laporan penelitian penataan kelembagan reforma …

60
1 LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA AGRARIA UNTUK MEMPERCEPAT PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN SANGGAU KALIMANTAN BARAT Disusun oleh : Sutaryono Wahyuni Sukmo Pinuji KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL 2019

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

1

LAPORAN PENELITIAN

PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA AGRARIA

UNTUK MEMPERCEPAT PENERAPAN REFORMA AGRARIA

DI KABUPATEN SANGGAU KALIMANTAN BARAT

Disusun oleh :

Sutaryono

Wahyuni

Sukmo Pinuji

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

2019

Page 2: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

i

HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENELITIAN

PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA AGRARIA

UNTUK MEMPERCEPAT PENERAPAN REFORMA AGRARIA

DI KABUPATEN SANGGAU KALIMANTAN BARAT

Oleh:

Sutaryono

Sukmo Pinuji

Wahyuni

Telah dipaparkan dan disetujui pada Seminar Hasil Penelitian

di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

pada Tanggal Nopember 2019

a.n. Ketua STPN

Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Bambang Suyudi, ST. MT.

Page 3: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

ii

PENGANTAR

Kegelisahan peneliti dalam mensikapi lambatnya penyelenggaraan reforma agraria

di berbagai wilayah mendapatkan momentum yang tepat pada saat melakukan penelitian

berkenaan dengan penataan kelembagaan reforma agraria di Kabupaten Sanggau,

Kalimantan Barat. Penataan kelembagaan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan

reforma agraria, mengingat kelembagaan yang dipersyaratkan adalah sinergi lintas sektor,

yang realitasnya tidak mudah untuk dilakukan.

Alhamdulillah laporan penelitian yang mengelaborasi gagasan tentang pentingnya

penataan kelembagaan dan berbagi peran antar pemangku kepentingan dalam

menjalankan agenda reforma agraria ini dapat terselesaikan. Hasil dan rekomendasi yang

disampaikan menunjukkan bahwa percepatan pelaksanaan reforma agraria dapat

dilakukan melalui penataan kelembagaan, berbagi peran antar pemangku kepentingan dan

optimalisasi kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).

Dalam kesempatan ini, terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

disampaikan kepada Bupati Sanggau beserta jajarannya dan Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten Sanggau beserta jajarannya yang telah memberikan support selama penelitian

lapangan, Terimakasih juga disampaikan kepada Ketua STPN dan Kepala PPPM beserta

jajarannya, Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat dan pihak-pihak yang telah

membantu selama proses penelitian hingga terselesaikannya laporan ini.

Akhir kata, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan

bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna percepatan pelaksanaan reforma

agraria.

Yogyakarta, November 2019

Peneliti

Page 4: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

iii

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 4

C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4

D. Tinjauan Pustaka ................................................................................................ 4

E. Metode Penelitian ............................................................................................. 12

BAB II GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA DI

KABUPATEN SANGGAU .................................................................................. 15

A. Kondisi Pertanahan ........................................................................................... 15

B. Potensi Tanah Objek Reforma Agraria ............................................................ 15

C. Ketersediaan Data Awal ................................................................................... 18

D. Tahapan Pelaksanaan Reforma Agraria ........................................................... 21

BAB III PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM REFORMA

AGRARIA ............................................................................................................ 24

A. Peran Institusi Pertanahan ................................................................................ 27

B. Peran Institusi Non Pertanahan ........................................................................ 31

BAB IV PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF SOLUSI ............................ 38

A. Permasalahan Yuridis ....................................................................................... 38

B. Permasalahan Kelembagaan dan SDM ............................................................ 40

C. Alternatif Penyelesaian Masalah ...................................................................... 41

BAB V STRATEGI PENATAAN KELEMBAGAAN PELAKSANAAN

REFORMA AGRARIA ....................................................................................... 43

A. Intervensi Kebijakan Pemerintah Kabupaten ................................................... 44

B. Berbagi Peran dalam Pelaksanaan RA ............................................................. 48

C. Optimalisasi Gugus Tugas Reforma Agraria ................................................... 52

BAB VI. PENUTUP……………………………………………………………..54

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 55

Page 5: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu permasalahan yang mengemuka dalam Rapat Kerja Teknis

Direktorat Jenderal Penataan Agraria (Ditjend Pentag) Kementerian Agraria dan

Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Tahun 2019 berkenaan

dengan kelembagaan reforma agraria, khususnya adalah Gugus Tugas Reforma

Agraria (GTRA). Permasalahan tersebut adalah: (a) Gugus Tugas Reforma

Agraria belum efektif dalam pelaksanaannya terutama dalam mengkoordinasikan

penyelenggaraan akses reform/pemberdayaan masyarakat yang terintegrasi

dengan aset reform; dan (b) belum seluruh kegiatan GTRA dilaksanakan, seperti

pengumpulan data TORA/potensi akses reform, sinkronisasi data aset dan akses,

penyusunan data base, penyusunan success story dan laporan (Dirjend Penetaan

Agraria, 2019).

Hal di atas menjadi kontraproduktif dengan arahan Presiden dalam

Rakernas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (10-

12 Januari 2018) yang menyatakan bahwa Reforma Agraria (RA) dan redistribusi

tanah telah dibicarakan bertahun-tahun, tetapi hingga kini belum menjadi

kenyataan. Bahkan ditegaskan bahwa RA bukan sekedar bagi-bagi tanah, tetapi

untuk kesejahteraan masyarakat. Presiden memahami betul bahwa agenda RA

tidak perlu lagi diwacanakan dan didiskusikan, tetapi harus segera dijalankan.

Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa agenda Reforma Agraria tidak

mudah untuk dijalankan.

Landasan politis bagi pemerintah untuk segera melaksanakan RA sudah ada

sejak diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR tersebut

mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk segera menjalankan RA.

Namun, realitas menunjukkan hal yang berbeda. Pada saat rejim SBY berkuasa,

RA didengungkan dengan luar biasa. RA dimaknai sebagai landreform plus

access reform (Joyo Winoto, 2009), yang bertujuan untuk: (1) menata kembali

Page 6: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

2

ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah; (2) mengurangi

kemiskinan; (3) menciptakan lapangan kerja; (4) memperbaiki akses rakyat

kepada tanah; (5) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (6) memperbaiki

dan menjaga kualitas lingkungan hidup, serta (7) meningkatkan ketahanan pangan

dan ketahanan energi nasional. Dua periode berkuasa, alih-alih meredistribusikan

tanah seluas 8,15 juta hektar, melahirkan regulasi untuk menjalankan agenda RA

saja belum berhasil. Hingga kekuasaan berakhir, hanya berhasil menyusun

Rancangan Peraturan Pemerintah tentang RA.

Pemerintahan Jokowi, tidak menunjukkan hal yang berbeda. Pelaksanaan

redistribusi tanah sebagai agenda utama berjalan di tempat dan tertinggal dengan

agenda legalisasi asset. Dari target 4,5 juta hektar redistribusi tanah (RPJMN

2015-2019), hingga saat ini baru terealisasi seluas 231.349 hektar (5,14%) yang

terbagi menjadi 177.423 bidang tanah (Ditjend Penataan Agraria, 2018). Jauh

tertinggal apabila dibandingkan dengan capaian legalisasi asset. Dari target 3,9

juta hektar, sudah tercapai sekitar 1,79 juta hektar (46,03%). Hal ini menunjukkan

bahwa prioritas ke-agararia-an pemerintah yang sudah ditetapkan, utamanya

berkenaan dengan agenda reforma agraria masih sebatas janji politik.

Salah satu rumusan Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2018

menunjukkan bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan pelaksanaan Reforma

Agraria adalah tersedianya TORA yang berasal dari klaster transmigrasi, HGU

yang telah berakhir, tanah terlantar ataupun Tanah Negara lainnya serta TORA

yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. Ketersediaan TORA, baik dalam

kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, telah diatur melalui dua peraturan

presiden yang berbeda. Untuk TORA dalam kawasan hutan telah diatur melalui

Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam

Kawasan Hutan (PPTKH). TORA di luar kawasan hutan diatur melalui Perpres

Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Penelitian penyelesaian penguasaan tanah kawasan hutan yang dilakukan

oleh Sutaryono & Deris (2018), di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat

menunjukkan bahwa permasalahan kelembagaan merupakan salah satu yang

cukup krusial. Beberapa permasalahan kelembagaan yang teridentifikasi, baik

Page 7: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

3

pada level lokal, regional maupun nasional antara lain: (a) warga masyarakat dan

pemerintah desa belum memiliki kelembagaan yang menangani PPTKH termasuk

SDM yang bertanggungjawab; (b) institusi pemerintah kabupaten yang menjadi

leading sector PPTKH tidak jelas dan Gugus Tugas Reforma Agraria Tingkat

Kabupaten belum terbentuk; (c) pada level provinsi, Tim Inver yang dibentuk oleh

Gubernur dan Gugus Tugas Reforma Agraria yang juga dibentuk oleh Gubernur,

belum menunjukkan sinergisme dan hubungan yang jelas; (d) pada level pusat,

Kementerian LHK dan ATR/BPN belum seirama dalam menjalankan agenda

Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) (Sutaryono & Deris, 2018).

Meskipun secara kelembagaan terdapat berbagai permasalahan yang perlu

diperhatikan, tetapi secara keseluruhan agenda reforma agraria di Provinsi

Kalimantan Barat pada tahun 2018 menunjukkan kinerja terbaik. Dari target

redistribusi tanah sejumlah 71.800 bidang, terealisasi 71.371 sertipikat atau

mencapai 99,40%. Realisasi tersebut berasal dari: (a) tanah Negara yang dikuasai

masyarakat ; (b) pelepasan kawasan hutan; (b) 20% plepasan kawasan hutan

untuk perkebunan; dan (d) 20% areal penggunaan lain untuk perkebunan (Kanwil

BPN Kalbar, 2019).

Salah satu kabupaten yang berhasil merealisasikan redistribusai tanah

sebesar 100% dari target yang ditetapkan adalah Kabupaten Sanggau. Dari 7.500

bidang yang ditargetkan, secara keseluruhan dapat direalisasikan. Obyek TORA

yang diredistribusikan berasal dari pelepasan kawasan hutan, 20% dari tanah

Negara yang diberikan kepada pemegang HGU dan dari tanah Negara lainnya.

Proporsi terbesar, berasal dari tanah Negara lainnya, yang mencapai 93,72%.

Padahal potensi dari pelepasan kawasan hutan dan 20% dari tanah Negara yang

diberikan kepada pemegang HGU juga besar (Yuliana, 2018).

Berkenaan dengan hal tersebut, maka kajian penataan kelembagaan untuk

mempercepat akselerasi penerapan Perpres 86 Tahun 2018 di Kabupaten Sanggau

Provinsi Kalimantan Barat menjadi urgent untuk dilakukan.

Page 8: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

4

B. Rumusan Masalah

1. Pihak mana saja yang terlibat dalam pelaksanaan RA di Sanggau?

2. Permasalahan apa saja yang dihadapi oleh masing-masing pihak dan

bagaimana alternatif solusi dalam penyelesaian permasalahan

kelembagaan RA?

3. Bagaimana strategi penataan kelembagaan untuk mempercepat

pelaksanaan RA?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan RA di

Kabupaten Sanggau;

2. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi masing-masing pihak dan

alternatif solusinya;

3. Merumuskan strategi penataan kelembagaan untuk mempercepat

pelaksanaan RA.

D. Tinjauan Pustaka

A. Reforma Agraria: Peluang Menyelesaikan Berbagai Persoalan

Indonesia sebagai negara agraris, apakah memungkinkah untuk

menerapkan kebijakan reforma agraria menjadi satu strategi dalam

menyelesaikan berbagai persoalan agraria-pertanahan di Indonesia? Apabila

mungkin, bagaimana menerapkannya dalam konteks pembangunan nasional

yang berpihak pada rakyat? Pertanyaan ini penting diajukan mengingat

pengalaman di berbagai negara – sebut saja Jepang, Taiwan, Korea Selatan,

China dan Vietnam – telah berhasil mentransformasikan struktur agraria ke

dalam suatu sistem pertanian individual yang mampu mengurangi kemiskinan

dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Griffin, et al. 2002), bahkan menjadi

faktor penting yang mendukung keberhasilan dalam proses industrialisasi

(Kay, 2002). Tidak hanya di negara-negara Asia, negara-negara di Amerika

Latin-pun telah sejak lama menerapkan kebijakan reforma agraria untuk

memperbaiki struktur penguasaan tanahnya, sebut saja Meksiko, Nikaragua,

Page 9: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

5

Honduras, Brazil, Ekuador dan Peru pada awal 1970an. Bahkan negara-negara

seperti Bolivia, Kolumbia dan Venezuela, genderang reforma agraria masih

bergaung hingga saat ini.

Reforma Agraria adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber

agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil

pada umumnya ketika terdapat ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria di negeri yang konon

disebut agraris ini. Reforma agraria ini juga diorientasikan untuk

menyelesaikan berbagai persoalan keagrariaan/pertanahan sekaligus

memperkuat keutuhan NKRI. Namun demikian reforma agraria tidak cukup

diletakkan pada konteks keterbatasan akses masyarakat atas sumberdaya

agraria tetapi lebih luas lagi pada persoalan kelangsungan dan keberlanjutan

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Terbukanya akses masyarakat terhadap sumberdaya

agraria sama sekali belum bisa menjamin terjadinya perubahan menuju

kesejahteraan apabila kebijakan pembangunan tidak memberikan peluang bagi

keberlangsungan usaha masyarakat atas sumberdaya agraria.

Reforma Agraria yang disebut pula sebagai pembaruan agraria ini perlu

diformulasikan menjadi sebuah agenda aksi yang dapat diimplementasikan.

Dalam konteks ini pemerintah tidak perlu ragu lagi untuk mengagendakan

pembaruan agraria menjadi sebuah program dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, meningkatkan harmoni sosial dan menjaga

keutuhan NKRI. Landasan politik bagi pemerintah untuk segera melaksanakan

pembaruan agraria sudah ada sejak diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor

IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam. Dalam ketetapan tersebut diamanahkan bahwa pembaruan agraria

mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan

kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya

agraria. Hal tersebut dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan

untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan

Page 10: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

6

memperhatikan kelestarian lingkungan. Amanah tersebut mensyaratkan

kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai

kebijakan yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap

pemangku kepentingan di bidang keagrariaan.

Dalam konteks di atas, landasan operasional untuk segera menjalankan

agenda reforma agraria juga telah diterbitkan. Peraturan Presiden Nomor 86

Tahun 2018 tentang Reforma Agraria merupakan landasan legal bagi setiap

pemangku kepentingan yang terkait dengan pelaksanaan reforma agraria.

Regulasi di atas memunculkan optimismo baru dalam pelaksanaan reforma

agraria, yang selama ini jauh tertinggal dengan agenda-agenda strategis

pertanahan lainnya.

Optimisme penerapan reforma agraria untuk menyelesaikan berbagai

persoalan pertanahan di negeri agraris ini, paling tidak dapat ditengok pada

tujuan reforma agraria yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan

penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Beberapa tujuan reforma agraria

yang dapat dikedepankan adalah: (1) menata kembali ketimpangan struktur

penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; (2) mengurangi

kemiskinan; (3) menciptakan lapangan kerja; (4) memperbaiki akses rakyat

terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; (5) mengurangi sengketa

dan konflik pertanahan; (6) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan

hidup; (7) meningkatkan ketahanan pangan (BPN, 2007).

Berbagai tujuan tersebut terkait satu sama lain. Dalam konteks ini

ketujuh tujuan reforma agraia dapat secara bersama-sama diorientasikan untuk

menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan.

Dalam konteks ini berbagai persoalan pertanahan di negeri agraris ini

saling terkait satu sama lain, yang kesemuanya berujung pada persoalan

kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan dan kesejahteraan

masyarakat disini berhubungan dengan penguasaan dan pemilikan atas tanah

pertanian sebagai topangan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia.

Ketika tanah pertanian sudah diorientasikan untuk kepentingan non pertanian

pada skala yang lebih luas melalui kebijakan makro, maka meningkatnya

Page 11: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

7

jumlah petani miskin dan tidak bertanah menjadi sebuah keniscayaan. Untuk

itu perlindungan terhadap keberadaan tanah-tanah pertanian harus dilakukan,

terutama melalui kebijakan yang berorientasi pada usaha-usaha pertanian. Hal

ini sebagaimana gagasan Keith Griffin, et al (2002) dalam Poverty and

Distribution of Land tentang perlunya mengevaluasi kebijakan dan praktek

yang cenderung bias kota, karena hanya mempertahankan kemiskinan. Lebih

lanjut Griffin mengedepankan pentingnya pendistribusian lahan kepada petani

untuk memerangi urban bias policies tersebut. Gagasan Griffin menunjukkan

bahwa kebijakan yang mengokupasi tanah-tanah pertanian di wilayah

pinggiran kota dan wilayah perdesaan adalah salah satu praktek yang bias

kepentingan kota dan cenderung memberikan implikasi pada proses

pemiskinan petani.

Kebijakan pengembangan tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah

terlantar ataupun berasal dari kawasan hutan yang tidak produktif dan secara

ekologis tidak mengganggu keseimbangan alam layak dijadikan prioritas.

Peluang inilah yang dapat diambil melalui kebijakan dan program reforma

agraria dalam rangka meningkatkan harmoni sosial dan menjaga keutuhan

NKRI.

B. Penguasaan Tanah Obyek Reforma Agraria

Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang,

kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah. Berkenaan dengan

permasalahan penguasaan tanah, FAO mencatat beberapa hal yang meliputi:

(1) tingginya ketidakadilan distribusi tanah; (2) penguasaan tanah luas tetapi

intensitas pertaniannya rendah; (3) semakin meningkatnya petani tidak

bertanah dan atau unit-unit usaha yang tidak ekonomis; dan (4) konflik tanah

yang semakin meluas (Cox, et al., 2003). Oleh karena itu, aspek penguasaan

tanah menjadi hal paling urgent untuk mendapatkan perhatian. Demikian juga

dalam konteks reforma agraria, utamanya berkenaan dengan penguasaan tanah

obyek reforma agraria.

Page 12: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

8

Hal yang sangat terkait dengan penguasaan tanah adalah pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanahnya. Pemilikan tanah adalah suatu

penguasaan tanah yang dikuasai secara efektif terhadap tanahnya sendiri, dan

adanya hubungan hukum dengan melekatkan suatu hak atas tanah antara

subjek dan objek yang dibuktikan dengan sertipikat yang terdaftar di

Kementerian ATR/BPN

Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang

merupakan bentukan alami maupun buatan manusia (Pasal 1 angka 3 PP 16

Tahun 2004). Dasar dasar penatagunaan tanah adalah: (a) kewenangan untuk

mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah serta pemeliharaan

tanah ada pada negara; (b) hak atas tanah memberikan wewenang pada

pemegang gak untuk menggunakan tanah; (c) kewenangan pemegang hak

dalam menggunakan tanah dibatasi oleh ketentuan fungsi sosial; (d) perlunya

perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan

tanah; (e) penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan

penguasaan dan pemilikan tanah; (f) penatagunaan tanah disamping sebagai

subsistem penatagunaan ruang juga merupakan sub sistem dari pembangunan;

(g) penatagunaan tanah harus diselenggarakan secara koordinatif; (h)

penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi pembagungan; (i)

penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat (Kantaatmadja,1994).

Adapun yang dimaksud dengan pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk

mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah fisik penggunaan tanahnya (Pasal

1 angka 4 PP No. 16 Tahun 2004). Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan,

apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya. Peningkatan pemanfaatan

tanah ini harus memperhatikan hak atas tanahnya serta kepentingan

masyarakat.

Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) adalah tanah yang dikuasai

oleh Negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk

diredistribusi atau dilegalisasi (Pasal 1 Perpres 86/2018). Definisi tersebut

menunjukkan bahwa TORA bukanlah sekedar tanah yang dapat

diredistribusikan, tetapi juga tanah-tanah yang sudah dikuasai dan dikelola

Page 13: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

9

oleh subjek hak yang belum mendapatkan legalisasi oleh pemerintah.

Berdasarkan hal tersebut, maka tanah-tanah yang termasuk dalam objek

TORA adalah: (a) tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya

serta tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya

dalam jangka waktu satu tahun setelahhaknya berakhir; (b) tanah yang

diperoleh dari kewajiban pemegang HGU untuk menyerahkan paling sedikit

20% dari luas bidang tanah HGU yang berubah menjadi HGB karena

perubahan rencana tata ruang; (c) tanah yang diperoleh dari kewajiban

menyediakan paling sedikit 20% dari luas tanah Negara yang diberikan

kepada pemegang HGU dalam proses pemberian, perpanjangan, atau

pembaruan haknya; (d) tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan

dan/atau hasil perubahan batas kawasan hutan; (e) tanah Negara bekas tanah

terlantar yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan Negara

melalui reforma agraria; (f) tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik

agraria; (g) tanah bekas tambang yang berada di luar kawasan hutan; (h)

tanah timbul; (i) tanah yang memnuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas

tanah, meliputi tanah yang dihibahkan perusahaan, tanah hasil konsolidasi,

sisa tanah sumbangan untuk pembangunan dan tanah pengganti biaya

konsolidasi, atau tanah negara yang sudah dikuasai masyarakat; (j) tanah

bekas hak erpacht, tanah bekas partikelir dan tanah bekas eigendom yang

luasnya lebih dari 10 bauw yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan; dan

(k) tanah kelebihan maksimum, tanah absentee dan tanah swapraja/bekas

swapraja yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan.

C. Reforma Agraria di Luar Kawasan Hutan

Pada hakikatnya reforma agraria adalah penataan kembali dan

pembaruan struktur pemilikan, pengguasaan dan penggunaan tanah/wilayah,

demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh tani yang tak bertanah,

prinsipnya adalah tanah untuk penggarap tanah (Wiradi, 2009:94). Secara

garis besar mekanisme penyelenggaraan reforma agraria ini mencakup

empat lingkup pekerjaan utama anatara lain (a). Penetapan objek reforma

Page 14: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

10

agraria; (b) Penetapan subjek reforma agraria; (c). Sistem mekanisme

delivery system; (d). Pengembangan acces reform (Winoto, 2008).

Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam

penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,

wilayah, dan sumberdaya alam. Reforma agraria juga harus bisa menjadi

cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antara masyarakat

dengan perusahaan, maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Ada dua

tujuan utama mengapa Reforma Agraria perlu dilakukan. Yang pertama

adalah mengusahakan suatu proses perubahan keseluruhan sistem hubungan

sosial ekonomi masyarakat perdesaan yang mengacu kepada perubahan dari

struktur masyarakat yang bersifat ‘agraris-tradisional’ menjadi suatu

struktur masyarakat di mana pertanian tidak lagi bersifat eksklusif

melainkan terintegrasi ke dalam pilar-pilar ekonomi lainnya secara nasional,

lebih produktif, dan kesejahteraan rakyat meningkat, tertanganinya konflik

sosial serta mengurangi peluang terjadinya konflik dimasa yang akan datang

(Cf. J. Harriss 1982 dalam Wiradi, 2009).

Pemerintahan saat ini telah mengagendakan reforma agraria,

sebagaimana tercantum dalam RPJMN Tahun 2014 – 2019. Dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan rakyat pemerintah akan melaksanakan

penyediaan tanah objek reforma agraria sekurang-kurangnya 9 juta ha, yang

terdiri dari 4,5 juta ha berasal dari legalisasi asset dan 4,5 juta ha yang lain

merupakan objek redistribusi tanah (tanah terlantar, HGU yang habis masa

berlakunya dan dari pelepasan kawasan hutan). Empat setengah juta hektar

yang diorientasikan untuk redistribusi tanah itulah esensi reforma agraria.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa Implementasi reforma agraria

belum tampak sebagai prioritas pemerintah. Pelaksanaan redistribusi lahan

sebagai agenda utama berjalan sangat lambat. Dari target 4,5 juta hektar

selama 2015-2019, realisasinya baru 36.000 hektar atau kurang dari 1% dari

target (Kompas, 9-1-2017). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah

untuk menjalankan reforma agraria. Kantor Staf Presiden (KSP) telah

menyusun Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria Tahun 2016 –

Page 15: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

11

2019. Strategi tersebut mencakup 6 komponen program, yakni: (1)

Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, yang

ditujukan untuk menyediakan basis regulasi yang memadai bagi

pelaksanaan agenda-agenda Reforma Agraria, dan menyediakan keadilan

melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang berada dalam

konflik-konflik agraria; (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengidentifikasi subjek

penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan

penguasaan dan kepemilikannya; (3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak

atas Tanah Objek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk memberikan

kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan

ekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan rakyat; (4)

Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi

atas Tanah Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengurangi

kemiskinan dengan perbaikan tata guna dan pemanfaatan lahan, serta

pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru; (5) Pengalokasian Sumber

Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat, yang ditujukan untuk

mengatasi kesenjangan ekonomi dengan pengalokasian hutan negara untuk

dikelola masyarakat; dan (6) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria

Pusat dan Daerah, untuk memastikan untuk memastikan tersedianya

dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta memampukan

desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa.

Agenda reforma agraria di luar kawasan hutan diwadahi melalui

program nomor 2, yakni Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek

Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengidentifikasi subjek penerima

dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan penguasaan dan

kepemilikannya. RPJMN 2015-2019 telah menyebutkan bahwa sebanyak

5,5 juta hektar tanah yang masuk dalam agenda reforma agrarian di luar

kawasan hutan, yang meliputi: (1) tanah transmigrasi yang belum

Page 16: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

12

bersertipikat (0,6 juta hektar); (2) legalisasi asset (3,5 juta hektar); dan (3)

tanah HGU yang habis masa berlakunya dan tanah terlantar (1 juta hektar).

Kebijakan terbaru berkenaan dengan agenda reforma agraria di luar

kawasan hutan adalah diterbitkannya Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang

Reforma Agraria. Berdasarkan Perpres tersebut terdapat dua agenda reforma

agrarian, yakni penataan asset dan penataan akses. Penataan asset dilakukan

ke dalam dua bentuk yakni redistribusi tanah atau legalisasi asset.

Agenda-agenda dan kebijakan dalam kerangka reforma agraria di atas

perlu diakselerasi oleh semua pemangku kepantingan agar upaya

meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui agenda reforma agraria

dapat direalisasikan. Percepatan pelaksanaan reforma agraria di luar

kawasan hutan menjadi salah satu agenda yang perlu diprioritaskan.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Segitiga Metode Penelitian yang

dirumuskan oleh Yunus, H.S. (2010). Berdasarkan karakteristik objek

digunakan metode survey untuk mengidentifikasi penguasaan tanah di kawasan

hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Terkait populasi, penelitian ini

menggunakan case study, dimana lokasi yang dipilih tidak merepresentasikan

kondisi penguasaan tanah di luar kawasan hutan di berbagai wilayah. Analisis

data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif merujuk pada data-data di

lapangan, terutama berkenaan dengan sebaran penguasaan tanah, subyek yang

menguasai tanah serta respon dari berbagai pemangku kepentingan yang

terlibat dalam penataan penguasaan tanah di luar kawasan hutan.

1. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada di wilayah Kabupaten Sanggau

Kalimantan Barat. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan berikut :

a) Kabupaten Sanggau termasuk satu yang berhasil melaksanakan reforma

agraria dari beberapa kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat;

Page 17: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

13

b) Informasi awal dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau, terdapat

kesulitan dalam melaksanakan redistribusi tanah yang berasal dari 20%

tanah Negara yang diberikan kepada pemegang HGU;

c) Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau pada tahun 2019 mendapatkan

target terbesar (14.000 bidang dari total 100.000), dibanding kantor

pertanahan kabupaten/kota di wilayah Kalimantan Barat.

2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengumpulan Data

Populasi penelitian adalah masyarakat yang menguasai bidang-bidang

tanah di luar kawasan hutan di Kabupaten Sanggau dan institusi yang terkait

dengan pelaksanaan reforma agraria di luar kawasan hutan. Teknik sampling

yang digunakan adalah accident sampling, di mana masyarakat yang

menguasai bidang-bidang tanah di luar kawasan hutan yang dapat dijumpai

pada saat survey. Wawancara menggunakan panduan wawancara dilakukan

untuk mengetahui histori penguasaan tanah di luar kawasan hutan, sikap dan

respon yang dilakukan, serta keterlibatan institusi dalam pelaksanaan reforma

agraria. Wawancara dilakukan kepada masyarakat yang menguasai tanah,

pejabat pemerintah desa, pejabat kantor pertanahan dan pejabat pemerintah

daerah yang berhubungan dengan reforma agraria di luar kawasan hutan.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan mengkombinasikan analisis

keruangan, analisis data secara kualitatif (interpretatif) terhadap hasil

wawancara serta analisis secara kuantitatif terhadap data-data penguasaan dan

pemilikan tanah yang menjadi objek reforma agraria di luar kawasan hutan di

daerah penelitian.

a. Teknik interpretasi peta dan observasi lapangan dilakukan untuk

mengidentifikasi penggunaan tanah yang sudah dikuasai masyarakat dan

menjadi objek reforma agrarian. Hasil identifikasi digunakan sebagai

panduan untuk mengetahui kondisi penguasaan tanah di luar kawasan

hutan, serta pihak-pihak yang terlibat dalam agenda reforma agraria.

Page 18: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

14

b. Hasil wawancara dianalisis secara kualitatif dan interpretatif untuk

mendapatkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi para pihak dalam

pelaksanaan reforma agraria. Permasalahan-permasalahan yang ada

diklasifikasikan menjadi permasalahan kelembagaan, penganggaran dan

sumberdaya manusia.

c. Teknik interpretatif dilakukan untuk menghasilkan formulasi strategi

penataan kelembagaan untuk percepatan pelaksanaan reforma agrarian.

Page 19: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

15

BAB II

GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA

DI KABUPATEN SANGGAU

A. Kondisi Pertanahan

Secara umum, Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas wilayah sebesar

14.531.684 hektar. Dari luasan tersebut, 56% diantaranya (8.198.656 hektar)

berada di dalam kawasan hutan, sementara 44% sisanya (6.333.028 hektar)

berada di luar kawasan hutan. Dari luas wilayah tersebut, diperkirakan jumlah

bidang tanah yang ada adalah sebesar 3.560.188 bidang. Dari keseluruhan

perkiraan jumlah bidang tanah tersebut, sebanyak 1.701.806 bidang tanah

telah terdaftar (47,80% dari total bidang tanah), dan 2.342.238 bidang telah

terpetakan (65,78% dari total bidang tanah).

Sementara itu, Kabupaten Sanggau memiliki luas area sebesar 1.226.720

hektar. Dari luas area tersebut, sekitar 56% merupakan kawasan non hutan,

dengan luasan dari kurang lebih 682.547 hektar, sedangkan 44% diantaranya

masuk ke dalam kawasan hutan, atau seluas 544.146 hektar. Secara

administratif, wilayah Kabupaten Sanggau terdiri dari 15 kecamatan, 169

desa dan 6 kelurahan.

B. Potensi Tanah Objek Reforma Agraria

Objek reforma agraria di Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari beberapa

sumber, diantaranya adalah pelepasan kawasan hutan, 20% dari pelepasan

kawasan hutan untuk perkebunan, pelepasan HGU dan eks HGU, tanah

negara yang dikuasai masyarakat, serta 20% areal penggunaan lain untuk

perkebunan. Data tahun 2018 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, total

luas area kegiatan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam

kawasan hutan meliputi area sebesar 64.175 hektar, yang berasal dari

permukiman transmigrasi yang memperoleh persetujuan prinsip,

permukiman, fasos dan fasum, lahan garapan, serta pertanian lahan kering

sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Sementara itu, untuk skema

non inver yang meliputi alokasi 20% dari pelepasan kawasan hutan untuk

Page 20: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

16

perkebunan, hutan produksi tidak produktif, serta pencadangan cetak sawah

meliputi kawasan seluas 64.381 hektar, yang meliputi 7 kabupaten yang ada

di Kalimantan Barat. Secara lebih detil, potensi tanah objek reforma agraria

pada tahun 2018 di Kalimantan Barat disajikan dalam tabel II.1 dan tabel II.2

berikut.

Tabel 2.1 Kegiatan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan

(Inver) Provinsi Kalimantan Barat tahun 2018.

Tabel 2.2 Kegiatan inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan

(non-inver) provinsi Kalimantan Barat tahun 2018.

Dari data tersebut, di tahun 2018, Kabupaten Sanggau telah melaksanakan

redistribusi tanah dari hasil inver PPTKH seluas 14.563 hektar, yang terdiri

dari permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial dan pertanian lahan kering

Page 21: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

17

sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Sementara itu, untuk

mekanisme non-Inver, Kabupaten Sanggau telah melakukan redistribusi tanah

yang berasal dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, hutan produksi

yang dapat dikonversi, serta pencadangan pencetakan sawah baru seluas

8.349 hektar. Total pelaksanaan reforma agraria tahun 2018 di Kabupaten

Sanggau sebanyak 7.500 bidang, yang dapat direalisasikan sejumlah 100%,

serta melakukan kegiatan IP4T sebanyak 3000 bidang, yang akan menjadi

target lokasi TORA di tahun 2019.

Mengikuti kesuksesan pelaksanaan reforma agraria di tahun 2018 yang

berhasil mensertipikatkan 100% dari seluruh target yang ada, di tahun 2019

Kabupaten Sanggau ditargetkan untuk dapat melakukan redistribusi tanah

sejumlah 14.000 bidang, yang tersebar di 13 Kecamatan yang ada di

kabupaten tersebut. Tanah objek reforma agraria tersebut terdiri dari 6 (enam)

macam objek, diantaranya berasal dari pelepasan HGU, pelepasan kawasan

hutan hasil tata batas BPKH, pelakksanaan PPTKH, reforma agraria pada

tanah negara lainnya, serta pelaksanaan redistribusi tanah hasil pendataan

IP4T di tahun sebelumnya, yang mencakup wilayah seluas kurang lebih

14.459 hektar. Secara lebih detil, data tersebut disajikan dalam tabel II.3.

Tabel 2.3 Pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sanggau tahun 2019.

No. Objek Reforma Agraria Luas Areal Lokasi

1 Pelepasan HGU (kebun

Ganda Prima)

8.086,12 hektar,

meliputi 3.849

bidang.

Kecamatan Tayun Hulu

Kecamatan Kembayan

2 Pelaksanaan IP4T (tahun

2018)

2.115 hektar,

meliputi 3000

bidang

Kecamatan Toba

3 Tanah negara lainnya 900 bidang Kecamatan Meliau

4 Pelepasan kawasan hutan

hasil tata batas BPKH (non-

inver)

604,78 hektar Kecamatan Jangkang

Kecamatan Kembayan

5 Pelaksanaan PPTKH (Inver) 17.723,39 hektar Kec. Beduai, Kec. Bonti, Kec.

Entikong, Kec. Kapuas, Kec.

Kembayan, Kec. Mukok, Kec.

Noyan, Kec. Parindu, Kec.

Page 22: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

18

Sekayan, Kec. Jangkang.

6 20% pelepasan kawasan

hutan kepada perusahaan

(PT. SJAL)

2.069 hektar,

meliputi 3.849

bidang.

Kecamatan Meliau.

Sumber : Rekap hasil kegiatan redistribusi tanah Kabupaten Sanggau per 1 November 2019.

C. Ketersediaan Data Awal

Ketersediaan data awal sangat menentukan dalam kesuksesan pelaksanaan

reforma agraria. Data awal, baik berupa data spasial yang menunjukkan

lokasi objek TORA maupun data atribut pendukung seperti pemilikan,

penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah merupakan input awal

dalam pelaksanaan TORA. Meskipun begitu, seringkali ketersediaan data

awal ini justru menjadi penghambat paling besar dalam kesuksesan

pelaksanaan TORA. Koordinasi yang efektif antar stakeholder terkait

kegiatan berbagi-pakai data merupakan kunci utama agar reforma agraria

dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah.

Dari keenam objek reforma agraria di Kabupaten Sanggau pada tahun 2019,

maka data awal objek TORA dapat dikategorikan sebagai berikut:

▪ Peta indikatif TORA yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan. Peta indikatif TORA ini digunakan sebagai

referensi dalam melaksanakan pelepasan kawasan hutan hasi tata batas

BPKH maupun pelaksanaan PPTKH melalui skema inver. Dalam hal ini,

pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau berkoordinasi dengan Dinas

Kehutanan dan BPKH setempat. Setelah peta indikatif tora diperoleh,

langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi lapangan berdasarkan

peta indikatif TORA tersebut, untuk kemudian ditindak lanjuti dengan

kegiatan redistribusi tanah.

Di tahun 2019, setidaknya terdapat 9 (sembilan) peta indikatif TORA yang

dijadikan sebagai bahan acuan dalam melakukan redistribusi tanah di

Kabupaten Sanggau. Gambar 2.1 menunjukkan contoh peta indikatif yang

TORA yang ada di Desa Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten

Sanggau.

Page 23: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

19

Gambar 2.1 Contoh peta indikatif TORA di Desa Entikong, Kecamatan Entikong,

Kabupaten Sanggau. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

▪ Data hasil inventarisasi pemilikan, penguasaan, peruntukan dan

penggunaan tanah (IP4T) untuk identifikasi TORA, yang dilakukan oleh

Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau. Data IP4T ini dikumpulkan secara

langsung di lapangan, dan dilaksanakan pada tahun 2018. Kegiatan IP4T

ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendata tanah-tanah objek

landreform yang ada pada wilayah tersebut. Hasil inventarisasi ini

kemudian ditindak lanjuti dengan pelaksanaan redistribusi tanah yang

dilaksanakan pada tahun 2019, sebanyak 3000 bidang, yang meliputi

luasan sebesar kurang lebih 2.115 bidang.

▪ Data HGU, yang dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi HGU

yang telah habis masa berlakunya. Pada tahun 2019, Kabupaten Sanggau

menargetkan untuk melakukan redistribusi tanah eks-HGU sebesar 8.000

hektar, yang terletak di Kecamatan Tayun Hulu dan Kecamatan

Kembayan. Identifikasi HGU yang telah habis masa berlakunya dan tidak

diperpanjang ini berasal dari data yang diperoleh dari Kantor Wilayah

BPN Provinsi Kalimantan Barat.

▪ Peta tata batas wilayah hutan, yang digunakan sebagai acuan dalam

melakukan identifikasi objek TORA yang berasal dari pelepasan kawasan

hutan untuk perkebunan dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK)

tidak produktif. Peta tersebut diperoleh melalui BPHK setempat. Gambar

Page 24: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

20

2.2 menunjukkan peta penetapan tata batas wilayah hutan di Kabupaten

Sanggau pada tahun 2019.

Gambar 2.2 Peta penetapan kawasan hutan Kabupaten Sanggau. Sumber:

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2019.

▪ Peta pelepasan kawasan hutan yang diperoleh dari KLHK, yang meliputi

20% dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Peta pelepasan

kawasan hutan ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor SK.262/Menhut-II/2011, mengenai pelepasan kawasan hutan untuk

area produksi di hutan Ambawang dan Gunung Tinjil, yang terletak di

Kecamatan Tayan Hulu dan Kecamatan Kembayang. Gambar 2.3 berikut

menunjukkan peta pelepasan kawasan hutan yang dimaksud.

Page 25: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

21

Gambar 2.3 Peta pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Sumber: SK. Menhut

No.256/Menhut-II/2011.

D. Tahapan Pelaksanaan Reforma Agraria

Secara garis besar, tahapan dalam pelaksanaan redistribusi tanah di

Kabupaten Sanggau terbagi menjadi 7 (tujuh) tahap, yaitu:

1. Penyuluhan.

Pada tahap ini, dilakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai reforma

agraria dan redistribusi tanah, persyaratan yang harus dipenuhi, serta

prosedur yang harus diikuti. Pada tahapan ini juga dilakukan observasi

mengenai objek dan subjek reforma agraria, sebagai persiapan dalam

pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi.

2. Inventarisasi dan identifikasi objek dan subjek reforma agraria.

Inventarisasi dan identifikasi objek dan subjek reforma agraria

dilaksanakan melalui kegiatan IP4T, yang bertujuan untuk

mengidentifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah di lokasi yang akan ditetapkan sebagai obyek redistribusi tanah.

Kegiatan inventarisasi tanah ini dilakukan oleh Kantor Pertanahan

Kabupaten Sanggau. Data yang diperoleh berasal dari monografi desa,

Page 26: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

22

data dan peta administrasi desa, data dan peta perencanaan tata ruang, data

dan peta kawasan hutan, observasi langsung di lapangan, serta data lain

yang mendukung. Output dari kegiatan ini adalah sket lokasi calon objek

reforma agraria, disertai data P4T dan data pendukung lainnya, yang

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian hak untuk

redistribusi tanah.

3. Pengukuran dan pemetaan.

Tahapan selanjutnya adalah pengukuran dan pemetaan, yang dilakukan

oleh Kantor Pertanahan. Kegiatan pengukuran dan pemetaan ini dilakukan

dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

4. Sidang Panitia Pertimbangan Landreform (PPL).

Sidang PPL merupakan pra-kondisi dalam penetapan objek dan subjek

reforma agraria. Input data dalam kegiatan ini adalah hasil pengukuran dan

pemetaan serta data hasil inventarisasi P4T yang sudah dilaksanakan

sebelumnya.

5. Penetapan objek dan subjek reforma agraria. Objek reforma agraria

ditetapkan oleh Menteri ATR/BPN yang dilimpahkan kepada Kanwil

ataupun Kantah setempat, sementara subjek reforma agraria ditetapkan

oleh Bupati setempat.

6. Penerbitan SK redistribusi tanah, yang merupakan hasil dari sidang PPL,

dan dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau.

7. Pendaftaran hak dan penerbitan sertipikat. SK Redistribusi tanah tersebut

kemudian ditindak lanjuti dengan kegiatan pendaftaran tanah, diikuti

dengan penerbitan sertipikat hak atas tanah bagi objek reforma agraria.

Tahapan redistribusi tanah yang dilaksanakan di Kabupaten Sanggau tersebut

dapat dilihat pada gambar 2.4.

Page 27: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

23

Gambar 2.4 tahapan pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sanggau.

Page 28: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

24

BAB III

PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM REFORMA AGRARIA

Reforma Agraria (RA) dimaknai sebagai penataan kembali struktur

penguasaan, pemilikan, pengguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang

lebih berkeadilan melalui penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk

kemakmuran rakyat. Adapun agenda RA ini bertujuan untuk: (a) mengurangi

ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; (b) menangani sengketa dan

konflik agraria; (c) menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; (d)

menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; (e) memperbaiki

akses masyarakat kepada sumber ekonomi; (f) meningkatkan ketahanan dan

kedaulatan pangan; dan (g) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.

Mengingat tujuan RA yang demikian besar dan terkait dengan hajat hidup

orang banyak, maka pelaksanaan RA-pun harus melibatkan banyak pihak. Pada

prinsipnya reforma agraria merupakan tugas pemerintah yang dilaksanakan oleh

kementerian/lembaga (KL) terkait yang dikoordinasikan oleh Kementerian

Koordinator Perekonomian. Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018

tentang Reforma Agraria menyebutkan bahwa penyelenggaraan reforma agraria

dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, melalui tahapan

perencanaan dan tahapan pelaksanaan reforma agraria. Secara kelembagaan

penyelenggaraan reforma agraria dikordinasikan oleh Tim Reforma Agraria

Nasional yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian. Dalam

menjalankan tugas Tim Reforma Agraria Nasional dibentuk Gugus Tugas

Reforma Agraria (GTRA), baik GTRA Pusat, Provinsi maupun GTRA

Kabupaten/Kota. Adapun pengaturan pembentukan Tim Reforma Agraria

dilakukan melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor

73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria.

Konsideran yang dikedepankan dalam pembentukan Tim Reforma

Agraria adalah dalam rangka pelaksanaan salah satu pilar kebijakan pemerataan

ekonomi, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

tentang Tim Reforma Agraria. Dalam hal ini Tim Reforma Agraria dibantu oleh:

1. Kelompok Kerja Pelepasan Kawasan Hutan dan Perhutanan Sosial;

Page 29: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

25

2. Kelompok Kerja Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria

(TORA);

3. Kelompok Kerja Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; dan

4. Sekretariat Tim Reforma Agraria.

Dalam konteks operasionalnya, Tim Reforma Agraria dibantu oleh

GTRA, baik pusat maupun daerah. Secara teknis, GTRA masing-masing

tingkatan dibentuk Tim Pelaksana Harian yang secara kelembagaan ditangani oleh

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN),

sebagaimana skema pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Skema Kelembagaan Tim Reforma Agraria

(Sumber: Juknis Kegiatan Landreform 2019)

Dalam penelitian ini, difokuskan pada kelembagaan reforma agraria

terkait dengan Kelompok Kerja Legalisasi dan Redistribusi Tanah Obyek

Reforma Agraria (TORA) dan Kelompok Kerja Pemberdayaan Ekonomi

Masyarakat, yang pengaturannya juga dilakukan melalui Peraturan Presiden

Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Provinsi Kalimantan Barat merupakan wilayah provinsi yang relatif cepat

dalam menyiapkan kelembagaan reforma agraria daerah melalui pembentukan

GTRA. Hingga saat ini, telah terbentuk 1 GTRA Tingkat Provinsi dan 9 GTRA

Tingkat Kabupaten Kota (Tabel 3.1.). Pembentukan kelembagaan GTRA ini

menunjukkan bahwa Gubernur beserta jajaran pemerintah provinsi dan

Page 30: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

26

kabupaten/kota mempunyai perhatian terhadap agenda reforma agraria. Perhatian

ini juga tidak terlepas dari peran jajaran Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat

yang secara terus menerus melakukan sosialisasi dan mendorong jajaran

pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten untuk segera membentuk

GTRA.

Tabel 3.1. Pembentukan GTRA di Wilayah Kalimantan Barat

No Provinsi/Kabupaten-Kota No. SK Tanggal

1 Provinsi Kalimantan Barat 107/Bpn/2019 16 Januari 2019

2 Kabupaten Sanggau 119 Tahun 2018 31 Januari 2018

3 Kabupaten Ketapang 312/Pem/2019 14 Mei 2019

4 Kabupaten Kubu Raya 214/Setda/2019 26 Maret 2019

5 Kabupaten Bengkayang 199/Setda/Tahun 2019 1 April 2019

6 Kabupaten Sintang 590/972/Keppertanahan

2019

1 April 2019

7 Kabupaten Landak 400/155/ Hk-2019 2 April 2019

8 Kabupaten Mempawah 141 Tahun 2019 9 April 2019

9 Kabupaten Sekadau 593.3/215/Perkimtan/

2019

14 Mei 2019

10 Kabupaten Kapuas Hulu 338/2019

14 Juni 2019

Sumber: Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat, 2019.

Secara kelembagaan, pihak-pihak yang terlibat dalam kerja kolaboratif

penyelenggaraan RA terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yakni institusi

pertanahan, institusi non pertanahan dan masyarakat. Dalam konteks Kabupaten

Sanggau, ketiga pihak memberikan kontribusi secara nyata terhadap proses-proses

reforma agraria, meskipun dengan porsi dan tensi yang berbeda-beda.

Page 31: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

27

A. Peran Institusi Pertanahan

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

merupakan salah satu institusi utama penyelenggara reforma agraria.

Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang

Tim Reforma Agraria, Menteri ATR/Kepala BPN bertindak sebagai Ketua

Kelompok Kerja Legalisasi dan Redistribusi TORA. Sedangkan dalam Gugus

Tugas Reforma Agraria Pusat, Menteri ATR/Kepala BPN bertindak sebagai

Ketua GTRA Pusat.

Menteri ATR/Kepala BPN sebagai Ketua Kelompok Kerja Legalisasi

dan Redistribusi TORA dalam Tim Reforma Agraria mempunyai tugas: (a)

koordinasi dan sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan yang

terkait dengan isu di bidang legalisasi aset dan redistribusi TORA; (b)

pengendalian pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan isu di bidang

legalisasi aset dan redistribusi TORA; (c) pemantauan, analisis, evaluasi, dan

pelaporan di bidang legalisasi aset dan redistribusi TORA; dan (d)

pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Ketua Tim Reforma Agraria.

Sebagai tindaklanjut atas tugas pokok yang diberikan, secara

kelembagaan, Kementerian ATR/BPN menerbitkan Petunjuk Teknis Kegiatan

Landreform 2019, yang terdiri dari: (1) Petunjuk Teknis Inventarisasi

Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T); (2)

Petunjuk Teknis Redistribusi Tanah dan (3) Petunjuk Gugus Tugas Reforma

Agraria.

Petunjuk teknis di atas disusun dan dipersiapkan secara komprehensif

untuk dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan landreform. Di

luar ketiga petunjuk teknis tersebut, masih terkait dengan agenda reforma

agraria, diterbitkan pula Petunjuk Teknis Pemberdayaan Hak Atas Tanah

Masyarakat Dalam Skema Akses Mengikuti Aset (Pemberdayaan Masyarakat

Pasca Legalisasi Aset) Atau Dalam Skema Aset Mengikuti Akses Di Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Dan Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota Tahun 2019. Berbagai petunjuk teknis ini menunjukkan

Page 32: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

28

bahwa institusi pertanahan pada level pemerintah sudah secara aktif berperan

dalam penerbitan regulasi dan pengaturan teknis pelaksanaannya.

Untuk kelembagaan RA pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,

institusi pertanahan selalu menjadi aktor utama, sekaligus aktor penggerak.

Artinya GTRA Provinsi dan GTRA Kabupaten/Kota belum akan bergerak

apabila Kepala Kanwil BPN dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

sebagai Ketua Pelaksana Harian GTRA belum secara aktif menjalanakan

berbagai agenda reforma agraria.

Dalam hal ini, secara normatif Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua

Tim Pelaksana Harian GTRA Kabupaten mempunyai tugas:

1. Menyiapkan pelaksanaan administrasi kegiatan termasuk penyiapan

konsep SK dan keanggotaan Gugus Tugas Reforma Agraria tingkat

Kabupaten/Kota;

2. Melaksanakan Inventarisasi, Identifikasi, Pengolahan, Analisa, Updating

data TORA hasil pengumpulan data TORA ke lokasi;

3. Melaksanakan Inventarisasi dan Identifikasi (pengumpulan data) potensi

pemberian penataan akses baik oleh Pemerintah Daerah maupun pihak

terkait lainnya di tingkat kabupaten/Kota;

4. Menyusun data/rencana kerja pemberian Asset Reform dan Akses Reform

masyarakat Reforma Agraria baik oleh Pemerintah Daerah maupun pihak

terkait lainnya;

5. Menyiapkan bahan penyelesaian konflik agraria di tingkat

kabupaten/Kota;

6. Memfasilitasi pelaksanaan integrasi penataan aset dan penataan akses di

tingkat kabupaten/Kota;

7. Penyusunan data by name by address penataan aset dan penataan akses di

tingkat kabupaten/Kota;

8. Menyusun dan membuat system data base TORA di tingkat

kabupaten/Kota;

9. Menyusun dan menyampaikan Laporan GTRA Kabupaten/Kota kepada

GTRA Provinsi

Page 33: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

29

Berdasarkan skema pada Gambar 3.2. tampak bahwa peran kepala

kantor pertanahan kabupaten/kota sangat penting untuk mengorganisasikan

kelembagaan GTRA sekaligus menjadi aktor utama dalam pelaksanaan

reforma agraria di wilayah kabupaten/kota.

Gambar 3.2. Tim Pelaksana Harian GTRA Kabupaten/Kota

(Sumber: Juknis Kegiatan Landreform 2019)

Berdasarkan skema di atas, tampak bahwa seluruh lini dalam pelaksanaan

reforma agraria di wilayah kabupaten/kota menjadi tugas pokok dan fungsi

kelembagaan GTRA yang ada di kantor pertanahan. Meskipun peran institusi di

luar pertanahan dinafikan, tetapi sangat jelas bahwa keberhasilan pelaksanaan

reforma agraria sangat ditentukan oleh organ yang ada di kantor pertanahan.

Dalam hal ini, organ-organ tersebut adalah:

1. Sekretariat, bertugas melaksanakan tugas-tugas kesekretariatan dalam rangka

mendukung kelancaran koordinasi dan pelaksanaan penyelenggaraan

Reforma Agraria di Tingkat Kabupaten/Kota. Sebagai koordinator Tim

sekretariat adalah Kepala Sub Seksi Landreform dan Konsolidasi Tanah.

2. Satuan Tugas Data Pelepasan Kawasan Hutan, bertugas melaksanakan

inventarisasi, identifikasi, pengolahan, analisa, updating data, dan pelaporan

Page 34: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

30

data tanah obyek reforma agraria yang berasal dari pelepasan kawasan hutan,

serta berkoordinasi dengan pihak-pihak internal maupun eksternal terkait

dalam rangka penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.

3. Satuan Tugas Data Tanah Terlantar, bertugas melaksanakan inventarisasi,

identifikasi, pengolahan, analisa, updating data, dan pelaporan data tanah

obyek reforma agraria yang berasal dari tanah terlantar/tanah negara lainnya,

serta berkoordinasi dengan pihak-pihak internal maupun eksternal terkait

dalam rangka penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.

4. Satuan Tugas Data Tanah HGU Habis/Bekas Hak dan PTSL, bertugas

melaksanakan inventarisasi, identifikasi, pengolahan, analisa, updating data,

dan pelaporan data tanah obyek reforma agraria yang berasal dari data HGU

Habis/Bekas Hak dan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL), serta

berkoordinasi dengan pihak-pihak internal maupun eksternal terkait dalam

rangka penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.

5. Satuan Tugas Data Tanah Transmigrasi, bertugas melaksanakan

inventarisasi, identifikasi, pengolahan, analisa, updating data, dan pelaporan

data tanah obyek reforma agraria yang berasal dari data tanah transmigrasi,

serta berkoordinasi dengan pihak-pihak internal maupun eksternal terkait

dalam rangka penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.

6. Satuan Tugas Data TORA Usulan Daerah Tk. II/ Masyarakat Partisipatif,

bertugas melaksanakan inventarisasi, identifikasi, pengolahan, analisa,

updating data, dan pelaporan data tanah obyek reforma agraria yang berasal

dari data TORA usulan daerah/partisipasi masyarakat, serta berkoordinasi

dengan pihakpihak internal maupun eksternal terkait dalam rangka

penyelenggaraan reforma agraria di tingkat Kabupaten/Kota.

7. Satuan Tugas Pengembangan Akses Reform, bertugas melaksanakan

inventarisasi, identifikasi, dan pengembangan rencana dan kegiatan

pemberian akses reform bagi penerima TORA, serta berkoordinasi dengan

pihak-pihak internal maupun eksternal terkait dalam rangka penyelenggaraan

reforma agraria di tingkat Provinsi.

Page 35: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

31

Operasionalisasi pelaksanaan reforma agraria di Sanggau belum

sepenuhnya bergantung pada kelembagaan RA yang sudah dibentuk. Apalagi

GTRA yang dibentuk Bupati belum mendapatkan alokasi anggaran. Pelaksanaan

RA di Kabupaten Sanggau dapat berjalan dengan baik karena sikap proaktif

jajaran Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau, yang dipimpin oleh Kepala

Kantor Pertanahan.

Beberapa strategi yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dan

jajarannya untuk menyelesaikan target tersebut antara lain:

1. Secara proaktif mencari data, peta dan SK Pelepasan Kawasan Hutan ke

BPKH, utamanya terkait dengan pelepasan Kawasan ataupun peta indikatif

TORA yang dihasilkan oleh BPKH;

2. Secara aktif menjalin kerjasama dengan stake holder terkait, utamanya Bupati

dan perangkat daerahnya;

3. Mendorong segera dibentuknya GTRA Kabupaten Sanggau, yang telah

ditetapkan dengan SK Bupati Nomor 119 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas

Reforma Agraria Kabupaten Sanggau pada tanggal 31 Maret 2018;

4. Mendorong pemberlakuan SKB 3 Menteri, yakni Menteri ATR/BPN, Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang

Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis. Untuk wilayah Provinsi

Kalimantan Barat, termasuk dalam Kategori III, dimana biaya persiapan

pembiayaan pendaftaran tanah sistematis ditetapkan sebesar Rp. 250.000,-.

Dalam hal ini Kabupaten Sanggau juga menetapkan biaya sesuai dengan

keputusan tersebut, yang diperkuat melalui Keputusan Bupati.

B. Peran Institusi Non Pertanahan

Agenda reforma agraria mensyaratkan keterlibatan berbagai pemangku

kepentingan di luar institusi pertanahan. Kebijakan pemerintah menempatkan

Menteri Koordinator Perekonomian untuk mengkoordinasikan pelaksanaan

reforma agraria menunjukkan bahwa agenda ini melibatkan banyak institusi

yang harus dikoordinasikan dan digerakkan. Dalam hal ini, jelas menunjukkan

bahwa di luar institusi pertanahan, kementerian koordinator perekonomian

Page 36: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

32

adalah salah satu institusi utama dalam pelaksanaan reforma agraria. Secara

umum institusi non pertanahan dapat dapat dibagi menjadi beberapa stake

holder seperti: (1) pemerintah pusat, yakni kementerian koordinator

perekonomian dan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan; (2)

pemerintah daerah, yakni pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten; (3)

pemerintah desa; dan (4) Non Government Organization (NGO).

1. Pemerintah Pusat

Institusi non pertanahan pada pemerintah pusat yang berperan dalam

agenda reforma agraria adalah Kementerian Koordinator Perekonomian dan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam hal ini kementerian

koordinator perekonomian telah berperan memberikan landasan hukum

pembentukan kelembagaan reforma agraria melalui Keputusan Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017 tentang Tim

Reforma Agraria. Dalam konteks reforma agraria pada kawasan hutan, yang

lebih dikenal dengan Penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan pasca

terbitnya Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang PPTKH,

Kementerian Koordinator Perekonomian mengeluarkan Permenko No. 3/2018

tentang Pedoman Tim Inver PPTKH.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi

penanggungjawab dan pelaksana pada Kelompok Kerja Pelepasan Kawasan

Hutan dan Perhutanan Sosial, yang dipimpin langsung oleh Menteri LHK.

Adapun tugas dari Pokja ini adalah: (a) koordinasi dan sinkronisasi

perumusan, penetapan, dan pelaksanaan yang terkait dengan isu di bidang

pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial; (b) pengendalian pelaksanaan

kebijakan yang terkait dengan isu di bidang pelepasan kawasan hutan dan

perhutanan sosial; (c) pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan di bidang

pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial; dan (d) pelaksanaan fungsi

lain yang diberikan oleh Ketua Tim Reforma Agraria.

Secara garis besar Kementerian LHK mempunyai peran dalam

penetapan Kawasan hutan yang akan dilepaskan ataupun berkenaan dengan

Page 37: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

33

TORA yang berasal dari Kawasan hutan serta kawasan hutan yang akan

diberikan kepada masyarakat dalam skema perhutanan sosial. Dalam hal ini

KLHK secara nasional telah mengeluarkan peta indikatif TORA dengan luas

lebih dari 4 juta hektar yang terdiri dari 2 kelompok, yakni: (a) Skema Inver,

yakni yang langsung dilepaskan dan menjadi objek TORA; dan (2) Skema

Non Inver, yang ditindaklanjuti melalui PPTKH.

Dalam konteks Kawasan hutan di Kalimantan Barat, pada awalnya luas

kawasan hutan ditetapkan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun

1982 dengan luasan 9.204.375 hektar (SK Menteri Kehutanan Nomor 757

Tahun 1982). Pada tahun 2000 diubah melalui SK Menteri Kehutanan Nomor

259 Tahun 2000, luas kawasan hutan di Kalimantan Barat menjadi 9.178.760

hektar. Pada tahun 2013 mengalami perubahan yang cukup significant.

Melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 936 Tahun 2013, luas kawasan hutan

turun menjadi 8.355.597 hektar. Kemudian pada kondisi terakhir, luas

kawasan hutan di Kalimantan Barat mencapai 8.389.600 hektar yang diatur

melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 733 Tahun 2014.

Berdasarkan temuan di lapangan, khususnya di wilayah Kabupaten

Sanggau, secara fisik terdapat Kawasan hutan yang dilepaskan tidak

memungkinkan untuk ditindaklanjuti dengan redistribusi tanah ke

masyarakat. Terutama Kawasan dengan kemiringan lereng yang curam dan

kesuburan tanah yang dianggap rendah. Contoh Kawasan yang sudah

dilepaskan, tetapi tidak bisa ditindaklanjuti adalah di Kawasan Entikong,

dimana kemiringan lereng hingga mencapai 40%.

2. Pemerintah Daerah

Institusi non pertanahan yang mempunyai peran penting dalam agenda

reforma agraria adalah Bupati dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Secara normatif Bupati menjadi Ketua GTRA. Adapun OPD Kabupaten/Kota

yang terlibat dalam GTRA adalah OPD yang membidang: (a) tata ruang; (b)

lingkungan hidup dan kehutanan; (c) desa, pembangunan daerah tertinggal

dan transmigrasi; (d) pertanian; (e) kelautan dan perikanan; (f) pekerjaan

Page 38: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

34

umum dan perumahan rakyat; (g) koperasi, usaha kecil dan menengah; (h)

pemberdayaan masyarakat; (i) perindustrian; (j) perdagangan; (k) Badan

Usaha Milik Daerah; (l) keuangan; (m) energi sumber daya mineral; dan (n)

perencanaan pembangunan daerah.

Peran Bupati Sanggau dalam pelaksanaan reforma agraria sangat

besar, baik dalam penetapan kebijakan maupun dalam pelaksanaan kebijakan.

Dalam penetapan kebijakan Bupati Sanggau telah memasukkan agenda RA di

dalam RPJMD Tahun 2014 – 2019, menetapkan GTRA sebagai organisasi

pelaksana reforma agraria, serta membentuk Panitia Pertimbangan

Landreform (PPL).

Dalam pelaksanaan kebijakan, sebagai Ketua PPL Bupati Sanggau

telah berperan dalam memimpin Sidang PPL yang membahas: (a) letak,

status, luas, penggunaan, penguasaan, kesesuaian rencana tata ruang, dan

kondisi tanah “clean and clear”; (b) objek dan subjek yang akan diusulkan

untuk ditetapkan menjadi Objek dan Subjek Redistribusi; (c) calon subjek

redistribusi; (d) pemberian pertimbangan dan rekomendasi dalam penetapan

Objek dan Subjek Redistribusi; (e) penetapan besarnya ganti kerugian dan

harga tanah apabila objek redistribusi berasal dari tanah kelebihan maksimum

dan absentee sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Selain itu Bupati juga mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun

2018 tentang Standar Biaya Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap

(Gambar 3.3). Peraturan Bupati tersebut digunakan sebagai dasar bagi

pemerintah desa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pembiayaan persiapan pendaftaran tanah. Dalam hal ini, peraturan bupati ini

juga digunakan dalam pensertipikatan tanah hasil redistrbusi, dimana besaran

biaya tidak boleh melebihi Rp. 250.000,-.

Peraturan bupati ini menunjukkan bahwa Bupati memberikan dasar

bagi pembiayaan yang ditanggung oleh masyarakat secara jelas, yang

disebutnya sebagai bagian dari upaya partisipasi aktif masyarakat dalam

kegiatan pendaftaran tanah.

Page 39: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

35

Gambar 3.3. Potongan Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2018

(Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau, 2019)

3. Pemerintah Desa

Desa dan pemerintah desa adalah sebuah entitas yang mampu

memandirikan diri dengan mengembangkan aset-asetnya sebagai sumber

penghidupan. Dalam konteks ini pemerintah desa harus mengeluarkan

kebijakan perencanaan, keuangan, dan melakukan pelayanan dasar bagi

warga masyarakat dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Salah satunya adalah terlibat di dalam pelaksanaan reforma

agraria. Dalam hal ini pemerintah desa mempunyai peran dalam hal fasilitasi

dan pendampingan, baik dalam kegiatan perencanaan maupun sosialisasi,

serta dalam kegiatan pelaksanaan pengukuran dan pengumpulan data yuridis.

Fasilitasi dilakukan oleh pemerintah desa melalui pemberian tempat

untuk sosialisasi dan penyediaan tempat untuk base camp kegiatan reforma

agraria. Fasilitasi juga dilakukan melalui penyediaan sumberdaya manusia

(perangkat desa/tokoh masyarakat) untuk mendampingi petugas yang survey

dalam pengumpulan data pertanahan.

Pendampingan dilakukan oleh pemerintah desa kepada masyarakat

sebagai calon subjek penerima redistribusi tanah. Baik dalam kegiatan

pengukuran, pengumpulan data yuridis maupun dalam pemenuhan

kelengkapan berkas yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Page 40: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

36

4. Non Government Organization (NGO)

Informasi keterlibatan dan peran NGO dalam pelaksanaan reforma

agraria diperoleh melalui wawancara dengan aktifis NGO, baik pada

kesempatan Rembug Nasional Reforma Agraria pada tahun 2018 maupun

pada saat kunjungan ke lapangan pada tahun 20191. Berdasarkan interview

yang dilakukan, beberapa hal penting yang dapat dicatat antara lain: (a)

Masih terdapat perbedaan persepsi antara Reforma Agraria dan Perhutanan

Sosial, sehingga NGO yang bergerak di bidang kehutanan dengan Perhutanan

Sosial, tidak lagi mengkaitkan dengan Reforma Agraria; (b) Terdapat 5 NGO

yang terlibat dalam Pokja Perhutanan Sosial Kabupaten Sanggau, yakni:

Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), LPagar, Yayasan Perhutanan

Sosial Bumi Katulistiwa (YPSBK), LPBBT dan Yayasan Pancur Kasih; (c)

Pokja tersebut difasilitasi kantor sekretariat oleh Bupati di komplek kantor

Bupati; (d) Terdapat 4 NGO yang terlibat sebagai bagian dari Gugus Tugas

Reforma Agraria (GTRA); (d) Pemerintah Kabupaten Sanggau juga

melibatkan kalangan akademisi sebagai konsultan ahli, yakni Dosen

Kehutanan dan Dosen Fisipol pada Universitas Tanjung Pura Pontianak.

Secara operasional, sebagaimana NGO yang ada di Indonesia mereka

berperan dalam menumbuhkan critical mass di dalam masyarakat dan

melakukan berbagai pendampingan terkait agenda reforma agraria. Namun

sayangnya hingga saat ini masing-masing NGO yang terlibat dalam RA dan

PS di Kabupaten Sanggau belum memiliki satu dokumen yang berisi

kesepahaman dan kesepakatan tentang agenda RAPS. Bahkan di antara aktifis

NGO-pun belum ada pemahaman yang clear terkait dengan RAPS, dan ada

kecenderungan aktivis yang bergerak di PS akan mengambil jarak dengan

agenda RA, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, peran NGO dalam

pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sanggau dapat dikatakan belum

1 Wawancara dengan Ipur (Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat - LPagar) dan Cion Alexander (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara dan Asosiasi Petani Sawit)

Page 41: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

37

efektif. Tetapi partisipasi dalam setiap tahapan reforma agraria selalu

dilakukan dan juga dilibatkan oleh kantor pertanahan.

Page 42: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

38

BAB IV

PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF SOLUSI

A. Permasalahan Yuridis

Reforma Agraria merupakan amanat Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor IX tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pelaksanaan Reforma Agraria diatur melalui

Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria, dan Peraturan

Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di

Kawasan Hutan. Proses pelaksanaan Reforma Agraria dari skema Redistribusi

Tanah ini sedang berjalan dengan melalui berbagai proses pembelajaran, seperti

halnya pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang sudah berjalan

sejak tahun 2016 dan terus menerus berproses dengan berbagai perbaikan

sehingga menemukan tata laksana yang ideal. Proses pembelajaran dapat

dilakukan melalui monitoring dan evaluasi pelaksanaan RA dengan

mengidentifikasi berbagai masalah yang terjadi di tataran empiris dan

merumuskan kemungkinan-kemungkinan solusi masalah.

Ada beberapa persoalan yang teridentifikasi dalam proses pelaksanaan

RA dengan skema redistribusi tanah di Kabupaten Sanggau yaitu

1. Ketentuan, pasal 17 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 yang dilaksanakan

melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 56

tahun 1960, menyatakan bahwa 1 (satu) keluarga hanya diperbolehkan

menguasai lahan pertanian seluas 20 hektare baik berupa sawah maupun

tanah kering. Kenyataannya di Desa Engkode, Kecamatan Mukok terdapat

wilayah hutan yang sudah ada SK Pelepasannya dari BPKH Provinsi

Kalimantan Barat, namun penguasaannya 1 keluarga menguasai lebih dari 20

Ha. Untuk mengurangi penguasaan yang melebihi 20 Ha ini menjadi

persoalan tersendiri, bahkan sangat mungkin menimbulkan sengketa agraria.

2. Terdapat ketidaksinkronan antara Perpres 86 tahun 2018 tetang RA dengan

Perpres 88 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan

Page 43: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

39

Penyediaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) menurut Perpres 88 tahun

2017 dilaksanakan dalam beberapa tahapan sebagai berikut :

Gambar 4.1. Tahapan Penyediaan TORA dari Pelepasan Kawasan Hutan

Pasal 4 Perpres 88 tahun 2017 menyebutkan hal ihwal penguasaan tanah yang

berada dalam kawasan hutan yang dapat diselesaikan atau ditindaklanjuti

melalui RA harus memenuhi beberapa kriteria yaitu

a. bidang tanah telah dikuasai oleh Pihak secara fisik dengan itikad baik dan

secara terbuka;

b. bidang tanah tidak diganggu gugat; dan

c. bidang tanah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau

kepala desa/kelurahan yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian

orang yang dapat dipercaya

Selanjutnya yang dimaksud sebagai para pihak yang menguasai atau subyek

yang menguasai bidang tanah yang berada dalam kawasan hukum tersebut

dapat berupa, Perorangan, Badan Hukum, Instansi, dan Masyarakat

Hukum adat

Pengalokasian TORA dari pelepasan kawasan hutan meliputi 3

kegiatan yaitu (1) Penetapan Kriiteria; (2) Pemetaan indikatif; (3) Penetapan

Page 44: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

40

indikatif. Penetapan TORA indikatif yang berasal dari kawasan hutan adalah

sebagai berikut :

a. Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan.

b. Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) berhutan tidak produktif

c. Program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru.

d. Permukiman transmigrasi beserta fasos-fasum yang sudah mendapat

persetujuan prinsip.

e. Permukiman, fasos dan fasum.

f. Lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat.

g. Pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama

masyarakat setempat.

Perpres Nomor 86 tahun 2018, pasal 10 ayat 2, menyebutkan bahwa

tanah objek redistribusi tanah untuk kategori non pertanian diberikan dengan

pemberian sertifikat hak milik, sementara pada ayat (3) disebutkan bahwa

untuk tanah obyek redistribusi tanah non pertanian yang memerlukan penataan

diberikan dengan konsolidasi tanah dan diterbitkan hak atas satuan rumah

susun, maupun hak milik. Hal ini menyulitkan karena subyek redistribusi

tanah yang berasal dari kawasan hutan pada kenyataannya bukan hanya

perseorangan, namun juga instansi Pemerintah maupun lembaga sosial dan

atau keagamaan, yang kepadanya tidak boleh diberikan Hak Milik, melainkan

hanya Hak Pakai.

B. Permasalahan Kelembagaan dan SDM

Persoalan kelembagaan yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma

agrarian adalah peran masing-masing stake holder yang belum bersistem. Dalam

rumusan SK GTRA maupun PPL Kabupaten Sanggau, belum secara tegas

merumuskan siapa mengerjakan apa, serta bagaimana kesesuaian peran masing-

masing stake holder dengan tugas dan fungsinya. Dalam Surat Keputusan Bupatei

Sanggau tentang Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria hanya disebutkan

Page 45: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

41

posisi jabatan masing-masing. Rumusan tugas masing-masing stake holder selama

ini hanya didasarkan interpretasi Pimpinan Kantor Pertanahan dan Pimpinan

Pemerintahan Daerah, namun belum secara resmi bersinergi termasuk dalam hal

perencanaan dan penyusunan kegiatan yang dapat dibiayai bersama dengan DIPA

Kantor Pertanahan yang sinkron dengan DIPA kegiatan OPD-OPD terkait atau

yang termsuk stake holder dalam pelaksanaan RA. Hal ini menyebabkan Kantor

Pertanahan harus berperan sangat aktif jika menginginkan agenda RA di

wilayahnya dapat berjalan sukses.

Kecukupan SDM juga menjadi masalah dalam percepatan pelaksanaan

RA dari sisi redistribusi tanah. Karena tenaga pelaksana tidak mencukupi untuk

mengimplementasikan RA, maka dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan RA

tidak dapat dilaksanakan dengan efektif.

C. Alternatif Penyelesaian Masalah

Penyelesaian reforma agraria dengan objek berupa tanah yang berasal

dari pelepasan kawasan hutan memerlukan dukungan kebijakan tersendiri. Karena

pada kenyataanya ada tanah-tanah yag secara nyata telah digunakan oleh

masyarakat untuk kegiatan-kegiatan keagamaan seperti masjid, dan gereja,

maupun kegiatan-kegiatan social kemsayarakatan yang lain seperti fasilitas social

maupun fasilitas umum perlu kiranya disebutkan secara jelas dalam pengaturan

mengenai obyek TORA yang sudah dalam penguasaan lembaga-lembaga social

keagamaan maupun organisasi kemasayarakatan.

Sementara itu untuk mengatasi masalah-masalah kelembagaan, perlu

ada peningkatan komunikasi antar Menteri yang kemudian diturunkan kepada

organ-organ Kementerian di daerah. Diperlukan kesepahaman dan komitmen

yang kuat antar kementrian sehingga Reforma Agraria benar-benar menjadi

progam bersama antar Kementrian dan Lembaga Non Kementerian. Keterikatan

(engagement) antar stake holder semestinya dapat diimplementasikan dalam

program perencanaan kegiatan lintas OPD, Kejaksaan, Kepolisian, maupun

Kantor Pertanahan yang didukung oleh anggaran dalam DIPA masing-masing

Page 46: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

42

stake holder. Untuk itu perlu dikomunikasikan seluruh proses reforma agrarian

dasi aspek akses reform maupun asset reform yang dirincikan dalam kegiatan

masing-masing stake holder.

Page 47: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

43

BAB V

STRATEGI PENATAAN KELEMBAGAAN

PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA

Sebagai salah satu agenda strategis nasional, agenda reforma agraria perlu

menjadi prioritas untuk dijalankan. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma

Agraria 2016 – 2019 yang disusun oleh Kantor Staf Presiden feasible

diorientasikan untuk menjadi rujukan dalam menjalankan agenda reforma agraria

oleh para pemangku kepentingan.

Terdapat 6 (enam) Program Prioritas yang diperlukan untuk menjalankan

reforma agraria (Gambar 5.1), yakni: (1) Penguatan Kerangka Regulasi dan

Penyelesaian Konflik Agraria; (2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Obyek Reforma Agraria; (3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah

Objek Reforma Agraria; (4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan,

Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria; (5) Pengalokasian

Sumberdaya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat; serta (6) Kelembagaan

Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah. Keseluruhan program ini harus

dilakukan secara simultan oleh pemangku kepentingan yang berhubungan dengan

reforma agraria. Keterlibatan kementerian dan lembaga pemerintah pusat,

pemerintah daerah, dan pemerintah desa, kelompok-kelompok organisasi

masyarakat sipil, maupun para perwakilan dari masyarakat yang mendapatkan

manfaat dari program Reforma Agraria mutlak diperlukan.

Page 48: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

44

Gambar 5.1. Program Prioritas dalam Reforma Agraria (KSP, 2016)

Dalam konteks kekinian, pada dasarnya keenam program prioritas di atas

sudah dilakukan, meskipun masih terdapat berbagai keterbatasan. Namun

demikian, persoalan yang hingga kini masih menjadi persoalan adalah persoalan

kelembagaan, utamanya kelembagaan reforma agraria di daerah.

Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) belum sepenuhnya terbentuk di

wilayah Kalimantan Barat. GTRA kabupaten/kota yang sudah terbentuk baru 10

kabupaten dari sejumlah 14 kabupaten/kota se Kalimantan Barat. Salah satu

GTRA yang aktif dan produktif adalah GTRA Kabupaten Sanggau. GTRA

Kabupaten Sanggau terbentuk pada tanggal 31 Januari 2018. GTRA ini adalah

GTRA pertama kali di Kalimantan Barat, bahkan sebelum terbentuknya GTRA

Provinsi, yang baru dibentuk pada tanggal 6 Januari 2019. Strategi penataan

kelembagaan yang dapat diterapkan untuk mempercepat pelaksanaan reforma

agraria di daerah antara lain: (1) Intervensi Kebijakan Pemerintah Daerah; (2)

Berbagi Peran dalam Pelaksanaan RA; dan (3) Optimalisasi Gugus Tugas

Reforma Agraria.

A. Intervensi Kebijakan Pemerintah Kabupaten

Salah satu implementasi kegiatan prioritas dalam agenda reforma

agraria adalah Kelembagaan Pelaksanaan Reforma Agraria, baik Pusat

Page 49: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

45

maupun Daerah, yakni pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria. Gugus

Tugas Reforma Agraria terdiri dari unsur-unsur teknis yang melaksanakan

penyiapan data dan lokasi serta fasilitasi pemberian aset reform, yang terdiri

dari unsur-unsur Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah

Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Unit Kerja Daerah

Kementerian/Lembaga Pusat terkait.

Dalam konteks GTRA Kabupaten, Gugus Tugas Reforma Agraria

Kabupaten diketuai oleh Bupati dengan wakil ketua Sekretaris Daerah

Kabupaten. Sebagai Ketua Pelaksana Harian adalah Kepala Kantor

Pertanahan dengan anggota Pejabat Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten,

Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten, dan Wakil dari masyarakat yang

berpengalaman di bidang reforma agraria.

GTRA Kabupaten Sanggau terbentuk lebih awal dibanding daerah

lain, karena Bupati Sanggau memahami betul bahwa agenda reforma agraria

adalah agenda nasional yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan.

Bupati Sanggau mempunyai pengalaman mengadvokasi masyarakat dalam

pengelolaan hutan pada saat sebelum menjabat sebagai Bupati. Oleh karena

itu intervensi pemerintah Kabupaten Sanggau dalam pelaksanaan Reforma

Agraria dilakukan oleh Bupati, baik secara formal maupun secara informal.

1. Intervensi Formal

a. Intervensi melalui RPJMD. Agenda Reforma Agraria dimasukkan

dalam RPJMD Kabupaten Sanggau Tahun 2014 - 2019, khususnya

pada Misi ke-3 yakni Pengembangan Ekonomi Kerakyatan. Menurut

Bupati, masalah pertanahan menjadi modal penting untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengingat tanah masih

menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Sanggau2. Agenda

reforma agraria dianggap sejalan dengan RPJMN dan RPJMD, maka

operasionalnya harus diprioritaskan. Hal ini juga dilakukan dengan

pertimbangan bahwa wilayah Kabupaten Sanggau sudah banyak

2 Wawancara dengan Bupati Sanggau, 30 September 2019

Page 50: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

46

investasi dan perkembangan, apabila pemerintah kabupaten abai, bisa

menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru;

b. Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria. Mengingat instititusi

pemerintah yang aktif menjalankan agenda reforma agraria adalah

Kementerian ATR/BPN, maka hal-hal yang dikomunikasikan oleh

Kantor Pertanahan betul-betul diperhatikan. Oleh karena itu Bupati

sejak awal telah menetapkan GTRA Kabupaten Sanggau melalui

Keputusan Bupati Nomor 119 Tahun 2018 pada tanggal 31 Januari

2018.

c. Pembentukan Panitia Pertimbangan Landreform. Sebagai tindaklanjut

dari pembentukan GTRA, maka agenda operasionalisasi landreform

segera dijalankan. Berdasarkan Petunjuk Teknis Redistribusi Tanah

Tahun 2019, salah satu kewenangan Bupati/Walikota adalah

menetapkan SK Panitia Pertimbangan Landreform (PPL). Salah satu

tugas PPL adalah memberikan pertimbangan objek dan subjek yang

akan ditetapkan menjadi Objek dan Subjek Redistribusi berdasarkan

hasil pengukuran dan pemetaan serta inventarisasi dan identifikasi

objek dan subjek. Dalam hal ini Bupati Sanggau telah menetapkan

Keputusan Bupati Nomor 139 Tahun 2019 tentang Pembentukan

Panitia Pertimbangan Landreform Kabupaten Sanggau (Gambar 5.2).

Dalam konsideran disebutkan bahwa PPL dibentuk untuk memberikan

saran dan pertimbangan dalam pelaksanaan redistribusi tanah.

Page 51: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

47

Gambar 5.2. Potongan SK Bupati tentang PPL

(Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Sanggau, 2019)

d. Memberlakukan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yakni

Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Daerah

Tertinggal dan Transmigrasi tentang Pembiayaan Persiapan

Pendaftaran Tanah Sistematis. Untuk wilayah Provinsi Kalimantan

Barat, termasuk dalam Kategori III, dimana biaya persiapan

pembiayaan pendaftaran tanah sistematis ditetapkan sebesar Rp.

250.000,-. Dalam hal ini Bupati Sanggau juga menetapkan biaya

sesuai dengan keputusan tersebut.

2. Intervensi Informal

a. Bupati secara pribadi dan kelembagaan selalu mensosialisasikan dan

mendorong agenda reforma agraria, karena masyarakat membutuhkan

kepastian hak atas pada tanah-tanah yang sudah dikuasainya, utamanya

untuk HGU yang dilepaskan dan Kawasan Hutan (area penggunaan

lain – APL);

b. Agenda RA sudah dikembangkan Bersama, bahkan agenda reforma

agraria diikuti dengan penyelesaian masalah yang terkait, seperti

kependudukan dan SIM;

Page 52: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

48

c. Mengembangkan strategi pembangunan yang terintegrasi dengan

pembangunan desa, melalui Program Pembangunan Desa Fokus;

d. Saat ini masih terdapat 32 desa di Sanggau yang belum ada listriknya

dan angka kemiskinan relatif rendah (4,26%). Dalam setiap

kesempatan Bupati selalu menekankan bahwa salah satu strategi untuk

mengatasi kemiskinan adalah melalui penguatan hak atas tanah.

Penguatan hak atas tanah ini salah satunya dilakukan melalui agenda

reforma agraria.

Di luar intervensi kebijakan yang dilakukan oleh Bupati dan

Pemerintah Daerah sebagaimana di atas, intervensi yang dapat

dikembangkan untuk percepatan pelaksanaan agenda reforma agraria

antara lain: (1) mensinkronkan tanah-tanah objek reforma agraria ke

dalam arahan pola ruang pada RTRW Kabupaten/Kota, agar sesuai dengan

sifat dan status haknya; (2) meng-enclave kawasan hutan yang sudah

dikuasai dan dikelola oleh masyarakat dan memenuhi syarat untuk

dilakukan pelepasan dari kawasan hutan, menjadi kawasan yang

memungkinkan diberikan hak atas tanah; (3) mengakomodasi objek-objek

reforma agraria dan menjadi dasar dalam penyusunan dan/atau revisi

RTRW; (4) mensinkronisasikan urusan penataan ruang daerah yang

menjadi domain pemerintah daerah dengan urusan agraria-pertanahan

yang menjadi urusan pemerintah; (5) memastikan paradigma land

management yang mencakup aspek penguasaan, pemilikan, penggunaan

dan pemanfaatan tanah (P4T) menjadi basis dalam kebijakan penataan

ruang, sehingga mampu mendukung agenda-agenda reforma agraria.

B. Berbagi Peran dalam Pelaksanaan RA

Sesuai sifat reforma agraria yang lintas sektor, maka

penyelenggaraan reforma agraria perlu kerja kolaboratif antar stake holder

yang terlibat. Keterlibatan tersebut sesuai dengan kewenangan yang

dimiliki masing-masing stake holder. Hal ini perlu dikedepankan,

mengingat penyelenggaraan reforma agraria selama ini terkesan atau

Page 53: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

49

dikesankan hanya tanggungjawab Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Secara normatif, kerja kolaboratif

sudah digariskan dalam Perpres 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Namun demikian, operasionalisasi di lapangan masih terkesan setengah

hati. Sebagai contoh, hingga saat ini belum seluruh wilayah provinsi dan

kabupaten/kota terbentuk GTRA. Beberapa wilayah yang GTRA-nya

sudah terbentukpun, belum didukung dengan penganggaran dan agenda

kerja yang jelas.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan didorong agar agenda

reforma agraria dapat dijalankan secara bersama-sama dengan melibatkan

stake holder yang terlibat antara lain:

1. Perlu adanya pengarusutamaan (mainstreaming) reforma agraria kepada

seluruh stake holder yang berkepentingan dan bersinggungan dengan

urusan reforma agraria;

2. Pemerintah, dalam hal ini presiden harus memberikan dukungan dalam

pelaksanaan Perpres 86 Tahun 2018 melalui kementerian/lembaga

terkait;

3. Reforma agraria harus dijadikan salah satu agenda strategis pemerintah

yang didukung dengan regulasi yang bersifat teknis operasional,

pendanaan yang memadai dan mekanisme kerja yang jelas dan

melibatkan seluruh stake hoder;

4. Gubernur selaku Ketua GTRA Provinsi dan Bupati/Walikota sebagai

Ketua GTRA Kabupaten/Kota perlu menggerakkan OPD di bawahnya

untuk bersama-sama menjadikan RA sebagai agenda bersama melalui

penyusunan rencana kegiatan dan program (RKP) berikut

pendanaannya sesuai dengan tugas dan fungsi yang diberikan sebagai

bagian dari GTRA;

5. Kalangan akademisi perlu memberikan hasil kajian yang solutif dan

kontributif untuk keberhasilan pelaksanaan reforma agraria. Apabila

diperlukan dapat menjadi bagian dari GTRA, yang secara regulasi

diperbolehkan;

Page 54: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

50

6. Kalangan NGO secara aktif partisipatif dapat menjembatani

kepentingan masyarakat calon penerima manfaat dengan GTRA dan

pemerintah daerah sebagai pelaksana;

7. Pelaku bisnis, utamanya yang bergerak di sektor kehutanan dan

perkebunan dapat secara proaktif dan sukarela memberikan sebagian

tanah yang dikuasainya (20% dari Tanah Negara yang diberikan kepada

pemegang HGU).

Berkenaan dengan hal tersebut, maka masing-masing stake holder

dapat memainkan peran sebagaimana dalam Tabel 5.1. berikut.

Tabel 5.1. Berbagi Peran dan Strategi Para Pihak dalam Pelaksanaan RA

No Stake Holder Peran Strategi

1 Kantor Staf Presiden Sebagai penggerak dan

Pendorong Reforma Agraria

Mengintervensi Kebijakan

Politik Presiden

2 Menteri Koordinator

Perekonomian

Ketua Tim Reforma Agraria

Nasional

Men-drive

Kementerian/Lembaga

yang terkait

3 Kementerian KLHK Kelompok Kerja Pelepasan

Kawasan Hutan dan

Perhutanan Sosial

Menerbitkan Peta Indikatif

Alokasi TORA

Anggota dari Tim PPTKH dan

Tim Inver

Melalui BPKH dengan Tim

Inver sebagai pelaksana

Inventarisasi dan Verifikasi

PPTKH

Turun serta merumuskan pola

penyelesaian PTKH

Melalui Dirjen Planologi

melakukan tata batas kehutanan

hasil dari PPTKH

Mengalokasikan anggaran

Memperkuat komitmen

seluruh lembaga dan SDM

di KLHK dan

Mengalokasikan

Anggaran secara memadai

4 Kementerian ATR/BPN Ketua GTRA Pusat

Menjadi Bagian dari Tim

PPTKH

Anggota Tim Inver

Melaksanakan kegiatan

PPTKH dilapangan

Peran utama Kementerian

ATR/BPN kegiatan pasca

Memperkuat komitmen

seluruh lembaga dan SDM

di Kementerian ATR/BPN

Memegang komando

operasional agenda RA

Mengalokasikan

Anggaran secara memadai

Page 55: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

51

PPTKH yakni sertipikasi tanah

dengan legaliasasi aset dan

redistribusi tanah

Mengalokasikan anggaran

5 Pemerintah Provinsi Gubernur Sebagai Ketua

GTRA Provinsi

Sebagai pembentuk Tim Inver

di Provinsi

Sebagai perantara antara Tim

Inver di Provinsi dengang Tim

PPTKH Pusat

Mengalokasikan anggaran

pendamping

Memimpin implementasi

kebijakan di lapangan

pada level provinsi;

Mengkoordinasikan

Penyiapan TORA;

Memfasilitasi Penataan

Akses;

Mengalokasikan anggaran

6 Pemerintah

Kabupaten/Kota

Bupati/Walikota Sebagai Ketua

GTRA

Mengkoordinasikan

Penyediaan TORA;

Memberikan Usulan Penegasan

TORA;

Perantara antara Tim Inver

dengan masyarakat

Perantara data dan informasi

antara Tim PPTKH, Tim Inver

dan Masyarakat

Memimpin implementasi

kebijakan di lapangan

pada level kabupaten/kota;

Mengkoordinasikan

Penyediaan TORA;

Melaksanakan Penataan

Akses;

Membentuk Panitia

Pertimbangan

Landreform;

Mengalokasikan anggaran

7 NGO/Ormas Pendorong dari pihak luar

dalam kegiatan PPTKH & RA

Pengawasan eksternal untuk

terselenggaranya PPTKH dan

RA

Pendamping Masyarakat

Mendampingi,

Menguatkan dan

Meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam Agenda

PPTKH dan RA

8 Akademisi Menjadi Bagian dari GTRA;

Menumbuhkan Critical Mass di

Masyarakat

Meningkatkan kapasitas

GTRA dan partisipasi

masyarakat dalam PPTKH

dan RA;

Memberikan rekomendasi

akademik terkait

pelaksanaan PPTKH dan

RA.

9 Pelaku Bisnis Penyedia TORA dari HGU Melepaskan 20% Tanah

Negara yang diberikan

HGU

Apabila peran dan strategi sebagaimana di atas, dapat dilaksanakan oleh

semua pemangku kepentingan, maka agenda reforma agraria, baik dari dengan

skema TORA maupun penyelesaian penataan tanah pada kawasan hutan

(PPTKH) adalah sebuah keniscayaan. Bagi seluruh jajaran Kementerian

Page 56: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

52

ATR/BPN strategi memperkuat komitmen seluruh elemen kelembagaan dan

SDM di kementerian ATR/BPN dan mengalokasikan anggaran secara

memadai merupakan pra kondisi berjalannya agenda refroma agraria maupun

agenda PPTKH.

Komitmen tersebut dapat diimplementasikan dalam berbagai agenda,

baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, Ditjend Penataan

Keagrariaan perlu melakukan pengarusutamaan reforma agraria secara massif

ke seluruh jajaran kantor wilayah dan kantor pertanahan di seluruh Indonesia.

Selain itu juga menempatkan agenda reforma agraria sejajar dengan agenda

PTSL, sehingga dapat terakselerasi ke dalam bentuk program dan kegiatan

prioritas yang tersistem, teranggarkan dan dilaksanakan.

Secara eksternal, seluruh jajaran Kementerian ATR/BPN secara

proaktif melakukan koordinasi dan sosialiasi tentang pentingnya agenda

reforma agraria ke seluruh pemangku kepentingan, baik kementerian/lembaga

terkait, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, kalangan akademisi, NGO

dan pelaku bisnis.

C. Optimalisasi Gugus Tugas Reforma Agraria

Hampir sebagian besar wilayah yang dikunjungi peneliti ataupun

dimana peneliti terlibat, peran GTRA menunjukkan kinerja yang belum

optimal bahkan di beberapa wilayah GTRA belum terbentuk (Salim, dkk

2019). GTRA yang sudah terbentuk dan bekerja optimal hanya ditemukan di

Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, meskipun upaya untuk merealisasikan

agenda reforma agraria juga belum seperti yang diharapkan. Persinggungan

dengan organ KLHK, dalam hal ini adalah BPKH menjadi problem krusial

(Sutaryono, dkk. 2018).

Beberapa fakta yang menunjukkan bahwa peran GTRA belum optimal

antara lain: (1) ada kecenderungan pembentukan GTRA bersifat normati; (2)

belum adanya alokasi anggaran untuk operasionalisasi GTRA, baik dari

pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) maupun dari institusi

pertanahan (kanwil BPN dan kantor pertanahan kabupaten/kota); (3)

Page 57: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

53

Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terlibat belum secara kelembagaan

memasukkan agenda reforma agraria ke dalam program dan kegiatan yang

diampunya; (4) belum tersedianya anggaran masing-masing OPD yang terlibat

untuk mendukung kegiatan reforma agrarian; (5) belum adanya persepsi yang

sama terhadap agenda reforma agraria; (6) apabila agenda reforma agrarian

berjalan, lebih karena sikap proaktif kantor pertanahan atau kanwil BPN

dimana Kepala Kantornya sebagai Ketua Harian dan institusi yang

dipimpinnya sebagai sekretariat GTRA.

Beberapa fakta di atas perlu segera diatasi dengan berbagai agenda,

utamanya berkenaan dengan optimalisasi peran GTRA dalam percepatan

pelaksanaan reforma agraria. Beberapa agenda yang dapat dilakukan dalam

rangka optimalisasi peran GTRA antara lain:

1. Perlu diterbitkannya kebijakan yang mengatur dan mendorong berperannya

GTRA melalui kementerian/lembaga terkait dalam bentuk Instruksi

Presiden. Hal ini sebagaimana dilakukan dalam rangka percepatan

Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) melalui Instruksi Presiden

Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan PTSL, yang ditandatangani pada

tanggal 13 Februari 2018. Dalam hal ini instruksi dapat ditujukan kepada

kementerian/Lembaga terkait, Kejaksaan, Polri, dan Pemerintah Daerah;

2. Perlu adanya mainstreaming agenda reforma agraria kepada seluruh

pimpinan daerah sebagai Ketua GTRA. Hal ini diorientasikan agar

pimpinan daerah menyadari bahwa reforma agraria adalah agenda Bersama

untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Gubernur dan Bupati/Walikota selaku Ketua GTRA untuk memerintahkan

kepada semua OPD yang terlibat dalam GTRA untuk menyusun program

dan mengalokasikan anggaran terkait dengan agenda reforma agraria;

4. Kepala Kanwil BPN dan Kepala kantor pertanahan sebagai ketua harian

GTRA sekaligus membawahi sekretariat GTRA perlu secara proaktif

melakukan langkah-langkah koordinasi;

5. Pemerintah desa juga perlu mengalokasikan anggaran untuk berpartisipasi

aktif dalam agenda-agenda reforma agraria.

Page 58: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

54

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten

Sanggau adalah institusi pertanahan, institusi non pertanahan dan

masyarakat;

2. Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma agraria adalah

permasalah yuridis, permasalahan kelembagaan dan permasalahan

sumberdaya manusia.

3. Untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria perlu dilakukan penataan

kelembagaan melalui intervensi kebijakan oleh bupati, berbagi peran antar

pemangku kebijakan yang terlibat dalam reforma agraria; dan optimalisasi

peran Gugus Tugas Reforma Agraria.

B. Rekomendasi

1. Menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang RA

dengan Peraturan Menteri yang mengatur tentang pembagian tugas bagi

pemangku kepentingan yang terlibat dalam reforma agraria;

2. Perlu diterbitkannya Instruksi Presiden kepada pihak-pihak yang terkait

untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan reforma agrarian.

3. Mensosialisasikan keberadaan GTRA berikut perannya secara lebih massif;

4. Memberikan alokasi anggaran untuk operasional GTRA dan pelaksanaan

reforma agraria secara memadai.

Page 59: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

55

DAFTAR PUSTAKA

Cox, et al, 2003. FAO in Agrarian Reform. The Land Tenure Service of The

Rural Development Division. FAO. Rome.

Joyo Winoto, 2008. Tanah Untuk Rakyat, Risalah Tentang Reforma Agraria,

Tidak diterbitkan

_____________. 2009. Sambutan Kepala BPN RI Pada Peringatan Hari Agraria

Nasional Ke-49, 24 September 2009. BPN RI. Jakarta.

Kantaatmadja, Mieke Komar. 1994. Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang.

Mandar Maju, Bandung.

Kantor Staf Presiden, 2016. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria

Tahun 2016 – 2019. Kantor Staf Presiden, Jakarta.

Kompas, 2017. Reforma Agraria Berjalan Lambat, SKH Kompas 9-1-2017.

Jakarta.

Muhajir, M. 2015. Satu Tahun Perber 4 Menteri tentang Penyelesaian

Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan: Kendala, Capaian dan

Arah ke Depan. Policy Brief Volum 02/2015. Epistema Institute. Jakarta.

Ratna Djuita, 2016. Penyelesaian Penguasaan Tanah Masyarakat Di Kawasan

Hutan Dalam Rangka Pendaftaran Tanah. Puslitbang Kementerian

Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahah Nasional. Jakarta.

Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah Dinas Kehutanan Provinsi

Kalimantan Barat Tahun 2013-2018

Safitri, Myrna. 2014. Hak Menguasai Negara Di Kawasan Hutan : Beberapa

Indikator Menilai Pelaksanaanya, Jurnal Hukum Lingkungan Vol. 1 Issue

2 , Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia.

___________, 2016. Menuju Administrasi Pertanahan Tunggal. Policy Bref

Volume 2 Tahun 2016. Epistema Institute. Jakarta.

Salim, MN, dkk. 2019, “Mempercepat Agenda Reforma Agraria: Tantangan Ke

Depan” dalam Kumpulan Policy Brief Permasalahan dan Kebijakan

Agraria, Pertanahan dan Tata Ruang di Indonesia. STPN Press.

Yogyakarta.

Page 60: LAPORAN PENELITIAN PENATAAN KELEMBAGAN REFORMA …

56

Sirait, Martua T. 2017. Inklusi, Eksklusi dan Perubahan Agraria, STPN Press,

Yogyakarta.

Sitorus, Oloan. 2004. Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah. Mitra

Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.

Sutaryono, dkk. 2018. Hubungan Negara Dan Masyarakat Sipil Dalam Kebijakan

Reforma Agraria Dan Penyelesaian Permasalahan Tanah Dalam

Kawasan Hutan Di Kabupaten Sigi. Laporan Penelitian. Sekolah Tinggi

Pertanahan Nasional. Yogyakarta.

Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan

Penelitian Agraria, STPN Press, Yogyakarta

Peraturan Perundang-undangan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPR/2001 Tentang

Pembaharuan Agraria dan Sumber Daya Alam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tetang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah

Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional Tahun 2014 – 2019.

Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.

Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah

Sistematik Lengkap.