laporan penilaian awal praktik perikanan menggunakan...
TRANSCRIPT
Laporan Penilaian Awal Praktik Perikanan menggunakan Standar Marine Stewardship Council untuk Komoditas Udang Tangkap (Penaeus indicus dan P. merguiensis) dengan Trammel net di Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan dari Tim WWF Indonesia dan Seafood Savers untuk Perbaikan Pengelolaan Perikanan. Dilaksanakan oleh: Buguh Tri Hardianto, Faridz Rizal Daerah pelaksanaan penilaian awal: Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan Klien: PT. Sekar Laut Kontak klien: Welliam (PT Sekar Laut/ 0812 3528 4352) Laporan ini merupakan kajian independen yang dilakukan oleh Program Kelautan WWF Indonesia terhadap aktivitas perikanan klien. Hak kepemilikan atas laporan ini ada pada Program Kelautan WWF Indonesia dan klien. Pembuatan salinan baik sebagian atau keseluruhan laporan ini diperbolehkan hanya jika diijinkan oleh kedua belah pihak.
Daftar Isi Ringkasan Eksekutif ............................................................................................................................................................ 3
1. Pendahuluan ............................................................................................................................................................... 5
1.1. Lingkup Studi Penilaian Awal .............................................................................................................................. 5
1.2. Tujuan Penilaian Awal ........................................................................................................................................ 6
2. Sumber Informasi Yang Digunakan ............................................................................................................................ 6
3. Deskripsi Perikanan .................................................................................................................................................... 6
3.1 Musim Dan Daerah Tangkapan Ikan ........................................................................................................................... 11
3.1. Udang Target Tangkapan .................................................................................................................................. 13
4. Sumberdaya Perikanan ............................................................................................................................................. 14
4.1. Karakteristik Ikan Target Tangkapan ................................................................................................................ 14
4.2. Pendugaan Stok Ikan ........................................................................................................................................ 17
5. Interaksi Perikanan Dengan Ekosistem .................................................................................................................... 17
5.1. Spesies Primer .................................................................................................................................................. 17
5.2. Spesies Sekunder .............................................................................................................................................. 19
5.3. Spesies Dilindungi Dan Terancam Punah ......................................................................................................... 20
5.4. Dampak Praktik Perikanan Terhadap Habitat Dasar Laut ................................................................................ 20
5.5. Efek Pada Rantai Makanan (Trophic Effect) ..................................................................................................... 20
6. Pengelolaan Perikanan ............................................................................................................................................. 21
6.1. Badan Pengelola Perikanan .............................................................................................................................. 21
6.2. Strategi Pengelolaan Perikanan Secara Umum ................................................................................................ 21
6.3. Pengelolaan Perikanan Tertentu ...................................................................................................................... 21
6.4. Subsidi Perikanan .............................................................................................................................................. 21
7. Penilaian Awal Perikanan Terhadap Prinsip Dan Kriteria MSC ................................................................................. 22
7.1. Prinsip 1. Keberlanjutan Stok Perikanan .......................................................................................................... 22
7.2. Prinsip 2. Dampak Praktik Perikanan Terhadap Ekosistem .............................................................................. 27
7.3. Prinsip[ 3. Efektifitas Pengelolaan Perikanan ................................................................................................... 38
8. Kesimpulan Dan Rekomendasi ................................................................................................................................. 43
Ringkasan Eksekutif
Sertifikasi ekolabel MSC (Marine Stewardship Council) sejak pertama kali metodenya diperkenalkan pada 1999 telah
secara luas diterima sebagai sistem sertifikasi yang sesuai dengan Panduan Eco-labelling serta CCRF (Code of Conduct
for Responsible Fisheries) dari FAO (Food and Agriculture Organization). Dalam laporan independen yang baru saja
dirilis (2010), Accentura menyebutkan bahwa sistem sertifikasi ini tercatat yang terbaik dari 6 sistem sertifikasi sejenis
lainnya. Dengan menggunakan standar MSC, produk perikanan yang tersertifikasi diharapkan akan memiliki
karakteristik yang baik dalam pengelolaan perikanan, keberlanjutan secara ekologi serta mekanisme
ketertelusurannya. Sistem sertifikasi ekolabel ini telah menjadi standar produk perikanan ramah lingkungan dan lestari
yang menjadi syarat utama agar produk tersebut bisa dipasarkan di negara Eropa dan Amerika. Mayoritas retailer besar
dengan jaringan terluas di kedua benua tersebut bahkan sudah berkomitmen bahwa pada 2012 hanya akan menerima
produk perikanan bersertifikat MSC.
WWF Indonesia menginisiasi Seafood Savers untuk mendukung kelompok nelayan dan Pengusaha perikanaan yang
berkomitmen positif untuk mentransformasi kelompok dampingan mereka menjadi berkelanjutan dan
bertanggungjawab. Salah satu aktivitas yang dilakukan oleh Seafood Savers guna mendukung industri adalah melalui
penilaian awal menggunakan standard MSC guna menilai kesiapan industri perikanan terkait memasuki sertifikasi
ekolabel ini.
Penilaian awal ini bertujuan untuk memberikan informasi secara umum mengenai perikanan yang dikaji, berdasar data
yang didapat dari klien dan otoritas pengelola dimana aktivitas perikanan berada. Tujuan lain dari penilaian awal ini
adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan hambatan atau masalah dalam memasuki sertifikasi ekolabel MSC.
Meskipun menggunakan metode yang sama, akan tetapi hasil dari pre assessment maupun full assessment MSC
mungkin akan sedikit berbeda hasilnya jika melibatkan stakeholder dan pendekatan yang berbeda.
Aktivitas perikanan yang dilakukan oleh Nelayan penangkap udang di Kotabaru menggunakan Trammel Net dan Mini
Trawl. Setiap nelayan mempunya armada penangkapannya sendiri. Dalam satu armada penangkapan dioperasikan oleh
satu sampai 3 nelayan. Nelayan yang ada di Kotabaru memiliki persentase imbang dalam penggunaan 2 alat tangkap
tersebut. Akan tetapi setelah ada larangan trawl, nelayan sedang ber-transformasi atau mengubah alat tangkap Mini
Trawl nya menjadi Trammel Net.
Jenis Udang yang menjadi target tangkapan adalah Udang Putih (Penaeus indicus) dan Banana (Penaeus merguiensis). Sedangkan Udang non-target tetapi memiliki nilai jual dan dimanfaatkan nelayan yakni Udag Windu (P. monodon) Udang Kerosok (Parapenaeopsis sculptilis), Udang Ende (Metapenaeus ensis), dan Udang Lampis (Metapenaeus brevicornis). Disamping itu, juga tangkapan sampingan selain udang-udangan. Yakni ikan Kembung (Rastrelliger kanagurta).
PRINSIP INDIKATOR SKOR PRIORITAS PERBAIKAN
Keberlanjutan Stok Perikanan
1.1.1 Status Stok Sumberdaya <60 TINGGI
1.1.2 Pemulihan Stok <60 TINGGI
1.2.1 Strategi Penangkapan (Harvest Strategy) <60 TINGGI
1.2.2 Perangkat dan Peraturan Penangkapan <60 TINGGI
1.2.3 Informasi/Pemantauan <60 TINGGI
1.2.4 Penilaian Status Stok <60 TINGGI
Dampak Praktik Perikanan Terhadap Ekosistem
2.1.1 Status Hasil Spesies Primer <60 TINGGI
2.1.2 Strategi Pengelolaan Spesies Primer <60 TINGGI
2.1.3 Informasi <60 TINGGI
2.2.1 Status hasil Spesies Sekunder <60 TINGGI
2.2.2 Strategi Pengelolaan Spesies Sekunder <60 TINGGI
2.2.3 Informasi <60 TINGGI
2.3.1 Status hasil Spesies ETP <60 TINGGI
2.3.2 Strategi Pengelolaan Spesies ETP 60-80 SEDANG
2.3.3 Informasi <60 TINGGI
2.4.1 Status Habitat 60-80 SEDANG
2.4.2 Strategi Pengelolaan Habitat 60-80 SEDANG
2.4.3 Informasi <60 TINGGI
2.5.1 Status Ekosistem <60 TINGGI
2.5.2 Strategi Pengelolaan Ekosistem <60 TINGGI
2.5.3 Informasi/monitoring Ekosistem <60 TINGGI
Efektifitas Pengelolaan Perikanan
3.1.1 Kerangka Hukum 60-80 SEDANG
3.1.2 Konsultasi, Peran & Tanggung Jawab <60 TINGGI
3.1.3 Tujuan Jangka Panjang 60-80 SEDANG
3.2.1 Tujuan Perikanan Khusus <60 TINGGI
3.2.2 Proses Pengambilan Keputusan <60 TINGGI
3.2.3 Kesesuaian & Pelaksanaan Peraturan <60 TINGGI
3.2.4 Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Pengelolaan
<60 TINGGI
1. Pendahuluan Sertifikasi ekolabel MSC (Marine Stewardship Council) sejak pertama kali metodenya diperkenalkan pada 1999
telah secara luas diterima sebagai sistem sertifikasi yang sesuai dengan Panduan Eco-labelling serta CCRF (Code
of Conduct for Responsible Fisheries) dari FAO (Food and Agriculture Organization). Dalam laporan independen
yang baru saja dirilis (2010), Accentura menyebutkan bahwa sistem sertifikasi ini tercatat yang terbaik dari 6
sistem sertifikasi sejenis lainnya. Dengan menggunakan standar MSC, produk perikanan yang tersertifikasi
diharapkan akan memiliki karakteristik yang baik dalam pengelolaan perikanan, keberlanjutan secara ekologi
serta mekanisme ketertelusurannya. Sistem sertifikasi ekolabel ini telah menjadi standar produk perikanan
ramah lingkungan dan lestari yang menjadi syarat utama agar produk tersebut bisa dipasarkan di negara Eropa
dan Amerika. Mayoritas retailer besar dengan jaringan terluas di kedua benua tersebut bahkan sudah
berkomitmen bahwa pada 2012 hanya akan menerima produk perikanan bersertifikat MSC.
Ekspor perikanan bagi Indonesia merupakan salah satu andalan penyumbang devisa negara. Sebagai negara
dengan dua pertiga luas wilayahnya berupa perairan, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara pengekspor
ikan dunia dengan nilai ekspor US$ 1.69 billion pada 2004 (FAO 2004) dan naik menjadi US$ 1.91 billion pada
2005 (KKP). Melihat permintaan pasar Eropa dan Amerika yang tertarik pada produk perikanan yang sudah
bersertifikasi ekolabel serta dihubungkan dengan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadi
negara penyedia produk perikanan terbesar, maka usaha untuk memfasilitasi kebutuhan konsumen di luar
negeri tersebut perlu untuk diakomodasi.
WWF Indonesia menginisiasi Seafood Savers untuk mendukung Pengusaha Perikanan yang berkomitmen
positif untuk mentransformasi kelompok dampingan mereka menjadi berkelanjutan dan bertanggungjawab.
Salah satu aktivitas yang dilakukan oleh Seafood Savers guna mendukung industri adalah melalui penilaian awal
menggunakan standard MSC guna menilai kesiapan industri perikanan terkait memasuki sertifikasi ekolabel ini.
1.1. Lingkup Studi Penilaian Awal Penilaian awal melingkupi unit sertifikasi yang dikaji, yang berarti perikanan atau stok perikanan digabung
dengan cara/alat serta praktek penangkapan terhadap perikanan dimaksud. Informasi ini akan penting untuk
diberikan kepada auditor MSC dalam proses sertifikasi.
Tabel 1: Unit sertifikasi
Spesies Target Udang Putih (Penaeus indicus) Udang banana (Penaeus merguiensis)
Daerah geografis / WPP NRI WPP 713 : Perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan
Pengelolaan perikanan - PERMEN KP No. 29 Tahun 2012 - PERMEN KP No. 30 Tahun 2012 - KEPMEN KP No.80 Tahun 2016 - PERMEN KP No. 18 tahun 2013 - UU RI No. 27 tahun 2007 - UU 31 th 2004 Tentang Perikanan - PERMEN KP No. 2 Tahun 2014
Cara penangkapan Jaring 3 lapis (Trammel Net)
Otoritas pengelola - Kementerian Kelautan dan Perikanan di tingkat nasional - Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Kalimantan
Selatan - Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru
Klien PT. Sekar Laut
Penilaian awal dilakukan dengan menggunakan dokumen MSC Pre-Assessment Reporting Template Version 2.0, 8 October 2014.
1.2. Tujuan Penilaian Awal Penilaian awal ini bertujuan untuk memberikan informasi secara umum mengenai perikanan yang dikaji,
berdasar data yang didapat dari klien dan otoritas pengelola dimana aktivitas perikanan berada. Tujuan lain
dari penilaian awal ini adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan hambatan atau masalah dalam memasuki
sertifikasi ekolabel MSC. Meskipun menggunakan metode yang sama, akan tetapi hasil dari pre assessment
maupun full assessment MSC mungkin akan sedikit berbeda hasilnya jika melibatkan stakeholder dan
pendekatan yang berbeda.
2. Sumber Informasi Yang Digunakan Laporan penilaian awal ini dibuat didasarkan atas sumber-sumber sebagai berikut :
Pertemuan
Tabel 2: Daftar orang yang ditemui
Tanggal & lokasi Nama & Jabatan Lembaga Kontak
5 November 2017 Abah Ali (Nelayan Rampak lama)
Nelayan Rampak Lama 082352535459
5 November 2017 Tajuddin (Pengepul udang
lampis)
081348258383
5 November 2017 Rustam (Pengepul udang
Lampis)
081348859329
4 November 2017 KADIS DKP Kab. Berau KADIS DKP Kab. Berau 081351513961
5 November 2017 Burhan (Fasilitator Lokal dan
nelayan)
081251776218
5 November 2017 Amirullah (Kepala PPI Kotabaru) 085219323117
5 November 2017 Ayun (Pengepul PT. Sekar
Laut)
081348583333
Informasi Lainnya
Komnaskajiskan. 2006. Status sumberdaya stok ikan Indonesia di masing-masing wilayah pengelolaan
perikanan.
Kepmen 45 tahun 2011. Tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
www.fishbase.org
PERMEN KP No. 2 Tahun 2015 tentang pearangan penggunaan Pukat Hela dan Pukat Tarik di WPP-RI
3. Deskripsi Perikanan Perikanan udang tangkap di Indonesia mayoritas dilakukan untuk memenuhi pasar Jepang, Amerika, dan Eropa,
karena tingginya harga yang ditawarkan jika dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh pasar udang
tangkap di dalam negeri. Pemanfaatan kebanyakan dilakukan dengan dua cara; Alat tangkap Pasif seperti
jarring insang dan Jaring Gondrong, dan alat tangkap aktif seperti lempira dasar. Namun semenjak adanya
PERMEN KP No. 2 Tahun 2015 tentang pearangan penggunaan Pukat Hela dan Pukat Tarik di WPP-RI, Nelayan
sudah cenderung menggunakan jarring insang dan Jaring Gondrong dalam menangkap udang. Akan tetapi
masih ada yang menggunakan lempara dasar dan dogol.
Berdasarkan hasil pertemuan pada Jum’at tanggal 4 November 2016 dengan kelompok nelayan Matahari,
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru, Nelayan Tramel net dan Lampara Dasar di Desa Rampak
lama, Rampak Baru dan Hilir, Juga para pengepul udang di 4 tempat tersebut yang menyatakan bahwa kegiatan
perikanan udang di daerah Kotabaru telah dilaksanakan secara turun temurun, diperkirakan sekitar tahun 80-
an. Awalnya Perusahaan Misaja Mitra yang memulai. Dengan menggunakan Pukat Harimau dalam menangkap
udang. Setelah Pukat Harimau dilarang,sejak tahun 2000 perusahaan tersebut berhenti menangkap dan hanya
membeli udang hasil tangkapan nelayan yang menggunakan Trammel Net atau Jaring Gondrong dan Lampara
Dasar. Sedangkan nelayan tradisional yang ada di Kotabaru, memiliki presentasi 50-50 antara yang
menggunakan Lempara Dasar dan Tramelnet. Target tangkapan dari kedua alat tangkap ini juga berbeda. Bila
tramelnet menargetkan udang Banana dan Tiger dengan ukuran besar, Lampara Dasar lebih menargetkan
udang lampis dan udang kecil lainnya. Aktivitas perikanan yang dilakukan oleh para nelayan di Kotabaru tidak
terfokus pada satu komoditas target. Paling tidak ada 2 jenis udang yang di targetkan nelayan, yaitu udang
Banana dan Tiger. Kedua jenis udang tersebut paling sering ditangkap nelayan menggunakan alat tangkap jaring
grondrong. Armada yang digunakan nelayan dalam mengoperasikan jaring gondrong berukuran <1GT. Setiap
armada penangkapan dioperasikan oleh 2-3 nelayan.
Berikut adalah spesifikasi Jaring Gondrong atau Trammel Net.
Jaring Gondrong
50 % nelayan di Kotabaru menggunakan jaring gondrong dalam menangkap udang. Dengan menargetkan
udang berukuran besar seperti Udang Banana dan udang Tiger, gondrong dioperasikan oleh 2 orang dalam 1
perahu.biasanya nelayan berangkat melaut pada pukul 05.30 – 14.00.
Tramel net yang dioperasikan oleh nelayan Kotabaru tersebut berbahan Nylon(PA) dan Monofilament dengan
ukuran mata jaring 5 inc pada bagian jaring luar dan 1,6 inc pada bagian jaring dalam. Biasanya nelayan
mengoperasikan trammel net dengan ukuran panjang jaring 28 Meter dan lebar jaring 2 – 3 Meter/ 1 pieces.
Dalam 1 set trammel net yang dioperasikan terdapat 7 – 15 pieces jaring yang saling berkaitan dengan
spesifikasi yang sama. Dalam 1 hari, nelayan dapat mengoperasikan trammel net sebanyak 5 kali.
Gambar 1. Perbedaan Ukuran Mata Jaring Gondrong bagian dalam dan luar
(© WWF-Indonesia 2017/Buguh.T)
Gambar 1. Sketsa Konstruksi Jaring Gondrong (© WWF-Indonesia 2017/Buguh.T)
Teknik Penangkapan Tramel Net dengan cara bergerak menyapu di dasar perairan dan memotong arus.
Dengan begitu, udang yang ada di dasar perairan akan terjerat oleh jaring. Ada beberapa tahapan dalam
pengoperasian trammel net ini, yaitu;
1. Setting
Setting atau menurunkan jaring, dilakukan oleh 2 orang. Dengan posisi, 1 orang di bagian pelampung jaring dan
1 orang di bagian pemberat jaring. Jaring diturunkan ke dasar perairan, dan diujung jaring diberikan pelampung
tanda.
2. Towing
Towing dilakukan dengan cara melingkar atau bergerak berlawanan. Setelah seluruh jaring turun, perahu akan
bergerak menyapu dasar perairan sehingga udang terjerat di jaring.
3. Hauling
Hauling dilakukan dengan menarik jaring dari sisi yang terikat pada kapal. Jaring ditarik pada bagian pelampung
dan pemberat jaring, sambil mengambil hasil tangkap yang terjerat pada jaring. Udang yang didapat langsung
dimasukkan kedalam wadah (ember) tanpa es.
Hasil Tangkapan
Untuk udang hasil tangkapan, biasanya terdiri dari spesies Udang Windu dan Udang Tiger. Akan tetapi bia
mendapatkan Udang jenis lain seperti udang ende dan udang kesil lainnya, akan dimanfaatkan juga oleh
nelayan. Nelayan biasanya membawa es saat ke laut. Udang hasil tangkapan disimpan kedalam ember yang
berisi es campur air laut . hal ini untuk menjaga kesegaran udang saat dibawa pulang. Akan tetapi, bila udang
sangat banyak dijaring, udang yang tertangkap akan dibiarkan terjerat dijaring tanpa dilepaskan dan disimpan
di ember berisi es. Baru pada saat sampai di rumah, nelayan akan melepaskan udang dari jeratan jaring.
Gambar 1. Udang yang sedang dilepaskan dari jeratan jaring (© WWF-Indonesia 2017/Buguh.T)
Jaring gondrong yang digunakan nelayan termasuk dalam katagori alat tangkap yang selektif. Komposisi hasil
tangkapan jaring gondrong antara lain;
Berdasarkan diagram diatas, 80% hasil tangkapan dari jaring gondrong adalah Udang White, 10 % untuk
Udang Tiger, 5% untuk Rajungan, dan 5% untuk ikan lainnya. Berikut adalah gambaran rincian persentase
tersebut;
Udang White
Udang Tiger
Rajungan
Ikan Lainnya
Tabel Rincian Persentase Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Gondrong
No. Jenis Udang Scientifict Name Gambar Percentage
1 Udang white Panaeus
marguensis
80%
2 Udang
tiger/flower Panaeus monodon
10%
4 Rajungan Portunus pelagicus
5%
5 Ikan kembung
5%
Udang hasil tangkapan nelayan biasanya hanya dijual ke pengepul ikan yang ada di Kotabaru. Baru setelah itu,
pengepul udang local ini akan menjualnya ke berbagai daerah, seperti Banjarmasin dan daerah-daerah di Pulau
Jawa.
Untuk daftar harga Udang yang dijual nelayan sebagai berikut;
Tabel 3: Daftar harga Udang di Kotabaru
Komoditas Harga (IDR)
Udang Windu U 30 = Rp130.000
Udang Banana U 30 – 40 = Rp. 175.000 U 50 Up = Rp. 125.000
Udang Ende Rp. 42.000/Kg
Udang Lampis 12.500/Kg
Udang Kerosok Rp. 41.000
Udang Bintik Rp. 38.000
3.1 Musim Dan Daerah Tangkapan Udang Penangkapan Udang dilakukan sepanjang tahun, hanya untuk udang Windu dan Banana atau Putih yang
mempunyai musim tertentu. Detail musim perikanan target berdasarkan informasi dari nelayan, musim
banyak ikan tertangkap adalah saat musim hujan. Selain itu musim tangkapan ini juga dipengaruhi oleh
angin, dimana saat angin timur ikan akan sedikit didapat dan saat pasca angin barat udang akan banyak
tertangkap. Menurut penjelasan nelayan, musim tangkap khususnya Udang biasanya jatuh pada bulan
Oktober – Januari. Sedangkan untuk musim paceklik udang biasanya jatuh pada bulan Agustus –
September. Selain musim tangkap tersebut, nelayan di Kotabaru juga memiliki kebiasaan adat dimana pada
hari Jum’at nelayan tidak akan melaut.
Secara umum, hasil tangkapan nelayan Udang di Kotabaru, Kalimantan Selatan, berdasarkan musim
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6: Musim aktivitas pemanfaatan
Spesies musim Bulan Catatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Udang
Banana
Puncak X X X X
Biasa
Rendah
Memijah
Udang
Tiger
Puncak X X X X
Biasa
Rendah
Memijah
Udang
Ende
Puncak X X X X X X X X X X X X Dapat ditangkap
sepanjang tahun
Biasa
Rendah
Memijah
Udang
Lampis
Puncak X X X X X X X X X X X X Dapat ditangkap
sepanjang tahun
Biasa
Rendah
Memijah
Udang
Kerosok
Puncak X X X X X X X X X X X X Dapat ditangkap
sepanjang tahun
Biasa
Rendah
Memijah
Udang
Bintik
Puncak X X X X X X X X X X X X Dapat ditangkap
sepanjang tahun
Biasa
Rendah
Memijah
Musim Total Tangkapan Per Nelayan Per Hari
Keterangan
Puncak (Oktober – Januari) ±10 - 15 kg Untuk semua hasil tangkapan Paceklik (Agustus – September) Tidak melaut karena
cuaca buruk
Terjadi penurunan hasil tangkapan dari para nelayan penangkap Udang yang ada di Kotabaru. Penurunan hasil
tangkapan ini sudah dirasakan oleh para nelayan. Menurut nelayan di Kotabaru, terjadi penurunan dari segi
jumlah dan ukuran hasil tangkapan. Sangat jauh berbeda bila di bandingkan dengan masa 1970’an. Disamping
itu lokasi tangkap para nelayan juga semakin jauh. Menurut penjelasan nelayan, terjadinya penurunan hasil
tangkapan ini merupakan dampak dari adanya kegiatan penangkapan Udang yang merusak seperti penggunaan
bom dan racun.
Lokasi penangkapan dari para nelayan trammel net dan Lampara Dasar berada pada lokasi yang sama. Yang
membedakan dari lokasi tangkap kedua alat tangkap tersebut yakni kedalaman perairan. Dimana biasanya
Tramel Net doperasikan pada kedalaman 7-20 meter, sedangkan Lampara Dasar dioperasikan pada kedalaman
5 – 10 Meter. Perjalanan dari fishing base menuju fishing ground membutuhkan waktu 1-2 jam menggunakan
perahu bermesin 35PK. Beberapa titik fishing ground nelayan yaitu;
- Perairan Teluk Pamukan
- Perairan Teluk Plumpang
- Perairan sekitar Tanjung Dewa
- Perairan Selat Sebuku
- Perairan Pantai (wilayah namanya Pantai)
- Sebagian ada di perairan sekitar selatan Pulau Sebuku (Tanjung Seloka dan sekitarnya)
Gambar 5. Lokasi penangkapan Udang Nelayan Kotabaru
di sekitar wilayah perairan Kotabaru
3.1. Udang Target Tangkapan Jenis Udang target tangkapan di Kotabaru adalah sebagaimana yang terlihat pada tabel dibawah.
Tabel 7: Daftar Udang target tangkapan nelayan di Kotabaru
Nama Populer : Banana Prawn Nama Indonesia : Udang Putih Nama Ilmiah : Penaeus merguiensis
Nama Popoler : Tiger Prawn Nama Indonesia : Udang Windu Nama Ilmiah : Penaeus monodon
Nama Populer : Endevour prawn Nama Indonesia : Udang Ende Nama Ilmiah : Metapenaeus ensis
Nama Populer : Rainbow shrimp Nama Indonesia : Udang Kerosok Nama Ilmiah : Parapenaeopsis sculptilis
Nama Populer : Stork shrimp Nama Indonesia : Udang Lampis Nama Ilmiah : Metapenaeus tenuipes
Nama Populer : Yellow shrimp Nama Indonesia : Udang Bintik Nama Ilmiah : Metapenaeus brevicornis
4. Sumberdaya Perikanan
4.1. Karakteristik Ikan Target Tangkapan Udang target tangkapan merupakan dalam kelompok besar Panaeid, dimana Udang jenis ini sering berasosiasi dengan dasar perairan berlumpur dan berpasir. Udang secara umum berasosiasi dengan dasar yang berlumpur dan berpasir, meskipun pada tahapan juvenile mereka ditemukan di perairan muara dan mangrove. Kebanyakan udang ini hidup di perairan 10 – 50 Meter, dengan mayoritas dijumpai pada kedalaman antara 10 hingga 45 m. Mereka umumnya bersifat omnivore, yang memakan segalanya. Seperti destritus dan sisa organisme lain. Tidak ada informasi mengenai komposisi kelamin pada hasil tangkapan, tetapi aktivitas yang ditujukan pada daerah pemijahan akan mengeksploitasi banyak udang betina. Kebanyakan Daur hidup udang meliputi beberapa tahapan yang membutuhkan habitat yang berbeda pada setiap tahapan. Udang melakukan pemijahan di perairan yang relatif dalam. Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis terapung-apung dibawa arus, kemudian berenang mencari air dengan salinitas rendah disekitar pantai atau muara sungai. Di kawasan pantai, larva udang tersebut berkembang. Menjelang dewasa, udang tersebut beruaya
kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian memijah. Tahapan-tahapan tersebut berulang untuk membentuk siklus hidup. Udang penaeid dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami beberapa fase, yaitu nauplius, zoea, mysis, post larva, juvenile (udang muda), dan udang dewasa.
Tabel 8: Karakteristik biologi dari spesies target
Nama Ilmiah Karakteristik Umum Panjang rata-rata
(cm)
panjang maksimum
(cm)
panjang dewasa
(cm)
Strategi reproduksi
Trophic level
Panaeus marguensis
➢ The species is commercially of major importance in the Persian Gulf and in Pakistan (Longhurst, 1970:280,281; Tirmizi, in Litt.). In India this species has often been confused with Penaeus indicus so that its present economic status is not quite accurately known, but Jones (1967: 1333) pointed out that it definitely contributes to the commercial fishery along the Karwar coast of W. India. Kurian & Sebastian (1976:100) reported that there is a small fishery for this species "in the middle region of east and west coasts" of India, while "juveniles are fished from estuaries". it is not mentioned for Bangladesh by Ahmad (1957), so that it is possible that a confusion with P. indicus has occurred here also. P. merguiensis is also important off the northwestern coast of Malaya, and possibly the west coast of Thailand, and the Philippines (Longhurst, 1970:284-290). In Indonesia it is taken by trawlers off E. Sumatra, the south coast of Java, off Borneo and in the Arafura Sea, being the dominant species there. In Australia it is the most important commercial species of Queensland, and also in Western Australia it may become very important (Racek, 1955:222; 1957:12). In the Gulf of Papua it is trawled for;
➢ the catch is frozen.It plays a role in pond culture in Thailand (Shigueno, 1975:120) and in Indonesia. The total catch reported for this species to FAO for 1999 was 78 743 t. The countries with the largest catches were Indonesia (65 230 t) and Thailand (9 200 t).
35 mm (CL)
240 mm (female)
33.86 mm (CL)
dioecism.
bearers
External brooders
3.36 s.e 0.35 individual food items
Panaeus monodon
➢ In S.E. and E. Africa (Natal to Somalia, including Madagascar) the species is of minor or moderate commercial importance, it is used for bait and food.In Pakistan it is likewise of minor importance. Jones (1967:1333) indicated that it is more common in prawn catches on the east coast of India than on the west coast. According to Chopra (1939:222) "This is the commonest large sized penaeid of Calcutta, and is sold in our markets in enormous quantities". Kurian & Sebastian (1976:100) cited it as an important commercial species in India, especially on the east coast (Bengal and Orissa); juveniles being caught in estuaries. Also in Bangladesh it is of considerable
37 – 47 mm (CL)
330 mm 164-190 mm
dioecism.
bearers
External brooders
37.70 s.e 0.39 based on food items
commercial importance. In Malaya and Thailand Penaeus monodon is fished in offshore waters. It is obtained both by pond fishing and inshore fishing in Malaya, Singapore, Indonesia, the Philippines and Taiwan; because of its large size the species is quite important economically. Domantay (1956:363) indicated that "among the commercially important prawns in the Philippines, Penaeus monodon Fabricius stands foremost". In Japan and Korea it seems to be of minor importance; Yoshida (1941) remarked that it was sold on the Fusan market in Korea. Also in Australia the species is of commercial interest: Harrison, Kesteven & Setter (1965:8) listed it among the commercial species of the Gulf of Carpentaria, while Racek (1957:12) mentioned it as the last of the six most important species of New South Wales, and as the fourth in importance of the species taken in offshore waters of Queensland. Rapson & McIntosh (1971:17) reported it as constituting about 7% of the commercial catches in New Guinea (mainly in the Gulf of Papua). The total catch reported for FAO The total catch reported for this species to FAO for 1999 was 144 042 t. The countries with the largest catches were India (93 830t) and Indonesia (31 510 t). One of the most used fishing technique for this species is the "Shrimp outrigger trawling".
Metapenaeus ensis
➢ Maximum carapace length: 3.5 cm (male); 4.2 cm (female) (Ref. 8). Common body length: 7.0 to 14.0 cm (Ref. 409). Minimum depth range from Ref. 111048. Found mainly in turbid waters down to a depth of 95 m over bottoms of mud, sandy-mud or silt. Juveniles are found in estuaries and backwaters, also in seagrass beds, mangrove banks, mud flats, and open channels (Ref. 8) while adults are found in deeper waters (Ref. 10). Juveniles from a riverine mangrove are likely to obtain nutrition from phytoplankton and possibly epiphytic algae than from mangrove leaves or detritus (Ref. 105141). In general, the majority of penaeids are omnivorous or detritus feeders (Ref. 105082). Members of the order Decapoda are mostly gonochoric. Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833). Spawning occurred throughout the year with peak in September (Ref. 94179).
3.63 cm 9.8 cm (male) 11.3 (Female)
3.5 cm dioecism. bearers
External
brooders
2.00 based on individual food items
Parapenaeopsis sculptilis
➢ Minimum depth from Ref. 107878. Juveniles are found in an estuary (Ref. 106922). Inhabits sand, mud, mud flats, mud mixed with shell fragments, fine sloppy alluvial silt, and clean sand with coarse shell and gravel (Ref. 106856). Omnivorous bottom feeder (Ref. 105082). Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833).
n/a 17.0 cm 7.8 cm dioecism.
bearers External
brooders
3.10 s.e 0.35 From individual food items
Metapenaeus tenuipes
➢ Members of the order Decapoda are mostly gonochoric. Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833).
n/a 9.7 cm n/a dioecism.
bearers External
brooders
n/a
Metapenaeus brevicornis
➢ Members of the order Decapoda are mostly gonochoric. Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833).
13.3 cm 15.2cm
http://bppl.kkp.go.id/uploads/publikasi/karya_tulis_ilmiah/Duranta1.pdf
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/
4.2. Pendugaan Stok Udang Kep Men 45/2011 khusus pada WPP 713 menjelaskan bahwa stok ikan demersal berada pada kondisi Over
exploited. Akan tetapi, belum ada informasi yang lebih spesifik terhadap spesies-spesies udang target. Karena
status stok yang tersedia bukan pada tingkat spesies, maka untuk aktivitas lanjutan dalam proses pre
assessment MSC disarankan untuk menggunakan Risk Based Framework (RBF), ditunjang dengan Hasil Kajian
Harvest Control Rules (HCR).
5. Interaksi Perikanan Dengan Ekosistem
5.1. Spesies Primer Spesies Primer adalah spesies yang telah dikelola, spesies ini berada dalam lingkup spesies pada unit
penilaianSpesies primer pada umumnya ialah spesies dengan nilai komersial yang tinggi, baik di dalam atau
diluar unit penilaian, dengan alat pengelolaan yang mengatur pemanfaatan dan memiliki reference point.
Selain itu lembaga atau pengaturan yang mengelola spesies (atau stok spesies tersebut) biasanya akan memiliki
wilayah yang sama dengan perikanan yang dinilai.
Tabel 9: Nama spesies primer yang tertangkap dengan menggunakan Pancing
Nama Populer : Endevour prawn
Nama Indonesia : Udang Ende
Nama Ilmiah : Metapenaeus ensis
Nama Populer : Rainbow shrimp
Nama Indonesia : Udang Kerosok
Nama Ilmiah : Parapenaeopsis
sculptilis
Nama Populer : Stork shrimp
Nama Indonesia : Udang Lampis
Nama Ilmiah : Metapenaeus
tenuipes
Nama Populer : Yellow shrimp
Nama Indonesia : Udang Bintik
Nama Ilmiah : Metapenaeus
brevicornis
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/
Tabel 10: Karakteristik biologi dari spesies primer Nama Ilmiah Karakteristik Umum Panjang
rata-rata (cm)
panjang maksimum
(cm)
panjang dewasa
(cm)
Strategi reproduksi
Trophic level
Metapenaeus ensis
➢ Maximum carapace length: 3.5 cm (male); 4.2 cm (female) (Ref. 8). Common body length: 7.0 to 14.0 cm (Ref. 409). Minimum depth range from Ref. 111048. Found mainly in turbid waters down to a depth of 95 m over bottoms of mud, sandy-mud or silt. Juveniles are found in estuaries and backwaters, also in seagrass beds, mangrove banks, mud flats, and open channels (Ref. 8) while adults are found in deeper waters (Ref. 10). Juveniles from a riverine mangrove are likely to obtain nutrition from phytoplankton and possibly epiphytic algae than from mangrove leaves or detritus (Ref. 105141). In general, the majority of penaeids are omnivorous or detritus feeders (Ref. 105082). Members of the order Decapoda are mostly gonochoric. Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833). Spawning occurred throughout the year with peak in September (Ref. 94179).
3.63 cm 9.8 cm (male)
11.3 (Female)
3.5 cm dioecism.
bearers
External brooders
2.00 based on
individual food items
Parapenaeopsis sculptilis
➢ Minimum depth from Ref. 107878. Juveniles are found in an estuary (Ref. 106922). Inhabits sand, mud, mud flats, mud mixed with shell fragments, fine sloppy alluvial silt, and clean sand with coarse shell and gravel (Ref. 106856). Omnivorous bottom feeder (Ref. 105082). Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833).
n/a 17.0 cm 7.8 cm dioecism.
bearers External
brooders
3.10 s.e 0.35 From individual food items
Metapenaeus tenuipes
➢ Members of the order Decapoda are mostly gonochoric. Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833).
n/a 9.7 cm n/a dioecism.
bearers
External brooders
n/a
Metapenaeus brevicornis
➢ Members of the order Decapoda are mostly gonochoric. Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833).
13.3 cm 15.2cm n/a dioecism.
bearers
External brooders
n/a
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/
5.2. Spesies Sekunder Spesies sekunder meliputi ikan yang tidak dikelola menurut reference point termasuk burung, mamalia,
reptil serta amfibi (seluruh spesies diluar cakupan standar MSC) yang bukan merupakan spesies ETP. Tipe
spesies ini dalam beberapa kasus sering dimanfaatkan untuk umpan atau konsumsi kru kapal/nelayan dan
keperluan lainnya. Pada beberapa kasus spesies ini merupakan hasil tangkapan sampingan yang tidak
diinginkan namun tidak dapat dihindari. Mengingat status spesies ini umumnya tidak dikelola, maka
terdapat kemungkinan tidak tersedia pengaturan menggunakan reference point dari biomasa atau tingkat
kematian akibat penangkapan (fishing mortality), begitu juga keterbatasan data yang tersedia
Tabel 11: Nama Spesies Sekunder
Nama Populer : Blue swimming crab
Nama Indonesia : Rajungan
Nama Ilmiah : Portunus pelagicus
Nama Populer : Indian Mackerel
Nama Indonesia : Ikan Kembung
Nama Ilmiah : Rastrelliger kanagurta
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/
Tabel 12: Karakteristik biologi dari spesies sekunder
Nama Ilmiah Karakteristik Umum Panjang rata-rata
(cm)
panjang maksimum
(cm)
panjang dewasa
(cm)
Strategi reproduksi
Trophic level
Portunus pelagicus
➢ Carapace rough to granulose, regions discernible; front with 4 acutely triangular teeth; 9 teeth on each anterolateral margin, the last tooth 2 to 4 times larger than preceding teeth. Chelae elongate in males; larger chela with conical tooth at base of fingers; pollex ridged. Color: males with blue markings, females dull green.
➢ Matures at about 1 year. Collected mainly by artisanal traps, trawls, beach seines, cylindrical wire traps, folding traps, pots, hop nets, drop nets, and sunken crab gill nets. In shallow waters, it is caught using beach seines, rakes, and dab nets. Sold in local markets (fresh or frozen) and for the crab-flesh canning industry. Most widely sold in markets of Southeast Asia, including the Philippines (Ref. 343). Maximum depth from Ref. 801. Immediate subtidal to a depth of 40 m (Ref. 801), on sandy to sandy-muddy
9.2 cm (male) 8.5 cm (female)
24 cm 7.9 – 9.0 cm
dioecism. bearers External brooders
2.48 s.e 0.19 From diet composition
substrates in areas near reefs, mangroves, and sea grass and algal beds (Ref. 343). Juveniles tend to occur in shallow intertidal areas (Ref. 343). Burrows in sand when disturbed; carnivorous and voracious predator (Ref. 801). Host to protozoans, helminths and crustaceans (Ref. 104981). Members of the order Decapoda are mostly gonochoric. Mating behavior: Precopulatory courtship ritual is common (through olfactory and tactile cues); usually indirect sperm transfer (Ref. 833). Berried females found throughout the year; abundant from September to March with peaks in September to December and January (Ref. 99882).
Rastrelliger kanagurta
➢ Adults occur in coastal bays, harbors and deep lagoons, usually in some turbid plankton-rich waters. Form schools. Feed on phytoplankton (diatoms) and small zooplankton (cladocerans, ostracods, larval polychaetes, etc.) (Ref. 9684). Small groups were seen eating eggs of Cheilio inermis straight after spawning (Ref. 48637). Adult individuals feed on macroplankton such as larval shrimps and fish. Eggs and larvae are pelagic (Ref. 6769). Generally marketed fresh, frozen, canned, dried-salted, and smoked; also made into fish sauce (Ref. 9684).
25 cm 42.1 cm
(TL)
20 24.5 cm
Dioecism. Batch spawner
3.19 s.e 0.38 From individual food items
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/
5.3. Spesies Dilindungi Dan Terancam Punah Tidak ada informasi mengenai interaksi dengan spesies ETP. Akan tetapi, masih ditemukan tangkapan sampingan berupa Kepiting Tapal Kuda pada setiap aktivitas penangkapan menggunakan Jaring Gondrong.
Tabel 13: Informasi mengenai spesies ETP dan penanganannya
Spesies Frekuensi tertangkap Penanganan
Kepiting Tapal Kuda Jarang Dilepas kembali ke alam
5.4. Dampak Praktik Perikanan Terhadap Habitat Dasar Laut Operasi penangkapan udang di daerah Pasir dan Lumpur tidak menimbulkan dampak negative bagi habitat
udang itu sendiri yang dalam hal ini adalah dasar perairan. Menurut para nelayan, jaring gondrong sering
tersangkut dengan jaring jaring nelayan lain yang operasinya juga berdekatan, akan tetapi jaring tersebut
selalu diangkat. Tidak ada jaring gondrong yang dibiarkan tertinggal, dan menumbuhkan ghost fishing.
Biasanya nelayan hanya terapung-apung atau tidak melabuh jangkar dalam pengoperasian jaring
gondrong. .
5.5. Efek Pada Rantai Makanan (Trophic Effect) Udang mempunyai tingkat tropik sebesar 2,5 – 3 dan merupakan kelompok ikan omnivora yang banyak
memanfaatkan tumbuhan dan hewan yang relatif seimbang. Kelompok udang ini terdiri dari:udang dogol,
udang putih, udang kuning, udang wangkang,
6. Pengelolaan Perikanan
6.1. Badan Pengelola Perikanan Pengelolaan perikanan secara nasional dikontrol oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun UU 31
th 2004 dan direvisi melalui UU 45 th 2009 menyatakan bahwa untuk kapal berukuran dibawah 5 GT tidak
perlu dicatat dan bebas menangkap ikan di perairan manapun di Indonesia. Akan tetapi, sanagt disarankan
untuk mendaftarkan kapal berukuran 5GT baik di pemerintah desa, kabupaten maupun propinsi.
Selain itu UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, telah mengatur prihal kewenangan untuk
pengelolaan sumberdaya termasuk sumberdaya kelautan dan perikanan tikingkat daerah. Dimana
didalamnya berisikan bahwa Pemerintah Provinsi berperan sebagai pengelola ruang laut sampai 12 mil
diluar minyak dan gas bumi, termasuk urusan di bidang perikanan tangkap, budidaya, dan pengawasan
sumberdaya kelautan dan perikanan dibawah 12 mil laut.
6.2. Strategi Pengelolaan Perikanan Secara Umum Pengelolaan perikanan yang diatur melalui UU 31 th 2004 dan direvisi melalui UU 45 th 2009 menyatakan
bahwa tugas Menteri adalah untuk memberikan aturan mengenai potensi dan pemanfaatan sumberdaya;
mendefinisikan jumlah tangkapan yang dibolehkan; jenis, jumlah dan ukuran alat tangkap; musim
penangkapan dan penutupan pemanfaatan ikan; ukuran dan minimal berat spesies ikan yang boleh
ditangkap; perlindungan perikanan; spesies dilindungi. Aturan yang saat ini dibuat belum ada dan belum
mencukupi untuk mengelola perikanan karang menggunakan hand line dan troll and line, karena alat
tangkap ini dianggap memiliki dampak yang rendah terhadap ekosistem.
6.3. Pengelolaan Perikanan Tertentu Rencana pengelolaan perikanan khusus untuk perikanan udang menggunakan jaring gondrong belum
dibuat secara spesifik oleh KKP. Akan tetapi sudah ada peraturn tentang pelarangan penggunaan Pukat
Tarik dan Pukat Hela di WPP NRI, yang tertuang dalam PERMEN KP No. 2 Tahun 2015.
Saat ini belum ada Peraturan mengenai Zonasi wilayah pemanfaatan di daerah perairan Kotabaru. Oleh
karena itu sangat diperlukan Peraturan dimana didalamnya berisikan tentang penetapan perairan Kotabaru
sebagai kawasan konservasi perairan daerah Kotabaru. Selain itu, perlu diadakan suatu pengelolaan
perikanan di tingkat daerah yang mengatur tentang aktifitas perikanan Udang. Dengan begitu, aktifitas
penangkapan Udang di Kotabaru akan dapat dikelola dengan baik.
Selanutnya ada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KEPMEN KP) No 80 Tahun 2016 tentang
Rencana Pengelolaan Perikanan di WPP 713, dimana perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan termasuk
dalam cakupannya. Didalam KEPMEN KP No. 80 tahun 2016 ini, adalah Pengelolaan Perikanan di tingkat
WPP 713 dan panduan untuk wilayah pemerintahan Propinsi atau Kabupaten dalam mengadopsi dan
membuat pengelolaan perikanan di tingkat daerah.
6.4. Subsidi Perikanan Aktivitas perikanan nelayan udang di Kabupaten Kotabaru sudah mendapat dukungan dari beberapa
instansi terkait, tetapi belum merata sepenuhnya. Saat ini, subsidi perikanan yang diterapkan di Kotabaru
akan memasukkan kaidah-kaidah perikanan berkelanjutan.
7. Penilaian Awal Perikanan Terhadap Prinsip Dan Kriteria MSC
7.1. Prinsip 1. Keberlanjutan Stok Perikanan No Indikator
performa Isu dalam penilaian Dibawah (< SG 60) Sesuai
(SG 60-80) Diatas (> SG 80) Referensi
1.1.1
Status stok/sumber daya X
Tingkat produktivitas stok dapat terjaga dengan baik dan kemungkinan terjadinya kelebihan tangkap (overfishing) relatif kecil
a) status stok relatif terhadap gangguan pada rekrutmen
Berdasarkan KEP MEN No. 45 Tahun 2011, status stok ikan demersal secara umum berada pada kondisi Over Exploited. Akan tetapi status stok spesifik untuk spesies-spesies Udang yang ada belum memiliki kajian
b) stok status dalam kaitannya dalam mencapai MSY
1.1.2 Pemulihan Stok X
Ketika diketahui stok berkurang, terdapat bukti adanya strategi pemulihan stok yang disiapkan dalam jangka waktu yang spesifik.
a) Jangka waktu pemulihan Belum adanya strategi jangka waktu untuk pemulhan stok sumberdaya yang menurun Belum tersedianya skema evaluasi pemulihan stok sumberdaya Sudah adanya tools untuk mengkaji pemulihan stok (RBF) akan tetapi belum dijalankan karena belum tersedianya data yang mendukung
b) Evaluasi pemulihan
1.2.1 Strategi penangkapan (harvest strategy) X Permen 29/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di Bidang Penangkapan Ikan
KEPMEN KP No. 80 tahun 2016 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan di WPP 713
Terdapat strategi penangkapan yang tegas
a) desain strategi penangkapan
Saat ini belum ada strategi pemanfaatan ditingkat dimana pemanfaatan dilakukan. Namun, pemerintah sudah mengeluarkan peraturan mengenai pembuatan rencana pengelolaan perikanan yang didalamnya juga mengatur strategi pemanfaatan ikan secara umum (Permen 29/ 2012). Pengelolaan yang ada adalah berdasarkan MPA yang terdapat di beberapa tempat dan terbukti berjalan dengan baik, saat ini mekanisme pemantauan dan pengawasan kurang dilaksanakan dengan baik oleh otoritas pengelolaan. Strategi pengelolaan untuk menjaga kelestarian sumberdaya antara lain disarankan meliputi (i) daerah non tangkap, yang terdiri dari lokasi pemijahan dan daerah perbesaran dan mencari makan ikan kecil, serta (ii) co-management untuk pengelolaan sumberdaya, pemantauan, pengawasan dan
b) evaluasi strategi penangkapan
c) penga-wasan strategi penangkapan
d) review strategi penangkapan
penindakan terjadinya pelanggaran hukum. Jika mekanisme ini terlaksana, sumberdaya bisadipastikan akan terjaga dengan baik. dan Rencana Pengelolaan Perikanan di tingkat WPP, contohnya KEPMEN KP No. 80 tahun 2016 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan di WPP 713. Dimana berisikan pedoman dan panduan untuk pemerintah daerah membuat suatu pengelolaan perikanan di tingkat daerah yang termasuk dalam cakupan WPP 713. Karena strategi pemanfaatan belum ada, maka strategi pemantauan, evaluasi, dan review, juga belum ada ditingkat dimana pemanfaatan dilakukan. Pada Permen 29/2012, diatur mekanisme Pemantauan, Evaluasi dan Review terhadap strategi pemanfaatan Untuk di tingkat daerah, sudah ada strategi tentang penangkapan secara khusus dimana berisikan aturan tentang kegiatan penangkapan ikan di tingkat daerah. Hanya saja
baru sebatas mengatur alat tangkap yang boleh dioperasikan ditingkat daerah.
1.2.2 Perangkat dan peraturan penangkapan X
Terdapat peraturan penangkapan (HCR) yang efektif dan dijalankan secara
a) peraturan penangkapan (HCR) dan penerapannya
Belum adanya PERDA tentang peraturan penangkapan (HCR) dan perangkat yang menerapkan peraturan tersebut.
b) ketegasan peraturan penangkapan (HCR) dalam ketidakpastian
c) evaluasi peraturan penangkapan (HCR)
1.2.3 Informasi/ pemantauan X
Informasi terkait dikumpulkan untuk mendukung strategi penangkapan (harvest strategy)
a) Rentang Informasi Belum tersedianya informasi yang relevan berkaitan dengan struktur stok, produktivitas stok dan komposisi armada yang tersedia untuk mendukung strategi panen. Belum adanya informasi kelimpahan stok dan kepindahan perikanan dipantau dan setidaknya salah satu indikator yang tersedia dan dipantau
b) Pemantauan
c) Kelengkapan informasi
dengan frekuensi yang cukup untuk mendukung aturan kontrol panen Belum adanya kajian ilmiah yang komprehensif terhadap beberapa spesies mengenai unit stok Udang khususnya di perairan Kotabarudan sekitarnya
1.2.4 Penilaian status stok X
Terdapat sistem penilaian status stok yang memadai
a) kelaikan dari status stok yang sedang dikaji
Belum ada informasi yang cukup mengenai unit stok Udang di perairan Kotabaru dan sekitarnya, sehingga kegiatan pendekatan assessment belum bisa diperhitungkan Kegiatan assessment untuk evaluasi belum bisa diperhitungkan karena belum memiliki informasi mengenai stok status Udang di perairan Kotabaru, khususnya yang menjadi fishing ground para nelayan Kotabaru. Kegiatan assessment untuk pendugaan belum bisa diperhitungkan karena belum memiliki informasi mengenai stok status Udang di perairan Kotabaru Kegiatan assessment untuk peer review belum bisa diperhitungkan karena belum memiliki informasi
b) pendekatan penilaian
c) ketidakpastian dalam penilaian
d) evaluasi penilaian
e) peninjauan hasil penilaian
mengenai stok status Udang di perairan Kotabaru
7.2. Prinsip 2. Dampak Praktik Perikanan Terhadap Ekosistem No Indikator performa Isu dalam penilaian Dibawah
(< SG 60) Sesuai (SG 60-80)
Diatas (> SG 80)
Referensi
2.1.1 Status hasil spesies primer X
Unit perikanan, tetap mempertahankan spesies primer berada diatas titik dimana rekrutmen akan terganggu (PRI) dan tidak menghalangi perbaikan dari spesies primer jika mereka berada di bawah PRI
a) status stok spesies primer utama
Belum ada informasi mengenai status stok untuk spesies primer, sehingga belum ada peraturan yang memastikan terjadinya mekanisme recovery jika spesies ini mengalami overexploited. Belum tersedianya informasi mengenai status stok untuk spesies primer, sehingga belum ada langkah pengaturan yang menjaga agar spesies ini tidak mengalami overexploited. Masih ditemukan adanya spesies primer berukuran kecil yang ikut tertangkap dalam operasi penangkapan menggunakan jaring gondrong dengan mata pancing ukuran nomor 10 Belum adanya kajian
b) status stok spesies primer minor
mengenai pengaruh ukuran mata pancing nomor 10 terhadap ukuran spesies primer hasil tangkapan Perlu ada pengkajian menggunakan mekanisme Risk Based Framework (RBF) untuk status hasil tangkapan spesies primer menggunakan pancing ulur dengan mata jaring ukuran 5 inc dan 1.6 inc.
2.1.2 Strategi pengelolaan Spesies primer X
Terdapat strategi atau sistem pengelolaan tertentu yang dibangun untuk menjaga atau tidak menghalangi proses pemulihan stok, dan unit yang dinilai secara reguler di review dan menerapkan langkah pengelolaan, seperti meminimalisir tingkat kematian dari tangkapan yang tidak diinginkan
a) strategi pengelolaan tersedia
Belum ada strategi pengelolaan, evaluasi strategi pengelolaan dan penerapan strategi pengelolaan untuk spesies primer mengingat strategi pengelolaannya belum tersedia.
b) evaluasi strategi pengelolaan
c) penerapan strategi pengelolaan
2.1.3 Informasi X
Informasi yang memuat keterangan mengenai sifat dan status spesies non-target cukup memadai
a) ketersedian informasi untuk menilai dampak dari spesies utama
Belum adanya informasi yang memuat keterangan mengenai sifat dan status spesies non-target efektif
untuk menentukan resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas perikanan dan memastikan keefektifan strategi yang digunakan dalam mengelola Spesies primer yang dimanfaatkan
b) ketersediaan informasi untuk menilai dampak dari spesies minor
sebagai bagian dari strategi yang digunakan dalam mengelola Spesies primer yang dimanfaatkan Masih ditemukan adanya spesies non-target berukuran kecil yang ikut tertangkap dalam operasi penangkapan spesies primer menggunakan jaring gondrong dengan mata jaring ukuran 5inc dan 1.6 inc. Belum adanya kajian terkait dampak dari penggunaan mata jaring ukuran 5 inc dan 1.6 inc. terhadap spesies non-target dalam operasi penangkapan jaring gondrong Perlu ada pengkajian menggunakan mekanisme Risk Based Framework (RBF) untuk status hasil tangkapan non-target menggunakan jaring gondrong , dengan mata jaring ukuran 5 inc dan 1.6 inc.
2.2.1 Status hasil spesies sekunder X
Unit perikanan, tetap mempertahankan spesies primer berada diatas titik
a) status stok spesies sekunder utama
Belum ada informasi mengenai status stok untuk spesies sekunder,
batas biologi dan tidak menghalangi perbaikan dari spesies primer jika mereka berada di bawah batas biologi
b) status stok spesies sekunder minor
sehingga belum ada peraturan yang memastikan terjadinya mekanisme recovery jika spesies ini mengalami overexploited. Belum tersedianya informasi mengenai status stok untuk spesies sekunder, sehingga belum ada langkah pengaturan yang menjaga agar spesies ini tidak mengalami overexploited. Masih ditemukan adanya spesies sekunder berukuran kecil yang ikut tertangkap dalam operasi penangkapan menggunakan jaring gondrong dengan mata jaring ukuran 5inc dan 1.6 inc. Belum adanya informasi mengenai pengaruh ukuran mata jaring ukuran 5inc dan 1.6 inc terhadap ukuran spesies sekunder hasil tangkapan Perlu ada pengkajian menggunakan mekanisme Risk Based Framework (RBF) untuk status hasil tangkapan spesies sekunder menggunakan pancing ulur dengan mata jaring ukuran 5 inc dan 1.6 inc.
2.2.2 Strategi pengelolaan Spesies sekunder X
Terdapat strategi atau sistem pengelolaan tertentu yang dibangun untuk menjaga atau tidak menghalangi proses pemulihan stok, dan unit yang dinilai secara reguler di review dan menerapkan langkah pengelolaan, seperti meminimalisir tingkat kematian dari tangkapan yang tidak diinginkan
a) strategi pengelolaan tersedia
Belum ada strategi pengelolaan, evaluasi strategi pengelolaan dan penerapan strategi pengelolaan untuk spesies sekunder mengingat strategi pengelolaannya belum tersedia.
b) evaluasi strategi pengelolaan
c) penerapan strategi pengelolaan
2.2.3 Informasi x
Informasi yang memuat keterangan mengenai sifat dan status spesies non-target cukup memadai untuk menentukan resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas perikanan dan memastikan keefektifan strategi yang digunakan dalam mengelola Spesies sekunder yang diman-faatkan
a) ketersediaan informasi untuk menilai dampak dari spesies utama
Belum adanya informasi yang memuat keterangan mengenai sifat dan status spesies non-target efektif sebagai bagian dari strategi yang digunakan dalam mengelola Spesies sekunder yang dimanfaatkan Masih ditemukan adanya spesies non-target berukuran kecil yang ikut tertangkap dalam operasi penangkapan spesies sekunder menggunakan jaring gondrong dengan mata jaring ukuran 5 inc dan 1.6 inc. Belum adanya informasi terkait dampak dari penggunaan mata jaring ukuran 5 inc dan 1.6 inc.
b) ketersediaan informasi untuk menilai dampak dari spesies minor
terhadap spesies non-target dalam operasi penangkapan jaring gondrong Perlu ada pengkajian menggunakan mekanisme Risk Based Framework (RBF) untuk status hasil tangkapan non-target menggunakan jaring gondrong , dengan mata jaring ukuran 5 inc dan 1.6 inc.
2.3.1 Status hasil spesies hampir punah, terancam punah, dan dilindungi (Endangered Threatened Protected - ETP)
X
PER MEN 30 tahun 2012
Tentang Usaha Perikanan
Tangkap di WPPN RI Pasal
73.
KEP. DIRJEN Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem NO : SK. 180/IV-KKH/2015 Tentang Penetapan Dua Puluh Lima Satwa Terancam Punah Prioritas Untuk Ditingkatkan Populasinya Sebesar 10% Pada Tahun 2015 – 2019
Unit perikanan mematuhi peraturan local, regional dan internasional terkait perlindungan spesies ETP
a) Efek dari unit perikanan dalam populasi/ stok di tingkat nasional atau internasional diterapkan
Masih ada informasi terkait penangkapan dan pemanfaatan spesies ETP
b) efek langsung
c) efek tidak langsung
2.3.2 Strategi Pengelolaan Spesies ETP
x PER MEN 30 tahun 2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPPN RI Pasal
73. KEP. DIRJEN Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem NO : SK. 180/IV-KKH/2015 Tentang Penetapan Dua Puluh Lima Satwa Terancam Punah Prioritas Untuk Ditingkatkan Populasinya Sebesar 10% Pada Tahun 2015 – 2019
Perikanan memiliki langkah-langkah pencegahan dalam rangka: - memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam skala nasional dan internasional;
- memastikan bahwa aktivitas perikanan tidak menimbulkan resiko serius atau kerusakan permanan pada ETP species; dan
- Terdapat strategi atau sistem pengelolaan tertentu yang dibangun untuk menjaga atau tidak menghalangi proses pemulihan stok, dan unit yang dinilai secara reguler di review dan menerapkan langkah pengelolaan, seperti meminimalisir tingkat kematian dari tangkapan
a) strategi pengelelolaan tersedia (nasional dan internasional)
Sudah adanya peraturan terkait strategi pengelolaan spesies ETP. Saat ini Indonesia melaksanakan strategi pengelolaan yang memasukkan napoleon kedalam CITES Appendix II yang memastikan pemanfaatan terhadap spesies ini dibatasi oleh kuota terbatas. Strategi kuota dan pengiriman spesies ini hanya lewat dua bandara utama di Indonesia (Jakarta dan Bali), terbukti meminimalkan pemanfaatan ikan napoleon. Komunikasi yang dilakukan dengan Sasanti Suharti (LIPI 2013 Pers. Comm.) menyebutkan bahwa pada beberapa titik lokasi pemantauan LIPI, jumlah stok ikan napoleon telah meningkat paling tidak dua kali lipat.
-
b) strategi pengelelolaan tersedia (alternatif)
c) evaluasi strategi pengelolaan
d) penerapan strategi pengelolaan
e) mereview langkah pengelolaan alternative untuk meminimalisir tingkat kematian dari spesies ETP
Peraturan Mentri terkait strategi pengelolaan ETP memiliki kekuatan hukum sehingga dapat digunakan untuk memaksa nelayan mematuhi isi peraturan tersebut. Adanya keputusan DIRJEN Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, kementerian Lingkungan Hidup yang menargetkan kenaikan populasi hewan terancam punah pada tahun 2015 – 2019 yang didalamnya termasuk penyu.
2.3.3 Informasi X
Beberapa informasi terkait dikumpulkan dalam rangka mendukung sistem pengelolaan dampak yang diakibatkan aktivitas penangkapan terhadap ETP species, a.l.: - informasi yang
mendukung pengembangan strategi pengelolaan;
- informasi untuk menilai keefektifan strategi pengelolaan; dan
- informasi untuk menentukan status hasil ETP species.
a) ketersediaan informasi untuk penilian dampak
Belum adanya informasi yang kualitatif untuk memperkirakan tingkat mortalitas spesies ETP dari Belum adanya informasi yang memadai terkait pengaruh praktek perikanan Udang terhadap spesies ETP. Belum adanya informasi yang memadai terkait strategi pengelolaan dari spesies ETP
b) ketersediaan informasi untuk strategi pengelolaan
2.4.1 Status habitat X (Rusmilyansari, 2012)
Aktivitas perikanan tidak menimbulkan bahaya serius atau kerusakan
a) Commonly encountered habitat status
Berdasarkan referensi
yang ada, perikanan udang
permanen terhadap struktur habitat berdasarkan basis dan fungsi regional serta bioregional.
b) VME habitat Status
tangkap yang
menggunakan Jaring
gondrong memiliki
dampak yang sangat kecil
terhadap ekosistem pasir
dan lupur, sehingga
perikanan jaring gondrong
dapat dikategorikan
perikanan yang ramah
lingkungan. Akan tetapi
ukuran mata jaring harus
diperhatikan. Karena
berpengaruh terhadap
ekosistem
c) Minor habitat Status
d)dampak dari peningkatan aktivitas dari perikanan yang dikaji
2.4.2 Strategi Pengelolaan Habitat
x UU RI No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Terdapat strategi yang dibuat untuk memastikan bahwa aktivitas perikanan tidak menimbulkan bahaya serius atau kerusakan permanen terhadap berbagai jenis habitat.
a) terdapat strategy pengelolaan
sudah adanya strategi pengelolaan (UU no 27 tahun 2007) untuk memastikan habitat berada dalam kondisi yang baik .
b) evaluasi strategi pengelolaan
c) strategi penge-lolaan diimple-mentasikan
d) Patuh terhadap syarat pengelolaan lain, didalam wilayah perikanan yang dikaji, dan diluarnya
2.4.3 Informasi X
Ketersediaan informasi a) kualitas informasi Belum tersedianya
untuk menentukan resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas penangkapan terhadap berbagai macam jenis habitat dan memastikan keefektifan strategi yang digunakan dalam mengelola dampak terhadap habitat-habitat tersebut.
b)ketersediaan informasi untuk penilaian dampak terhadap habitat
informasi terkait habitat Udang di Kotabaru
c) pemantauan
2.5.1 Status Ekosistem X
Peningkatan aktivitas perikanan tidak menimbulkan bahaya serius atau kerusakan permanen terhadap unsur-unsur pokok dari struktur dan fungsi ekosistem.
a) status ekosistem
Belum tersedianya informasi mengenai status ekosistem di perairan Kotabaru Belum tersedianya informasi yang cukup terkait pengaruh dari penangkapan Udang dengan menggunakan pancing tidak akan mengganggu unsur-unsur utama yang mendasari struktur dan fungsi ekosistem ke titik di mana akan ada bahaya serius atau tidak dapat diperbaiki
b) Dampak pada saat terjadi peningkatan aktivitas
2.5.2 Strategi pengelolaan ekosistem X PP No. 60 Tahun 2007
tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan
Terdapat langkah-langkah tertentu untuk memastikan bahwa aktivitas perikanan tidak menimbulkan bahaya serius atau kerusakan
a) terdapat strategi pengelolaan
Terdapat peraturan yang menyatakan bahwa perlindungan ekosistem dapat dilakukan jika aktivitas penangkapan kerapu berpotensi
b) evaluasi strategi pengelolaan
c) penerapan strategi pengelolaan
permanen terhadap struktur dan fungsi ekosistem.
d) pengelolaan pada saat terjadi peningkatan aktivitas
mengganggu fungsi ekosistem Desain strategi pengelolaan mempertimbangkan perlunya langkah pengelolaan pengelolaan yang memperhitungan pengaruh aktivitas penangkapan terhadap ekosistem. Langkah pengelolaan ketika diimplementasikan sesuai dengan amanat PP 60 tahun 2007 dapat menjaga keseimbangan ekosistem. Masih ditemukan adanya aktivitas penangkapan Udang yang berukuran belum layak tangkap dengan menggunakan jaring gondrong sehingga dapat mengganggu fungsi ekosistem
2.5.3 Informasi/ monitoring ekosistem X
Terdapat pengetahuan yang memadai mengenai dampak-dampak yang disebabkan aktivitas perikanan yang meningkat, terhadap ekosistem
a) Kualitas informasi Ketersediaan data ekosistem belum cukup memberikan informasi mengenai struktur dan fungsi trophik, komposisi komunitas, keanekaragaman dan pola produktivitas ekosistem. Pengaruh aktivitas penangkapan ikan kerapu terhadap elemen
b) Investigasi terhadap dampak perikanan terkait terhadap ekosistem
c)Pemahaman komponen fungsi
d) Informasi yang relevan
e) Pemantauan
ekosistem belum dikaji. Pemahaman terhadap fungsi komposisi ekosistem belum diketahui Relevansi informasi terhadap komponen dan elemen ekosistem belum diketahui. Pemantauan belum mencukupi untuk mengetahui tingkat resiko aktivitas perikanan terhadap ekosistem.
7.3. Prinsip[ 3. Efektifitas Pengelolaan Perikanan No Indikator
performa Isu dalam penilaian Dibawah
(< SG 60) Sesuai (SG 60-80)
Diatas (> SG 80)
Referensi
3.1.1 Kerangka hukum atau kerangka yang biasa digunakan untuk peraturan dan kebijakan
X UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau –Pulau Kecil PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan UU 31 th 2004 Tentang Perikanan
Sistem pengelolaan yang ada cukup efektif dan sesuai dengan kerangka hukum atau kerangka yang sudah biasa digunakan untuk
a) Kecocokan peraturan yang ada dengan pengelolaan yang dijalankan
KKP mengelola perikanan yang memiliki kapal > 30 GT dan daerah tangkapan antara 12-200 mil. Daerah operasi hingga 4 mil dan menggunakan
b) penyelesaian perkara (Sengketa)
memastikan bahwa sistem pengelolaan tersebut: - Mampu menjalankan
perikanan secara berkelanjutan dan memenuhi persyaratan yang tercantum pada prinsip 1 dan 2 Marine Stewardship Council/MSC;
- Mematuhi hak-hak hukum yang dibuat secara eksplisit atau tercipta karena kebiasaan masyarakat yang bergantung pada sektor perikanan (baik pangan maupun mata pencaharian); serta
- Merumuskan mekanisme penyelesaian perselisihan yang tepat.
c) penghargaan kepada hak
kapal dibawah 5 GT untuk penangkapan ikan karang dikelola oleh DKP Kabupaten. Hal yang perlu dipikirkan adalah belum adanya rencana pengelolaan untuk perikanan karang sesuai amanat UU 31 th 2004, meskipun saat ini sedang dibangun strategi pengelolaan perikanan karang.
3.1.2 Konsultasi, peran dan tanggung jawab dalam Peraturan dan kebijakan
X
Sistem pengelolaan memiliki proses konsultasi yang efektif dan terbuka bagi seluruh pihak yang tertarik dan berkepentingan. Tugas dan tanggung jawab setiap individu dan organisasi yang terlibat di dalam proses pengelolaan jelas dan dapat dipahami oleh seluruh pihak terkait.
a) peran dan tanggungjawab
Sudah ditetapkannya organisasi dan individu yang terlibat dalam proses manajemen. Fungsi, peran dan tanggung jawab secara eksplisit sudah didefinisikan dan dipahami dengan baik untuk bidang utama tanggung jawab dan interaksi. Belum adanya informasi terkait sistem manajemen yang mencakup proses konsultasi yang secara teratur mencari dan menerima informasi yang
b) proses konsultasi
c) partisipasi
relevan, termasuk pengetahuan lokal. Belum adanya informasi terkait proses konsultasi yang memberikan kesempatan bagi semua pihak yang berkepentingan dan terpengaruh untuk terlibat.
3.1.3 Tujuan jangka panjang dalam Peraturan dan kebijakan
X UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang direvisi melalui UU No. 45 Tahun 2009.
Kebijakan pengelolaan memuat tujuan jangka panjang yang jelas dan konsisten dengan Prinsip dan Kriteria MSC serta sesuai dengan pendekatan kehati-hatian sebagai panduan dalam proses pengambilan keputusan.
Tersedianya informasi serta regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang keberlanjutan spesies, ekosistem, habitat serta rencana-rencana strategis jangka panjang untuk mengatur hal-hal tersebut
3.2.1 Tujuan perikanan secara khusus X
Perikanan memiliki tujuan jelas yang dirancang khusus dalam rangka mencapai hasil-hasil yang termuat di dalam Prinsip 1 da 2 MSC.
Belum adanya informasi mengenai tujuan jangka pendek dan panjang, yang konsisten dengan pencapaian hasil diungkapkan oleh MSC Prinsip 1 dan 2 dari praktek perikanan Udang secara khusus di perairan Kotabaru dan sekitarnya
3.2.2 Proses pengambilan keputusan X
Sistem pengelolaan perikanan tertentu turut
a)proses pengambilan keputusan
Belum adanya mekanisme proses yang didirikan
menyertakan proses pengambilan keputusan yang efektif mengenai langkah-langkah dan strategi guna mencapai tujuan.
b)Respon terhadap proses pengambilan keputusan
untuk pengambilan keputusan yang menghasilkan langkah dan strategi untuk mencapai tujuan perikanan spesifik. Belum adanya mekanisme proses pengambilan keputusan yang menanggapi isu-isu penting serius dan lain yang diidentifikasi dalam penelitian yang relevan, monitoring, evaluasi dan konsultasi, dalam cara yang tepat waktu dan adaptif transparan dan memperhitungkan implikasi yang lebih luas Belum terbentuknya proses pengambilan keputusan yang menggunakan pendekatan kehati-hatian dan didasarkan pada informasi terbaik yang tersedia. Belum adanya informasi tentang kinerja perikanan dan tindakan manajemen yang tersedia berdasarkan permintaan, dan penjelasan yang diberikan untuk setiap tindakan atau kurangnya tindakan yang terkait dengan temuan dan rekomendasi yang relevan yang muncul dari penelitian, pemantauan dan evaluasi kegiatan ulasan.
c) Menerap-kan prinsip kehati-hatian
d)Akuntabilitas dan transparansi dari mekanisme pengelolaan dalam proses pengambilan keputusan pada saat terjadi perselisihan
(e) Pendekatan pada saat perselisihan
Belum adanya sistem manajemen yang berupaya untuk memenuhi secara tepat waktu dengan keputusan pengadilan yang timbul dari tantangan hukum
3.2.3 Kesesuaian dan pelaksanaan peraturan X
Mekanisme monitoring, kontrol dan pengawasan memastikan bahwa langkah-langkah pengelolaan perikanan dilaksanakan dan sesuai dengan peraturan.
a) penerapan monitoring, kontrol dan pengawasan (MCS)
Belum Terbangun mekanisme pemantauan dan pengawasan di daerah perairan Kotabaru Khususnya Perairan Kotabaru.
b) Sanksi
c) kepatuhan
d) sistematika ketidakpatuhan
3.2.4 Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan
X
Terdapat sistem untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan sistem pengelolaan perikanan tertentu terhadap pencapaian tujuan. Sistem pengelolaan perikanan tertentu dibahas ulang secara efektif dan tepat waktu.
a) lingkup evaluasi Belum adanya informasi terkait mekanisme perikanan yang mengevaluasi bagian penting dari sistem manajemen. Belum adanya sistem pengelolaan perikanan spesifik yang tunduk pada review internal dan eksternal yang dilakukan secara berkala.
b) review internal dan atau external
8. Kesimpulan Dan Rekomendasi Sertifikasi ekolabel MSC mengharuskan perikanan yang akan disertifikasi harus memenuhi persyaratan sesuai
dengan 3 prinsip; keberlanjutan stok perikanan, minimnya dampak terhadap ekosistem, serta dikelola dengan
peraturan yang efektif. Kajian kelayakan untuk nelayan penangkap udang yang dilaksanakan di Kotabaru secara
umum mengindikasikan bahwa banyak kelemahan berada di kurangnya data seperti status stok udang serta
peraturan mengenai dan implementasi pengelolaan perikanan.
Komitmen Yayasan WWF-Indonesia bersama PT. Sekar Laut untuk melakukan aktivitas kelestarian sumberdaya
sudah baik. Kurangnya data yang dibutuhkan mengakibatkan pengelolaan perikanan juga belum lengkap
tersedia sehingga disarankan agar praktek penangkapan oleh nelayan dampingan perlu diperbaiki agar sesuai
dengan standar keberlanjutan yang ada pada prinsip MSC, Sepertipadad table berikut;
No Kesimpulan Rekomendasi 1 Masih kurangnya data yang berkaitan
tentang status stok udang di Kotabaru Melakukan kajian terkait stok udang di Kotabaru, Kalimantan Selatan
2 Masih adanya penggunaan mini trawl dalam penangkapan udang di Kotabaru
Tidak membeli udang dari hasil tangkapan Mini Trawl (Menindak lanujuti kebijakan dari PERMEN KP No. 2 Tahun 2015)
3 Belum adanya kelompok nelayan yang menjadi supplier tetap PT. Sekar Laut
Membentuk kelompok nelayan yang menjadi supplier tetap PT. Sekar Laut
4 Belum dijalankannya pencatatan logbook hasil tangkapan
Melakukan sosialisasi terkait Logbook agar nelayan dapat menjalankan logbook
5 Belum adanya pengelolaan perikanan di tingkat daerah yang mengatur tentang kuota tangkap dan penangkapan udang yang berkelanjutan
Mendorong pemerintah setempat untuk mengeluarkan peraturan kuota udang dengan kajian Harvest Strategy dan Harvest Control Rule