelas ibu hamil. Fasilitator kelas ibu hamil sesuai buku Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil (Kementerian Kesehatan, 2014) adalah bidan atau tenaga kesehatan yang telah mendapat pelatihan fasilitator kelas ibu hamil atau melalui on the job training. Berdasarkan fasilitator dalam Kelas Ibu Hamil di puskesmas perkotaan, fasilitator yang paling banyak memberikan materi adalah bidan (99,0%), tenaga gizi (50,0%) dan dokter (33,3%). Fasilitator yang paling banyak memberikan materi di puskesmas perdesaan adalah bidan (100%), tenaga gizi (46,1 %) dan tenaga promosi kesehatan (31,7%).

Page 68: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

44

Tabel 3.2.4.

Prosentase pelaksanaan program Kelas Ibu Hamil di puskesmas menurut lokasi, Sirkesnas 2016

Pelaksanaan Program Kelas Ibu Hamil

Lokasi Puskesmas Total Perkotaan Perdesaan

n % n % n %

Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil

210 96,8 167 91,3 377 94,3

Fasilitator dalam kelas ibu hamil Dokter 70 33,3 50 29,9 120 31,8 Bidan 208 99,0 167 100,0 375 99,5 Perawat 35 16,7 37 22,2 72 19,1 Tenaga Gizi 105 50,0 77 46,1 182 48,3 Tenaga Promkes 60 28,6 53 31,7 113 30,0 Ikatan Bidan Indonesia (IBI) 28 13,3 25 15,0 53 14,1 Lainnya 44 21 34 20,4 78 20,7 Materi yang diberikan saat kelas ibu hamil

Buku KIA 207 98,6 163 97,6 370 98,1 Perubahan tubuh saat kehamilan 203 96,7 162 97,0 365 96,8 Perawatan kehamilan 206 98,1 166 99,4 372 98,7 Persalinan 207 98,6 164 98,2 371 98,4 Perawatan nifas 205 97,6 162 97,0 367 97,3 Pasca Persalinan 206 98,1 160 95,8 366 97,1 Perawatan bayi baru lahir 203 96,7 163 97,6 366 97,1 Penyakit menular 188 89,5 138 82,6 326 86,5 Akte kelahiran 170 81,0 124 74,3 294 78,0 Senam hamil 194 92,4 147 88,0 341 90,5 Lainnya 70 33,3 40 24,0 110 29,2

Berdasarkan Buku Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil (Kementerian Kesehatan, 2014) materi yang diberikan di kelas ibu hamil adalah pemeriksaan kehamilan, persalinan aman, nifas nyaman, pencegahan penyakit, komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, perawatan bayi baru lahir, dan aktivitas fisik ibu hamil serta informasi buku KIA. Dari hasil Sirkesnas 2016, materi yang paling banyak diberikan saat kelas ibu hamil di puskesmas perkotaan adalah Buku KIA (98,6%), dan di puskesmas perdesaan adalah perawatan kehamilan (99,4%).

Baseline indikator ini dalam Renstra Kemenkes 2015-2019 adalah 27 persen dan target indikator persentase puskesmas yang melaksanakan program kelas ibu hamil sampai tahun 2015 adalah 78 persen dan pada tahun 2016 adalah 82 persen. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan capaian 94 persen puskesmas sampel telah melaksanakan program Kelas Ibu Hamil. Dengan demikian target Kementerian Kesehatan untuk indikator ini telah tercapai. Hal ini dimungkinkan karena definisi operasional indikator ini yang menyatakan bahwa puskesmas yang menjalankan program kelas ibu hamil meskipun hanya ada satu kelas, dinilai telah melaksanakan program kelas ibu hamil. Definisi operasional tersebut memudahkan puskesmas untuk mencapai target indikator.

Sirkesnas 2016 juga mengumpulkan informasi tentang pengalaman selama kehamilan anak terakhir, apakah saat hamil anak terakhir responden pernah mengikuti kelas ibu hamil dan berapa kali mengikuti kelas ibu hamil. Gambar berikut merupakan keikutsertaan ibu dalam kelas ibu hamil pada survei rumah tangga.

Page 69: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

45

Gambar 3.2.7

Persentase keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil menurut laporan ibu

saat hamil anak terakhir, Sirkesnas 2016

Gambar 3.2.8

Persentase keikutsertaan dalam Kelas Ibu Hamil menurut frekuensi,

Sirkesnas 2016

Tabel lengkap keikutsertaan ibu dalam Kelas Ibu Hamil menurut karakteristik disajikan pada Lampiran 3 Tabel 4

Capaian puskesmas yang melaksanakan program Kelas Ibu Hamil sebanyak 94,3 persen (Tabel 3.2.4) , sementara hasil wawancara di masyarakat, ibu yang mengikuti Kelas Ibu Hamil hanya sebesar 19,2 persen (Gambar 3.2.8). Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar responden tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil dengan alasan tidak tahu tentang kelas ibu hamil sebanyak 49,8 persen (Tabel 3.2.5).

Gambar 3.2.9, menunjukkan frekuensi keikutsertaan dalam kelas ibu hamil. Buku Panduan Kelas Ibu Hamil menyatakan bahwa Kelas Ibu Hamil minimal diikuti sebanyak empat kali selama kehamilan dengan topik-topik yang telah ditetapkan. Namun pada Sirkesnas ditemukan ibu yang mengikuti kelas ibu hamil lebih dari lima kali. Hal ini dimungkinkan karena terdapat daerah yang membagi tiap materi dalam dua kali pertemuan, sehingga materi Kelas Ibu Hamil dari empat kali pertemuan menjadi delapan kali pertemuan. Adapun tabel rinci frekuensi keikutsertaan ibu dalam kelas ibu hamil disajikan pada Lampiran 3 Tabel 5

Tabel 3.2.5 menyajikan alasan ibu tidak mengikuti kelas ibu hamil. Dari 7.313 perempuan 10-54 tahun yang bersalin anak terakhir, yang tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil (KIH) sebanyak 5.907 ibu (80,8%). Sebagai bahan evaluasi dan perencanaan program lebih lanjut, dari ibu yang tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil, ditanyakan alasan ibu tidak mengikuti kelas ibu hamil.

Page 70: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

46

Tabel 3.2.5 Persentase perempuan 10-54 tahun yang tidak mengikuti kelas ibu hamil,

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik latar belakang

Jumlah perempuan

10-54 th yang

bersalin anak

terakhir

Tidak mengikuti kelas ibu

hamil

N

Alasan tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil

Bel

um ta

hu

Jauh

Tra

nspo

rtas

i

Dila

rang

Tid

ak te

rtar

ik

Ter

lalu

lam

a

Lain

nya

Umur ibu saat wawancara

10 -14 tahun 4 100,0 4 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

15 - 19 tahun 211 77,1 162 66,7 5,9 1,8 0,0 10,1 2,4 32,5

20 - 24 tahun 1.275 76,4 973 56,3 8,9 4,0 1,3 7,8 2,3 37,7

25 - 29 tahun 1.967 82,8 1.627 47,7 8,6 2,8 1,4 11,0 4,7 42,4

30 - 34 tahun 2.010 80,1 1.610 46,7 8,9 4,0 1,5 10,0 2,9 45,6

35 - 39 tahun 1.291 82,9 1.070 50,5 7,5 2,8 1,2 12,9 4,1 39,5

40 - 44 tahun 497 83,3 414 45,7 9,5 3,5 3,0 14,4 3,9 48,0

45 - 49 tahun 48 80,9 38 48,7 5,1 5,1 0,0 10,3 5,1 41,0

50 - 54 tahun 11 90,9 10 80,0 20,0 10,0 0,0 0,0 0,0 30,0

Pendidikan Ibu

Tidak/ belum pernah sekolah 152 92,8 142 47,6 13,6 11,6 2,0 10,2 4,7 48,6

Tidak tamat SD/MI 474 77,6 368 54,8 8,6 4,4 1,0 11,7 3,4 36,8

Tamat SD/MI 1.908 77,7 1.483 55,5 11,2 4,1 1,9 8,9 2,7 38,2

Tamat SLTP/MTS 1.795 76,6 1.376 54,5 7,3 3,5 1,3 8,2 2,5 38,8

Tamat SLTA/MA 2.176 84,5 1.838 46,5 8,3 2,6 1,5 12,3 3,9 43,3

Tamat D1/D2/D3 354 81,5 287 32,1 3,0 1,3 0,7 13,7 2,3 57,0

Tamat PT 454 91,2 414 36,5 6,0 1,6 1,2 16,2 9,3 53,3

Pekerjaan Kepala Keluarga

PNS/ TNI/Polri/BUMN/ BUMD 385 88,1 339 38,0 6,5 2,8 1,4 13,6 4,5 49,0

Pegawai swasta 1.190 84,6 1.008 44,8 9,6 4,1 1,8 15,1 5,7 44,6

Wiraswasta 1.763 80,6 1.420 49,8 7,4 2,5 2,1 11,3 4,1 39,6

Petani 1.645 78,9 1.299 50,7 8,3 4,2 1,0 7,9 2,8 44,2

Nelayan 136 80,3 110 66,7 6,1 4,4 1,8 8,8 1,8 28,9

Buruh 1.342 78,2 1.050 53,9 10,3 3,3 0,7 9,0 1,6 41,0

Lainnya 341 82,1 279 56,2 8,3 3,4 2,7 9,0 3,1 38,5

Tidak bekerja 511 78,7 402 49,6 8,6 2,1 0,7 11,5 3,8 40,4

Daerah tempat tinggal

Perkotaan 3.627 83,8 3.040 48,2 7,2 2,4 1,6 14,3 4,7 41,7

Pedesaan 3.686 77,8 2.868 51,5 9,9 4,4 1,3 7,0 2,4 42,5

Jumlah 7.313 80,8 5.907 49,8 8,5 3,4 1,5 10,8 3,6 42,0

*jawaban dapat lebih dari 1

Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan alasan ibu tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil, sebagian besar menyatakan belum tahu adanya kelas ibu hamil (49,8%). Hal ini mengindikasikan perlunya sosialisasi dan penyuluhan pentingnya program Kelas Ibu Hamil bagi masyarakat. Alasan ibu tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil berdasarkan kelompok umur saat wawancara, pada umumnya karena ketidaktahuan, tertinggi pada kelompok umur remaja (10-19 tahun), dan terendah pada kelompok umur 40-44 tahun. Mereka merupakan kelompok ibu hamil risiko tinggi yang memerlukan perhatian selama masa kehamilan sampai masa nifas. Dilihat berdasarkan pendidikan ibu, alasan ibu tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil karena ketidaktahuan, tertinggi pada

Page 71: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

47

kelompok tamat SD/MI (55,5%) dan tidak tamat SD (54.8%). Berdasarkan karakteristik ibu menurut pekerjaan KK, alasan ibu tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil karena ketidaktahuan yang tertinggi pada kelompok nelayan (66,7%) dan terendah pada kelompok PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD sebesar 38,0 persen. Ibu yang tinggal di perdesaan lebih banyak yang tidak mengikuti Kelas Ibu Hamil karena ketidaktahuan (51,5%) jika dibandingkan di perkotaan. Kondisi ini membuktikan bahwa sosialisasi tentang kelas ibu hamil belum maksimal. 3.2.3 Indikator pelaksanaan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan

Pencegahan Komplikasi (P4K) oleh puskesmas

Indikator utama Renstra Kemenkes 2015-2019 berikutnya adalah persentase puskesmas yang melaksanakan orientasi P4K. Program P4K dicanangkan tahun 2007, sebagai upaya terobosan dalam mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir melalui kegiatan peningkatan akses dan kualitas pelayanan.

Orientasi P4K adalah sosialisasi kepada para kader/toma/toga di wilayah puskesmas tentang Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Salah satu kegiatan orientasi P4K adalah penempelan stiker di rumah ibu hamil (Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat-Kementerian Kesehatan RI, 2009). Program P4K dengan stiker yang ditempel di rumah ibu hamil diharapkan memudahkan untuk mengidentifikasi setiap ibu hamil yang akan bersalin dan sudah mempunyai perencanaan persalinan dan kesiagaan jika menjalani persalinan dan menghadapi kondisi kegawatdaruratan. Stiker P4K berisi data tentang: nama ibu hamil, taksiran persalinan, penolong persalinan, tempat persalinan, pendamping persalinan, transportasi yang digunakan dan calon donor darah. Data dalam stiker tersebut dapat dipantau secara intensif oleh suami, keluarga, kader dan bidan, sehingga diharapkan ibu mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar pada saat antenatal, persalinan, dan nifas.

Tujuan dari program P4K ini adalah: a. Terdatanya sasaran ibu hamil dan terpasangnya stiker P4K di rumah ibu

hamil b. Adanya perencanaan persalinan termasuk pemakaian metode KB pasca

melahirkan yang sesuai dan disepakati ibu hamil, suami, keluarga, dan bidan. c. Adanya dukungan dari tokoh masyarakat, kader, dan dukun.

Indikator ini dikumpulkan dalam Sirkesnas melalui survei fasilitas ke puskesmas terpilih. Analisis dilakukan pada 400 puskesmas.

Baseline indikator ini adalah 72 persen dengan target tahun 2015 sebesar 77 persen dan 83 persen pada tahun 2016. Gambar 3.2.10 menunjukkan jumlah puskesmas yang telah melaksanakan orientasi P4K yaitu sebanyak 355 puskesmas (88,8%).

Page 72: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

48

Gambar 3.2.9

Persentase puskesmas yang pernah melakukan orientasi P4K

Hasil diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan orientasi P4K di puskesmas sudah mencapai target, sesuai dengan indikator Renstra Kemenkes 2015-2019.

Gambar 3.2.10

Persentase puskesmas yang melaksanakan Orientasi P4K, Sirkesnas 2016

Pelaksanaan orientasi P4K berdasarkan klasifikasi daerah menunjukkan bahwa pelaksanaan orientasi P4K di perkotaan sebesar 91,2 persen, dan perdesaan 85,8 persen. Terdapat 45 puskesmas (12,2%) yang tidak pernah melakukan orientasi P4K (Gambar 3.2.11).

Tabel 3.2.6 berikut menyajikan hasil survei fasilitas tentang pelaksanaan orientasi oleh puskesmas. Dalam pelaksanaan orientasi P4K terlihat bahwa peserta orientasi P4K yang terbanyak adalah kader (92,1%) dan bidan (85,3%). Kondisi ini menjelaskan bahwa bidan dan kader banyak berpartisipasi dalam pelayanan ibu dan anak di puskesmas, khususnya dalam pelaksanaan orientasi P4K.

Page 73: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

49

Tabel 3.2.6 Persentase pelaksanaan Orientasi P4K di puskesmas menurut lokasi,

Sirkesnas 2016

Orientasi P4K Lokasi Puskesmas

Perkotaan Perdesaan Total Puskesmas

n % n % n %

Peserta orientasi P4K Tim penggerak PKK 125 63,5 93 59,2 218 61,6 Kader 187 94,9 139 88,5 326 92,1 Bidan desa 158 80,2 14 91,7 302 85,3 Toma/Toga 119 60,4 91 42,0 210 59,3 Lainnya 80 40,6 52 33,1 132 37,3

Materi yang diberikan dalam orientasi P4K

Kehamilan dan persalinan 192 97,5 152 96,8 344 97,2 Tanda bahaya kehamilan dan nifas 189 95,9 154 98,1 343 96,9 Tanda bahaya pada bayi baru lahir 181 91,9 144 91,7 325 91,8 Mekanisme P4K 185 93,9 140 89,2 325 91,8 Lainnya 70 35,5 53 33,8 123 34,7

Bukti daftar hadir pelaksanaan orientasi P4K

Dapat menunjukkan 80 40,6 60 38,2 140 39,5 Tidak dapat menunjukkan 84 42,6 63 40,1 147 41,5 Tidak ada 33 16,8 34 21,7 67 18,9

Total 245 61,3 155 38,7 400 100,0

Materi yang diberikan dalam pelaksanaan orientasi P4K adalah

kehamilan dan persalinan (97,2%), tanda bahaya kehamilan dan nifas (96,9%), tanda bahaya pada bayi baru lahir (91,8%), dan mekanisme P4K (91,8%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa materi yang sesuai dengan program sudah dilaksanakan oleh puskesmas.

Idealnya informasi tentang puskesmas yang telah melaksanakan orientasi P4K didukung oleh bukti dokumen yang otentik seperti bukti daftar hadir. Pada Sirkesnas ditanyakan kepada responden tentang keberadaan bukti tersebut. Hasil observasi di lapangan melaporkan bahwa puskesmas yang mempunyai bukti pelaksanaan orientasi P4K berupa daftar hadir sebanyak 39,5 persen, yang tidak dapat menunjukkan 41,5 persen, dan yang tidak ada 18.9 persen.

Secara keseluruhan, indikator puskesmas yang pernah melaksanakan orientasi P4K sudah tercapai. Hasil tersebut dievaluasi melalui implementasi program di masyarakat dalam bentuk stiker P4K, yang merupakan satu paket dan menempel pada buku KIA yang diberikan kepada setiap ibu hamil. Idealnya stiker P4K diisi sebagai komitmen antara keluarga, kader dan petugas kesehatan terkait persiapan persalinan dan pencegahan komplikasi dan kemudian ditempel pada pintu atau bagian depan rumah responden. Pada Sirkesnas 2016 dilakukan konfirmasi di masyarakat tentang program P4K dengan stiker melalui survei komunitas. Gambar 3.2.12 menyajikan hasil identifikasi dan observasi terhadap stiker P4K pada rumah responden. Gambar tersebut menunjukkan bahwa meskipun dari segi kuantitas puskesmas mudah mencapai target indikator orientasi P4K namun terdapat variasi dari penerimaan dan penempelan stiker P4K di masyarakat.

Page 74: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

50

Gambar 3.2.11 Observasi stiker pada rumah responden, Sirkesnas 2016

Ibu hamil yang mendapat stiker sebesar 25,8 persen. Berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa stiker P4K yang terisi lengkap hanya 18,2 persen. Stiker P4K yang tidak ditemukan atau tidak ditempel pada rumah ibu hamil cukup tinggi, yaitu sebesar 49,6 persen. Hasil temuan di lapangan membuktikan bahwa banyak puskesmas yang sudah melaksanakan orientasi P4K, namun penempelan stiker belum terlaksana dengan baik.

3.2.4 Indikator persentase persalinan di fasiltas pelayanan kesehatan

Indikator persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan merupakan indikator Direktorat Jenderal Gizi dan KIA dalam Renstra Kemenkes 2015-2019 dan merupakan indikator yang menggambarkan upaya Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan ibu bersalin dalam rangka meningkatkan status kesehatan ibu.

Definisi operasional indikator persentase persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan menurut Renstra Kemenkes 2015-2019 adalah jumlah ibu bersalin di wilayah kerja puskesmas yang mendapatkan pertolongan sesuai standar oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dalam kurun waktu satu tahun dibagi jumlah sasaran ibu bersalin yang ada di wilayah kerja puskesmas dalam kurun waktu satu tahun yang sama kali 100.

Baseline yang digunakan pada Renstra adalah 70,2 persen, dengan target tahun 2015 adalah 75 persen dan tahun 2016 sebesar 77 persen. Data yang digunakan untuk baseline tersebut merujuk pada data Riskesdas 2013. Pada Sirkesnas 2016, kasus persalinan ditanyakan kepada perempuan berusia 10-54 tahun tentang pengalaman persalinan anak terakhir yang lahir pada periode 1 Januari 2014 sampai dengan wawancara. Cakupan data yang disajikan Sirkesnas 2016 adalah hasil survei berbasis sampel dan tidak mencakup seluruh ibu bersalin hamil di wilayah kerja puskesmas, sehingga perlu kehati-hatian dalam membandingkan antara data rutin dan data survei.

Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat. Fasilitas pelayanan kesehatan didefinisikan sebagai suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif

Page 75: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

51

yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/masyarakat (Permenkes 75 tahun 2014). Merujuk pada definisi tersebut maka yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan untuk bersalin meliputi rumah sakit (RS), klinik, rumah bersalin, puskesmas, puskesmas pembantu, praktek tenaga kesehatan, poskesdes dan polindes. Secara umum hasil Sirkesnas 2016 untuk penolong persalinan dan tempat persalinan adalah sebagai berikut:

Gambar 3.2.12

Persentase penolong persalinan, Sirkesnas 2016*

Gambar 3.2.13

Persentase persalinan menurut tempat bersalinan, Sirkesnas 2016*

Terdapat keterkaitan erat antara penolong persalinan dan tempat persalinan. Gambar 3.2.13. menunjukkan persalinan menurut penolong persalinan pertama dan terakhir, dan Gambar 3.2.14 menunjukkan persalinan menurut jenis tempat bersalin.

Gambar 3.2.13 merupakan proses persalinan yang mungkin ditangani/ditolong oleh lebih dari 1 jenis tenaga dari saat pertama mulai proses persalinan hingga penolong terakhir yang mungkin berbeda. Hal ini antara lain dapat disebabkan karena adanya proses rujukan. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa terdapat penurunan persentase penolong persalinan oleh tenaga non kesehatan dan peningkatan cakupan penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terutama dokter spesialis dari penolong persalinan pertama dan terakhir. Hal ini menunjukkan indikasi adanya rujukan. Sebagian besar persalinan di Indonesia dilakukan oleh bidan. Tidak banyak terjadi penurunan proporsi antara penolong persalinan pertama dan terakhir oleh bidan.

Tabel 3.2.8 merupakan gambaran capaian indikator utama Renstra Kementerian Kesehatan tentang persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa capaian persentase persalinan di fasyankes adalah 79,3 persen. Jika dibandingkan dengan target 75 persen pada tahun 2015 dan 76 persen pada tahun 2016 dalam Renstra Kemenkes 2015-2019 (dari baseline tahun 2014 sebesar 70,4 persen), maka capaian persalinan di fasyankes berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 telah melampaui target.

Gambar 3.2.13 menunjukkan bahwa terdapat 29,6 persen yang melahirkan di rumah sakit (pemerintah dan swasta) dan 22,6 persen melahirkan pada praktek tenaga kesehatan. Hal ini mengindikasikan masih perlu adanya pemantauan kualitas pelayanan persalinan dan penanganan kegawatdaruratan untuk institusi selain rumah sakit. Tabel 3.2.7 dan Tabel 3.2.8 merupakan pola penolong persalinan dan jenis tempat bersalin menurut karakteristik.

Page 76: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

52

Tabel 3.2.7 Distribusi persentase perempuan 10-54 tahun yang pernah bersalin periode 1 Januari 2014 sampai dengan wawancara

tentang penolong persalinan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik

Penolong Pertama Penolong Terakhir Jumlah

perempuan 10-54 tahun yang

bersalin dokt

er

kand

unga

n

dokt

er

umum

bida

n

Per

awat

duku

n

kelu

arga

/

lain

nya

Nak

es *

dokt

er

kand

unga

n

Dok

ter

umum

Bid

an

Per

awat

duku

n

kelu

arga

/

lain

nya

Nak

es*

Pendidikan terakhir

Tidak sekolah 11,2 0,7 35,5 0 27,6 25,0 47,7

13,1 2 42,5 0,7 26,1 15,7 57,5 152

Tidak tamat SD 6,8 0,2 55,7 0,4 24,1 12,9 63,2

12,9 1,9 59,7 0,6 20,7 4,2 74,9 474 Tamat SD 9,9 0,3 59,7 0,4 22,2 7,5 70,3

16,9 1,9 61,9 0,5 17,3 1,5 81,2 1.908

Tamat SLTP/ MTS 14,3 0,7 67,5 0,2 8,3 9,1 82,6

25,3 1 67,3 0,3 5,5 0,6 93,9 1.795 Tamat SLTA/ MA 21,6 0,7 65,6 0,8 3,7 7,7 88,7

32,3 2,2 62,5 0,3 2,3 0,4 97,3 2.176

Tamat D1/D2/D3 47,2 1,1 42,9 0,3 1,1 7,3 91,5

57,8 2,5 39,1 0 0,6 0 99,4 354 PT 47,6 0,4 43,8 0,4 1,8 5,9 92,3

56,6 2,2 39,6 0,2 1,1 0,2 98,7 454

Pekerjaan

Tidak bekerja 22,5 0,6 58,7 0,2 7,6 10,4 82

34,3 1,6 55,1 0,4 7,3 1,4 91,2 511 PNS/BUMN 34,8 1,3 49,9 2,3 3,4 8,3 88,3

44,2 2,9 47,8 0,8 3,1 1,3 95,6 385

Pegawai swasta 27,6 0,3 60,4 0,3 4,2 7,2 88,6

37,4 2,1 56,8 0,2 2,9 0,6 96,5 1.191 Wiraswasta 21,3 0,5 64,2 0,5 5,2 8,5 86,4

30,8 1,2 63,6 0,1 4 0,2 95,7 1.763

Petani 8,9 0,7 62 0,3 17 11,1 71,9

17,2 1,5 63,9 0,5 13,7 3,1 83,1 1.646 Nelayan 11,8 0 55,1 0 19,1 14 66,9

19,9 1,5 57,4 3,7 14,7 2,9 82,4 136

Buruh 12,1 0,5 60,9 0,2 20,8 5,5 73,7

20,5 2,8 62,3 0,1 14,1 0,3 85,5 1.342 Lainnya 20,8 0,9 56,3 0,9 12,6 8,5 79,1 30,1 0,6 56,3 0,3 10 2,7 87,4 341 Tempat tinggal Perkotaan 24,9 0,4 61,5 0,5 4,4 8,3 87,3 35,6 1,9 58,1 0,2 3,9 0,3 95,8 3.627 Perdesaan 12,1 0,7 60,1 0,4 18 8,8 73,3 19,8 1,8 62,7 0,4 13,1 2,2 84,6 3.686

JUMLAH 18,4 0,6 60,8 0,5 11,2 8,6 80,2 27,6 1,8 60,4 0,3 8,6 1,3 90,2 7.313

Page 77: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

53

Tabel 3.2.8 Distribusi persentase ibu menurut tempat persalinan menurut karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik latar belakang

Tempat bersalin Total

Fas

yank

es1)

Jumlah perempuan 10-54 tahun yang pernah

bersalin2)

RS

Pem

erin

tah

RS

Sw

asta

Rum

ah

Ber

salin

Pus

kesm

as

Pus

tu

Klin

ik

Pra

ktik

Nak

es

Pol

inde

s/

Pos

kesd

es

Rum

ah

Lain

nya

Umur saat bersalin

10-14 tahun 0,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100 100,0 4 15-19 tahun 13,3 8,6 8,6 8,1 0,5 3,8 21,0 10,5 24,8 1,0 100 74,4 210 20-24 tahun 13,3 10,7 7,6 10,0 1,9 5,3 23,2 5,6 22,4 0,2 100 77,6 1.275 25-29 tahun 10,9 17,5 9,6 7,0 1,2 5,9 24,7 4,0 19,0 0,2 100 80,8 1.968 30-34 tahun 13,8 16,6 8,8 7,5 0,7 5,2 24,3 3,7 19,0 0,3 100 80,6 2.009 35-39 tahun 15,7 17,8 8,1 7,8 1,1 4,1 17,1 6,1 22,1 0,2 100 77,8 1.29 40-44 tahun 16,3 20,3 6,2 6,6 0,2 5,2 21,7 1,4 21,9 0,0 100 77,9 497 45-49 tahun 25,5 21,3 0,0 2,1 2,1 6,4 17,0 2,1 23,4 0,0 100 76,5 47 50-54 tahun 9,1 45,5 0,0 9,1 0,0 9,1 9,1 0,0 18,2 0,0 100 81,9 11

Pendidikan ibu

Tidak/ belum pernah sekolah

6,6 9,9 3,3 9,2 0,7 2,6 7,9 3,3 55,3 1,3 100 43,5 152

Tidak tamat SD/MI

11,4 4,6 4,6 8,8 2,1 2,3 22,5 5,3 38,3 0,0 100 61,6 475

Tamat SD/MI 11,5 7,1 4,9 9,6 1,4 2,9 23,7 6,9 31,4 0,6 100 68,0 1.908

Tamat SLTP/MTS

14,1 12,8 9,9 8,5 1,1 5,2 25,5 4,8 18,0 0,1 100 81,9 1.797

Tamat SLTA/MA

13,8 20,9 10,7 6,7 1,0 8,6 23,6 3,4 11,3 0,0 100 88,7 2.175

Tamat D1/D2/D3

21,0 36,8 13,0 3,4 0,6 3,7 12,2 1,7 7,6 0,0 100 92,4 353

Tamat PT 16,1 42,5 8,4 3,7 0,2 3,7 14,1 1,8 9,3 0,2 100 90,5 454

Status Pekerjaan KK

Tidak bekerja 17,9 18,5 8,2 7,0 2,1 4,1 19,5 2,7 19,7 0,2 100 80,0 513

PNS/TNI 18,2 30,6 8,6 4,9 0,5 7,8 14,8 2,1 12,2 0,3 100 87,5 385

Pegawai Swasta

14,3 25,6 10,1 5,1 0,3 8,9 23,9 5,0 6,7 0,0 100 93,2 1.189

Wiraswasta 14,1 17,2 11,1 7,3 0,7 6,0 25,0 3,2 15,5 0,1 100 84,6 1.764

Petani 10,0 8,6 6,0 10,9 2,3 3,3 17,4 7,6 33,6 0,2 100 66,1 1.646

Nelayan 17,5 3,6 4,4 12,4 2,9 1,5 13,1 8,0 35,8 0,7 100 63,4 137

Buruh 12,0 11,2 7,2 7,3 0,5 3,8 30,8 2,7 23,7 0,8 100 75,5 1.344

Lainnya 16,5 18,2 7,4 7,9 0,6 3,5 14,7 7,1 23,8 0,3 100 75,9 340

Daerah tempat tinggal

Perkotaan 15,1 23,6 10,3 6,4 0,2 6,5 27,1 2,2 8,5 0,1 100 70,8 3.628

Pedesaan 11,9 8,8 6,6 9,1 2,0 3,9 18,1 6,9 32,4 0,4 100 53,1 3.685

Jumlah 13,5 16,1 8,4 7,8 1,1 5,2 22,6 4,6 20,5 0,2 100 79,3 7.313

* Fasyankes = RS, (RS), klinik, rumah bersalin, puskesmas, puskesmas pembantu, praktek nakes, poskesdes dan polindes.

Tabel 3.2.7 menyajikan pola persalinan menurut penolong pertama dan terakhir menurut jenis tempat terakhir bersalin. Tabel ini mengindikasikan adanya kejadian rujukan, namun tidak sertamerta menunjukkan persentase tenaga penolong persalinan. Hati-hati dalam menginterpretasikan angka, karena perbedaan proses crosstabulasi saat analisis.

Page 78: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

54

Tabel 3.2.8 menunjukkan adanya pola pemilihan tempat persalinan menurut pendidikan ibu. Ibu yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi (diploma ke atas) cenderung bersalin di RS swasta dan Pemerintah, sebaliknya ibu berpendidikan rendah cenderung bersalin di rumah. Demikian pula dengan ibu yang tinggal di perkotaan cenderung ke RS (swasta 23,6% dan Pemerintah 15,1%) dibandingkan dengan ibu di perdesaan yang lebih cenderung bersalin di rumah (32,4%).

Page 79: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

55

Tabel 3.2.9 Distribusi persentase ibu yang mempunyai riwayat kehamilan anak terakhir menurut tenaga penolong persalinan pertama, terakhir dan tempat terakhir

bersalin, Sirkesnas 2016 Tenaga Penolong Persalinan Tempat terakhir bersalin

Penolong Pertama

N % Penolong terakhir n % RS

pemerintah RS

swasta Rumah bersalin

klinik praktek nakes

Puskes-mas

Pustu polindes/

poskesdes Rumah Lainnya Total

Dokter kandungan

1.346 18,40 Dokter kandungan 1.346 18,40 36,0 50,8 7,9 3,9 1,3 0,1 0,0 100,0

Dokter umum 41 0,56 Total 41 0,56 43,9 24,4 4,9 2,4 19,5 4,9 100,0

Dokter kandungan 23 0,31 30,6 21,7 8,7 4,3 30,4 4,3 100,0

Dokter umum 18 0,25 61,1 27,8 0,0 0,0 5,5 5,6 100,0

Bidan 4.447 60,81 Total 4.447 60,81 9,3 9,1 10,4 5,8 32,0 11,6 1,6 7,2 12,9 0,1 100,0

Dokter kandungan 529 7,23 33,1 48,0 10,0 4,0 1,6 1,5 0,4 0,8 0,6 0,0 100,0

Dokter umum 77 1,05 15,5 18,2 6,5 2,6 31,2 10,4 1,3 3,9 10,4 0,0 100,0

Bidan 3.841 52,52 5,9 3,6 10,5 6,3 36,1 13,0 1,7 8,1 14,7 0,1 100,0

Perawat 32 0,44 Total 32 0,44 21,9 9,4 3,1 21,9 15,6 0,0 28,1 100,0

Dokter kandungan 6 0,08 33,3 50,0 16,7 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0

Dokter umum 1 0,01 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0

Bidan 14 0,19 14,3 0,0 0,0 50,0 35,7 0,0 0,0 100,0

Perawat 11 0,15 18,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 81,8 100,0

Dukun

822 11,24 Total 822 11,24 1,5 0,5 1,2 0,6 9,1 1,7 0,2 0,2 83,4 1,6 100,0

Dokter kandungan 8 0,11 50,0 25,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 25,0 0,0 100,0

Dokter umum 25 0,34 4,0 0,0 0,0 0,0 84,0 4,0 0,0 0,0 8,0 0,0 100,0

Bidan 223 3,04 3,1 0,9 4,5 2,2 24,2 5,8 0,9 0,9 55,3 2,2 100,0

Perawat 4 0,05 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 0,0 100,0

Dukun 562 7,68 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,6 1,4 100,0

Anggota keluarga/ lainnya

625 8,55 Total 625 8,55 8,2 11,4 5,8 8,8 19,8 5,3 1,3 1,9 37,2 0,3 100,0

Dokter kandungan 111 1,52 27,9 59,5 8,1 4,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0

Dokter umum 9 0,12 0,0 11,1 66,7 0,0 0,0 11,1 0,0 0,0 11,1 0,0 100,0

Bidan 339 4,63 5,9 1,2 5,3 14,7 36,7 9,4 2,4 3,5 20,9 0,0 100,0

Perawat 10 0,14 0,0 0,0 30,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 70,0 0,0 100,0

Dukun 64 0,88 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,4 1,6 100,0

Ang kelg/lainnya 92 1,26 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,9 1,1 100,0

Penolong pertama

7.313 100,0 Penolong terakhir 7.313 100,0

Page 80: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

56

Tabel 3.2.10 Distribusi persentase perempuan 10-54 tahun yang bersalin di rumah/lainnya menurut alasan tidak melahirkan di fasyankes

dan karakteristik ibu, Sirkesnas 2016

Karakteristik

Melahir kan di non fasyankes (rumah/ lainnya

*Alasan tidak melahirkan di tempat fasilitas kesehatan (rumah/lainnya) (n=1519)

Jauh Biaya Trans-portasi

Tidak ada yang

mengan-tar

Tidak ada

faskes

Tidak ada

nakes

Jalan sulit

Faskes tidak

memadai

Nakes tidak bersahabat

Ke-hamilan normal

Tidak sempat ke

faskes/ nakes

Nyaman di rumah

Tidak ada yang urus

rumah Lainnya

Daerah tempat tinggal

Perkotaan 311 21,2 38,4 38,4 10,8 2,2 3,1 6,9 3,3 1,9 37,0 29,0 29,0 10,6 10,8

Pedesaan 1208 28,9 32,3 32,3 9,0 5,1 6,7 12,7 4,2 1,9 30,5 24,2 24,2 6,7 9,5

Pendidikan Ibu

Tidak/ belum pernah sekolah 86 35,0 55,0 32,0 27,0 11,0 17,0 26,0 14,0 4,0 42,0 27,0 56,0 17,0 12,0 Tidak tamat SD/MI 182 37,6 45,2 21,3 7,6 8,1 10,0 17,6 4,8 1,9 25,1 37,1 46,2 4,3 6,6 Tamat SD/MI 610 31,0 37,3 18,5 9,7 3,3 5,5 11,8 2,7 0,6 29,6 21,5 58,6 5,7 8,4

Tamat SLTP/MTS 325 24,0 26,4 18,7 9,1 5,9 5,9 10,4 4,8 2,4 36,0 28,5 60,3 10,1 9,9

Tamat SLTA/MA 246 13,8 24,6 12,3 5,3 1,8 2,1 4,9 2,8 2,8 33,2 18,7 58,0 6,7 14,1

Tamat D1/D2/D3 27 25,8 3,2 3,2 3,2 0,0 0,0 0,0 0,0 3,2 38,7 22,6 74,2 9,7 9,7

Tamat PT 43 20,0 14,0 8,0 6,0 4,0 0,0 4,0 2,0 6,0 30,0 36,0 38,8 12,0 14,0

Status Pekerjaan KK

Tidak bekerja 102 23,1 32,5 12,8 6,0 1,7 2,6 8,5 4,3 3,4 31,6 28,2 56,4 13,7 6,8

PNS/BUMN 48 12,5 7,3 5,5 7,1 3,6 1,8 3,6 3,6 3,6 28,6 30,4 58,9 3,6 23,2

Pegawai swasta 80 28,0 25,8 8,6 10,8 0,0 1,1 10,9 4,3 2,2 18,5 22,8 51,6 5,4 20,4

Wiraswasta 274 16,8 30,2 10,5 9,8 7,0 6,6 7,9 3,8 3,5 32,9 26,7 60,6 8,9 9,8

Petani 556 34,6 33,4 25,7 12,6 5,3 8,1 18,6 5,1 2,2 36,1 26,3 56,4 8,3 8,9

Nelayan 50 28,1 29,8 27,6 8,8 15,8 15,5 12,1 14,0 1,7 43,1 20,7 57,9 12,1 5,2

Buruh 329 29,8 44,9 18,2 5,5 0,3 2,9 5,5 0,5 0,3 26,1 21,1 55,9 4,0 9,0

Lainnya 82 16,8 26,6 7,4 5,3 8,5 7,4 7,4 4,3 0,0 30,9 27,7 57,4 5,3 6,4

Persentase 20,7 27,3 33,6 18,0 9,4 4,5 6,0 11,5 4,1 1,9 31,8 25,2 57,0 7,5 9,8

Jumlah 1519 478 588 316 164 79 105 202 71 33 557 441 998 131 171 keterangan *) jawaban lebih dari 1.

Page 81: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

57

Tabel 3.2.10 menyajikan ibu yang bersalin di rumah/lainnya menurut karakteristik dan alasannya. Terdapat 1519 (20,7%) ibu yang melaporkan bersalin di rumah/lainnya. Terhadap responden ibu yang bersalin di non fasyankes ditanyakan lebih lanjut tentang alasan mereka melahirkan di rumah/lainnya. Berdasarkan tabel 3.2.10, lima alasan utama ibu bersalin di rumah/lainnya adalah nyaman di rumah (57%), biaya (33,6%), merasa kehamilan normal (31,8%), jauh (27,3%) dan tidak sempat ke tenaga kesehatan (25,2%).

3.3 Indikator Program Kesehatan Anak

Pembangunan kesehatan anak mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019. Pada RPJMN tahun 2015-2019, salah satu indikator kesehatan anak adalah menurunnya prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Sedangkan indikator kesehatan anak pada Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 adalah persentase KN1, persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas satu, persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas tujuh dan sepuluh, dan persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja (PKPR). Gambar 3.3.1 menunjukkan indikator kesehatan anak bersumber baik di tingkat masyarakat maupun pelayanan kesehatan.

Pertanyaan pada Blok Kesehatan Anak terkait indikator pada tingkat

komunitas, ditanyakan kepada responden (ibu/pengasuh anak atau anggota rumah tangga lain) yang paling mengetahui tentang kesehatan anak ketika baru lahir yang terkait dengan berat badan lahir anak dan KN1. Pertanyaan pada Blok Kesehatan Anak terkait indikator pada tingkat pelayanan kesehatan ditanyakan kepada petugas puskesmas, yang meliputi kelengkapan essensial pelayanan

RPJMN

Renstra

Menurunnya bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR)

Indikator kesehatan anak

Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) Target capaian: 75%

Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 1

Target capaian 50%

Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja;

Target capaian 25%

Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7

dan 10 Target capaian 30%

Sumber data

Komunitas

Puskesmas

Gambar 3.3.1 Indikator kesehatan anak, Sirkesnas 2016

Page 82: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

58

KN1, penjaringan kesehatan peserta didik, dan pelayanan kesehatan peduli remaja. 3.3.1 Berat dan panjang lahir

Berat badan lahir didapatkan dari dokumen atau catatan yang dimiliki oleh balita, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya. Gambar 3.3.2 menujukkan bahwa sebesar hanya 8876 (46,7%) balita memiliki catatan berat badan lahir dan 7345 (38,6%) balita yang memiliki catatan panjang badan lahir. Hasil menunjukkan bahwa dari balita yang memiliki catatan berat badan lahir terdapat 6,9 persen balita dengan BBLR (<2500gr). Sedangkan dari balita yang memiliki catatan panjang badan lahir, terdapat 22,4 persen balita dengan panjang lahir pendek (<48cm).

Gambar 3.3.2

Algoritma balita dengan riwayat berat badan dan panjang badan lahir rendah

Tabel 3.3.1. menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala keluarga. Menurut kelompok umur, persentase BBLR pada berbagai kelompok umur menunjukkan variasi. Persentase BBLR lebih tinggi pada kelompok umur 24-35 bulan (8,0%), sedangkan terendah terdapat pada kelompok umur 0-5 bulan (5,7 %). Persentase BBLR pada perempuan (7,6%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (6,3%), dan sedikit lebih tinggi persentase BBLR di perdesaan (7,4%) dibandingkan dengan wilayah perkotaan (6,6%).

Menurut karakteristik rumah tangga, persentase BBLR tertinggi pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan tamat SD (8,2%), sedangkan persentase terendah tedapat pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat D1/D2/D3 (3,7%). Menurut status pekerjaan, persentase BBLR tertinggi terjadi pada balita dengan kepala keluarga dengan pekerjaan lainnya (10,5 % ), sedangkan persentase terendah terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (4,1%)

Page 83: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

59

Tabel 3.3.1 Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan berdasarkan karakteristik,

Sirkesnas 2016

Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu panjang lahir < 48 cm (pendek), panjang lahir 48-52 cm, dan panjang lahir >52 cm. Tabel 3.3.2 menyajikan persentase panjang badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik.

Karakteristik Ada catatan

<2500 gr 2500 – 3999 gr >4000 gr

Kelompok umur (bulan)

0 – 5 5,7 88,4 5,9

6 – 11 7,4 87,4 5,2

12 – 23 6,1 89,0 4,9

24 – 35 8,0 88,2 3,7

36 – 47 6,4 88,1 5,4

48 – 59 7,4 87,7 5,0

Jenis kelamin

Laki-laki 6,3 88,0 5,7

Perempuan 7,6 88,4 4,0

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 4,7 91,2 4,1

Tidak tamat SD 6,4 91,1 2,4

Tamat SD 8,2 87,3 4,5

Tamat SMP 7,8 87,2 5,0

Tamat SMA 5,9 88,4 5,7

Tamat D1/D2/D3 3,7 91,9 4,4

Tamat PT 7,4 87,5 5,1

Pekerjaan KK

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 4,1 88,6 7,3

Pegawai swasta 8,3 88,0 3,7

Wiraswasta 6,9 87,5 5,6

Petani 6,1 89,7 4,2

Nelayan 9,6 84,8 5,6

Buruh 7,1 88,7 4,2

Lainnya 10,5 82,0 7,5

Tidak bekerja 4,5 90,6 4,8

Tempat tinggal

Perkotaan 6,6 89,0 4,4

Perdesaan 7,4 87,2 5,4

Nasional 6,9 88,2 4,8

Page 84: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

60

Tabel 3.3.2 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik,

Sirkesnas 2016

Karakteristik Ada catatan

<48 cm 48-52 cm >52 cm

Kelompok umur (bulan)

0 – 5 26,4 70,0 3,7

6 – 11 24,5 73,0 2,5

12 – 23 23,4 73,4 3,2

24 – 35 21,6 76,1 2,3

36 – 47 20,8 76,9 2,4

48 – 59 20,9 76,5 2,7

Jenis kelamin

Laki-laki 20,2 76,6 3,2

Perempuan 24,7 73,2 2,1

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 23,0 75,3 1,7

Tidak tamat SD 21,9 75,5 2,6

Tamat SD 24,6 72,5 2,8

Tamat SMP 22,7 75,1 2,2

Tamat SMA 22,2 75,2 2,6

Tamat D1/D2/D3 19,6 77,4 3,0

Tamat PT 15,4 80,7 3,9

Pekerjaan KK

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 18,8 79,9 1,3

Pegawai swasta 23,7 72,8 3,5

Wiraswasta 19,0 78,6 2,4

Petani 23,2 73,9 2,9

Nelayan 16,3 82,6 1,1

Buruh 26,1 71,7 2,2

Lainnya 25,1 72,1 2,8

Tidak bekerja 22,1 74,8 3,2

Tempat tinggal

Perkotaan 22,7 74,4 2,9

Perdesaan 22,0 75,7 2,3

Nasional 22,4 74,9 2,7

Menurut kelompok umur, hasil menunjukkan bahwa persentase bayi

dengan panjang badan lahir pendek semakin meningkat dari waktu ke waktu. Terlihat bahwa persentase panjang badan lahir pendek tertinggi terjadi pada kelompok umur 0-5 bulan (26,4 %), semakin tua kelompok umur balita semakin rendah persentase panjang badan lahir rendah. Berdasarkan jenis kelamin, persentase panjang lahir pendek pada perempuan (24,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (20,2%), dan persentase BBLR di perkotaan (22,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perdesaan (22,0%).

Menurut karakteristik pendidikan KK, persentase panjang lahir pendek paling tinggi pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan tamat SD (24,6%), sedangkan persentase terendah tedapat pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat Perguruan Tinggi (15,4 %).

Page 85: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

61

3.3.2 Indikator kunjungan neonatal

Kunjungan neonatal adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang di berikan oleh tenaga kesehatan kepada neonatus sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai 28 hari setelah lahir, baik di fasilitas maupun melalui kunjungan rumah. Pelayanan neonatal terdiri dari KN1 (6-48 jam), KN2 (3-7 hari) dan KN3 (8-28 hari). Tujuan dari topik ini adalah untuk menjawab indikator kunjungan neonatal pertama (KN1) dalam Renstra dengan definisi operasional (DO) pelayanan kesehatan bayi baru lahir (umur 6 jam - 48 jam) yang memperoleh pelayanan sesuai standar meliputi: (1) pemeriksaan menggunakan pendekatan MTBM, (2) perawatan tali pusat, (3) konseling ASI dan tanda bahaya, (4) pemberian imunisasi HB 0 dan vitamin K, jika belum diberikan saat lahir. Pemeriksaan KN1 yang diperhitungkan di dalam Sirkesnas 2016 mencakup pengukuran berat badan, panjang badan, suhu tubuh, pemeriksaan riwayat sakit, riwayat diare, perawatan tali pusar, identifikasi permasalahan pemberian ASI, pemberian konseling ASI, konseling tanda bahaya, serta pemberian imunisasi HB-0 dan vitamin K jika belum diberikan saat lahir. Informasi kunjungan neonatal bersumber dari ibu balita sedangkan informasi tentang kelengkapan alat esensial pelayanan KN bersumber dari puskesmas.

Berdasarkan Renstra Kementerian Kesehatan 2015 - 2019, target capaian KN1 pada tahun 2015 adalah 75 persen. Gambar 3.3.3 menunjukkan algoritma kunjungan neonatal berdasarkan akses saja atau memperhitungkan definisi operasional sesuai standar jenis pelayanan yang seharusnya diterima ibu balita. Persentase balita yang melakukan kunjungan neonatal sebesar 82,9 persen (dari n=19003). Berdasarkan kunjungan neonatal saja tanpa memperhitungkan jenis pelayanan yang diterima, persentase KN1 sebesar 76,8 persen, KN2 (63,4%) dan KN3 (49,1%). Sedangkan jika memperhitungkan pelayanan standar sesuai dengan definisi operasional yang ada di dalam Renstra, persentase KN1 hanya sebesar 15,2 persen (Gambar 3.3.3). Dengan demikian, capaian KN1 jauh di bawah target Renstra Kementerian Kesehatan.

Gambar 3.3.3

Algoritma kunjungan neonatal pada balita

Page 86: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

62

Tabel 3.3.3 Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) sesuai standar berdasarkan

karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik Kunjungan Neonatal pertama (KN1) sesuai standar

Kelompok umur (bulan)

0 – 5 14,9

6 – 11 17,7

12 – 23 15,9

24 – 35 15,3

36 – 47 14,1

48 – 59 14,0

Jenis kelamin

Laki-laki 14,9

Perempuan 15,4

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 13,8

Tidak tamat SD 10,3

Tamat SD 13,2

Tamat SMP 15,1

Tamat SMA 17,3

Tamat D1/D2/D3 20,3

Tamat PT 21,8

Pekerjaan KK

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 21,2

Pegawai swasta 18,4

Wiraswasta 16,3

Petani 11,4

Nelayan 12,3

Buruh 14,7

Lainnya 10,9

Tidak bekerja 17,1

Tempat tinggal

Perkotaan 17,1

Perdesaan 13,3

Nasional 15,2

Tabel 3.3.3. menunjukkan persentase KN1 dengan memperhitungkan

pelayanan yang diterima dengan standar yang tertuang dalam definisi operasional di Renstra. Menurut kelompok umur, persentase KN1 berfluktuasi dari waktu ke waktu. Capaian KN1 rendah pada kurun waktu lima tahun lalu (tahun 2012) yaitu pada kelompok umur 48-59 bulan (14,0%) kemudian sempat meningkat hingga awal 2015 mencapai angka tertinggi yaitu pada kelompok umur 6-11 bulan (17,7%) dan kembali rendah di akhir pertengahan tahun 2015 yaitu 14,9% pada kelompok umur 0-5 bulan. Persentase KN1 lebih tinggi pada anak perempuan (15,4%) dibandingkan anak laki-laki (14,9%). Berdasarkan wilayah, persentase KN1 lebih tinggi di wilayah perkotaan (17,1%) dibandingkan wilayah perdesaan (13,3%).

Page 87: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

63

Menurut karakteristik rumah tangga, persentase kunjungan neonatal tertinggi KN1 pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan tamat PT (21,8%) dan terendah pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga tidak tamat SD (10,3%).

Berdasarkan pekerjaan, persentase kunjungan KN1 tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (21,2%), sedangkan yang terendah terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang memiliki pekerjaan lainnya (10,9%)

Tabel 3.3.4. menunjukkan persentase kunjungan neonatal berdasarkan kunjungan neonatal saja tanpa memperhitungkan jenis pelayanan yang diterima. Hasil menunjukkan bahwa persentase nasional kunjungan pelayanan kunjungan neonatal tidak jauh berbeda antar kelompok umur baik pada KN1, KN2, KN3. Kendati demikian, persentase KN1 (76,8%) lebih tinggi dari kunjungan neonatal lainnya, yaitu KN2 (63,4%) dan KN3 (49,1%). Sedangkan persentase nasional kunjungan KN lengkap hanya sebesar 41,1 persen. Menurut kelompok umur, persentase kunjungan neonatal pertama terlihat meningkat pada kelompok umur 0-5 bulan sebesar 77,8 persen dibandingkan pada kelompok umur 48-59 bulan (73,2%). Persentase kunjungan neonatal lebih tinggi dilakukan oleh anak laki-laki pada semua jenis kunjungan, yaitu masing-masing : KN1 (76,9%), KN2 (63,4%), KN3 (49,4%) dan KN lengkap (41,2%). Berdasarkan wilayah, persentase kunjungan neonatal lebih tinggi dilakukan di wilayah perkotaan pada semua jenis kunjungan, yaitu : KN1 (83,4%), KN2 (69,8%), KN3 (57,2%) dan KN lengkap (48,7%).

Menurut karakteristik rumah tangga, persentase kunjungan neonatal tertinggi KN1 pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat D1/D2/D3 (88,3%), KN2 pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat perguruan tinggi (72,6%), KN3 dan KN lengkap pada balita dengan kepala keluarga berpendidikan tamat D1/D2/D3 masing-masing sebesar 58,5 persen dan 54,1 persen. Berdasarkan pekerjaan, persentase kunjungan KN1 tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (86,1%), sedangkan KN2, KN3 dan KN lengkap tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja di sektor swasta yaitu masing-masing sebesar 74,1 persen, 63,4 persen dan 54,9 persen.

Page 88: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

64

Tabel 3.3.4 Persentase kunjungan neonatal berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik Kunjungan Neonatal

6-48 jam (KN1) 3-7 hari (KN2) 8-28 hari (KN3) KN Lengkap

Kelompok umur (bulan)

0 – 5 77,8 60,3 46,3 36,8

6 – 11 78,6 64,9 51,4 42,9

12 – 23 78,5 64,9 49,1 41,0

24 – 35 78,8 64,6 50,0 41,8

36 – 47 75,7 62,5 48,8 41,1

48 – 59 73,2 61,3 48,1 40,3

Jenis kelamin

Laki-laki 76,9 63,4 49,4 41,2

Perempuan 76,7 63,3 48,9 40,9

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 51,8 42,5 33,6 26,7

Tidak tamat SD 66,9 52,5 42,3 32,1

Tamat SD 72,6 59,3 45,2 35,9

Tamat SMP 78,7 65,2 49,6 42,4

Tamat SMA 83,7 70,2 54,7 48,0

Tamat D1/D2/D3 88,3 70,3 58,5 54,1

Tamat PT 85,8 72,6 57,8 47,6

Pekerjaan KK

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 86,1 68,8 53,3 46,8

Pegawai swasta 84,5 74,1 63,4 54,9

Wiraswasta 81,1 68,1 50,3 43,2

Petani 67,0 53,4 38,4 30,5

Nelayan 68,1 54,5 38,1 32,9

Buruh 73,2 59,8 48,1 38,0

Lainnya 78,6 61,1 48,4 38,8

Tidak bekerja 81,6 65,5 52,3 45,9

Tempat tinggal

Perkotaan 83,4 69,8 57,2 48,7

Perdesaan 70,6 57,2 41,5 33,8

Nasional 76,8 63,4 63,4

49,1 41,1

Tabel 3.3.5. menyajikan persentase kunjungan neonatal yang dikategorikan lengkap, tidak lengkap dan tidak pernah. Kunjungan Neonatal lengkap jika ibu balita melakukan KN1, KN2 dan KN3. Kategori KN tidak lengkap bila ibu balita tidak melakukan lengkap seluruh kunjungan neonatal, sedangkan tidak pernah jika ibu balita tidak pernah melakukan kunjungan neonatal. Persentase nasional KN tidak lengkap (41,9%) sedikit lebih tinggi dari KN lengkap (41,1%), sedangkan persentase nasional tidak pernah KN sebesar 17,9 persen.

Menurut kelompok umur, persentase balita yang tidak pernah KN tertinggi pada balita kelompok umur 48-59 bulan (20,3%), sedangkan untuk KN lengkap tertinggi pada kelompok umur 6-11 bulan (42,9%). Jenis kelamin laki-laki (42,1%) lebih tinggi melakukan KN tidak lengkap dibandingkan perempuan (41,6%). Untuk kategori tidak pernah KN, proprosi perempuan (17,5%) lebih tinggi

Page 89: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

65

dibandingkan laki-laki (16,7%). Berdasarkan wilayah, persentase KN tidak lengkap dan persentase tidak pernah KN lebih tinggi terjadi di wilayah perdesaan, yaitu masing-masing sebesar 43,8 persen dan 22,3 persen dibandingkan wilayah perkotaan yaitu masing-masing sebesar 39,8 persen dan 11,5 persen.

Menurut karakteristik rumah tangga, persentase KN tidak lengkap tertinggi terdapat pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan tamat SD dan tamat perguruan tinggi yaitu sebesar 44,6 persen, sedangkan persentase tidak pernah KN tertinggi pada kelompok keluarga dengan kepala keluarga yang tidak pernah sekolah (41,8%). Berdasarkan pekerjaan, persentase KN tidak lengkap tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang memiliki pekerjaan kategori lainnya (45,7%), sedangkan tidak pernah KN tertinggi terdapat pada balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai nelayan (28,5%)

Tabel 3.3.5 Persentase kunjungan neonatal lengkap pada anak umur 0-59 bulan berdasarkan

karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik Waktu KN

KN lengkap KN tidak lengkap Tidak pernah KN

Kelompok umur (bulan)

0 – 5 36,8 47,3 15,9

6 – 11 42,9 42,2 14,9

12 – 23 41,0 44,0 15,0

24 – 35 41,8 43,0 15,2

36 – 47 41,1 40,0 18,9

48 – 59 40,3 39,4 20,3

Jenis kelamin

Laki-laki 41,2 42,1 16,7

Perempuan 40,9 41,6 17,5

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 26,7 31,4 41,8

Tidak tamat SD 32,1 41,8 26,1

Tamat SD 35,9 44,6 19,5

Tamat SMP 42,4 41,8 15,8

Tamat SMA 48,0 40,4 11,7

Tamat D1/D2/D3 54,1 35,5 10,4

Tamat PT 47,6 44,6 7,8

Pekerjaan KK

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 46,8 42,9 10,3

Pegawai swasta 54,9 35,6 9,6

Wiraswasta 43,2 43,2 13,5

Petani 30,5 43,5 26,0

Nelayan 32,9 38,7 28,5

Buruh 38,0 43,6 18,5

Lainnya 38,8 45,7 15,5

Tidak bekerja 45,9 38,9 15,2

Tempat tinggal

Perkotaan 48,7 39,8 11,5

Perdesaan 33,8 43,8 22,3

Nasional 41,1 41,9 17,9

Page 90: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

66

Tabel 3.3.6 Persentase komponen pelayanan KN1 berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik

Komponen pelayanan KN1

BB PB Suhu tubuh

Frekuensi napas*

Denyut jantung*

Riwayat sakit

Diare Bayi

kuning*

Tali pusat

Masalah ASI

Konseling ASI

Konseling Tanda bahaya

Imunisasi HB-0

Vit K

Kelompok umur (bulan)

0 – 5 91,0 82,8 68,6 57,8 58,0 41,4 34,0 49,3 84,7 75,6 73,0 59,9 85,5 70,2 6 – 11 89,7 82,5 63,4 58,9 60,6 46,4 39,5 51,8 81,6 73,5 74,0 60,8 85,6 72,3 12 – 23 89,3 82,7 64,6 58,3 61,9 42,8 37,7 55,2 82,5 75,1 75,7 62,0 87,1 73,9 24 – 35 89,7 83,3 62,9 56,7 60,9 43,2 36,6 49,7 79,6 72,0 74,5 59,5 87,1 72,9 36 – 47 90,1 83,3 60,5 55,6 58,1 41,3 34,3 48,6 80,0 73,6 74,9 58,0 85,7 74,4 48 – 59 89,5 83,0 61,2 55,2 60,0 41,8 36,2 50,1 82,1 73,4 73,9 60,4 83,3 68,4

Jenis kelamin Laki-laki 90,1 83,1 62,0 56,6 59,7 41,9 35,9 51,1 81,6 73,2 74,3 59,4 85,4 71,8 Perempuan 89,2 82,8 63,5 57,1 60,6 43,6 37,1 50,9 80,8 74,0 74,9 60,8 86,3 73,0

Pendidikan KK Tidak/blmsekolah 90,4 83,2 64,1 60,5 62,6 49,7 41,4 52,3 82,7 71,9 74,6 62,0 87,1 74,2 TidaktamatSD/MI 87,0 75,3 53,2 48,5 55,2 42,1 34,7 48,6 80,4 71,2 71,6 57,2 83,8 72,8 Tamat SD/MI 86,2 78,9 60,9 53,6 56,4 40,6 35,2 47,5 78,3 69,5 71,1 54,8 83,7 71,2 TamatSMP/MTS 90,6 82,4 60,6 57,0 60,9 41,1 35,1 48,6 82,2 73,6 73,6 59,9 85,8 71,8 Tamat SMA/MA 93,0 88,0 66,0 58,9 61,4 43,8 37,6 52,9 82,1 76,0 77,0 62,9 87,3 72,7 Tamat D1-D3 89,7 85,7 67,3 64,3 69,5 45,1 41,1 59,0 83,1 79,6 80,0 68,2 85,5 75,7 Tamat PT 90,1 88,0 72,0 67,0 70,1 49,5 40,2 64,2 87,4 82,2 83,5 70,5 91,0 75,3

Pekerjaan KK

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 90,2 84,9 69,9 64,3 66,1 47,0 40,8 62,2 85,0 80,6 80,1 68,2 89,9 79,1 Swasta 91,8 89,5 68,0 62,3 64,8 46,4 40,7 56,4 82,9 78,4 78,7 64,0 88,6 71,6 Wiraswasta 90,9 84,5 64,3 57,8 60,6 41,7 35,1 48,8 82,4 73,2 75,0 59,4 86,2 72,8 Petani 88,1 75,5 55,6 49,0 52,1 41,0 35,1 43,3 79,7 70,1 71,3 55,4 82,2 69,1 Nelayan 82,8 72,8 55,6 51,0 52,8 47,2 39,2 51,6 85,6 74,0 77,2 66,0 78,0 66,0 Buruh 87,8 81,5 62,0 56,9 62,1 41,0 35,8 52,9 78,7 70,6 71,3 56,6 86,1 75,5 Lainnya 91,3 84,7 58,9 53,6 58,6 37,5 31,4 51,3 78,6 73,3 73,6 61,3 82,6 68,1 Tidak bekerja 89,7 85,8 65,0 60,0 64,4 45,2 36,4 53,6 81,4 75,8 76,2 65,8 88,4 73,4

Tempat tinggal Perkotaan 91,8 88,3 67,4 61,4 64,2 43,9 37,1 53,9 81,5 76,4 77,8 63,2 87,7 74,1 Perdesaan 87,3 77,0 57,5 51,6 55,6 41,3 35,8 47,7 80,9 70,5 71,0 56,6 83,6 70,5

Nasional 89,7 83,0 62,7 56,8 60,2 42,7 36,5 51,0 81,2 73,6 74,6 60,1 85,3 71,4 *komponen pelayanan tidak diperhitungkan dalam perhitungan indikator KN1

Page 91: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

67

Tabel 3.3.6. menyajikan persentase komponen pelayanan KN1 yang terdiri dari : pengukuran berat badan (BB), panjang badan (PB), pemeriksaan suhu tubuh, frekuensi nafas, denyut jantung, menanyakan pada ibu mengenai riwayat sakit, diare, pemeriksaan bayi kuning, perawatan tali pusat, menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI, memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI, tanda bahaya, memberikan imunisasi HB-0 dan vitamin K. Jenis pelayanan KNI1 yang paling banyak diterima balita adalah pengukuran berat badan (89,7%), imunisasi HB-0 (85,3%), panjang badan (83,0%) danperawatan tali pusat (81,2%). Jenis pelayanan yang paling rendah yang diterima oleh balita adalah pemeriksaan riwayat diare (36,5%) dan riwayat sakit pada balita (42,7%).

Menurut kelompok umur, terlihat bahwa persentase pelayanan yang diterima ibu balita tidak menunjukkan pola khusus. Balita dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak yang mendapatkan jenis pelayanan KN1 dibandingkan laki-laki. Presentase jenis pelayanan yang lebih banyak diterima balita perempuan adalah; pengukuran PB (82,8%), pemeriksaan suhu tubuh (63,5%), frekuensi nafas (57,1%), denyut jantung (60,6%), menanyakan pada ibu mengenai riwayat sakit (43,6%), diare (37,1%), menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI (74,0%), memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI (74,9%), tanda bahaya (60,8%), memberikan imunisasi HB-0 (86,3%) dan vitamin K (73,0%). Sedangkan jenis pelayanan pengukuran BB (90,1%), pengukuran PB (83,1%) pada balita laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

Balita yang tinggal di wilayah perkotaan lebih banyak yang mendapatkan jenis pelayanan KN1 dibanding balita yang tinggal di wilayah perdesaan. Presentase jenis pelayanan yang diterima balita di wilayah perkotaan adalah; pengukuran BB (91,8%), PB (88,3%), pemeriksaan suhu tubuh (67,4%), frekuensi nafas (61,4%), denyut jantung (64,2%), menanyakan pada ibu mengenai riwayat sakit (43,9%), diare (37,1%), pemeriksaan bayi kuning (53,9%), perawatan tali pusat (81,5%), menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI (76,4%), memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI (77,8%), tanda bahaya (63,2%), memberikan imunisasi HB-0 (87,7%) dan vitamin K (74,1%).

Menurut karakteristik rumah tangga, persentase sebagian besar komponen pelayanan KN1 cenderung lebih tinggi diterima oleh balita dengan KK tamat DI/D3 ataupun tamat perguruan tinggi dibandingkan dengan balita dengan KK tidak/belum sekolah seperti pemeriksaan suhu tubuh (72,0%), frekuensi nafas (67,0%), denyut jantung (70,1%), pemeriksaan bayi kuning (64,2%), perawatan tali pusat (87,4%), menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI (82,2%), memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI (83,5%), tanda bahaya (70,5%), dan memberikan imunisasi HB-0 (91,0%) lebih tinggi pada balita dengan KK tamat PT dibanding balita dengan KK tidak/belum sekolah.

Berdasarkan pekerjaan, tidak terdapat pola yang jelas antara persentase pelayanan KN1 dengan pekerjaan KK. Namun demikian, balita dengan KK bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD memperoleh persentase pelayanan KN1 tertinggi dibandingkan balita dengan KK dari kelompok pekerjaan lainnya

Page 92: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

68

yaitu meliputi pemeriksaan suhu tubuh (69,9%), frekuensi nafas (64,3%), denyut jantung (66,1%), diare (40,8%), pemeriksaan bayi kuning (62,2%), menanyakan pada ibu mengenai masalah pemberian ASI (80,6%), memberitahukan kepada ibu cara memberikan ASI (80,1%), tanda bahaya (68,2%), memberikan imunisasi HB-0 (89,9%) dan vitamin K (79,1%).

Tabel 3.3.7 Persentase alasan tidak melakukan pemeriksaan neonatal pada anak umur 0-59

bulan berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik Alasan tidak melakukan KN

Bayi tidak sakit

Bayi tidak boleh dibawa pergi

Tempat pelayanan jauh

Tidak punya biaya

Lainnya

Kelompok umur (bulan)

0 – 5 46,9 12,4 9,7 12,4 18,6

6 – 11 54,3 7,1 7,1 8,2 23,4

12 – 23 57,9 5,7 10,7 6,1 19,7

24 – 35 53,6 5,5 12,5 8,1 20,3

36 – 47 58,4 9,2 11,3 6,9 14,3

48 – 59 53,9 6,1 11,9 6,5 21,6

Jenis kelamin

Laki-laki 55,0 6,4 11,7 7,9 19,0

Perempuan 55,6 7,6 10,3 6,5 19,9

Pendidikan KK

Tidak pernah sekolah 35,2 11,7 17,9 8,7 26,5

Tidak tamat SD 46,3 11,3 13,5 9,9 19,0

Tamat SD 56,6 5,1 12,6 7,2 18,6

Tamat SMP 63,6 6,1 6,9 7,8 15,6

Tamat SMA 59,9 6,8 6,0 5,0 22,2

Tamat D1/D2/D3 68,8 3,1 9,4 0,0 18,8

Tamat PT 63,3 3,3 11,7 0,0 21,7

Pekerjaan KK

PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 55,1 2,9 2,9 5,8 33,3

Pegawai swasta 67,9 3,7 6,8 4,9 16,7

Wiraswasta 59,3 7,1 8,5 7,1 18,0

Petani 48,1 8,4 15,0 7,2 21,3

Nelayan 46,4 6,2 9,3 2,1 36,1

Buruh 63,0 7,7 7,7 10,9 10,7

Lainnya 48,5 5,0 16,8 4,0 25,7

Tidak bekerja 66,7 3,0 6,8 4,5 18,9

Tempat tinggal

Perkotaan 69,4 4,3 5,8 4,0 16,4

Perdesaan 50,6 8,0 12,8 8,3 20,4

Nasional 55,4 7,0 11,0 7,2 19,4

Page 93: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

69

Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan balita tidak melakukan pemeriksaan kesehatan pada masa neonatus. Tabel 3.3.7. menyajikan persentase alasan tidak melakukan KN pada anak balita. Secara nasional persentase alasan tidak melakukan KN paling tinggi karena bayi tidak sakit (55,4%), diikuti karena alasan tempat pelayanan jauh (11,0%), tidak punya biaya (7,2%), bayi tidak boleh dibawa pergi (7,0%), dan alasan lainnya (19,4%). Menurut kelompok umur, alasan tidak KN karena bayi tidak boleh dibawa pergi (12,4%) dan tidak punya biaya (12,4%) paling banyak muncul pada kelompok umur bayi yang muda yaitu 0-5 bulan.

Balita dengan jenis kelamin laki-laki tidak KN dengan alasan karena tempat pelayanan jauh (11,7%) dan tidak punya biaya (7,9%). Sedangkan alasan bayi tidak sakit (55,6%), bayi tidak boleh dibawa pergi (7,6%) dan alasan lainnya (19,9%) lebih banyak terjadi pada balita perempuan. Untuk wilayah perdesaan tidak KN dengan alasan paling tinggi karena bayi tidak sakit (50,6%), alasan lainnya (20,4%), dan tempat pelayanan jauh (12,8%). Balita di perkotaan tidak KN dengan alasan bayi tidak sakit (69,4%) lebih tinggi daripada balita di perdesaan (50,6%).

Menurut karakteristik rumah tangga, balita dengan KK tidak pernah sekolah tidak KN karena bayi tidak boleh dibawa pergi (11,7%), tempat pelayanan jauh (17,9%) dan alasan lainnya (26,5%), alasan ini paling tinggi dibanding balita dengan pekerjaan KK lainnya. Alasan tidak punya biaya paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga tidak tamat SD (9,9%), sedangkan alasan bayi tidak sakit paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga dengan pendidikan D1/D2/D3 (68,8%). Berdasarkan pekerjaan, persentase balita tidak KN karena alasan bayi tidak sakit paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai swasta (67,9%). Sedangkan balita tidak KN dengan alasan tidak boleh dibawa pergi paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai petani (8,4%) dan alasan tidak punya biaya paling banyak berasal dari balita dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh (10,9%). 3.3.3 Penjaringan kesehatan peserta didik

Penjaringan kesehatan peserta didik merupakan kegiatan pelayanan pemeriksaan kesehatan dasar pada peserta didik baru yang dilaksanakan oleh petugas puskesmas atau petugas lain dengan sasaran yaitu peserta didik kelas 1 untuk tingkat SD/MI/SDLB, kelas 7 untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB dan kelas 10 untuk tingkat SMA/SMK/MA/SMALB baik negeri maupun swasta di wilayah kerja puskesmas. Penjaringan dilakukan satu tahun sekali pada awal tahun pelajaran. Diharapkan seratus persen dari sekolah yang ada dan seratus persen dari peserta didik sasaran ikut dan terlayani dalam kegiatan penjaringan peserta didik ini.

Pada Rencana Strategis Kemenkes 2015-2019 terdapat 2 indikator terkait penjaringan kesehatan peserta didik. Indikator pertama adalah persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 1 dengan target capaian tahun 2015 sebesar 50 persen, sedangkan indikator kedua

Page 94: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

70

adalah persentase puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk peserta didik kelas 7 dan 10 dengan target capaian tahun 2015 sebesar 30 persen.

Puskesmas dikatakan melaksanakan penjaringan kesehatan pada peserta didik kelas 7 dan 10, jika puskesmas melakukan penjaringan kesehatan kepada peserta didik kelas 7 dan kelas 10 di seluruh sekolah negeri dan swasta di wilayah kerja puskesmas dengan minimal melakukan lima kegiatan yaitu pengukuran tinggi badan, pengukuran berat badan, tekanan darah, tajam penglihatan, dan tajam pendengaran.

Di dalam Sirkesnas 201, kegiatan penjaringan anak sekolah kelas 1, kelas 7 dan 10 yang diidentifikasi adalah kegiatan penjaringan peserta didik yang dilakukan oleh puskesmas pada tahun 2015. Informasi tentang penjaringan kesehatan peserta didik ditanyakan kepada petugas UKS di puskesmas.

Kegiatan pelayanan penjaringan peserta didik berupa pemeriksaan kesehatan dasar adalah pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut (khusus kelas 1), pemeriksaan tekanan darah (khusus kelas 7 dan 10), pemeriksaan tajam pendengaran, pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan kebersihan diri, pemeriksaan kebugaran jasmani, riwayat kesehatan anak, pemeriksaan status vital, riwayat kesehatan keluarga, pemakaian alat bantu, pemeriksaan kesehatan mental emosional dan intelegensia, pemeriksaan kesehatan reproduksi.

Gambar 3.3.4

Algoritma penjaringan peserta didik

5 kegiatan n=226

(56,6%)

7 kegiatan n=171

(42,8%)

13 kegiatan n=37

(9,3%)

5 kegiatan n=136 (34%)

7 kegiatan n=109

(27,3%)

13 kegiatan n=35

(8,8%)

Puskesmas N=400

Puskesmas yang melakukan penjaringan n=364 (91,2%)

Penjaringan kelas 1 n=359 (89,8%)

Penjaringan kelas 7 n=304 (76%)

Penjaringan kelas 10 n=275 (68,8%)

Penjaringan kelas 7 dan 10 n=274 (75,1%)

Penjaringan kelas 7 dan 10 di seluruh sekolah

n=188 (47%)

Penjaringan kelas 1 di seluruh sekolah

n=272 (68%)

Page 95: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

71

Gambar 3.3.4. menunjukkan algoritma puskesmas yang melaksanakan kegiatan penjaringan peserta didik baik peserta didik kelas 1, kelas 7, atau kelas 10. Hasil menunjukkan bahwa 91,2 persen puskesmas melakukan kegiatan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 SD/MI/SDLB, kelas 7 SMP/MTs/SMPLB ataupun kelas 10 SMA/SMK/MA/SMALB. Namun demikian, masih terdapat 8,8 persen puskesmas yang tidak melakukan pelayanan penjaringan peserta didik baik kelas 1, kelas 7, ataupun kelas 10. Selanjutnya analisis dijabarkan berdasarkan masing-masing sasaran dan jumlah kegiatan yang dilakukan pada saat penjaringan kesehatan perserta didik. 3.3.3.1. Indikator Penjaringan Kesehatan Peserta Didik Kelas 1

Kegiatan penjaringan kesehatan peserta didik SD/MI/SDLB kelas 1 dilakukan setahun sekali pada awal tahun pelajaran terhadap peserta didik kelas 1 SD/MI/SDLB. Kegiatan ini dilakukan oleh puskesmas terhadap seluruh sekolah SD/MI/SDLB di wilayah kerja puskesmas. Pemeriksaan kesehatan dilakukan kepada murid baru SD atau MI atau SDLB baik negeri maupun swasta. Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 disajikan dalam Tabel 3.3.8.

Sesuai dengan definisi operasional (DO) di dalam Renstra Kemenkes 2015-2019, puskesmas dikatakan melaksanakan penjaringan kesehatan pada peserta didik kelas 1 jika puskesmas melakukan penjaringan kesehatan kepada peserta didik kelas 1 di wilayah kerja puskesmas dengan minimal melakukan lima kegiatan yaitu pengukuran tinggi badan, pengukuran berat badan, gigi, tajam penglihatan, dan tajam pendengaran.

Tabel 3.3.8 menunjukkan bahwa terdapat 76,3 persen puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 1 dengan minimal melakukan 5 kegiatan. Puskesmas yang melaksanakan penjaringan peserta didik kelas 1 di seluruh sekolah dengan minimal melakukan 5 kegiatan adalah sebesar 56,5 persen. Dengan demikian maka target Renstra untuk tahun 2015 sebesar 50 persen berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 telah terlampaui.

Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 1 dengan minimal melakukan 5 kegiatan tidak jauh berbeda antara di perkotaan (79,3%) maupun perdesaan (72,7%). Begitu pula dengan persentase puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 1 di seluruh sekolah dengan minimal melakukan 5 kegiatan tidak jauh berbeda antara di perkotaan (57,1%) maupun perdesaan (55,7%)

Tabel 3.3.8 Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik

kelas 1, Sirkesnas 2016

Karakteristik

Total Puskesmas

Penjaringan Kelas 1

Penjaringan Kelas 1 dengan 5 kegiatan

Penjaringan Kelas 1 di seluruh sekolah dengan

5 kegiatan

n % n % n % n %

Lokasi Perkotaan 217 54,3 203 93,5 172 79,3 124 57,1 Perdesaan 183 45,7 156 85,2 133 72,7 102 55,7 Nasional 400 100 359 89,8 305 76,3 226 56,5

Page 96: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

72

Kegiatan yang dilakukan dalam penjaringan peserta didik kelas 1 adalah

pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, tajam pendengaran, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam penglihatan, riwayat kesehatan anak, riwayat kesehatan keluarga, kesehatan mental emosional, kesehatan intelegensia, pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan kebersihan diri, pemakaian alat bantu dan pemeriksaan kebugaran jasmani. Dalam konteks ini, yang dimaksud alat bantu disini misalnya tongkat, alat bantu dengar, tidak termasuk kacamata.

Kegiatan pemeriksaan gigi dan mulut (89,3%), pengukuran berat badan (88,3%), dan pengukuran tinggi badan (87,8%) adalah tiga kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1. Pemeriksaan intelegensia merupakan kegiatan yang paling sedikit dilakukan puskesmas pada saat penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 yaitu hanya 26,3 persen. Jika dilihat dari lokasi, semua kegiatan penjaringan kelas 1 persentasenya lebih besar di perkotaan dibandingkan di perdesaan (Tabel 3.3.9). Kegiatan pemeriksaan gigi dan mulut, pengukuran berat badan, dan pengukuran tinggi badan adalah tiga kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 baik di perkotaan maupun di perdesaan. Pemeriksaan intelegensia merupakan kegiatan yang paling sedikit dilakukan puskesmas baik di perkotaan (30%) maupun perdesaan (21,9%) pada saat penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1.

Tabel 3.3.9 Kegiatan yang dilakukan dalam penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1,

Sirkesnas 2016

Kegiatan penjaringan kelas 1

Nasional (N=400)

%

Lokasi

Perkotaan (n=217)

Perdesaan (n=183)

% %

Berat badan 88.3 91.2 84.7 Tinggi badan 87.8 90.3 84.7 Gigi dan Mulut 89.3 93.5 84.2 Tajam pendengaran 80.5 85.7 74.3 Tajam penglihatan 82.0 85.7 77.6 Kebersihan diri 83.8 88.0 78.7 Kebugaran 66.0 71.9 59.0 Riwayat anak 60.3 65.9 53.6 Tanda vital 54.8 58.5 50.3 Riwayat keluarga 38.0 40.6 35.0 Alat bantu* 45.3 49.3 40.4 Mental emosional 38.8 44.7 31.7 Intelegensia 26.3 30.0 21.9 Total Puskesmas 100.0 100.0 100.0

*alat bantu seperti alat bantu gerak, tongkat, alat bantu dengar tidak termasuk kacamata

Gambar 3.3.5. menunjukkan cakupan kegiatan yang dilakukan oleh

puskesmas pada saat penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut: (1) puskesmas yang melakukan minimal 5 kegiatan (sesuai standar) yaitu kegiatan pengukuran berat

Page 97: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

73

badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam pendengaran, dan tajam penglihatan; (2) puskesmas yang melakukan minimal 7 kegiatan yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam pendengaran, tajam penglihatan, kebersihan diri, dan kebugaran; (3) puskesmas yang melakukan 13 kegiatan yang mencakup seluruh kegiatan dalam penjaringan kesehatan yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam pendengaran, tajam penglihatan, kebersihan diri, kebugaran, riwayat anak, tanda vital, riwayat keluarga, pemakaian alat bantu, kesehatan mental emosional, dan intelegensia.

Terdapat 76,3 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 5 kegiatan, 57,5 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 7 kegiatan, dan 13,3 persen puskesmas yang melaksanakan 13 kegiatan. Sedangkan pada puskesmas yang melakukan penjaringan di seluruh sekolah terdapat 56,5 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 5 kegiatan, 42,8 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 7 kegiatan, dan 9,3 persen puskesmas yang melaksanakan 13 kegiatan.

76,3

57,5

13,3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

5 kegiatan 7 kegiatan 13 kegiatan

Kegiatan penjaringan siswa kelas 1

56,5

42,8

9,3

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

5 kegiatan 7 kegiatan 13 kegiatan

Kegiatan penjaringan siswa kelas 1

di seluruh sekolah

(a) (b)

Gambar 3.3.5 Persentase penjaringan peserta didik kelas 1 menurut jumlah kegiatan,

Sirkesnas 2016 3.3.3.2. Indikator Penjaringan Kesehatan Peserta Didik Kelas 7 dan 10

Kegiatan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 SMP/MTs/SMPLB dan kelas 10 SMA/SMK/MA/SMALB dilakukan setahun sekali jika sekolah tersedia dalam wilayah kerja puskesmas. Pemeriksaan kesehatan dilakukan kepada murid baru baik negeri maupun swasta. Persentase puskesmas yang

Page 98: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

74

melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10 disajikan dalam Tabel 3.3.10.

Renstra Kemenkes 2015-2019 menyatakan bahwa puskesmas dikatakan melaksanakan penjaringan kesehatan pada peserta didik kelas 7 dan 10 jika puskesmas melakukan penjaringan kesehatan kepada peserta didik kelas 7 SD/MI/SDLB dan kelas 10 SMA/SMK/MA/SMALB di wilayah kerja puskesmas dengan minimal melakukan lima kegiatan yaitu pengukuran tinggi badan, pengukuran berat badan, tekanan darah, tajam penglihatan, dan tajam pendengaran.

Tabel 3.3.10. menunjukkan bahwa terdapat 51,5 persen puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 sesuai standar, sedangkan puskesmas yang melaksanakan penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 di seluruh sekolah sesuai dengan standar adalah sebesar 34,0 persen. Maka target Renstra tahun 2015 sebesar 30 persen berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 telah tercapai.

Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 sesuai standar lebih besar di perkotaan (56,2%) dibandingkan dengan perdesaan (45,9%). Hal ini juga terjadi pada persentase puskesmas yang melakukan penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 di seluruh sekolah sesuai standar dimana di perkotaan (36,9%) lebih besar dibandingkan dengan perdesaan (30,6%)

Tabel 3.3.10 Persentase puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik

kelas 7 dan 10, Sirkesnas 2016

Karakteristik

Total Puskesmas Penjaringan Kelas 7

dan 10

Penjaringan Kelas 7 dan 10 dengan 5

kegiatan

Penjaringan Kelas 7 dan 10 diseluruh sekolah dengan 5

kegiatan

n % n % n % n %

Lokasi Puskesmas

Perkotaan 217 54,3 159 76,1 122 56,2 80 36,9

Perdesaan 183 45,7 115 73,7 84 45,9 56 30,6

Nasional 400 100 274 75,1 206 51,5 136 34,0

Gambar 3.3.6. menunjukkan cakupan kegiatan yang dilakukan oleh

puskesmas pada saat penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10 yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut: (1) puskesmas yang melakukan minimal 5 kegiatan (sesuai standar) yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, tekanan darah, tajam pendengaran, dan tajam penglihatan; (2) puskesmas yang melakukan minimal 7 kegiatan yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, tekanan darah, tajam pendengaran, tajam penglihatan, kebersihan diri, dan kebugaran; (3) puskesmas yang melakukan 14 kegiatan yang mencakup seluruh kegiatan dalam penjaringan kesehatan yaitu kegiatan pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, pemeriksaan gigi dan mulut, tajam pendengaran, tajam penglihatan, kebersihan diri, kebugaran, riwayat anak, tanda vital, riwayat

Page 99: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

75

keluarga, kesehatan reproduksi, pemakaian alat bantu, kesehatan mental emosional, dan intelegensia.

Terdapat 51,5 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 5 kegiatan, 40,8 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 7 kegiatan, dan 13,5 persen puskesmas yang melaksanakan 14 kegiatan pada penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10. Sedangkan pada puskesmas yang melakukan penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10 di seluruh sekolah terdapat 34,0 pesen puskesmas yang melaksanakan minimal 5 kegiatan, 27,3 persen puskesmas yang melaksanakan minimal 7 kegiatan, dan 8,8 persen puskesmas yang melaksanakan 14 kegiatan.

51,5

40,8

13,5

0

10

20

30

40

50

60

5 kegiatan 7 kegiatan 14 kegiatan

Kegiatan penjaringan siswa kelas

7&10

34

27,3

8,8

0

10

20

30

40

50

60

5 kegiatan 7 kegiatan 14 kegiatan

Kegiatan penjaringan siswa kelas

7&10 di seluruh sekolah

(a) (b)

Gambar 3.3.6 Persentase penjaringan peserta didik kelas 7 dan 10 menurut jumlah kegiatan,

Sirkesnas 2016 3.3.4 Indikator Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)

Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) merupakan kegiatan kesehatan remaja yang dilaksanakan oleh petugas puskesmas atau petugas lain di institusi atau masyarakat dan meliputi kegiatan dalam gedung maupun luar gedung Puskesmas. Kegiatan kesehatan remaja di luar gedung termasuk Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren), kelompok remaja di sekolah dan luar sekolah (kelompok anak jalanan, karang taruna, remaja mesjid atau gereja, dan lain-lain). Jenis kegiatan PKPR meliputi penyuluhan, pelayanan klinis medis termasuk pemeriksaan penunjang, konseling, pendidikan keterampilan hidup sehat (PKHS), pelatihan pendidik sebaya (yang diberi pelatihan menjadi kader kesehatan remaja) dan konselor sebaya (pendidik sebaya yang diberi

Page 100: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

76

tambahan pelatihan interpersonal relationship dan konseling), serta pelayanan rujukan.

Salah satu indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Direktorat Bina Kesehatan Anak adalah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja. Berdasarkan definisi operasional, puskesmas dikatakan menyelenggarakan kesehatan remaja apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) Memiliki tenaga kesehatan terlatih pelayanan kesehatan peduli remaja; (2) Memiliki pedoman kesehatan remaja; dan (3) Melakukan pelayanan konseling pada remaja. Target capaian indikator ini adalah 25 persen di tahun 2015.

Sebesar 71,5 persen Puskemas mengaku menyelenggarakan kegiatan PKPR (Tabel 3.3.11). Hanya 35 persen Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan PKPR sesuai dengan definisi operasional. Walaupun demikian, target capaian indikator untuk tahun 2015 telah terlampaui.

Terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan PKPR sesuai dengan definisi operasional di Perkotaan sebesar 43,3 persen, lebih besar daripada persentase di wilayah Perdesaan (32,9%).

Tabel 3.3.11 Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja,

Sirkesnas 2016

Karakteristik Total Sampel Puskesmas menyelenggarakan PKPR Puskesmas PKPR sesuai kriteria

N % n % n %

Lokasi Perkotaan 217 54,3 166 76,5 94 43,3 Perdesaan 183 45,7 120 65,6 46 32,9 Nasional 400 100 286 71,5 140 35,0

Tabel 3.3.12. menyajikan persentase komponen utama Puskesmas PKPR sesuai dengan definisi operasional. Dari 400 Puskesmas yang menjadi sampel Sirkesnas 2016, hanya 37,0 persen yang memiliki tenaga terlatih baik pelatihan oleh Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi maupun Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Persentase Puskesmas yang memiliki tenaga terlatih di wilayah perkotaan sebesar 45,6 persen, hampir dua kali lipat bila dibandingkan persentase Puskesmas di wilayah perdesaan (26,7%).

Hasil menunjukkan bahwa sebesar 54,3% puskesmas memiliki pedoman PKPR. Buku Pedoman PKPR antara lain Pedoman Pembentukan dan Pengembangan Puskesmas PKPR, Pedoman PKPR di Puskesmas, Pedoman Standar Nasional PKPR, Kurikulum Pelatihan PKPR, Teknik Konseling Kesehatan Remaja bagi Petugas Kesehatan, Teknik Konseling Kesehatan Remaja bagi Konselor Sebaya, Panduan Supervisi Fasilitatif PKPR Tingkat Puskesmas, Modul Pelatihan PKPR bagi Tenaga Kesehatan, dan Modul pelatihan PKPR bagi Konselor Sebaya. Puskesmas dinyatakan memiliki pedoman apabila memiliki dan dapat menunjukkan paling tidak satu dari buku pedoman tersebut.

Hanya 43,5 persen puskesmas yang memberikan pelayanan konseling. Persentase puskesmas yang memberikan pelayanan konseling di wilayah

Page 101: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

77

perkotaan sebesar 64,4 persen, sedangkan puskesmas yang memberikan pelayanan konseling di wilayah perdesaan sebesar 35,6 persen.

Tabel 3.3.12 Persentase komponen utama Puskesmas PKPR, 2016

Karakteristik Total PKM Tenaga terlatih Pedoman Konseling

N % n % n % n %

Lokasi Perkotaan 217 54,3 99 45,6 139 64,1 112 64,4 Perdesaan 183 45,7 49 26,7 78 42,6 62 35,6 Nasional 400 100 148 37,0 217 54,3 174 43,5

Gambar 3.3.7. menunjukkan puskesmas yang tidak melaksanakan

program PKPR dalam kurun waktu 3 tahun terakhir (2013 - 2015) dan alasannya. Hasil menunjukkan bahwa sebesar 28,5 persen Puskesmas tidak melaksanakan program PKPR. Sebesar 23,5 persen puskesmas di perkotaan dan 34,3 persen puskesmas di perdesaan tidak melaksanakan program PKPR. Terdapat 46,5 persen Puskesmas menyebutkan tidak melaksanakan program PKPR karena tidak ada anggaran, sebesar 42,1 persen karena tidak ada tenaga dan 31,6 persen menyatakan karena bukan program prioritas. Puskesmas yang berlokasi di daerah perkotaan tidak melaksanakan program PKPR dengan alasan karena bukan program prioritas (35,3%), tidak ada anggaran (39,2%), tidak ada SDM (39,2%), dan alasan lainnya (52,9%). Sedangkan puskesmas yang berlokasi di daerah perdesaan tidak melaksanakan program PKPR dengan alasan terbesar karena tidak ada anggaran (52,4%).

Page 102: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

78

Gambar 3.3.7

Persentase puskesmas tidak melaksanakan program PKPR dan alasannya, Sirkesnas 2016

3.4 Indikator Program Gizi Saat ini perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks dan

sudah mengarah terhadap terjadinya masalah gizi ganda. Selain masih banyak masalah gizi yang diakibatkan oleh kekurangan gizi seperti masih tingginya angka prevalensi bayi dengan berat lahir rendah (<2500 gram) sebesar 10,2 persen, bayi lahir pendek (<48 cm) sebesar 20,2 persen, stunting/pendek dan gizi kurang pada balita (37,2% dan 19,6%), ibu hamil risiko KEK (Lila < 23,5 cm) sebesar 24,2 persen, dan ibu hamil anemia sebesar 37,1 persen, di sisi lain juga sudah mulai meningkatnya masalah gizi akibat kelebihan gizi seperti prevalensi gizi lebih pada balita sudah mencapai 11,8 persen dan obesitas pada orang dewasa sebesar 15,4 persen (Riskesdas, 2013).

Kekurangan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dan usia dini dalam jangka pendek akan mengakibatkan terjadinya: 1) gangguan perkembangan sel-sel otak; 2) gangguan pertumbuhan fisik berupa IUGR dan BBLR; 3) terganggunya proses metabolik dari berbagai komponen seperti glukosa, lemak, protein, hormon, gen dan reseptor. Selanjutnya dalam jangka panjang, ketiga gangguan tersebut masing-masing dapat mengakibatkan :1) rendahnya kemampuan kognitif; 2) berisiko tetap stunting pada periode umur selanjutnya; serta 3) meningkatkan risiko untuk menderita penyakit kronis pada usia dewasa, seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, kanker, dan kegemukan. Ketiga gangguan tersebut terjadi pada waktu yang hampir

Page 103: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

79

bersamaan dan prosesnya terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Selain itu dampak yang ditimbulkan bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki pada periode umur selanjutnya (Rajagopalan, 2003).

Berkaitan dengan pentingnya masalah gizi maka Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka perbaikan dan peningkatan gizi perseorangan dan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan antara lain melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi serta kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Selain itu pentingnya masalah gizi dalam upaya perbaikan dan peningkatan gizi masyarakat juga dapat dilihat dari RPJMN bidang kesehatan 2015-2019 dimana gizi menjadi salah satu sasaran pokok yaitu meningkatnya status kesehatan, dan gizi ibu dan anak.

Selanjutnya untuk mencapai sasaran RPJMN bidang kesehatan 2015-2019 tersebut maka dalam Renstra Kemenkes 2015-2019 ditetapkan sebanyak 6 indikator sasaran kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat, terdiri dari : 1) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD); 2) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif; 3) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan; 4) Persentase remaja puteri yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD); 5) Persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah selama kehamilan dan 6) Persentase ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) yang mendapat makanan tambahan (Kemenkes, 2015). Selain itu terdapat empat indikator RPJMN bidang kesehatan yaitu :1). Menurunnya prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita; 2). Menurunnya prevalensi pendek (stunting) pada anak usia di bawah 2 tahun (Baduta); 3). Menurunnya prevalensi berat badan lebih dan obesitas pada penduduk usia > 18 tahun; 4) Menurunnya prevalensi anemia pada ibu hamil.

3.4.1 Indikator Persentase Bayi Baru Lahir Mendapat Inisiasi Menyusu Dini

(IMD) Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses menyusu secepatnya segera

setelah lahir dengan cara meletakkan bayi diatas dada ibu sehingga terjadi kontak kulit ke kulit antara kulit bayi dengan kulit ibunya secara langsung tanpa adanya penghalang selama minimal 1 jam (Kemenkes, 2015 dan WHO, 2016).

Manfaat dari IMD antara lain adalah memberikan pengaruh psikologis bagi ibu dan bayi sehingga membuat lebih tenang dan rileks, ikatan batin antara ibu dan bayi akan lebih terjamin, pada saat merangkak mencari payudara bayi menjilat-jilat kulit ibunya dan ia akan menelan bakteri ”baik’’ dari kulit ibu yang akan berkembang membentuk koloni kulit di kulit usus bayi, memberikan kemungkinan besar untuk ASI eksklusif, dan memperoleh kolostrum (Roesli, 2008). Target capaian indikator bayi baru lahir mendapat IMD dalam Renstra Kemenkes tahun 2015 adalah sebesar 38% (Kemenkes, 2015).

Page 104: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

80

Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai bayi umur

0-23 bulan. Total responden yang masuk sesuai kriteria sampel dan berhasil diwawancarai adalah sebanyak 6.789 responden. Selanjutnya diantara 6.789 sampel, terdapat sebanyak 762 sampel yang sudah melakukan IMD sesuai definisi WHO yaitu terjadinya proses penempelan kulit ibu dengan kulit bayi secara langsung tanpa ada penghalang, segera sesaat setelah lahir dan proses penempelan tersebut berlangsung minmal selama 1 jam. Namun demikian apabila hanya dilihat dari adanya proses penempelan kulit ibu dengan kulit bayi secara langsung tanpa adanya penghalang, segera sesaat setelah lahir tanpa memperhitungkan lamanya proses penempelan selama minimal 1 jam (IMD tidak sesuai definisi WHO) maka ada sebanyak 3154 sampel yang sudah melakukan IMD. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.4.1.

Gambar 3.4.2

Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Gambar 3.4.2 menunjukkan bahwa pencapaian sasaran indikator bayi baru lahir yang mendapat IMD sesuai dengan definisi WHO adalah sebesar 11,2 persen, sedangkan yang telah mendapat IMD tetapi belum sesuai dengan definisi WHO adalah sebesar 46,5 persen. Capaian indikator IMD ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan target tahun 2015 (38%). Terjadinya

Ya, IMD (sesuai WHO)

n = 762

Tidak IMD

n = 6027

Total Sampel (Ibu mempunyai anak usia 0-23 Bulan)

N = 6789

Ya, IMD (Tidak sesuai WHO)

n = 3154

Gambar 3.4.1

Algoritma sampel bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Page 105: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

81

perbedaan yang cukup tinggi ini disebabkan adanya perbedaan dalam penggunaan definisi operasional terkait IMD antara Sirkesnas 2016 dengan dasar pada saat penetapan target Renstra tahun 2015. Penetapan target IMD pada Renstra tahun 2015 adalah rata-rata waktu inisiasi ASI pertama kali kepada bayi bukan terjadinya proses kontak kulit antara kulit ibu dengan kulit bayi segera sesaat setelah lahir yang berlangsung minimal selama 1 jam. Namun demikian jika menggunakan definisi operasional yang sama dengan Sirkesnas 2016, maka angka IMD menurut Riskesdas 2013 adalah sebesar 11,7 persen.

Berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan IMD di masyarakat saat ini masih kurang optimal. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran ibu ataupun petugas kesehatan untuk mau melakukan IMD sesuai dengan standar WHO. Oleh karena itu perlu peningkatan penyuluhan pada ibu bahwa IMD tidak cukup hanya melakukan proses penempelan kulit ibu dan kulit bayi sesaat segera setelah lahir, tetapi proses penempelan tersebut harus dilakukan minimal selama satu jam agar manfaat dari IMD dapat tercapai secara maksimal (Roesli, 2008).

Page 106: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

82

Tabel 3.4.1 Persentase bayi baru lahir yang mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) menurut

karakteristik keluarga, Sirkesnas 2016

Karakteristik Inisiasi Menyusu Dini

N Ya (%) Tidak (%)

Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah 155 10,3 89,7

Tidak tamat SD/MI 437 11,2 88,8

Tamat SD/MI 1754 9,9 90,1

Tamat SLTP/MTS 1682 13,4 86,6

Tamat SLTA/MA 1938 11,2 88,8

Tamat D1/D2/D3 331 12,1 87,9

Tamat PT 385 8,8 91,2

Pendidikan Ibu

Tidak/ belum pernah sekolah 227 15,0 89,7

Tidak tamat SD/MI 619 14,4 88,8

Tamat SD/MI 2168 10,6 90,1

Tamat SLTP/MTS 1338 10,7 86,6

Tamat SLTA/MA 1910 11,7 88,8

Tamat D1/D2/D3 174 8,6 87,9

Tamat PT 351 8,0 91,2

Pekerjaan KK

PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 343 9,9 90,1

Pegawai swasta 1088 11,2 88,8

Wiraswasta 1652 9,0 91,0

Petani 1522 12,0 80,0

Nelayan 143 12,6 87,4

Buruh 1266 12,1 87,9

Lainnya 298 11,4 88,6

Tidak bekerja 474 14,6 85,4

Tempat Tinggal

Perkotaan 3298 11,7 88,3

Perdesaan 3491 10,7 89,3

Nasional 6789 11,2 88,8

Berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga tampak bahwa

persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD, terbanyak pada kelompok pendidikan tamat SLTP/MTS (13,4%) sedangkan yang terendah pada kelompok pendidikan tamat PT (8,8%). Namun, jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan ibu maka justru terbanyak adalah pada kelompok pendidikan tidak/belum pernah sekolah (15,0%) dan terendah pada ibu dengan pendidikan tamat perguruan tinggi (8,0%).

Page 107: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

83

Jika dilihat dari jenis pekerjaan kepala keluarga tampak bahwa persentase IMD lebih banyak pada kelompok kepala keluarga yang tidak bekerja (14,6%), paling sedikit pada kelompok kepala keluarga yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (9,9%). Berdasarkan tempat tinggal terlihat bahwa proporsi IMD di daerah perkotaan sebesar 11,7 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan sebesar 10,7 persen. 3.4.2 Indikator Persentase bayi usia kurang dari 6 Bulan mendapat ASI

Eksklusif

Indikator persentase bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusif mempunyai peranan penting dalam rangka meningkatkan status kesehatan dan status gizi balita karena memberikan beberapa manfaat baik untuk bayi maupun ibunya. Manfaat tersebut antara lain adalah ASI memiliki kandungan gizi yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal, mudah dicerna dan diserap, mengandung lipase memecah trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol, mengandung zat kekebalan tubuh sehingga bayi jarang sakit, mendekatkan hubungan ibu dan bayi karena menimbulkan perasaan aman bagi bayi, mengurangi insiden karies dentis, mengurangi maloklusi rahang, dan lain sebagainya (Kemenkes, 2014)

Sesuai dengan definisi WHO, yang dimaksud dengan ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja pada bayi baru lahir sampai umur 6 bulan tanpa diberikan cairan/minuman atau makanan lain kecuali obat, vitamin dan mineral. Target capaian indikator bayi kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusif dalam Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2015 adalah sebesar 39 persen (Kemenkes, 2015).

Dalam Sirkesnas 2016, capaian indikator ASI eksklusif dihitung

berdasarkan pada 2 (dua) pendekatan, yaitu pertama, capaian ASI eksklusif berdasarkan kriteria ASI eksklusif 6 bulan dan kedua, capaian ASI eksklusif 0-5 bulan. Selanjutnya kedua pendekatan tersebut masing-masing juga mempunyai cara perhitungan dan unit sampel yang berbeda. Untuk mengetahui berapa persentase bayi yang mendapat ASI Eksklusif 6 bulan yaitu sejak lahir sampai

Gambar 3.4.3 Algoritma sampel anak usia 0-23 bulan yang mendapat ASI Eksklusif

Total Sampel ASI eksklusif

(Ibu mempunyai anak usia 0-23 Bulan)

N = 6.789

ASI Eksklusif 6 bulan

(Ibu mempunyai anak usia 6-23 Bulan)

n=5.936

ASI Eksklusif 0-5 bulan

(Ibu mempunyai anak usia 0-5 Bulan)

n = 853

Page 108: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

84

usia 5 bulan 29 hari bayi hanya diberikan ASI saja maka yang dipilih sebagai sampel adalah ibu yang memiliki anak umur 6-23 bulan sedangkan untuk mengetahui berapa persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif 0-5 bulan maka yang dipilih sebagai sampel adalah ibu yang memiliki bayi usia 0-5 bulan. Adapun pertanyaan yang digunakan untuk mendapatkan capaian indikator ASI eksklusif 0-5 bulan antara lain adalah apakah dalam 24 jam terakhir bayi hanya diberikan ASI saja tanpa diberikan cairan/minuman dan makanan lain selain ASI. Selanjutnya jika responden menjawab ya, maka akan ditanyakan apakah sejak lahir sampai sebelum 24 jam terakhir bayi pernah diberikan makanan lain selain ASI serta makan kapan pertama kali mulai diberi cairan/minuman atau makanan lain selain ASI.

Total responden berdasarkan kriteria yang memiliki anak 0-23 bulan adalah sebanyak 6.789 ibu. Selanjutnya sampel yang digunakan untuk menghitung capaian indikator ASI eksklusif 6 bulan adalah sebanyak 5.936 responden sedangkan untuk menghitung capaian ASI ekslusif umur 0-5 bulan adalah sebanyak 853 responden. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.4.3.

Gambar 3.4.4

Persentase bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan hanya mendapat ASI Eksklusif

Gambar 3.4.4. menunjukkan bahwa capaian indikator bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulan pada tahun 2015 adalah sebesar 21,5 persen. Hasil ini masih lebih rendah dibandingkan dengan target Renstra tahun 2015 sebesar 39 persen. Terjadinya perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan cara perhitungan dan sampel yang digunakan dalam menghitung ASI Eksklusif antara Sirkesnas 2016 dengan yang digunakan pada saat penetapan target Renstra tahun 2015. Adapun dasar penetapan target ASI eksklusif Renstra tahun 2015 adalah mengacu pada pertanyaan apakah dalam 24 jam terakhir bayi hanya diberi ASI saja tanpa diberikan cairan/minuman atau makanan lain selain ASI.

Tabel 3.4.2 menyajikan gambaran persentase ASI ekslusif umur 0-5 bulan berdasarkan 2 pertanyaan yang berbeda yaitu pertama, berdasarkan pada pertanyaan apakah dalam 24 jam terakhir bayi hanya mendapatkan ASI saja (kolom a) dan kedua, berdasarkan pada pertanyaan apakah sejak lahir sampai sebelum 24 jam terakhir bayi pernah diberikan minuman (cairan) dan atau makanan selain ASI (kolom b). Berdasarkan tabel 3.4.2 tersebut

Page 109: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

85

menunjukkan bahwa capaian ASI eksklusif pada bayi umur 0 bulan hanya sekitar 50 persen dan terdapat kecenderungan semakin bertambahnya umur maka persentase ASI eksklsuif semakin menurun. Namun demikian untuk menilai capaian ASI eksklusif 0-5 bulan sebaiknya didasarkan pada pertanyaan pada kolom (b) karena sudah dikontrol oleh pertanyaan apakah memang sejak lahir sampai pada saat wawancara bayi memang hanya diberikan ASI saja tanpa diberikan cairan/minuman atau makanan lain selain ASI.

Tabel 3.4.2 Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif

menurut kelompok umur 0-5 bulan, Sirkesnas 2016

Umur ASI Eksklusif

n a*(%) n b**(%)

0 Bulan 161 52,8 160 48,8

1 Bulan 152 46,7 153 44,4

2 Bulan 122 50,8 122 47,5

3 Bulan 139 43,9 138 37,7

4 Bulan 131 38,9 131 32,1

5 Bulan 148 32,4 149 22,8

a* Menggunakan kriteria dalam 24 jam terakhir hanya diberi ASI saja b** Menggunakan kriteria sejak lahir sampai sebelum 24 jam terakhir hanya diberi ASI saja

Berdasarkan Tabel 3.4.3 tampak persentase bayi yang mendapat ASI

Eksklusif 6 bulan dilihat dari tingkat pendidikan kepala keluarga, terbanyak pada kelompok pendidikan tamat D1-D3 (31,5%) sedangkan yang terendah pada kelompok pendidikan tidak tamat SD (17,7%). Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, ternyata terbanyak adalah pada kelompok pendidikan tamat SD/MI (23,4%) dan terendah pada kelompok ibu yang tidak pernah sekolah (16,4%). Jika dilihat berdasarkan jenis pekerjaan ibu tampak bahwa persentase tertinggi pada kelompok ibu yang bekerja sebagai nelayan (50%) dan pada kelompok ibu yang tidak bekerja serta wiraswasta sebesar 23,0 persen. Selanjutnya berdasarkan wilayah tempat tinggal terlihat bahwa persentase ASI Ekslusif di daerah perdesaan lebih tinggi (22,4%) dibanding dengan di daerah perkotaan (20,5%).

Page 110: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

86

Tabel 3.4.3 Persentase bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulan menurut karakteristik keluarga,

Sirkesnas 2016

Karakteristik N ASI Eksklusif 6 bulan

Ya(%) Tidak(%)

Pendidikan KK

Tidak/ belum pernah sekolah 194 18,6 81,4

Tidak tamat SD/MI 525 17,7 82,3

Tamat SD/MI 1974 21,2 78,8

Tamat SLTP/MTS 1191 25,4 74,6

Tamat SLTA/MA 1624 19,8 81,9

Tamat D1/D2/D3 149 31,5 68,6

Tamat PT 279 21,1 78,9

Pendidikan Ibu

Tidak/ belum pernah sekolah 122 16,4 83,6

Tidak tamat SD/MI 363 21,5 78,5

Tamat SD/MI 1588 23,4 76,6

Tamat SLTP/MTS 1504 21,9 78,1

Tamat SLTA/MA 1687 20,3 79,7

Tamat D1/D2/D3 266 22,6 77,4

Tamat PT 317 22,1 77,9

Pekerjaan Ibu

PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 147 19,7 80,3

Pegawai swasta 452 15,5 84,5

Wiraswasta 408 23,0 77,0

Petani 385 17,1 82,9

Nelayan 4 50,0 50,0

Buruh 153 19,6 80,4

Lainnya 189 19,0 81,0

Tidak bekerja 4108 23,0 77,0

Tempat Tinggal

Perkotaan 2836 20,5 79,5

Perdesaan 3100 22,4 77,6

Nasional 5936 21,5 78,5

3.4.3 Indikator persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan

Indikator persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan merupakan indikator untuk mengukur capaian program pemberian makanan tambahan untuk balita kurus di Indonesia. Balita kurus terutama disebabkan karena kurangnya asupan makanan sehari-hari dan hal ini akan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Dalam jangka panjang akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia.

Page 111: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

87

Pentingnya pemberian makanan tambahan ini karena usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Oleh karena itu kelompok usia balita perlu mendapat perhatian karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan gizi ini adalah adanya program pemberian makanan tambahan (PMT). Makanan tambahan adalah makanan bergizi sebagai tambahan selain makanan utama bagi kelompok sasaran guna memenuhi kebutuhan gizi yang dapat diberikan dalam bentuk makanan pabrikan dan atau makanan berbahan pangan lokal minimal selama 90 Hari Makan Anak (HMA) berturut-turut. Sasaran pemberian makanan tambahan balita adalah balita usia 6-59 bulan dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB = -3 SD sampai dengan <-2 SD) (Kemenkes RI, 2015b).

Dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015 target capaian balita kurus yang mendapat makanan tambahan sebesar 70 persen. Namun demikian salah satu keterbatasan Sirkesnas 2016 adalah tidak mempunyai data terkait status gizi anak yang mendapat PMT pada tahun 2015 sehingga hal ini menyebabkan hasil capaian yang diperoleh tidak dapat secara langsung menggambarkan capaian indikator indikator balita kurus yang mendapat makanan tambahan.

Terkait capaian indikator tersebut maka hasil Sirkesnas 2016 akan ditampilkan melalui 2 pendekatan yaitu : 1). Tidak dihubungkan dengan status gizi balita ; dan 2). Dihubungkan dengan status gizi balita saat wawancara.

1. Persentase Balita yang mendapat PMT Tahun 2015 tanpa dihubungkan

dengan Status Gizi

Mendapat PMT Non Biskuit n = 1.478

Mendapat PMT n = 5.185

Sampel Balita 6-59 Bulan N = 18.151

Tidak Mendapat PMT n = 12.968

Balita 0-59 Bulan N = 19.003

Mendapat PMT Biskuit

n = 3.706

Gambar 3.4.5

Algoritma sampel balita yang mendapat PMT pada tahun 2015

Page 112: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

88

Pada Sirkesnas 2016, jumlah balita usia 0-59 bulan adalah 19.003 anak sedangkan yang menjadi sampel adalah anak balita usia 6-59 bulan sebanyak 18.151 anak (Gambar 3.4.5). Berdasarkan Gambar 3.4.5. tampak bahwa balita yang mendapat PMT ada sebanyak 5185 anak. Dari yang mendapat PMT ini ada sebanyak 3.706 anak mendapat PMT berbentuk biskuit dan 1.478 balita mendapat PMT berbentuk non biskuit (susu, bubur formula, dll). Informasi mengenai pemberian makanan tambahan anak balita diperoleh melalui wawancara.

Berdasarkan hasil wawancara di masyarakat ditemukan bahwa anak balita (6-59 bulan) yang mendapatkan makanan tambahan pada kurun waktu bulan Januari – Desember 2015 adalah hanya sebanyak 28,6 persen (Gambar 3.4.6). Sebenarnya hasil capaian ini tidak sepenuhnya tepat untuk dibandingkan dengan target Renstra tahun 2015 yang menetapkan sebanyak 70 persen balita kurus mendapat PMT karena pada Sirkesnas 2016 ini tidak mempunyai data status gizi responden pada saat menerima PMT di tahun 2015.

Gambar 3.4.6 Persentase balita yang mendapat PMT

Bila dilihat berdasarkan karakteristik pada Tabel 3.4.4, maka persentase

terbesar anak yang mendapatkan makanan tambahan adalah anak yang berasal dari keluarga dengan pendidikan KK tidak/belum pernah sekolah yaitu 30,5 persen dan terendah dengan pendidikan tamat D1/D2/D3 sebesar 22,8 persen.

Berdasarkan pekerjaan KK, persentase tertinggi yang mendapat makanan tambahan adalah anak dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh yaitu mencapai 34,7 persen dan terendah dengan pekerjaan sebagai PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD. Ditinjau dari wilayah tempat tinggal, daerah perkotaan mempunyai persentase yang sedikit lebih besar (29,2%) dibandingkan dengan daerah perdesaan (28,0%).

Page 113: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

89

Tabel 3.4.4 Persentase anak balita (6-59 bulan) yang mendapatkan PMT berdasarkan

karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal tahun 2015, Sirkesnas 2016

Karakteristik N Mendapat PMT

Ya(%) Tidak(%)

Pendidikan KK

Tidak/ belum pernah sekolah 610 30,5 69,5

Tidak tamat SD/MI 1750 23,7 76,3

Tamat SD/MI 5581 30,3 69,7

Tamat SLTP/MTS 3657 28,4 71,6

Tamat SLTA/MA 5104 29,6 70,4

Tamat D1/D2/D3 491 22,8 77,2

Tamat PT 960 24,1 75,9

Pekerjaan KK

PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 892 23,9 76,1

Pegawai swasta 2812 31,9 68,1

Wiraswasta 4401 25,5 74,5

Petani 4248 25,9 74,1

Nelayan 339 26,0 74,0

Buruh 3298 34,7 65,3

Lainnya 851 29,6 70,4

Tidak bekerja 1310 27,9 72,1

Tempat Tinggal

Perkotaan 8806 29,2 70,8

Pedesaan 9345 28,0 72,0

Nasional 18151 28,6 71,4

Tabel 3.4.5 menunjukkan persentase anak balita yang mendapatkan PMT

tertinggi pada pendidikan ibu tamat SLTA/MA (30,9%) dan terendah dengan tidak/belum pernah sekolah (18,9%). Bila dilihat dari pekerjaan ibu maka anak yang mendapatkan makanan tambahan lebih banyak pada ibu yang bekerja sebagai buruh yaitu sebesar 32,1 persen dan paling sedikit adalah dari ibu dengan pekerjaan lainnya (22,2%).

Page 114: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

90

Tabel 3.4.5 Distribusi Persentase Anak Balita (6-59 bulan) yang mendapatkan PMT menurut

Karakteristik Ibu Tahun 2015, Sirkesnas 2016

Karakteristik N Mendapat PMT

Ya(%) Tidak(%)

Pendidikan ibu

Tidak/ belum pernah sekolah 435 18,9 81,1

Tidak tamat SD/MI 1165 20,8 79,2

Tamat SD/MI 4725 28,7 71,3

Tamat SLTP/MTS 4369 29,5 70,5

Tamat SLTA/MA 5051 30,9 69,1

Tamat D1/D2/D3 818 24,9 75,1

Tamat PT 1056 24,9 75,1

Pekerjaan ibu

PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 543 24,7 75,3

Pegawai swasta 1432 31,6 68,4

Wiraswasta 1441 28,9 71,1

Petani 1393 24,3 75,7

Nelayan 24 29,2 70,8

Buruh 604 32,1 67,9

Lainnya 607 22,2 77,8

Tidak bekerja 11577 28,7 71,3

Nasional 17621 28,6 71,4

2. Persentase Balita yang mendapat PMT tahun 2015 dihubungkan dengan

Status Gizi tahun 2016 Pengukuran status gizi yang dilakukan pada saat wawancara (tahun

2016) terhadap 17330 anak balita ditemukan sebanyak 1253 anak kurus (indeks BB/TB) -3 SD s/d <-2 SD standar WHO 2005 (Gambar 3.4.7). Selanjutnya dari sejumlah anak kurus tersebut yang menyatakan pernah mendapat PMT pada tahun 2015 hanya sekitar 28,5 persen (Gambar 3.4.8).

Sampel balita 6-59 Bulan N = 18151

Sampel balita dengan status gizi N = 17330

Anak balita kurus n = 1253

Mendapat PMT n = 357

Tidak Mendapat PMT n = 896

Gambar 3.4.7 Algoritma sampel Balita yang mendapat PMT tahun 2015 berdasarkan hasil

pengukuran Status Gizi tahun 2016

Page 115: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

91

Gambar 3.4.8

Persentase Balita Kurus hasil pengukuran Status Gizi tahun 2016 yang mendapat PMT pada tahun 2015

Tabel 3.4.6 menunjukkan bahwa dari sebanyak 17330 anak balita yang diukur status gizinya pada saat wawancara, ternyata yang mengaku pernah mendapatkan PMT pada tahun 2015 tidak hanya berstatus gizi kurus saja tetapi termasuk yang sangat kurus, normal maupun gemuk. Diantara keempat kategori status gizi tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar yang mendapatkan PMT adalah anak balita status gizi normal yaitu sebesar 85,1 persen, sedangkan kategori kurus hanya sebesar 7,2 persen.

Tabel 3.4.6 Persentase Anak Balita (6-59 bulan) yang mendapat PMT pada tahun 2015

berdasarkan Status Gizi BB/TB tahun 2016

PMT

N

Status Gizi berdasar BB/TB

Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk

n % n % n % n %

Mendapat 4977 117 2,4 357 7,2 4237 85,1 266 5,3

Tidak mendapat PMT 12353 325 2,6 896 7,3 10373 84,0 759 6,1

Nasional 17330 442 2,6 1253 7,2 14610 84,3 1025 5,9

Pola yang sama juga terlihat pada persentase anak balita berdasarkan bentuk PMT yang diperoleh (Tabel 3.4.7), dari sebanyak 17330 anak balita ternyata yang mendapatkan PMT berbentuk biskuit tidak hanya berstatus gizi kurus saja tetapi termasuk juga yang sangat kurus, normal maupun gemuk. Diantara keempat kategori status gizi tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar yang mendapatkan PMT berbentuk biskuit adalah anak balita status gizi normal yaitu sebesar 84,8 persen sedangkan kategori kurus hanya sebesar 7,4 persen.

Tabel 3.4.7 Persentase Anak Balita (6-59 bulan) berdasarkan bentuk PMT yang diperoleh

dan Status Gizi BB/TB tahun 2016

Bentuk PMT balita

N

Status Gizi berdasar BB/TB

Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk

n % n % n % n %

Biskuit 3579 91 2,5 265 7,4 3034 84,8 189 5,3

Non biskuit 1398 26 1,9 92 6,6 1203 86,1 77 5,5

Tidak mendapat PMT 12353 325 2,6 896 7,3 10373 84,0 759 6,1

Nasional 17330 442 2,6 1253 7,2 14610 84,3 1025 5,9

Page 116: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

92

3.4.4 Indikator persentase remaja puteri (12-18 tahun) mendapat Tablet

Tambah Darah Tablet Tambah Darah (TTD) merupakan suplemen yang berbentuk tablet,

mengandung zat besi untuk pencegahan anemia (kurang darah). Akibat anemia pada remaja puteri yaitu dapat menurunkan kosentrasi belajar, tingkat kehadiran di sekolah dan kemampuan bekerja. Pencegahannya sangat penting, dalam rangka persiapan remaja puteri sebagai calon ibu, agar dapat melahirkan bayi yang sehat. Secara nasional program TTD pada remaja puteri, dilakukan dengan distribusi TTD melalui sekolah atau puskesmas (Program PKPR). Dengan demikian diharapkan prevalensi anemia pada remaja puteri menurun.

Indikator persentase remaja puteri mendapat TTD merupakan salah satu indikator luaran yang harus dicapai yang telah ditetapkan dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019. Definisi operasional indikator ini adalah persentase remaja puteri usia 12-18 tahun yang mendapat TTD. Kriteria remaja puteri yang menjadi responden dalam Sirkesnas 2016 selain berusia 12-18 tahun adalah belum pernah menikah. Capaian target indikator ini ditetapkan tahun 2015 sebesar 10 persen, tahun 2016 dan 2019 sebesar 15 persen dan 30 persen. Belum ada dasar atau baseline dalam penetapan target indikator tahun 2015.

Gambar 3.4.9

Persentase remaja puteri mendapat TTD

Berdasarkan wawancara terhadap total sampel remaja puteri sebanyak 4.505 orang, ditemukan 7,6 persen yang mendapat TTD dan 92,4 persen tidak mendapat TTD (Gambar 3.4.9.). Artinya secara nasional capaian target indikator persentase remaja puteri (12-18 tahun) yang mendapat TTD adalah sebesar 7,6 persen dan masih besar persentase remaja puteri yang belum mendapat/membeli TTD.

Menurut karakteristik tempat tinggal (tabel 3.4.8), remaja puteri yang mendapat TTD di perkotaan adalah sebesar 8,3 persen sedikit lebih besar dibandingkan di daerah perdesaan (7,1%) sedangkan menurut pendidikan, terbanyak remaja puteri yang mendapat TTD yang mempunyai pendidikan tamat SLTP/MTS (12,8%) dan terendah dengan pendidikan tidak tidak tamat SD/MI (1,9%). Bila dilihat persentase remaja puteri yang mendapat TTD tertinggi dengan pendidikan Kepala Keluarga mencapai D1 keatas (18,9%) dan terkecil dengan pendidikan tidak tamat SD/MI (6,3%). Berdasarkan pekerjaan kepala

Page 117: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

93

keluarga, terbanyak persentase remaja putri yang mendapat TTD mempunyai kepala keluarga dengan pekerjaan sebagai pegawai swasta (12,6%), dan terendah bekerja sebagai petani (4,1%). Terlihat pola yang jelas, semakin tinggi pendidikan remaja putri semakin tinggi pula persentase remaja yang mendapat TTD. Namun pada pendidikan kepala keluarga dan pekerjaan kepala keluarga tidak terlihat pola yang jelas kaitannya dengan persentase remaja puteri yang mendapat TTD.

Tabel 3.4.8 Karakteristik remaja putri yang mendapat TTD, Sirkesnas 2016

Karakteristik N Mendapat/Membeli TTD

Ya(%) Tidak(%)

Pendidikan Remaja Putri

Tidak/ belum pernah sekolah 200 3,5 96,5

Tidak tamat SD/MI 750 1,9 98,1

Tamat SD/MI 1903 5,9 94,1

Tamat SLTP/MTS 1312 12,8 87,2

Tamat SLTA/MA 359 12,5 87,5

Pendidikan KK

Tidak/ belum pernah sekolah 159 8,2 91,8

Tidak tamat SD/MI 536 6,3 93,7

Tamat SD/MI 1674 8,1 91,9

Tamat SLTP/MTS 869 6,8 93,2

Tamat SLTA/MA 1039 7,8 92,2

Tamat D1/D2/D3 79 11,4 88,6

Tamat PT 174 7,5 92,5

Pekerjaan KK

PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD 221 6,8 93,2

Pegawai Swasta 516 12,6 87,4

Wiraswasta 1056 7,3 92,7

Petani 1234 4,1 95,9

Nelayan 108 8,3 91,7

Buruh 845 10,7 89,3

Lainnya 202 4,5 95,5

Tidak bekerja 310 9,0 91,0

Sedang Sekolah 39 5,1 94,9

Tempat Tinggal

Perkotaan 2108 8,3 91,7

Perdesaan 2423 7,1 92,9

Nasional 4531 7,6 92,4

Tidak seluruh remaja puteri mengonsumsi TTD yang didapat/dibeli.

Gambaran jumlah TTD yang dikonsumsi, dari mana sumber TTD diperoleh dapat dilihat pada Lampiran tabel 17 dan 18.

Dibandingkan dengan target capaian indikator Renstra Kemenkes tahun 2015 remaja puteri (12-18 tahun) yang mendapat TTD sebesar 10 persen, maka

Page 118: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

94

hasil Sirkesnas 2016 hanya 7,6 persen menunjukkan hasil capaian yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena program TTD remaja puteri (12-18 tahun) baru diluncurkan (launching) tahun 2015 yang terbatas hanya pada beberapa provinsi saja dan pengadaannyapun baru dilakukan pada akhir tahun 2015. 3.4.5 Indikator persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah

Persentase ibu hamil mendapat atau membeli secara mandiri suplemen tambah darah atau Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90 tablet selama kehamilan merupakan salah satu indikator program perbaikan gizi masyarakat di dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019. Pemberian suplemen TTD bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya anemia gizi besi pada wanita usia subur dengan prioritas pada ibu hamil. Anemia gizi hingga saat ini masih perlu mendapat perhatian serius di Indonesia. Hasil Riskesdas 2013 prevalensi anemia pada ibu hamil masih tinggi yaitu sebesar 37,1 persen. Karena itu masalah anemia ibu hamil di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kategori hampir berat (prevalensi anemia kategori berat ≥40%) (WHO 2001 dalam Kemenkes 2015). Prevalensi anemia di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata prevalensi anemia di negara-negara berkembang (Kemenkes, 2015).. Program suplementasi TTD telah dilaksanakan sejak tahun 1990-an sebagai salah satu upaya penanganan masalah anemia gizi selain pendidikan atau KIE gizi dan fortifikasi.

Target capaian indikator Renstra 2015 terkait persentase ibu hamil yang

mendapat TTD minimal 90 tablet selama kehamilan baik dari program maupun mandiri adalah sebesar 82,0 persen. Responden pada survei ini adalah anggota rumah tangga (ART) khusus perempuan usia 10-54 tahun dan pernah menikah (N=7313). Informasi yang dikumpulkan berdasarkan riwayat mendapat/membeli

Gambar 3.4.10 Algoritma sampel ibu hamil yang mendapat TTD selama kehamilan, Sirkesnas 2016

Sampel ibu hamil N = 7313

Mendapat/Beli TTD n = 6376

Tidak mendapat/beli TTD n = 937

Tidak mendapat/Beli n = 937

Mendapat/Beli TTD≥ 90 n = 2621

Mendapat/Beli TTD<90 n = 3755

Rata-rata = 37 tablet Rata-rata = 131 tablet

Page 119: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

95

suplemen tambah darah selama kehamilan pada persalinan terakhir periode 1 Januari 2014 sampai saat wawancara (sekitar bulan Mei - Juni awal 2016). Informasi yang diperoleh dapat memberikan gambaran persentase ibu hamil Indonesia yang mendapat/membeli suplemen TTD selama kehamilannya baik yang berasal dari program maupun mandiri. Responden yang mendapat/membeli lebih dari 90 tablet rata-rata adalah 131 dan yang kurang dari 90 tablet rata-rata sebanyak 37 tablet (Gambar 3.4.10).

Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD selama kehamilannya minimal 90 tablet adalah sebanyak 35,8 persen sedangkan ibu hamil yang mendapat/membeli TTD kurang 90 tablet selama kehamilan jumlahnya sebanyak 51,4 persen (Gambar 3.4.11). Kondisi ini dengan catatan bahwa tahun 2015 terdapat kekosongan stok dan tidak ada droping TTD ibu hamil dari pusat ke daerah.

Gambar 3.4.11

Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli suplemen tambah darah selama kehamilan, Sirkesnas 2016

Pada Tabel 3.4.9 dapat dilihat bahwa secara nasional persentase ibu

hamil yang mendapat/membeli suplemen TTD selama kehamilan tanpa melihat jumlahnya selama kehamilan adalah sebanyak 87,2 persen. Bila dilihat menurut pendidikan kepala keluarga terbanyak adalah tamat SLTP/MTS (91,2%) dan paling sedikit adalah tidak/belum pernah sekolah (57,9%). Bila dilihat menurut jenis pekerjaan kepala keluarga, persentase ibu hamil yang mendapat/membeli suplemen TTD selama kehamilan terbanyak sebagai pegawai swasta (90,1%) diikuti buruh (89,2%) dan terendah sebagai nelayan (83,9%). Menurut tempat tinggal, persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD lebih banyak di perkotaan (88,3%) dibandingkan dengan di perdesaan (86,1%).

Page 120: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

96

Tabel 3.4.9 Persentase ibu hamil yang mendapat/membeli TTD selama kehamilan

berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal, Sirkesnas 2016

Karakteristik N

Mendapat/Membeli TTD

Ya (%) Tidak (%)

Pendidikan

Tidak/belum pernah sekolah 152 57,9 42,1

Tidak tamat SD/MI 475 80,0 20,0

Tamat SD/MI 1907 86,8 13,2

Tamat SLTP/MTS 1796 91,2 8,8

Tamat SLTA/MA 2175 89,5 10,5

Tamat D1/D2/D3 353 85,0 15,0

Tamat PT 454 86,3 13,7

Pekerjaan

PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD 325 84,4 15,6

Pegawai Swasta 1190 90,1 9,9

Wiraswasta 1763 89,0 11,0

Petani 1646 84,3 15,7

Nelayan 137 83,9 16,1

Buruh 1342 89,2 10,8

Lainnya 353 85,0 15,0

Tidak bekerja 511 86,9 13,1

Tempat Tinggal

Perkotaan 3628 88,3 12,7

Perdesaan 3685 86,1 12,9

Nasional 7313 87,2 12,8

Pada Tabel 3.4.10 dapat dilihat secara nasional persentase ibu hamil

yang mengonsumsi TTD lebih atau sama dengan 90 tablet selama kehamilannya baru mencapai 25,4 persen. Sebanyak 60,7 persen mengkonsumsi TTD kurang dari 90 tablet, ada pula yang sudah mendapat atau membeli TTD tapi tidak diminum (1,0%).

Persentase ibu hamil yang mengonsumsi lebih atau sama dengan 90

tablet menurut pendidikan kepala keluarga terbanyak adalah tamat D1/D2/D3 (34,6%) diikuti dengan tamat SLTA/MA (28,5%). Bila dilihat menurut jenis pekerjaan kepala keluarga terbanyak adalah swasta (29,3%) dikuti dengan PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD (27,5%). Menurut tempat tinggal, persentase ibu hamil yang mengonsumsi lebih atau sama dengan 90 tablet di perkotaan lebih banyak (26,5%) dibandingkan dengan di perdesaan (24,3%).

Page 121: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

97

Tabel 3.4.10 Persentase ibu hamil yang mengonsumsi TTD selama kehamilan menurut

karakteristik kepala keluarga dan tempat tinggal, Sirkesnas 2016

Karakteristik

N

Mendapat TTD Tidak Mendapat/ membeli

TTD

Konsumsi TTD

Mendapat/ membeli TTD tapi tdk minum

Tidak tahu ≥ 90 <90

(%) (%) (%) (%) (%)

Pendidikan Tidak/belum pernah sekolah 152 15,8 40,1 2,0 0,0 42,1 Tidak tamat SD/MI 475 23,2 55,4 0,6 0,8 20,0 Tamat SD/MI 908 23,0 61,8 1,7 0,3 13,2 Tamat SLTP/MTS 1797 24,1 65,8 1,1 0,3 8,8 Tamat SLTA/MA 2174 28,5 59,9 0,5 0,6 10,5 Tamat D1/D2/D3 353 34,6 49,9 0,3 0,3 15,0 Tamat PT 454 24,4 60,8 0,2 0,9 13,7

Pekerjaan PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD 385 27,5 56,4 0,0 0,5 15,6 Pegawai Swasta 190 29,3 59,1 1,0 0,7 9,9 Wiraswasta 763 25,0 63,0 0,7 0,3 11,0 Petani 646 24,9 57,7 1,4 0,2 15,7 Nelayan 136 25,7 55,9 1,5 0,7 16,2 Buruh 342 21,7 66,0 0,9 0,6 10,8 Lainnya 339 21,6 62,5 1,2 0,3 14,5 Tidak bekerja 513 23,0 62,6 1,0 0,4 13,1

Tempat tinggal Perkotaan 3628 26,5 60,9 0,6 0,5 11,4 Perdesaan 3685 24,3 60,6 1,3 0,4 13,5

Nasional 7313 25,4 60,7 1,0 0,4 12,5

3.4.6 Indikator persentase pemberian makanan tambahan (PMT) untuk ibu

hamil Risiko Kurang Energi Kronis (KEK)

Indikator persentase pemberian makanan tambahan ibu hamil berisiko Kurang Energi Kronis (KEK) bertujuan untuk mengukur capaian program pemberian makanan tambahan ibu hamil KEK di Indonesia. Pemberian makanan tambahan ibu hamil dimaksudkan untuk meningkatkan asupan gizi ibu hamil sebagai upaya pencegahan bayi lahir dengan berat lahir rendah (BBLR). Sasaran pemberian makanan tambahan ibu hamil ialah ibu hamil yang berisiko Kurang Energi Kronis dengan lingkar lengan atas (LILA) < 23,5 cm. Kurang Energi Kronis pada ibu hamil berpengaruh terhadap kondisi bayi yang dilahirkan serta dapat berdampak terhadap kematian ibu dan bayi (Kemenkes, 2010).

Makanan tambahan ialah makanan bergizi sebagai makanan tambahan di luar makanan utama (Kemenkes, 2010). Bentuk makanan tambahan ibu hamil yang didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2015 berbentuk biskuit lapis (Kemenkes, 2009).

Pada Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016, responden yang menjadi sampel untuk sub blok pemberian makanan tambahan ibu hamil ialah perempuan yang mulai hamil pada tahun 2015. Informasi mengenai pemberian

Page 122: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

98

makanan tambahan ibu hamil diperoleh melalui wawancara. Salah satu keterbatasan pada Sirkesnas 2016 adalah tidak tersedianya data status gizi ibu hamil pada saat mendapat PMT tahun 2015 sehingga hasil capaian indikator ini tidak dapat secara langsung dibandingkan dengan target pemberian makanan tambahan ibu hamil risiko KEK pada Renstra Kemenkes tahun 2015 – 2019 yaitu sebesar 13 persen.

Berdasarkan kriteria sampel yang telah ditentukan maka diperoleh sebanyak 1.872 ibu yang mulai hamil pada tahun 2015. Selanjutnya dari 275 responden yang mengaku pernah mendapat PMT pada tahun 2015 terdapat 185 responden yang pernah mendapat PMT dalam bentuk biskuit dan 90 responden menerima dalam bentuk non biskuit termasuk makanan lokal. (Gambar 3.4.12).

Terkait capaian indikator pemberian makanan tambahan pada ibu hamil

dengan risiko KEK maka pada hasil Sirkesnas 2016 akan ditampilkan melalui 2 pendekatan, yaitu: 1). Tidak dihubungkan dengan status gizi risiko KEK; dan 2). Dihubungkan dengan status gizi risiko KEK saat wawancara.

1. Persentase ibu hamil yang mendapat PMT tanpa dihubungkan dengan Status Gizi risiko KEK

Hasil Sirkesnas 2016, menunjukkan bahwa sebanyak 14,7 persen ibu yang hamil pada tahun 2015 mengaku pernah mendapatkan makanan tambahan (Gambar 3.4.13.) sedangkan gambaran ibu hamil yang mendapat makanan tambahan berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 3.4.11.

Sampel yang memenuhi kriteria N = 1.872

Mendapat PMT n = 275

Tidak Mendapat PMT n = 1.597

Mendapat PMT Biskuit

n = 185

Mendapat PMT Non Biskuit

n = 90

Gambar 3.4.12 Algoritma ibu hamil yang mendapat PMT pada Tahun 2015

Page 123: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

99

Gambar 3.4.13

Persentase ibu hamil yang mendapat PMT pada Tahun 2015

Tabel 3.4.11 menunjukkan persentase ibu hamil yang mendapat makanan tambahan paling banyak berasal dari keluarga dengan Kepala Keluarga yang berpendidikan tamat SD/MI (17,0%) dan paling sedikit tamat D1/D2/D3 (10,4%) dan diikuti dengan tidak/belum pernah bersekolah (11,6%). Sedangkan menurut pekerjaan kepala keluarga, terlihat persentase ibu hamil menerima PMT tertinggi dengan pekerjaan lainnya (23,2%) kemudian diikuti sebagai petani (17,0%) dan terendah sebagai pegawai swasta (8,7%). Berdasarkan tempat tinggal, persentase ibu hamil yang menerima makanan tambahan lebih besar di pedesaan (17,5%) dibandingkan di perkotaan (11,8%). Adapun bentuk makanan tambahan yang diterima oleh responden berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada lampiran.

Tabel 3.4.11 Persentase Ibu Hamil yang mendapat Makanan Tambahan menurut karakteristik,

Sirkesnas tahun 2016

Karakteristik Mendapatkan PMT

N Ya (%) Tidak (%)

Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah 86 11,6 88,4

Tidak tamat SD/MI 197 13,2 86,8 Tamat SD/MI 483 17,0 83,0

Tamat SLTP/MTS 348 16,1 83,9

Tamat SLTA/MA 548 14,1 85,9 Tamat D1/D2/D3 67 10,4 89,6 Tamat PT 142 12,0 88,0

Pekerjaan KK

PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 124 16,1 83,9

Pegawai swasta 289 8,7 91,3 Wiraswasta 456 15,4 84,6 Petani 441 17,0 83,0

Nelayan 51 13,7 86,3 Buruh 296 14,2 85,8 Lainnya 95 23,2 76,8 Tidak bekerja 120 10,8 89,2

Tempat Tinggal

Perkotaan 937 11,8 88,2 Pedesaan 935 17,5 82,5

Nasional 1872 14,7 85,3

Page 124: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

100

2. Persentase ibu hamil dengan Status Gizi risiko KEK (LiLa < 23,5 cm) tahun 2016 yang mendapat makanan tambahan pada tahun 2015

Dari 1.872 responden/perempuan yang masuk dalam kriteria sebagai sampel yaitu yang pernah hamil pada tahun 2015, dan pada saat wawancara (tahun 2016) dilakukan pengukuran lingkar lengan atas (LiLA), diketahui sebanyak 238 responden mengalami risiko KEK. Selanjutnya dari 238 responden tersebut diketahui sebanyak 51 orang mendapatkan PMT dan sebanyak 31 orang diantaranya mendapatkan PMT berupa biskuit. (Gambar 3.4.14.).

Target pemberian makanan tambahan ibu hamil risiko KEK pada Renstra

Kemenkes tahun 2015 – 2019 ialah sebesar 13 persen sedangkan hasil Sirkesnas 2016, menunjukkan bahwa sebanyak 21,4 persen perempuan dengan risiko KEK di tahun 2016 pernah mendapatkan makanan tambahan pada tahun 2015 (gambar 13.4.15) dan sebanyak 31 responen (13 %) diantaranya mendapat PMT berupa biskuit (gambar 3.4.14)

Gambar 3.4.14 Algoritma perempuan dengan risiko KEK (tahun 2016) yang mendapat PMT

pada Tahun 2015

Sampel yang memenuhi kriteria N = 1.872

Risiko KEK n = 238

Tidak risiko KEK n = 1.634

Mendapat PMT n = 51

Tidak Mendapat PMT n = 187

Mendapat PMT berupa biskuit

n = 31

Mendapat PMT Non biskuit

n = 20

Page 125: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

101

Gambar 3.4.15 Persentase Perempuan dengan risiko KEK di tahun 2016 yang mendapat PMT

pada tahun 2015

3.4.7 Status Gizi Status Gizi Anak Balita, dewasa dan Status Gizi ibu hamil merupakan salah satu indikator yang terdapat pada RPJMN 2015-2019. Oleh karena itu pada Sirkesnas, 2016 akan disampaikan data terkait bagaimana gambaran status gizi Balita, dewasa dan ibu hamil. Jumlah responden yang dianalisis seperti skema berikut :

3.4.7.1 Cara Penilaian Status Gizi Anak Balita

Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan

Sampel Balita (0-59 Bulan)

N=19.003

Sampel Sirkesnas N=22.795 rumah tangga

Sampel Ibu Hamil diperiksa kadar Hb

N=946

Sampel Dewasa (>18 tahun) N=52.712

Anak Balita dianalisis BB/U

N=18.763

Anak Balita dianalisis TB/U

N=18.350

Anak Balita dianalisis BB/TB

N=18.045

Gambar 3.4.16 Algoritma sampel penilaian status gizi

Page 126: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

102

Prevalensi gizi buruk : (∑ Balita gizi buruk/ ∑Balita) x 100%

Prevalensi gizi kurang : (∑ Balita gizi kurang/ ∑Balita) x100%

Prevalensi gizi baik : (∑ Balita gizi baik/∑Balita) x 100%

Prevalensi sangat pendek : (∑ Balita sangat pendek/ ∑Balita) x 100% Prevalensi pendek : (∑ Balita pendek/∑ Balita) x 100% Prevalensi normal : (∑ Balita normal/∑Balita) x 100%

TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB.

Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut : a. Klasifikasi status gizi berdasarkan

indeks BB/U : Gizi buruk : Zscore< -3,0 Gizi kurang : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0 Gizi baik : Zscore ≥ -2,0

b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U: Sangat pendek : Zscore <-3,0

Pendek : : Zscore ≥- 3,0 s/d Zscore < -2,0 Normal : Zscore >-2,0

c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB: Sangat kurus : Zscore < -3,0

Kurus : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0 Normal : Zscore ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0 Gemuk : Zscore > 2,0

Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: Berdasarkan indikator BB/U: Berdasarkan indikator TB/U Berdasarkan indikator BB/TB: Prevalensi sangat kurus : (∑ Balita sangat kurus/∑ Balita) x 100%

Prevalensi kurus : (∑ Balita kurus/∑ Balita) x 100% Prevalensi normal : (∑ Balita normal/∑ Balita) x 100% Prevalensi gemuk : (∑ Balita gemuk/∑ Balita) x 100%

Page 127: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

103

3.4.7.2. Status Gizi Anak Balita a. Status Gizi Anak Balita menurut indikator BB/U

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Berdasarkan gambar 3.4.17 tampak bahwa prevalensi balita gizi kurang (gizi buruk dan gizi kurang) lebih tinggi sebesar 1,4 persen pada Sirkesnas 2016 dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Namun demikian bila diperhatikan lebih lanjut terlihat bahwa meskipun prevalensi balita gizi kurang lebih tinggi sebesar 2,5 persen tetapi sebaliknya prevalensi gizi buruk lebih rendah sebesar 1,1 persen.

Gambar 3.4.17 Perbandingan status gizi balita menurut indeks BB/U

antara Riskesdas 2013 dengan Sirkesnas 2016

b. Status Gizi Anak Balita menurut indikator TB/U Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi

masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan kurang dalam jangka waktu lama sejak usia bayi sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek.

%

Page 128: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

104

Gambar 3.4.18

Perbandingan status gizi Anak balita menurut indeks TB/U antara Riskesdas 2013 dengan Sirkesnas 2016

Berdasarkan gambar 3.4.18, tampak bahwa prevalensi anak balita

pendek (sangat pendek dan pendek) hasil Sirkesnas 2016 lebih rendah sebesar 3,6 persen dibandingkan Riskesdas tahun 2013. Hasil Sirkesnas menunjukkan prevalensi balita pendek sebesar 33,6 persen, sedangkan hasil Riskesdas 2013 sebesar 37,2%. Apabila dilihat lebih lanjut, tampak bahwa meskipun prevalensi anak balita pendek lebih tinggi sebesar 2,7 persen tetapi sebaliknya prevalensi balita sangat pendek lebih rendah sebesar 6,3 persen.

Demikian halnya pada anak Baduta, prevalensi anak baduta pendek/stunting hasil Sirkesnas 2016 lebih rendah daripada hasil Riskesdas 2013. Data menunjukkan prevalensi anak balita pendek (sangat pendek dan pendek) hasil Sirkesnas 2016 lebih rendah sebesar 6,7 persen dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2013 (gambar 3.4.19).

Gambar 3.4.19 Perbandingan status gizi anak baduta menurut indeks TB/U

antara Riskesdas 2013 dengan Sirkesnas 2016

%

%

Page 129: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

105

c. Status Gizi anak Balita menurut indikator BB/TB

Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Rajagopalan, 2003)

Gambar 3.4.20

Perbandingan Status Gizi Anak Balita menurut indeks BB/TB antara Riskesdas 2013 dengan Sirkesnas 2016

Berdasarkan gambar 3.4.20 tampak bahwa dibandingkan Riskesdas

2013, maka pada Sirkesnas 2016 prevalensi anak balita kurus (sangat kurus dan kurus) dan prevalensi gemuk masing-masing lebih rendah 2,2 persen dan 5,7 persen. Namun demikian, apabila dilihat lebih lanjut tampak bahwa meskipun prevalensi anak balita kurus lebih tinggi sebesar 0,5 persen tetapi prevalensi balita sangat kurus lebih rendah sebesar 2,7 persen.

3.4.7.3. Status Gizi Dewasa (>18 Tahun) Status gizi dewasa (>18 tahun) menurut IMT dinilai dengan rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT = BB/TB2(meter) Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi dewasa adalah

sebagai berikut : Kategori kurus = IMT < 18,5 Kategori normal = IMT ≥18,5 - <25,0 Kategori BB lebih = IMT ≥25,0 - <27,0

%

Page 130: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

106

Kategori obesitas = IMT ≥27,0 Tabel 3.4.12

Prevalensi obesitas (IMT ≥ 25) pada dewasa usia > 18 tahun menurut kelompok umur dan jenis kelamin, Sirkesnas 2016

Kelompok Umur

(tahun)

Kegemukan

Total Laki-laki Perempuan

(%) (%) (%)

19 14,0 12,5 15,2

20-24 19,6 11,7 23,5

25-29 30,6 19,7 36,9

30-34 36,0 24,4 45,2

35-39 38,8 28,4 49,0

40-44 39,8 28,3 53,3

45-49 37,5 29,1 48,7

50-54 37,7 24,8 49,6

55-59 35,7 24,7 46,3

60-64 33,1 24,1 42,1

65+ 21,0 14,7 26,6

Nasional 33,5 24,0 41,6

Tabel 3.4.12 menyajikan prevalensi kegemukan (IMT ≥ 25) menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Berdasarkan tabel tersebut tampak ada kecenderungan bahwa setelah umur 19 tahun prevalensi kegemukan semakin meningkat sampai umur 40-44 dan selanjutnya menurun kembali sampai usia 65 tahun lebih. Selanjutnya jika dilihat dari jenis kelamin tampak bahwa prevalensi kegemukan secara nasional pada perempuan lebih tinggi (41,6%) dibandingkan pada laki-laki (24,0%). Persentase tertinggi pada jenis kelamin perempuan terdapat pada kelompok umur 40-44 tahun sedangkan pada laki-laki tertinggi terdapat pada kelompok umur 45-49 tahun.

Gambar 3.4.21 Persentase status gizi lebih dan Obese pada dewasa usia > 18 tahun

%

Page 131: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

107

Berdasarkan gambar 3.4.21 tampak bahwa persentase status gizi lebih pada Sirkesnas 2016 sedikit lebih rendah dibandingkan Riskesdas 2013 dan sebaliknya prevalensi obese pada Sirkesnas 2016 (20,7%) lebih tinggi dibandingkan Riskesdas 2013 (15,4%). Namun demikian secara keseluruhan prevalensi kegemukan (lebih+obese) pada Sirkesnas 2016, 4,8 persen lebih tinggi dibandingkan Riskesdas 2013.

Gambar 3.4.22

Persentase kegemukan (IMT ≥ 25) pada dewasa usia > 18 tahun menurut tempat tinggal dan jenis kelamin

Apabila dibedakan menurut tempat tinggal dan jenis kelamin tampak

bahwa persentase kegemukan baik di perdesaan maupun perkotaan pada perempuan lebih tinggi (46,4% dan 36,9%) dibandingkan pada laki-laki (Gambar 3.4.22).

3.4.7.4. Status Anemia pada Ibu Hamil

WHO menetapkan nilai hemoglobin < 11 g/dl sebagai batas anemia ibu

hamil, dan nilai hemoglobin < 7 g/dl sebagai anemia berat. The Center for

Disease Control and Prevention, 1990, lebih jauh menyebutkan bahwa dikatakan

mengalami anemia ibu hamil bila nilai hemoglobin di bawah 11 g/dl untuk

kehamilan trimester 1 dan 3, serta nilai hemoglobin di bawah 10,5 g/dl untuk

kehamilan trimester ke 2.

Anemia ringan normal terjadi selama kehamilan seiring dengan

peningkatan volume darah, namun anemia yang lebih berat dapat menempatkan

bayi pada risiko yang lebih besar untuk menderita anemia. Apabila terjadi anemia

secara signifikan selama 2 trimester maka meningkatkan risiko untuk memiliki

bayi yang pre-term atau berat badan lahir rendah.

%

Page 132: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

108

Gambar 3.4.23

Prevalensi Anemia pada Ibu Hamil menurut tempat tinggal

Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan, dari 945 ibu hamil yang diperiksa

terdapat 519 orang yang menderita anemia (54,9%) dan 426 orang (45,1%) yang

tidak menderita anemia. Ibu hamil di perdesaan lebih banyak menderita anemia

dibandingkan ibu hamil di perkotaan (tabel 3.4.13).

Berdasarkan gambar 3.4.23 tampak bahwa prevalensi anemia pada ibu

hamil hasil Sirkesnas 2016 lebih tinggi sebesar 17,8 persen daripada hasil

Riskedas 2013. Kondisi ini terjadi baik di daerah perdesaan maupun di daerah

perkotaan.

Tabel 3.44.133 Persentase anemia ibu hamil berdasarkan karakteristik tempat tinggal,

Sirkesnas 2016

Tingginya hasil Sirkesnas 2016 ini dapat disebabkan oleh beberapa hal,

antara lain adalah ibu hamil yang mendapat tablet tambah darah (TTD) ≥ 90

tablet masih rendah yaitu sekitar 35,8 persen dan diantara yang mendapat TTD

tersebut hanya sekitar 25,4 persen saja yang mengonsumsi TTD. Selain itu baru

sekitar 55,6 persen ibu hamil yang mengonsumsi tablet tambah darah sejak

trimester I. Satu hal yang kemungkinan besar menyebabkan rendahnya cakupan

yang mendapat TTD dan perlu sebagai perhatian bagi pemerintah pusat adalah

Karakteristik Anemia (<11 g/dl) Tidak anemia (≥ 11g/dl)

n % n %

Tempat tinggal

- Perkotaan 246 53,8 211 46,2

- Perdesaan 273 55,9 215 44,1

Total 519 54,9 426 45,1

%

Page 133: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

109

bahwa pada tahun 2015 sempat terjadi kekosongan atau keterlambatan

pengadaan dan pengiriman TTD dari pusat ke daerah.

Hasil ini kurang lebih sejalan dengan estimasi WHO yang menyebutkan sekitar 56% wanita yang berada di negara berkembang menderita anemia (Sharma J.B and Shankar M, 2010). WHO, 2016, memperkirakan sekitar 50% wanita hamil mengalami anemia defisiensi besi. De Benoist B et al, 2008, menyebutkan prevalensi anemia pada ibu hamil adalah 41,8% (CI 95% : 39,9% - 43,8%). Sejalan dengan hal tersebut, Hasil National Family Health Survey di India pada tahun 1998 – 1999 menunjukkan 54% wanita di perdesaan dan 46% wanita di perkotaan menderita anemia.

Perbedaan prevalensi anemia ibu hamil hasil beberapa survei dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain lokasi ketinggian tempat tinggal, kebiasaan merokok, dan lokasi pengambilan darah sampel (arteri atau kapiler).

WHO study group on nutritional anaemia, 1968, menetapkan batasan anemia pada ibu hamil sebagai berikut : non anemia Hb ≥ 11 gr/dl, anemia ringan (mild) Hb 10 – 10,9 gr/dl, anemia sedang (moderate) Hb 7 – 9,9 gr/dl, dan anemia berat (severe) Hb < 7 gr/dl (WHO, 2011).

Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan, terdapat 13 orang dari 945 ibu hamil yang diperiksa yang menderita anemia berat (1,4%), 109 orang menderita anemia sedang (11,5%), 398 orang menderita anemia ringan (42,1%) dan 426 orang (45,1%) yang tidak menderita anemia. Ibu hamil di perdesaan lebih banyak menderita anemia dibandingkan ibu hamil di perkotaan (tabel 3.4.14).

Tabel 3.44.144 Persentase anemia ibu hamil menurut jenis anemia berdasarkan karakteristik

tempat tinggal, Sirkesnas 2016

3.5 Indikator Program Kesehatan Kerja dan Kesehatan Olahraga

3.5.1 Indikator Program Kesehatan Kerja: persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar

Indikator kesehatan kerja adalah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar. Definisi operasional indikator kesehatan kerja adalah puskesmas yang menyelenggarakan K3 internal dan layanan kesehatan kerja pada pekerja di wilayah kerjanya. Baseline indikator kesehatan kerja ditentukan untuk tahun 2014 sebesar 1034 puskesmas. Target capaian tahun 2015 sebesar 40 persen dan tahun 2016 sebesar 50 persen.

Karakteristik

Anemia berat

(Hb < 7 gr/dl)

Anemia sedang

(Hb 7 – 9,9 gr/dl)

Anemia ringan

(Hb 10 – 10,9 gr/dl)

Tidak anemia

(Hb ≥ 11 gr/dl)

N % n % n % n %

Tempat tinggal

- Perkotaan 6 1,3 35 7,7 205 44,9 211 46,2

- Perdesaan 7 1,4 74 15,1 193 39,5 215 44,1

Total 13 1,4 109 11,5 398 42,1 426 45,1

Page 134: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

110

3.5.1.1. Algoritma Indikator Kesehatan Kerja a. Sumber data dari Puskesmas

Gambar 3.5.1

Algoritma Komponen Kesehatan Kerja

b.Menggunakan APD Ya,seluruhnya n=68 Ya,tidak seluruhnya n=121

Tidak, n=12 Tidak dapat diamati n=2

c.Melakukan pemilahan sampah medis dan non medis

Ya, n=171 Tidak, n=32

d. Melakukan sterilisasi alat medis secara rutin

Ya, n=184 Tidak, n=19

e. Melakukan sanitasi ruangan

Ya, n=134 Ya, tidak semua ruangan n=48

7. Melakukan kesehatan kerja internal minimal

Ya, n=197 Tidak, n=6

Tidak n=21

Puskesmas melaksanakan kesehatan kerja:Komponen kesehatan kerja: ada tenaga dan laporan

Jumlah puskesmas (N=400, 217 puskesmas perkotaan dan 183 perdesaan)

1.Ada pedoman/Standard operating procedure: cuci tangan dan penanganan limbah medis/benda tajam

2.Kewaspadaan universal di ruang KIA & ruang tindakan: (Ada air mengalir dan antiseptik, alat pelindung diri, sterilisator berfungsi, tempat sampah medis, safety box

1. Laporan K3: 218 (54,5%) ( kota 143, Desa 75)

2. Penyuluhan & Pembinaan: 181 (45,3%) (Kota 114,

Desa 67)

Seluruh komponen K3: 84(Kota: 56, Desa : 28) Satu dari empat komponen: 286 (Kota: 173, Desa: 113)

3.Ada media KIE K3 di Puskesmas

5.Mengidentifikasi risiko di ruang kerja puskesmas di seluruh ruangan kerja

Ya, n=203 (Perkotaan 134; Perdesaan 69) Tidak, n=197(Perkotaan 83; Perdesaan 114)

Ya, n=97 Tidak, n=106

Ya, n=69 Tidak, n=134

Ya, n=60 Tidak, n=143

4.Ada Rambu/petunjuk K3 di Puskesmas

Tidak n=147 Ya, n=56

Tidak, n=118

Ya, n=85

Puskesmas melaksanakan kesehatan kerja: Komponen kesehatan kerja: ada tenaga dan laporan:n=203

6.Pelaksanaan kewaspadaan universal

a.Mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik sebelum/ sesudah menangani pasien

Ya,seluruhnya n=69

Ya,tidak seluruhnya n=108

Tidak, n=20 Tidak dapat diamati n=6

Page 135: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

111

Algoritma layanan kesehatan kerja Algoritma indikator kesehatan kerja

Gambar 3.5.2

Algoritma Layanan Kesehatan Kerja

Gambar 3.5.3

Algoritma indikator kesehatan kerja

Puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja: Komponen kesehatan kerja: ada tenaga dan laporan: n=203

Penyuluhan K3 di Puskesmas di dalam gedung dan luar gedung

Deteksi dini kelompok pekerja

Pembinaan Pos UKK

Pencatatan jenis pekerjaan

Ya, n=60 Tidak n=143

Ya, n=99 Tidak n=104

Ya, n=113 Tidak n=90

Ya, n=84 Tidak n=119

Layanan K3 minimal

Ya n=178 Tidak n=25

Indikator K3:

Dari 400 puskesmas sampel, yang ada komponen tenaga dan

laporan, yang melaksanakan kesehatan kerja dasar minimal: 173

Perkotaan 119; Perdesaan 54

Melakukan kesehatan kerja internal minimal n=197

Layanan K3 minimal n=178

Dari 203 puskesmas memiliki

komponen tenaga dan laporan,

serta melaksanakan kesehatan

kerja dasar minimal 173

Perkotaan 119; Perdesaan 54

Page 136: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

112

b. Sumber data dinas kesehatan kabupaten/kota 3.5.1.2. Capaian indikator kesehatan kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan upaya memberikan jaminan kesehatan, keselamatan dan peningkatan derajat kesehatan pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.

Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di puskesmas dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: a. Perencanaan b. Pelaksanaan c. Pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.

Pendataan indikator kesehatan kerja puskesmas diperoleh dari puskesmas dan dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Cara pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, pemeriksaan dokumen dan atau observasi.

Indikator kesehatan kerja adalah persentase puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan kerja dasar. Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan mendefinisikan bahwa puskesmas melaksanakan kesehatan kerja dasar apabila menyelenggarakan K3 internal dan layanan kesehatan pada pekerja di wilayah kerjanya.

Puskesmas melaksanakan kesehatan kerja dasar minimal adalah apabila (1) ada komponen kesehatan kerja yaitu puskesmas memiliki tenaga yang bertugas melaksanakan kesehatan kerja dan puskesmas membuat laporan kegiatan terkait kesehatan kerja dan (2) puskesmas menyelenggarakan K3 internal minimal (salah satu dari K3 internal) dan melaksanakan layanan

Gambar 3.5.4 Algoritma kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmasnya

Persentase Kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di Puskesmas nya

Jumlah kabupaten/kota yang didata: 264, kota 44, kabupaten 220

Ya, n=183 Tidak, n=81

Kota n=37

Kabupaten n=146

Page 137: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

113

kesehatan minimal (salah satu dari layanan K3) pada pekerja di wilayah kerjanya.

3.5.1.3. Komponen kesehatan kerja di puskesmas

Komponen kesehatan kerja di puskesmas yang di data pada Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 (Sirkesnas 2016) meliputi adanya: tenaga yang melaksanakan kegiatan kesehatan kerja di puskesmas, dana untuk penyelenggaraan kesehatan kerja di puskesmas, kegiatan penyuluhan/pembinaan di tempat kerja, dan laporan kegiatan kesehatan kerja. Puskesmas memiliki/melaksanakan upaya kesehatan kerja apabila sedikitnya ada tenaga/petugas yang ditugaskan untuk menangani kegiatan kesehatan kerja dan membuat laporan kesehatan kerja. 3.5.1.4. Kesehatan Kerja (K3) Internal di Puskesmas

Puskesmas melaksanakan kegiatan kesehatan kerja internal apabila di puskesmas terdapat pedoman, sarana prasarana, media dan rambu K3, serta melaksanakan kegiatan kesehatan kerja (K3) internal sebagai berikut: 1. Pedoman/Standard operating prosedure (SOP): SOP cuci tangan dan

penanganan limbah medis/benda tajam. 2. Sarana prasarana untuk menunjang kewaspadaan universal: ada air

mengalir dilengkapi antiseptik, alat pelindung diri, sterilisator yang berfungsi, tempat sampah medis, dan safety box.

3. Media KIE untuk K3 dan Rambu/petunjuk K3 di puskesmas 4. Melakukan identifikasi risiko di ruang kerja Puskesmas 5. Melaksanakan kewaspadaan universal:

- Mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik sebelum/sesudah menangani pasien - Menggunakan alat pelindung diri (APD) - Melakukan pemilahan sampah medis dan nonmedis - Melakukan sterilisasi alat medis secara rutin - Melakukan sanitasi ruangan

Puskesmas dinyatakan sudah melaksanakan K3 internal minimal adalah apabila puskesmas melaksanakan salah satu dari komponen K3 internal.

3.5.1.5. Layanan Kesehatan Kerja

Puskesmas melaksanakan layanan kesehatan kerja apabila: 1. Melakukan penyuluhan K3 di puskesmas baik di dalam gedung Puskesmas

maupun di luar gedung puskesmas. 2. Melakukan deteksi dini penyakit pada kelompok pekerja. 3. Melakukan pencatatan jenis pekerjaan. 4. Melakukan pembinaan Pos UKK.

Puskesmas dinyatakan sudah melaksanakan layanan kesehatan kerja (K3) minimal adalah apabila puskesmas melaksanakan salah satu komponen layanan K3.

Page 138: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

114

Data kesehatan kerja dalam Sirkesnas 2016 juga diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten/kota meliputi kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di Puskesmas yang berada di wilayah kerjanya

3.5.1.6. Hasil indikator kesehatan kerja

3.5.1.6.1. Komponen Kesehatan Kerja di Puskesmas

Komponen kesehatan kerja di puskesmas yang didata pada Sirkesnas adalah 1) adanya petugas puskesmas yang ditugaskan oleh kepala puskesmas untuk menangani Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), 2) memiliki dana untuk penyelenggaraan K3, dana dapat berasal dari Pemda atau dari sumber dana lainnya 3) puskesmas menyusun laporan kegiatan K3, dan 4) petugas puskesmas yang melakukan penyuluhan atau pembinaan ke tempat kerja formal/ informal. Puskesmas dinyatakan melaksanakan seluruh komponen kesehatan kerja apabila puskesmas melaksanakan keempat komponen tersebut. Puskesmas dinyatakan melaksanakan kesehatan kerja apabila minimal memiliki tenaga yang menangani K3 dan menyusun laporan kegiatan K3.

Tabel 3.5.1 Persentase puskesmas yang melaksanakan komponen kesehatan kerja

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

Komponen kesehatan kerja (%)

Tenaga Dana Penyuluhan/ pembinaan

Laporan Seluruh Komponen

Ada tenaga dan laporan

Lokasi Perkotaan 217 72,8 35,9 52,5 65,9 25,8 61,8 Perdesaan 183 56,8 19,7 36,6 41,0 15,3 37,7

Nasional 400 65,5 28,5 45,3 54,5 21,0 50,8 Catatan : N = 400

Dari 400 puskesmas yang diambil datanya, persentase puskesmas yang memiliki tenaga untuk menangani K3 sebesar 65,5 persen, memiliki dana untuk penyelenggaraan K3 sebesar 28,5 persen, menyusun laporan kegiatan K3 sebesar 54,5 persen, dan yang melaksanakan penyuluhan/pembinaan ke tempat kerja kurang dari separuhnya.

Persentase puskesmas yang melaksanakan seluruh (empat) komponen hanya 21 persen, sedangkan puskesmas yang memiliki tenaga dan menyusun laporan kesehatan kerja sebanyak 50,8 persen, puskesmas yang berlokasi di perdesaan lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

Dari empat komponen puskesmas yang melaksanakan K3, komponen yang terendah adalah dana untuk penyelengaraan K3, yang hanya dimiliki oleh 28,5 persen puskesmas, khususnya pada puskesmas di perdesaan (19,7%).

Page 139: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

115

3.5.1.6.2. Kesehatan Kerja Internal di Puskesmas

a. Ketersediaan Standard Operating Procedure (SOP) Standard operating procedure (SOP) yang didata ketersediaannya pada

Sirkesnas 2016 adalah SOP mencuci tangan, mencuci tangan sesuai standar WHO, penanganan emergensi/bencana, dan prosedur penanganan limbah medis/benda tajam.

Di dalam SOP cuci tangan memuat langkah-langkah cuci tangan dengan menggunakan air mengalir dan antiseptik dengan benar. Ketersediaan SOP dapat dilihat dari pengamatan di puskesmas, bisa berbentuk gambar yang dipasang di dinding ruang puskesmas atau dekat tempat cuci tangan.

Untuk SOP cuci tangan sesuai dengan standar WHO memuat langkah-langkah cuci tangan dengan menggunakan air mengalir dan antiseptik dengan benar sesuai dengan standar WHO. Ketersediaan SOP ini dapat dilihat dari pengamatan di puskesmas. Biasanya SOP tersebut berbentuk gambar yang di pasang di dinding ruang puskesmas atau dekat tempat cuci tangan.

Standard operating procedure penanganan emergensi/bencana memuat langkah-langkah penanganan keadaan emergensi/bencana yang dapat disebabkan oleh antara lain kejadian kebakaran, kebanjiran, dan gempa bumi. Ketersediaan SOP ini dapat dilihat dari pengamatan di puskesmas.

Standard operating procedure penanganan limbah medis/benda tajam memuat langkah-langkah penanganan limbah medis baik berupa limbah padat, limbah cair, atau benda tajam, dari pemilahan, penampungan, pengangkutan, dan pemusnahannya. Ketersediaan SOP dapat dilihat dengan pengamatan di puskesmas. SOP ini biasanya dipasang di dinding ruangan kerja.

Tabel 3.5.2 Persentase puskesmas yang memiliki Standard Operating Procedure (SOP)

berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016

Karakteristik Puskesmas

Jumlah puskesmas

Standard Operating Procedure (SOP) (%)

Standar Cuci

tangan

Standar cuci tangan

(WHO)

Penanganan emergensi/ Bencana

Penanganan limbah

medis/benda tajam

Seluruh SOP

Standar cuci tangan dan penanganan limbah/benda

tajam

Lokasi Perkotaan 134 73,1 50,0 45,5 62,7 26,1 59,0 Perdesaan 69 69,6 31,9 31,9 30,4 10,1 26,1

Nasional 203 71,9 43,8 40,9 51,7 20,7 47,8 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Sebagian besar puskesmas telah memiliki SOP standar cuci tangan (71,9%), tetapi yang memiliki SOP penanganan limbah medis/benda tajam hanya 51,7 persen dan yang memiliki SOP penanganan emergensi kurang dari setengahnya (40,9%). Persentase puskesmas yang memiliki seluruh SOP sebesar 20,7 persen. Persentase puskesmas di perkotaan memiliki seluruh SOP tersebut dua kali lebih banyak dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. Puskesmas yang sudah memiliki dua SOP: cuci tangan (baik yang

Page 140: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

116

cuci tangan atau cuci tangan menurut standar WHO) dan penanganan limbah medis/benda tajam adalah kurang dari separuhnya (47,8%). Puskesmas yang berlokasi di perdesaan memiliki kedua SOP tersebut separuh lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

b. Sarana prasarana untuk kewaspadaan universal b.1. Kewaspadaan Universal di Ruang KIA Puskesmas

Kewaspadaan universal dinilai dari ketersediaan sarana prasarana berikut di ruangan puskesmas, yaitu: fasilitas air mengalir yang dilengkapi dengan cairan antiseptik/sabun, alat pelindung diri bagi pekerja puskesmas, sterilisator yang masih berfungsi, tempat sampah medis, dan safety box.

Air mengalir yang dimaksud dapat berasal dari kran yang bersumber dari pipa PAM atau dari tempat penampungan yang dilengkapi dengan kran untuk mengalirkan air. Alat pelindung diri meliputi masker/sarung tangan/baju pelindung bagi pekerja puskesmas. Sterilisator adalah peralatan yang digunakan untuk tujuan sterilisasi, dapat berupa sterilisasi basah atau sterilisasi kering. Contoh: autoclave, oven dan dengan cara boiling. Tempat sampah medis yang berguna untuk menampung limbah medis, antara lain kapas/kasa bekas pakai. Safety box merupakan kotak tempat menampung limbah benda tajam antara lain spuit bekas, ampul obat, pecahan ampul obat, yang berguna untuk mencegah potensi risiko tertusuk bagi petugas medis puskesmas, pengelola sampah, pengunjung puskesmas atau masyarakat.

Tabel 3.5.3 Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di ruang KIA

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

Kewaspadaan universal di ruang KIA puskesmas (%)

Air mengalir dilengkapi antiseptik

Alat pelindung diri

Sterilisator yang

berfungsi

Tempat sampah medis

Safety box

Seluruhnya

Lokasi

Perkotaan 134 82,1 85,8 63,4 85,1 82,1 50,7

Perdesaan 69 63,8 73,9 52,2 71,0 71,0 29,0

Nasional 203 75,9 81,8 59,6 80,3 78,3 43,3 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, lebih dari tigaperempat puskesmas tersedia air mengalir yang dilengkapi antiseptik, alat pelindung diri, tempat sampah medis, dan safety box (75,9%-81,8%). Namun puskesmas yang memiliki sterilisator berfungsi hanya 59,6 persen. Persentase puskesmas di perdesaan memiliki setiap sarana lebih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

Persentase puskesmas yang memiliki kelima sarana di ruang KIA-nya (air mengalir yang dilengkapi antiseptik, alat pelindung diri, tempat sampah medis, sterilisator berfungsi dan safety box) hanya 43,3 persen. Puskesmas di

Page 141: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

117

perdesaan lebih rendah memiliki kelima sarana di ruang KIA-nya dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

b.2. Kewaspadaan universal di ruang tindakan

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, yang memiliki sarana untuk kewaspadaan universal di ruang tindakan antara 70,0%-87,7%. Persentase puskesmas di perdesaan yang memiliki sarana untuk kewaspadaan universal di ruang tindakan lebih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

Tabel 3.5.4 Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di ruang tindakan

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

Kewaspadaan universal di ruang tindakan di puskesmas (%)

Air mengalir

dilengkapi antiseptik

Alat pelindung

diri

Sterilisator yang

berfungsi

Tempat sampah medis

Safety box Seluruhnya

ada

Lokasi Perkotaan 134 81,3 90,3 74,6 88,8 81,3 58,2 Perdesaan 69 68,1 82,6 60,9 76,8 68,1 33,3

Nasional 203 76,8 87,7 70,0 84,7 76,8 49,8 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Persentase puskesmas yang memiliki kelima sarana kewaspadaan universal di ruang tindakan adalah kurang dari separuhnya (49,8%). Persentase puskesmas di perdesaan memiliki kelima sarana kewaspadaan universal di ruang tindakan lebih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan. b.3. Kewaspadaan universal di seluruh ruang pelayanan dan di dua ruangan

(KIA dan tindakan)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, hanya 16,3 persen yang memiliki ke lima sarana untuk kewaspadaan universal di seluruh ruang pelayanan (KIA, BP umum, tindakan, laboratorium, dan BP gigi), persentase puskesmas di perdesaan lebih rendah setengahnya dibandingkan dengan puskesmas di perkotaan.

Tabel 3.5.5 Persentase puskesmas dengan kewaspadaan universal di seluruh ruang pelayanan dan di dua ruang (KIA dan tindakan) berdasarkan karakteristik,

Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah

puskesmas

Kewaspadaan di seluruh ruangan dan di dua ruangan(%)

Seluruh ruangan pelayanan Dua ruang (KIA dan tindakan)

Lokasi - Perkotaan 134 20,1 41,8 - Perdesaan 69 8,7 18,8 Nasional 203 16,3 34,0 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%,N=203)

Page 142: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

118

Puskesmas yang memiliki kelima sarana untuk kewaspadaan universal di dua ruang pelayanan (ruang KIA dan ruang tindakan) hanya sebesar 34,0 persen dan persentase puskesmas yang berlokasi di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

c. Media komunikasi informasi edukasi (KIE) dan rambu/petunjuk K3 di

puskesmas Pedoman/media KIE terkait K3 di puskesmas merupakan

pedoman/media KIE yang terkait kesehatan kerja antara lain dapat berupa buku, leaflet, brosur, dan poster.

Rambu atau petunjuk K3 di puskesmas, merupakan rambu/petunjuk K3 yang diperoleh dari hasil pengamatan (terlihat/terpasang). Rambu/petunjuk K3 antara lain dapat berupa rambu evakuasi (tanda exit) keadaan darurat, rambu yang menunjukkan lokasi alat pemadam kebakaran.

Tabel 3.5.6 Persentase puskesmas yang memiliki media KIE dan rambu/petunjuk K3

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah

puskesmas

Media KIE dan rambu K3 (%)

Pedoman/ media KIE

Rambu/ petunjuk K3

Lokasi - Perkotaan 134 32,8 34,3 - Perdesaan 69 23,2 14,5

Nasional 203 29,6 27,6 Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%,

N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, hanya 29,6 persen puskesmas memilliki pedoman/media KIE dan 27,6 persen memiliki rambu/petunjuk K3 di puskesmasnya. Dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan, persentase puskesmas yang berlokasi di perdesaan relatif lebih rendah dalam kepemilikan pedoman/media KIE dan rambu/petunjuk K3.

d. Petugas puskesmas mengidentifikasi faktor risiko di setiap ruang kerja puskesmas

Identifikasi faktor risiko merupakan upaya promotif untuk menginformasikan potensi bahaya yang ada di puskesmas kepada seluruh petugas puskesmas.

Page 143: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

119

Tabel 3.5.7 Persentase puskesmas yang mengidentifikasi faktor risiko ruang kerja,

Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

Petugas puskesmas mengidentifikasi faktor risiko di setiap ruang kerja puskesmas (%)

Ya,

di seluruh ruangan

Ya,

tidak di seluruh ruangan Tidak

Lokasi

Perkotaan 134 48,5 21,6 29,9

Perdesaan 69 29,0 30,4 40,6

Nasional 203 41,9 24,6 33,5

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebagian besar (66,5%) petugas puskesmas mengidentifikasi faktor risiko di ruang kerja, namun hanya 41,9 persen yang mengidentifikasi di seluruh ruang kerja sedangkan 24,6 persen tidak di seluruh ruang kerja. Persentase puskesmas di perdesaan yang mengidentifikasi di seluruh ruangan lebih banyak apabila dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan, sebaliknya yang mengidentifikasi tidak di seluruh ruangan lebih tinggi pada puskesmas yang berlokasi di perdesaan dibandingkan yang berlokasi di perkotaan.

Sebanyak 33,5 persen puskesmas tidak mengidentifikasi faktor risiko di ruang kerja dan puskesmas yang berlokasi di perdesaan relatif lebih banyak dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

e. Pelaksanaan kewaspadaan universal e.1. Mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik

Petugas puskesmas melaksanakan kewaspadaan universal mencuci tangan menggunakan air mengalir dan antiseptik pada saat sebelum dan setelah menangani setiap pasien atau setiap menangani limbah medis. Pasien merupakan pengunjung puskesmas yang datang untuk berobat. Limbah medis merupakan limbah yang mengandung bahan menular seperti darah, sekret vagina, air mani, cairan amnion, dan cairan tubuh lain; urin, keringat, dahak, ingus, air mata, muntahan tanpa campuran darah dari semua pasien sebagai sumber yang berpotensi menularkan infeksi tanpa memperhatikan diagnosis maupun risiko yang ada pada pasien tersebut. Petugas puskesmas yang diobservasi adalah petugas yang sedang bekerja di ruang pelayanan pada saat survei. Ruang pelayanan yang dimaksud pada survei ini adalah ruang KIA, BP umum, tindakan, laboratorium, dan BP gigi. Pada saat pengumpulan data di puskesmas, ada kemungkinan tidak dapat dilakukan observasi pelaksanaan kewaspadaan universal misalnya air PAM sedang mati pada saat survei.

Page 144: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

120

Tabel 3.5.8 Persentase puskesmas menurut pelaksanaan mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

Petugas puskesmas mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik sebelum dan setelah menangani pasien (%)

Ya, seluruh petugas

Ya, sebagian petugas

Tidak Tidak bisa diamati

Lokasi

- Perkotaan 134 37,3 54,5 6,0 2,2

- Perdesaan 69 27,5 50,7 17,4 4,3

Nasional 203 34,0 53,2 9,9 3,0

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan, yang dapat diamati untuk pelaksanaan mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik pada saat survei meliputi 197 puskesmas. Persentase puskesmas yang seluruh petugasnya mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik hanya 34,0 persen, dan lebih dari separuhnya (53,2%) hanya sebagian petugas yang melaksanakannya, sedangkan seluruh petugas yang diamati tidak melaksanakannya sebesar 9,9 persen.

Persentase puskesmas yang seluruh atau hanya sebagian petugasnya mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik lebih rendah pada puskesmas di perdesaan dibandingkan yang berlokasi di perkotaan. Sebaliknya persentase puskesmas yang seluruh petugasnya tidak mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik lebih tinggi pada puskesmas di perdesaan dibandingkan di perkotaan.

e.2. Penggunaan APD

Petugas puskesmas menggunakan APD sarung tangan pada saat bekerja/kontak dengan pasien/limbah medis. Observasi dilakukan terhadap petugas yang sedang bekerja di pelayanan pada saat survei. Lokasi pelayanan yang dimaksud pada Sirkesnas 2016 adalah ruang: KIA, BP umum, tindakan, laboratorium, dan BP gigi.

Tabel 3.5.9 Persentase puskesmas menurut penggunaan alat pelindung diri berdasarkan

karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

Petugas puskesmas menggunakan APD (%)

Ya, seluruh petugas

Ya, sebagian petugas

Tidak Tidak bisa diamati

Lokasi

- Perkotaan 134 38,8 59,0 2,2 0,0

- Perdesaan 69 23,2 60,9 13,0 2,9

Nasional 203 33,5 59,6 5,9 1,0

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%,N=203)

Dari 203 puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan, yang dapat diamati pada saat survei untuk penggunaan APD pada saat kontak dengan

Page 145: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

121

pasien/limbah medis meliputi 201 puskesmas. Persentase puskesmas yang seluruh petugasnya menggunakan APD/sarung tangan hanya 33,5 persen, dan lebih dari separuhnya (59,6%) hanya sebagian petugas yang melaksanakannya, sedangkan yang seluruh petugas yang diamati tidak melaksanakannya sebesar 5,9 persen.

Persentase puskesmas yang seluruh petugasnya menggunakan APD/sarung tangan pada saat kontak dengan pasien/ limbah medis, lebih rendah di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Puskesmas yang sebagian petugas saja yang menggunakan APD, hampir sama banyaknya antara puskesmas di perkotaan dan di perdesaan. Sebaliknya, persentase puskesmas yang petugasnya tidak menggunakan APD pada saat kontak dengan pasien/ limbah medis lebih tinggi pada puskesmas di perdesaan dibandingkan di perkotaan.

e.3. Pemilahan sampah medis dan non medis Pemilahan sampah medis dan non medis puskesmas merupakan

tindakan memilah sampah terpisah berdasarkan jenis sampah ke dalam tempat khusus yang berbeda.

Tabel 3.5.10 Persentase puskesmas menurut pemilahan sampah medis dan non medis

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas

Petugas puskesmas melakukan pemilahan sampah medis dan non medis (%)

Ya Tidak

Lokasi

- Perkotaan 134 89,6 10,4

- Perdesaan 69 73,9 26,1

Nasional 203 84,2 15,8

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan,

sebagian besar (84,2%) puskesmas yang petugasnya melakukan pemilahan sampah medis dan nonmedis. Proporsi puskesmas yang melakukan pemilahan sampah medis dan non medis di perkotaan lebih tinggi dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perdesaan.

e.4. Sterilisasi alat medis Puskesmas yang melaksanakan sterilisasi alat medis adalah puskesmas

yang melakukan sterilisasi alat medis sebelum/setelah digunakan agar alat menjadi bebas kuman.

Page 146: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

122

Tabel 3.5.11 Persentase puskesmas menurut sterilisasi alat medis rutin

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas

Petugas puskesmas melakukan sterilisasi alat medis secara rutin (%)

Ya Tidak

Lokasi

- Perkotaan 134 94,8 5,2

- Perdesaan 69 82,6 17,4

Nasional 203 90,6 9,4

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebagian besar (90,6%) melakukan sterilisasi alat medis secara rutin. Proporsi puskesmas melakukan sterilisasi alat medis secara rutin di perkotaan lebih tinggi dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. e.5. Sanitasi ruangan

Sanitasi ruangan yang dimaksud adalah membersihkan ruangan baik lantai maupun meja kerja dengan cairan antiseptik. Ruang pelayanan yang dimaksud adalah ruang KIA, tindakan, BP umum, laboratorium, dan BP gigi.

Tabel 3.5.12 Persentase puskesmas menurut kegiatan sanitasi ruangan berdasarkan

karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah

puskesmas

Petugas puskesmas melakukan sanitasi ruangan (%)

Ya, di seluruh ruangan

Ya, tidak di seluruh ruangan

Tidak

Lokasi

- Perkotaan 134 73,1 17,9 9,0

- Perdesaan 69 52,2 34,8 13,0

Nasional 203 66,0 23,6 10,3

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebanyak 89,6 persen puskesmas petugasnya melakukan sanitasi ruangan pelayanan. Lebih dari separuh (66,0%) puskesmas petugasnya melakukan sanitasi di seluruh ruangan, 23,6 persen puskesmas ada petugas yang melakukan sanitasi tetapi tidak di seluruh ruangan, dan 10 persen puskesmas yang petugasnya tidak melakukan sanitasi ruangan.

Persentase puskesmas dengan petugas yang melakukan sanitasi di seluruh ruang pelayanan lebih tinggi pada puskesmas di perkotaan dibandingkan puskesmas di perdesaan. Sebaliknya, puskesmas dengan petugas yang melakukan sanitasi tetapi tidak di seluruh ruangan dan petugasnya tidak yang melakukan sanitasi, lebih tinggi pada puskesmas di perdesaan dibandingkan di perkotaan.

Page 147: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

123

f. Pelaksanaan K3 internal Puskesmas yang melaksanakan semua K3 internal meliputi memiliki SOP

cuci tangan dan SOP penanganan limbah medis/benda tajam, melaksanakan seluruh kewaspadaan universal di dua ruang pelayanan (ruang KIA dan ruang tindakan di puskesmas, menyediakan pedoman/KIE, rambu K3 di puskesmas, mengidentifikasi faktor risiko ruang kerja), melaksanakan kewaspadaan universal (mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik, menggunakan APD saat kontak dengan pasien/limbah medis, melakukan sterilisasi secara rutin, dan melakukan sanitasi ruangan pelayanan).

Puskesmas yang melaksanakan K3 internal minimal yaitu memiliki/melakukan satu dari komponen kesehatan kerja internal di puskesmas.

Tabel 3.5.13 Persentase puskesmas menurut pelaksanaan K3 internal di puskesmas

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah

puskesmas

Pelaksanaan K3 internal di puskesmas(%)

Semua ada Minimal (salah satu ada)

Lokasi

- Perkotaan 134 5,2 99,3

- Perdesaan 69 1,4 92,8

Nasional 203 3,9 97,0

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan,

hanya 8 puskesmas (3,9%) yang melaksanakan seluruh K3 internal, sedangkan 97 persen puskesmas hanya melaksanakan K3 internal minimal (hanya satu dari K3 internal).

Secara keseluruhan pelaksanaan K3 internal di Puskesmas, dari 203 puskesmas yang memiliki tenaga dan menyusun laporan kesehatan kerja, persentase puskesmas paling rendah adalah dalam hal kepemilikan rambu/ petunjuk K3 (27,6%). Puskesmas yang memiliki pedoman/media KIE (29,6%), menggunakan APD (33,5%), mencuci tangan (34,0%), sarana prasarana kewaspadaan universal pada dua ruangan (34,0%), mengidentifikasi faktor risiko di setiap ruang kerja puskesmas (41,9%), memiliki SOP standar cuci tangan dan penanganan limbah/benda tajam (47,8%).

Untuk sarana prasarana kewaspadaan universal pada dua ruangan (KIA dan tindakan), dari 5 kelengkapan sarana prasarana (air mengalir dengan antiseptik, alat pelindung diri, sterilisator berfungsi, tempat sampah medis, safety box), persentase puskesmas yang memiliki sterilisator berfungsi di ruang tindakan adalah paling rendah (70%) dan di ruang KIA sebanyak 59,6 persen. 3.5.1.7. Pelaksanaan layanan K3

Layanan kesehatan kerja pada pekerja di wilayah kerja puskesmas meliputi pelaksanaan penyuluhan kesehatan pada kelompok pekerja di dalam gedung dan di luar gedung serta deteksi dini pada kelompok pekerja.

Page 148: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

124

a. Penyuluhan di puskesmas Puskesmas melaksanakan penyuluhan kesehatan (KIA/KB/PTM/PM/Gizi/

PAK/kecelakaan kerja/kerja migran) pada kelompok pekerja di dalam gedung maupun di luar gedung, atau kedua-duanya.

Tabel 3.5.14 Persentase puskesmas yang melaksanakan penyuluhan K3 berdasarkan

karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah

puskesmas

Penyuluhan K3 di puskesmas (%)

Dalam gedung Luar gedung Seluruhnya

Lokasi

- Perkotaan 134 50,0 78,4 31,3

- Perdesaan 69 44,9 79,7 26,1

Nasional 203 48,3 78,8 29,6

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, sebagian besar puskesmas melaksanakan penyuluhan K3 di luar gedung (78,8%), sedangkan puskesmas yang melaksanakan penyuluhan K3 di dalam gedung sebesar 48,3 persen. Persentase puskesmas yang melaksanakan penyuluhan di dalam gedung, hampir sama banyak baik pada puskesmas di perkotaan maupun perdesaan. Namun untuk penyuluhan di luar gedung, puskesmas di perdesaan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (79,7% berbanding 78,4%).

Persentase puskesmas yang melaksanakan penyuluhan K3 di dalam gedung dan di luar gedung hanya 29,6 persen, dan puskesmas di perdesaan lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

b. Deteksi dini penyakit pada pekerja Deteksi dini penyakit pada pekerja meliputi deteksi dini penyakit melalui

pemeriksaan antenatal care, gizi, penyakit tidak menular (PTM), penyakit menular (PM), dan penyakit akibat kerja pada kelompok pekerja. Pemeriksaan kehamilan pada kelompok pekerja perempuan dilakukan untuk mendeteksi secara dini kelainan pada kehamilan/janin dan gangguan kesehatan lain. Sementara itu deteksi dini penyakit tidak menular berupa pemeriksaan tekanan darah, pengukuran lingkar pinggang, berat badan dan tinggi badan pada kelompok pekerja. Pemeriksaan fisik pada kelompok pekerja untuk mendeteksi penyakit menular.

Tabel 3.5.15 Persentase puskesmas yang melakukan deteksi dini penyakit

pada pekerja berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Deteksi dini penyakit pada pekerja (%)

Ya Tidak

Lokasi

- Perkotaan 134 49,3 50,7

- Perdesaan 69 47,8 52,2

Nasional 203 48,8 51,2

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Page 149: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

125

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, hanya 48,8 persen puskesmas yang melakukan deteksi dini penyakit pada kelompok pekerja, pada puskesmas di perkotaan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan puskesmas di perdesaan.

c. Pencatatan jenis pekerjaan Pencatatan jenis pekerjaan meliputi pencatatan jenis pekerjaan

pengunjung puskesmas baik dalam catatan medis atau dalam dokumen lainnya. Jenis pekerjaan yang dimaksud sebagai adalah pegawai/pegawai negeri sipil (PNS)/wiraswasta/petani, dan lainnya.

Tabel 3.5.16 Persentase puskesmas yang melakukan pencatatan jenis pekerjaan berdasarkan

karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah

puskesmas

Pencatatan jenis pekerjaan (%)

Ya Tidak

Lokasi

- Perkotaan 134 56,0 44,0

- Perdesaan 69 55,1 44,9

Nasional 203 55,7 44,3

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, 55,7 persen puskesmas melakukan pencatatan jenis pekerjaan pengunjung puskesmas. Puskesmas di perkotaan hampir tidak berbeda dibandingkan dengan puskesmas di perdesaan.

d. Pembinaan Pos UKK Pos UKK adalah bentuk pemberdayaan masyarakat di kelompok pekerja

informal utamanya di dalam upaya promotif, preventif untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.

Beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan oleh puskesmas dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam upaya kesehatan pengembangan antara lain adalah melakukan pembinaan terhadap Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK).

Tabel 3.5.17 Persentase puskesmas yang melakukan pembinaan Pos UKK berdasarkan

karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas Pembinaan Pos UKK (%)

Ya Tidak

Lokasi

- Perkotaan 134 47,0 53,0

- Perdesaan 69 30,4 69,6

Nasional 203 41,4 58,6

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan, 41,4

Page 150: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

126

persen puskesmas melakukan pembinaan kepada Pos UKK yang ada di wilayahnya, persentase puskesmas di perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan puskesmas di perdesaan.

e. Kesimpulan pelaksanakan layanan K3 Puskesmas Puskesmas yang melaksanakan seluruh layanan K3 adalah puskesmas

yang melakukan penyuluhan kesehatan pada kelompok pekerja, mendeteksi dini penyakit pada kelompok pekerja, pencatatan jenis pekerjaan pada pengunjung puskesmas, dan melakukan pembinaan Pos UKK di wilayahnya.

Puskesmas yang melaksanakan semua layanan K3 minimal adalah puskesmas yang melakukan salah satu dari layanan K3.

Tabel 3.5.18 Persentase puskesmas berdasarkan pelaksanaan layanan K3, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah puskesmas

Pelaksanaan layanan K3 (%)

Semua kegiatan layanan K3

Minimal (salah satu layanan K3)

Lokasi

- Perkotaan 134 6,7 88,8

- Perdesaan 69 4,3 85,5

Nasional 203 5,9 87,7

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Puskesmas yang melaksanakan seluruh layanan K3 (penyuluhan K3 bagi kelompok pekerja, deteksi dini risiko ruang kerja, pencatatan jenis pekerjaan, dan pembinaan Pos UKK) hanya 5,9 persen dan puskesmas di perdesaan lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

Persentase puskesmas yang melaksanakan salah satu dari semua layanan K3 sebesar 87,7 persen dan puskesmas di perdesaan lebih rendah dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perkotaan.

Dari 203 puskesmas yang memiliki tenaga dan menyusun laporan kesehatan kerja, persentase puskesmas yang melaksanakan layanan K3 kurang dari 56 persen, paling rendah dalam hal melaksanakan penyuluhan K3 di puskesmas di dalam dan luar gedung (29,6%), melakukan pembinaan Pos UKK (41,4%), dan melakukan deteksi dini penyakit pada kelompok pekerja (48,8%)..

3.5.1.8. Indikator kesehatan kerja a. Pelaksanaan kesehatan kerja dasar pada puskesmas yang memiliki dua

komponen kesehatan kerja, dan melaksanakan K3 internal minimal dan melaksanakan layanan K3 minimal

Puskesmas yang melaksanakan K3 internal di puskesmas dan melaksanakan layanan K3 pada pekerja di wilayah puskesmas adalah puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan kerja internal minimal di puskesmas dan melaksanakan layanan K3 minimal pada pekerja di wilayah puskesmas.

Page 151: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

127

Tabel 3.5.19 Persentase puskesmas berdasarkan K3 internal minimal dan layanan K3

minimal, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

K3 internal minimal dan layanan K3 minimal (%)

K3 internal dan layanan K3

K3 internal saja

Layanan K3 saja

Tidak keduanya

- Lokasi

- Perkotaan 134 88,8 10,4 0,0 0,7

- Perdesaan 69 78,3 14,5 7,2 0,0

Puskesmas 203 85,2 11,8 2,5 0,5

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan laporan (50,8%, N=203)

Dari 203 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan menyusun laporan, puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja internal minimal di puskesmas dan layanan K3 minimal sebanyak 85,2 persen, sedangkan yang hanya melaksanakan K3 internal minimal saja sebesar 11,8 persen, puskesmas yang hanya melaksanakan layanan K3 minimal saja sebanyak 2,5 persen. Ada satu puskesmas di perkotaan yang tidak melakukan kesehatan kerja minimal dan layanan K3 minimal.

b. Indikator kesehatan kerja pada seluruh puskesmas yang didata

Indikator kesehatan kerja berdasarkan puskesmas yang memiliki dua komponen kesehatan kerja (ada tenaga dan membuat laporan) yang melaksanakan K3 internal minimal dan melaksanakan layanan K3 minimal.

Tabel 3.5.20 Persentase puskesmas menurut pelaksanaan K3 internal

dan layanan K3 di 400 puskesmas berdasarkan karakteristik puskesmas, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas Jumlah

puskesmas

K3 internal minimal dan layanan K3 minimal (%)

K3 internal minimal dan layanan K3 minimal

K3 internal minimal saja

Layanan K3 minimal saja

Tidak Keduanya

Lokasi

Perkotaan 217 54,8 6,5 0,0 38,7

Perdesaan 183 29,5 5,5 2,7 62,3

Nasional 400 43,3 6,0 1,2 49,5

Catatan: * Berdasarkan 100% puskesmas (N= 400)

Dari seluruh puskesmas (400) yang didata, persentase puskesmas yang

melaksanakan kesehatan kerja dasar yaitu puskesmas yang melaksanakan kesehatan kerja internal minimal di puskesmas dan yang melaksanakan layanan K3 minimal sebanyak 43,3 persen, sedangkan yang tidak melaksanakan kesehatan kerja dasar sebanyak 49,5 persen. Persentase puskesmas yang hanya melakukan K3 internal minimal saja 6,0 persen, sedangkan yang hanya melaksanakan layanan K3 minimal saja 1,2 persen. Puskesmas di perkotaan

Page 152: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

128

yang melaksanakan kesehatan kerja dasar lebih banyak dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perdesaan.

3.5.1.9. Sumber data dari dinas kesehatan kabupaten/kota Data yang dapat diolah dari informasi yang disampaikan oleh dinas

kesehatan antara lain data mengenai dinas kesehatan kabupaten/kota yang puskesmasnya melaksanakan program K3 di puskesmas. Dinas kesehatan kabupaten/kota yang melaksanakan program/kegiatan kesehatan kerja (K3) adalah dinas kesehatan yang memiliki program/kegiatan secara resmi tentang pelaksanaan kesehatan kerja (K3) di puskesmas. Program/kegiatan tentang pelaksanaan K3 di puskesmas tersebut dapat berupa kebijakan tertulis/surat keputusan/surat edaran yang ditandatangani oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.

Tabel 3.5.21 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di puskesmas di wilayahnya berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016

Lokasi Dinas Kesehatan Jumlah Kab/Kota Program K3 (%)

Kota 44 84,1

Kabupaten 220 66,4

Nasional 264 69,3

Catatan : N = 264

Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program K3 di

puskesmas sebanyak 69,3 persen. Dinas kesehatan kota lebih banyak (84%) melaksanakan program K3 dibandingkan kinas kesehatan kabupaten (66%). 3.5.2 Indikator Kesehatan Olahraga 3.5.2.1. Indikator Target Kesehatan Olahraga

Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya. Definisi Operasional: Puskemas yang menyelenggarakan upaya kesehatan olahraga melalui pembinaan kelompok olahraga dan pelayanan kesehatan olahraga di wilayah kerjanya. Baseline indikator kesehatan olahraga tahun 2014 sebesar 671 puskesmas. Target capaian pada tahun 2015 sebesar 20 persen dan pada tahun 2016 sebesar 30 persen.

Page 153: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

129

3.5.2.2. Algoritma Kesehatan Olahraga a. Sumber data dari Puskesmas

Algoritma komponen kesehatan olahraga Algoritma pembinaan kesehatan olahraga \

Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga: Komponen kesehatan olahraga: ada tenaga dan laporan

Jumlah Puskesmas (N=400, 217 Perkotaan; 183 Perdesaan )

Ya, n=196 Perkotaan 125, Perdesaan 71

Tidak, n=204, Perkotaan 92 , Perdesaan 112

Gambar 3.5.5

Algoritma komponen kesehatan olahraga

Gambar 3.5.6 Algoritma Pembinaan Kesehatan Olahraga

Melakukan penyuluhan kesehatan olahraga

pada kesehatan masyarakat

Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga: Komponen kesehatan olahraga: ada tenaga dan laporan (n=196)

Melakukan melakukan pendataan kelompok/ klub olahraga

Tidak, n=65 Ya, n= 131 Ya, n=159 Tidak, n=37

Pembinaan: Penyuluhan atau Pendataan

Ya, n= 135 Tidak, n= 61

Page 154: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

130

Algoritma pelayanan kesehatan olahraga

Algoritma Indikator Kesehatan Olahraga :

B. Sumber data dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota

Gambar 3.5.7 Algoritma Pelayanan Kesehatan Olahraga

Gambar 3.5.8

Algoritma Indikator Kesehatan Olahraga

Dari 196 puskesmas yang ada komponen tenaga dan laporan, yang melaksanakan

pembinaan minimal dan pelayanan minimal 129

Pembinaan minimal: Penyuluhan atau

Pendataan : Ya, n= 135

Pelayanan minimal Ya, n=187

Indikator kesehatan olahraga Dari 400 puskesmas sampel, yang ada komponen

tenaga dan laporan, yang melaksanakan pembinaan minimal dan pelayanan minimal 129,

perkotaan 90, perdesaan 39

1.Memiliki media informasi terkait olahraga

6.Layanan cedera OR akut

2.Pemeriksaan kesehatan:BB,TB,tensi,nadi

3.Pengukuran kebugaran jasmani

4.Layanan konsultasi

5.Tim medis P3K olahraga

7.Layanan kesehatan pada event OR

8.Layanan fisik &OR pemulihan

Pelayanan minimal: satu dari (1-8)

Ya, n=110 Tidak, n=86

Tidak, n=44 Ya, n=152

Ya, n=86 Tidak, n=110

Tidak, n=87 Ya, n=109

Ya, n=131 Tidak, n=65

Ya, n=112 Tidak, n=84

Ya, n=140 Tidak, n=56

Ya, n=74 Tidak, n=122

Ya, n=187 Tidak, n=9

Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga: Komponen kesehatan olahraga: ada tenaga dan laporan (n=196)

Page 155: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

131

Algoritma Kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmasnya

3.5.2.3. Indikator Kesehatan Olahraga

Pendataaan indikator kesehatan olahraga diperoleh di fasilitas kesehatan puskesmas dengan cara wawancara dan observasi dokumen. Selain itu, data kesehatan olahraga juga diperoleh dari dinas kesehatan kabupaten/kota.

3.5.2.3.1. Sumber data dari Puskesmas

Indikator kesehatan olahraga adalah persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya. Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan mendefinisikan bahwa puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga apabila menyelenggarakan upaya kesehatan olahraga melalui pembinaan kelompok olahraga dan pelayanan kesehatan olahraga di wilayah kerjanya.

Puskesmas melaksanakan kesehatan olahraga minimal adalah apabila (1) ada komponen kesehatan olahraga yaitu puskesmas memiliki tenaga yang bertugas melaksanakan kesehatan olahraga dan puskesmas membuat laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan), dan (3) puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal (melaksanakan satu pelayanan olahraga). 1). Komponen Kesehatan Olahraga

Komponen kesehatan olahraga di puskesmas yang didata pada Survei Indikator Kesehatan Nasional meliputi adanya tenaga yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga di puskesmas, adanya dana untuk penyelenggaraan kesehatan olahraga di puskesmas, adanya kegiatan

Gambar 3.5.9 Algoritma Kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di

puskesmasnya

Jumlah kabupaten/kota yang menjadi sampel 264 (Kota 44, Kabupaten 220)

Kabupaten/kota yang memiliki Program Kesehatan Olahraga di Puskesmas

156 (Kota 37, Kabupaten 119)

Ya n=156 Tidak n=108 (40,9%)

Kota n=37 Kabupaten n=119

Page 156: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

132

penyuluhan/pembinaan kesehatan olahraga, dan adanya laporan kegiatan kesehatan olahraga.

Puskesmas memiliki/melaksanakan kesehatan olahraga apabila sedikitnya memiliki tenaga/petugas yang ditugaskan untuk menangani kesehatan olahraga dan membuat laporan kesehatan olahraga. 2). Pembinaan kesehatan olahraga

Pembinaan kesehatan olahraga meliputi penyuluhan masyarakat dan pendataan kelompok olahraga di wilayah puskesmas. Kesehatan olahraga adalah upaya kesehatan yang memanfaatkan olahraga atau latihan fisik untuk meningkatkan derajat kesehatan.

Penyuluhan kesehatan olahraga dapat dilakukan di dalam puskesmas maupun di luar puskesmas, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku individu, keluarga, masyarakat dalam pelaksanaan kesehatan olahraga agar:

Mengerti/paham tentang olahraga

Mau dan mampu melaksanakan olahraga untuk kesehatan

Berperan serta dalam mengembangkan upaya kesehatan olahraga.

Pendataan kelompok olahraga merupakan pendataan kelompok olahraga yang ada di wilayah puskesmas. Kelompok olahraga merupakan sekumpulan orang yang melakukan latihan fisik atau olahraga secara terprogram dan teratur.

Puskesmas melakukan pembinaan kesehatan olahraga minimal apabila melaksanakan penyuluhan tentang olahraga kepada masyarakat saja atau melakukan pendataan kelompok olahraga saja. 3) Pelayanan Kesehatan Olahraga

Puskesmas melakukan pelayanan kesehatan olahraga adalah melakukan layanan kesehatan olahraga pada kegiatan olahraga dan pemanfaatan olahraga untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani diselenggarakan secara terpadu dan menyeluruh melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Pelayanan kesehatan olahraga yang didata meliputi 8 hal yaitu: 1. Puskesmas memiliki media informasi terkait olahraga antara lain

leaflet/brosur/poster/VCD. 2. Puskesmas melakukan pemeriksaan kesehatan: pengukuran berat

badan/tinggi badan/tekanan darah/nadi pada kelompok olahraga. 3. Puskesmas melakukan pengukuran tingkat kebugaran jasmani pada

kelompok masyarakat. 4. Puskesmas melakukan layanan konsultasi kesehatan olahraga pada

masyarakat. 5. Puskesmas membentuk tim medis P3K untuk kegiatan olahraga. 6. Puskesmas melakukan layanan cedera olahraga akut (pada event olah

raga/di puskesmas). 7. Puskesmas melakukan layanan kesehatan pada event olahraga. 8. Puskesmas melakukan pendekatan latihan fisik dan olahraga terhadap

pemulihan kesehatan (rehabilitasi).

Page 157: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

133

Puskesmas melakukan pelayanan kesehatan olahraga minimal apabila melaksanakan salah satu dari pelayanan olahraga tersebut di atas. 3.5.2.3.2. Sumber data dari dinas kesehatan kabupaten/kota

Data kesehatan olahraga yang diperoleh dari sumber dinas kesehatan kabupaten/kota meliputi kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmas yang berada di wilayah kerjanya 3.5.2.4. Hasil indikator kesehatan olahraga 3.5.2.4.1. Sumber data dari puskesmas

1. Komponen kesehatan olahraga di puskesmas Komponen kesehatan olahraga di puskesmas yang didata pada

Sirkesnas adalah 1) adanya petugas puskesmas yang ditugaskan oleh kepala puskesmas untuk menangani kesehatan olahraga, 2) memiliki dana untuk penyelenggaraan kesehatan olahraga dan dana dapat berasal dari Pemda atau dari sumber dana lainnya, 3) puskesmas menyusun laporan kegiatan kesehatan olahraga dan 4) petugas puskesmas yang melakukan penyuluhan atau pembinaan kesehatan olahraga.

Puskesmas yang melaksanakan seluruh komponen kesehatan olahraga adalah apabila puskesmas melaksanakan keempat komponen tersebut di atas. Puskesmas melaksanakan komponen kesehatan olahraga minimal apabila puskesmas memiliki tenaga yang menangani kesehatan olahraga dan menyusun laporan kegiatan kesehatan olahraga.

Tabel 3.5.22 Persentase puskesmas yang melaksanakan komponen kesehatan olahraga,

Sirkesnas 2016

Karakteristik Puskesmas

Jumlah Puskesmas

Komponen kesehatan olahraga (%)

Tenaga Dana Laporan Penyuluhan/ pembinaan

Seluruh Komponen

Ada tenaga dan

laporan

Lokasi

Perkotaan 217 71,9 32,3 59,4 56,2 27,2 57,6

Perdesaan 183 54,6 24,0 41,0 41,0 18,6 38,8

Nasional 400 64,0 28,5 51,0 49,3 23,3 49,0

Catatan : N = 400

Dari 400 puskesmas yang didata, persentase puskesmas yang mempunyai tenaga yang bertugas menangani kesehatan olahraga sebanyak 64,0 persen, yang memiliki dana penyelenggaraan kesehatan olahraga 28,5 persen, yang menyusun laporan kegiatan kesehatan olahraga 51,0 persen, dan yang melaksanakan penyuluhan/pembinaan kesehatan olahraga 49,3 persen. Persentase puskesmas yang melaksanakan seluruh (empat) komponen hanya 23,3 persen.

Dari 400 puskesmas yang didata, 196 puskesmas (49%) yang memenuhi syarat komponen kesehatan olahraga yaitu yang mempunyai tenaga kesehatan olahraga dan membuat laporan kesehatan olahraga. Dari setiap komponen

Page 158: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

134

kesehatan olahraga, persentase puskesmas yang berlokasi di perkotaan lebih besar dibandingkan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. 2. Pembinaan kesehatan olahraga

Puskesmas melakukan pembinaan kesehatan olahraga adalah apabila melaksanakan penyuluhan tentang olahraga kepada masyarakat dan melakukan pendataan kelompok olahraga.

Puskesmas melakukan pembinaan kesehatan olahraga minimal apabila melaksanakan penyuluhan tentang olahraga kepada masyarakat saja atau melakukan pendataan kelompok olahraga saja.

Tabel 3.5.23 Persentase puskesmas berdasarkan penyuluhan masyarakat dan pendataan

kelompok olahraga, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

Penyuluhan masyarakat dan pendataan kelompok olahraga di puskesmas (%)

Penyuluhan masyarakat

Pendataan kelompok olahraga

Keduanya Salah satu

(Minimal)

Lokasi

Perkotaan 125 71,2 86,4 17,6 75,2

Perdesaan 71 59,2 71,8 14,1 57,7

Nasional 196 66,8 81,1 16,3 68,9

Catatan: Berdasarkan jumlah puskesmas yang melakukan komponen kesehatan olahraga (49%,

N=196)

Dari 196 puskesmas yang memiliki komponen tenaga dan membuat

laporan, persentase puskesmas yang melakukan penyuluhan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat 66,8 persen sedangkan yang melakukan pendataan kelompok/klub olahraga 81,1 persen. Persentase puskesmas yang melakukan pendataan kelompok/klub olahraga lebih besar dari pada yang melakukan penyuluhan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat. Persentase puskesmas yang melakukan penyuluhan kesehatan olahraga dan pendataan kelompok/klub olahraga 16,3 persen. Persentase puskesmas yang melakukan penyuluhan kesehatan olahraga pada kelompok masyarakat atau melakukan pendataan kelompok/klub olahraga 68,9 persen. Persentase puskesmas yang berlokasi di perkotaan relatif lebih tinggi melakukan penyuluhan kesehatan olahraga atau pendataan kelompok olahraga dibandingkan dengan puskesmas yang berlokasi di perdesaan. 3. Pelayanan kesehatan olahraga

Pelayanan kesehatan olahraga meliputi 8 pelayanan kesehatan olahraga yang didata, sedangkan pelayanan kesehatan olahraga minimal meliputi pelayanan salah satu dari pelayanan kesehatan olahraga yang didata.

Page 159: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

135

Tabel 3.5.24 Persentase puskesmas berdasarkan pelayanan kesehatan olahraga,

Sirkesnas 2016

Karak teristik puskes mas

Jumlah puskes

mas

Pelayanan kesehatan olahraga (%)

Keb

erad

aan

med

ia

info

rmas

i

Pem

erik

saan

kese

hata

n

Pen

guku

r an

kebu

gara

n ja

sman

i

Laya

n an

kon

sul t

asi

kese

hata

n ol

ah r

aga

Tim

med

is P

3K o

lah

raga

Laya

n an

ced

era

olah

ra

ga A

kut

Laya

n an

kes

ehat

an

even

t ola

h ra

ga

Laya

n an

pem

ulih

an

kese

hata

n

Sem

ua a

da

Sal

ah s

atu

Lokasi

Perkotaan 125 63,2 83,2 44,8 56,0 72,0 59,2 75,2 43,2 11,2 95,2

Perdesaan 71 43,7 67,6 42,3 54,9 57,7 53,5 64,8 28,2 7,0

95,8

Nasional 196 56,1 77,6 43,9 55,6 66,8 57,1 71,4 37,8 9,7 95,4

Dari 196 puskesmas yang ada komponen tenaga dan membuat laporan,

persentase puskesmas terbanyak melaksanakan pelayanan pemeriksaan kesehatan pengukuran berat badan/tinggi badan/tensi/nadi pada kelompok olahraga (77,6%) diikuti pelayanan kesehatan pada event olahraga (71,4%), paling sedikit melaksanakan pelayanan pemulihan kesehatan (37,8%) diikuti pengukuran kebugaran jasmani (43,9%). Sebanyak 95,4 persen puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal, hampir sama besar antara puskesmas yang di perkotaan dan di perdesaan. 4. Indikator kesehatan olahraga

Indikator kesehatan olahraga diperoleh dari melakukan salah satu dari pembinaan kesehatan olahraga (penyuluhan atau pembinaan) dan salah satu dari delapan pelayanan kesehatan olahraga.

Tabel 3.5.25 Persentase puskesmas berdasarkan indikator kesehatan olahraga,

Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah puskesmas

Indikator kesehatan olahraga (%)

Melakukan pembinaan dan

pelayanan

Melakukan

pembinaan saja

Melakukan pelayanan

saja

Tidak melakukan pembinaan atau

pelayanan

Lokasi Puskesmas

Perkotaan 125 72,0 3,2 23,2 1,6

Perdesaan 71 54,9 2,8 40,8 1,4

Nasional 196 65,8 3,1 29,6 1,5

Dari 196 puskesmas yang ada komponen tenaga dan membuat laporan,

65,8 persen melakukan kegiatan pembinaan kesehatan olahraga minimal (satu

Page 160: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

136

kegiatan pembinaan) dan pelayanan kesehatan olahraga minimal (satu kegiatan pelayanan). Persentase puskesmas yang hanya melakukan satu kegiatan pembinaan saja 3,1 persen, yang melakukan satu kegiatan pelayanan saja 29,6 persen, sedangkan yang tidak melakukan pembinaan atau pelayanan 1,5 persen.

Tabel 3.5.26 Persentase puskesmas berdasarkan indikator kesehatan olahraga

di 400 puskesmas, Sirkesnas 2016

Karakteristik puskesmas

Jumlah Puskesmas

Indikator kesehatan olahraga (%)

Pembinaan dan pelayanan

Pembinaan saja

Pelayanan saja

Tidak keduanya

Lokasi

Perkotaan 217 41,5 1,8 13,4 43,3

Perdesaan 183 21,3 1,1 15,8 61,8

Nasional 400 32,3 1,5 14,5 51,7

Catatan: * Berdasarkan 100% puskesmas (N 400)

Dari 400 puskesmas yang didata, sebanyak 32,3 persen puskesmas yang

ada komponen tenaga dan membuat laporan, melaksanakan kegiatan pembinaan kesehatan olahraga minimal (satu kegiatan pembinaan) dan melaksanakan pelayanan kesehatan olahraga minimal (satu kegiatan pelayanan). 3.5.2.4.2. Sumber data dari dinas kesehatan kabupaten/kota

Dinas kesehatan kabupaten/kota yang melaksanakan program/kegiatan kesehatan olahraga di puskesmas adalah dinas kesehatan yang memiliki program/kegiatan secara resmi tentang pelaksanaan kesehatan olahraga di puskesmas dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.

Program/kegiatan tentang pelaksanaan kesehatan olahraga di puskesmas dapat berupa kebijakan tertulis/surat keputusan/surat edaran yang ditandatangani oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.

Tabel 3.5.27

Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmas berdasarkan lokasi dinas kesehatan, Sirkesnas 2016

Lokasi Dinas Kesehatan Jumlah Kab/Kota Program Kesehatan Olahraga

n %

- Kota 44 37 84,1

- Kabupaten 220 119 54,1

Nasional 264 156 59,1

Catatan: N=264

Page 161: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

137

Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan program kesehatan olahraga di puskesmas sebanyak 59,1 persen, dinas kesehatan kota lebih banyak (84,1%) melaksanakan program kesehatan olahraga dibandingkan dinas kesehatan kabupaten (54,1%).

3.6 Indikator Program Penyehatan Pangan 3.6.1 Indikator Tempat Pengolahan Makanan (TPM) Memenuhi Syarat

Kesehatan

Tempat Pengolahan Makanan (TPM) memiliki potensi untuk menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit bahkan keracunan akibat dari makanan yang dihasilkannya. Perlindungan masyarakat terhadap produk makanan yang disediakan oleh TPM perlu dilakukan. Hal ini hanya dapat terwujud bila kualitas makanan yang dihasilkan, disajikan dan dijual oleh TPM memenuhi syarat-syarat kesehatan.

Persyaratan higiene sanitasi meliputi ketentuan teknis yang ditetapkan terhadap produk rumah makan dan restoran, personel dan perlengkapannya, meliputi persyaratan bakteriologis, kimia dan fisika. Fasilitas sanitasi terdiri dari sarana fisik bangunan dan perlengkapan yang digunakan untuk memelihara kualitas lingkungan atau untuk mengendalikan faktor lingkungan yang dapat merugikan kesehatan manusia; antara lain sarana air bersih, jamban, peturasan, saluran limbah, tempat cuci tangan, bak sampah, kamar mandi, lemari pakaian kerja (locker), peralatan pencegahan terhadap lalat, tikus dan hewan lainnya serta peralatan kebersihan (Kemenkes RI, 2003).

Indikator TPM dalam Renstra tahun 2015-2019 mengukur persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan dengan target capaian pada tahun 2015 sebesar 8%. Indikator tersebut diukur sesuai Renstra Kemenkes 2015-2019 (Kemenkes RI, 2003):

Jumlah TPM yang memenuhi persyaratan hygiene sanitasi x 100%

Jumlah TPM Terdaftar Pada Sirkesnas 2016 data cakupan TPM memenuhi syarat dan laik sehat

diperoleh dari data pencatatan di dinas kesehatan dan puskesmas pada tahun 2015. Data dari dinas kesehatan kabupaten/kota meliputi jasaboga atau catering, rumah makan dan restoran, depot air minum, kantin sekolah, makanan jajanan, Industri Pangan Rumah Tangga (IPRT) (dinas kesehatan kabupaten/kota) dan data warung makan dari puskesmas.

Kriteria TPM memenuhi syarat dan laik sehat mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes) nomor 1098/Menkes/SK/VII/2003 tentang persyaratan hygiene sanitasi rumah makan dan restoran, Kepmenkes nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang persyaratan higiene sanitasi jasa boga dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) nomor 43 tahun 2014 tentang hygiene sanitasi depot air minum serta Peraturan (Kemenkes, 2003a, 2003b, 2014c), Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga

Page 162: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

138

(BPOM, 2012). Kriteria TPM makanan jajanan yang memenuhi syarat mengacu kepada Kepmenkes nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang pedoman persyaratan higiene sanitasi makanan jajanan (Kemenkes, 2003c).

3.6.1.1 Algoritma indikator TPM memenuhi syarat kesehatan Pada gambar dibawah terlihat bahwa dari 372.293 TPM yang terdaftar di

264 dinas kesehatan kabupaten/kota, hanya 42,8 persen yang telah memenuhi syarat kesehatan dan 31,2 persen belum memenuhi syarat kesehatan. Untuk TPM yang memenuhi syarat kesehatan tersebut, baru sebagian kecil yang memiliki sertifikat laik sehat (13,9%). Jenis TPM yang paling banyak memiliki sertifikat laik sehat adalah IPRT sebesar 70,6 persen. Jika diamati terjadi kesenjangan antara TPM memenuhi syarat dan TPM belum memenuhi syarat terlihat ada selisih sekitar 26 persen. Hal ini terjadi karena tidak semua TPM yang terdaftar masuk ke dalam kategori memenuhi syarat dan belum memenuhi syarat.

Gambar 3.6.1

Persentase tempat pengelolaan makanan yang sudah memenuhi syarat kesehatan, Sirkesnas 2016

3.6.1.2 Capaian Indikator TPM memenuhi syarat kesehatan

Analisis dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing jenis TPM di kabupaten/kota terpilih sehingga diperoleh angka absolut untuk masing-masing jenis TPM yang terdaftar, memenuhi syarat dan laik sehat. Data kemudian dianalisis sesuai formula Renstra Kemenkes 2015-2019. Cara analisis yang sama dilakukan untuk data yang diperoleh di dinas kesehatan dan puskesmas.

Page 163: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

139

Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi jenis TPM yang memenuhi syarat kesehatan paling tinggi adalah IPRT (70,6%). Dari 70,6 persen TPM yang memenuhi syarat kesehatan hanya 58,96 persen TPM yang sudah memiliki sertifikat laik sehat. Dari seluruh TPM yang terdaftar, persentase yang sudah memenuhi syarat kesehatan 42,8 persen (Tabel 3.6.1). Capaian ini jauh di atas target Renstra 2015 yaitu 8%.

Tabel 3.6.1

Persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan menurut data dinas kesehatan kabupaten/kota, Sirkesnas 2016

Jenis TPM N Pembinaan Jumlah

Terdaftar Tidak

Memenuhi Syarat

Memenuhi Syarat

Bersertifikat Laik Sehat

Jasaboga 264 83,33 12.399 32,2 58,1 26,5

Rumah Makan dan Restoran

264 93,94 51.721 36,8 49,4 18,6

Depot Air Minum 264 95,45 43.454 28,0 59,9 29,9

Kantin Sekolah 264 51,89 28.720 35,9 43,6

Makanan Jajanan 264 79,92 191.886 32,0 29,7

Industri Pangan Rumah Tangga (IPRT)

264 70,83 44.113 20,9 70,6 58,9

Total 264 79,23 372.293 31,2 42,8 13,94

3.6.1.3 Data pendukung dan penjelasan Indikator TPM Memenuhi Syarat Kesehatan

Capaian indikator TPM memenuhi syarat telah melebihi target Renstra 2015 (8%). Hal ini dimungkinkan karena jumlah TPM yang terdaftar belum merupakan jumlah keseluruhan TPM yang ada di wilayah kerja masing-masing dinas kesehatan dan hanya yang terdaftar saja, sehingga persentase jumlah TPM yang memenuhi syarat kesehatan pada survei ini dapat cenderung lebih tinggi dari kondisi sebenarnya dan pada akhirnya pencapaiannya lebih tinggi daripada target Renstra.

Hasil survei juga memperlihatkan bahwa total TPM yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat adalah 74 persen. TPM yang memiliki sertifikat laik sehat adalah merupakan bagian dari TPM yang memenuhi syarat. Selisih jumlah TPM tersebut dimungkinkan karena belum seluruh TPM terdaftar di inspeksi oleh petugas, sehingga sebagian TPM yang telah terdaftar belum bisa dikategorikan memenuhi syarat atau belum memenuhi syarat (Tabel 3.6.1).

3.7 Indikator Program Surveilans, imunisasi karantina dan kesehatan matra

3.7.1 Indikator Imunisasi Dasar Lengkap (IDL)

Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami

Page 164: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

140

sakit ringan. Imunisasi dasar rutin terdiri dari Bacillus Calmette Guerin (BCG), Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus Influenza type B (DPT-HB-Hib), Hepatitis B pada bayi baru lahir, Polio dan Campak (Kemenkes RI, 2013).

Indikator imunisasi dasar lengkap yang diukur pada Sirkesnas 2016 ada dua, yaitu persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada bayi dan cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan. Formula perhitungan mengunakan Kepmenkes RI No. HK 02.02/Menkes/52/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 sebagai berikut: 1. Persentase Kabupaten/Kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi Jumlah kabupaten/kota yang mencapai IDL ≥ 80% x 100% Jumlah kabupaten/kota

2. Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap. Sedangkan, cakupan imunisasi dasar lengkap dihitung dengan formula: Jumlah bayi yang mendapat 1 kali imunisasi Hepatitis B; 1 kali imunisasi BCG; 3 kali imunisasi DPT, HB dan Hib; 4 kali imunisasi polio; dan 1 kali imunisasi campak dalam kurun waktu satu tahun X 100% Jumlah seluruh bayi selama kurun waktu yang sama

Target persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen IDL pada bayi tahun 2015 adalah sebesar 75 persen. Target persentase anak usia 0-11 bulan mendapat IDL pada tahun 2015 adalah sebesar 91 persen (Kemenkes, 2015).

Cakupan IDL pada Sirkesnas 2016 diperoleh dari data dinas kesehatan kabupaten/kota tahun 2015. Data IDL pada komunitas diperoleh melalui wawancara terhadap responden (ibu balita/anggota rumah tangga lainnya) yang mempunyai balita usia 0-59 bulan. Informasi diperoleh dari pencatatan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), Buku KIA, buku catatan kesehatan anak lainnya dan ingatan responden.

3.7.1.1 Algoritma Capaian Indikator Imunisasi Dasar Lengkap Sirkesnas 2016 a. Algoritma capaian indikator persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap Analisis IDL bayi usia 0-11 bulan data yang digunakan adalah anak yang sudah berusia 12-23 bulan saat pengumpulan data dilakukan. Analisis dilakukan terhadap data anak usia 12-23 bulan berdasarkan beberapa alasan yaitu: 1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan “valid immunization”, 2) kebanyakan survei menggunakan kelompok usia 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi,

Page 165: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

141

sehingga dapat dibandingkan dan; 3) menghindari bias recall pada ibu. Keterbatasan pada variabel survei ini adalah tidak semua balita diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan karena ibu lupa anaknya diimunisasi/ tidak, lupa frekuensi imunisasi, ibu tidak mengetahui jenis imunisasi, catatan dalam KMS/buku KIA tidak lengkap, ibu tidak dapat menunjukkan catatan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena responden yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Hampir seluruh anak kelompok usia ini (96%) pernah mendapat imunisasi. Berdasarkan catatan imunisasi dan ingatan responden, persentase anak yang pernah menerima IDL adalah sebesar 65,3 persen, imunisasi tidak lengkap sebanyak 12,5 persen dan masih ada anak usia 0 – 11 bulan yang tidak mendapat imunisasi (22,4%).

Gambar 0.1

Algoritma imunisasi dasar lengkap bayi 0-11 bulan, Sirkesnas 2016

b. Algoritma Persentase Kabupaten/Kota yang mencapai 80 persen imunisasi

dasar lengkap (IDL) pada bayi

Hasil Sirkesnas menunjukan bahwa kabupaten/kota yang mencapai IDL > 80% adalah sebesar 79,9 persen. Kabupaten/kota dengan IDL 50 – 80 persen adalah sebesar 17,8 persen, dan IDL yang kurang dari 50 persen adalah sebesar 2,3 persen (Gambar 3.7.2).

Gambar 0.2

Algoritma imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan menurut kabupaten/kota, Sirkesnas 2016

Page 166: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

142

3.7.1.2 Capaian Indikator Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) a. Capaian indikator persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap

Tabel 3.7.1 menunjukkan bahwa sebesar 96,0 persen anak usia 12-23 bulan yang pernah diimunisasi dan 3,5 persen mengaku anaknya tidak pernah diimunisasi. Berdasarkan data catatan imunisasi yang dimiliki responden (KMS, Buku KIA, dan catatan imunisasi lainnya) hanya 50,8 persen anak yang mendapatkan IDL. Berdasarkan data gabungan antara status imunisasi menurut catatan dan ingatan responden, cakupan IDL adalah sebesar 65,3 persen. Cakupan ini belum mencapai target Renstra 2015 yaitu sebesar 91 persen (Kemenkes RI, 2015). Masih terdapat bayi 0 – 11 bulan yang tidak mendapat imunisasi, yaitu sebesar 22,3 persen. Jika dibandingkan antara hasil Riskesdas tahun 2007, 2010, 2013 dengan Sirkesnas 2016, terlihat bahwa cakupan IDL pada bayi 0-11 bulan cenderung meningkat (Gambar 3.7.3).

Tabel 0.1 Persentase bayi usia 0-11 bulan yang memperoleh imunisasi

dasar lengkap berdasarkan karakteristik imunisasi, Sirkesnas 2016.

Karakteristik Imunisasi N %

Pernah mendapat imunisasi (N=3987)

Ya 3829 96,0

Tidak pernah 139 3,5

Tidak tahu 19 0,5

Status imunisasi menurut catatan (N=3987)

Lengkap 2026 50,8

Tidak lengkap 591 14,8

Tidak diimunisasi/ Tidak Ingat 1369 34,3

Status Imunisasi menurut catatan dan ingatan (N=3987)

Lengkap 2605 65,3

Tidak lengkap 491 12,3

Tidak diimunisasi 891 22,3

Page 167: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

143

Gambar 0.3 Kecenderungan persentase imunisasi dasar lengkap pada anak usia 0-11 bulan

menurut hasil Riskesdas dan Sirkesnas.

b. Capaian indikator persentase kabupaten/kota yang mencapai 80 persen imunisasi dasar lengkap (IDL) pada bayi

Target persentase kabupaten/kota yang mencapai IDL>80 persen pada bayi tahun 2015 adalah sebesar 75 persen. Hasil survei menunjukan bahwa capaian target persentase kabupaten/kota sudah melebihi target tersebut yaitu 79,9 persen (Gambar 3.7.4).

Gambar 0.4

Persentase capaian imunisasi dasar lengkap kabupaten/kota 3.7.1.3 Data pendukung dan penjelasan indikator Imunisasi Dasar Lengkap

Hasil survei menunjukkan capaian imunisasi dasar lengkap pada Sirkesnas 2016 lebih tinggi dari Riskesdas 2013. Khusus untuk DI Yogyakarta,

Page 168: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

144

imunisasi polio dikategorikan lengkap jika telah mendapatkan imunisasi polio 1,2 dan 3.

Tabel 3.7.2 menyajikan proporsi bayi yang tidak lengkap memperoleh IDL berdasarkan pencatatan imunisasi responden. Persentase jenis imunisasi tertinggi yang tidak diperoleh responden adalah imunisasi HB-0 yaitu sebesar 53,4 persen dan terendah adalah DPT-HB-HIB 1 yaitu sebesar 8,6 persen.

Pada uraian diatas telah disebutkan bahwa persentase bayi 0-11 bulan yang tidak lengkap mendapatkan imunisasi dasar adalah 12,3 persen, dan yang tidak diimunisasi 22,3 persen. Persentase bayi menurut jenis imunisasi yang tidak lengkap menurut catatan yang dimiliki responden, paling tinggi adalah imunisasi HB-0 (53,4%) dan terendah adalah DPT-HB-HIB 1 sebesar 8,6%.

Page 169: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

145

Tabel 0.2 Persentase imunisasi bayi usia 0-11 bulan yang tidak lengkap menurut catatan yang

dimiliki responden berdasarkan jenis imunisasi, Sirkesnas 2016

Jenis Imunisasi N (bobot) Pemberian Imunisasi (%)

Ya Tidak

HB-0

Perkotaan 224 61,6 38,4

Pedesaan 330 36,4 63,6

Total HB-0 554 46,6 53,4

BCG

Perkotaan 225 89,8 10,2

Pedesaan 332 89,5 10,5

Total BCG 557 89,6 10,4

DPT-HB-HIB 1

Perkotaan 224 91,5 8,5

Pedesaan 332 91,3 8,7

Total DPT-HB-HIB 1 556 91,4 8,6

DPT-HB-HIB 2

Perkotaan 224 79,9 20,1

Pedesaan 332 85,2 14,8

Total DPT-HB-HIB 2 556 83,1 16,9

DPT-HB-HIB 3

Perkotaan 225 60,9 39,1

Pedesaan 331 76,4 23,6

Total DPT-HB-HIB 3 556 70,1 29,9

Polio 1

Perkotaan 224 90,2 9,8

Pedesaan 332 89,8 10,2

Total Polio 1 556 89,9 10,1

Polio 2

Perkotaan 224 87,5 12,5

Pedesaan 331 89,7 10,3

Total Polio 2 555 88,8 11,2

Polio 3 Perkotaan 225 76,4 23,6

Pedesaan 332 83,1 16,9

Total Polio 3 557 80,4 19,6

Polio 4 Perkotaan 224 53,6 45,1

Pedesaan 330 70,9 28,5

Total Polio 4 554 63,9 35,2

Campak

Perkotaan 225 36,4 63,6

Pedesaan 332 63,9 36,1

Total Campak 557 52,8 47,2 Keterangan : Nilai bobot (N) yang dimaksud adalah nilai pengali untuk menyamakan peluang. Hal ini dilakukan

karena pemilihan sampel secara multistage.

Page 170: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

146

Berdasarkan ingatan responden, persentase jenis imunisasi yang tidak diperoleh responden, tertinggi adalah imunisasi DPT-HB-HIB 1 yaitu sebesar 92,1 persen dan terendah adalah BCG sebesar 9,3 persen (Tabel 3.7.3).

Tabel 0.3 Persentase imunisasi bayi usia 12-23 bulan yang tidak lengkap

menurut ingatan responden berdasarkan jenis imunisasi, Sirkesnas 2016

Jenis Imunisasi N (bobot) Pemberian Imunisasi

Ya Tidak Tidak tahu

HB-0 - Perkotaan 844 85,5 10,5 3,9

- Perdesaan 945 64,4 28,5 7,1

- Total HB-0 1789 74,4 20,0 5,6

BCG

- Perkotaan 846 89,5 7,6 3,0

- Perdesaan 944 85,5 10,9 3,6 - Total BCG 1790 87,4 9,3 3,3

DPT-HB-HIB 1 - Perkotaan 844 7,7 92,3 0

- Perdesaan 945 8,0 92,0 0

- Total DPT-HB-HIB 1 1789 7,9 92,1 0

DPT-HB-HIB 2 - Perkotaan 844 12,7 87,3 0 - Perdesaan 944 10,2 89,8 0

- Total DPT-HB-HIB 2 1788 11,4 88,6 0

DPT-HB-HIB 3 - Perkotaan 843 61,9 38,1 0

- Perdesaan 945 58,5 41,5 0

- Total DPT-HB-HIB 3 1788 60,1 39,9 0

Polio 1

- Perkotaan 844 6,8 93,2 0

- Perdesaan 944 9,1 90,9 0

- Total Polio 1 1788 8,0 92,0 0

Polio 2

- Perkotaan 844 9,5 90,5 0

- Perdesaan 945 11,2 88,8 0

- Total Polio 2 1789 10,4 89,6 0

Polio 3

- Perkotaan 844 12,6 87,4 0

- Perdesaan 944 10,4 89,6 0

- Total Polio 3 1788 11,4 88,6 0

Polio 4

- Perkotaan 844 63,2 36,8 0

- Perdesaan 944 60,8 39,2 0

- Total Polio 4 1788 61,9 38,1 0

Campak

- Perkotaan 843 68,9 27,2 3,9

- Perdesaan 945 76,2 20,1 3,7

- Total Campak 1788 72,8 23,4 3,8

Page 171: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

147

Tabel 0.4 Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap

berdasarkan karakteristik responden, Sirkesnas 2016

Karakteristik Responden Total

Imunisasi Dasar Bayi

Lengkap Tidak lengkap Lupa Tidak

pernah

Lokasi Tempat Tinggal Perkotaan 2000 70,0 10,4 1,9 17,8

Perdesaan 1987 60,6 14,3 6,1 19,0

Jenis Kelamin

Laki-laki 1945 65,6 12,8 3,9 17,8 Prempuan 2042 65,1 11,9 4,1 19,0

Pekerjaan KK

PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 181 71,3 6,1 5,5 17,1 Pegawai swasta 645 71,3 11,0 1,1 16,6 Wiraswasta 986 67,1 12,6 2,9 17,3 Petani 882 54,6 15,1 8,3 22,0 Nelayan 73 60,3 8,2 11,0 20,5 Buruh 782 69,1 13,3 2,6 15,1 Lainnya 162 71,0 8,6 2,5 17,9 Tidak bekerja 272 63,2 9,9 2,6 24,3

Tingkat Pendidikan KK Tidak/ belum pernah sekolah 132 47,0 6,1 12,1 34,8 Tidak tamat SD/MI 339 55,8 14,5 6,2 23,6 Tamat SD/MI 1303 64,3 14,1 4,6 17,0 Tamat SLTP/MTS 823 63,3 14,1 3,3 19,3 Tamat SLTA/MA 1093 70,1 10,0 2,4 17,6 Tamat D1/D2/D3 95 76,8 10,5 4,2 8,4 Tamat PT 203 77,3 7,4 2,5 12,8

Tingkat Pendidikan Ibu

Tidak/ belum pernah sekolah 79 24,1 6,3 21,5 48,1 Tidak tamat SD/MI 225 45,3 16,9 9,3 28,4 Tamat SD/MI 1035 59,9 16,1 4,8 19,1 Tamat SLTP/MTS 1023 65,2 13,0 3,1 18,7 Tamat SLTA/MA 1145 74,5 10,1 2,3 13,1 Tamat D1/D2/D3 172 76,7 6,4 1,2 15,7 Tamat PT 243 72,8 4,5 3,3 19,3

Pekerjaan Ibu

PNS/ TNI/Polri/BUMN/BUMD 99 69,7 4,0 2,0 24,2 Pegawai swasta 298 74,2 11,1 1,3 13,4 Wiraswasta 299 71,2 12,7 2,3 13,7 Petani 269 46,8 15,6 12,6 24,9 Nelayan 4 25,0 0,0 25,0 50,0 Buruh 124 81,5 2,4 1,6 14,5 Lainnya 126 61,1 12,7 2,4 23,8 Tidak bekerja 2705 65,1 12,8 3,8 18,3

Menurut karakteristik reponden, cakupan IDL bayi 0 – 11 bulan yang tinggal di wilayah perkotaan lebih tinggi (70,0%) dibandingkan wilayah perdesaan (60,6%) (Tabel 3.7.4). Berdasarkan jenis kelamin, tidak menunjukkan

Page 172: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

148

adanya perbedaan IDL. Berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga (KK) maupun ibu, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi cakupan jenis IDL bayi 0 – 11 bulan. Berdasarkan pekerjaan, cakupan IDL bayi 0 – 11 bulan paling tinggi pada kelompok kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD) (71,3%), dan pegawai swasta (71,3%); sedangkan terendah kelompok kepala keluarga yang bekerja sebagai petani (54,6%). Pada kelompok pekerjaan ibu, cakupan IDL paling tinggi pada ibu rumah tangga yang bekerja sebagai buruh (81%), dan terendah pada yang bekerja sebagai nelayan (25%) (Tabel 3.7.4). 3.7.2 Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HBsAg

Indikator dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 adalah “Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan deteksi dini hepatitis B pada kelompok berisiko” dengan target tahun 2015 sebesar 5 persen.

3.7.2.1 Algoritma Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HBsAg

Survei ini menemukan 11 persen dinas kesehatan kabupaten/kota telah melaksanakan program deteksi dini hepatitis B. Persentase kabupaten/kota yang telah melaksanakan program ini 7,1 persen dinas kota dan 12,4 persen dinas kesehatan kabupaten (gambar 3.7.5).

Gambar 0.5 Proporsi dinas kesehatan kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini

Hepatitis B menggunakan HbsAG, Sirkesnas 2016

Page 173: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

149

3.7.2.2 Capaian Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HBsAg

Pada Tabel 3.7.5 disajikan persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG. Capaian indikator program ini sudah melebihi target Renstra 2015. Pada tabel terlihat bahwa 29 kabupaten/kota sudah melaksanakan pemeriksaan hepatitis menggunakan HBsAG, yang terdiri dari kota sebesar 7,1 persen dan kabupaten sebesar 12,4 persen.

Tabel 0.5 Persentase dinas kesehatan yang melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan

HbsAG, Sirkesnas 2016

Karakteristik Dinas Kesehatan N Deteksi dini menggunakan HBsAG

Ya Tidak

Kota 70 7,1 92,9

Kabupaten 194 12,4 87,6

Total 264 11,0 89,0

Hasil survei ini menunjukkan, bahwa sebanyak 29 kabupaten/kota sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG (Tabel 3.7.5). Persentase kelompok masyarakat yang berisiko di kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG pada tahun 2015 bisa dilihat pada Gambar 3.7.6. Persentase antar kelompok masyarakat yang sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG tidak jauh berbeda (sekitar 10%). Persentase tertinggi pada kelompok injection drug user (IDU) dan orang yang kontak serumah dengan penderita hepatitis B.

Gambar 0.6

Proporsi kabupaten/kota yang sudah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG tahun 2015, Sirkesnas 2016

Page 174: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

150

3.7.2.3 Data pendukung dan penjelasan indikator deteksi dini Hepatitis B

Menurut keterangan seksi Hepatitis, pada tahun 2015 baru 22 Provinsi dengan 30 kabupaten/kota yang sudah melaksanakan pelatihan di tingkat provinsi. Selanjutnya dinas kesehatan provinsi melaksanakan pelatihan pada dinkes kabupaten/kota terpilih. Kriteria pemilihan dinas kesehatan kabupaten/kota adalah berdasarkan pertimbangan ketersediaan sumberdaya (dana, sumber daya manusia dan peralatan penunjang). Selanjutnya dinas kesehatan kabupaten/kota melatih lima orang petugas pada setiap puskesmas. Untuk pelaksanaan pelatihan di provinsi, anggaran yang digunakan adalah anggaran Pusat. Sedangkan untuk pelaksanaan pelatihan pada kabupaten/kota didukung dengan dana dekonsentrasi. Sasaran kelompok berisiko sampai tahun 2015 adalah Ibu Hamil (Bumil) dan tenaga kesehatan (nakes).

Beberapa provinsi telah melaksanakan deteksi dini hepatitis B menggunakan HBsAG terhadap kelompok berisiko selain bumil dan nakes, tetapi belum dilaporkan dalam pelaporan program. Oleh sebab itu di harapkan program mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan yang bisa menampung deteksi dini terhadap seluruh kelompok berisiko sebagaimana dijabarkan dalam Renstra.

3.7.3 Indikator Tatalaksana pneumonia menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan terpadu dalam tatalaksana balita sakit (World Health Organization, 2005). Kemenkes RI (2014) menjelaskan bahwa MTBS adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak berusia 0-59 bulan secara menyeluruh di unit rawat jalan fasilitas pelayanan kesehatan dasar.

Tata laksana MTBS berfokus kepada penyakit yang menjadi penyebab utama kematian, antara lain pneumonia, diare, malaria, campak dan kondisi yang diperberat oleh masalah gizi (malnutrisi dan anemia) (World Health Organization, 2005). Langkah pendekatan pada MTBS adalah dengan menggunakan algoritma sederhana yang digunakan oleh perawat dan bidan untuk mengatasi masalah kesakitan pada Balita. MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare, campak malaria, kurang gizi, yang sering merupakan kombinasi dari keadaan tersebut.

Pada Sirkesnas 2016, indikator MTBS yang diukur adalah “persentase kabupaten/kota yang 50 persen puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana pneumonia melalui program MTBS” dengan target pada tahun 2015 sebesar 20% persen Formula penghitungan capaian indikator ini adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2015) :

Page 175: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

151

3.7.3.1 Algoritma Indikator Puskesmas yang Sudah Menjalankan MTBS

Gambar 0.7 Algoritma dinas kesehatan dengan 50% puskesmas sudah menjalankan MTBS,

Sirkesnas 2016

Hasil survei menunjukan bahwa dari 264 kabupaten/kota, 67,0 persen dinkes kabupaten/kota yang 50 persen puskesmas di wilayah kerjanya sudah menerapkan MTBS. Persentase kabupaten dengan dinas kesehatan kota yang sudah menerapkan MTBS (64,1%) lebih rendah dibanding kota (81,8%).

3.7.3.2 Capaian indikator Puskesmas yang Sudah Menjalankan MTBS

Capaian indikator ini diperoleh dari kuesioner dinas kesehatan yaitu, jumlah puskesmas yang melaksanakan MTBS. Pelaksanaan program ini di dinas kesehatan masih terintegrasi dengan pelaksanaan MTBS lainnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 264 dinkes kabupaten/kota yang disurvei, terdapat 177 (67,0%) dinas kesehatan kabupaten/kota dengan 50 persen puskesmasnya sudah melaksanakan MTBS. Persentase dinas kesehatan dengan 50 persen puskesmasnya sudah melaksanakan MTBS di perkotaan lebih tinggi (81,8%) dibandingkan dengan kabupaten (64,0%). Terdapat 17% kabupaten/kota yang belum melaksanakan program MTBS (Tabel 3.7.6).

Page 176: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

152

Tabel 0.6 Persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya menjalankan

program MTBS, Sirkesnas 2016

Karakteristik Dinas Kesehatan

Jumlah kab/kota

Persentase kabupaten/kota dengan 50 % puskesmas melaksanakan MTBS

Ya Tidak Belum ada

Program MTBS

Kota 44 81,8 13,6 4,5

Kabupaten 220 64,0 16,3 19,5

Total 264 67,0 15,9 17,0

3.7.3.3 Pendukung dan Penjelasan Indikator Tatalaksana Pneumonia menggunakan pendekatan MTBS

Secara nasional, proporsi dinas kesehatan dengan puskesmas yang telah melaksanakan program MTBS paling rendah adalah 3,2 persen dan paling tinggi 100 persen; dengan rerata 86,4 persen. Untuk tatalaksana pneumonia dengan pendekatan MTBS, masih terdapat kabupaten/kota dengan puskemas yang tidak melaksanakannya (0%) (Tabel 3.7.7).

Tabel 0.7 Persentase dinas kesehatan yang melaksanakan program MTBS pada 2015,

Sirkesnas 2016

Pelaksanaan Kab/Kota Proporsi Dinas Kesehatan

Terendah Tertinggi Rerata

MTBS 264 3,2 100 86,4

Tatalaksana pneumonia dengan pendekatan MTBS

264 0,0 100 81,5

3.7.4 Indikator Pengendalian Vektor Terpadu

Salah satu indikator untuk pengendalian vektor pada Renstra Kemenkes 2015-2019 adalah “Persentase Kabupaten/Kota yang melakukan pengendalian vektor terpadu”. Target indikator ini untuk tahun 2015 sebesar 40 persen kabupaten/kota yang endemis melakukan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT). Formulasi Indikator di dalam Renstra adalah : Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan pengendalian vektor X 100% Jumlah kabupaten/kota endemis penyakit tular vektor dan penyakit zoonotik lain

Ada dua kebijakan yang menjelaskan tentang PVT yaitu :

1. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) terhadap vektor dan binatang pembawa penyakit dilakukan dengan berbagai metode (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2014) yaitu: a. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dengan metode

fisik yang dilakukan dengan cara paling sedikit mengubah salinitas dan/atau derajat keasaman (pH) air, memberikan radiasi, dan/atau pemasangan perangkap.

Page 177: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

153

b. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dengan metode kimia dilakukan dengan menggunakan bahan kimia.

c. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dengan metode biologi (paling sedikit) dilakukan dengan menggunakan protozoa, ikan dan/atau bakteri.

2. Upaya penyelenggaraan pengendalian vektor dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pihak swasta dengan menggunakan metode pendekatan PVT. Kemenkes RI (2010) menjelaskan bahwa PVT merupakan pendekatan pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas, efektifitas pelaksanaan serta kesinambungannya. Upaya pengendalian vektor dilaksanakan berdasarkan data hasil kajian surveilans epidemiologi antara lain informasi tentang vektor dan dinamika penularan penyakit tular vektor.

3.7.4.1 Algoritma Indikator Pengendalian Vektor Terpadu Survei ini melakukan pengamatan terhadap 264 kabupaten/kota terpilih.

Pengendalian penyakit tular vektor yang paling banyak dilakukan oleh kabupaten/kota terpilih tersebut adalah pengendalian penyakit tular vektor DBD yaitu sebesar 92,8 persen. Pengendalian penyakit tular vektor yang paling sedikit adalah pengendalian penyakit tular vektor filariasis yaitu 29,9 persen. Persentase tertinggi untuk kabupaten/kota yang telah melakukan pengendalian vektor terpadu adalah untuk penyakit tular vektor DBD yaitu sebesar 30,7 persen dan paling rendah filariasis sebesar 3,1 persen.

Gambar 0.8

Algoritma pengendalian vektor terpadu menurut jenis penyakit tular vektor, Sirkesnas 2016

Page 178: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

154

3.7.4.2 Capaian indikator Pengendalian Vektor Terpadu Kriteria pengendalian vektor terpadu yang diacu pada survei ini adalah

jika dalam pengendalian penyakit tular vektor menggunakan lebih dari satu metode pengendalian. Metode pengendalian tersebut adalah metode pengendalian kimia, biologis, dan fisik.

Pada Tabel 3.7.8. disajikan kabupaten/kota yang telah melakukan pengendalian vektor terpadu. Capaian indikator tertinggi adalah pada pengendalian penyakit tular vektor DBD yaitu 30,7 persen dan terendah pada pengendalian penyakit tular vektor filariasis yaitu 3,8 persen. Untuk target Kemenkes, pengendalian vektor terpadu tahun 2015 sebesar 40 persen belum ada kabupaten/kota yang dapat mencapai target tersebut.

Tabel 0.8

Persentase dinas kesehatan kabupaten/kota yang telah melakukan pengendalian vektor terpadu berdasarkan karakteristik tahun 2015,

Sirkesnas 2016

Karakteristik Jumlah

Kab/Kota

Pengendalian Penyakit Tular Vektor

Belum terpadu Terpadu Tidak ada

pengendalian

Malaria Kabupaten 220 49,5 13,2 37,3

Kota 44 29,5 13,6 56,8 Total 264 46,2 13,3 40,5

Filariasis Kabupaten 220 15,9 3,2 80,9

Kota 44 13,6 6,8 79,5 Total 264 15,5 3,8 80,7

DBD Kabupaten 220 64,1 25,9 10,0

Kota 44 45,5 54,5 ,0 Total 264 61,0 30,7 8,3

Cikungunya Kabupaten 220 21,8 11,8 66,4

Kota 44 18,2 22,7 59,1 Total 264 21,2 13,6 65,2

3.7.4.3 Pendukung dan penjelasan Indikator Pengendalian Vektor Terpadu

Pada Tabel 3.7.9 disajikan persentase dinas kesehatan kabupaten/kota yang telah melaksanakan pengendalian penyakit tular vektor pada tahun 2015. Perlu dipahami bahwa pemilihan kabupaten/kota yang menjadi lokasi survei dilakukan secara acak, tidak mempertimbangkan daerah endemisitas penyakit tular vektor tertentu dan tanpa mempertimbangkan jenis penyakit tular vektor yang dikendalikan pada setiap kabupaten/kota terpilih. Denominator yang digunakan dalam formulasi Indikator PVT pada survei ini adalah kabupaten/kota yang melakukan pengendalian penyakit tular vektor pada tahun 2015, bukan berdasarkan endemisitas. Kabupaten/kota paling banyak melakukan pengendalian terhadap penyakit tular vektor DBD sebesar 92,8 persen dan terendah adalah pengendalian filariasis 29,9 persen.

Page 179: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

155

Tabel 0.9 Persentase dinas kesehatan yang melakukan pengendalian

penyakit tular vektor berdasarkan jenis penyakit pada tahun 2015, Sirkesnas 2016

Jenis Penyakit Jumlah

kab/Kota

Pengendalian Penyakit Tular Vektor

Ya Tidak

Malaria

Kota 44 50,0 50,0 Kabupaten 220 70,0 30,0 Total 264 66,7 33,3

Filariasis

Kota 44 27,3 72,7 Kabupaten 220 30,5 69,5 Total 264 29,9 70,1

Demam Berdarah (DBD)

Kota 44 100,0 0,0 Kabupaten 220 91,4 8,6 Total 264 92,8 7,2

Cikungunya

Kota 44 59,1 40,9 Kabupaten 220 45,9 54,1 Total 264 48,1 51,9

Tabel 3.7.10 menyajikan persentase pelaksanaan program pengendalian

penyakit tular vektor pada dinas kesehatan kabupaten/kota tahun 2014 dan 2015. Dibanding tahun 2014 dan 2015, hampir di seluruh dinas kesehatan kabupaten/kota mengalami peningkatan persentase pengendalian penyakit tular vektor. Peningkatan tertinggi terlihat pada program pengendalian filariasis pada tahun 2014 sebesar 46,6 persen meningkat menjadi 52,6 persen tahun 2015. Peningkatan terendah terlihat pada program pengendalian leptospirosis dari 15,5 persen tahun 2014 menjadi 15,9 persen tahun 2015. Pengendalian chikungunya mengalami penurunan dari 39,0 persen tahun menjadi 38,6 persen tahun 2015.

Tabel 0.10 Pelaksanaan program pengendalian penyakit tular vektor menurut data dinas

kesehatan kabupaten/kota tahun 2014 dan 2015, Sirkesnas 2016

Jenis Penyakit N Pelaksanaan Program Pengendalian Penyakit Menular

2014 2015

Malaria 264 87,5 89,8

DBD 264 90,1 93,6

Cikungunya 264 39,0 38,6

Filariasis 264 46,6 52,7

Leptospirosis 264 15,5 15,9

Japanese Encephalitis 264 8,3 8,7

Pada pengendalian vektor terpadu diperlukan beberapa elemen kunci

dalam strategi manajemen menurut WHO (2012):

Page 180: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

156

1. Advokasi, berupa sosialisasi dan pendekatan untuk membuat kebijakan dengan sektor terkait, organisasi dan masyarakat, penguatan kebijakan dan perundang-undangan terhadap kesehatan masyarakat serta pemberdayaan masyarakat.

2. Kolaborasi, berupa kerjasama dengan sektor kesehatan dan sektor lainnya, berupa kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk sektor swasta dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, memperkuat komunikasi antara pembuat kebijakan, penanggungjawab program pengendalian penyakit dan mitra lain PVT.

3. Pendekatan terpadu, dengan memastikan pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mengatasi penyakit, mengintegrasikan metode kimia dan non kimia dengan metode lainnya dalam upaya pengendalian penyakit.

4. Berbasis bukti (Evidence base), berupa strategi adaptasi dan intervensi kondisi ekologi setempat, epidemiologi dan sumber daya, melalui operasional survei dan melakukan pengawasan dan evaluasi secara rutin.

5. Pengembangan kapasitas (Capacity building), berupa penyediaan infrastruktur yang diperlukan, sumber daya keuangan dan manusia di tingkat nasional dan lokal untuk mengelola PVT berdasarkan analisis situasi.

Survei ini juga mengamati ketersediaan elemen kunci tersebut pada dinas

kesehatan kabupaten/kota. Elemen Advokasi yang diamati adalah ketersediaan dokumen kebijakan

daerah yang menunjang PVT yaitu ketersediaan peraturan daerah, surat keputusan gubernur/bupati/walikota, surat edaran gubernur/bupati/walikota dan kebijakan daerah lainnya. Elemen kolaborasi yang diamati adalah keterlibatan sektor lain dalam upaya pengendalian penyakit tular vektor. Elemen keterpaduan pengendalian yang diamati adalah penggunaan metode biologis, kimia, fisik dan peran serta masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit tular vektor. Elemen Evidence base yang diamati dalam survei ini adalah penerapan survei sebagai salah satu pertimbangan dalam melaksanakan pengendalian penyakit tular vektor berupa adanya survei padat populasi jentik dan nyamuk, survei tempat perindukan, pemantauan resistensi jentik dan nyamuk serta suvei dinamika penularan. Elemen Capacity building yang diamati adalah ketersediaan sumber daya manusia dan peralatan penunjang pengendalian penyakit tular vektor.

Hasil survei ini menunjukkan bahwa belum ada kabupaten/kota yang sudah memiliki lima elemen kunci penunjang manajemen PVT. Kabupaten/kota baru memiliki dua elemen kunci penunjang manajemen PVT di wilayahnya yaitu 29,5 persen (Tabel 3.7.11.)

Page 181: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

157

Tabel 0.11 Proporsi dinas kesehatan kabupaten/kota menurut ketersediaan elemen kunci

penunjang strategi manajemen pengendalian vektor terpadu berdasarkan karakteristik dinas kesehatan tahun 2015, Sirkesnas 2016

Karakteristik Dinas Kesehatan

N

Elemen kunci

Tersedia Belum Tersedia Tidak Ada

Pengendalian Vektor

5 elemen kunci

Kota 70 0 92,9 7,1

Kabupaten 194 0 96,9 3,1

Total 264 0 95,8 4,2

4 elemen kunci

Kota 70 1,4 91,4 7,1

Kabupaten 194 0,5 96,4 3,1

Total 264 0,8 95,1 4,2

3 elemen kunci

Kota 70 4,3 88,6 7,1

Kabupaten 194 6,7 90,2 3,1

Total 264 6,1 89,8 4,2

2 elemen kunci

Kota 70 31,4 61,4 7,1

Kabupaten 194 28,9 68,0 3,1

Total 264 29,5 66,3 4,2

3.8 Indikator Program Penyakit Tidak Menular 3.8.1 Indikator persentase desa/kelurahan yang melaksanakan kegiatan Pos

Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak menular (Posbindu PTM)

Posbindu PTM merupakan kebijakan Pemerintah dalam kegiatan pelayanan kesehatan dengan memberdayakan peran serta masyarakat untuk mengurangi tingginya prevalensi penyakit tidak menular. Posbindu PTM meliputi kegiatan monitoring dan deteksi dini faktor risiko PTM terpadu (penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes, penyakit paru obstruktif akut dan kanker) serta gangguan akibat kecelakaan dan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dikelola oleh masyarakat melalui pembinaan terpadu. Posbindu PTM merupakan wujud peran serta masyarakat dalam melakukan kegiatan deteksi dini dan monitoring faktor risiko PTM serta tindak lanjutnya yang dilaksanakan secara terpadu, rutin dan periodik dibawah bimbingan puskesmas. Kegiatan posbindu PTM diharapkan dapat meningkatkan sikap mawas diri masyarakat terhadap faktor risiko PTM sehingga peningkatan kasus PTM dapat dicegah. Kegiatan ini dimulai dari tingkat desa/ kelurahan (Kementerian Kesehatan RI Dirjen PP&PL, 2012 dan 2013).

Page 182: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

158

Definisi Operasional : Persentase desa/kelurahan yang melaksanakan kegiatan posbindu PTM

yaitu deteksi dini dan monitoring faktor risiko PTM secara rutin minimal pada 10 persen penduduk umur ≥ 15 tahun di wilayah tersebut.

Tabel 3.8.1

Persentase desa/kelurahan melaksanakan posbindu PTM di Indonesia, Sirkesnas 2016

Lokasi N n desa memiliki Posbindu

PTM %

Perkotaan 1.301 763 58,6

Perdesaan 1.489 772 51,8

Total 2.790 1.535 55,0

Cat: Sampel Dinkes dengan 264 kabupaten/kota tanpa memperhitungkan minimal 10%

penduduk ≥15 tahun (tidak ada data penduduk di tingkat desa/kelurahan)

Berdasarkan data yang dikumpulkan, dari 264 kabupaten/kota, terdapat 2.790 desa/kelurahan. Desa/kelurahan yang telah mempunyai posbindu PTM di wilayahnya sebanyak 1.535 (55,0%), tersebar 58,6 persen di perkotaan dan 51,8 persen di perdesaan. Data tersebut tanpa memperhitungkan minimal 10 persen penduduk ≥15 tahun, karena tidak ada data penduduk di tingkat desa/kelurahan. Hasil ini sudah melampaui target Renstra untuk 2015 sebesar 10 persen (Kementerian Kesehatan, 2015).

Tabel 3.8.2 Proporsi puskesmas yang mempunyai posbindu PTM,

Sirkesnas 2016

Lokasi N

Posbindu PTM

Belum ada posbindu PTM

Ada posbindu PTM

Perkotaan 196 10,2 89,8

Perdesaan 143 16,1 83,9

Total 339 12,7 87,3

Page 183: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

159

Tabel 3.8.3 Proporsi Puskesmas yang mempunyai Posbindu PTM aktif,

Sirkesnas 2016

Lokasi Kategori proporsi posbindu PTM aktif (%)

Tidak aktif <10 10-<20 20-<30 30-<40 40-<50 ≥50

Perkotaan 3,6 0,5 3,6 5,6 4,6 2,6 69,4

Perdesaan 1,4 0,7 3,5 1,4 3,5 1,4 72

Total 2,7 0,6 3,5 3,8 4,1 2,1 70,5

Dari 296 posbindu PTM yang ada di bawah pengawasan puskesmas

tersebut, memiliki keaktifan kegiatan yang bervariasi. Terdapat 70,5 persen puskesmas dengan posbindu PTM aktif ≥ 50 persen, sedangkan kegiatan posbindu aktif minimal 10 persen di wilayah kerjanya sebesar 84,0 persen. Sebanyak 2,7 persen puskesmas dengan Posbindu PTM yang tidak aktif dari total puskesmas 339 (Tabel 3.8.3). 3.8.2 Indikator Puskesmas yang melaksanakan pengendalian PTM Terpadu

Pengendalian PTM hendaknya dilakukan terpadu setidaknya untuk hipertensi dan diabetes. Pengendalian terpadu dapat dilakukan dengan pengorganisasian masyarakat melalui kegiatan posbindu PTM dan lain-lain seperti kelompok masyarakat dalam pengajian, lansia. PTM terpadu meliputi pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) seperti hipertensi, stroke, penyakit jantung koroner; diabetes; penyakit paru menahun (PPOK, Asma); kanker (leher rahim, payudara dan anak), penyakit kronis lain (thalasemia, SLE, osteoporosis).

Definisi Operasional:

Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan deteksi dini faktor risiko PTM terpadu minimal melalui kegiatan posbindu PTM pada minimal 10 persen desa/kelurahan di wilayah kerjanya dan melaksanakan pengendalian hipertensi dan diabetes melitus terintegrasi (yang ditandai dengan adanya data tentang prediksi faktor risiko penyakit jantung dan stroke 10 tahun ke depan/diagram Carta). Target dalam Renstra pada tahun 2015 adalah 10 persen puskesmas yang telah melaksanakan PTM terpadu.

Page 184: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

160

Tabel 3.8.4 Persentase puskesmas yang memiliki ≥10 persen desa melaksanakan

pengendalian PTM berdasarkan lokasi dan jenis puskesmas, Sirkesnas 2016

Puskesmas

N

>= 10% desa < 10% desa Tidak ada Posbindu Tidak ada data

N % n % n % n %

Lokasi PKM

Perkotaan 217 190 87,6 7 3,2 16 7,4 4 1,8

Perdesaan 183 132 72,1 11 6,0 35 19,1 5 2,7

Jenis PKM Perawatan 154 125 81,2 8 5,2 17 11,0 4 2,6

Non Perawatan 246 197 80,1 10 4,1 34 13,8 5 2,0

Total 400 322 80,5 18 4,5 51 12,8 9 2,3

Tabel 3.8.4. menunjukkan bahwa sebanyak 80,5 persen puskesmas

memiliki ≥ 10% desa yang melaksanakan pengendalian PTM terpadu. Hasil ini sudah melampaui target Renstra untuk tahun 2015 sebesar 10 persen. Namun demikian masih ditemukan 51 puskesmas (12,8%) yang tidak memiliki Posbindu PTM.

Tabel 3.8.5 Persentase puskesmas melaksanakan pelayanan PTM terpadu berdasarkan

lokasi dan jenis puskesmas, Sirkesnas 2016

Pelatihan dan Pelayanan

PTM Terpadu Puskesmas

Tenaga dilatih PTM Terpadu

Keberadaan Pelayanan PTM Terpadu

Jumlah tersedia

% Jumlah tersedia

%

Lokasi Puskesmas

Perkotaan 217 130 59,9 107 82,3

Perdesaan 183 80 43,7 57 71,3

Jenis Puskesmas

Perawatan 172 84 48,8 64 76,2

Non Perawatan 228 126 55,3 100 79,4

Total 400 210 52,5 164 78,1

Pada Tabel 3.8.5 di atas terlihat bahwa dari 400 puskesmas terdapat 210 puskesmas (52,5%) yang tenaga kesehatannya sudah dilatih PTM terpadu. Dari 210 puskesmas tersebut, 164 puskesmas diantaranya (78,1%) sudah melaksanakan pelayanan PTM terpadu. Hasil ini sudah melampaui target Renstra 2015, puskesmas yang melaksanakan pelayanan posbindu terpadu sebesar 10%.

Page 185: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

161

3.8.3 Indikator Perempuan umur 30-50 tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara

Kanker payudara dan kanker serviks merupakan 2 jenis kanker terbanyak pada perempuan baik di negara maju maupun berkembang. Demikian juga di Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdas 2013, kanker payudara dan serviks merupakan kanker terbanyak pada perempuan. Kanker payudara merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar, dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara. Insiden kanker payudara meningkat di negara berkembang termasuk di Indonesia karena meningkatnya umur harapan hidup, urbanisasi dan adopsi gaya hidup Barat.

Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah kanker payudara banyak didiagnosis sudah pada stadium lanjut. Oleh karena itu, deteksi dini kanker payudara sangat diperlukan untuk mengidentifikasi secara dini adanya kanker payudara sehingga diharapkan dapat diterapi dengan teknik yang dampak fisiknya kecil dan punya peluang lebih besar untuk sembuh (Kementerian Kesehatan RI Dirjen PP&PL, 2015). Deteksi dini kanker payudara dapat dilakukan dengan Periksa Payudara Sendiri (Sadari) dengan cara yang benar, Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis), USG payudara maupun mammografi (PERABOI, 2003).

Kanker serviks merupakan keganasan yang terjadi pada leher rahim, bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama. Insiden kanker serviks semakin tahun semakin bertambah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri Ginekologi FKUI di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, sebagian besar insiden terjadi pada kelompok umur 35-64 tahun (87,3%) dengan puncak pada kelompok umur 40-59 tahun (71,3%) (Kementerian Kesehatan RI Dirjen PP&PL, 2015).

Serupa dengan kanker payudara, pasien kanker serviks sering didiagnosis/datang ke fasilitas kesehatan sudah dalam kondisi stadium lanjut. Deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan pap smear. Inspeksi Visual asam asetat dilakukan oleh dokter/bidan terlatih, dilakukan dengan mengoleskan asam asetat pada Sambungan Skuamo Kolumnar (SSK). Pemeriksaan IVA dikatakan positif bila ditemukan bercak putih (acetowhite) pada serviks sebagai tanda lesi prakanker serviks (Nuranna L, Aziz M, Cornain S, 2012; Kementerian Kesehatan RI Dirjen PP&PL, 2015).

Untuk menunjang hal tersebut, Pemerintah melakukan program penanggulangan kanker payudara dan kanker leher rahim yang tertuang dalam Permenkes No. 34 tahun 2015. Program pelayanan kesehatan masyarakat berkesinambungan dibidang penyakit kanker payudara dan kanker leher rahim yang mengutamakan aspek promotif dan preventif kepada masyarakat disertai pelayanan kesehatan perorangan secara kuratif dan rehabilitatif serta paliatif yang berasal dari masyarakat sasaran program maupun atas inisiatif perorangan itu sendiri yang dilaksanakan secara komprehensif, efektif, dan efisien. Renstra 2015 menargetkan 10 persen perempuan usia 30-50 tahun yang dideteksi dini kanker serviks dan payudara.

Page 186: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

162

Definisi Operasional: Persentase perempuan umur 30- 50 tahun dideteksi dini kanker serviks

dan payudara adalah jumlah perempuan umur 30-50 tahun yang dilakukan deteksi dini melalui metoda Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) atau papsmear untuk kanker leher rahim dan pemeriksaan payudara klinis (Sadanis) untuk kanker payudara.

3.8.3.1 Deteksi Dini Kanker Payudara

Deteksi dini kanker payudara dalam Sirkesnas 2016 ditanyakan kepada responden perempuan umur ≥ 20 tahun apakah sudah pernah melakukan Sadanis dibantu dengan kartu peraga. Pada Tabel 3.8.6 memperlihatkan proporsi perempuan umur ≥ 20 tahun yang melakukan Sadari 23,3 persen sedangkan Sadanis hanya 3,5 persen. Perempuan yang melakukan Sadari di perkotaan sebesar 32,4 persen dan di perdesaan 14,3 persen. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan Sadanis, perempuan umur ≥ 20 tahun yang melakukannya di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan (4,2 dan 2,8%). Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan perempuan masih enggan datang ke fasilitas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan Sadanis, lebih memilih pemeriksaan payudara sendiri. Perlunya edukasi yang lebih intensif mengenai kanker payudara dan deteksi dini yang dilakukan oleh petugas kesehatan kepada masyarakat.

Tabel 3.8.6 Perempuan umur ≥20 tahun yang melakukan deteksi dini

kanker payudara dengan Sadari dan Sadanis berdasarkan tempat tinggal*), Sirkesnas 2016

Tempat tinggal

Deteksi dini kanker payudara

N

Sadari Sadanis

Ya Tidak Ya Tidak

n % n % n % N %

Perkotaan 6.429 2.086 32,4 4.343 67,6 269 4,2 6.159 95,8

Perdesaan 6.493 931 14,3 5.562 85,7 183 2,8 6.310 97,2

Total 12.922 3.017 23,3 9.905 76,7 452 3,5 12.469 96,5

*) data individu/komunitas

3.8.3.2 Deteksi Dini Kanker Serviks

Deteksi dini kanker payudara dalam Sirkesnas 2016 ditanyakan kepada responden perempuan yang sudah melakukan hubungan seksual apakah sudah pernah melakukan pemeriksaan IVA maupun pap smear dibantu dengan kartu peraga. Sebanyak 319 orang (2,5%) dari 12.574 perempuan dengan status kawin, cerai hidup, hidup bersama atau hidup pisah melakukan pemeriksaan deteksi kanker serviks dalam 5 tahun terakhir.

Page 187: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

163

Tabel 3.8.7 Proporsi perempuan umur ≥ 20 tahun yang melakukan deteksi dini

kanker serviks dengan IVA atau pap smear berdasarkan tempat tinggal*), Sirkesnas 2016

Tempat tinggal

Deteksi dini kanker serviks

N

IVA Pap smear

Ya Tidak Ya Tidak

N % N % n % N %

Perkotaan 6.178 202 3,3 5.976 96,7 278 4,5 5.900 95,5

Perdesaan 6.396 117 1,8 6.278 98,2 61 1,0 6.335 99,0

Total 12.574 319 2,5 12.254 97,5 339 2,7 12.235 97,3

*) data individu/komunitas

Proporsi perempuan umur ≥ 20 tahun yang melakukan pemeriksaan IVA

di Indonesia sebesar 2,5 persen. Di perkotaan sebesar 3,3 persen dan di perdesaan 1,8 persen. Sedangkan proporsi perempuan umur ≥ 20 tahun yang pernah melakukan pemeriksaan pap smear sebesar 2,7 persen, di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan (4,5 dan 1,0%). Hasil di atas juga menunjukkan bahwa pemeriksaan pap smear lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan IVA, padahal pemeriksaan IVA lebih terjangkau dari biaya maupun aksesnya (dapat dilakukan di puskesmas). Hal ini kemungkinan disebabkan karena masyarakat lebih mengetahui program pap smear dibandingkan IVA.

Dari segi tenaga yang sudah dilatih, terdapat 264 dari 400 puskesmas (66,0%) yang tenaga kesehatannya sudah dilatih IVA (78,8% puskesmas perkotaan dan 50,8% perdesaan). Sebanyak 83,0% puskesmas yang tenaga kesehatannya sudah dilatih IVA tersebut sudah melaksanakan pelayanan pemeriksaan IVA. Hasil tersebut dapat dilihat pada lampiran Tabel 63. 3.8.3.3 Indikator Deteksi Dini Kanker Payudara dan Serviks

Proporsi perempuan umur 30-50 tahun yang telah melaksanakan deteksi dini kanker payudara dan serviks baru sebesar 1,0 persen. Hasil ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan target capaian deteksi dini dalam Renstra pada tahun 2015 sebesar 10 persen. Hal ini dapat dimungkinkan karena kurangnya sosialisasi deteksi dini kanker payudara dan kanker serviks sehingga perlu dilakukan sosialisasi yang lebih gencar di kalangan masyarakat, koordinasi terpadu dengan pengambil keputusan terkait (Tabel 3.8.8)

Page 188: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

164

Tabel 3.8.8 Proporsi perempuan umur 30-50 tahun yang pernah melakukan deteksi dini kanker payudara dan serviks berdasarkan tempat tinggal, Sirkesnas 2016

Tempat tinggal N

Deteksi dini kanker payudara dan serviks

Ya Tidak

n % N %

Perkotaan 7.450 92 1,2 7.358 98,8

Perdesaan 7.474 54 0,7 7.420 99,3

Total 14. 924 146 1,0 14.778 99,0

Proporsi deteksi dini kanker payudara atau serviks pada perempuan umur

30-50 tahun, didapatkan sebesar 1,0 persen. Hal ini dilakukan mengingat, tidak semua responden yang melakukan pemeriksaan sadanis (belum menikah) dilakukan pemeriksaan IVA atau pap smear (Tabel 3.8.8). Hasil ini juga masih lebih rendah dibandingkan dengan target capaian deteksi dini dalam Renstra pada tahun 2015 (10%). Jadi masih tetap perlu dilakukan sosialisasi yang lebih gencar di masyarakat dan koordinasi terpadu dengan pengambil keputusan.

Tabel 3.8.9

Proporsi perempuan umur 30-50 tahun yang pernah melakukan pemeriksaan Sadanis, IVA untuk deteksi dini berdasarkan tempat tinggal, Sirkesnas 2016

Tempat tinggal N

Pemeriksaan

IVA Sadanis

Ya Tidak Ya Tidak

N % n % n % n %

Perkotaan 7317 308 4,2 7009 95,8 351 4,7 7098 95,3

Perdesaan 7405 161 2,2 7244 97,8 209 2,8 7265 97,2

Total 14.722 469 3,2 14.253 96,8 560 3,8 14.363 96,2

Tabel 3.8.9 menunjukkan bahwa proporsi perempuan umur 30—50 tahun

yang melakukan pemeriksaan IVA di Indonesia sebesar 3,2 persen. Sedangkan proporsi perempuan umur 30—50 tahun yang pernah melakukan Sadanis sebesar 3,8 persen, di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan (4,7 dan 2,8%). Hasil ini tidak terlalu jauh bila dibandingkan dengan data puskesmas, perempuan 30—50 tahun yang pernah diperiksa IVA sebesar 3,8 persen dan Sadanis 4,0 persen (lampiran Tabel 65 dan 66).

Page 189: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

165

3.8.4 Indikator Kabupaten/Kota yang Melakukan Pemeriksaan Kesehatan Pengemudi di Terminal Utama

Adanya komitmen global dan nasional melalui Decade of Action (DoA) for Road Safety 2011-2020 yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengurangi tingkat fatalitas korban kecelakaan lalu lintas secara global, maka setiap negara anggota dituntut untuk meningkatkan kegiatan yang dijalankan pada skala nasional, regional dan global. Untuk itu Pemerintah melakukan pencatatan tentang kabupaten/kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama. Definisi Operasional :

Persentase kabupaten/kota yang melakukan pemeriksaan kesehatan pengemudi di terminal utama. Dalam hal ini pengemudi adalah pengemudi bus Antar Kabupaten Antar Provinsi (AKAP), Pengemudi bus Antar Kabupaten Dalam Provinsi (AKDP) pengemudi Pariwisata dan pengemudi angkutan umum.

Tabel 3.8.10

Proporsi kabupaten/kota yang sudah mempunyai program pemeriksaan kesehatan pengemudi berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016

Lokasi N Di terminal utama

Di PO Bus/travel/ angkot

Tidak ada program pemeriksaan

n % n % n %

Kota 44 16 36,4 7 15,9 21 47,7

Kabupaten 220 31 14,1 20 9,1 169 76,8

Total 264 47 17,8 27 10,2 190 72,0

Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan, proporsi kabupaten/kota yang

mempunyai program pemeriksaan pengemudi di terminal utama sebanyak 47 (17,8%) dari 264 kabupaten/kota. Proporsi kota yang mempunyai program pemeriksaan kesehatan pengemudi lebih tinggi dibandingkan di kabupaten. Sebanyak 190 kabupaten/kota (72%) tidak mempunyai program pemeriksaan pengemudi di terminal utama (Tabel 3.8.10). Hasil ini telah melampaui target Renstra pada tahun 2015 sebesar 10 persen. 3.8.5 Indikator kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok (KTR), minimal 50 persen sekolah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang

dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap, dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. Kawasan Tanpa Rokok yang dimaksud sesuai dengan Pedoman Pengembangan KTR Kementerian Kesehatan RI adalah:

Page 190: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

166

1. Tempat kerja yaitu tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya;

2. Tempat proses belajar mengajar yaitu gedung yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan;

3. Fasilitas pelayanan kesehatan yaitu suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat;

4. Tempat anak bermain yaitu area tertutup maupun terbuka yang digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak;

5. Tempat ibadah yaitu bangunan atau ruang tertutup yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga;

6. Tempat umum yaitu semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan/atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat;

7. Angkutan umum yaitu alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi.

Definisi operasional:

Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50 persen sekolah. Indikator Renstra untuk KTR: persentase kabupaten/kota yang memiliki peraturan dan kebijakan KTR dalam bentuk SE, SK, Instruksi, Peraturan Walikota/Peraturan Bupati/Peraturan Daerah dan telah menerapkan pada minimal 50 persen tempat proses belajar mengajar di sekolah.

Yang dimaksud dengan menerapkan adalah: 1. Tidak ditemukan orang merokok di dalam gedung; 2. Tidak ditemukan ruang merokok di dalam gedung; 3. Tidak tercium bau rokok; 4. Tidak ditemukan puntung rokok; 5. Tidak ditemukan penjualan rokok; 6. Tidak ditemukan asbak atau korek api; 7. Tidak ditemukan iklan atau promosi rokok; 8. Ada tanda dilarang merokok.

Data Sirkesnas 2016 untuk indikator ini, hanya berdasarkan catatan yang ada di dinas kesehatan kabupaten/kota, tanpa memperhatikan/melakukan observasi penerapan 8 syarat KTR yang tersebut di atas (dalam catatan dinas tidak dirinci 8 kegiatan tersebut).

Sejumlah 264 sampel kabupaten/kota dalam Sirkesnas 2016, sebanyak 171 kabupaten/kota (64,8%) menyatakan menerapkan kebijakan KTR. Di daerah kota lebih banyak terdapat KTR dibandingkan kabupaten (90,9 dan 59,5%).

Page 191: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

167

Bentuk peraturan KTR sangat bervariasi di kota maupun di kabupaten. Peraturan KTR dapat berupa Peraturan Daerah (51,5%), Peraturan Gubernur (33,9%), Peraturan Bupati (62,6%) dan Surat Edaran (34,5%). Hasil ini dapat dilihat di lampiran Tabel 68, sedangkan persentase kabupaten/kota yang menerapkan KTR menurut tempat penerapannya dapat dilihat pada lampiran Tabel 69.

Dalam survei tercatat hanya 151 (57,2%) kabupaten/kota yang memiliki data tentang KTR. Lebih dari separuh (52,3%) kabupaten/kota dengan sekolah belum menerapkan KTR. Persentase kabupaten/kota dengan ≥50 persen sekolah yang menerapkan peraturan KTR adalah 15,9 persen. Hasil ini 5,9 persen melebihi target Renstra pada tahun 2015 sebesar 10 persen.

Tabel 3.8.11 Persentase (%) sekolah yang menerapkan

peraturan KTR berdasarkan lokasi, Sirkesnas 2016

Lokasi N

Kab/Kota dengan Sekolah memiliki

KTR

% sekolah

≥50% menerapkan

KTR

<50% menerapkan

KTR

Tidak menerapkan KTR

Kota 44 29 (65,9) 24,1 27,6 48,3

Kabupaten 220 122 (55,5) 13,9 32,8 53,3

Total 264 151 (57,2) 15,9 31,8 52,3

Catatatan: Sebanyak 113 (264-151) kabupaten/kota tidak ada data KTR. Hanya 151 kab/kota dengan data KTR

3.8.6 Indikator prevalensi merokok penduduk pada umur ≤ 18 tahun

(10 - 18 tahun)

Kebiasaan merokok pada remaja atau perokok pemula merupakan salah satu fokus masalah konsumsi tembakau yang menjadi program utama Kementerian Kesehatan. Kebiasaan merokok ditetapkan berdasarkan pengakuan responden melalui wawancara, meliputi kebiasan merokok saat ini, mantan perokok dan tidak merokok. Kebiasaan merokok saat ini meliputi merokok setiap hari dan kadang-kadang dalam satu bulan terakhir. Mantan perokok mencakup tidak pernah merokok dalam satu bulan terakhir tetapi pernah merokok sebelumnya baik setiap hari maupun kadang-kadang, sedangkan tidak merokok yaitu responden yang sama sekali tidak pernah merokok selama hidupnya. Populasi sampel laki-laki dan perempuan pada kelompok umur ≤ 18 tahun (10-18 tahun) adalah sebesar 13.265 orang. Prevalensi kebiasaan merokok saat ini pada populasi umur muda (10-18 tahun) secara nasional adalah sebesar 8,8 persen dengan prevalensi 17,2 persen pada laki-laki serta 0,2 persen pada perempuan (Tabel 3.8.12). Hasil ini justru lebih tinggi dari baseline RPJMN untuk indikator prevalensi merokok penduduk usia 10-18 tahun sebesar 7,2 persen dan semakin menjauh dari target 2019 (5,4%).

Page 192: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

168

Tabel 3.8.12

Prevalensi merokok pada populasi umur 10–18 tahun berdasarkan jenis kelamin, Sirkesnas 2016

Jenis Kelamin N

Status

merokok saat ini mantan perokok tidak merokok

N % n % n %

Laki-laki 6.692 1.153 17,2 553 8,3 4.986 74,5

Perempuan 6.573 13 0,2 25 0,4 6.535 99,4

Total 13.265 1.166 8,8 578 4,4 11.521 86,9

Gambar 3.8.1

Prevalensi merokok pada populasi umur 10–18 tahun pada Riskesdas 2013 dan Sirkesnas 2016

Gambar 3.8.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebiasaan merokok pada

umur muda hasil Sirkesnas 2016 lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2013 yang digunakan sebagai baseline RPJMN untuk indikator ini. Prevalensi merokok pada umur 10-18 tahun pada tahun 2013 berdasarkan Riskesdas adalah sebesar 7,2 persen, prevalensi terbesar adalah pada remaja laki-laki (14% pada laki-laki dan 0,2% pada perempuan).

Page 193: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

169

3.8.7 Indikator prevalensi tekanan darah tinggi pada penduduk usia ≥ 18 tahun

Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dalam Sirkesnas 2016, hipertensi dinilai melalui 2 cara yaitu wawancara dan pengukuran. Melalui wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis hipertensi oleh nakes, dan kondisi sedang minum obat anti-hipertensi saat ini. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan melalui pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran kedua berbeda ≥10 mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ketiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi (Paul A. James, MD; Suzanne Oparil, MD; Barry L. Carter, PharmD; et.al, 2014).

Prevalensi hipertensi diperhitungkan pada kelompok umur ≥18 tahun. Hipertensi ditegakkan berdasarkan kriteria Joint National Committee (JNC VIII) 2014, apabila tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah distolik ≥90 mmHg. Sasaran RPJMN 2015-2019 adalah prevalensi tekanan darah tinggi pada penduduk umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen pada tahun 2013 dengan target penurunan menjadi 23,4 persen pada tahun 2019.

Gambar 3.8.2 Algoritma sampel responden hipertensi umur ≥18 tahun berdasarkan diagnosis nakes dan

pengukuran serta kepatuhan minum obat, Sirkesnas 2016

Diagnosis nakes Pengukuran

Tidak hipertensi n=16.675 (67,62%)

Hipertensi n= 7.985 (32,38%)

Hipertensi n= 3.375 (13,38%)

Tidak hipertensi n=21.285 (86,31%)

Laki-laki n=1.121

Perempuan n=2.254

Patuh minum obat n= 340 (30,0%)

Tidak patuh minum obat

n= 781 (70,0%)

Patuh minum obat n= 693 (30,7%)

Tidak patuh minum obat

n= 1.561 (69,3%)

Responden umur ≥18 th N= 24.660

Page 194: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

170

Jumlah responden pada kelompok umur ≥ 18 tahun sebanyak 24.660 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak 11.324 dan perempuan sebanyak 13.336 orang. Prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran sebesar 32,38 persen (laki-laki 30%, sedangkan perempuan 34,4 %). Prevalensi kelompok umur ≥ 18 tahun yang pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan menderita hipertensi yaitu 13,38 persen (laki-laki 9,9%, sedangkan perempuan 16,9%). Dari responden yang pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan, ditanyakan lebih lanjut apakah saat ini minum obat antihipertensi. Pertanyaan ini bertujuan untuk mengetahui kepatuhan minum obat antihipertensi. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan, hanya sekitar 30 persen responden yang pernah didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan, masih patuh minum obat antihipertensi.

Hasil survei nasional selama kurun waktu 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan perubahan prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran. Gambar 3.8.3 menunjukkan hipertensi berdasarkan pengukuran pada Sirkesnas 2016 sebesar 32,4 persen, lebih tinggi dibandingkan Riskesdas 2013 (25,8%) dan relatif tidak berbeda dibandingkan Riskesdas 2007 (31,7%). Kecenderungan prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis nakes melalui wawancara pada tahun 2016 (12,9%) lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 dan 2007 (9,5 dan 7,6%). Proporsi minum obat antihipertensi menunjukkan kecenderungan lebih tinggi pada tahun 2016 (3,9%) dibandingkan tahun 2013 (0,7%) dan 2007 (0,4%).

*) pengukuran pada kelompok umur ≥18 tahun **) diagnosis nakes dan minum obat berdasarkan wawancara (≥15tahun)

Gambar 3.8.3 Kecenderungan hipertensi berdasarkan pengukuran*, diagnosis nakes** dan

kepatuhan minum obat**, Riskesdas 2007 dan 2013, Sirkesnas 2016

Page 195: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

171

Peningkatan hipertensi melalui diagnosis nakes dan minum obat antihipertensi pada tahun 2016, diperkirakan juga karena kesadaran masyarakat yang semakin membaik untuk memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan dan kepatuhan minum obat. Meskipun demikian, keadaan ini belum diikuti oleh penurunan prevalensi hipertensi. Hasil ini menunjukkan bahwa target untuk terjadinya penurunan prevalensi hipertensi belum memenuhi target. Perlu edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat sebagai upaya pencegahan terjadinya hipertensi.

Gambar 3.8.4

Prevalensi responden yang minum obat pada yang didiagnosis hipertensi oleh

nakes, Sirkesnas 2016

Prevalensi responden yang minum obat anti hipertensi (OAH) pada yang

didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan hanya sebesar 30,5 persen. Dari responden yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan minum OAH tersebut hanya 21,7 persen yang tekanan darah pada saat pengukuran menunjukkan tidak hipertensi/terkontrol sedangkan 78,3 persen tidak terkontrol (Gambar 3.8.4). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran responden untuk minum OAH masih rendah atau tata cara minum obat yang belum tepat. Perlu upaya edukasi yang lebih intensif tentang pentingnya minum obat dan tata cara minum obat yang tepat agar hipertensi dapat terkontrol.

3.9 Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional

Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan obat dan cara berdasarkan pengalaman dan keterampilan turun-temurun secara empiris, yang dapat dipertanggungjawabkan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pelayanan kesehatan tradisional mencakup pelayanan kesehatan tradisional ramuan dan pelayanan kesehatan tradisional keterampilan.

Data untuk menilai indikator program Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Komplementer (Yankestradkom) diperoleh dari puskesmas dan

Page 196: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

172

dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Oleh karena itu blok pelayanan kesehatan tradisional hanya terdapat peada 2 kuesioner, yaitu untuk dinas kesehatan kabupaten/kota dan puskesmas. Komunitas/masyarakat tidak diambil sebagai sumber data indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad).

Indikator Direktorat Yankestradkom yang dinilai dalam survei ini adalah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan tradisional terhadap masyarakat di wilayah kerjanya, yang memenuhi salah satu kriteria di bawah ini: 1. Puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan sudah dilatih bidang Kesehatan

Tradisional (Kestrad). 2. Puskesmas yang melaksanakan asuhan mandiri kestrad ramuan dan

keterampilan. 3. Puskesmas yang melaksanakan kegiatan pembinaan meliputi pengumpulan

data kesehatan tradisional, fasilitasi registrasi/perizinan dan bimbingan teknis serta pemantauan pelayanan kesehatan tradisional.

Kriteria ketiga tidak dilibatkan dalam proses analisis data Sirkesnas 2016, karena pembinaan merupakan tanggung jawab dari dinas kesehatan kabupaten/kota. Sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019, target indikator tersebut pada tahun 2015 adalah 15 persen puskesmas melaksanakan pelayanan kesehatan tradisional (Kemenkes, 2015).

3.9.1 Capaian Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional di Puskesmas

Puskesmas yang sudah melaksanakan program pelayanan kesehatan tradisional di Indonesia sebanyak 39,8 persen. Menurut lokasi, puskesmas perkotaan yang sudah melaksanakan program pelayanan kesehatan tradisional lebih banyak daripada puskesmas perdesaan (Tabel 3.9.1).

Tabel 3.9.1 Puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional

berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik Puskesmas N

Puskesmas penyelenggara program yankestrad

Ya Tidak

N % N %

Lokasi

- Perkotaan 217 107 49,3 110 50,7

- Perdesaan 183 52 28,4 131 71,6

Nasional 400 159 39,8 241 60,3

Sementara itu diantara puskesmas penyelenggara program pelayanan

kesehatan tradisional, puskesmas yang memenuhi salah satu kriteria indikator yang telah ditetapkan adalah 78,6 persen (Tabel 3.9.2). Capaian tersebut telah melampaui target yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 (15%).

Page 197: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

173

Tabel 3.9.2 Puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional yang

memenuhi salah satu kriteria indikator berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik Puskesmas N

Puskesmas penyeleggara program yankestrad yang memenuhi salah kriteria indikator

Ya Tidak

n % n %

Lokasi

Perkotaan 107 86 80,4 21 19,6

Perdesaan 52 39 75,0 13 25,0

Nasional 159 125 78,6 34 21,4

Berdasarkan lokasi, puskesmas di perkotaan yang sudah melaksanakan

program yankestrad bagi masyarakat lebih tinggi (80,4%) daripada perdesaan (75,0%).

3.9.2 Capaian Kriteria Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional di

Puskesmas

Pada tabel 3.9.3 terlihat bahwa diantara puskesmas penyelenggara pelayanan kesehatan tradisional, puskesmas yang telah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan dilatih yankestrad periode tahun 2011-2015 adalah sebanyak 58,5 persen. Persentase puskesmas perkotaan (61,7%) dengan SDM yang sudah dilatih yankestrad lebih tinggi daripada puskesmas perdesaan (51,9%).

Tabel 3.9.3 Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang memiliki SDM sudah dilatih

pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik Puskesmas N

Puskesmas penyeleggara program yankestrad yang memiliki SDM sudah dilatih yankestrad

Ya Tidak

n % n %

Lokasi

Perkotaan 107 66 61,7 41 38,3

Perdesaan 52 27 51,9 25 48,1

Nasional 159 93 58,5 66 41,5

Page 198: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

174

Tabel 3.9.4 menunjukkan bahwa 54,1 persen puskesmas penyelenggara program pelayanan kesehatan tradisional sudah melaksanakan asuhan mandiri bidang kesehatan tradisional. Persentase puskesmas di perkotaan (57,0%) lebih tinggi daripada persentase puskesmas di perdesaan (48,1%).

Tabel 3.9.4 Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang sudah menjalankan

kegiatan asuhan mandiri bidang kesehatan tradisional berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik Puskesmas N

Puskesmas penyelenggara program yankestrad yang sudah menjalankan kegiatan asuhan mandiri bidang

kestrad

Ya Tidak

n % n %

Lokasi

- Perkotaan 107 61 57,0 46 43,0

- Perdesaan 52 25 48,1 27 51,9

Nasional 159 86 54,1 73 45,9

3.9.3 Rekomendasi Perbaikan Indikator Pelayanan Kesehatan Tradisional

Indikator pelayanan kesehatan tradisional yang sudah ada belum terlalu spesifik menggambarkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional bagi masyarakat di wilayah kerja puskesmas. Definisi operasional indikator yang hanya mensyaratkan salah satu dari kriteria indikator menyebabkan target indikator kinerja mudah untuk dicapai. Sebaiknya, definisi operasional indikator mensyaratkan terpenuhinya seluruh kriteria indikator yang telah ditetapkan, sehingga dapat menggambarkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional di masyarakat. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa 34 persen puskesmas penyelenggara program yankestrad atau 13,5 persen puskesmas di seluruh Indonesia telah memenuhi seluruh kriteria indikator yang dianalisis (kriteria pertama dan kedua).

3.10 Indikator Program Farmasi Terdapat 3 indikator yang harus dicapai Direktorat Jenderal Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam Renstra dan RPJMN tahun 2015-2019 yang ditelusri dalam Sirkesnas 2016. Ketiga indikator tersebut adalah (1) Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas, (2) Persentase Puskesmas yang Melaksanakan Pelayanan Kefarmasian sesuai Standar, dan (3) Persentase Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas.

3.10.1 Indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas

Definisi operasional untuk indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas adalah tersedianya obat dan vaksin indikator untuk program pelayanan kesehatan dasar di puskesmas. Terdapat 20 item obat dan vaksin

Page 199: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

175

yang digunakan sebagai indikator di Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Daftar obat dan vaksin indikator yaitu:

No Nama obat No Nama obat

1. Tablet albendazol 11. Tablet kaptopril 2. Tablet amoksisilin 500 mg 12. Injeksi magnesium sulfas 3. Sirup amoksisilin 13. Injeksi metilergometrin 4. Tablet diazepam 5 mg 14. Obat anti tuberkulosis 5. Tablet deksametason 15. Injeksi oksitosin 6. Injeksi epinefrin (adrenalin) 16. Tablet parasetamol 500 mg 7. Injeksi fitomenadion 17. Tablet tambah darah 8. Tablet furosemid 40 mg 18. Vaksin BCG 9. Garam oralit 19. Vaksin DPT/DPT-HB 10. Tablet glibenklamid 20. Vaksin TT

Pengumpulan data untuk mengukur indikator Ketersediaan Obat dan

Vaksin di Puskesmas dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

Data ketersediaan obat dan vaksin tahun 2015 ditentukan melalui analisis data sekunder atau Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk puskesmas dan rangkuman laporan akhir tahun untuk dinas kesehatan (dinkes) per 25 Nopember 2015. Bila di lapangan tidak tersedia laporan per 25 Nopember maka akan dilihat laporan akhir tahun yang ada di puskesmas atau di dinkes.

Untuk data ketersediaan obat dan vaksin tahun 2016 ditentukan melalui observasi cross sectional pada saat survei, yaitu ketersediaan fisik obat dan vaksin pada bulan Mei dan Juni 2016.

Oleh karena itu, persentase ketersediaan obat dan vaksin tahun 2015

dan tahun 2016, dalam laporan ini tidak dibandingkan, melainkan hanya disandingkan.

Ketersediaan obat dan vaksin indikator dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan obat indikator di 400 puskesmas masih di bawah target Renstra Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, yaitu 77,0 persen untuk tahun 2015 dan 80 persen untuk tahun 2016 (Gambar 3.10.1). Akan tetapi ketersediaan obat indikator pada 264 sampel dinas kesehatan dimana puskesmas sampel berada, memperlihatkan persentase yang lebih tinggi dibandingkan target Renstra tingkat puskesmas, baik pada tahun 2015 yaitu 81,4 persen maupun pada tahun 2016 sebesar 81,0 persen. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan distribusi obat dari instalasi farmasi dinas kesehatan ke puskesmas atau kemungkinan puskesmas tidak mengajukan permintaan obat tertentu karena tidak dibutuhkan oleh puskesmas (gambar 3.10.1).

Page 200: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

176

Gambar 3.10.1

Persentase ketersediaan item obat dan vaksin indikator di puskesmas dan dinkes, Sirkesnas 2016

Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa rerata ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas pada tahun 2015 adalah 69,1 persen (sekitar 14 item dari 20 item indikator) sedangkan tahun 2016 adalah 78,5 persen (sekitar 16 item dari 20 item indikator). Ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas pada tahun 2015 berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 juga lebih kecil dibandingkan data dasar yang dimiliki Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan pada Renstra tahun 2014 yaitu 75,5 persen.

Bila dilihat dari jenis puskesmas perawatan dan non perawatan, ketersediaan obat dan vaksin indikator di puskesmas perawatan (DTP) lebih tinggi dari puskesmas non perawatan (non DTP), baik pada tahun 2015 maupun 2016. Hasil ini dapat dilihat pada gambar 3.10.2.

Page 201: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

177

Gambar 3.10.2 Persentase ketersediaan item obat dan vaksin indikator di puskesmas

perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas 2016

Berdasarkan gambar 3.10.3 sampai 3.10.6, sepuluh jenis obat yang

persentase ketersediaannya tertinggi di puskesmas, baik pada tahun 2015

maupun tahun 2016, secara berurutan adalah tablet parasetamol 500 mg, tablet

amoksisilin 500 mg, tablet deksametason, tablet kaptopril, sirup amoksisilin,

garam oralit, tablet glibenklamid, vaksin BCG, tablet furosemid 40 mg, dan vaksin

TT. Sedangkan ketersediaan obat terendah sebagian besar adalah obat untuk

ibu hamil/persalinan, seperti injeksi oksitosin, injeksi epinefrin, injeksi metil

ergometrin maleat, injeksi diazepam, injeksi magnesium sulfat serta obat

kecacingan yaitu tablet albendazol.

Page 202: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

178

Gambar 3.10.3 Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun

2015, Sirkesnas 2016

Sebagaimana terlihat dari dari gambar 3.10.4 dan 3.10.6 bahwa obat-obat yang diperlukan untuk pelayanan persalinan khususnya bentuk sediaan injeksi seperti injeksi oksitosin, injeksi epinefrin, injeksi metil ergometrin maleat, injeksi diazepam, dan injeksi magnesium sulfat lebih banyak tersedia di puskesmas perawatan. Hal ini mungkin disebabkan sebagian besar puskesmas yang terambil sebagai sampel bukan merupakan puskesmas PONED. Saat ini obat kecacingan albendazol tidak banyak digunakan lagi oleh puskesmas, kemungkinan disebabkan sebagian besar puskesmas menggunakan jenis obat kecacingan lainnya, seperti pirantel pamoat.

Page 203: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

179

Gambar 3.10.4 Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun

2015 di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP), Sirkesnas 2016

Page 204: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

180

Gambar 3.10.5

Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016, Sirkesnas 2016

Page 205: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

181

Gambar 3.10.6

Persentase puskesmas menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016 di puskesmas perawatan (DTP) dan non perawatan (non DTP),

Sirkesnas 2016

Page 206: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

182

Gambar 3.10.7

Persentase dinkes kabupaten/kota menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2015, Sirkesnas 2016

Bila dilihat berdasarkan jenis obatnya, terdapat perbedaan dalam hal

ketersediaan obat dan vaksin indikator antara dinas kesehatan dan puskesmas. Peringkat ketersediaan obat dan vaksin di dinkes juga berbeda urutannya antara tahun 2015 dan 2016. Urutan sepuluh jenis obat yang persentase ketersediaannya tertinggi di dinkes pada tahun 2015 adalah tablet parasetamol 500 mg, tablet amoksisilin 500 mg, garam oralit, tablet kaptopril, tablet deksametason, sirup amoksisilin, tablet furosemid, vaksin BCG, dan vaksin TT. Sedangkan pola ketersediaan lima jenis obat terendah di dinas kesehatan pada tahun 2015 sama dengan pola ketersediaan di puskesmas, yaitu sebagian besar adalah obat untuk ibu hamil/persalinan seperti injeksi oksitosin, injeksi epinefrin, injeksi metil ergometrin maleat, injeksi diazepam, injeksi magnesium sulfat serta obat kecacingan albendazol (Gambar 3.10.7).

Page 207: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

183

Gambar 3.10.8

Persentase dinas kesehatan kabupaten/kota menurut ketersediaan obat dan vaksin indikator tahun 2016, Sirkesnas 2016

Sementara itu, urutan sepuluh jenis obat yang persentase

ketersediaannya tertinggi di dinkes pada tahun 2016 berturut-turut adalah tablet parasetamol 500 mg, tablet amoksisilin 500 mg, tablet deksametason, tablet kaptopril, garam oralit, sirup amoksisilin, tablet glibenklamid, tablet furosemid 40 mg, injeksi fitomenadion dan injeksi epinefrin (adrenalin). Terdapat lima jenis obat/vaksin indikator dengan persentase ketersediaan terendah yang sama, pada tahun 2016 dan tahun 2015, yaitu injeksi oksitosin, injeksi metil ergometrin, injeksi diazepam, tablet albendazol, dan injeksi magnesium sulfat.

Pemilihan 20 jenis obat dan vaksin sebagai indikator tidak harus sama antara puskesmas perawatan dan non perawatan, karena kebutuhan obat kedua jenis puskesmas tersebut juga berbeda; contohnya, injeksi magnesium sulfat dan injeksi oksitosin lebih dibutuhkan oleh puskesmas perawatan mampu PONED.

Untuk dapat menjalankan program pelayanan kesehatan dasar maka semua obat indikator seharusnya tersedia 100 persen di puskesmas. Setelah dianalisis, hasil data Sirkesnas 2016 untuk mengukur indikator yang sesuai dengan definisi operasional ternyata tidak dapat menggambarkan persentase

%

Page 208: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

184

puskesmas yang memiliki ketersediaan 20 jenis obat dan vaksin indikator. Oleh karena itu direkomendasikan agar definisi operasional indikator ketersediaan obat/vaksin direvisi menjadi “presentase puskesmas yang memiliki ketersediaan seluruh (100%) obat dan vaksin indikator (20 item)”.

Pelaporan permintaan dan penggunaan obat diharapkan secara seragam ditutup pada tanggal 25 November berdasarkan kesepakatan dengan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Akan tetapi ternyata masih cukup banyak ditemukan puskesmas yang menutup laporan tersebut tidak pada tanggal 25 November, misalnya ditutup pada tanggal 31 Desember. Disamping itu, masih ada data obat yang belum terdokumentasi dengan baik dalam LPLPO di beberapa puskesmas (LPLPO puskesmas kosong/tidak terisi). Oleh karena itu, perlu sosialisasi, pembinaan dan evaluasi yang intensif agar kesepakatan tersebut dapat dijalankan oleh seluruh puskesmas.

3.10.2 Indikator puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai

standar

Cakupan pelayanan kefarmasian sesuai standar adalah persentase jumlah puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian dibandingkan dengan jumlah seluruh puskesmas, sedangkan yang dimaksud dengan pelayanan kefarmasian adalah puskesmas yang melaksanakan pemberian informasi obat dan konseling terdokumentasi. Pada Sirkesnas 2016, pelayanan kefarmasian sesuai standar merupakan komposit dari dua pertanyaan, yaitu pemberian informasi obat terdokumentasi dan pelayanan konseling terdokumentasi di puskesmas. Indikator pelayanan kefarmasian sesuai standar ini bertujuan untuk menggambarkan kualitas pelayanan kefarmasian di puskesmas sebagai cerminan kesiapan pelayanan kesehatan primer dalam rangka mendukung supply side Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Berdasarkan data dasar tahun 2014, cakupan puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar adalah sebesar 30 persen (sumber data laporan rutin). Pada tahun 2015, dengan menggunakan sumber data dari Sistem Pencatatan dan Pelaporan Tingkat Puskesmas (SP2TP), dilakukan sampling puskesmas; berdasarkan data tersebut Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menentukan target capaian indikator pelayanan kefarmasian sesuai standar adalah 40 persen untuk tahun 2015, dan 45 persen untuk tahun 2016.

Sirkesnas 2016 dilakukan di 400 puskesmas yang tersebar di 264 kabupaten/kota yang berada di 34 provinsi Indonesia. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang ditanyakan di puskesmas, meliputi pemberian informasi obat dan konseling terdokumentasi berdasarkan data tahun 2015. Data pemberian informasi obat diperoleh dari dokumen pencatatan dan pelaporan informasi obat di puskesmas dan observasi terkait pemberian informasi obat oleh petugas apotik di puskesmas. Data pemberian informasi obat dan konseling diperoleh dari dokumen pencatatan dan pelaporan pelayanan kefarmasian di puskesmas.

Informasi cakupan pelayanan kefarmasian sesuai standar hasil Sirkesnas 2016 dengan sampel 400 puskesmas yang tersebar di 264 kabupaten/kota dan 34 provinsi adalah 19,8 persen (tabel 3.10.1). Cakupan ini

Page 209: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

185

jauh di bawah data dasar tahun 2014 dan target capaian 2015 dan 2016. Hal ini dapat terjadi karena target yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ditentukan berdasarkan laporan puskesmas yang telah mendapat pelatihan pelayanan kefarmasian sesuai standar, sementara cakupan Sirkesnas 2016 diperoleh dari pengumpulan data langsung tanpa mempertimbangkan apakah puskesmas telah mengkuti pelatihan pelayanan kefarmasian sesuai standar atau tidak.

Tabel 3.10.1 Pelayanan kefarmasian sesuai standar di puskesmas (pemberian informasi obat

dan konseling) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik N

Pelayanan kefarmasian sesuai standar

Ya Tidak

n % n %

Puskesmas 400 79 19,8 321 80,3

Lokasi Puskesmas - Puskesmas Perkotaan 217 49 22,6 168 77,4

- Puskesmas Perdesaan 183 30 16,4 153 83,6

Penanggung Jawab Farmasi Apoteker 126 34 27,0 92 73,0

Pedoman Pelayanan Kefarmasian - Puskesmas memiliki pedoman 220 50 22,7 170 77,3

- Puskesmas tidak memiliki pedoman 180 29 16,1 151 83,9

Pelatihan pelayanan kefarmasian - Puskesmas mendapat Pelatihan 140 31 22,1 109 77,9

- Puskesmas belum mendapat pelatihan 260 48 18,5 212 81,5

Indikator puskesmas yang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar diperoleh dari komposit dua pertanyaan dalam kuesioner yaitu pemberian informasi obat terdokumentasi dan pelayanan konseling terdokumentasi di puskesmas. Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar berdasarkan hasil Sirkesnas 2016 adalah sebesar 19,8 persen puskesmas (Tabel 3.10.1).

Berdasarkan Tabel 3.10.1 diketahui bahwa puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar lebih banyak di puskesmas perkotaan, pada puskesmas yang memiliki pedoman pelayanan kefarmasian (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014) dan pada puskesmas yang telah mendapat pelatihan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian. Akan tetapi, secara keseluruhan masih lebih banyak puskesmas yang belum melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar walaupun penanggung jawab farmasi di puskesmas tersebut adalah seorang apoteker, tenaga puskesmas sudah mendapat pelatihan ataupun puskesmas sudah memiliki pedoman.

Definisi operasional pelayanan kefarmasian sesuai standar menurut target kinerja Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 adalah meliputi kegiatan pemberian informasi obat dan konseling. Kegiatan pemberian informasi obat

Page 210: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

186

merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh petugas farmasi di puskesmas karena kegiatan ini tidak terlepas dari praktek pelayanan kefarmasian. Pemberian informasi obat merupakan satu kesatuan kegiatan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, menyerahkan sediaan farmasi disertai informasi yang memadai dan pendokumentasian. Tujuan kegiatan ini adalah agar pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi instruksi pengobatan. Sementara itu, konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat oleh pasien beserta keluarga pasien. Tujuan konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien.

Konseling dilakukan kepada pasien tertentu di ruangan khusus, disertai dokumentasi catatan konseling/kartu pasien (Permenkes No. 30 tahun 2014). Konseling tidak harus dilakukan pada semua pasien, tetapi hanya pada pasien tertentu yang membutuhkan, seperti pada pasien dengan penyakit kronis. Selain itu, konseling juga merupakan interaksi profesional antara apoteker dan pasien dalam menyelesaikan masalah penggunaan dan ketepatan penggunaan obat. Konseling merupakan kewenangan apoteker, sementara sampai saat ini, belum semua puskesmas memiliki apoteker sebagai penanggung jawab farmasi di puskesmas. Untuk melihat gambaran pelayanan kefarmasian tanpa melakukan komposit kegiatan pemberian informasi obat terdokumentasi dan konseling terdokumentasi, maka di lakukan analisis dengan melihat salah satu kegiatan, yaitu pemberian informasi obat terdokumentasi atau konseling terdokumentasi.

Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan melakukan kegiatan pemberian informasi obat atau konseling saja adalah sebesar 46,3 persen. Jika hanya menggunakan salah satu pelayanan saja, yaitu pemberian informasi obat atau konseling, maka hasilnya sudah melebihi target Renstra Kemenkes (Tabel 3.10.2). Jika dilihat berdasarkan lokasi, penanggung jawab farmasi di puskesmas, keberadaan pedoman pelayanan kefarmasian dan keikutsertaan dalam pelatihan, maka puskesmas yang sudah melakukan pelayanan kefarmasian sesuai standar di puskesmas perkotaan, atau puskesmas dengan penanggung jawab farmasi apoteker, atau memiliki pedoman atau telah mendapatkan pelatihan, sudah lebih dari 50 persen puskesmas.

Page 211: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

187

Tabel 3.10.2 Persentase puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai

standar (informasi atau konseling) berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik N

puskesmas melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai

standar

Ya Tidak

n % n %

Puskesmas 400 185 46,3 215 53,8

Lokasi Puskesmas - Puskesmas Perkotaan 217 118 54,4 99 45,6

- Puskesmas Perdesaan 183 67 36,6 116 63,4

Penanggung Jawab Farmasi di Puskesmas - PJ Farmasi Apoteker 126 75 59,5 51 40,5

- PJ Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian 196 77 39,3 119 60,7

- PJ Farmasi Nakes lain atau non Nakes 78 33 42,3 45 57,7

Pedoman Pelayanan Kefarmasian - Puskesmas memiliki pedoman 220 117 53,2 103 46,8

- Puskesmas tidak memiliki pedoman 180 68 37,8 112 62,2

Pelatihan pelayanan kefarmasian - Puskesmas mendapat Pelatihan 140 72 51,4 68 48,6

- Puskesmas belum mendapat pelatihan 260 113 43,5 147 56,5

Tabel 3.10.3 sampai dengan tabel 3.10.5 menunjukkan puskesmas yang melakukan pemberian informasi obat terdokumentasi dan puskesmas yang melakukan pelayanan konseling terdokumentasi.

Tabel 3.10.3 menunjukkan bahwa kegiatan pemberian informasi obat terdokumentasi hanya dilakukan oleh 35,8 persen puskesmas. Seperti halnya nilai indikator puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar, puskesmas yang melakukan pemberian informasi obat terdokumentasi lebih banyak ditemukan di puskesmas perkotaan, puskesmas yang memiliki apoteker sebagai penanggung jawab farmasi, puskesmas yang memiliki pedoman dan puskesmas yang mendapat pelatihan. Dalam Permenkes No.30 Tahun 2014 mengenai Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar di Puskesmas, dinyatakan bahwa pemberian informasi obat merupakan satu rangkaian kegiatan pada saat penyerahan obat.

Page 212: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

188

Tabel 3.10.3 Persentase puskesmas yang melakukan Pemberian Informasi Obat

Terdokumentasi berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik N

Pemberian Informasi Obat Terdokumentasi

Ya Tidak

n % n %

Puskesmas 400 143 35,8 257 64,3

Lokasi Puskesmas Puskesmas Perkotaan 217 100 46,1 117 53,9

Puskesmas Perdesaan 183 43 23,5 140 76,5

Penanggung Jawab Farmasi di Puskesmas PJ Farmasi Apoteker 126 60 47,6 66 52,4

PJ Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian 196 59 30,1 137 69,9

PJ Farmasi Nakes lain atau non Nakes 78 24 30,8 54 69,2

Pedoman Pelayanan Kefarmasian Puskesmas memiliki pedoman 220 93 42,3 127 57,7

Puskesmas tidak memiliki pedoman 180 50 27,8 130 72,2

Pelatihan pelayanan kefarmasian Puskesmas mendapat Pelatihan 140 54 38,6 86 61,4

Puskesmas belum mendapat pelatihan 260 89 34,2 171 65,8

Hasil Sirkesnas 2016 yang penting menjadi perhatian bagi pengelola

program pelayanan kefarmasian adalah perlunya upaya peningkatan pemberian informasi obat di puskesmas. Hal ini karena persentase puskesmas yang melakukan kegiatan pemberian informasi obat terdokumentasi di puskesmas yang telah mendapatkan pelatihan ternyata masih rendah.

Untuk melihat kegiatan pemberian informasi obat di puskesmas secara langsung, dilakukan observasi terhadap petugas puskesmas saat melakukan penyerahan obat kepada pasien. Observasi dilakukan terhadap pemberian 7 jenis informasi yang meliputi nama/jenis obat, aturan pakai, lama pengobatan, cara pemakaian, efek samping, cara penyimpanan obat dan interaksi obat. Dengan mempertimbangkan bahwa tidak semua informasi perlu disampaikan oleh karena tergantung pada jenis obat yang diserahkan, maka ditetapkan bahwa komponen observasi pemberian informasi obat yang dihitung adalah, “puskesmas yang memberikan minimal 4 jenis informasi obat” (Tabel 3.10.4).

Page 213: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

189

Tabel 3.10.4 Persentase puskesmas yang melakukan kegiatan pemberian minimal

4 jenis informasi obat berdasarkan karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik N

Pemberian minimal 4 jenis informasi obat

Ya Tidak

n % n %

Puskesmas 400 183 45,8 217 54,3

Lokasi Puskesmas - Puskesmas Perkotaan 217 106 48,8 111 51,2

- Puskesmas Perdesaan 183 77 42,1 106 57,9

Penanggung Jawab Farmasi di Puskesmas - PJ Farmasi Apoteker 126 78 61,9 48 38,1

- PJ Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian 196 78 39,8 118 60,2

- PJ Farmasi Nakes lain atau non Nakes 78 27 34,6 51 65,4 Pedoman Pelayanan Kefarmasian

- Puskesmas memiliki pedoman 220 102 46,4 118 53,6

- Puskesmas tidak memiliki pedoman 180 115 63,9 65 36,1

Pelatihan pelayanan kefarmasian - Puskesmas mendapat Pelatihan 140 72 51,4 68 48,6

- Puskesmas belum mendapat pelatihan 260 145 55,8 115 44,2

Pada Tabel 3.10.4 terlihat bahwa persentase puskesmas yang

melaksanakan pemberian minimal 4 jenis informasi obat lebih tinggi dibandingkan persentase puskesmas yang melaksanakan pemberian informasi obat terdokumentasi (Tabel 3.10.3).

Kegiatan pemberian informasi obat sebenarnya sudah dilakukan oleh petugas farmasi, namun karena sistem dokumentasi yang belum baik atau sulit melakukan dokumentasi dan pencatatan langsung saat pelayanan, maka terlihat pemberian informasi obat terdokumentasi di puskesmas kurang berjalan baik. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pendokumentasian pelayanan kefarmasian.

Kegiatan konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan upaya penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat, baik pada pasien rawat jalan, rawat inap ataupun keluarga pasien. Konseling dilakukan oleh apoteker, bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien, seperti tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat.

Page 214: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

190

Tabel 3.10.5 Puskesmas yang melakukan pelayanan konseling terdokumentasi berdasarkan

karakteristik, Sirkesnas 2016

Karakteristik

N

Konseling terdokumentasi

Ya Tidak

n % n %

Puskesmas 400 121 30,3 279 69,8

Lokasi Puskesmas Puskesmas Perkotaan 217 67 30,9 150 69,1

Puskesmas Perdesaan 183 54 29,5 129 70,5

Penanggung Jawab Farmasi Apoteker 126 49 38,9 77 61,1

Pedoman Pelayanan Kefarmasian Puskesmas memiliki pedoman 220 74 33,6 146 66,4

Puskesmas tidak memiliki pedoman 180 47 26,1 133 73,9

Pelatihan pelayanan kefarmasian Puskesmas mendapat Pelatihan 140 49 35,0 91 65,0

Puskesmas belum mendapat pelatihan 260 72 27,7 188 72,3

Berbeda halnya dengan kegiatan pemberian informasi obat yang

dilakukan pada saat penyerahan obat dan dapat dilakukan di loket penyerahan, maka kegiatan konseling membutuhkan pencatatan khusus bagi pasien serta ruangan khusus, agar didapatkan komunikasi yang efektif antara apoteker dengan pasien, pasien lebih terbuka dan leluasa untuk menanyakan hal-hal terkait obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek obat yang diharapkan, dan lain-lain. Kegiatan konseling juga membutuhkan konfirmasi apakah pasien dapat memahami dan menerima dengan baik penjelasan yang diberikan, yakni dengan cara pasien diminta memperagakan dan menjelaskan kembali mengenai cara penggunaan obat dan melakukan verifikasi akhir dengan cara mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi. Hal-hal tersebut hanya dapat dicapai jika apoteker memiliki dokumentasi tertulis terkait kegiatan konseling yang telah dilakukan, sehingga keberadaan dokumentasi pada kegiatan konseling adalah hal yang utama, sebelum tahapan lanjutan yang perlu dilakukan setelah konseling.

Setelah dilakukan konseling, pada pasien tertentu perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi obat (Kemenkes, 2015). Hal tersebut terutama diperlukan bagi pasien yang memiliki kemungkinan mendapatkan risiko masalah terkait obat, misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial tertentu, karakteristik obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan/atau alat kesehatan.

Page 215: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

191

3.10.3 Persentase Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas Penggunaan obat dinyatakan rasional bila pasien menerima obat yang

sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat. Penggunaan obat dianggap rasional bila memenuhi kriteria tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien, pemberian obat yang efektif, aman, mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, tepat informasi, tepat tindak lanjut, tepat penyerahan obat dan pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan (Kemenkes, 2015).

Indikator Kinerja Penggunaan Obat Rasional (POR) adalah persentase penggunaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan dasar pemerintah yaitu puskesmas. Persentase Penggunaan Obat Rasional (POR) di Puskesmas merupakan indikator dari Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. POR dihitung berdasarkan 3 penyakit indikator yaitu ISPA non pneumonia, diare non spesifik dan myalgia. Dari ketiga penyakit tersebut ditetapkan 4 parameter yaitu: (a) penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non pneumonia, (b) penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus diare non spesifik, (c) penggunaan injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia dan (d) jumlah rerata item per lembar resep terhadap seluruh kasus ISPA non pneumonia, diare non spesifik dan myalgia di sarana yang sama. Dalam penentuan jumlah item obat ditetapkan kriteria bahwa obat dalam bentuk sediaan jadi dengan komponen yang terdiri dari berbagai jenis zat aktif tetap dianggap sebagai satu item obat, sedangkan bentuk sediaan puyer/racikan jumlah itemnya dihitung berdasarkan jumlah jenis komponen zat aktifnya.

Batas toleransi yang ditetapkan sebagai “rasional” adalah sebagai berikut: a. Persentase antibiotik pada ISPA Non Pneumonia: 20 persen b. Persentase antibiotik pada Diare Non Spesifik: 8 persen c. Persentase injeksi pada myalgia: 1 persen d. Rerata item obat per lembar resep: 2,6

Target indikator POR yang ditetapkan oleh direktorat pelayanan kefarmasian ditentukan sebagai berikut :

Data dasar 2014 = 60 persen.

Target capaian 2015 = 62 persen dan 2016 = 64 persen. Persentase POR dihitung sebagai rata-rata dari capaian empat parameter

dengan formula Indikator Kinerja Kegiatan Penggunaan Obat Rasional (IKK POR) yang dapat dilihat pada lampiran. Hasil perhitungan persentase POR berdasarkan formula IKK POR dapat dilihat pada Gambar 3.10.6. berikut:

Page 216: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

192

Gambar 3.10.9

Target dan capaian indikator POR, Sirkesnas 2016

Berdasarkan gambar di atas bila dilihat per indikator dibandingkan dengan batas toleransinya maka setiap indikator masih melewati (diatas) batas toleransi yang ditetapkan terutama untuk peresepan antibiotik pada diare non spesifik. Akan tetapi secara keseluruhan sesuai formula yang digunakan Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, capaian indikator POR dari hasil Sirkesnas 2016 telah melampaui target yang ditetapkan yaitu mencapai 64,4 persen dibandingkan target sebesar 62 persen.

Dalam Sirkesnas 2016 terpilih 400 puskesmas sampel di 34 provinsi dan 264 kabupaten/kota. Di setiap puskesmas sampel dilakukan pencatatan data POR bulan Desember 2015 berdasarkan laporan yang dibuat puskesmas (bila ada), tetapi tetap dilakukan perhitungan POR dengan melakukan sampling sesuai prosedur yang ditetapkan pada semua puskesmas, termasuk puskesmas yang sudah membuat laporan POR. Persentase puskesmas yang membuat laporan dan yang tidak membuat laporan dapat dilihat pada Gambar 3.10.10.

Gambar 3.10.10

Persentase puskesmas yang membuat laporan POR dan tidak membuat laporan, Sirkesnas 2016

Page 217: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

193

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa 64,50 persen puskesmas menyatakan membuat laporan POR, sedangkan 35,50 persen belum membuat. Dari 142 (35,5%) puskesmas yang tidak membuat laporan POR ditanyakan alasan tidak membuat laporan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar berikut:

Gambar 3.10.11

Persentase puskesmas menurut alasan tidak membuat laporan POR, Sirkesnas 2016

Berdasarkan gambar di atas, tidak ada alasan yang dominan dari

puskesmas yang tidak membuat laporan POR. Alasan yang cukup spesifik antara lain tidak ada SDM sebanyak 24 persen dan belum ada pelatihan 23 persen. Tidak ada SDM dapat berarti tidak ada SDM yang mempunyai kemampuan membuat laporan atau SDM yang sebelumnya pernah dilatih sudah pindah (mutasi). Alasan tidak ada keterangan berlaku pada puskesmas yang mengaku membuat laporan tapi tidak ada data/dokumennya, sedangkan alasan lainnya sebagian karena menyatakan belum diminta atau ditugaskan oleh dinkes setempat untuk membuat laporan POR.

Dalam proses analisis data POR telah dilakukan tahap verifikasi data perhitungan POR terhadap sekitar 330 puskesmas dan dilakukan proses cleaning data berdasarkan pola-pola kesalahan yang umum terjadi, serta amputasi data outlier. Sebagai konsekuensi dari proses tersebut, maka jumlah puskesmas yang dianalisis berbeda-beda untuk setiap parameter POR (Tabel 3.10.6). Data yang berasal dari hasil laporan POR puskesmas tidak dapat ditelusuri sehingga dihitung apa adanya. Hal ini menyebabkan data laporan POR yang outlier tidak diamputasi, konsekuensi logis yang menyertai adalah kemungkinan data tidak cleaned sehingga tidak bisa ditampilkan hasil perhitungannya. Data jumlah puskesmas yang melaporkan POR dan dilakukan perhitungan POR (berdasarkan sampling pada saat melakukan survei) untuk setiap parameter dapat dilihat pada Tabel 3.10.6. berikut:

Page 218: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

194

Tabel 3.10.6 Jumlah puskesmas yang membuat laporan dan dilakukan perhitungan POR,

Sirkesnas 2016 Parameter Laporan Perhitungan

Jumlah % Jumlah %

ISPA non pneumonia 261 65,3 390 97,5

Diare non spesifik 260 65,0 385 96,3

Myalgia 252 63,0 370 92,5

Rerata Item 256 64,0 384 96,0

Dalam tabel 3.10.6 terlihat bahwa berdasarkan hasil perhitungan,

parameter indikator ISPA non pneumonia merupakan parameter yang memiliki jumlah sampel puskesmas paling tinggi yaitu 97,5 persen sedangkan myalgia paling kecil yaitu 92,5 persen. Hal ini terjadi karena ada puskesmas yang tidak menemukan sampel kasus myalgia sehingga tidak dilakukan perhitungan myalgia, sedangkan kasus ISPA cenderung selalu ada. Kemungkinan kesalahan yang terjadi adalah perbedaan kode diagnosis yang tidak dipahami enumerator sehingga menganggap tidak ada kasus myalgia. Sebagai contoh, pada saat uji coba ditemukan adanya pemilihan resep untuk keluhan sakit kepala/pusing sebagai kelompok myalgia.

Adapun jumlah puskesmas berdasarkan kriteria yang akan digunakan dalam analisis indikator POR dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.10.7 Jumlah dan persentase puskesmas yang dihitung POR berdasarkan kriteria

puskesmas, Sirkesnas 2016

Kriteria

ISPA non pneumonia Diare non spesifik Myalgia Rerata Item

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Lokasi Perkotaan 213 54,6 209 54,3 206 55,7 212 55,2

Perdesaan 177 45,4 176 45,7 164 44,3 172 44,8

Penanggung Jawab Apoteker 122 31,3 119 30,9 116 31,4 122 31,8

Tenaga Teknis Kefarmasian 194 49,7 193 50,1 187 50,5 193 50,3 Lainnya 74 19,0 73 19,0 67 18,1 69 18,0

Pedoman POR Ada 140 35,9 139 36,1 135 36,5 137 35,7

Tidak ada 250 64,1 246 63,9 235 63,5 247 64,3

Pelatihan POR Sudah 163 41,8 159 41,3 157 42,4 161 41,9

Belum 227 58,2 226 58,7 213 57,6 223 58,1

Total 390 100,0 385 100,0 370 100,0 384 100,0

Pemilihan sampel resep untuk perhitungan indikator POR merupakan titik

kritis yang harus diperhatikan. Pada saat pelaksanaan uji coba dan pengumpulan data ditemukan bahwa ada perbedaan cara perhitungan POR pada laporan yang

Page 219: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

195

dibuat oleh puskesmas, antara lain cara pemilihan resep yang beragam, misalnya ada yang purposif, ada yang diambil hanya dari poli umum saja, padahal di puskesmas tersebut terdapat beberapa poli.

Dalam Sirkesnas 2016 dibuat standar pengambilan sampel yang diajarkan oleh tim teknis kepada enumerator; diharapkan hal ini akan meminimalkan variasi cara pengambilan sampel. Detail cara pengambilan sampel yang diadopsi dari Modul Penggerakan POR dapat dilihat pada Gambar berikut (Kemenkes, 2015) :

Sebagian besar pengambilan sampel di puskesmas dalam Sirkesnas

2016 menggunakan langkah ketiga yaitu menggunakan register penyakit di masing-masing poli yang mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 1. Cari dan catat data pasien pertama setiap hari untuk setiap diagnosis POR

(ISPA non pneumonia, diare non spesifik, myalgia) yang ada di setiap register poli selama bulan Desember 2015 pada kertas/buku catatan sebagai calon sampel pasien POR. Bila pada hari tersebut tidak ada kasus dengan diagnosis ISPA non pneumonia, diare non spesifik, dan myalgia maka lanjut ke hari berikutnya.

Gambar 3.10.12 Alur pengumpulan data POR, Sirkesnas 2016

Enum datang ke Kamar

obat/apotek/depo

Puskesmas menggunakan

program SIMPUS

Resep puskesmas

mencantumkan diagnosis

Register Penyakit di masing-

masing poli (Poli umum, anak,

remaja, lansia)

1. Buka data SIMPUS berdasarkan tanggal/hari

2. Cari data pasien dengan kode diagnosis POR yang pertama kali muncul pada SIMPUS

3. Munculkan data lengkap pasien

1. Ambil resep berdasarkan tanggal/hari

2. Cari data resep dengan diagnosis POR yang pertama kali ditemukan di setiap hari

Catat data

di lembar

bantu

Catat sesuai langkah-langkah

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Page 220: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

196

2. Bila diagnosis berupa kode, tanyakan kode diagnosis untuk 3 penyakit indikator POR tersebut kepada petugas yang mencatat

3. Minta resep bulan Desember 2015 ke petugas apotek/kamar obat/depo obat 4. Cari dan ambil resep yang pertama ditemukan sesuai dengan catatan data

pasien (poin 2). Bila satu hari lebih dari satu data pasien ambil resep yang berada di tumpukan teratas atau yang paling dahulu ditemukan

5. Salin semua data obat yang ada di resep terpilih ke dalam “Lembar Bantu Pengisian Kuesioner”

Hasil perhitungan persentase penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non pneumonia dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.10.13

Persentase antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non pneumonia, Sirkesnas 2016

Dari gambar 3.10.13 terlihat bahwa kondisi peresepan antibiotik pada

kasus ISPA non pneumonia di puskesmas secara umum masih di atas batas toleransi yang ditetapkan, yaitu di atas 20 persen. Persentase rata-rata di puskesmas masih mencapai lebih dari 2 kali lipat yaitu 52,4 persen. Persentase peresepan antibiotik lebih rendah di puskesmas yang berada di perkotaan, memiliki PJ Farmasi Apoteker, memiliki pedoman POR dan sudah mendapat pelatihan POR.

Hasil perhitungan persentase penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus diare non spesifik dapat dilihat pada gambar berikut:

Page 221: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

197

Gambar 3.10.14

Persentase antibiotik pada penatalaksanaan kasus diare non spesifik, Sirkesnas 2016

Berdasarkan gambar 3.10.14 terlihat bahwa persentase peresepan antibiotik

pada kasus diare non spesifik masih tinggi, yaitu 48,9 persen yang jauh melewati batas toleransi yang diharapkan (8%). Persentase peresepan antibiotik lebih rendah di puskesmas yang berada di perkotaan, memiliki PJ Farmasi Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK), memiliki pedoman POR dan sudah mendapat pelatihan POR.

Gambar 3.10.15

Persentase injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia, Sirkesnas 2016

Page 222: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

198

Hasil perhitungan persentase penggunaan injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia dapat dilihat pada Gambar 3.10.15. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa persentase peresepan injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia juga masih melewati batas toleransi dengan rata-rata 4 kali lipat yaitu 4,1 persen. Hasil yang mendekati batas toleransi terlihat di puskesmas perkotaan dengan persentase 1,4 persen. Oleh karena itu perlu adanya intervensi di puskesmas daerah perdesaan yang masih sering meresepkan injeksi pada kasus myalgia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengukur indikator injeksi pada myalgia sebagaimana yang ditemukan selama survey berlangsung yaitu peresepan injeksi kadang-kadang tidak tercatat karena dilakukan langsung oleh tenaga medis di ruang tindakan/kamar suntik dan tidak dicatat dalam resep. Untuk menelusuri hal ini perlu dilakukan pengecekan (konfirmasi) pada sumber data lainnya yaitu kartu berobat pasien dimana biasanya pemberian injeksi dituliskan/tertulis. Akan tetapi dalam Sirkesnas 2016 pengecekan tidak semuanya dapat dilakukan karena prosedur pengumpulan data tidak mengakomodir untuk melihat ke sumber data kartu berobat, dan kesulitan untuk mengakses kartu berobat yang disimpan oleh petugas rekam medis.

Hasil perhitungan rerata item per lembar resep dapat dilihat pada gambar

Gambar 3.10.16

Jumlah rerata item obat per lembar resep, Sirkesnas 2016

Dari gambar 3.10.16 terlihat bahwa jumlah rerata item obat per lembar resep masih melewati batas toleransi namun selisihnya hanya 0,8. Tidak terlihat perbedaan mencolok pada indikator jumlah rerata item dari berbagai kriteria puskesmas berdasarkan lokasi, PJ Farmasi, keberadaan pedoman POR dan pelatihan POR. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh terhadap jumlah

Page 223: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

199

rerata item, dan jumlah rerata item obat per lembar resep sudah mendekati ideal. Berbagai penelitian di Indonesia juga menunjukkan hasil rerata item obat perlembar resep yang sama, yakni pada kisaran 3. Penelitian Hogerzeil tahun 1993 menunjukkan jumlah rerata item per lembar resep di Indonesia adalah 3,3, sementara penelitian Sari tahun 2010 di Puskesmas Kota Depok sebesar 3,79 (Hogerzeil et al., 1993, Sari, 2011). Hasil penelitian Yuniar dkk pada tahun 2014 menunjukkan rerata item obat di puskesmas adalah 3,31 (Yuniar et al., 2016). Batas toleransi 2,6 nampaknya sulit dicapai karena berbagai alasan yang perlu digali dari tenaga medis, antara lain pernyataan bahwa untuk satu diagnosis tunggal pun tidak bisa hanya memberikan satu atau dua jenis obat. Dengan berbagai pertimbangan hal tersebut di atas, indikator ini perlu ditinjau ulang apakah akan tetap digunakan atau tidak.

Hasil perhitungan persentase POR secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 3.10.17

Persentase POR di puskesmas, Sirkesnas 2016

Dari gambar 3.10.17 terlihat bahwa dengan menggunakan formula yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, persentase POR di puskesmas telah mencapai target yang ditetapkan pada tahun 2015 yaitu 64,4 persen dari target tahun 2015 sebesar 62,0 persen. Formula perhitungan ini perlu ditinjau ulang karena bila dilihat dari hasil per parameter menunjukkan permasalahan tidak rasionalnya peresepan obat misalnya pada persentase antibiotik untuk diare non spesifik mencapai 6 kali lipat dari batas toleransi. Akan tetapi bila digabungkan sebagai satu indikator diperoleh hasil 64,4 persen yang melampaui target yang ditetapkan. Hal ini bisa menimbulkan kerancuan dan

Page 224: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

200

salah interpretasi karena di satu sisi ada ketidakrasionalan tetapi bila dilihat secara keseluruhan masih cukup baik nilainya.

Nilai POR yang mencapai target ini disebabkan karena perhitungan yang digunakan adalah nilai rata-rata rasionalitas dari setiap indikator dan sangat dibantu oleh nilai injeksi pada myalgia yang mencapai lebih dari 90 persen dari nilai ideal (perhitungan dapat dilihat pada lampiran). Penggunaan formula (rumus perhitungan) ini tidak bisa menunjukkan permasalahan dan penyelesaian yang ingin dicapai, karena perubahan persentase pada setiap parameter tidak banyak mempengaruhi nilai total indikator. Selain itu nilai rerata item lebih dari 4 menyebabkan nilai persentase pada parameter rerata item (yang dihitung) menjadi minus, sehingga nilai rerata item yang sangat tinggi (misalnya mulai dari 8) bisa menyebabkan nilai persentase POR menjadi minus.

Sebenarnya setiap indikator menunjukkan masalah tersendiri yang perlu penyelesaian, misalnya dengan kondisi persentase penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia masih tinggi maka perlu ditetapkan target capaian penurunan dalam periode tertentu disertai evaluasinya. Demikian pula dengan indikator lain yang seharusnya mempunyai target masing-masing sehingga tidak bisa disatukan sebagai rata-rata persentase rasionalitas.

Suatu alternatif yang bisa digunakan (dan lebih reliable) adalah mengukur persentase puskesmas yang sudah memenuhi kriteria POR untuk setiap indikator. Dalam hal ini unit analisis persentase POR diubah menjadi persentase puskesmas yang memenuhi kriteria POR untuk setiap indikator seperti terlihat pada Gambar berikut:

Gambar 3.10.18

Persentase puskesmas yang memenuhi kriteria POR, Sirkesnas 2016

Berdasarkan gambar 3.10.18 dapat dilihat bahwa indikator persentase injeksi pada myalgia merupakan parameter POR yang paling bisa dipenuhi oleh sebagian besar puskesmas, yaitu sebanyak 85,9 persen puskesmas memenuhi kriteria injeksi pada myalgia maksimal 1 persen. Sebaliknya parameter jumlah

Page 225: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

201

rerata item obat maksimal 2,6 hanya bisa dipenuhi oleh 8,1 persen puskesmas. Sedangkan apabila keempat parameter digabungkan maka hanya 2,5% puskesmas yang memenuhi keempat kriteria POR.

Dari keempat indikator di atas terlihat bahwa pada umumnya puskesmas dengan penanggung jawab apoteker memiliki POR yang lebih baik dibandingkan jika penanggung jawab adalah tenaga lainnya. Akan tetapi, titik berat peresepan berada ditangan penulis resep (prescriber), bukan karena peran apoteker. Meskipun demikian, komunikasi yang baik antara apoteker dengan penulis resep akan dapat meningkatkan peresepan yang rasional.

Hasil POR Sirkesnas 2016 berbeda dengan hasil pelaporan yang diterima oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Hasil POR pada tahun 2015 berada pada angka sekitar 75 persen, sementara hasil POR Sirkesnas 2016 sebesar 64,4 persen, sehingga ada perbedaan sekitar 10 persen dibandingkan hasil Sirkesnas 2016. Perbedaan ini dipengaruhi berbagai hal, antara lain perbedaan jumlah sampel puskesmas, perbedaaan cara pemilihan resep dan adanya verifikasi data pada hasil Sirkesnas 2016.

Penggunaan obat rasional (POR) merupakan hal yang penting dalam upaya menjamin keamanaan dan khasiat obat. Parameter yang terlihat masih jauh dari target adalah penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia dan diare non spesifik. Adapun persentase injeksi pada myalgia meskipun mendekati target, namun masih di atas batas toleransi terutama lebih banyak terjadi di daerah perdesaan. Parameter jumlah item obat tidak menunjukkan perubahan signifikan dari tahun ke tahun dengan berbagai data yang ada. Oleh karena itu, perlu peninjauan kembali indikator POR yang digunakan agar lebih relevan. Meskipun demikian, peresepan antibiotik tetap merupakan indikator penting dalam evaluasi POR.

Page 226: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

202

BAB 4 REKOMENDASI

Berdasarkan hasil Sirkesnas 2016, dari ke-tiga puluh enam indikator yang

ada di dalam Sirkesnas 2016, diperlukan adanya rekomendasi perbaikan mewujudkan cakupan dan atau perbaikan indikator. Berikut rekomendasi yang diberikan: 1. Indikator Kesehatan Ibu:

a. Capaian cakupan pelayanan kesehatan ibu saat hamil (ANC) telah mencapai target 2015 (kuantitas), namun pencapaian tersebut harus didukung dengan kualitas pelayanan ANC yang lebih baik. Idealnya semua komponen diterima oleh setiap ibu hamil. Indikator ANC (K4 ideal) sudah tepat (1-1-2), namun sebaiknya juga dilakukan penilaian terhadap kualitas pelayanan (7T atau 10T). Peran bidan yang sangat besar dan menjadi tempat pelayanan utama kesehatan ibu, maka diperlukan pembinaan dan pemantauan kualitas pelayanan oleh bidan sehingga setiap ibu memperoleh pelayanan kesehatan yang adekuat.

b. Dari segi kuantitas, pencapaian indikator puskesmas yang melaksanakan Kelas Ibu Hamil sudah tercapai (Renstra, 2015), namun indikator ini perlu didukung dengan data ibu yang mengikuti Kelas Ibu Hamil (kualitas). Pencapaian indikator ini seharusnya tidak hanya memastikan apakah puskesmas telah melaksanakan Kelas Ibu Hamil, tetapi juga memastikan apakah semua ibu hamil di puskesmas tersebut telah ter-cover untuk mengikuti kelas ibu hamil. Sebaiknya definisi operasional indikator puskesmas yang melaksanakan Kelas Ibu Hamil disempurnakan, sehingga tidak rancu di lapangan. Perlu upaya promosi kepada masyarakat luas tentang program Kelas Ibu Hamil agar ibu hamil dan keluarga termotivasi untuk mengikuti program Kelas Ibu Hamil. Tingginya cakupan puskesmas yang telah menjalankan Kelas Ibu hamil dikarenakan relatif mudahnya indikator tersebut untuk dicapai, namun mengaburkan esensi dari maksud keberadaan indikator ini, dimana diharapkan seluruh ibu hamil dapat mengakses Kelas Ibu Hamil. Keberadaan ibu hamil yang tersebar di seluruh wilayah puskesmas membutuhkan keberadaan kelas ibu hamil yang tidak hanya Puskesmas melaksanakan kelas ibu hamil sebagaimana makna dari indikator ini. Wilayah kerja puskesmas yang umumnya mencakup beberapa desa/kelurahan dengan kondisi geografis yang bervariasi, dimana sebagian di antaranya berada di daerah yang secara geografis sulit bagi ibu hamil untuk dapat menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan, sebaiknya didekati dengan keberadaan kelas ibu hamil, minimal di setiap desa/kelurahan. Sebaiknya indikator ini diperbaiki tidak lagi hanya mencerminkan keberadaan Kelas Ibu Hamil, namun menjadi, “persentase

Page 227: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

203

ibu hamil yang mengikuti kelas ibu hamil minimal selama 4 kali dalam kehamilannya”.

c. Pencapaian indikator orientasi P4K sudah baik, namun definisi operasional perlu disempurnakan dengan menambah variabel-variabel pendukung, seperti penempelan stiker dan pengisian form stiker dengan lengkap pada rumah ibu hamil. Setiap indikator, tidak hanya melihat dari segi kuantitas (jumlah puskesmas yang melaksanakan orientasi P4K, tetapi juga harus di dukung dari segi kualitas (penempelan stiker). Indikator ini dinilai kurang tepat untuk mengukur kinerja karena mudahnya untuk dicapai, cukup sekali saja melakukan orientasi P4K maka dikatakan puskesmas sudah menjalankan orientasi P4K, bahkan tidak melihat kapan orientasi tersebut dilakukan dan berapa frekuensi yang dilakukan oleh puskesmas. Sebaiknya diperbaharui, misalnya dengan “persentase puskesmas yang menjalankan P4K”, dengan syarat kualitas meliputi penempelan stiker pada rumah ibu hamil dan diisi dengan baik.

d. Pencapaian persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan sudah tercapai (Renstra, 2015), namun jika dilihat jenis tempat bersalin hanya 30% bersalin di institusi rumah sakit. Sisanya adalah institusi fasilitas pelayanan kesehatan bidan praktik yang perlu persiapan sistem rujukan yang memadai untuk mengantisipasi kondisi kegawatdaruratan ibu dan anak baru lahir.

2. Indikator Kesehatan Anak a. Penilaian berat badan lahir rendah didasarkan pada kepemilikan catatan

berat lahir yang dimiliki oleh balita baik dalam buku KIA, KMS, ataupun catatan lainnya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keakuratan dengan mengurangi bias ingatan yang mungkin terjadi. Namun sayangnya, kepemilikan catatan berat badan dan panjang badan lahir masih rendah, terbukti dari hasil yang menunjukkan hanya kurang dari 50 persen balita yang memiliki catatan berat badan dan panjang lahir disebabkan karena catatan yang sudah hilang ataupun tidak adanya isian di dalam buku kesehatan. Di satu sisi, usia balita adalah usia dalam masa pemantauan pertumbuhan di posyandu. Oleh karena itu perlu ditingkatkan promosi akan pentingnya pemanfaatan buku kesehatan anak oleh ibu balita, kelengkapan pencatatan data oleh tenaga kesehatan terutama penolong persalinan terkait kelahiran anak pada buku kesehatan anak, dan pemantauan kepemilikan dan pencatatan status pertumbuhan balita oleh kader posyandu. Selain itu, perlunya dimasukkan indikator panjang badan lahir di dalam RPJMN mengingat angka stunting pada balita sangat tinggi. Identifikasi dan pemantauan panjang/tinggi badan sejak lahir dapat membantu upaya pengentasan stunting dengan deteksi dan intervensi sejak dini.

b. Pengukuran indikator didasarkan pada pengakuan ataupun catatan kesehatan anak. Akan jauh lebih akurat jika pengukuran indikator di waktu yang akan datang didasarkan pada catatan dalam buku kesehatan anak tetapi sayangnya kelengkapan pencatatan kunjungan neonatal pada buku kesehatan anak sangat rendah. Oleh karena itu, pentingnya

Page 228: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

204

penekanan kepada petugas kesehatan untuk melengkapi catatan kunjungan neonatal dalam buku kesehatan anak. Selain itu perlunya promosi “melek dokumentasi status kesehatan” untuk meningkatkan kesadaran ibu balita akan pentingnya kepemilikan, pemanfaatan, dan kelengkapan pencatatan dalam buku kesehatan anak sehingga ibu balita bisa meminta petugas kesehatan untuk melengkapi buku kesehatan yang ada. Ditambah lagi, jika catatan dalam buku kesehatan anak dijadikan sumber data maka komponen-komponen indikator yang akan diukur harus disinkronkan dengan buku kesehatan anak (KIA) yaitu dalam tabel kunjungan neonatal. Perlunya revisi target KN1 pada Renstra 2015-2019 jika ingin tetap mempertahankan definisi operasional yang ada. Jika tidak, maka definisi operasional hanya mencakup akses kunjungan neonatal pertama saja, tidak melihat kualitasnya.

c. Definisi operasional (DO) penjaringan kesehatan peserta didik kelas kelas 1 di dalam Renstra 2015-2019 perlu disebutkan penjaringan pada sekolah negeri, swasta, dan atau lainnya dan mencakup seluruh sekolah. Cakupan target capaian indikator penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1 hendaknya diperluas agar mencakup seluruh peserta didik kelas 1. Akan lebih baik jika unit indikator yang diukur adalah ‘peserta didik yang diperiksa’ dibandingkan ‘puskesmas’ sehingga sasaran yang diukur sesuai dengan indikator.

d. Definisi operasional (DO) penjaringan kesehatan peserta didik kelas kelas 7 dan 10 di dalam Renstra 2015-2019 perlu disebutkan penjaringan pada sekolah negeri, swasta, dan atau lainnya dan mencakup seluruh sekolah. Cakupan target capaian indikator penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan 10 hendaknya diperluas agar mencakup seluruh peserta didik kelas 7 dan 10. Akan lebih baik jika unit indikator yang diukur adalah ‘peserta didik yang diperiksa’ dibandingkan ‘puskesmas’ sehingga sasaran yang diukur sesuai dengan indikator. Selain itu, indikator penjaringan kesehatan peserta didik kelas 7 dan kelas 10 sebaiknya masing-masing berdiri sendiri.

e. Indikator Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) sudah cukup baik dengan memasukkan tiga komponen prasyarat yaitu ketersediaan tenaga terlatih, pedoman, dan pelayanan konseling. Hanya saja indikator ini lebih mengukur kuantitas ketersediaan akses pelayanan PKPR, dibandingkan untuk mengukur kualitas pelayanan PKPR. Indikator ini akan lebih baik jika mempertimbangkan komponen kualitas pelayanan PKPR. Hal ini mungkin karena PKPR dikategorikan program yang relatif baru. Pada Renstra yang akan datang indikator ini perlu dipertajam dengan ketersediaan alur pelayanan PKPR yang tersendiri dan ketersediaan ruang khusus PKPR sebagai komponen dalam definisi operasional indikator. Selain itu, sasaran indikator yang menjadi unit analisis sebaiknya adalah remaja, bukan puskesmas sehingga dapat diketahui pemanfaatan PKPR.

Page 229: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

205

3. Indikator Program Gizi

a. Karena capaian indikator IMD tahun 2015 belum bisa diperoleh/dibandingkan dengan target indikator IMD dalam Renstra 2015-2019, maka di masa depan, perlu ditetapkan definisi operasional IMD dan cara perhitungannya yang mana menjadi acuan dalam menentukan keberhasilan capaian indikator IMD pada bayi.

b. Agar capaian Indikator IMD bayi sesuai target perlu peningkatan upaya promosi kepada masyarakat tentang bagaimana melakukan IMD yang berkualitas, tidak sekedar terjadinya proses penempelan kulit ibu dengan kulit bayi tetapi hendaknya proses tersebut berlangsung minimal selama 1 jam. Sebagai pertimbangan data indikator IMD bayi yang lebih valid lagi dapat diperoleh dari catatan kohor anak yang ada di FKTP maupun di fasilitas pelayanan kesehatan swasta seperti pada praktek bidan swasta dan lainnya.

c. Kedepan, perlu ditetapkan definisi operasional dan cara perhitungan indikator ASI ekslusif yang dijadikan dasar dalam menentukan capaian indikator. Apakah berdasarkan rata-rata capaian ASI Eksklusif umur 0-5 bulan 29 hari atau yang sudah lulus 6 bulan. Hal tersebut penting karena akan berkaitan dengan bagaimana menentukan formulasi perhitungan dan sampel.

d. Target capaian indikator persentase remaja putri yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) tertuang dalam Renstra 2015-2019 dibuat berdasarkan kemampuan pengadaan (proses), maka perlu dilakukan perubahan tidak hanya yang mendapat TTD saja tetapi juga sampai mengukur capaian kinerja berdasarkan kualitas yaitu berapa banyak TTD yang sudah diminum oleh remaja puteri.

e. Definisi operasional indikator persentase remaja putri yang mendapat TTD perlu dipertajam/ditingkatkan dengan mempertimbangkan tingkat kepatuhan dalam meminum TTD pada remaja putri

f. Dalam upaya menurunkan prevalensi anemia maka dalam menentukan indikator kinerja terkait penurunan prevalensi anemia pada ibu hamil hendaknya tidak hanya mengukur yang mendapat TTD saja tetapi perlu juga mengukur berapa banyak TTD yang sudah diminum ibu selama kehamilan. Selain itu perlu adanya upaya KIE agar ibu hamil mengetahui manfaat suplemen tambah darah dan mau mengonsumsi TTD selama kehamilannya.

g. Definisi Operasional (DO) indikator sebaiknya menyebutkan dengan lebih spesifik jenis makanan tambahan yang diberikan baik pada balita kurus maupun ibu hamil KEK dan jangka waktu pemberian makanan tambahan tersebut (Hari Makan). Di dalam DO sebaiknya juga dijelaskan, jika makanan tambahan yang diberikan berupa makanan lokal, harus disebutkan standar syarat mutu/kandungan gizinya.

h. Untuk mendapatkan data yang lebih valid terkait capaian indikator pemberian PMT baik pada Balita kurus maupun pada ibu hamil risiko KEK

Page 230: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

206

sebaiknya menggunakan catatan data kohort pemberian makanan tambahan pada balita ataupun ibu hamil.

i. Sebaiknya catatan data pemberian makanan tambahan tersebut dapat dimasukkan ke dalam BUKU KIA atau KMS atau diintegrasikan pada sistem surveilans gizi.

j. Sangat dibutuhkan Petunjuk Teknis (Juknis) pemberian makanan tambahan yang jelas sehingga pelaksanaan di tingkat puskesmas dan masyarakat dapat sesuai dengan sasaran dan tujuan kepada siapa PMT diberikan.

4. Indikator Program Kesehatan Kerja dan Kesehatan Olahraga a. Untuk mengukur pencapaian indikator kesehatan kerja dan olahraga di

Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga, maka kriteria indikator perlu disesuaikan dengan cara pembobotan setiap komponen indikator, baik pada pelaksanaan K3 internal maupun layanan kesehatan kerja, melalui kesepakatan di antara para pakar kesehatan kerja dan pengambil keputusan. Target pencapaian indikator kesehatan kerja dan olahraga perlu dirumuskan sehingga dapat menggambarkan angka persentase nasional untuk seluruh puskesmas di Indonesia.

5. Indikator Program Penyehatan Pangan a. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa data jumlah TPM yang

terdaftar tidak menggambarkan total populasi TPM di wilayah kerja dinas kesehatan, sehingga jika dihitung capaian indikator menggunakan formulasi Renstra maka angka capaian cenderung jauh melebihi target program. Idealnya denominator yang digunakan adalah jumlah atau populasi TPM yang ada di wilayah kerja. Oleh sebab itu perlu dilakukan pembenahan data dasar jumlah TPM pada masing-masing dinas kesehatan kabupaten/kota dengan melakukan pendataan TPM yang berada di wilayah kerja agar lebih mendekati kondisi sebenarnya di lapangan. Selain itu meningkatkan penilaian terhadap seluruh TPM yang sudah terdaftar di dinas kesehatan kabupaten/kota.

6. Indikator Program Surveilans, Imunisasi karantina dan Kesehatan Matra a. Agar program memperhatikan status Imunisasi Dasar Lengkap (IDL)

untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya imunisasi Polio. Berdasarkan pengamatan, di Daerah Istimewa Yogyakarta masih ada fasilitas kesehatan yang memberikan Polio tetes khususnya fasilitas kesehatan swasta.

b. Terkait Indikator Deteksi Dini Hepatitis B dengan Pemeriksaan HbsAg, pada uraian sebelumnya di bab Hasil telah dijelaskan bahwa besarnya angka capaian yang diperoleh dalam Sirkesnas kemungkinan disebabkan adanya perbedaan pencatatan dan pelaporan oleh daerah ke pusat yang disebabkan belum semua daerah menjadi target implementasi indikator ini pada tahun 2015. Disarankan agar program tetap menfasilitasi pelaporan dan pembinaan pada daerah yang belum menjadi sasaran implementasi program.

Page 231: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

207

c. Diharapkan MTBS memiliki sistem pencatatan dan pelaporan tersendiri. Pada saat ini secara substansi MTBS terikat dengan program terkait di P2P, tetapi secara struktur berada di bawah Program Kesehatan Anak (Direktorat Kesehatan Keluarga), sehingga perlu keterpaduan lintas program dalam menjalankan MTBS agar tidak terjadi duplikasi pencatatan pelaporan.

d. Perbaikan definisi operasional Pengendalian Vektor Terpadu, mengingat berbagai vektor yang dikendalikan oleh Program, apakah cukup salah satu vektor saja yang dikendalikan secara terpadu kemudian sudah menggambarkan bahwa kabupaten/kota tersebut sudah menjalankan kegiatan pengendalian vektor terpadu, ataukah pengendalian secara terpadu seluruh vektor yang menjadi masalah kesehatan di kabupaten/kota baru kemudian kabupaten/kota tersebut dikatakan telah menjalankan program pengendalian vektor terpadu.

7. Rekomendasi untuk Indikator Program Penyakit Tidak Menular : Evaluasi target Renstra dan RPJMN a. Beberapa indikator Renstra, penetapan target tidak menggunakan

baseline. Hal ini menyebabkan pencapaian menjadi tidak realistis, sehingga target terlalu mudah untuk dicapai. Perlu dilakukan revisi target berdasarkan baseline. Selain itu, sasaran indikator yang menjadi unit analisis sebaiknya adalah individu >15 tahun, bukan puskesmas sehingga dapat diketahui prevalensi hipertensi, DM.

b. Beberapa indikator tidak dapat dijawab dengan utuh, karena tidak dikumpulkan unsur-unsur persyaratan yang diharapkan secara rinci. Perlu dibuatkan pencatatan pelaporan yang dapat mengakomodir atau dilakukan penelitian khusus dengan pengamatan/observasi secara langsung.

c. Edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat untuk menghindari faktor risiko (obesitas, merokok) dan pencegahan terjadinya penyakit tidak menular (hipertensi, kanker payudara dan leher rahim).

d. Pencapaian indikator yang lebih bersifat outcome, seperti penurunan angka hipertensi dan merokok sulit untuk dilakukan hanya melalui konsensus Kementerian Kesehatan saja. Penderita hipertensi akan bertambah dan sekali terkena hipertensi maka yang bersangkutan akan terkena untuk seumur hidup, sehingga secara keseluruhan akan sulit prevalensinya untuk berkurang, terkecuali bila jumlah kematian lebih banyak daripada penambahan penderita baru. Merokok membutuhkan komitmen lintas Kementerian, misalnya Departemen Perdagangan ataupun willingness Pemerintah Pusat untuk menjalankan penuh kebijakan pembatasan merokok yang tentunya akan mengalami pertarungan politik dan bisnis yang berat yang seringkali bukan lagi menjadi ranah Kementerian Kesehatan. Pencapaian target indikator-indikator seperti ini diyakini menjadi sulit, sehingga perlu roadmap yang baik untuk dapat menjalankannya yang didukung oleh kesepakatan serta komitmen bersama.

Page 232: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

208

8. Indikator pelayanan kesehatan tradisional yang sudah ada belum terlalu spesifik menggambarkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional bagi masyarakat di wilayah kerja puskesmas. Sub indikator (kriteria) “Puskesmas yang memiliki tenaga kesehatan sudah dilatih bidang kesehatan tradisional”, belum menggambarkan pemberian pelayanan kesehatan tradisional bagi masyarakat, karena SDM Kesehatan di puskesmas pada tahap ini baru dilatih dan belum menyelenggarakan pelayanan. Definisi operasional indikator yang hanya mensyaratkan salah satu dari kriteria/sub indikator menyebabkan target indikator kinerja mudah untuk dicapai. Sebaiknya, definisi operasional indikator mensyaratkan terpenuhinya seluruh kriteria/sub indikator yang telah ditetapkan, sehingga dapat menggambarkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional di masyarakat. Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan bahwa 13,5 persen puskesmas di Indonesia telah memenuhi seluruh kriteria/sub indikator yang dianalisis (kriteria pertama dan kedua).

9. Indikator Program Farmasi a. Indikator Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas :

- Jenis obat indikator ketersediaan obat dan vaksin untuk puskesmas rawat jalan dan rawat inap tidak semuanya harus sama.

- Definisi operasional indikator ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas perlu diubah menjadi “persentase puskesmas yang memiliki ketersediaan seluruh obat dan vaksin indikator”.

b. Indikator Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas : - Perlu target capaian jumlah puskesmas yang sudah dilatih pelayanan

kefarmasian sesuai standar untuk dapat digunakan sebagai indikator - Definisi operasional Indikator Renstra Pelayanan Kefarmasian perlu

direvisi dengan mempertimbangkan ketersediaan SDM pelayanan farmasi apakah seorang apoteker atau bukan apoteker, mengingat konseling adalah kewenangan seorang apoteker.

- Perlu dibuat sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi dengan sistem informasi puskesmas untuk memudahkan petugas farmasi mencatat kegiatan pemberian informasi obat dan konseling.

- Ada kesinambungan pelaporan dari Puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi sampai kepada pemegang program di Kementerian Kesehatan, sehingga didapatkan data terbaru terkait kondisi pelayanan kefarmasian di puskesmas.

- Perlu dukungan manajemen puskesmas, sehingga apoteker dapat memberikan pelayanan kefarmasian di puskesmas (pemberian informasi obat dan konseling)

c. Indikator Penggunaan Obat Rasional di Puskesmas - Peninjauan ulang perhitungan komposit 4 indikator POR dengan formula

yang ada, karena tidak relevan dan menimbulkan misinterpretasi rasionalitas. Penggunaan target penurunan persentase penggunaan antibiotik, injeksi dan rerata jumlah item per lembar resep merupakan alternatif yang baik mengingat setiap indikator mempunyai tujuan dan konteks masing-masing yang tidak bisa dibuat komposit.

Page 233: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

209

- Alternatif lain dari target penurunan persentase dan rerata item per parameter adalah dengan mengubah definisi operasional indikator POR di puskesmas menjadi Persentase Puskesmas yang melakukan POR.

- Perlu dilakukan kajian penetapan parameter indikator POR dengan melihat relevansinya dengan pengobatan yang rasional, misalnya jenis penyakit yang dijadikan indikator, polifarmasi (cut off point untuk rerata item obat per lembar resep).

- Perlu tindak lanjut monitoring dan evaluasi POR berupa intervensi untuk meningkatkan POR, misalnya intervensi didaerah yang penggunaan injeksi pada myalgia masih tinggi.

- Pelatihan POR diberikan tidak hanya kepada tenaga farmasi tetapi juga diberikan kepada prescriber, agar kedua belah pihak memiliki persepsi yang sama mengenai POR.

Page 234: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

210

DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2008, Laporan Riskesdas

2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013, Laporan Riskesdas

2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Badan Pengawasan Obat dan Makanan 2012, Peraturan Kepala Badan

Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga

Badan Pusat Statistik, 2015, Survei Sektor Informal tahun 2014. Pedoman Pencacah SSI-1 dan SSI-2. Accesed 12 Desember 2015. Available at; http://sirusa.bps.go.id/webadmin/pedoman/Pedoman%20Pencacahan%20SSI-1%20dan%20SSI-2.pdf

de Benoist B et al, eds, Worldwide prevalence of anaemia 1993 – 2005: WHO global database on anemia Geneva, World Health Organization, 2008.

Departemen Kesehatan RI. Proyek Strengthening of Community Urban Health. Kerja Sama Pemerintahan Spanyol dan Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Kesehatan Olahraga. Jakarta.2002.

Departemen kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Kesehatan Komunitas. Tahun 2005. Pedoman Upaya Kesehatan Olahraga di Puskesmas.Jakarta.2005.

Hogerzeil, H., Ross-Degnan, D., Laing, R., Ofori-Adjei, D., Santoso, B., Chowdhury, A. A., Das, A., Kafle, K., Mabadeje, A. & Massele, A. 1993. Field tests for rational drug use in twelve developing countries. The Lancet, 342, 1408-1410.

Kementerian Kesehatan Presentasi : Indikator POR. Jakarta: Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan.

Kementerian Kesehatan. 2003a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran. Jakarta.

Kementerian Kesehatan. 2003b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang persyaratan hygiene sanitasi jasa boga. Jakarta.

Kementerian Kesehatan. 2003c. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang pedoman persyaratan hygiene sanitasi makanan jajanan. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 899 Tahun 2009 Tentang Spesifikasi Teknis Makanan Tambahan Anak Balita 2 – 5 Tahun, Anak Usia Sekolah Dasar dan Ibu Hamil. 2009. Jakarta

Page 235: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

211

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Petunjuk Teknis Pemberian Makanan Tambahan Ibu Hamil. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. 2010. Jakarta

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Modul Penggerakan Penggunaan Obat Rasional, Jakarta, Kemenkes.

Kementerian kesehatan RI Direktorat Jendral PP&PL Direktorat Pengendalian PTM. 2013. Buku Pintar Kader Penyelenggaraan Posbindu PTM.

Kementerian Kesehatan. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran. Jakarta.

Kementerian Kesehatan. 2004. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan. 2007. Direktorat Bina Kesehatan Kerja, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI. Strategi Nasional Kesehatan Kerja di Indonesia. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Kerja, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI; 2007.

Kementerian Kesehatan. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 374/Menkes/PER/III/2010 Tentang Pengendalian Vektor. Jakarta: Direktorat Jenderal P2PL.

Kementerian Kesehatan. 2011. Pedoman Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Kerja (UKK) untuk Kader Pos UKK. Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kementerian Kesehatan RI. Tahun 2011.cetakan ke 3. Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan. 2012. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olah Raga. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012.

Kementerian Kesehatan. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta.

Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak Jakarta.

Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas

Kementerian Kesehatan. 2014c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 43 tahun 2014 tentang hygiene sanitasi depot air minum. Jakarta.

Kementerian Kesehatan. 2015a. Keputusan Menkes RI Nomor Hk.02.02/MENKES/52/2015. Rencana Strategis Kemenkes Tahun 2015-2019.

Kementerian Kesehatan. 2015b. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA. Direktorat Bina Gizi. 2015. Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi. Jakarta.

Page 236: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

212

Kemenkes RI. 2015c. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA. Pedoman Penatalaksanaan Pemberian Tablet Tambah Darah. Jakarta. 2015.

Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral PP&PL Direktorat Pengendalian PTM. 2015. Buku Acuan Pencegahan Kanker Payudara dan kanker Leher Rahim.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kemenkumham.

Kementerian kesehatan dan Badan Kepegawaian Negara. Peraturan bersama Menteri Kesehatan dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 22 Tahun 2014 dan No. 15 Tahun 2O14.

Paul A. James, MD; Suzanne Oparil, MD; Barry L. Carter, PharmD; et.al.Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults.JAMA.2014.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 34 tahun 2015 tentang Penanggulangan kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim.

Sari, K. C. D. P. 2011. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Obat Ditinjau dari Indikator Peresepan Menurut World Health Organization (WHO) di Seluruh Puskesmas Kecamatan Kota Depok pada Tahun 2010. Sarjana, Universitas Indonesia.

Sharma, J.B, Shankar, M (2010), Anemia in pregnancy, JIMSA, October-

December 2010, Vol. 23 No.4.

Undang-Undang Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. US Environmental Protection Agency. Disposal of Medical Sharps. Available at:

http://www3.epa.gov/epawaste/nonhaz/industrial/medical/disposal.htm [ Accesed at 12 Desember 2015].

Yuniar, Y., Susyanty, A. L. & Sari, I. D. 2016. Assessment of prescribing indicators in public and private primary health care facilities in indonesia. International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR)7th Asia Pacific Conference. Singapore: ISPOR.

World Health Organization. 2005. Handbook IMCI: integrated management of childhood illness, Geneve:World Health Organization; Dept. of Child Adolescent Health.

WHO, 2011, Hemoglobin concentration for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System, Geneva, World Health Organization, 2011 (WHO/NMH/NHD/MNM/11.1) (http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin. pdf, accessed Dec, 12, 2016).

World Health Organization. 2012. Handbook for integrated vector management. WHO, Media Centre. 2013. Noncommunicable diseases. Updated March 2013.

Access 18 November 2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/

Page 237: Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016 · laporan kegiatan terkait kesehatan olahraga, (2) puskesmas melaksanakan pembinaan kesehatan olahraga minimal (penyuluhan atau pendataan),

Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) 2016

213

World Health Organization. How to handwash. Available at: http://www.who.int/gpsc/5may/How_To_HandWash_Poster.pdf [Accesed at 12 Desember 2015].

WHO, 2016. Recommendation Early initiation of breastfeeding.