laporan resmi praktikum gagal ginjal

36
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI SISTEM KARDIOVASKULER DAN RENAL Praktikum ke : IV Judul Kasus : Farmakoterapi Pada Gangguan Ginjal I. TUJUAN PRAKTIKUM Mahasiswa mampu memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada penyakit gagal ginjal dengan obat. II. TINJAUAN PUSTAKA Meilofibrosis Idiopatik Kronik dengan Metaplasia Meilod (MMM) Nama lain penyakit ini adalah metaplasia mieloidagnogenic, mielofibrosis dengan metaplasia mieloid dan mielofibrosis idiopatik kronik. (Vardiman JW,2002). Proliferasi pada keadaan panmielosis yang terjadi pada penyakit ini didominasi oleh galur sel megakaryosit monoklonal dan fibroblast poliklonal. Faktor etiologi yang berkaitan dengan penyakit ini adalah paparan radiasi dan faktor familial. Kriteria diagnosis untuk penyakit ini mencakup: Splenomegali.

Upload: budi-pieces

Post on 24-Jul-2015

580 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI SISTEM KARDIOVASKULER DAN RENAL

Praktikum ke : IV

Judul Kasus : Farmakoterapi Pada Gangguan Ginjal

I. TUJUAN PRAKTIKUM

Mahasiswa mampu memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada penyakit

gagal ginjal dengan obat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Meilofibrosis Idiopatik Kronik dengan Metaplasia Meilod (MMM)

Nama lain penyakit ini adalah metaplasia mieloidagnogenic, mielofibrosis

dengan metaplasia mieloid dan mielofibrosis idiopatik kronik. (Vardiman JW,2002).

Proliferasi pada keadaan panmielosis yang terjadi pada penyakit ini didominasi oleh

galur sel megakaryosit monoklonal dan fibroblast poliklonal. Faktor etiologi yang

berkaitan dengan penyakit ini adalah paparan radiasi dan faktor familial. Kriteria

diagnosis untuk penyakit ini mencakup:

Splenomegali.

Adanya leukoeritroblastik (eritrosit berinti dangranulositosis), anisositosis dan

poikilositosis pada pemeriksaan hapusan darah tepi.

Jumlah hematokrit yang normal (dengan pemeriksaan51Cr).

Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang : fibrosis pada> 1/3 daerah cross sectional .

Fibrosis tidak bersifat sekunder oleh karena penyebab lain.

Tidak ada kromosom Ph1 dan tidak ada diseritropoisis.( Casciato DA,2004)

Kriteria diagnostik untuk osteosklerosis mencakup adanya lesi sklerotik yang

dibuktikan dengan adanya gambaran patchy osteosklerosis pada� � pemeriksaan rontgent

daerah pelvis, vertebra dan tulang panjang disertai kriteria diagnostik untuk MMM.

Page 2: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

(Casciato DA,2004) Hasil pemeriksaan laboratorium penderita MMM biasanya

menunjukkan:

1. Anemia sedang (pada 2/3 kasus) yang kemungkinan disebabkan oleh

eritropoisis yang tidak efektif, hemolisis autoimun, penyakit hemoglobin H

atau paroxysmal hemoglobinuria like syndrome. Pemeriksaan hapusan darah

tepi menunjukkan eritrosit berbentuk dakrosit / teardrop sel,

ovalosit,anisositosis, polikromasia dan eritrosit berinti yang patognomonis

untuk MMM.

2. Jumlah granulosit berkisar antara 10 ribu - 30 ribu/mmk dengan jumlah blast

dan promielosit <10%. Lima belas persen penderita mengalami

granulositopeni.

3. Jumlah trombosit bervariasi (tergantung stadium penyakit) dengan morfologi

yang abnormal.

4. Pemerikasaan aspirasi sumsum tulang menunjukkan gambaran penurunan

kandungan lemak, hyperplasia granulositik, peningkatan jumlah megakaryosit

displastik, fibrosis yang bersifat patchy dan tersebar� � serta penurunan jumlah

retikulin.

5. Pemeriksaan imunologik menunjukkan abnormalitas berupa adanya antibodi

monoclonal (10% kasus), kompleks imun sirkulasi (> 50% kasus),

hiperglobulinemia poliklonal, faktor rheumatoid danantinuclear antibody

serta memberikan hasil (+) pada pemeriksaan direct Coombs test (20%

kasus). (Casciato DA,2004).

Tanda dan gejala yang terjadi merupakan manifestasi anemia dan splenomegali.

Serempat kasus bersifat asimtomatik dalam waktu lama meskipun tanpa terapi. Tanda

dan gejala lain yang dapat ditemukan berupa demam, penurunan berat badan dan nyeri

tulang. Beberapa sindroma yang dapat dijumpai pada penyakit ini adalah mielofibrosis

akut (dikenal dengan LMA tipeM7), hipertensi portal, tumor-tumor hematopoitik

ekstrameduler dan dermatosis netrofilik. (Casciato DA,2004)

Usia harapan hidup berkisar antara 4-5 tahun sejakterdiagnosa dan kematian

biasa diakibatkan oleh karenagagal jantung, infeksi, perdarahan (biasanya hanyaterjadi

pada stadium lanjut) dan transformasi menjadi LMA. (Casciato DA,2004)

Page 3: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Penatalaksanaan penderita terdiri dari terapimedis, transplantasi sumsum tulang,

splenektomi danterapi radiasi. Terapi medis sebaiknya tidak diberikansampai penderita

mengalami gejala oleh karena tidakmemperbaiki angka kelangsungan hidup

penderita.Bentuk terapi medis yang dimaksud adalah pemberiantransfusi packed red cell

/ PRC, preparat androgen(dengan fluoxymesterone atau danazol),

glukokortikoid(prednison), asam folat, eritropoitin, kemoterapi (denganhidroksiurea

dosis rendah, busulfan atau 6-tioguanin)dan thalidomide.( Casciato

DA,2004)Transplantasi sumsum tulangsebaiknya dipertimbangkan untuk penderita

berusia <40 tahun dan mempunyai saudara sekandung yanghistokompatibel.(Casciato� �

DA,2004)

Splenektomi bermanfaat untuk mengatasi nyeri akibat splenomegali dan

sitopenia, akan tetapi terapi iniharus dipertimbangkan dengan hati-hati oleh karenadapat

mengakibatkan hepatomegali progresif danmeningkatkan resiko terjadinya transformasi

blastik.Indikasi splenektomi adalah rasa tidak nyaman persistenoleh karena

splenomegali / infark limpa, anemiahemolitik refrakter (dimanifestasikan

denganpeningkatan frekuensi kebutuhan transfusi),trombositopenia refrakter yang tidak

disertai tanda-tandakoagulasi intravaskuler diseminata, keadaanhiperkatabolik yang

tidak responsive terhadap terapimielosupresi dan hipertensi porta yang

menyebabkanpecahnya varises.( Casciato DA,2004)

Terapi radiasi dapat diberikan setiap hari dengandosis kecil dan diindikasikan

untuk keadaansplenomegali masif yang tidak dapat menjalanisplenektomi dan sebagai

terapi paliatif terhadap nyeritulang akibat periostitis, tumor hematopoisisekstrameduler

dan asites oleh karena metaplasia mieloidpada peritoneum. (Casciato DA,2004).

Anemia

Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas

hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan

demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan

patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta asi

didukung oleh pemeriksaan laboratorium.( http://www.pediatrik.com)

a. Manifestasi klinik

Page 4: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat

menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:

(1) kecepatan timbulnya anemia

(2) umur individu

(3) mekanisme kompensasinya

(4) tingkat aktivitasnya

(5) keadaan penyakit yang mendasari, dan

(6) parahnya anemia tersebut.

Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit O2 yang

dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti

pada perdarahan, menimbulkan simtomatoogi sekunder hipovolemia dan hipoksemia.

Namun pengurangan hebat massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan

(walaupun pengurangannya 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk

menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani

berat.

Mekanisme kompensasi bekerja melalui:

(1) peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman

O2 ke jaringan-jaringan oleh sel darah merah

(2) meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin

(3) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela

jaringan, dan

(4) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital.(Wilson, 2002)

b. Etiologi

1. Karena cacat sel darah merah (SDM)

Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap

komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi

SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat

mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM

menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini

menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.

2. Karena kekurangan zat gizi

Page 5: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor luar

tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM

disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak

dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga

mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya

mengurangi penyulit yang terjadi.

3. Karena perdarahan

Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya

jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar

dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi

karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya,

segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin

mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.

4. Karena otoimun

Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan

menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini

sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi

terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh

sistem imun.( Sadikin M., 2002)

c. Diagnosis (gejala atau tanda-tanda)

Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah:

1. kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah

2. sakit kepala, dan mudah marah

3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi

4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan

rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.

Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta

distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan

indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa

mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.

Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran

darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat.

Page 6: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat

diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah

jantung kongesif sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan

diri dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas

pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi

berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga

berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat.

Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya

berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia, nausea,

konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).(Wilson, 2002)

III. KASUS

1. Uraian kasus

Seorang pria berkulit putih (73 tahun ), dengan sejarah medis mielofibrosis

idiopatik dengan metaplasia mieloid, yang diobati dengan levofloxacin 500mg/ hari

secara oral. Tiga hari setelah memulai pengobatan dengan levofloksasin, pasien dirawat

di rumah sakit dengan eritematosa disertai purpura dan lesi teraba kulit di atas tungkai

bawah dan batang, dengan output urin berkurang.

Pemeriksaan Klinis :

BP 155/70 mmHg,

HR 92x/menit,

RR 14X/menit,

Temp 37,1oC.

Awal pasien laboratorium ( 2 minggu sebelum levofloksasin ) :

Kreatinin 1,0 mg/dL

Urea 38 mg/dL

Pada masuk rumah sakit:

Kreatinin serum 6,4 mg/dL

Page 7: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Nitrogen urea serum 190 mg/dL

Elektrolit serum normal

Hemoglobin 8,4 g/dL

Hematrokit 24 %

Bilirubin, enzim aminotransferase dan alkaline phosphatase normal; dehidrogenase

laktat juga normal.

Urinalisis: proteinuria 3 +, tanpa gips atau kristal,pH asam (5.0),dan berat jenis

berkurang (1,007). Output urin harian adalah 0,6.0,5 dan 0,8 L selama 3 hari pertama.

Pertanyaan :

1. Apa diagnosa penyakitnya?

2. Bagaimana penatalaksanaan penyakit pasien tersebut, lakukanlah evaluasi

terhadap terapi yang diterima pasien!

3. Apakah ada hubungan antara penyakit yang diderita pasien dengan sekarang

dengan pengobatan sebelumnya? Jika iya, mengapa hal itu bisa terjadi?

4. Bagaimana mengiterprestasikan hasil laboratorium pasien berkaitan dengan

penyakit yang diderita?

5. Informasi apa saja yang perlu disampaikan agar terapi yang diperoleh optimal?

2. Penyelesaian kasus metode SOAP

a. Subyektif

Nama : -

Jenis kelamin : pria

Umur : 73 tahun

Sejarah medis : mielofibrosis idiopatik dengan metaplasia mieloid

Riwayat pengobatan : Levofloxacin 500mg/ hari secara oral.

Informasi lain : tiga hari setelah memulai pengobatan dengan

levofloksasin, pasien dirawat di rumah sakit dengan eritematosa disertai

purpura dan lesi teraba kulit di atas tungkai bawah dan batang, dengan

output urin berkurang.

b. Obyektif

Pemeriksaan klinis

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan

Page 8: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Tekanan darah 155/70

mmHg

< 120/80 mmHg Di atas normal

Heart Rate 92x/menit 60-100x/menit Normal

Respiratory Rate 14x/menit 18-20 x/menit Normal

Temperatur 37,10C 36,5-37,50C Normal

Pemeriksaan Laboratorium

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan

2 minggu sebelum terapi Levofloksasin

Kreatinin 1,0 mg/dL 0,7 – 1,3 mg/dl Normal

Urea 38 mg/dL 8 - 25 mg/dl Di atas normal

Ketika masuk rumah sakit

Kreatinin serum 6,4 mg/dL 0,7 – 1,3 mg/dl Di atas normal

Nitrogen urea serum 6,4 mg/dL 8-25 mg/dl Di atas normal

Elektrolit serum normal

Hemoglobin 8,4 g/dL 13,8-17,2 g/dL Dibawah normal

Hematokrit 24 % 40,7-50,3 % Dibawah normal

Bilirubin Normal

Enzim aminotransferase

& ALP

Normal

LDH Normal

Urin analisis

Proteinuria 3 + (tanpa

gips atau

kristal

Negatif Tidak normal

pH 5 (asam) 7-7,8 Tidak normal

Berat Jenis 1,007 1,020-1,03 berkurang

Output urin harian 0,6 ; 0,5 ; 0,8

L selama 3

hari pertama

Berkurang

Page 9: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

c. Assessment : Gagal ginjal akut

d. Plan : hospitalisasi

1. Evaluasi kerasionalan obat yang digunakan

a. Tepat indikasi

Nama obat Indikasi Mekanisme aksi Ket

Levofloksasin Infeksi karena

mikroorganisme

yang sensitiv

seperti pada

acute maxillary

sinusitis, acute

bacterial

exacerbations of

chronic

bronchitis,

community-

acquired

pneumonia,

uncomplicated

urinary tract

infection, dan

acute

pyelonephritis.

(IONI 403)

Dapat menghambat enzim

topoisomerase IV dan DNA

gyrase yaitu enzim yang

diperlukan untuk replikasi,

transkripsi, perbaikan (repair

dan rekombinasi DNA

bakteri). (Levaquin. Product

monograph. Physicians’

Desk Reference. PDR 61

edition. Montvale: Thomson;

2007)

Tepat

indikasi

b. Tepat obat

Nama obat Alasan pemilihan obat Ket

Levofloksasin

c. Tepat pasien

Page 10: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Nama Obat Kontraindikasi Ket

Levofloksasin Pasien yang hipersensitif terhadap

antibiotika golongan kuinolon, pasien

epilepsi, pasien dengan riwayat gangguan

tendon terkait dengan penggunaan

fluorokuinolon, wanita hamil dan menyusui,

anak-anak < 18 tahun(Tanujaya,2009)

d. Tepat Dosis

Nama obat Rekomendasi dosis Dosis yang diberikan Ket

Levofloksasin pasien dewasa ≥ 18

tahun adalah 250-750

mg, 1 kali sehari

(Tanujaya,2009)

1x sehari 500 mg

e. Waspada efek samping

Nama Obat Efek Samping Ket

Levofloksasin Secara umum, levofloxacin dapat ditoler-

ansi dengan baik. Secara keseluruhan

insiden, tipe dan distribusi efek samping

pasien yang mendapat terapi 750 mg, 250

mg, dan 500 mg, 1 kali sehari mirip. Efek

samping paling sering yang menyebabkan

penghentian obat adalah saluran cerna

(terutama mual dan muntah), pusing, dan

nyeri kepala. (Tanujaya,2009)

2. Tujuan terapi

a. Untuk mencegah ARF, tetapi jika ARF berkembang,

b. Menghindari atau meminimalkan kerusakan ginjal lebih lanjut yang akan

menunda pemulihan, dan

Page 11: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

c. Memberikan langkah-langkah dukungan sampai fungsi ginjal kembali

normal.

3. Terapi Non farmakologi

a. Terapi suportif meliputi fluid manajemen dan manajemen elektrolit.

b. Renal Replacement Therapy (RRT)

c. Hemodialisa

d. Terapi nutrisi

e. Menghindari atau menghentikan pemakaian obat-obatan yang dapat

menurunkan fungsi ginjal atau yang bersifat nefrotoksik seperti

levofloksasin.

4. Terapi Farmakologi

a. Furosemid

2. Evaluasi Kerasionalan Obat Terpilih

IV. PEMBAHASAN

1. Data laboratorium

a. Data Kreatinin serum pasien

Kreatinin memiliki berat molekul 113 Dalton, merupakan hasil metabolisme

kreatin di dalam tubuh. Senyawa endogen tersebut terdistribusi di dalam air tubuh total,

tak terikat protein plasma, dan tersaring sempurna oleh glomeruli ke dalam filtrat (urin).

Dalam pengobatan, kenaikan kreatinin serum proporsional dengan penurunan fungsi

glomeruli lazim digunakan sebagai indikator penurunan fungsi ginjal (Hakim, 2012).

Senyawa endogen ini juga disekresi di tubuli proksimal (sekitar 10-15%),

sehingga menggambarkan fungsi renal secara utuh pada ginjal normal, sebab sebagai

senyawa polar, kemungkinana ia tidak mengalami reabsorpsi tubular. Namun ketika

fungsi ginjal menurun, sekresi kreatinin meningkat, bahkan sampai 100 %, sehingga

peristiwa ini ditafsirkan seolah-olah fungsi ginjal normal.

Page 12: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Kreatinin dalam plasma darah memiliki nilai normal 0,6-1,3 mg/dl. Berdasarkan

hasil pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa kadar kreatinin serum pasien 2 minggu

sebelum memulai pengobatan dengan levofloksasin adalah 1,0 mg/dL , kadar kreatinin

tersebut berada dalam perbatasan. Sedangkan ketika berada di rumah sakit, hasil

pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan kadar kreatinin serum menjadi

6,4 mg/dL. Kadar tersebut jauh melebihi kadar kreatinin normal.

Kadar kreatinin juga bisa digunakan untuk mengukur laju filtrasi glomerulus

(GFR/ Gromerular Filtration Rate) yaitu kemampuan fungsi ginjal untuk menyaring

darah dalam satuan menit. Bila hal tersebut dihitung dalam waktu 24 jam, yaitu dengan

menampung urin selama 24 jam untuk kemudian diukur, disebut klirens kreatinin. GFR

yang rendah atau menurun adalah indeks dari Chronic Kidney Disease, CKD. GFR

dapat dihitung menggunakan berbagai metode antara lain metode Cockcroft Gault,

metode MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) atau metode dari Chronic

Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI).

Dalam kasus ini tidak diketahui berapa berat badan pasien, sehingga untuk

menghitung klirens kreatinin digunakan metode Jallife karena hanya diketahui umur

pasien yaitu 73 tahun.

Perhitungan klirens kreatinin berdasarkan serum kreatinin 2 minggu sebelum

terapi levofloksasin

Clcr=98−0,8 (umur−20 )

Ccr

Clcr=98−0,8 (73−20 )

1,0=55,6ml /menit

Perhitungan klirens kreatinin berdasarkan serum kreatinin 2 minggu sebelum

terapi levofloksasin

Clcr=98−0,8 (73−20 )

6,4=8,7 ml /menit

Page 13: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Hubungan antara klirens kreatinin dan fungsi ginjal (Wiffen dkk, 2007)

Fungsi ginjal Klirens kreatinin (ml/menit)

Normal 80-120

Gagal ginjal ringan 20-50

Gagal ginjal sedang 10-20

Gagal ginjal berat < 10

GFR dapat dihitung berdasarkan data kreatinin pasien menggunakan metode

CKD-EPI dengan bantuan kalkulator dari situs www.kidney.org. Dari hasil perhitungan

diperoleh GFR pasien 2 minggu sebelum menggunakan levofloksasin adalah 74

ml/menit/1,73m2. Nilai GFR tersebut menunjukkan bahwa pasien mengalami gangguan

fungsi ginjal ringan (CKD stage 2). Sedangkan ketika pasien berada di rumah sakit

diperoleh hasil perhitungan GFR berdasarkan kadar kreatinin serum sebesar 8

ml/menit/1,73m2. Dengan demikian gangguan fungsi ginjal yang dialami pasien

berkembang menjadi lebih parah karena pasien mengalami gagal ginjal berat.

Perhitungan GFR 2 minggu sebelum menggunakan Levofloksasin

Page 14: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Perhitungan GFR setelah masuk rumah sakit

Derajat Keparahan CKD menurut NKF-KDOQI

b. Data BUN

Urea memiliki berat molekul 60 Dalton, urea berdifusi bebas masuk ke dalam

cairan intrasel dan ekstrasel. Zat ini dipekatkan dalam urine untuk diekskresikan. Pada

keseimbangan nitrogen yang stabil, sekitar 25 gram urea diekskresikan setiap hari.

Kadar dalam darah mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi urea. 2

Page 15: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

minggu sebelum memulai terapi dengan levofloksasin, hasil pemeriksaan kadar urea

pasien menunjukkan nilai 38 mg/dL.

Kadar nitrogen urea (BUN/ Blood Urea Nitrogen) dapat digunakan untuk

mengukur kemampuan fungsi ginjal. Ketika fungsi ginjal terganggu maka akan terjadi

penumpukan bahan-bahan beracun , seperti ureum dan nitrogen yang merupakan hasil

dari pemecahan protein, yaitu suatu keadaan yang disebut sindrom uremia. Berdasarkan

pemeriksaan laboratorium saat pasien berada di rumah sakit diperoleh kadar BUN

pasien sebesar 190 mg/dL. Kadar BUN tersebut melebihi nilai kadar BUN normal yaitu

18-25 mg/dl.

c. Urinalisis

Setiap saat, secara teratur, darah yang beredar di tubuh kita akan melewati ginjal

untuk menjalani proses filtrasi di ginjal. Proses filtrasi tersebut akan menghasilkan urin

yang membawa serta sisa metabolisme tubuh yang tidak diperlukan lagi, sedangkan zat-

zat yang berguna bagi tubuh, seperti protein, tidak terfiltrasi dan tidak keluar di urin.

Apabila fungsi filtrasi ginjal terganggu, maka terjadilah kebocoran protein di urin dalam

jumlah banyak. Keadaan inilah yang dikenal dengan proteinuria yaitu suatu kondisi di

mana ditemukan protein di dalam urin pada jumlah yang melebihi normal.

Pada pemeriksaan urinalisis pasien diperoleh proteinuria 3+ (tanpa gips atau

kristal), hal ini mengindikasikan terjadinya gangguan pada proses filtrasi oleh glomeruli

ginjal.

Bila asam sedang diekskresika, pH akan turun dan bila basa sedang diekskresikan,

pH akan meningkat. Oleh karena itu, setiap kali ginjal gagal berfungsi, asam mulai

berkumpul di dalam cairan tubuh. Biasanya, buffer cairan tersebut dapat membuffer

sampai total sebanyak 500 sampai 1000 milimol asam tanpa penurunan besar pH cairan

ekstrasel, tetapi secara berangsur-angsur kekuatan membufer ini habis digunakan

sehingga pH turun secara drastis (Guyton, 1990). Hal ini juga terjadi pada pasien

dimana pH urin pasien menunjukkan nilai 5,0 (asam), sedangkan urin memiliki pH

normal antara 4,8-8,0 (kira-kira 6,0).

Produksi urin rata-rata pada manusia dewasa adalah sekitar 1 - 2 L per hari,

tergantung pada keadaan hidrasi, tingkat aktivitas, faktor lingkungan, berat, dan

kesehatan individu. Dalam kasus ini terjadi penurunan output urin harian yaitu 0,6; 0,5

Page 16: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

dan 0,8 L selama 3 hari pertama berada di rumah sakit, hal ini disebabkan karena

berkurangnya aliran darah ke ginjal.

d. Data hemoglobin dan hematokrit

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan

kadar hemoglobin dan hematokrit sehingga kadarnya kurang dari normal. Kadar

hemoglobin pasien sebesar 8,4 g/dL dengan nilai normal 13,8-17,2 g/dL, sedangkan

kadar hematokrit pasien sebesar 24 % dengan nilai normal 40,7-50,3 %. Penurunan

kadar hemoglobin dan hematokrit menandakan bahwa pasien mengalami anemia.

Penyebab utama anemia pada pasien CKD adalah penurunan produksi hormon

erythropoietin (EPO) oleh sel-sel progenitor ginjal, di mana ginjal bertanggung jawab

untuk mengeluarkan 90% dari hormon endogen eritropoietin. Konsentrasi plasma EPO

meningkat secara eksponensial pada individu dengan fungsi ginjal normal sebagaimana

penurunan hematokrit (yaitu, sebagai tanggapan berkurangnya oksigenasi). Sebaliknya,

tidak ada korelasi antara derajat anemia dengan konsentrasi EPO pada pasien anemia

yang melakukan dialisis karena mereka tidak mampu meningkatkan produksi EPO

sebagai respon terhadap hipoksia.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap perkembangan anemia pada pasien CKD

adalah penurunan siklus hidup sel darah merah (dari normal 120 hari menjadi sekitar 60

hari pada tahap 5 CKD), kekurangan zat besi, kehilangan darah dari pengujian

laboratorium rutin, dan kekurangan zat besi adalah penyebab utama dari resistensi

terhadap terapi dengan agen erythropoietic (yaitu, epoetin alfa atau darbepoetin alfa).

Pengobatan anemia dapat meningkatkan atau mengatasi gejala dan bisa membantu

menstabilkan fungsi ginjal.

Di samping itu pasien menderita mielofibrosis idiopatik dengan metaplasia

myeloid yaitu penyakit di sumsum tulang di mana kolagen membentuk jaringan fibrosis

pada cavum sumsum. Hal ini terjadi karena pertumbuhan tidak terkendali dari sel

prekursor darah, yang akhirnya mengarah pada akumulasi jaringan ikat di sumsum

tulang. Jaringan ikat yang membentuk sel darah yang akhirnya menyebabkan bentuk

disfungsional. Tubuh kita menyadari hal ini, dan mencoba untuk mengkompensasi

dengan mengirimkan sinyal ke organ extramedulare hematopoietik, yaitu hati dan limpa

untuk menghasilkan sel darah baru. Tetapi sel darah yang akhirnya dihasilkan oleh

Page 17: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

organ-organ ini masih belum berfungsi dengan baik dan tubuh akhirnya pasien

mengalami anemia.

2. Data tekanan darah

Dari hasil pengukuran tekanan darah pasien menunjukkan 155/70 mmHg artinya

tekanan darah sistolik tersebut melebihi normal sedangkan tekanan darah diatolik

kurang dari normal. Kehadiran hipertensi juga meningkatkan risiko CKD sehingga

pengobatan dan pengendalian hipertensi dapat menunda perkembangan CKD.

Dari sebuah studi yang dilakukan Bakris dkk, diketahui bahwa terdapat hubungan

linear terbalik antara tekanan darah rata-rata dan rata-rata GFR dimana tekanan darah

arteri yang lebih rendah mengakibatkan penurunan rata-rata lebih rendah pada GFR.

Jadi tekanan darah sistolik 180 mmHg dikaitkan dengan penurunan GFR 14 mL / menit

per tahun, sedangkan tekanan darah sistolik 135 mmHg dikaitkan dengan penurunan

GFR hanya 2 mL/menit per tahun.

3. Penyebab gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease)

Terdapat 3 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik, yaitu :

a. Susceptibility factor yaitu factor yang meningkatkan resiko terjadinya gangguan

ginjal meskipun faktor resiko tersebut belum terbukti menyebabkan kerusakan

ginjal secar langsung. Yang termasuk susceptibility factor adalah usia lanjut,

penurunan fungsi ginjal dan bayi yang lahir dengan berat badan rendah, rasa tau

etnis, riwayat keluarga, pendapatan dan tingkat pendidikan yang rendah, inflamasi

sistemik, dislipidemia.

Page 18: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Susceptibility factor dalam kasus ini adalah usia lanjut.

b. Initiation factor yaitu faktor atau kondisi yang secara langsung menginisiasi

kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologi. Yang

termasuk initiation factor adalah diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun,

penyakit ginjal polisistik, keracunan obat.

Initiation factor dalam kasus ini adalah hipertensi dan keracunan obat

(levofloksasin).

c. Progression factor yaitu factor yang dapat memperburuk kerusakan ginjal dan

berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang cepat setelah inisiasi

kerusakan ginjal. Yang termasuk Progression factor adalah glikemia pada pasien

diabetes, peningkatan tekanan darah, proteinuria, merokok.

Progression factor dalam kasus ini adalah peningkatan tekanan darah dan

proteinuria.

4. Evaluasi terapi sebelumnya

Dalam kasus ini disebutkan bahwa pasien diberikan antibiotik levofloksasin

untuk mengobati mielofibrosis idiopatik dengan metaplasia myeloid. Dosis

levofloksasin yang digunakan adalah 500 mg/hari secara oral.

Levofloksasin adalah antibakteri sintetik golongan fluorokuinolon yang

merupakan S -(-) isomer dari ofloksasin dan memiliki aktivitas antibakteri dua kali

lebih besar daripada ofloksasin. Levofloksasin memiliki efek antibakterial dengan

spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram-positif dan gram-negatif termasuk bakteri

anaerob. Levofloksasin telah menunjukkan aktivitas antibakterial terhadap

Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Levofloksasin secara in vitro

lebih aktif melawan bakteri gram-positif, termasuk Streptococcus pneumoniae dan

bakteri anaerob dibandingkan fluorokuinolon yang lain. Tetapi, levofloksasin kurang

aktif melawan Pseudomonas aeruginosa dibandingkan dengan siprofloksasin.

Mekanisme kerja dari levofloksasin adalah dengan menghambat enzim DNA-

gyrase, sehingga mengakibatkan kerusakan rantai DNA. DNA-gyrase

(topoisomerase II) merupakan enzim yang sangat diperlukan oleh bakteri untuk

memelihara struktur superheliks DNA, juga diperlukan untuk replikasi, transkripsi

dan perbaikan DNA.

Page 19: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Levofloksasin mengalami metabolisme terbatas dan diekskresikan terutama

melalui urin dalam bentuk tidak berubah. Setelah pemberian secara oral, hampir 87%

dari dosis yang diberikan, ditemukan dalam bentuk tidak berubah di urin dalam

waktu 48 jam, kurang dari 4% ditemukan di feses dalam waktu 72 jam. Dari dosis

yang diberikan, kurang dari 5% ditemukan di urin sebagai metabolit desmetil dan N-

oksida. Metabolit ini merupakan satu-satunya metabolit yang telah diidentifikasi

pada manusia dan memiliki peran yang kecil dalam aktivitas farmakologi.

Levofloksasin terutama diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk tidak

berubah. Waktu paruh eliminasi rata-rata levofloksasin yaitu 6-8 jam setelah

pemberian secara oral atau intravena pada individu dengan fungsi ginjal normal.

Klirens renal levofloksasin adalah sebesar 96-142 mL/menit.

Dari uraian kasus diketahui bahwa tiga hari setelah memulai pengobatan

dengan levofloksasin, pasien dirawat di rumah sakit dengan eritematosa disertai

purpura dan lesi teraba kulit di atas tungkai bawah dan batang, dengan output

berkurang. 3 hari setelah penggunaan levofloksasin yaitu ketika berada di rumah

sakit, kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea serum mengalami kenaikan

yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan sebelum pasien mengkonsumsi

levofloksasin.

Antimikroba sering berkonsentrasi di ginjal dan berpotensi dapat merusak

organ oleh berbagai mekanisme, termasuk direct tubular injury, inflamasi interstisial

(alergi nefritis interstisial ), perubahan kadar elektrolit ginjal, atau kerusakan pada

apartus glomerulus. Oleh karena itu diasumsikan pasien telah mengalami alergi

interstisial nefritis (Allergic Interstisial Nephritis /AIN) . Nefritis interstisial alergi

(AIN) diperkirakan menjadi penyebab paling umum dan dikaitkan dengan reaksi

hipersensitivitas tipe III. Identifikasi levofloksasin yang menginduksi AIN biasanya

berdasarkan presentasi klinis yang salah satunya adalah gagal ginjal. Agar kondisi

pasien menjadi lebih baik, maka penggunaan antibiotic levofloksasin dianjurkan

untuk dihentikan.

Page 20: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

5. Terapi non farmakologi

a. Terapi non farmakologi CKD

Tujuan terapi pada pasien CKD adalah untuk memperlambat atau menghentikan

laju perkembangan CKD dan dengan demikian mengurangi insiden dan prevalensi

ESKD (End of Stage Kidney Disease).

Pedoman dari The National Kidney Foundation K / DOQI untuk gizi pada pasien

dengan CKD merekomendasikan asupan diet protein 0,6 g / kg per hari untuk pasien

dengan GFR <25 mL / menit. Titrasi asupan protein sampai 0,75 g / kg per hari

disarankan untuk pasien yang tidak bisa mencapai atau mempertahankan status gizi

yang memadai dengan diet rendah protein (0,6 g / kg per hari). Pembatasan sodium

melalui pengaturan makanan tanpa penambahan garam tidak direkomendasikan

meskipun pasien memiliki hipertensi atau edema.

Tujuan terapi anemia pada CKD adalah untuk meningkatkan kapasitas

“pembawa-oksigen” sehingga mengurangi timbulnya dyspnea, orthopnea, dan

kelelahan, dan untuk mencegah konsekuensi jangka panjang seperti LVH dan mortalitas

terkait hal tersebut. Guideline dari NKF-K/DOQI meliputi target spesifik untuk

hemoglobin / hematokrit, folat, vitamin B12, indeks zat besi, dan direkomendasikan

untuk menggunakan agen erythropoietic dan suplemen zat besi.

Ketika keadaan pasien berkembang menjadi ESKD, dialisis (khusus ultrafiltrasi)

atau transplantasi ginjal menjadi diperlukan untuk menjaga normovolemia. Guideline

NKF-K/DOQI merekomendasikan dilakukannya dialysis pada pasien non diabetic bila

Clcr 9-14 ml/menit/1,73m2. Oleh karena itu, dalam kasus ini pasien perlu melakukan

dialysis mengingat klirens kreatinin pasien sebesar 8 ml/menit/1,73m2.

Dalam kasus ini pasien disarankan untuk menghindari obat-obat yang dapat

menyebabkan nefrotoksisitas, seperti yang tercantum dalam table di bawah ini.

Page 21: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

b. Terapi non farmakologi anemia

Terapi non farmakologi untuk anemia CKD yaitu dengan menjaga kecukupan

asupan diet zat besi. Sejumlah yang relatif kecil zat besi, sekitar 1 sampai 2 mg (atau

sekitar 10%), diserap setiap hari, terutama di duodenum. Meskipun ada beberapa

perdebatan mengenai apakah penyerapan GI besi secara signifikan berubah pada pasien

dengan CKD parah, jelas bahwa asupan oral dari sumber makanan saja umumnya tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi yang meningkat, oleh karena itu selain

anjuran untuk mengkonsumsi makanan kaya zat besi, pasien dianjurkan untuk memulai

terapi erythropoietic.

Page 22: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Di rumah sakit sebaiknya dilakukan pemantauan konsentrasi hemoglobin (Hb)

pasien. Pemantauan hemoglobin lebih disukai karena hematokrit (Ht) berfluktuasi

dengan status volume dan mungkin kekeliruan dapat meningkat jika sampel darah telah

disimpan untuk jangka waktu lama. Target Hgb pada pasien yang diobati untuk anemia

CKD adalah 11 sampai 12 g / dL (hematokrit 33% sampai 36%).

6. Terapi farmakologi

a. Terapi hipertensi

Terapi antihipertensi yang digunakan dalam kasus ini adalah kombinasi

inhibitor ACE (ramipril) dan diuretik loop (furosemid). Pengurangan tekanan darah

adalah kunci untuk mengurangi gejala kardiovaskular dan gagal ginjal. Target

tekanan darah pada pasien ini harus dicapai selama beberapa minggu untuk

memungkinkan agar ginjal dapat beradaptasi dengan berkurangnya tekanan perfusi.

Kontrol tekanan darah dapat mengurangi laju penuruna GFR dan albuminuria

pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Oleh karena itu terapi menggunakan

ramipril dimulai dengan pemberian dosis terendah yang memungkinkan diikuti

dengan titrasi meningkat untuk mencapai target tekanan darah dan sebagai tambahan

untuk mengurangi proteinuria.

Terjadi penurunan GFR sekitar 25% sampai 30% dalam waktu 3 sampai 7 hari

setelah inisiasi terapi dengan ACEI, karena penurunan tekanan intraglomerular. Jika

kenaikan kreatinin serum lebih dari 0,5 mg / dL dan terjadi setelah terapi ACEI

inisiasi atau peningkatan dosis, pasien mungkin memerlukan penghentian terapi

karena ramipril termasuk obat yang menginduksi gagal ginjal akut. Perlu dilakukan

monitoring terhadap kadar serum potassium untuk mendeteksi perkembangan

hiperkalemia setelah inisiasi atau peningkatan dosis ramipril.

Terapi dengan furosemid atau dialisis dapat berguna sebagai control terhadap

tekanan darah dan edema. Serta dapat meningkatkan volume urin dan ekskresi

sodium ginjal.

Page 23: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

b. Terapi anemia CKD

Sebelum memulai terapi farmakologi untuk anemia, sebaiknya pasien perlu

menjalani pemeriksaan petanda besi Tsat (atau CHr) dan kadar ferritin serum.

Apabila TSat dan ferritin serum berada di bawah target (target TSat 20 – 50 % dan

ferritin serum 100-800 ng/ml), direkomendasikan pemberian suplemen zat besi.

Suplemen zat besi tersebut dapat berupa fero sulfat, fero glukonat, dan fero

fumarat. Suplemen zat besi befungsi untuk menyediakan elemen besi yang

diperlukan untuk produksi hemoglobin dan yang selanjutnya bergabung pada sel

darah merah, dengan demikian terjadi peningkatan pengangkutan oksigen ke

Page 24: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

jaringan. Dosis yang disarankan ketika terapi suplemen zat besi oral dimulai, adalah

200 mg per hari.

Erythropoietic merupakan faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk

merangsang pembelahan dan diferensiasi sel erythroid progenitor dan menginduksi

pelepasan retikulosit dari sumsum tulang ke aliran darah di mana mereka tumbuh

menjadi eritrosit (sel darah merah). Agen erythropoietic yang digunakan dalam

kasus ini adalah epoetin alfa. Sejak tahun 1989, epoetin alfa telah menjadi terapi

utama untuk anemia CKD.

7. Evaluasi keberhasilan terapi

Sejauh mana keberhasilan pengobatan gagal ginjal itu sendiri tidak terlepas oleh

pengaruh banyak faktor, selain perawatan langsung di unit hemodialisa juga harus

didukung dengan perawatan yang benar di rumah seperti pengaturan makanan yang

harus dipatuhi. Agar usaha ini dapat terlaksana dengan baik, maka peran keluarga tidak

dapat diabaikan.

Keluarga dianggap dapat memiliki pengaruh yang penting dalam membantu

menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesulitan hidup seperti

menurunkan kecemasan dan depresi. . Dukungan ini dapat berupa dukungan emosionil,

dukungan penghargaan, dukungan bentuk nyata/materi/uang, dan dukungan informasi

Rutinitas keluarga dalam memberi dukungan kepada pasien ini membutuhkan kesabaran

dan tulus ikhlas dari pihak keluarga sendiri karena tidak menutup kemungkinan

timbulnya stres yang meningkat seiring dengan lamanya waktu berobat pasien gagal

ginjal yang umumnya dilaksanakan seumur hidup. Hal ini bisa menjadi sumber stres

tersendiri bagi keluarga.

Keberhasilan terapi dapat dicapai dengan sering memantau manajemen nutrisi,

terlepas dari jumlah asupan protein yang ditentukan, untuk menghindari kekurangan

gizi. Kontrol tekanan darah harus menargetkan tekanan darah normal pada pasien

dengan proteinuria < 125/75. Pada pasien dengan proteinuria di atas 3 g / hari dan CKD,

pemberian ACEI atau ARB harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Pasien

harus mulai bersiap-siap terhadap kemungkinan terapi penggantian ginjal (transplantasi

ginjal). Perlunya kepatuhan pasien untuk menjalani hemodialisis termasuk apa saja yang

perlu dihindari ketika sedang menjalani hemodialisi.

Page 25: Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal

Daftar pustaka

Hakim, Lukman. 2012, Farmakokinetik Klinik, Bursa Ilmu : Jogjakarta.