laporan penelitian estetika sebagai motivasi …

60
LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI PELISANAN DALAM MABEBASAN DI BALI UNIVERSITAS UDAYANA Ketua: Drs. A.A Gede Bawa, M.Hum. NIDN 0031125474 Anggota: DR. Drs. I Nyoman Sukartha, M.Hum. NIDN 0005115504 Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. NIDN 0008045910 Drs. I Wayan Sukersa, M.Hum. NIDN 0021075502 PRGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA 2018

Upload: others

Post on 14-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

LAPORAN PENELITIAN

ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI PELISANAN DALAM

MABEBASAN DI BALI

UNIVERSITAS UDAYANA

Ketua:

Drs. A.A Gede Bawa, M.Hum. NIDN 0031125474

Anggota:

DR. Drs. I Nyoman Sukartha, M.Hum. NIDN 0005115504

Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. NIDN 0008045910

Drs. I Wayan Sukersa, M.Hum. NIDN 0021075502

PRGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

2018

Page 2: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

2

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji sukur kami haturkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

anugrah Beliaulah maka penelitian ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya.

Penelitian ini berjudul: “Estetika Sebagai Motivasi Pelisanan Dalam

Mabebasan Di Bali” dikerjakan bersama oleh Tim Peneliti Program Studi Sastra Jawa

Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Penelitian ini dibiayai oleh Dana

DIPA PNBP Universitas Udayana tahun 2018. Dana tersebut merupakan salah satu

implementasi Rencana Kerja Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana. Untuk itu, kepada semua yang ikut membantu penelitian ini

kami ucapkan terima kasih.

Penelitian ini dirasa belum sempurna. Untuk itu diharapkan sumbangan

pikiran berupa saran dari pembaca demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Terima

kasih

Denpasar. 20 Oktober 2018

Ketua Tim Peneliti

Page 3: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

3

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL……………………………………………. 1

KATA PENGANTAR...................................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................................... 3

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................ 4

1 Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 4

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 4

1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 6

2 Tujuan ..........................................................................................` 6

2.1 Tujuan Umum ………………………………………………… 6

2.2 Tujuan Khusus ……………………………………………….. . 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………. 8

BAB 3 KONSEP, TEORI DAN METODE PENELITIAN ......... 13

BAB 4 ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI PELISANAN DALAM

MABEBASAN ……………………………………………………. 21

4.1 Estetika………………………………………………………… 21

4.1.1 Estetika dan Seni …………………………………………… 22

4.1.2 Kaidah Estetik dalam Karya Seni………..……………….. 24

4.2 Estetika dalam Mabebasan ……………………………..….. 25

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 59

Page 4: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

4

ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI PELISANAN DALAM MABEBASAN

DI BALI

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Kakawin, kidung, dan geguritan merupakan cipta sastra klasik yang sampai

saat ini masih digemari oleh masyarakat Bali. Dalam setiap upacara keagamaan (tentu

saja upacara agama Hindu) akan terdengar nyanyian merdu sebagai tanda adanya

kegiatan olah sastra tradisional di Bali yang bersifat lisan. Karya sastra klasik yang

sering ditembangkan sebagai pengiring upacara keagamaan seperti: sastra Palawakia

(prosa), kidung, sloka, geguritan atau macapat. Kenyataan ini menandakan bahwa

jenis cipta sastra tersebut telah memperoleh tempat yang sangat spesial di hati para

penggemarnya di Bali.

Olah sastra klasik Bali biasanya dilakukan oleh sekelompok orang. Dalam

kegiatan itu ada orang yang menembang, ada yang menerjemahkan, dan kadang-

kadang ada yang mengulasnya berupa komentar. Aktivitas itu di Bali disebut dengan

istilah mabebasan atau mabasan. Aktivitas yang dilakukan itu tanpa berharap pamrih

berupa upah. Aktivitas itu dilakukan atas dasar kesadaran dan kesenangan dengan

konsep ngayah menjadi landasannya. Ngayah di sini diartikan sebagai: ‘pengabdian

diri tanpa berharap imbalan’ (Anom dkk. 2009: 43). Bila dicermati konsep ngayah

seperti ini dapat dikatakan bahwa betapa tingginya kesadaran para penggemar olah

sastra klasik/tradisional di Bali dan etapa mulianya kegiatan ngayah yang dilakukan.

Mereka rela berkorban waktu, tenaga, dan mungkin juga materi. Bahkan sampai

begadang semalam suntuk hanya untuk ngayah. Harapannya hanyalah agar

persembahan dalam wujud ngayah itu bisa diterima Tuhan. Selain itu, melalui

ngayah diharapkan pula agar upacara yang sedang dilakukan berhasil atau sukses,

dan diperolehnya kesenangan atau kepuasan bagi pendengar atau penikmatnya

termasuk para aktivis olah sastra tradisional itu sendiri. Harapan seperti tersebut di

Page 5: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

5

atas sejalan dengan harapan yang termuat dalam baris 3-4, bait 50, sargah 26

Kakawin Ramayana yang berbunyi;

Sang yogiswara sistha sang sujana sudha manahira huwus maca sira

Byakta wus ucapanta ring julung adomuka pinaka nimittaning lēpas

Terjemahannya:

Sang pendeta akan bertambah suci, orang bijak akan menjadi suci batinnya

bila telah membaca (Kakawin Ramȃyana) ini’.

Pasti bila sudah membicarakannya, walau orang dungu yang tidak hirau

sekalipun akan menyebabkan moksa.

Mabebasan sering pula bisa disaksikan atau difirsa pada acara televisi lokal

yang ada di Bali, seperti Bali TV, TVRI Stasiun Denpasar dan Dewata TV. Bahkan di

Bali TV acara olah sastra tradisional mabebasan ditayangkan setiap hari yaitu pada

waktu siang. TVRI Stasiun Denpasar menayangkan mabebasan sebagai selingan

setiap selesainya siaran berita yang dimulai sejak tahun 2011 hingga kini. Di samping

itu, acara Tembang Guntang ditayangkan oleh Dewata TV pada pukul 14.30-15.30

Wita setiap hari. Begitu pula ada siaran-siaran radio lokal di Bali, baik RRI maupun

radio-radio swasta yang sering menyiarkan acara olah sastra tradisional mabebasan.

Selain itu, banyak aktivis/pelaku mabebasan melakukan aktivitas mabebasan

dengan menggunakan pesawat komunikasi seperti Hand Talky (HT) dan sering pula

dengan menggunakan telepon atau Hand Phone. Kenyataan seperti itu menandakan

bahwa olah sastra tradisional mabebasan sangat digemari oleh masyarakat Bali.

Penyebabnya tidak lain karena olah sastra tradisional mabebasan mengandung nilai-

nilai seni yang adiluhung. Di sisi lain, tentunya karena objek yang dipakai dalam olah

sastra tradisional mabebasan tersebut berupa naskah yang memuat wacana-wacana

atau cerita-cerita yang sarat akan petuah-petuah, dan sangat berguna sebagai pedoman

hidup. Naskah Bhagawadghita, Sarasamucchaya, Kakawin Ramȃyana, Kakawin

Bharatayuddha, Kakawin Sutasoma, Kakawin Nīti Sȃstra, Kakawin Nirȃrtha

Prakrēta, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Smaradahana, Kakawin Bhomȃntaka

merupakan contoh konkret yang sering dipakai sebagai materi mabebasan.

Page 6: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

6

Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa olah sastra

klasik/tradidional mabebasan hidup dan berkembang dengan baik pada masyarakat

Bali. Hal ini terbukti dengan menjamurnya kelompok mabebasan yang terwadahi

dengan nama pesantian.

Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa mabebasan merupakan cabang seni

khususnya seni suara klasik, yang di dalamnya terkandung unsur sastra yang

menggunakan bahasa sebagai media penyampainya. Sebagai cabang seni, tentu saja

di dalam mabebasan terkandung unsur-unsur estetika atau keindahan. Tanpa adanya

keindahan tentu saja mabebasan akan kurang menarik sehingga kurang diminati oleh

masyarakatnya. Keadaan seperti itu sangat menarik untuk diteliti. Tentu saja di

samping fungsi mabebasan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.

Fenomena seperti itulah yang menjadi alasan untuk mengangkatnya sebagai karya

tulis.

Memang telah dimaklumi bahwa telah banyak penelitian yang mengungkap

masalah keindahan bahasa dalam mabebasan. Namun masalah motivasi pelisanan

masih langka. Untuk itu dirasa perlu segera diteliti.

1.2 Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1) Mengapa estitika memotivasi pelisanan/pememorisasian dalam mabebasan di

Bali?

2) Bait-Bait apa saja yang mengandung nilai estetika sehingga menarik dan

memotivasi terjadinya pelisanan?

Page 7: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

7

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan melestarikan

wirasan budaya bangsa yang adiluhung. Warisan itu kaya akan nilai-nilai budaya

seperti; nilai pendidikan moral, nlai religius, nilai persatuan dan kesatuan, nilai

lingkungan hidup dan sejenisnya. Di sisi lain bertujuan pula sebagai upaya ikut

memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

Pembinaan dan pengembangan kearifan lokal mabebasan.

Ingin mengetahui sejauh mana estetika memotivasi pelisanan dalam dunia mabebasan

di Bali.

Page 8: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

8

II TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian mengenai tradisi lisan mabebasan di Bali telah banyak dilakukan.

Namun yang membicarakan motivasi estetika sebagai unsur pemicu pelisanan dalam

mabebasan belum ada. Agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai tulisan tentang

mabebasan yang telah ada, maka hal tersebut perlu drinci seperti paparan di bawah

ini.

“Het Mabebasan of de boefening van het Oud Javaanch op Bali” oleh I

Wayan Bhadra (1937). Dalam makalah singkat ini dipaparkan pemakaian bahasa

Jawa Kuna dalam mabebasan di Bali. Di samping itu tulisan tersebut juga memuat

tentang lomba gong kebyar dan tari barong. Selain sangat singkat, tulisan tersebut

tidak menyinggung masalah kelisanan dalam kearifan lokal mabebasan di Bali.

Walaupun demikian, terkait dengan masalah mabebasan, maka makalah itu dapat

dipakai pijakan dalam penelitian ini.

“Mabebasan di Bali”, yang termuat dalam majalah Bahasa dan Budaya,

Tahun ke VIII, No. 5/6, 1958, halaman 201-204, oleh Soewito Ms. Menurutnya

mabebasan merupakan wadah dalam mempelajari bahasa Jawa Kuna. Tulisannya

juga memuat cara-cara mabebasan dan tembang yang digunakan dalam konteks

mabebasan. Pemilihan tembang dalam mabebasan disesuaikan dengan konteks waktu

seperti pagi, siang dan sore hari. Padahal, dalam tradisi mabebasan, pemakaian

tembang/wirama harus sesuai dengan konteks waktu tidak ada sama sekali sampai

saat ini. Pembacaan teks justru lebih dominan didasarkan atas kemampuan pembaca

atau berdasarkan wirama/tembang yang dikuasai oleh pembaca. Di sisi lain

mabebasan juga dikaitkan dengan jenis ritual yang dilakukan. Dalam tulisan itu tidak

ada disinggung tentang unsur-unsur kelisanan dalam tradisi mabebasan.

Robson (1972), dalam tulisannya yang berjudul “Kawi Classics in Bali”.

yang termuat dalam Majalah BKI (1972:128;308-329) Dalam tulisan ini dikatakan

bahwa bahasa Jawa Kuna yang disebutnya sebagai bahasa klasik (Kawi) masih

Page 9: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

9

bertahan hidup di Bali. Pemakaian bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna dapat

dijumpai dalam tari gambuh, wayang dan dalam mabebasan di Bali. Uraian tentang

mabebasan secara rinci dan mendalam tidak ada. Terlebih lagi uraian yang

menyinggung tentang kelisanan dalam mabebasan.

Tulisan berikutnya dapat ditemukan dalam I Wayan Jendra (ed, 1979), yang

berjudul “Kehidupan Seni Mabebasan di Kabupaten Badung”. Tulisan ini memuat

tentang deskripsi kehidupan seni mabebasan di kabupaten Badung saat itu (sekarang

Kabupaten Badung telah dimekarkan menjadi dua yaitu: Kabupaten Badung dan Kota

Madya Denpasar). Dalam tulisan ini dibicarakan mengenai wirama/guru-laghu yang

dikenal di kabupaten Badung, hubungan seni mabebasan dengan upacara keagamaan,

dan dengan seni-seni yang lain. Tulisan tersebut tidak menyinggung masalah

kelisanan dalam tradisi mabebasan. Di samping tulisan tersebut sudah cukup lama,

lingkup penelitiannya hanyalah meliputi kabupaten Badung . Tentu saja hal itu bisa

berbeda dengan kabupaten lain yang ada di Bali.

Richard Herman Wallis, dalam tulisannya berupa disertasi dalam bidang ilmu

musikologi di Universitas Michigan yang berjudul “The Voice as Mode of Cultural

Expression in Bali” (1980), membicarakan mengenai tembang-tembang tradisional

Bali terutama tembang-tembang yang digunakan dalam ritual agama Hindu di Bali.

Pendekatan yang digunakan adalah etnomusikologi dengan penekanan pada aspek

tekstual dari sudut pandang musik dan antropologi. Kidung dan geguritan juga

disinggung sepintas. Pembicaraan kelisanan dalam mabebasan sebagai kearifan lokal

Bali tidak disinggung.

Tulisan Granoka berjudul “Pikenoh Basa Bali Sajroning Mabebasan Manut

Tinjoan Teoritis (1981)”, (Manfaat Bahasa Bali dalam Mebebasan Menurut Tinjauan

Teoretis). Tulisan itu hanya mengulas tentang manfaat bahasa Bali di dalam

mabebasan itu sendiri. Sementara itu, unsur-unsur kelisanan di dalam tradisi

mabebasan tidak tersentuh sama sekali. Tulisan itu disanggah oleh I Wayan Jendra

dengan makalah pendamping berjudul; “Panureksan Bawak lan Amȃtra Pikenoh

Bahasa Bali Sajeroning Mabebasan” (1981).karena tulisan ini hanyalah tulisan yang

Page 10: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

10

berupa sanggahan terhadap tulisan Granoka di atas, tentu saja isinya sangat ringkas,

yaitu hanya sebagai pelengkap saja. Kedua tulisan tersebut belum menyinggung

masalah kelisanan dalam mabebasan.

Sukartha dalam tulisannya berjudul “Sekilas Tentang Kehidupan Mebebasan

dan Cara-Cara Menerjemahkannya di Kabupaten Klungkung ”(1982), menjelaskan

mengenai kehidupan seni mabebasan di Kabupaten Klungkung, wirama-wirama

yang dikenal dan masalah penerjemahan di dalam seni mabebasan. Masalah

penerjemahannya mencakup cara-cara penerjemahan dan tataran terjemahan dalam

mabebasan yang dikaitkan dengan teori terjemahan. Tataran terjemahan di dalam seni

mabebasan di Kabupaten Klungkung digolongkan ke dalam terjemahan ideomatik

atau sepadan. Jadi, masalah kelisanan, seperti motivasi pelisanan, fungsi mabebasan

sebagai tradisi lisan, jenis wacana yang dilisankan, dan mekanisme pewarisan

mabebasan tidak disinggung sama sekali.

Tulisan I Nengah Medera berjudul “Pelestarian Nilai Budaya Melalui

Penghayatan Sastra Daerah” (1988), sesuai dengan judulnya, memuat tentang

beberapa upaya dalam melestarikan warisan budaya bangsa. Salah satunya adalah

lewat pertunjukkan seni mabebasan. Aktivitas seni mabebasan dalam tulisan itu

dikatakan sebagai media diskusi untuk melestarikan nilai budaya. Tulisan itu sama

sekali belum menyentuh unsur-unsur kelisanan yang ada dalam tradisi lisan

mabebasan.

Rubinstein dalam karyanya berupa disertasi yang berjudul ‘Beyond The Realm

of the Senses the Balinese Ritual of kekawin Composition” (1988) antara lain,

menyatakan bahwa seni mabebasan mengacu pada proses terjemahan teks. Sementara

itu pepaosan menekankan pada proses pembacaan teks. Jadi, menurutnya ada

perbedaan antara pepaosan dan mabebasan. Pandangan ini bisa menimbulkan citra

yang keliru. Sebab, di dalam tradisi mabebasan di Bali istilah mapepaosan dan

mabebasan memiliki arti yang sama. Dalam tulisannya ini belum disinggung

masalah kelisanan dalam mabebasan.

Page 11: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

11

Sukartha dkk, dalam tulisannya berjudul “Peranan Mebebasan Dalam

Menyebarluaskan Nilai-Nilai Budaya Tradisional Masyarakat Bali” (1995),

membicarakan tentang tata cara mempelajari kakawin dan belajar mabebasan, dan

juga mengungkap peranan mebebasan dalam upacara keagamaan di Bali. Tulisan itu

walaupun sudah menyentuh unsur-unsur kelisanan dalam tradisi mabebasan, namun

baru menyentuh permukaan saja. Artinya tulisan itu belum belum mengulas secara

mendalam mengenai kelisanan dalam tradisi mabebasan. Di sisi lain, masalah

motivasi pelisanan, fungsi kelisanan, jenis wacana yang dilisankan, dan mekanisme

pewarisannya tidak dibicarakan.

I Wayan Jendra, dalam disertasi yang berjudul “Kedwibahasaan Bahasa Bali

dan Bahasa Indonesia dalam Aktivitas Seni Mebebasan di Bali” (1996), merupakan

tulisan yang paling panjang tentang seni mebebasan. Bagian awal tulisan ini

membahas masalah teori kedwibahasaan yang ada dalam ilmu Sosiolinguistik.

Kemudian, berturut-turut membahas masalah seni mabebasan dan budaya Bali,

kedududkan dan peranan bahasa Kawi, bahasa Bali dan bahasa Indonesia dalam

aktivitas seni mabebasan, kedwibahasaan dalam aktivitas seni mabebasan dan

terakhir mengenai unsur-unsur pinjaman dalam pemakaian bahasa Bali dalam seni

mabebasan. Dalam tulisan tersebut pemahaman terhadap mabebasan masih seperti

dulu. Maksudnya, istilah mabebasan, makakawin masih mengacu pada makna

terjemahan kakawin secara lisan ke dalam bahasa Bali. Kakawin yang dimaksud tentu

saja kakawin yang merupakan sastra tradisional yang berbahasa Jawa Kuna.

Pengertian mabebasan dewasa ini sudah meluas maknanya. Istilah mabebasan bukan

saja bermakna ‘menyanyikan kakawin dan terjemahannya ke dalam bahasa Bali’ saja.

Akan tetapi bermakna pula pada setiap ‘aktivitas menyanyikan sastra kakawin,

kidung, palawakya dan geguritan, kemudian diiringi terjemahan, dan/atau ulasan ke

dalam bahasa Bali, bahkan ke dalam bahasa Indonesia’. Belakangan, istilah

mabebasan sering diidentikkan dengan istilah nyanthi. Perluasan makna mabebasan

seperti ini kiranya perlu dicermati dan diteliti ulang. Di samping itu, masalah

kelisanan dalam mabebasan sama sekali tidak dibicarakan

Page 12: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

12

Sukartha dalam makalahnya berjudul “Kendala-kendala Penerjemahan dalam

Mebebasan” (1998). Seperti judulnya tulisan ini hanya memuat kendala-kendala

yang dihadapi oleh penerjemah dalam menerjemahkan kakawin yang berbahasa Jawa

Kuna ke dalam bahasa Bali. Makalah singkat yang dibawakan dalam pembinaan

kelompok pesantian di Desa Kerobokan Kabupaten Badung ini tentu saja belum

mampu mengangkat seluruh permasalahan yang ada di dalam tradisi mabebasan.

Begitu pula mengenai kelisanan yang ada dalam mabebasan tidak dibicarakan.

Sukartha dalam tulisannya berjudul “Bentuk Terjemahan Dalam Mebebasan

Di Bali’ (2006). Tulisan ini berbentuk makalah yang dibawakan dalam pembinaan

mabebasan pada pesantian di Desa Kerobokan Kabupaten Badung, sesuai dengan

judulnya hanya memuat bentuk terjemahan yang ada dalam mabebasan, yaitu bentuk

terjemahan idiomatik. Mengingat tulisan ini dibawakan dalam pembinaan

mabebasan, tentu saja ulasannya sangat dangkal. Tulisannya hanya membicarakan

bentuk terjemahan yang dikaitkan dengan teori terjemahan dari Cattford. Unsur-unsur

lain tidak dibicarakan, terlebih lagi masalah kelisanan dalam mabebasan..

Sukartha dalam makalahnya dberjudul: “Cara-cara Penerjemahan Dalam

Mebebasan di Bali” (2007), hanya memuat cara-cara atau metode-metode yang

digunakan dalam menerjemahkan kakawin yang berbahasa Jawa Kuna ke dalam

bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Tulisan ini sangat tipis. Tentu saja tidak mampu

menjangkau seluruh aspek mabebasan yang ada di dalamnya. Terlebih lagi mengenai

masalah motivasi estetika kelisanan dalam tradisi mabebasan.

Sukartha dalam disertasinya yang berjudul “Kelisanan Dalam Mabebasan Di

Bali” (2015) banyak mengulas tentang hal-hal yang berbau lisan dalam mabebasan di

Bali. Dalam disertasi itu juga telah disinggung masalah motovasi pelisanan dalam

mabebasan. Namun pembicaraan estetika sebagai motivator pelisanan beluam banyak

dibicarakan. Masih ada hal-hal yang belum tersentuh dalam uraiannya itu.

Penelitian ini akan menjangkau seluruh aspek yang ada sebagai estetika yang

memotivasi terjadinya pememorisasian dalam mabebasan di Bali.

Page 13: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

13

III KONSEP, TEORI DAN METODE PENELITIAN

3.1Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan

gejala secara abstrak (Sarwono, 2006:17). Maksudnya adalah abstraksi tentang

fenomena sosial yang dirumuskan melalui generalisasi dari sejumlah karakteristik

peristiwa atau keadaan sosial tertentu. Konsep dibentuk melalui proses abstraksi,

yaitu menarik intisari dari ide-ide dan gambar tentang fenomena sosial

(Sillalahi,2009:112). Jadi, konsep merupakan istilah yang dapat menggambarkan

suatu fenomena tertentu, seperti objek-objek atau peristiwa-peristiwa. Satu peristiwa

emperis diabstraksikan dengan memakai kata-kata sebagai label untuk menandai

peristiwa-peristiwa tersebut. Jadi konsep berkaitan erat dengan definisi (Ratna,

2010:114). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep menunjuk pada label

atau nama dari gejala atau peristiwa yang dinyatakan dengan satu istilah atau kata.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka konsep yang perlu dijelaskan untuk

memperoleh pemahaman bersama berupa konsep: (1) kearifan lokal, (2) kelisanan,

(1) Kearifan lokal (local wisdom) merupakan kematangan masyarakat di tingkat

lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat

yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal, baik

berupa material maupun berupa nonmaterial. Dengan kata lain, dapat

dikatakan bahwa kearifan lokal tidak lain adalah pengetahuan asli

(indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local genius) suatu

masyarakat yang berasal dari nilai-nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur

tatanan kehidupan masyarakat dalam rangka mencapai kemajuan komunitas

(Sibarani, 2012:122).

(2) Kelisanan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebuah kearifan lokal

(local wisdom) tentang kelisanan dalam tradisi mabebasan. Teeuw(1994:1-

23). Dalam bukunya, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan,

membagi kelisanan menjadi dua bagian yaitu; kelisanan murni/primer dan

Page 14: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

14

kelisanan kedua/skunder. Di dalam buku tersebut dijelaskan mengenai

kelisanan (orality) yang dipertentangkan dengan keberaksaraan (leteracy).

Kelisanan (orality) merupakan keadaan pada suatu masyarakat yang

niraksara, atau masyarakat yang tidak mempunyai tulisan. Semua

kehidupannya dijalaninya dengan serba lisan. Masa kelisanan ditandai

dengan; a) kehidupan manusia belum tersentuh oleh budaya tulis dan cetak, b)

proses mengingat dan mempertahankan budaya dilakukan dengan pola

penuturan ulang (repetitive style), c) berpikir secara olaritas dan sederhana,

misalnya baik-buruk, baik-jahat, d) kesadaran tempat atau konteks bersifat

umum, dan e) penggunaan bentuk ekspresi kolektif yang klise (Sukatman,

2011: 8-9).

Kelisanan bersifat dinamis, artinya dari waktu ke waktu mengalami

perubahan. Kelisanan mengalami perkembangan dari kelisanan primer ke

kelisanan sekunder.

Dahulu masyarakat yang tidak mempunyai tulisan dalam

mengamankan ciptaan lisan (naratif, nyanyian kematian, mitos panjang dan

lainnya), adalah lewat penghafalan. Namun kini kenyataannya lain sekali.

Memang ada penghafalan formula, unsur formulaik, peribahasa, pepatah dan

petitih. Umumnya bahan-bahan yang oleh Lord disebut stok-in-trade: seorang

penyanyi, pencerita atau tukang pidato. Selanjutnya, dikatakan bahwa

memorisasi pada masyarakat lisan murni atau niraksara jarang terdapat.

Memorisasi merupakan gejala khusus terikat pada kebudayaan yang sudah

kenal tulisan. Memorisasi dapat disamakan dengan kelisanan atau

penghafalan. Singkatnya, kelisanan terdapat pada masyarakat yang sudah

kenal tulisan.

Pelaku mabebasan yang ada di Bali masih ada ditemukan yang tidak

mengenal aksara Bali dan bahkan juga aksara Latin. Namun, mereka mampu

menyanyikan bait-bait kakawin ataupun kidung tertentu secara benar. Begitu pula

dalam menerjemahkannya ke dalam bahasa Bali. Untuk bisa menyanyikan bait-bait

Page 15: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

15

kakawin atau kidung secara benar tentu saja dituntut pengetahuan tentang aturan

guru-laghu pada wirama kakawin, laras gong (pelog atau silendro) pada kidung dan

paňca pakenda pada macapat atau pupuh/geguritan. Begitu juga aturan-aturan dalam

penerjemahan lisan. Untuk mampu mernerjemahkan bahasa Jawa Kuna ke dalam

bahasa Bali tentu saja diperlukan pengetahuan berupa perbendaharaan kata bahasa

Jawa Kuna dan bahasa Bali. Kenyataan seperti inilah yang masih banyak ditemukan

pada masyarakat Bali yang menjadi aktivis atau pelaku mabebasan. Keadaan ini tentu

saja dapat dikatakan sebagai bentuk kelisanan pada tradisi lisan khususnya dalam

dunia mabebasan di Bali. Jadi, konsep kelisanan yang dikemukakan oleh Teeuw

yang digunakan di dalam tulisan ini.

3.2 Teori

Penelitian ini bersandar kepada teori motivasi dan semiotika seperti uraian di

bawah.

3.2.1 Teori Motivasi

Motivasi tidak lain merupakan proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan

ketekunan individu untuk mencapai tujuannya (Mitchel, 1997: 60-62).Tiga elemen

utama dalam definisi ini adalah; intensitas, arah dan ketekunan.Teori motivasi yang

paling terkenal adalah hierarki teori kebutuhan dari Abraham Maslow (Harper &

Row, 1954: 57-67). Berdasarkan teori herarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X

dan Y Duglas McGregor ataupun teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah

‘alasan yang melandasi sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu’.

Seorang dapat dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut

memiliki alasan yang kuat untuk mencapai apa yang diinginkan dengan mengerjakan

pekerjaan yang sekarang. Jadi, motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati

seseorang untuk melakukan atau mencapai suatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan

sebagai rencana atau keinginan untuk menuju ke kesuksesan dan menghindari

kegagalan hidup. Teori motivasi dikelompokkan menjadi 5 kategori kelompok

Page 16: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

16

pendekatan seperti: teori kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan,

dan teori penetapan sasaran.

Teori kebutuhan merupakan teori motivasi yang berfokus pada tiga

kebutuhan yang didefinisikan sebagai:

need for achievement (kebutuhan akan prestasi)

need for affiliation (kebutuhan akan hubungan sosial)

need for power (dorongan untuk mengatur) (Clelland, 1961 dalam

Wikipidea.org/wiki/motivasi:4)

Kebutuhan berprestasi merupakan dorongan untuk melebihi, mencapai

standar-standar, dan berusaha keras untuk berhasil. Kebutuhan akan hubungan sosial

sama dengan kebutuhan berafiliasi, yaitu keinginan untuk menjalin suatu hubungan

antarpersonal yang ramah dan akrab. Kebutuhan yang merupakan dorongan untuk

mengatur merupakan kebutuhan untuk berkuasa, untuk membuat individu lain

berperilaku sedemikian rupa (baik, patuh, rajin, tekun), dan tidak berperilaku

sebaliknya. Sementara itu kebutuhan berafiliasi maksudnya adalah keinginan untuk

menjalin suatu hubungan antar personal yang ramah dan akrab.

Area motivasi manusia ada empat seperti; makanan, cinta, seks, dan

pencapaian. Tujuan-tujuan yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu

yang melakukannya. Individu dianggap tergerak untuk melakukannya agar

tercapainya tujuan yang diakibatkan motivasi intrinksik dankarenamotivasi

ekstrinksik. Motivasi intrinksik yakni keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian

tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas

tersebut. Sementra itu motivasi ektrinsik yakni kemauan mengejar suatu tujuan yang

diakibatkan imbalan-imbalan eksternal (dari luar diri) dan faktor internal (dari dalam

diri)

Teori motivasi yang digunakan dalam membedah motivasi estetika pelisanan

dalam mabebasan adalah teori motivasi kebutuhan dari Maslow seperti tersebut di

atas, karena teori tersebut paling terkenal di antara teori motivasi. Di sisi lain,

Page 17: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

17

pelisanan dalam mabebasan di dalamnya terdapat kebutuhan akan sesuatu yang

muncul dan didorong oleh kesadaran dari dalam diri para pelaku mabebasan.

3.2.2 Teori Semiotika

Semiotik adalah ilmu tanda yaitu metode analisis untuk mengkaji

tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang di pakai dalam upaya mencari jalan di

dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Kaelan, 2009:162).

Semiotik disebut juga Semiologi atau juga Semasiolog (Martinet, 2010:4). Semiotik

meliputi pengertian yang tidak terbatas pada tanda atau lambang, tetapi lebih dari itu,

yaitu meliputi sistem lambang dan proses-proses perlambangan . Cakupan pengertian

ini mengandung implikasi bahwa ilmu bahasa pun dapat dinamakan ilmu semiotik

(Kaelan, 2010:5).

Semiotik memiliki bidang yang begitu luas. Semiotik tidak saja meliputi ilmu

bahasa dan sastra tetapi juga pada bidang atau aspek lain seperti anthropologi yang

dikembangkan oleh Levi-Strauss (Martinet, 2010:2).

Dalam ilmu sastra, semiotik merupakan perkembangan lebih lanjut dari

strukturalisme. Bahkan istilah semiologi itu sendiri semula berasal dari tokoh pendiri

aliran struktural, yaitu Ferdinand de Saussure. Semiotik digunakan untuk mengacu

pada ilmu pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda. Gagasan

yang sama sebenarnya telah lebih dahulu dikembangkan oleh Charles Sander Peirce

(1839-1914), seorang filsuf kebangsaan Amerika. Hanya karyanya yang berjudul

Semiotics baru sempat diterbitkan kemudian (Kaelan, 2009:193).

Page 18: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

18

Faktor pertama yang harus diperhatikan dalam kerangka model semiotik

sastra adalah faktor bahasa itu sendiri sebagai sistem tanda yang kompleks dan

beragam. Bahasa, dalam hal ini, merupakan sistem pembentuk model yang primer,

yang mengikat, baik penulis maupun pembaca, tidak terbatas hanya dalam arti kedua

pihak (penulis dan pembaca) yang harus mengetahui bahasa yang ada dalam karya

sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa itu secara luas

membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut.

Pernyataan seperti ini tidak mengandung arti bahwa bahasa merupakan satu-satunya

kerangka acuan bagi penulis dan pembaca untuk saling mengikat dalam sistem

komunikasi. Untuk dapat memahami sebuah karya (sastra) dengan baik diperlukan

pemahaman sistem konvensi sastra yang melatarbelakangi karya itu. Tanpa

pengetahuan ini pembaca tidak akan memahami hakikat sebuah karya yang

sesungguhnya. Demikian pula halnya bagi penulis karya sastra. Bagi seorang penulis

pun perlu pengetahuan yang mendalam dalam bidang konvensi yang mengatur karya.

Konvensi inilah yang disebut sebagai sistem pembentuk model sastra yang sekunder.

Sistem pembentuk model sekunder ini dibentuk atas dasar sistem primer, yaitu

bahasa. Sistem sekunder ini mengikat, baik penulis maupun pembaca, sebagai bagian

dari anggota masyarakat sastra.

Konsep C.S. Peirce mengenai hubungan antartanda dikenal dengan

”trikotomis”-nya. Maksudnya, ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda

yaitu: tanda itu sendiri (sign), yang ditandai (semacam ground), dan objek. Antara

sign dan apa yang ditandai terdapat suatu hubungan representasi. Unsur dari

Page 19: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

19

kenyataan yang diwakili oleh tanda dinamakan "objek" atau denotatum. Denotatum

ini dapat merupakan sesuatu yang konkret. Tanda dan representasi bersama-sama

menuju ke interpretasi (tafsiran). Interpretasi merupakan suatu tanda baru, yaitu

sesuatu yang dibayangkan oleh si penerima tanda bila ia menerima atau mengamati

tanda yang pertama (Kaelan, 2009:196-198).

Peirce menyebut hasil intepretasi tersebut dengan istilah interpretant, yang

bila dikonkretkan dalam bidang analisis karya mencakup ringkasan sebuah teks sastra

serta tafsiran mengenai teks (evaluasi). Dalam penerapan semiotik terhadap ilmu

sastra sering juga digunakan istilah ikonisitas. Oleh Peirce konsep itu diberi tempat

dalam tipologi tandanya. Hubungan antara tanda dengan denotatumnya biasanya

bersifat semena-mena atau berdasarkan konvensi. Peirce dalam hal ini membedakan

tiga kelompok tanda yang ditentukan berdasarkan jenis hubungan antara pembaca

makna dan referensinya:

(1) Ikon, yaitu tanda yang menggunakan kesamaan, atau ciri-ciri bersama dengan

apa yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah

geografis yang digambarkannya. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan, suatu

tanda disebut icon jika ada kemiripan fisik antara keduanya. Misalnya: antara

objek dan fotonya.

(2) Indek, yaitu tanda yang mempunyai kaitan kausalitas dengan apa yang

diwakilinya. Martinet menyamakan tanda indeks dengan sinyal . Misalnya

adanya asap merupakan satu tanda atau sinyal adanya api. Asap dalam hubungan

ini adalah indeksnya/sinyalnya. Dengan kata lain, suatu tanda disebut indeks bila

ada kedekatan (prosemity) fisik (Martinet, 2010: 41-50).

(3) Simbol, yaitu hubungan antara penanda (signifiant) dan yang ditandai (petanda =

signifie) yang tidak bersifat alamiah melainkan bersifat konvensional, didasarkan

kesepakatan masyarakat semata-mata. Jadi tanda disebut simbol atau lambang

jika hubungannya bersifat konvensional (yang harus diterima dalam bagian dari

kebudayaan). Sebagai contoh, mawar merah sebagai tanda cinta kasih ( Pateda,

2001:45-47).

Page 20: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

20

Teori semiotik digunakan untuk menganalisis bentuk kebahasaan dan

kesastraan wacana/teks mabebasan. Teks yang digunakan dalam tradisi mabebasan

adalah karya sastra yang di dalamnya terdapat sistem tanda yang bermakna bila

dimaknai oleh pembaca berdasarkan konvensi-konvensi yang ada kaitan dengannya

(Teeuw, 1980:5, Riffeterre, 1979:9, dan Abdullah,1991:9).

Mabebasan sebagai gejala semiotik berada dalam jaringan relasi yang

kompleks dan dinamik dalam arti terus berubah-ubah. Hubungan dinamik yang

bersifat multidemensional terbina dari sejumlah ketegangan yang bersumber pada

model semiotiknya. Penikmat akan menghadapi dinamika demensional yang

digerakkan oleh ketegangan-ketegangan, berupa karya kolektif dalam hubungannya

dengan sistem bahasa, sistem sastra, sistem sosial budaya, niat pencipta, kompetensi

penikmat, dan ketegangan dalam sistem koherensi unsur-unsur struktur karya itu

sendiri. Di sisi lain, ketegangan juga terjadi antara penikmat sebagai individu dan

penikmat sebagai anggota masyarakat (Teew,1984:86).

Page 21: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

21

IV ESTETIKA SEBAGAI MOTIVATIVASI PELISANAN DALAM

MABEBASAN DI BALI

4.1 Estetika

Estetika, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu aistheta. Kata

aistheta diturunkan dari dasar kata aisthe (hal-hal yang dapat ditanggapi dengan alat-

alat indra manusia). Aisthe pada umumnya diposisikan dengan noeta, dari akar kata

noin, nous, yang berarti ‘hal-hal yang berkaitan dengan pikiran’ (Ratna, 2007:3-4).

Aisthenoeta kemudian menjadi esthete yang memiliki ari lebih luas, yaitu ‘orang yang

menikmati keindahan’. Esthetics atau aesthetics di dalam bahasa Inggris berarti ‘studi

tentang keindahan’. Aesthetician berarti ‘ahli tentang keindahan, dalam bahasa

Indonesia dipadankan dengan kata estetikus. Sementara itu estetika dipadankan

dengan ‘bidang filsafat yang mempelajari keindahan atau keindahan’(Sadly dkk.

1993:219). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, estetika diartikan sebagai: 1)

‘cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta

tanggapan manusia terhadapnya’; 2) ‘kepekaan terhadap seni dan keindahan’

(Moeliono. 2014;382)

.

4.1.1 Estetika dan Seni

Estetika dan seni masing-masing memiliki makna yang sangat berdekatan dan

berkait sangat erat dengan sastra. Dalam Kamus Istilah Sastra (Panuti Sudjiman,

1984) estetika diartikan sebagai telaah emosi dan pikiran dalam hubungannya dengan

rasa keindahan dalam sastra. Estetika berurusan dengan konsep-konsep tentang

keindahan. Sedangkan sastra diartikan karya, baik lisan maupun tertulis yang

memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam

isi dan ungkapannya.

Dalam menelaah masalah-masalah yang berkait dengan keindahan, estetika

tidak membatasi diri pada masalah keindahan sebagaimana yang terlihat secara

Page 22: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

22

konkret (lahiriah) pada karya-karya seni, misalnya pada karya-karya lukisan, patung

dan lain-lain. Tetapi lebih jauh dari itu ingin melihat dan membahas apa yang

tersembunyi di balik gejala tersebut. Sebagai contoh di dalam karya-karya sastra.

Mutu sebuah karya sastra tidak dapat hanya dilihat dari aspek verbal melalui

penggunaan bahasa yang indah-indah seperti dalam sistem persajakan atau pilihan

kata, tetapi ia perlu dilihat secara menyeluruh misalnya dari aspek tema atau amanat

serta aspek struktur pada tataran sistem sastra secara menyeluruh termasuk di

dalamnya aspek nilai (value).

Masalah keindahan (estetika) memang tidak dapat dilepaskan dari masalah

seni (arts) karena keduanya berkait sangat erat. Secara umum kata seni berpadanan

dengan kata indah walaupun pada batas-batas tetentu bila dilakukan pengkajian

secara lebih jauh kedua istilah itu berbeda. Pandangan masyarakat umum cenderung

mengatakan bahwa seorang seniman (artist) adalah penghasil karya seni yang indah-

indah. Tetapi di dalam kenyataannya, tidak selamanya karya seni yang dihasilkan

seniman itu mendapat tanggapan luas dari masyarakat akibat karya seni yang

dihasilkannya kurang menyentuh batin atau perasaan masyarakat. Jadi karya seni itu

berhubungan sangat erat dengan kepekaan ”rasa” seseorang. Anggapan masyarakat

bahwa setiap karya seni yang dihasilkan para seniman itu indah merupakan akibat

dari pengertian yang ditanamkan pada istilah seni itu sendiri : bahwa ciri dari seni itu

adalah keidahan.

Dalam karya sastra tradisional seperti dalam sastra Jawa Kuna jenis kakawin,

para pujangga zaman dahulu (sang kawi) sering menggunakan isitilah lango atau

kalangwan untuk mengacu pada makna keindahan setiap karya kakawin yang

digubahnya. Bahkan dalam beberapa karya kakawin sang kawi secara sadar menyebut

tujuan penggubahan kakawin untuk mengejar keindahan (lango). Untuk mencapai

tujuan dimaksud sang kawi melakukan perjalanan ke segara wukir, melakukan

aktivitas-aktivitas ritual tertentu yang berkait dengan perbuatan keagamaan (yoga dan

semadhi). Dalam aktivitas inilah sang kawi berharap agar dewata yang dipuja

Page 23: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

23

(istadewata) berkenan turun memberikan inspirasi agar nantinya berhasil menggubah

karya kakawin. Selama perjalanan sang kawi ke segara wukir tentu berbagai hal telah

dialami dan semua ini menjadi ”pengalaman estetik” yang sangat berharga bagi sang

kawi dalam rangka mewujudkan karya yang digubahnya agar dapat menjadi karya

yang susastra.

Menurut pengakuan Zoetmulder (1983) kata kalangwan atau lango dalam

bahasa Jawa Kuna sangat sulit dicarikan padanannya dalam bahasa-bahasa nusantara

terutama dalam hal konsep yang dikandungnya untuk mengungkapkan pengalaman

estetik bagi seorang kawi selama proses perjalanannya menggubah kakawin sampai

berujud karya yang disebutnya sebagai ”candi pustaka”. Bahkan Zoetmulder secara

lebih jauh mengatakan bahwa tidak ada satu bahasa pun yang dapat menyamai

kekayaan akan istilah-istilah yang dapat digunakan untuk mengungkapkan

pengalaman estetik seperti dalam bahasa Jawa Kuna. Pengalaman estetik serta

keindahan di kalangan para penyair (Jawa Kuna) dianggap sesuatu yang berasal dari

”surga” yang disambut dengan rasa penuh religius. Bahkan menggubah suatu karya

kakawin dianggap sebagai suatu perbuatan keagamaan (Dick Hartoko, 1990: 16).

Karena itu bagi masyarakat : membaca, mempelajari, apalagi mengaktualisasikan

nilai-nilai yang dikandung pada karya-karya sastra kakawin dapat diartikan sudah

mengikuti perbuatan para kawi jaman dahulu. Hal inilah yang perlu dipahamai

masyarakat.

Dalam ilmu sastra hal-hal yang berkait dengan masalah seni atau keindahan

serta bagaimana tanggapan masyarakat terhadapnya dikenal dengan istilah estetika

resepsi atau estetika tanggapan, yaitu estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada

tanggapan-tanggapan atau penerimaan masyarakat atau pembaca terhadap sebuah

karya sastra.

Perhatian akan peran masyarakat atau pembaca terhadap karya sastra

sebenarnya baru muncul sekitar tahun 1960-an ketika Hans Robert Jauss, seorang

Page 24: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

24

mahaguru sastra Universitas Konstanz (Jerman Barat) mengemukakan pendapatnya

dalam sebuah artikel yang berjudul ”Sejarah Sastra sebagai Tantangan”.Sebelumnya

para kritikus sastra dalam setiap telaahnya terhadap karya-karya sastra cenderung

berorientasi pada atau memberikan penekanan kepada karya sastra sebagai sesuatu

yang otonom, pengarang serta hubungan karya sastra dengan alam (mimetik).

4.1.2 Kaidah Estetik Karya Sastra

Nilai estetik dalam karya sastra tradisi terutama jenis kakawin menurut

Zoetmulder (l983: 204-217) erat kaitannya dengan perbuatan oga. Bahkan mengarang

kakawin dapat dianggap sebagai suatu perbuatan yoga atau melalkukan latihanlatihan

rohani tertentu. Dalam konteks ini puisi bagi seorang penyair kakawin (kawi) adalah

semacam yoga sedangkan sang kawi sendiri adalah seorang yogi, yaitu orang yang

melakukan latihan rohani tertentu. Dalam pandangan agama Hindu-Jawa, konsep

yoga mengacu pada usaha setiap orang untuk mencapai kesatuan dengan sang

pencipta (dewata). Dengan cara seperti ini setiap orang yang melakukannya akan

dapat mencapai kelepasan, bebas dari rantai ikatan kehidupan.

Bagi pujangga (sang kawi) puisilah yang mejadi sarana utama untuk mencapai

tujuan akhir. Puisi adalah agamanya. Sang Dewa yang ingin ditemukannya menjelma

selaku dewa keindahan. Dewa yang selalu diharapkan hadir lewat yoga yang

dilakukannya agar sang kawi dapat berhasil dalam mengerjakan karya yang akan

digubahnya.

Bagi sang kawi persatuan dengan dewa keindahan sekaligus menjadi jalan

atau sarana dan tujuan. Maksudnya adalah, jalan untuk mencipta karya keindahan,

yaitu kakawin-nya dalam rangka menapai kebebasan ikatan kehidupan. Kakawin juga

merupakan wadah bagi diciptakannya kaidah-kaidah estetika. Wadah yang dengan

kata atau bahasa menjelmakan keindahan agar dapat menjadi wadah bagi Sang Dewa

dan sekaligus sebagai objek pemusatan pikiran, baik bagi sang penciptanya maupun

untuk orang yang membaca atau mendengar kakawin tersebut. Dengan mencipta

Page 25: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

25

suatu karya kakawin serta menikmatinya, orang dapat larut di dalam pesona

keindahan yang disebut lango. Kaidah-kaidah estetik seperti ini dalam karya jenis

kakawin dinyatakan di dalam bait-bait pembuka (manggala).

Bagi seorang pujangga kakawin (kawi) menggubah karya kakawin dapat

merupakan petunjuk tentang proses pembacaan serta pemahaman nilai-nilai budaya

termasuk pemahaman pada kaidah-kaidah estetik. Demikian pula dengan membaca

teks kakawin dapat dikatakan telah mengikuti serta mengulangi usaha sang kawi

dalam rangka menyatukan pikiran dengan alam semesta (skala) ke alam niskala untuk

mencapai kesatuan dengan dewa.

Dalam kakawin Arjunawiwaha misalnya, dijumpai kaidah estetik yang

berpusat pada yoga melalui seorang tokoh yang disebutnya sebagai sang paramartha

pandhita. Dalam cerita, tokoh dimaksud diujudkan sebagai ksatria utama Arjuna yang

karena ketekunannya melakukan tapa (yoga) sehingga oleh Dewata Agung yoganya

dianggap sudah sempurna. Dengan kesempurnaan tapanya ini akhirnya Arjuna

berhasil memperoleh apa yang disebutnya sebagai ”pencerahan rohani” (jñana wisesa

atau jñana siddhi) yang dapat membangkitkan kebahagiaan yang melebihi

kenikmatan sanggama (sukaning samagama). Demikian pula dengan sempurnanya

tapa Arjuna akhirnya ia berhasil mencapai atau meperoleh anugrah Sang Dewa

berupa senjata sakti sebagaimana yang menjadi misi utama tapanya.

4.2 Estetika dalam Mabebasan

Mabebasan merupakan cabang seni khususnya seni suara, dan seni sastra.

Sebagai cabang seni tentu saja estetika merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

mabebasan. Nilai estetika sebagai seni presentasional, terutama dalam bidang sastra

lebih menonjol dibandingkan dengan estetika yang ada dalam bidang nonsastra.

Dalam bidang sastra, nilai estetik bisa ditemukan secara jelas melalui bahasa. Dalam

bidang seni suara, nilai estetik bisa dijumpai lewat alunan merdu nyanyian yang

Page 26: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

26

dilagukan lewat suara. Perpaduan ini melahirkan mabebasan sebagai cabang seni

yang sangat estetik atau estetik yang bernilai tinggi.

Mabebasan sebagai cabang seni yang bernilai tinggi, yang menggunakan

bahasa sebagai media pengantarnya, tentu saja akan saling mengait dengan nilai

etika. Bahkan, nilai etika sering lebih menonjol dibandingkan dengan nilai estetika.

Alasannya karena nilai etika lebih mudah dideteksi dan dipahami dari pada nilai

estetika. Perpaduan antara estetika dan etika yang yang terkandung dalam sastra lebih

sering dibicarakan dibanding estetika yang ada di dalam nonsastra (Ratna, 2007:204).

Pembicaraan mengenai estetika yang ada di dalam dunia sastra, tidak bisa dilepaskan

dengan bahasa yang mengisi lirik-lirik lagu tersebut. Lirik-lirik lagu yang

menggunakan bahasa disebut estetik bila di dalamnya terkandung permainan bunyi,

permainan kata dan gaya bahasa. Gaya bahasa sebagai salah satu unsur keindahan

atau estetika di dalam mabebasan mengandung unsur-unsur stilistika. Untuk

memahaminya tentu saja diperlukan pemahaman tentang dasar-dasar stilistika sastra

yang sangat beragam. Sebab, sastra memiliki keberbedaan dengan seni-seňni lain

seperti seni lukis, seni ukir, dan sejenisnya. Dalam sastra, bahasalah merupakan

medium utama penyampai estetikanya.

Mabebasan yang tergolong ke dalam seni tradisional, mencakup kakawin,

parwa, kidung dan geguritan memiliki ciri gaya atau stilistika tersendiri yang tentu

saja berbeda dengan stilistika yang ada dalam seni-seni modern seperti cerpen, puisi,

lagu pop, dangdut, dan sejenisnya. Alasan ini merupakan nilai tersendiri, mengapa

mabebasan masih digemari di Bali sampai saat ini. Kandungan nilai estetik dan etika

merupakan faktor penyebabnya. Kemudian timbul pertanyaan, “dimana letak nilai

estetiknya?”. Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan penjelasan mengenai

stilistika yang ada dalam dunia puisi tradisional seperti kakawin, kidung dan

geguritan yang digunakan dalam dunia mabebasan, sebagai seni sastra tradisional.

Stilistika dalam mabebasan dikenal dengan nama alamkara.

Page 27: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

27

4.2.1 Stilistika/alamkara

Stilistika merupakan ilmu atau studi tentang stil ( style ). Dalam dunia sastra,

styl berarti ‘suatu cara yang bersifat khusus atau khas, yang digunakan dalam

mengungkap sesuatu’. Ratna menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan stilistika

dan stil, ada istilah lain yang dalam proses analisis memegang peranan besar seperti

majas. Majas sering kurang mendapat perhatian di bandingkan dengan stilistika.

Majas tidak lain adalah persamaan atau kiasan, yang diambil dari kosa kata dalam

bahasa Yunani yaitu kata trope, dan dalam bahasa Inggris disamakan dengan figure

of speech (Ratna, 2009:3)

Majas (figura of speech) merupakan bahasa atau kode yang indah untuk

meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan atau

memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang

lebih umum. Pemakaian majas tertentu dapat mengubah atau menimbulkan nilai rasa

atau konotasi tertentu. (Dale, 1971:162; Warriner, l977:602) menyebutkan bahwa

majas (figurative language) adalah bahasa yang digunakan secara imajinatif, bukan

dalam pengertian yang benar-benar secara alamiah saja.

Kedua pendapat di atas bermakna sama, yaitu menyatakan bahwa majas

adalah bahasa kias atau figurative language, atau bahasa yang indah yang digunakan

untuk menghaluskan atau meninggikan efek dengan cara memperkenalkan dan

memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda lain atau hal lain

yang lebih umum.

Majas dapat dibedakan menjadi empat jenis seperti : majas perbandingan,

majas pertautan, majas pertentangan, dan majas perulangan (Tarigan, 1990: 113).

Majas yang paling banyak dikenal, baik dalam masyarakat pada umumnya, maupun

dalam bidang pendidikan, adalah: majas penegasan, majas perbandingan, majas

pertentangan dan majas sindiran. Majas ini merupakan penunjang gaya bahasa. Istilah

lain yang sering muncul dalam kaitannya dengan gaya bahasa adalahi seni bahasa,

estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa.

Page 28: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

28

Di dalam dunia puisi klasik seperti kakawin, kidung, dan geguritan istilah-

istilah di atas dapat disamakan dengan alamkara. Untuk itu, dalam kajian estetika di

dalam mabebasan difokuskan pada Alamkara.

Alamkara dalam dunia kakawin sudah sering dibicarakan. Hooykaas dalam

“Stilistic Figures in Old Javanese Rȃmȃyana Kakawin” (1958), termuat dalam JOI 7,

( Vol:3), pp 135-157, dan “Four Line Yamaka in the Old Javanese Rȃmȃyana” yang

termuat dalam JRAS, pp 122-138. Kemudian alamkara berturut-turut dibicarakan

pula dalam tulisan S. Supomo, Arjuna Wijaya a Kakawin of Mpu Tantular (1967),

Nengah Medera dalam “Canda Sebuah Analisis Metrum Kakawin Jawa Kuna”

(1978), Nyoman Suarka dalam Telaah Sastra Kakawin (2009), dn I Nyoman

Sukartha (2015) dalam disertasinya yang berjudul “Kelisanan Dalam Mabebasan Di

Bali”.

Alamkara atau alangkara, alȇngkara, langkara atau lȇngkara diartikan

sebagai: ‘hiasan, dekorasi, hiasan-hiasan gaya, bahasa artistik, bahasa yang berbelit-

belit ( terlalu dibuat-buat), sesuatu yang menakjubkan atau mempesona, dan bentuk

yang fantastik (Hooykaas,1958:34).

Alamkara dibedakan menjadi dua yaitu: sabdhalamkara dan arthalamkara.

Permainan bunyi bahasa di dalam kakawin disebut sabdhȃlamkara, sedangkan

permainan arti kata di dalam kakawin disebut arthȃlamkara. Kandungan nilai estetik

seperti alamkara ini merupakan salah satu faktor penyebab tertariknya orang untuk

mempelajari kakawin dalam mabebasan. Alamkara dapat disamakan dengan majas

(figure of speech). Di dalamnya terkandung nilai-nilai estetik yang sangat tinggi.

Alamkara merupakan still atau stilistik yang khusus ada di dalam kakawin. Inilah

secara tidak langsung mengikabtkan lestarinya seni mabebasan sampai saat ini.

Adanya stilistika dalam wujud alamkara ini menarik minat orang untuk mempelajari

dan bahkan menghafalkan ( meresitasi atau mememorisasi) bait-bait

kakawinkarenasangat indah untuk didengar, dinikmati melalui rasa dan pikiran.

Terlebih lagi bila penembang kakawin memiliki suara merdu, sehingga menggelitik

perasaan dan pikiran orang untuk belajar menembang, belajar menghafal dan belajar

Page 29: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

29

bahasanya termasuk memahami isinya. Singkatnya, alamkara lebih cocok

dibicarakan dalam kesempatan ini dibandingkan dengan jenis estetika lain seperti

majas dan sejenisnya. Di sisi lain, tentunya demi menghindari ketumpangtindihan

uraian.

4.2.2 Sabdhȃlamkara.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa sabdhȃlamkara berarti permainan bunyi

dalam kakawin. Permainan bunyi atau sabdhȃlamkara ini dibedakan menjadi dua

yaitu: anuprasa dan yamaka (Hooykaas,1958: 36).

1) Anuprasa

Anuprasa berarti permainan bunyi berupa asonansi (permainan bunyi vokal),

dan aliterasi (permainan konsonan). Permainan bunyi yang dimaksud berupa

pengulangan vokal atau konsonan secara teratur sehingga menciptakan suatu gaya

(stillistika) yang estetik. Anuprasa sangat banyak ditemukan di dalam kakawin,

terutama dalam kakawin Rȃmȃyana, Arjuna Wiwaha, Kangsȃyana, Sutasoma,

Naraka Wijaya dan masih banyak kawin lainnya. Contoh wacana bait kakawin yang

mengandung anuprasa dapat dilihat pada kutipan kakawin di bawah ini.

Contoh (1):

Tandwȃn rangkȇp patangkȇp kiwa tȇngȇn apagut nandhang tinandhang,

Maprȇp kaprȇp silih prȇp mamalu ya pinalu lyan manȇmbung tinȇmbung,

Manggyat ginyat silih gyat pinupuh hana mupuh wira nampyal tinampyal,

Kapwa ngrangkal rinangkal pkul ika mamȇkul mwang manandhȇm pinandhêm.

(Kakawin Kangsayana, XX:14)

Terjemahannya:

Lalu lengkaplah saling berhadapan, kiri-kanan berperang sengit saling tendang.

Bergumul saling peluk saling tindih, saling pukul dan lain lagi yang saling bentur.

Serang menyerang, saling terjang, saling pukul, dengan gagahnya saling tendang.

Ada yang memelintir, dipelintir , saling gulat dan saling lempar.

Page 30: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

30

Dalam kutipan di atas, terdapat vokal a, ȇ, u dan konsonan k, l, m, r, p, n, t

dan konsonan y, pada suku kata yang bergaris bawah di atas, diulang-ulang.

Tujuannya tentu saja untuk memenuhi nilai estetika. Gaya estetik seperti ini banyak

dijumpai di dalam kakawin.

Contoh (2):

a) Angganȃhuwus asanggama yȃnglih,

sȃkapus ni gȇlungnya ya mȍre,

rȃmya komala mukanya ya somya,

mangkanekana wulatnya ya mȍlȇm (KRY,12,28)

b) Nȃ halista malaris ya larasta,

mwang matanta taji tulya tajȇm ya,

len hidȇp ta mahalȇp helaran ya,

nȃ cȇlȇk ta ya upas upaman ya. (KRY,12,38).

c) Nȃga-pȃṡa talinganta ya ling ku,

bhȗsana yacuni yeka culanya,

nitya kȃla sumirat ya sȇnȍnya,

nȃ wisanya kapisan syaku denya (KRY,12:40)

Terjemahan:

a) Setelah bersenggama (si wanita) lalu lunglai.

Gelung rambutnya lepas terurai.

Wajahnya tenang berseri bagai berlian.

Begitu jua pandang matanya yang sayu terpejam.

b) Demikianlah alismu yang tajam bagai busur.

Matamu yang tajam ibaratnya bagai taji.

Lain lagi bulu matamu lentik bagai anak panahnya.

Demikian pula cilak matamu ibarat racun.

c) Kukatakan bahwa telingamu bagaikan Nagapasa.

Perhiasan permatanya bagaikan culanya.

Senantiasa memancarkan sinar bagai cahayanya.

Bagai racunya yang seketika mematikanku.

Page 31: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

31

Keterangan:

Dalam ketiga bait kutipan di atas terkandung nilai estetika berupa asonansi

dan aliterasi. Pada bait 1 baris 1 (ngambilang), terdapat asonansi vokal ȃ yang

diulang sebanyak 2 kali. Sementara itu nasal ng diulang 3 kali. Pada baris 2

(mingsalah) terdapat permainan semi vokal y . Juga pada baris 3 (ngumbang) dan

baris 4 (memada), terdapat permainan y. Semi vokal y diulang sebanyak 9 kali dalam

satu bait tersebut.

Dalam bait 2, baris 1 (ngambilang/pangawit), terdapat permainan konsonan s.

yang diulang sebanyak 3 kali. Pada baris 2 (mingsalah) terdapat permainan

konsonan t. Konsonan t diulang sebanyak 5 kali. Pada baris 3 (Ngumbang), terdapat

asonansi atau permainan bunyi ȇ sebanyak 3 kali.

Dalam bait 3, baris 1 (ngambilang) terdapat permainan konsonan ng (2 kali)

dan vokal ȃ (2 kali). Baris 2 (mingsalah) terdapat permainan konsonan c (2 kali).

Baris 3 (ngumbang) dan baris 4 (mamada), terdapat permainan bunyi y dan a (5

kali).

Demikianlah asonansi dan aliterasi banyak terdapat dalam kakawin. Asonansi

dan aliterasi ini membangun estetika yang bernilai tinggi. Hal itu merupakan salah

satu penyebab orang senang mempelajari dan menghafalkan teks mabebasan. Lebih-

lebih lagi bila bait-bait kakawin itu mempunyai keterkaitan dengan fungsi dan

maknanya di dalam upacara adat keagamaan.

2) Yamaka

Yamaka merupakan bangun hiasan yang ada di dalam bait kakawin, tersusun

secara sistematis dengan memakai suku kata (silabel) atau kata-kata. Suku kata atau

kata yang digunakan membangun keindahan/estetika itu dimunculkan berulang-

ulang. Adanya unsur pengulangan ini maka Yamaka dapat disamakan dengan majas

perulangan. Perulangannya bisa berupa silabel/suku kata atau kata, yang ditempatkan

pada awal baris, di tengah-tengah baris, di belakang baris, bahkan juga bisa diulang

pada baris berikutnya. Pengulangan silabel atau kata dimaksud bisa memiliki sama

Page 32: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

32

(bersinonim), dan bisa juga berarti berbeda. Pengulangan inilah yang membangun

nilai estetik dalam bait-bait kakawin.

Yamaka dalam puisi India Bhatikȃvya digunakan untuk menerangkan tata

bahasa Sanskerta dan contoh-contoh ilmu puisi Sanskerta. Dalam puisi Sanskerta

Yamaka banyaknya 20 jenis (Hooykaas, 1958:58). Namun dalam kakawin Jawa Kuna

Yamaka hanya ada 5 jenis saja. Kelima Yamaka yang dimaksud adalah: (1) Kanci

yamaka, (2) Puspa yamaka, (3) Padȃdyanta Yamaka, (4) Padanta yamaka, dan (5)

Wrȇnta yamaka.

(1) Kanci yamaka

Kanci yamaka dimaksudkan adalah adanya pengulangan suku kata atau

kata yang terletak pada akhir baris, kemudian kata itu diulang pada awal baris

berikutnya. Pengulangannya juga bisa terjadi pada akhir baris ke-4 suatu bait

kakawin, dan diulang sebagai suku kata pertama baris 1, bait berikutnya.

Contoh a)

(a) Wirȗpaksȃpaksȃkȇmita ri dalȇm ni ng pura wara.

Warah tȇka rowangnira ya masukȃtunggwa wa-tangan.

Tangan-ti ngke tunggwa twawa sahana ni ng ȃyudha kabeh.

Kabeh ika ng tȇka ta ya malaywan pinanahan (KRY 19,35).

(b) Nahan ling sang mantri ri balanira sigrhan tama ta ya.

Ta yȃnung tn sangkȇp sama-sama rȇgȇp sakti na tahȇn.

Tahȇntyan sakweh tȃt tama kita kabeh lingnya mangatag.

Atag teka ng wadwa ya ta kakurutug rodra gumuruh (KRY,19,36).

(c) Murub krodhanyȃgyȃ misanana ikang wȃnara bala.

Balȃtkara krurȃnggȇtȇm angikikan bhīsana mangang.

Mangarȇmbȃmbȇknyȃmȇjahana sira ng Rȃmawijaya.

Jayȃtah ling nyȃpan guragada mȃha mȗrkka satata (KRY,19:37).

(d) Tatan wruh yan bhrastȃtuwi sakula gotranya hilanga.

Hilang sandehanyȃn pamulati gagak len asu asang.

Asangkyȃ purwweki n tȇka muni humung lwirnya magirang.

Girangnyȃn mȃtyekang kalajana watȇk rȃksasa kabeh (KRY, 19:38)

Page 33: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

33

Terjemahan:

(a) Sang Wirupaksa berniat berjaga di dalam istana.

Ia memerintah pasukannya agar masuk ke dalam menjaga paseban.

Kamu semua menjaga disini dan semua membawa senjata.

Semua musuh yang datang berlarian, panahlah.

(b) Begitulah perintah si patih kepada pasukannya dan mereka segera masuk.

Tidak ada yang tidak siap semua sama-sama bersenjata lengkap siap jaga.

Kamu semua harus segera masuk, begitulah perintahnya memanggil.

Setelah diperintah seperti itu, seluruh pasukannya bersorak gemuruh.

(c) Amarahnya berkobar ingin segera membunuh bala tentara kera.

Garang jingkrak-jingkrak, marah, berkikikan menganga mengerikan.

Tekadnya bulat akan membunuh beliau si Ramawijaya.

“Pastilah menang”, kata mereka disebabkan tabiat sombong dan angkuh.

(d) Mereka tidak tahu akan hancur sampai seluruh keluarganya musnah.

Lenyaplah keraguannya ketika melihat datangnya gagak dan srigala.

Yang datang tiada terhitung, melolong riuh rendah bagai kegirangan.

Senang akan matinya seluruh manusia jahat dan para raksasa semua.

Penjelasan:

Kata wara merupakan kata terakhir pada baris satu, bait a. Kata wara diulang

menjadi warah sebagai kata pertama pada baris kedua. Suku kata -tangan pada kata

watangan merupakan suku kata terakhir baris kedua yang digunakan sebagai suku

kata pertama pada baris ketiga, menjadi tangan-ti. Kata kabeh yang merupakan kata

terrakhir baris ketiga diulang menjadi kata pertama pada baris keempat. Selanjutnya,

suku kata -nahan dalam kata pinanahan, yang terletak sebagai suku terakhir baris

keempat bait a, diulang menjadi kata pertama baris kesatu bait berikutnya yaitu bait

b. Begitulah seterusnya hingga bait d (perhatikan kata atau suku kata yang bergaris

bawah) terjadi pengulangan yang disebut dengan istilah Kanci yamaka. Bentuk Kanci

yamaka seperti ini sangat disenangi oleh para pelaku mabebasan. Hal ini disebabkan

oleh adanya pengulangan suku kata atau kata, yang akan memudahkan untuk

mengingat atau menghafalkannya sebagai langkah memorisasi.

Kanci Yamaka yang sangat populer dalam mabebasan adalah wirama

Wangsastha atau Swandewi yang bersumber pada Kakawain Ramayana (KRy23:81).

Page 34: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

34

Hal itu terbukti dengan seringnya bait-bait tersebut digunakan sebagai pengiring

upacara Manusa Yadnya dan Pitra Yadnya.

Contoh b)

(a) Prihȇn tȇmȇn dharma dhumȃrana ng sarȃt.

Sarȃga sang sȃdhu sireka tȗt-tana

Tan a-rtha tan kȃma pidonya tan yaṡa

ya sa-kti sang sajjana dharma raksaka.

(b) Sakȃ nika ng rȃt kita yan wȇnang manȗt

Manȗ padeṡa prihatah rumakṣaya

Kṣayȃ nikang pȃpa nahan prayojana

. Janȃ nuragȃdi tuwin kapangguha.

(c) Guhȃ pȇtȇng tang mada moha kaṡmala

malȃdiyolanya magȍng mahȃ wiṣa

Wisȃ-ta sang wruh rikanang jurang kali

Kalīnganing ṡȃstra suluh nikang prabha.

(d) Prabhȃ nikang jňȃna susīla dharma weh

Maweh kasiddhyan pada mukti nirmala

Malȃmilȇ tan pamatuk makin maring

Maring wiṡesȃng yaṡa siddha tȃpasa.

(e) Pasa ng putih tulya nikang malȃngliput

Luput sira ng sȃdhuyakȇn pasang tuju

Tuju ng suka ngke mamunuh taman mulih

Mulih sireng mokṣa lȇpas rika ng mulik

(f) Mulik patȗtning aji nȃgawenira

Nirȃntarȃweh hayu dharma ring para

Parȃrtha tan len juga donireng jagat

Jagat ndȇngȃ sȃjar-ajar nireng hayu.

Terjemahan:

(a) Utamakanlah kebenaran dalam mengayomi negara

Kegemaran orang salehlah yang patut diteladani

Tujuannya bukan harta, bukan hawa nafsu dan bukan ketenaran

Keberhasilan orang bijak karena selalu berpegang pada kebenaran hakiki.

(b) Engkau akan menjadi tiang Negara dan wajib diteladani

Page 35: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

35

Cari dan berpeganglah pada ajaran agama

Tujuannya untuk membahagiakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa

Kesetiaan rakyat pasti akan engkau temukan.

(c) Kecerobohan, kebingungan, dan sikap jahat bagai gua gelap gulita.

Sifat sangat jahat bagai ular besar yang sangat berbisa.

Orang pandai selalu bersikap tenang walau tahu akan saat ajal tiba.

Pada dasarnya pengetahuan itu bagai pelita yang menerangi.

(d) Prabawa pengetahuan kebajikan itu akan memberikan kebenaran.

Akan memberikan keberhasilan dan menikmati kesucian.

Noda yang menyelimuti akan melemah dan tidak bereaksi.

Gampang mengamalkan kebajikan makanya disebut pertapa agung.

(e) Noda yang menyelimuti batin itu bagai jebakan.

Orang saleh pasti terhindar karena mampu menolak noda itu.

Bila tujuannya hanya mengumbar nafsu, membunuh, ia takan moksa.

Kembali ke alam nirwana/moksa tanpa pamrih.

(f) Kewajibanmu menekuni kebenaran pengetahuan.

Tiada henti memberi keselamatan bangsa berlandaskan kasih saying.

Tujuannya hanyalah menciptakan kebahagiaan masyarakat.

Meraka akan tekun mengikuti semua petuahmu mengenai kebaikan.

Penjelasan:

Suku kata atau kata yang bergaris bawah pada kutipan di atas, menandakan

adanya pengulangan. Pengulangan terjadi pada setiap baris dan bahkan melampaui

batas bait. Maksudnya, bangun kanci yamaka terdapat pada suku kata terakhir bait 1,

diulang pada suku kata/kata pertama bait 2, begitu seterusnya.

Bait-bait kutipan di atas amat terkenal pada masyarakat pelaku mabebasan.

Hampir setiap pelaku mabebasan hafal akan teks kakawin yang bersumber dari KRY

ini. Alasannya adalah, karena teks kakawin ini mengandung ajaran mulia yang bisa

dijadikan bekal bagi mereka yang akan memimpin, dan juga dipercaya berguna

untuk bekal menuju surga (moksa) bagi roh orang yang meninggal dunia.

Page 36: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

36

(2) Puspa Yamaka

Puspa Yamaka adalah suatu bangun puisi atau kakawin, yang suku kata

terakhir setiap barisnya memiliki vokal sama. Maksudnya adalah vokal suku kata

pada silabel atau suku kata terakhir seluruh barisnya sama. Vokal suku kata terakhir

dapat disamakan dengan sajak akhir. Bentuk ini mirip dengan syair dalam sastra

modern yang sajaknya a, a, a, a.

Contoh

(a) Makulilingan ring talaga kabeh-nya

Pada mamupak pangkaja sahana-nya

Sulur inalapnyȃmȇng-amȇnga do-nya

Pada masȇkar keṡara rinuru-nya.(KRY,17:130)

(b) Lawan hana sibit silitnya dini-kung

Wawang kasuluyung tiba kasidi-kung

Gulunya kapȇluk awaknya maku-kung

Gadungnyan aputih tikel kadi ba-kung (KRY, 19:122)

Terjemahan

(a) Semuanya mengelilingi kolam.

Semuanya memetik bunga teratai seadanya.

Tangkai bunga dipetik dengan tujuan digunakan untuk bermain-main

Semua sama-sama berbunga benang sari yang telah jatuh.

(b) Dan ada yang sobek pantatnya ditekuk

gelagapan sempoyongan lalu jatuh tengkurap

Lehernya dipeluk badannya melengkung

Gadungnya yang putih patah seperti bunga bakung.

Penjelasan:

Pada kedua bait kutipan di atas terlihat jelas bahwa masing-masing bait

memiliki silabel akhir yang sama. Bait 1 memiliki silabel akhir yang keempat

barisnya adalah –nya, dan bait 2 keempat barisnya memiliki silabel akhir –kung.

Page 37: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

37

(3) Padȃdyanta Yamaka

Padȃdyanta Yamaka dimaksudkan adalah, bangun kakawin yang berisi

pengulangan silabel/kata pada silabel/kata pertama pada keempat barisnya.

Pengulangan ini kadang-kadang kelihatan seperti dwipurwa. Untuk jelasnya dapat

dilihat pada bait kakawin di bawah ini.

Contoh:

(a) Tuhu-tuhu dewī wangṡaja manulus

Sari-sari tan len mȃnawa winuwus

Duga-duga datȃ sȃdhu sira putus

Tan alang-alang wadwa ri sira huwus.

(b) Madulur-dulur yȃrumpukan asana

Ma-ng idung-ngidung yȃcangkrama

Ma-turu-turȗ ron don pinaka tilam

Tumȇnga-tȇnga ring candra wilasita.

Terjemahan:

(a) Betul-betul keturunan bangsawan sempurna.

Setiap hari tidak lain hanya ajaran agama yang dibicarakan.

Jujur, pemurah, suci dan ahli

Bukan kepalang para pembantunya tunduk akan perintahnya.

(b) Beriring-iring mereka bersumpangkan bunga angsana

Bernyanyi-nyanyi bercengkrama bergembira

Tidur-tiduran dengan beralaskan kasur dedaunan

Menengadah memandang cahaya bulan dengan senang.

Penjelasan:

Dalam kutipan bait-bait kakawin di atas terlihat adanya pengulangan kata

awal (pertama) pada seluruh barisnya. Pengulangan kata yang dimaksud seperti:

tuhu-tuhu, sari-sari, duga-duga, alang-alang (bait a), dan madulur-dulur,

mangidung-ngidung, maturu-turu, dan tumȇnga-tȇnga (bait b). Jadi kelihatan seperti

kata berulang. Di samping itu dalam bait a terdapat pula pengulangan silabel/suku

kata pada akhir baris. Suku kata yang diulang adalah suku kata –us pada baris ke-

satu diulang pada akhir baris ke-dua, ke-tiga, dan ke-empat.

Page 38: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

38

(4) Padanta Yamaka

Padanta Yamaka adalah bangun kakawin yang memiliki pengulangan silabel

atau kata pada bagian akhir setiap barisnya.

Contoh:

Wȇruh sire naya nikȃng inuli-ulih

Sȃri-sȃri ni ng ujar iningȇt-ingȇt

Buddhi pȗrwaka huwus mangangȇn-angȇn

Yar sahur kadi swara gȇrȇh matȇrȇh.

Terjemahan:

Beliau tahu rahasia yang dibicarakan.

Intisari yang dibicarakan diingat-ingat.

Yang menyebabkan orang sadar sudah dipikirkan.

Lalu berkata dengan teriakan bagai suara guruh.

Penjelasan:

Melihat kutipan bait kakawin di atas dapat diketahui bahwa setiap baris yang

ada dalam bait kakawin tersebut memiliki pengulangan silabel atau kata pada bagian

akhir barisnya.

(5) Wrȇnta Yamaka

Wrȇnta Yamaka adalah bait kakawin yang memiliki persamaan silabel atau

kata pada awal keempat barisnya. Maksudnya adalah, silabel atau kata awal baris ke-

satu digunakan sebagai silabel atau kata awal baris kedua. Begitu seterusnya hingga

bait ke-empat.

Contoh:

Mandȃra ramya sumȇkar kadi sampun ahyas

Manda-ng angin ta ya tumȗb ya tȇbȇng ta molah

Manda-ng ulah juga kadi pwa masȍ manungsung

Mandonining bramara mattakȇn ujarnya.

Terjemahan:

Gunung Mandara bagai berhias indah pohon yang sedang berbunga.

Angin berhembus perlahan tiada henti menyebabkan pohon bergerak.

Gerakannya pelan bagaikan datang menyongsong.

Suara lembut si kumbang mabuk bagai tegur sapanya.

Page 39: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

39

Penjelasan:

Dalam bait kakawin di atas terdapat pengulangan kata manda pada silabel

permulaan setiap barinya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa keempat barisnya

dimulai dengan silabel yang sama yaitu kata manda. Kesamaan silabel/kata pada

permulaan setiap baris dalam bait-bait kakawin disebut dengan istilah Wrȇnta

Yamaka.

4.1.3.4 Arthȃlamkara

Arthȃlamkara adalah permainan makna/arti kata dalam kakawin. Permainan

makna kata ini bertujuan untuk menambah daya estetik kakawin. Bentuk ini dapat

disamakan dengan gaya bahasa ataupun majas dalam dunia semantik. Arthȃlamkara

bisa dibedakan menjadi 16 jenis seperti: rupaka, rupakabhyadika, wyatireka, sleṡa,

upareksa, wibhawana, atisayokti, warta, yatha sangkawa, wirodha, ninda stuti,

nidarsana, wisosekti, arthȃntarȃnyasa, upȃnyasa, ananwaya. Agar diperoleh

pemahaman yang lebih jelas, perhatikan contoh-contoh berikut.

1) Rupaka

Rupaka adalah permainan makna kata dengan menggunakan perbandingan.

Rupaka dapat disamakan dengan majas perbandingan di dalam semantik. Kata-kata

yang digunakan sebagai adanya ciri perbandingan seperti; kadi, lwir, tulya, akȇn,

upama, kaharan, tuwi, padanya/padanira, atmaka/satmaka, dan pinaka.

Contoh:

a) Kadi megha manghudanakȇn.

Padanira yarwehakȇn ikang dana.

Dīnȃndha krȇpana ya wineh.

Nguni-nguni danghyang dangȃcȃrya (KRY,1:5)

b) Saphala sira raksakeng rȃt,

Tuwi sira mitra hyang Indra bakti tȇmȇn.

Maheṡwara ta sira lanȃ,

Ṧiwa bhakti ginȍng lanȃ ginawe (KRY,1:7)

Page 40: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

40

Terjemahan:

a) Bagai mendung yang menyebabkan hujan.

Persamaan beliau manakala memberi sedekah.

Orang sengsara, orang hina, orang buta yang diberi.

Lebih-lebih lagi pada orang suci dan pendeta.

b) Berhasillah beliau memerintah Negara.

Betul-betul beliau sahabat dewa Indra sangat bakti.

Penganut Maheswaralah beliau senantiasa.

Dewa Siwa yang selalu diusahakan untuk dipuja.

Dalam kedua bait kutipan di atas terlihat adanya unsur perbandingan dengan

menyamakan atau memperbandingkan. Persamaan yang dimaksud seperti

mengumpamakan Raja Dasaratha yang disamakan dengan mendung. Dasaratha

diibaratkan sebagai mendung yang akan mengakibatkan hujan. Begitulah

persamaannya ketika beliau memberikan sedekah kepada para fakir miskin, orang

sengsara, orang buta, lebih-lebih lagi kepada orang suci dan pendeta (bait a). Pada

bait b, Dasaratha dianggap berhasil/sukses dalam memerintah negara. Keberhasilan

beliau mengayomi rakyatnya itulah yang menyebabkan beliau dianggap sebagai

sahabat Dewa Indra. Beliau juga merupakan penganut Siwaistis karena selalu

memuja Dewa Siwa.

2) Upareksa

Upareksa adalah gaya bahasa dengan pemakaian kata-kata yang mengandung

makna/arti yang berbeda bahkan bisa berlawanan atau berbalasan. Gaya ini dapat

disamakan dengan paradoks atau majas pertentangan.

Contoh:

Tandwa rangkȇp patangkȇp kiwa tȇngȇn apagut ramya tandhang –tinandhang.

Maprȇp kaprȇp silih prȇp mamalu ya pinalu lyan manȇbung tinȇmbung.

Manggyat ginyat silih gyat pinupuh hana mupuh wira nampyal tinampyal.

Kapwa rangkal rinangkal pȇkul ika mamȇkul mwang mamandhȇm pinandhem.

(KRY,XX:14)

Page 41: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

41

Terjemahan:

Setelah lengkap berhadap-hadapanlah barisannya, kiri-kanan bertempur

dengan sengit, saling tendang-menendang.

Saling peluk, saling gulat, ada yang memukul lalu ia dipukul, lain lagi yang

saling bentur.

Ada yang menarik lalu ditarik, saling tarik, dipukul, ditampar, dan ada yang

dengan gagah saling tendang menendang.

Ada yang saling piting, saling rangkul, dan ada yang membanting lalu

dibanting.

Dalam bait di atas digunakan gaya bahasa dengan pemakaian kata-kata yang

sama, namun bertentangan maknanya (berbalasan) karena adanya unsur afiksasi.

Kata-kata yang dimaksud seperti kata-kata yang bergaris bawah pada kutipan bait

kakawin di atas.

Contoh lain dapat disbutkan seperti di bawah ini.

Prapaňca pracacah paňca,

Pracacad pocapan cêcêd,

Prapêngpêng pipi pucche pŗêm,

Pracongcong sêt pacêh-pacêh (Riana,2009:452).

Terjemahan;

Pikiran bingung porak-poranda dalam kegelisahan

Pasti akan dicela dan diremehkan secara kritis

Pipi sembab dan wajah jelek dengan mata sipit

Lena termenung lalu mendadak tertawa terbahak-bahak.

3) Slesa

Slesa ialah estetika bahasa/gaya bahasa dalam kakawin dengan kata-kata yang

sama tetapi memiliki makna yang berbeda. Gaya ini sama dengan gaya bahasa yang

tergolong majas paronomasia.

Contoh:

Sapaṡila nikanang wwil kapwa tȇka mapangkat

Matutur i paṡilanyȃtyatanta tȗtȗt ring ȃjňȃ

Pranata matakut atwang tan hanȃngambah ambah

Dumunung i paṡilanyȃnung yathȃsambhawȃtah (KRY,XII:49)

Page 42: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

42

Terjemahan:

.

Kera-kera duduk bersila semua, berudakan sesuai jabatannya.

Bercerita tentang perilakunya yang sangat patuh pada perintah.

Sangat hormat, takut, tunduk tidak ada yang berbuat onar.

Menuju batu datar yang menjadi tempat duduk sesuai dengan jabatannya.

Dalam bait kakawin di atas terdapat gaya bahasa dengan pemakaian kata

paṡila sebanyak 3 kali. Kata paṡila merupakan bentukan dari dasar kata ṡila. Kata

ṡila mendapat prefiks pa-, menjadi kata paṡila. Makna kata paṡila adalah ‘sikap

duduk, perilaku dan tempat duduk berupa batu datar’. Jadi, di dalamnya terdapat

permainan kata yang sama namun maknanya berbeda.

4) Wyatireka

Wyatireka adalah gaya bahasa dengan membesar-besarkan atau melebih-

lebihkan sifat atau keadaan suatu objek yang dibicarakan. Gaya bahasa ini dapat

disamakan dengan majas hiperbola.

Contoh a)

Ong nȃthȃya namostute stutini ng atpada ri pada bhatara nityaṡa

Sang suksmeng tȇlȇnging samȃdhi ṡiwa Buddha sira sakala niskalȃtmaka

Sang srī parwwata nȃtha nȃtha ni ng ng nȃtha sira ta pati ni ng jagatpati

Sang hyang ni ng hyang inisty acintya ni ng acintya hana waya tȇmah nireng

jagat (KNKG,I,1) (Riana,2009:51)

Terjemahan:

Ya Tuhan, sembah hamba si hina ke hadapan duli Bhatara senantiasa.

Engkau tersembunyi di dalam samadi, Siwa Buda Engkau, perwujudan nyata

dan taknyata.

Dewa Raja Gunung, Raja Diraja, Engkau pemimpin para pemimpin dunia.

Dewa sekalian para Dewa, yang terpikirkan bagai rahasia dari segala rahasia,

tetapi berwujud nyata di dunia.

Page 43: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

43

Di dalam bait kakawin di atas, terdapat gaya bahasa melebih-lebihkan atau

meninggikan suatu objek (hiperbola). Tuhan dikatakan berwujud sangat rahasia, dan

bersemayam di dalam samadi (keheningan). Beliau merupakan raja dari sekalian para

dewa, dan para pemimpin dunia. Paling tidak zat tertinggi itu tidak

terpikirkankarenabersifat rahasia, namun nyata-nyata ada di dunia. Jadi ada unsur

pengagungan yang berlebihan, walaupun kenyataannya objek itu tidak terlihat dan

tidak terpikirkan, tetapi uhan Tdiyakini ada secara nyata.

Contoh b)

Ikȃ kadatwanku samipaning tasik.

Gahan ri Lȇngkȃ kadi kanting wulan.

I ratna pȃrȃyana nama tan kalen.

Ri denyan kweh mani ratna yȃ jwala. (KRY,V:1)

Terjemahan.

Itu istanaku di tepi laut.

Taklain di Lengka yang bagi sahabat bulan.

Di Ratnaparayana namanya tiada lain.

Olehkarenabanyak batu permata yang bercahaya.

Pada bait tersebut, diceritakan ketika Rahwana merayu Sita. Rahwana

mengatakan istananya bagai sahabat bulan.karenabanyak batu permata yang

bercahaya di istananya, menyebabkan istananya juga bercahaya bagai bulan. Jadi ada

unsur melebih-lebihkan dalam bait kakawin itu.

5) Rupaka Bhyadika

Rupaka Bhyadika adalah gaya bahasa dengan mempergunakan permainan

kata dengan makna pelambangan (simbolisme). Suatu objek digunakan sebagai

simbol atau lambang untuk mewakili ungkapan hati atau perasaan.

Contoh:

Sȇmbah ni nghulun ȃryaputra tȇke padadwayanta prabhu

Nyeki ng reka wacȃn uninya ya iko cihnany unȇng ni nghulun

Mwang cȗdhȃmani tulya ni nghulun ike mangsȍ sumȇmbah kita

Nyȃ ng simsim pakirim narendra ya ikȃ sparṡanta tȇka kahidȇp

(KRY,XI:22)

Page 44: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

44

Terjemahan:

Sembah hamba pada raja putra, kini datang menghadap tuanku.

Bacalah suratku ini, yang isinya sebagai cirri rasa rindu hamba.

Dan permata ini ibarat diriku datang menghadap menyembahmu.

Adapun cincin yang tuan hamba kirim itu kuibaratkan pelukanmu.

Dalam kutipan bait kakawin di atas berbagai benda seperti: surat, cincin, dan

permata digunakan sebagai simbol atau pelambangan. Surat disimbolkan sebagai

wakil rasa rindu. Permata yang dikirim dianggap sebagai wakil pengirim (Dewi Sita),

dan cincin, dimaknai sebagai peluk ciumnya. Jadi objek yang dijadikan simbol

berupa benda.

6) Wibhawana

Wibhawana adalah gaya bahasa yang dipakai mengungkapkan suatu objek,

yang keberadaannya tanpa penyebab yang jelas. Teknik pengungkapan objek dengan

gaya bahasa seperti ini sering dijumpai dalam kakawin.

Contoh:

Dadi wȇkasan mapet panalimur harip mata sakeng takut makȇjȇpa.

Pinipik ikang rwani ng maja nirantaran tinibakakȇn ya ring wway adalȇm.

Ri dalȇm ikang tataka hana teki rakwa Siwa lingga nora ginawe.

Ya ta kahanan nikang sakala wilwa warna tumiba ta nora minaha

(KSRK,V:5)

Terjemahan:

Akhirnya dicarilah penghibur mata ngantuk karena takut ketiduran.

Dipetiknya daun maja tiada hentinya, lalu dijatuhkan ke air yang dalam.

Di dalam air itu konon ada lingga Dewa Siwa yang ada tanpa dibuat.

Secara nyata di sanalah daun maja itu jatuh tanpa disengaja.

Dalam kutipan bait kakawin di atas diceritakan adanya patung (lingga) Dewa

Siwa. Lingga Dewa Siwa ini ada tanpa ada yang membuatnya. Jadi, dapat dikatakan

bahwa lingga itu ada tanpa sebab.

Page 45: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

45

7) Yatha Sangkawa

Yatha Sangkawa adalah unsur estetik yang ada di dalam kakawin dengan

stilistik pengungkapan memakai gaya bahasa. Gaya bahasa yang digunakan bermakna

pelukisan suatu keadaan/peristiwa seperti: keadaan berbahaya, perang, saat genting

atau kritis, keluh kesah penderitaan, bahkan keadaan sedang dimabuk asmara.

Contoh:

a) Ripati sang Abhimanyu ring ranangga.

Tȇnyuh araras kadi ṡewaleng tahas mȃs.

Hananang araga kȃlaning pajang lek.

Cinacah alindi sah antimun ginȇntȇn.

b) Kalalu lara sapandhu putra senȃ.

Tinut I luwar nikang aprang asrang angdoh.

Padha mulih angusir kuwunya sowang.

Tuwi wȇngi lud nawamīng kulȇm kamantyan.

c) Tucapa lara narȃrnya Dharmma putra.

ri pati nikang mangaran warȃbhimanyu.

Kimuta bibi nirȃngaran subhadra.

Kapati wimurccita ring lȇmah makundah (KBY,14:1-3)

Terjemahan:

a) Ketika gugur sang Abimanyu di medan perang.

Hancur namun mempesona bagai lumut beralaskan bokor emas.

Namun sangat menghibakan hati ketika terang bulan.

Tertusuk-tusuk menghibakan bagai mentimun teriris-iris.

b) Sangat sedih semua prajurit putra Pandhu.

Bersamaan dengan bubarnya orang berperang di tempat jauh.

Semua pulang menuju pondoknya masing-masing.

Apalagi telah malam tepat waktu paro gelap (panglong) ke sembilan.

c) Diceritakanlah kesedihan sang Dharmawangsa.

Ketika gugurnya si tampan yang bernama Abimanyu.

Terlebih lagi ibunya yang bernama Dewi Subadra.

Pingsan tak sadarkan diri tergolek di atas tanah.

Page 46: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

46

Pada kutipan bait kakawin di atas diceritakan tentang keadaan ketika

gugurnya Abhimanyu. Semua prajurit Pandawa bersedih. Perang seketika berhenti,

walaupun berjauhan jaraknya dari tempat gugurnya Abhimanyu. Kebetulan juga hari

telah menjelang malam sehingga mereka kembali ke pondok masing-masing. Raja

Dharmaputra sangat sedih, terlebih lagi ibu Abhimanyu yaitu Dewi Subadra. Beliau

pinsan tidak sadarkan diri, terkapar di tanah.

Keadaan kesedihan para Pandawa diceritakan dengan gaya bahasa yang

sangat khas pada Kakawin Bharatayuddha. Gaya penceritaan seperti itu menambah

nilai estetis kakawinnya. Bait-bait kakawin ini sering dimemorisasi oleh para pelaku

mabebasan untuk kepentingan mengiringi upacara kematian.

8) Atisayokti

Gaya bahasa membandingkan suatu objek dengan objek lain yang tidak

sebanding disebut dengan gaya bahasa Atisayokti. Atisayokti dapat disamakan dengan

majas perbandingan jenis hiperbola. Untuk jelasnya, di bawah ini dikemukakan

contoh-contoh pemakaiannya di dalam kakawin.

Contoh:

a) Hana rȃjya tulya kendran.

Kakawehan sang mahȃrdhika ṡusīla.

Ring Ayodhyȃ subhageng rȃt.

Yeka kadatwan nira ng nŗȇpati.

b) Hayuni ng swargga tuwi masor.

Dening Ayodhyȃpurȃtiṡaya.

Suka nitya kȃla menak.

Ring rȇngrȇng towi ring lahru (KRY,I:11-12).

c) Kadi pwa kendran nikanang mahendra ya.

Ridenyan akweh kayu kalpa wŗȇksa ya.

Lawan manik yeka ṡilȃ talanya ya.

Dunung manuk kinnara jīwa jīwa ya (KRY,XI:57)

d) Tȇka pwa sang Ṧri Raghuputra ring gunung.

Page 47: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

47

mulat sireng pȃrṡwa saṡobha rȃmya.

jȇnȇk sirȃr ton talagȃhatur sȇkar.

sȇkarnya tuňjung muka sang priya.

e) Samangkanekang bhramara bhramanta ya.

Maṡabdha nambhung sari ni ng saroruha.

Kadi pwa sang sri Janakatmajirang

Hanuman tumuduhakȇn ri ya. (KRY,XI:58-59)

Terjemahan:

a) Adalah kerajaan bagaikan istana Dewa Indra.

Kebanyakan orang berjiwa merdeka dan saleh.

Di Ayodhya yang berbahagia di duni.

Itulah istana sang prabu.

b) Keindahan surga pasti kalah.

Oleh kehebatan istana Ayodya.

bergembira dan bahagia sepanjang waktu.

Ketika musim hujan maupun musim kemarau.

c) Gunung Mahendra bagai kahyangan Dewa Indra.

Sebab banyak terdapat pohon harapan disana

Batu datar bagai permatanya.

Lain lagi burung cendrawasih dan belibis ada di sana.

d) Tibalah beliau Sri Raghuputra di gunung.

Memandanglah beliau ke lereng gunung yang indah berseri.

Betah beliau melihat taman seakan-akan menghaturkan kembang.

Bunga tunjung bagai wajah sang permaisuri.

e) Begitu pula si kumbang mendengung beterbangan.

Terbang bersuara mendengung pada benang sari teratai.

Terbayang bagai Dewi Janaki sedang berucap.

Semakin bahagia perasaan Sang Rama.

Semua bait-bait kakawin di atas mengandung pengandaian yang melebih-

lebihkan obyek yang diumpamakan itu. Gaya bahasa seperti ini sangat banyak

dijumpai dalam kakawin. Bunga teratai diibaratkan sebagai wajah Dewi Sita.

Dengungan suara kumbang yang sedang menghisap sari didengar bagai ucapan keluh

kesah Sita. Ini berarti udanya unsur melebih-lebihkan.

Page 48: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

48

9) Warta

Warta adalah gaya bahasa yang digunakan di dalam kakawin, dengan

melukiskan seseorang sebagai objek yang disamakan dengan keadaan alam yang

sesungguhnya. Gaya bahasa seperti ini sebenarnya mirip dengan Atisayokti di atas.

Untuk jelasnya akan dikemukakan sebuah contoh seperti di bawah ini.

Contoh

a) Atha sumurup bhȃtara Wiṡwasan.

Wȇngi ya huwus daṡa deṡa pȇtȇn ya.

Ikana unȇng nira mangkin atambȇh.

Umilu pȇtȇng ta manah nira ta denya.

b) Mȇtu ta bhatara sasangka sateja.

ring udaya parwwata bhȃswara rȃmya.

Kadi anumoda tumon sira mopȇk.

Suluh ikanang daṡa deṡa ya mȃwȃ.(KRY, XI: 79 dan 81).

Terjemahan:

a) Setelah matahari terbenam.

Malam pun tiba, seluruh penjuru gelap gulita.

Ketika itu semakin bertambahlah rindu beliau.

Ikut gelap gulitalah pikiran beliau olehnya.

b) Rembulan mulai terbit dan bersinar.

Di atas gunung bercahaya terang.

Bagaikan hiba melihat (Rama) bersedih merana.

Menyinari segala penjuru dunia agar terang benderang.

Pada kutipan di atas digambarkan gelapnya hari menjelang malam sama

dengan gelapnya pikiran Rama yang sedang bersedihkarenaditinggal oleh Sita.

Olehkarenaitu rembulan merasa kasihan melihat kesedihan Rama. Lalu, rembulan

menampakkan diri, bersinar terang menerangi seluruh penjuru dunia untuk mengusir

kegelapan/kesedihan hati Rama. Di sini terdapat gaya bahasa yang sangat estetik.

Keadaan alam disamakan dengan keadaan pikiran atau perasaan seseorang.

Page 49: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

49

10) Wirodha

Wirodha adalah gaya bahasa untuk melukiskan sesuatu objek dengan cara

yang berlawanan. Gaya bahasa semacam ini dapat disamakan dengan gaya bahasa

atau majas pertentangan, khususnya Litotes. Dalam gaya bahasa wirodha terdapat

suatu pengungkapan keadaan merendahkan diri sendiri. Wirodha banyak dijumpai di

dalam kakawin.

Contoh:

Ong sȇmbah ni ng anȃtha tingghalana de tri loka ṡarana

Wȃhya dyatmika sȇmbah inghulun ijȍng ta tan hana waneh.

Sang lwir aghni sakeng tahȇn kadi maňak saking dadhi kita.

Sang sȃksȃt mȇtu yan hana wwang amutȇr tutur pinahayu.

Terjemahan:

Ya Tuhan terimalah sembah sujud si hinadina ini oleh-Mu yang menguasai

jagat triloka ini.

Lahir batin sembah hamba ke hadapan-Mu tidak ada yang lain.

Engkau bagi api di dalam kayu, bagai minyak di dalam santan.

Engkau akan menampakkan diri bila ada orang yang membicarakan

filsafat kebenaran.

Pada baris pertama kutipan kakawin di atas terdapat gaya bahasa yang

bermakna merendahkan diri (di Bali disebut dengan sikapm Ngalap Kasor). Kata

yang digunakan adalah anȃtha yang berarti ‘sangat hina’ atau ‘hina dina’. Arjuna

yang merupakan seorang ksatria amat sakti, ditakuti lawan dan disegani kawan,

berwajah tampan, mengatakan dirinya sangat hina (sangat serba kekurangan).

Pernyataan Arjuna seperti itu merupakan pernyataan yang berlawanan dengan

kenyataan Arjuna yang sebenarnya yang sakti mandraguna. Jadi gaya bahasa wirodha

terbukti ada di dalam kakawin.

Bait-bait kakawin di atas sangat populer di kalangan pelaku mabebasan di

Bali. Keadaan itu kemungkinan sama populernya dengan wacana kidung Wargasari.

Banyak para pelaku mabebasan hafal akan bait kakawin itu. Mereka menghafalkan

atau melisankan karena bait kakawin itu, di samping memiliki gaya bahasa yang

sangat indah, juga berfungsi untuk mengiringi beberapa jenis upacara keagamaan

Page 50: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

50

agama Hindu di Bali. Bahkan ada yang digunakan sebagai doa sembahyang. Itulah

sebabnya Wirodha merupakan gaya bahasa yang memotivasi pelisanan dalam

mabebasan di Bali.

11) Ninda Stȗti.

Ninda Stȗti adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mencela atau memuji

suatu objek dengan ungkapan yang berlawanan.

Contoh:

Prabhu kita Rȃwanȃtiṡaya sakti jayeng bhuwana.

Pranatha musuhta bhakti matakut sahananya kabeh.

Surapati sanghyang Indra tuwi bhakti sira pranatha.

Kathamapi dȗrnaya pwa kita hīna tamat panulus (KRY, V:4)

Terjemahan:

Raja Rawana kamu, teramat sakti dan unggul di dunia.

Sanagat tunduk semua musuhmu, bakti, takut kepadamu.

Raja para dewa Hyang Indra betul-betul bakti dan sangat tunduk.

Tetapi kau ternyata bodoh, lemah tidak tulus benar

Dalam kutipan bait kakawin di atas terdapat gaya bahasa menyanjung, dan

sekaligus merendahkan. Baris 1, 2, dan 3 berisi sanjungan terhadap Rahwana.

Namun, pada baris 4 Rahwana dicela dan sangat direndahkan. Ungkapan tersebut

sebenarnya mengandung makna melecehkan kesaktian Rahwana (Suarka, 2009:46).

Bentuk ini kurang memotivasi pelisanan dalam mabebasan di Bali. Hal ini

diakibatkankarenaorang Bali pada umumnya kurang senang merendahkan orang lain.

Terlebih lagi adanya slogan “Tatwamasi” yang berarti ‘itu adalah kamu’. Jadi,

merendahkan orang lain berarti merendahkan diri sendiri. Merendahkan, mencela,

mengejek, dianggap sebagai perbuatan jahat, keji yang nantinya akan berpahala

buruk.

12) Nidarsana.

Pengungkapan untuk melukiskan sesuatu objek yang benar-benar terjadi

sesuai kenyataan, dengan cara membanding-bandingkan objek tersebut dengan

benda-benda yang ada secara nyata, disebut dengan gaya bahasa Nidarsana.

Page 51: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

51

Contoh:

a) Meh wwalung tabȇharing sakatakbay.

Teja Sang Hyang Arunojwala mabhrȃ.

Ngkȃna ring udaya parwwata saṡrī.

Tulya rȃga nikana ng warakȃmī.

b) Na ng nabastala kadi pwa ya kȇmbang.

Rȗksa yan taya Bhatȃra Ṧasȃngka.

Sȗryya raṡmi kadi mitra matangguh..

Mȃwa tan g gagana mȃri makingking.

c) Kanyakȃ mrȇdhu manojjňȃ surȗpa.

Bwat hajinya mangidung saha wīnȃ

Somya suswara sarȃga kidungnya.

Sȃwadȃna tuwi manggala gita.

d) Jȃgra tan g taruna kapwa ya kagyat.

Saksanȃ ng wȇngi hidȇpnya ya mȇnggal.

Ȃpa tar warȇga sanggama sȇdȇng hyun.

Darppa ring wiṡaya bhoga sarȃga.

e) Candra tulya nikana ng tarunȃnghol.

Nȃ tangan ya malurus ya sateja.

Candra kȃnta pada ni ng rara kanyȃ.

Yan kinol drawa humīs haringȇtnya (KRY,XII:21-25).

Terjemahan:

a) Keesokan dini hari kira-kira pukul enam pagi.

Sinar Sang HyangSurya terang benderang

Disana di ufuk timur di sela gunung nan indah.

Ibaratnya cinta birahi sang pria tampan.

b) Langit bagaikan kembang.

Layukarenatiada Dewi Rembulan.

Sinar mentari ibarat sahabat yang member nasihat.

Cerahlah langit, usai bersedih.

c) Gadis perawan bersuara merdu, berparas cantik menawan hati.

Belajar menembang diiringi musik (rebab).

Suaranya kristal merdu mempesona kidungnya.

Patut didengar sebab berisi kidung pujaan pendahuluan.

Page 52: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

52

d) Para lelaki semua terkejut lalu terbangun.

Malam dirasakan sangat singkat dan cepat.

Sebab ia belum puas bersenggama saat memadu asmara.

Asik bergelimang nafsu birahi dan mabuk asmara.

e) Ibaratnya bulanlah lelaki yang merangkul.

Begitu pula tanganya yang lurus bagai sinar.

Wanita perawannya ibarat permata biduri ulan.

Ketika dipeluk keluar menetes keringatnya.

Dalam kutipan bait-bait kakawin di atas jelas terlihat adanya unsur pelukisan

suatu abjek, yang benar-benar ada dalam dunia nyata dan dialami seseorang. Objek

keadaan alam itu dipakai pengandaian pada seseorang atau pada manusia. Bentuk

nidarsana ini sangat banyak ditemukan dalam dunia kakawin, kidung ataupun

geguritan. Gaya bahasa nidarsana itu sangat menarik sehingga sangat disenangi oleh

para pelaku mabebasan di Bali. Olehkarenaitu tidak jarang para pelaku mabebasan

ingin menghafalkannya. Dengan demikian tidak berlebihan bila dikatakan bahwa

bentuk nidarsana merupakan motivator pelisanan dalam mabebasan.

13) Arthȃntaranyasa

Arthȃntaranyasa adalah gaya bahasa yang digunakan untuk melukiskan sifat-

sifat jelek, jahat, sifat-sifat yang tidak baik atau sifat raksasa yang dimiliki suatu

objek.

Contoh

a) Yan rȃksasa prakrȇti dusta tȗtana.

Jatingku ṡuddha karatun ya ta tȗtana ng kwa.

Sakweh nikang adhama rȃksasa ṡatru ni ng rȃt.

Tȃtan patanggwa sahananya ya patyana ng kwa.

b) Mȃrīca ko kalana mȗda taman panolih.

Atyanta sȃhasa rikeng patapan mahȃrsi.

Ko tan pasȃra trȇṇa tulya dukut mahumpang.

Merang aku nglawana ko laku mȗr saka ngke (KRY, II:41-42).

Page 53: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

53

(2) Terjemahan.

a) Sifat jahat raksasa itu kau ikuti.

Sifatku suci bersih, sifat raja itu yang aku ikuti.

Semua raksasa yang bersifat jahat adalah musuh dunia.

Tidak bisa kuhindari, semua akan kubunuh.

b) Marica, kau jahat dan dungu tidak menghiraukan apa.

Sangat kejam di pertapaan sang maharesi.

Kamu tiada berharga ibaratnya dedaunan dan rumput kering.

Malu aku melawanmu, pergi enyahlah kau dari sini.

Dalam kedua bait kutipan di atas jelas terdapat ungkapan sifat-sifat buruk

objek yang dalam hal ini adalah si raksasa bernama Marica. Marica dikatakan

memiliki sifat jahat yang merupakan sifat raksasa. Sifat jahat ini jelas akan dimusuhi

oleh dunia. Sifat jahat si Marica adalah selalu mengganggu dan merusak tempat

pertapaan para resi. Untung Rama tidak membunuhnya dan hanya melemparkannya

dengan panah Bayawya, sehingga Marica terpental sampai jauh.

Pemakaian estetika/gaya bahasa untuk mengungkapkan sifat-sifat jahat

seseorang atau suatu objek sangat banyak ditemukan di dalam karya sastra tradisional

seperti: kakawin, palawakia, kidung dan geguritan. Kenyataan ini tidaklah berlebihan

mengingat karya sastra tradisional kebanyakan memuat cerita yang bertemakan

kebajikan yang selalu menang melawan kebatilan. Keadaan ini pulalah yang

mendorong para pelaku mabebasan sering menghafalkan atau

mememorisasi/meresitasi bait-bait kakawin, palawakia, kidung maupun geguritan

yang mengandung gaya bahasa Arthȃntaranyasa. Keadaan ini mengandung makna

bahwa gaya bahasa ini termasuk salah satu gaya bahasa yang memotivasi pelisanan

dalam mabebasan.

14) Upanyȃsa

Upanyȃsa adalah gaya bahasa yang memuat tentang anjuran-anjuran atau

ajakan. Ajuran yang dimaksud adalah sejenis ajakan untuk melakukan sesuatu atau

tidak melakukan sesuatu tindakan. Dalam kakawin kebanyakan anjuran yang

diungkap berupa anjuran untuk berbuat kebajikan atau susila.

Page 54: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

54

Contoh:

a) Anghing kita nȃthangkwa ari.

Mrastȃkna ṡatrunta kabeh.

Rȃmȃdhama yekan pisani.

Mwang Lakṣmana Sugrīwa pusus.

b) Ngke k tona asihtȃt makaka.

yan sīrnna musuhtȃlilanga,

Wīrryanta katoneng palagan.

Lumrȃ ta yaṡanteng bhuwana. KRY,XXII:16-17)

Terjemahan:

a) Hanya engkau harapanku dinda.

Untuk memusnahkan musuh kita semua.

Bunuhlah sekalian si Rama yang bodoh.

Serta si Laksmana, Sugriwa, hancurkan!.

b) Akan kanda buktikan kesetiaanmu kepadaku.

Bila sudah semua musuhmu hancur.

Wibawamu akah kelihatan di medan perang.

Jasamu akan terkenal luas di seluruh negeri.

Kedua bait kakawin di atas, mengandung ajakan atau anjuran Raja Rahwana

kepada adiknya si Kumbhakarna, untuk maju berperang melawan musuhnya yang

menyerang kerajaan Alengka. Anjuran yang bermakna sama dengan perintah dalam

bentuk halus sangat jelas terkandung dalam kutipan di atas. Gaya bahasa yang

mengandung ajakan seperti ini juga menarik minat para pelaku mabebasan untuk

menghafalkan bait-bait kakawin yang mengandung gaya bahasa ajakan. Ini berarti

gaya bahasa upanyasa termasuk ungkapan yang memotivasi pelisanan dalam

mabebasan.

15) Anamaya

Anamaya adalah gaya bahasa perbandingan dengan mengandaikan suatu

objek tanpa ada objek pembanding lain (zero).

Contoh:

Page 55: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

55

a) Darppȃng kidang ya makidang-kidangan ya mȃdrȇs.

Wetnyȃn ṡaratsamaya kȃla dumeh ya darppȃ.

Ngkane tȇgal-tȇgal hawȃn mamangan-mangan ya.

Sang Rama Lakṣmana alah magirang tumon ya.

b) Ṧuddhȃputih pwa ya ta megha magȍng makandȇl.

I mbang nikang gunung I sor kahananya lumra.

Deni ng angin makin agȍng ya makin ya mawȃn.

lwir nyȃn katon kadi gunung Himawȃn apȗrwwa. (KRY,II:15-16)

Terjemahan.

a) Kidang binal berlompat-lompatan dengan cepat.

Musim semilah yang menyebabkan ia riang gembira.

Di sana di jalan ia mencari makan.

Rama dan Laksmana sangat senang melihatnya.

b) Mendung berwarna putih bersih, besar bagai menempel.

Di sela-sela gunung, menyebar agak lebih di bawah.

Karȇna angin ia makin melebar dan makin tinggi.

Kelihatannya bagaikan gunung Himalaya waktu dahulu.

Dalam kutipan di atas terdapat gaya bahasa perbandingan ananwaya. Objek

yang diandaikan atau diperbandingkan berobjek zero. Dengan kata lain, tidak ada

objek yang dperbandingkan. Si kidang yang kegirangan karena musim semi tiba,

dengan binal melonpat ke sana-ke mari. Panorama seperti itu sangat menyenangkan

perasaan sang Rama dan Laksmana.

Mendung yang berwarna putih bersih bagaikan menempel di punggung

gunung. Mendung itu semakin membesar dan meninggi karena tertiup angin musim

semi. Mendung yang menempel sangat tinggi itu menyebabkan gunung itu

kelihatannya besar dan tinggi seperti gunung Himalaya. Dalam kutipan tersebut dapat

dikatakan bahwa ada unsur perbandingan dengan pengandaian, namun objek yang

diperbandingkan tidak ada atau zero. Bentuk semacam ini juga sering memotivasi

pelaku mabebasan untuk mememorisasi/meresitasi teks kakawin, kidung dan juga

geguritan.

Page 56: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

56

16) Wisosekti

Pelukisan sifat-sifat buruk seseorang sering menginspirasi pengarang untuk

menulisnya dengan gaya bahasa tertentu. Gaya bahasa yang digunakan untuk

mengungkapkan sifat-sifat jelek seseorang dikenal dengan istilah wisosekti.

Contoh:

Mighnenga yajňa umati wiku tan padosa.

Nȃ dharma ni ng aṡura rȃksasa janma jatī.

Mukȃti sȃhasa mamaňcana baňcaneng rȃt.

Krura swabhȃwa mami tan hana sȃdhu buddhi (KRY,II:39)

Terjemahan:

Membencanai upacara korban suci, dan membunuh wiku tanpa dosa.

Itu kewajiban raksasa untuk membunuh manusia.

Sangat jahat, selalu membuat terror, membencanai dunia

Watakku ganas tidak punya belas kasih.

Dalam kutipan di atas sifat-sifat jelek manusia disamakan dengan sifat

raksasa. Artinya, segala sifat-sifat yang jelek, jahat, dan suka membencanai orang

adalah sifat raksasa. Namun, bagi golongan raksasa, itu bukanlah hal jelek, sebab

kewajiban/perilaku raksasa ialah membencanai, merusak, meneror manusia, dan

bahkan memakan manusia. Kewajiban ini tentu sangat dibenarkan bila dilihat dari

kaca mata/prilaku raksasa. Dalam hal itu kebenaran dimaknai relatif (bisa baik, bisa

buruk). Atau, dalam hal itu terdapat hukum relativitas mengenai kebenaran. Benar

menurut manusia belum tentu benar menurut raksasa. Begitu pula sebaliknya.

Kebenaran raksasa tidaklah benar menurut hukum manusia, dan ajaran agama.

Namun, apa pun alasannya, kebenaran raksasa tetap buruk bila diukur dari kacamata

prilaku manusia.

Gaya bahasa wisosekti memang banyak terdapat di dalam kakawin. Namun,

gaya bahasa ini kurang menarik sehingga sangat jarang memotivasi orang untuk

melisankan/mememorisasikannya.

Page 57: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

57

Bertolak dari seluruh uraian mengenai estetika sebagai unsur yang

memotivasi memorisasi/ pelisanan dalam mabebasan, maka dapat dikatakan bahwa

estetika merupakan unsur yang sangat menarik dan sangat penting. Dengan kata lain

dapat dikatakan bahwa unsur estetika seperti: permainan kata, permainan bunyi,

permainan makna kata, dan gaya bahasa ikut memotivasi pelisanan dalam

mabebasan.

Page 58: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

58

VI KESIMPULAN

1. Motivasi merupakan suatu dorongan kebutuhan untuk mencapai/memiliki sesuatu.

2. Dalam pelisanan mabebasan motivasi memegang peranan penting sehingga banyak

aktivis/pelaku mabebasan menghafal/mememorisasikan bait-bait kakawin untuk

digunakan baik sebagai pegangan hidup dalam bermasyarakat, maupun digunakan

untuk mengiringi upacara keagamaan agama Hindu.

3. Pelisanan yang digunakan dalam upacara Manusa Yadnya atau Pitra Yadnya

bertujuan untuk menghibur, memberi nasehat sebagai bekal hidup, baik dalam

kehidupan di alam sakala (dunia fana) maupun dalam kehidupan di alam niskala

(alam nirwana/tidak nyata).

Saran.

Pemerintah lewat badan terkait perlu memberi rangsangan dan dorongan baik moral

maupun material agar salah satu khazanah budaya bangsa itu tetap ajeg.

Page 59: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

59

DAFTAR PUSTAKA.

Aminudin. 1990. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru

Echols, John M. dan Hassan Shadily, 1993. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta:

Gramedia

Medera, I Nengah. 1989. “Tradisi Mabebasan Sebagai Media Pemahaman,

Penghayatan dan Pelestarian Nilai Budaya”: Makalah seminar.

Moeliono, Anton. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen

Pendidikan Nasional.

Ratna, I Nyoman Kuta. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Deśa Warņana Uthawi Nȃgara Kŗtȃgama Masa

Keemasan Majapahit. Jakarta; PT Kompas Media Nusantara

Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan

Suarka, I Nyoman. 2009. “Mebebasan Sebagai Metode Penelitian sastra”.

Denpasar: Pustaka Larasan.

Sukartha, I Nyoman. 1982. “Kehidupan Mabebasan dan Cara-Cara

Menerjemahkannya Di Kabupaten Klungkung” (Skripsi). Denpasar: FS.

UNUD.

Sukartha, I Nyoman.1995.” Peranan Mabebasan Dalam Menyebarluaskan Nilai-

Nilai Budaya Masyarakat Bali”. Denpasar: Depdikbud

Sukartha, I Nyoman dkk. 2017. “Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka

Prakarana”. Denpasar. FIB UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2008.: “Cara-cara Penerjemahan Dalam Mebebasan di Bali”

(Makalah), Jurusan Sastra Daerah F.S. UNUD. Denpasar.

Sukartha, I Nyoman. 1998. “Kendala-Kendala Penerjemahan Dalam Mebebasan”

(Makalah), Denpasar: Jurusan Sastra Daerah F.S UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2006). “Bentuk Terjemahan Dalam Mebebasan di Bali’.

Denpasar: Jurusan Sastra Daerah F.S. UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2016. “Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si

Tetani, dan Si Katak”, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi

Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan.

Sukartha. I Nyoman. 2017. Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga Winasa

Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker”dalam Proseding Seminar

Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2017. “Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana”

dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia VIII.

Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD.

Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa.

Page 60: LAPORAN PENELITIAN ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI …

60

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1983. Membaca Dan Menilai Sastra. Jakarta: Pt. Gramedia

Teeuw, A. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta:

Pustaka Jaya

Teeuw, A.1994. Indonesia Antara Kelisanan Dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka

Jaya

Zoutmulder, P.J. 1983. “Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang”.

Jakarta: Penerbit Jambatan

Zoutmulder, P.J. 2006. “Kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia”. Jakarta :

Jambatan.