laporan ptk pbm pendidikan agamafile.upi.edu/direktori/fpips/m_k_d_u/195801281986121...1 bab i...
TRANSCRIPT
LAPORAN PTK
EFEKTIVITAS PERKULIAHAN SEMINAR PAI MELALUI
PENDEKATAN ”STUDI USHUL DAN LINTAS MAZHAB”
DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN MAHASISWA
UPI TERHADAP MASALAH ”KHILAFIYAH”
Oleh:
Drs. Munawar Rahmat, M.Pd.
Lektor Kepala pada FPIPS UPI
Dilaksanakan atas biaya Dik UPI
No. 060/23/2002 Tanggal 13 Juli 2002
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2002
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan “khilafiah” masih saja menjadi penghalang Ukhuwah
Islamiyah. Pertentangan elit politik berbasis massa Islam sangat tampak dari
terbelahnya elit dan massa ke dalam kelompok - meminjam istilah Nurcholis
Majid - Islam-tradisionalis dan Islam-modernis, yang akar-akar ikatannya adalah
persoalan “khilafiah”. Bahkan di kalangan massa, pro dan kontra terhadap elit
politik sepertinya lebih ditentukan oleh kesamaan “khilafiah” ini.
Ketika mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), K.H.
Abdurrahman Wahid, atau lebih dikenal dengan Gus Dur, di antaranya
menyebutkan bahwa PKB adalah partainya orang yang suka melakukan Qunut
Shubuh, shalawatan, tahlilan, dan berziarah ke kuburan. Betul, memang pada
kenyataannya basis utama PKB adalah kaum Nahdiyyin, atau Islam Tradisionalis.
Berbeda dengan Prof. Dr. M. Amien Rais, ketika mendeklarasikan Partai
Amanat Nasional (PAN) sama sekali tidak mengkaitkannya dengan
Muhammadiyyah. Walau, pada kenyataannya pendukung utama PAN adalah
kaum Muhammadiyyah, atau Islam Modernis. Dan di daerah-daerah, PAN ini
sangat dikenal sebagai partainya orang-orang Muhammadiyyah. Dan
kenyataannya pun menunjukkan bahwa mayoritas pengurus PAN adalah para
pengurus dan aktivis Muhammadiyyah. Atau, yang lebih kental lagi dengan
melihat kesamaan peribadatan, orang-orang Muhammadiyyah memilih Partai
Bulan-Bintang (PBB), seperti kebanyakan kaum Persatuan Islam (Persis).
Departemen Agama RI pernah menjadi ajang rebutan di antara kaum NU
dan Muhammadiyyah. Demikian juga Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dan
dalam organisasi intra universitas/institut, perebutan kepemimpinan antara
mahasiswa NU dan Muhammadiyyah pernah mewarnai suasana kampus kita,
khususnya di IAIN dan Universitas-Universitas Islam.
Demikian juga halnya dengan kepengurusan masjid, karena berkaitan
langsung dengan model atau cara peribadatan. Yang paling menonjol adalah untuk
menentukan Imam Shalat Shubuh, apakah perlu seorang imam yang membacakan
do‟a qunut ataukah tidak. Kemudian ketika tibanya bulan Ramadhan, apakah
Shalat Tarawih yang akan dilakukan di masjid itu 11 ataukah 23 rakaat. Di antara
dampak lainnya adalah diadakannya “voting” untuk menentukan Imam Shalat
Shubuh dan jumlah rakaat Shalat Tarawih, atau didirikannya masjid baru.
2
Upaya ke arah rekonsiliasi dilakukan banyak Ulama dan tokoh Islam.
Saudi Arabia yang menetapkan Wahabi sebagai mazhab resmi pemerintah
misalnya saja memperpanjang I‟tidal Shalat Shubuh. Mungkin maksudnya untuk
memberi kesempatan kepada kaum muslimin yang suka melakukan qunut shubuh.
Masjid Al-Azhar di Jakarta mungkin merupakan mesjid pertama di Indonesia
yang memprakarsai Shalat Tarawih 11 rakaat yang kemudian dilanjutkan dengan
23 rakaat.
Mungkin sebagai dampak globalisasi, khususnya tentang kesadaran
perlunya persatuan dan kesatuan ummat Islam dalam berhadapan dengan non-
Muslin, dan secara khusus lagi dengan mereka yang anti-Islam, kaum Muslimin di
Indonesia pun tampaknya lebih menghendaki persatuan dan kesatuan ini dengan
melupakan perbedaan-perbedaan.
Kini para Ulama dan Muballigh Islam sangat jarang membahas masalah-
masalah “khilafiah”. Tampaknya mereka sekarang lebih membiarkan umat untuk
menentukan sendiri mazhab dan keyakinannya. Atau, mungkin karena didorong
oleh isu-isu lain yang lebih penting dan lebih besar. Tapi, ada juga sebagian ulama
dan cendekiawan muslim yang tetap mempertahankan perlunya umat diberi
penjelasan tentang keragaman mazhab, disertai dengan dasar-dasar dan landasan-
landasan berpijaknya.
Bila menengok kepada kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah-
sekolah, mulai Sekolah Dasar hingga Universitas, memang tidak punya waktu dan
kesempatan untuk menjelaskan masalah “khilafiah”. Sebabnya, lebih karena
minimnya waktu. Apa yang dapat disampaikan hanya dengan 2-3 JAM perminggu
(di SD, SMP, SMA/SMK) atau 2-4 SKS di universitas?
Persoalannya menjadi sangat lain. Memang benar, bahwa para perangcang
kurikulum lebih memfokuskan pada ajaran-ajaran pokok agama. Sangat
dimaklumi, karena mana mungkin akan menyajikan masalah-masalah “khilafiah”,
sementara untuk yang “pokok-pokok” saja sudah kekurangan waktu. Tapi,
masalah “khilafiah” adalah realitas masyarakat Muslim Indonesia. Para siswa dan
mahasiswa yang kritis suka saja mempertanyakan masalah-masalah “khilafiah”
ini. Seorang dosen agama yang tidak menghendaki munculnya persoalan-
persoalan ini pun terpaksa tidak bisa menghindar, karena para mahasiswa
membutuhkan jawaban yang segera.
Pengalaman banyak dosen agama di UPI menunjukkan ke arah yang
demikian. Beberapa dosen bahkan mengusulkan perlunya pengkajian khusus –
mungkin beberapa pertemuan – untuk membahas masalah-masalah “khilafiah”,
dengan menjelaskan persoalan-persoalan “Ushul” dan “Lintas Mazhab”. Beberapa
3
dosen agama lainnya bahkan mengusulkan perlunya diadakan Pesantren
Mahasiswa, dengan pokok kajian tentang “Studi Ushul dan Jurisprudensi Islam”
secara “Lintas Mazhab”.
Pokok persoalan dalam penelitian ini adanya untuk mencari jawaban
tentang “Efektivitas Studi Ushul dan Lintas Mazhab” dalam membahas masalah-
masalah “khilafiah” dalam perkuliahan Seminar Pendidikan Agama Islam di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Melalui Class-room Action Research, penelitian ini diharapkan dapat
metemukan model atau pendekatan perkuliahan Seminar PAI yang dapat
meningkatkan pemahaman atau wawasan dan toleransi mahasiswa terhadap
permasalahan-permasalahan Islam-Tekstual yang kontroversial, atau lebih dikenal
dengan masalah-masalah “khilafiah”. Selama ini masalah-masalah “khilafiah”
jarang disinggung oleh dosen. Atau, kalaupun disinggung malah ada menafikan
pandangan lain yang berbeda dengan pendirian dosen. Perlakuan demikian tentu
tidak adil karena mahasiswa biasanya kritis, selain mereka yang bersebrangan
dengan dosen tentunya tidak merasa senang. Dosen agama sebaiknya bersikap
netral, yakni dengan membiarkan para mahasiswa mengambil kesimpulan sendiri.
Tentunya setelah terlebih dahulu mengungkapkan seluruh argumentasi pandangan
yang berbeda itu. Malah, dosen agama sebaiknya memberikan bimbingan dan
mengajak para mahasiswa untuk mencari titik-temu dari pandangan yang berbeda-
beda itu.
B. Perumusan Masalah
Masalah utama penelitian tindakan kelas ini adalah, sejauh manakah
efektivitas perkuliahan Seminar PAI dengan pendekatan ”studi ushul dan lintas
mazhab” dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa UPI terhadap persoalan
”khilafiyah”?
Adapun secara khusus dan operasional, masalah-masalah yang menjadi
fokus penelitian ini dapat diuraikan ke dalam beberapa pertanyaan berikut:
a. Bagaimanakah ”perencanaan” perkuliahan SPAI yang menggunakan
pendekatan ”naratif” (konvensional), pendekatan ”studi komparatif”, dan
pendekatan ”studi ushul dan lintas mazhab”, dalam upaya meningkatkan
pemahaman mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah”?
b. Bagaimanakah ”pelaksanaan” perkuliahan SPAI yang menggunakan
pendekatan ”naratif” (konvensional), pendekatan ”studi komparatif”, dan
pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab”, dalam upaya meningkatkan
pemahaman mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah”?
4
c. Bagaimanakah tingkat ”keluasan” dan ”kedalaman” makalah mahasiswa
tentang masalah-masalah “khilafiah”, sebagai dampak dari perkuliahan SPAI
yang menggunakan pendekatan ”naratif” (konvensional), ”studi komparatif”,
dan pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab”?
d. Bagaimanakah efektivitas pendekatan “studi ushul & lintas mazhab” dalam
meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap masalah-masalah “khilafiah”,
dibanding dengan pendekatan yang ”konvensional” dan ”studi komparatif”?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bertujuan untuk mengetahui efektivitas
perkuliahan Seminar PAI dengan pendekatan “Studi Ushul & Lintas Mazhab”
dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa UPI terhadap masalah-masalah
“khilafiah”.
Adapun secara khusus dan operasional, PTK ini bertujuan sebagai berikut:
a. Mengetahui ”perencanaan” perkuliahan SPAI yang menggunakan pendekatan
“naratif” (konvensional), pendekatan ”studi komparatif”, dan pendekatan
”studi ushul & lintas mazhab”, dalam upaya meningkatkan pemahaman
mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah”.
b. Mengetahui ”pelaksanaan” perkuliahan SPAI yang menggunakan pendekatan
“naratif” (konvensional), pendekatan ”studi komparatif”, dan pendekatan
”studi ushul & lintas mazhab”, dalam upaya meningkatkan pemahaman
mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah”.
c. Mengetahui tingkat “keluasan” dan “kedalaman” mahasiswa pemahaman
terhadap masalah-masalah “khilafiah”, sebagai dampak dari perkuliahan yang
menggunakan pendekatan “naratif” (konvensional), pendekatan ”studi
komparatif”, dan pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab”.
d. Mengetahui efektivitas pendekatan “Studi Ushul & Lintas Mazhab” dalam
meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap masalah-masalah “khilafiah”,
dibanding dengan pendekatan yang “konvensional” dan “studi komparatif”.
D. Manfaat PTK
Hasil PTK ini sangat bermanfaat terutama bagi dosen PAI dan
Koordinator PAI UPI, yakni:
1. Bagi dosen PAI, hasil PTK ini dapat dijadikan model perkuliahan PAI dalam
membahas masalah-masalah “khilafiyah”, jika terbukti bahwa pendekatan
5
“Studi Ushul & Lintas Mazhab” memang berhasil meningkatkan pemahaman
mahasiswa terhadap masalah “khilafiyah”.
2. Bagi Koordinator PAI UPI, hasil penelitian ini – jika terbukti pendekatan
“studi ushul & lintas mazhab” memang berhasil – dapat disebarluaskan
kepada seluruh dosen PAI agar pendekatan perkuliahan ini digunakan dalam
membahas persoalan-persoalan “khilafiyah”.
E. Definisi Istilah
Ada 3 (tiga) istilah dalam judul penelitian yang perlu mendapat penjelasan,
yaitu: studi “Ushul”, “Lintas Mazhab”, dan masalah “khilafiah”.
Masalah “Khilafiah” adalah persoalan-persoalan agama yang dipahami
secara berbeda, malah cenderung kontroversial, baik menyangkut “keimanan”
maupun “peribadatan”. Masalah-masalah ”khilafiah” yang cukup kontroversial di
Indonesia – karena terlihat langsung oleh masyarakat – adalah: qunut shubuh
(sunnah atau bid`ah), shalat tarawih (23 atau 11 rakaat), tahlilan dan tawashul
kepada para wali yang telah meninggal dunia (sunnah atau syirik).
Studi “Ushul” dalam penelitian ini mencakup dua hal, yakni: (1)
pembahasan persoalan-persoalan pokok dari masalah-masalah khilafiah, dan (2)
pembahasan metodologis hingga tersimpulkannya persoalan-persoalan khilafiah.
Adapun studi “Lintas Mazhab” menyangkut studi tentang pandangan dan
argumentasi mazhab-mazhab yang berbeda terhadap persoalan-persoalan khilafiah
tersebut.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
dengan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action
Research (CAR).
Apa dan bagaimanakah penelitian tindakan atau action research,
perhatikan uraian berikut:
Menurut Hilary Bradbury and Peter Reason (2001: 2) Action Research is a
participatory, democratic process with concerned with developing practical
knowing in the pursuit of worth while human purpose, grounded in a
participatory worldview which human purposes, grounded in a participatory
world view which we believe is emerging at this historical moment. It sees to
bring together action and reflection, theory and practice, with participation
with others, in the pursuit of practical solution to issues of pressing concern to
6
people, and more generally the flourishing of individual persons and their
community.
So action research is about working towards practical outcomes, and also
about creating new forms of understanding, since action without reflection
and understanding is blind, just as theory without action is meaningless.
Action research is only possible with, for and by persons and communities,
ideally involving all stakeholders both in the questioning and sense making
that informs the research, and in the action which its is focus.
Apa kelebihan Action Research dibanding Survey, sebagai berikut:
Setidaknya ada dua aspek yang menyebabkan metode survei kurang dapat
dipakai: Pertama, masyarakat cenderung dijadikan obyek saja dan kurang
terl;ibat dalam merumuskan masalah dan penyusunan kebijakan (Fernandes
dan tandon, 1993: 9); dan kedua, dalam penerapan kebijakan, masyarakat
hanya sebagai orang yang menerima bukan sebagai pelaku dan pelaksana,
sehingga acapkali kebijakan kurang dipahami dan kurang dpat diterima
masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan metode alternatif yang memenuhi kriteria berikut:
Pertama, berusaha menutupi kelemahan itu dengan merumuskan
permasalahan atas dasar masalah yang langsung dirasakan oleh
masyarakat.
Kedua, pendekatan dirancang berdasarkan kesepakatan antara masyrakat
dengan peneliti.
Ketiga, hasil penelitian tidak hanya bermanfaat bagi si peneliti tetapi juga
masyarakat. Perubahan situasi, meningkatnya pengetahuan dan
kemampuan masyarakat dalam memahami dan mengubah serta
kemampuan memecahkan masalah mereka atau mengubah situasi
kehidupan mereka merupakan hasil yang diharapkan (Effendi, 1996,10).
Adapun proses action reseaarch, menurut Kemmis & Mc Taggart, dimulai
dengan: (1) perencanaan, kemudian (2) melakukan aksi, kemudian (3)
mengobservasi dampak dari aksi, dan terakhir (4) melakukan perenungan tentang
efektivitas dan efisiensi perencanaan dan aksi yang telah dilakukan. Bila (dengan
keempat langkah pada Putaran I tersebut) kurang berhasil, maka lakukanlah
Putaran II. Langkah-langkahnya sebagaimana dalam Putaran I, yakni dimulai
dengan: (1) perencanaan yang baru, kemudian (2) melakukan aksi yang baru,
kemudian (3) mengobservasi dampak dari aksi yang baru, dan terakhir (4)
7
melakukan perenungan tentang efektivitas dan efisiensi perencanaan dan aksi
Putaran II. Langkah-langkah pada setiap putaran dapat digambarkan sbb:
PUTARAN I PUTARAN II
Demikianlah seterusnya hingga ditemukan hasil yang memuaskan. Secara
teoritis, action research bisa dilakukan dalam beberapa putaran. Setelah Putaran I
gagal, lakukan Putaran II. Jika gagal lagi, lakukan Putaran III. Dan seterusnya.
Tapi tentu, tidak perlu dilakukan melebihi 3 (tiga) kali putaran. Jika
beberapa kali putaran, kapan akan selesainya penelitian. Kecuali jika kita
bermaksud mencari cara-cara baru yang lebih inovatif, lebih praktis, lebih efektif,
dan lebih efisien; sebagaimana Thomas Alpa Edison, penemu listrik, ia
melakukan berulang-ulang kali penelitian hingga melebihi 10.000 (sepuluh ribu)
kali penelitian; atau Sang Penemu “ayam goreng gurih, garing dan renyah” Mc
Donald yang melakukan lebih dari 1.000 (seribu) kali penelitian.
Usahakan cukupkan dengan 2-3 kali putaran saja, asalkan ada kemajuan
dibanding putaran sebelumnya. Caranya ialah dengan terlebih dahulu mengkaji
teori-teori atau hasil-hasil penelitian terdahulu.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan ini semula akan
dilaksanakan dalam dua putaran. Tapi karena pada Putaran II belum tampak
berhasil maka dilakukan Putaran III, sehinga akhirnya PTK ini dilakukan dalam 3
(tiga) kali putaran (siklus), yakni Putaran I (menggunakan pendekatan
“konvensional”), Putaran II (menggunakan pendekatan “studi komparatif”), dan
Putaran III (menggunakan pendekatan “studi ushul & lintas mazhab”). Pada setiap
siklusnya terdiri dari 4 tahap kegiatan, yaitu: (1) planning (perencanaan
perkuliahan), (2) acting (pelaksanaan perkuliahan), (3) observing (dengan
Acting
Observ
ing
Plan-
ning
Reflect
ing
Acting
Observ
ing
Plan-
ning
Reflect
ing
8
membandingkan hasil pre-test dan post-tes), dan (4) reflecting (menganalisis
efektivitas pendekatan yang telah dilakukan dalam perkuliahan).
Sesuai dengan tahap-tahap kegiatan PTK, maka kegiatan-kegiatan yang
dilakukan pada Siklus/Putaran I sebagai berikut:
1. Tahap pertama, PLANNING (perencanaan), adalah menyusun SATUAN
ACARA PERKULIAHAN (SAP) dengan pendekatan konvensional, dalam
PTK ini pendekatan “naratif”. SAP Putaran I menekankan mahasiswa untuk
memilih judul makalah yang dari permasalahan ”aktual”.
2. Tahap kedua, ACTING (pelaksanaan), adalah melaksanakan kuliah tatap
muka) dengan pendekatan “konvensional atau naratif”. Sebelum perkuliahan
dimulai, terlebih dahulu dilakukan PRE-TEST. (Tes dapat diperhatikan dalam
lampiran).
3. Tahap ketiga, OBSERVING (observasi), yakni mengobservasi dampak dari
pendekatan “naratif” dengan TES FORMATIF (post-test).
4. Menilai ”keberhasilan” pendekatan ”naratif”, yakni dengan membandingkan
skor pre-test dengan skor pos-test.
Setelah dianalisis ternyata ”kurang” berhasil, atau ”gagal”, sehingga perlu
dilakukan Putaran II yang menggunakan pendekatan lain, dalam hal ini
pendekatan “Studi Komparatif”. Pada Putaran II ini pun dilakukan 4 (empat)
tahap berikut:
1. Menyusun SAP dengan pendekatan “Studi Komparatif” dalam mengupas
permasalahan-permasalahan “khilafiah”. Pada tahap ini mahasiswa diarahkan
untuk memilih judul makalah dengan tema yang aktual dan kontradiktif.
2. Melaksanakan perkuliahan dengan menggunakan pendekatan ”studi ushul”
dan ”lintas mazhab”. Sebelum perkuliahan terlebih dahulu diadakan pre-test.
3. Mengadakan ”pos-tes” setelah berakhirnya perkuliahan.
4. Menilai ”keberhasilan” pendekatan ”studi ushul” dan ”lintas mazhab”, yakni
dengan membandingkan skor pre-test dengan skor pos-test.
Langkah berikutnya adalah membandingkan efektivitas pendekatan ”studi
komparatif” dan ”konvensional/naratif”, yakni dengan membandingkan tingkat
”keluasan” dan tingkat ”kedalaman” isi makalah pada Putaran I dengan Putaran II.
Bila secara kasat mata dari perhitungan prosentase hasilnya mencolok, maka
proses pengolahan data dicukupkan dengan prosentase saja. Tapi jika
perbedaannya tidak mencolok akan dilakukan perhitungan dengan Chi-Square.
9
Tafsiran terhadap hasil prosentase sebagaimana dalam tabel berikut:
TABEL 1
PEDOMAN PENAFSIRAN SECARA
DESKRIPTIF (%-TASE)
INTERVAL PROSEN TAFSIRAN
100% seluruhnya
80% - 99% Hampir seluruhnya
60% - 79% sebagian besar
51% - 59% lebih dari separohnya
50% separohnya
41% - 49% kurang dari separoh
21% - 40% sebagian kecil
1% - 20% Sedikit sekali
Setelah dianalisis memang ada kemajuan dan lebih berhasil dibanding
pendekatan konvensional. Tapi secara umum hasilnya ”kurang” memuaskan,
sehingga perlu dilakukan Putaran III yang menggunakan pendekatan lain, dalam
hal ini pendekatan “Studi Ushul” dan “Lintas Mazhab”. Pada Putaran III ini pun
dilakukan 4 (empat) tahap berikut:
1. Menyusun SAP dengan pendekatan “Studi Ushul” dan “Lintas Mazhab”
dalam mengupas permasalahan-permasalahan “khilafiah”. Pada tahap ini
dilakukan langkah-langkah berikut: (1) menyusun pandangan religius dari
kedua mazhab yang berbeda, (2) menyusun argumentasi tekstual dari kedua
mazhab yang berbeda, dan (3) mencari titik-temu dari kedua mazhab yang
berbeda atas dasar studi “Ushul”.
2. Melaksanakan perkuliahan dengan menggunakan pendekatan ”studi ushul”
dan ”lintas mazhab”. Sebelum perkuliahan terlebih dahulu diadakan pre-test.
3. Mengadakan ”pos-tes” setelah berakhirnya perkuliahan.
4. Menilai ”keberhasilan” pendekatan ”studi ushul” dan ”lintas mazhab”, yakni
dengan membandingkan skor pre-test dengan skor pos-test.
Langkah terakhir adalah membandingkan efektivitas pendekatan ”studi
ushul” dan ”lintas mazhab” dengan efektivitas pendekatan ”studi komparatif”,
yakni dengan membandingkan tingkat ”keluasan” dan tingkat ”kedalaman” isi
makalah pada Putaran II dengan Putaran III.
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG KULIAH SEMINAR PAI
DAN MASALAH “KHILAFIAH”
A. Kuliah Seminar PAI
Di UPI perkuliahan Pendidikan Agama Islam diberikan dalam 2 semester,
masing-masingnya 2 SKS, yakni Pendidikan Agama Islam (PAI) pada semester 1
atau 2, dan Seminar PAI (SPAI) pada semester 5 atau 6. SPAI merupakan mata
kuliah khas UPI, sebagai pengembangan dari mata kuliah Pendidikan Agama
Islam (PAI). Kalau pun ada pengembangan mata kuliah PAI, di universitas lain
biasanya disebut dengan PAI I dan PAI II.
Alasan diberikannya SPAI pada semester-semester agak akhir (semester 5
atau 6) dimaksudkan agar mahasiswa telah memperoleh bekal PAI, menguasai
konsep-konsep program studi yang menjadi konsentrasinya, serta menguasai
metode ilmiah, dengan harapan agar dapat mengkaji Islam, masyarakat Muslim
(dengan beragam keyakinannya), dan disiplin ilmu secara kritis dan religius.
1. Seminar PAI sebagai Pengajaran Unit
Seminar PAI sebenarnya lebih merupakan pengajaran “unit” melalui
pendekatan “integrated curriculum” (S. Nasution, 1986, 1995).
Secara teoritis terdapat tiga pendekatan kurikulum, yaitu: separate-subject
curriculum, correlated curriculum, dan integrated curriculum. Pendekatan
pertama digunakan untuk kebanyakan mata kuliah; pendekatan kedua digunakan
untuk mata kuliah tertentu yang sebagian bahan kuliahnya harus dikaji dari mata
kuliah lainnya karena adanya mata kuliah lain mengkaji bahan kuliah yang sama.
Adapun Seminar PAI sangat tepat menggunakan pendekatan “integrated
curriculum”. Sebabnya, mata kuliah ini justru dimaksudkan untuk
mengintegrasikan keseluruhan pengalaman dan berpikir ilmiah, filosofis, dan
religius mahasiswa untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan (ideologi,
politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan).
Secara praktis di lapangan, pendekatan integrated curriculum
dilaksanakan melalui pengajaran “unit”. Kata “integrasi” sendiri berasal dari kata
“integer” yang berarti “unit”). Agar bermakna bagi kehidupan, maka suatu unit
dipresentasikan dalam bentuk “masalah”. Dan untuk memecahkan suatu masalah,
mahasiswa dituntut untuk melakukan serangkaian kegiatan berupa langkah-
langkah ilmiah.
Dewey mengungkapkan lima langkah berpikir ilmiah, yaitu:
11
Pertama, mahasiswa berpikir bila ia menghadapi suatu masalah. Masalah
tentunya harus dirumuskan setajam-tajamnya dan menganalisisnya ke dalam
sejumlah sub-sub masalah; kedua, mahasiswa memikirkan hipotesis-hipotesis,
yaitu cara-cara yang mungkin memberikan jawaban atau penyelesaian masalah
itu. Tentu, hipotesis-hipotesis itu harus diuji; ketiga, untuk menguji benar-
tidaknya hipotesis itu, mahasiswa harus mengumpulkan informasi, keterangan
atau data sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber
sesuai dengan sifat masalah itu.
Dengan sejumlah informasi yang diperoleh itu, maka pada langkah
keempat, mahasiswa menguji kebenaran hipotesis-hipotesis. Setiap hipotesis
dianggap sebagai suatu kemungkinan jawaban yang harus disangsikan sampai
kebenarannya terbukti berdasarkan sejumlah data. Ada kemungkinan di antara
hipotesis itu teruji (kebenarannya), tetapi mungkin juga tidak terbukti. Dan
langkah terakhir, kelima, jika jawaban berdasarkan metode berpikir yang benar itu
telah diperoleh – tentunya disertai bukti-bukti – maka jawaban itu dapat dijadikan
pegangan bagi tindakan (termasuk tindakan berpikir) bagi mahasiswa. (Diadaptasi
dari S. Nasution, 1986: 156-157).
Kembali ke masalah Seminar PAI sebagai pengajaran unit, ada enam ciri
suatu pengajaran termasuk unit, yaitu:
(1) Unit merupakan suatu keseluruhan yang bulat. Menurut definisinya, unit
merupakan suatu keseluruhan bahan pelajaran. Adapun faktor yang
menyatukannya adalah “masalah”. Seminar PAI berusaha mengkaji secara
kritis suatu permasalahan kehidupan perspektif agama;
(2) Unit menerobos batas-batas subject. Unit tidak terbatas pada suatu atau
beberapa mata kuliah, melainkan menggunakan beberapa macam bahan untuk
memecahkan masalah-masalah yang terkandung dalam unit itu. Batas-batas
subject sebenarnya disusun oleh para sarjana dalam usaha mereka menyusun
ilmu pengetahuan. Adapun dalam kehidupan sehari-hari batasan-batasan
subject itu sama sekali tidak ada. Jadi mahasiswa dituntut untuk
memecahkan suatu permasalahan dengan lintas-disiplin dan menggunakan
berbagai metode. Demikian pula halnya dengan Seminar PAI berusaha
memecahkan problema kehidupan dengan lintas-disiplin ilmu dan multi
metodologi, dengan Al-Islam sebagai pijakan utamanya;
(3) Unit didasarkan pada kebutuhan mahasiswa. Suatu permasalahan dipilih oleh
mahasiswa atas dasar minatnya yang mendalam untuk membahas
permasalahan itu. Dalam Seminar PAI, mahasiswalah yang menetapkan dan
memilih tema-tema perkuliahan;
12
(4) Unit direncanakan bersama oleh dosen dan mahasiswa. Setiap mahasiswa
tentu memiliki konsentrasi permasalahan-khusus yang berbeda antara satu
dan lain mahasiswa. Tema-tema sebaiknya dipilih oleh mahasiswa atas dasar
prinsip esensialitas dan aktualitas. Demikian halnya dalam menetapkan tema-
tema seminar direncanakan bersama oleh dosen dan mahasiswa;
(5) Unit itu life-centered. Laboratorium utama pengajaran unit adalah
“masyarakat”. Problema-problema di masyarakat inilah yang dicoba
dianalisis dan dipecahkan oleh mahasiswa dengan Seminar PAI ini;
(6) Unit memerlukan waktu yang panjang. Dalam perkuliahan subject-matter,
dosen biasanya menyampaikan suatu tema atau judul perkuliahan dalam
waktu yang terbatas, misalnya 1-3 pertemuan. Dengan sistem kuliah (baca:
ceramah), dosen biasanya menyampaikan tema yang banyak dalam waktu
yang relatif singkat. Hal ini tidak berlaku dalam pengajaran unit. Seminar PAI
dimulai dengan pencarian dan penetapan tema-tema, kemudian disain
makalah, dan terakhir makalah final. Ini pun berkembang selama satu
semester, walau presentasi resminya hanya satu kali untuk masing-masing
tema. (Diadaptasi dari S. Nasution, 1986: 157-160).
2. Makalah dalam Seminar PAI
Kuliah “seminar” PAI mempersyaratkan pembuatan makalah yang
berkualitas bagi para mahasiswa. Rooijakkers (1990) membuat satu bab khusus
tentang “ketrampilan membuat karya tulis”. Penyusunan makalah dimulai dengan
membuat ikhtisar, baru kemudian menyusun karya tulis (makalah) secara lengkap.
Ikhtisar terdiri dari tiga tahapan: pertama, menentukan tema, kedua,
menentukan apa yang dibicarakan berhubungan dengan tema tersebut, dan ketiga,
memilih hal-hal yang perlu ditulis dalam ikhtisar tersebut. Melalui ketiga tahapan
tersebut mahasiswa akan dapat membuat ikhtisar yang baik serta dapat bekerja
penuh dan berdaya guna. Untuk membuat ikhtisar, maka seseorang terlebih
dahulu perlu mempunyai pandangan yang luas dan mendalam tentang masalah
yang dibicarakan.
Menentukan tema. Rooijakkers (1990) menyebutkan, kalau anda ingin
memahami suatu karangan dan kemudian hendak membuat ikhtisarnya maka anda
perlu menelaah secara cermat uraian tentang pokok masalahnya; bahkan juga anda
perlu mempunyai pandangan tentang setiap bagian yang ada di dalamnya. Hal
terpenting di sini, menurut Rooijakkers, adalah anda harus dapat melihat jalan
ceritanya serta dapat memegangnya. Pokok dari masalah yang dibicarakan dalam
suatu karangan itu disebut “tema”.
13
Seluruh uraian mempunyai “tema”, tetapi tiap bagian juga mempunyai
“tema”-nya sendiri-sendiri. Tema merupakan pokok untuk bagian tertentu. Tema
dalam suatu karangan seringkali disebut secara jelas-jelas, namun tidak jarang
pula dinyatakan dengan kata-kata yang menunjuknya. Dalam hal yang terakhir ini
anda perlu memperhatikan kata-kata yang menunjuk tema termaksud. Sebagai
contoh, karangan tentang “presiden” tentu akan ada namanya, selain sebutan-
sebutan lainnya, antara lain pemimpin, kepala negara, orang penting, dan lain
sebagainya. Anda harus tahu bahwa kata-kata seperti itu dimaksudkan sebagai
petunjuk tema karangan yang bersangkutan. Dalam suatu alinea kadang-kadang
pembaca mudah sekali menemukan temanya. Tetapi tidak jarang pula tema sulit
ditemukan. Walau begitu toh perlu dicari tema tiap bagian kecil atau tiap alinea
dalam suatu karangan. Sebabnya, tanpa mengetahui temanya kiranya sulit untuk
membuat suatu ikhtisar.
Menentukan apa yang perlu dibicarakan berhubungan dengan tema.
Kalau pembaca sudah mengetahui tema karangan yang sedang dihadapinya,
selanjutnya dapat ditentukan apa yang dibicarakan berhubungan dengan tema itu.
Bila kita memperhatikan suatu alinea, lanjut Rooijakkers, tema yang termuat di
dalamnya tersusun dari “ungkapan dasar” dan “keterangan tambahan” tentang
ungkapan dasar itu. Skemanya dapat dilihat berikut ini:
Seringkali suatu alinea diawali dengan ungkapan dasar, kemudian disusul
dengan keterangan-keterangan tambahan. Keterangan-keterangan tersebut
memberi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Misalnya: siapa yang
bersangkutan, bagaimana halnya, bilamana terjadi, bagaimana proses kejadiannya,
dan lain sebagainya. Keterangan itu memberi penjelasan tentang ungkapan dasar.
Rooijakkers mencontohkan satu alinea dari sebuah naskah di sebuah Harian:
Sistem modul pertama kali saya temui dalam perkuliahan. Di situ
mahasiswa dituntut untuk selalu tekun mengikuti kuliah. Dalam sisten
tersebut digunakan apa yang disebut “kertas kuliah”, dan pengajar tidak
menjadi medium belajar secara langsung. Kertas kuliah itu berisi bahan
kuliah yang harus dibaca, dimengerti dan dibahas sendiri oleh mahasiswa.
Manakah “tema”, mana “ungkapan dasar”, dan mana pula “keterangan-
keterangan dalam contoh naskah di atas, sebagai berikut:
14
TEMA = Sistem modul
UNGKAPAN
DASAR
= Sistem dengan tata kerja memberi tugas
kepada Para mahasiswa
KETERANGAN-
KETERANGAN
= Perubahan kegiatan pengajar serta arti
“kertas kuliah”
Untuk membuat suatu ikhtisar mahasiswa perlu mengetahui susunan tiap
alinea serta menelitinya; juga mencari temanya serta melihat bagaimana tema itu
tersusun dari ungkapan dasar dan keterangan-keterangan tambahan. Contoh di
atas kiranya tidak terlampau sulit. Tetapi seringkali ditemui alinea-alinea yang
bersusun ruwet. Di situ pembaca amat sukar menemukan ungkapan dasar ataupun
keterangan-keterangan tambahannya. Beberapa penulis membuat tulisan berbelit-
belit. Inilah tanda penulis yang kurang baik. Penulis yang baik selalu membuat
karangan yang mudah terlihat tema, ungkapan dasar, maupun keterangan-
keterangan tambahannya.
Memilih hal-hal yang perlu ditulis dalam ikhtisar. Dalam dua langkah
pertama, menentukan “tema” dan “menentukan apa yang dibicarrakan
berhubungan dengan tema”, maka mahasiswa harus menentukan “tema” dari
setiap alinea, sehingga mudah tertangkap ikhtisarnya oleh para pembaca. Para
pembaca pun perlu melihat garis besarnya. Dari beberapa alinea pembaca harus
dapat melihat pertanyaan pokok serta jawabannya. Dan untuk dapat melakukan
pilihan, pembaca harus dapat melihat jalan pikiran yang merangkum seluruh
karangan. Garis besar tersebut lebih penting daripada hal yang muncul dari satu
atau beberapa alinea. Singkatnya, pembaca harus menentukan pokok umum atau
tema dari beberapa alinea.
B. Model Perkuliahan Toleransi se Agama
Penelitian Tindakan Kelas (Class-room Action Research) berkenaan
dengan perkuliahan Pendidikan Agama Islam (PAI) tampaknya belum banyak
dilakukan. Di UPI, paling-paling penelitian yang dilakukan Mupid Hidayat dan
Munawar Rahmat (2000) tentang Efektivitas penentuan judul makalah mahasiswa
yang “debatable” dan “aktual” untuk meningkatkan penguasaan permasalahan
Islam-kontekstual secara “mendalam dan luas” dalam rangka perkuliahan Seminar
PAI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sebagian besar mahasiswa pada kelas-
eksperimen ternyata memiliki pemahaman Islam-kontekstual secara mendalam
dan luas; sementara pada kelas-kontrol hanya sebagian kecil mahasiswa yang
memiliki tingkat pemahaman demikian.
15
Upaya-upaya untuk meningkatkan “toleransi” masyarakat Muslim
(termasuk mahasiswa) terhadap masalah-masalah “khilafiah” memang sudah
banyak yang merintis. Upayanya memang berbeda-beda. Sebagian Cendekiawan
dan Dosen Agama berusaha menghindar dari pembahasan masalah-masalah
“khilafiah”, dengan harapan biarlah masyarakat menentukan sendiri. Sebagian
Cendekiawan (seperti Amien Rais) dan Dosen Agama lainnya membahas secara
sepintas saja, karena permasalahan “khilafiah” kebanyakan hanya menyangkut
“Furu” (Cabang), bukannya “Pokok”. Mereka pun menegaskan bahwa
permasalahan “khilafiah” itu semuanya benar. Tampaknya kelompok ini
menggunakan “Fuzzy Logic”. Sebagian Cendekiawan (seperti Nurcholis Madjid
dan Jalaluddin Rakhmat) dan Dosen Agama lainnya justru membahas
permasalahan “khilafiah” secara mendalam dan luas dengan menggunakan
pendekatan studi “Ushul” dan “Lintas Mazhab”.
Endang Saifuddin Anshari (1986: 76) ketika membahas masalah
“khilafiah” menegaskan sebagai berikut:
Penulis tidak sependapat dengan orang yang berpendirian ”Masalah
furu‟ janganlah dijadikan persoalan”. Segenap masalah Agama Islam –
baik yang tergolong Ushul maupun Furu‟ – adalah penting, karenanya
harus dibicarakan dan dipersoalkan untuk mencari kejernihan dan
kebenaran.
Dalam hal ini yang harus diperhatikan dengan baik adalah forum (tempat)
dan metode (cara) mempersoalkannya. Yang selanjutnya harus diperhatikan
bersama ialah: masalah khilafiah dalam furu‟ jangan dijadikan bahan pertikaian.
Masalah “khilafiah” memang suatu yang niscaya. Sebabnya, sebagaimana
disebutkan oleh Mufasir Allamah Thabathaba‟i, bahwa ayat Al-Qur‟an terdiri atas
yang muhkan dan mutasyabih, tanzil dan takwil, serta nasikh dan mansukh, atau
menutur Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, ada yang „Am dan Khash. Tentu,
setiap Imam Mazhab akan memiliki pemahaman yang mungkin sama atau
berbeda. Belum lagi tentang kriteria keshahihan suatu hadits dan cara memahami
hadits.
Di kita dikenal luas adanya Empat Mazhab Fiqih, yaitu: Hanafi, Maliki,
Syafi‟i, dan Hanbali. Tapi kini sudah mulai dikenal Lima Mazhab Fiqih, yakni
ditambah dengan Fiqih Ja‟fari. Syeikh Al-Azhar, Muhammad Jawad Mughniyah,
menulis khusus Kitab Fiqih Lima Mazhab, yang sudah diterbitkan dalam edisi
Indonesia.
16
Tentang “khilafiah” dalam masalah-masalah Qunut Shubuh, jumlah rakaat
Shalat Tarawih, hadiah (amal), dan tawashul dengan orang shaleh yang telah
meninggal dunia adalah tidak luput dari perbedaan mazhab.
Di Indonesia, di masa lalu, perbedaan mazhab ini pernah menjadi
keretakan Uhuwah Islamiyah. Sekarang para Ulama dan Cendekiawan Muslim
pada khususnya mulai menyadari bahaya keretakan umat ini. Oleh karena itu
mereka melakukan berbagai upaya untuk menghilangkan keretakan, tentunya
tanpa menghilangkan perbedaan-perbedaan.
Hanya saja semua upaya demikian belum ada yang meneliti, pendekatan
manakah yang lebih efektif untuk meningkatkan pemahaman dan toleransi
masyarakat ataupun mahasiswa terhadap permasalahan-permasalahan “khilafiah”
tersebut!
17
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASANNYA
A. Persiapan PTK
Masalah utama yang ingin dijawab melalui PTK ini adalah, pendekatan
apakah yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman dan toleransi
mahasiswa terhadap persoalan “khilafiyah” dalam perkuliahan Seminar
Pendidikan Agama Islam?
Pendekatan “konvensional”, dalam PTK ini pendekatan yang “naratif”
terbukti GAGAL dalam meningkatkan pemahaman dan toleransi mahasiswa
terhadap masalah “khilafiyah”. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan baru. Dalam
PTK ini dilakukan dengan pendekatan “studi komparatif” pada Putaran I dan
“studi ushul dan lintas mazhab” pada Putaran II.
Tema pokok atau pokok bahasan perkuliahan ini adalah “Masalah
Khilafiyah dalam Islam”. Untuk mengukur efektif atau tidak efektifnya sebuah
pendekatan perkuliahan adalah dengan mengukur tingkat “pemahaman” dan
“toleransi” mahasiswa terhadap persoalan “khilafiyah”.
Oleh karena itu pada tahap persiapan ini dibuat instrumen yang dapat
mengukur “pemahaman” dan “toleransi” mahasiswa terhadap masalah-masalah
“khilafiyah”, dengan langkah-langkah berikut:
1. Menyusun kisi-kisi bahan perkuliahan, sekaligus sebagai bahan pre-tes dan
post-test. Kisi-kisi dapat diperhatikan dalam tabel berikut:
TABEL 2
KISI-KISI BAHAN PERKULIAHAN, PRE-TEST DAN POST-TEST
PERMASALAHAN
KHILAFIAH
TINGKAT PEMAHAMAN ARAH SIKAP
Tinggi Sedang Rendah Positif Netral Negatif
1. Qunut shubuh
2. Shalat Tarawih
3. Tahlilan
4. Tawashul
2. Menyusun instrumen pre-tes dan post-test berdasarkan kisi-kisi pada Tabel-1
di atas. (Tes dapat diperhatikan dalam lampiran).
18
Tingkat “kedalaman” isi makalah ditetapkan dengan menggunakan kriteria
terdiri dari 4 (empat) level, mulai level paling dangkal hingga paling mendalam,
yaitu: (1) konsep sederhana, (2) konsep kompleks, (3) teori, dan (4) evaluasi.
Demikian juga tingkat “keluasan” isi makalah ditetapkan dengan
menggunakan kriteria 4 (empat) level, mulai level yang paling sempit hingga
paling luas, yaitu: (1) konsep pokok, (2) komparatif, (3) dasar argumentasi, dan
(4) aktualisasi. Ciri-ciri tingkat kedalaman dan keluasan isi makalah dapat
diperhatikan dalam tabel berikut:
TABEL 3
KRITERIA TINGKAT “KEDALAMAN” ISI MAKALAH
LEVEL CIRI-CIRI
I. KONSEP
SEDERHANA
Mahasiswa hanya menguraikan konsep-konsep secara
sekilas, baik berupa refleksi mereka ataupun dengan
jalan mengutip suatu pandangan yang belum teruji
kredibilitasnya
II. KONSEP
KOMPLEKS
Mahasiswa mengungkap konsep-konsep dengan segala
penjelasannya. Konsep-konsep yang dimaksud bisa
produk analisis dirinya ataupun merujuk pada sumber
yang kredibel
III. TEORI Mahasiswa mengungkap suatu teori, sekaligus dengan
argumentasi-argumentasi teoritis yang digunakannya
IV. EVALUASI Mahasiswa mengevaluasi suatu konsep dan peristiwa
dengan pisau bedah teori-teori yang digunakannya.
Misal, menemukan titik-temu beberapa peristiwa dan
analisis para pakar
TABEL 4
KRITERIA TINGKAT “KELUASAN” ISI MAKALAH
LEVEL CIRI-CIRI
I. KONSEP POKOK Mahasiswa hanya menguraikan konsep-konsep pokok
secara sekilas
II. KOMPARATIF Mahasiswa membanding-bandingkan beberapa konsep
atau teori
III. DASAR
ARGUMENTASI
Mahasiswa membahas dasar argumentasi konsep-
konsep atau teori-teori yang digunakannya, lengkap
dengan analisis dan kritik para pakar
IV. AKTUALISASI Mahasiswa berupaya mengaktualkan konsep-konsep
atau teori-teori yang dipilihnya dalam kehidupan nyata
19
B. Proses dan Hasil PTK Putaran I: Pendekatan ”Naratif” (Konvensional)
1. Perencanaan PTK Putaran I
Pada awal diadakannya perkuliahan Seminar PAI, tema-tema seminar
ditentukan oleh Koordinator PAI/SPAI. Mahasiswa dengan bimbingan dosen
menyusun makalah dan mempresentasikannya di depan kelas. Demikianlah dari
semester ke semester dan dari tahun ke tahun perkuliahan SPAI mengikuti
panduan awal, dalam hal ini menyusun makalah atas dasar tema-tema yang
ditentukan pada awal mula diadakannya perkuliahan Seminar PAI.
Akibatnya tidak terelakkan. Pada semester-semester dan tahun-tahun
berikutnya perkuliahan SPAI tidak berkualitas. Mahasiswa menjiplak makalah
yang telah disusun oleh kakak kelasnya.
Untuk menghindari duplikasi makalah, maka strategi perkuliahan diubah.
Sebagian tema ditentukan oleh Koordinator PAI/SPAI (baca: oleh dosen) dan
sebagian tema lainnya ditentukan oleh mahasiswa. Agar tema yang ditentukan
oleh dosen tidak menjiplak dari makalah sebelumnya, maka judul dari sebuah
tema harus di-ACC oleh dosen. Strategi ini berhasil dalam menghindari duplikasi
dan penjiplakan makalah oleh mahasiswa. Adapun pendekatan pekuliahan yang
dilakukan, baik ketika tema-tema seminar ditentukan oleh Koordinator PAI
maupun oleh dosen dan mahasiswa, adalah melalui pendekatan ”naratif”.
PTK ini bertujuan mencari pendekatan yang paling efektif dalam
meningkatkan pemahaman dan toleransi mahasiswa terhadap masalah-masalah
”khilafiyah”. Pertanyaannya, sejauh manakah pendekatan ”naratif” efektif dalam
meningkatkan pemahaman dan toleransi mahasiswa terhadap masalah-masalah
”khilafiyah”?
Agar PTK terlaksana sesuai tujuan, maka disusunlah Satuan Acara
Perkuliahan (SAP) dengan tema/pokok bahasan ”masalah khilafiyah” dan
pendekatan ”naratif”. Dengan pendekatan ”naratif”, mahasiswa dibebaskan
memilih dan menentukan judul makalahnya, tentu dengan catatan di-ACC oleh
dosen.
2. Pelaksanaan PTK Putaran I
Sebenarnya PTK Putaran I dilakukan pada semester yang lalu dan pada
semester-semester sebelumnya. Hanya saja baru dianalisis untuk diketahui
efektvitasnya pada saat PTK ini dilakukan (tahun 2005).
Perkuliahan SPAI dengan pendekatan ”naratif” (konvensional) dilakukan
dengan langkah-langkah berikut:
20
a. Pada pertemuan pertama, dosen menjelaskan latar belakang diadakannya
kuliah Seminar PAI, tujuan diadakannya kuliah Seminar PAI, dan tata-cara
pelaksanakan seminar oleh mahasiswa di kelas. Pada pertemuan pertama ini
juga dijelaskan tentang keharusan mahasiswa: (1) membuat makalah, dan (2)
mempresentasikan makalah (paling tidak: pointer-pointer isi makalah) di
depan kelas. Dijelaskan juga tema-tema makalah apa saja yang harus dicari
judulnya. Mahasiswa diberi kesempatan selama 1 (satu) minggu untuk
mencari judul makalah; dan setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk
berkonsultasi dengan dosen di luar kuliah tatap muka. Dosen pun menjelaskan
tentang kriteria makalah yang bagus, yaitu:
1) Judul ditetapkan dari masalah agama atau kehidupan beragama yang bisa
didiskusikan (contoh masalah yang bisa didiskusikan: ”Bolehkah wanita
menjadi Presiden?”, ”Bagaimanakah memperkaya kehidupan beragama di
sekolah?”, dan lain-lain). Judul tidak boleh dimilih judul dari masalah-
masalah yang sudah ditetapkan secara syara` secara baku (misal: tata-cara
shalat, syarat dan rukun nikah, dan lain-lain);
2) Harus ada 2 makalah yang mengupas persoalan ”khilafiyah”, yaitu: (1)
Qunut shubuh dan shalat tarawih, dan (2) tahlilan dan tawashul.
3) Isi makalah harus ”luas” dan ”mendalam”. Kriteria ”luas” dan
”mendalam” merujuk pada Tabel 3 dan 4 pada halaman 18.
b. Pada pertemuan kedua, dosen menagih judul makalah yang dipilih oleh
masing-masing mahasiswa serta mendiskusikannya di depan kelas. Judul yang
sudah bagus langsung di-ACC oleh dosen untuk dibuatkan makalahnya (atau
sekurangnya: ponter-pointernya). Tetapi pada pertemuan kedua ini masih
banyak judul yang kurang tepat sehingga harus direvisi, bahkan masih ada
sebagian mahasiswa yang belum punya judul. Mahasiswa yang belum punya
judul dimotivasi dan diberi arahan khusus untuk membuat judul makalahnya.
Dosen kemudian menegaskan bahwa minggu ketiga (minggu depan)
presentasi harus sudah dimulai, dan seluruh mahasiswa harus sudah siap
dengan judul makalah dan pointer-pointer isi makalah sebagai bahan
presentasi seminar kelas. Ditegaskan pula bahwa setiap mahasiswa harus siap
mempresentasikan judul yang dipilihnya di depan kelas. Adapun untuk
kepentingan presentasi di kelas, mahasiswa harus membuat kelompok 3-5
orang (tergantung jumlah mahasiswa perkelas) dengan dasar
pengelompokannya adalah judul makalah yang relatif sama. Sebagai misal:
ada mahasiswa yang memilih judul ”pernikahan di bawah tangan”,
”pernikahan siri”, dan ”masalah poligami”. Ketiga judul ini relatif sama, yakni
21
tentang ”pernikahan”, sehingga ketiga mahasiswa itu dijadikan 1 (satu)
kelompok. Pada pertemuan kedua ini pula dosen meminta adanya 2 (dua)
kelompok yang membahas persoalan seputar ”khilafiyah”, yakni: Kelompok-1
membahas masalah Qunut Shubuh dan Shalat Tarawih, dan Kelompok-2
membahas masalah Tahlilan dan Tawashul. Setelah terbentuknya 2 kelompok
itu, dosen kemudian meminta mahasiswa lainnya untuk membentuk kelompok
dan menyerahkannya kepada dosen sebelum presentasi pada minggu ketiga
dimulai. Setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk konsultasi dengan dosen
di luar kuliah tatap muka.
c. Pada pertemuan ketiga, dosen sudah menerima kelompok-kelompok
mahasiswa, kemudian mengkonclongnya kelompok manakah yang harus
tampil pada pertemuan ketiga itu. Kelompok pertama (yang tampil pada
minggu ketiga ini) biasanya kurang prima, masih banyak kekurangan di sana
sini. Misalnya, presenter belum mampu menarik perhatian mahasiswa lainnya,
sehingga tanya-jawab kurang berjalan. Dosen masih memberi kesempatan
kepada mahasiswa untuk berkonsultasi terutama tentang isi makalah. Adappun
judul-judul makalah yang diajukan mahasiswa pada pertemuan ketiga ini,
antara lain:
TABEL 5
JUDUL MAKALAH MAHASISWA
(PENDEKATAN ”NARATIF”)
1. Kepemimpinan Wanita menurut Islam
2. Fenomena Pernikahan Siri dan Pernikahan di Bawah Tangan
3. Menilai Ajaran Ahmadiyah
4. Masalah Qunut Shubuh dan Shalat Tarawih
5. Masalah Tahlilan dan Tawashul
d. Pada pertemuan keempat hingga terakhir (ke 14-16) seminar berjalan seperti
pada pertemuan ketiga (seminar pertama), tapi biasanya lebih berkualitas.
Tanya-jawab berjalan sepanjang waktu, sehingga kadang-kadang dosen pun
sudah menyetopnya. Oleh karena itu persoalan ”khilafiyah” dibahas antara
minggu ke-6 hingga ke-8.
e. Pada pertemuan terakhir, seluruh mahasiswa harus sudah menyerahkan
makalah individualnya. Dosen menyebutkan, bahwa penilaian utama adalah
dari makalah individual. Jika makalahnya bagus, maka nilai akhirnya dapat
diipastikan bagus; tapi jika makalahnya jelek, dapat dipastikan nilai akhirnya
22
buruk dan mahasiswa harus memperbaiki makalahnya paling lama selama 1
(satu) bulan.
3. Observasi PTK Putaran I
Bagaimanakah tingkat ”keluasan” dan ”kedalaman” pemahaman
mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah”, hasilnya dapat diperhatikan dalam
tabel berikut:
TABEL 6
TINGKAT ”KELUASAN” ISI MAKALAH MAHASISWA
(PENDEKATAN NARATIF)
LEVEL CIRI-CIRI (%)
I Konsep Pokok 80
II Komparatif 20
III Dasar Argumentasi 0
IV Aktualisasi 0
Dengan menggunakan pendekatan konvensional (naratif), hampir seluruh
mahasiswa hanya berada di level-I, konsep pokok (80%), dan hanya sedikit yang
berada di level-II, komparatif (20%). Tidak ada seorang mahasiswa pun yang
berada di level-III dan level-IV.
TABEL 7
TINGKAT ”KEDALAMAN” ISI MAKALAH MAHASISWA
(PENDEKATAN NARATIF)
LEVEL CIRI-CIRI (%)
I Konsep Sederhana 28
II Konsep Kompleks 52
III Teori 20
IV Evaluasi 0
Dengan menggunakan pendekatan konvensional (naratif), lebih separoh
mahasiswa berada di level-II, konsep kompleks (52%); sebagian kecil mahasiswa
berada di level-I, konsep sederhana (28%) dan level-III, teori (20%). Tidak ada
seorang mahasiswa pun yang berada di level-IV.
23
4. Refleksi terhadap PTK Putaran I
Pendekatan “naratif” dapat dikatakan GAGAL, karena seluruh mahasiswa
(100%) tingkat kedalaman isi makalahnya berada pada level-I/konsep pokok
(80%) dan level-II/komparatif (20%); sementara tingkat ”keluasan”-nya berada
pada posisi ”sempit” (level-I dan II) mencapai 80%.
Pendekatan ”naratif” dalam kuliah Seminar PAI dapat dikatakan untung-
untungan. Jika mahasiswa serius, mampu memilih masalah yang berkualitas, dan
(secara kebetulan} menemukan sejumlah referensi yang berkualitas pula, maka
makalah yang dihasilkan berkualitas, dalam arti isinya ”luas” dan ”dalam”.
Tapi mahasiswa yang demikian sangat langka. Kebanyakan mahasiswa
biasa-biasa saja. Bahkan tanpa bimbingan yang berkualitas dari dosen dipastikan
menghasilkan makalah yang tidak berkualitas, alias asal-asalan.
Masalah utama rendahnya kualitas makalah mahasiswa diduga karena
faktor pendekatan. Jika pendekatan diubah diperkirakan kualitas makalah
mahasiswa pun akan meningkat. Pendekatan ”studi komparatif” diduga dapat
meningkatnya kualitas makalah mahasiswa.
C. Proses dan Hasil PTK Putaran II: Pendekatan ”Studi Komparatif”
1. Perencanaan PTK Putaran II
PTK pada Putaran I walaupun ”gagal” dalam meningkatkan pemahaman
mahasiswa terhadap masalah ”khilafiyah” tapi berhasil dalam menjaga orisinalitas
makalah. Pada Putaran I ini tidak ada lagi duplikasi makalah. Mahasiswa benar-
benar menghasilkan makalah yang orisinal, hasil karyanya sendiri. Kalaupun ada
penjiplakan sangat kecil, karena judul makalah ditetapkan sebagai hasil
kesepakatan antara mahasiswa dengan dosen; dan dosen tidak akan mengabulkan
pemilihan judul yang pernah dipilih oleh kakak kelasnya. Oleh karena itu cara-
cara penentuan judul pada Putaran I tetap dipertahankan.
PTK pada Putaran II ini – sebagaimana pada Putaran I – bertujuan mencari
pendekatan yang paling efektif dalam meningkatkan pemahaman dan toleransi
mahasiswa terhadap masalah-masalah ”khilafiyah”. Pertanyaannya, sejauh
manakah pendekatan ”studi komparatif” efektif dalam meningkatkan pemahaman
dan toleransi mahasiswa terhadap masalah-masalah ”khilafiyah”?
Agar PTK terlaksana sesuai tujuan, maka disusunlah Satuan Acara
Perkuliahan (SAP) dengan tema/pokok bahasan ”masalah khilafiyah” dan
pendekatan ”studi komparatif”. Dengan pendekatan ini mahasiswa dipandu untuk
memilih judul makalah dari permasalahan yang ”aktual” dan ”debatable” (dapat
24
diperdebatkan). Dengan pendekatan ini mahasiswa harus mengambil 2 (dua)
pendapat yang berbeda dan kontradiktif.
2. Pelaksanaan PTK Putaran II
Perkuliahan SPAI dengan pendekatan ”studi komparatif” dilakukan
dengan langkah-langkah berikut:
a. Pada pertemuan pertama, sama dengan yang dilakukan pada Putarran I, dosen
menjelaskan latar belakang diadakannya kuliah Seminar PAI, tujuan
diadakannya kuliah Seminar PAI, dan tata-cara pelaksanakan seminar oleh
mahasiswa di kelas. Pada pertemuan pertama ini juga dijelaskan tentang
keharusan mahasiswa: (1) membuat makalah, dan (2) mempresentasikan
makalah (paling tidak: pointer-pointer isi makalah) di depan kelas. Dijelaskan
juga tema-tema makalah apa saja yang harus dicari judulnya. Mahasiswa
diberi kesempatan selama 1 (satu) minggu untuk mencari judul makalah; dan
setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan dosen di luar
kuliah tatap muka. Dosen pun menjelaskan tentang kriteria makalah yang
bagus, yaitu:
1) Judul ditetapkan dari masalah agama atau kehidupan beragama yang
”aktual” dan ”debatable” (contoh: ”Pro-kontra seputar boleh atau tidak
bolehnya wanita menjadi Presiden”, ”Perdebatan tentang nikah siri dan
nikah di bawah tangan”, dan lain-lain). Judul tidak boleh dipilih dari
masalah-masalah yang sudah ditetapkan secara syara` dan tidak aktual
(misal: tata-cara shalat, syarat dan rukun nikah, dan lain-lain). Walaupn
”debatable”, tapi jika masalahnya sudah baku tidak boleh dijadikan judul
seminar (misal: ”apakah bacaan `basmallah` merupakan ayat pertama dari
Surat Al-Fatihah atau bukan merupakan bagian dari Surat Al-Fatihah”,
”apakah `basmallah` dibaca jahar atau sir?” dan lain-lain);
2) Harus ada 2 makalah yang mengupas persoalan ”khilafiyah”, yaitu: (1)
Qunut shubuh dan shalat tarawih, dan (2) tahlilan dan tawashul;
3) Isi makalah harus ”luas” dan ”mendalam”. Kriteria ”luas” dan
”mendalam” merujuk pada Tabel 3 dan 4 pada halaman 18.
b. Pada pertemuan kedua, dosen menagih judul makalah yang dipilih oleh
masing-masing mahasiswa serta mendiskusikannya di depan kelas. Judul yang
sudah bagus langsung di-ACC oleh dosen untuk dibuatkan makalahnya (atau
sekurangnya: ponter-pointernya). Tetapi pada pertemuan kedua ini masih
banyak judul yang kurang tepat sehingga harus direvisi, bahkan masih ada
sebagian mahasiswa yang belum punya judul. Mahasiswa yang belum punya
25
judul dimotivasi dan diberi arahan khusus untuk membuat judul makalahnya.
Dosen kemudian menegaskan bahwa minggu ketiga (minggu depan)
presentasi harus sudah dimulai, dan seluruh mahasiswa harus sudah siap
dengan judul makalah dan pointer-pointer isi makalah sebagai bahan
presentasi seminar kelas. Ditegaskan pula bahwa setiap mahasiswa harus siap
mempresentasikan judul yang dipilihnya di depan kelas. Adapun untuk
kepentingan presentasi di kelas, mahasiswa harus membuat kelompok 3-5
orang (tergantung jumlah mahasiswa perkelas) dengan dasar
pengelompokannya adalah judul makalah yang relatif sama. Sebagai misal:
ada mahasiswa yang memilih judul ”pernikahan di bawah tangan”,
”pernikahan siri”, dan ”masalah poligami”. Ketiga judul ini relatif sama, yakni
tentang ”pernikahan”, sehingga ketiga mahasiswa itu dijadikan 1 (satu)
kelompok. Pada pertemuan kedua ini pula dosen meminta adanya 2 (dua)
kelompok yang membahas persoalan seputar ”khilafiyah”, yakni: Kelompok-1
membahas masalah Qunut Shubuh dan Shalat Tarawih, dan Kelompok-2
membahas masalah Tahlilan dan Tawashul. Setelah terbentuknya 2 kelompok
itu, dosen kemudian meminta mahasiswa lainnya untuk membentuk kelompok
dan menyerahkannya kepada dosen sebelum presentasi pada minggu ketiga
dimulai. Setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk konsultasi dengan dosen
di luar kuliah tatap muka.
c. Pada pertemuan ketiga, ternyata belum ada 1 kelompok pun yang siap
presentasi; dan mahasiswa meminta presentasi pertama pada minggu keempat.
Dengan terpaksa dosen menerima permintaan mahasiswa, dengan catatan
minggu keempat seluruh kelompok sudah terbentuk.
d. Pada pertemuan keempat, dosen sudah menerima kelompok-kelompok
seminar, kemudian mengkonclongnya kelompok manakah yang harus tampil
pada pertemuan keempat itu. Kelompok pertama yang tampil biasanya kurang
prima, masih banyak kekurangan di sana sini. Misalnya, presenter belum
mampu menarik perhatian mahasiswa lainnya, sehingga tanya-jawab kurang
berjalan. Dosen masih memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
berkonsultasi terutama tentang isi makalah. Adappun judul-judul makalah
yang diajukan mahasiswa pada pertemuan ketiga ini, antara lain:
26
TABEL 8
JUDUL MAKALAH MAHASISWA
(PENDEKATAN ”KOMPARATIF”)
1. Pro-Kontra Wanita menjadi Presiden
2. Perdebatan Ulama sekitar Sah atau Tidak Sahnya Nikah Siri
3. Ahmadiyah: Muslim atau Kafir?
4. Qunut Shubuh dan Shalat Tarawih 23 Rakaat: Sunnah atau Bid`ah?
5. Masalah Tahlilan dan Tawashul: Sunnah atau Syirik?
e. Pada pertemuan kelima hingga terakhir (ke 14-16) seminar berjalan seperti
pada pertemuan keempat (seminar pertama), tapi biasanya lebih berkualitas.
Tanya-jawab berjalan sepanjang waktu, sehingga kadang-kadang dosen pun
sudah menyetopnya. Oleh karena itu persoalan ”khilafiyah” dibahas antara
minggu ke-6 hingga ke-8.
f. Pada pertemuan terakhir, seluruh mahasiswa harus sudah menyerahkan
makalah individualnya. Dosen menyebutkan, bahwa penilaian utama adalah
dari makalah individual. Jika makalahnya bagus, maka nilai akhirnya dapat
diipastikan bagus; tapi jika jelek, nilai akhirnya pasti buruk dan mahasiswa
harus memperbaiki makalahnya paling lama selama 1 (satu) bulan.
3. Observasi PTK Putaran II
Bagaimanakah tingkat ”keluasan” dan ”kedalaman” pemahaman
mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah” dengan pendekatan ”studi komparatif,
hasilnya dapat diperhatikan dalam tabel berikut:
TABEL 9
TINGKAT ”KELUASAN” ISI MAKALAH MAHASISWA
(PENDEKATAN ”STUDI KOMPARATIF”)
LEVEL CIRI-CIRI (%)
I Konsep Pokok 0
II Komparatif 80
III Dasar Argumentasi 20
IV Aktualisasi 0
Dengan menggunakan pendekatan studi komparatif, hampir seluruh
mahasiswa berada di level-II, komparatif (80%), dan sebagian kecil berada di
level-III, dasar argumentasi (20%). Tidak ada seorang mahasiswa pun yang
berada di level-I maupun lebel-IV.
27
TABEL 10
TINGKAT ”KEDALAMAN” ISI MAKALAH MAHASISWA
(PENDEKATAN ”STUDI KOMPARATIF”)
LEVEL CIRI-CIRI (%)
I Konsep Sederhana 20
II Konsep Kompleks 50
III Teori 30
IV Evaluasi 0
Dengan menggunakan pendekatan studi komparatif, separoh mahasiswa
berada di level-II, konsep kompleks (50%); sebagian kecil mahasiswa berada di
level-I, konsep sederhana (20%) dan level-III, teori (30%). Tidak ada seorang
mahasiswa pun yang berada di level-IV.
4. Refleksi terhadap PTK Putaran II
Setelah dilakukan perkuliahan SPAI dengan menggunakan pendekatan
”Studi Komparatif” ternyata terjadi peningkatan kualitas isi makalah mahasiswa,
yakni isinya lebih ”luas” dibanding perkuliahan yang menggunakan pendekatan
naratif; walau tidak terjadi peningkatan kualitas makalah dilihat dari segi
”kedalaman” isinya. Secara kasat-mata jelas terlihat bahwa tingkat ”keluasan” isi
makalah yang menggunakan pendekatan ”naratif” hampir seluruhnya hanya
berada pada Level-I (Konsep Pokok), sedangkan dengan pendekatan ”Studi
Komparatif” hampir seluruhnya berada pada Level-II (Komparatif); atau naik 1-
digit dari pendekatan ”naratif”.
Hasil selengkapnya dapat diperhatikan dalam tabel berikut:
TABEL 12
TINGKAT ”KELUASAN” ISI MAKALAH YANG MENGGUNAKAN
PENDEKATAN NARATIF DAN STUDI KOMPARATIF
LEVEL CIRI-CIRI NARATIF
(%)
KOMPARATIF
(%)
I Konsep Pokok 80 0
II Komparatif 20 80
III Dasar Argumentasi 0 20
IV Aktualisasi 0 0
28
Dengan menggunakan pendekatan konvensional, mayoritas mahasiswa
hanya berada di level-I, konsep pokok (80%), dan hanya sedikit yang berada di
level-II, komparatif (20%). Berbeda halnya dengan pendekatan ”studi
komparatif”, mayoritas mahasiswa berada di level-II (80%), bahkan ada sebagian
kecil dari mereka yang sudah berada di level-III, dasar argumentasi (20%).
Tapi pendekatan komparatif ini pun gagal dalam meningkatkan tingkat
”kedalaman” isi makalah mahasiswa. Baik dengan pendekatan ”Naratif” maupun
”Studi Komparatif”, tingkat ”kedalaman” makalah mahasiswanya sama-sama
kebanyakan berada pada Level-II (Konsep Kompleks). Perhatikan Tabel 13 pada
halaman berikut:
TABEL 13
TINGKAT ”KEDALAMAN” ISI MAKALAH YANG MENGGUNAKAN
PENDEKATAN NARATIF DAN STUDI KOMPARATIF
LEVEL CIRI-CIRI NARATIF
(%)
KOMPARATIF
(%)
I Konsep Sederhana 28 20
II Konsep Kompleks 52 50
III Teori 20 30
IV Evaluasi 0 0
Hasil prosentasi dalam tabel di atas kesannya berbeda, bahwa pendekatan
”studi komparatif” lebih berhasil meningkatkan tingkat ”kedalaman” isi makalah
mahasiswa. Tapi dengan melakukan uji Chi-Square perbedaannya tidak
signifikan. Artinya, tidak terdapat perbedaan tingkat ”kedalaman” isi makalah
mahasiswa yang menggunakan pendekatan ”naratif” maupun ”studi komparatif”.
Yang perlu diperhatikan, bahwa penentuan ”judul” makalah yang
menggunakan pendekatan ”naratif” berbebeda dengan pendekatan ”komparatif”.
Dalam ”studi komparatif” ditekankan perbandingan di antara 2 (dua) pendapat
yang berbeda bahkan kontradiktif, sehingga secara otomatis pendekatan
”komparatif” ini menghendaki didekatinya suatu permasalahan dari sudut
pandang keagamaan yang berbeda/kontradiktif. Perhatikan kembali perbedaan
judul makalah yang menggunakan pendekatan ”naratif” dengan ”komparatif”
seperti dalam tabel berikut.
29
TABEL 14
CONTOH TEMA/JUDUL MAKALAH YANG MENGGUNAKAN
PENDEKATAN NARATIF DAN STUDI KOMPARATIF
PENDEKATAN NARATIF STUDI KOMPARATIF
1. Kepemimpinan Wanita menurut
Islam
1. Pro-Kontra Presiden Wanita di
Indonesia
2. Fenomena Pernikahan Siri dan
Pernikahan di Bawah Tangan
2. Perdebatan Ulama sekitar Sah atau
Tidak Sahnya Nikah Siri
3. Menilai Ajaran Ahmadiyah 3. Ahmadiyah: Muslim atau Kafir?
Dari penentuan “judul”, pendekatan “naratif” tidak mengharuskan adanya
komparasi di antara 2 (dua) pendapat yang berbeda. Akibatnya, seringkali
pembahasan hanya disorot dari sudut pandang keyakinan mahasiswa. Berbeda
dengan pendekatan yang kedua, ”studi komparatif”, mahasiswa dipaksa untuk
mengungkap 2 (dua) pendapat yang berbeda, bahkan saling bersebrangan. Wajah
saja jika melalui pendekatan ”studi komparatif”, tingkat ”kedalaman” isi makalah
mahasiswa pun meningkat dan mendominasi level-II (komparatif).
D. Proses dan Hasil PTK Putaran III: Pendekatan
”Studi Ushul & Lintas Mazhab”
1. Perencanaan PTK Putaran III
Secara umum pendekatan ”Studi Komparatif” lebih berhasil dalam
meningkatkan ”keluasan” isi makalah mahasiswa, walau gagal dalam
meningkatkan ”kedalaman”-nya. Tapi kalau ditelaah levelnya, tingkat “keluasan”
isi makalah hanya meningkat 1-digit, dari level-I ke level-II.
PTK dalam putaran III ini diharapkan dapat meningkatkan ”kedalaman” isi
makalah mahasiswa, sekaligus lebih meningkatkan level “keluasan”-nya dari
level-II ke level-III melalui pendekatan ” Studi Ushul & Lintas Mazhab”.
PTK pada Putaran III ini – sebagaimana pada Putaran I dan II – bertujuan
mencari pendekatan yang paling efektif dalam meningkatkan pemahaman
mahasiswa terhadap masalah-masalah ”khilafiyah”. Pertanyaannya, sejauh
manakah pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab” lebih efektif dalam
meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap masalah-masalah ”khilafiyah”
dibandingkan dengan pendekatan “studi komparatif”?
Agar PTK terlaksana sesuai tujuan, maka disusunlah Satuan Acara
Perkuliahan (SAP) dengan tema/pokok bahasan ”masalah khilafiyah” dan
30
pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab”. Dengan pendekatan ini mahasiswa
dipandu untuk memilih judul makalah dari permasalahan yang, selain ”aktual”
dan ”debatable” (dapat diperdebatkan), juga harus mendasarkan pendapatnya
dengan dilandasi “kaidah-kaidah ushuliyah” dan dari sedikitnya 2 (dua) mazhab
yang berbeda. Dengan pendekatan ini mahasiswa tetap harus mengambil 2 (dua)
pendapat yang berbeda dan kontradiktif, tapi sekaligus harus menggali
argumentasi yang dikemukakan oleh mazhab yang berbeda itu.
2. Pelaksanaan PTK Putaran III
Perkuliahan SPAI dengan pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab”
dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
a. Pada pertemuan pertama, sama dengan yang dilakukan pada Putaran I dan II,
dosen menjelaskan latar belakang diadakannya kuliah Seminar PAI, tujuan
diadakannya kuliah Seminar PAI, dan tata-cara pelaksanakan seminar oleh
mahasiswa di kelas. Pada pertemuan pertama ini juga dijelaskan tentang
keharusan mahasiswa: (1) membuat makalah, dan (2) mempresentasikan
makalah (paling tidak: pointer-pointer isi makalah) di depan kelas. Dijelaskan
juga tema-tema makalah apa saja yang harus dicari judulnya. Mahasiswa
diberi kesempatan selama 1 (satu) minggu untuk mencari judul makalah; dan
setiap mahasiswa diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan dosen di luar
kuliah tatap muka. Dosen pun menjelaskan tentang kriteria makalah yang
bagus, yaitu:
1) Judul ditetapkan dari masalah agama atau kehidupan beragama yang
”aktual” dan ”debatable” (contoh: ”Pro-kontra seputar boleh atau tidak
bolehnya wanita menjadi Presiden”, ”Perdebatan tentang nikah siri dan
nikah di bawah tangan”, dan lain-lain). Judul tidak boleh dipilih dari
masalah-masalah yang sudah ditetapkan secara syara` dan tidak aktual
(misal: tata-cara shalat, syarat dan rukun nikah, dan lain-lain). Walaupn
”debatable”, tapi jika masalahnya sudah baku tidak boleh dijadikan judul
seminar (misal: ”apakah bacaan `basmallah` merupakan ayat pertama dari
Surat Al-Fatihah atau bukan merupakan bagian dari Surat Al-Fatihah”,
”apakah `basmallah` dibaca jahar atau sir?” dan lain-lain);
2) Isi makalah harus mengungkapkan secara berimbang pandangan 2 (dua)
mazhab yang berbeda/kontradiktif, lengkap dengan sejumlah dalil-dalilnya
dan argumentasinya dari sudur kaidah ”ushuliyah”. Pendekatan inilah
sebenarnya yang membedakan ”studi ushul & lintas mazhab” dengan
pendekatan sebelumnya;
31
3) Harus ada 2 makalah yang mengupas persoalan ”khilafiyah”, yaitu: (1)
Qunut shubuh dan shalat tarawih, dan (2) tahlilan dan tawashul
4) Isi makalah harus ”luas” dan ”mendalam”. Kriteria ”luas” dan
”mendalam” merujuk pada Tabel 3 dan 4 pada halaman 18.
b. Pada pertemuan kedua, sambil menagih judul makalah yang dipilih oleh
masing-masing mahasiswa serta mendiskusikannya di depan kelas, dosen
membekali mahasiswa pengetahuan tentang maqashid syar`iyah (tujuan
diturunkannya syari`ah Islam) dan ushulul-khamsah (lima prinsip dasar
penetapan syari`ah Islam), dengan harapan agar mereka mampu memahami
dasar argumentasi mazhab atau pandangan yang berbeda. Mereka pun diminta
untuk merujuk referensi lintas mazhab. Judul yang sudah bagus langsung di-
ACC oleh dosen untuk dibuatkan makalahnya (atau sekurangnya: ponter-
pointernya). Tetapi pada pertemuan kedua ini masih banyak judul yang kurang
tepat sehingga harus direvisi, bahkan masih ada sebagian mahasiswa yang
belum punya judul. Mahasiswa yang belum punya judul dimotivasi dan diberi
arahan khusus untuk membuat judul makalahnya. Dosen kemudian
menegaskan bahwa minggu ketiga (minggu depan) presentasi harus sudah
dimulai, dan seluruh mahasiswa harus sudah siap dengan judul makalah dan
pointer-pointer isi makalah sebagai bahan presentasi seminar kelas.
Ditegaskan pula bahwa setiap mahasiswa harus siap mempresentasikan judul
yang dipilihnya di depan kelas. Adapun untuk kepentingan presentasi di kelas,
mahasiswa harus membuat kelompok 3-5 orang (tergantung jumlah
mahasiswa perkelas) dengan dasar pengelompokannya adalah judul makalah
yang relatif sama. Sebagai misal: ada mahasiswa yang memilih judul
”pernikahan di bawah tangan”, ”pernikahan siri”, dan ”masalah poligami”.
Ketiga judul ini relatif sama, yakni tentang ”pernikahan”, sehingga ketiga
mahasiswa itu dijadikan 1 (satu) kelompok. Pada pertemuan kedua ini pula
dosen meminta adanya 2 (dua) kelompok yang membahas persoalan seputar
”khilafiyah”, yakni: Kelompok-1 membahas masalah Qunut Shubuh dan
Shalat Tarawih, dan Kelompok-2 membahas masalah Tahlilan dan Tawashul.
Setelah terbentuknya 2 kelompok itu, dosen kemudian meminta mahasiswa
lainnya untuk membentuk kelompok dan menyerahkannya kepada dosen
sebelum presentasi pada minggu ketiga dimulai. Setiap mahasiswa diberi
kesempatan untuk konsultasi dengan dosen di luar kuliah tatap muka.
c. Pada pertemuan ketiga, ternyata belum ada 1 kelompok pun yang siap
presentasi; dan mahasiswa meminta presentasi pertama pada minggu keempat.
32
Dengan terpaksa dosen menerima permintaan mahasiswa, dengan catatan
minggu keempat seluruh kelompok sudah terbentuk.
d. Pada pertemuan keempat, dosen sudah menerima kelompok-kelompok
seminar, kemudian mengkonclongnya kelompok manakah yang harus tampil
pada pertemuan keempat itu. Kelompok pertama yang tampil biasanya kurang
prima, masih banyak kekurangan di sana sini. Misalnya, presenter belum
mampu menarik perhatian mahasiswa lainnya, sehingga tanya-jawab kurang
berjalan. Dosen masih memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk
berkonsultasi terutama tentang isi makalah. Adappun judul-judul makalah
yang diajukan mahasiswa pada pertemuan ketiga ini masih sama dengan judul
makalah yang menggunakan pendekatan “studi komparatif”, antara lain:
TABEL 15
JUDUL MAKALAH MAHASISWA
(Pendekatan ”Studi Ushul & Lintas Mazhab”)
1. Pro-Kontra Wanita menjadi Presiden
2. Perdebatan Ulama sekitar Sah atau Tidak Sahnya Nikah Siri
3. Ahmadiyah: Muslim atau Kafir?
4. Qunut Shubuh dan Shalat Tarawih 23 Rakaat: Sunnah atau Bid`ah?
5. Masalah Tahlilan dan Tawashul: Sunnah atau Syirik?
e. Pada pertemuan kelima hingga terakhir (ke 14-16) seminar berjalan seperti
pada pertemuan keempat (seminar pertama), tapi biasanya lebih berkualitas.
Tanya-jawab berjalan sepanjang waktu, sehingga kadang-kadang dosen pun
sudah menyetopnya. Oleh karena itu persoalan ”khilafiyah” dibahas antara
minggu ke-6 hingga ke-8.
f. Pada pertemuan terakhir, seluruh mahasiswa harus sudah menyerahkan
makalah individualnya. Dosen menyebutkan, bahwa penilaian utama adalah
dari makalah individual. Jika makalahnya bagus, maka nilai akhirnya dapat
diipastikan bagus; tapi jika makalahnya jelek, dapat dipastikan nilai akhirnya
buruk dan mahasiswa harus memperbaiki makalahnya paling lama selama 1
(satu) bulan.
3. Observasi PTK Putaran III
Bagaimanakah tingkat ”keluasan” dan ”kedalaman” pemahaman
mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah”, hasilnya dapat diperhatikan dalam
tabel berikut:
33
TABEL 16
TINGKAT ”KELUASAN” ISI MAKALAH MAHASISWA
(Pendekatan ”Studi Ushul & Lintas Mazhab)
LEVEL CIRI-CIRI (%)
I Konsep Pokok 0
II Komparatif 60
III Dasar Argumentasi 40
IV Aktualisasi 0
Dengan menggunakan pendekatan studi ushul & lintas mazhab, sebagian
besar mahasiswa berada di level-II, komparatif (60%), dan sebagian kecil berada
di level-III, dasar argumentasi (40%). Tidak ada seorang mahasiswa pun yang
berada di level-I maupun lebel-IV.
TABEL 17
TINGKAT ”KEDALAMAN” ISI MAKALAH MAHASISWA
(Pendekatan ”Studi Ushul & Lintas Mazhab)
LEVEL CIRI-CIRI (%)
I Konsep Sederhana 10
II Konsep Kompleks 40
III Teori 50
IV Evaluasi 0
Dengan menggunakan pendekatan studi ushul & lintas mazhab, separoh
mahasiswa berada di level-III, teori (50%); disusul sebagian mahasiswa berada di
level-II, konsep kompleks (40%), dan hanya sedikit sekali mahasiswa yang berada
di level-I, konsep sederhana (10%). Tidak ada seorang mahasiswa pun yang
berada di level-IV.
4. Refleksi terhadap PTK Putaran III
Setelah dilakukan perkuliahan SPAI dengan menggunakan pendekatan
”Studi Ushul & Lintas Mazhab” ternyata terjadi peningkatan kualitas isi makalah
mahasiswa, baik pada segi ”keluasan”-nya maupun ”kedalaman”-nya. Tingkat
”keluasan” isi makalah mahasiswa yang berada pada Level-III (Dasar
Argumentasi) lebih banyak dibanding pada putara-II. Demikian juga, pendekatan
”studi ushul & lintas mazhab” berhasil meningkatkan ”kedalaman” isi makalah
mahasiswa, dari level-II (Konsep Kompleks) ke level-III (Teori).
Hasil selengkapnya dapat diperhatikan dalam tabel-tabel berikut:
34
TABEL 18
TINGKAT ”KELUASAN” ISI MAKALAH MAHASISWA
(Pendekatan Komparatif dengan Studi Ushul & Lintas Mazhab)
LEVEL CIRI-CIRI KOMPARATIF
(%)
STUDI USHUL
(%)
I Konsep Pokok 0 0
II Komparatif 80 60
III Dasar Argumentasi 20 40
IV Aktualisasi 0 0
Pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab” terbukti berhasil dalam
meningkatkan ”kedalaman” isi makalah mahasiswa, dari level-II (komparatif) ke
level-III (dasar argumentasi). Dengan pendekatan ”studi komparatif” mahasiswa
yang berhasil mencapai level-III (dasar argumentasi) hanya 20%, sementara
dengan pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab” mahasiswa yang mencapai
level-III mencapai 40%.
Adapun tingkat ”kedalaman” isi makalah mahasiswa dapat diperhatikan
dalam Tabel 19 pada halaman berikut:
TABEL 19
TINGKAT ”KEDALAMAN” ISI MAKALAH MAHASISWA
(Pendekatan Komparatif dengan Studi Ushul & Lintas Mazhab)
LEVEL CIRI-CIRI KOMPARATIF
(%)
STUDI USHUL
(%)
I Konsep Sederhana 20 10
II Konsep Kompleks 50 40
III Teori 30 50
IV Evaluasi 0 0
Hasil perhitungan prosentasi dalam tabel di atas secara kasat-mata tampak
berbeda, bahwa pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab” lebih berhasil
meningkatkan tingkat ”kedalaman” isi makalah mahasiswa. Dengan pendekatan
”studi komparatif”, mahasiswa yang berhasil mencapai level-III (teori) hanya
30%, sementara dengan pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab” mencapai 50%.
Selain itu, mahasiswa yang masih berada pada level paling bawah, level-I (konsep
sederhana), dengan pendekatan ”studi komparatif” sebanyak 20%. Tapi dengan
pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab” dapat ditekan menjadi 10%.
35
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari tiga kali putaran Penelitian Tindakan Kelas (PTK) tentang
pendekatan yang paling efektif dalam meningkatkan pemahaman mahasiswa
terhadap masalah ”khilafiyah”, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Pendekatan konvensional (naratif) terbukti gagal dalam meningkatkan
pemahaman mahasiswa terhadap masalah ‟khilafiyah”. Mahasiswa malah
mengungkapkan argumentasi yang mendukung keyakinannya. Mahasiswa
yang anti dengan ”tahlilan” dan ”ziarah kubur” malah membeberkan dalil-dalil
dan argumentasi tentang bid`ahnya tradisi ini. Sebaliknya, mahasiswa pelaku
juga membeberkan dalil-dalil dan argumentasi tentang pentingnya ”tahlilan”
dan ”ziarah kubur”. Kuliah agama di universitas seyogianya bisa memandu
mahasiswa untuk berpikir terbuka dan toleran terhadap permasalahan internal
seagama yang berbeda. Oleh karena itu perlu dicari pendekatan lain yang
diperkirakan lebih efektif.
2. Pendekatan ”studi komparatif” terbukti berhasil dalam meningkatkan
”keluasan” pemahaman mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah”, tapi gagal
dalam meningkatkan ”kedalaman” pemahamannya. Oleh karena itu
pendekatan ini pun perlu direvisi dengan pendekatan yang lebih efektif.
3. Pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab” – sebagai kelanjutan dari ”studi
komparatif” – terbukti berhasil dalam meningkatkan ”keluasan” maupun
”kedalaman” pemahaman mahasiswa terhadap persoalan ”khilafiyah”.
B. Saran-saran
Hasil PTK ini disarankan dimanfaatkan oleh dosen PAI maupun
Koordinator PAI/Seminar PAI UPI dan universitas lainnya, yakni:
1. Bagi dosen PAI, hasil PTK ini disarankan untuk dijadikan model perkuliahan
PAI dan Seminar PAI dalam membahas masalah-masalah “khilafiyah”, karena
terbukti bahwa pendekatan “Studi Ushul & Lintas Mazhab” berhasil
meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap masalah “khilafiyah”.
2. Bagi Koordinator PAI UPI atau universitas lainnya, disarankan pula untuk
menyebarluaskan hasil PTK ini kepada seluruh dosen PAI yang di bawah
koordinasinya agar pendekatan ”studi ushul & lintas mazhab” digunakan
dalam membahas persoalan-persoalan “khilafiyah”.
36
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir (1993), Refleksi atas Persoalan Islam: Seputar Filsafat,
Hukum, Politik dan Ekonomi, Mizan: Bandung.
Allamah M.H. Thabathaba‟i (1987), Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, disunting
oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.
Depdikbud (1999), Penelitian Tindakan (Action Research), Bahan Pelatihan,
Jakarta: Direktorat PMU Ditjen Dikmenum.
Endang Saifuddin Anshari (1986), Wawasan Islam: Pokok-pokok Fikiran Tentang
Islam dan Ummatnya, Jakarta: CV Rajawali.
Kemmis, S. & McTaggart, R. (1988), The Action Research Planner, Deakin
University.
Muhammad Jawad Mughniyah (1996), Fiqih Lima Mazhab, terjemahan, Jakarta:
Lentera.
Mukhtar Yahya & Fatchurrahman (1986), Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam, Bandung: PT Al-Ma‟arif.
Munawar Rahmat & Mupid Hidayat (2000), “Studi Efektivitas Model Debat-
Argumentatif dalam Perkuliahan Seminar PAI di Universitas
Pendidikan Indonesia”, Laporan Penelitian, Bandung: FPIPS UPI.
Rochman Natawidjaja (1997), Konsep Dasar Penelitian Tindakan (Action
Research), Bandung: IKIP Bandung.