kompilasi materi estetika
TRANSCRIPT
KOMPILASI MATERI ESTETIKA
SEMESTER III
ESTETIKA
SENI RUPA MURNI
FAKULTAS SASTRA & SENI RUPAUNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Disusun oleh :Oki, Aditiya Wibowo, Almukalis Farisada, Aprilias Kukuh W, Dinar Maharani P, Diah W Lestari, Dwi Putra PP, Dwi Rizkiy Fauziah, Era Ocktaviani, Fatra, Frendy Pratama Aditya, I Gede Agung, Juita Indah S, Nanang Setiawan Jodi, M Fakhri A, Hre Dharma,
A. MENJELASKAN PENGERTIAN FILSAFAT DAN MEMBEDAKANYA DENGAN PENGETAHUAN – PENGETAHUAN LAINYA.
Perbedaan filsafat,agama dan ilmu pengetahuan
Filsafat adalah induk pengetahuan, filsafat adalah teori tentang kebenaran.
Filsafat mengedepankan rasionalitas, pondasi awal dari segala macam
disiplin ilmu yang ada. Filsafat juga bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan
yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan
sungguh-sungguh, serta radikal. Sehingga mencapai hakikat segala
situasi tersebut.Filsafat bersifat spekulatif. Mendekati agak mutlak.
Kebenaran dari filsafat kadang berupa keragu-raguan yang belum bisa
dipastikan kebenarannya.
Filsafat timbul kerana adanya suatu kepercayaan dan dianggap benar.
Sehingga muncullah suatu teori yang menyatakan kebenaran
tersebut.Agama adalah lahir sebagai pedoman dan panduan bagi kehidupan
manusia. suatu keyakinan yang mempercayai bahwa manusia berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Agama lahir tidak didasari dengan
riset, rasis,ataupun uji coba. Melainkan lahir dari proses peciptaan zat yang
berada di luar jangkauan manusia. Agama diyakini berasal dariTtuhan
dengan wahyu-wahyu-Nya. Agama adalah suatu perantara yang bisa
mengantarkan manusia mencapai kepuasan hidup yang tidak bisa di dapat
dalam ilmu-ilmu lain. Kebenaran agama bersifat mutlak atau absolute.
Ilmu pengetahuan adalah suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah,
empiris dan logis. Ilmu adalah cabang pengetahuan yang berkembang pesat
dari waktu ke waktu. Segala sesuatu yang berawal dari pemikiran logis
dengan aksi yang ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan dengan sebuah
bukti yang konkret. Harus mempercayai paradigma serta metode-metode
yang jelas yang juga dikorelasikan dengan bukti yang empiris yang mampu
diterapkan secara transparan. Kebenaran ilmu pengetahuan bersifat nisbi
atau relative.Keragu-raguan tentang agama, filsafat bisa memberikan
jawaban tentang kebenarannya.
http://ilmipenulis.wordpress.com/2011/10/29/perbedaan-agama-filsafat-dan-
ilmu-pengetahuan/
PENGERTIAN FILSAFAT, ILMU DAN ILMU PENGETAHUAN
PENGERTIAN FILSAFAT
Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-
masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana
masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat
adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami
atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa
yang ada, yaitu: ” hakikat tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat
manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut.
Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan,
hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.
Secara singkat dapat dikatakan Filsafat adalah refleksi kritis yang
radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan yang mendasar
atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan
mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau
eksperimen, kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya
yang bersifat universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal
tersebut direfleksikan ataudipikir secara kritis dengan tujuan untuk
mendapatkan unsur-unsur yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman
yang mendalam. Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan
Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan ilmiah,
maka filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di samping
membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu
pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi objeknya dibatasi pada
perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian
saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif rasional, karena
filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu
pengetahuan tujuannya memperoleh data secara rinci untuk menemukan
pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu
pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuannya datanya
mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak perlu
mendetail dan akurat, karena yang dicari adalah hakekatnya, yang penting
data itu dianalisis secara mendalam.
PENGERTIAN ILMU
a. Hakikat Ilmu
Ilmu Merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan pengetahuan atau fakta yang berasal dari pengalaman
dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan dengan
pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode
yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survai,
studi kasus dan lain-lain). Pemahaman bermakna ataupun sesuatu yang
memberikan makna kepada diri individu apabila datangnya sesuatu
sumber yang dikatakan berkaitan dengan sesuatu kajian ataupun
memerlukan kefahaman.
b. Ciri-Ciri Ilmu
· Ilmu boleh dipertuturkan
· Ciri ini membezakan ilmu dengan perasaan dan pengalaman. Contohnya,
sesetengah "pengalaman diri" seperti mimpi adalah sukar dipertuturkan
melalui bahasa. Tetapi bagi ilmu, ia haruslah sesuatu yang dapat
dipertuturkan melalui bahasa.
· Ilmu mempunyai nilai kebenaran
Sesuatu yang digelar sebagai ilmu biasanya dianggap benar. Ciri ini
membezakan pengucapan ilmu dengan pengucapan sasastera yang
biasanya mengandungi unsur-unsur tahayul.
· Ilmu adalah objektif
Ciri ini bermaksud bahawa ilmu adalah sesuatu yang tidak dapat diubah
menurut keinginan ataupun kesukaan seseorang individu.
· Ilmu diperolehi melalui kajian
Ilmu adalah hasil daripada kajian. Ia bukanlah sesuatu rekaan. Ilmu
mengenai cara memeroleh ilmu itu dikenali sebagai perkaedahan
penyelidikan ilmiah
· Ilmu Sentiasa berkembang
Ilmu adalah sentiasa berada dalam proses pertambahan, pemantapan dan
penyempurnaan.
PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual
yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan
pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam
Qadir C.A., 1995). Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusiadari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya. Ilmu bukan sekedarpengetahuan (knowledge), tetapi
merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang
disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari
sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh
mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk
dari epistemologi.
Hakekat ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu
pengetahuan itu diperoleh. Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman
(emperi) dan dari akal (ratio). Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut
empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun
teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini
misalnya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley.
Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh
aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran
emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode
deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme
dan rasionalisme.
2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan.
Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca
indera itu hanya terbatas pada gejala atau fenomena, sedang substansi yang
ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan panca indera
disebut nomenon. Apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu
adalah penting, pengetahuan tidak sampai disitu saja tetapi harus lebih dari
sekedar yang dapat ditangkap panca indera.
Yang dapat kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan
panca indera adalah hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang
berada di luar ruang dan waktu adalah di luar jangkauan panca indera kita,
itu terdiri dari 3 (tiga) ide regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang semesta
alam (kosmos), yang tidak dapat kita jangkau dengan panca indera, 2) ide
psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak dapat kita
tangkap dengan panca indera, yang dapat kita tangkap dengan panca indera
kita adalah manifestasinya misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan
berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta
Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang
ingin kita ketahui adalah objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan
terdapat garis demarkasi yang tajam. Namun demikian sebenarnya dapat
dijembatani dengan mengadakandialektika. Jadi sebenarnya garis demarkasi
tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu salah,
karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4) Keabsahan.
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu
pengetahuan itu sah berarti membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai
(axiologi), dan kebenaran itu adalah suatu relasi. Kebenaran adalah
kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya ada korespondensi yaitu
persesuaian antara gagasan yang terlihat dari pernyataan yang diungkapkan
dengan realita.
Terdapat 3 (tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a) Teori Korespondensi, terdapat persamaan atau persesuaian antara
gagasan dengan kenyataan atau realita.
b) Teori Koherensi, terdapat keterpaduan antara gagasan yang satu dengan
yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi antara rumus yang satu dengan
yang lain.
c) Teori Pragmatis, yang dianggap benar adalah yang berguna. Pragmatisme
adalah tradisi dalam pemikiran filsafat yang berhadapan dengan idealisme,
dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika Serikat. Kebenaran
diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
PERBEDAAN FILSAFAT,
ILMU DAN ILMU PENGETAHUAN
2.1 HUBUNGAN ILMU, FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN
Untuk melihat hubungan antara ilmu, filsafat dan ilmu pengetahuan, ada
baiknya kita lihat pada perbandingan antara ilmu, filsafat dan ilmu
pengetahuandalam bagan di bawah ini, (disarikan dari Drs. Agraha Suhandi,
1992)
Ilmu Filsafat Ilmu Pengetahuan
Segi-segi yang
dipelajari dibatasi
agar dihasilkan
rumusan-rumusan
yang pasti
Mencoba merumuskan
pertanyaan atas
jawaban. Mencari
prinsip-prinsip umum,
tidak membatasi segi
pandangannya bahkan
cenderung memandang
segala sesuatu secara
umum dan keseluruhan
Ilmu pengetahuan
adalah penguasaan
lingkungan hidup
manusia.
Obyek penelitian Keseluruhan yang ada Ilmu pengetahuan
yang terbatas adalah kajian tentang
dunia material.
Tidak menilai obyek
dari suatu sistem nilai
tertentu.
Menilai obyek renungan
dengan suatu makna,
misalkan , religi,
kesusilaan, keadilan
dsb.
Ilmu pengetahuan
adalah definisi
eksperimental
Bertugas memberikan
jawaban
Bertugas
mengintegrasikan ilmu-
ilmu
Ilmu pengetahuan
dapat sampai pada
kebenaran melalui
kesimpulan logis dari
pengamatan empiris
PERBEDAAN:
Obyek material [lapangan] filsafat itu bersifat universal [umum], yaitu
segala sesuatu yang ada [realita] sedangkan obyek material ilmu
[pengetahuan ilmiah] itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya
terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak,
sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu
Obyek formal [sudut pandangan] filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena
mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam
dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif.
Di samping itu, obyek formal itu bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-
ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita
Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan
daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan
riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada
kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya
Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam
berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat
diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu
menjadi tahu
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan
mendalam sampai mendasar [primary cause] sedangkan ilmu menunjukkan
sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder
[secondary cause]
http://fitriyani501.blogspot.com/2012/09/pengertian-filsafat-ilmu-dan-ilmu.html
B. MENJELASKAN KEINDAHAN DAN SENI SEBAGAI SALAH SATU NILAI DASAR FILOSOFI
Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang
terpenting dalam estetika karena bersifat taksa untuk menyebut berbagai hal,
bersifat longgar untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang
kebetulan menyenangkan. Untuk membedakan nilai keindahan dengan jenis
nilai lainnya, maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang
tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik.
Filsuf Amerika, George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa
estetik berhubungan dengan pencerapan dan nilai-nilai. Dalam bukunya The
Sense of Beauty, beliau memberikan batasan keindahan sebagai nilai positif,
intrinsik dan diobjektifkan. Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai
nilai yang positif kini dianggap pulabmeliputi nilai yang negatif. Hal yang
menunjukkan nilai negatif ialah kejelekan. Estetika kadang dirumuskan pula
sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan “teori keindahan”. Kalau
definisi keindahan memberi tahu orang untuk mengenali, maka teori
keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.
Estetika berasal dari kata Yunani “Aesthesis”, yang berarti perasaan atau
sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan
selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman “Geschmack”
atau “Taste” dalam bahasa Inggris. Keindahan pada umumnya ditentukan
sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita.
Nilai estetis lebih mendasar, murni dan abstrak, sedangkan nilai seni
sebagai suatu cita yang berkaitan dengan bentuk visual dan auditif dari
manusia, alam dan binatang, disamping ‘bentuk’ yang abstrak seperti gerak
hati, ekspresi dan rasa citra. Niali seni juga banyak terdapat pada masalah
teknis kesenian dan fisik material seni keseluruhan.
C. MENJELASKAN SENI DAN KEINDAHAAN BESERTA LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSAFAT SENI ZAMAN YUNANI KLASIK.
1. Makna Estetika
Seni merupakan ekspresi kreatif manusia yang dituangkan dalam
kehidupan sehari-hari. Di dalam seni tentunya terdapat karya seni yang
memiliki nilai estetik atau keindahan. Secara umum, karya seni merupakan
hasil dari proses kreatif manusia yang membentuk kedinamisan dan
keindahan. Karya seni tercipta sesuai keteraturan serta imajinasi pikiran
manusia untuk mengekspresikan diri. Menurut Lowenfeld (dalam Susanti,
2010) seni adalah dinamika dari kesatuan aktivitas manusia dalam
penggunaan simbol-simbol sebagai ungkapan dan abstraksi lingkungan
manusia yang diorganisasi menjadi suatu konfigurasi. Adapun Depdikbud
(dalam Susanti, 2010) membatasi seni sebagai segala perbuatan manusia
yang timbul dari perasaannya yang bersifat indah sehingga dapat
menggerakan perasaan manusia. Karya seni juga bisa diartikan sebagai
hasil aktivitas manusia untuk mengkomunikasikan pengalaman batin pada
orang lain yang dijadikan dalam tata susunan indah, menarik, dan
mempesona sehingga menimbulkan pengalaman baru dan pengalaman
estetik bagi pengamat.
Pengertian estetika secara umum merupakan sebuah filosofi yang
mempelajari tentang nilai-nilai sensoris yang terkadang dianggap sebagai
penilaian terhadap sentimen dan rasa. Adapun menurut Muharam (dalam
Susanti, 2010) estetika umumnya dikaitkan dengan pengetahuan keindahan,
sedang batasan singkat estetika adalah filsafat dan pengkajian ilmiah dari
komponen estetika dan pengalaman manusia. Dalam kehidupan sehari-hari,
estetika disamaartikan dengan keindahan, yaitu tentang terbentuknya suatu
keindahan dan seseorang bisa merasakannya.
Karya seni diciptakan memiliki tujuan tertentu. Bagi masyarakat
tradisional, karya seni biasanya digunakan sebagai pemujaan atau ritual,
sebagai tuntunan yang didekatkan dengan religi, dan sebagai tontonan serta
hiburan. Bagi masyarakat modern, karya seni digunakan sebagai ekspresi
diri, media pendidikan, industri, terapi, dan media komersial. Bagi seorang
seniman, tujuan menciptakan sebuah karya seni digunakan sebagai
ungkapan ekspresi pribadi, komunikasi ide, keindahan, dan sebagai hiburan,
baik secara fisik maupun hiburan secara batiniah.
Ketika seorang seniman menciptakan sebuah karya seni, maka nilai
estetik pun akan terbentuk dalam sebuah karya seni tersebut. Nilai estetik
dibagi menjadi empat bagian, yaitu indah, indah sekali, sangat indah, dan
luar biasa indah yang terdapat pada objek berkeindahan yang selanjutnya
akan diserap oleh indrawi manusia. Setiap karya seni pastilah memiliki nilai-
nilai keindahan, namun segala sesuatu yang indah belum tentu bisa disebut
sebagai karya seni. Contohnya objek yang ada di alam seperti pelangi,
bintang, bulan, pantai, dan yang lainnya yang berkeindahan juga bisa
dikatakan indah walaupun bukan merupakan karya seni.
Manfaat estetika dalam sebuah karya seni digunakan sebagai
harmonisasi agar tercipta suatu ketenteraman, ketenangan, kedamaian, dan
kenyamanan yang mendatangkan kebahagiaan. Melalui kelima indera maka
keindahan tersebut bisa dirasakan dan dinikmati. Selain itu keindahan
tersebut didukung dengan karya yang memang diakui banyak pihak yang
memenuhi standar keindahan.
Pembahasan tentang estetika sebuah karya seni memiliki keterkaitan
yang kuat pada masa Yunani dan Romawi beserta tokoh-tokohnya seperti
Plato, Aristoteles dan Plotinus. Plato berpendapat bahwa secara umum
keindahan pada zaman Yunani berkaitan dengan keadilan, keikhlasan, dan
kebijaksanaan. Menurutnya keindahan juga berasal dari cinta kasih yang
dekat dengan etika. Keindahan terwujud karena adanya ukuran atau
proporsi. Bentuk yang proporsional akan menghasilkan objek yang indah.
Contohnya tinggi manusia normal adalah 7,5 kali kepala manusia. Plato juga
berpendapat bahwa sumber keindahan itu bukan berasal dari manusia, satu-
satunya sumber keindahan berasal dari dunia idea. Aristoleles yang
merupakan murid dari Plato kurang setuju dengan teorinya Plato, Aristoteles
berpendapat bahwa keindahan yang ditiru bukan dari dunia idea, melainkan
berasal dari alam sekitar sehingga objek keindahan ada di alam. Selanjutnya
Plotinus yang memperkenalkan konsep Plato dan Aristoteles ke seluruh
Eropa pada abad 3 Masehi. Namun, yang lebih penting adalah rahasia
estetika sebuah karya seni yang sampai saat ini sulit untuk diungkapkan.
Oleh karena itu, rahasia-rahasia tersebut akan dibahas dalam makalah ini.
2. Makna Estetika Dalam Sebuah Karya Seni
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika
adalah ilmu yang membahas keindahan, yaitu tentang terbentuknya suatu
keindahan dan seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut
mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai
sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan
rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Estetika berasal dari Bahasa Yunani aisthetike, pertama kali digunakan oleh
filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada tahun 1735 untuk pengertian ilmu
tentang hal yang bisa dirasakan melalui perasaan.
Pandangan mengenai falsafah dan estetika sangat berhubung rapat
tentang kesenian. Apabila disentuh tentang keindahan maka secara langsung
akan dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seni dan kesenian.
Persoalan estetika banyak dibincangkan oleh ahli-ahli falsafah kuno dan ahli
falsafah sekarang. Apabila persoalan estetika dibahas maka secara langsung
persoalan kesenian dan nilai keindahan akan disentuh. Nilai estetika itu
sendiri adalah seni. Perkataan estetika dalam bahasa Yunani
ialah aisthesis membawa maksud hal-hal yang dapat diserapkan oleh
pancaindera atau lebih khusus lagi ialah kepekaan. Estetika juga boleh
diertikan sebagi persepsi pancaindera atau sense of perception. Ahli filsafah
Jerman yang bernama Alexander Baumgarten adalah orang pertama yang
memperkenalkan perkataanaisthetika. Namun demikian Cottfried Leibniz
telah meneruskan pendapatnya mengenai estetika dan memberi penekanan
kepada pengalaman seni sebagai suatu bentuk ilmu.
Estetika sering diungkapkan sebagai persamaan makna seni, tetapi ia
berbeda dengan falsafah keindahan, karena estetika tidak semata-mata
menjadi permasalahan falsafah. Di dalam estetika menyangkut pembahasan
ilmiah berkaitan dengan karya seni, sehingga menangkapi bidang ilmiah,
antaranya meliputi perbincangan tentang keindahan dalam seni atau
pengalaman estetik, gaya atau aliran seni, perkembangan seni dan
sebagainya. Secara langsung pengkajian falsafah estetika bersangkutan
dalam bidang-bidang seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain
yang bersangkutan.
Estetika dalam kehidupan sehari-hari menurut bahasa diartikan
sebagai keharmonisanagar tercipta suatu ketenteraman, ketenangan,
kedamaian, dan kenyamanan yang tertuju pada keindahan. Keindahan tidak
hanya tercipta dari Tuhan, melainkan ada pula yang tercipta oleh kegiatan
atau proses kreatif manusia yang menghasilkan sebuah karya seni. Di setiap
karya seni tentunya memiliki keindahan yang bervariasi antara pandangan
satu orang dan orang lainnya serta antara suatu karya seni dan karya seni
lainnya. Nilai keindahan tersebut dibagi menjadi empat macam yaitu indah,
indah sekali, sangat indah, dan luar biasa indah.
Berhubungan dengan adanya keindahan dalam sebuah karya seni, maka
George dalam bukunya aesthetic (dalam Ghazali, 2009) mengajukan tiga
permasalahan yang sering dikemukakan dalam estetika diantaranya sebagai
berikut.
a. Persoalan kritis yang menggambarkan, menafsirkan atau menilai karya-
karya seni yang khusus.
b. Pernyataan yang bersifat umum oleh para ahli sastra, musik dan seni
halus untuk memberikan ciri-ciri khas artistik.
c. Persoalan tentang keindahan, seni imitasi dan lain-lain.
3. Keterkaitan Antara Estetika Dan Karya Seni
Antara estetika dan karya seni memiliki hubungan yang kuat seakan
tidak bisa dipisahkan oleh suatu jarak. Hal ini disebabkan karena adanya satu
kesatuan antara estetika dan karya seni. Satu kesatuan tersebut amatlah
bermakna dan menjadi sesuatu yang mendasar. Dalam hal ini akan
memunculkan sebuah konsep yang biasa disebut dengan the beauty and the
ugly yangmerupakan perkembangan lebih lanjut yang menyadarkan bahwa
keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai
penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya.
Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the
beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar
keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi
standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk,
namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan
keindahan.
Sejarah penilaian keindahan sudah dinilai begitu karya seni pertama
kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi
adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi,
keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan
datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. Tokoh-tokoh ahli
falsafah barat klasik seperti Plato, Aristoteles, dan Hegel meneliti tentang
persoalan keindahan melalui pembicaraan dalam bentuk estetika. Misalnya
Plato dalam bukunya Symposium telah menghuraikan panjang lebar
mengenai persoalan objek cinta ialah keindahan. Dalam bukunya itu beliau
menyampaikan dalam bentuk dialog-dialog watak utama seperti Phaedrus,
Eryximachus, Aristophanes, Agathon dan Socrates. Terang-terang dalam
dialog watak ini menyatakan bahawa proses mencintai tentang keindahan itu
perlu diasaskan pada zaman kanak-kanak lagi.
Sebenarnya bangsa Yunani kuno telah menghayati pengalaman
keindahan sebagai mewarisi bangsa mereka. Bangsa Yunani juga mengenal
kata keindahan dalam arti estetik yang disebutnya sebagai symmetria untuk
keindahan visual. Sementara perkataan harmonia adalah keindahan
pendengaran. Lantaran itu pengertian keindahan adalah meliputi persoalan
keindahan seni, alam, moral, dan intelektual.
Sejak zaman ahli falsafah Socrates telah membincangkan persoalan
nilai keindahan yang terlibat dalam pemikiran tentang keberadaan dalam
objek yang menyebabkan ia indah. Mereka yang menikmati karya-karya seni
mengalami penghayatan estetika. Pengalaman itu adalah perasaan yang
timbul kepada seseorang ketika memandang sesuatu yang indah pada alam
atau karya seni. Secara langsung ia telah memperkatakan tentang estetika
dalam diri orang yang bertanya. Walaupun keindahan dan kecantikan adalah
nilai yang subjektif, dua orang yang bertanya tentang kecantikan kepada
sesuatu barang itu sifatnya berbeda pada nilai keindahan. Tetapi setiap
orang menginginkan benda-benda yang cantik dan indah. Tidak ada
satupunmanusia yang menginginkan keburukan. Itulah hakikatnya fitrah
manusia yang dikaruniai oleh Tuhan.
Enam perkara yang penting dalam seni meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Benda Seni
Benda seni secara langsung berkisar kepada karya seni itu sendiri.
Medium atau material karya seni menghasilkan suatu bentuk seni yang
indah. Seni terwujud melalui media pendengar untuk audio dan media
penglihatan untuk visual yang tampak. Media ini memberi peranan kepada
kategori kepada seni misalnya seni harus lebih kepada media visual, seni
teater lebih kepada media dengar dan visual, seni muzik lebih kepada media
audio dan lain-lain. Persoalan yang diperdebatkan sejak zaman Plato dan
Aristoteles mengenai benda seni ialah persoalan ekspresi seni, unsur
peniruan atau mimesis, persoalan seniman sebenarnya dan pengamatan
seni itu sendiri.
b. Pencipta Seni
Persoalan pengkarya seni adalah persoalan asas dalam konteks
kreativitas dan ekspresi seniman. Yang sering diperbincangkan ialah soal
gaya atau style karyanya, pribadinya misalnya pengaruhnya, persekitaran
dan jantanannya menjadi persoalan dalam penghasilan karyanya. Di samping
itu perbincangan juga menyentuh mengenai zaman dan bermulanya karya
seni dihasilkan.
c. Publik Seni
Publik seni menyentuh persoalan komunikasi karya seni terhadap
orang awam atau masyarakat. Seni itu adalah publik, tanpa orang lain
menghayati karya seni maka karya seni itu tidak dapat berdiri dengan sendiri.
Maka komunikasi dalam karya seni membuahkan sebuah karya seni akan
berjaya dan menjadi milik masyarakat.
d. Nilai Seni
Nilai seni selalu berhubungan dengan normal-normal yang esensial di
samping sesuatu kepentingan yang sangat peribadi. Biasanya nilai seni
bersangkutan mengenai kualitas, bersifat kontekstual dan esensi al-universal.
e. Pengalaman Seni
Pengalaman seni merupakan keterlibatan dalam penghayatan seni itu
secara langsung. Pengalaman bersangkutan tentang ruang waktu dan
penglihatan seni. Seni sebagai komunikasi adalah pengalaman yang
melibatkan kegiatan panca indera, nalar, emosi dan intuisi seniman. Oleh
sebab itu pengalaman seni terlibat dalam ruang waktu sebelum, semasa dan
sesudah.
f. Konteks Seni
Jika membincangkan konteks seni, secara langsung akan
membincangkan keperluan masyarakat terhadap seni. Seni secara langsung
menyangkut nilai-nilai setempat atau sejaman. Oleh yang demikian
pemahaman seni amat erat dengan konteks jaman tersebut. Misalnya seni
jaman sebelum merdeka di negara ini konteksnya adalah bentuk seni jaman
tersebut. Begitu juga dalam konteks masyarakat yang Islam tidak menerima
patung sebagai karya seni kerana bertentangan dengan syariah Islam.
D. MENJELASKAN SENI DAN KEINDAHAAN BESERTA LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSAFAT SENI ZAMAN YUNANI KLASIK SAMPAI PLOTUS
Filsafat keindahan bisa juga disebut estetika atau seni. Tujuannya
sebagaimana tuuan filsafat, dapat dirumuskan mengikuti perumusan Harold
Titus dengan mengaitkannya tentang masalah-masalah keindahan, yaitu: (1)
Mentukan sikap terhadap keindahan yang terdapat dalam alam, kehidupan
manusia dan karya seni; (2) Mencari pendekatan yang memadai dalam
menjawab masalah obyek pengamatan indra, khususnya karya seni, yang
menimbulkan pengaruh terhadap jiwa manusia; (3) Mencari pandangan yang
menyeluruh tentang keindahan dan obyek-obyek yang memperlihatkan rasa
keindahan; (4) Mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan
bahasa dan penuturannya yang baik, sesuai keperluan, misalnya dalam
karya sastra, serta mengkaji penjelasan tentang istilah-istilah dan konsep
keindahan; (5) Mencari teori untuk menentukan dan menjawab persoalan di
sekitar karya seni dan obyek-obyek yang menerbitkan pengalaman indah.[1]
Buku paling awal yang memandang estetika sebagai ilmu tersendiri
ialah Baumgarten, seorang filsuf rasionalis Jerman. Karyanya yang terkenal
adalah Aesthetica (1750). Kata “aesthetica” diambil dari kata Yunani
“aesthesis” artinya pengamatan indra atau sesuatu yang merangsang indra.
Dari arti pengamatan tersebut Baumgarten mengartikan estetika sebagai
Scientia cognitio sensitiva atau pengetahuan yang berkaitan dengan apa
yang dapat diamati dan merangsang indra, terutama karya seni. Di dalam
perkataan “aisthesis” juga tercakup pegertian sensasi atau reaksi organisme
tubuh manusia terhadap rangsangan luar. Di dalamnya juga tercakup
perasaan, kecendrungan dan kegandrungan jiwa manusia terhadap sesuatu
hal.[2]
Pengertian estetika menurut Baumgarten dikritik oleh banyak ahli
filsafat, diantaranya Comaraswamy dan Gadamer. Menurut Comaraswamy
pengertian semacam itu mereduksir karya seni dan obyek-obyek indah hanya
sebagai fenomena psikologi dan selera subyektif. Padahal seni bukan
semata-mata sebagai masalah perasaan dan selera pribadi, atau semata-
mata bertalian dengan pengalaman sensual. Masalah keindahan dan karya
seni bertalian dengan hasrat manusia yang lebih tinggi, yaitu pengalaman
kerohanian dan kepuasan intelektual.[3]
Konsep Keindahan Menurut Plato
Plato lahir di Athena pada 428 SM dan wafat pada 348 SM. Ia adalah
seorang filosof edialis besar pertama dalam sejarah pemikiran Barat.
Pemikiran falsafahnya jadi pembahasan dan perdebatan para filosof di Eropa
dan Dunia Islam selama berabad-abad. Teorinya tentang keindahan dan seni
disebar dalam bukunya yang berbentuk dialog seperti Apologia, Ion, Crito,
Protagoras, Gorgias, Meno, Parmenides, Timaeus, Phaedo, Phaedrus,
Republic dan Symposium. Dalam buku-bukunya itu dia juga berbicara
tentang maslah etika, politik, metafisika, dan epistemologi. Salah satu
bukunya yang banyak mengandung pembicaraan tentang estetika ialah
Symposium.
A.A.M. Djelantik dalam bukunya mengemukakan ada beberapa syarat
ciri-ciri keindahan menurut Plato: Pertama,Ukuran dan Proporsi. Menurut
plato pengetahuan tentang ukuran dan proporsimerupakan syarat utama
keindahan. Persyaratan ini yang dikemukakan oleh Plato adalah pengaruh
dari faham yang dianut oleh masyarakat Yunani pada umumnya tentang alam
semesta. Manusia Yunani sangat terkesan oleh keindahan alam dan
pengalaman bahwa segala peristiwa alam semesta ternyata mengandung
suatu tata aturan tertentu. Terbitnya matahari dan bulan di langit, pasang
surut air di laut, pemusiman iklim di dunia, teraturnya bulan purnama dan
tilem, dan lain sebagainya. Keindahan alam dilihatnya dari bentuk bunga-
bunga, susunan tubuh binatang dan manusia, yang semuanya mempunyai
ukuran dan proporsi yang tertentu. Plato menghendaki agar manusia
seyogyanya mengikuti ukuran yang harmonis yang ada pada alam semesta.
Karena itu ia mensyaratkan bahwa dalam keindahan ada ukuran dan proporsi
sesuai dengan yang ada di alam semesta. Ukuran dan proporsi yang tepat
menimbulkan harmoni, dan harmoni menimbulkan rasa indah pada manusia.
[4]
Kedua, Keindahan dan Cinta. Dalam hal ini Plato meuangkan
pikirannya dalam suatu karangan berupa dialog antara filosof Sokrates
dengan seorang wanita yang dianggap arif, bijaksana, bernama Diothema,
sebagai juru tenung. Dalam bukunya yang berjudul Symposium itu, Plato
menceritakan sebagai ucapan dari Diothema, bahwa asal dari semua
keindahan adalah cinta (kasih sayang). Ia kemukan bahwa kita merasakan
sesuatu sebagai indah karena kita mearuh cinta padanya, hingga kita selalu
ingin kembali menikmatinya lagi. Untuk bisa menikmati sesuatu, perlu adanya
cinta. Cinta memberi kemampuan untuk menikmati keindahan, sehingga
aspek rasa cinta harus dikembangkan pada manusia.[5]
Plato mengisyaratkan betapa pentingnya manusia mencintai keindahan
karena keindahan merupakan pancaran dari kebenaran. Dalam mencintai
keindahan biasanya manusia menempuh dua tahapan, yaitu tahapan cinta
jasamaniah dan tahapan cinta rohaiah. Gerak naik dari cinta jasmaniah
menuju cinta rohaniah itu dilakukan dengan tujuan untuk menghayati wujud
yang lebih tinggi dari keindahan lahir, yaitu keindahan batin yang sifatnya
abstrak atau ideal. [6]
Ketika masih anak-anak, seseorang berada dalam tahapan cinta
jasmaniah atau hahiriyah. Anak-anak biasa diajar untuk mencintai
sesamanya secara badaiah, yang melaluinya kelak akan menyadari bahwa
badan jasamainya sama indahnya dengan badan jasmani orang lain di
sekitarnya. Sesuadah menyadari hal itu lambat laun kepekaannya
meningkat ke tahapan cinta rohaiah. Dalam tahapan inilah ia mulai
menyadari bahwa keindahan rohaiah lebih tinggi dibanding keindahan
jasmaniah. Apabila cinta rohaniah sudah mulai tumbuh, maka ia mulai
kepekaannya dipupuk untuk mencintai perbuatan dan tindakan-tindakan
yang baik secara moral. [7]
Plato membedakan dua hal dalam obyek pencerapan keindahan.
Yaitu obyek-obyek indah yang dapat dicerap secara inderwi dan keindahan
itu sendiri yang tidak bisa dicerap secara inderawi. Melainkan kekuatan
perenungan. Sekuntum bunga tulip yang merah menyala adalah obyek yang
indah yang dapat dicerap secara inderawi. Tetapi keindahan hakiki yang
berada di balik bunga tulip itu tidak dapat dicerap secara inderawi. Hanya
akal pikiran yang dapat menangkap keindahan itu.
Dalam Philebus Plato ciri-ciri penting dari obyek-obyek yang disebut
indah. Ciri-ciri itu semua saling terkait, namun apabila masing-masing
dipisahkan satu sama lain maka ciri-ciri itu tidak menjelaskan apa-apa
tentang keindahan. Keindahan pada benda-benda yang sederhana
unsurnya berbeda dari keindahan yang terdapat pada benda-beda yang
kompleks unsur-unsurnya. Keindahan dari obyek yang bersahaja seperti air
atau warna putih dapat dengan mudah ditangkap dengan indra. Obyek-
obyek ini memiliki keindahan tersendiri. Gambar ilmu ukur yang sederhana
seperti segi tiga atau trapesium juga demikian, memiliki keinddahan mutlak
dan abadi dalam dirinya, serta mudah ditangkap indra. [8]
Ciri dari obyek yang bersahaja ini pada umumnya sama, yaitu
kesatuan, kemantapan dan kebersahajaan (simplicity). Kita tidak dapat
memberikan pengertian terhadap keindahan dari obyek-obyek bersahaja ini.
Kita sudah merasa cukup mengatakannya sebagai sesuatu itu indah. Tetapi
lain halnya apabila kita menghadapi obyek-obyek pengamatan yang
susunan dan unsur-unsurnya kompleks seperti sebuah karya arsitektur.
Karya tersebut disebut indah karena memiliki proporsi yang sesuai dan
hubungan unsur-unsurnya mempunyai hubugan yang serasi apabila diamati
secara seksama. Proporsi ditentukan oleh ukuran-ukuran yang dletakkan
pada bangunan itu. Dengan adanya proporsi itu maka bangunan itu menjadi
seimbang dan sempurna. Seperti sudah saya bahas di atas tentang konsep
ukuran dan proporsi.[9]
Konsep Keindahan Menurut Aristoteles
Aristoteles (388-322 SM) dalah seorang filosof besar sesudah Plato. Ia
lahir di Stagyra, Mecedonia. Ayahnya adalah seorang dokter pribadi raja
Macedonia. Ia belajar filsafat di Akademi Plato selama 20 tahun di bawah
bimbingan Plato. Sekembalinya ke Macedonia, ia menjadi penasehat pribadi
Alexander Agung dan membuka lembaga pendidika tinggi yang disebut
Lyceum. [10]
Aristoteles berpendapat “kendahan” itu adalah atribut, perlengkapan,
dan sifat yang melekat pada benda itu sendiri. Keindahan mewujud dalam
ciri-ciri benda yang kita lihat. Ciri tersebut menyebabkan timbulnya rasa indah
pada sang pengamat. Penikmatan ini dicapai oleh manusia sendiri dan bukan
suatu hal yang harus menunggu karunia dari “Tuhan”. Aristoteles
memandang nikmat-indah sebagai peristiwa yang biasa dan memberi
peranan lebih banyak kapada intelek manusia untuk menikmati keindahan.
[11]
Aristoteles merumuskan ciri-ciri utama dan sifat-sifat yang dimiliki
benda indah atau benda kesenian yang merangsang rasa-indah. Yaitu:[12]
Pertama, Harmoni, Berukuran, dan Tepat Proporsinya. Ia bermaksud
menandaskan, dalam segala pengukuran yang dilakukan terhadap sesuatu
yang indah selalu terdapat keseimbangan.
Kedua, Murni dan Jernih. Yang ia acu dari kata murni dan jernih adalah:
dalam karya seni itu tidak ada samar. Kesemuanya harus tenang, jelas,
lugas, tidak keruh, tidak berisi hal-hal yang meragukan. Semua karya seni itu
harus dapat dimengerti dengan mudah.
Ketiga, Kesempurnaan dan keutuhan. Sesuatu yang utuh dan padu
tanpa cacat memiliki satu kesatuan dan kepaduan antara unsur-unsurnya.
Konsep Keindahan Menurut Plotinus
Plotinus dilahirkan di kota Lise, Mesir pada tahun 205 dan wafat pada
tahun 270. Ia dianggap seagai penerus ajaran Plato dan sekaligus
penghubung antara tradisi filsafat Yunani dan tradisi Abad Pertengahan
Eropa. mula-mula ia tertarik pada filsafat setelah mempelajari pemikiran
Ammonius Saccas yang mengajar di Akademi Iskandariah. Ia meninggalkan
Mesir dan mengembara ke Syiria, Iraq dan Iran (Persia) setelah
menyelesaikan kuliahnya di Iskandariah. Pada tahun 245 M Plotinus pindah
ke Romawi melalui Byzantium dan mendirikan mazhab filsafat tersendiri.
Aliran filsafatnya disebut Neoplatonisme. Melalui pemikiran filsafatnya ini
pengaruh filsafat Timur tersebar dan terserap dalam tradisi pemikiran filsafat
di Eropa, terutama melalui tradisi pemikiran Kristen.
Menurut Plotinus, keindahan terdapat pada banyak benda atau obyek
pengamatan indera. Obyek paling nyata memancarkan keindahan ialah yag
dapat diindra mata, dicerap pendengaran seperti ritme, musik dan irama,
atau perkataan-perkataan yang disusun dengan cara tertentu serta berirama
pengucapannya. Akal pikiran juga dapat merasakan keindahan yang tidak
terdapat di alam benda. Misalnya keindahan berkenaan pola hidup,
pandangan hidup, cara berpikir atau tindakan intelektual. Keindahan juga
dapat dirasakan atau dinikmati melalui kearifan, kebijaksanaan dan kebajikan
moral seseorang.
Plotinus meolak keseimbangan sebagai ciri yang mesti ada pada
keindahan sebagamana dikatakan Aristoteles. Keseimbangan hanaya
tampak apabila bagian dibandingkan dengan bagian lain. Benda yang
bersahaja tidak memiliki bagian yang dapat dibandingkan dan demikian tidak
memiliki keindahan apabila ukuran keindahan adalah keseimbangan.
Keseimbangan hanya ada pada obyek-obyek yang memiliki lebih dari satu
atau banyak bagian atau banyak komponen seperti sebuah gedung yang
bagus beserta tamannya.
Dalam teori keindahan Plotinus ide utama ialah kontemplasi (renungan)
dan pengamatan hati. Pengalaman estetik yang tertinggi bersumber dari
renungan dan pengamatan batin. Plotinus mengaitkan renungan dengan
sesuatu yang berada di atas jangkauan indra, misalnya keindahan menuntut
ilmu, keadilan, kearifan dan kebenaran. Sarana untuk mencerap keindahan
tersebut dapat ditemui dalam obyek-obyek yang dapat dicerap melalui
indra.misalnya seorang ahli botani yang meneliti tanaman tertentu, pertama-
tama adalah melalui pengamatan indrawi, baru menggerakkan pikiran dan
jiwanya untuk menemukan pengetahuan dari tanaman yang ditelitinya.
Menurut Plotinus keindahan yang tinggi tak punya bentuk. Misalnya
keindahan menuntut ilmu atau pribadi seseorang. Keindahan yang diperoleh
dari dua hal tersebut di antaranya ialah perasaan bahagia, rasa tahu yang
mendalam dan takjub. Semua itu timbul karena dapat membawa kita menuju
kebenaran yang tinggi. Di sini Plotinus membuat kerangka teori keindahan
yang berperingkat dari keindahan alam indrawi ke tahap keindahan yang
lebih tinggi, yaitu kebenaran yang dapat dicerap melalui renungan dan
penelitian yang mendalam atas sesuatu. Kendati demikian ia beranggapan
bahwa keindahan alam indrawi merupakan jalan menuju kebenaran.
Di samping itu keindahan alam indrawi dapat membawa kita ke arah
yang berlawanan, yaitu apabila kenikmatan yang diperoleh daripadanya
dicermati kedudukan dan hawa nafsu, sehingga membuat jauh dari
kebenaran. Misalnya lelaki melihat seorang wanita cantik yang berpakaian
minim. Oleh karena itu, menurut Plotinus, dalam melihat atau mengalami
keindahan, jiwa kita sendiri perlu dijadikan indah dan suci. Caranya ialah
dengan merenung dan melihat ke dalam jiwa kita sendiri. Jika belum
sempurna hendaknya diperbaiki sehingga diri kita bersinar-sinar dengan
kebajikan dan kemuliaan.
Penutup
Kita mengetahui, kepuasan atau rasa akan tergugah bila kita
mengalami peristiwa yang menyenangkan-terutama peristiwa baik yang
terjadi antara manusia dengan manusia. Bila kita menyaksikan kebahagiaan
seorang ibu yang tiba-tiba didatangi anaknya yang sudah lama tidak pernah
dilihat atau menyaksikan orang dengan penuh kasih sayang sedang
menolong orang lain atau saat kita sendiri sempat memberi pertolongan
kepada orang yang menderita, kita tergugah oleh perasaan seolah-olah kita
mengalami atau menikmati sesuatu yang indah. Pada manusia naluri ini
menjadi kesadaran, dijadikan kesadaran sosial, memberi rasa tanggung-
jawab, dan bila itu telah dipenuhi akan menjelma menjadi rasa bahagia dan
indah.
Rasa nikmat dan indah yang terjadi pada kita, timbul karena peran
panca indra, yang memiliki kemampuan untuk menangkap rangsangan dari
luar dan meneruskannya ke dalam. Rangsangan itu diolah menjadi kesan.
Kesan ini dilanjutkan lebih jauh ke tempat tertentu dimana perasaan kita bisa
menikmatinya. Penangkapan kesan dari luar, yang meimbulkan nikmat-indah
terjadi melalui dua dari panca indra kita, yakni melalui mata dan atau telinga.
Yang melalui mata kita sebut visual dan yang melalui telinga disebut akustik.
Kesan visual dapat dicapai dengan melihat keindahan bunga, warana-
warni, pemandangan sawah atau bentuk suara gapura. Sedangkan kesan
akustik dapat diperoleh dari bunyi alam, seperti bunyi ombak di laut, bunyi
angin yang menyentuh daun-daun, bunyi air yang mengalir di parit atau air
mancur, yang semuanya bisa kita nikmati sebagai “indah”.
Kedua indra ini telah mengambil peran tambahan, melakukan fungsi-
fungsi yang jauh lebih tinggi, bukan hanya peran vital, tetapi telah melibatkan
proses-proses yang terjadi dalam budi dan intelektualitas. Lebih bertujuan
untuk memberi pengetahuan dan kebahagiaan, baik jasmaniah maupun
rohaniah. Nikmat-indah termasuk kepuasan tidak bisa disebut indah,
demikian juga kita tidak mengatakan bau bunga itu indah tetapi enak atau
harum.
Rujukan
A.A.M, Djelantik, (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat
Seni Perkembangan Indonesia
Abdul Hadi W.M, Kumpulan Modul-Modul Perkuliahan Estetika dan Falsafah
Seni. Pada Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina.
[1] Dari Makalah Abdul Hadi W.M, “Estetika Sebagai Ungkapan Religiusitas”
dalam Mata Kuliah Estetika (Falsafah Seni).
[2] Ibid
[3] Ibid,
[4] A.A.M, Djelantik, (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Bandung:
Masyarakat Seni Perkembangan Indonesia. Hal. 86
[5] Ibid, hal. 87
[6] Abdul Hadi W.M, Kumpulan Modul-Modul Perkuliahan Estetika dan
Falsafah Seni,
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] A.A.M, Djelantik, (1999). Estetika Sebuah Pengantar. Bandung:
Masyarakat Seni Perkembangan Indonesia. Hal. 95
[12] Ibid, hal. 96
[13] Abdul Hadi W.M, Kumpulan Modul-Modul Perkuliahan Estetika dan
Falsafah Seni.
E. MENJELASKAN SENI DAN KEINDAHAAN BESERTA LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSAFAT AGUSTINUS
Seni dan Keindahan?
Pandangan Agustinus tentang seni dan keindahan.
Menurut Agustinus sumber atau dasar keindahan adalah
kesatuan. pandangan-pandangan dia tentang keselarasan,
keseimbangan, dan keteraturan menjadi ciri khas dari
keindahan.Pengamatan dia mengenai keindahan sebenarnya ada
memuat suatu penilaian yaitu apabila kita menilai suatu obyek itu indah,
kita mengamatinya sebagai sesuatu yang sesuai dengan apa yang
seharusnya ada di dalamnya yaitu keteraturan. Dan apabila kita menilai
suatu obyek itu jelek, kita mengamatinya sebagai yang sesuatu yang
menyimpang dari apa yang seharusnya terdapat di dalamnya yaitu
ketidakteraturannya. Diantara semua itu kesatuanlah yang dikemukakan
Agustinus sebagai sumber atau dasar keindahan.
Sumber Buku:
Judul : Estetika Filsafat Keindahan
Pengarang : Dr.Fx. Mudji Sutrisno
Penerbit : Kanisius
Tahun : 1993
F. PENGERTIAN SENI DAN KEINDAHAN BESERTA LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSUF THOMAS AQUINAS
Pengantar Pengalaman Manusia Tentang Keindahan
Menurut pandangan fenomenologi setiap pengalaman yang ada
pada manusia selalu terjadi sebagai “pengalaman tentang sesuatu”.
Tetapi apa yang mau diuaraikan fenomenologi itu bukan “sesuatu” itu,
melainkan apa yang merupakan “inti” dari pengalaman tentang sesuatu
itu yang terjadi pada manusia. Dalam filsafat keindahan “pengalaman
estesis” menurut pandangan fenomenologi merupakan pengalaman
estesis tentang sesuatu; tak jarang para filsuf yang mau mengupas
hejala keindahan, dalam hal itu mau langsung memeriksa “sesuatu” itu
dalam rangka keindahan apa itu kiranya. Dengan perkataan lain cirri-ciri
obyek yang bersangkutan itu mau diselidiki; mengapa ada obyek yang
disebut “indah” (atau “jelek”), sedangkan nyatanya banyak obyek lain
seakan-akan acuh tak acuh dalam rangka keindahan? Cara pendekatan
itu mereka pakai karena takut kalau-kalau terperangkap dalam jurang
subyektivisme selera.
Dalam uraian tentang pengalaman estetis itu berturut-turut akan
dikumpulkan unsur-unsur pokok yang kiranya paling mencolok, lalu akan
diadakan suatu refleksi atas unsur-unsur itu dengan maksud agar
pengalaman estetis tersebut dapat digambarkan menurut kedudukannya
dalam seluruh kehidupan manusia. Rupa-rupanya pengalaman estetis
merupakan sesuatu yang khas manusiawi; maka dari itu uraian
pengalaman itu dapat berguna untuk mengenal manusia itu sendiri
dengan cara yang mendalam.
Thomas Aquinas (1225-1274)
Pandangan Thomas Aquinas tentang keindahan hanya tersebar
sana sini dalam seluruh karyanya. Tetapi ada pentingnya kita
memperhatikan karya Thomas Aquinas karena pandangannya memuat
unsur baru yang merintis jalan bagi perkembangan pandangan tentang
keindahan masa modern. Selain itu teori Thomas sangat kerap dikutip.
Rumusan Thomas yang paling dikenal ialah : “Keindahan
berkaitan dengan pengetahauan;kita menyebut sesuatu itu indah jika
sesuat itu menyenangkan mata sang pengamat”. Di samping tekanan
pada pengetahuan, yang paling mencolok ialah peranan subyek dalam
hal keindahan
Rumusan Thomas yang terkenal lainnya : “Keindahan harus
mencakup tiga kualitas : integritas atau kelengkapan..., proporsi atau
keselarasan yang benar, dan kecemerlangan”. Unsur-unsur itu sudah
berulang kali kita lihat dalam sejarah. Dalam kutipan ini unsur-unsur ini
secara tepat dan ringkas dihubungkan satu sama lain. Di sini peranan
obyek yang indah yang dikenal dan dialami manusia nampak mencolok.
Ada satu kutipan lagi: “keindahan terjadi jika pengarah si subyek
muncul lewat kontemplasi atau pengetahuan inderawi. Dengan begitu
pada pokoknya indra-indra terasosiasi dengan keindahan yang paling
berperanan bagi pengetahuan kita, misalnya penglihatan dan
pendengaran yang berperanan bagi akal; kita bicara tentang penglihatan
yang indah dan suara yang bagus; tetapi kita tidak berbicara tentang
perasaan yang indah dan bau yang bagus; kita tidak membicarakan
keindahan dengan mengacu pada tiga indera lainnya”. Di sini
nampaklah sekali lagi tekanan subyek dalam hal pengetahuan. Selain
itu, dalam teks ini Thomas menunjukkan “berakhirnya kegiatan” dan
tercapainya sesuatu yang diidam-idamkan. Lagipula dalam teks itu
peranan indera, dengan membedakan penglihatan dan pendengaran
dari indera lainnya, tampak jelas.
Secara umum gagasan Thomas merupakan rangkuman segala
unsur filsafat keindahan yang sebelumnya dihargai. Dengan
mengajukan peranan dan rasa si subyek dalam proses terjadinya
keindahan, Thomas mengemukakan sesuatu yang baru. Peranan
subyek sebenarnya sudah diangkat juga dalam teori Aristoteles tentang
drama. Aristoteles sama seperti Thomas, menggarisbawahi betapa
pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteoriori yang
terjadi dalam diri manusia.
Latar Belakang Pemikiran Thomas Aquinas
Kalau Agustinus dalam teori estetikanya dipengaruhi oleh plato,
bahwa perlu adanya Terang Ilahi (ide) untuk mencapai ‘ketaraturan
ideal’ dalam karya seni, maka Aquinas lebih cenderung pada pendapat
Aristoteles. Menurut Aristoteles, peranan subyek dan benda seni amat
menentukan dalam seni. Maka Aquinas juga menekankan pentingnya
pengetahuan subyek dan pengalaman (empiris) kesenian. Dengan
demikian terdapat penggabungan dua teori, yakni teori subyektif
(tentang perlunya pengalaman keindahan) dan teori obyektif (perlunya
“benda seni”).
Pengaruh Aristoteles tampak dalam pengajuannya terhadap
peranan subyek dalam proses terjadinya keindahan. Pengetahuan dan
pengalaman empiris amat menentukan terjadinya pengalaman
keindahan dalam diri manusia.
Daftar Pusaka
Dr. Fx. Mudji Sutrisno SJ & Prof. Dr. Christ Verhaak SJ “Estetika Filsafat
Keindahan”, Yogyakarta, KANISIUS, 1993
Jakob Sumardjo “Filsafat Seni”, Bandung, ITB Bandung, 2000
G. PENGERTIAN SENI DAN KEINDAHAN MENURUT BEBERAPA FILSUF KEINDAHAN PADA ZAMAN RENAISSANCE
1. Pengantar
Secara etimologis kata renaissance (kelahiran kembali) berasal
dari kata ‘re’ (kembali) dan ‘naissance’ (kelahiran). Artinya masa
kebangkitan kembali minat ppada budaya Yunani Kuno (Neo-
platonisme).
Manusia seakan lahir kembali dari tidur Abad Pertengahan.
Seluruh kebudayaan Barat dibangunkan dari suatu keadaan statis yang
berlangsung seribu tahun.
2. Ciri – ciri Estetika Renaissance
A. Seni lukis dan seni pahat-patung merupakan hal yang bersifat
mental dan ineligensi
B. Seni dan puisi ‘menirukan alam’ dan untuk tujuan ini, ilmu-ilmu
empiris, memberikan petunjuk berguna.
C. Seni-seni plastis, seperti sastra, juga mengejar tujuan moral yakni
perbaikan status sosial, namun tetap bercita-cita menuju yang
ideal
D. Tujuan segala seni, yakni keindahan adalah properti objektif dari
benda-benda yang terdiri atas tatanan, harmoni, proporsi, dan
kebenaran. Dan kebenaran ini sebagian dapat diungkapkan
secara matematis.
E. Puisi dan seni visual yang telah mencapai kesempurnaan serta
bentuk yang definitif di masa Klasik rahasianya telah hilang dan
kesenian semakin merosot atau menurun nilainya.
F. Seni harus tunduk atau mengikuti aturan-aturan kesempurnaan
yang secara rasional dapat dimengerti dan secara tepat dapat
diformulasikan dan diajarkan. Aturan aturan ini adalah inheren di
dalam karya-karya dan dapat dipelajari lewat studi karya-karya
tersebut serta terhadap alam.
G. Unsur perspektif menjadi penting dalam proses menciptakan
sebuah ilusi tentang kedalaman suatu karya seni
H. Seni di masa renaisans banyak berhutang pada penggalian
kembali mitologi-mitologi klasik dan filsafat mistik.
3. Seni dan Keindahan Menurut Tokoh-tokoh pada Masa Renaissance
A. Leon Battista Alberti (1404-1472)
Alberti mendefinisikan keindahan sehubungan dengan
‘harmoni antar bagian-bagian’. Definisi ini mengakibatkan
keindahan menjadi identik dengan tingkat harmoni tertentu, bukan
harmoni sebagai sebuah kondisi atau syarat bagi keindahan.
Definisi Alberti bersifat objektif, karena hanya merujuk pada
properti benda-benda dan bukan pada kondisi pikiran si subjek. Ia
memang mengajukan sebuah postulat tentang rasa keindahan
khusus dalam diri manusia, leawat mana keindahan itu ditangkap
Sedangkan seni sendiri, ia lebih mengungkapkan bahwa
seni adalah hasil inspirasi yang bersumber dari alam, artinya
seseorang harus mempelajari alam sebelum mempelajari seni.
Dengan mempelajari alam, gagasan yang ada dalam diri seniman
akan lebih mudah untuk divisualisasikan. Dalam ulasannya
mengenai karya seni, Alberti menggunakan istilah: kesatuan,
keragaman, keanggunan, kesempurnaan, penemuan, imajinasi,
fantasi dan caprice.
B. Marsilio Ficino (1433-1499)
Ficino menyelidiki masalah keindahan secara teoritis. Ia
berpendapat bahwa “Dengan suatu konsentrasi yang mengarah
pada inti batin,” seorang seniman menciptakan karya seni yang
kemudian diwujudkan secara konkret.
Seni menurut Ficino adalah suatu kesinambungan
pengamatan karya seni dengan munculnya rasa keindahan atau
pengalaman estetis.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrich, Virgil C. Philosophy of Art, Englewood Clifffs: Prentice Hall, Inc.,
1963. Foundation of Philosophy Series.
Audi, Robert. The Cambridge Dictionary of Philosophy, New York:
Cambridge University Press, 2006
Barilli, Renato. A Course on Aesthetics, translated by Karen E. Pinkus,
Minneapolis, London: University of Minnesota Press, 1993
Beardsley, M. Aesthetics, New York: Harcourt Brace, 1958.
Blavatsky, H.P. The Theosophical Glossary, Los Angeles, California:
The Theosophical Company, 1990
Bell, Clive. Art , Capricorn Books, 1958
Cazeaux, Clive (ed.). The Continental Aesthetics Reader, London and
New York: Routledge, 2000.
Chang, Garma C. C. The Practice of Zen, New York: Perennial Library,
Harper & Row, Publishers, 1970
Cooper, David., A Companion to Aestheticis, Oxford: Blackwell Publisher
Ltd, 2002
Daw Mya Tin (Trans.). Dharmapada, Verses and Stories, Bibiliotheca
Indo-Tibetica Series-XX, Sarnath Varanasi: Central Institute of
Higher Tibetan Studies, 1990.
H. PENGERTIAN SENI DAN KEINDAHAN BESERTA PEMIKIRAN FILSAFAT KRITIS
Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan
menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal
dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant
menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa
benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya
alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant mengubah
wajah filsafat secara radikal, dimana ia memberikan filsafatnya, Kant
tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda yang
memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya
pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi
gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan:
Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang Cuma puas
dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan
oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang
bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan
sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama
yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas
rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas
daya pertimbangan.
1. Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan
adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia
terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a. Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu
yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (msialnya,
setiap benda menempati ruang).
b. Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di
sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman
indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c. Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber
pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga.
Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai
sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini
juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”.
Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak.
Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusu atas putusan
sintetis yang bersifat apriori ini.
Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu.
Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini
menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu’. Pengertian kant mengenai ruang dan
waktu ini berbeda dengan ruang dan waktu dalam pandangan Newton.
Kalau Newton menempatkan ruang dan waktu ‘di luar’ manusia, kant
megnatakan bahwa keduanya adalah apriori sensibilitas. Maksud Kant,
keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah
ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukan
merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an sich). Dan waktu
bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan berlangsung,
tetapi ia merupakan kndisi formal dari fenomena apapun, dan
bersifat apriori.
Yang bisa diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau
penampakan-penampakannya saja, yang tak lain merupakan sintesis
antara unsur-unsur yang datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-
bentuk apriori ruang dan waktu di dalam struktur pemikiran manusia.
b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara
spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-
data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini
akal budi bekerja dengan bantuan
fantasinya (Einbildungskarft). Pengetahuan akal budi baru dieroleh
ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-
bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide
bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk
buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-
petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah
menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat
dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan
indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan idea-
idea argumentatif.
Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka
tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut
kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu
berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang
tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea
mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian
tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding
an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma
epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis-
empiris.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang
perseorangan (individu), sedangkanimperative (perintah) merupakan
azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan
perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat
berlaku dengan bersyarat (hypothetical)atau dapat juga tanpa
syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu
apapun, ia merupakan kelayakan formal (=solen). Menurut kant,
perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber paa kewajiban
dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan
sikap hormat (achtung).Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan
manusia.
Kant, ada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya
kesadaran susila mengandung adanya praanggapan dasar.
Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu
kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya
apa yang disebut dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan.
Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada
rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan
susila.
3. Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti
persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan
konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif.
Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri
manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis
(kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan
keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
Idealisme Transedental : Sebuah Konsekuensi
Tidak mudah memahami kant, terutama ketika sampai pada teorinya:
realisme empirikal (Empirical realism)dan Idealisme
transendental (transendental idealism), apalagi jika mencoba
mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu. Istilah “transenden”
berhadapan dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-sama
merupakan term epistemologis, namun sudah tentu mengandung
maksud yang berbeda; yang pertama berartiindependent dari
pengalaman (dalam arti transenden), sedang yang terakhir disebut
berarti imanen dalam pengalaman. Begitu saja “realisme” yang
berlawanan dengan “idealisme”, adalah dua istilah ontologis yang
masing-masing bermakna: “lepas dari eksistensi subyek” (independet of
my existance) dan “bergantung pada eksistensi subyek” (dependent of
my existence). Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley
dan Descartes. Berkeley sduah tentu seorang empirisis, tetapi ia
sekaligus muncul sebagai seroang idealis. Sementara Descartes bisa
disebut seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu,
secara umum, independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita
hanya mengetahui esensinya melalui idea bawaaninnate ideas) secara
“clear and distinct”, bukan melalui pengalaman. Inilah yang kemudian
membuat Descartes sebagai seorang “realis transendental”.
I. MENJELASKAN SENI DAN KEINDAHAAN BESERTA LATAR BELAKANG PEMIKIRAN FILSAFAT HAGEL
Menurut G.W.F Hegel (1770-1831), Filsuf Idealisme Jerman,
berpendapat karya seni adalah medium material sekaligus faktual.
Keindahan karya seni bertujuan menyatakan kebenaran. Baginya
kebenaran adalah "keseluruhan". Sehubungan dengan gagasan
kebenaran yang dikemukakannya, karya seni adalah presentasi indrawi
dari ide mutlak (Geist) tingkat pertama. Dalam pemikiran Hegel, ide atau
roh subyektif dan roh obyektif senantiasa berada didalam ketegangan.
Ide-ide mutlak mendamaikan ketegangan ini. Maka sebagai ide mutlak
tingkat pertama pada seni roh subyektif dan roh obyektif didamaikan.
Subyek dan obyek kemudian berada didalam keselarasan sempurna.
Filsafat estetika atau keindahan Hegel menilai bahwa seni adalah
bagian yang tak terpisahkan dari sistem filsafat filsuf. Untuk
memahaminya dengan tepat, kita harus mengetahui kedudukan seni
dalam sistem ini. Pemaparan fenomenologis mengenai aktivitas Roh
adalah keseluruhan bagian sistem ini. Pengetahuan yang tidak dapat
dibedakan mana yng diketahui dan yang mengetahui, dan dipahami dan
rasional disebut sebagai pengetahun absolut. Untuk mengenal yang
Absolut adalah dengan mengenal hasil determinasi dirinya seperti
mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Konsep-konsep seni yang selama
ini dikenal merupakan hasil dari filsafat yang menjadikan seni sebagai
objeknya. Maka, seni dapat dipahami dengan logis dan konseptual
karena merupakan bagian dari filsafat. Meski awalnya, Hegel
menyatakan bahwa hanya keindahan karya seni yang dihasilkan oleh
manusia yang termasuk dalam filsafat keindahan (estetika). Namun, ia
pun menambahkan bahwa keindahan alam perlu diperhatikan.
J. SCHOPENHAUWER
Biografi
Arthur Schopenhauer adalah seorang filsuf Jerman yang melanjutkan
tradisi filsafat pasca-Kant. Schopenhauer lahir di Danzig pada tahun
1788. Ia menempuh pendidikan di Jerman, Perancis, dan Inggris. Ia
mempelajari filsafat di Universitas Berlin dan mendapat
gelar doktor diUniversitas Jena pada tahun 1813. Ia menghabiskan
sebagian besar hidupnya di Frankfurt, dan meninggal dunia di sana
pada tahun 1860.
Dalam perkembangan filsafat, Schopenhauer dipengaruhi dengan kuat
oleh Imanuel Kant dan juga pandangan Buddha. Pemikiran Kant
nampak di dalam pandangan Schopenhauer tentang dunia sebagai ide
dan kehendak. Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia terbatas
pada bidang penampakan atau fenomena, sehingga benda-pada-
dirinya-sendiri (das Ding an sich) tidak pernah bisa diketahui
manusia. Misalnya, apa yang manusia ketahui tentang pohon bukanlah
pohon itu sendiri, melainkan gagasan orang itu tentang pohon.
Schopenhauer mengembangkan pemikiran Kant tersebut dengan
menyatakan bahwa benda-pada-dirinya-sendiri itu bisa diketahui, yakni
"kehendak".
Pemikiran Filosofis
Filsafat Keinginan
Schopenhauer memberikan fokus kepada investigasinya terhadap
motivasi seseorang. Sebelumnya, filsuf terkemuka Hegel telah
mempopulerkan konsep Zeitgeist, ide bahwa masyarakat terdiri atas
kesadaran akan kolektifitas yang digerakkan di dalam sebuah arah yang
jelas. Schopenhauer memfokuskan diri untuk membaca tulisan-tulisan
dua filsuf terkemuka pada masa kuliahnya, yaitu Hegel dan Kant.
Schopenhauer sendiri mengkritik optimisme logika yang dijelaskan oleh
kedua filsuf terkemuka tersebut dan kepercayaan mereka bahwa
manusia hanya didorong oleh keinginan dasar sendiri, atau Wille zum
Leben (keinginan untuk hidup) yang diarahkan kepada seluruh manusia.
Schopenhauer sendiri berpendapat bahwa keinginan manusia adalah
sia-sia, tidak logika, tanpa pengarahan dan dengan keberadaan, juga
dengan seluruh tindakan manusia di dunia. Schopenhauer berpendapat
bahwa keinginan adalah sebuah keberadaan metafisikal yang
mengontrol tindak hanya tindakan-tindakan individual, agent, tetapi
khususnya seluruh fenomena yang bisa diamati. Keinginan yang
dimaksud oleh Schopenhauer ini sama dengan yang disebut dengan
Kant dengan istilah sesuatu yang ada di dalamnya sendiri.
Pandangan filosofis Schopenhauer melihat bahwa hidup adalah
penderitaan. Schopenhauer menolak kehendak. Apalagi dengan
kehendak untuk membantu orang menderita. Ajaran Schopenhauer
menolak kehendak untuk hidup dan segala manifestasinya, namun ia
sediri takut dengan kematian. IAM STAY AT HERE :)
Keputusan dan Hukuman
Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak
mengambil keputusan. Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan,
kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat. Oleh sebab
itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar. Keputusan-
keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya. Pemilih itu
harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah
keputusan. Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan
kebutuhan dan tanggung jawabnya. Segala kebutuhan dan tanggung
jawab itu pun sudah dibawa sejak lahir dan bersifat kekal.
Schopenhauer juga menegaskan jika tidak ada keinginan bebas,
haruskah kejahatan dihukum?
Catatan
Filsafat Schopenhauer ini termasuk ke dalam Idealisme
Jerman. Pendapat ini dibuktikan melalui perbandingan antara filosofis
Schopenhauer dengan pandangan Idealisme Jerman. Keduanya
mengajarkan bahwa realitas bersifat subjektif, artinya keseluruhan
kenyataan merupakan konstruksi kesadaran Subjek. Dunia ini juga
dipandang sebagai ide. Pandangan Schopenhauer ini pun dijadikan
wakil dari Idealisme Jerman. Sekalipun memang ada hal-hal yang
bersifat lebih khusus dan fundamental yang membedakan pemikiran
Schopenhauer dengan Idealisme Jerman. Bagi Schopenhauer, dasar
dunia ini transcendental dan bersifat irasional, yaitu kehendak yang
buta. Kehendak ini buta, sebab, sebab desakannya untuk terus-menerus
dipuaskan tidak bisa dikendalikan dan tidak akan pernah terpenuhi.
Namun, justru keinginan yang tak sampai berarti
penderitaan. Selanjutnya, menurut dia bahwa kehendak transendental
itu mewujudkan diri dalam miliaran eksistensi kehidupan, maka hidup itu
sendiri merupakan penderitaan. Jalan keluar yang diusulkan
Schopenhauer ini pun cukup logis. Kalau hidup ini adalah penderitaaan,
maka pembebasan dari penderitaan tersebut tentunya akan tercapai
melalui penolakan kehendak untuk hidup. Konkretnya adalah lewat
kematian raga dan bela rasa.
Cara pemikiran Schopenhauer ini menarik. Namun, tetap saja memiliki
kesalahan. Masalah dalam filsafatnya berkaitan dengan pandangannya
atas pengetahuan tentang prinsip individuasi. Menurut Schopenhauer,
berkat pengetahuan inilah manusia sadar bahwa dirinya adalah sama
dengan semua makhluk hidup lain (dasar dari sikap bela rasa) sehingga
dia tidak perlu memutlakkan diri dan keinginannya (dasar sikap mati
raga atau penyangkalan diri). Tanpa pengetahuan ini, manusia tidak
akan mengalami pencerahan dan tetap berada dalam kegelapan.
Anggapan Schopenhauer ini menekankan dua hal, yaitu bahwa
kesadaran manusia terbukti lebih kuat
dibandingkan nafsu dan keinginannya, dan bahwa karena itu ia juga
mampu memperhatikan keadaan kepentingan orang lain, di dalam hal ini
berarti bahwa manusia bukanlah makhluk egois sebagai mana yang
dipikirkan oleh Schopenhauer. Namun, jika kesadaraan bisa
menguatkan manusia menyangkal diri dan berbela rasa, bukankah
demikian kehendak untuk hidup itu sendiri bukan merupakan dasar dari
segalanya?
Pengaruh
Kendatipun demikian, pengaruh Scopenhauer dalam perkembangan
pemikiran selanjutnya cukup besar. Ia membuka jalan bagi orang
suatu psikologi tentang alam bawah sadar ala Freud. Pemikiran
Schopenhauer tentang kehendak untuk hidup di kemudian hari
mempengaruhi filsafat Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (Der
Wille zur Macht)'. Setengah abad kemudian, ajaran Schopenhauer ini
memberikan inspirasi pada filsafat hidup (Vitalisme), misalnya pada
pemikiran Henry Bergson (1859-1941). Selain itu, ia menghidupkan
perhatian dan minat orang Baratpada studi kesustraan dan agama-
agama Timur, terkhusus Buddhisme.
INTI PEMIKIRAN NIETZCHE MENGENAI SENI DAN KEINDAHAN
Estetika menurut Nietzche bukanlah diperoleh melalui hukum penyebaban yang logis, melainkan melalui suatu kepastian visi. Nietzche memiliki pemikiran dan mengangkat anggapan dalam dunia seni mengenai sifat dualitas seni. Dimana dalam anggapan itu seni dimanifestasikan sebagai Apollonion dan Dionysion. Pada Appolonion terdapat sifat ketenangan dan keteraturan, sedangkan Dionysion mewakili pengalaman yang meluap-luap. Konsep Apollonion mengartikan seni dalam sifat yang tenang dan berasal dari perencanaan dan pengenalan akal budi, sedangkan Dionysion mengartikan seni yamg bersifat meluap-luap dan berasal dari emosi. Dari dua macam seni Apollonion dan Dionysion yang memiliki sifat bertolak belakang, akan terjadi benturan dan pertentangan terus-menerus, namun secara periodik akan mengalami rekonsiliasi. Kecenderungan sifat yang berbeda ini berjalan paralel satu sama lain, dan saling mempengaruhi untuk menghasilkan hal-hal yang baru dan bertentangan, namun secara superfisial disatukan dalam satu istilah, yaitu seni.
L. HEIDEGGER,MARTIN
1889-1976
Di Jerman,filsafat eksistensi diwakili oleh Martin Heidegger dan Karl
Jaspers.Heidegger lahir di Masskirch pada tanggal 26 September
1889.Ia mula-mula masuk biara Yesuit,kemudian ia belajar filsafat di
Freiburg pada Rickert dan Husserl.Di sini ia menjadi dosen privat dari
tahun 1915-1917.Pada tahun 1916 ia mempersiapkan diri menjadi
Lektor dengan Thesis berjudul Die Kategorlen und Bedeutungslehre des Duns Scotus.Dari tahun 1923-1928 ia menjadi guru besar di
Marburg.Buku Karyanya yang ditulis pada masa di Marburg ialah Sein und Zeit I (Berada dan Waktu) yang terbit pada tahun 1927.Rencana
buku yang tiga jilid tidak pernah terlaksana.Pengaruh yang besar
padanya datang dari Edmund Husserl yang pada tahun 1916pindah ke
Freiburg.Pada tahun 1928,Heidegger pindah ke Freiburg lagi untuk
menggantikan Husserl.Atas bantuan Nazi pada tahun 1933 ia diangkat
menjadi Rektor di UniversitasFreiburg dan pada bulan Mei 1993 ia
mengucapkan inaugurasi dengan judul Die Selbsbedeutung der deutschen Universitӓt.Pidato ini kurang menguntungkan
baginya,karena cenderung pada Ideologi Nazi.
Heidegger ingin memecahkan persoalan tentang arti “berada” yang
sampai sekarang menurutnya hanya samar-samar saja.Persoalan ini
harus dijawab secara ontologis dan dengan metode fenomenologis.
Yang dimaksud dengan “berada” ialah beradanya manusia,sebab bagi
benda-benda tidak berada,hanya terletak begitu saja.Istilah yang
dipergunakan Heidegger ialah “vorhaden”.Menurut Heidegger harus
dibedakan antara “sein” dan “seinade”.”Sein” adalah berada bagi
manusia,sedangkan benda-benda hanya “seinade”,yang berada.Berada
bagi manusia adalah “Dasein”,berada di sana,menempati tempat
tertentu dan pada saat atau waktu yang tertentu pula.Manusia berada di
dunia ini tidak sendiri,ia berada bersama-sama,maka “Dasein” manusia
ditentukan pula oleh “Dasein” dari manusia lain,ditentukan oleh
“Mistein”(berada bersama).Dasein manusia ini juga disebut eksistensi.
Manusia di dunia disibukkan dengan benda-benda yang harus
ditangani,disibukkan untuk memelihara.Manusia yang terbuka ini
berdasarkan pada tiga hal ialah kepekaan (Befindlichkeit),mengerti
(Verstehen) dan kata (Rede).Kepekaan ini terlihat dalam bentuk
perasaan dan emosi;kepekaan dapat menekan,sehingga manusia tidak
mampu menanggulanginya dan manusia merasa terlempar (geworfen)
pada nasib.Kepekaan yang terpenting ialah rasa cemas (Angst).
Dalam manusia berada di dunia,maka manusia menghadapi dunia yang
sudah ada untuk ditangani sehingga benda-benda tadi dapat dipakai.Di
dalam kesibukan dan kecintaan untuk memelihara manusia merasa
cemas akan ketiadaan karena ketiadaan ini mengancam ada.Kematian
ini adalah akhir yang selalu hadir.Maka eksistensi manusia adalah
eksistensi yang menuju ke kematian.Dasein manusia dapat dikatakan
Sein zum Tode.
Sumber
Judul buku : “FILSUF-FILSUF DUNIA DALAM GAMBAR”
Penulis : Dra.Endang Daruni Asdi-Drs.A.Husnan Aksa
Penerbit : Karya Kencana
Kota terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 1982
M. WALTER BINJAMIN Biografi
Walter Benjamin (Berlin, 15 Juli 1892 – Portbou, Spanyol, 27
September 1940) ialah seorang filsuf asal Jerman yang seringkali
dianggap sebagai salah satu pemikir terpenting Mazhab Frankfurt.
Beberapa pemikiran yang memengaruhi tulisan-tulisannya antara
lain Marxisme Bertolt Brecht, mistisismeYahudi Gershom Scholem.
Karya-karyanya memiliki landasan teori yang sangat kuat, tapi gaya
penulisan dan pemilihan subyek kajiannya seringkali tidak mengikuti
standar zamannya. Beberapa studi yang dilakukan setelah kematiannya
menunjukkan bahwa dia ialah pemikir brilian yang seringkali tidak diakui
semasa hidupnya. Dia meninggal setelah tentara Nazi menyita seluruh
isi perpustakaannya dan dia terpaksa meninggalkan Jerman. Di
perbatasan Jerman dan Perancis, dia menemui ajalnya. Sampai saat ini,
tidak diketahui apakah dia melakukan bunuh diri atau tidak.
Hidup dan Karya
Walter Benjamin dilahirkan di dalam sebuah
keluarga Yahudi di Berlin. Dia dikenal semasa hidupnya sebagai
seorang esais, penerjemah dan kritikus sastra. Semenjak penerbitan
kumpulan tulisannya pada tahun 1955, 15 tahun setelah kematiannya,
karya-karya Walter Benjamin telah dijadikan kajian berbagai buku dan
esai. Sebagai seorang sosiolog dan kritikus kebudayaan, Walter
Benjamin menggabungkan ide-ide
dari mistisisme Yahudi danmaterialisme sejarah di dalam sebuah proyek
intelektual yang merupakan sebuah sumbangan baru
terhadap filsafat Marxisme dan teori estetika. Sebagai penerjemah, dia
menerjemahkan karya-karya Marcel Proust dan Charles Baudelaire.
Salah satu esai Walter Benjamin, 'The Task of the Translator dianggap
sebagai salah satu teks terbaik di dalam teori penerjemahan.
Beberapa karya Walter Binjamin :
Goethes Wahlverwandtschaften (Goethe's Elective
Affinities / 1922),
Ursprung des deutschen Trauerspiels (Origin of German Tragic
Drama [Mourning Play] / 1928),
Einbahnstraße (One Way Street / 1928),
Das Kunstwerk im Zeitalter seiner technischen
Reproduzierbarkeit (The Work of Art in the Age of Mechanical
Reproduction / 1936),
Berliner Kindheit um 1900 (Berlin Childhood around
1900 / 1950, published posthumously),
Uber den Begriff der Geschichte (On the Concept of History /
Theses on the Philosophy of History) / 1939, published
posthumously).
Das Paris des Second Empire bei Baudelaire (The Paris of the
Second Empire in Baudelaire / 1938)
Karya terakhir Benjamin yang tidak sempat terselesaikan
berjudul Passagenwerk atau Arcades Project direncanakan sebagai
sebuah mahakarya mengenai kehidupan di kota Paris di abad ke-19,
terutama mengenai pasar beratap yang menciptakan keunikan
kehidupan jalanan dan terciptanya budaya "jalan-jalan". Setelah
kematian Walter Benjamin, karya ini telah diedit dan diterbitkan di dalam
bentuknya yang belum selesai.
Walter Benjamin seringkali bertukar pikiran dengan Theodor
Adorno dan Bertolot Brecht, dan juga beberapa kali mendapatkan
sumbangan finansial dari Lembaga Penelitian Sosial Frankfurt yang,
pada waktu itu, berada di bawah kepemimpinan Adorno dan Max
Horkheimer. Pengaruh-pengaruh yang bertabrakan dari
mistisisme Yahudi, Critical Theory dan Marxisme merupakan sebuah
arena konflik pusat di dalam pemikiran Walter Benjamin, dan sampai di
akhir hayatnya dia belum bisa membuat sebuah sintesa di antara ketiga
paham teori tersebut.
Gaya penulisan yang digunakan Walter Benjamin bisa dikatakan
sangat mampu membangkitkan minat dan juga rumit. Susan
Sontag membuat komentar bahwa kalimat-kalimat yang digunakan oleh
Walter Benjamin tidak memiliki kesinambungan seperti di dalam
penggunaan biasa. Hubungan antar kalimat seringkali seperti tidak
memiliki hubungan logis, dan setiap kalimat seakan-akan memiliki
"sesuatu yang penting untuk dikatakan", tapi "kemudian lenyap karena
kekuatan konsentrasinya sendiri". Memang sampai di akhir hayatnya,
Walter Benjamin masih belum menyatukan seluruh proyek intelektualnya
ke dalam sebuah penyatuan teoritis.
Selain itu, Walter Benjamin, seperti Adorno, menyatakan bahwa
proses penulisan seharusnya hanya memiliki arti denotatif dalam
hubungannya dengan subyek kajian. Di dalam salah satu esainya (The
Task of the Translator), Benjamin menyatakan secara terbuka bahwa
sebuah proses penerjemahan akan dipengaruhi oleh 'kesalahan
membaca' yang tidak bisa dihindari dan sebuah perkelahian dengan
teks asli yang tidak mungkin dipindahkan keseluruhan artinya ke dalam
sebuah bahasa asing. Argumen ini secara langsung memengaruhi
filsafat dekonstruksi Jacques Derrida di hari kemudian.
N. JEAN-FRANCOIS LYOTARD
Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali
mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern
sudah lama dipakai di dunia arsitektur.
Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat
memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak
pemisahan antara seni yang masuk akal dengan budaya populer.
Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan
perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat
dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa
modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih
terikat pada logika standart, sedangkan posmo mengembangkan
kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan logika yang
tidak standart.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya
menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran
dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru
melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau
dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap
dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa
dalam masyarakat modern, secara bertingkat seseorang akan
kehilangan individualitas kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri.
Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991
(dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita
untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat,
menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang
kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.
Berdasarkan pandangan posmodernisme, pengikisan tingkat
individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan
rasionalitas. Faktor-faktor ini mengurangi pentingnya hubungan pribadi
dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme,
menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang
yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa
besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen
dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia
menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman
individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai
bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya
mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan
kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya
merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan
yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita.
Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain
adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik
tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar
musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak
menyukai musik “rap” tidak menjadi gaya hidup remaja. Perilaku
seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di
sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang
individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut
pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme
memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana
harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu.
Sesuai dengan perspektif ini, struktur pola sosial interaksi yang sedang
terjadi dalam sebagian masyarakat.Dalam pandangan ini, individu
mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu
bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara
gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama,
postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan
kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung
mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu
pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi,
urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur
cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti
karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal,
toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria
evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua,
teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal
dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan
sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau
impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka
(modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan
dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada
penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara
perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana
yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan
narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk
teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak
dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir
postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar
pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi,
pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi,
kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik.
Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar,
terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic
exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan
modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti
disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan
realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung
mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan
bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya
Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi
sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak
gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen,
1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan
mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu
logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal
daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core)
masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan
perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh
Rosenau (1992:8) bahwa perihal apa yang telah diambil begitu saja
(taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi,
kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas
garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian,
penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan,
kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi,
penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi
postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan
(diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan
kompleksitas daripada simplikasi.
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan
postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang
konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal,
melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran,
didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal
kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan
didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan
bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari
kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari
mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman…
Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui
ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula.
Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan
kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk
hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama
sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas
mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau
dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-
tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman
yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum
postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah
pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal
tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat
postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain:
(1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan
kedangkalannya.
(2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia
postmodern.
(3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern
disifatkan dengan pastiche.
(4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern
dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan.
(5) ada sistem kapitalis multinasional.