laporan situasi hap 2015 final doc - spi.or.id · banyak" pelanggaran" haklhak"...
TRANSCRIPT
0
x
1
LAPORAN PELANGGARAN HAK ASASI PETANI 2015 SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
INDONESIA HUMAN RIGHTS COMMISSION FOR SOCIAL JUSTICE (IHCS)
JAKARTA, 10 DESEMBER 2015
2
I. SELAYANG PANDANG
Akses dan kontrol atas tanah, air, benih; konflik agraria; belum adanya perlindungan harga produk pertanian bagi para petani kecil; kekeringan dan kebakaran lahan; adalah beberapa masalah hak asasi yang menerpa petani kecil Indonesia di tahun 2015. Selain beberapa kasus yang kasat mata dan awam bagi masyarakat (baca: sering terpapar di media massa), petani sebenarnya mengalami banyak pelanggaran hak-‐hak mendasarnya. Sebagai contoh, petani di Indonesia mengalami diskriminasi pada kehidupan sehari-‐harinya. Dalam mengakses informasi dan hak-‐hak publik, petani sering dipinggirkan. Petani sering tidak bisa mendapatkan akses air, benih, karena dianggap ndeso, bodoh, tidak mampu. Dalam tingkatan yang lebih struktural, petani dan organisasi petani tidak mendapat informasi, bantuan, atau akses hak publik dibanding kelompok atau organisasi lain yang dianggap lebih mapan.
Kelaparan, juga adalah masalah pedesaan dan petani: 80 persen dari mereka yang lapar di seluruh dunia ternyata tinggal di pedesaan, terutama di negara berkembang, dan setengahnya adalah petani kecil1. Kehidupan sehari-‐hari petani juga terus dihinggapi kemiskinan, perubahan iklim, kurangnya pembangunan; infrastruktur; juga kemajuan ilmu pengetahuan. Namun petani tak mau tinggal diam. Memang benar, mayoritas kaum tani masih tertindas. Di sisi lain, upaya-‐upaya untuk menuntut, memajukan, dan menegakkan hak asasi petani juga tak surut.
Di tingkat nasional dan internasional, petani telah berhasil membuat alat monitoring untuk hak asasi petani. Deklarasi hak asasi petani adalah hasil pemikiran petani Indonesia. Ia telah tercatat dalam sejarah sebagai usaha dari desa untuk institusionalisasi hak-‐hak mendasar petani. Deklarasi ini dibentuk dari diskusi panjang di lapangan dan pertemuan-‐pertemuan petani: ia mengendap sejak era Orde Baru, diwacanakan sejak awal reformasi, dan dilatih terus-‐menerus sejak dicetuskan pada tahun 20002.
Dalam tingkat nasional, ia telah menjadi dasar pembentukan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No. 19/2013. Di tingkat internasional, deklarasi ini menjadi bangunan dasar draft Deklarasi Perserikatan Bangsa-‐Bangsa tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat Pedesaan3. Serikat Petani Indonesia (SPI) melakukan berbagai upaya untuk memastikan kebijakan-‐kebijakan publik yang sejalan dengan pemajuan, penghormatan, dan penegakan hak asasi petani. SPI juga turut serta melakukan pemantauan terhadap berbagai bentuk pelanggaran atas hak asasi petani.
Laporan ini merupakan upaya untuk membangun kesadaran publik terhadap kondisi petani serta pentingnya perlindungan terhadap hak asasi petani. Sebagai alat monitoring, kami menggunakan deklarasi hak asasi petani. Dokumen ini merupakan hasil pendataan, analisis, dan penilaian SPI terhadap situasi hak asasi petani di Indonesia sepanjang tahun 2015. Laporan ini disusun berdasarkan data-‐data pendukung yang dikumpulkan baik dari laporan anggota SPI, hasil investigasi, informasi dari lembaga lain, pengamatan, serta informasi dari media massa. Berdasarkan data-‐data tersebut, kami berupaya menganalisis tentang gambaran umum situasi hak asasi petani di Indonesia.
1 Data Komite Penasihat Dewan Hak Asasi Manusia PBB (A/HRC/16/40). 2 Deklarasi Hak Asasi Petani adalah satu instrumen yang dihasilkan petani anggota SPI bersama masyarakat sipil lain yang berisi hak-‐hak mendasar petani—baik yang sudah ada pada instrumen hak asasi sebelumnya maupun hak-‐hak baru. Ada sebelas (11) set hak yang didorong menjadi kebijakan publik, juga sebagai alat monitoring. Versi awal dokumen ini bisa diunduh di http://www.spi.or.id/wp-‐content/uploads/2008/08/hak_asasi_petani.pdf
3 Upaya untuk mewujudkan sebuah Deklarasi PBB tentang hak asasi petani dimulai sejak tahun 2008, dan saat ini sudah pada tahap pembahasan oleh Intergovernmental Working Group di sesi yang kedua. Referensi proses dan dokumen silakan akses http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/RuralAreas/Pages/2ndSession.aspx
3
II. SITUASI HAK ASASI PETANI INDONESIA 2015
Perhatian Utama
Situasi Hak Asasi Petani sepanjang tahun 2015 tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Berbagai konflik agraria masih terus berlangsung tanpa adanya kemajuan langkah dalam tahap penyelesaian. Sepanjang tahun ini telah terjadi 231 konflik agraria atau lebih tinggi dibanding tahun 2014 yaitu sebanyak 143 kasus. Konflik tersebut menyebabkan korban tewas sebanyak 3 petani, 194 petani menjadi korban kekerasan, 65 petani dikriminalisasi dan lebih dari 2.700 kepala keluarga petani tergusur dari lahan pertanian.
Konflik yang menjadi sorotan SPI pada tahun ini yakni terbunuhnya 1 petani yang diculik dan dikeroyok oleh Unit Reaksi Cepat (URC) PT. Wirakarya Sakti (PT. WKS) di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Kejadian berawal pada tanggal 27 Februari 2015 Indra bersama kawannya berniat menghadiri syukuran panen raya yang harus melewati pos penjagaan PT. WKS. Pihak keamanan menolak memberi ijin Indra untuk melintasi kawasan tersebut. Akhirnya terjadi perdebatan sengit yang berujung pada pengeroyokan dan penculikan. Kawan indra berhasil selamat dan meminta bantuan kepada warga. 30 menit kemudian warga mendatangi pos URC, namun indra sudah tidak ada di pos tersebut. 28 Februari 2015 Indra ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan di sekitar rawa dekat pemukiman warga.
Kasus selanjutnya yaitu pada tanggal 3 Juli 2015 di Tanjungraya Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung terjadi perebutan areal lahan antara petani dengan PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) yang berbuntut bentrokan. Bentrokan dua kelompok massa ini mengakibatkan 1 petani tewas tertembak, beberapa luka tembak dan lainnya luka ringan. Bentrokan berawal dari keberatan pihak korban yang tanahnya dirampas perusahaan dan meminta Pemerintah Kabupaten Mesuji serta Pemerintah Provinsi Lampung melakukan pengkajian ulang atas Hak Guna Usaha (HGU) seluas 17.000 ha PT BSMI dan PT Lampung Inter Pertiwi (LIP)
Berikutnya yaitu penganiayaan yang dilakukan oleh preman bayaran perusahaan tambang di Kabupaten Lumajang Provinsi Jawa Tengah. Penganiayaan mengakibatkan 1 petani tewas dan 1 petani luka berat. Polisi menetapkan 18 tersangka pembunuhan dan penganiayaan pada 26 September 2015. Pembunuhan dan penganiayaan diduga terkait dengan aktivitas keduanya yang menolak keberadaan tambang pasir di desa elok Awar-‐awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kedua petani mendapatkan perlakuan keji dari puluhan orang bayaran perusahaan. Mereka berdua bahkan sempat disetrum dan dipukuli sebelum akhirnya dihabisi.
Gambar. 1 Foto Pemakaman Indra, Sumber: DPC SPI Tebo
Gambar. 2 Foto Jasad Salim Kancil, Sumber: Pers
4
Hak Atas Tanah dan Teritori
Pada tahun 2014 Serikat Petani Indonesia (SPI) telah mencatat setidaknya terjadi 29 konflik agraria terbuka yang mencuat ke permukaan dan 114 konflik agraria masih berkecamuk diakar rumput. Dari 143 kasus yang tercatat, diperkirakan terdapat ribuan jumlah konflik agraria lainnya yang belum terselesaikan. Konflik agraria pada tahun 2014 mengakibatkan dua orang petani tewas, 90 orang korban kekerasan dan penganiayaan, serta 89 orang petani dikriminalisasi. Secara keseluruhan konflik tersebut telah mengusir ribuan Kepala Keluarga dari lahan pertanian yang mereka pertahankan. Total luas lahan konflik agraria pada tahun 2014 mencapai 649.973,043 ha.
Sedangkan eskalasi konflik agraria pada tahun 2015 ini—sampai awal Desember—terus meningkat. Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat jumlah konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai 231 kasus. Angka ini meningkat sekitar 60% dibanding konflik agraria yang terjadi pada tahun 2014. Konflik tersebar diluruh wilayah di Indonesia dengan total luas lahan konflik agraria seluas 770.341 ha. Dari luasan konflik itu menyebabkan 3 petani tewas, 194 petani menjadi korban kekerasan, 65 petani dikriminalisasi dan lebih dari 2.700 kepala keluarga petani harus tergusur dari lahan pertanian. Angka pelanggaran Hak Asasi Petani yang tinggi mencerminkan Hak Petani untuk Mendapatkan Akses Terhadap Keadilan belum mampu dipenuhi dan diwujudkan pada tahun 2015 ini.
TABEL 1. KONFLIK AGRARIA INDONESIA 2015
Jumlah Konflik
Total Luas Lahan Konflik
Korban Tewas
Korban Kekerasan
Korban Kriminalisasi
Korban Tergusur
231 770.341 ha 3 orang 194 orang 65 orang 2.700 kk Sumber: dari berbagai sumber, diolah SPI
SPI mencatat dari 770.341 ha sebaran luas lahan konflik agraria yang terjadi diseluruh pulau di Indonesia. Berdasarkan data, Pulau Sumatera adalah pulau dengan sumber konflik agraria yang tertinggi selama tahun 2015. Untuk data selengkapnya disajikan dalam Tabel. 2 berikut ini.
TABEL 2. SEBARAN KONFLIK AGRARIA INDONESIA 2015 BERDASARKAN PULAU
PULAU LUAS LAHAN (HA) PERSENTASE (%)
Bali 325 0,042%
Jawa 81.347 10,560%
Kalimantan 18.664 2,423%
Nusa Tenggara 7.019 0,911%
Maluku 11.000 1,428%
Papua 2.800 0,363%
5
Sulawesi 67.927 8,818%
Sumatera 581.259 75,455%
Total 770.341 100%
Sumber: dari berbagai sumber, diolah SPI
Berdasarkan tebel diatas, konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai luas sekitar 770.341 ha. Pulau Sumatera yang merupakan sentra dari perkebunan menjadi paling dominan yaitu sebesar 75% dari total persentase nasional untuk konflik agraria pada tahun 2015. Selanjutnya diikuti oleh Pulau Jawa yang memiliki persentase lebih dari 10%. Pulau Sulawesi menempati posisi ketiga dalam sebaran konflik agraria yaitu sebesar 8,8%. Sedangkan pulau lainnya seperti Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Papua persentasenya dibawah dari 2%. Konflik agraria terkonsestrasi penuh di pulau Sumatera, Mekarnya industrialisasi perkebunan di Sumatera diduga akan terus memiliki dampak konflik agraria yang berkepanjangan. Hal ini dibuktikan pada Tabel. 3 di bawah ini.
TABEL 3. SEBARAN KONFLIK AGRARIA INDONESIA 2015 BERDASARKAN SEKTOR
SEKTOR LUAS LAHAN (HA) PERSENTASE (%)
Perkebunan 549.651 71,352%
Kehutanan 142.771 18,533%
Pertambangan 44.958 5,836%
Infrastruktur 29.237 3,795%
Dan Lain-‐Lain (Perorangan, Pendidikan, Keamanan) 3.724 0,483%
Total 770.341 100%
Sumber: dari berbagai sumber, diolah SPI
Perkebunan menempati sektor yang memiliki potensi paling tinggi memicu konflik agraria. 71,3% konflik agraria sepanjang tahun 2015 terjadi di sektor perkebunan. Selanjutnya sektor kehutanan menyumbang 18,5% luas konflik atau sebanyak 24 kasus agraria. Kemudian sektor lain seperti pertambangan dan infrastruktur juga turut menyumbangkan persentase masing-‐masing sebesar 5,8% dan 3,8%. Adapun sebaran luas sektor lain seperti pendidikan, keamanan dan sengketa perorangan pada tahun 2015 ini kurang dari 1% yang menyebabkan konflik agraria.
Konflik agraria yang terjadi di multi sektoral tentunya melibatkan banyak pihak. Pihak yang terlibat konflik agraria dengan petani dapat dibedakan menjadi dua yakni pihak dari pemerintah dan pihak dari swasta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik. 1 berikut ini.
6
GRAFIK 1. PIHAK YANG TERLIBAT KONFLIK AGRARIA DENGAN PETANI TAHUN 2015
Sumber: dari berbagai sumber, diolah SPI
Berdasarkan grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa kasus-‐kasus konflik agraria yang terjadi pada tahun 2015, sebesar 69% nya terjadi antara petani dengan swasta. Lalu sebesar 31% terjadi antara pemerintah dengan petani. Hal tersebut menerangkan bahwa antara pemerintah melalui BUMN atau lembaga pemerintah lainnya memiliki potensi untuk merebut tanah yang seharusnya didistribusikan kepada petani. Walaupun dominasi dibelakang konflik agraria dilakukan oleh swasta sebesar 69%. Kondisi ini diperparah dengan keterlibatan dan keberpihakan aparat penegak hukum kepada kedua kekuatan yang memegang kendali konflik agraria selama ini.
Maka dari pada itu, reforma agraria 9 juta ha harus segera dijalankan oleh Pemerintah sehingga pemerataan distribusi tanah berpihak pada prinsip keadilan. Sesuai Pasal 58 Undang-‐Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengamanahkan pemberian paling luas 2 ha tanah negara kepada petani. Dengan dijalankan Reforma Agraria, rakyat khususnya petani merasakan betul keberpihakan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Pada hakikatnya angka-‐angka diatas belum dapat merangkumkan kejadian sesungguhnya mengenai sebaran luas lahan yang menjadi persengketaan selama ini. Akan tetapi data ini setidaknya dapat mencerminkan kronisnya konflik agraria di Indonesia.
Hak Atas Kehidupan dan Atas Standar Kehidupan yang Layak
Selain dihadapkan dengan perampasan sumber-‐sumber agraria, petani juga mengalami ancaman lain berupa keterjaminan gizi bagi anak-‐anak petani. Sampai awal Desember 2015 dalam Pencapaian Indikator Kinerja Pembinaan Gizi Bulanan, Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa telah terjadi 11.024 kasus gizi buruk di Indonesia dan 744 diantaranya meninggal dunia. Indonesia memang sedang mengalami masalah gizi yang cukup kompleks, karena berdasarkan Global Nutrition Report tahun 2014, Indonesia termasuk di dalam 17 negara dari 117 negara yang mempunyai tiga masalah gizi, yaitu stunting, wasting dan overweight4.
4 Pencapaian Indikator Kinerja Pembinaan Gizi Bulanan, Kementerian Kesehatan RI 2015
7
Ditengah masalah gizi yang sedang dihadapi, pada tanggal 15 September 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan berita resmi tentang Kemiskinan di Indonesia sampai bulan Maret 2015. Jumlah penduduk miskin—penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan—di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen) atau bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Garis Kemiskinan pada Maret 2015 yakni sebesar Rp. 330.776,-‐ per bulan. Berikut Grafik. 2 tentang perkembangan jumlah penduduk miskin desa dan kota dari tahun 2004 sampai Maret 2015.
GRAFIK 2. PERKEMBANGAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN DESA DAN KOTA (2004 s/d Maret 2015)
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2015 tercatat sebesar 73,23 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2014 yaitu sebesar 73,47 persen. Kemiskinan dipengaruhi oleh kenaikan harga beras, cabe rawit dan gula pasir pada awal tahun 2015.
Berdasarkan Grafik. 2 diatas menunjukan bahwa penurunan jumlah penduduk miskin sangat lambat. Bahkan pada Maret 2015, penduduk miskin naik dibandingkan September 2015. Penduduk miskin di perdesaan berjumlah sebesar 17,94 juta orang dan di perkotaan sebesar 10,65 juta orang. Berdasarkan data tersebut, penduduk desa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani tingkat kemiskinannya lebih tinggi dibanding penduduk di perkotaan. Krisis harga beras di awal tahun 2015 juga berkontribusi tinggi dalam peningkatan jumlah penduduk miskin—terkhusus di perdesaan—karena petani juga menjadi konsumen.
Kondisi ini diperparah dengan keterpurukan kesejahteraan petani melalui data Nilai Tukar Petani (NTP) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) berikut ini:
Sumber: Laporan BPS, diolah SPI
8
GRAFIK 3. NILAI TUKAR PETANI 2014-‐2015
Nilai Tukar Petani (NTP) diperoleh dari indeks harga yang diterima oleh petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Semakin tinggi NTP maka secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani5. SPI dalam hal ini menentukan bahwa petani akan sejahtera dengan NTP sebesar 125, karena petani akan memperoleh indeks harga yang lebih tinggi dibanding indeks harga yang dibayar secara ideal. Pada Grafik. 3 diatas menunjukan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) sepanjang tahun 2015 sempat menukik pada posisi terendah yakni 100,02. Kondisi ini disebabkan oleh fluktuasi harga beras sejak awal tahun dengan kenaikan hampir 30%. Kenaikan ini belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dalam Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2015 menetapkan harga beras medium sebesar Rp.7.300,-‐. Harga tersebut dilapangan justru lebih rendah dari harga yang dibeli oleh swasta dari petani. Petani juga mengalami kemarau panjang (kekeringan) yang menyebabkan petani harus melakukan panen dini dan mengalami gagal panen. Oleh karena itu, NTP subsektor Pangan pada bulan Mei 2015 menempati posisi terendah yaitu sebesar 96,68.
Selain itu penurunan harga komoditas perkebunan seperti sawit dan karet terus terjadi sepanjang tahun 2015. Tren penurunan harga sudah mulai berlangsung sejak akhir tahun 2014. Turunnya harga diakibatkan oleh produksi yang berlebih ditengah permintaan pasar yang fluktuatif. Alhasil dibeberapa daerah harga karet jatuh sampai Rp. 4.000,-‐/kg dan tandan buah segar (TBS) sawit dihargai hanya Rp. 500/kg. Padahal dalam kondisi normal harga kedua komoditas bisa menembus harga empat sampai lima kali lipat dari harga saat ini. Keterpurukan petani perkebunan rakyat dilihat dari NTP subsektor Perkebunan Rakyat yang jatuh di angka 96,26 pada September 2015. Hal ini membuktikan bahwa sistem perkebunan monokultur saat ini sudah terbukti tidak dapat meningkatkan perekonomian petani. Bahkan keberadaan perusahaan-‐perusahaan perkebunan sebagian besar merusak alam serta menjadi dalang dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Senada dengan NTP subsektor lainnya, NTP subsektor Hortikultura sepanjang 2015 sempat merosot di angka 100,3 pada April 2015 kemudian cenderung stabil di angka 101 dan 102. Harga bawang dan cabai merah memainkan peran yang penting karena keduanya merupakan subsektor penyumbang
5 Laporan BPS, 2015
Sumber: BPS, diolah SPI
9
terbesar untuk hortikultura. Setelah itu kemudian buan-‐buahan lokal yang terus dihantam oleh ekspansi buah impor. Kemudian muncul penolakan dari korporasi terhadap Pasal 100 ayat 3 UU nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura bahwa ‘Besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen)’. Karena hal itu korporasi hortikultura mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi RI. Akan tetapi, pada 19 Maret 2015 Mahkamah Konstitusi RI memutuskan untuk menolak permohonan dan semakin memperkuat kedudukan UU nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura melalui putusan nomor 20/PUU/2014.
Hak Pelestarian Lingkungan
Pada tahun 2015 ini petani mengalami kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan karena dampak El Nino. Selanjutnya juga sebagian besar petani di Sumatera dan Kalimantan mengalami kerugian dari dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Kebakaran hutan dan lahan paling parah terjadi di tujuh Provinsi antara lain Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi meningkatnya suhu permukaan laut yang signifikan di Samudera Pasifik sekitar ekuator khususnya dibagian tengah dan timur6. Hal itu berdampak pada pengurangan jumlah curah hujan yang signifikan di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI pada 2 Agustus 2015 untuk pertanaman padi sudah mengalami kekeringan seluas 495.318 ha7. Angka ini diprediksi akan terus bertambah sampai akhir tahun 2015 mengingat dampak El Nino mencapai puncak pada Oktober-‐November 2015. Kemudian kekeringan pertanaman komoditas lain misalnya pada produksi kakao yang diperkirakan turun hingga 13% menjadi 325.000 ton dibandingkan tahun 2014.
Untuk menanggulangi gagal panen pertanaman padi, Kementerian Pertanian RI mencoba skema asuransi pertanian sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian nomor 40 tahun 2015. Premi yang harus dibayarkan untuk tiap musim tanam sebesar Rp. 180.000,-‐ per hektar. Karena pemerintah memberikan subsidi mencapai 80 persen dari APBN Perubahan 2015. Oleh karena itu petani membayar premi sebesar Rp. 36.000,-‐ per hektar tiap musim tanam.
SPI menilai bahwa asuransi pertanian belum tepat sasaran karena hanya petani yang memiliki akses dan mampu membayar premi saja yang diasuransikan. Padahal Pasal 33 UU 19/ 2013 menjamin Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ganti rugi gagal panen. Hingga 9 September 2015, SPI mencatat luas areal lahan yang terbakar dari perkebunan pelepasan hutan dan bidang tanah Badan Pertanahan Nasional di Sumatera dan Kalimantan yaitu seluas 140.471 ha. Kemungkinan luas areal ini terus bertambah sampai akhir tahun 2015 karena proses penyidikan masih terus berlangsung. Adapun laporan perusahaan yang terkena sanksi sampai 4 November 2015 tersaji pada Tabel. 4 berikut ini.
6 Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika RI 2015, “Fenomena El Nino/La Nina dan Dampaknya di Wilayah Indonesia” 7 Luas Kekeringan Pada Pertanaman Padi, 2 Agustus 2015, Direktorat Tanaman Pangan Kementan RI
10
TABEL 4. DAFTAR PERUSAHAAN TERKENA SANKSI KEMENTERIAN LHK RI
Berdasarkan tabel di atas, aktor utama kebakaran hutan dan lahan ialah perusahaan—bukan petani. Dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun, kesalahan terbesar pemerintah adalah mengizinkan hutan dan gambut di eksploitasi. Pada hakikatnya hutan dan gambut harus di lindungi bersama masyarakat adat dan para petani kawasan hutan.
Hak Petani atas Kemerdekaan Berkumpul, Mengeluarkan Pendapat dan Berekspresi, Hak Petani atas Informasi dan Teknologi Pertanian, Hak Petani atas Benih dan Pengetahuan serta Praktek Pertanian Tradisional, Hak Petani atas Perlindungan Nilai-‐Nilai Pertanian, dan Hak Petani atas Keanekaragaman Hayati
Hak kemerdekaan berorganisasi bagi petani acapkali tidak difasilitasi oleh Pemerintah. Petani bahkan dipaksa untuk masuk kedalam kelompok-‐kelompok tani tertentu jika ingin mendapatkan akses. Pelemahan terhadap organisasi petani yang didirikan oleh petani secara terus-‐menerus, dengan mempersoalkan keabsahan organisasi dan perannya dalam masyarakat serta menabrakkannya dengan kepentingan organisasi lain. Dilatar belakangi hal itu, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama organisasi sipil lainnya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi RI terhadap beberapa pasal dalam UU nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Pada tanggal 5 November 2014, MK memenangkan gugatan yang diajukan dengan nomor putusan No.87/PUU-‐XI/2013. Secara ringkas putusan itu menyatakan, pertama frasa ‘hak sewa’ dalam pasal 59 UU nomor 19 tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
NO PERUSAHAAN IZIN LOKASI KONSESI SANKSI
1. PT. Hutani Sola Lestari IUUPHK-‐HTI Riau Pencabutan Izin Usaha
2. PT. Mega Alam Sentosa IUUPHK-‐HTI Kalbar Pencabutan Izin
3. PT. Dyara Hutan Lestari IUUPHK-‐HTI Jambi Pencabutan Izin
4. PT. Langgam Inti Hibrido Perkebunan Riau Pembekuan Izin
5. PT. Waringin Agro Jaya IUUPHK-‐HTI Sumsel Pembekuan Izin
6. PT. Termpirai Palm Resources Perkebunan Sumsel Pembekuan Izin
7. PT. SBAWI IUUPHK-‐HTI Sumsel Pembekuan Izin
8. PT. Pesona Belantara Persada IUUPHK-‐HTI Jambi Pembekuan Izin
9. PT. Daya Mandiri Lestari IUUPHK-‐HTI Kaltim Pembekuan Izin
10. PT. Russelindo Putra Prima Perkebunan Sumsel Pembekuan Izin
11. PT. BSS Perkebunan Kalbar Paksaan Pemerintah
12. PT. KU Perkebunan Jambi Paksaan Pemerintah
13. PT. IHM IUUPHK-‐HTI Kaltim Paksaan Pemerintah
14. PT. WS IUUPHK-‐HTI Jambi Paksaan Pemerintah
Sumber: Divisi Humas Polri dan Kementerian LHK RI
11
hukum mengikat. Sebab hubungan sewa menyewa tanah yang dilakukan oleh negara merupakan praktek feodal dimasa kolonial Hindia Belanda dan sudah semestinya dihentikan. Kedua, pasal 70 ayat 1 mengenai kelembagaan petani dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani’. Dengan demikian, tidak hanya Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Asosiasi Komoditas Pertanian dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani juga harus diakui.
Ketiga, pasal 71 tentang kata ‘berkewajiban’ juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi pasal tersebut kemudian selengkapnya menjadi ‘petani bergabung dan berperan aktif dalam kelembagaan petani sebagaimana dimkasud dalam pasal 70 ayat 1’. Oleh karena itu, petani tidak berkewajiban untuk ikut dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani, dan boleh menjadi anggota organisasi tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani sendiri.
Akan tetapi menjelang tahun 2015 ditutup, putusan MK diatas belum disesuaikan dengan peraturan turunan. Misalnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 82 tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani tak kunjung direvisi. Alhasil petani masih mendapatkan diskrimanasi terutama bagi anggota organisasi petani diluar kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Sehingga akses program dan bantuan hanya dirasakan oleh kelompok tani dan gabungan kelompok tani saja. Misalnya dalam program peningkatan produksi pangan dan antisipasi kekeringan, Pemerintah menyalurkan bantuan sarana produksi pertanian seperti alat dan mesin pertanian.
Kenyataan yang terjadi alat dan mesin pertanian berupa traktor dan pompa air tidak diterima oleh petani yang benar-‐benar membutuhkan dan cenderung tidak tepat sasaran. Karena petani penerima bantuan hanya yang menjadi anggota kelompok tani, padahal petani yang tergabung dalam organisasi yang didirikan sendiri oleh petani banyak yang lebih membutuhkan dan jumlahnya lebih banyak. Dalam kasus ini Pemerintah lalai memenuhi Hak Petani atas Informasi dan Teknologi Pertanian.
Begitupun dengan Hak atas Benih dan Pengetahuan serta Praktek Pertanian Tradisional, Hak atas Perlindungan Nilai-‐Nilai Pertanian, dan Hak atas Keanekaragaman Hayati yang belum dilindungi oleh Pemerintah. Dalam meningkatkan produksi pertanian pemerintah sekarang melakukan upaya khusus (UPSUS) padi, jagung, kedele. Dalam jalankan usaha ini pemerintah secara massif mendistribusikan benih-‐benih hibrida kepada petani. Hal ini tentu merugikan petani, karena seharusnya pemerintah mendistribusikan benih-‐benih unggul yang merupakan hasil dari petani, bukan justru mendistribusikan benih-‐benih dari korporasi.
Hak Kemerdekaan untuk Menentukan Harga dan Pasar
Ditengah kekeringan, kebakaran hutan dan lahan. Petani juga harus menghadapi turunnya harga komoditas perkebunan dan tantangan impor pangan yang semakin pelik. Sampai saat ini komoditas perkebunan seperti kelapa sawit dan karet masih bergantung pada pasar Internasional. Sedangkan pasar Internasional di kontrol oleh perusahaan-‐perusahaan besar. Sehingga Pemerintah tidak mempunyai rencana produksi komoditas perkebunan yang terarah dan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Akhirnya ketika produksi berlebih, harga akan turun. Lain halnya dengan industri
12
pengolahan yang dimiliki korporasi, misalnya saat harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit anjlok, minyak goreng tidak pernah turun secara segnifikan. Pada kasus ini harga secara jelas berpihak pada industri pengolahan bahan baku yang dimiliki korporasi bukan kepada petani yang memproduksi bahan baku.
Ketidak percayaan kepada petani sebagai penghasil pangan rakyat kembali terjadi. Terbukti dengan volume importasi pangan yang masih sangat tinggi. Pemerintah menjadikan bencana kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan sebagai pembenaran terhadap kebijakan impor pangan yang diputuskan. Volume impor pangan Indonesia sejak bulan Januari-‐September 2015 terdapat dalam Grafik. 4 dibawah ini.
GRAFIK 4. VOLUME IMPOR PANGAN INDONESIA 2015
Grafik 4. menerangkan bahwa volume impor pangan Indonesia terbesar adalah gandum. Sampai September 2015, Indonesia telah mengimpor gandum sebesar 5.563.700 ton dan menghabiskan US$ 1,6 milyar. Pada tahun 2014, impor gandum Indonesia mencapai 7,5 juta ton8. Jika tidak melakukan koreksi dan perubahan pola konsumsi, maka lima tahun mendatang Indonesia diprediksi akan menjadi negara utama pengimpor gandum di dunia.
Posisi kedua volume importasi pangan Indonesia yakni kedelai. Sampai bulan September 2015 ini volume impor kedelai sebesar 4.673.757 ton. Besarnya impor kedelai menunjukan bahwa pada tahun pertama program peningkatan produksi kedelai yang dilakukan pemerintah tidak berjalan optimal. Ancaman kedelai lokal diperparah dengan kebijakan Paket Ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada Oktober 2015. Paket itu berimbas pada penurunan harga kedelai impor sekitar Rp. 200,-‐ ke level Rp. 7.100,-‐ per kg pada Oktober 2015. Bahkan pada Desember 2015 harga kedelai impor menjadi Rp. 5.300 per kg. Oleh karena itu, kedelai lokal turun drastis dari harga beli petani yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 7.700 per kg menjadi 5.500 per kg. Harga tersebut dinilai tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani kedelai.
8 Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian RI 2015
13
Volume impor jagung hingga September 2015 yakni sebesar 2.735.469 ton. Angka ini lebih tinggi dibandingkan impor jagung pada Oktober 2014 sebesar 2,6 juta ton. Kendala penyerapan jagung nasional untuk industri pengolahan menjadi dasar impor jagung meningkat. Disisi lain produktifitas jagung belum mampu memenuhi seluruh permintaan. Salah satu permasalahannya seperti penyimpanan jagung hasil panen untuk menjaga kualitas belum tersedia.
Kementerian Pertanian RI mencatat sampai pada bulan September 2015 Indonesia mengimpor beras sebanyak 229.628 kg. Target produksi padi pada tahun 2015 sebesar 73,4 juta ton Gabah Kering Giling (GKG)—setara dengan 46,15 juta ton beras. Berdasarkan terget tersebut, Bulog menetapkan target pengadaan pada tahun 2015 sebesar 3 juta ton beras atau sekitar 6,5 persen dari target produksi beras 2015. Adapun rasio serapan Bulog terhadap produksi selama lima tahun terakhir (2010-‐2014) paling besar hanya terjadi pada 2012 yakni 8,4 persen dari produksi beras nasional. Artinya selain tahun 2012, Bulog hanya mampu menyerap 5-‐7 persen saja.
Kisruh perberasan kian mengemuka ketika pada bulan September 2015 stok Bulog baru mencapai 1,7 juta ton. Persediaan itu diperkirakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai musim paceklik awal tahun depan. Wakil Presiden RI, Menteri Perdagangan RI dan Birut Bulog menyatakan impor beras sedangkan Presiden RI dan Menteri Pertanian menyatakan tidak perlu impor karena produksi cukup. Polemik ini kemudian semakin terbuka pada awal Oktober 2015, saat media Vietnam The Saigon Times menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menyepakati kontrak untuk memasok beras sebanyak 1 juta ton dari Vietnam.
Impor beras ke Indonesia kembali ditegaskan oleh Direktur Thinh Phat Co Ltd. Lam Anh Tuan yang menyebutkan, beras untuk Indonesia terdiri dari 750.000 ton dengan kualitas patahan 15 persen atau beras medium dan 250.000 ton beras dengan patahan 5 persen atau beras premium. Beras tersebut akan dikirim bertahap selama enam bulan, yaitu mulai Oktober ini hingga Maret 2016. Pada tanggal 12 November 2015, akhirnya terbukti beras impor dari Thailand dan Vietnam sudah mulai masuk ke Indonesia seperti di pelabuhan Tanjung Priuk sebesar 27.000 ton. Kuota beras impor rencananya akan mencapai 1,5 juta ton yang digunakan untuk stok beras di Bulog yang konon sudah menipis.
Kebijakan perdagangan produksi pertanian akan ditentukan pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-‐10 di Nairobi pada 15-‐18 Desember 2015. Beberapa negera berkembang bertahan untuk menyubsidi petani dan rakyat miskin. Sementara usulan negara maju adalah untuk menghapus subsidi tersebut, pun mereka diberi akses terus untuk ekspor produk pertanian mereka ke seluruh penjuru dunia. Isu pertanian dan kedaulatan pangan rakyat akan dipertaruhkan dalam konferensi ini. Pemerintah RI Jokowi-‐JK yang mengusung kedaulatan pangan tentu bisa menjadi pemain kunci dalam masa depan kedaulatan pangan dunia. Apakah Hak Kemerdekaan untuk Menentukan Harga dan Pasar dikembalikan kepada petani atau tetap di pasar bebas yang dipegang para korporasi.
Pada tanggal 26 Oktober 2015 setelah bertemu Presiden Obama, Presiden Jokowi mengatakan bahwa dengan jumlah penduduk 250 juta Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Indonesia bermaksud untuk bergabung dalam Trans Pacific Partnership (TPP). Padahal pada awal Oktober 2015 Indonesia bersikap hanya akan bergabung ketika kesepakatan TPP telah jelas menguntungkan negara. Jika bergabung Indonesia harus mengikuti aturan main yang ditetapkan TPP seperti investor bisa menyeret pemerintah ke pengadilan, termasuk tarif murah dan tidak mengistimewakan badan usaha milik negara (BUMN).
14
III. KESIMPULAN
1. Hak Asasi Petani atas Kehidupan dan atas Standar Kehidupan yang Layak selama tahun 2015 sangat mengecewakan. Keterjaminan gizi bagi anak-‐anak petani sampai awal Desember 2015 tak terpenuhi, telah terjadi 11.024 kasus gizi buruk di Indonesia dan 744 diantaranya meninggal dunia. Kondisi ini disebabkan oleh fluktuasi harga beras sejak awal tahun dengan kenaikan hampir 30%. Kondisi ini diperparah dengan keterpurukan kesejahteraan petani melalui data Nilai Tukar Petani (NTP) sepanjang tahun 2015 sempat menukik pada posisi terendah yakni 100,02. NTP subsektor Pangan pada bulan Mei 2015 menempati posisi terendah yaitu sebesar 96,68. Kemudian penurunan harga komoditas perkebunan seperti sawit dan karet;
2. Hak Asasi Petani atas Tanah dan Teritori pada tahun 2015 tidak mengalami perubahan yang berarti. Konflik agraria terjadi sebanyak 231 kasus, 205 kasus merupakan kasus yang sudah terjadi sejak lama sampai akhir tahun 2015 ini belum diselesaikan, dan 26 merupakan kasus yang baru terdata pada tahun ini. Konflik agraria ini menyebabkan 3 petani tewas, 194 petani menjadi korban kekerasan, 65 petani dikriminalisasi serta lebih dari 2.700 kepala keluarga petani tergusur dari lahan pertanian. Konflik tersebar diseluruh wilayah di Indonesia dengan total luas lahan konflik agraria seluas 770.341 ha. Sumatera yang merupakan sentra perkebunan Indonesia menjadi pulau yang memiliki konflik agraria paling tinggi yaitu sebesar 75% dari total persentase nasional. Selanjutnya diikuti oleh Pulau Jawa 10%, Pulau Sulawesi 8,8%, lalu pulau Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Papua dibawah dari 2%. Perkebunan menempati sektor yang memiliki potensi paling tinggi pemicu konflik agraria sebesar 71,3%. Selanjutnya sektor kehutanan menyumbang 18,5%, kemudian sektor lain seperti pertambangan dan infrastruktur masing-‐masing sebesar 5,8% dan 3,8%. Serta pada sektor lain berjumlah kurang dari 1%. Konflik agraria yang terjadi pada tahun 2015, sebesar 69% terjadi antara petani dengan swasta dan 31% terjadi antara pemerintah dengan petani. Jika tidak ada perubahaan, pada tahun 2016 eskalasi konflik agraria akan semakin tinggi dan tidak menutup kemungkinan korban dari petani akan kembali berjatuhan. Hal ini memungkinkan karena jumlah petani tak bertanah semakin bertambah, pengambilan tanah petani atas nama kepentingan umum berupa pembangunan infrastruktur oleh pemerintah semakin meningkat, dan desakan dari korporasi untuk menguasai tanah-‐tanah juga terus meningkat guna perluasan industri perkebunan, dan kehutanan.
3. Hak Asasi Petani atas Benih dan Pengetahuan serta Praktek Pertanian Tradisional, Hak atas
Perlindungan Nilai-‐Nilai Pertanian, Hak atas Keanekaragaman Hayati, dan Hak atas Pelestarian Lingkungan yang belum dilindungi oleh Pemerintah. Benih hibrida didistribusikan secara massif oleh Pemerintah dalam menjalankan peningkatan produksi (swasembada pangan) melalui program Upaya Khusus Padi, Jagung dan Kedelai (UPSUS PAJALE). Hal ini menghambat pengembangan benih unggul lokal yang sudah dikembangkan dan dibudidayakan oleh petani. Juga dengan kenanekaragaman hayati dan pelestarian lingkungan.
4. Berdasarkan Pasal 66 Undang-‐Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memfasilitasi pembiayaan dan permodalan usaha tani. Terlebih pada kondisi pertanian hari ini yang tengah diterpa berbagai gejala alam berupa kekeringan dan kebakaran. Namun sepanjang 2015 ini Hak Asasi Petani atas Permodalan dan Sarana Produksi Pertanian
15
belum terpenuhi. Petani belum bisa dapat mengakses modal karena program dan lembaga pembiayaan yang memudahkan petani untuk mengaksesnya sesuai dengan perintah Undang-‐Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani belum dibentuk. Begitupun dengan sarana produksi pertanian, petani masih sulit mendapatkan akses karena dilapangan masih dikoptasi oleh kelompok-‐kelompok tani tertentu saja.
5. Hak Asasi Petani atas kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi bagi
petani acapkali tidak difasilitasi dan bahkan dipaksa untuk masuk kedalam kelompok tani yang tidak sesuai dengan aspirasi petani. Di lapangan petani masih mengalami diskrimanasi terutama bagi anggota organisasi petani diluar kelompok tani (POKTAN) dan gabungan kelompok tani (GAPOKTAN). Akses program dan bantuan hanya dirasakan oleh kelompok tani dan gabungan kelompok tani saja. Begitupun dengan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan tidak bisa diakses oleh semua kalangan petani. Padahal berdasarkan Pasal 70 Undang-‐Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Kelembagaan Petani yang didirikan oleh petani diakui juga oleh Pemerintah dan memiliki hak yang sama.
6. Hak Asasi Petani atas Kemerdekaan untuk Menentukan Harga dan Pasar pada tahun 2015 ini
masih dihadapkan pada sistem perekonomian pertanian yang condong kepada pasar. Turunnya harga komoditas perkebunan dan tantangan impor pangan membuktikan hal tersebut. Sampai saat ini komoditas perkebunan seperti kelapa sawit dan karet masih bergantung pada pasar internasional yang di kontrol oleh perusahaan-‐perusahaan besar. Dibeberapa daerah harga karet jatuh sampai Rp. 4.000,-‐/kg dan tandan buah segar sawit sampai Rp. 500/kg. Sehingga NTP subsektor Perkebunan Rakyat jatuh di angka 96,26 pada September 2015. Pada posisi ini petani mengalami kerugian karena biaya produksi lebih tinggi dari penjualan hasil produksi.
16
IV. PENUTUP
Laporan situasi Hak Asasi Petani di Indonesia tahun 2015 ini merupakan gambaran umum yang seluruh data dan informasinya mampu dijangkau oleh Serikat Petani Indonesia. Hak Asasi Petani harus ditegakan karena petani adalah penyedia pangan untuk keberlangsungan kehidupan manusia. Namun kewajiban utama untuk melindungi Hak Asasi Petani berada di tangan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Negara harus memastikan hak-‐hak dasar petani dilindungi oleh hukum, dan sepenuhnya dijalankan dan dipenuhi oleh negara, demi kedaulatan pangan, kesejahteraan petani dan masa depan bangsa.
Pemerintah Indonesia harus sudah sungguh-‐sungguh mengimplementasikan isi dari Undang-‐Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani untuk memajukan dan memenuhi hak asasi petani. Menjabarkannya dalam bentuk peraturan-‐peraturan pemerintah, baik dilingkungan Kementerian Pertanian RI maupun Kementerian yang terkait dengan pertanian lainnya. Kemudian program-‐program yang dijalankan pemerintah sekarang harus mengacu kepada Undang-‐Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Undang-‐Undang terkait dengan petani seperti Undang-‐Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-‐Undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Di tingkat daerah, Pemerintah Pusat harus aktif mendesak Pemerintah Daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah yang menjabarkan ketiga Undang-‐Undang tersebut.
Program kedaualatan pangan dan reforma agraria yang tercantum dalam Nawacita pemerintahan Joko Widodo sekarang ini haruslah sungguh-‐sungguh dilaksanakan, bukan yang sebaliknya. Karena kalau Nawacita itu dilaksanakan kita yakin perubahan pada nasib petani Indonesia akan terjadi.
JAKARTA, 10 DESEMBER 2015 DEWAN PENGURUS PUSAT SERIKAT PETANI INDONESIA DAN INDONESIAN HUMAN RIGHTS COMMITTEE FOR SOCIAL JUSTICE
17
V. LAMPIRAN
INDIKATOR PELANGGARAN HAK ASASI PETANI
Berawal dari Indonesia pada tanggal 21 April 2001, lahirlah inisiatif rakyat untuk pengakuan dan perlindungan hak asasi kepada kaum tani dan para pejuang reforma agraria. Inisiatif itu dituangkan dalam sebuah perhelatan bertajuk Konferensi Nasional Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani, yang melahirkan Deklarasi Hak Asasi Petani Indonesia. Berbulan-‐bulan sebelum konferensi nasional tersebut diselenggarakan, petani-‐petani di Indonesia telah melakukan berbagai rangkaian rapat dan workshop mengenai hal tersebut. Secara nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan workshop di Medan, Sumatera Utara sejak tahun 2000. Kemudian wacana tersebut berkembang ke level regional dan konferensi dengan tema yang sama diadakan di Jakarta pada April 2002 dan akhirnya Konferensi Internasional Hak Asasi Petani dilaksanakan di Jakarta pada Juni 2008. Sejak genesisnya di awal era 2000-‐an, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama La Via Campesina, gerakan petani internasional, telah berjuang untuk pengakuan dan perlindungan hak asasi petani dalam mekanisme hukum internasional di PBB.
La Via Campesina dengan bersama Food first International Action Network dan Centre Europe Tiers-‐Monde (CETIM) telah melakukan dua kali pertemuan dengan para ahli didalam isu HAP (Hak Asasi Petani) untuk membicarakan inisiatif sebuah Konvensi HAP di tahun 2004 dan 2006. Hasil pertemuan ini adalah tercatatnya inisiatif tersebut di dalam laporan tahunan 2006 oleh Special Rapporteur PBB untuk Perlindungan Hak atas Pangan. Hal ini terkait sebagai usaha untuk memperbaiki kehidupan petani kecil sebagai korban utama dari kelaparan dan malnutrisi, dan tentunya relevan terhadap konteks pelanggaran HAM.
Dipandang dari sisi hukum internasional, perjuangan petani untuk pengakuan haknya ini berlaku sepenuhnya pada kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) yang mencakup instrumen dan mekanisme tematik Dewan HAM PBB, yang mengatur tentang hak atas pangan, hak atas tempat tinggal, akses terhadap air bersih, hak atas kesehatan, pembela hak asasi manusia, masyarakat adat, rasisme & diskriminasi rasial, dan hak-‐hak perempuan. Instrumen internasional PBB ini tidak secara menyeluruh mencakup atau mencegah pelanggaran hak asasi manusia terutama hak asasi petani.Kita melihat terdapat beberapa keterbatasan Kovenan Internasional Hak-‐hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) sebagai alat untuk melindungi hak petani.Selain itu, Piagam Petani yang dibuat oleh FAO pada tahun 1979, tidak dapat melindungi para petani dari kebijakan liberalisasi internasional. Konvensi internasional lain yang berhubungan dengan hak asasi petani juga tidak dapat diterapkan.
Konvensi-‐konvensi tersebut termasuk: Konvensi ILO 169, Klausul 8-‐J Konvensi Keanekaragaman Hayati, Poin 14.60 Agenda 21, dan Protokol Cartagena dalam International Treaty on Plant Genetic Resource for Food and Agriculture (ITPGRFA). Sebenarnya sudah ada pasal 9 tentang hak petani, namun masih terjanggal juga dengan ‘benfit sharing’ yang bias dengan hak paten industri atas benih. Dilatarbelakangi dengan keterbatasan dari konvensi dan resolusi tersebut, adalah penting untuk menciptakan instrumen internasional untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakan hak asasi petani—sebuah Konvensi Internasional Hak Asasi Petani. Lebih lanjut konvensi internasional Hak Asasi Petani tersebut berisikan nilai-‐nilai dari hak para petani yang akan dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh pemerintah dan lembaga internasional. Sampai saat ini telah terdapat konvensi-‐konvensi untuk melindungi kelompok-‐kelompok yang rentan seperti masyarakat adat, perempuan, anak-‐anak atau pekerja migran.
18
Oleh karena kaum tani sebagai kelompok yang rentan, maka hal yang sangat mendesak untuk segera mewujudkan Konvensi Internasional Hak Asasi Petani. Setali tiga uang dengan keadaan internasional, ternyata instrumen hak asasi manusia di tingkat nasional juga tidak cukup untuk melindungi hak-‐hak petani. Kasus kriminalisasi, dan kekerasan yang menyebabkan kematian, pembunuhan dan penangkapan petani juga mereka yang berjuang untuk sumber-‐sumber agrarianya banyak sekali terjadi setiap tahun.
Diskriminasi yang terus berlangsung terhadap petani membuat pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi mereka terhambat. Untuk itulah ditingkat nasional, Serikat Petani Indonesia memperjuangkan sebuah Undang-‐Undang untuk Perlindungan Hak Asasi Petani. Hasilnya pada tahun 2013 UU nomor 19 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disahkan dan menjadi salah satu tonggak penegakan Hak Asasi Petani di Indonesia. Akan tetapi, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ini masih terdapat kelemahan didalamnya. Maka dari pada itu, SPI bersama organisasi-‐organisasi lainnya mengajukan Judisial Review ke mahkamah konstitusi RI perihal isi dari pasal 59, 70 dan 71. Ketiga pasal tersebut berdasarkan hasil kajian bersama dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hasilnya pada awal November 2014, MK mengabulkan Judisial Review yang diajukan dengan menghapus makna “sewa lahan” dalam pasal 59, tidak menentukan nama kelembagaan petani pada pasal 70 ayat 1, dan menghapus kata “berkewajiban” pada pasal 71.
Di dunia internasional, sejak tahun 2004 Serikat Petani Indonesia bersama La Via Campesina telah melaporkan pelanggaran hak-‐hak asasi petani tersebut secara berkala ke Perserikatan Bangsa-‐Bangsa (PBB) dan menggunakan Deklarasi Hak Asasi Petani sebagai alat monitor secara efektif. Serikat Petani Indonesia (SPI) menggunakan Deklarasi Hak Asasi Petani sebagai alat monitor untuk menilai sejauh mana hak asasi petani diakui, dilindungi, dan dipenuhi. Deklarasi tersebut berisikan 13 pasal utama dan singkat untuk menandakan pelanggaran di lapangan, yang bisa ditemukan pada tabel di bawah ini (Pasal 1 dan 2 tidak dicantumkan karena berisikan pengertian petani dan hak umum petani) :
JENIS HAK YANG DILANGGAR INDIKATOR SINGKAT
(1) Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak (Pasal III Deklarasi Hak Asasi Petani)
Kebutuhan petani atas keadilan pangan, sandang, gizi, infrastruktur di pedesaan.
(2) Hak atas tanah dan teritori (Pasal IV Deklarasi Hak Asasi Petani)
Perampasan atas sumber daya agraria:
1. Pelemahan dan serangan langsung atas akses dan penghidupan,
2. Kasus tanah yang berlarut-‐larut, 3. Bentuk-‐bentuk status tanah yang merampas secara
langsung dan tidak langsung-‐termasuk HGU, 4. Monopoli dan Oligopoli Tanah (keadaan pasar tanah), 5. Kebijakan dan UU yang menggusur tentang kehidupan
rakyat dan petani pedesaan
19
(3) Hak atas benih dan pengetahuan serta praktek pertanian tradisional (Pasal V Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Praktik yang menghalangi hak penentuan varietas benih yang ditanam petani,
2. Praktik yang menghalangi hak untuk melestarikan dan mengembangkan pengetahuan lokal petani dalam pertanian, perikanan dan peternakan—dan teknologi mereka sendiri yang berdasarkan prinsip perlindungan atas kesehatan manusia dan pelestarian lingkungan,
3. Praktik yang menghalangi hak mengembangkan benih varietas lokal dan saling bertukar, memberi atau menjual benih tersebut.
(4) Hak atas permodalan dan sarana produksi pertanian (Pasal VI Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Adanya penyelewengan bantuan dan modal yang diberikan pemerintah kepada petani.
2. Tidak tersalurnya bantuan dan akses modal untuk pertanian petani di pedesaan.
(5) Hak atas informasi dan teknologi pertanian (Pasal VII Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Ketidakfahaman petani atas dampak pelaksanaan UU yang berhubungan dengan petani.
2. Sulitnya mencari informasi tentang kebijakan dan akses tekhnologi pertanian.
(6) Kebebasan untuk menentukan harga dan pasar untuk produksi pertanian (Pasal VIII Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Adanya monopoli perusahaan, 2. Adanya praktek perdagangan international yang menabrak
harga pertanian nasional, 3. Hilangnya hak atas akses pertanian di pedesaan akibat
monopoli perusahaan.
(7) Hak atas perlindungan nilai-‐nilai pertanian (Pasal IX Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Hilangnya kebudayaan pertanian lokal di desa akibat kebijakan konversi lahan,
2. Hancurnya pengetahuan dan nilai pertanian tradisional di pedesaan.
(8) Hak atas keanekaragaman hayati (Pasal X Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Kebijakan yang secara tidak langsung membuat organisasi tani tidak bisa beraktivitas dan menngembangkan pengetahuan tradisional petani dipedesaan,
2. Praktek penangkapan petani atas pengembangan budidaya tanaman.
(9) Hak atas pelestarian lingkungan (Pasal XI Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Praktik yang secara tidak langsung membuat petani tidak bisa beraktivitas, mengakseslingkungan yang sehat, dan menghalangi praktik pelestarian lingkungan berdasarkan kearifan lokal rakyat,
2. Praktek eksploitasi kekayaan alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
(10) Kemerdekaan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan berekspresi (Pasal XII Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Pelemahan organisasi secara terus-‐menerus mempersoalkan keabsahan organisasi danperannya dalam masyarakat,
2. Menabrakkannya dengan kepentingan organisasi lain, 3. Stigma kriminalisasi: setiap gerak dianggap melanggar
hukum.
20
(11) Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan (Pasal XIII Deklarasi Hak Asasi Petani)
1. Tidak ada peradilan yang adil (unfair trial), 2. Paksaan (fisik dan psikologis) untuk memberikan
keterangan palsu, 3. Berkas yang bermasalah, 4. Tidak ada kehadiran pembela atau akses kerabat/keluarga
dan media.