LAPORAN PENELITIAN
ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI PELISANAN DALAM
MABEBASAN DI BALI
UNIVERSITAS UDAYANA
Ketua:
Drs. A.A Gede Bawa, M.Hum. NIDN 0031125474
Anggota:
DR. Drs. I Nyoman Sukartha, M.Hum. NIDN 0005115504
Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. NIDN 0008045910
Drs. I Wayan Sukersa, M.Hum. NIDN 0021075502
PRGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
2
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji sukur kami haturkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
anugrah Beliaulah maka penelitian ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya.
Penelitian ini berjudul: “Estetika Sebagai Motivasi Pelisanan Dalam
Mabebasan Di Bali” dikerjakan bersama oleh Tim Peneliti Program Studi Sastra Jawa
Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Penelitian ini dibiayai oleh Dana
DIPA PNBP Universitas Udayana tahun 2018. Dana tersebut merupakan salah satu
implementasi Rencana Kerja Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana. Untuk itu, kepada semua yang ikut membantu penelitian ini
kami ucapkan terima kasih.
Penelitian ini dirasa belum sempurna. Untuk itu diharapkan sumbangan
pikiran berupa saran dari pembaca demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Terima
kasih
Denpasar. 20 Oktober 2018
Ketua Tim Peneliti
3
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL……………………………………………. 1
KATA PENGANTAR...................................................................... 2
DAFTAR ISI ..................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................ 4
1 Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 4
1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 6
2 Tujuan ..........................................................................................` 6
2.1 Tujuan Umum ………………………………………………… 6
2.2 Tujuan Khusus ……………………………………………….. . 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………. 8
BAB 3 KONSEP, TEORI DAN METODE PENELITIAN ......... 13
BAB 4 ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI PELISANAN DALAM
MABEBASAN ……………………………………………………. 21
4.1 Estetika………………………………………………………… 21
4.1.1 Estetika dan Seni …………………………………………… 22
4.1.2 Kaidah Estetik dalam Karya Seni………..……………….. 24
4.2 Estetika dalam Mabebasan ……………………………..….. 25
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 59
4
ESTETIKA SEBAGAI MOTIVASI PELISANAN DALAM MABEBASAN
DI BALI
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Kakawin, kidung, dan geguritan merupakan cipta sastra klasik yang sampai
saat ini masih digemari oleh masyarakat Bali. Dalam setiap upacara keagamaan (tentu
saja upacara agama Hindu) akan terdengar nyanyian merdu sebagai tanda adanya
kegiatan olah sastra tradisional di Bali yang bersifat lisan. Karya sastra klasik yang
sering ditembangkan sebagai pengiring upacara keagamaan seperti: sastra Palawakia
(prosa), kidung, sloka, geguritan atau macapat. Kenyataan ini menandakan bahwa
jenis cipta sastra tersebut telah memperoleh tempat yang sangat spesial di hati para
penggemarnya di Bali.
Olah sastra klasik Bali biasanya dilakukan oleh sekelompok orang. Dalam
kegiatan itu ada orang yang menembang, ada yang menerjemahkan, dan kadang-
kadang ada yang mengulasnya berupa komentar. Aktivitas itu di Bali disebut dengan
istilah mabebasan atau mabasan. Aktivitas yang dilakukan itu tanpa berharap pamrih
berupa upah. Aktivitas itu dilakukan atas dasar kesadaran dan kesenangan dengan
konsep ngayah menjadi landasannya. Ngayah di sini diartikan sebagai: ‘pengabdian
diri tanpa berharap imbalan’ (Anom dkk. 2009: 43). Bila dicermati konsep ngayah
seperti ini dapat dikatakan bahwa betapa tingginya kesadaran para penggemar olah
sastra klasik/tradisional di Bali dan etapa mulianya kegiatan ngayah yang dilakukan.
Mereka rela berkorban waktu, tenaga, dan mungkin juga materi. Bahkan sampai
begadang semalam suntuk hanya untuk ngayah. Harapannya hanyalah agar
persembahan dalam wujud ngayah itu bisa diterima Tuhan. Selain itu, melalui
ngayah diharapkan pula agar upacara yang sedang dilakukan berhasil atau sukses,
dan diperolehnya kesenangan atau kepuasan bagi pendengar atau penikmatnya
termasuk para aktivis olah sastra tradisional itu sendiri. Harapan seperti tersebut di
5
atas sejalan dengan harapan yang termuat dalam baris 3-4, bait 50, sargah 26
Kakawin Ramayana yang berbunyi;
Sang yogiswara sistha sang sujana sudha manahira huwus maca sira
Byakta wus ucapanta ring julung adomuka pinaka nimittaning lēpas
Terjemahannya:
Sang pendeta akan bertambah suci, orang bijak akan menjadi suci batinnya
bila telah membaca (Kakawin Ramȃyana) ini’.
Pasti bila sudah membicarakannya, walau orang dungu yang tidak hirau
sekalipun akan menyebabkan moksa.
Mabebasan sering pula bisa disaksikan atau difirsa pada acara televisi lokal
yang ada di Bali, seperti Bali TV, TVRI Stasiun Denpasar dan Dewata TV. Bahkan di
Bali TV acara olah sastra tradisional mabebasan ditayangkan setiap hari yaitu pada
waktu siang. TVRI Stasiun Denpasar menayangkan mabebasan sebagai selingan
setiap selesainya siaran berita yang dimulai sejak tahun 2011 hingga kini. Di samping
itu, acara Tembang Guntang ditayangkan oleh Dewata TV pada pukul 14.30-15.30
Wita setiap hari. Begitu pula ada siaran-siaran radio lokal di Bali, baik RRI maupun
radio-radio swasta yang sering menyiarkan acara olah sastra tradisional mabebasan.
Selain itu, banyak aktivis/pelaku mabebasan melakukan aktivitas mabebasan
dengan menggunakan pesawat komunikasi seperti Hand Talky (HT) dan sering pula
dengan menggunakan telepon atau Hand Phone. Kenyataan seperti itu menandakan
bahwa olah sastra tradisional mabebasan sangat digemari oleh masyarakat Bali.
Penyebabnya tidak lain karena olah sastra tradisional mabebasan mengandung nilai-
nilai seni yang adiluhung. Di sisi lain, tentunya karena objek yang dipakai dalam olah
sastra tradisional mabebasan tersebut berupa naskah yang memuat wacana-wacana
atau cerita-cerita yang sarat akan petuah-petuah, dan sangat berguna sebagai pedoman
hidup. Naskah Bhagawadghita, Sarasamucchaya, Kakawin Ramȃyana, Kakawin
Bharatayuddha, Kakawin Sutasoma, Kakawin Nīti Sȃstra, Kakawin Nirȃrtha
Prakrēta, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Smaradahana, Kakawin Bhomȃntaka
merupakan contoh konkret yang sering dipakai sebagai materi mabebasan.
6
Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa olah sastra
klasik/tradidional mabebasan hidup dan berkembang dengan baik pada masyarakat
Bali. Hal ini terbukti dengan menjamurnya kelompok mabebasan yang terwadahi
dengan nama pesantian.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa mabebasan merupakan cabang seni
khususnya seni suara klasik, yang di dalamnya terkandung unsur sastra yang
menggunakan bahasa sebagai media penyampainya. Sebagai cabang seni, tentu saja
di dalam mabebasan terkandung unsur-unsur estetika atau keindahan. Tanpa adanya
keindahan tentu saja mabebasan akan kurang menarik sehingga kurang diminati oleh
masyarakatnya. Keadaan seperti itu sangat menarik untuk diteliti. Tentu saja di
samping fungsi mabebasan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
Fenomena seperti itulah yang menjadi alasan untuk mengangkatnya sebagai karya
tulis.
Memang telah dimaklumi bahwa telah banyak penelitian yang mengungkap
masalah keindahan bahasa dalam mabebasan. Namun masalah motivasi pelisanan
masih langka. Untuk itu dirasa perlu segera diteliti.
1.2 Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1) Mengapa estitika memotivasi pelisanan/pememorisasian dalam mabebasan di
Bali?
2) Bait-Bait apa saja yang mengandung nilai estetika sehingga menarik dan
memotivasi terjadinya pelisanan?
7
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan melestarikan
wirasan budaya bangsa yang adiluhung. Warisan itu kaya akan nilai-nilai budaya
seperti; nilai pendidikan moral, nlai religius, nilai persatuan dan kesatuan, nilai
lingkungan hidup dan sejenisnya. Di sisi lain bertujuan pula sebagai upaya ikut
memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
Pembinaan dan pengembangan kearifan lokal mabebasan.
Ingin mengetahui sejauh mana estetika memotivasi pelisanan dalam dunia mabebasan
di Bali.
8
II TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai tradisi lisan mabebasan di Bali telah banyak dilakukan.
Namun yang membicarakan motivasi estetika sebagai unsur pemicu pelisanan dalam
mabebasan belum ada. Agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai tulisan tentang
mabebasan yang telah ada, maka hal tersebut perlu drinci seperti paparan di bawah
ini.
“Het Mabebasan of de boefening van het Oud Javaanch op Bali” oleh I
Wayan Bhadra (1937). Dalam makalah singkat ini dipaparkan pemakaian bahasa
Jawa Kuna dalam mabebasan di Bali. Di samping itu tulisan tersebut juga memuat
tentang lomba gong kebyar dan tari barong. Selain sangat singkat, tulisan tersebut
tidak menyinggung masalah kelisanan dalam kearifan lokal mabebasan di Bali.
Walaupun demikian, terkait dengan masalah mabebasan, maka makalah itu dapat
dipakai pijakan dalam penelitian ini.
“Mabebasan di Bali”, yang termuat dalam majalah Bahasa dan Budaya,
Tahun ke VIII, No. 5/6, 1958, halaman 201-204, oleh Soewito Ms. Menurutnya
mabebasan merupakan wadah dalam mempelajari bahasa Jawa Kuna. Tulisannya
juga memuat cara-cara mabebasan dan tembang yang digunakan dalam konteks
mabebasan. Pemilihan tembang dalam mabebasan disesuaikan dengan konteks waktu
seperti pagi, siang dan sore hari. Padahal, dalam tradisi mabebasan, pemakaian
tembang/wirama harus sesuai dengan konteks waktu tidak ada sama sekali sampai
saat ini. Pembacaan teks justru lebih dominan didasarkan atas kemampuan pembaca
atau berdasarkan wirama/tembang yang dikuasai oleh pembaca. Di sisi lain
mabebasan juga dikaitkan dengan jenis ritual yang dilakukan. Dalam tulisan itu tidak
ada disinggung tentang unsur-unsur kelisanan dalam tradisi mabebasan.
Robson (1972), dalam tulisannya yang berjudul “Kawi Classics in Bali”.
yang termuat dalam Majalah BKI (1972:128;308-329) Dalam tulisan ini dikatakan
bahwa bahasa Jawa Kuna yang disebutnya sebagai bahasa klasik (Kawi) masih
9
bertahan hidup di Bali. Pemakaian bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna dapat
dijumpai dalam tari gambuh, wayang dan dalam mabebasan di Bali. Uraian tentang
mabebasan secara rinci dan mendalam tidak ada. Terlebih lagi uraian yang
menyinggung tentang kelisanan dalam mabebasan.
Tulisan berikutnya dapat ditemukan dalam I Wayan Jendra (ed, 1979), yang
berjudul “Kehidupan Seni Mabebasan di Kabupaten Badung”. Tulisan ini memuat
tentang deskripsi kehidupan seni mabebasan di kabupaten Badung saat itu (sekarang
Kabupaten Badung telah dimekarkan menjadi dua yaitu: Kabupaten Badung dan Kota
Madya Denpasar). Dalam tulisan ini dibicarakan mengenai wirama/guru-laghu yang
dikenal di kabupaten Badung, hubungan seni mabebasan dengan upacara keagamaan,
dan dengan seni-seni yang lain. Tulisan tersebut tidak menyinggung masalah
kelisanan dalam tradisi mabebasan. Di samping tulisan tersebut sudah cukup lama,
lingkup penelitiannya hanyalah meliputi kabupaten Badung . Tentu saja hal itu bisa
berbeda dengan kabupaten lain yang ada di Bali.
Richard Herman Wallis, dalam tulisannya berupa disertasi dalam bidang ilmu
musikologi di Universitas Michigan yang berjudul “The Voice as Mode of Cultural
Expression in Bali” (1980), membicarakan mengenai tembang-tembang tradisional
Bali terutama tembang-tembang yang digunakan dalam ritual agama Hindu di Bali.
Pendekatan yang digunakan adalah etnomusikologi dengan penekanan pada aspek
tekstual dari sudut pandang musik dan antropologi. Kidung dan geguritan juga
disinggung sepintas. Pembicaraan kelisanan dalam mabebasan sebagai kearifan lokal
Bali tidak disinggung.
Tulisan Granoka berjudul “Pikenoh Basa Bali Sajroning Mabebasan Manut
Tinjoan Teoritis (1981)”, (Manfaat Bahasa Bali dalam Mebebasan Menurut Tinjauan
Teoretis). Tulisan itu hanya mengulas tentang manfaat bahasa Bali di dalam
mabebasan itu sendiri. Sementara itu, unsur-unsur kelisanan di dalam tradisi
mabebasan tidak tersentuh sama sekali. Tulisan itu disanggah oleh I Wayan Jendra
dengan makalah pendamping berjudul; “Panureksan Bawak lan Amȃtra Pikenoh
Bahasa Bali Sajeroning Mabebasan” (1981).karena tulisan ini hanyalah tulisan yang
10
berupa sanggahan terhadap tulisan Granoka di atas, tentu saja isinya sangat ringkas,
yaitu hanya sebagai pelengkap saja. Kedua tulisan tersebut belum menyinggung
masalah kelisanan dalam mabebasan.
Sukartha dalam tulisannya berjudul “Sekilas Tentang Kehidupan Mebebasan
dan Cara-Cara Menerjemahkannya di Kabupaten Klungkung ”(1982), menjelaskan
mengenai kehidupan seni mabebasan di Kabupaten Klungkung, wirama-wirama
yang dikenal dan masalah penerjemahan di dalam seni mabebasan. Masalah
penerjemahannya mencakup cara-cara penerjemahan dan tataran terjemahan dalam
mabebasan yang dikaitkan dengan teori terjemahan. Tataran terjemahan di dalam seni
mabebasan di Kabupaten Klungkung digolongkan ke dalam terjemahan ideomatik
atau sepadan. Jadi, masalah kelisanan, seperti motivasi pelisanan, fungsi mabebasan
sebagai tradisi lisan, jenis wacana yang dilisankan, dan mekanisme pewarisan
mabebasan tidak disinggung sama sekali.
Tulisan I Nengah Medera berjudul “Pelestarian Nilai Budaya Melalui
Penghayatan Sastra Daerah” (1988), sesuai dengan judulnya, memuat tentang
beberapa upaya dalam melestarikan warisan budaya bangsa. Salah satunya adalah
lewat pertunjukkan seni mabebasan. Aktivitas seni mabebasan dalam tulisan itu
dikatakan sebagai media diskusi untuk melestarikan nilai budaya. Tulisan itu sama
sekali belum menyentuh unsur-unsur kelisanan yang ada dalam tradisi lisan
mabebasan.
Rubinstein dalam karyanya berupa disertasi yang berjudul ‘Beyond The Realm
of the Senses the Balinese Ritual of kekawin Composition” (1988) antara lain,
menyatakan bahwa seni mabebasan mengacu pada proses terjemahan teks. Sementara
itu pepaosan menekankan pada proses pembacaan teks. Jadi, menurutnya ada
perbedaan antara pepaosan dan mabebasan. Pandangan ini bisa menimbulkan citra
yang keliru. Sebab, di dalam tradisi mabebasan di Bali istilah mapepaosan dan
mabebasan memiliki arti yang sama. Dalam tulisannya ini belum disinggung
masalah kelisanan dalam mabebasan.
11
Sukartha dkk, dalam tulisannya berjudul “Peranan Mebebasan Dalam
Menyebarluaskan Nilai-Nilai Budaya Tradisional Masyarakat Bali” (1995),
membicarakan tentang tata cara mempelajari kakawin dan belajar mabebasan, dan
juga mengungkap peranan mebebasan dalam upacara keagamaan di Bali. Tulisan itu
walaupun sudah menyentuh unsur-unsur kelisanan dalam tradisi mabebasan, namun
baru menyentuh permukaan saja. Artinya tulisan itu belum belum mengulas secara
mendalam mengenai kelisanan dalam tradisi mabebasan. Di sisi lain, masalah
motivasi pelisanan, fungsi kelisanan, jenis wacana yang dilisankan, dan mekanisme
pewarisannya tidak dibicarakan.
I Wayan Jendra, dalam disertasi yang berjudul “Kedwibahasaan Bahasa Bali
dan Bahasa Indonesia dalam Aktivitas Seni Mebebasan di Bali” (1996), merupakan
tulisan yang paling panjang tentang seni mebebasan. Bagian awal tulisan ini
membahas masalah teori kedwibahasaan yang ada dalam ilmu Sosiolinguistik.
Kemudian, berturut-turut membahas masalah seni mabebasan dan budaya Bali,
kedududkan dan peranan bahasa Kawi, bahasa Bali dan bahasa Indonesia dalam
aktivitas seni mabebasan, kedwibahasaan dalam aktivitas seni mabebasan dan
terakhir mengenai unsur-unsur pinjaman dalam pemakaian bahasa Bali dalam seni
mabebasan. Dalam tulisan tersebut pemahaman terhadap mabebasan masih seperti
dulu. Maksudnya, istilah mabebasan, makakawin masih mengacu pada makna
terjemahan kakawin secara lisan ke dalam bahasa Bali. Kakawin yang dimaksud tentu
saja kakawin yang merupakan sastra tradisional yang berbahasa Jawa Kuna.
Pengertian mabebasan dewasa ini sudah meluas maknanya. Istilah mabebasan bukan
saja bermakna ‘menyanyikan kakawin dan terjemahannya ke dalam bahasa Bali’ saja.
Akan tetapi bermakna pula pada setiap ‘aktivitas menyanyikan sastra kakawin,
kidung, palawakya dan geguritan, kemudian diiringi terjemahan, dan/atau ulasan ke
dalam bahasa Bali, bahkan ke dalam bahasa Indonesia’. Belakangan, istilah
mabebasan sering diidentikkan dengan istilah nyanthi. Perluasan makna mabebasan
seperti ini kiranya perlu dicermati dan diteliti ulang. Di samping itu, masalah
kelisanan dalam mabebasan sama sekali tidak dibicarakan
12
Sukartha dalam makalahnya berjudul “Kendala-kendala Penerjemahan dalam
Mebebasan” (1998). Seperti judulnya tulisan ini hanya memuat kendala-kendala
yang dihadapi oleh penerjemah dalam menerjemahkan kakawin yang berbahasa Jawa
Kuna ke dalam bahasa Bali. Makalah singkat yang dibawakan dalam pembinaan
kelompok pesantian di Desa Kerobokan Kabupaten Badung ini tentu saja belum
mampu mengangkat seluruh permasalahan yang ada di dalam tradisi mabebasan.
Begitu pula mengenai kelisanan yang ada dalam mabebasan tidak dibicarakan.
Sukartha dalam tulisannya berjudul “Bentuk Terjemahan Dalam Mebebasan
Di Bali’ (2006). Tulisan ini berbentuk makalah yang dibawakan dalam pembinaan
mabebasan pada pesantian di Desa Kerobokan Kabupaten Badung, sesuai dengan
judulnya hanya memuat bentuk terjemahan yang ada dalam mabebasan, yaitu bentuk
terjemahan idiomatik. Mengingat tulisan ini dibawakan dalam pembinaan
mabebasan, tentu saja ulasannya sangat dangkal. Tulisannya hanya membicarakan
bentuk terjemahan yang dikaitkan dengan teori terjemahan dari Cattford. Unsur-unsur
lain tidak dibicarakan, terlebih lagi masalah kelisanan dalam mabebasan..
Sukartha dalam makalahnya dberjudul: “Cara-cara Penerjemahan Dalam
Mebebasan di Bali” (2007), hanya memuat cara-cara atau metode-metode yang
digunakan dalam menerjemahkan kakawin yang berbahasa Jawa Kuna ke dalam
bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Tulisan ini sangat tipis. Tentu saja tidak mampu
menjangkau seluruh aspek mabebasan yang ada di dalamnya. Terlebih lagi mengenai
masalah motivasi estetika kelisanan dalam tradisi mabebasan.
Sukartha dalam disertasinya yang berjudul “Kelisanan Dalam Mabebasan Di
Bali” (2015) banyak mengulas tentang hal-hal yang berbau lisan dalam mabebasan di
Bali. Dalam disertasi itu juga telah disinggung masalah motovasi pelisanan dalam
mabebasan. Namun pembicaraan estetika sebagai motivator pelisanan beluam banyak
dibicarakan. Masih ada hal-hal yang belum tersentuh dalam uraiannya itu.
Penelitian ini akan menjangkau seluruh aspek yang ada sebagai estetika yang
memotivasi terjadinya pememorisasian dalam mabebasan di Bali.
13
III KONSEP, TEORI DAN METODE PENELITIAN
3.1Konsep
Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan
gejala secara abstrak (Sarwono, 2006:17). Maksudnya adalah abstraksi tentang
fenomena sosial yang dirumuskan melalui generalisasi dari sejumlah karakteristik
peristiwa atau keadaan sosial tertentu. Konsep dibentuk melalui proses abstraksi,
yaitu menarik intisari dari ide-ide dan gambar tentang fenomena sosial
(Sillalahi,2009:112). Jadi, konsep merupakan istilah yang dapat menggambarkan
suatu fenomena tertentu, seperti objek-objek atau peristiwa-peristiwa. Satu peristiwa
emperis diabstraksikan dengan memakai kata-kata sebagai label untuk menandai
peristiwa-peristiwa tersebut. Jadi konsep berkaitan erat dengan definisi (Ratna,
2010:114). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep menunjuk pada label
atau nama dari gejala atau peristiwa yang dinyatakan dengan satu istilah atau kata.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka konsep yang perlu dijelaskan untuk
memperoleh pemahaman bersama berupa konsep: (1) kearifan lokal, (2) kelisanan,
(1) Kearifan lokal (local wisdom) merupakan kematangan masyarakat di tingkat
lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat
yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal, baik
berupa material maupun berupa nonmaterial. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa kearifan lokal tidak lain adalah pengetahuan asli
(indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local genius) suatu
masyarakat yang berasal dari nilai-nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur
tatanan kehidupan masyarakat dalam rangka mencapai kemajuan komunitas
(Sibarani, 2012:122).
(2) Kelisanan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebuah kearifan lokal
(local wisdom) tentang kelisanan dalam tradisi mabebasan. Teeuw(1994:1-
23). Dalam bukunya, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan,
membagi kelisanan menjadi dua bagian yaitu; kelisanan murni/primer dan
14
kelisanan kedua/skunder. Di dalam buku tersebut dijelaskan mengenai
kelisanan (orality) yang dipertentangkan dengan keberaksaraan (leteracy).
Kelisanan (orality) merupakan keadaan pada suatu masyarakat yang
niraksara, atau masyarakat yang tidak mempunyai tulisan. Semua
kehidupannya dijalaninya dengan serba lisan. Masa kelisanan ditandai
dengan; a) kehidupan manusia belum tersentuh oleh budaya tulis dan cetak, b)
proses mengingat dan mempertahankan budaya dilakukan dengan pola
penuturan ulang (repetitive style), c) berpikir secara olaritas dan sederhana,
misalnya baik-buruk, baik-jahat, d) kesadaran tempat atau konteks bersifat
umum, dan e) penggunaan bentuk ekspresi kolektif yang klise (Sukatman,
2011: 8-9).
Kelisanan bersifat dinamis, artinya dari waktu ke waktu mengalami
perubahan. Kelisanan mengalami perkembangan dari kelisanan primer ke
kelisanan sekunder.
Dahulu masyarakat yang tidak mempunyai tulisan dalam
mengamankan ciptaan lisan (naratif, nyanyian kematian, mitos panjang dan
lainnya), adalah lewat penghafalan. Namun kini kenyataannya lain sekali.
Memang ada penghafalan formula, unsur formulaik, peribahasa, pepatah dan
petitih. Umumnya bahan-bahan yang oleh Lord disebut stok-in-trade: seorang
penyanyi, pencerita atau tukang pidato. Selanjutnya, dikatakan bahwa
memorisasi pada masyarakat lisan murni atau niraksara jarang terdapat.
Memorisasi merupakan gejala khusus terikat pada kebudayaan yang sudah
kenal tulisan. Memorisasi dapat disamakan dengan kelisanan atau
penghafalan. Singkatnya, kelisanan terdapat pada masyarakat yang sudah
kenal tulisan.
Pelaku mabebasan yang ada di Bali masih ada ditemukan yang tidak
mengenal aksara Bali dan bahkan juga aksara Latin. Namun, mereka mampu
menyanyikan bait-bait kakawin ataupun kidung tertentu secara benar. Begitu pula
dalam menerjemahkannya ke dalam bahasa Bali. Untuk bisa menyanyikan bait-bait
15
kakawin atau kidung secara benar tentu saja dituntut pengetahuan tentang aturan
guru-laghu pada wirama kakawin, laras gong (pelog atau silendro) pada kidung dan
paňca pakenda pada macapat atau pupuh/geguritan. Begitu juga aturan-aturan dalam
penerjemahan lisan. Untuk mampu mernerjemahkan bahasa Jawa Kuna ke dalam
bahasa Bali tentu saja diperlukan pengetahuan berupa perbendaharaan kata bahasa
Jawa Kuna dan bahasa Bali. Kenyataan seperti inilah yang masih banyak ditemukan
pada masyarakat Bali yang menjadi aktivis atau pelaku mabebasan. Keadaan ini tentu
saja dapat dikatakan sebagai bentuk kelisanan pada tradisi lisan khususnya dalam
dunia mabebasan di Bali. Jadi, konsep kelisanan yang dikemukakan oleh Teeuw
yang digunakan di dalam tulisan ini.
3.2 Teori
Penelitian ini bersandar kepada teori motivasi dan semiotika seperti uraian di
bawah.
3.2.1 Teori Motivasi
Motivasi tidak lain merupakan proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan
ketekunan individu untuk mencapai tujuannya (Mitchel, 1997: 60-62).Tiga elemen
utama dalam definisi ini adalah; intensitas, arah dan ketekunan.Teori motivasi yang
paling terkenal adalah hierarki teori kebutuhan dari Abraham Maslow (Harper &
Row, 1954: 57-67). Berdasarkan teori herarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X
dan Y Duglas McGregor ataupun teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah
‘alasan yang melandasi sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu’.
Seorang dapat dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut
memiliki alasan yang kuat untuk mencapai apa yang diinginkan dengan mengerjakan
pekerjaan yang sekarang. Jadi, motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati
seseorang untuk melakukan atau mencapai suatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan
sebagai rencana atau keinginan untuk menuju ke kesuksesan dan menghindari
kegagalan hidup. Teori motivasi dikelompokkan menjadi 5 kategori kelompok
16
pendekatan seperti: teori kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan,
dan teori penetapan sasaran.
Teori kebutuhan merupakan teori motivasi yang berfokus pada tiga
kebutuhan yang didefinisikan sebagai:
need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
need for affiliation (kebutuhan akan hubungan sosial)
need for power (dorongan untuk mengatur) (Clelland, 1961 dalam
Wikipidea.org/wiki/motivasi:4)
Kebutuhan berprestasi merupakan dorongan untuk melebihi, mencapai
standar-standar, dan berusaha keras untuk berhasil. Kebutuhan akan hubungan sosial
sama dengan kebutuhan berafiliasi, yaitu keinginan untuk menjalin suatu hubungan
antarpersonal yang ramah dan akrab. Kebutuhan yang merupakan dorongan untuk
mengatur merupakan kebutuhan untuk berkuasa, untuk membuat individu lain
berperilaku sedemikian rupa (baik, patuh, rajin, tekun), dan tidak berperilaku
sebaliknya. Sementara itu kebutuhan berafiliasi maksudnya adalah keinginan untuk
menjalin suatu hubungan antar personal yang ramah dan akrab.
Area motivasi manusia ada empat seperti; makanan, cinta, seks, dan
pencapaian. Tujuan-tujuan yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu
yang melakukannya. Individu dianggap tergerak untuk melakukannya agar
tercapainya tujuan yang diakibatkan motivasi intrinksik dankarenamotivasi
ekstrinksik. Motivasi intrinksik yakni keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian
tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas
tersebut. Sementra itu motivasi ektrinsik yakni kemauan mengejar suatu tujuan yang
diakibatkan imbalan-imbalan eksternal (dari luar diri) dan faktor internal (dari dalam
diri)
Teori motivasi yang digunakan dalam membedah motivasi estetika pelisanan
dalam mabebasan adalah teori motivasi kebutuhan dari Maslow seperti tersebut di
atas, karena teori tersebut paling terkenal di antara teori motivasi. Di sisi lain,
17
pelisanan dalam mabebasan di dalamnya terdapat kebutuhan akan sesuatu yang
muncul dan didorong oleh kesadaran dari dalam diri para pelaku mabebasan.
3.2.2 Teori Semiotika
Semiotik adalah ilmu tanda yaitu metode analisis untuk mengkaji
tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang di pakai dalam upaya mencari jalan di
dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Kaelan, 2009:162).
Semiotik disebut juga Semiologi atau juga Semasiolog (Martinet, 2010:4). Semiotik
meliputi pengertian yang tidak terbatas pada tanda atau lambang, tetapi lebih dari itu,
yaitu meliputi sistem lambang dan proses-proses perlambangan . Cakupan pengertian
ini mengandung implikasi bahwa ilmu bahasa pun dapat dinamakan ilmu semiotik
(Kaelan, 2010:5).
Semiotik memiliki bidang yang begitu luas. Semiotik tidak saja meliputi ilmu
bahasa dan sastra tetapi juga pada bidang atau aspek lain seperti anthropologi yang
dikembangkan oleh Levi-Strauss (Martinet, 2010:2).
Dalam ilmu sastra, semiotik merupakan perkembangan lebih lanjut dari
strukturalisme. Bahkan istilah semiologi itu sendiri semula berasal dari tokoh pendiri
aliran struktural, yaitu Ferdinand de Saussure. Semiotik digunakan untuk mengacu
pada ilmu pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda. Gagasan
yang sama sebenarnya telah lebih dahulu dikembangkan oleh Charles Sander Peirce
(1839-1914), seorang filsuf kebangsaan Amerika. Hanya karyanya yang berjudul
Semiotics baru sempat diterbitkan kemudian (Kaelan, 2009:193).
18
Faktor pertama yang harus diperhatikan dalam kerangka model semiotik
sastra adalah faktor bahasa itu sendiri sebagai sistem tanda yang kompleks dan
beragam. Bahasa, dalam hal ini, merupakan sistem pembentuk model yang primer,
yang mengikat, baik penulis maupun pembaca, tidak terbatas hanya dalam arti kedua
pihak (penulis dan pembaca) yang harus mengetahui bahasa yang ada dalam karya
sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa itu secara luas
membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut.
Pernyataan seperti ini tidak mengandung arti bahwa bahasa merupakan satu-satunya
kerangka acuan bagi penulis dan pembaca untuk saling mengikat dalam sistem
komunikasi. Untuk dapat memahami sebuah karya (sastra) dengan baik diperlukan
pemahaman sistem konvensi sastra yang melatarbelakangi karya itu. Tanpa
pengetahuan ini pembaca tidak akan memahami hakikat sebuah karya yang
sesungguhnya. Demikian pula halnya bagi penulis karya sastra. Bagi seorang penulis
pun perlu pengetahuan yang mendalam dalam bidang konvensi yang mengatur karya.
Konvensi inilah yang disebut sebagai sistem pembentuk model sastra yang sekunder.
Sistem pembentuk model sekunder ini dibentuk atas dasar sistem primer, yaitu
bahasa. Sistem sekunder ini mengikat, baik penulis maupun pembaca, sebagai bagian
dari anggota masyarakat sastra.
Konsep C.S. Peirce mengenai hubungan antartanda dikenal dengan
”trikotomis”-nya. Maksudnya, ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda
yaitu: tanda itu sendiri (sign), yang ditandai (semacam ground), dan objek. Antara
sign dan apa yang ditandai terdapat suatu hubungan representasi. Unsur dari
19
kenyataan yang diwakili oleh tanda dinamakan "objek" atau denotatum. Denotatum
ini dapat merupakan sesuatu yang konkret. Tanda dan representasi bersama-sama
menuju ke interpretasi (tafsiran). Interpretasi merupakan suatu tanda baru, yaitu
sesuatu yang dibayangkan oleh si penerima tanda bila ia menerima atau mengamati
tanda yang pertama (Kaelan, 2009:196-198).
Peirce menyebut hasil intepretasi tersebut dengan istilah interpretant, yang
bila dikonkretkan dalam bidang analisis karya mencakup ringkasan sebuah teks sastra
serta tafsiran mengenai teks (evaluasi). Dalam penerapan semiotik terhadap ilmu
sastra sering juga digunakan istilah ikonisitas. Oleh Peirce konsep itu diberi tempat
dalam tipologi tandanya. Hubungan antara tanda dengan denotatumnya biasanya
bersifat semena-mena atau berdasarkan konvensi. Peirce dalam hal ini membedakan
tiga kelompok tanda yang ditentukan berdasarkan jenis hubungan antara pembaca
makna dan referensinya:
(1) Ikon, yaitu tanda yang menggunakan kesamaan, atau ciri-ciri bersama dengan
apa yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah
geografis yang digambarkannya. Atau dengan bahasa lain dapat dikatakan, suatu
tanda disebut icon jika ada kemiripan fisik antara keduanya. Misalnya: antara
objek dan fotonya.
(2) Indek, yaitu tanda yang mempunyai kaitan kausalitas dengan apa yang
diwakilinya. Martinet menyamakan tanda indeks dengan sinyal . Misalnya
adanya asap merupakan satu tanda atau sinyal adanya api. Asap dalam hubungan
ini adalah indeksnya/sinyalnya. Dengan kata lain, suatu tanda disebut indeks bila
ada kedekatan (prosemity) fisik (Martinet, 2010: 41-50).
(3) Simbol, yaitu hubungan antara penanda (signifiant) dan yang ditandai (petanda =
signifie) yang tidak bersifat alamiah melainkan bersifat konvensional, didasarkan
kesepakatan masyarakat semata-mata. Jadi tanda disebut simbol atau lambang
jika hubungannya bersifat konvensional (yang harus diterima dalam bagian dari
kebudayaan). Sebagai contoh, mawar merah sebagai tanda cinta kasih ( Pateda,
2001:45-47).
20
Teori semiotik digunakan untuk menganalisis bentuk kebahasaan dan
kesastraan wacana/teks mabebasan. Teks yang digunakan dalam tradisi mabebasan
adalah karya sastra yang di dalamnya terdapat sistem tanda yang bermakna bila
dimaknai oleh pembaca berdasarkan konvensi-konvensi yang ada kaitan dengannya
(Teeuw, 1980:5, Riffeterre, 1979:9, dan Abdullah,1991:9).
Mabebasan sebagai gejala semiotik berada dalam jaringan relasi yang
kompleks dan dinamik dalam arti terus berubah-ubah. Hubungan dinamik yang
bersifat multidemensional terbina dari sejumlah ketegangan yang bersumber pada
model semiotiknya. Penikmat akan menghadapi dinamika demensional yang
digerakkan oleh ketegangan-ketegangan, berupa karya kolektif dalam hubungannya
dengan sistem bahasa, sistem sastra, sistem sosial budaya, niat pencipta, kompetensi
penikmat, dan ketegangan dalam sistem koherensi unsur-unsur struktur karya itu
sendiri. Di sisi lain, ketegangan juga terjadi antara penikmat sebagai individu dan
penikmat sebagai anggota masyarakat (Teew,1984:86).
21
IV ESTETIKA SEBAGAI MOTIVATIVASI PELISANAN DALAM
MABEBASAN DI BALI
4.1 Estetika
Estetika, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu aistheta. Kata
aistheta diturunkan dari dasar kata aisthe (hal-hal yang dapat ditanggapi dengan alat-
alat indra manusia). Aisthe pada umumnya diposisikan dengan noeta, dari akar kata
noin, nous, yang berarti ‘hal-hal yang berkaitan dengan pikiran’ (Ratna, 2007:3-4).
Aisthenoeta kemudian menjadi esthete yang memiliki ari lebih luas, yaitu ‘orang yang
menikmati keindahan’. Esthetics atau aesthetics di dalam bahasa Inggris berarti ‘studi
tentang keindahan’. Aesthetician berarti ‘ahli tentang keindahan, dalam bahasa
Indonesia dipadankan dengan kata estetikus. Sementara itu estetika dipadankan
dengan ‘bidang filsafat yang mempelajari keindahan atau keindahan’(Sadly dkk.
1993:219). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, estetika diartikan sebagai: 1)
‘cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta
tanggapan manusia terhadapnya’; 2) ‘kepekaan terhadap seni dan keindahan’
(Moeliono. 2014;382)
.
4.1.1 Estetika dan Seni
Estetika dan seni masing-masing memiliki makna yang sangat berdekatan dan
berkait sangat erat dengan sastra. Dalam Kamus Istilah Sastra (Panuti Sudjiman,
1984) estetika diartikan sebagai telaah emosi dan pikiran dalam hubungannya dengan
rasa keindahan dalam sastra. Estetika berurusan dengan konsep-konsep tentang
keindahan. Sedangkan sastra diartikan karya, baik lisan maupun tertulis yang
memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam
isi dan ungkapannya.
Dalam menelaah masalah-masalah yang berkait dengan keindahan, estetika
tidak membatasi diri pada masalah keindahan sebagaimana yang terlihat secara
22
konkret (lahiriah) pada karya-karya seni, misalnya pada karya-karya lukisan, patung
dan lain-lain. Tetapi lebih jauh dari itu ingin melihat dan membahas apa yang
tersembunyi di balik gejala tersebut. Sebagai contoh di dalam karya-karya sastra.
Mutu sebuah karya sastra tidak dapat hanya dilihat dari aspek verbal melalui
penggunaan bahasa yang indah-indah seperti dalam sistem persajakan atau pilihan
kata, tetapi ia perlu dilihat secara menyeluruh misalnya dari aspek tema atau amanat
serta aspek struktur pada tataran sistem sastra secara menyeluruh termasuk di
dalamnya aspek nilai (value).
Masalah keindahan (estetika) memang tidak dapat dilepaskan dari masalah
seni (arts) karena keduanya berkait sangat erat. Secara umum kata seni berpadanan
dengan kata indah walaupun pada batas-batas tetentu bila dilakukan pengkajian
secara lebih jauh kedua istilah itu berbeda. Pandangan masyarakat umum cenderung
mengatakan bahwa seorang seniman (artist) adalah penghasil karya seni yang indah-
indah. Tetapi di dalam kenyataannya, tidak selamanya karya seni yang dihasilkan
seniman itu mendapat tanggapan luas dari masyarakat akibat karya seni yang
dihasilkannya kurang menyentuh batin atau perasaan masyarakat. Jadi karya seni itu
berhubungan sangat erat dengan kepekaan ”rasa” seseorang. Anggapan masyarakat
bahwa setiap karya seni yang dihasilkan para seniman itu indah merupakan akibat
dari pengertian yang ditanamkan pada istilah seni itu sendiri : bahwa ciri dari seni itu
adalah keidahan.
Dalam karya sastra tradisional seperti dalam sastra Jawa Kuna jenis kakawin,
para pujangga zaman dahulu (sang kawi) sering menggunakan isitilah lango atau
kalangwan untuk mengacu pada makna keindahan setiap karya kakawin yang
digubahnya. Bahkan dalam beberapa karya kakawin sang kawi secara sadar menyebut
tujuan penggubahan kakawin untuk mengejar keindahan (lango). Untuk mencapai
tujuan dimaksud sang kawi melakukan perjalanan ke segara wukir, melakukan
aktivitas-aktivitas ritual tertentu yang berkait dengan perbuatan keagamaan (yoga dan
semadhi). Dalam aktivitas inilah sang kawi berharap agar dewata yang dipuja
23
(istadewata) berkenan turun memberikan inspirasi agar nantinya berhasil menggubah
karya kakawin. Selama perjalanan sang kawi ke segara wukir tentu berbagai hal telah
dialami dan semua ini menjadi ”pengalaman estetik” yang sangat berharga bagi sang
kawi dalam rangka mewujudkan karya yang digubahnya agar dapat menjadi karya
yang susastra.
Menurut pengakuan Zoetmulder (1983) kata kalangwan atau lango dalam
bahasa Jawa Kuna sangat sulit dicarikan padanannya dalam bahasa-bahasa nusantara
terutama dalam hal konsep yang dikandungnya untuk mengungkapkan pengalaman
estetik bagi seorang kawi selama proses perjalanannya menggubah kakawin sampai
berujud karya yang disebutnya sebagai ”candi pustaka”. Bahkan Zoetmulder secara
lebih jauh mengatakan bahwa tidak ada satu bahasa pun yang dapat menyamai
kekayaan akan istilah-istilah yang dapat digunakan untuk mengungkapkan
pengalaman estetik seperti dalam bahasa Jawa Kuna. Pengalaman estetik serta
keindahan di kalangan para penyair (Jawa Kuna) dianggap sesuatu yang berasal dari
”surga” yang disambut dengan rasa penuh religius. Bahkan menggubah suatu karya
kakawin dianggap sebagai suatu perbuatan keagamaan (Dick Hartoko, 1990: 16).
Karena itu bagi masyarakat : membaca, mempelajari, apalagi mengaktualisasikan
nilai-nilai yang dikandung pada karya-karya sastra kakawin dapat diartikan sudah
mengikuti perbuatan para kawi jaman dahulu. Hal inilah yang perlu dipahamai
masyarakat.
Dalam ilmu sastra hal-hal yang berkait dengan masalah seni atau keindahan
serta bagaimana tanggapan masyarakat terhadapnya dikenal dengan istilah estetika
resepsi atau estetika tanggapan, yaitu estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada
tanggapan-tanggapan atau penerimaan masyarakat atau pembaca terhadap sebuah
karya sastra.
Perhatian akan peran masyarakat atau pembaca terhadap karya sastra
sebenarnya baru muncul sekitar tahun 1960-an ketika Hans Robert Jauss, seorang
24
mahaguru sastra Universitas Konstanz (Jerman Barat) mengemukakan pendapatnya
dalam sebuah artikel yang berjudul ”Sejarah Sastra sebagai Tantangan”.Sebelumnya
para kritikus sastra dalam setiap telaahnya terhadap karya-karya sastra cenderung
berorientasi pada atau memberikan penekanan kepada karya sastra sebagai sesuatu
yang otonom, pengarang serta hubungan karya sastra dengan alam (mimetik).
4.1.2 Kaidah Estetik Karya Sastra
Nilai estetik dalam karya sastra tradisi terutama jenis kakawin menurut
Zoetmulder (l983: 204-217) erat kaitannya dengan perbuatan oga. Bahkan mengarang
kakawin dapat dianggap sebagai suatu perbuatan yoga atau melalkukan latihanlatihan
rohani tertentu. Dalam konteks ini puisi bagi seorang penyair kakawin (kawi) adalah
semacam yoga sedangkan sang kawi sendiri adalah seorang yogi, yaitu orang yang
melakukan latihan rohani tertentu. Dalam pandangan agama Hindu-Jawa, konsep
yoga mengacu pada usaha setiap orang untuk mencapai kesatuan dengan sang
pencipta (dewata). Dengan cara seperti ini setiap orang yang melakukannya akan
dapat mencapai kelepasan, bebas dari rantai ikatan kehidupan.
Bagi pujangga (sang kawi) puisilah yang mejadi sarana utama untuk mencapai
tujuan akhir. Puisi adalah agamanya. Sang Dewa yang ingin ditemukannya menjelma
selaku dewa keindahan. Dewa yang selalu diharapkan hadir lewat yoga yang
dilakukannya agar sang kawi dapat berhasil dalam mengerjakan karya yang akan
digubahnya.
Bagi sang kawi persatuan dengan dewa keindahan sekaligus menjadi jalan
atau sarana dan tujuan. Maksudnya adalah, jalan untuk mencipta karya keindahan,
yaitu kakawin-nya dalam rangka menapai kebebasan ikatan kehidupan. Kakawin juga
merupakan wadah bagi diciptakannya kaidah-kaidah estetika. Wadah yang dengan
kata atau bahasa menjelmakan keindahan agar dapat menjadi wadah bagi Sang Dewa
dan sekaligus sebagai objek pemusatan pikiran, baik bagi sang penciptanya maupun
untuk orang yang membaca atau mendengar kakawin tersebut. Dengan mencipta
25
suatu karya kakawin serta menikmatinya, orang dapat larut di dalam pesona
keindahan yang disebut lango. Kaidah-kaidah estetik seperti ini dalam karya jenis
kakawin dinyatakan di dalam bait-bait pembuka (manggala).
Bagi seorang pujangga kakawin (kawi) menggubah karya kakawin dapat
merupakan petunjuk tentang proses pembacaan serta pemahaman nilai-nilai budaya
termasuk pemahaman pada kaidah-kaidah estetik. Demikian pula dengan membaca
teks kakawin dapat dikatakan telah mengikuti serta mengulangi usaha sang kawi
dalam rangka menyatukan pikiran dengan alam semesta (skala) ke alam niskala untuk
mencapai kesatuan dengan dewa.
Dalam kakawin Arjunawiwaha misalnya, dijumpai kaidah estetik yang
berpusat pada yoga melalui seorang tokoh yang disebutnya sebagai sang paramartha
pandhita. Dalam cerita, tokoh dimaksud diujudkan sebagai ksatria utama Arjuna yang
karena ketekunannya melakukan tapa (yoga) sehingga oleh Dewata Agung yoganya
dianggap sudah sempurna. Dengan kesempurnaan tapanya ini akhirnya Arjuna
berhasil memperoleh apa yang disebutnya sebagai ”pencerahan rohani” (jñana wisesa
atau jñana siddhi) yang dapat membangkitkan kebahagiaan yang melebihi
kenikmatan sanggama (sukaning samagama). Demikian pula dengan sempurnanya
tapa Arjuna akhirnya ia berhasil mencapai atau meperoleh anugrah Sang Dewa
berupa senjata sakti sebagaimana yang menjadi misi utama tapanya.
4.2 Estetika dalam Mabebasan
Mabebasan merupakan cabang seni khususnya seni suara, dan seni sastra.
Sebagai cabang seni tentu saja estetika merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
mabebasan. Nilai estetika sebagai seni presentasional, terutama dalam bidang sastra
lebih menonjol dibandingkan dengan estetika yang ada dalam bidang nonsastra.
Dalam bidang sastra, nilai estetik bisa ditemukan secara jelas melalui bahasa. Dalam
bidang seni suara, nilai estetik bisa dijumpai lewat alunan merdu nyanyian yang
26
dilagukan lewat suara. Perpaduan ini melahirkan mabebasan sebagai cabang seni
yang sangat estetik atau estetik yang bernilai tinggi.
Mabebasan sebagai cabang seni yang bernilai tinggi, yang menggunakan
bahasa sebagai media pengantarnya, tentu saja akan saling mengait dengan nilai
etika. Bahkan, nilai etika sering lebih menonjol dibandingkan dengan nilai estetika.
Alasannya karena nilai etika lebih mudah dideteksi dan dipahami dari pada nilai
estetika. Perpaduan antara estetika dan etika yang yang terkandung dalam sastra lebih
sering dibicarakan dibanding estetika yang ada di dalam nonsastra (Ratna, 2007:204).
Pembicaraan mengenai estetika yang ada di dalam dunia sastra, tidak bisa dilepaskan
dengan bahasa yang mengisi lirik-lirik lagu tersebut. Lirik-lirik lagu yang
menggunakan bahasa disebut estetik bila di dalamnya terkandung permainan bunyi,
permainan kata dan gaya bahasa. Gaya bahasa sebagai salah satu unsur keindahan
atau estetika di dalam mabebasan mengandung unsur-unsur stilistika. Untuk
memahaminya tentu saja diperlukan pemahaman tentang dasar-dasar stilistika sastra
yang sangat beragam. Sebab, sastra memiliki keberbedaan dengan seni-seňni lain
seperti seni lukis, seni ukir, dan sejenisnya. Dalam sastra, bahasalah merupakan
medium utama penyampai estetikanya.
Mabebasan yang tergolong ke dalam seni tradisional, mencakup kakawin,
parwa, kidung dan geguritan memiliki ciri gaya atau stilistika tersendiri yang tentu
saja berbeda dengan stilistika yang ada dalam seni-seni modern seperti cerpen, puisi,
lagu pop, dangdut, dan sejenisnya. Alasan ini merupakan nilai tersendiri, mengapa
mabebasan masih digemari di Bali sampai saat ini. Kandungan nilai estetik dan etika
merupakan faktor penyebabnya. Kemudian timbul pertanyaan, “dimana letak nilai
estetiknya?”. Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan penjelasan mengenai
stilistika yang ada dalam dunia puisi tradisional seperti kakawin, kidung dan
geguritan yang digunakan dalam dunia mabebasan, sebagai seni sastra tradisional.
Stilistika dalam mabebasan dikenal dengan nama alamkara.
27
4.2.1 Stilistika/alamkara
Stilistika merupakan ilmu atau studi tentang stil ( style ). Dalam dunia sastra,
styl berarti ‘suatu cara yang bersifat khusus atau khas, yang digunakan dalam
mengungkap sesuatu’. Ratna menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan stilistika
dan stil, ada istilah lain yang dalam proses analisis memegang peranan besar seperti
majas. Majas sering kurang mendapat perhatian di bandingkan dengan stilistika.
Majas tidak lain adalah persamaan atau kiasan, yang diambil dari kosa kata dalam
bahasa Yunani yaitu kata trope, dan dalam bahasa Inggris disamakan dengan figure
of speech (Ratna, 2009:3)
Majas (figura of speech) merupakan bahasa atau kode yang indah untuk
meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan atau
memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang
lebih umum. Pemakaian majas tertentu dapat mengubah atau menimbulkan nilai rasa
atau konotasi tertentu. (Dale, 1971:162; Warriner, l977:602) menyebutkan bahwa
majas (figurative language) adalah bahasa yang digunakan secara imajinatif, bukan
dalam pengertian yang benar-benar secara alamiah saja.
Kedua pendapat di atas bermakna sama, yaitu menyatakan bahwa majas
adalah bahasa kias atau figurative language, atau bahasa yang indah yang digunakan
untuk menghaluskan atau meninggikan efek dengan cara memperkenalkan dan
memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda lain atau hal lain
yang lebih umum.
Majas dapat dibedakan menjadi empat jenis seperti : majas perbandingan,
majas pertautan, majas pertentangan, dan majas perulangan (Tarigan, 1990: 113).
Majas yang paling banyak dikenal, baik dalam masyarakat pada umumnya, maupun
dalam bidang pendidikan, adalah: majas penegasan, majas perbandingan, majas
pertentangan dan majas sindiran. Majas ini merupakan penunjang gaya bahasa. Istilah
lain yang sering muncul dalam kaitannya dengan gaya bahasa adalahi seni bahasa,
estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa.
28
Di dalam dunia puisi klasik seperti kakawin, kidung, dan geguritan istilah-
istilah di atas dapat disamakan dengan alamkara. Untuk itu, dalam kajian estetika di
dalam mabebasan difokuskan pada Alamkara.
Alamkara dalam dunia kakawin sudah sering dibicarakan. Hooykaas dalam
“Stilistic Figures in Old Javanese Rȃmȃyana Kakawin” (1958), termuat dalam JOI 7,
( Vol:3), pp 135-157, dan “Four Line Yamaka in the Old Javanese Rȃmȃyana” yang
termuat dalam JRAS, pp 122-138. Kemudian alamkara berturut-turut dibicarakan
pula dalam tulisan S. Supomo, Arjuna Wijaya a Kakawin of Mpu Tantular (1967),
Nengah Medera dalam “Canda Sebuah Analisis Metrum Kakawin Jawa Kuna”
(1978), Nyoman Suarka dalam Telaah Sastra Kakawin (2009), dn I Nyoman
Sukartha (2015) dalam disertasinya yang berjudul “Kelisanan Dalam Mabebasan Di
Bali”.
Alamkara atau alangkara, alȇngkara, langkara atau lȇngkara diartikan
sebagai: ‘hiasan, dekorasi, hiasan-hiasan gaya, bahasa artistik, bahasa yang berbelit-
belit ( terlalu dibuat-buat), sesuatu yang menakjubkan atau mempesona, dan bentuk
yang fantastik (Hooykaas,1958:34).
Alamkara dibedakan menjadi dua yaitu: sabdhalamkara dan arthalamkara.
Permainan bunyi bahasa di dalam kakawin disebut sabdhȃlamkara, sedangkan
permainan arti kata di dalam kakawin disebut arthȃlamkara. Kandungan nilai estetik
seperti alamkara ini merupakan salah satu faktor penyebab tertariknya orang untuk
mempelajari kakawin dalam mabebasan. Alamkara dapat disamakan dengan majas
(figure of speech). Di dalamnya terkandung nilai-nilai estetik yang sangat tinggi.
Alamkara merupakan still atau stilistik yang khusus ada di dalam kakawin. Inilah
secara tidak langsung mengikabtkan lestarinya seni mabebasan sampai saat ini.
Adanya stilistika dalam wujud alamkara ini menarik minat orang untuk mempelajari
dan bahkan menghafalkan ( meresitasi atau mememorisasi) bait-bait
kakawinkarenasangat indah untuk didengar, dinikmati melalui rasa dan pikiran.
Terlebih lagi bila penembang kakawin memiliki suara merdu, sehingga menggelitik
perasaan dan pikiran orang untuk belajar menembang, belajar menghafal dan belajar
29
bahasanya termasuk memahami isinya. Singkatnya, alamkara lebih cocok
dibicarakan dalam kesempatan ini dibandingkan dengan jenis estetika lain seperti
majas dan sejenisnya. Di sisi lain, tentunya demi menghindari ketumpangtindihan
uraian.
4.2.2 Sabdhȃlamkara.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa sabdhȃlamkara berarti permainan bunyi
dalam kakawin. Permainan bunyi atau sabdhȃlamkara ini dibedakan menjadi dua
yaitu: anuprasa dan yamaka (Hooykaas,1958: 36).
1) Anuprasa
Anuprasa berarti permainan bunyi berupa asonansi (permainan bunyi vokal),
dan aliterasi (permainan konsonan). Permainan bunyi yang dimaksud berupa
pengulangan vokal atau konsonan secara teratur sehingga menciptakan suatu gaya
(stillistika) yang estetik. Anuprasa sangat banyak ditemukan di dalam kakawin,
terutama dalam kakawin Rȃmȃyana, Arjuna Wiwaha, Kangsȃyana, Sutasoma,
Naraka Wijaya dan masih banyak kawin lainnya. Contoh wacana bait kakawin yang
mengandung anuprasa dapat dilihat pada kutipan kakawin di bawah ini.
Contoh (1):
Tandwȃn rangkȇp patangkȇp kiwa tȇngȇn apagut nandhang tinandhang,
Maprȇp kaprȇp silih prȇp mamalu ya pinalu lyan manȇmbung tinȇmbung,
Manggyat ginyat silih gyat pinupuh hana mupuh wira nampyal tinampyal,
Kapwa ngrangkal rinangkal pkul ika mamȇkul mwang manandhȇm pinandhêm.
(Kakawin Kangsayana, XX:14)
Terjemahannya:
Lalu lengkaplah saling berhadapan, kiri-kanan berperang sengit saling tendang.
Bergumul saling peluk saling tindih, saling pukul dan lain lagi yang saling bentur.
Serang menyerang, saling terjang, saling pukul, dengan gagahnya saling tendang.
Ada yang memelintir, dipelintir , saling gulat dan saling lempar.
30
Dalam kutipan di atas, terdapat vokal a, ȇ, u dan konsonan k, l, m, r, p, n, t
dan konsonan y, pada suku kata yang bergaris bawah di atas, diulang-ulang.
Tujuannya tentu saja untuk memenuhi nilai estetika. Gaya estetik seperti ini banyak
dijumpai di dalam kakawin.
Contoh (2):
a) Angganȃhuwus asanggama yȃnglih,
sȃkapus ni gȇlungnya ya mȍre,
rȃmya komala mukanya ya somya,
mangkanekana wulatnya ya mȍlȇm (KRY,12,28)
b) Nȃ halista malaris ya larasta,
mwang matanta taji tulya tajȇm ya,
len hidȇp ta mahalȇp helaran ya,
nȃ cȇlȇk ta ya upas upaman ya. (KRY,12,38).
c) Nȃga-pȃṡa talinganta ya ling ku,
bhȗsana yacuni yeka culanya,
nitya kȃla sumirat ya sȇnȍnya,
nȃ wisanya kapisan syaku denya (KRY,12:40)
Terjemahan:
a) Setelah bersenggama (si wanita) lalu lunglai.
Gelung rambutnya lepas terurai.
Wajahnya tenang berseri bagai berlian.
Begitu jua pandang matanya yang sayu terpejam.
b) Demikianlah alismu yang tajam bagai busur.
Matamu yang tajam ibaratnya bagai taji.
Lain lagi bulu matamu lentik bagai anak panahnya.
Demikian pula cilak matamu ibarat racun.
c) Kukatakan bahwa telingamu bagaikan Nagapasa.
Perhiasan permatanya bagaikan culanya.
Senantiasa memancarkan sinar bagai cahayanya.
Bagai racunya yang seketika mematikanku.
31
Keterangan:
Dalam ketiga bait kutipan di atas terkandung nilai estetika berupa asonansi
dan aliterasi. Pada bait 1 baris 1 (ngambilang), terdapat asonansi vokal ȃ yang
diulang sebanyak 2 kali. Sementara itu nasal ng diulang 3 kali. Pada baris 2
(mingsalah) terdapat permainan semi vokal y . Juga pada baris 3 (ngumbang) dan
baris 4 (memada), terdapat permainan y. Semi vokal y diulang sebanyak 9 kali dalam
satu bait tersebut.
Dalam bait 2, baris 1 (ngambilang/pangawit), terdapat permainan konsonan s.
yang diulang sebanyak 3 kali. Pada baris 2 (mingsalah) terdapat permainan
konsonan t. Konsonan t diulang sebanyak 5 kali. Pada baris 3 (Ngumbang), terdapat
asonansi atau permainan bunyi ȇ sebanyak 3 kali.
Dalam bait 3, baris 1 (ngambilang) terdapat permainan konsonan ng (2 kali)
dan vokal ȃ (2 kali). Baris 2 (mingsalah) terdapat permainan konsonan c (2 kali).
Baris 3 (ngumbang) dan baris 4 (mamada), terdapat permainan bunyi y dan a (5
kali).
Demikianlah asonansi dan aliterasi banyak terdapat dalam kakawin. Asonansi
dan aliterasi ini membangun estetika yang bernilai tinggi. Hal itu merupakan salah
satu penyebab orang senang mempelajari dan menghafalkan teks mabebasan. Lebih-
lebih lagi bila bait-bait kakawin itu mempunyai keterkaitan dengan fungsi dan
maknanya di dalam upacara adat keagamaan.
2) Yamaka
Yamaka merupakan bangun hiasan yang ada di dalam bait kakawin, tersusun
secara sistematis dengan memakai suku kata (silabel) atau kata-kata. Suku kata atau
kata yang digunakan membangun keindahan/estetika itu dimunculkan berulang-
ulang. Adanya unsur pengulangan ini maka Yamaka dapat disamakan dengan majas
perulangan. Perulangannya bisa berupa silabel/suku kata atau kata, yang ditempatkan
pada awal baris, di tengah-tengah baris, di belakang baris, bahkan juga bisa diulang
pada baris berikutnya. Pengulangan silabel atau kata dimaksud bisa memiliki sama
32
(bersinonim), dan bisa juga berarti berbeda. Pengulangan inilah yang membangun
nilai estetik dalam bait-bait kakawin.
Yamaka dalam puisi India Bhatikȃvya digunakan untuk menerangkan tata
bahasa Sanskerta dan contoh-contoh ilmu puisi Sanskerta. Dalam puisi Sanskerta
Yamaka banyaknya 20 jenis (Hooykaas, 1958:58). Namun dalam kakawin Jawa Kuna
Yamaka hanya ada 5 jenis saja. Kelima Yamaka yang dimaksud adalah: (1) Kanci
yamaka, (2) Puspa yamaka, (3) Padȃdyanta Yamaka, (4) Padanta yamaka, dan (5)
Wrȇnta yamaka.
(1) Kanci yamaka
Kanci yamaka dimaksudkan adalah adanya pengulangan suku kata atau
kata yang terletak pada akhir baris, kemudian kata itu diulang pada awal baris
berikutnya. Pengulangannya juga bisa terjadi pada akhir baris ke-4 suatu bait
kakawin, dan diulang sebagai suku kata pertama baris 1, bait berikutnya.
Contoh a)
(a) Wirȗpaksȃpaksȃkȇmita ri dalȇm ni ng pura wara.
Warah tȇka rowangnira ya masukȃtunggwa wa-tangan.
Tangan-ti ngke tunggwa twawa sahana ni ng ȃyudha kabeh.
Kabeh ika ng tȇka ta ya malaywan pinanahan (KRY 19,35).
(b) Nahan ling sang mantri ri balanira sigrhan tama ta ya.
Ta yȃnung tn sangkȇp sama-sama rȇgȇp sakti na tahȇn.
Tahȇntyan sakweh tȃt tama kita kabeh lingnya mangatag.
Atag teka ng wadwa ya ta kakurutug rodra gumuruh (KRY,19,36).
(c) Murub krodhanyȃgyȃ misanana ikang wȃnara bala.
Balȃtkara krurȃnggȇtȇm angikikan bhīsana mangang.
Mangarȇmbȃmbȇknyȃmȇjahana sira ng Rȃmawijaya.
Jayȃtah ling nyȃpan guragada mȃha mȗrkka satata (KRY,19:37).
(d) Tatan wruh yan bhrastȃtuwi sakula gotranya hilanga.
Hilang sandehanyȃn pamulati gagak len asu asang.
Asangkyȃ purwweki n tȇka muni humung lwirnya magirang.
Girangnyȃn mȃtyekang kalajana watȇk rȃksasa kabeh (KRY, 19:38)
33
Terjemahan:
(a) Sang Wirupaksa berniat berjaga di dalam istana.
Ia memerintah pasukannya agar masuk ke dalam menjaga paseban.
Kamu semua menjaga disini dan semua membawa senjata.
Semua musuh yang datang berlarian, panahlah.
(b) Begitulah perintah si patih kepada pasukannya dan mereka segera masuk.
Tidak ada yang tidak siap semua sama-sama bersenjata lengkap siap jaga.
Kamu semua harus segera masuk, begitulah perintahnya memanggil.
Setelah diperintah seperti itu, seluruh pasukannya bersorak gemuruh.
(c) Amarahnya berkobar ingin segera membunuh bala tentara kera.
Garang jingkrak-jingkrak, marah, berkikikan menganga mengerikan.
Tekadnya bulat akan membunuh beliau si Ramawijaya.
“Pastilah menang”, kata mereka disebabkan tabiat sombong dan angkuh.
(d) Mereka tidak tahu akan hancur sampai seluruh keluarganya musnah.
Lenyaplah keraguannya ketika melihat datangnya gagak dan srigala.
Yang datang tiada terhitung, melolong riuh rendah bagai kegirangan.
Senang akan matinya seluruh manusia jahat dan para raksasa semua.
Penjelasan:
Kata wara merupakan kata terakhir pada baris satu, bait a. Kata wara diulang
menjadi warah sebagai kata pertama pada baris kedua. Suku kata -tangan pada kata
watangan merupakan suku kata terakhir baris kedua yang digunakan sebagai suku
kata pertama pada baris ketiga, menjadi tangan-ti. Kata kabeh yang merupakan kata
terrakhir baris ketiga diulang menjadi kata pertama pada baris keempat. Selanjutnya,
suku kata -nahan dalam kata pinanahan, yang terletak sebagai suku terakhir baris
keempat bait a, diulang menjadi kata pertama baris kesatu bait berikutnya yaitu bait
b. Begitulah seterusnya hingga bait d (perhatikan kata atau suku kata yang bergaris
bawah) terjadi pengulangan yang disebut dengan istilah Kanci yamaka. Bentuk Kanci
yamaka seperti ini sangat disenangi oleh para pelaku mabebasan. Hal ini disebabkan
oleh adanya pengulangan suku kata atau kata, yang akan memudahkan untuk
mengingat atau menghafalkannya sebagai langkah memorisasi.
Kanci Yamaka yang sangat populer dalam mabebasan adalah wirama
Wangsastha atau Swandewi yang bersumber pada Kakawain Ramayana (KRy23:81).
34
Hal itu terbukti dengan seringnya bait-bait tersebut digunakan sebagai pengiring
upacara Manusa Yadnya dan Pitra Yadnya.
Contoh b)
(a) Prihȇn tȇmȇn dharma dhumȃrana ng sarȃt.
Sarȃga sang sȃdhu sireka tȗt-tana
Tan a-rtha tan kȃma pidonya tan yaṡa
ya sa-kti sang sajjana dharma raksaka.
(b) Sakȃ nika ng rȃt kita yan wȇnang manȗt
Manȗ padeṡa prihatah rumakṣaya
Kṣayȃ nikang pȃpa nahan prayojana
. Janȃ nuragȃdi tuwin kapangguha.
(c) Guhȃ pȇtȇng tang mada moha kaṡmala
malȃdiyolanya magȍng mahȃ wiṣa
Wisȃ-ta sang wruh rikanang jurang kali
Kalīnganing ṡȃstra suluh nikang prabha.
(d) Prabhȃ nikang jňȃna susīla dharma weh
Maweh kasiddhyan pada mukti nirmala
Malȃmilȇ tan pamatuk makin maring
Maring wiṡesȃng yaṡa siddha tȃpasa.
(e) Pasa ng putih tulya nikang malȃngliput
Luput sira ng sȃdhuyakȇn pasang tuju
Tuju ng suka ngke mamunuh taman mulih
Mulih sireng mokṣa lȇpas rika ng mulik
(f) Mulik patȗtning aji nȃgawenira
Nirȃntarȃweh hayu dharma ring para
Parȃrtha tan len juga donireng jagat
Jagat ndȇngȃ sȃjar-ajar nireng hayu.
Terjemahan:
(a) Utamakanlah kebenaran dalam mengayomi negara
Kegemaran orang salehlah yang patut diteladani
Tujuannya bukan harta, bukan hawa nafsu dan bukan ketenaran
Keberhasilan orang bijak karena selalu berpegang pada kebenaran hakiki.
(b) Engkau akan menjadi tiang Negara dan wajib diteladani
35
Cari dan berpeganglah pada ajaran agama
Tujuannya untuk membahagiakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa
Kesetiaan rakyat pasti akan engkau temukan.
(c) Kecerobohan, kebingungan, dan sikap jahat bagai gua gelap gulita.
Sifat sangat jahat bagai ular besar yang sangat berbisa.
Orang pandai selalu bersikap tenang walau tahu akan saat ajal tiba.
Pada dasarnya pengetahuan itu bagai pelita yang menerangi.
(d) Prabawa pengetahuan kebajikan itu akan memberikan kebenaran.
Akan memberikan keberhasilan dan menikmati kesucian.
Noda yang menyelimuti akan melemah dan tidak bereaksi.
Gampang mengamalkan kebajikan makanya disebut pertapa agung.
(e) Noda yang menyelimuti batin itu bagai jebakan.
Orang saleh pasti terhindar karena mampu menolak noda itu.
Bila tujuannya hanya mengumbar nafsu, membunuh, ia takan moksa.
Kembali ke alam nirwana/moksa tanpa pamrih.
(f) Kewajibanmu menekuni kebenaran pengetahuan.
Tiada henti memberi keselamatan bangsa berlandaskan kasih saying.
Tujuannya hanyalah menciptakan kebahagiaan masyarakat.
Meraka akan tekun mengikuti semua petuahmu mengenai kebaikan.
Penjelasan:
Suku kata atau kata yang bergaris bawah pada kutipan di atas, menandakan
adanya pengulangan. Pengulangan terjadi pada setiap baris dan bahkan melampaui
batas bait. Maksudnya, bangun kanci yamaka terdapat pada suku kata terakhir bait 1,
diulang pada suku kata/kata pertama bait 2, begitu seterusnya.
Bait-bait kutipan di atas amat terkenal pada masyarakat pelaku mabebasan.
Hampir setiap pelaku mabebasan hafal akan teks kakawin yang bersumber dari KRY
ini. Alasannya adalah, karena teks kakawin ini mengandung ajaran mulia yang bisa
dijadikan bekal bagi mereka yang akan memimpin, dan juga dipercaya berguna
untuk bekal menuju surga (moksa) bagi roh orang yang meninggal dunia.
36
(2) Puspa Yamaka
Puspa Yamaka adalah suatu bangun puisi atau kakawin, yang suku kata
terakhir setiap barisnya memiliki vokal sama. Maksudnya adalah vokal suku kata
pada silabel atau suku kata terakhir seluruh barisnya sama. Vokal suku kata terakhir
dapat disamakan dengan sajak akhir. Bentuk ini mirip dengan syair dalam sastra
modern yang sajaknya a, a, a, a.
Contoh
(a) Makulilingan ring talaga kabeh-nya
Pada mamupak pangkaja sahana-nya
Sulur inalapnyȃmȇng-amȇnga do-nya
Pada masȇkar keṡara rinuru-nya.(KRY,17:130)
(b) Lawan hana sibit silitnya dini-kung
Wawang kasuluyung tiba kasidi-kung
Gulunya kapȇluk awaknya maku-kung
Gadungnyan aputih tikel kadi ba-kung (KRY, 19:122)
Terjemahan
(a) Semuanya mengelilingi kolam.
Semuanya memetik bunga teratai seadanya.
Tangkai bunga dipetik dengan tujuan digunakan untuk bermain-main
Semua sama-sama berbunga benang sari yang telah jatuh.
(b) Dan ada yang sobek pantatnya ditekuk
gelagapan sempoyongan lalu jatuh tengkurap
Lehernya dipeluk badannya melengkung
Gadungnya yang putih patah seperti bunga bakung.
Penjelasan:
Pada kedua bait kutipan di atas terlihat jelas bahwa masing-masing bait
memiliki silabel akhir yang sama. Bait 1 memiliki silabel akhir yang keempat
barisnya adalah –nya, dan bait 2 keempat barisnya memiliki silabel akhir –kung.
37
(3) Padȃdyanta Yamaka
Padȃdyanta Yamaka dimaksudkan adalah, bangun kakawin yang berisi
pengulangan silabel/kata pada silabel/kata pertama pada keempat barisnya.
Pengulangan ini kadang-kadang kelihatan seperti dwipurwa. Untuk jelasnya dapat
dilihat pada bait kakawin di bawah ini.
Contoh:
(a) Tuhu-tuhu dewī wangṡaja manulus
Sari-sari tan len mȃnawa winuwus
Duga-duga datȃ sȃdhu sira putus
Tan alang-alang wadwa ri sira huwus.
(b) Madulur-dulur yȃrumpukan asana
Ma-ng idung-ngidung yȃcangkrama
Ma-turu-turȗ ron don pinaka tilam
Tumȇnga-tȇnga ring candra wilasita.
Terjemahan:
(a) Betul-betul keturunan bangsawan sempurna.
Setiap hari tidak lain hanya ajaran agama yang dibicarakan.
Jujur, pemurah, suci dan ahli
Bukan kepalang para pembantunya tunduk akan perintahnya.
(b) Beriring-iring mereka bersumpangkan bunga angsana
Bernyanyi-nyanyi bercengkrama bergembira
Tidur-tiduran dengan beralaskan kasur dedaunan
Menengadah memandang cahaya bulan dengan senang.
Penjelasan:
Dalam kutipan bait-bait kakawin di atas terlihat adanya pengulangan kata
awal (pertama) pada seluruh barisnya. Pengulangan kata yang dimaksud seperti:
tuhu-tuhu, sari-sari, duga-duga, alang-alang (bait a), dan madulur-dulur,
mangidung-ngidung, maturu-turu, dan tumȇnga-tȇnga (bait b). Jadi kelihatan seperti
kata berulang. Di samping itu dalam bait a terdapat pula pengulangan silabel/suku
kata pada akhir baris. Suku kata yang diulang adalah suku kata –us pada baris ke-
satu diulang pada akhir baris ke-dua, ke-tiga, dan ke-empat.
38
(4) Padanta Yamaka
Padanta Yamaka adalah bangun kakawin yang memiliki pengulangan silabel
atau kata pada bagian akhir setiap barisnya.
Contoh:
Wȇruh sire naya nikȃng inuli-ulih
Sȃri-sȃri ni ng ujar iningȇt-ingȇt
Buddhi pȗrwaka huwus mangangȇn-angȇn
Yar sahur kadi swara gȇrȇh matȇrȇh.
Terjemahan:
Beliau tahu rahasia yang dibicarakan.
Intisari yang dibicarakan diingat-ingat.
Yang menyebabkan orang sadar sudah dipikirkan.
Lalu berkata dengan teriakan bagai suara guruh.
Penjelasan:
Melihat kutipan bait kakawin di atas dapat diketahui bahwa setiap baris yang
ada dalam bait kakawin tersebut memiliki pengulangan silabel atau kata pada bagian
akhir barisnya.
(5) Wrȇnta Yamaka
Wrȇnta Yamaka adalah bait kakawin yang memiliki persamaan silabel atau
kata pada awal keempat barisnya. Maksudnya adalah, silabel atau kata awal baris ke-
satu digunakan sebagai silabel atau kata awal baris kedua. Begitu seterusnya hingga
bait ke-empat.
Contoh:
Mandȃra ramya sumȇkar kadi sampun ahyas
Manda-ng angin ta ya tumȗb ya tȇbȇng ta molah
Manda-ng ulah juga kadi pwa masȍ manungsung
Mandonining bramara mattakȇn ujarnya.
Terjemahan:
Gunung Mandara bagai berhias indah pohon yang sedang berbunga.
Angin berhembus perlahan tiada henti menyebabkan pohon bergerak.
Gerakannya pelan bagaikan datang menyongsong.
Suara lembut si kumbang mabuk bagai tegur sapanya.
39
Penjelasan:
Dalam bait kakawin di atas terdapat pengulangan kata manda pada silabel
permulaan setiap barinya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa keempat barisnya
dimulai dengan silabel yang sama yaitu kata manda. Kesamaan silabel/kata pada
permulaan setiap baris dalam bait-bait kakawin disebut dengan istilah Wrȇnta
Yamaka.
4.1.3.4 Arthȃlamkara
Arthȃlamkara adalah permainan makna/arti kata dalam kakawin. Permainan
makna kata ini bertujuan untuk menambah daya estetik kakawin. Bentuk ini dapat
disamakan dengan gaya bahasa ataupun majas dalam dunia semantik. Arthȃlamkara
bisa dibedakan menjadi 16 jenis seperti: rupaka, rupakabhyadika, wyatireka, sleṡa,
upareksa, wibhawana, atisayokti, warta, yatha sangkawa, wirodha, ninda stuti,
nidarsana, wisosekti, arthȃntarȃnyasa, upȃnyasa, ananwaya. Agar diperoleh
pemahaman yang lebih jelas, perhatikan contoh-contoh berikut.
1) Rupaka
Rupaka adalah permainan makna kata dengan menggunakan perbandingan.
Rupaka dapat disamakan dengan majas perbandingan di dalam semantik. Kata-kata
yang digunakan sebagai adanya ciri perbandingan seperti; kadi, lwir, tulya, akȇn,
upama, kaharan, tuwi, padanya/padanira, atmaka/satmaka, dan pinaka.
Contoh:
a) Kadi megha manghudanakȇn.
Padanira yarwehakȇn ikang dana.
Dīnȃndha krȇpana ya wineh.
Nguni-nguni danghyang dangȃcȃrya (KRY,1:5)
b) Saphala sira raksakeng rȃt,
Tuwi sira mitra hyang Indra bakti tȇmȇn.
Maheṡwara ta sira lanȃ,
Ṧiwa bhakti ginȍng lanȃ ginawe (KRY,1:7)
40
Terjemahan:
a) Bagai mendung yang menyebabkan hujan.
Persamaan beliau manakala memberi sedekah.
Orang sengsara, orang hina, orang buta yang diberi.
Lebih-lebih lagi pada orang suci dan pendeta.
b) Berhasillah beliau memerintah Negara.
Betul-betul beliau sahabat dewa Indra sangat bakti.
Penganut Maheswaralah beliau senantiasa.
Dewa Siwa yang selalu diusahakan untuk dipuja.
Dalam kedua bait kutipan di atas terlihat adanya unsur perbandingan dengan
menyamakan atau memperbandingkan. Persamaan yang dimaksud seperti
mengumpamakan Raja Dasaratha yang disamakan dengan mendung. Dasaratha
diibaratkan sebagai mendung yang akan mengakibatkan hujan. Begitulah
persamaannya ketika beliau memberikan sedekah kepada para fakir miskin, orang
sengsara, orang buta, lebih-lebih lagi kepada orang suci dan pendeta (bait a). Pada
bait b, Dasaratha dianggap berhasil/sukses dalam memerintah negara. Keberhasilan
beliau mengayomi rakyatnya itulah yang menyebabkan beliau dianggap sebagai
sahabat Dewa Indra. Beliau juga merupakan penganut Siwaistis karena selalu
memuja Dewa Siwa.
2) Upareksa
Upareksa adalah gaya bahasa dengan pemakaian kata-kata yang mengandung
makna/arti yang berbeda bahkan bisa berlawanan atau berbalasan. Gaya ini dapat
disamakan dengan paradoks atau majas pertentangan.
Contoh:
Tandwa rangkȇp patangkȇp kiwa tȇngȇn apagut ramya tandhang –tinandhang.
Maprȇp kaprȇp silih prȇp mamalu ya pinalu lyan manȇbung tinȇmbung.
Manggyat ginyat silih gyat pinupuh hana mupuh wira nampyal tinampyal.
Kapwa rangkal rinangkal pȇkul ika mamȇkul mwang mamandhȇm pinandhem.
(KRY,XX:14)
41
Terjemahan:
Setelah lengkap berhadap-hadapanlah barisannya, kiri-kanan bertempur
dengan sengit, saling tendang-menendang.
Saling peluk, saling gulat, ada yang memukul lalu ia dipukul, lain lagi yang
saling bentur.
Ada yang menarik lalu ditarik, saling tarik, dipukul, ditampar, dan ada yang
dengan gagah saling tendang menendang.
Ada yang saling piting, saling rangkul, dan ada yang membanting lalu
dibanting.
Dalam bait di atas digunakan gaya bahasa dengan pemakaian kata-kata yang
sama, namun bertentangan maknanya (berbalasan) karena adanya unsur afiksasi.
Kata-kata yang dimaksud seperti kata-kata yang bergaris bawah pada kutipan bait
kakawin di atas.
Contoh lain dapat disbutkan seperti di bawah ini.
Prapaňca pracacah paňca,
Pracacad pocapan cêcêd,
Prapêngpêng pipi pucche pŗêm,
Pracongcong sêt pacêh-pacêh (Riana,2009:452).
Terjemahan;
Pikiran bingung porak-poranda dalam kegelisahan
Pasti akan dicela dan diremehkan secara kritis
Pipi sembab dan wajah jelek dengan mata sipit
Lena termenung lalu mendadak tertawa terbahak-bahak.
3) Slesa
Slesa ialah estetika bahasa/gaya bahasa dalam kakawin dengan kata-kata yang
sama tetapi memiliki makna yang berbeda. Gaya ini sama dengan gaya bahasa yang
tergolong majas paronomasia.
Contoh:
Sapaṡila nikanang wwil kapwa tȇka mapangkat
Matutur i paṡilanyȃtyatanta tȗtȗt ring ȃjňȃ
Pranata matakut atwang tan hanȃngambah ambah
Dumunung i paṡilanyȃnung yathȃsambhawȃtah (KRY,XII:49)
42
Terjemahan:
.
Kera-kera duduk bersila semua, berudakan sesuai jabatannya.
Bercerita tentang perilakunya yang sangat patuh pada perintah.
Sangat hormat, takut, tunduk tidak ada yang berbuat onar.
Menuju batu datar yang menjadi tempat duduk sesuai dengan jabatannya.
Dalam bait kakawin di atas terdapat gaya bahasa dengan pemakaian kata
paṡila sebanyak 3 kali. Kata paṡila merupakan bentukan dari dasar kata ṡila. Kata
ṡila mendapat prefiks pa-, menjadi kata paṡila. Makna kata paṡila adalah ‘sikap
duduk, perilaku dan tempat duduk berupa batu datar’. Jadi, di dalamnya terdapat
permainan kata yang sama namun maknanya berbeda.
4) Wyatireka
Wyatireka adalah gaya bahasa dengan membesar-besarkan atau melebih-
lebihkan sifat atau keadaan suatu objek yang dibicarakan. Gaya bahasa ini dapat
disamakan dengan majas hiperbola.
Contoh a)
Ong nȃthȃya namostute stutini ng atpada ri pada bhatara nityaṡa
Sang suksmeng tȇlȇnging samȃdhi ṡiwa Buddha sira sakala niskalȃtmaka
Sang srī parwwata nȃtha nȃtha ni ng ng nȃtha sira ta pati ni ng jagatpati
Sang hyang ni ng hyang inisty acintya ni ng acintya hana waya tȇmah nireng
jagat (KNKG,I,1) (Riana,2009:51)
Terjemahan:
Ya Tuhan, sembah hamba si hina ke hadapan duli Bhatara senantiasa.
Engkau tersembunyi di dalam samadi, Siwa Buda Engkau, perwujudan nyata
dan taknyata.
Dewa Raja Gunung, Raja Diraja, Engkau pemimpin para pemimpin dunia.
Dewa sekalian para Dewa, yang terpikirkan bagai rahasia dari segala rahasia,
tetapi berwujud nyata di dunia.
43
Di dalam bait kakawin di atas, terdapat gaya bahasa melebih-lebihkan atau
meninggikan suatu objek (hiperbola). Tuhan dikatakan berwujud sangat rahasia, dan
bersemayam di dalam samadi (keheningan). Beliau merupakan raja dari sekalian para
dewa, dan para pemimpin dunia. Paling tidak zat tertinggi itu tidak
terpikirkankarenabersifat rahasia, namun nyata-nyata ada di dunia. Jadi ada unsur
pengagungan yang berlebihan, walaupun kenyataannya objek itu tidak terlihat dan
tidak terpikirkan, tetapi uhan Tdiyakini ada secara nyata.
Contoh b)
Ikȃ kadatwanku samipaning tasik.
Gahan ri Lȇngkȃ kadi kanting wulan.
I ratna pȃrȃyana nama tan kalen.
Ri denyan kweh mani ratna yȃ jwala. (KRY,V:1)
Terjemahan.
Itu istanaku di tepi laut.
Taklain di Lengka yang bagi sahabat bulan.
Di Ratnaparayana namanya tiada lain.
Olehkarenabanyak batu permata yang bercahaya.
Pada bait tersebut, diceritakan ketika Rahwana merayu Sita. Rahwana
mengatakan istananya bagai sahabat bulan.karenabanyak batu permata yang
bercahaya di istananya, menyebabkan istananya juga bercahaya bagai bulan. Jadi ada
unsur melebih-lebihkan dalam bait kakawin itu.
5) Rupaka Bhyadika
Rupaka Bhyadika adalah gaya bahasa dengan mempergunakan permainan
kata dengan makna pelambangan (simbolisme). Suatu objek digunakan sebagai
simbol atau lambang untuk mewakili ungkapan hati atau perasaan.
Contoh:
Sȇmbah ni nghulun ȃryaputra tȇke padadwayanta prabhu
Nyeki ng reka wacȃn uninya ya iko cihnany unȇng ni nghulun
Mwang cȗdhȃmani tulya ni nghulun ike mangsȍ sumȇmbah kita
Nyȃ ng simsim pakirim narendra ya ikȃ sparṡanta tȇka kahidȇp
(KRY,XI:22)
44
Terjemahan:
Sembah hamba pada raja putra, kini datang menghadap tuanku.
Bacalah suratku ini, yang isinya sebagai cirri rasa rindu hamba.
Dan permata ini ibarat diriku datang menghadap menyembahmu.
Adapun cincin yang tuan hamba kirim itu kuibaratkan pelukanmu.
Dalam kutipan bait kakawin di atas berbagai benda seperti: surat, cincin, dan
permata digunakan sebagai simbol atau pelambangan. Surat disimbolkan sebagai
wakil rasa rindu. Permata yang dikirim dianggap sebagai wakil pengirim (Dewi Sita),
dan cincin, dimaknai sebagai peluk ciumnya. Jadi objek yang dijadikan simbol
berupa benda.
6) Wibhawana
Wibhawana adalah gaya bahasa yang dipakai mengungkapkan suatu objek,
yang keberadaannya tanpa penyebab yang jelas. Teknik pengungkapan objek dengan
gaya bahasa seperti ini sering dijumpai dalam kakawin.
Contoh:
Dadi wȇkasan mapet panalimur harip mata sakeng takut makȇjȇpa.
Pinipik ikang rwani ng maja nirantaran tinibakakȇn ya ring wway adalȇm.
Ri dalȇm ikang tataka hana teki rakwa Siwa lingga nora ginawe.
Ya ta kahanan nikang sakala wilwa warna tumiba ta nora minaha
(KSRK,V:5)
Terjemahan:
Akhirnya dicarilah penghibur mata ngantuk karena takut ketiduran.
Dipetiknya daun maja tiada hentinya, lalu dijatuhkan ke air yang dalam.
Di dalam air itu konon ada lingga Dewa Siwa yang ada tanpa dibuat.
Secara nyata di sanalah daun maja itu jatuh tanpa disengaja.
Dalam kutipan bait kakawin di atas diceritakan adanya patung (lingga) Dewa
Siwa. Lingga Dewa Siwa ini ada tanpa ada yang membuatnya. Jadi, dapat dikatakan
bahwa lingga itu ada tanpa sebab.
45
7) Yatha Sangkawa
Yatha Sangkawa adalah unsur estetik yang ada di dalam kakawin dengan
stilistik pengungkapan memakai gaya bahasa. Gaya bahasa yang digunakan bermakna
pelukisan suatu keadaan/peristiwa seperti: keadaan berbahaya, perang, saat genting
atau kritis, keluh kesah penderitaan, bahkan keadaan sedang dimabuk asmara.
Contoh:
a) Ripati sang Abhimanyu ring ranangga.
Tȇnyuh araras kadi ṡewaleng tahas mȃs.
Hananang araga kȃlaning pajang lek.
Cinacah alindi sah antimun ginȇntȇn.
b) Kalalu lara sapandhu putra senȃ.
Tinut I luwar nikang aprang asrang angdoh.
Padha mulih angusir kuwunya sowang.
Tuwi wȇngi lud nawamīng kulȇm kamantyan.
c) Tucapa lara narȃrnya Dharmma putra.
ri pati nikang mangaran warȃbhimanyu.
Kimuta bibi nirȃngaran subhadra.
Kapati wimurccita ring lȇmah makundah (KBY,14:1-3)
Terjemahan:
a) Ketika gugur sang Abimanyu di medan perang.
Hancur namun mempesona bagai lumut beralaskan bokor emas.
Namun sangat menghibakan hati ketika terang bulan.
Tertusuk-tusuk menghibakan bagai mentimun teriris-iris.
b) Sangat sedih semua prajurit putra Pandhu.
Bersamaan dengan bubarnya orang berperang di tempat jauh.
Semua pulang menuju pondoknya masing-masing.
Apalagi telah malam tepat waktu paro gelap (panglong) ke sembilan.
c) Diceritakanlah kesedihan sang Dharmawangsa.
Ketika gugurnya si tampan yang bernama Abimanyu.
Terlebih lagi ibunya yang bernama Dewi Subadra.
Pingsan tak sadarkan diri tergolek di atas tanah.
46
Pada kutipan bait kakawin di atas diceritakan tentang keadaan ketika
gugurnya Abhimanyu. Semua prajurit Pandawa bersedih. Perang seketika berhenti,
walaupun berjauhan jaraknya dari tempat gugurnya Abhimanyu. Kebetulan juga hari
telah menjelang malam sehingga mereka kembali ke pondok masing-masing. Raja
Dharmaputra sangat sedih, terlebih lagi ibu Abhimanyu yaitu Dewi Subadra. Beliau
pinsan tidak sadarkan diri, terkapar di tanah.
Keadaan kesedihan para Pandawa diceritakan dengan gaya bahasa yang
sangat khas pada Kakawin Bharatayuddha. Gaya penceritaan seperti itu menambah
nilai estetis kakawinnya. Bait-bait kakawin ini sering dimemorisasi oleh para pelaku
mabebasan untuk kepentingan mengiringi upacara kematian.
8) Atisayokti
Gaya bahasa membandingkan suatu objek dengan objek lain yang tidak
sebanding disebut dengan gaya bahasa Atisayokti. Atisayokti dapat disamakan dengan
majas perbandingan jenis hiperbola. Untuk jelasnya, di bawah ini dikemukakan
contoh-contoh pemakaiannya di dalam kakawin.
Contoh:
a) Hana rȃjya tulya kendran.
Kakawehan sang mahȃrdhika ṡusīla.
Ring Ayodhyȃ subhageng rȃt.
Yeka kadatwan nira ng nŗȇpati.
b) Hayuni ng swargga tuwi masor.
Dening Ayodhyȃpurȃtiṡaya.
Suka nitya kȃla menak.
Ring rȇngrȇng towi ring lahru (KRY,I:11-12).
c) Kadi pwa kendran nikanang mahendra ya.
Ridenyan akweh kayu kalpa wŗȇksa ya.
Lawan manik yeka ṡilȃ talanya ya.
Dunung manuk kinnara jīwa jīwa ya (KRY,XI:57)
d) Tȇka pwa sang Ṧri Raghuputra ring gunung.
47
mulat sireng pȃrṡwa saṡobha rȃmya.
jȇnȇk sirȃr ton talagȃhatur sȇkar.
sȇkarnya tuňjung muka sang priya.
e) Samangkanekang bhramara bhramanta ya.
Maṡabdha nambhung sari ni ng saroruha.
Kadi pwa sang sri Janakatmajirang
Hanuman tumuduhakȇn ri ya. (KRY,XI:58-59)
Terjemahan:
a) Adalah kerajaan bagaikan istana Dewa Indra.
Kebanyakan orang berjiwa merdeka dan saleh.
Di Ayodhya yang berbahagia di duni.
Itulah istana sang prabu.
b) Keindahan surga pasti kalah.
Oleh kehebatan istana Ayodya.
bergembira dan bahagia sepanjang waktu.
Ketika musim hujan maupun musim kemarau.
c) Gunung Mahendra bagai kahyangan Dewa Indra.
Sebab banyak terdapat pohon harapan disana
Batu datar bagai permatanya.
Lain lagi burung cendrawasih dan belibis ada di sana.
d) Tibalah beliau Sri Raghuputra di gunung.
Memandanglah beliau ke lereng gunung yang indah berseri.
Betah beliau melihat taman seakan-akan menghaturkan kembang.
Bunga tunjung bagai wajah sang permaisuri.
e) Begitu pula si kumbang mendengung beterbangan.
Terbang bersuara mendengung pada benang sari teratai.
Terbayang bagai Dewi Janaki sedang berucap.
Semakin bahagia perasaan Sang Rama.
Semua bait-bait kakawin di atas mengandung pengandaian yang melebih-
lebihkan obyek yang diumpamakan itu. Gaya bahasa seperti ini sangat banyak
dijumpai dalam kakawin. Bunga teratai diibaratkan sebagai wajah Dewi Sita.
Dengungan suara kumbang yang sedang menghisap sari didengar bagai ucapan keluh
kesah Sita. Ini berarti udanya unsur melebih-lebihkan.
48
9) Warta
Warta adalah gaya bahasa yang digunakan di dalam kakawin, dengan
melukiskan seseorang sebagai objek yang disamakan dengan keadaan alam yang
sesungguhnya. Gaya bahasa seperti ini sebenarnya mirip dengan Atisayokti di atas.
Untuk jelasnya akan dikemukakan sebuah contoh seperti di bawah ini.
Contoh
a) Atha sumurup bhȃtara Wiṡwasan.
Wȇngi ya huwus daṡa deṡa pȇtȇn ya.
Ikana unȇng nira mangkin atambȇh.
Umilu pȇtȇng ta manah nira ta denya.
b) Mȇtu ta bhatara sasangka sateja.
ring udaya parwwata bhȃswara rȃmya.
Kadi anumoda tumon sira mopȇk.
Suluh ikanang daṡa deṡa ya mȃwȃ.(KRY, XI: 79 dan 81).
Terjemahan:
a) Setelah matahari terbenam.
Malam pun tiba, seluruh penjuru gelap gulita.
Ketika itu semakin bertambahlah rindu beliau.
Ikut gelap gulitalah pikiran beliau olehnya.
b) Rembulan mulai terbit dan bersinar.
Di atas gunung bercahaya terang.
Bagaikan hiba melihat (Rama) bersedih merana.
Menyinari segala penjuru dunia agar terang benderang.
Pada kutipan di atas digambarkan gelapnya hari menjelang malam sama
dengan gelapnya pikiran Rama yang sedang bersedihkarenaditinggal oleh Sita.
Olehkarenaitu rembulan merasa kasihan melihat kesedihan Rama. Lalu, rembulan
menampakkan diri, bersinar terang menerangi seluruh penjuru dunia untuk mengusir
kegelapan/kesedihan hati Rama. Di sini terdapat gaya bahasa yang sangat estetik.
Keadaan alam disamakan dengan keadaan pikiran atau perasaan seseorang.
49
10) Wirodha
Wirodha adalah gaya bahasa untuk melukiskan sesuatu objek dengan cara
yang berlawanan. Gaya bahasa semacam ini dapat disamakan dengan gaya bahasa
atau majas pertentangan, khususnya Litotes. Dalam gaya bahasa wirodha terdapat
suatu pengungkapan keadaan merendahkan diri sendiri. Wirodha banyak dijumpai di
dalam kakawin.
Contoh:
Ong sȇmbah ni ng anȃtha tingghalana de tri loka ṡarana
Wȃhya dyatmika sȇmbah inghulun ijȍng ta tan hana waneh.
Sang lwir aghni sakeng tahȇn kadi maňak saking dadhi kita.
Sang sȃksȃt mȇtu yan hana wwang amutȇr tutur pinahayu.
Terjemahan:
Ya Tuhan terimalah sembah sujud si hinadina ini oleh-Mu yang menguasai
jagat triloka ini.
Lahir batin sembah hamba ke hadapan-Mu tidak ada yang lain.
Engkau bagi api di dalam kayu, bagai minyak di dalam santan.
Engkau akan menampakkan diri bila ada orang yang membicarakan
filsafat kebenaran.
Pada baris pertama kutipan kakawin di atas terdapat gaya bahasa yang
bermakna merendahkan diri (di Bali disebut dengan sikapm Ngalap Kasor). Kata
yang digunakan adalah anȃtha yang berarti ‘sangat hina’ atau ‘hina dina’. Arjuna
yang merupakan seorang ksatria amat sakti, ditakuti lawan dan disegani kawan,
berwajah tampan, mengatakan dirinya sangat hina (sangat serba kekurangan).
Pernyataan Arjuna seperti itu merupakan pernyataan yang berlawanan dengan
kenyataan Arjuna yang sebenarnya yang sakti mandraguna. Jadi gaya bahasa wirodha
terbukti ada di dalam kakawin.
Bait-bait kakawin di atas sangat populer di kalangan pelaku mabebasan di
Bali. Keadaan itu kemungkinan sama populernya dengan wacana kidung Wargasari.
Banyak para pelaku mabebasan hafal akan bait kakawin itu. Mereka menghafalkan
atau melisankan karena bait kakawin itu, di samping memiliki gaya bahasa yang
sangat indah, juga berfungsi untuk mengiringi beberapa jenis upacara keagamaan
50
agama Hindu di Bali. Bahkan ada yang digunakan sebagai doa sembahyang. Itulah
sebabnya Wirodha merupakan gaya bahasa yang memotivasi pelisanan dalam
mabebasan di Bali.
11) Ninda Stȗti.
Ninda Stȗti adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mencela atau memuji
suatu objek dengan ungkapan yang berlawanan.
Contoh:
Prabhu kita Rȃwanȃtiṡaya sakti jayeng bhuwana.
Pranatha musuhta bhakti matakut sahananya kabeh.
Surapati sanghyang Indra tuwi bhakti sira pranatha.
Kathamapi dȗrnaya pwa kita hīna tamat panulus (KRY, V:4)
Terjemahan:
Raja Rawana kamu, teramat sakti dan unggul di dunia.
Sanagat tunduk semua musuhmu, bakti, takut kepadamu.
Raja para dewa Hyang Indra betul-betul bakti dan sangat tunduk.
Tetapi kau ternyata bodoh, lemah tidak tulus benar
Dalam kutipan bait kakawin di atas terdapat gaya bahasa menyanjung, dan
sekaligus merendahkan. Baris 1, 2, dan 3 berisi sanjungan terhadap Rahwana.
Namun, pada baris 4 Rahwana dicela dan sangat direndahkan. Ungkapan tersebut
sebenarnya mengandung makna melecehkan kesaktian Rahwana (Suarka, 2009:46).
Bentuk ini kurang memotivasi pelisanan dalam mabebasan di Bali. Hal ini
diakibatkankarenaorang Bali pada umumnya kurang senang merendahkan orang lain.
Terlebih lagi adanya slogan “Tatwamasi” yang berarti ‘itu adalah kamu’. Jadi,
merendahkan orang lain berarti merendahkan diri sendiri. Merendahkan, mencela,
mengejek, dianggap sebagai perbuatan jahat, keji yang nantinya akan berpahala
buruk.
12) Nidarsana.
Pengungkapan untuk melukiskan sesuatu objek yang benar-benar terjadi
sesuai kenyataan, dengan cara membanding-bandingkan objek tersebut dengan
benda-benda yang ada secara nyata, disebut dengan gaya bahasa Nidarsana.
51
Contoh:
a) Meh wwalung tabȇharing sakatakbay.
Teja Sang Hyang Arunojwala mabhrȃ.
Ngkȃna ring udaya parwwata saṡrī.
Tulya rȃga nikana ng warakȃmī.
b) Na ng nabastala kadi pwa ya kȇmbang.
Rȗksa yan taya Bhatȃra Ṧasȃngka.
Sȗryya raṡmi kadi mitra matangguh..
Mȃwa tan g gagana mȃri makingking.
c) Kanyakȃ mrȇdhu manojjňȃ surȗpa.
Bwat hajinya mangidung saha wīnȃ
Somya suswara sarȃga kidungnya.
Sȃwadȃna tuwi manggala gita.
d) Jȃgra tan g taruna kapwa ya kagyat.
Saksanȃ ng wȇngi hidȇpnya ya mȇnggal.
Ȃpa tar warȇga sanggama sȇdȇng hyun.
Darppa ring wiṡaya bhoga sarȃga.
e) Candra tulya nikana ng tarunȃnghol.
Nȃ tangan ya malurus ya sateja.
Candra kȃnta pada ni ng rara kanyȃ.
Yan kinol drawa humīs haringȇtnya (KRY,XII:21-25).
Terjemahan:
a) Keesokan dini hari kira-kira pukul enam pagi.
Sinar Sang HyangSurya terang benderang
Disana di ufuk timur di sela gunung nan indah.
Ibaratnya cinta birahi sang pria tampan.
b) Langit bagaikan kembang.
Layukarenatiada Dewi Rembulan.
Sinar mentari ibarat sahabat yang member nasihat.
Cerahlah langit, usai bersedih.
c) Gadis perawan bersuara merdu, berparas cantik menawan hati.
Belajar menembang diiringi musik (rebab).
Suaranya kristal merdu mempesona kidungnya.
Patut didengar sebab berisi kidung pujaan pendahuluan.
52
d) Para lelaki semua terkejut lalu terbangun.
Malam dirasakan sangat singkat dan cepat.
Sebab ia belum puas bersenggama saat memadu asmara.
Asik bergelimang nafsu birahi dan mabuk asmara.
e) Ibaratnya bulanlah lelaki yang merangkul.
Begitu pula tanganya yang lurus bagai sinar.
Wanita perawannya ibarat permata biduri ulan.
Ketika dipeluk keluar menetes keringatnya.
Dalam kutipan bait-bait kakawin di atas jelas terlihat adanya unsur pelukisan
suatu abjek, yang benar-benar ada dalam dunia nyata dan dialami seseorang. Objek
keadaan alam itu dipakai pengandaian pada seseorang atau pada manusia. Bentuk
nidarsana ini sangat banyak ditemukan dalam dunia kakawin, kidung ataupun
geguritan. Gaya bahasa nidarsana itu sangat menarik sehingga sangat disenangi oleh
para pelaku mabebasan di Bali. Olehkarenaitu tidak jarang para pelaku mabebasan
ingin menghafalkannya. Dengan demikian tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
bentuk nidarsana merupakan motivator pelisanan dalam mabebasan.
13) Arthȃntaranyasa
Arthȃntaranyasa adalah gaya bahasa yang digunakan untuk melukiskan sifat-
sifat jelek, jahat, sifat-sifat yang tidak baik atau sifat raksasa yang dimiliki suatu
objek.
Contoh
a) Yan rȃksasa prakrȇti dusta tȗtana.
Jatingku ṡuddha karatun ya ta tȗtana ng kwa.
Sakweh nikang adhama rȃksasa ṡatru ni ng rȃt.
Tȃtan patanggwa sahananya ya patyana ng kwa.
b) Mȃrīca ko kalana mȗda taman panolih.
Atyanta sȃhasa rikeng patapan mahȃrsi.
Ko tan pasȃra trȇṇa tulya dukut mahumpang.
Merang aku nglawana ko laku mȗr saka ngke (KRY, II:41-42).
53
(2) Terjemahan.
a) Sifat jahat raksasa itu kau ikuti.
Sifatku suci bersih, sifat raja itu yang aku ikuti.
Semua raksasa yang bersifat jahat adalah musuh dunia.
Tidak bisa kuhindari, semua akan kubunuh.
b) Marica, kau jahat dan dungu tidak menghiraukan apa.
Sangat kejam di pertapaan sang maharesi.
Kamu tiada berharga ibaratnya dedaunan dan rumput kering.
Malu aku melawanmu, pergi enyahlah kau dari sini.
Dalam kedua bait kutipan di atas jelas terdapat ungkapan sifat-sifat buruk
objek yang dalam hal ini adalah si raksasa bernama Marica. Marica dikatakan
memiliki sifat jahat yang merupakan sifat raksasa. Sifat jahat ini jelas akan dimusuhi
oleh dunia. Sifat jahat si Marica adalah selalu mengganggu dan merusak tempat
pertapaan para resi. Untung Rama tidak membunuhnya dan hanya melemparkannya
dengan panah Bayawya, sehingga Marica terpental sampai jauh.
Pemakaian estetika/gaya bahasa untuk mengungkapkan sifat-sifat jahat
seseorang atau suatu objek sangat banyak ditemukan di dalam karya sastra tradisional
seperti: kakawin, palawakia, kidung dan geguritan. Kenyataan ini tidaklah berlebihan
mengingat karya sastra tradisional kebanyakan memuat cerita yang bertemakan
kebajikan yang selalu menang melawan kebatilan. Keadaan ini pulalah yang
mendorong para pelaku mabebasan sering menghafalkan atau
mememorisasi/meresitasi bait-bait kakawin, palawakia, kidung maupun geguritan
yang mengandung gaya bahasa Arthȃntaranyasa. Keadaan ini mengandung makna
bahwa gaya bahasa ini termasuk salah satu gaya bahasa yang memotivasi pelisanan
dalam mabebasan.
14) Upanyȃsa
Upanyȃsa adalah gaya bahasa yang memuat tentang anjuran-anjuran atau
ajakan. Ajuran yang dimaksud adalah sejenis ajakan untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu tindakan. Dalam kakawin kebanyakan anjuran yang
diungkap berupa anjuran untuk berbuat kebajikan atau susila.
54
Contoh:
a) Anghing kita nȃthangkwa ari.
Mrastȃkna ṡatrunta kabeh.
Rȃmȃdhama yekan pisani.
Mwang Lakṣmana Sugrīwa pusus.
b) Ngke k tona asihtȃt makaka.
yan sīrnna musuhtȃlilanga,
Wīrryanta katoneng palagan.
Lumrȃ ta yaṡanteng bhuwana. KRY,XXII:16-17)
Terjemahan:
a) Hanya engkau harapanku dinda.
Untuk memusnahkan musuh kita semua.
Bunuhlah sekalian si Rama yang bodoh.
Serta si Laksmana, Sugriwa, hancurkan!.
b) Akan kanda buktikan kesetiaanmu kepadaku.
Bila sudah semua musuhmu hancur.
Wibawamu akah kelihatan di medan perang.
Jasamu akan terkenal luas di seluruh negeri.
Kedua bait kakawin di atas, mengandung ajakan atau anjuran Raja Rahwana
kepada adiknya si Kumbhakarna, untuk maju berperang melawan musuhnya yang
menyerang kerajaan Alengka. Anjuran yang bermakna sama dengan perintah dalam
bentuk halus sangat jelas terkandung dalam kutipan di atas. Gaya bahasa yang
mengandung ajakan seperti ini juga menarik minat para pelaku mabebasan untuk
menghafalkan bait-bait kakawin yang mengandung gaya bahasa ajakan. Ini berarti
gaya bahasa upanyasa termasuk ungkapan yang memotivasi pelisanan dalam
mabebasan.
15) Anamaya
Anamaya adalah gaya bahasa perbandingan dengan mengandaikan suatu
objek tanpa ada objek pembanding lain (zero).
Contoh:
55
a) Darppȃng kidang ya makidang-kidangan ya mȃdrȇs.
Wetnyȃn ṡaratsamaya kȃla dumeh ya darppȃ.
Ngkane tȇgal-tȇgal hawȃn mamangan-mangan ya.
Sang Rama Lakṣmana alah magirang tumon ya.
b) Ṧuddhȃputih pwa ya ta megha magȍng makandȇl.
I mbang nikang gunung I sor kahananya lumra.
Deni ng angin makin agȍng ya makin ya mawȃn.
lwir nyȃn katon kadi gunung Himawȃn apȗrwwa. (KRY,II:15-16)
Terjemahan.
a) Kidang binal berlompat-lompatan dengan cepat.
Musim semilah yang menyebabkan ia riang gembira.
Di sana di jalan ia mencari makan.
Rama dan Laksmana sangat senang melihatnya.
b) Mendung berwarna putih bersih, besar bagai menempel.
Di sela-sela gunung, menyebar agak lebih di bawah.
Karȇna angin ia makin melebar dan makin tinggi.
Kelihatannya bagaikan gunung Himalaya waktu dahulu.
Dalam kutipan di atas terdapat gaya bahasa perbandingan ananwaya. Objek
yang diandaikan atau diperbandingkan berobjek zero. Dengan kata lain, tidak ada
objek yang dperbandingkan. Si kidang yang kegirangan karena musim semi tiba,
dengan binal melonpat ke sana-ke mari. Panorama seperti itu sangat menyenangkan
perasaan sang Rama dan Laksmana.
Mendung yang berwarna putih bersih bagaikan menempel di punggung
gunung. Mendung itu semakin membesar dan meninggi karena tertiup angin musim
semi. Mendung yang menempel sangat tinggi itu menyebabkan gunung itu
kelihatannya besar dan tinggi seperti gunung Himalaya. Dalam kutipan tersebut dapat
dikatakan bahwa ada unsur perbandingan dengan pengandaian, namun objek yang
diperbandingkan tidak ada atau zero. Bentuk semacam ini juga sering memotivasi
pelaku mabebasan untuk mememorisasi/meresitasi teks kakawin, kidung dan juga
geguritan.
56
16) Wisosekti
Pelukisan sifat-sifat buruk seseorang sering menginspirasi pengarang untuk
menulisnya dengan gaya bahasa tertentu. Gaya bahasa yang digunakan untuk
mengungkapkan sifat-sifat jelek seseorang dikenal dengan istilah wisosekti.
Contoh:
Mighnenga yajňa umati wiku tan padosa.
Nȃ dharma ni ng aṡura rȃksasa janma jatī.
Mukȃti sȃhasa mamaňcana baňcaneng rȃt.
Krura swabhȃwa mami tan hana sȃdhu buddhi (KRY,II:39)
Terjemahan:
Membencanai upacara korban suci, dan membunuh wiku tanpa dosa.
Itu kewajiban raksasa untuk membunuh manusia.
Sangat jahat, selalu membuat terror, membencanai dunia
Watakku ganas tidak punya belas kasih.
Dalam kutipan di atas sifat-sifat jelek manusia disamakan dengan sifat
raksasa. Artinya, segala sifat-sifat yang jelek, jahat, dan suka membencanai orang
adalah sifat raksasa. Namun, bagi golongan raksasa, itu bukanlah hal jelek, sebab
kewajiban/perilaku raksasa ialah membencanai, merusak, meneror manusia, dan
bahkan memakan manusia. Kewajiban ini tentu sangat dibenarkan bila dilihat dari
kaca mata/prilaku raksasa. Dalam hal itu kebenaran dimaknai relatif (bisa baik, bisa
buruk). Atau, dalam hal itu terdapat hukum relativitas mengenai kebenaran. Benar
menurut manusia belum tentu benar menurut raksasa. Begitu pula sebaliknya.
Kebenaran raksasa tidaklah benar menurut hukum manusia, dan ajaran agama.
Namun, apa pun alasannya, kebenaran raksasa tetap buruk bila diukur dari kacamata
prilaku manusia.
Gaya bahasa wisosekti memang banyak terdapat di dalam kakawin. Namun,
gaya bahasa ini kurang menarik sehingga sangat jarang memotivasi orang untuk
melisankan/mememorisasikannya.
57
Bertolak dari seluruh uraian mengenai estetika sebagai unsur yang
memotivasi memorisasi/ pelisanan dalam mabebasan, maka dapat dikatakan bahwa
estetika merupakan unsur yang sangat menarik dan sangat penting. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa unsur estetika seperti: permainan kata, permainan bunyi,
permainan makna kata, dan gaya bahasa ikut memotivasi pelisanan dalam
mabebasan.
58
VI KESIMPULAN
1. Motivasi merupakan suatu dorongan kebutuhan untuk mencapai/memiliki sesuatu.
2. Dalam pelisanan mabebasan motivasi memegang peranan penting sehingga banyak
aktivis/pelaku mabebasan menghafal/mememorisasikan bait-bait kakawin untuk
digunakan baik sebagai pegangan hidup dalam bermasyarakat, maupun digunakan
untuk mengiringi upacara keagamaan agama Hindu.
3. Pelisanan yang digunakan dalam upacara Manusa Yadnya atau Pitra Yadnya
bertujuan untuk menghibur, memberi nasehat sebagai bekal hidup, baik dalam
kehidupan di alam sakala (dunia fana) maupun dalam kehidupan di alam niskala
(alam nirwana/tidak nyata).
Saran.
Pemerintah lewat badan terkait perlu memberi rangsangan dan dorongan baik moral
maupun material agar salah satu khazanah budaya bangsa itu tetap ajeg.
59
DAFTAR PUSTAKA.
Aminudin. 1990. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Echols, John M. dan Hassan Shadily, 1993. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta:
Gramedia
Medera, I Nengah. 1989. “Tradisi Mabebasan Sebagai Media Pemahaman,
Penghayatan dan Pelestarian Nilai Budaya”: Makalah seminar.
Moeliono, Anton. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen
Pendidikan Nasional.
Ratna, I Nyoman Kuta. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Deśa Warņana Uthawi Nȃgara Kŗtȃgama Masa
Keemasan Majapahit. Jakarta; PT Kompas Media Nusantara
Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan
Suarka, I Nyoman. 2009. “Mebebasan Sebagai Metode Penelitian sastra”.
Denpasar: Pustaka Larasan.
Sukartha, I Nyoman. 1982. “Kehidupan Mabebasan dan Cara-Cara
Menerjemahkannya Di Kabupaten Klungkung” (Skripsi). Denpasar: FS.
UNUD.
Sukartha, I Nyoman.1995.” Peranan Mabebasan Dalam Menyebarluaskan Nilai-
Nilai Budaya Masyarakat Bali”. Denpasar: Depdikbud
Sukartha, I Nyoman dkk. 2017. “Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka
Prakarana”. Denpasar. FIB UNUD.
Sukartha, I Nyoman. 2008.: “Cara-cara Penerjemahan Dalam Mebebasan di Bali”
(Makalah), Jurusan Sastra Daerah F.S. UNUD. Denpasar.
Sukartha, I Nyoman. 1998. “Kendala-Kendala Penerjemahan Dalam Mebebasan”
(Makalah), Denpasar: Jurusan Sastra Daerah F.S UNUD.
Sukartha, I Nyoman. 2006). “Bentuk Terjemahan Dalam Mebebasan di Bali’.
Denpasar: Jurusan Sastra Daerah F.S. UNUD.
Sukartha, I Nyoman. 2016. “Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si
Tetani, dan Si Katak”, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi Tradisi
Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan.
Sukartha. I Nyoman. 2017. Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga Winasa
Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker”dalam Proseding Seminar
Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD.
Sukartha, I Nyoman. 2017. “Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana”
dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia VIII.
Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya UNUD.
Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa.
60
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1983. Membaca Dan Menilai Sastra. Jakarta: Pt. Gramedia
Teeuw, A. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya
Teeuw, A.1994. Indonesia Antara Kelisanan Dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka
Jaya
Zoutmulder, P.J. 1983. “Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang”.
Jakarta: Penerbit Jambatan
Zoutmulder, P.J. 2006. “Kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia”. Jakarta :
Jambatan.