laporan pk 2 a5

63
BAB I DASAR TEORI A. Hitung Jenis Leukosit Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per milimeterkubik atau mikroliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroorganisme atau jaringan asing, sehingga hitung julah leukosit merupakan indikator yang baik untuk mengetahui respon tubuh terhadap infeksi. Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal dan lain-lain. Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000-30.000/μl. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara 13.000-38.000 /μl. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500- 11.000/μl. Pada keadaan basal jumlah leukosit pada orang dewasa berkisar antara 5000 — 10.000/μl. Jumlah leukosit meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari 11.000/μl. Peningkatan jumlah leukosit di atas normal disebut leukositosis, sedangkan 1

Upload: titis

Post on 22-Dec-2015

45 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

patologi klinik

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan PK 2 A5

BAB I

DASAR TEORI

A. Hitung Jenis Leukosit

Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per

milimeterkubik atau mikroliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari

sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroorganisme atau jaringan

asing, sehingga hitung julah leukosit merupakan indikator yang baik untuk

mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.

Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan

basal dan lain-lain. Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000-

30.000/μl. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara

13.000-38.000 /μl. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada

umur 21 tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500- 11.000/μl. Pada keadaan

basal jumlah leukosit pada orang dewasa berkisar antara 5000 — 10.000/μl.

Jumlah leukosit meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang,

tetapi jarang lebih dari 11.000/μl. Peningkatan jumlah leukosit di atas normal

disebut leukositosis, sedangkan penurunan jumlah leukosit di bawah normal

disebut lekopenia.

Terdapat dua metode yang digunakan dalam pemeriksaan hitung

leukosit, yaitu cara automatik menggunakan mesin penghitung sel darah

(hematology analyzer) dan cara manual dengan menggunakan pipet leukosit,

kamar hitung dan mikroskop.

Hitung jenis leukosit digunakan untuk mengetahui jumlah berbagai

jenis leukosit. Terdapat lima jenis leukosit, yang masing-masingnya memiliki

fungsi yang khusus dalam melawan patogen. Sel-sel itu adalah neutrofil,

limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil. Hasil hitung jenis leukosit

memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai infeksi dan proses

penyakit.  Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari

1

Page 2: Laporan PK 2 A5

masing-masing jenis sel. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-

masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/μl).

Untuk melakukan hitung jenis leukosit, pertama membuat sediaan

apus darah yang diwarnai dengan pewarna Giemsa, Wright atau May

Grunwald. Amati di bawah mikroskop dan hitung jenis-jenis leukosit hingga

didapatkan 100 sel. Tiap jenis sel darah putih dinyatakan dalam persen (%).

Jumlah absolut dihitung dengan mengalikan persentase jumlah dengan hitung

leukosit, hasilnya dinyatakan dalam sel/μL.

Nilai Normal menurut Miller ;

1. Eosinofil : 1 – 4 %

2. Basofil : 0 – 1%

3. Stab : 2 – 5 %

4. Segmen : 50 – 70 %

5. Limfosit : 20 – 40 %

6. Monosit : 1 – 6 %

B. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit

Eritrosit adalah piringan bikonkaf dengan garis tengah 8µm, ketebalan

2 µm di tepi luar dan ketebalan sekitar 1 µm di tengah yang hamper

menyerupai donat. (Sherwood, 2013) Warna eritrosit kekuning-kuningan dan

dapat berwarna merah karena dalam sitoplasmanya terdapat pigmen warna

merah berupa Hemoglobin (Ira P, 2012). Bentuk bikonkaf dari eritrosit ini

berfungsi dalam menentukan efisiensi sel darah merah dalam melakukan

fungsinya sebagai pengangkut O2, selain itu bentuk bikonkaf ini juga akan

menghasilkan luas permukaan yang lebih luas untuk difusi O2 menembus

membrane jika di bandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang

sama. Selain bentuknya, ketebalan eritrosit juga memungkinkan O2 cepat

berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksteriior sel. (Sherwood, 2013)

Nilai standar eritrosit ;

1. Pria Dewasa : 4,5 – 6,5 juta/mm3

2

Page 3: Laporan PK 2 A5

2. Wanita Dewasa : 3,9 – 5,6 juta/mm3

3. < 3 bln : 4,0 – 5,6 juta/mm3

4. 3 bln : 3,2 – 4,5 juta/mm3

5. 1 tahun : 3,6 – 5,0 juta/mm3

6. 12 tahun : 4,2 – 5,2 juta/mm3

Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah

merah mengalami proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka hemoglobin di

dalam sel darah merah akan melepaskan radikal bebas yang akan

menghancurkan dinding dan membran sel patogen, serta membunuhnya.

(Maria K, 2009)

Eritrosit dibentuk dalam sumsum merah tulang pipih, misalnya di

tulang dada, tulang selangka, dan di dalam ruas-ruas tulang belakang.

Pembentukannya terjadi selama tujuh hari. Pada awalnya eritrosit mempunyai

inti, kemudian inti lenyap dan hemoglobin terbentuk. Setelah hemoglobin

terbentuk, eritrosit dilepas dari tempat pembentukannya dan masuk ke dalam

sirkulasi darah. (Ira P, 2012). Sel darah merah yang sedang berkembang

dalam sumsum (eritroblas) memiliki nukleus(inti); inti memadat seiring

Maturasi, dikeluarkan sebelum sel darah merah lepas kedalam sirkulasi.

(Hoffbrand & Moss, 2013)

Masa hidup eritrosit hanya sekitar 120 hari atau 4 bulan, kemudian

dirombak di dalam hati dan limpa. Sebagian hemoglobin diubah menjadi

bilirubin dan biliverdin, yaitu pigmen biru yang memberi warna empedu. Zat

besi hasil penguraian hemoglobin dikirim ke hati dan limpa, selanjutnya

digunakan untuk membentuk eritrosit baru. Kira-kira setiap hari ada 200.000

eritrosit yang dibentuk dan dirombak. Jumlah ini kurang dari 1% dari jumlah

eritrosit secara keseluruhan.(Ira P, 2012).

C. Pemeriksaan Hematokrit

Hematokrit adalah nilai yang menunjukan persentase zat padat dalam

darah terhadap cairan darah. Dengan demikian, bila terjadi perembesan cairan

3

Page 4: Laporan PK 2 A5

darah keluar dan pembuluh darah, sementara bagian padatnya tetap dalam

pembuluh darah, akan membuat persentase zat padat darah terhadap cairannya

naik sehingga kadar hematokritnya juga meningkat (Hardjoeno, H. 2007).

Nilai hematokrit atau PCV dapat ditetapkan secara automatik

menggunakan hematology analyzer atau secara manual. Metode pengukuran

hematokrit secara manual dikenal ada 2 yaitu;

1. Metode makrohematokrit

Metode ini menggunakan tabung wintrobe

2. Metode mikrohematokrit/kapiler

Metode ini menggunakan tabung kapiler

Adapun nilai standarnya adalah ;

1. Pria : 47 ± 7 %

2. Wanita : 42 ± 5 %

3. Bayi baru lahir : 54 ± 10 %

4. 3 bulan : 38 ± 6 %

5. 3 – 6 bulan : 40 ± 4 %

6. 10 – 12 tahun : 41 ± 4%

D. Nilai Indeks Eritrosit

Hitung eritrosit adalah jumlah eritrosit per milimeterkubik (mm3) atau

mikroliter dalah. Seperti hitung leukosit, untuk menghitung jumlah sel-sel

eritrosit ada dua metode, yaitu manual dan elektronik (automatik). Metode

manual hampir sama dengan hitung leukosit, yaitu menggunakan bilik hitung.

Namun, hitung eritrosit lebih sukar daripada hitung leukosit.

Prinsip hitung eritrosit manual adalah darah diencerkan dalam larutan

isotonis untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah hemolisis.

Larutan Pengencer yang digunakan adalah ;

1. Larutan Hayem : Natrium sulfat 2.5 g, Natrium klorid 0.5 g, Merkuri klorid

0.25 g, aquadest 100 ml. Pada keadaan hiperglobulinemia, larutan ini tidak

4

Page 5: Laporan PK 2 A5

dapat dipergunakan karena dapat menyebabkan precipitasi protein,

rouleaux, aglutinasi.

2. Larutan Gower : Natrium sulfat 12.5 g, Asam asetat glasial 33.3 ml,

aquadest 200 ml. Larutan ini mencegah aglutinasi dan rouleaux.

3. Natrium klorid 0.85 %

Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin

eritrosit. Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks kospouskuler. Indeks

eritrosit terdiri atas ;

1. MCV ( Mean Corpusculum Volume )

MCV = Hematokrit / jumlah eritrosit (dalam juta) x 10

Nilai normal = 82 – 92 femtoliter

2. MCH (Mean Corpusculum Hemoglobin )

MCH = Hemoglobin/Jumlah eritosit (dalam juta) x 10

Nilai normal = 27 – 32 pikogram

3. MCHC (Mean Corpusculum Hemoglobin Concentration )

MCHC = Hb/Ht x 100%

Nilai normal = 32 – 37 %

Red Blood Cell Distribution Width (RDW) adalah perbedaan/variasi

ukuran (luas) eritrosit. Nilai RDW berguna memperkirakan terjadinya anemia

dini, sebelum nilai MCV berubah dan sebelum terjadi gejala. Peningkatan

nilai RDW dapat dijumpai pada anemia defisiensi (zat besi, asam folat, vit

B12), anemia hemolitik, anemia sel sabit. Ukuran eritrosit biasanya 6-8µm,

semakin tinggi variasi ukuran sel mengindikasikan adanya kelainan.

1. RDW = standar deviasi MCV / rata-rata MCV x 100

Nilai normal rujukan 11-15%.

5

Page 6: Laporan PK 2 A5

BAB II

METODE PRAKTIKUM

A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit

Alat :

Alat untuk mengambil darah vena / kapiler

Hemositometer :

- Bilik hitung Neubauer Improve.

- Kaca penutup.

- Pipet Eritrtosit : pipet dengan bola merah dengan skala

0,5 – 1 – 101.

- Mikroskop.

Reagen :

- Lar. Hayem tdd :

- Na2SO4 kristal : 5,0 gram.

- NaCl : 1,0 gram.

- HgCl2 : 0,5 gram.

- Aquadest : 200,0 ml.

6

Page 7: Laporan PK 2 A5

Cara Pemeriksaan:

7

1.Cari kotak kecil bilik hitung di

bawah mikroskop(5)

2.hisap darah sampai angka

0,5(200x) usap ujung

pipet

4.Kocokbuang 3 tetes pertama

5.tuang pada celah bilik hitungtutup

dengan kaca penutup

6.Baca di mikroskop

3.Hisap larutan Hayem

dengan pipet yang sama

sampai angka 101

Page 8: Laporan PK 2 A5

B. Pemeriksaan Hematokrit

Nilai Hematokrit adalah :

Besarnya volume sel – sel eritrosit seluruhnya didalam 100 mm3 darah dan

dinyatakan dalam %.

Prinsip pemeriksaan :

Darah dengan antikoagulan diputar / disentrifuge, kemudian dibandingkan

panjang kolom merah dengan kolom total.

Terdapat 2 metode pemeriksaan :

Makro Hematokrit tabung Wintrobe.

Mikro Hematokrit tabung kapiler.

Mikro Hematokrit

Alat :

Alat untuk memeperoleh darah vena / kapiler.

Pipet Hematokrit : panjang 7,5 cm.

diameter 1,2 mm.

Lampu spiritus / vasellin.

Sentrifuge yang dapat memutar dengan kecepatan 16.000 rpm.

Skala pembaca Ht.

Reagensia :

Heparin ( biasanya sudah melapisi lumen pipet kapiler Ht )

Bahan :

Darah vena / darah kapiler.

8

Page 9: Laporan PK 2 A5

Cara Pemeriksaan:

9

1.Isi tabung darah

sampai 3/4

2.Sumbat ujung

dengan vaselin

3.Sentrifuge 16000 selama

3-5 menit

4.Baca skala Ht

Page 10: Laporan PK 2 A5

C. Hitung Jenis Leukosit

Cara pemeriksaan:

Arah perhitungan tertentu seperti dibawah ini :

Gambar :

10

1.Siapkan preparat

dapusan darah

2.Amati di

mikrosko

p10x40x100

x

3.Tetesi permkaan apusan

dengan minyak imersi

IMERS

I

4.Amati

Page 11: Laporan PK 2 A5

Bandingkan ukuran masing – masing sel dan amati bentuk inti, granula.

Stab / batang.

Segmen.

Eosinofil. Basofil

Limfosit. Monosit.

11

Page 12: Laporan PK 2 A5

BAB III

HASIL

A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit

Berdasarkan pemeriksaan jumlah eritrosit didapatkan 391 jumlah eritrosit

pada 80 kotak kecil sehingga didapatkan jumlah eritrosit :

Jumlah eritrosit= Sel eritrosit yangdihitungJumlahkotak kecil yangdihitung

× 400× 10 ×200=39180

× 400 ×10 × 200

= 3.910.000 juta/mm3

B. Pemeriksaan Hematokrit

Berdasarkan hasil pemeriksaan hematokrit, didapatkan hasil sebesar 39 %

setelah membandingkan panjang kolom merah dengan panjang kolom total. Hasil

tersebut menunjukan interpretasi hasil pemeriksaan hematokrit dari sampel darah

yang diperksa adalah normal karena nilai rujukan atau normal hematokrit untuk

wanita dewasa adalah 42 ± 5 %.

C. Hitung Jenis Leukosit

Berdasarkan hasil hitung jenis leukosit didapatkan bahwa,

Jenis 1 2 3 4 5 Persentase NilaiRujukan

Eosinofil I 2 % 1 – 4 %

Basofil 0 – 1 %

Stab II 4 % 2 – 5 %

Segmen IIIII

II

IIIII

IIIII

IIIII

IIIII

IIIII

IIIII

III 80 % 50 – 70 %

Limfosit IIIIII 12 % 20 – 40 %

Monosit I 2% 1 – 6 %

Jumlah 10 10 10 10 10 100%

Diff Count 2 / - / 4 / 80 / 12 / 2

12

Page 13: Laporan PK 2 A5

D. Indeks Eritrosit

Pada hasil pemeriksaan indeks eritrosit didapatkan keadaan,

1. Mean Corpusculum Volume

MCV= HematokritJumlah Eritrosit (dalam juta )

×10= 393,9

x10

MCV=100 fL(N :82−92 fL)

Interpretasi : Tidak normal

2. Mean Corpusculum Hemoglobin

MCH= HemoglobinJumlahEritrosit (dalam juta )

×10= 103,9

x 10

MCH=25,6 pikogram (N :27−32 pikogram)

Interpretasi : Tidak normal

3. Mean Corpusculum Hemoglobin Concentration

MCHC= HemoglobinHematokrit

× 100 %=1039

×100 %=25 %

(N :32−37 % )

Interpretasi : Tidak normal

BAB IV

13

Page 14: Laporan PK 2 A5

PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit

Pada praktikum pemeriksaan jumlah eritrosit, kami mendapatkan hasil

akhir bahwa jumlah eritrosit yang kami temukan dalam 5 kotak sedang yakni

3.910.000/mm3. Jumlah eritrosit ini termasuk masih dalam batas normal sesuai

dengan nilai rujukan sebagai berikut (Gandasoebrata, 2006) :

a. Dewasa laki-laki : 4.50 – 6.50 (x106/μL)

b. Dewasa perempuan : 3.80 – 4.80 (x106/μL)

c. Bayi baru lahir : 4.30 – 6.30 (x106/μL)

d. Anak usia 1-3 tahun : 3.60 – 5.20 (x106/μL)

e. Anak usia 4-5 tahun : 3.70 – 5.70 (x106/μL)

f. Anak usia 6-10 tahun : 3.80 – 5.80 (x106/μL)

Hitung eritrosit adalah jumlah eritrosit per milimeterkubik atau

mikroliter darah. seperti hitung leukosit, untuk menghitung jumlah sel-sel eritrosit

ada dua metode, yaitu manual dan elektronik (automatik). Metode manual hampir

sama dengan hitung leukosit, yaitu menggunakan bilik hitung. Namun, hitung

eritrosit lebih sukar daripada hitung leukosit.

Prinsip hitung eritrosit manual adalah darah diencerkan dalam larutan

isotonis untuk memudahkan menghitung eritrosit dan mencegah hemolisis.

Larutan Pengencer yang digunakan adalah:

a. Larutan Hayem : Natrium sulfat 2.5 g, Natrium klorid 0.5 g, Merkuri klorid

0.25 g, aquadest 100 ml. Pada keadaan hiperglobulinemia, larutan ini tidak

dapat dipergunakan karena dapat menyebabkan precipitasi protein, rouleaux,

aglutinasi.

b. Larutan Gower : Natrium sulfat 12.5 g, Asam asetat glasial 33.3 ml, aquadest

200 ml. Larutan ini mencegah aglutinasi dan rouleaux.

c. Natrium klorid 0.85 %

Penurunan eritrosit

14

Page 15: Laporan PK 2 A5

kehilangan darah (perdarahan), anemia, leukemia, infeksi kronis, mieloma

multipel, cairan per intra vena berlebih, gagal ginjal kronis, kehamilan, hidrasi

berlebihan.

Peningkatan eritrosit

Peningkatan eritrosit dapat meyebabkan polisitemia era,

hemokonsentrasi/dehidrasi, hipertensi , penyakit kardiovaskuler.

Menghitung jumlah eritrosit yang terkandung dalam darah memang

bukan suatu hal yang mudah karena sel-sel darah merah yang terkandung

dalam darah berukuran sangat kecil sehingga dibutuhkan seperangkat alat

yang dinamakan dengan Haemocytometer dengan bantuan mikroskop. Dalam

proses penghitungan sel-sel darah merah dibutuhkan juga ketelitian dan

konsisten dalam cara menghitung. Penghitungan sel-sel darah merah dihitung

di dalam kamar hitung yang bersakala atau berukuran kecil dengan jumlah 80

buah. Namun pada saat dilakukan percobaan bisa saja kita mendapatkan

kesalahan, yang mana akan sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan, oleh

karena itu ketelitian sangat diperlukan dalam praktikum ini.

Sumber kesalahan :

a.      Jumlah darah/larutan Heyem yang diisap kedalam pipet tidak tepat.

b.      Memakai pipet yang basah

c.      Berkurangnya darah dalam pipet pada waktu penghapusan darah yang

melekat  pada bagian luar ujung pipet.

d.     Terjadinya gelembung udara dalam pipet pada waktu menghisap

darah/larutan             pengencer.

e.       Adanya bekuan darah

f.         Darah tidak homogen

g.      Kamr hitung/kaca penutup kotor

h.       Ada gelembung udara yang masuk pada waktu pengisian kamar

hitung

i.          Letak kaca penutup tidak tepat

15

Page 16: Laporan PK 2 A5

j.          Meja mikroskop tidak datar

k.        Menghitung sel yang menyinggung garis batas tidak benar

l.          Kaca penutup bergeser karena tersebtuh oleh lensa mikroskop

m.    Larutan pengencer kotor

n.       Menghitung eritrosit tidak memakai lensa obyektif 40x sehingga

kurang teliti.

B. PEMERIKSAAN HEMATOKRIT

Pada praktikum pemeriksaan hematokrit, hasil akhir yang didapatkan

yakni 39 %. Hasil ini termasuk normal sesuai dengan nilai rujukan menurut

Dacie :

1. Pria : 47 ± 7%

2. Wanita : 42 ± 5 %

3. Bayi baru lahir : 54 ± 10 %

4. 3 bulan : 38 ± 6 %

5. 3-6 bulan : 40 ± 45 %

6. 10-12 bulan : 41 ± 4 %

Prinsip pemeriksaan hematokrit cara manual yaitu darah yang

mengandung antikoagulan disentrifuse dan total sel darah merah dapat dinyatakan

sebagai persen atau pecahan desimal Penetapan nilai hematokrit cara manual dapat

dilakukan dengan metode makrohematokrit atau metode mikrohetokrit. Pada cara

makrohematokrit digunakan tabung Wintrobe yang mempunyai diameter dalam

2,5 – 3 mm,panjang 110 mm dengan skala interval 1 mm sepanjang 100 mm dan

volumenya ialah 1 ml. pada cara mikrohematokrit digunakan tabung kapiler yang

panjangnya 75 mm dan diameter dalam 1 mm, tabung ini ada dua jenis, ada yang

dilapisi antikoagulan Na2EDTA atau heparin dibagian dalamnya dan ada yang

tanpa koagulan. Tabung kapiler dengan anti koagulan dipakai bila menggunakan

darah tanpa anti koagulan seperti darah kapiler, sedangkan tabung kapiler dengan

antikoagulan dipakai bila menggunakan darah dengan anti koagulan seperti darah

16

Page 17: Laporan PK 2 A5

vena. Metode mikrohematokrit mempunyai keunggulan lebih cepat dan sederhana

(Harjdjoeno, 2007).

Penurunan kadar hematokrit dapat terjadi pada beberapa kondisi tubuh,

seperti anemia kehilangan darah akut, leukemia, kehamilan,malnutrisi,gagal ginjal.

Sedangkan peningkatan kadar dapat terjadi pada beberapa kondisi : dehidrasi,

diare berat, luka baker, pembedahan. Pemeriksaan hematokrit merupakan salah

satu pemeriksaan laboratorium dalam mendiagnosa penyakit demam berdarah,

dimana pada kasus tersebut terjadi penurunan kadar trombosit (trombositopeumia)

secara derastis sampai dibawah 100.00 / mm3 yang diikuti dengan peningkatan

kadar hematokrit 20 % atau lebih yang menunjukkan terjadi perembesan plasma

atau lebih, dianggap menjadi bukti definitive adanya peningkatan permiabelitas

vaskuler. Pada kasus tersebut kadar hematokrit dapat dipengaruhi baik pada

pergantian volume tubuh secara dini atau oleh perdarahan.

Hematokrit biasanya tiga kali nilai Hb, kecuali bila ada bentuk dan besar

eritrosit abnormal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai hematokrit ialah

jumlah lekosit yang cukup tinggi, nilai glukosa dan natrium darah yang tinggi,

hemolisis, dan kesalahan tehnik misalnya penggunaan antikoagulan yang tidak

tepat (Hardjoeno, H. 2007).

Variabel-variabel yang cenderung meningkatkan dan menurunkan nilai

Hematokrit :

1. Meningkatnya nilai Hematokrit dapat disebabkan oleh dehidrasi, waktu tornikuet

berkepanjangan, terpapar suhu dingin, peningkatan aktivitas otot, posisi berdiri

tegak,diare berat, luka bakar, pembedahan dan teknik centrifugasi.

2. Menurunnya nilai hematokrit dapat terjadi pada beberapa kondisi tubuh seperti:

anemia, leukimia, malnutrisi dan gagal ginjal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan Hematokrit:

a. Kecepatan centrifuge

17

Page 18: Laporan PK 2 A5

Makin tinggi kecepatan centrifuge semakin cepat terjadinya

pengendapan eritrosit dan begitu pula sebaliknya, semakin rendah kecepatan

centrifuge semakin lambat terjadinya pengendapan eritrosit. Pengaruh

kecepatan centrifuge, dapat kita lihat pada hasil pemeriksaan hematokrit

dengan menggunakan kecepatan centrifuge 16.000 rpm dan selama 2-3 menit

yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna.

b. Waktu centritugasi

Selain radius dan kecepatan centrifuge, lamanya centrifugasi juga

berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan hematokrit. Makin lama centrifugasi

dilakukan maka hasil yang diperoleh semakin maksimal.

Beberapa sumber kesalahan dan pemeriksaan hematokrit yang

mungkin terjadi pada pemeriksaan hematokrit terdiri dari :

1. Tahap pra analitik

Pada proses pengambilan sampel misalnya ujung jari yang masih basah

oleh alkohol akan mempengaruhi hasil pemeriksaan.

2. Tahap analitik

Pada tahap ini, kesalahan dapat berasal dari :

a. Alat: apabila alat yang digunakan kurang bersih dan tidak kering.

b. Sampel: kesalahan dan sampel dapat berasal dari apabila Pemeriksaan

hematokrit tidak dikerjakan dalam waktu yang cepat

setelah pengambilan darah, karena sampel darah yang dibiarkan terlalu

lama akan berbentuk sferik sehingga sukar membentuk reuleux dan

hasil pemeriksaan hematokrit menjadi lebih lambat, sampel yang

digunakan hemolisis dan membeku.

c. Metode: kesalahan dapat berasal dari waktu sentrifugasi, kecepatan

cenntrifuge tidak sesuai.

d. Tenaga analis: apabila pembacaan skala yang kurang akurat atau tepat.

18

Page 19: Laporan PK 2 A5

3. Tahap pasca analitik

Kesalahan pada tahap ini biasanya bersifat administratif, misalnya salah

menuliskan hasil (Hardjoeno, H. 2007).

C. Pemeriksaan Indeks Leukosit

Pada praktikum ini, kami menghitung tiga macam indeks eritrosit, yakni

:

1. MCV/VER

Hasil akhir : 100 Fl

Hasil ini tidak normal karena tidak sesuai dengan nilai normalnya yakni 82-92

fL.

2. MCH/HER

Hasil akhir : 25,6 pg

Hasil ini tidak normal karena tidak sesuai dengan nilai normalnya yakni 27-32

pg.

3. MCHC/KHER

Hasil akhir : 25 %

Hasil ini tidak normal karena tidak sesuai dengan nilai normal yakni 32 – 37 %

a. Volume eritrosit rata-rata (VER) atau mean corpuscular volume (MCV)

MCV mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran kecil), normositik

(ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). Nilai MCV diperoleh dengan

mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya dengan hitung eritrosit.

MCV = (hematokrit x 10) : hitung eritrosit

Nilai rujukan :

1. Dewasa : 82-92 fL (baca femtoliter)

2. Bayi baru lahir : 98 - 122 fL

3. Anak usia 1-3 tahun : 73 - 101 fL

19

Page 20: Laporan PK 2 A5

4. Anak usia 4-5 tahun : 72 - 88 fL

5. Anak usia 6-10 tahun : 69 - 93 fL

Masalah klinis :

Penurunan nilai : anemia mikrositik, anemia defisiensi besi (ADB),

malignansi, artritis reumatoid, hemoglobinopati (talasemia, anemia sel sabit,

hemoglobin C), keracunan timbal, radiasi.

Peningkatan nilai : anemia makrositik, aplastik, hemolitik, pernisiosa;

penyakit hati kronis; hipotiroidisme (miksedema); pengaruh obat (defisiensi vit

B12, antikonvulsan, antimetabolik).

b. Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) atau mean corpuscular hemoglobin

(MCH)

MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa

memperhatikan ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10

kali, lalu membaginya dengan hitung eritrosit.

MCH = (hemoglobinx10) : hitung eritrosit

Nilai rujukan :

1. Dewasa : 27-32 pg (baca pikogram)

2. Bayi baru lahir : 33 - 41 pg

3. Anak usia 1-5 tahun : 23 - 31 pg

4. Anak usia 6-10 tahun : 22 - 34 pg

MCH dijumpai meningkat pada anemia makrositik-normokromik atau

sferositosis, dan menurun pada anemia mikrositik-normokromik atau anemia

mikrositik-hipokromik.

20

Page 21: Laporan PK 2 A5

c. Kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau mean corpuscular

hemoglobin concentration (MCHC)

MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume

eritrosit. Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi

zat besi serta talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan MCV atau

dari hemoglobin dan hematokrit.

MCHC = ( MCH : MCV ) x 100 % atau MCHC = ( Hb : Hmt ) x 100 %

Nilai rujukan :

1. Dewasa : 32 - 36 %

2. Bayi baru lahir : 31 - 35 %

3. Anak usia 1.5 - 3 tahun : 26 - 34 %

4. Anak usia 5 - 10 tahun : 32 - 36 %

Cara perhitungan inilah yang sering mendasari index wintrobe dapat

diperhitungkan dari nilai variable yang didapat pada pemeriksaan darah rutin.

Cara Manual lebih menghemat biaya. Namun memerlukan sampel banyak,

waktu lama dan kesalahan lebih besar baik dari perhitungan maupun

pemeriksaan hasil dari variabel – variabel tersebut dimana metode manual

kurang akurat. ( R Gandasoebrata, 2006 ).

D. Hitung Jenis Leukosit

Pada praktikum ini, hasil akhir yang kami dapat yakni :

Eos/Baso/Stab netro/Segmen netro/Limfo/Mono

2 / - / 4 / 80 / 12 / 2

Nilai normal menurut Miller :

Eusinofil : 1-4 %

Basofil : 0-1 %

Stab : 2-5 %

21

Page 22: Laporan PK 2 A5

Segmen : 50-70 %

Limfosit : 20-40 %

Monosit : 1-6 %

Interpretasi:

Eusinofil : Normal

Basofil : Normal

Stab Netrofil : Normal

Segmen Netrofil : Abnormal

Limfosit : Abnormal

Monosit : Normal

Hitung jenis leukosit adalah penghitungan jenis leukosit yang ada dalam

darah berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah

leukosit. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel

maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/µl). Sebagai

contohnya, dengan limfosit 30% dan leukosit 10.000, limfosit mutlak adalah

30% dari 10.000 atau 3.000. Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan

secara spesifik kejadian dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit

infeksi. Tipe leukosit yang dihitung ada 5 yaitu basofil, eosinofil, neutrofil,

monosit, dan limfosit (Gandosoebrata, 2010).

Untuk melakukan hitung jenis leukosit, pertama membuat sediaan

apus darah yang diwarnai dengan pewarna Giemsa, Wright atau May

Grunwald. Amati di bawah mikroskop dan hitung jenis-jenis leukosit hingga

didapatkan 100 sel. Tiap jenis sel darah putih dinyatakan dalam persen (%)

(Gandosoebrata, 2010).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hitung jenis leukosit adalah

(Gandosoebrata, 2010) :

a. Pilihlah sediaan yang cukup tipis dengan persebaran leukosit yang

merata.

22

Page 23: Laporan PK 2 A5

b. Mulailah menghitung pada pinggir atas sediaan dan berpindahlah

ke arah pinggir bawah sediaan dan setelah itu geser ke kanan

kemudiaan ke arah pinggir atas lagi. Sesampai di pinggir atas

geser ke kanan lagi kemudian ke arah pinggir bawah.

c. Lakukan pengerjaan itu sampai 100 sel leukosit terhitung menurut

jenisnya.

d. Selain menghitung, catatlah adanya kelainan morfologi pada

leukosit.

e. Hendaknya pelaporan jumlah leukosit sesuai urutan yang pasti

dimulai dari sel basofil, eosinofil, neutrofil menurut stadiumnya,

limfosit dan terakhir monosit.

Ciri sediaan yang baik sebagai berikut (Gandosoebrata, 2010) :

1. Sediaan tidak melebar samoa tepi kaca objek. Panjang 1/2 - 2/3

panjang objek glass.

2. Mempunyai bagian yang cukup tipis untuk diperiksa. Pada bagian

ini eritrosit terletak berdekatan tidak bertumpukan atau

menggumpal atau membentuk Roleaux.

3. Pinggir sediaan rata dan tidak berlubang-lubang/bergaris-garis.

4. Penyebaran leukosit baik tidak berkumpul pada pinggir atau tepi

sediaan.

Jika lebih dari 24 jam penundaan maka sel akan mengalami lisis,

vakuolisasi, degranulasi, hipersegmentasi inti dan karioreksis. Efek

antikoagulan EDTA (Gandosoebrata, 2010) :

a. bila jumlah yang dipakai kurang maka darah membeku.

b. bila jumlah pemakaian berlebih maka akan mempengaruhi

morfologi leukosit.

23

Page 24: Laporan PK 2 A5

Basofil

Basofil adalah jenis leukosit yang terlibat dalam reaksi alergi

jangka panjang seperti asma, alergi kulit, dan lain-lain. Nilai normal dalam

tubuh: 0 - 1%. Sel ini jarang ditemukan dalam darah tepi normal. Sel ini

mempunyai banyak granula sitoplasma yang gelap menutup inti serta

mengandung heparin dan histamin. Pada reaksi antigen-antibodi basofil akan

melepaskan histamin dari granulanya. Di dalam jaringan basofil berubah

menjadi sel mast basofil mrmpunyai tempat perlekatan immunoglobulin E

(IgE) dan degranulasinya disertai dengan pelepasan histamin. Basofil terutama

bertanggung jawab untuk memberi reaksi alergi dan antigen dengan jalan

mengeluarkan histamin kimia yang menyebabkan peradangan (Hoffbrand,

2012).

Basofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah basofil lebih dari

100/µl darah. Peningkatan basofil terdapat pada proses inflamasi(radang),

leukemia, dan fase penyembuhan infeksi. Penurunan basofil terjadi pada

penderita stress, reaksi hipersensitivitas (alergi), dan kehamilan (Hoffbrand,

2012).

Eosinofil

Eosinofil merupakan jenis leukosit yang terlibat dalam alergi dan

infeksi (terutama parasit) dalam tubuh. Nilai normal dalam tubuh: 1 - 3%. Sel

ini mirip dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar, lebih

berwarana merah tua, jarang dijumpai lebih dari 3 lobus inti. Sel ini memasuki

eksudat inflamatorik dan berperan khusus dalam respon alergi, pertahanan

terhadap parasit, dan pembuangan fibrin yang terbentuk selama inflamasi

(Hoffbrand, 2012).

Eosinofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil lebih

dari 300/µl darah. Eosinofilia terutama dijumpai pada keadaan alergi, infeksi

parasit. Histamin yang dilepaskan pada reaksi antigen-antibodi merupakan

substansi khemotaksis yang menarik eosinofil. Penyebab lain dari eosinofilia

24

Page 25: Laporan PK 2 A5

adalah penyakit kulit kronik, dan kanker tulang, otak, testis, dan ovarium

(Hoffbrand, 2012).

Eosinopenia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil kurang

dari 50/µl darah. Hal ini dapat dijumpai pada keadaan stress seperti syok, luka

bakar, perdarahan dan infeksi berat, juga dapat terjadi pada hiperfungsi koreks

adrenal dan pengobatan dengan kortikosteroid. Pemberian epinefrin akan

menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dan basofil, sedang jumlah monosit

akan menurun pada infeksi akut. Walaupun demikian, jumlah basofil,

eosinofil dan monosit yang kurang dari normal kurang bermakna dalam

klinik. Pada hitung jenis leukosit pada pada orang normal, sering tidak

dijumlah basofil maupun eosinophil (Hoffbrand, 2012).

Neutrofil

Neutrofil merupakan sel yang paling cepat bereaksi terhadap

radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan pertahanan

selama fase infeksi akut. Sel ini mempunyai inti padat khas yang terdiri atas

2-5 lobus dan sitoplasma yang pucat dengan batas tida beraturan, mengandung

banyak granula merah-biru (azurofilik) atau kelabu - biru. Granula terbagi

menjadi granula primer yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder

yang muncul pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang.

Nilai normal dalam tubuh adalah 1 – 5% untuk neutrofil batang dan 50 – 70%

untuk neutrofil segmen (Hoffbrand, 2012).

Netrofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil lebih dari

7000/µl dalam darah tepi. Penyebab biasanya adalah infeksi bakteri,

keracunan bahan kimia dan logam berat, gangguan metabolik seperti uremia,

nekrosia jaringan, kehilangan darah dan radang Banyak faktor yang

mempengaruhi respons netrofil terhadap infeksi, seperti penyebab infeksi,

virulensi kuman, respons penderita, luas peradangan dan pengobatan. Pada

anak-anak netrofilia biasanya lebih tinggi dari pada orang dewasa.

Rangsangan yang menimbulkan netrofilia dapat mengakibatkan dilepasnya

25

Page 26: Laporan PK 2 A5

granulosit muda ke peredaran darah dan keadaan ini disebut pergeseran ke kiri

atau shift to the left. Infeksi tanpa netrofilia atau dengan netrofilia ringan

disertai banyak sel muda menunjukkan infeksi yang tidak teratasi atau respons

penderita yang kurang. Pada infeksi berat dan keadaan toksik dapat dijumpai

tanda degenerasi, yang sering dijumpai pada netrofil adalah granula yang

lebih kasar dan gelap yang disebut granulasi toksik (Hoffbrand, 2012).

Netropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil kurang

dari 2500/µl darah. Penyebab netropenia dapat disebabkan karena

pemindahan netrofil dari peredaran darah misalnya umur netrofil yang

memendek karena penggunaan obat, gangguan pembentukan netrofil yang

dapat terjadi akibat radiasi atau obat-obatan dan yang terakhir yang tidak

diketahui penyebabnya. Penurunan jumlah neutrofil terdapat pada infeksi

virus, leukemia, anemia defisiensi besi, dan Iain-Iain (Hoffbrand, 2012).

Limfosit

Limfosit adalah jenis leukosit agranuler dimana sel ini berukuran

kecil dan sitoplasmanya sedikit. Salah satu leukosit yang berperan dalam

proses kekebalan dan pembentukan antibodi. Nilai normal: 20 - 40% dari

seluruh leukosit. Limfosit adalah sel yang kompeten secara imunologik dan

membantu fagosit dalam petahanan tubuh terhadap infeksi dan invasi asing

lain. Limfosit lebih umum dalam sistem limfa. Darah mempunyai tiga jenis

limfosit, yaitu (Hoffbrand, 2012) :

a. Sel B.

Berfungsi membuat antbodi yang mengikat patogen lalu

menghancurkannya (sel B tidak hanya membuat antibodi yang dapat mengikat

patogen tetapi setelah adanya serangan, beberapa sel B akan mempertahankan

kemampuannya dalam menghasilkan antibodi sebagai layanan sistem

'memori').

b. Sel T = CD+4 (pembantu)

26

Page 27: Laporan PK 2 A5

Berfungsi mengkoordinir tanggapan ketahanan (yang bertahan dalam

infeksi HIV) serta penting untuk menahan bakteri intraseluler. CD+8

(sitotoksik) dapat membunuh sel yang terinfeksi virus

c. Sel natural killer = sel pembunuh alami (NK, Natural Killer) dapat

membunuh sel tubuh yang tidak menunjukkan sinyal bahwa dia tidak boleh

dibinuh karena telah terinfeksi virus atau telah menjadi kanker.

Limfositosis adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan

jumlah limfosit lebih dari 8000/µl pada bayi dan anak-anak serta lebih dari

4000/µl darah pada dewasa. Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus

seperti morbili, mononukleosis infeksiosa; infeksi kronik seperti tuberkulosis,

sifilis, pertusis dan oleh kelainan limfoproliferatif seperti leukemia limfositik

kronik dan makroglobulinemia primer (Hoffbrand, 2012).

Pada orang dewasa limfopenia terjadi bila jumlah limfosit kurang

dari 1000/µl dan pada anak-anak kurang dari 3000/µl darah. Penyebab

limfopenia adalah produksi limfosit yang menurun yang disebabkan oleh

kortikosteroid dan obat-obat sitotoksis (Hoffbrand, 2012).

Monosit

Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan

ukuran 2x lebih besar dari eritrosit sel darah merah, terbesar dalam sirkulasi

darah dan diproduksi di jaringan limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 - 8%

dari jumlah seluruh leukosit. biasanya berukuran lebih besar dari leukosit

darah tepi lainnya dan mempunyai inti sentral berbentuk lonjong atau

berlekuk dengan kromatin yang menggumpal. Sitoplasmanya yang banyak

berwarna biru dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberikan

gambaran kaca asah (ground-glass-apperance). Granula sitoplasma juga sering

d-glass-apperance. granula sitoplasma juga sering dijumpai. Monosit

membagi fungsi 'pembersih vakum' (fagositosis) dari neutrofil tetapi lebih

jauh dia hidup dengan tugas tambahan yaitu memberikan potongan patogen

27

Page 28: Laporan PK 2 A5

kepada sel T sehingga patogen tersebut dapat dihafal dan dibunuh atau dapat

membuat tanggapan antibodi untuk menjaga (Hoffbrand, 2012)

Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih

dari 750/µl pada anak dan lebih dari 800/µl darah pada orang dewasa.

Monositosis dijumpai pada beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri, virus,

protozoa maupun jamur. Penurunan monosit terdapat pada leukemia limposit

dan anemia aplastic (Hoffbrand, 2012).

28

Page 29: Laporan PK 2 A5

BAB V

APLIKASI KLINIS

1. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya

cadangan besi tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang,

yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang. Kelainan ini ditandai

oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC (total iron

binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun,

pengecatan besi sumsum tulang negative dan adanya respon terhadap pengobatan

dengan preparat besi.

Klasifikasi Defisiensi Besi Menurut Berat Defisiensi

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi

besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :

a. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun, tetapi penyediaan

besi untuk eritropoesis belum terganggu.

b. Eritopoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) : cadangan besi

kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul

anemia secara laboratorik.

c. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.

Etiologi Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi,

gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang didapat berasal

dari :

29

Page 30: Laporan PK 2 A5

a. Saluran cerna : akibat dari tukak peptic, kanker lambung, kanker

kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang;

b. Saluran genitalia wanita : menorrhagia atau metrorhagia;

c. Saluran kemih : hematuria;

d. Saluran nafas : hemoptoe.

2. Factor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau

kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,

rendah vitamin C, dan rendah daging).

3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa

pertumbuhan dan kehamilan.

4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau colitis kronik.

Pathogenesis

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehinggan

cadangan besi makin menurun. Jika cadangan kosong maka keadaan ini disebut

iron depleted state. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan

besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk

eritrrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai :

iron deficient erythropoeiesis. Selanjutnya timbul anemia hipokromik mikrositer

sehingga disebut sebagai iron deficient anemia. Pada saat ini juga terjadi

kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan

gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.

Gejala Anemia Defisiensi Besi

Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan

besar, yaitu :

1. Gejala umum anemia

30

Page 31: Laporan PK 2 A5

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia

dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di

bawah 7-8g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata

berkunang-kunang., serta mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena

penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali

sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain

yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat.

2. Gejala khas akibat defisiensi besi

Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tidak dijumpai pada

anemia jenis lain, seperti :

a. Koilonychias : kuku sendok (spoon nail) : kuku menjadi rapuh, bergaris-

garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip, seperti sendok.

b. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena

papil lidah menghilang.

c. Stomatitis angularis : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga

tampak sebagai bercak bewarna pucat keputihan.

d. Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring;

e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.

3. Gejala penyakit dasar

Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit

yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya, pada

anemia akibat cacing tambang dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan

kulit telapak tangan bewarna kuning, seperti jerami. Pada anemia karena

perdarahan kronik akibat kanker dijumpai gejala tergangtung pada lokasi

kanker tersebut.

31

Page 32: Laporan PK 2 A5

Pemeriksaan Laboratorium

Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dpaat

dijumpai adalah :

1. Kadar hemoglobin dan ideks eritrosit : didapatkan anemia hipokromik

mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai

berat. MCV, MCHC, dan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan

pada anemia defisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW meningkat yang

menandakan adanya anisositosis. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami

perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering

turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena

anemia timbul perlahan-lahan.

2. Kadar besi serum menurun < 50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC)

meningkat >350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.

3. Kadar serum feritin < 20 µg/dl. Jika terdapat inflamasi maka feritin serum

sampai dengan 60 µ/dl masih dapat menunjukn adanya defisiensi besi.

4. Rotoporfirin eritrosit meningkat ( > 100 µg/dl).

5. Sumsum tulang : menunjukan hyperplasia normoblastik dengan normablast

kecil-kecil (micronormoblast) dominan.

6. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor transferin : kadar

reseptor transferin meningkat pada anemia defisiensi bsi, normal pada anemia

akibat penyakit kronik dan thalassemia.

7. Pengecatan besi sumsum tulang denga biru prusia menunjukan cadangan besi

yang negative.

8. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi.

32

Page 33: Laporan PK 2 A5

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium

yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi

besi dapat dipakai criteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari

criteria Kerlin et al) sebagai berikut :

Anemia hipokromik mikrositer pada apusann darah tepi, atau MCV < 80 fl

dan MCHC < 31 % dengan salah satu dari a, b, c atau d.

1. Dua dari tiga parameter dibawah ini :

a. Besi serum <50 mg/dl

b. TIBC > 350 mg/dl

c. Saturasi transferin : < 15 %

2. Feritin serum < 20 µg/dl

3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia menunjukan cadangan besi

negative.

4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu disertai

kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

Terapi

Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi.

Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa :

1. Terapi kausal : tergantung penyebabnya, misalnya : pengobatan cacing

tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal harus

dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh lagi.

2. Pemeberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh :

a. Besi per oral : merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah dan

aman. Preparat yang tersedia, yaitu :

33

Page 34: Laporan PK 2 A5

i. Ferrous sulphat : preparat pilihan pertama (murah dan efektif). Dosis

3x200 mg.

ii. Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous

succinate, harga lebih mahal, tetapi eektivitas dan efek samping hamper

sama.

Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong,

tetapi efek samping lebih banyak dibandingkan dengan pemberian

setelah makan. Efek samping dapat berupa mual, muntah, serta

konstipasi. Pengobatan diberikan sampai 6 bulan setelah kadar

hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi btubuh. Kalau tidak,

anemia kambuh lagi.

b. Besi parenteral

Efek samping lebih berbahaya, serta harganya lebih mahal.

Indikasi, yaitu :

i. Intoleransi oral berat;

ii. Kepatuhan berobat kurang;

iii.Colitis ulserativa;

iv. Perlu peningkatan Hb secara cepat (missal preoperasi, hamil trimester

akhir).

Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol

citric acid complex. Dapat diberikan secara intramuscular dalam atau

intravena pelan. Efek samping : reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala,

flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Dosis besi parenteral :

harus dihitung dengan tepat karena besi berlebihan akan membahayakan

pasien.

34

Page 35: Laporan PK 2 A5

3. Pengobatan lain

a. Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama

yang berasal dari protein hewani.

b. Vitamin C : vitamin c diberikan x 100 mg per hari untuk meningkatkan

absorpsi besi.

c. Transfuse darah : anemia kekurangan besi jarang memerlukan transfuse

darah. Indikasi pemberian transfuse darah pada anemia kekurangan besi

adalah :

i. Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah jantung

ii. Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing

yang sangat mencolok.

iii.Penderita memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat,

seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi.

Jenis darah yang diberikan adalah PRC untuk mengurasngi bahaya

overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid

intravena.

2. Leukemia Myeloid Kronik

Leukemia myeloid kronik merupakan leukemia kronik, dengan gejala

yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel

induk myeloid. LMK termasuk kelainan klonal dari pluripotent stem cell dan

tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif.

LMK terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu :

1. Leukemia myeloid kronik, Ph positif

2. Leukemia myeloid kronik, Ph negative

3. Juvenile chronic myeloid leukemia

4. Chronic neutrophilic leukemia

35

Page 36: Laporan PK 2 A5

5. Eosinophilic leukemia

6. Chronic myelomonocytic leukemia

Epidemiologi

1. LMK merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik

yang paling sering dijumpai di Indonesia.

2. Insiden LMK di Negara barat : 1-1,4/100.000 / tahun.

3. Umumnya LMK mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur

40-50 tahun. Pada anak-anak dapat dijumpai bentuk juvenile LMK.

Pathogenesis

Pada LMK dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu

reciprocal translocation 9,22 (t 9;22). Pada t(9;22) terjadi translokasi

sebagian materi genetik pada lengan panjang kromosom 22 ke lengan panjang

kromosom 9 yang bersifat resiprokal. Sebagian akibatnya sebagian sebesar

onkogen ABL pada resiprokal. Sebagian akibatnya sebagian besar onkogen

ABL pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung)

dengan onkogen BCR pada lengan panjang 22. Akibatnya terjadi gabungan

onkogen baru (chimeric oncogen) yaitu bct-abl oncogen. Gen baru akan

mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein

210 kd). Timbulnya protein baru ini akan mempengaruhi transduksi sinyl

terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan

dorongan proliferasi pada sel-sel myeloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini

menyebabkan proliferasi pada seri myeloid.

Gejala Klinik

Gejala klinik LMK tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit

tersebut, yaitu :

36

Page 37: Laporan PK 2 A5

a. Fase kronik terdiri atas :

1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,

berkeringat malam.

2. Splenomegali hamper selalu ada, sering massif.

3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.

4. Gejala gout, gangguan penglihatan dan priapismus.

5. Anemia pada fase awal sering hanya ringan.

6. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat

check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.

b. Fase transformasi akut terdiri atas :

1. Perubahan terjadi pelan-pelan dengan prodroml selama 6 bulan,

disebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru : demam, lelah,

nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap

kemoterapi menurun, leukositosis meningkat dan trombosit menurun

dan akhirnya menjadi gambaran leukemia akut.

2. Pada sepertiga penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa

didahului masa prodromal keadaan ini disebut krisis blastik. Tanpa

pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.

Terapi

Terapi LMK tegantung dari fase penyakit, yaitu :

1. Fase kronik

Obat pilihan :

37

Page 38: Laporan PK 2 A5

a. Basulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit

diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya. Obat

dihentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit

naik menjadi 50.000/mm3. Efek samping dapat berupa aplasia

sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya

leukemia akut.

b. Hydroxiurea, memerlukan pengaturan dosis lebih sering, tetapi

efek samping minimal. Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai

2000 mg. kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai

leukosit 10.000-15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit dan

bahaya, keganasan hamper tidak ada.

c. Interferon α biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol

oleh hidroksiurea. Pada LMK fase kronik interferon dapat

memberikan remisi hematologic pada 80% kasus, tetapi remisi

sitogenetik hanya mencapai pada 5-10% kasus.

2. Terapi fase akselerasi : sama dengan terapi leukemia akut, tetapi

respons sangat rendah.

3. Transplantasi sumsum tulang : memberikan harapan penyembuhan

jangka panjang terutama untuk penderita yang berumur kurang dari 40

tahun.

3. Penyakit Hodgkin

Penyakit Hodgkin atau limfoma Hodgkin adalah limfoma maligna yang khas

ditandai oleh adanya sel Reed Sternberg dengan latar belakang sel radang

pleomorf.

38

Page 39: Laporan PK 2 A5

Epidemiologi

Penyakit Hodgkin merupakan penyakit yang relative jarang di jumpai, hanya

merupakan 1% dari seluruh kanker. Insidennya di Negara barat dilaporkan

laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 2:1. Seperti

halnya dengan keganasan lain, penyebab penyakit Hodgkin mungkin belum

diketahui secara pasti. Tetapi genom virus Epstein-Barr dijumpai pada lebih

dari 50% kasus, tetapi perannya pada pathogenesis penyakit Hodgkin belum

jelas.

Patologi

Susunan histopatologik penyakit Hodgkin bersifat khas, dimana sel ganas (sel

R-S) merupakan minoritas, latar belakang sekelilingnya adalah sel-sel

inflamasi yang bersifat nonneoplastik. Sel ganas dari penyakit Hodgkin terdiri

atas :

1. Sel Reed Sternberg = sel R-S merupakan sel yang besar, berinti banyak

dan polipoid. Jika khas menunjukan dua buat inti dan menyerupai mata

burung hantu (owl eye). Hanya sel R-S yang patognomonik untuk

diagnostic penyakit Hodgkin.

2. Sel Hodgkin = H-cell merupakan sel pre Reed Sternberg.

3. Lacunar cell = sel lacuna dijumpai pada limfoma Hodgkin tipe nodular

sclerosis.

4. Varian L & H = the L & H variant

5. Varian pleomorf

Sel ganas penyakit Hodgkin, seperti halnya pada neoplasma ganas lainnya

bersifat monoclonal, sedangkan sel-sel latar belakang merupakan sel inflamasi

yang bersifat reaktif.

39

Page 40: Laporan PK 2 A5

Diagnosis

Diagnosis harus dibuat berdasarkan pemeriksaan histopatologik dengan

menemukan adanya sel R-S dengan latar belakang histologik yang sesuai

(appropriate). Diagnosis awal dapat dibuat secara akurat dari bahan kelenjar

getah bening hasil biopsy eksisi, bukan dari biopsy aspirasi. Setelah diagnosis

ditegakkan maka harus dilanjutkan dengan penentuan derajat penyakit, karena

hal ini akan menentukan strategi terapi dan prognosis penderita.

Terapi

Terapi untuk penyakit Hodgkin terdiri atas terapi spesifik dan terapi suportif.

Modalitas terapi spesifik untuk penyakit Hodgkin terdiri atas :

1. Radioterapi

2. Kemoterapi

3. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi.

40

Page 41: Laporan PK 2 A5

DAFTAR PUSTAKA

Bakta Made. 2006. Buku Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta:EGC.

Efendi, Zukesti, dr. 2009. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam

Tubuh. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1-7.

Gandasoebrata.R. 2006. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian Rakyat.

Harjdjoeno, H. 2007. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik Edisi III.

Makassar:   LPI UNHAS.

Hasyimzoem, N. C. 2014. Leukemia Limfoblastik Akut pada Dewasa Dengan

Multiple Limfadenopati. Medula 2.01: 36-42.

Hoffbrand,A.V.2012.Kapita Selekta Hematologi edisi keempat.Jakarta:EGC

Imamullah, Adil Yuni. 2014. Analisis Jumlah Leukosit pada Darah Penderita Infark

Miokardial Akut (Penelitian Observasional Klinis).

Kartamihardja, Emmy. 2009. Anemia Defisiensi Besi. Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Kurniawan, Indra. 2011. Iron defi ciency anemia in the elderly. Med J Indones, Vol.

20, No. 1, Februari 2011:71-77.

Lubis, Ramona Dumasari, dr. 2009. Anemia pada Penyakit Kusta. Departemen Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara. 1-10.

Margina, Dina Sophia, Sianny Herawati, And I. W. P. Sutirta Yasa. 2014. Diagnosis

Laboratorik Anemia Defisiensi Besi. E-Jurnal Medika Udayana 3.1: 58-69.

Mehta, Atul. 2006. At Glance Hematologi edisi Kedua.

Muhammad, Adang, dkk. 2010. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis

Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada /RS Dr. Sardjito, Yogyakarta. 9-16.

Muslim, Azhari, dkk. 2006. Buku Penuntun Praktikum Hematologi. Tanjung    

Karang : Poltekkes.

41

Page 42: Laporan PK 2 A5

Nugrohowati, Annta Kern. 2014. Korelasi Status Gizi, Asupan Zat Besi Dengan

Kadar Feritin Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Kelurahan Semanggi Surakarta.

Jurnal Kesehatan Masyarakat (Journal of Public Health) 8.1.

Pangesti, Ira. 2012. Eritrosit. Jakarta : Penerbit UniMus.

Pradhana, Theofilus Ardy. 2011. Pencucian Eritrosit Darah Manusia Untuk

Mengoptimalkan Pertumbuhan Haemophilus Influenzae Pada Media Agar

Coklat Dari Darah Manusia. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Price, Sylvia A., dan Lorraine M. Wilson. 2013. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

42

Page 43: Laporan PK 2 A5

LAMPIRAN 1

Gb. 1. Pemeriksaan Hitung Jenis Leukosit

Gb. 2. Pemeriksaan Jumlah

Hematokrit

43