Download - Laporan Resmi Praktikum gagal ginjal
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
FARMAKOTERAPI SISTEM KARDIOVASKULER DAN RENAL
Praktikum ke : IV
Judul Kasus : Farmakoterapi Pada Gangguan Ginjal
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa mampu memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada penyakit
gagal ginjal dengan obat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Meilofibrosis Idiopatik Kronik dengan Metaplasia Meilod (MMM)
Nama lain penyakit ini adalah metaplasia mieloidagnogenic, mielofibrosis
dengan metaplasia mieloid dan mielofibrosis idiopatik kronik. (Vardiman JW,2002).
Proliferasi pada keadaan panmielosis yang terjadi pada penyakit ini didominasi oleh
galur sel megakaryosit monoklonal dan fibroblast poliklonal. Faktor etiologi yang
berkaitan dengan penyakit ini adalah paparan radiasi dan faktor familial. Kriteria
diagnosis untuk penyakit ini mencakup:
Splenomegali.
Adanya leukoeritroblastik (eritrosit berinti dangranulositosis), anisositosis dan
poikilositosis pada pemeriksaan hapusan darah tepi.
Jumlah hematokrit yang normal (dengan pemeriksaan51Cr).
Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang : fibrosis pada> 1/3 daerah cross sectional .
Fibrosis tidak bersifat sekunder oleh karena penyebab lain.
Tidak ada kromosom Ph1 dan tidak ada diseritropoisis.( Casciato DA,2004)
Kriteria diagnostik untuk osteosklerosis mencakup adanya lesi sklerotik yang
dibuktikan dengan adanya gambaran patchy osteosklerosis pada� � pemeriksaan rontgent
daerah pelvis, vertebra dan tulang panjang disertai kriteria diagnostik untuk MMM.
(Casciato DA,2004) Hasil pemeriksaan laboratorium penderita MMM biasanya
menunjukkan:
1. Anemia sedang (pada 2/3 kasus) yang kemungkinan disebabkan oleh
eritropoisis yang tidak efektif, hemolisis autoimun, penyakit hemoglobin H
atau paroxysmal hemoglobinuria like syndrome. Pemeriksaan hapusan darah
tepi menunjukkan eritrosit berbentuk dakrosit / teardrop sel,
ovalosit,anisositosis, polikromasia dan eritrosit berinti yang patognomonis
untuk MMM.
2. Jumlah granulosit berkisar antara 10 ribu - 30 ribu/mmk dengan jumlah blast
dan promielosit <10%. Lima belas persen penderita mengalami
granulositopeni.
3. Jumlah trombosit bervariasi (tergantung stadium penyakit) dengan morfologi
yang abnormal.
4. Pemerikasaan aspirasi sumsum tulang menunjukkan gambaran penurunan
kandungan lemak, hyperplasia granulositik, peningkatan jumlah megakaryosit
displastik, fibrosis yang bersifat patchy dan tersebar� � serta penurunan jumlah
retikulin.
5. Pemeriksaan imunologik menunjukkan abnormalitas berupa adanya antibodi
monoclonal (10% kasus), kompleks imun sirkulasi (> 50% kasus),
hiperglobulinemia poliklonal, faktor rheumatoid danantinuclear antibody
serta memberikan hasil (+) pada pemeriksaan direct Coombs test (20%
kasus). (Casciato DA,2004).
Tanda dan gejala yang terjadi merupakan manifestasi anemia dan splenomegali.
Serempat kasus bersifat asimtomatik dalam waktu lama meskipun tanpa terapi. Tanda
dan gejala lain yang dapat ditemukan berupa demam, penurunan berat badan dan nyeri
tulang. Beberapa sindroma yang dapat dijumpai pada penyakit ini adalah mielofibrosis
akut (dikenal dengan LMA tipeM7), hipertensi portal, tumor-tumor hematopoitik
ekstrameduler dan dermatosis netrofilik. (Casciato DA,2004)
Usia harapan hidup berkisar antara 4-5 tahun sejakterdiagnosa dan kematian
biasa diakibatkan oleh karenagagal jantung, infeksi, perdarahan (biasanya hanyaterjadi
pada stadium lanjut) dan transformasi menjadi LMA. (Casciato DA,2004)
Penatalaksanaan penderita terdiri dari terapimedis, transplantasi sumsum tulang,
splenektomi danterapi radiasi. Terapi medis sebaiknya tidak diberikansampai penderita
mengalami gejala oleh karena tidakmemperbaiki angka kelangsungan hidup
penderita.Bentuk terapi medis yang dimaksud adalah pemberiantransfusi packed red cell
/ PRC, preparat androgen(dengan fluoxymesterone atau danazol),
glukokortikoid(prednison), asam folat, eritropoitin, kemoterapi (denganhidroksiurea
dosis rendah, busulfan atau 6-tioguanin)dan thalidomide.( Casciato
DA,2004)Transplantasi sumsum tulangsebaiknya dipertimbangkan untuk penderita
berusia <40 tahun dan mempunyai saudara sekandung yanghistokompatibel.(Casciato� �
DA,2004)
Splenektomi bermanfaat untuk mengatasi nyeri akibat splenomegali dan
sitopenia, akan tetapi terapi iniharus dipertimbangkan dengan hati-hati oleh karenadapat
mengakibatkan hepatomegali progresif danmeningkatkan resiko terjadinya transformasi
blastik.Indikasi splenektomi adalah rasa tidak nyaman persistenoleh karena
splenomegali / infark limpa, anemiahemolitik refrakter (dimanifestasikan
denganpeningkatan frekuensi kebutuhan transfusi),trombositopenia refrakter yang tidak
disertai tanda-tandakoagulasi intravaskuler diseminata, keadaanhiperkatabolik yang
tidak responsive terhadap terapimielosupresi dan hipertensi porta yang
menyebabkanpecahnya varises.( Casciato DA,2004)
Terapi radiasi dapat diberikan setiap hari dengandosis kecil dan diindikasikan
untuk keadaansplenomegali masif yang tidak dapat menjalanisplenektomi dan sebagai
terapi paliatif terhadap nyeritulang akibat periostitis, tumor hematopoisisekstrameduler
dan asites oleh karena metaplasia mieloidpada peritoneum. (Casciato DA,2004).
Anemia
Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas
hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan
patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta asi
didukung oleh pemeriksaan laboratorium.( http://www.pediatrik.com)
a. Manifestasi klinik
Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat
menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:
(1) kecepatan timbulnya anemia
(2) umur individu
(3) mekanisme kompensasinya
(4) tingkat aktivitasnya
(5) keadaan penyakit yang mendasari, dan
(6) parahnya anemia tersebut.
Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit O2 yang
dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti
pada perdarahan, menimbulkan simtomatoogi sekunder hipovolemia dan hipoksemia.
Namun pengurangan hebat massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan
(walaupun pengurangannya 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk
menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani
berat.
Mekanisme kompensasi bekerja melalui:
(1) peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman
O2 ke jaringan-jaringan oleh sel darah merah
(2) meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin
(3) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela
jaringan, dan
(4) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital.(Wilson, 2002)
b. Etiologi
1. Karena cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap
komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi
SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat
mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM
menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini
menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.
2. Karena kekurangan zat gizi
Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor luar
tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM
disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak
dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga
mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya
mengurangi penyulit yang terjadi.
3. Karena perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya
jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar
dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi
karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya,
segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin
mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
4. Karena otoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan
menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini
sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi
terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh
sistem imun.( Sadikin M., 2002)
c. Diagnosis (gejala atau tanda-tanda)
Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah:
1. kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah
2. sakit kepala, dan mudah marah
3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi
4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan
rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.
Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta
distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan
indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa
mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran
darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat.
Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat
diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah
jantung kongesif sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan
diri dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas
pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi
berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga
berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat.
Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya
berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia, nausea,
konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).(Wilson, 2002)
III. KASUS
1. Uraian kasus
Seorang pria berkulit putih (73 tahun ), dengan sejarah medis mielofibrosis
idiopatik dengan metaplasia mieloid, yang diobati dengan levofloxacin 500mg/ hari
secara oral. Tiga hari setelah memulai pengobatan dengan levofloksasin, pasien dirawat
di rumah sakit dengan eritematosa disertai purpura dan lesi teraba kulit di atas tungkai
bawah dan batang, dengan output urin berkurang.
Pemeriksaan Klinis :
BP 155/70 mmHg,
HR 92x/menit,
RR 14X/menit,
Temp 37,1oC.
Awal pasien laboratorium ( 2 minggu sebelum levofloksasin ) :
Kreatinin 1,0 mg/dL
Urea 38 mg/dL
Pada masuk rumah sakit:
Kreatinin serum 6,4 mg/dL
Nitrogen urea serum 190 mg/dL
Elektrolit serum normal
Hemoglobin 8,4 g/dL
Hematrokit 24 %
Bilirubin, enzim aminotransferase dan alkaline phosphatase normal; dehidrogenase
laktat juga normal.
Urinalisis: proteinuria 3 +, tanpa gips atau kristal,pH asam (5.0),dan berat jenis
berkurang (1,007). Output urin harian adalah 0,6.0,5 dan 0,8 L selama 3 hari pertama.
Pertanyaan :
1. Apa diagnosa penyakitnya?
2. Bagaimana penatalaksanaan penyakit pasien tersebut, lakukanlah evaluasi
terhadap terapi yang diterima pasien!
3. Apakah ada hubungan antara penyakit yang diderita pasien dengan sekarang
dengan pengobatan sebelumnya? Jika iya, mengapa hal itu bisa terjadi?
4. Bagaimana mengiterprestasikan hasil laboratorium pasien berkaitan dengan
penyakit yang diderita?
5. Informasi apa saja yang perlu disampaikan agar terapi yang diperoleh optimal?
2. Penyelesaian kasus metode SOAP
a. Subyektif
Nama : -
Jenis kelamin : pria
Umur : 73 tahun
Sejarah medis : mielofibrosis idiopatik dengan metaplasia mieloid
Riwayat pengobatan : Levofloxacin 500mg/ hari secara oral.
Informasi lain : tiga hari setelah memulai pengobatan dengan
levofloksasin, pasien dirawat di rumah sakit dengan eritematosa disertai
purpura dan lesi teraba kulit di atas tungkai bawah dan batang, dengan
output urin berkurang.
b. Obyektif
Pemeriksaan klinis
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan
Tekanan darah 155/70
mmHg
< 120/80 mmHg Di atas normal
Heart Rate 92x/menit 60-100x/menit Normal
Respiratory Rate 14x/menit 18-20 x/menit Normal
Temperatur 37,10C 36,5-37,50C Normal
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan
2 minggu sebelum terapi Levofloksasin
Kreatinin 1,0 mg/dL 0,7 – 1,3 mg/dl Normal
Urea 38 mg/dL 8 - 25 mg/dl Di atas normal
Ketika masuk rumah sakit
Kreatinin serum 6,4 mg/dL 0,7 – 1,3 mg/dl Di atas normal
Nitrogen urea serum 6,4 mg/dL 8-25 mg/dl Di atas normal
Elektrolit serum normal
Hemoglobin 8,4 g/dL 13,8-17,2 g/dL Dibawah normal
Hematokrit 24 % 40,7-50,3 % Dibawah normal
Bilirubin Normal
Enzim aminotransferase
& ALP
Normal
LDH Normal
Urin analisis
Proteinuria 3 + (tanpa
gips atau
kristal
Negatif Tidak normal
pH 5 (asam) 7-7,8 Tidak normal
Berat Jenis 1,007 1,020-1,03 berkurang
Output urin harian 0,6 ; 0,5 ; 0,8
L selama 3
hari pertama
Berkurang
c. Assessment : Gagal ginjal akut
d. Plan : hospitalisasi
1. Evaluasi kerasionalan obat yang digunakan
a. Tepat indikasi
Nama obat Indikasi Mekanisme aksi Ket
Levofloksasin Infeksi karena
mikroorganisme
yang sensitiv
seperti pada
acute maxillary
sinusitis, acute
bacterial
exacerbations of
chronic
bronchitis,
community-
acquired
pneumonia,
uncomplicated
urinary tract
infection, dan
acute
pyelonephritis.
(IONI 403)
Dapat menghambat enzim
topoisomerase IV dan DNA
gyrase yaitu enzim yang
diperlukan untuk replikasi,
transkripsi, perbaikan (repair
dan rekombinasi DNA
bakteri). (Levaquin. Product
monograph. Physicians’
Desk Reference. PDR 61
edition. Montvale: Thomson;
2007)
Tepat
indikasi
b. Tepat obat
Nama obat Alasan pemilihan obat Ket
Levofloksasin
c. Tepat pasien
Nama Obat Kontraindikasi Ket
Levofloksasin Pasien yang hipersensitif terhadap
antibiotika golongan kuinolon, pasien
epilepsi, pasien dengan riwayat gangguan
tendon terkait dengan penggunaan
fluorokuinolon, wanita hamil dan menyusui,
anak-anak < 18 tahun(Tanujaya,2009)
d. Tepat Dosis
Nama obat Rekomendasi dosis Dosis yang diberikan Ket
Levofloksasin pasien dewasa ≥ 18
tahun adalah 250-750
mg, 1 kali sehari
(Tanujaya,2009)
1x sehari 500 mg
e. Waspada efek samping
Nama Obat Efek Samping Ket
Levofloksasin Secara umum, levofloxacin dapat ditoler-
ansi dengan baik. Secara keseluruhan
insiden, tipe dan distribusi efek samping
pasien yang mendapat terapi 750 mg, 250
mg, dan 500 mg, 1 kali sehari mirip. Efek
samping paling sering yang menyebabkan
penghentian obat adalah saluran cerna
(terutama mual dan muntah), pusing, dan
nyeri kepala. (Tanujaya,2009)
2. Tujuan terapi
a. Untuk mencegah ARF, tetapi jika ARF berkembang,
b. Menghindari atau meminimalkan kerusakan ginjal lebih lanjut yang akan
menunda pemulihan, dan
c. Memberikan langkah-langkah dukungan sampai fungsi ginjal kembali
normal.
3. Terapi Non farmakologi
a. Terapi suportif meliputi fluid manajemen dan manajemen elektrolit.
b. Renal Replacement Therapy (RRT)
c. Hemodialisa
d. Terapi nutrisi
e. Menghindari atau menghentikan pemakaian obat-obatan yang dapat
menurunkan fungsi ginjal atau yang bersifat nefrotoksik seperti
levofloksasin.
4. Terapi Farmakologi
a. Furosemid
2. Evaluasi Kerasionalan Obat Terpilih
IV. PEMBAHASAN
1. Data laboratorium
a. Data Kreatinin serum pasien
Kreatinin memiliki berat molekul 113 Dalton, merupakan hasil metabolisme
kreatin di dalam tubuh. Senyawa endogen tersebut terdistribusi di dalam air tubuh total,
tak terikat protein plasma, dan tersaring sempurna oleh glomeruli ke dalam filtrat (urin).
Dalam pengobatan, kenaikan kreatinin serum proporsional dengan penurunan fungsi
glomeruli lazim digunakan sebagai indikator penurunan fungsi ginjal (Hakim, 2012).
Senyawa endogen ini juga disekresi di tubuli proksimal (sekitar 10-15%),
sehingga menggambarkan fungsi renal secara utuh pada ginjal normal, sebab sebagai
senyawa polar, kemungkinana ia tidak mengalami reabsorpsi tubular. Namun ketika
fungsi ginjal menurun, sekresi kreatinin meningkat, bahkan sampai 100 %, sehingga
peristiwa ini ditafsirkan seolah-olah fungsi ginjal normal.
Kreatinin dalam plasma darah memiliki nilai normal 0,6-1,3 mg/dl. Berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa kadar kreatinin serum pasien 2 minggu
sebelum memulai pengobatan dengan levofloksasin adalah 1,0 mg/dL , kadar kreatinin
tersebut berada dalam perbatasan. Sedangkan ketika berada di rumah sakit, hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan kadar kreatinin serum menjadi
6,4 mg/dL. Kadar tersebut jauh melebihi kadar kreatinin normal.
Kadar kreatinin juga bisa digunakan untuk mengukur laju filtrasi glomerulus
(GFR/ Gromerular Filtration Rate) yaitu kemampuan fungsi ginjal untuk menyaring
darah dalam satuan menit. Bila hal tersebut dihitung dalam waktu 24 jam, yaitu dengan
menampung urin selama 24 jam untuk kemudian diukur, disebut klirens kreatinin. GFR
yang rendah atau menurun adalah indeks dari Chronic Kidney Disease, CKD. GFR
dapat dihitung menggunakan berbagai metode antara lain metode Cockcroft Gault,
metode MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) atau metode dari Chronic
Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI).
Dalam kasus ini tidak diketahui berapa berat badan pasien, sehingga untuk
menghitung klirens kreatinin digunakan metode Jallife karena hanya diketahui umur
pasien yaitu 73 tahun.
Perhitungan klirens kreatinin berdasarkan serum kreatinin 2 minggu sebelum
terapi levofloksasin
Clcr=98−0,8 (umur−20 )
Ccr
Clcr=98−0,8 (73−20 )
1,0=55,6ml /menit
Perhitungan klirens kreatinin berdasarkan serum kreatinin 2 minggu sebelum
terapi levofloksasin
Clcr=98−0,8 (73−20 )
6,4=8,7 ml /menit
Hubungan antara klirens kreatinin dan fungsi ginjal (Wiffen dkk, 2007)
Fungsi ginjal Klirens kreatinin (ml/menit)
Normal 80-120
Gagal ginjal ringan 20-50
Gagal ginjal sedang 10-20
Gagal ginjal berat < 10
GFR dapat dihitung berdasarkan data kreatinin pasien menggunakan metode
CKD-EPI dengan bantuan kalkulator dari situs www.kidney.org. Dari hasil perhitungan
diperoleh GFR pasien 2 minggu sebelum menggunakan levofloksasin adalah 74
ml/menit/1,73m2. Nilai GFR tersebut menunjukkan bahwa pasien mengalami gangguan
fungsi ginjal ringan (CKD stage 2). Sedangkan ketika pasien berada di rumah sakit
diperoleh hasil perhitungan GFR berdasarkan kadar kreatinin serum sebesar 8
ml/menit/1,73m2. Dengan demikian gangguan fungsi ginjal yang dialami pasien
berkembang menjadi lebih parah karena pasien mengalami gagal ginjal berat.
Perhitungan GFR 2 minggu sebelum menggunakan Levofloksasin
Perhitungan GFR setelah masuk rumah sakit
Derajat Keparahan CKD menurut NKF-KDOQI
b. Data BUN
Urea memiliki berat molekul 60 Dalton, urea berdifusi bebas masuk ke dalam
cairan intrasel dan ekstrasel. Zat ini dipekatkan dalam urine untuk diekskresikan. Pada
keseimbangan nitrogen yang stabil, sekitar 25 gram urea diekskresikan setiap hari.
Kadar dalam darah mencerminkan keseimbangan antara produksi dan ekskresi urea. 2
minggu sebelum memulai terapi dengan levofloksasin, hasil pemeriksaan kadar urea
pasien menunjukkan nilai 38 mg/dL.
Kadar nitrogen urea (BUN/ Blood Urea Nitrogen) dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan fungsi ginjal. Ketika fungsi ginjal terganggu maka akan terjadi
penumpukan bahan-bahan beracun , seperti ureum dan nitrogen yang merupakan hasil
dari pemecahan protein, yaitu suatu keadaan yang disebut sindrom uremia. Berdasarkan
pemeriksaan laboratorium saat pasien berada di rumah sakit diperoleh kadar BUN
pasien sebesar 190 mg/dL. Kadar BUN tersebut melebihi nilai kadar BUN normal yaitu
18-25 mg/dl.
c. Urinalisis
Setiap saat, secara teratur, darah yang beredar di tubuh kita akan melewati ginjal
untuk menjalani proses filtrasi di ginjal. Proses filtrasi tersebut akan menghasilkan urin
yang membawa serta sisa metabolisme tubuh yang tidak diperlukan lagi, sedangkan zat-
zat yang berguna bagi tubuh, seperti protein, tidak terfiltrasi dan tidak keluar di urin.
Apabila fungsi filtrasi ginjal terganggu, maka terjadilah kebocoran protein di urin dalam
jumlah banyak. Keadaan inilah yang dikenal dengan proteinuria yaitu suatu kondisi di
mana ditemukan protein di dalam urin pada jumlah yang melebihi normal.
Pada pemeriksaan urinalisis pasien diperoleh proteinuria 3+ (tanpa gips atau
kristal), hal ini mengindikasikan terjadinya gangguan pada proses filtrasi oleh glomeruli
ginjal.
Bila asam sedang diekskresika, pH akan turun dan bila basa sedang diekskresikan,
pH akan meningkat. Oleh karena itu, setiap kali ginjal gagal berfungsi, asam mulai
berkumpul di dalam cairan tubuh. Biasanya, buffer cairan tersebut dapat membuffer
sampai total sebanyak 500 sampai 1000 milimol asam tanpa penurunan besar pH cairan
ekstrasel, tetapi secara berangsur-angsur kekuatan membufer ini habis digunakan
sehingga pH turun secara drastis (Guyton, 1990). Hal ini juga terjadi pada pasien
dimana pH urin pasien menunjukkan nilai 5,0 (asam), sedangkan urin memiliki pH
normal antara 4,8-8,0 (kira-kira 6,0).
Produksi urin rata-rata pada manusia dewasa adalah sekitar 1 - 2 L per hari,
tergantung pada keadaan hidrasi, tingkat aktivitas, faktor lingkungan, berat, dan
kesehatan individu. Dalam kasus ini terjadi penurunan output urin harian yaitu 0,6; 0,5
dan 0,8 L selama 3 hari pertama berada di rumah sakit, hal ini disebabkan karena
berkurangnya aliran darah ke ginjal.
d. Data hemoglobin dan hematokrit
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan
kadar hemoglobin dan hematokrit sehingga kadarnya kurang dari normal. Kadar
hemoglobin pasien sebesar 8,4 g/dL dengan nilai normal 13,8-17,2 g/dL, sedangkan
kadar hematokrit pasien sebesar 24 % dengan nilai normal 40,7-50,3 %. Penurunan
kadar hemoglobin dan hematokrit menandakan bahwa pasien mengalami anemia.
Penyebab utama anemia pada pasien CKD adalah penurunan produksi hormon
erythropoietin (EPO) oleh sel-sel progenitor ginjal, di mana ginjal bertanggung jawab
untuk mengeluarkan 90% dari hormon endogen eritropoietin. Konsentrasi plasma EPO
meningkat secara eksponensial pada individu dengan fungsi ginjal normal sebagaimana
penurunan hematokrit (yaitu, sebagai tanggapan berkurangnya oksigenasi). Sebaliknya,
tidak ada korelasi antara derajat anemia dengan konsentrasi EPO pada pasien anemia
yang melakukan dialisis karena mereka tidak mampu meningkatkan produksi EPO
sebagai respon terhadap hipoksia.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap perkembangan anemia pada pasien CKD
adalah penurunan siklus hidup sel darah merah (dari normal 120 hari menjadi sekitar 60
hari pada tahap 5 CKD), kekurangan zat besi, kehilangan darah dari pengujian
laboratorium rutin, dan kekurangan zat besi adalah penyebab utama dari resistensi
terhadap terapi dengan agen erythropoietic (yaitu, epoetin alfa atau darbepoetin alfa).
Pengobatan anemia dapat meningkatkan atau mengatasi gejala dan bisa membantu
menstabilkan fungsi ginjal.
Di samping itu pasien menderita mielofibrosis idiopatik dengan metaplasia
myeloid yaitu penyakit di sumsum tulang di mana kolagen membentuk jaringan fibrosis
pada cavum sumsum. Hal ini terjadi karena pertumbuhan tidak terkendali dari sel
prekursor darah, yang akhirnya mengarah pada akumulasi jaringan ikat di sumsum
tulang. Jaringan ikat yang membentuk sel darah yang akhirnya menyebabkan bentuk
disfungsional. Tubuh kita menyadari hal ini, dan mencoba untuk mengkompensasi
dengan mengirimkan sinyal ke organ extramedulare hematopoietik, yaitu hati dan limpa
untuk menghasilkan sel darah baru. Tetapi sel darah yang akhirnya dihasilkan oleh
organ-organ ini masih belum berfungsi dengan baik dan tubuh akhirnya pasien
mengalami anemia.
2. Data tekanan darah
Dari hasil pengukuran tekanan darah pasien menunjukkan 155/70 mmHg artinya
tekanan darah sistolik tersebut melebihi normal sedangkan tekanan darah diatolik
kurang dari normal. Kehadiran hipertensi juga meningkatkan risiko CKD sehingga
pengobatan dan pengendalian hipertensi dapat menunda perkembangan CKD.
Dari sebuah studi yang dilakukan Bakris dkk, diketahui bahwa terdapat hubungan
linear terbalik antara tekanan darah rata-rata dan rata-rata GFR dimana tekanan darah
arteri yang lebih rendah mengakibatkan penurunan rata-rata lebih rendah pada GFR.
Jadi tekanan darah sistolik 180 mmHg dikaitkan dengan penurunan GFR 14 mL / menit
per tahun, sedangkan tekanan darah sistolik 135 mmHg dikaitkan dengan penurunan
GFR hanya 2 mL/menit per tahun.
3. Penyebab gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease)
Terdapat 3 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik, yaitu :
a. Susceptibility factor yaitu factor yang meningkatkan resiko terjadinya gangguan
ginjal meskipun faktor resiko tersebut belum terbukti menyebabkan kerusakan
ginjal secar langsung. Yang termasuk susceptibility factor adalah usia lanjut,
penurunan fungsi ginjal dan bayi yang lahir dengan berat badan rendah, rasa tau
etnis, riwayat keluarga, pendapatan dan tingkat pendidikan yang rendah, inflamasi
sistemik, dislipidemia.
Susceptibility factor dalam kasus ini adalah usia lanjut.
b. Initiation factor yaitu faktor atau kondisi yang secara langsung menginisiasi
kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologi. Yang
termasuk initiation factor adalah diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun,
penyakit ginjal polisistik, keracunan obat.
Initiation factor dalam kasus ini adalah hipertensi dan keracunan obat
(levofloksasin).
c. Progression factor yaitu factor yang dapat memperburuk kerusakan ginjal dan
berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang cepat setelah inisiasi
kerusakan ginjal. Yang termasuk Progression factor adalah glikemia pada pasien
diabetes, peningkatan tekanan darah, proteinuria, merokok.
Progression factor dalam kasus ini adalah peningkatan tekanan darah dan
proteinuria.
4. Evaluasi terapi sebelumnya
Dalam kasus ini disebutkan bahwa pasien diberikan antibiotik levofloksasin
untuk mengobati mielofibrosis idiopatik dengan metaplasia myeloid. Dosis
levofloksasin yang digunakan adalah 500 mg/hari secara oral.
Levofloksasin adalah antibakteri sintetik golongan fluorokuinolon yang
merupakan S -(-) isomer dari ofloksasin dan memiliki aktivitas antibakteri dua kali
lebih besar daripada ofloksasin. Levofloksasin memiliki efek antibakterial dengan
spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram-positif dan gram-negatif termasuk bakteri
anaerob. Levofloksasin telah menunjukkan aktivitas antibakterial terhadap
Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Levofloksasin secara in vitro
lebih aktif melawan bakteri gram-positif, termasuk Streptococcus pneumoniae dan
bakteri anaerob dibandingkan fluorokuinolon yang lain. Tetapi, levofloksasin kurang
aktif melawan Pseudomonas aeruginosa dibandingkan dengan siprofloksasin.
Mekanisme kerja dari levofloksasin adalah dengan menghambat enzim DNA-
gyrase, sehingga mengakibatkan kerusakan rantai DNA. DNA-gyrase
(topoisomerase II) merupakan enzim yang sangat diperlukan oleh bakteri untuk
memelihara struktur superheliks DNA, juga diperlukan untuk replikasi, transkripsi
dan perbaikan DNA.
Levofloksasin mengalami metabolisme terbatas dan diekskresikan terutama
melalui urin dalam bentuk tidak berubah. Setelah pemberian secara oral, hampir 87%
dari dosis yang diberikan, ditemukan dalam bentuk tidak berubah di urin dalam
waktu 48 jam, kurang dari 4% ditemukan di feses dalam waktu 72 jam. Dari dosis
yang diberikan, kurang dari 5% ditemukan di urin sebagai metabolit desmetil dan N-
oksida. Metabolit ini merupakan satu-satunya metabolit yang telah diidentifikasi
pada manusia dan memiliki peran yang kecil dalam aktivitas farmakologi.
Levofloksasin terutama diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk tidak
berubah. Waktu paruh eliminasi rata-rata levofloksasin yaitu 6-8 jam setelah
pemberian secara oral atau intravena pada individu dengan fungsi ginjal normal.
Klirens renal levofloksasin adalah sebesar 96-142 mL/menit.
Dari uraian kasus diketahui bahwa tiga hari setelah memulai pengobatan
dengan levofloksasin, pasien dirawat di rumah sakit dengan eritematosa disertai
purpura dan lesi teraba kulit di atas tungkai bawah dan batang, dengan output
berkurang. 3 hari setelah penggunaan levofloksasin yaitu ketika berada di rumah
sakit, kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea serum mengalami kenaikan
yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan sebelum pasien mengkonsumsi
levofloksasin.
Antimikroba sering berkonsentrasi di ginjal dan berpotensi dapat merusak
organ oleh berbagai mekanisme, termasuk direct tubular injury, inflamasi interstisial
(alergi nefritis interstisial ), perubahan kadar elektrolit ginjal, atau kerusakan pada
apartus glomerulus. Oleh karena itu diasumsikan pasien telah mengalami alergi
interstisial nefritis (Allergic Interstisial Nephritis /AIN) . Nefritis interstisial alergi
(AIN) diperkirakan menjadi penyebab paling umum dan dikaitkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III. Identifikasi levofloksasin yang menginduksi AIN biasanya
berdasarkan presentasi klinis yang salah satunya adalah gagal ginjal. Agar kondisi
pasien menjadi lebih baik, maka penggunaan antibiotic levofloksasin dianjurkan
untuk dihentikan.
5. Terapi non farmakologi
a. Terapi non farmakologi CKD
Tujuan terapi pada pasien CKD adalah untuk memperlambat atau menghentikan
laju perkembangan CKD dan dengan demikian mengurangi insiden dan prevalensi
ESKD (End of Stage Kidney Disease).
Pedoman dari The National Kidney Foundation K / DOQI untuk gizi pada pasien
dengan CKD merekomendasikan asupan diet protein 0,6 g / kg per hari untuk pasien
dengan GFR <25 mL / menit. Titrasi asupan protein sampai 0,75 g / kg per hari
disarankan untuk pasien yang tidak bisa mencapai atau mempertahankan status gizi
yang memadai dengan diet rendah protein (0,6 g / kg per hari). Pembatasan sodium
melalui pengaturan makanan tanpa penambahan garam tidak direkomendasikan
meskipun pasien memiliki hipertensi atau edema.
Tujuan terapi anemia pada CKD adalah untuk meningkatkan kapasitas
“pembawa-oksigen” sehingga mengurangi timbulnya dyspnea, orthopnea, dan
kelelahan, dan untuk mencegah konsekuensi jangka panjang seperti LVH dan mortalitas
terkait hal tersebut. Guideline dari NKF-K/DOQI meliputi target spesifik untuk
hemoglobin / hematokrit, folat, vitamin B12, indeks zat besi, dan direkomendasikan
untuk menggunakan agen erythropoietic dan suplemen zat besi.
Ketika keadaan pasien berkembang menjadi ESKD, dialisis (khusus ultrafiltrasi)
atau transplantasi ginjal menjadi diperlukan untuk menjaga normovolemia. Guideline
NKF-K/DOQI merekomendasikan dilakukannya dialysis pada pasien non diabetic bila
Clcr 9-14 ml/menit/1,73m2. Oleh karena itu, dalam kasus ini pasien perlu melakukan
dialysis mengingat klirens kreatinin pasien sebesar 8 ml/menit/1,73m2.
Dalam kasus ini pasien disarankan untuk menghindari obat-obat yang dapat
menyebabkan nefrotoksisitas, seperti yang tercantum dalam table di bawah ini.
b. Terapi non farmakologi anemia
Terapi non farmakologi untuk anemia CKD yaitu dengan menjaga kecukupan
asupan diet zat besi. Sejumlah yang relatif kecil zat besi, sekitar 1 sampai 2 mg (atau
sekitar 10%), diserap setiap hari, terutama di duodenum. Meskipun ada beberapa
perdebatan mengenai apakah penyerapan GI besi secara signifikan berubah pada pasien
dengan CKD parah, jelas bahwa asupan oral dari sumber makanan saja umumnya tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan zat besi yang meningkat, oleh karena itu selain
anjuran untuk mengkonsumsi makanan kaya zat besi, pasien dianjurkan untuk memulai
terapi erythropoietic.
Di rumah sakit sebaiknya dilakukan pemantauan konsentrasi hemoglobin (Hb)
pasien. Pemantauan hemoglobin lebih disukai karena hematokrit (Ht) berfluktuasi
dengan status volume dan mungkin kekeliruan dapat meningkat jika sampel darah telah
disimpan untuk jangka waktu lama. Target Hgb pada pasien yang diobati untuk anemia
CKD adalah 11 sampai 12 g / dL (hematokrit 33% sampai 36%).
6. Terapi farmakologi
a. Terapi hipertensi
Terapi antihipertensi yang digunakan dalam kasus ini adalah kombinasi
inhibitor ACE (ramipril) dan diuretik loop (furosemid). Pengurangan tekanan darah
adalah kunci untuk mengurangi gejala kardiovaskular dan gagal ginjal. Target
tekanan darah pada pasien ini harus dicapai selama beberapa minggu untuk
memungkinkan agar ginjal dapat beradaptasi dengan berkurangnya tekanan perfusi.
Kontrol tekanan darah dapat mengurangi laju penuruna GFR dan albuminuria
pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Oleh karena itu terapi menggunakan
ramipril dimulai dengan pemberian dosis terendah yang memungkinkan diikuti
dengan titrasi meningkat untuk mencapai target tekanan darah dan sebagai tambahan
untuk mengurangi proteinuria.
Terjadi penurunan GFR sekitar 25% sampai 30% dalam waktu 3 sampai 7 hari
setelah inisiasi terapi dengan ACEI, karena penurunan tekanan intraglomerular. Jika
kenaikan kreatinin serum lebih dari 0,5 mg / dL dan terjadi setelah terapi ACEI
inisiasi atau peningkatan dosis, pasien mungkin memerlukan penghentian terapi
karena ramipril termasuk obat yang menginduksi gagal ginjal akut. Perlu dilakukan
monitoring terhadap kadar serum potassium untuk mendeteksi perkembangan
hiperkalemia setelah inisiasi atau peningkatan dosis ramipril.
Terapi dengan furosemid atau dialisis dapat berguna sebagai control terhadap
tekanan darah dan edema. Serta dapat meningkatkan volume urin dan ekskresi
sodium ginjal.
b. Terapi anemia CKD
Sebelum memulai terapi farmakologi untuk anemia, sebaiknya pasien perlu
menjalani pemeriksaan petanda besi Tsat (atau CHr) dan kadar ferritin serum.
Apabila TSat dan ferritin serum berada di bawah target (target TSat 20 – 50 % dan
ferritin serum 100-800 ng/ml), direkomendasikan pemberian suplemen zat besi.
Suplemen zat besi tersebut dapat berupa fero sulfat, fero glukonat, dan fero
fumarat. Suplemen zat besi befungsi untuk menyediakan elemen besi yang
diperlukan untuk produksi hemoglobin dan yang selanjutnya bergabung pada sel
darah merah, dengan demikian terjadi peningkatan pengangkutan oksigen ke
jaringan. Dosis yang disarankan ketika terapi suplemen zat besi oral dimulai, adalah
200 mg per hari.
Erythropoietic merupakan faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk
merangsang pembelahan dan diferensiasi sel erythroid progenitor dan menginduksi
pelepasan retikulosit dari sumsum tulang ke aliran darah di mana mereka tumbuh
menjadi eritrosit (sel darah merah). Agen erythropoietic yang digunakan dalam
kasus ini adalah epoetin alfa. Sejak tahun 1989, epoetin alfa telah menjadi terapi
utama untuk anemia CKD.
7. Evaluasi keberhasilan terapi
Sejauh mana keberhasilan pengobatan gagal ginjal itu sendiri tidak terlepas oleh
pengaruh banyak faktor, selain perawatan langsung di unit hemodialisa juga harus
didukung dengan perawatan yang benar di rumah seperti pengaturan makanan yang
harus dipatuhi. Agar usaha ini dapat terlaksana dengan baik, maka peran keluarga tidak
dapat diabaikan.
Keluarga dianggap dapat memiliki pengaruh yang penting dalam membantu
menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesulitan hidup seperti
menurunkan kecemasan dan depresi. . Dukungan ini dapat berupa dukungan emosionil,
dukungan penghargaan, dukungan bentuk nyata/materi/uang, dan dukungan informasi
Rutinitas keluarga dalam memberi dukungan kepada pasien ini membutuhkan kesabaran
dan tulus ikhlas dari pihak keluarga sendiri karena tidak menutup kemungkinan
timbulnya stres yang meningkat seiring dengan lamanya waktu berobat pasien gagal
ginjal yang umumnya dilaksanakan seumur hidup. Hal ini bisa menjadi sumber stres
tersendiri bagi keluarga.
Keberhasilan terapi dapat dicapai dengan sering memantau manajemen nutrisi,
terlepas dari jumlah asupan protein yang ditentukan, untuk menghindari kekurangan
gizi. Kontrol tekanan darah harus menargetkan tekanan darah normal pada pasien
dengan proteinuria < 125/75. Pada pasien dengan proteinuria di atas 3 g / hari dan CKD,
pemberian ACEI atau ARB harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama. Pasien
harus mulai bersiap-siap terhadap kemungkinan terapi penggantian ginjal (transplantasi
ginjal). Perlunya kepatuhan pasien untuk menjalani hemodialisis termasuk apa saja yang
perlu dihindari ketika sedang menjalani hemodialisi.
Daftar pustaka
Hakim, Lukman. 2012, Farmakokinetik Klinik, Bursa Ilmu : Jogjakarta.