file.upi.edufile.upi.edu/direktori/fpips/m_k_d_u/195801281986121... · web viewpraktek pendidikan...

29
I MAKNA AKHLAK Sesungguhnya aku (Nabi/Rasul) diutus (ke dunia) ini untuk ‘menyempurnakan’ akhlak yang mulia (Al-Hadits) A. FENOMENA AKHLAQ BANGSA Kata akhlak, karakter, nilai, moral, etika, dan makna- makna lainnya begitu mudah diucapkan tapi susah diamalkan. Di saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono menggulirkan perlunya ‘Pendidikan Karakter Bangsa’, seabreg makalah, buku, dan seminar tentang tema ini bagai jamur di musim penghujan, bermunculan di mana-mana. Ini sangat bagus. Tapi ada juga yang sepertinya tanpa mengaca diri apakah dirinya orang yang berkarakter, bernilai, dan berakhlak (yang baik) serta memiliki ilmu yang mumpuni dalam bidang ini, tiba-tiba seperti pejuang dan penggagas pendidikan karakter, nilai, dan akhlak. Oleh karena itulah marilah kita buat bersama konsep pendidikan akhlak, karakter, atau nilai secara benar serta mengimplementasikannya dengan benar pula dan dengan penuh kesungguhan, tidak setengah-setengah terlebih-lebih asal- asalan. Terlebih-lebih dalam Islam. Akhlak dalam Islam bukanlah sekedar moralitas biasa. Akhlak dalam Islam adalah ‘sesuatu’ banget. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini justru untuk ‘menyempurnakan’ akhlak mulia. Artinya berakhlak mulia saja tidaklah cukup melainkan harus akhlak mulia yang sempurna. Insya Allah kajian akhlak dalam buku ini adalah akhlak mulia yang sempurna. Praktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek pendidikan di Barat di mana manusia mengejar ilmu pengetahuan dengan asumsi bahwa ilmu itu bebas nilai (value free). Jika mengacu kepadaUUD

Upload: votu

Post on 18-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

IMAKNA AKHLAK

Sesungguhnya aku (Nabi/Rasul) diutus (ke dunia) ini untuk ‘menyempurnakan’ akhlak yang mulia (Al-Hadits)

A. FENOMENA AKHLAQ BANGSAKata akhlak, karakter, nilai, moral, etika, dan makna-makna lainnya begitu mudah

diucapkan tapi susah diamalkan. Di saat Presiden Susilo Bambang Yudoyono menggulirkan perlunya ‘Pendidikan Karakter Bangsa’, seabreg makalah, buku, dan seminar tentang tema ini bagai jamur di musim penghujan, bermunculan di mana-mana. Ini sangat bagus. Tapi ada juga yang sepertinya tanpa mengaca diri apakah dirinya orang yang berkarakter, bernilai, dan berakhlak (yang baik) serta memiliki ilmu yang mumpuni dalam bidang ini, tiba-tiba seperti pejuang dan penggagas pendidikan karakter, nilai, dan akhlak. Oleh karena itulah marilah kita buat bersama konsep pendidikan akhlak, karakter, atau nilai secara benar serta mengimplementasikannya dengan benar pula dan dengan penuh kesungguhan, tidak setengah-setengah terlebih-lebih asal-asalan.

Terlebih-lebih dalam Islam. Akhlak dalam Islam bukanlah sekedar moralitas biasa. Akhlak dalam Islam adalah ‘sesuatu’ banget. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini justru untuk ‘menyempurnakan’ akhlak mulia. Artinya berakhlak mulia saja tidaklah cukup melainkan harus akhlak mulia yang sempurna. Insya Allah kajian akhlak dalam buku ini adalah akhlak mulia yang sempurna.

Praktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek pendidikan di Barat di mana manusia mengejar ilmu pengetahuan dengan asumsi bahwa ilmu itu bebas nilai (value free). Jika mengacu kepadaUUD 1945 dan UUSPN 2003, pendidikan nasional Indonesia seharusnya sarat dengan pembelajaran yang berdimensi agama dan akhlak. Tetapi realitasnya masih jauh dari yang diharapkan. Fasih membaca Al-Quran, mengerjakan shalat lima waktu, dan berakhlak mulia merupakan tujuan pendidikan (khususnya pendidikan agama Islam) dalam berbagai kurikulum nasional (Kurikulum 1985, 1994, 2004, 2006, dan 2013), yang sebagiannya dapat terukur. Misalnya, mahir membaca Al-Quran diharapkan dapat dicapai oleh siswa SD, walau kenyataannya di SMA pun masih menjadi bagian dari kurikulum PAI. Bahkan hingga mahasiswa pun masih banyak yang belum bisa membaca Al-Quran. Berdasarkan survey Tim PPBQ YBHI Bandung (2001, 2004, 2012) di beberapa sekolah dan universitas di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya siswa SD, SMP, SMA, dan mahasiswa tingkat pertama yang bisa membaca Al-Quran masih lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak bisa membaca Al-Quran (masing-masing 10%, 25%, 30%, dan 35%). Itu baru dari segi kemampuan membaca Al-Quran. Belum lagi diukur secara lebih luas dan mendalam, misal pemahaman dasar-dasar agama, pemahaman Al-Quran, pengamalan beragama, dan akhlak mulia.

Page 2: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

Bila substansi keberagamaan adalah beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, kita amati hal-hal yang bersebrangan dengan kriteria keberagamaan dan akhlak mulia. Korupsi dengan kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi melanda hampir seluruh lapisan masyarakat. Bukan hanya dilakukan oleh para birokrat, para pejabat, anggota DPR-DPRD, dan pengusaha saja tapi dilakukan juga oleh para PNS muda. Partai Islam, tokoh agama, dan pejabat yang merasa taat beragama pun ada (banyak?) yang melakukan korupsi. Hampir setiap hari televisi menayangkan para koruptor yang sebagiannya adalah para pemimpin partai Islam dan berbasis Islam, para Kyai, dan tokoh-tokoh agama yang disegani di masyarakat.

Sikap tidak hormat anak muda bukan hanya ditunjukkan kepada sembarang orang, bahkan juga terhadap guru-gurunya. Penghormatan dan bakti pada kedua orang tua pun memudar. Vandalisme sudah merupakan ciri pelajar kita; dan premanisme tumbuh subur hingga di lingkungan persekolahan. Kejujuran yang sangat didambakan sudah hilang dari kamus persekolahan. Fenomena menyontek dan joki sepertinya fenomena biasa yang disalahkan sekaligus dilanggar oleh semua pihak. Salah untuk orang lain, tetapi boleh untuk saya; salah untuk sekolah lain, tetapi boleh untuk sekolah saya. Sepertinya kamus ini yang dipakai sekarang.

Masyarakat biasanya memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan a-moral, pelanggaran etis, dan penyimpangan beragama yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak taat beragama, walau perbuatan tersebut dilakukan secara komunal oleh orang-orang yang mengaku beragama; bahkan sering dianggap sebagai fenomena biasa. Padahal yang lebih penting lagi adalah perlunya dicari solusi bagaimanakah mendekatkan praktek pendidikan dengan perundang-undangan, jangan sampai praktek pendidikan itu mengkhianati amanat perundang-undangan.

Hasil-hasil penelitian, antara lain penelitian Rahmat (2010) menunjukkan adanya pengaruh pendidikan keagamaan dan suasana keagamaan terhadap ketaatan beragama dan akhlaqul karimah (akhlak mulia) peserta didik. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (2010: 5) mengutip hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat, bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) semata, melainkan lebih ditentukan oleh kemampuan mereka dalam mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skilldaripada hard skill. Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft skill lebih mengarah kepada keterampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain, dan lainnya.Soft skill sangat berkaitan dengan karakter seseorang.

Adelina Hasyim melalui Tesis Magisternya di IKIP Bandung/UPI (1988) tentang tindakan pelanggaran etis menemukan, bahwa sekolah-sekolah yang kaya dengan nuansa dan

Page 3: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

pembelajaran agama berpengaruh positif terhadap perilaku moral para siswanya. Dengan mengambil sampel 5 Madrasah Aliyah (MA) dan 5 SMA di Sumatera Selatan Adelina Hasyim menyimpulkan bahwa, responden siswa SMA lebih banyak melakukan pelanggaran etis ketimbang responden siswa MA.

Na-Ayudya (2008), Director of the Institute of Sathya Sai Education, Thailand, melalui disertasi dan riser-riset pasca disertasi mengembangkan model pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan terpadu. Makna terpadu perspektif Na-Ayudya adalah pengintegrasian 5 nilai (kebajikan, kebenaran, kedamaian, kasih sayang, dan tanpa kekerasan) ke dalam seluruh mata pelajaran melalui sikap dan tindakan guru yang damai dan pengasih, latihan pengembangan indera ke-6 (intuisi) dan pikiran super sadar melalui meditasi dan perenungan lainnya serta penataan lingkungan (sekolah, keluarga dan institusi masyarakat) yang sama-sama mengembangkan ke-5 nilai tersebut. Untuk membudayakan pendidikan nilai ini dilakukan pelatihan intensif selama 10 minggu. Disebutkannya, bahwa sekolah-sekolah yang menerapkan model pendidikan nilai ini (di sekolah-sekolah Satya Sai) berhasil menciptakan siswa yang memiliki budi pekerti yang baik (damai, cinta kasih, dan tidak ada kekerasan).

Belum dilakukan penelitin jika dalam keadaan hidup tidak normal (misal: ketika ditimpa musibah, sakit, kehilangan harta, ditinggal mati oleh orang yang dicintainya) apa akhlak/karakternya tetap istiqomah/konsisten? Sebabnya, akhlak/karakter yang telah benar-benar menjadi akhlak/karakter haruslah tetap dan otomatis dalam situasi apa pun karena telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari dirinya, sudah mempribadi (Miskawaih, 1994: 3). Kalau tidak demikian maka bukanlah akhlak/karakter.

Sofyan Sauri dan Nurdin dalam penelitian multy years melalui Hibah Pasca Sarjana (2008, 2009, dan 2010) telah mengadakan studi tentang pengembangan model pendidikan nilai berbasis sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penelitian menghasilkan hal-hal berikut:

Pertama, secara ontologis, nilai yang dikembangkannya adalah nilai-nilai yang sesuai dengan religi, moral, etik, dan sosial yang memang sudah ada di sekolah, di keluarga, dan di masyarakat, tapi belum dikembangkan secara maksimal. Nilai-nilai yang dimaksud adalah: shalat, mengaji, tanggung jawab, cinta kasih, kepemimpinan, kemandirian, sikap sopan, bahasa santun, dan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalam pelajaran dan kegiatan harian.

Kedua, secara epistimologis, model pengembangan nilai yang dimaksud menyangkut pemaknaan nilai-nilai tersebut (shalat, mengaji, sopan, dll) ke dalam aspek-aspek pendidikan, yakni: (1) aspek tujuan dimaknai dengan nilai “soleh” dan “cerdas”; (2) aspek pendidik dimaknai sebagai teladan, penyampai ajaran, dan pendukung siswa dalam pengembangan kepribadian; (3) aspek peserta didik dimaknai sebagai peserta didik yang butuh teladan, butuh materi ajar yang menarik hati, dan butuh dukungan guru dalam membangun akhlak/karakter dan kepribadiannya; (4) aspek materi dimaknai sebagai integrasi nilai-nilai (religi, moral, etik, dan sosial) ke dalam kurikulum sekolah; (5) aspek metode dimaknai sebagai digunakannya beragam metode pendidikan nilai; (6) aspek media dimaknai sebagai digunakannya alat, bahan, dan sumber belajar berupa makhluk hidup (guru, orang tua, siswa, dll) dan benda mati (buku, film, foto, computer, dll); dan (7) aspek evaluasi dimaknai sebagai

Page 4: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

pengukuran proses dan hasil belajar nilai-nilai (berupa ujian lisan, tes tertulis, dan pengamatan unjuk kerja siswa).

Rahmat (2010) dalam penelitian disertasi dan pasca disertasi mengadakan studi kualitatif dan kuantitatif tentang pendidikan insan kamil (manusia sempurna). Hasilnya menemukan bahwa, secara filosofis-antropologis baik konsep maupun implementasi pendidikan di Indonesia selama ini memiliki kelemahan mendasar karena tidak mungkin terlaksananya pendidikan secara utuh. Pendidikan yang utuh (untuk mencapai al-insan kamil) seharusnya mengembangkan seluruh unsur manusia, yakni raga, hati, roh, dan rasa (sirr). Saat ini unsur manusia yang dikembangkan dalam pendidikan di Indonesia hanyalah raga (jasmani) dan akal (intelek)-nya, padahal akal hanyalah “alat” hati atau tentaranya hati (bukannya unsur manusia). Jika hatinya baik, maka akal pun akan memikirkan hal-hal yang baik; tapi jika hatinya buruk, maka akal pun akan memikirkan hal-hal yang buruk (sesuai perintah hati). Oleh karena itu pendidikan akhlak/karakter seharusnya berangkat dari pendidikan “hati” bukan akal. Tapi hati pun ada dua, yakni hati nurani (hati yang baik, karena mendapat Cahaya Ilahi) dan hati sanubari (hati yang buruk, atau nafsu). Pendidikan akhlak seharusnya mengembangkan hati nurani dan mengeliminasi atau sekurang-kurangnya mengurangi peran hati sanubari.

Penelitian sufistik yang dilakukan Rahmat (2010) di Pondok Sufi dan lembaga pendidikan (SMA dan STT) Pondok Sufi tersebut menemukan sebanyak 7-karakter “inti” positif yang perlu dibekalkan dan dipersonifikasikan kepada peserta didik dan 4 karakter “inti” negatif yang harus dieliminasi atau minimal diperkecil perannya. Adapun metode pendidikannya lebih menonjolkan penyadaran menyangkut tujuan hidup, tempat kembali manusia setelah mati, hidup di dunia berupa susah dan senang sebagai ujian, hingga internalisasi dan personalisasi karakter-karakter “inti” yang positif maupun yang negatif. Hasilnya, ternyata siswa dan mahasiswa yang sudah belajar lebih dari satu tahun pada lembaga pendidikan ini memiliki ketaatan beragama dan karakter yang tinggi, baik pada responden yang menjadi komunitas maupun tidak menjadi komunitas tasawuf.

Menyadari betapa pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Sekolah-sekolah sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Agama diyakini dapat mengantarkan peserta didik kepada keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Tapi pendidikan agama dalam kurikulum nasional kita sangat sulit untuk dapat mengantarkan ke arah tujuan yang luhur dan mulia itu. Sebabnya, antara lain karena jam pendidikan agama sangat minim (hanya 2 jam perminggu, bahkan di PTN hanya 2-4 SKS dari total perkuliahan program S-1). Bandingkan dengan di negeri-negeri mayoritas muslim lainnya. Jam pelajaran Pendidikan Agama di Pakistan 4 (empat) kali lipat jumlah jam pendidikan agama di Indonesia. Selain itu, mata pelajaran Ilmu Sosial bermuatan ajaran Islam, dan mata pelajaran bahasa digunakan sebagai media memperkaya Pendidikan Agama.

Page 5: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

(Asian Centre of Educational Innovation for Development, 1977). Malah di Iran separoh kurikulum pendidikan dasarnya adalah agama (Bureau of Research on International Educational Sistems, 1984).

Pendidikan karakter sebenarnya telah dilakukan sejak lama di sekolah-sekolah kita, antara lain melalui program IMTAQ, P4 (Pedoman Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila), Pendidikan Budi Pekerti, dan program-program lainnya. Namun demikian pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum secara optimal pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Malah sejak 20 tahun yang lalu telah ada upaya-upaya sekolah dan universitas untuk memperkaya pendidikan agama dan karakter, baik melalui penambahan jam pelajaran agamaatau melalui kegiatan ekstra kurikuler wajib dan pilihan. Tentu saja kegiatan-kegiatan keagamaan seperti itu di satu sisi cukup menggembirakan, karena label sekolah dan kampus sekuler dapat terhapuskan. Sivitas akademika, khususnya siswa dan mahasiswa, yang mencari dan bergairah belajar agama pun dapat terpuaskan. Tetapi di sisi lain, kegiatan-kegiatan ekstra demikian biasanya hanya diikuti oleh para siswa dan mahasiswa yang memang memiliki gairah beragama, tidak menyentuh mereka yang tidak memiliki gairah beragama. Selain itu, substansi materi atau core curriculum pendidikan agama dan akhlak mulia dalam kurikulum persekolahan masih perlu didiskusikan. Tampaknya, tema-tema keagamaan dan karakter yang ‘inti’ justru tidak dijadikan bahan pembelajaran utama. Jika substansi materi agama dan karakter yang dibahas hanya merupakan materi-materi pinggiran, tidak menyentuh tema-tema agama dan karakter yang ‘inti’, maka model pendidikan karakter seperti itu tidak mungkin dapat mengantarkan peserta didik untuk mencapai martabat al-insan kamil.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. (Kemdiknas, 2010). Dengan demikian, kata Baedhowi (2010: 3-4), pada hakekatnya karakter sama dengan akhlak. Karakter merupakan suatu moral excellence atau akhlak yang dibangun di atas kebajikan (virtues), yang hanya akan memiliki makna apabila dilandasi dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu bangsa. Adapun karakter bangsa yang perlu dikembangkan dan dibina melalui pendidikan nasional haruslah sejalan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis dan bertanggung-jawab.

Artinya, pendidikan nilai dan karakter atau pendidikan akhlak bangsa yang sejalan dengan perundang-undangan (sebenarnya) haruslah berlandaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, atau harus berlandaskan agama, selain harus sejalan pula

Page 6: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

dengan kebudayaan Indonesia yang religius. Ada dua persoalan mendasar yang akan diungkap dalam buku ini, pertama, nilai-nilai atau karakter apa saja yang perlu dikembangkan di sekolah? Dan kedua, bagaimanakah cara mengembangkan pendidikan karakter di sekolah? Masalah pertama menyangkut ontologi pendidikan akhlak/karakter, sedangkan masalah kedua berhubungan dengan pendekatan dan metodologi pendidikan akhlak/karakter.

B. MAKNA DAN ISTILAH-ISTILAH AKHLAKAkhlak bukanlah sekedar sebuah wacana, melainkan merupakan amal-nyata; bukan sekedar

teori dan konsepsi, melainkan merupakan sebuah praktek dan amal-nyata; bukan juga sekedar praktek dan amal sesaat, melainkan sebuah praktek dan amaliah permanen yang mendarah-daging dalam sikap, perilaku, dan kehidupan sehari-hari.

1. Makna AkhlakKata akhlak berasal dari kata al-akhlâqu(Bahasa Arab), bentuk jama’ dari kata al-

khuluqu atau khulûqun, yang berarti tabi’at, kelakuan, perangai, tingkah laku, karakter, budi pekerti, dan adat kebiasaan. Kata akhlak digunakan Al-Quran untuk memuji ketinggian akhlak Rasulullah: Wa innaka la`allâ khuluqin `azhim =Sesungguhnya kamu mempunyai akhlak yang tinggi (Qs. 68/Al-Qalam: 4). Kemudian dalam Qs. 33/Al-Ahzab ayat 21 ditegaskan bahwa Rasulullah sebagai figur teladan: Laqod kâna fi rasûlillâhi uswatun hasanatun =Sungguh pribadi Rasulullah itu merupakan suri teladan, yakni bagi orang yang berkehendak kembali kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan banyak berzikir. Nabi Muhammad SAW pun menegaskan misi kenabiannya: Innamâ bu`itstu li`utammima makârimal akhlâqi =Sesungguhnya aku diutus (ke dunia ini) untuk menyempurnakan akhlak yang ‘mulia’ (HR Al-Bazzar, dalam Almath, TT). Hal ini menegaskan bahwa perilaku akhlaqi merupakan puncak keberagamaan. Oleh karena itu Ibn Miskawaih (1994: 3) menegaskan, akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang dapat mengeluarkan sesuatu perbuatan dengan senang dan mudah tanpa pemikiran, penelitian dan paksaan. Artinya, suatu perbuatan disebut akhlak jika perbuatan itu dilakukan oleh seseorang secara otomatis dan permanen, tanpa pemikiran, penelitian, atau paksanaan dari orang-orang yang memiliki otoritas, karena sudah menjadi karakter, watak, dan kebiasaannya; yakni suatu sikap dan perbuatan yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan sehari-harinya (Rahmat, 2010a; Sauri, 2011). Muthahhari (1995) mengingatkan bahwa perbuatan akhlaqi merupakan perilaku ikhtiari dan patut dipuji di atas kewajiban. Sebagai contoh, orang yang mendirikan shalat malam dan shalat-shalat sunat setelah mendirikan shalat wajib yang 5 waktu; atau seorang kaya-raya yang mengeluarkan infaq dan shodaqoh (yang sunat-sunat) setelah membayarkan seluruh kewajiban ibadah harta (zakat, khumus, shodaqoh, dan kewajiban ibadah harta lainnya).

Misi kenabian untuk menyempurnakan akhlak ‘mulia’ merupakan Kasih-Sayang Allah bagi manusia yang telah memiliki akhlak mulia, agar akhlak mulianya itu dapat sejalan dengan Kehendak Allah sebagaimana diajarkan dan diteladankan oleh RasulNya, yakni

Page 7: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

akhlak mulia yang benar dan dilakukan secara ikhlas. Akhlak mulia disebut benar jika akhlak mulia itu dipribadikan sebagai ketaatan kepada Allah dan RasulNya, bukan akhlak mulia yang didasarkan atas nafsu dan syahwatnya. Kemudian akhlak mulia yang benar itu harus dilakukan secara ikhlas,yakni dengan niat lillâh (karena Allâh). ilallâh (menuju Allâh), minallâh (dari Allâh), dan fî sabîlillâh (di jalan Allâh); bukan karena pamrih dunia (seperti: ingin disebut-sebut sebagai orang yang berakhlak mulia, mencari keuntungan-keuntungan duniawi, dan lain-lain), dan bukan pula karena pamrih akhirat (ingin memperoleh pahala, ingin masuk surga, atau takut masuk neraka).

2. Istilah-istilah Yang Mirip dengan AkhlakKarakter, nilai, moral, etika, budi luhur, sopan santun merupakan istilah-istilah yang sering

dimaknai sama atau mirip dengan akhlak. Kata “karakter” menurut Pusat Bahasa Depdiknas (Martianto, 2008)adalah “bawaan, hati,

jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Sementara menurut Wynne (Martianto, 2008), karakter berasal dari kata to mark (Bahasa Yunani) yang berarti menandai dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku positif (seperti jujur, adil, suka menolong) dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia; sementara orang yang berperilaku negatif seperti tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek. Adapun dalam Kemdiknas (2010), “karakter” adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.

Dengan demikian, kata Baedhowi (2010: 3-4), pada hakekatnya karakter sama dengan akhlak. Karakter merupakan suatu moral excellence atau akhlak yang dibangun di atas kebajikan (virtues), yang hanya akan memiliki makna apabila dilandasi dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu bangsa.

Karakter bangsa yang perlu dikembangkan dan dibina melalui pendidikan nasional haruslah sejalan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis dan bertanggung-jawab.

Jadi karakter bangsa yang perlu dikembangkan berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut ada 10 karakter, yakni: (1) beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3) berakhlak mulia, (4) sehat, (5) berilmu, (6) cakap, (7) kreatif, (8) mandiri, (9) warga negara yang demokratis, dan (10) warga negara yang bertanggung-jawab.

Page 8: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

Adapun dari 10 karakter tersebut yang berhubungan dengan akhlak mulia adalah 4 karakter, yakni: (1) beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3) berakhlak mulia, dan (4) warga negara yang bertanggung-jawab. Ke-6 karakter lainnya tidak berhubungan langsung dengan akhlak mulia karena lebih merupakan dimensi kecerdasan dan aspek-aspek kepribadian yang netral nilai. Contohnya, sehat tidak berhubungan dengan akhlak mulia. Tidak bisa dikatakan, orang yang sehat adalah berakhlak mulia sedangkan orang yang sakit adalah berakhlak tercela.

Istilah lain yang bisa dimaknai akhlak adalah nilai. Jack R. Fraenkel (Sauri, 2011a: 2) mengungkapkan, value is an idea – a concep - about what some one think is important in life (Nilai adalah sebuah idea, sebuah konsep, yang dipandang penting oleh seseorang dalam hidupnya). Tentu saja apa yang dipandang penting dalam kehidupan sangat bergantung kepada filsafat hidup seseorang. Jika filsafat hidupnya kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat maka orang itu akan memandang penting agama yang benar-benar agama, agama yang benar-benar diridhoi oleh Tuhan sebagaimana diajarkan dan diteladankan oleh Utusan Tuhan. Tapi jika filsafat hidupnya kebahagiaan dunia maka orang itu akan mengejar segala reputasi dan kebanggaan duniawi. Orang yang terakhir ini kalaupun beragama hanyalah agama yang dapat memperkokoh reputasi duniawinya.

Sementara Kosasih Djahiri (1992: 36) memaknai nilai secara sederhana yakni sebagai tuntunan mengenai apa yang baik, benar, dan adil. Makna nilai yang ini pun ssama sebagaimana yang diungkapkan Fraenkel di atas, yakni bahwa baik, benar, dan adil sangat bergantung kepada filsafat hidup seseorang. Standar yang paling penting bagi seseorang dalam menentukan jenis tindakan apa yang patut dan berguna dan jenis tindakan mana yang tidak berguna, sehingga ia dapat mempertimbangkan suatu perilaku tertentu adalah nilai nilai moral, yaknimoral values represent guides to what is right and just=Nilai moral yang menuntun perbuatan yang benar dan adil (Fraenkel dalam Sauri, 2011a: 3). Orang yang memiliki filsafat hidup mencari kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat maka orang itu akan memandang baik segala yang berasal dari Tuhan dan Utusan Tuhan, akan memandang baik apa saja yang berasal dari Allah dan Rasulullah. Bahwa sesuatu itu dipandang baik jika sesuatu itu disebut baik oleh Allah dan RasulNya. Tapi jika filsafat hidupnya kebahagiaan dunia maka orang itu akan memandang baik segala reputasi dan kebanggaan duniawi. Orang yang terakhir ini kalaupun beragama hanyalah agama yang dapat memperkokoh reputasi duniawinya.

Contohnya kaya-raya dan memegang jabatan basah. Perspektif duniawi kaya dan jabatan merupakan kebaikan. Manusia-manusia yang berorientasi duniawi akan mengejar harta dan jabatan. Setiap harinya ia akan selalu memikirkan dan mengusahakan bagaimanakah agar kekayaan dan jabatan itu dapat segera diraih. Tapi perspektif Ilahiyah harta dan jabatan merupakan ujian yang sangat berat. Harta dan jabatan dapat menjadi hijab (dinding tebal) yang dapat menghalangi orang kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia (masuk surgaNya). Sebabnya orang tidak akan kuat dengan amanat harta dan jabatan. Al-Quran menderetkan sekian perintah yang berhubungan dengan harta: zakat, shodaqoh, infaq, kifarat, khumus, fay, dan lain-lain. Tapi orang cenderung mamandang harta yang diamanatkan Allah itu sebagai harta yang diraih dengan segala jerih payahnya. Amat sangat langka orang yang meraih kekayaan menyadari bahwa harta yang diraihnya itu hanyalah titipan Allah.

Demikian juga kemiskinan, kehilangan harta, dan sakit dalam perspektif duniawi adalah sesuatu yang buruk. Malah tidak sedikit orang yang diamanati kekayaan memandang sinis terhadap orang-orang yang diuji Tuhan dengan sedikit harta sebagai orang yang pemalas, tidak pandai bisnis, dan doa-doanya tidak didengar oleh Tuhan (sehingga mereka tetap miskin).Sebaliknya orang yang

Page 9: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

memiliki filsafat hidup Ilahiyah. Dia akan memandang baik-buruk itu dari sudut pandang Ilahiyah, yakni dengan mentaati Allah dan RasulNya.

Artinya, pendidikan akhlak, pendidikan karakter, dan pendidikan nilai yang sejalan dengan perundang-undangan (sebenarnya) haruslah berlandaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, pendidikan akhlak, pendidikan karakter, dan pendidikan nilai itu haruslah berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

C. RUANG LINGKUP ILMU AKHLAKRuang lingkup akhlak berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang masing-masing penulis.

Muhammad Abdullah Dzar dalam Dustur Akhlaq fil Islam membagi ruang lingkup akhlak sebanyak lima macam:1. الفردية Akhlak) األخالق individual), yakni al-awamir ( yang diperintahkan), an-nahawi (yang

dilarang), al-munahat (yang diperbolehkan), dan al-mukhalafah bidh dhoruri (yang darurat).األسرية .2 yakni wajibat nahwa ushul wal furu (kewajiban timbal balik ,(Akhlak berkeluarga) األخالق

antara orang tua dan anak), wajibat bainalazwaj (kewajiban suami dan isteri), dan wajibat nahw al-aqarib (kewajiban terhadap karib kerabat).

3. اإلجتماعية ,(Akhlak bermasyarakat) األخالق yakni al-awamir (hal-hal yang diperintahkan), al-makhdzurat (hal-hal yang dilarang), dan qawa’idul adab (kaidah-kaidah adab).

4. الدّولة meliputi ,(Akhlak bernegara) األخالق al-‘alaqoh baenar rois wasy-syab (hubungan antara pemimpin dengan rakyat) dan al-‘alaqah al-kharijiyyah (hubungan dengan Negara lain).

الدّينية .5 yakni kewajiban manusia terhadap Allah. (Sauri, 2011: 10) ,(Akhlak beragama) األخالقIlyas (2001) mengungkapkan ruang lingkup akhlak sebagaimana diungkapkan Abdullah Dzar

di atas. Tapi ruang lingkup akhlak ke-5 (akhlak beragama) dibagi dua, yakni akhlak terhadap Allah dan Rasulullah, sebagai berikut:1. Akhlak terhadap Allah swt., antara lain: taqwa, cinta dan ridho, ikhlas, khauf dan roja’, tawakkal,

syukur, muroqobah, taubat, husnu zhon, dan lain-lain. Sofyan Sauri (2011) menegaskan bahwa akhlaq kepada Allah harus berdasarkan kepada rukun agama, yakni ihsan. Makna ihsan adalah:

يراك فإنه تراه تكن لم وإن تراه كأنك الله تعبد أنKamu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.

2. Akhlak terhadap Rasulullah saw.,antara lain: mencintai, memuliakan, mentaati, bersholawat, dan menteladani beliau SAW.

3. Akhlak pribadi, antara lain: shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), ‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik), mujahadah (mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT. baik hambatan yang bersifat internal atau eksternal).

4. Akhlak kepada orang tua, antara lain: birrul walidain (bakti kepada orang tua), hak, kewajiban dan kasih sayang suami isteri, kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, silaturrahim kepada karib kerabat,dan lain-lain.

5. Akhlak bermasyarakat; antara lain: bertamu dan menerima tamu, berhubungan baik dengan tetangga, berhubungan baik dengan masyarakat, pergaulan muda-mudi, ukhuwah Islamiyah,dan lain-lain.

6. Akhlak bernegara, antara lain: musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahyi munkar, hubungan pemimpin dan yang dipimpin,dan lain-lain.

Page 10: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

Sebenarnya ruang lingkup akhlak harus dilihat dari segi hubungan diri sendiri dengan Allah, Rasulullah, dan orang lain, termasuk karakter dirinya. Jika ukurannya ini maka ruang lingkup akhlak dapat dibagi menjadi 5 (lima) aspek, sebagai berikut: 1. Akhlak terhadap Allah, setelah ma`rifat (mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib) yakni:

meng-“ingat-ingatNya” (men-zikiri-Nya) siang-malam baik ketika sedang berdiri, sedang duduk, ataupun sedang berbaring (Qs. 3/Ali Imran: 190-191) ; hanya bersandar kepadaNya (Qs. 112/Al-Ikhlash: 2), menyembahNya secara benar dan ikhlas; dan selalu memohon pengampunan-Nya atas segala dosa dan salah yang selalu dikerjakan oleh manusia.

2. Akhlak terhadap Rasulullah, yakni: mentaatinya, meneladaninya, dan berguru kepadanya. Ke dalam aspek ini termasuk akhlak terhadap Ulil Amri (Imam yang mewakili Nabi/Rasul) atau Ulama Pewaris Nabi.

3. Akhlak terhadap diri sendiri (karakter diri), terutama: taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, tawakkal `alallah, mulazimatu dzikr, dan sabar, serta menghindari takabur (sombong), ujub (bangga diri), riya, dan sum`ah (kebaikan dirinya ingin terdengar orang lain).

4. Akhlak terhadap orang tua, berkeluarga, dan saudara.5. Akhlak terhadap teman, tetangga, dan masyarakat.

Adapun dilihat dari baik-buruknya akhlak terbagi dua, yaitu akhlak mulia (akhlaqul karimah atau mahmudah) dan akhlak tercela (akhlaqul madzmumah). Akhlak mulia adalah akhlak yang harus kita amalkan, sedang akhlak tercela harus kita jauhi dan tinggalkan.

D. NISBAH ILMU AKHLAK DENGAN ILMU ISLAM LAINNYAMahmud Syaltut, Syaikh Al-Azhar Mesir, dalam Aqidah wa Syari’ah (1990)

menyebutkan bahwa Islam terdiri dari aqidah dan syari`ah. Tapi umat Islam Indonesia menyebutkan tiga dimensi ajaran Islam: aqidah, syari`ah, dan akhlak. Adapun Syaltut memasukkan akhlak ke dalam syari`ah. Aqidah merupakan dimensi Islam tentang keimanan, sedangkan syari`ah dimensi Islam tentang peribadatan (yang mahdhoh maupun ghoer mahdhoh); sementara akhlak merupakan dimensi Islam tentang perbuatan baik dan buruk. Bagi Ulama Sufi, syari`ah dan akhlak adalah dimensi lahir ajaran Islam, sedangkan dimensi batinnya adalah tasawuf. Aqidah bagi kaum Sufi hanyalah membicarakan Shifat (Sifat), Asma (Nama), dan Af`al (Perbuatan) Tuhan, yang tidak mungkin mencapai ma`rifat (mengenal Tuhan); padahal Tuhan tidak bisa dikenali lewat Sifat, Asma, dan Af`al-Nya. Artinya, dengan aqidah saja orang Islam tidak akan mencapai keimanan kepada Allah. Beriman kepada Allah haruslah mencapai ma`rifat bi Dzatillah =mengenal Zat Allah (Rahmat, 2010). Oleh karena itu elit Guru Besar di UIN/IAIN menambahkannya dengan tasawuf, sehingga Ilmu-ilmu Islam itu terdiri dari aqidah, syari`ah, akhlak, dan tasawuf.

1. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu AqidahPokok kajian aqidah adalah mentauhidkan Allah dengan semurni-murninya tauhid serta

memberantas syirik. Dalam aqidah Islam dikaji rukun iman, Sifat-sifat Allah, Asma-asma Allah, dan perbuatan-perbuatan Allah. Bersamaan dengan itu dikaji pula masalah syirik dan kemusyrikan, terdiri dari 3 tingkatan: (1) syirik akbar (syirik besar) yakni menyekutukan

Page 11: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

Tuhan atau menduakan Tuhan. Maksudnya, bertuhankan Allah sekaligus bertuhankan selain Allah – terutama menuhankan (mementingkan) hawa-nafsu dan meminta bantuan bangsa Jin. Dalam Qs. Luqman ayat 12 disebutkan bahwa syirik merupakan dosa yang paling besar dan tidak ada ampunanNya sama sekali; (2) syirik ashghor (syirik kecil), terutama takabur (sombong), ujub (bangga diri), riya (pamer dengan amal saleh, atau ketinggian derajatnya ingin diakui oleh orang lain), dan sum`ah (ingin kehebatan dirinya terdengar oleh orang lain). Disebut syirik kecil karena tidak secara langsung menyekutukan Tuhan. Tapi tetap saja musyrik yang sangat berbahaya. Sabda Nabi SAW: takabur, ujub, riya, dan sum`ah bagaikan api yang membakar habis kayu kering, yakni menghapuskan seluruh amal-amal saleh (sehingga pelakunya tidak punya amal saleh sedikit pun); dan (3) syirik khofy (syirik tersamar), yakni perbuatan syirik tapi tidak dirasakan syirik. Ini tentu sangat berbahaya. Nabi Muhammad SAW bersabda: kamu melihat syirik itu seperti kamu melihat semut hitam-kecil berjalan di atas batu-hitam di malam hari yang gelap gulita. Maksudnya, jika kita ingin bisa melihat perbuatan syirik harus menggunakan senter yang terang benderang. Senternya adalah selalu bersandar kepada sabda dan teladan Rasulullah. Contoh syirik khofy adalah merasa punya daya dan kekuatan (merasa bisa, merasa pintar, merasa berprestasi, dan merasa hebat);padahal yang punya Daya dan Kekuatan hanyalah Allah. La haula wala quwwata illa billahil `aliyyil `azhim=Tidak ada daya dan kekuatan kecuali Daya dan Kekuatan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar.

Ilmu Akhlak mengkaji pula dimensi-dimensi keimanan dan keyakinan. Dalam mengimani Allah, Ilmu Akhlak mendorong orang-orang beriman untuk selalu memohon pengampunan kepada Allah (ber-taubat), selalu memohon hidayah-Nya, selalu memohon fadhl (karunia) dan rahmat-Nya, selalu berorientasi akhirat (zuhud), selalu mewakilkan urusan kita kepada Allah (tawakkal `alallah), dan terutama lagi selalu mengingat Allah (dzikir).

2. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu Syari`ahPokok kajian syari`ah adalah ibadah, baik ibadah mahdhoh ataupun ibadah ghoer

mahdhoh. Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang pokok-pokoknya ataupun rincian-rinciannya ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Contohnya: syahadatain, shalat, puasa, zakat, dan hajji. Adapun ibadah ghoer mahdhoh adalah ibadah yang pokok-pokoknya ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sedangkan bentuknya mengikuti perkembangan zaman. Misalnya berdagang. Pokok-pokok yang ditetapkan oleh Nabi adalah: halal, jujur, dan tidak ada penipuan. Bentuknya bisa barter (tukar menukar barang dengan barang, seperti membeli beras dengan ayam) atau uang koin mas dan perak, atau bisa juga dengan uang kertas, uang plastik, billyet, dan cek seperti di zaman sekarang.

Ilmu Akhlak mengkaji juga bidang-bidang ibadah. Contohnya, ibadah shalat. Jika syari`ah (Ilmu Fiqih), mengkaji sisi lahir peribadatan (syarat, rukun, bacaan dan gerakan shalat), maka Ilmu Akhlak mengkaji sisi batinnya (yakni shalat yang khusyu`, shalat untuk mengingat Allah, shalat daim (di luar shalat pun tetap seperti ketika meakukan shalat, yakni

Page 12: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

selalu mengingat-ingat Allah), dampak shalat (tercegahnya perbuatan fakhisyah dan kemunkaran), menghindari shalat sahun (menyimpang dari tujuan shalat, shalatnya lalai =tidak mengingat Tuhan), menghadirkan Tuhan Allah dalam shalat, dan ikhlas dalam beribadah. Orang yang shalatnya ikhlas, dia mendirikan shalat dengan niat lillah dan demi Allah semata, tanpa pamrih dunia (seperti mengharapkan pahala harta, jabatan, popularitas, dll) maupun pamrih akhirat (seperti mengharapkan pahala akhirat, ingin dimasukkan ke surga, atau ingin dihindarkan dari neraka). Ibarat orang yang ingin diterima oleh sang Raja, ingin didekatkan kepada sang Raja oleh sang Raja. Ia tidak akan meminta jabatan atau hadiah harta dari sang Raja, tidak juga takut dengan hukuman sang Raja. Ia akan berbuat sesuai kehendak sang Raja. Ia hanya menghendaki diterima oleh sang Raja dengan sepenuh hati. Tentu saja jika sang Raja senang pada orang itu, maka apa yang ada pada sang Raja akan diberikannya, dan apa yang tidak disenanginya akan dijauhkannya.

3. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu TasawufDiskusi dan perdebatan pro-kontra tentang tasawuf cukup menguras energi kaum muslimin.

Ujung-ujungnya terbelahnya kaum muslimin ke dalam kelompok yang ‘anti’ dan ‘pro’ tasawuf dan kehidupan sufistik.

Ibrahim Hilal (2002: 19-20) menyebutkan bahwa ia telah mengambil esensi dari beberapa buku tasawuf. Ia mendefinisikan tasawuf sebagai menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan duniawi, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam, dan melantunkan berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau Ruhani menjadi kuat. Jadi, lanjut Hilal, tasawuf adalah usaha menaklukkan dimensi jasmani manusia agar tunduk kepada dimensi Ruhani (nafs), dengan berbagai cara, sambil bergerak menuju kesempurnaan akhlak, seperti dinyatakan kaum sufi; dan meraih pengetahuan atau ma`rifat tentang Zat Ilâhi dan kesempurnaanNya. Konsep ma`rifat dikritik secara panjang lebar oleh Hilal dan dituduhkan sebagai pengaruh proses gnosis Yunani (Hilal, 2002: 34-47).

Dengan mengutip Nicholson, Hilal mengatakan bahwa proses ma`rifat seperti ini berasal dari bahasa Yunani, gnosis, yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh tanpa perantara. Orang yang sudah mencapai ma`rifat demikian di dunia tasawuf dikenal dengan `arif. Dan gelaran ini pun bukan berasal dari Islam. Pandangan Hilal ini ada benarnya, karena memang dalam realitasnya kaum Sufi untuk mencapai ma`rifat bi dzâtillâh dengan cara kasyf atau gnosis.

Berbeda dengan Hilal, Khozin Afandi (2001: 9) mengungkapkan, bahwa tasawuf mengkaji bagaimanakah hakekat manusia bertemu dengan hakekat Tuhan melalui seorang ahli (Ahli Zikir, yakni Rasulullah atau Ulama Pewaris Nabi, atau dalam tasawuf dan tarekat dikenal dengan Guru Mursyid atau Guru Wasithah)dalam ilmu hakekat. Di sini Afandi lebih menekankan peranan seorang Ahli Zikir. Jadi, berdasarkan definisi tasawuf ini, ma`rifat tidaklah sama dengan gnosis. Ketika membahas talqin zikir, Khozin Afandi (2009: 35-38) menyebutkan bahwa ma`rifat bi Dzâtillâh diperoleh melalui talqin (pembisikan atau metode tunjuk) dari seorang Ahli Zikir, bukan melalui kasyf.

Memang ada suara-suara minor memandang tasawuf berasal dari luar Islam. Ada yang mengatakan tasawuf berasal dari pengaruh agama Hindu, Budha, Kristen, dan lainnya; ada juga yang mengatakan berasal dari pengaruh falsafah Yunani (antara lain Hilal, yang telah disebutkan tadi).

Page 13: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

Ibrahim Hilal (2002: 83-100) pun membuat satu judul dalam Tasawuf dan Pengaruh Asing, yang pada pokoknya bahwa kehidupan sufi bukanlah berasal dari Islam. Kemudian Anwar (2002: 3-8) malah mempertanyakan tasawuf, dengan membuat satu judul dalam bukunya “Kenapa harus tasawuf, bukankah ada akhlak?” Dan ia pun membuat tiga judul lainnya dalam payung “tasawuf tanpa tarekat”. Pada pokoknya Anwar menegaskan, bahwa kalaupun mau bertasawuf bukanlah seperti yang ditunjukkan para sufi, melainkan ya berakhlak itu.

Tetapi pandangan minor terhadap tasawuf dan tarekat banyak penyanggahnya, terlebih-lebih oleh kaum praktisi tarekat. Hingga kini praktek tarekat tumbuh subur di dunia Islam (antara lain ditunjukkan oleh penelitian Bruinnessen (1999), dalam Kitab Kuning. Di Indonesia saja terdapat lebih dari 40 organisasi tarekat). Harun Nasution (1990: 1-12) secara keras membantah bahwa tasawuf dan kehidupan sufi berasal dari luar Islam. Pandangan beliau dapat diringkaskan sebagai berikut: (1) Nabi SAW menjalani hidupnya sebagai sufi, (2) Khulafaur Rôsyidîn – Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib – dan sahabat senior meneladani kehidupan Nabi SAW sebagai sufi, (3) ketika kekhalifahan di tangan Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah yang korup dan nepotis, banyak ulama yang menjalani hidup sebagai sufi, dan (4) ajaran tasawuf memiliki akar-akar yang kokoh dalam Al-Quran dan Hadits.

Memang ada kesamaan antara tasawuf dengan akhlak, yakni sama-sama menempuh perjalanan ruhani menuju Tuhan dengan membaguskan sikap dan perilaku akhlaqi. Bedanya, tasawuf menekankan peranan Ahli Zikir untuk membimbing kehidupan religius murid-murid sufi agar sampai kepada Tuhan, sementara akhlak sama sekali tidak membicarakan peran Ahli Zikir. Di sinilah titik-temu sekaligus titik-pisah antara Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Akhlak.

TABEL 1.1KAITAN ANTARA DIMENSI, ILMU, DAN AMAL

(IMAN, IBADAH, DAN AKHLAK)

No. Dimensi Ilmu Sikap & Amal

1. Sufistik Ilmu Tasawuf Ma`rifat bi Dzatillah2. Keimanan Ilmu Aqidah Beriman dengan Rukun Iman3. Ibadah Ilmu Syari`ah Beribadah dengan benar &

ikhlas (terutama Rukun Islam)4. Akhlak Ilmu Akhlak Berakhlaqul karimah

Dengan mencermati nisbah di antara ke-4 Ilmu Islam tersebut, sebenarnya kehidupan religius yang dijalani oleh seorang saleh terdiri dari 3 dimensi, yakni: dimensi aqidah, dimensi ibadah, dan dimensi akhlak, dengan fondasinya dimensi sufistik. Hubungan di antara ke-4 Ilmu Islam dan dimensi-dimensi religius dapat digambarkan sbb:

Page 14: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

Gambar 1.1Kaitan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf,

Ilmu Aqidah, dan Ilmu Ibadah

Ilmu Tasawuf mengkaji bagaimanakah fithrah manusia (hakekat manusia) bertemu dengan Fithrah Tuhan (hakekat Tuhan) dalam Ilmu Hakekat melalui seorang Ahli Zikir, yakni Rasulullah atau Ulama Pewaris Nabi (atau dalam Ilmu Tasawuf dan Tarekat dikenal dengan Guru Mursyid, dan khusus dalam Tasawuf atau Tarekat Syaththariah dikenal dengan Guru Wasithah). Perjumpaan manusia dengan Tuhan merupakan ‘inti’ beragama, karena manusia berasal dari Tuhan dan seharusnya kembali kepada Tuhan (inna lillahi wa inna ilaihi roji`un). Jika fondasi agama sudah benar dan kokoh, maka Ilmu Aqidah dapat mengantarkan manusia untuk beriman secara benar, yakni imannya yang ma`rifatun wa tashdiqun; yakni imannya dengan mengenal Tuhan Yang AsmaNya Allah dan membenarkan bahwa orang yang mengenalkan Tuhan itu adalah Rasulullah atau Ulama yang mewarisi Ilmu Kenabian (Ulama Pewaris Nabi). Dengan demikian, maka ibadahnya juga akan benar, karena benar-benar menyembah Tuhan yang sudah dikenalinya (memeuhi perintah Allah: wa`bud robbaka hatta ya`tiyakal yaqin =Sembahlah Tuhanmu sampai kamu yakin Tuhan yang kamu sembah itu hadir). Kemudian Ilmu Ibadahnya mengantarkan orang-orang beriman untuk dapat beribadah secara benar dan ikhlas. Beribadah dapat dikatakan benar jika peribadatannya itu dilakukan atas dasar memenuhi perintah Allah dan RasulNya, bukannya memenuhi kehendak nafsu dan syahwatnya. Lalu, ibadahnya itu dilakukan secara ikhlas, tanpa pamrih dunia ataupun pamrih akhirat. Puncaknya, Ilmu Akhlaknya dapat mengantarkan orang-orang yang beriman mencapai kesempurnaan akhlak mulia.

Adapun dalam sikap dan pengamalan dapat dibedakan antara dimensi iman, dimensi ibadah, dan dimensi akhlak mulia. Ketiga dimensi ini merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak dapat dipisah-pisah. Hubungan ketiga dimensi iman, dimensi ibadah, dan dimensi akhlak mulia dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.2Segi-tiga dimensi Iman, Ibadah, dan Akhlak Mulia

Dimensi iman melandasi dimensi ibadah dan akhlak mulia; dimensi ibadah yang berbasis iman melandasi dimensi akhlak mulia. Makna lainnya, dimensi ibadah merupakan perwujudan dimensi iman; dimensi akhlak mulia merupakan perwujudan dimensi ibadah yang dilandasi dimensi iman.

Page 15: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

Makna lainnya lagi, dimensi iman tidaklah bermakna tanpa diwujudkan dalam dimensi ibadah; dan dimensi ibadah tidaklah bermakna tanpa diwujudkan dalam dimensi akhlak mulia.

Atau seperti gambar berikut:

Gambar 1.3Dimensi Iman melandasi dimensi Ibadah dan dimensi Akhlak Mulia,

Dimensi Ibadah berbasis Iman melandasi dimensi Akhlak Mulia

Implementasinya bagi seorang pendidik agama (mulai orang tua di rumah, guru di sekolah, dan ustad di masjid), jika melihat anak-anak menunjukkan akhlak yang tidak mulia maka periksalah ibadahnya. Jika ibadahnya bagus maka tinggal memperbaiki akhlaknya. Tapi jika ibadahnya kurang bagus maka perbaiki dulu ibadahnya. Setelah ibadahnya bagus, baru kemudian perbaiki akhlaknya. Adapun jika ternyata ibadahnya juga kurang bagus, maka periksa dulu keimanannya. Jika keimanannya sudah bagus, perbaiki ibadahnya; dan ini relatif mudah. Tapi jika keimanannya masih bermasalah, maka bereskan dulu keimanannya, kemudian perkokoh keimanannya.

Demikian juga upaya memperbaiki akhlak mulia diri kita sendiri (dan ini justru yang paling utama).Urutannya, pertama bereskan dulu keimanan kita, perkokoh keimanan kita. Kemudian, benarkanperibadatan kita agar ibadah yang kita lakukan benar-benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Jika sudah benar pun masih harus dibereskan, yakni ibadah yang kita lakukan harus dilakukan dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya, jangan sampai ada pamrih dunia (ingin memperoleh nikmat-nikmat dunia: harta, kedudukan, popularitas, dan lain-lain) maupun pamrih akhirat (mencari pahala, ingin masuk surga, dan takut masuk neraka). Ibadah yang kita lakukan harus benar-benar lillah (karena Allah). Pokoknya yang dituju dengan ibadah kita hanyalah Allah, bukan ciptaan Allah. Ingat, dunia, surga, dan neraka bukanlah Allah melainkan ciptaan Allah.

E. RENUNGANCoba simak kisah seorang Bani Israel yang paling tekun beribadah tapi terperdaya oleh

seorang perempuan. Alkisah ada tiga orang pemuda bersaudara yang mempunyai seorang saudara perempuan, dan tidak mempunyai saudara perempuan lainnya. Ketiga pemuda tersebut memenuhi panggilan berjihad di jalan Allah. Mereka bingung kepada siapakah menitipkan saudaranya yang perempuan. Akhirnya mereka sepakat untuk menitipkannya kepada seorang ahli ibadah sampai mereka kembali dari peperangan (tentunya dengan penuh harapan agar saudaranya yang perempuan dapat terjaga dengan aman).

Awalnya, sang ahli ibadah itu menolaknya. Tetapi karena ketiga bersaudara itu terus mendesaknya akhirnya sang ahli ibadah menerima permintaan mereka. Dia lalu berkata kepada mereka, “Tempatkanlah saudara perempuanmu di rumah dekat tempat ibadahku.”

Page 16: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

Lantas mereka menempatkan saudara perempuan mereka di rumah tersebut, kemudian mereka pun pergi.

Maka perampuan tersebut tinggal bersama sang ahli ibadah tersebut selama beberapa waktu. Sang ahli ibadah selalu turun dari tempat ibadahnya untuk membawakan makanan. Kemudian dia memanggil perempuan tersebut, lalu si perempuan keluar dari dalam rumah untuk mengambil makanan yang dihidangkan kepadanya. Lantas setan menebarkan tipu dayanya, seolah-olah senantiasa memberi motivasi kepada ahli ibadah untuk berbuat kebaikan. Setan membisikkan rasa keberatan kepada ahli ibadah jika perempuan tersebut keluar dari rumahnya di siang hari, dan menakut-nakutinya jangan sampai ada seorang pun yang melihat perempuan tersebut. Akhirnya, sang ahli ibadah mengunci perempuan tersebut. “Seandainya engkau mau datang membawa makanan untuknya dan engkau letakkan di pintu rumah yang ditinggali perempuan tersebut, niscaya engkau mendapat pahala yang besar.” Setan pun terus-menerus membisiki hal tersebut, hingga akhirnya dia berjalan ke tempat perempuan tersebut dengan membawa makanan serta meletakkannya di pintu rumah tanpa mengajak bicara perempuan tersebut. Sang ahli ibadah melakukan hal ini selama beberapa waktu.

Iblis pun datang lagi untuk memperdaya sang ahli ibadah, “Seandainya kamu mau berbicara dan mengobrol dengan perempuan tersebut, maka pasti dia merasa terhibur dengan obrolanmu lantaran dia sedang kesepian.” Demikianlah Iblis senantiasa membisikinya, hingga akhirnya sang ahli ibadah mau berbincang-bincang dengan perempuan tersebut dalam beberapa waktu. Sang ahli ibadah itu pun selalu memandangi perempuan tersebut dari atas tempat ibadahnya. Setelah itu, iblis datang lagi membisikinya, “Seandainya engkau mau turun menghampirinya, hingga engkau duduk di pintu tempat ibadahmu lalu berbicara dengannya dan dia duduk di pintu rumahnya berbicara denganmu, niscaya hal ini lebih baik dan lebih menghibur dirinya.” Iblis berhasil membuat sang ahli ibadah turun dan duduk di depan pintu tempat ibadahnya untuk berbicara dengan perempuan tersebut dan demikian pula sebaliknya. Perempuan tersebut keluar dari rumah sehingga dia duduk di pintu rumah. Mereka berdua pun melakukan hal ini selama beberapa waktu.

Kemudian iblis datang lagi. Ia memperdayai ahli ibadah seolah hendak melakukan kebaikan dan meraih pahala ketika dia melakukan itu semua terhadap perempuan tersebut. Iblis membisikkan, “Seandainya kamu mau keluar dari pintu tempat ibadahmu, lalu kamu duduk di dekat pintu rumah perempuan tersebut untuk berbincang-bincang dengannya, niscaya hal tersebut lebih menghibur dan lebih baik baginya.” Iblis senantiasa membisikkan hal tersebut sampai sang ahli ibadah melakukannya. Akhirnya, sang ahli ibadah pun melakukannya dalam beberapa waktu.

Lantas iblis datang lagi seolah memotivasi untuk melakukan kebaikan seraya membisikkan, “Andai saja kamu mau berdekatan dengannya, engkau duduk di pintu rumahnya untuk berbincang-bincang dengannya dan si perempuan tidak perlu keluar dari rumahnya.” Lantas dia pun melakukan hal tersebut. Dia pun turun dari tempat ibadanya dan berdiri di pintu rumah si perempuan dan berbincang-bincang dengannya. Mereka berdua pun

Page 17: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

melakukan hal tersebut selama beberapa waktu. Selanjutnya, iblis datang lagi membisikinya, “Andai saja kamu mau masuk ke dalam rumah perempuan tersebut, lalu kamu berbincang-bincang dengannya dan kamu tidak membiarkan dirinya menampakkan wajahnya kepada seorang pun, niscaya hal tersebut lebih baik bagimu.” Iblis senantiasa membisikinya, sehingga dia pun masuk ke dalam rumah dan berbincang-bincang dengan perempuan tersebut seharian penuh. Ketika waktu siang telah berlalu, dia naik ke tempat ibadahnya. Lagi-lagi iblis mendatangi setelah itu, dia terus-menerus menghiasi perempuan tersebut di hadapan sang ahli ibadah. Hingga akhirnya sang ahli ibadah menyentuh si perempuan itu. Iblis pun terus-menerus kecantikan si perempuan dalam pandangan sang ahli ibadah. Iblis membujuknya hingga akhirnya dia menzinai perempuan tersebut dan menghamilinya. Akhirnya perempuan tersebut melahirkan seorang anak.

Kemudian iblis datang dan membisiki, “Bagaimana pendapatmu, jika saudara-saudara perempuan ini datang, seementara saudara perempuannya melahirkan anak hasil perzinaan dengan kamu, apa yang akan kamu perbuat? Pastilah keburukanmu akan terungkap atau mereka akan membuka keburukanmu. Oleh karena itu, bunuhlah anak itu, lalu kuburkan. Sungguh, si perempuan akan tutup mulut karena dia juga takut saudara-saudaranya tahu apa yang telah engkau perbuat terhadapnya.” Lantas sang ahli ibadah melakukannya. Dia pun membunuh anak tersebut. Selang beberapa waktu iblis membisiki lagi, “Apakah kamu yakin perempuan tersebut dapat merahasiakan pada saudara-saudaranya atas apa yang telah engkau perbuat terhadapnya dan perbuatanmu yang telah membunuh anaknya. Maka tangkaplah perempuan itu, lalu bunuhlah, dan kuburkanlah dia bersama anaknya!” Iblis pun terus-menerus membisikkan hal itu, hingga akhirnya dia pun membunuh perempuan tersebut dan menguburkannya di tempat kuburan anaknya, lalu menutupi keduanya dengan batu besar dan meratakan tanahnya. Kemudian dia naik ke tempat ibadahnya, lalu dia beribadah di dalamnya seperti sedia kala.

Sang ahli ibadah masih tetap dalam keadaan seperti itu hingga saudara-saudara perempuan tersebut pulang dari medan perang. Mereka mendatangi sang ahli ibadah dan menanyakan perihal saudara perempuannya. Sang ahli ibadah menangis dan memberitahukan kepada mereka bahwa perempuan tersebut telah meninggal dunia. Dia katakan bahwa saudara perempuan kamu itu merupakan perempuan terbaik, mudah-mudah dia mendapat rahmat Allah SWT.” Ketika malam tiba para pemuda itu pun tidur. Ketika mereka terlelap dalam pembaringannya, iblis mendatangi mereka dan menjelma sebagai seorang musafir. Awalnya, iblis mendatangi saudara paling tua. Iblis bertanya kepadanya tentang saudara perempuannya. Dia pun menceritakan sebagaimana yang dikatakan oleh sang ahli ibadah tentang kematiannya, tentang ahli ibadah yang mendoakannya agar mendapat rahmat, dan tentang sang ahli ibadah yang menunjukkan kuburan saudara perempuannya tersebut kepadanya. Lalu iblis berkata, “Sang ahli ibadah itu berbohong! Yang benar dia telah menghamili saudara perempuanmu hingga dia melahirkan seorang anak, lalu sang ahli ibadah itu membunuh anak dan saudara perempuanmu. Dia menguburkan anak dan saudara perempuanmu di lubang yang sama di belakang pintu rumah yang ditempati oleh saudara

Page 18: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPraktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktek

perempuan kalian di sebelah kanan tempat orang masuk rumah. Oleh karena itu, pergilah kamu dan masuklah ke dalam rumah yang kemarin ditempati saudara perempuanmu itu, pastilah kamu akan menemukan keduanya sebagaimana yang saya katakan.” Lalu iblis mendatangi saudara kedua di dalam tidurnya, yang mengatakan hal yang sama sebagaimana yang iblis katakan kepada saudaranya yang paling tua. Lalu iblis mendatangi saudara paling kecil dan mengatakan hal yang sama kepadanya. Ketika mereka bangun tidur, mereka pun heran akan mimpi yang dialami oleh masing-masing. Mereka saling berpandangan satu sama lain dan berkata kepada saudaranya, “Sungguh, tadi malam saya bermimpi aneh.” Mereka pun saling menceritakan mimpi mereka satu sama lain. Lantas saudara paling tua berpendapat, “Ini hanya bunga tidur. Bukan kenyataannya. Kita tidak perlu mempercayai mimpi kita ini!” Tapi saudara paling kecil berpendapat lain, “Demi Allah, aku tidak akan melewatkan begitu saja mimpi saya ini sehingga saya benar-benar akan mendatangi tempat tersebut dan saya akan melihatnya sendiri.” Akhirnya mereka semua berangkat ke rumah yang pernah ditempati saudara perempuan mereka. Mereka membuka pintu dan mencari lokasi yang dijelaskan kepada mereka di dalam mimpi. Ternyata, mereka benar-benar menemukan saudara perempuan mereka bersama anaknya di dalam lubang kubur dalam keadaan disembelih.

Lantas mereka meminta pertanggung-jawaban sang ahli ibadah mengenai peristiwa tersebut. Sang ahli ibadah membenarkan tuduhan mereka. Selanjutnnya mereka mengadukan kasus ini kepada Raja. Pengadilan memutuskan sang ahli ibadah yang telah menghamili dan membunuh perempuan dan anaknya itu untuk disalib. Ketika eksekusi dimulai iblis mendatangi sang ahli ibadah lalu berkata, “Saya adalah temanmu yang telah membujukmu dengan perempuan yang telah engkau hamili dan telah engkau bunuh beserta anaknya. Jika kamu sekarang mau menurutiku niscaya saya akan menyelamatkanmu dari keadaanmu sekarang ini.” Sang ahli ibadah menganggukkan kepalanya setuju akan menuruti iblis. Iblis meminta sang ahli ibadah untuk kufur terhadap Allah. Dan ketika sang ahli ibadah menyatakan persetujuannya, iblis malah meninggalkannya. Akhirnya sang ahli ibadah itu mati dalam tiang salib dalam keadaan kufur kepada Allah SWT. Na`udzu billahi min dzalik ! (Disadur dari Kisahmuslim.com, 2013).

F. KESIMPULANAkhlak bukanlah moralitas biasa terlebih-lebih moralitas hasil rekayasa sesaat. Akhlak

juga bukan perilaku yang baik menurut anggapan umum. Akhlak adalah perilaku yang baik dan bersifat ikhtiari yang dilakukan seseorang secara spontanitas karena kesadarannya dalam menjalankan perintah Allah dan RasulNya; dan perilaku yang baiknya itu dilakukan secara berkualitas dan istiqomah (ajeg, tetap, terus-menerus). Seseorang yang ber-akhlaqul karimah bukan hanya tampak dalam penampilan lahiriyahnya yang memang menampilkan perilaku yang baik. Perilaku baik yang ditampilkannya itu karena didorong oleh hati nuraninya yang selalu condong kepada kebaikan sebagai ikhtiar menjalankan ketaatan kepada Allah atas dasar ketaatan kepada RasulNya dan meneladani RasulNya. Dengan demikian akhlak mulia yang “sempurna” haruslah berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Zat Yang Maha Ghaib, Allah AsmaNya.