laporan penelitian penataan kelembagan reforma …
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN
PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA AGRARIA
UNTUK MEMPERCEPAT PENERAPAN REFORMA AGRARIA
DI KABUPATEN SANGGAU KALIMANTAN BARAT
Disusun oleh :
Sutaryono
Wahyuni
Sukmo Pinuji
KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/
BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
2019
i
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN
PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA AGRARIA
UNTUK MEMPERCEPAT PENERAPAN REFORMA AGRARIA
DI KABUPATEN SANGGAU KALIMANTAN BARAT
Oleh:
Sutaryono
Sukmo Pinuji
Wahyuni
Telah dipaparkan dan disetujui pada Seminar Hasil Penelitian
di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
pada Tanggal Nopember 2019
a.n. Ketua STPN
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Bambang Suyudi, ST. MT.
ii
PENGANTAR
Kegelisahan peneliti dalam mensikapi lambatnya penyelenggaraan reforma agraria
di berbagai wilayah mendapatkan momentum yang tepat pada saat melakukan penelitian
berkenaan dengan penataan kelembagaan reforma agraria di Kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat. Penataan kelembagaan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan
reforma agraria, mengingat kelembagaan yang dipersyaratkan adalah sinergi lintas sektor,
yang realitasnya tidak mudah untuk dilakukan.
Alhamdulillah laporan penelitian yang mengelaborasi gagasan tentang pentingnya
penataan kelembagaan dan berbagi peran antar pemangku kepentingan dalam
menjalankan agenda reforma agraria ini dapat terselesaikan. Hasil dan rekomendasi yang
disampaikan menunjukkan bahwa percepatan pelaksanaan reforma agraria dapat
dilakukan melalui penataan kelembagaan, berbagi peran antar pemangku kepentingan dan
optimalisasi kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
Dalam kesempatan ini, terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
disampaikan kepada Bupati Sanggau beserta jajarannya dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Sanggau beserta jajarannya yang telah memberikan support selama penelitian
lapangan, Terimakasih juga disampaikan kepada Ketua STPN dan Kepala PPPM beserta
jajarannya, Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat dan pihak-pihak yang telah
membantu selama proses penelitian hingga terselesaikannya laporan ini.
Akhir kata, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan
bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna percepatan pelaksanaan reforma
agraria.
Yogyakarta, November 2019
Peneliti
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................................ 4
E. Metode Penelitian ............................................................................................. 12
BAB II GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA DI
KABUPATEN SANGGAU .................................................................................. 15
A. Kondisi Pertanahan ........................................................................................... 15
B. Potensi Tanah Objek Reforma Agraria ............................................................ 15
C. Ketersediaan Data Awal ................................................................................... 18
D. Tahapan Pelaksanaan Reforma Agraria ........................................................... 21
BAB III PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM REFORMA
AGRARIA ............................................................................................................ 24
A. Peran Institusi Pertanahan ................................................................................ 27
B. Peran Institusi Non Pertanahan ........................................................................ 31
BAB IV PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF SOLUSI ............................ 38
A. Permasalahan Yuridis ....................................................................................... 38
B. Permasalahan Kelembagaan dan SDM ............................................................ 40
C. Alternatif Penyelesaian Masalah ...................................................................... 41
BAB V STRATEGI PENATAAN KELEMBAGAAN PELAKSANAAN
REFORMA AGRARIA ....................................................................................... 43
A. Intervensi Kebijakan Pemerintah Kabupaten ................................................... 44
B. Berbagi Peran dalam Pelaksanaan RA ............................................................. 48
C. Optimalisasi Gugus Tugas Reforma Agraria ................................................... 52
BAB VI. PENUTUP……………………………………………………………..54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan yang mengemuka dalam Rapat Kerja Teknis
Direktorat Jenderal Penataan Agraria (Ditjend Pentag) Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Tahun 2019 berkenaan
dengan kelembagaan reforma agraria, khususnya adalah Gugus Tugas Reforma
Agraria (GTRA). Permasalahan tersebut adalah: (a) Gugus Tugas Reforma
Agraria belum efektif dalam pelaksanaannya terutama dalam mengkoordinasikan
penyelenggaraan akses reform/pemberdayaan masyarakat yang terintegrasi
dengan aset reform; dan (b) belum seluruh kegiatan GTRA dilaksanakan, seperti
pengumpulan data TORA/potensi akses reform, sinkronisasi data aset dan akses,
penyusunan data base, penyusunan success story dan laporan (Dirjend Penetaan
Agraria, 2019).
Hal di atas menjadi kontraproduktif dengan arahan Presiden dalam
Rakernas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (10-
12 Januari 2018) yang menyatakan bahwa Reforma Agraria (RA) dan redistribusi
tanah telah dibicarakan bertahun-tahun, tetapi hingga kini belum menjadi
kenyataan. Bahkan ditegaskan bahwa RA bukan sekedar bagi-bagi tanah, tetapi
untuk kesejahteraan masyarakat. Presiden memahami betul bahwa agenda RA
tidak perlu lagi diwacanakan dan didiskusikan, tetapi harus segera dijalankan.
Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa agenda Reforma Agraria tidak
mudah untuk dijalankan.
Landasan politis bagi pemerintah untuk segera melaksanakan RA sudah ada
sejak diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR tersebut
mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk segera menjalankan RA.
Namun, realitas menunjukkan hal yang berbeda. Pada saat rejim SBY berkuasa,
RA didengungkan dengan luar biasa. RA dimaknai sebagai landreform plus
access reform (Joyo Winoto, 2009), yang bertujuan untuk: (1) menata kembali
2
ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah; (2) mengurangi
kemiskinan; (3) menciptakan lapangan kerja; (4) memperbaiki akses rakyat
kepada tanah; (5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (6) memperbaiki
dan menjaga kualitas lingkungan hidup, serta (7) meningkatkan ketahanan pangan
dan ketahanan energi nasional. Dua periode berkuasa, alih-alih meredistribusikan
tanah seluas 8,15 juta hektar, melahirkan regulasi untuk menjalankan agenda RA
saja belum berhasil. Hingga kekuasaan berakhir, hanya berhasil menyusun
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang RA.
Pemerintahan Jokowi, tidak menunjukkan hal yang berbeda. Pelaksanaan
redistribusi tanah sebagai agenda utama berjalan di tempat dan tertinggal dengan
agenda legalisasi asset. Dari target 4,5 juta hektar redistribusi tanah (RPJMN
2015-2019), hingga saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar (5,14%) yang
terbagi menjadi 177.423 bidang tanah (Ditjend Penataan Agraria, 2018). Jauh
tertinggal apabila dibandingkan dengan capaian legalisasi asset. Dari target 3,9
juta hektar, sudah tercapai sekitar 1,79 juta hektar (46,03%). Hal ini menunjukkan
bahwa prioritas ke-agararia-an pemerintah yang sudah ditetapkan, utamanya
berkenaan dengan agenda reforma agraria masih sebatas janji politik.
Salah satu rumusan Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2018
menunjukkan bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan Reforma
Agraria adalah tersedianya TORA yang berasal dari klaster transmigrasi, HGU
yang telah berakhir, tanah terlantar ataupun Tanah Negara lainnya serta TORA
yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. Ketersediaan TORA, baik dalam
kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, telah diatur melalui dua peraturan
presiden yang berbeda. Untuk TORA dalam kawasan hutan telah diatur melalui
Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam
Kawasan Hutan (PPTKH). TORA di luar kawasan hutan diatur melalui Perpres
Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Penelitian penyelesaian penguasaan tanah kawasan hutan yang dilakukan
oleh Sutaryono & Deris (2018), di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa permasalahan kelembagaan merupakan salah satu yang
cukup krusial. Beberapa permasalahan kelembagaan yang teridentifikasi, baik
3
pada level lokal, regional maupun nasional antara lain: (a) warga masyarakat dan
pemerintah desa belum memiliki kelembagaan yang menangani PPTKH termasuk
SDM yang bertanggungjawab; (b) institusi pemerintah kabupaten yang menjadi
leading sector PPTKH tidak jelas dan Gugus Tugas Reforma Agraria Tingkat
Kabupaten belum terbentuk; (c) pada level provinsi, Tim Inver yang dibentuk oleh
Gubernur dan Gugus Tugas Reforma Agraria yang juga dibentuk oleh Gubernur,
belum menunjukkan sinergisme dan hubungan yang jelas; (d) pada level pusat,
Kementerian LHK dan ATR/BPN belum seirama dalam menjalankan agenda
Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) (Sutaryono & Deris, 2018).
Meskipun secara kelembagaan terdapat berbagai permasalahan yang perlu
diperhatikan, tetapi secara keseluruhan agenda reforma agraria di Provinsi
Kalimantan Barat pada tahun 2018 menunjukkan kinerja terbaik. Dari target
redistribusi tanah sejumlah 71.800 bidang, terealisasi 71.371 sertipikat atau
mencapai 99,40%. Realisasi tersebut berasal dari: (a) tanah Negara yang dikuasai
masyarakat ; (b) pelepasan kawasan hutan; (b) 20% plepasan kawasan hutan
untuk perkebunan; dan (d) 20% areal penggunaan lain untuk perkebunan (Kanwil
BPN Kalbar, 2019).
Salah satu kabupaten yang berhasil merealisasikan redistribusai tanah
sebesar 100% dari target yang ditetapkan adalah Kabupaten Sanggau. Dari 7.500
bidang yang ditargetkan, secara keseluruhan dapat direalisasikan. Obyek TORA
yang diredistribusikan berasal dari pelepasan kawasan hutan, 20% dari tanah
Negara yang diberikan kepada pemegang HGU dan dari tanah Negara lainnya.
Proporsi terbesar, berasal dari tanah Negara lainnya, yang mencapai 93,72%.
Padahal potensi dari pelepasan kawasan hutan dan 20% dari tanah Negara yang
diberikan kepada pemegang HGU juga besar (Yuliana, 2018).
Berkenaan dengan hal tersebut, maka kajian penataan kelembagaan untuk
mempercepat akselerasi penerapan Perpres 86 Tahun 2018 di Kabupaten Sanggau
Provinsi Kalimantan Barat menjadi urgent untuk dilakukan.
4
B. Rumusan Masalah
1. Pihak mana saja yang terlibat dalam pelaksanaan RA di Sanggau?
2. Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh masing-masing pihak dan
bagaimana alternatif solusi dalam penyelesaian permasalahan
kelembagaan RA?
3. Bagaimana strategi penataan kelembagaan untuk mempercepat
pelaksanaan RA?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan RA di
Kabupaten Sanggau;
2. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi masing-masing pihak dan
alternatif solusinya;
3. Merumuskan strategi penataan kelembagaan untuk mempercepat
pelaksanaan RA.
D. Tinjauan Pustaka
A. Reforma Agraria: Peluang Menyelesaikan Berbagai Persoalan
Indonesia sebagai negara agraris, apakah memungkinkah untuk
menerapkan kebijakan reforma agraria menjadi satu strategi dalam
menyelesaikan berbagai persoalan agraria-pertanahan di Indonesia? Apabila
mungkin, bagaimana menerapkannya dalam konteks pembangunan nasional
yang berpihak pada rakyat? Pertanyaan ini penting diajukan mengingat
pengalaman di berbagai negara – sebut saja Jepang, Taiwan, Korea Selatan,
China dan Vietnam – telah berhasil mentransformasikan struktur agraria ke
dalam suatu sistem pertanian individual yang mampu mengurangi kemiskinan
dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Griffin, et al. 2002), bahkan menjadi
faktor penting yang mendukung keberhasilan dalam proses industrialisasi
(Kay, 2002). Tidak hanya di negara-negara Asia, negara-negara di Amerika
Latin-pun telah sejak lama menerapkan kebijakan reforma agraria untuk
memperbaiki struktur penguasaan tanahnya, sebut saja Meksiko, Nikaragua,
5
Honduras, Brazil, Ekuador dan Peru pada awal 1970an. Bahkan negara-negara
seperti Bolivia, Kolumbia dan Venezuela, genderang reforma agraria masih
bergaung hingga saat ini.
Reforma Agraria adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber
agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil
pada umumnya ketika terdapat ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria di negeri yang konon
disebut agraris ini. Reforma agraria ini juga diorientasikan untuk
menyelesaikan berbagai persoalan keagrariaan/pertanahan sekaligus
memperkuat keutuhan NKRI. Namun demikian reforma agraria tidak cukup
diletakkan pada konteks keterbatasan akses masyarakat atas sumberdaya
agraria tetapi lebih luas lagi pada persoalan kelangsungan dan keberlanjutan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Terbukanya akses masyarakat terhadap sumberdaya
agraria sama sekali belum bisa menjamin terjadinya perubahan menuju
kesejahteraan apabila kebijakan pembangunan tidak memberikan peluang bagi
keberlangsungan usaha masyarakat atas sumberdaya agraria.
Reforma Agraria yang disebut pula sebagai pembaruan agraria ini perlu
diformulasikan menjadi sebuah agenda aksi yang dapat diimplementasikan.
Dalam konteks ini pemerintah tidak perlu ragu lagi untuk mengagendakan
pembaruan agraria menjadi sebuah program dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, meningkatkan harmoni sosial dan menjaga
keutuhan NKRI. Landasan politik bagi pemerintah untuk segera melaksanakan
pembaruan agraria sudah ada sejak diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Dalam ketetapan tersebut diamanahkan bahwa pembaruan agraria
mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan
kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria. Hal tersebut dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan
6
memperhatikan kelestarian lingkungan. Amanah tersebut mensyaratkan
kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai
kebijakan yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap
pemangku kepentingan di bidang keagrariaan.
Dalam konteks di atas, landasan operasional untuk segera menjalankan
agenda reforma agraria juga telah diterbitkan. Peraturan Presiden Nomor 86
Tahun 2018 tentang Reforma Agraria merupakan landasan legal bagi setiap
pemangku kepentingan yang terkait dengan pelaksanaan reforma agraria.
Regulasi di atas memunculkan optimismo baru dalam pelaksanaan reforma
agraria, yang selama ini jauh tertinggal dengan agenda-agenda strategis
pertanahan lainnya.
Optimisme penerapan reforma agraria untuk menyelesaikan berbagai
persoalan pertanahan di negeri agraris ini, paling tidak dapat ditengok pada
tujuan reforma agraria yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan
penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Beberapa tujuan reforma agraria
yang dapat dikedepankan adalah: (1) menata kembali ketimpangan struktur
penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; (2) mengurangi
kemiskinan; (3) menciptakan lapangan kerja; (4) memperbaiki akses rakyat
terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; (5) mengurangi sengketa
dan konflik pertanahan; (6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan
hidup; (7) meningkatkan ketahanan pangan (BPN, 2007).
Berbagai tujuan tersebut terkait satu sama lain. Dalam konteks ini
ketujuh tujuan reforma agraia dapat secara bersama-sama diorientasikan untuk
menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan.
Dalam konteks ini berbagai persoalan pertanahan di negeri agraris ini
saling terkait satu sama lain, yang kesemuanya berujung pada persoalan
kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan dan kesejahteraan
masyarakat disini berhubungan dengan penguasaan dan pemilikan atas tanah
pertanian sebagai topangan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia.
Ketika tanah pertanian sudah diorientasikan untuk kepentingan non pertanian
pada skala yang lebih luas melalui kebijakan makro, maka meningkatnya
7
jumlah petani miskin dan tidak bertanah menjadi sebuah keniscayaan. Untuk
itu perlindungan terhadap keberadaan tanah-tanah pertanian harus dilakukan,
terutama melalui kebijakan yang berorientasi pada usaha-usaha pertanian. Hal
ini sebagaimana gagasan Keith Griffin, et al (2002) dalam Poverty and
Distribution of Land tentang perlunya mengevaluasi kebijakan dan praktek
yang cenderung bias kota, karena hanya mempertahankan kemiskinan. Lebih
lanjut Griffin mengedepankan pentingnya pendistribusian lahan kepada petani
untuk memerangi urban bias policies tersebut. Gagasan Griffin menunjukkan
bahwa kebijakan yang mengokupasi tanah-tanah pertanian di wilayah
pinggiran kota dan wilayah perdesaan adalah salah satu praktek yang bias
kepentingan kota dan cenderung memberikan implikasi pada proses
pemiskinan petani.
Kebijakan pengembangan tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah
terlantar ataupun berasal dari kawasan hutan yang tidak produktif dan secara
ekologis tidak mengganggu keseimbangan alam layak dijadikan prioritas.
Peluang inilah yang dapat diambil melalui kebijakan dan program reforma
agraria dalam rangka meningkatkan harmoni sosial dan menjaga keutuhan
NKRI.
B. Penguasaan Tanah Obyek Reforma Agraria
Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang,
kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah. Berkenaan dengan
permasalahan penguasaan tanah, FAO mencatat beberapa hal yang meliputi:
(1) tingginya ketidakadilan distribusi tanah; (2) penguasaan tanah luas tetapi
intensitas pertaniannya rendah; (3) semakin meningkatnya petani tidak
bertanah dan atau unit-unit usaha yang tidak ekonomis; dan (4) konflik tanah
yang semakin meluas (Cox, et al., 2003). Oleh karena itu, aspek penguasaan
tanah menjadi hal paling urgent untuk mendapatkan perhatian. Demikian juga
dalam konteks reforma agraria, utamanya berkenaan dengan penguasaan tanah
obyek reforma agraria.
8
Hal yang sangat terkait dengan penguasaan tanah adalah pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Pemilikan tanah adalah suatu
penguasaan tanah yang dikuasai secara efektif terhadap tanahnya sendiri, dan
adanya hubungan hukum dengan melekatkan suatu hak atas tanah antara
subjek dan objek yang dibuktikan dengan sertipikat yang terdaftar di
Kementerian ATR/BPN
Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia (Pasal 1 angka 3 PP 16
Tahun 2004). Dasar dasar penatagunaan tanah adalah: (a) kewenangan untuk
mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah serta pemeliharaan
tanah ada pada negara; (b) hak atas tanah memberikan wewenang pada
pemegang gak untuk menggunakan tanah; (c) kewenangan pemegang hak
dalam menggunakan tanah dibatasi oleh ketentuan fungsi sosial; (d) perlunya
perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan
tanah; (e) penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan
penguasaan dan pemilikan tanah; (f) penatagunaan tanah disamping sebagai
subsistem penatagunaan ruang juga merupakan sub sistem dari pembangunan;
(g) penatagunaan tanah harus diselenggarakan secara koordinatif; (h)
penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi pembagungan; (i)
penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat (Kantaatmadja,1994).
Adapun yang dimaksud dengan pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk
mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah fisik penggunaan tanahnya (Pasal
1 angka 4 PP No. 16 Tahun 2004). Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan,
apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya. Peningkatan pemanfaatan
tanah ini harus memperhatikan hak atas tanahnya serta kepentingan
masyarakat.
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) adalah tanah yang dikuasai
oleh Negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk
diredistribusi atau dilegalisasi (Pasal 1 Perpres 86/2018). Definisi tersebut
menunjukkan bahwa TORA bukanlah sekedar tanah yang dapat
diredistribusikan, tetapi juga tanah-tanah yang sudah dikuasai dan dikelola
9
oleh subjek hak yang belum mendapatkan legalisasi oleh pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, maka tanah-tanah yang termasuk dalam objek
TORA adalah: (a) tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya
serta tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya
dalam jangka waktu satu tahun setelahhaknya berakhir; (b) tanah yang
diperoleh dari kewajiban pemegang HGU untuk menyerahkan paling sedikit
20% dari luas bidang tanah HGU yang berubah menjadi HGB karena
perubahan rencana tata ruang; (c) tanah yang diperoleh dari kewajiban
menyediakan paling sedikit 20% dari luas tanah Negara yang diberikan
kepada pemegang HGU dalam proses pemberian, perpanjangan, atau
pembaruan haknya; (d) tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan
dan/atau hasil perubahan batas kawasan hutan; (e) tanah Negara bekas tanah
terlantar yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan Negara
melalui reforma agraria; (f) tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik
agraria; (g) tanah bekas tambang yang berada di luar kawasan hutan; (h)
tanah timbul; (i) tanah yang memnuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas
tanah, meliputi tanah yang dihibahkan perusahaan, tanah hasil konsolidasi,
sisa tanah sumbangan untuk pembangunan dan tanah pengganti biaya
konsolidasi, atau tanah negara yang sudah dikuasai masyarakat; (j) tanah
bekas hak erpacht, tanah bekas partikelir dan tanah bekas eigendom yang
luasnya lebih dari 10 bauw yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan; dan
(k) tanah kelebihan maksimum, tanah absentee dan tanah swapraja/bekas
swapraja yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan.
C. Reforma Agraria di Luar Kawasan Hutan
Pada hakikatnya reforma agraria adalah penataan kembali dan
pembaruan struktur pemilikan, pengguasaan dan penggunaan tanah/wilayah,
demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh tani yang tak bertanah,
prinsipnya adalah tanah untuk penggarap tanah (Wiradi, 2009:94). Secara
garis besar mekanisme penyelenggaraan reforma agraria ini mencakup
empat lingkup pekerjaan utama anatara lain (a). Penetapan objek reforma
10
agraria; (b) Penetapan subjek reforma agraria; (c). Sistem mekanisme
delivery system; (d). Pengembangan acces reform (Winoto, 2008).
Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam
penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,
wilayah, dan sumberdaya alam. Reforma agraria juga harus bisa menjadi
cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antara masyarakat
dengan perusahaan, maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Ada dua
tujuan utama mengapa Reforma Agraria perlu dilakukan. Yang pertama
adalah mengusahakan suatu proses perubahan keseluruhan sistem hubungan
sosial ekonomi masyarakat perdesaan yang mengacu kepada perubahan dari
struktur masyarakat yang bersifat ‘agraris-tradisional’ menjadi suatu
struktur masyarakat di mana pertanian tidak lagi bersifat eksklusif
melainkan terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi lainnya secara nasional,
lebih produktif, dan kesejahteraan rakyat meningkat, tertanganinya konflik
sosial serta mengurangi peluang terjadinya konflik dimasa yang akan datang
(Cf. J. Harriss 1982 dalam Wiradi, 2009).
Pemerintahan saat ini telah mengagendakan reforma agraria,
sebagaimana tercantum dalam RPJMN Tahun 2014 – 2019. Dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan rakyat pemerintah akan melaksanakan
penyediaan tanah objek reforma agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha, yang
terdiri dari 4,5 juta ha berasal dari legalisasi asset dan 4,5 juta ha yang lain
merupakan objek redistribusi tanah (tanah terlantar, HGU yang habis masa
berlakunya dan dari pelepasan kawasan hutan). Empat setengah juta hektar
yang diorientasikan untuk redistribusi tanah itulah esensi reforma agraria.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa Implementasi reforma agraria
belum tampak sebagai prioritas pemerintah. Pelaksanaan redistribusi lahan
sebagai agenda utama berjalan sangat lambat. Dari target 4,5 juta hektar
selama 2015-2019, realisasinya baru 36.000 hektar atau kurang dari 1% dari
target (Kompas, 9-1-2017). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah
untuk menjalankan reforma agraria. Kantor Staf Presiden (KSP) telah
menyusun Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria Tahun 2016 –
11
2019. Strategi tersebut mencakup 6 komponen program, yakni: (1)
Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, yang
ditujukan untuk menyediakan basis regulasi yang memadai bagi
pelaksanaan agenda-agenda Reforma Agraria, dan menyediakan keadilan
melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang berada dalam
konflik-konflik agraria; (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengidentifikasi subjek
penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan
penguasaan dan kepemilikannya; (3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak
atas Tanah Objek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk memberikan
kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan
ekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan rakyat; (4)
Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi
atas Tanah Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengurangi
kemiskinan dengan perbaikan tata guna dan pemanfaatan lahan, serta
pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru; (5) Pengalokasian Sumber
Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat, yang ditujukan untuk
mengatasi kesenjangan ekonomi dengan pengalokasian hutan negara untuk
dikelola masyarakat; dan (6) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria
Pusat dan Daerah, untuk memastikan untuk memastikan tersedianya
dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta memampukan
desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa.
Agenda reforma agraria di luar kawasan hutan diwadahi melalui
program nomor 2, yakni Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek
Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengidentifikasi subjek penerima
dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan penguasaan dan
kepemilikannya. RPJMN 2015-2019 telah menyebutkan bahwa sebanyak
5,5 juta hektar tanah yang masuk dalam agenda reforma agrarian di luar
kawasan hutan, yang meliputi: (1) tanah transmigrasi yang belum
12
bersertipikat (0,6 juta hektar); (2) legalisasi asset (3,5 juta hektar); dan (3)
tanah HGU yang habis masa berlakunya dan tanah terlantar (1 juta hektar).
Kebijakan terbaru berkenaan dengan agenda reforma agraria di luar
kawasan hutan adalah diterbitkannya Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang
Reforma Agraria. Berdasarkan Perpres tersebut terdapat dua agenda reforma
agrarian, yakni penataan asset dan penataan akses. Penataan asset dilakukan
ke dalam dua bentuk yakni redistribusi tanah atau legalisasi asset.
Agenda-agenda dan kebijakan dalam kerangka reforma agraria di atas
perlu diakselerasi oleh semua pemangku kepantingan agar upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui agenda reforma agraria
dapat direalisasikan. Percepatan pelaksanaan reforma agraria di luar
kawasan hutan menjadi salah satu agenda yang perlu diprioritaskan.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Segitiga Metode Penelitian yang
dirumuskan oleh Yunus, H.S. (2010). Berdasarkan karakteristik objek
digunakan metode survey untuk mengidentifikasi penguasaan tanah di kawasan
hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Terkait populasi, penelitian ini
menggunakan case study, dimana lokasi yang dipilih tidak merepresentasikan
kondisi penguasaan tanah di luar kawasan hutan di berbagai wilayah. Analisis
data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif merujuk pada data-data di
lapangan, terutama berkenaan dengan sebaran penguasaan tanah, subyek yang
menguasai tanah serta respon dari berbagai pemangku kepentingan yang
terlibat dalam penataan penguasaan tanah di luar kawasan hutan.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada di wilayah Kabupaten Sanggau
Kalimantan Barat. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan berikut :
a) Kabupaten Sanggau termasuk satu yang berhasil melaksanakan reforma
agraria dari beberapa kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat;
13
b) Informasi awal dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau, terdapat
kesulitan dalam melaksanakan redistribusi tanah yang berasal dari 20%
tanah Negara yang diberikan kepada pemegang HGU;
c) Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau pada tahun 2019 mendapatkan
target terbesar (14.000 bidang dari total 100.000), dibanding kantor
pertanahan kabupaten/kota di wilayah Kalimantan Barat.
2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengumpulan Data
Populasi penelitian adalah masyarakat yang menguasai bidang-bidang
tanah di luar kawasan hutan di Kabupaten Sanggau dan institusi yang terkait
dengan pelaksanaan reforma agraria di luar kawasan hutan. Teknik sampling
yang digunakan adalah accident sampling, di mana masyarakat yang
menguasai bidang-bidang tanah di luar kawasan hutan yang dapat dijumpai
pada saat survey. Wawancara menggunakan panduan wawancara dilakukan
untuk mengetahui histori penguasaan tanah di luar kawasan hutan, sikap dan
respon yang dilakukan, serta keterlibatan institusi dalam pelaksanaan reforma
agraria. Wawancara dilakukan kepada masyarakat yang menguasai tanah,
pejabat pemerintah desa, pejabat kantor pertanahan dan pejabat pemerintah
daerah yang berhubungan dengan reforma agraria di luar kawasan hutan.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan dengan mengkombinasikan analisis
keruangan, analisis data secara kualitatif (interpretatif) terhadap hasil
wawancara serta analisis secara kuantitatif terhadap data-data penguasaan dan
pemilikan tanah yang menjadi objek reforma agraria di luar kawasan hutan di
daerah penelitian.
a. Teknik interpretasi peta dan observasi lapangan dilakukan untuk
mengidentifikasi penggunaan tanah yang sudah dikuasai masyarakat dan
menjadi objek reforma agrarian. Hasil identifikasi digunakan sebagai
panduan untuk mengetahui kondisi penguasaan tanah di luar kawasan
hutan, serta pihak-pihak yang terlibat dalam agenda reforma agraria.
14
b. Hasil wawancara dianalisis secara kualitatif dan interpretatif untuk
mendapatkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi para pihak dalam
pelaksanaan reforma agraria. Permasalahan-permasalahan yang ada
diklasifikasikan menjadi permasalahan kelembagaan, penganggaran dan
sumberdaya manusia.
c. Teknik interpretatif dilakukan untuk menghasilkan formulasi strategi
penataan kelembagaan untuk percepatan pelaksanaan reforma agrarian.
15
BAB II
GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA
DI KABUPATEN SANGGAU
A. Kondisi Pertanahan
Secara umum, Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas wilayah sebesar
14.531.684 hektar. Dari luasan tersebut, 56% diantaranya (8.198.656 hektar)
berada di dalam kawasan hutan, sementara 44% sisanya (6.333.028 hektar)
berada di luar kawasan hutan. Dari luas wilayah tersebut, diperkirakan jumlah
bidang tanah yang ada adalah sebesar 3.560.188 bidang. Dari keseluruhan
perkiraan jumlah bidang tanah tersebut, sebanyak 1.701.806 bidang tanah
telah terdaftar (47,80% dari total bidang tanah), dan 2.342.238 bidang telah
terpetakan (65,78% dari total bidang tanah).
Sementara itu, Kabupaten Sanggau memiliki luas area sebesar 1.226.720
hektar. Dari luas area tersebut, sekitar 56% merupakan kawasan non hutan,
dengan luasan dari kurang lebih 682.547 hektar, sedangkan 44% diantaranya
masuk ke dalam kawasan hutan, atau seluas 544.146 hektar. Secara
administratif, wilayah Kabupaten Sanggau terdiri dari 15 kecamatan, 169
desa dan 6 kelurahan.
B. Potensi Tanah Objek Reforma Agraria
Objek reforma agraria di Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari beberapa
sumber, diantaranya adalah pelepasan kawasan hutan, 20% dari pelepasan
kawasan hutan untuk perkebunan, pelepasan HGU dan eks HGU, tanah
negara yang dikuasai masyarakat, serta 20% areal penggunaan lain untuk
perkebunan. Data tahun 2018 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, total
luas area kegiatan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam
kawasan hutan meliputi area sebesar 64.175 hektar, yang berasal dari
permukiman transmigrasi yang memperoleh persetujuan prinsip,
permukiman, fasos dan fasum, lahan garapan, serta pertanian lahan kering
sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Sementara itu, untuk skema
non inver yang meliputi alokasi 20% dari pelepasan kawasan hutan untuk
16
perkebunan, hutan produksi tidak produktif, serta pencadangan cetak sawah
meliputi kawasan seluas 64.381 hektar, yang meliputi 7 kabupaten yang ada
di Kalimantan Barat. Secara lebih detil, potensi tanah objek reforma agraria
pada tahun 2018 di Kalimantan Barat disajikan dalam tabel II.1 dan tabel II.2
berikut.
Tabel 2.1 Kegiatan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan
(Inver) Provinsi Kalimantan Barat tahun 2018.
Tabel 2.2 Kegiatan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan
(non-inver) provinsi Kalimantan Barat tahun 2018.
Dari data tersebut, di tahun 2018, Kabupaten Sanggau telah melaksanakan
redistribusi tanah dari hasil inver PPTKH seluas 14.563 hektar, yang terdiri
dari permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial dan pertanian lahan kering
17
sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Sementara itu, untuk
mekanisme non-Inver, Kabupaten Sanggau telah melakukan redistribusi tanah
yang berasal dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, hutan produksi
yang dapat dikonversi, serta pencadangan pencetakan sawah baru seluas
8.349 hektar. Total pelaksanaan reforma agraria tahun 2018 di Kabupaten
Sanggau sebanyak 7.500 bidang, yang dapat direalisasikan sejumlah 100%,
serta melakukan kegiatan IP4T sebanyak 3000 bidang, yang akan menjadi
target lokasi TORA di tahun 2019.
Mengikuti kesuksesan pelaksanaan reforma agraria di tahun 2018 yang
berhasil mensertipikatkan 100% dari seluruh target yang ada, di tahun 2019
Kabupaten Sanggau ditargetkan untuk dapat melakukan redistribusi tanah
sejumlah 14.000 bidang, yang tersebar di 13 Kecamatan yang ada di
kabupaten tersebut. Tanah objek reforma agraria tersebut terdiri dari 6 (enam)
macam objek, diantaranya berasal dari pelepasan HGU, pelepasan kawasan
hutan hasil tata batas BPKH, pelakksanaan PPTKH, reforma agraria pada
tanah negara lainnya, serta pelaksanaan redistribusi tanah hasil pendataan
IP4T di tahun sebelumnya, yang mencakup wilayah seluas kurang lebih
14.459 hektar. Secara lebih detil, data tersebut disajikan dalam tabel II.3.
Tabel 2.3 Pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sanggau tahun 2019.
No. Objek Reforma Agraria Luas Areal Lokasi
1 Pelepasan HGU (kebun
Ganda Prima)
8.086,12 hektar,
meliputi 3.849
bidang.
Kecamatan Tayun Hulu
Kecamatan Kembayan
2 Pelaksanaan IP4T (tahun
2018)
2.115 hektar,
meliputi 3000
bidang
Kecamatan Toba
3 Tanah negara lainnya 900 bidang Kecamatan Meliau
4 Pelepasan kawasan hutan
hasil tata batas BPKH (non-
inver)
604,78 hektar Kecamatan Jangkang
Kecamatan Kembayan
5 Pelaksanaan PPTKH (Inver) 17.723,39 hektar Kec. Beduai, Kec. Bonti, Kec.
Entikong, Kec. Kapuas, Kec.
Kembayan, Kec. Mukok, Kec.
Noyan, Kec. Parindu, Kec.
18
Sekayan, Kec. Jangkang.
6 20% pelepasan kawasan
hutan kepada perusahaan
(PT. SJAL)
2.069 hektar,
meliputi 3.849
bidang.
Kecamatan Meliau.
Sumber : Rekap hasil kegiatan redistribusi tanah Kabupaten Sanggau per 1 November 2019.
C. Ketersediaan Data Awal
Ketersediaan data awal sangat menentukan dalam kesuksesan pelaksanaan
reforma agraria. Data awal, baik berupa data spasial yang menunjukkan
lokasi objek TORA maupun data atribut pendukung seperti pemilikan,
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah merupakan input awal
dalam pelaksanaan TORA. Meskipun begitu, seringkali ketersediaan data
awal ini justru menjadi penghambat paling besar dalam kesuksesan
pelaksanaan TORA. Koordinasi yang efektif antar stakeholder terkait
kegiatan berbagi-pakai data merupakan kunci utama agar reforma agraria
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah.
Dari keenam objek reforma agraria di Kabupaten Sanggau pada tahun 2019,
maka data awal objek TORA dapat dikategorikan sebagai berikut:
▪ Peta indikatif TORA yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Peta indikatif TORA ini digunakan sebagai
referensi dalam melaksanakan pelepasan kawasan hutan hasi tata batas
BPKH maupun pelaksanaan PPTKH melalui skema inver. Dalam hal ini,
pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau berkoordinasi dengan Dinas
Kehutanan dan BPKH setempat. Setelah peta indikatif tora diperoleh,
langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi lapangan berdasarkan
peta indikatif TORA tersebut, untuk kemudian ditindak lanjuti dengan
kegiatan redistribusi tanah.
Di tahun 2019, setidaknya terdapat 9 (sembilan) peta indikatif TORA yang
dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan redistribusi tanah di
Kabupaten Sanggau. Gambar 2.1 menunjukkan contoh peta indikatif yang
TORA yang ada di Desa Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten
Sanggau.
19
Gambar 2.1 Contoh peta indikatif TORA di Desa Entikong, Kecamatan Entikong,
Kabupaten Sanggau. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
▪ Data hasil inventarisasi pemilikan, penguasaan, peruntukan dan
penggunaan tanah (IP4T) untuk identifikasi TORA, yang dilakukan oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau. Data IP4T ini dikumpulkan secara
langsung di lapangan, dan dilaksanakan pada tahun 2018. Kegiatan IP4T
ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendata tanah-tanah objek
landreform yang ada pada wilayah tersebut. Hasil inventarisasi ini
kemudian ditindak lanjuti dengan pelaksanaan redistribusi tanah yang
dilaksanakan pada tahun 2019, sebanyak 3000 bidang, yang meliputi
luasan sebesar kurang lebih 2.115 bidang.
▪ Data HGU, yang dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi HGU
yang telah habis masa berlakunya. Pada tahun 2019, Kabupaten Sanggau
menargetkan untuk melakukan redistribusi tanah eks-HGU sebesar 8.000
hektar, yang terletak di Kecamatan Tayun Hulu dan Kecamatan
Kembayan. Identifikasi HGU yang telah habis masa berlakunya dan tidak
diperpanjang ini berasal dari data yang diperoleh dari Kantor Wilayah
BPN Provinsi Kalimantan Barat.
▪ Peta tata batas wilayah hutan, yang digunakan sebagai acuan dalam
melakukan identifikasi objek TORA yang berasal dari pelepasan kawasan
hutan untuk perkebunan dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK)
tidak produktif. Peta tersebut diperoleh melalui BPHK setempat. Gambar
20
2.2 menunjukkan peta penetapan tata batas wilayah hutan di Kabupaten
Sanggau pada tahun 2019.
Gambar 2.2 Peta penetapan kawasan hutan Kabupaten Sanggau. Sumber:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019.
▪ Peta pelepasan kawasan hutan yang diperoleh dari KLHK, yang meliputi
20% dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Peta pelepasan
kawasan hutan ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor SK.262/Menhut-II/2011, mengenai pelepasan kawasan hutan untuk
area produksi di hutan Ambawang dan Gunung Tinjil, yang terletak di
Kecamatan Tayan Hulu dan Kecamatan Kembayang. Gambar 2.3 berikut
menunjukkan peta pelepasan kawasan hutan yang dimaksud.
21
Gambar 2.3 Peta pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Sumber: SK. Menhut
No.256/Menhut-II/2011.
D. Tahapan Pelaksanaan Reforma Agraria
Secara garis besar, tahapan dalam pelaksanaan redistribusi tanah di
Kabupaten Sanggau terbagi menjadi 7 (tujuh) tahap, yaitu:
1. Penyuluhan.
Pada tahap ini, dilakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai reforma
agraria dan redistribusi tanah, persyaratan yang harus dipenuhi, serta
prosedur yang harus diikuti. Pada tahapan ini juga dilakukan observasi
mengenai objek dan subjek reforma agraria, sebagai persiapan dalam
pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi.
2. Inventarisasi dan identifikasi objek dan subjek reforma agraria.
Inventarisasi dan identifikasi objek dan subjek reforma agraria
dilaksanakan melalui kegiatan IP4T, yang bertujuan untuk
mengidentifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah di lokasi yang akan ditetapkan sebagai obyek redistribusi tanah.
Kegiatan inventarisasi tanah ini dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Sanggau. Data yang diperoleh berasal dari monografi desa,
22
data dan peta administrasi desa, data dan peta perencanaan tata ruang, data
dan peta kawasan hutan, observasi langsung di lapangan, serta data lain
yang mendukung. Output dari kegiatan ini adalah sket lokasi calon objek
reforma agraria, disertai data P4T dan data pendukung lainnya, yang
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian hak untuk
redistribusi tanah.
3. Pengukuran dan pemetaan.
Tahapan selanjutnya adalah pengukuran dan pemetaan, yang dilakukan
oleh Kantor Pertanahan. Kegiatan pengukuran dan pemetaan ini dilakukan
dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
4. Sidang Panitia Pertimbangan Landreform (PPL).
Sidang PPL merupakan pra-kondisi dalam penetapan objek dan subjek
reforma agraria. Input data dalam kegiatan ini adalah hasil pengukuran dan
pemetaan serta data hasil inventarisasi P4T yang sudah dilaksanakan
sebelumnya.
5. Penetapan objek dan subjek reforma agraria. Objek reforma agraria
ditetapkan oleh Menteri ATR/BPN yang dilimpahkan kepada Kanwil
ataupun Kantah setempat, sementara subjek reforma agraria ditetapkan
oleh Bupati setempat.
6. Penerbitan SK redistribusi tanah, yang merupakan hasil dari sidang PPL,
dan dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau.
7. Pendaftaran hak dan penerbitan sertipikat. SK Redistribusi tanah tersebut
kemudian ditindak lanjuti dengan kegiatan pendaftaran tanah, diikuti
dengan penerbitan sertipikat hak atas tanah bagi objek reforma agraria.
Tahapan redistribusi tanah yang dilaksanakan di Kabupaten Sanggau tersebut
dapat dilihat pada gambar 2.4.
23
Gambar 2.4 tahapan pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sanggau.
24
BAB III
PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM REFORMA AGRARIA
Reforma Agraria (RA) dimaknai sebagai penataan kembali struktur
penguasaan, pemilikan, pengguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang
lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk
kemakmuran rakyat. Adapun agenda RA ini bertujuan untuk: (a) mengurangi
ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; (b) menangani sengketa dan
konflik agraria; (c) menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; (d)
menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; (e) memperbaiki
akses masyarakat kepada sumber ekonomi; (f) meningkatkan ketahanan dan
kedaulatan pangan; dan (g) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
Mengingat tujuan RA yang demikian besar dan terkait dengan hajat hidup
orang banyak, maka pelaksanaan RA-pun harus melibatkan banyak pihak. Pada
prinsipnya reforma agraria merupakan tugas pemerintah yang dilaksanakan oleh
kementerian/lembaga (KL) terkait yang dikoordinasikan oleh Kementerian
Koordinator Perekonomian. Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018
tentang Reforma Agraria menyebutkan bahwa penyelenggaraan reforma agraria
dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, melalui tahapan
perencanaan dan tahapan pelaksanaan reforma agraria. Secara kelembagaan
penyelenggaraan reforma agraria dikordinasikan oleh Tim Reforma Agraria
Nasional yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian. Dalam
menjalankan tugas Tim Reforma Agraria Nasional dibentuk Gugus Tugas
Reforma Agraria (GTRA), baik GTRA Pusat, Provinsi maupun GTRA
Kabupaten/Kota. Adapun pengaturan pembentukan Tim Reforma Agraria
dilakukan melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor
73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria.
Konsideran yang dikedepankan dalam pembentukan Tim Reforma
Agraria adalah dalam rangka pelaksanaan salah satu pilar kebijakan pemerataan
ekonomi, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
tentang Tim Reforma Agraria. Dalam hal ini Tim Reforma Agraria dibantu oleh:
1. Kelompok Kerja Pelepasan Kawasan Hutan dan Perhutanan Sosial;
25
2. Kelompok Kerja Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria
(TORA);
3. Kelompok Kerja Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; dan
4. Sekretariat Tim Reforma Agraria.
Dalam konteks operasionalnya, Tim Reforma Agraria dibantu oleh
GTRA, baik pusat maupun daerah. Secara teknis, GTRA masing-masing
tingkatan dibentuk Tim Pelaksana Harian yang secara kelembagaan ditangani oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN),
sebagaimana skema pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Skema Kelembagaan Tim Reforma Agraria
(Sumber: Juknis Kegiatan Landreform 2019)
Dalam penelitian ini, difokuskan pada kelembagaan reforma agraria
terkait dengan Kelompok Kerja Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek
Reforma Agraria (TORA) dan Kelompok Kerja Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat, yang pengaturannya juga dilakukan melalui Peraturan Presiden
Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Provinsi Kalimantan Barat merupakan wilayah provinsi yang relatif cepat
dalam menyiapkan kelembagaan reforma agraria daerah melalui pembentukan
GTRA. Hingga saat ini, telah terbentuk 1 GTRA Tingkat Provinsi dan 9 GTRA
Tingkat Kabupaten Kota (Tabel 3.1.). Pembentukan kelembagaan GTRA ini
menunjukkan bahwa Gubernur beserta jajaran pemerintah provinsi dan
26
kabupaten/kota mempunyai perhatian terhadap agenda reforma agraria. Perhatian
ini juga tidak terlepas dari peran jajaran Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat
yang secara terus menerus melakukan sosialisasi dan mendorong jajaran
pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten untuk segera membentuk
GTRA.
Tabel 3.1. Pembentukan GTRA di Wilayah Kalimantan Barat
No Provinsi/Kabupaten-Kota No. SK Tanggal
1 Provinsi Kalimantan Barat 107/Bpn/2019 16 Januari 2019
2 Kabupaten Sanggau 119 Tahun 2018 31 Januari 2018
3 Kabupaten Ketapang 312/Pem/2019 14 Mei 2019
4 Kabupaten Kubu Raya 214/Setda/2019 26 Maret 2019
5 Kabupaten Bengkayang 199/Setda/Tahun 2019 1 April 2019
6 Kabupaten Sintang 590/972/Keppertanahan
2019
1 April 2019
7 Kabupaten Landak 400/155/ Hk-2019 2 April 2019
8 Kabupaten Mempawah 141 Tahun 2019 9 April 2019
9 Kabupaten Sekadau 593.3/215/Perkimtan/
2019
14 Mei 2019
10 Kabupaten Kapuas Hulu 338/2019
14 Juni 2019
Sumber: Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat, 2019.
Secara kelembagaan, pihak-pihak yang terlibat dalam kerja kolaboratif
penyelenggaraan RA terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yakni institusi
pertanahan, institusi non pertanahan dan masyarakat. Dalam konteks Kabupaten
Sanggau, ketiga pihak memberikan kontribusi secara nyata terhadap proses-proses
reforma agraria, meskipun dengan porsi dan tensi yang berbeda-beda.
27
A. Peran Institusi Pertanahan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
merupakan salah satu institusi utama penyelenggara reforma agraria.
Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang
Tim Reforma Agraria, Menteri ATR/Kepala BPN bertindak sebagai Ketua
Kelompok Kerja Legalisasi dan Redistribusi TORA. Sedangkan dalam Gugus
Tugas Reforma Agraria Pusat, Menteri ATR/Kepala BPN bertindak sebagai
Ketua GTRA Pusat.
Menteri ATR/Kepala BPN sebagai Ketua Kelompok Kerja Legalisasi
dan Redistribusi TORA dalam Tim Reforma Agraria mempunyai tugas: (a)
koordinasi dan sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan yang
terkait dengan isu di bidang legalisasi aset dan redistribusi TORA; (b)
pengendalian pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan isu di bidang
legalisasi aset dan redistribusi TORA; (c) pemantauan, analisis, evaluasi, dan
pelaporan di bidang legalisasi aset dan redistribusi TORA; dan (d)
pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Ketua Tim Reforma Agraria.
Sebagai tindaklanjut atas tugas pokok yang diberikan, secara
kelembagaan, Kementerian ATR/BPN menerbitkan Petunjuk Teknis Kegiatan
Landreform 2019, yang terdiri dari: (1) Petunjuk Teknis Inventarisasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T); (2)
Petunjuk Teknis Redistribusi Tanah dan (3) Petunjuk Gugus Tugas Reforma
Agraria.
Petunjuk teknis di atas disusun dan dipersiapkan secara komprehensif
untuk dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan landreform. Di
luar ketiga petunjuk teknis tersebut, masih terkait dengan agenda reforma
agraria, diterbitkan pula Petunjuk Teknis Pemberdayaan Hak Atas Tanah
Masyarakat Dalam Skema Akses Mengikuti Aset (Pemberdayaan Masyarakat
Pasca Legalisasi Aset) Atau Dalam Skema Aset Mengikuti Akses Di Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Dan Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota Tahun 2019. Berbagai petunjuk teknis ini menunjukkan
28
bahwa institusi pertanahan pada level pemerintah sudah secara aktif berperan
dalam penerbitan regulasi dan pengaturan teknis pelaksanaannya.
Untuk kelembagaan RA pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,
institusi pertanahan selalu menjadi aktor utama, sekaligus aktor penggerak.
Artinya GTRA Provinsi dan GTRA Kabupaten/Kota belum akan bergerak
apabila Kepala Kanwil BPN dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
sebagai Ketua Pelaksana Harian GTRA belum secara aktif menjalanakan
berbagai agenda reforma agraria.
Dalam hal ini, secara normatif Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua
Tim Pelaksana Harian GTRA Kabupaten mempunyai tugas:
1. Menyiapkan pelaksanaan administrasi kegiatan termasuk penyiapan
konsep SK dan keanggotaan Gugus Tugas Reforma Agraria tingkat
Kabupaten/Kota;
2. Melaksanakan Inventarisasi, Identifikasi, Pengolahan, Analisa, Updating
data TORA hasil pengumpulan data TORA ke lokasi;
3. Melaksanakan Inventarisasi dan Identifikasi (pengumpulan data) potensi
pemberian penataan akses baik oleh Pemerintah Daerah maupun pihak
terkait lainnya di tingkat kabupaten/Kota;
4. Menyusun data/rencana kerja pemberian Asset Reform dan Akses Reform
masyarakat Reforma Agraria baik oleh Pemerintah Daerah maupun pihak
terkait lainnya;
5. Menyiapkan bahan penyelesaian konflik agraria di tingkat
kabupaten/Kota;
6. Memfasilitasi pelaksanaan integrasi penataan aset dan penataan akses di
tingkat kabupaten/Kota;
7. Penyusunan data by name by address penataan aset dan penataan akses di
tingkat kabupaten/Kota;
8. Menyusun dan membuat system data base TORA di tingkat
kabupaten/Kota;
9. Menyusun dan menyampaikan Laporan GTRA Kabupaten/Kota kepada
GTRA Provinsi
29
Berdasarkan skema pada Gambar 3.2. tampak bahwa peran kepala
kantor pertanahan kabupaten/kota sangat penting untuk mengorganisasikan
kelembagaan GTRA sekaligus menjadi aktor utama dalam pelaksanaan
reforma agraria di wilayah kabupaten/kota.
Gambar 3.2. Tim Pelaksana Harian GTRA Kabupaten/Kota
(Sumber: Juknis Kegiatan Landreform 2019)
Berdasarkan skema di atas, tampak bahwa seluruh lini dalam pelaksanaan
reforma agraria di wilayah kabupaten/kota menjadi tugas pokok dan fungsi
kelembagaan GTRA yang ada di kantor pertanahan. Meskipun peran institusi di
luar pertanahan dinafikan, tetapi sangat jelas bahwa keberhasilan pelaksanaan
reforma agraria sangat ditentukan oleh organ yang ada di kantor pertanahan.
Dalam hal ini, organ-organ tersebut adalah:
1. Sekretariat, bertugas melaksanakan tugas-tugas kesekretariatan dalam rangka
mendukung kelancaran koordinasi dan pelaksanaan penyelenggaraan
Reforma Agraria di Tingkat Kabupaten/Kota. Sebagai koordinator Tim
sekretariat adalah Kepala Sub Seksi Landreform dan Konsolidasi Tanah.
2. Satuan Tugas Data Pelepasan Kawasan Hutan, bertugas melaksanakan
inventarisasi, identifikasi, pengolahan, analisa, updating data, dan pelaporan
30
data tanah obyek reforma agraria yang berasal dari pelepasan kawasan hutan,
serta berkoordinasi dengan pihak-pihak internal maupun eksternal terkait
dalam rangka penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.
3. Satuan Tugas Data Tanah Terlantar, bertugas melaksanakan inventarisasi,
identifikasi, pengolahan, analisa, updating data, dan pelaporan data tanah
obyek reforma agraria yang berasal dari tanah terlantar/tanah negara lainnya,
serta berkoordinasi dengan pihak-pihak internal maupun eksternal terkait
dalam rangka penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.
4. Satuan Tugas Data Tanah HGU Habis/Bekas Hak dan PTSL, bertugas
melaksanakan inventarisasi, identifikasi, pengolahan, analisa, updating data,
dan pelaporan data tanah obyek reforma agraria yang berasal dari data HGU
Habis/Bekas Hak dan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL), serta
berkoordinasi dengan pihak-pihak internal maupun eksternal terkait dalam
rangka penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.
5. Satuan Tugas Data Tanah Transmigrasi, bertugas melaksanakan
inventarisasi, identifikasi, pengolahan, analisa, updating data, dan pelaporan
data tanah obyek reforma agraria yang berasal dari data tanah transmigrasi,
serta berkoordinasi dengan pihak-pihak internal maupun eksternal terkait
dalam rangka penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.
6. Satuan Tugas Data TORA Usulan Daerah Tk. II/ Masyarakat Partisipatif,
bertugas melaksanakan inventarisasi, identifikasi, pengolahan, analisa,
updating data, dan pelaporan data tanah obyek reforma agraria yang berasal
dari data TORA usulan daerah/partisipasi masyarakat, serta berkoordinasi
dengan pihakpihak internal maupun eksternal terkait dalam rangka
penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.
7. Satuan Tugas Pengembangan Akses Reform, bertugas melaksanakan
inventarisasi, identifikasi, dan pengembangan rencana dan kegiatan
pemberian akses reform bagi penerima TORA, serta berkoordinasi dengan
pihak-pihak internal maupun eksternal terkait dalam rangka penyelenggaraan
reforma agraria di tingkat Provinsi.
31
Operasionalisasi pelaksanaan reforma agraria di Sanggau belum
sepenuhnya bergantung pada kelembagaan RA yang sudah dibentuk. Apalagi
GTRA yang dibentuk Bupati belum mendapatkan alokasi anggaran. Pelaksanaan
RA di Kabupaten Sanggau dapat berjalan dengan baik karena sikap proaktif
jajaran Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau, yang dipimpin oleh Kepala
Kantor Pertanahan.
Beberapa strategi yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dan
jajarannya untuk menyelesaikan target tersebut antara lain:
1. Secara proaktif mencari data, peta dan SK Pelepasan Kawasan Hutan ke
BPKH, utamanya terkait dengan pelepasan Kawasan ataupun peta indikatif
TORA yang dihasilkan oleh BPKH;
2. Secara aktif menjalin kerjasama dengan stake holder terkait, utamanya Bupati
dan perangkat daerahnya;
3. Mendorong segera dibentuknya GTRA Kabupaten Sanggau, yang telah
ditetapkan dengan SK Bupati Nomor 119 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas
Reforma Agraria Kabupaten Sanggau pada tanggal 31 Maret 2018;
4. Mendorong pemberlakuan SKB 3 Menteri, yakni Menteri ATR/BPN, Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang
Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis. Untuk wilayah Provinsi
Kalimantan Barat, termasuk dalam Kategori III, dimana biaya persiapan
pembiayaan pendaftaran tanah sistematis ditetapkan sebesar Rp. 250.000,-.
Dalam hal ini Kabupaten Sanggau juga menetapkan biaya sesuai dengan
keputusan tersebut, yang diperkuat melalui Keputusan Bupati.
B. Peran Institusi Non Pertanahan
Agenda reforma agraria mensyaratkan keterlibatan berbagai pemangku
kepentingan di luar institusi pertanahan. Kebijakan pemerintah menempatkan
Menteri Koordinator Perekonomian untuk mengkoordinasikan pelaksanaan
reforma agraria menunjukkan bahwa agenda ini melibatkan banyak institusi
yang harus dikoordinasikan dan digerakkan. Dalam hal ini, jelas menunjukkan
bahwa di luar institusi pertanahan, kementerian koordinator perekonomian
32
adalah salah satu institusi utama dalam pelaksanaan reforma agraria. Secara
umum institusi non pertanahan dapat dapat dibagi menjadi beberapa stake
holder seperti: (1) pemerintah pusat, yakni kementerian koordinator
perekonomian dan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan; (2)
pemerintah daerah, yakni pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten; (3)
pemerintah desa; dan (4) Non Government Organization (NGO).
1. Pemerintah Pusat
Institusi non pertanahan pada pemerintah pusat yang berperan dalam
agenda reforma agraria adalah Kementerian Koordinator Perekonomian dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam hal ini kementerian
koordinator perekonomian telah berperan memberikan landasan hukum
pembentukan kelembagaan reforma agraria melalui Keputusan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017 tentang Tim
Reforma Agraria. Dalam konteks reforma agraria pada kawasan hutan, yang
lebih dikenal dengan Penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan pasca
terbitnya Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang PPTKH,
Kementerian Koordinator Perekonomian mengeluarkan Permenko No. 3/2018
tentang Pedoman Tim Inver PPTKH.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi
penanggungjawab dan pelaksana pada Kelompok Kerja Pelepasan Kawasan
Hutan dan Perhutanan Sosial, yang dipimpin langsung oleh Menteri LHK.
Adapun tugas dari Pokja ini adalah: (a) koordinasi dan sinkronisasi
perumusan, penetapan, dan pelaksanaan yang terkait dengan isu di bidang
pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial; (b) pengendalian pelaksanaan
kebijakan yang terkait dengan isu di bidang pelepasan kawasan hutan dan
perhutanan sosial; (c) pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial; dan (d) pelaksanaan fungsi
lain yang diberikan oleh Ketua Tim Reforma Agraria.
Secara garis besar Kementerian LHK mempunyai peran dalam
penetapan Kawasan hutan yang akan dilepaskan ataupun berkenaan dengan
33
TORA yang berasal dari Kawasan hutan serta kawasan hutan yang akan
diberikan kepada masyarakat dalam skema perhutanan sosial. Dalam hal ini
KLHK secara nasional telah mengeluarkan peta indikatif TORA dengan luas
lebih dari 4 juta hektar yang terdiri dari 2 kelompok, yakni: (a) Skema Inver,
yakni yang langsung dilepaskan dan menjadi objek TORA; dan (2) Skema
Non Inver, yang ditindaklanjuti melalui PPTKH.
Dalam konteks Kawasan hutan di Kalimantan Barat, pada awalnya luas
kawasan hutan ditetapkan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun
1982 dengan luasan 9.204.375 hektar (SK Menteri Kehutanan Nomor 757
Tahun 1982). Pada tahun 2000 diubah melalui SK Menteri Kehutanan Nomor
259 Tahun 2000, luas kawasan hutan di Kalimantan Barat menjadi 9.178.760
hektar. Pada tahun 2013 mengalami perubahan yang cukup significant.
Melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 936 Tahun 2013, luas kawasan hutan
turun menjadi 8.355.597 hektar. Kemudian pada kondisi terakhir, luas
kawasan hutan di Kalimantan Barat mencapai 8.389.600 hektar yang diatur
melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 733 Tahun 2014.
Berdasarkan temuan di lapangan, khususnya di wilayah Kabupaten
Sanggau, secara fisik terdapat Kawasan hutan yang dilepaskan tidak
memungkinkan untuk ditindaklanjuti dengan redistribusi tanah ke
masyarakat. Terutama Kawasan dengan kemiringan lereng yang curam dan
kesuburan tanah yang dianggap rendah. Contoh Kawasan yang sudah
dilepaskan, tetapi tidak bisa ditindaklanjuti adalah di Kawasan Entikong,
dimana kemiringan lereng hingga mencapai 40%.
2. Pemerintah Daerah
Institusi non pertanahan yang mempunyai peran penting dalam agenda
reforma agraria adalah Bupati dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Secara normatif Bupati menjadi Ketua GTRA. Adapun OPD Kabupaten/Kota
yang terlibat dalam GTRA adalah OPD yang membidang: (a) tata ruang; (b)
lingkungan hidup dan kehutanan; (c) desa, pembangunan daerah tertinggal
dan transmigrasi; (d) pertanian; (e) kelautan dan perikanan; (f) pekerjaan
34
umum dan perumahan rakyat; (g) koperasi, usaha kecil dan menengah; (h)
pemberdayaan masyarakat; (i) perindustrian; (j) perdagangan; (k) Badan
Usaha Milik Daerah; (l) keuangan; (m) energi sumber daya mineral; dan (n)
perencanaan pembangunan daerah.
Peran Bupati Sanggau dalam pelaksanaan reforma agraria sangat
besar, baik dalam penetapan kebijakan maupun dalam pelaksanaan kebijakan.
Dalam penetapan kebijakan Bupati Sanggau telah memasukkan agenda RA di
dalam RPJMD Tahun 2014 – 2019, menetapkan GTRA sebagai organisasi
pelaksana reforma agraria, serta membentuk Panitia Pertimbangan
Landreform (PPL).
Dalam pelaksanaan kebijakan, sebagai Ketua PPL Bupati Sanggau
telah berperan dalam memimpin Sidang PPL yang membahas: (a) letak,
status, luas, penggunaan, penguasaan, kesesuaian rencana tata ruang, dan
kondisi tanah “clean and clear”; (b) objek dan subjek yang akan diusulkan
untuk ditetapkan menjadi Objek dan Subjek Redistribusi; (c) calon subjek
redistribusi; (d) pemberian pertimbangan dan rekomendasi dalam penetapan
Objek dan Subjek Redistribusi; (e) penetapan besarnya ganti kerugian dan
harga tanah apabila objek redistribusi berasal dari tanah kelebihan maksimum
dan absentee sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Selain itu Bupati juga mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun
2018 tentang Standar Biaya Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap
(Gambar 3.3). Peraturan Bupati tersebut digunakan sebagai dasar bagi
pemerintah desa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembiayaan persiapan pendaftaran tanah. Dalam hal ini, peraturan bupati ini
juga digunakan dalam pensertipikatan tanah hasil redistrbusi, dimana besaran
biaya tidak boleh melebihi Rp. 250.000,-.
Peraturan bupati ini menunjukkan bahwa Bupati memberikan dasar
bagi pembiayaan yang ditanggung oleh masyarakat secara jelas, yang
disebutnya sebagai bagian dari upaya partisipasi aktif masyarakat dalam
kegiatan pendaftaran tanah.
35
Gambar 3.3. Potongan Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2018
(Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau, 2019)
3. Pemerintah Desa
Desa dan pemerintah desa adalah sebuah entitas yang mampu
memandirikan diri dengan mengembangkan aset-asetnya sebagai sumber
penghidupan. Dalam konteks ini pemerintah desa harus mengeluarkan
kebijakan perencanaan, keuangan, dan melakukan pelayanan dasar bagi
warga masyarakat dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Salah satunya adalah terlibat di dalam pelaksanaan reforma
agraria. Dalam hal ini pemerintah desa mempunyai peran dalam hal fasilitasi
dan pendampingan, baik dalam kegiatan perencanaan maupun sosialisasi,
serta dalam kegiatan pelaksanaan pengukuran dan pengumpulan data yuridis.
Fasilitasi dilakukan oleh pemerintah desa melalui pemberian tempat
untuk sosialisasi dan penyediaan tempat untuk base camp kegiatan reforma
agraria. Fasilitasi juga dilakukan melalui penyediaan sumberdaya manusia
(perangkat desa/tokoh masyarakat) untuk mendampingi petugas yang survey
dalam pengumpulan data pertanahan.
Pendampingan dilakukan oleh pemerintah desa kepada masyarakat
sebagai calon subjek penerima redistribusi tanah. Baik dalam kegiatan
pengukuran, pengumpulan data yuridis maupun dalam pemenuhan
kelengkapan berkas yang dibutuhkan oleh masyarakat.
36
4. Non Government Organization (NGO)
Informasi keterlibatan dan peran NGO dalam pelaksanaan reforma
agraria diperoleh melalui wawancara dengan aktifis NGO, baik pada
kesempatan Rembug Nasional Reforma Agraria pada tahun 2018 maupun
pada saat kunjungan ke lapangan pada tahun 20191. Berdasarkan interview
yang dilakukan, beberapa hal penting yang dapat dicatat antara lain: (a)
Masih terdapat perbedaan persepsi antara Reforma Agraria dan Perhutanan
Sosial, sehingga NGO yang bergerak di bidang kehutanan dengan Perhutanan
Sosial, tidak lagi mengkaitkan dengan Reforma Agraria; (b) Terdapat 5 NGO
yang terlibat dalam Pokja Perhutanan Sosial Kabupaten Sanggau, yakni:
Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), LPagar, Yayasan Perhutanan
Sosial Bumi Katulistiwa (YPSBK), LPBBT dan Yayasan Pancur Kasih; (c)
Pokja tersebut difasilitasi kantor sekretariat oleh Bupati di komplek kantor
Bupati; (d) Terdapat 4 NGO yang terlibat sebagai bagian dari Gugus Tugas
Reforma Agraria (GTRA); (d) Pemerintah Kabupaten Sanggau juga
melibatkan kalangan akademisi sebagai konsultan ahli, yakni Dosen
Kehutanan dan Dosen Fisipol pada Universitas Tanjung Pura Pontianak.
Secara operasional, sebagaimana NGO yang ada di Indonesia mereka
berperan dalam menumbuhkan critical mass di dalam masyarakat dan
melakukan berbagai pendampingan terkait agenda reforma agraria. Namun
sayangnya hingga saat ini masing-masing NGO yang terlibat dalam RA dan
PS di Kabupaten Sanggau belum memiliki satu dokumen yang berisi
kesepahaman dan kesepakatan tentang agenda RAPS. Bahkan di antara aktifis
NGO-pun belum ada pemahaman yang clear terkait dengan RAPS, dan ada
kecenderungan aktivis yang bergerak di PS akan mengambil jarak dengan
agenda RA, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, peran NGO dalam
pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sanggau dapat dikatakan belum
1 Wawancara dengan Ipur (Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat - LPagar) dan Cion Alexander (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara dan Asosiasi Petani Sawit)
37
efektif. Tetapi partisipasi dalam setiap tahapan reforma agraria selalu
dilakukan dan juga dilibatkan oleh kantor pertanahan.
38
BAB IV
PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF SOLUSI
A. Permasalahan Yuridis
Reforma Agraria merupakan amanat Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IX tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pelaksanaan Reforma Agraria diatur melalui
Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria, dan Peraturan
Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di
Kawasan Hutan. Proses pelaksanaan Reforma Agraria dari skema Redistribusi
Tanah ini sedang berjalan dengan melalui berbagai proses pembelajaran, seperti
halnya pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang sudah berjalan
sejak tahun 2016 dan terus menerus berproses dengan berbagai perbaikan
sehingga menemukan tata laksana yang ideal. Proses pembelajaran dapat
dilakukan melalui monitoring dan evaluasi pelaksanaan RA dengan
mengidentifikasi berbagai masalah yang terjadi di tataran empiris dan
merumuskan kemungkinan-kemungkinan solusi masalah.
Ada beberapa persoalan yang teridentifikasi dalam proses pelaksanaan
RA dengan skema redistribusi tanah di Kabupaten Sanggau yaitu
1. Ketentuan, pasal 17 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 yang dilaksanakan
melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 56
tahun 1960, menyatakan bahwa 1 (satu) keluarga hanya diperbolehkan
menguasai lahan pertanian seluas 20 hektare baik berupa sawah maupun
tanah kering. Kenyataannya di Desa Engkode, Kecamatan Mukok terdapat
wilayah hutan yang sudah ada SK Pelepasannya dari BPKH Provinsi
Kalimantan Barat, namun penguasaannya 1 keluarga menguasai lebih dari 20
Ha. Untuk mengurangi penguasaan yang melebihi 20 Ha ini menjadi
persoalan tersendiri, bahkan sangat mungkin menimbulkan sengketa agraria.
2. Terdapat ketidaksinkronan antara Perpres 86 tahun 2018 tetang RA dengan
Perpres 88 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan
39
Penyediaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) menurut Perpres 88 tahun
2017 dilaksanakan dalam beberapa tahapan sebagai berikut :
Gambar 4.1. Tahapan Penyediaan TORA dari Pelepasan Kawasan Hutan
Pasal 4 Perpres 88 tahun 2017 menyebutkan hal ihwal penguasaan tanah yang
berada dalam kawasan hutan yang dapat diselesaikan atau ditindaklanjuti
melalui RA harus memenuhi beberapa kriteria yaitu
a. bidang tanah telah dikuasai oleh Pihak secara fisik dengan itikad baik dan
secara terbuka;
b. bidang tanah tidak diganggu gugat; dan
c. bidang tanah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau
kepala desa/kelurahan yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian
orang yang dapat dipercaya
Selanjutnya yang dimaksud sebagai para pihak yang menguasai atau subyek
yang menguasai bidang tanah yang berada dalam kawasan hukum tersebut
dapat berupa, Perorangan, Badan Hukum, Instansi, dan Masyarakat
Hukum adat
Pengalokasian TORA dari pelepasan kawasan hutan meliputi 3
kegiatan yaitu (1) Penetapan Kriiteria; (2) Pemetaan indikatif; (3) Penetapan
40
indikatif. Penetapan TORA indikatif yang berasal dari kawasan hutan adalah
sebagai berikut :
a. Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan.
b. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) berhutan tidak produktif
c. Program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru.
d. Permukiman transmigrasi beserta fasos-fasum yang sudah mendapat
persetujuan prinsip.
e. Permukiman, fasos dan fasum.
f. Lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat.
g. Pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama
masyarakat setempat.
Perpres Nomor 86 tahun 2018, pasal 10 ayat 2, menyebutkan bahwa
tanah objek redistribusi tanah untuk kategori non pertanian diberikan dengan
pemberian sertifikat hak milik, sementara pada ayat (3) disebutkan bahwa
untuk tanah obyek redistribusi tanah non pertanian yang memerlukan penataan
diberikan dengan konsolidasi tanah dan diterbitkan hak atas satuan rumah
susun, maupun hak milik. Hal ini menyulitkan karena subyek redistribusi
tanah yang berasal dari kawasan hutan pada kenyataannya bukan hanya
perseorangan, namun juga instansi Pemerintah maupun lembaga sosial dan
atau keagamaan, yang kepadanya tidak boleh diberikan Hak Milik, melainkan
hanya Hak Pakai.
B. Permasalahan Kelembagaan dan SDM
Persoalan kelembagaan yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma
agrarian adalah peran masing-masing stake holder yang belum bersistem. Dalam
rumusan SK GTRA maupun PPL Kabupaten Sanggau, belum secara tegas
merumuskan siapa mengerjakan apa, serta bagaimana kesesuaian peran masing-
masing stake holder dengan tugas dan fungsinya. Dalam Surat Keputusan Bupatei
Sanggau tentang Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria hanya disebutkan
41
posisi jabatan masing-masing. Rumusan tugas masing-masing stake holder selama
ini hanya didasarkan interpretasi Pimpinan Kantor Pertanahan dan Pimpinan
Pemerintahan Daerah, namun belum secara resmi bersinergi termasuk dalam hal
perencanaan dan penyusunan kegiatan yang dapat dibiayai bersama dengan DIPA
Kantor Pertanahan yang sinkron dengan DIPA kegiatan OPD-OPD terkait atau
yang termsuk stake holder dalam pelaksanaan RA. Hal ini menyebabkan Kantor
Pertanahan harus berperan sangat aktif jika menginginkan agenda RA di
wilayahnya dapat berjalan sukses.
Kecukupan SDM juga menjadi masalah dalam percepatan pelaksanaan
RA dari sisi redistribusi tanah. Karena tenaga pelaksana tidak mencukupi untuk
mengimplementasikan RA, maka dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan RA
tidak dapat dilaksanakan dengan efektif.
C. Alternatif Penyelesaian Masalah
Penyelesaian reforma agraria dengan objek berupa tanah yang berasal
dari pelepasan kawasan hutan memerlukan dukungan kebijakan tersendiri. Karena
pada kenyataanya ada tanah-tanah yag secara nyata telah digunakan oleh
masyarakat untuk kegiatan-kegiatan keagamaan seperti masjid, dan gereja,
maupun kegiatan-kegiatan social kemsayarakatan yang lain seperti fasilitas social
maupun fasilitas umum perlu kiranya disebutkan secara jelas dalam pengaturan
mengenai obyek TORA yang sudah dalam penguasaan lembaga-lembaga social
keagamaan maupun organisasi kemasayarakatan.
Sementara itu untuk mengatasi masalah-masalah kelembagaan, perlu
ada peningkatan komunikasi antar Menteri yang kemudian diturunkan kepada
organ-organ Kementerian di daerah. Diperlukan kesepahaman dan komitmen
yang kuat antar kementrian sehingga Reforma Agraria benar-benar menjadi
progam bersama antar Kementrian dan Lembaga Non Kementerian. Keterikatan
(engagement) antar stake holder semestinya dapat diimplementasikan dalam
program perencanaan kegiatan lintas OPD, Kejaksaan, Kepolisian, maupun
Kantor Pertanahan yang didukung oleh anggaran dalam DIPA masing-masing
42
stake holder. Untuk itu perlu dikomunikasikan seluruh proses reforma agrarian
dasi aspek akses reform maupun asset reform yang dirincikan dalam kegiatan
masing-masing stake holder.
43
BAB V
STRATEGI PENATAAN KELEMBAGAAN
PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA
Sebagai salah satu agenda strategis nasional, agenda reforma agraria perlu
menjadi prioritas untuk dijalankan. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma
Agraria 2016 – 2019 yang disusun oleh Kantor Staf Presiden feasible
diorientasikan untuk menjadi rujukan dalam menjalankan agenda reforma agraria
oleh para pemangku kepentingan.
Terdapat 6 (enam) Program Prioritas yang diperlukan untuk menjalankan
reforma agraria (Gambar 5.1), yakni: (1) Penguatan Kerangka Regulasi dan
Penyelesaian Konflik Agraria; (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah
Obyek Reforma Agraria; (3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah
Objek Reforma Agraria; (4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan,
Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria; (5) Pengalokasian
Sumberdaya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat; serta (6) Kelembagaan
Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah. Keseluruhan program ini harus
dilakukan secara simultan oleh pemangku kepentingan yang berhubungan dengan
reforma agraria. Keterlibatan kementerian dan lembaga pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan pemerintah desa, kelompok-kelompok organisasi
masyarakat sipil, maupun para perwakilan dari masyarakat yang mendapatkan
manfaat dari program Reforma Agraria mutlak diperlukan.
44
Gambar 5.1. Program Prioritas dalam Reforma Agraria (KSP, 2016)
Dalam konteks kekinian, pada dasarnya keenam program prioritas di atas
sudah dilakukan, meskipun masih terdapat berbagai keterbatasan. Namun
demikian, persoalan yang hingga kini masih menjadi persoalan adalah persoalan
kelembagaan, utamanya kelembagaan reforma agraria di daerah.
Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) belum sepenuhnya terbentuk di
wilayah Kalimantan Barat. GTRA kabupaten/kota yang sudah terbentuk baru 10
kabupaten dari sejumlah 14 kabupaten/kota se Kalimantan Barat. Salah satu
GTRA yang aktif dan produktif adalah GTRA Kabupaten Sanggau. GTRA
Kabupaten Sanggau terbentuk pada tanggal 31 Januari 2018. GTRA ini adalah
GTRA pertama kali di Kalimantan Barat, bahkan sebelum terbentuknya GTRA
Provinsi, yang baru dibentuk pada tanggal 6 Januari 2019. Strategi penataan
kelembagaan yang dapat diterapkan untuk mempercepat pelaksanaan reforma
agraria di daerah antara lain: (1) Intervensi Kebijakan Pemerintah Daerah; (2)
Berbagi Peran dalam Pelaksanaan RA; dan (3) Optimalisasi Gugus Tugas
Reforma Agraria.
A. Intervensi Kebijakan Pemerintah Kabupaten
Salah satu implementasi kegiatan prioritas dalam agenda reforma
agraria adalah Kelembagaan Pelaksanaan Reforma Agraria, baik Pusat
45
maupun Daerah, yakni pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria. Gugus
Tugas Reforma Agraria terdiri dari unsur-unsur teknis yang melaksanakan
penyiapan data dan lokasi serta fasilitasi pemberian aset reform, yang terdiri
dari unsur-unsur Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Unit Kerja Daerah
Kementerian/Lembaga Pusat terkait.
Dalam konteks GTRA Kabupaten, Gugus Tugas Reforma Agraria
Kabupaten diketuai oleh Bupati dengan wakil ketua Sekretaris Daerah
Kabupaten. Sebagai Ketua Pelaksana Harian adalah Kepala Kantor
Pertanahan dengan anggota Pejabat Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten,
Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten, dan Wakil dari masyarakat yang
berpengalaman di bidang reforma agraria.
GTRA Kabupaten Sanggau terbentuk lebih awal dibanding daerah
lain, karena Bupati Sanggau memahami betul bahwa agenda reforma agraria
adalah agenda nasional yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan.
Bupati Sanggau mempunyai pengalaman mengadvokasi masyarakat dalam
pengelolaan hutan pada saat sebelum menjabat sebagai Bupati. Oleh karena
itu intervensi pemerintah Kabupaten Sanggau dalam pelaksanaan Reforma
Agraria dilakukan oleh Bupati, baik secara formal maupun secara informal.
1. Intervensi Formal
a. Intervensi melalui RPJMD. Agenda Reforma Agraria dimasukkan
dalam RPJMD Kabupaten Sanggau Tahun 2014 - 2019, khususnya
pada Misi ke-3 yakni Pengembangan Ekonomi Kerakyatan. Menurut
Bupati, masalah pertanahan menjadi modal penting untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengingat tanah masih
menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Sanggau2. Agenda
reforma agraria dianggap sejalan dengan RPJMN dan RPJMD, maka
operasionalnya harus diprioritaskan. Hal ini juga dilakukan dengan
pertimbangan bahwa wilayah Kabupaten Sanggau sudah banyak
2 Wawancara dengan Bupati Sanggau, 30 September 2019
46
investasi dan perkembangan, apabila pemerintah kabupaten abai, bisa
menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru;
b. Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria. Mengingat instititusi
pemerintah yang aktif menjalankan agenda reforma agraria adalah
Kementerian ATR/BPN, maka hal-hal yang dikomunikasikan oleh
Kantor Pertanahan betul-betul diperhatikan. Oleh karena itu Bupati
sejak awal telah menetapkan GTRA Kabupaten Sanggau melalui
Keputusan Bupati Nomor 119 Tahun 2018 pada tanggal 31 Januari
2018.
c. Pembentukan Panitia Pertimbangan Landreform. Sebagai tindaklanjut
dari pembentukan GTRA, maka agenda operasionalisasi landreform
segera dijalankan. Berdasarkan Petunjuk Teknis Redistribusi Tanah
Tahun 2019, salah satu kewenangan Bupati/Walikota adalah
menetapkan SK Panitia Pertimbangan Landreform (PPL). Salah satu
tugas PPL adalah memberikan pertimbangan objek dan subjek yang
akan ditetapkan menjadi Objek dan Subjek Redistribusi berdasarkan
hasil pengukuran dan pemetaan serta inventarisasi dan identifikasi
objek dan subjek. Dalam hal ini Bupati Sanggau telah menetapkan
Keputusan Bupati Nomor 139 Tahun 2019 tentang Pembentukan
Panitia Pertimbangan Landreform Kabupaten Sanggau (Gambar 5.2).
Dalam konsideran disebutkan bahwa PPL dibentuk untuk memberikan
saran dan pertimbangan dalam pelaksanaan redistribusi tanah.
47
Gambar 5.2. Potongan SK Bupati tentang PPL
(Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau, 2019)
d. Memberlakukan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yakni
Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi tentang Pembiayaan Persiapan
Pendaftaran Tanah Sistematis. Untuk wilayah Provinsi Kalimantan
Barat, termasuk dalam Kategori III, dimana biaya persiapan
pembiayaan pendaftaran tanah sistematis ditetapkan sebesar Rp.
250.000,-. Dalam hal ini Bupati Sanggau juga menetapkan biaya
sesuai dengan keputusan tersebut.
2. Intervensi Informal
a. Bupati secara pribadi dan kelembagaan selalu mensosialisasikan dan
mendorong agenda reforma agraria, karena masyarakat membutuhkan
kepastian hak atas pada tanah-tanah yang sudah dikuasainya, utamanya
untuk HGU yang dilepaskan dan Kawasan Hutan (area penggunaan
lain – APL);
b. Agenda RA sudah dikembangkan Bersama, bahkan agenda reforma
agraria diikuti dengan penyelesaian masalah yang terkait, seperti
kependudukan dan SIM;
48
c. Mengembangkan strategi pembangunan yang terintegrasi dengan
pembangunan desa, melalui Program Pembangunan Desa Fokus;
d. Saat ini masih terdapat 32 desa di Sanggau yang belum ada listriknya
dan angka kemiskinan relatif rendah (4,26%). Dalam setiap
kesempatan Bupati selalu menekankan bahwa salah satu strategi untuk
mengatasi kemiskinan adalah melalui penguatan hak atas tanah.
Penguatan hak atas tanah ini salah satunya dilakukan melalui agenda
reforma agraria.
Di luar intervensi kebijakan yang dilakukan oleh Bupati dan
Pemerintah Daerah sebagaimana di atas, intervensi yang dapat
dikembangkan untuk percepatan pelaksanaan agenda reforma agraria
antara lain: (1) mensinkronkan tanah-tanah objek reforma agraria ke
dalam arahan pola ruang pada RTRW Kabupaten/Kota, agar sesuai dengan
sifat dan status haknya; (2) meng-enclave kawasan hutan yang sudah
dikuasai dan dikelola oleh masyarakat dan memenuhi syarat untuk
dilakukan pelepasan dari kawasan hutan, menjadi kawasan yang
memungkinkan diberikan hak atas tanah; (3) mengakomodasi objek-objek
reforma agraria dan menjadi dasar dalam penyusunan dan/atau revisi
RTRW; (4) mensinkronisasikan urusan penataan ruang daerah yang
menjadi domain pemerintah daerah dengan urusan agraria-pertanahan
yang menjadi urusan pemerintah; (5) memastikan paradigma land
management yang mencakup aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah (P4T) menjadi basis dalam kebijakan penataan
ruang, sehingga mampu mendukung agenda-agenda reforma agraria.
B. Berbagi Peran dalam Pelaksanaan RA
Sesuai sifat reforma agraria yang lintas sektor, maka
penyelenggaraan reforma agraria perlu kerja kolaboratif antar stake holder
yang terlibat. Keterlibatan tersebut sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki masing-masing stake holder. Hal ini perlu dikedepankan,
mengingat penyelenggaraan reforma agraria selama ini terkesan atau
49
dikesankan hanya tanggungjawab Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Secara normatif, kerja kolaboratif
sudah digariskan dalam Perpres 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Namun demikian, operasionalisasi di lapangan masih terkesan setengah
hati. Sebagai contoh, hingga saat ini belum seluruh wilayah provinsi dan
kabupaten/kota terbentuk GTRA. Beberapa wilayah yang GTRA-nya
sudah terbentukpun, belum didukung dengan penganggaran dan agenda
kerja yang jelas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan didorong agar agenda
reforma agraria dapat dijalankan secara bersama-sama dengan melibatkan
stake holder yang terlibat antara lain:
1. Perlu adanya pengarusutamaan (mainstreaming) reforma agraria kepada
seluruh stake holder yang berkepentingan dan bersinggungan dengan
urusan reforma agraria;
2. Pemerintah, dalam hal ini presiden harus memberikan dukungan dalam
pelaksanaan Perpres 86 Tahun 2018 melalui kementerian/lembaga
terkait;
3. Reforma agraria harus dijadikan salah satu agenda strategis pemerintah
yang didukung dengan regulasi yang bersifat teknis operasional,
pendanaan yang memadai dan mekanisme kerja yang jelas dan
melibatkan seluruh stake hoder;
4. Gubernur selaku Ketua GTRA Provinsi dan Bupati/Walikota sebagai
Ketua GTRA Kabupaten/Kota perlu menggerakkan OPD di bawahnya
untuk bersama-sama menjadikan RA sebagai agenda bersama melalui
penyusunan rencana kegiatan dan program (RKP) berikut
pendanaannya sesuai dengan tugas dan fungsi yang diberikan sebagai
bagian dari GTRA;
5. Kalangan akademisi perlu memberikan hasil kajian yang solutif dan
kontributif untuk keberhasilan pelaksanaan reforma agraria. Apabila
diperlukan dapat menjadi bagian dari GTRA, yang secara regulasi
diperbolehkan;
50
6. Kalangan NGO secara aktif partisipatif dapat menjembatani
kepentingan masyarakat calon penerima manfaat dengan GTRA dan
pemerintah daerah sebagai pelaksana;
7. Pelaku bisnis, utamanya yang bergerak di sektor kehutanan dan
perkebunan dapat secara proaktif dan sukarela memberikan sebagian
tanah yang dikuasainya (20% dari Tanah Negara yang diberikan kepada
pemegang HGU).
Berkenaan dengan hal tersebut, maka masing-masing stake holder
dapat memainkan peran sebagaimana dalam Tabel 5.1. berikut.
Tabel 5.1. Berbagi Peran dan Strategi Para Pihak dalam Pelaksanaan RA
No Stake Holder Peran Strategi
1 Kantor Staf Presiden Sebagai penggerak dan
Pendorong Reforma Agraria
Mengintervensi Kebijakan
Politik Presiden
2 Menteri Koordinator
Perekonomian
Ketua Tim Reforma Agraria
Nasional
Men-drive
Kementerian/Lembaga
yang terkait
3 Kementerian KLHK Kelompok Kerja Pelepasan
Kawasan Hutan dan
Perhutanan Sosial
Menerbitkan Peta Indikatif
Alokasi TORA
Anggota dari Tim PPTKH dan
Tim Inver
Melalui BPKH dengan Tim
Inver sebagai pelaksana
Inventarisasi dan Verifikasi
PPTKH
Turun serta merumuskan pola
penyelesaian PTKH
Melalui Dirjen Planologi
melakukan tata batas kehutanan
hasil dari PPTKH
Mengalokasikan anggaran
Memperkuat komitmen
seluruh lembaga dan SDM
di KLHK dan
Mengalokasikan
Anggaran secara memadai
4 Kementerian ATR/BPN Ketua GTRA Pusat
Menjadi Bagian dari Tim
PPTKH
Anggota Tim Inver
Melaksanakan kegiatan
PPTKH dilapangan
Peran utama Kementerian
ATR/BPN kegiatan pasca
Memperkuat komitmen
seluruh lembaga dan SDM
di Kementerian ATR/BPN
Memegang komando
operasional agenda RA
Mengalokasikan
Anggaran secara memadai
51
PPTKH yakni sertipikasi tanah
dengan legaliasasi aset dan
redistribusi tanah
Mengalokasikan anggaran
5 Pemerintah Provinsi Gubernur Sebagai Ketua
GTRA Provinsi
Sebagai pembentuk Tim Inver
di Provinsi
Sebagai perantara antara Tim
Inver di Provinsi dengang Tim
PPTKH Pusat
Mengalokasikan anggaran
pendamping
Memimpin implementasi
kebijakan di lapangan
pada level provinsi;
Mengkoordinasikan
Penyiapan TORA;
Memfasilitasi Penataan
Akses;
Mengalokasikan anggaran
6 Pemerintah
Kabupaten/Kota
Bupati/Walikota Sebagai Ketua
GTRA
Mengkoordinasikan
Penyediaan TORA;
Memberikan Usulan Penegasan
TORA;
Perantara antara Tim Inver
dengan masyarakat
Perantara data dan informasi
antara Tim PPTKH, Tim Inver
dan Masyarakat
Memimpin implementasi
kebijakan di lapangan
pada level kabupaten/kota;
Mengkoordinasikan
Penyediaan TORA;
Melaksanakan Penataan
Akses;
Membentuk Panitia
Pertimbangan
Landreform;
Mengalokasikan anggaran
7 NGO/Ormas Pendorong dari pihak luar
dalam kegiatan PPTKH & RA
Pengawasan eksternal untuk
terselenggaranya PPTKH dan
RA
Pendamping Masyarakat
Mendampingi,
Menguatkan dan
Meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam Agenda
PPTKH dan RA
8 Akademisi Menjadi Bagian dari GTRA;
Menumbuhkan Critical Mass di
Masyarakat
Meningkatkan kapasitas
GTRA dan partisipasi
masyarakat dalam PPTKH
dan RA;
Memberikan rekomendasi
akademik terkait
pelaksanaan PPTKH dan
RA.
9 Pelaku Bisnis Penyedia TORA dari HGU Melepaskan 20% Tanah
Negara yang diberikan
HGU
Apabila peran dan strategi sebagaimana di atas, dapat dilaksanakan oleh
semua pemangku kepentingan, maka agenda reforma agraria, baik dari dengan
skema TORA maupun penyelesaian penataan tanah pada kawasan hutan
(PPTKH) adalah sebuah keniscayaan. Bagi seluruh jajaran Kementerian
52
ATR/BPN strategi memperkuat komitmen seluruh elemen kelembagaan dan
SDM di kementerian ATR/BPN dan mengalokasikan anggaran secara
memadai merupakan pra kondisi berjalannya agenda refroma agraria maupun
agenda PPTKH.
Komitmen tersebut dapat diimplementasikan dalam berbagai agenda,
baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, Ditjend Penataan
Keagrariaan perlu melakukan pengarusutamaan reforma agraria secara massif
ke seluruh jajaran kantor wilayah dan kantor pertanahan di seluruh Indonesia.
Selain itu juga menempatkan agenda reforma agraria sejajar dengan agenda
PTSL, sehingga dapat terakselerasi ke dalam bentuk program dan kegiatan
prioritas yang tersistem, teranggarkan dan dilaksanakan.
Secara eksternal, seluruh jajaran Kementerian ATR/BPN secara
proaktif melakukan koordinasi dan sosialiasi tentang pentingnya agenda
reforma agraria ke seluruh pemangku kepentingan, baik kementerian/lembaga
terkait, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, kalangan akademisi, NGO
dan pelaku bisnis.
C. Optimalisasi Gugus Tugas Reforma Agraria
Hampir sebagian besar wilayah yang dikunjungi peneliti ataupun
dimana peneliti terlibat, peran GTRA menunjukkan kinerja yang belum
optimal bahkan di beberapa wilayah GTRA belum terbentuk (Salim, dkk
2019). GTRA yang sudah terbentuk dan bekerja optimal hanya ditemukan di
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, meskipun upaya untuk merealisasikan
agenda reforma agraria juga belum seperti yang diharapkan. Persinggungan
dengan organ KLHK, dalam hal ini adalah BPKH menjadi problem krusial
(Sutaryono, dkk. 2018).
Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa peran GTRA belum optimal
antara lain: (1) ada kecenderungan pembentukan GTRA bersifat normati; (2)
belum adanya alokasi anggaran untuk operasionalisasi GTRA, baik dari
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) maupun dari institusi
pertanahan (kanwil BPN dan kantor pertanahan kabupaten/kota); (3)
53
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terlibat belum secara kelembagaan
memasukkan agenda reforma agraria ke dalam program dan kegiatan yang
diampunya; (4) belum tersedianya anggaran masing-masing OPD yang terlibat
untuk mendukung kegiatan reforma agrarian; (5) belum adanya persepsi yang
sama terhadap agenda reforma agraria; (6) apabila agenda reforma agrarian
berjalan, lebih karena sikap proaktif kantor pertanahan atau kanwil BPN
dimana Kepala Kantornya sebagai Ketua Harian dan institusi yang
dipimpinnya sebagai sekretariat GTRA.
Beberapa fakta di atas perlu segera diatasi dengan berbagai agenda,
utamanya berkenaan dengan optimalisasi peran GTRA dalam percepatan
pelaksanaan reforma agraria. Beberapa agenda yang dapat dilakukan dalam
rangka optimalisasi peran GTRA antara lain:
1. Perlu diterbitkannya kebijakan yang mengatur dan mendorong berperannya
GTRA melalui kementerian/lembaga terkait dalam bentuk Instruksi
Presiden. Hal ini sebagaimana dilakukan dalam rangka percepatan
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) melalui Instruksi Presiden
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan PTSL, yang ditandatangani pada
tanggal 13 Februari 2018. Dalam hal ini instruksi dapat ditujukan kepada
kementerian/Lembaga terkait, Kejaksaan, Polri, dan Pemerintah Daerah;
2. Perlu adanya mainstreaming agenda reforma agraria kepada seluruh
pimpinan daerah sebagai Ketua GTRA. Hal ini diorientasikan agar
pimpinan daerah menyadari bahwa reforma agraria adalah agenda Bersama
untuk kesejahteraan masyarakat;
3. Gubernur dan Bupati/Walikota selaku Ketua GTRA untuk memerintahkan
kepada semua OPD yang terlibat dalam GTRA untuk menyusun program
dan mengalokasikan anggaran terkait dengan agenda reforma agraria;
4. Kepala Kanwil BPN dan Kepala kantor pertanahan sebagai ketua harian
GTRA sekaligus membawahi sekretariat GTRA perlu secara proaktif
melakukan langkah-langkah koordinasi;
5. Pemerintah desa juga perlu mengalokasikan anggaran untuk berpartisipasi
aktif dalam agenda-agenda reforma agraria.
54
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten
Sanggau adalah institusi pertanahan, institusi non pertanahan dan
masyarakat;
2. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma agraria adalah
permasalah yuridis, permasalahan kelembagaan dan permasalahan
sumberdaya manusia.
3. Untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria perlu dilakukan penataan
kelembagaan melalui intervensi kebijakan oleh bupati, berbagi peran antar
pemangku kebijakan yang terlibat dalam reforma agraria; dan optimalisasi
peran Gugus Tugas Reforma Agraria.
B. Rekomendasi
1. Menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang RA
dengan Peraturan Menteri yang mengatur tentang pembagian tugas bagi
pemangku kepentingan yang terlibat dalam reforma agraria;
2. Perlu diterbitkannya Instruksi Presiden kepada pihak-pihak yang terkait
untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan reforma agrarian.
3. Mensosialisasikan keberadaan GTRA berikut perannya secara lebih massif;
4. Memberikan alokasi anggaran untuk operasional GTRA dan pelaksanaan
reforma agraria secara memadai.
55
DAFTAR PUSTAKA
Cox, et al, 2003. FAO in Agrarian Reform. The Land Tenure Service of The
Rural Development Division. FAO. Rome.
Joyo Winoto, 2008. Tanah Untuk Rakyat, Risalah Tentang Reforma Agraria,
Tidak diterbitkan
_____________. 2009. Sambutan Kepala BPN RI Pada Peringatan Hari Agraria
Nasional Ke-49, 24 September 2009. BPN RI. Jakarta.
Kantaatmadja, Mieke Komar. 1994. Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang.
Mandar Maju, Bandung.
Kantor Staf Presiden, 2016. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria
Tahun 2016 – 2019. Kantor Staf Presiden, Jakarta.
Kompas, 2017. Reforma Agraria Berjalan Lambat, SKH Kompas 9-1-2017.
Jakarta.
Muhajir, M. 2015. Satu Tahun Perber 4 Menteri tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan: Kendala, Capaian dan
Arah ke Depan. Policy Brief Volum 02/2015. Epistema Institute. Jakarta.
Ratna Djuita, 2016. Penyelesaian Penguasaan Tanah Masyarakat Di Kawasan
Hutan Dalam Rangka Pendaftaran Tanah. Puslitbang Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahah Nasional. Jakarta.
Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2013-2018
Safitri, Myrna. 2014. Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan : Beberapa
Indikator Menilai Pelaksanaanya, Jurnal Hukum Lingkungan Vol. 1 Issue
2 , Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia.
___________, 2016. Menuju Administrasi Pertanahan Tunggal. Policy Bref
Volume 2 Tahun 2016. Epistema Institute. Jakarta.
Salim, MN, dkk. 2019, “Mempercepat Agenda Reforma Agraria: Tantangan Ke
Depan” dalam Kumpulan Policy Brief Permasalahan dan Kebijakan
Agraria, Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia. STPN Press.
Yogyakarta.
56
Sirait, Martua T. 2017. Inklusi, Eksklusi dan Perubahan Agraria, STPN Press,
Yogyakarta.
Sitorus, Oloan. 2004. Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah. Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.
Sutaryono, dkk. 2018. Hubungan Negara Dan Masyarakat Sipil Dalam Kebijakan
Reforma Agraria Dan Penyelesaian Permasalahan Tanah Dalam
Kawasan Hutan Di Kabupaten Sigi. Laporan Penelitian. Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional. Yogyakarta.
Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan
Penelitian Agraria, STPN Press, Yogyakarta
Peraturan Perundang-undangan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPR/2001 Tentang
Pembaharuan Agraria dan Sumber Daya Alam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tetang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2014 – 2019.
Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.
Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah
Sistematik Lengkap.