laporan penelitian dr. djoys anneke rantung, m

66
ii PENDIDIKAN PLURALISME DALAM KURIKULUM DAN METODE PEMBELAJARAN PAK BAGI ANAK SEKOLAH MINGGU LAPORAN PENELITIAN Oleh: DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M.TH NIP/NIDN: 1512303/0318016704 PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2016

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

ii

PENDIDIKAN PLURALISME DALAM KURIKULUM DAN METODE

PEMBELAJARAN PAK BAGI ANAK SEKOLAH MINGGU

LAPORAN PENELITIAN

Oleh: DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M.TH

NIP/NIDN: 1512303/0318016704

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA

2016

Page 2: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pujian, syukur dan hormat hanya kepada Tuhan Yesus Kristus yang karena kasih,

pertolongan dan hikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Judul penelitian

ini, adalah PENDIDIKAN PLURALISME DALAM KURIKULUM DAN METODE

PEMBELAJARAN PAK BAGI ANAK SEKOLAH MINGGU. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Kristen Indonesia, Dr. Maruarar Siahaan, S.H.

2. Ir. Tarcisius Sunaryo, Ph.D. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Kristen

Indonesia.

3. Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen

Indonesia yang telah menyetujui dan mendukung penelitian ini.

4. Berbagai pihak lain yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu.

Penelitian ini tentu belum sempurna, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat

diharapkan oleh penulis. Kiranya penelitian ini dapat berguna bagi pembacanya.

Penulis,

Djoys Anneke Rantung

Page 3: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

iv

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengamatan penulis bahwa masih sering terjadi konflik karena perbedaan yang berlatar belakang agama, atau latar belakang lain yang memanfaatkan sentimen agama sehingga terjadi sikap yang intoleransi dan kurang menghargai akan perbedaan-perbedaan yang ada.

Berdasarkan kajian teoritis, pendidikan pluralisme dalam PAK sudah seharusnya diberikan kepada anak sejak usia dini, yakni di usia sekolah minggu. Bagaimana mengembangkan sikap toleransi yang menghargai perbedaan, perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh anak bangsa di negara ini. Hal ini haruslah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Upaya yang diharapkan dapat menghasilkan generasi umat dan bangsa yang sungguh-sungguh taat kepada Tuhan, tetapi sekaligus menghargai kepercayaan orang lain. Membangun pemahaman keagamaan yang lebih pluralis dan inklusiv, sekaligus menjadi warga negara dan umat beragama yang toleran.

Sasaran yang diharapkan untuk memperjuangkan adalah generasi muda dalam hal ini anak-anak. Mereka harus benar-benar dididik, dibina dan dibentuk agar mereka mempunyai jiwa dan spiritual yang membangun bukan menghancurkan. Mempunyai jiwa saling menghargai antar sesama manusia tanpa batasan-batasan tertentu. Karena sejak usia dini pendidikan pluralisme sangatlah penting untuk diajarkan kepada mereka.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (Library research), yaitu mengadakan studi terhadap literatur yang sudah ada serta menyusun data secara sistematis, Sedangkan metode penulisan ini adalah metode deskriptif, yaitu berusaha mendeskripsikan akibat yang sedang terjadi saat ini.

Page 4: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. iii ABSTRAK ......................................................................................................... iv DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 1.2 Identifikasi Masalah .......................................................................... 5 1.3 Pembatasan Masalah ......................................................................... 5 1.4 Rumusan Masalah ............................................................................. 5 1.5 Tujuan Penelitian .............................................................................. 5 1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pendidikan Agama Kristen mengenai Pluralisme .......................... 7

2.1.1 Pengertian Pluralisme ............................................................ 7 2.1.2 Pluralisme dalam Pandangan Alkitab .................................... 11

2.2 Perkembangan Pemikiran Pluralisme ............................................. 16 2.2.1 Paradigma Eksklusivisme ...................................................... 17 2.2.2 Paradigma Inklusivisme ......................................................... 20 2.2.3 Paradigma Pluralisme ............................................................ 23

2.3 Kurikulum PAK Pluralisme ............................................................ 25 2.3.1 Pengertian Kurikulum ........................................................... 25 2.3.2 Pentingnya Kurikulum dalam Gereja .................................... 31

2.4 Metode Mengajar PAK .................................................................... 35 2.4.1 Pengertian Metode Pembelajaran .......................................... 35 2.4.2 Metode Belajar Mengajar dalam Gereja ............................... 39

Bab III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian.................................................................................. 46 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 46 3.3 Teknik Pengumpulan Data................................................................ 47 3.4 Analisis Data ..................................................................................... 47

BAB IV ANALISIS TEOLOGIS ...................................................................... 48

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI dan SARAN 5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 57 5.2 Saran ............................................................................................................. 58

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 59

Page 5: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keberagaman dan kemajemukan dapat dijumpai dan menjadi ciri khas di negara-

negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin.1 Indonesia adalah salah satu negara

di Asia yang memiliki identitas yang unik dalam kemajemukan dan kepelbagaiannya.

Keberagaman suku, bahasa, budaya dan agama dapat dijumpai di seluruh Indonesia.

Kekayaan akan keberagaman di Indonesia terdiri dari banyaknya pulau-pulau yakni ada

17.504 pulau dan juga beragamnya bahasa yakni ada 442 bahasa daerah.2

Sejak Indonesia memproklamasikan dirinya sebagai negara yang mengakui dan

sekaligus menghargai kemajemukannya itu. Semboyan Negara Republik Indonesia yakni

Bhineka Tunggal Ika atau Berbeda Tapi Satu, merupakan suatu pengakuan bangsa

Indonesia atas jati dirinya yang majemuk dan beranekaragam yang menjadi satu di negara

ini. Dalam pengakuan jati diri bangsa ini, tidak terkandung penyangkalan apalagi

penghilangan terhadap kekayaan suku, bahasa dan budaya. Kepulauan Indonesia adalah

seluruh pulau, kecil maupun besar yang terbentang dari Timur sampai ke Barat dan dari

Utara sampai ke Selatan. Bangsa Indonesia adalah semua warga negara Indonesia, apapun

suku-bangsanya. Budaya Indonesia adalah budaya-budaya daerah yang melekat erat pada

kemajemukan atau keberagaman sukunya sehingga semua budaya daerah itu diakui

sebagai budaya Indonesia.

Sejak kemerdekaan ada lima agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen

Protestan, Katholik, Hindu dan Budha. Kemudian, pada zaman pemerintahan Presiden Gus

Dur, jumlah tersebut bertambah dengan adanya pengakuan terhadap Konghucu sebagai

agama yang diakui oleh negara3. Selain itu masih banyak aliran kepercayaan dan agama-

agama suku yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia ini.

Kemajemukan agama di Indonesia dapat diibaratkan sebagai sebuah pedang bermata

dua. Pada satu sisi, kemajemukan agama itu merupakan anugerah yang memberi bukan

1 Hope S. Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hal. 2 2 http://kabartersiar.web.id/2012/06/29/ragam-bahasa-kekayaan-unikorangindonesia//

(diakses, 18 maret 2015) 3 Gerrit E. Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi dalam Konteks di Awal

Milenium III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005) hal. 100

Page 6: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

2

saja warna terhadap keunikan Indonesia, tetapi sekaligus pada sisi lain, dapat menjadi

pemicu konflik dan perpecahan atau disintegrasi.4 Kepelbagaian itulah yang telah turut

melahirkan semboyan Bhineka Tunggal Ika, tetapi selanjutnya bisa menjadi pemicu

hancurnya kesatuan dari berbagai kekayaannya yang unik di negeri ini. Karena itu menurut

Djohan Efendi, semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, selain sebagai pengakuan

kemajemukan di Indonesia, ia sekaligus merupakan penegasan bahwa kemajemukan itu

diikat oleh bingkai kesatuan sehingga tidak akan membawa bangsa Indonesia kepada

pertikaian dan disintegrasi bangsa.5

Sejak semula para pendiri bangsa ini menyadari akan hal tersebut. Karena itu semua

kelompok agama di Indonesia dilindungi oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Sehingga di negeri ini tidak ada agama yang mayoritas dan yang minoritas. Baik kelompok

terbesar maupun yang paling kecil sekalipun dilindungi oleh negara.

Indonesia akan semakin maju dan menjadi besar, jika setiap orang mau mengakui

potensi besar bukan saja yang ada pada agamanya tetapi yang ada pada agama orang lain

juga. Setiap orang dapat saling belajar dari agama orang lain untuk memperkaya kehidupan

beragamanya tentang kasih dan kebaikan dan hidup saling menghargai seorang dengan

lainnya. Setiap orang dapat didorong kesalehannya tatkala melihat kesalehan yang

dipunyai dan ditunjukkan oleh orang yang beragama lain. Namun pada sisi lain,

kemajemukan itu bisa menjadi penyebab potensial dari konflik dan perpecahan. Antara

lain penyebabnya adalah karena menonjolkan secara tidak proporsional atau secara

berlebihan kebenaran agamanya sendiri dan menganggap diluar agamanya tidak ada

kebenaran. Setiap agama sering memandang dirinya memiliki kebenaran yang mutlak,

unik dan universal, dan pada saat yang sama menolak kebenaran, keunikan dan

keuniversalan yang dimiliki agama yang lain. Padahal, suka atau tidak suka,

kemajemukuan agama di negeri ini mengharuskan kita hidup rukun walau sering terjadi

pergesekan satu sama lain.

Hans Kung dalam tulisan Pinnock sebagaimana dikutip oleh Lumintang berpendapat

bahwa : “For the first time in world history it is simpossible for any one

4 Weinata Sairin, Gereja, Agama-agama & Pembangunan Nasional, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hal. 14

5 Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beragama, (Jogjakarta: Dian/Interfidei, 2013) hal. 2

Page 7: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

3

religion to exist in splendet isolation and ignore the others.”6 Adalah mustahil bagi satu

agama pun berada dalam keterpisahan dan mengabaikan agama-agam lain. Menyadari hal

itu, setiap umat harus mengembangkan hubungan yang baik dan toleran dengan agama

yang lain. Tidak sekedar mengakui keberadaan orang dengan keyakinan yang berbeda,

tetapi berusaha sungguh-sungguh mengembangkan hubungan antarumat beragama

sebagai sesama yang setara dan harmonis.

Fakta bahwa masih sering terjadi konflik yang berlatar belakang agama, atau latar

belakang lain yang memanfaatkan sentimen agama, seharusnya makin menyadarkan

umat beragama untuk mengembangkan sikap toleransi yang menghargai perbedaan,

perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh anak bangsa di negara ini. Hal ini haruslah

diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Upaya yang diharapkan dapat menghasilkan

generasi umat dan bangsa yang sungguh-sungguh mencintai agamanya tetapi sekaligus

menghargai kepercayaan orang lain. Membangun pemahaman keagamaan yang lebih

pluralis dan inklusive, sekaligus menjadi warga negara dan umat beragama yang toleran.

Sasaran yang diharapkan untuk memperjuangkan adalah generasi muda dalam hal ini

sejak usia anak-anak. Mereka harus benar-benar dididik, dibina dan dibentuk agar mereka

mempunyai jiwa dan spiritual yang membangun bukan menghancurkan. Mempunyai jiwa

saling menghargai antar sesama manusia tanpa batasan-batasan tertentu. Karena sejak usia

dini pendidikan pluralisme sangatlah penting untuk diajarkan kepada mereka. Tugas

pengajaran itu haruslah diajarkan berulang-ulang, sebagaimana perintah Allah kepada

umat-Nya dalam Perjanjian Lama, yakni : “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari

ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang

kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila

engkau sedang dalam perjalan, apabila engkau berbaring dan apabila engakau bangun.

Haruslah juga engkau engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan

haruslah itu menjadi lambang di dahimu”(band. Ulangan 6:6-8).

Menurut Christiani dalam buku Ajarlah Mereka Melakukan7 tujuan pokok pendidikan

agama Kristen, termasuk di dalamnya pendidikan anak, adalah

6 Lumintang Stevril Indra, Theologia Abu-abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2009) hal. 63

7 Ismail, Andar, Ajarlah Mereka Melakukan, Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 130

Page 8: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

4

memperlengkapi warga jemaat agar dapat mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam

Yesus Kristus, sambil menantikan penggenapannya. Pendidikan kepada anak- anak dalam

gereja sama pentingnya dengan pengajaran gereja kepada warga gereja yang dewasa.

Memperlengkapi anak-anak sebagai bagian dari warga gereja untuk mewujudkan tanda-

tanda Kerajaan Allah dalam relasi kasih dengan sesamanya adalah tugas gereja yang

dilakukan melalui pendidikan dan pengajaran di gererja. Mewujudkan tanda-tanda

Kerajaan Allah dalam relasi kasih kepada sesama, dalam konteks Indonesia yang majemuk

berarti pendidikan agama dalam gereja harus mencakup aspek-aspek pluralitas dimana

anak-anak sebagai warga gereja diajarkan untuk mengasihi sesamanya.

Tugas pendidikan dan pengajaran ini bukan hanya tugas pihak tertentu saja, tetapi

tugas berbagai pihak, yakni : keluarga (orang tua), gereja (pendeta, penatua, diaken,

pembina layan anak) dan jemaat. Anak-anak perlu dibentuk dan dibina karena didalam diri

mereka terletak masa depan gereja dan bangsa. Pemahaman yang baik dan benar tentang

pendidikan pluralisme yang didalamnya berisikan pengajaran mengenai saling

menghargai, menerima dan mengasihi seorang dengan yang lain, walaupun berbeda suku,

bahasa, adat istiadat dan juga agama.

Gereja harus mienyiapkan warganya dalam pengajaran Sekolah Minggu yang

mencintai iman Kristianinya tetapi sekaligus menghargai sesamanya yang memiliki

kepercayaan yang berbeda. Dan karena itu, salah satu kelompok usia dalam Gereja yang

perlu dibentuk pemahamannya sejak dini adalah Anak-anak Sekolah Minggu.

Pengajaran iman yang diberikan oleh Gerejakepada Anak-anak Sekolah Minggu,

selain Pendidikan Agama Kristen yang diperoleh di Sekolah formal, harus berisikan

pengajaran tentang menghargai kemajemukan atau Pluralisme di Indonesia. Bukan

sebaliknya mengajarkan nilai fundamentalisme agama yang memusuhi orang dengan

keyakinan yang berbeda. Pengajaran iman yang disampaikan harus membangun sikap

inklusive dan bukan ekslusive. Pengajaran iman yang menanamkan nilai persaudaraan dan

perdamaian, bukan kebencian dan permusuhan.

Penulis merasa tertarik untuk meneliti topik ini karena Anak-anak Sekolah Minggu

adalah masa depan Gereja dan Bangsa, karena itu sejak dini perlu diberi dasar pemahaman

bagaimana hidup bersama. Ketertarikan ini juga didasarkan pada realitas berbeda, yakni

persekutuan yang akrab mulai terlihat berkurang. Pemahaman dan penerimaan terhadap

perbedaan suku, adat istiadat dan agama sesuatu yang sulit untuk

Page 9: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

5

diterima dalam perilaku kehidupan sehari-hari, sehingga yang terjadi adalah konflik

karena perbedaan-perbedaan. Sikap intoleransi seringkali lebih besar muncul ke

permukaan.

Menyadari kenyataan tersebut, Pendidikan Pluralisme pada anak sekolah minggu penting

untuk diajarkan sebagai kurikulum anak sekolah minggu. Sehingga penulis mengangkat

masalah ini dengan judul penelitian “PENDIDIKAN PLURALISME DALAM KURIKULUM

DAN METODE PEMBELAJARAN PAK BAGI ANAK SEKOLAH MINGGU.”

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan masalah-masalah yang berhasil diidentifikasi terkait dengan PAK dan

Pluralisme: Suatu kajian Pendidikan Pluralisme dalam Kurikulum Anak Sekolah Minggu,

adalah:

1. Pemahaman Pendidikan Pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu.

2. Kurikulum PAK tentang Pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu.

3. Metode Pembelajaran PAK Pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah pada pendidikan pluralisme

dalam kurikulum dan metode pembelajaran PAK anak sekolah minggu.

1.4 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pemahaman pendidikan pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu?

2. Bagaimana Kurikulum PAK tentang Pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu?

3. Bagaimana Metode Pembelajaran PAK Pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian melalui tesis ini memiliki

beberapa ujuan, di antaranya :

1. Untuk mengetahui pemahaman pendidikan pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan Kurikulum PAK tentang Pluralisme bagi Anak

Sekolah Minggu.

Page 10: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

6

3. Untuk mengetahui metode Pembelajaran PAK Pluralisme bagi Anak Sekolah

Minggu.

1.6 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan tersebut di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat yaitu, untuk memberikan pemahaman yang benar bahwa Pendidikan Pluralisme

di dalam Jemaat adalah penting. Memberikan Pengetahuan, Pemahaman dan

pengembangan wawasan bagi Pelayan-Pelayan Gereja (Pendeta, Penatua, Syamas atau

Diaken serta Guru-Guru Sekolah Minggu) bagaimana pendidikan pluralisme di dalam

gereja terutama kepada anak sekolah minggu. Serta, memberikan manfaat dalam

lingkungan civitas akademika Program studi Magister Pendidikan Agama Kristen PPs

UKI, mengenai PAK dan Pluralisme.

Page 11: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

7

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pendidikan Agama Kristen mengenai Pluralisme

2.1.1 Pengertian Pluralisme

Kata Pluralisme (Inggris : Pluralism) secara etimologi berasal dari dua kata plural dan

isme. Plural berarti beragam, dan isme berarti paham. Maka kata Pluralisme secara

etimologi dapat diterjemahkan “beragam pemahaman”, atau “macam-macam paham”.

Buku Enclycopedia American menulis “pluralism, in philosophy, the view that the world

consists of many beings”8. Lebih jauh diuraikan bahwa dunia ini terdiri atas banyak

perbedaan yang nyata, antara lain : manusia dengan perbedaan fisik, spiritual, idealisme

perorangan/individu dan lain-lain. Sesuatu yang berbeda itu akan memanifestasi atau hadir

dengan perbedaannya. “It is generally constrasted with monism, in wich things all manifest

just one substance or principle, and dualism, in wich they manifest just two”9.

Hampir serupa itu, Buku Enslikopedi Indonesia10 mengartikan Pluralisme sebagai

“ajaran bahwa kenyataan berdasarkan pelbagai asas yang masing-masing tidak

berhubungan yang satu dengan yang lain; bahwa kenyataan (realitas) terdiri dari

pelbagai unsur dasar, yang masing-masing berlainan hakekat pada yang satu dengan

yang lain”. Pluralitas dalam pengertian itu mengandung makna dunia terdiri dari berbagai

kenyataan yang berbeda dan perbedaan itu adalah fakta yang tidak bisa disangkali apalagi

dipaksakan untuk menjadi satu saja kenyataan.

Merujuk pada wikipedia, pengertian atau definisi kata tersebut adalah : “In the social

sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect

and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or

assimilation"11 suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa

hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi/pembauran."

Keadaan dimana terjadi perjumpaan dan interaksi beberapa kelompok orang yang

menunjukkan rasa saling menghormati dan bertoleransi satu dengan yang lain.

8 Enclycopedia Americana, The Enclycopedia Americana International Edition, vol. 22. (1972) hal. 258

9 Enclycopedia Americana, The Enclycopedia Americana International Edition, vol. 22. (1972) hal. 258

10 Van Hoeve, Enclycopedi Indonesia- Edisi Khusus Vol. 5 (Jakarta: Ichtiar Baru, –) hal. 2727 11 Pluralisme, com/2010/01/pluralisme-apaan-tuhdefinisi-dan.html

Page 12: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

8

Perjumpaan dan toleransi yang tanpa konflik dan karena itu bisa menghasilkan hal-hal baik

bagi semua orang.

Dalam buku Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan

Effendi12 Sumanto Al Qurtubi menjelaskan pendapat seorang ahli Pluralisme, yaitu

Profesor Diane L. Eck, tentang pluralitas dan pluralisme. Pluralitas (plurality) atau

keberagaman (diversity), sifatnya given, pemberian atau sesuatu yang sudah ada sejak

semula, sejak dunia dan manusia diciptakan Tuhan. Sedangkan Pluralisme adalah sebuah

prestasi atau pencapaian (achievement), bersama dari kelompok masyarakat yang memiliki

berbagai perbedaan itu. Pluralisme adalah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan

sebuah “masyarakat bersama” (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas atau

kebinekaan yang dianugerahkan itu.

Djoys Karundeng Rantung dalam buku Perjalanan Semua Mendayung, Buku 2 65

Tahun Pdt. Dr. Einar M. Sitompul13 yang mengutip Longman Dictionary of Contemporary

English (1987), mendefenisikan pluralisme sebagai “The principle that people of different

race, religious and political beliefs can life together peacefully in the same society”.

Sedangkan menurut Buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pluralisme adalah

“keadaan masyarakat yang majemuk yang bersangkutan dengan sistem sosial dan

poliknya”14. Dalam konteks Indonesia, pluralisme dimaknai sebagai kemajemukan,

keberagaman, atau kebhinekaan. Keberagaman bukan hanya sebagai sebuah realitas sosial

(pluralitas), melainkan juga sebagai gagasan-gagasan, paham- paham, dan pikiran-

pikirannya.

Masih dalam buku yang sama, tentang pengertian pluralitas dan pluralisme dikatakan

:15 Kata “pluralitas” mengandung makna adanya perbedaan bahasa, etnis, budaya,

ideologi, dan agama. Sedangkan kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris,

“pluralism”. Kata ini berasal dari bahasa Latin “plures” yang berarti “beberapa” dengan

implikasi perbedaan. Dari asal usul kata ini diketahui bahwa pluralisme agama tidak

12 Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beragama (Jogjakarta: Dian/Interfidei, 2013) hal. 181-183

13 Einar M Sitompul, Perjalanan Sarat Muatan, Buku 1-65 Tahun Pdt. Dr. Einar Sitompul (Jakarta: UP STT Jakarta, 2014) hal. 84

14 KBBI 2008 15 Einar M Sitompul, Perjalanan Sarat Muatan, Buku 1-65 Tahun Pdt. Dr. Einar

Sitompul (Jakarta: UP STT Jakarta, 2014) hal. 84

Page 13: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

9

mengehendaki keseragaman bentuk agama, sebab ketika keseragaman sudah terjadi, maka

tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality)”.

Selanjutnya, pluralisme harus dimengerti sebagai suatu keyakinan yang menerima

keanekaragaman atau perbedaan sebagai suatu realitas. Bersedia untuk menjungjung

tinggi pluralitas, menerima kenyataan bahwa di sekitar kita banyak terdapat perbedaan,

baik cara hidup, budaya, cara pandang dan terutama agama. Bersedia untuk mengakui dan

menerima keberagaman agama dan sadar bahwa di sekitar kita ada pemeluk agama lain

selain agama kita.16

Pluralisme adalah cara pandang dan pendekatan yang bersifat apresiatif terhadap

berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat, dimana orang didorong untuk saling

menerima, menghargai, saling berpartisipasi dan mengembangkan kehidupan bersama.17

Pluralisme dalam pengertian seperti itu membutuhkan pengakuan akan perbedaan atau

keragaman dalam sebuah masyarakat. Aris Angwarmase mengutip difinisi dari Nurcholish

Madjid yang menyatakan bahwa pluralisme adalah “suatu sistem nilai yang memandang

secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai

kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.” 18

Pluralisme dengan demikian adalah suatu kenicayaan yang tidak mungkin dihindari,

sebaliknya harus diterima sebagai fakta sosial. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah

dikatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidato lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni

1945, yang mengatakan bahwa kemajemukan itu tidak bisa ditolak, karena memang

begitulah kenyataan bangsa kita. Bangsa Indonesia ini ada karena adanya pengakuan akan

fakta kemajemukannya). 19 Aris Angwarmase mengatakan :

“Maka berbicara tentang pluralisme agama berarti berbicara tentang inklusivisme agama, semangat egalitarian-partisipatif, dialog dan kerja sama, saling mengakui dan menghargai keberadaan agama masing-masing serentak saling mengakui dan menghargai hak-hak asasi setiap umat beragama termasuk di dalamnya hak memeluk dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Ajaran

16 Einar M Sitompul, Perjalanan Sarat Muatan, Buku 1-65 Tahun Pdt. Dr. Einar

Sitompul (Jakarta: UP STT Jakarta, 2014) hal. 85 17 Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beragama (Jogjakarta: Dian/Interfidei,

2013) hal. 5 18 Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beragama (Jogjakarta: Dian/Interfidei,

2013) hal. 19 19 Yewangoe Andreas A, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2011)

hal. 9

Page 14: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

10

kemajemukan agama menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup dengan resiko yang akan ditanggung oleh pengikut agama itu masing-masing, baik secara perseorangan maupun kelompok”20

Pluralisme agama dalam hal ini berarti sambil memegang keyakinan sendiri dengan teguh,

menerima dan mengakui orang lain dengan agamanya sebab di sekitar kita ada pemeluk

agama yang berbeda dengan agama kita. S

Menurut Bedjo, SE, M.Div., seperti dikutip Rantung,21 pluralisme agama dapat

dipahami dalam sedikitnya tiga kategori, yaitu kategori sosial, kategori etika atau moral,

dan kategori teologi-filosofi. Secara sosial, kita harus berusaha untuk bertoleransi dan

menghormati keyakinan iman orang lain, sebab semua agama berhak untuk ada dan hidup.

Selanjutnya secara etika atau moral, kita belajar untuk tidak menghakimi penganut agama

lain yang memiliki pandangan moral berbeda, sebab semua pandangan moral dari masing-

masing agama bersifat relatif dan sah. Dan terakhir secara teologi- filosofi, kita tidak dapat

menolak pandangan yang mengatakan bahwa pada hakekatnya semua agama setara, sama-

sama benar dan sama-sama menyelamatkan.

Menurut Th. Sumartana dalam buku Meretas Jalan Teologi Agama-agama di

Indonesia, Pluralisme telah menjadi ciri yang khas dari dunia dan masyarakat sekarang.

Dunia sekarang menjadi semacam kampung kecil dimana mansuia hidup bersama di

dalamnya. Dan karena itu mereka pasti saling berhubungan dan saling tergantung satu

dengan yang lainnya.22

Dalam kehidupan bersama di kampung kecil ini, setiap orang beragama harus

memiliki asumsi bahwa ada banyak yang yang tidak sama dalam agama-agama, tetapi ada

juga hal-hal yang sama yang dapat menjadi titik temu dalam kepelbagaian yang ada. Dalam

hal ini E. Gerrit Singgih mengatakan , sebab dalam agama-agama, ada hal-hal yang khas

dan partikular, tetapi sekaligus ada juga hal-hal yang umum dan universal. Kalau kita

menerima kemajemukan tidak dimaksudkan agar kita mengorbankan pertimbangan-

pertimbangan kritis untuk berperan antarbudaya dan antaraiman. Bukan sikap itu yang

dimaksud, sebab :

20 Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beragama (Jogjakarta: Dian/Interfidei, 2013) hal. 14 - 15

21 Bedjo, SE, M.Div., seperti dikutip Djoys Anneke Rantung, PAK dalam Masyarakat Majemuk (2013) hal 3

22 Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hal. 18

Page 15: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

11

“Menerima kemajemukan berarti secara esensial memahami dan menerima keunikan sendiri serta mempunyai pemahaman yang mendalam tentang interaksi antariman dan antarbudaya, serta mampu mengartikulasikan suatu tujuan yang lebih luhur dari sekadar melestarikan eksistensi masing-masing”.23

Adalah penting untuk menerima kemajemukan itu sebagai kenyataan yang memang

melekat dengan manusia dan kehidupannya, lalu berusaha menemukan jalan untuk

memahami peran yang dinamis dalam realitas yang majemuk itu. Memahami perbedaan

lalu berinisiatif untuk bersikap apresiatif aktif terhadap perbedaan itu, berusaha memiliki

ketrampilan untuk hidup bersama sambil terus mengharagai perbedaan-perbedaan

tersebut.

2.1.2. Pluralisme dalam pandangan Alkitab

a. Menurut Perjanjian Lama

Alkitab Perjanjian Lama tidak selamanya berbicara tentang ekslusivisme Israel

sebagai umat Allah. Banyak rujukan dalam Alkitab Perjanjian Lama yang membahas

tentang Israel sebagai umat Allah dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain dengan

keyakinan berbeda. Atau dengan kata lain, ada banyak rujukan dalam Alkitab Perjanjian

Lama yang dapat dijadikan landasan pemahaman pluralisme.

Kisah seperti yang terdapat dalam Kitab Kejadian tentang penciptaan manusia yaitu

dalam Kejadian 1 : 26 yang menggambarkan manusia sebagai citra atau gambar Allah atau

yang dikenal dengan sebutan imago dei. Ayat yang selengkapnya mengatakan :

“Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi (band. Kej 1:26)

Ayat Alkitab ini mengandung makna semua manusia mempunyai asal-usul di dalam Allah

sendiri. Imago dei juga mengisyaratkan bahwa manusia adalah analogi dari relasi yang

terdapat dalam Allah. Artinya manusi terpanggil untuk hidup dalam suatu relasi yang

harmonis bukan saja dengan Allah tetapi juga bermuara pada relasi manusia dengan

sesamanya. Itu sama artinya dengan menghargai sesama berarti menghargai Allah

23 Singgih, Gerrit E, Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005) hal 103

Page 16: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

12

Sang Pencipta dan sebaliknya merendahkan dan menghinakan harkat dan martabat sesama

manusia berati pelecehan terhadap Allah sebagai Sang Pencipta.24

Ayat tersebut di atas juga memberi makna tentang Allah yang Universal. Ia adalah

Allah bagi banyak bangsa dan bukan hanya bagi Israel. Ia adaladah Allah yang tidak saja

mengasihi Israel, tetapi Ia juga mengasihi bangsa-bangsa lain seperti Edom, Mesir dan

seterusnya.25 Allah itu bukanlah Allah yang eksklusif yang hanya dimiliki oleh suatu

bangsa saja, tapi bangsa-bangsa lain juga.

Masih dari kitab yang sama, Kejadian 12 : 1 - 3, ketika Abraham dipanggil Allah,

kepadanya Allah berfirman :

Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: "Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."

Abraham dipanggil dari tengah keluarganya dan pergi ke sebuah tempat baru.

Abraham diberkati dan menjadi masyhur. Abraham dipanggil untuk diberkati dan

membawa berkat Allah kepada semua kaum dan bangsa yang dijumpainya dan bagi semua

negeri dan tanah yang dilewatinya. Bahwa keselamatan atau berkat Allah itu tidaklah

terbatas hanya pada Abaram, tetapi untuk seluruh manusia. Dan adalah kemauan Allah

supaya semua bangsa dan seluruh umat manusia diberkati.26

Pokok pengajaran yang sama dapat ditemukan dalam pesan kenabian dari Yeremia

kepada Israel yang berada di pembuangan Babel. Di dalam Yeremia 29: 7, dituliskan pesan

yang berbunyi :

“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

Ayat yang merupakan bagian dari surat Yeremia kepada orang Israel yang sudah dibuang

ke Babel ini, dilatarbelakangi oleh peristiwa pemberontakan orang Israel. Mereka dihasut

oleh beberapa nabi palsu untuk memberontak terhadap pemerintahan Kerajaan Babel yang

sudah menaklukkan Yerusalem. Berbeda dengan pendapat para nabi palsu

24 Yewangoe Andreas A, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 158-159

25 Yewangoe Andreas A, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 16

26 Walter Lamp, Tafsiran Alkitab Kejadian 5 : 1 – 12 :3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987) hal. 202-203

Page 17: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

13

itu, Yeremia menulis kepada mereka bahwa mereka harus mempersiapkan diri untuk

tinggal lebih lama lagi di Babel, karena Babel akan menjadi seperti tempat tinggal sendiri,

bukan sebagai negeri asing.

Kesejahteraan mereka berkaitan erat dengan kesejahteraan kota Babel, kesejahteraan

seluruh penduduk yang ada di kota tersebut. Melalui upaya yang sungguh dari orang- orang

Israel di Babel untuk membangun relasi tanpa konflik dengan penduduk asli di Babel,

mereka akan bersama-sama menikmati rahmat dan kasih Tuhan. Rahmat dan kasih Tuhan

yang bukan hanya untuk orang Israel saja tetapi juga untuk seluruh penduduk kota, bangsa

yang telah mengalahkan mereka.

Selanjutnya dalam Kitab Yunus, ada kisah Yunus diutus Tuhan untuk menyerukan

pertobatan penduduk Niniwe, tetapi kemudian ia melarikan diri ke Tarsis karena ia

menganggap kehancuran penduduk Niniwe adalah wajar, karena mereka orang lain dan

mereka orang berdosa yang tidak layak untuk ditolong (bandingkan Yunus 1-2).

Kisah Yunus yang dibuang ke laut, ditelan ikan yang besar dan kemudian

dimuntahkan ke Niniwe dan yang marah karena pohon jarak tempat dia berteduh dari

teriknya matahari mati digerek seekor ulat memberikan nilai pengajaran relasi manusia

dan sesamanya di hadapan Tuhan. Bahwa Tuhan itu adalah Allah untuk seluruh dunia,

seluruh bangsa, atau Tuhan itu universil. Keselamatan bukan hanya milik satu bangsa saja

tetapi bangsa-bangsa lain juga. Kitab Yunus atau kisah Yunus ini dengan tegas melawan

sikap rasialis, nasional dan eksklusive. Yunus menjadi contoh tentang orang beragama

yang fanatik dan eksklusive yang tidak setuju kalau orang lain juga dikasihi dan

diselamatkan oleh Tuhan. Pengajaran dalam kitab Yunus adalah pengajaran tentang kasih

dan keselamatan bagi bangsa-bangsa lain. Pengajaran tentang Allah yang inklusive dan

universal.

Perjanjian Lama hendak mengajarkan bahwa kemajemukan atau perbedaan itu sudah

ada sejak penciptaan langit dan bumi, manusia serta segala isinya. Ada begitu banyak

warna perbedaan dan kemajemukan yang ada. Tetapi Allah mengajarkan bagaimana

penerimaan dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda dalam berbagai pandangan.

Pengajaran dalam Kitab Perjanjian Lama juga mau mengajarkan bahwa Allah adalah Allah

yang universal dan keselamatan Allah bukan hanya milik satu bangsa saja tapi bangsa-

bangsa lain juga. Umat Allah tidak diajarkan untuk bersikap eksklusive tetapi inklusive.

Page 18: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

14

b. Menurut Perjanjian Baru

Selain Perjanjian Lama, kita dapat menemukan pula dalam Kitab-kitab Perjanjian

Baru nilai-nilai pluralisme dalam ajarannya. Baik dalam Kitab-kitab Injil maupun tulisan-

tulisan Rasul. Ajaran Yesus tentang pluralisme yang ditulis oleh para penulis kitab Injil

maupun tulisan dalam Surat-surat Paulus.

Hukum kasih merupakan bukti konkrit pengajaran Yesus mengenai Tuhan Yesus

mengajarkan tentang kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama atau yang dikenal

dengan Hukum Kasih misalnya. Ajaran ini dapat ditemukan di dalam Kitab Injil Matius

dan Lukas yang mengatakan :

Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri ( Lukas 10 : 27, band. Matius 22 : 37 -400.

Tuhan Yesus memberikan perintah agar para pengikut-Nya mengasihi sesamanya seperti

mereka mengasihi diri mereka sendiri. Ajaran Kristus ini jelas menekankan tentang

mengasihi orang tanpa memandang suku, ras, budaya dan agama. Seperti tulisan

Yewangoe bahwa, orang Kristen harus membangun relasi dengan sesamanya tanpa

mempersoalkan berbagai perbedaan yang ada.27 Itulah yang diajarkan oleh Yesus

mengenai kasih kepada sesama.

Yang dimaksud dengan sesama manusia adalah semua orang yang tidak dibatasi oleh

suku, ras atau golongan atau tidak dibatasi oleh agama. Yesus mengajarkan hal ini

bagaimana relasi atau hubungan-hubungan antar sesama sekalipun ia berbeda dan

sekalipun itu musuh kita. Bagaimana Yesus mengajarkan tentang mengasihi musuh dan

berdoa bagi para penganiaya. Dalam Matius 5 : 44, dan Lukas 6 : 27 – 28, ajaran Tuhan

Yesus ditulis demikian : “Kasihilah musuhmum berbuatlah baik kepada orang-orang

yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi

orang yang mencaci kamu”. Ucapan Yesus ini disampaikan karena Yesus menyaksikan

pertentangan dan kebencian di antara berbagai golongan. Yesus melihat antara golongan

terjadi saling membenci, saling merendahkan dan melancarkan perlawanan. Pernyataan

Yesus tadi merupakan ungkapan keprihatian dan ketidak setujuan-Nya terhadap kenyataan

tersebut. Yesus mengajarkan sebuah nilai baru,

27 Yewangoe Andreas A, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 16

Page 19: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

15

mengasihi, berbuat baik, memberkati dan mendoakan bukan saja kepada sesama yang

baik,tetapi terlebih kepada mereka yang memusuhi dan suka menganiaya.

Selanjutnya ajaran Yesus dari kisah Orang Samaria yang murah hati dalam Lukas 10:

30-37. Kisah yang digunakan Yesus untuk menjawab pertanyaan seorang ahli taurat

tentang siapa sesamaku. Makna yang terkandung dari ajaran dalam kisah Orang Samaria

yang murah hati itu adalah bahwa setiap orang boleh memiliki banyak perbedaan, tetapi

kita semua adalah manusia. Manusia yang sama-sama membutuhkan perasaan aman,

diterima dan dihargai.28 Sesama manusia bukanlah orang yang sama agamanya atau sama

budayanya, bahasanya, dan lain sebagainya, tetapi sesama manusia adalah semua orang

yang wajib kita kasihi tanpa batas dan tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang

melekat.

Selain ajaran Yesus yang terdapat dalam Kitab-kitab Injil, ada juga tulisan-tulisan para

Rasul yang mengajarkan pentingnya hidup bersama dalam sikap saling menghargai.

Kepada Jemaat Kristen di Roma Paulus menulis : “Hiduplah dalam perdamaian dengan

semua orang” (Roma 12 : 18). Terhadap pernyataan ini, William Barclay mengatakan

bahwa Paulus memberikan serangkaian peraturan dan prinsip yang diperlukan dalam

hubungan orang Kristen dengan sesamanya yaitu (1). Orang Kristen harus menghadapi

siksaan dengan doa bagi mereka yang menyiksanya; (2). Kita harus bersukacita dengan

mereka yang bersukacita dan menangis dengan mereka yang menangis; (3). Kita dapat

hidup bersama, dengan sehati sepikir; (4). Kita harusmenghindarkan diri dari segala

kesombongan dan kebanggan pribadi; (5). Kelakukan kita harus baik bagi semua orang;

(6). Kita harus hidup damai dengan semua orang; dan (7). Kita harus menahan diri dari

segala keinginan untuk membalas dendam.29

Dengan demikian ajaran Alkitab dapat menjadi dasar teologis untuk mengembangkan

sikap responsif terhadap realitas Indonesia yang pluralis.

28 Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan, Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal 71

29William Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-hari, Roma, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986) hal. 250-254

Page 20: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

16

Kasih adalah kekuatan yang merubuhkan tembok pemisah antara manusia berdosa dengan

Allah, dan membangun relasi persaudaraan orang kristen dengan sesamanya dan

menciptakan rasa tanggung jawab terhadap hidup orang lain sebagai sesama. Selanjutnya

pengajaran hiduplah dalam pendamaian dengan semua orang adalah suatu ungkapan relasi

dengan sesama tanpa batas untuk dapat mewujudkan suatu situasi tanpa ada kekacauan,

yakni suatu suasana yang aman, tenteram dan harmoni atau suasana yang penuh syalom

(damai sejahtera). Itulah perwujudan yang wajib dilakukan dan dirasakan oleh semua

orang dengan tidak ada batasan-batasan siapapun orang tersebut.

Dengan demikian sangatlah jelas pokok-pokok pengajaran Alkitab baik PL

maupun PB mau mengajarkan bahwa perbedaan atau kepelbagaian itu ada, hal itu tidak

bisa dihindari apalagi ditolak. Namun bagaimana umat Allah atau gereja memahami dan

menyikapi dengan sikap-sikap seperti yang diajarkan Alkitab. Pengajaran mengenai

penghargaan terhadap nilai-nilai kehidupan manusia sebagai imago dei dan mewujudkan

kasih dengan tanpa syarat.

2.1.3 Perkembangan Pemikiran Pluralisme

Dalam perjumpaan dengan agama-agama lain, kekristenan mempunyai cara pandang

atau paradigma dalam berinteraksi. Hal ini terjadi sesuai dengan perkemabngan dan

Matius 22 : 37 - 40 Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan,

Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.

Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu,

ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu

“Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.”

(Roma 12 : 18).

Page 21: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

17

kondisi umat beragama di berbagai tempat. Penulis hendak mangkaji pendapat dan

pemikiran dari beberapa ahli mengenai pemahaman atau pemikiran tersebut.

Menurut Knitter dalam buku Satu Bumi Banyak Agama, membahas perkembangan

pemikiran pluralisme, tidak terlepas dari klasifikasi murni yang pertama kali dipakai oleh

Alan Race (1983) yaitu paradigma eklusivisme, inklusivisme dan terakhir pluralisme. Pada

tabel berikut, dapat dilihat penjelasan Knitter tentang ketiga 3 paradigma tersebut yaitu

paradigma eksklusive, inklusive dan pluralisme. 30

Eklusivisme

Konservatif evanggelikal Protestan arus utama (Mainline Protestant) Eklesiosentris Kristus bertentangan dengan agama-agama.

Inklusivisme

Protestan arus Utama. Katolik Roma Kristosentris Kristus dalam agama-agama Kristus di atas agama-agama

Pluralisme

Teosentris Kristus bersama agama-agama

Inilah tiga paradigma Kristen dalam perjumpaan dengan agama-agama lain.

Pengelompokan itu hendak menunjukkan perubahan cara pandang Kristen dalam

interaksinya dengan umat bergama di berbagai tempat.

a. Paradigma Eksklusivisme.

Cara pandang eksklusivisme ini dominan dimiliki oleh umat Kristen, yang

memandang umat di luar agama Kristen tidak selamat, karena mereka tidak mengenal dan

tidak tertarik kepada Kristus. Sebab Kristus, Allah yang menjadi manusia itu,

menghendaki agar semua orang menjadi Kristen. Hanya ada satu agama. Dan kalaupun

kaum ekslusivisme ini berdialog dengan umat yang berbeda agama, dialog itu bertujuan

membuat orang bertobat dan menjadi Kristen.

Dalam buku Tuhan Yesus Memang Khas Unik, menjelaskan bahwa bagi kaum

ekslusivis, Kristus secara unik adalah kebenaran dan satu-satunya jalan keselamatan bagi

manusia. Itu berarti bahwa agama-agama lain tidak benar dan agama lain tidak

30 Knitter, Satu Bumi Banyak Agama (2010), hal. 36-37

Page 22: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

18

merupakan jalan keselamatan. Agama-agama lain tidak dilihat sebagai alat kebenaran atau

keselamatan.31

John Titaley, dalam buku Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja

bagi Sesama, mengatakan paradigma ekslusivisme ini muncul dari agama-agama

monoteistik, agama-agama yang percaya hanya kepada satu Tuhan.32 Agama-agama

monoteistik dimaksud adalah Yudaisme, Kristen dan Islam. Bagi mereka, yang benar

hanya agamanya sendiri, sedangkan yang lain tidak. Dan karena itu pula, maka tidak

mungkin ada keterbukaan untuk menerima kebenaran atau sesuatu yang baik dari agama

lainnya.

Menurut paradigma ini, hanya orang yang percaya kepada Kristuslah yang selamat. Sebab hanya Kristuslah yang menyediakan jalan satu-satunya yang sahih menuju kepada keselamatan .33 Kristus bagi pemikiran ini bersifat unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan. Pemahaman teologis yang menempatkan Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan menggunakan dasar biblikanya dari dua pernyataan Alkitab yang mengatakan:

“Kata Yesus kepadanya : “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (band. Yohanes 14 : 6), dan selain itu, "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (band. Kisah Para Rasul 4 : 12).

Harold Coward dalam buku Pluralism Challenge to World Religions34, mengatakan

bahwa paradigma ekslusivisme ini memahami Allah Kristus yang adalah inkarnasi Allah

telah membentuk sebuah komunitas yang disebut Kristen sebagai “perfect society”. Gereja

dianggap sebagai pemilik seluruh kebenaran dan karena itu gereja atau orang kristen

melihat agama lain sebagai arah penginjilan yang akan membawa mereka ke dalam gereja

supaya mereka diselamatkan.

31 Wright Christ, Tuhan Yesus Memang Khas Unik, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003) hal. 19

32 John Titaley, dalam buku Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja bagi Sesama (2009 : 158)

33 John Titaley, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja bagi Sesama (2009) hal. 50

34 Harold Coward, Pluralism Challenge to World Religions (1985) hal. 14

Page 23: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

19

John Hick dan Paul F. Knitter dalam buku The Myth of Christian Uniqueness35,

memberikan juga gambaran bahwa paham ekslusivisme ini nyata dalam doktrin Gereja

Katolik yang sudah tertanam sejak abad ke-16 hingga di akhir abad ke-19, extra ecclesiam

nulla salus, di luar gereja tidak ada keselamatan. Pemahaman ini menempatkan gereja

sebagai pusat keselamatan. Paus Boniface VIII yang sering disebut sebagai pembela

pemahaman ini pernah menulis:36

“Kita dituntut oleh iman untuk meyakini dan mempertahankan bahwa ada satu Gereja yang kudus, katolik dan apostolik; kita dengan tegas mempercayainya dan tanpa ragu mengakuinya; di luarnya tidak ada keselamatan atau pengampunan dosa...”

Philip yang memaknai kehadiran kekristenan dan orang Hindu di India, dalam buku

Christianity and Religious Pluralism menjelaskan tentang tiga doktrin yang menjadi dasar

paradigma ini. Doktrin yang dimaksudkannya adalah :

(i). The Doctrine of Election. Doktrin tentang gereja sebagai komunitas yang dipilih

khusus oleh dan melalui Yesus Kristus sebagaimana dinyatakan dalam 1 Petrus 2 : 9,

“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat

kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang

besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-

Nya yang ajaib.”

(ii). The Doctrine of Christ. Doktrin tentang Yesus Kristus sebagai only dan final, yang

satu-satunya dan yang akhir. Atau menurut Knitter dalam buku No Other Name ?37,

bagi ajaran eksluvisme ini, Yesus Kristus adalah “the one and only”, hanya Yesuslah

satu-satunya jalan kepada keselamatan.

(iii). The Doctrine of the Church. Doktrin tentang keselamatan hanya ada di dalam gereja,

yang dikenal dalam ajaran extra ecclesiam nulla salus, di luar gereja tidak ada

keselamatan.

Menurutnya, ekslusivisme ini menjadikan orang kristen intoleran terhadap sesamanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa bagi kaum ekslusivis ini, hanya ada satu kebenaran,

yaitu di dalam Kristus dan karena itu perjumpaan dengan keselamatan itu hanya

35 John Hick dan Paul F. Knitter dalam buku The Myth of Christian Uniqueness (2001:26)

36 Paus Boniface VIII yang sering disebut sebagai pembela pemahaman ini pernah menulis (2009 : 50-51)

37 T. V Philip, Christianity and Relligious Pluralism, (Bangalaore: The United Theological College, 1988) hal. 182

Page 24: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

20

mungkin terjadi di dalam agama Kristen atau Gereja. Di luar itu tidak ada kemungkinan

kebenaran dan keselamatan. Maka orang Kristen atau Gereja memiliki tanggungjawab

melalui misinya di dunia, menjadikan semua orang menjadi percaya kepada Kristus,

menjadi Kristen dan warga gereja supaya mereka diselamatkan. Keterbukaan dan dialog

adalah sesuatu yang memiliki tujuan membuat orang menjadi percaya kepada Kristua dan

menjadi Kristen sekaligus menjadi warga gereja.

b. Paradigma Inklusivisme

Paradigma ekslusivisme itu mulai ditinggalkan ketika Gereja atau orang Kristen harus

memberi jawaban atas perjumpaannya dengan umat beragama dan berbudaya berbeda.

Stanley J. Samarta dalam buku Dialog Antar Umat Beragama, Dari Manakah Kita Bertolak

?38 menulis tentang berbagai temuan Komite Eksekutif dan Komite Sentral Dewan Gereja-

gereja Dunia. Salah satu yaitu rumusan ketiga dari empat pokok temuan yang

mempengaruhi rumusan-rumusan keputusan DGD tentang hubungan Gereja dengan umat

beragama lain mengatakan :

“..., perpindahan/migrasi orang-orang yang menganut berbagai kepercayaan ke negara-negara lain melahirkan masyarakat-masyarakat multi-religius yang sebelumnya belum pernah ada. Banyak jumlah pekerja, mahasiswa, turis dan kantong-kantong masyarakat Hindu, Budha, Islam, Sikh di negara-negara Barat menimbulkkan kebutuhan akan adanya kontak pribadi, saling bercakap-cakap dan kerja sama antara mereka dalam keseluruhan kehidupan masyarakat. Hampir dapat dipastikan bahwa di setiap kota besar di dunia ada jumlah besar orang-orang dari kepercayaan-kepercayaan lain, yang punya juga ‘pusat-pusat’ kebaktian dan pengajaran masing-masing di beberapa tempat...”

Perubahan dunia dan masyarakat memberi pengaruh besar terhadap perubahan paradigma

Gereja atau orang Kristen.

Perjumpaan dengan berbagai orang yang berbeda keyakinan dan budaya

memunculkan kesadaran akan kebenaran, keindahan dari agama lain dan sekaligus sadar

akan sikap orang Kristen yang tidak hadir sebagai sesama bagi mereka yang berbeda itu.

Kesadaran itu disemangati juga oleh paradigma baru dari Gereja Katolik Roma yang

dirumuskan dalam Konsili Vatikan II, yang membuka cara pandang atau sikap baru

terhadap-agama-agama lain. Sejalan dengan itu, DGD di tahun 1970-an memberi

dorongan kepada Gereja-gereja Protestan untuk membangun dialog dengan orang-orang

38 Olaf Schumann, Dialog Antar Umat Beragama, Dari Manakah Kita Bertolak? (Jakarta: Departemen Penelitian dan Pengembangan DGI, 1982) hal 26

Page 25: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

21

dengan keyakinan berbeda.39 Sejak itu terjadi perubahan paradigma dari extra ecclesiam

nulla salus, di luar gereja tidak ada keselamatan menjadi extra mundum nulla salus, di luar

dunia tidak ada keselamatan.40 Dunia atau yang dimaksudkan adalah bumi yang satu ini,

merupakan tempat bagi semua orang apa pun agamanya untuk hidup bersama,

mengupayakan kesejahteraan bersama di tengah berbagai keterbatasan, kekurangan,

penderitaan dan ketidakadilan. 41

Dipengaruhi oleh paradigma positif yang dihasilkan Konsili Vatikan II, gereja- gereja

Protestan akhirnya mengakui dan bahkan merayakan kehadiran Allah yang menyatakan

diri dan menyelamatkan manusia sepanjang sejarah. Paradigma ini mengakui bahwa kasih

Allah merangkul semua orang. Kasih Allah menjangkau semua agama.42

Kalau Kung dan Knitter mengatakan bahwa ekslusivisme itu menekankan kekhasan

dan keunikan Yesus sehingga keselamatan tidak ada di luar gereja, maka inklusivisme

berbicara tentang universalitas kehendak Allah untuk menyelamatkan seluruh umat

manusia. Inklusivisme mengakui bahwa penyataan dan keselamatan dari Allah hadir dan

hidup di luar batas-batas kekristenan. 43

Mengenai paradigma inklusivisme ini Joas Adisaputra menulis:

“Posisi universalisme sesuai dengan namanya, mencoba mencakup seluruh agama di bawah pengaruh penebusan Yesus Kristus, sekaligus tetap menghargai legitimasi agama-agama lain. Dengan kata lain ingin diakui dan dibuktikan bahwa dalam agama-agama lain pun maksud keselamatan Allah hadir, sembari tetap mengakui finalitas Yesus Kristus. Kristus menjadi pemenuhan final bagi agama-agama lain... Jelasnya, inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis : bekerjanya anugerah Allah serta paham keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam Yesus Kristus.”44

Cara pandang seperti ini jelas tidak mungkin muncul dalam paradigma ekslusivisme yang

menekankan partikularitas dan keunikan karya Allah di dalam Kristus Yesus. Karna

inklusivisme menegaskan maksud penyelamatan Allah itu berlaku untuk semua orang,

bersifat universal.

39 ibid. 40 ibid. 41 ibid. 42 2010:39 43 ibid. 44 Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia & UPI STT

Jakarta, 2009) hal. 64

Page 26: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

22

Menurut Wright, bagi kaum inklusivis, segala kebenaran adalah kebenaran Allah, dan

karena itu Kristus harus mencakup semua yang benar dalam agama lain. Kristus tetap

sebagai penentu dari keselamatan baik bagi orang Kristen maupun yang lainnya.45 Segala

kebenaran dan kebaikan berasal dari Allah, dan karena itu juga dengan satu atau lain cara

harus berasal dari dan melalui Kristus. Kebenaran atau kebaikan apa pun yang dapat dilihat

dalam agama lain harus dihubungkan dengan Kristus yang dengan satu cara berada dan

bekerja di dalam diri penganut agama lain.46

Jadi dapat disimpulkan bahwa paradigma inklusivisme ini mencoba mempertahankan

keunikan, kekhasan dan kesentralan Kristus, tetapi menggeser pusat pandangan ekslusif

tentang Kristus ke pandangan yang lebih universal tentang Allah dan tindakan-Nya di

dalam dan melalui agama lain. Orang kristen menjadi terbuka dan toleran kepada

sesamanya namun tetap setia dalam imannya kepada Kristus. Inklusif kepada agama-

agama lain dengan kesetiaan ekslusif kepada Kristus.

Namun ternyata paradigma ini masih belum dapat merumuskan jawaban yang tepat

tentang penyataan umum yang universal bagi segenap umat manusia dan penyataan khusus

di dalam Kristus. Sulit diterima bahwa Allah untuk keselamatan manusia berdosa berkarya

secara khas, unik dan khusus melalui dan hanya di dalam Kristus, tetapi bahwa orang pun

dapat diselamatkan oleh Kristus karena kebaikannya yang dilakuannya sebagai orang yang

mempraktekkan ajaran agamanya. Pandangan ini tidak dapat memberikan rumusan yang

tepat sebagai jawaban atas pertanyaan : “Apakah Semua Agama Sama?”47

Kesulitan lain yang dihadapi adalah pemahaman tentang Kristen Anonim yang

dikembangkan oleh Karl Rahner. Orang di luar Kristen yang berbuat baik, memiliki nilai-

nilai lebih dapat diselamatkan oleh Kristus. Orang Islam yang baik akan dinamai Kristen

Anonim, Orang Hindu yang baik akan dinamai Kristen Anonim dan seterusnya. Menurut

Hikck, Race dan Knitter, pemahaman seperti itu justru menggambarkan sikap chauvinisme

dan paternalisme yang berlebihan dari kekristenan atau gereja, dan menjadi penghalang

besar bagi munculnya sebuah dialog yang jujur dan seimbang.48

45 Gerardette Philips, Beyond Pluralism, (Yogyakarta : Institus Dian/Interfidei, 2013) hal. 60

46 ibid. 47 ibid. 48 ibid.

Page 27: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

23

Dengan demikian, baik ekslusivisme maupun inklusivesme sama-sama merupakan

paradigma atau pendirian yang sukar dirumuskan dan dipertahankan. Tidak dapat

dibayangkan kita dapat hidup di tengah-tengah kemajemukan dengan cara pandang

ekslusive, cara pandang yang akan menjauhkan kita dengan sesama. Tetapi sebagai orang

beriman, juga sulit untuk menjadi inklusivis, percaya kepada Yesus tetapi menganggap

bahwa keselamatan itu juga dapat di peroleh dengan cara lain. Maka sangatlah tepat untuk

mengembangkan nilai-nilai pluralisme seperti yang sudah di bahas di bagian tersendiri.

c. Paradigma Pluralisme.

Kalau ekslusivisme itu ditolak karena orang jadi intoleran dan inklusivisme tidak

diterima karena orang menjadi sangat terbuka untuk mengatakan bahwa semua agama

benar maka jalan keselamatan pun bisa di dalam agama apa saja; maka paradigma

pluralisme adalah paradigma yang tepat. Pluralisme sebagaimana telah dibahas di bagian

sebelumnya.

Wright meyimpulkan demikian :

“Kita tidak bisa berkompromi dalam kenyataan, bahwa sikap dan pendekatan sesuai teladan Kristus terhadap orang lain haruslah penuh cinta kasih, tenggang rasa, rendah hati, hormat dan mau mendengarkan – baik dalam pergaulan sosial biasa maupun dalam perdebatan teologis. Pada waktu yang sama, kita juga tidak bisa berkompromi dalam kebenaran bahwa Yesus adalah yang paling pusat dan paling unggul. Juga tidak dalam misi gereja Kristen, sebagai penjaga kebenaran ini, untuk memberitahukan hal ini sebagai kenyataan tidak saja untuk orang Kristen, tapi juga untuk segenap umat manusia.”49

Paradigma ini, walau memiliki banyak kelemahan, memberikan kemungkinan untuk

menghargai entitas agama lain secara jujur sembari secara terbuka dan mendalam mencoba

mempertahankan identitas kekristenan itu sendiri.50 Paradigma ini mengajarkan tentang

sikap hidup yang saling menerima dan saling belajar tentang kearifan tanpa harus

terjerumus ke dalam sinkretisme agama.

Djoys Karundeng Rantung, dalam buku Perjalanan Semua Mendayung mengatakan

bahwa kemajemukan atau perbedaan adalah anugerah dan kehendak Allah

49 Wright Christ, Tuhan Yesus Memang Khas Unik (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina

Kasih/OMF, 2003) hal. 49 50 Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia & UPI STT

Jakarta, 2009) hal. 84

Page 28: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

24

yang harus disikapi dalam sikap saling menghargai, mengedepankan kebersamaan,

berperilaku saling beradab, bersikap jujur, adil, sopan, disiplin, peduli dan

bertanggungjawab dengan menjalin kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Kristiani yang

alkitabiah. Pluralisme itu harus disikapi dengan rasa syukur.51

Dengan demikian pluralisme bukan sekadar pemahaman tetapi adalah sikap yang

harus dibangun berdasarkan realitas kemajemukan di sekitar kita supaya :

1). Makin mengenal keyakinan kita dan mencintainya dengan sungguh-sungguh, dan di

saat yang bersamaan makin terbuka juga untuk mengakui dan menerima umat dengan

agama yang berbeda. Hidup bersama dalam masyarakat plural di Indonesia ini dengan

rukun, sebab kerukunan itu adalah salah satu penyanggah pluralitas bangsa ini.

2). Melihat perbedaan tidak sebagai alasan untuk saling memisahkan diri atau bahkan

saling membenci, sebab pasti ada nilai-nilai yang mempersatukan kita, misalnya

hormat terhadap keutuhan setiap manusia, penolakan terhadap penggunaan kekerasan

atas nama agama, keadilan, kebebasan beragama, berpendapat dan berekspresi, serta

solidaritas dengan kaum miskin dan tertindas. Kadarmanto Hardjowasito mengatakan

salah satu sikap yang bisa dikembangkan terhadap pluralitas itu adalah, menerima

kemajemukan sebagai kenyataan esensial dari kehidupan itu sendiri lalu berusaha

bersama menemukan jalan untuk memahami peran masing-masing orang dalam

realitas itu.52

3). Mengembangkan sikap toleransi dengan sesama, menerima dengan respek setiap

orang dengan perbedaan dan keunikan masing-masing. Sebab pada kenyataannya

setiap orang saling membutuhkan, saling bergantung satu dengan yang lain).

4). Membuka diri dan berdialog serta melakukan karya bersama orang lain demi

kesejahteraan bersama sebagai keluarga Allah. Sebab bagi kita, bekerja bersama untuk

kesejateraan orang lain adalah keharusan.

5). Bergandengan tangan bersama untuk memunculkan potensi sosial agama yang

dijiwai sikap saling membutuhkan dan saling bergantung demi memperjuangkan masa

depan bersama semua orang.

51 Djoys Karundeng Rantung, dalam buku Perjalanan Semua Mendayung (2014 : 91) 52 Borong, Robert P –editor, Berakar di dalam Dia & Dibangun di atas Dia (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2002) hal. 114

Page 29: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

25

2.2. Kurikulum PAK tentang Pluralisme

2.2.1 Pengertian Kurikulum

Pada bagian pengantar buku yang berjudul Curriculum Development in the

Postmodern Era, Slattery menggambarkan kurikulum dan pengajaran adalah jantung dan

jiwa dari pendidikan. Tepatnya Slattery katakan, “Curriculum and instruction are very

heart and soul of schooling”.53 Sebuah gambaran yang menegaskan bahwa betapa

pentingnya peranan kurikulum dalam pendidikan.

Istilah atau kata kurikulum, adalah istilah yang pertama kal digunakan dalam dunia

olahraga khususnya atletik. Kata ini berasal dari bahasa Latin, currere yang berarti lari.

Dan secara harafiah, kurikulum adalah jarak atau track yang harus ditempuh oleh seorang

pelari.54 Istilah tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan. Kurikulum dalam

dunia pendidikan diartikan sebagai sejumlah mata pelajarann yang harus ditempuh atau

diselesaikan oleh peserta didik untuk dapat mencapai tingkatan tertentu atau untuk

memperoleh ijazah.55

Dari berbagai tulisan yang ada, diperoleh beberapa pengertian tentang kurikulum. Ada

pengertian kurikulum yang datang dari pendapat klasik atau tradisional. Kurikulum

difahami sebagai rencana pembelajaran di suatu sekolah. Kurikulum dalam pengertian ini

berkaitan dengan pelajaran dan materi yang harus ditempuh di sekolah. Kurikulum

sebagaimana dipengaruhi oleh latarbelakang penggunaan istilah tersebut dalam dunia

atletik, dimengerti sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus

dikuasai oleh peserta didik untuk mencapai tingkatan tertentu.

Muhammad Roman dalam buku Kurikulum Berkarakter memberikan pengertian

kurikulum sebagai “lapangan pertandingan” (race course), yaitu arena tempat siswa atau

peserta didik berlari untuk mencapai tujuan akhir atau finish. Istilah kurikulum baru

digunakan dalam dunia pendidikan pada tahun 1955 dan bila ditelusuri kurikulum

memiliki berbagai macam pengertian, yaitu : (1). Kurikulum diartikan sebagai rencana

pelajaran; (2). Pengalaman belajar yang diperoleh murid di sekolah; (3). Rencana belajar

siswa.56

53 Slattery, Curriculum Development in the Postmodern Era (1995) hal. 15 54 Maria Harris, Fashion Me A Peoples, Curriculum in the Church, Liusville (1989) hal.

55 55 (Sudjana, 2005 :3-5). 56 Muhammad Roman dalam buku Kurikulum Berkarakter (2012 : 3)

Page 30: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

26

Menurut Hilda Taba seperti dikutip Nasution dalam buku Asas-asas Kurikulum,

mendefiniskan kurikulum sebagai sebuah rencana pembelajaran.57 Kurikulum adalah “a

plan for learning”, yakni sesuatu yang direncanakan untuk pelajaran anak. Atau seperti

yang ditulis oleh D. Gampbell Wyckoff ,58 A curricuum is a plan by which the teaching-

learning process may be sistematically undertaken. Sebuah rencana yang dengannya

proses belajar-mengajar dapat dijalankan secara sistimatis.59

Paulus Suparno, dalam buku “Menyambut Kurikulum 2013” yang mengutip

pendapat Posner, mengatakan bahwa kurikulum adalah seluruh pengalaman yang

direncanakan akan dialami oleh siswa dalam seluruh proses pendidikan di sekolah;

sehingga tujuan pendidikan tercapai 60. Menurutnya pengalaman-pengalaman yang

dimaksud mengandung tiga hal penting. Tiga hal penting itu adalah :

(1). Pengalaman-pengalaman itu menyangkut : pengalaman kurikuler di kelas,

pengalaman kokurikuler, dan pengalaman di luar sekolah (ekstrakurikuler.

Pengalaman itu berkaitan dengan apa saja yang diharapkan akan dialami dan dipelajari

di dalam kelas, apa saja yang akan dilakukan di dalam kelas, dan kegiatan apa saja

yang disediakan di kelas dalam seluruh proses belajar. Kurikulum yang baik dan

lengkap harus juga sampai memikirkan tentang apa yang mau dibantukan kepada

siswa sebagai kekgiatan kokurikuler, seperti apa yang harus dilakukan di

laboratorium, di bengkel sekolah sebagai bantuan pada apa yang dipelajari di kelas.

Sedangkan pengalaman ekstrakulikuler dalam kurikulum yaitu pengalaman belajar

apa yang akan dilakukan di luar sekolah yang lebih nonformal dan terjadi dalam

situasi yang lebih rileks. Misalnya kegiatan live in di tengah masyarakat tertentu,

camping dan outbond di tempat tertentu yang akan membantu perkembangan karakter

siswa.

(2). Pengalaman itu berkitan dengan konteks, filsafat, isi, pengayiran isi, metode,

evaluasi. Pengalaman yang direncanakan dalam kurikulum harusnya memperhatikan

konteks yaitu latar belakang daerah, budaya dan kebiasaan siswa yang akan dibantu

dalam proses pendidikan. Selanjutnya kurikulum harus

57 Menurut Hilda Taba seperti dikutip Nasution dalam buku Asas-asas Kurikulum (2008:2)

58 D. Gampbell Wyckoff, The Gospel and Christian Education, Philadelphia, The Wesminter Press

59 Paulus Supano, Menyambut Kurikulum (2013) hal. 33-36 60Forum Mangunwijaya, Menyambut Kurikulum 2013 (Jakarta : Kompas, 2013) hal.32

Page 31: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

27

memperhatikan landaasan filosifi yang digunakan. Kemudian semua pengalaman

yang mau terjadi pada siswa harus ada isinya, dan itu harus diatur menurut jenjang

usia atau kelas dan waktu kapan akan dilakukan. Tidak kalah penting adalah bahwa

kurkulum itu juga harus memuat dengan jelasa metode apa yang akan digunakan

dalam proses pendidikan. Dan yang terakhir dai kurikulum dalah bagaimana proses

pengalaman itu dievaluasi untuk melihat apakah program berjalan baik dan

membuahkan kemajuan bagi siswa seperti yang diinginkan atau tidak.

(3). Pengalaman itu hanya akan berjalan baik karena mengikutsertakan guru, fasilitas,

infrastruktur, buku, situasi dan suasana sekolah. Dalam mempersiapkan kurikulum

dan pengalaman yang akan dilakukan siswa, harus dibicarakan dengan jelas bagaiman

peran guru fasilitas, infrastruktur, buku, situasi dan suasana sekolah. Seorang guru

memegang peranan penting dalam hampir seluruh proses pendidikan. Karena itu perlu

dijelaskan guru seperti apa dan dengan karakter apa yang tepat. Selain guru sebagai

pemegang peran penting, tersedianya buku adalah sangat penting dalam proses

belajar, demikian juga suasana dan situasi sekolah. Selanjutnya unsur-unsur

penunjang seperti fasilitas-fasilitas dan infrastruktur yang akan menunjang

pengalaman belajar siswa perlu dipersiapkan. Misalnya untuk pengalaan belajar

ekstarkurikuler dengan live in tentu harus ditunjang dengan fasilitas yang diperlukan.

Pendapat beberapa ahli sebagaimana dikutip Nasution61 mendefinisikan kurikulum

sebagai berikut :

a. Menurut J. Galen Saylor dan Wiliam M. Alexander dalam buku “Curriculum

planning for Better teaching and Learning” (1956) menjelaskan bahwa “The

Curriculum is the sum total of school’s efforts to influence learning. Whether in the

classroom, on the playground, or out of school “.62

Semua usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, baik di dalam kelas maupun

di luar kelas. Kurikulum itu meliputi juga kegiatan ekstra kurikuler. Menurut Saylor

et al ada empat kategori kurikulum yaitu (1). Rencana mata pelajaran atau bahan-

bahan pelajaran; (2). Rencana pengalaman belajar; (3).

61 S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta : Bumi Aksara, 2008) hal. 4-8 62 J. Galen Saylor dan Wilia, M. Alexander, The Curriculum Planning for Better

Teaching and Learning, 1956.

Page 32: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

28

Rencana tujuan pendidikan yang harus dicapai; dan (4). Rencana kesempatan

belajar.63

b. Demikian pula Harold B. Albertycs, dalam Reorganizing the High-School Curriculum

(1965) melihat kurikulum sebagai “ all of the activities that are provided for students

by the school “. Hampir sama seperti Saylor dan Alexander.64 Kurikulum bukan hanya

tentang mata pelajaran di kelas. Kurikulum meliputi kegiatan-kegiatan lain baik di

dalam kelas maupun di luar kelas yang berada di bawah tanggungjawab sekolah.

c. Selanjutnya B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores. Mereka

menjelaskan kurikulum sbb : “a sequence of potential experiences set up in the school

for the purpose of disciplining children and youth in group ways of thinking and

acting.“ Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara

potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir dan

berbuat sesuai dengan masyarakatnya.65

d. Pendapat William B. Ragan, sebagaimana terdapat di dalam buku Modern Elementary

Curiculum (1996).

“The tendency in recent decades has been to use the term in a broader sense to refer to the whole life and program of the school. The term is used…. To include all experiences of children for which the school accept responsibility. It denotes the results of efferorts on the part of the adults of the community, and the nation to bring to the children the finest, most whole some influences that exitst in the culture66.”

Kurikulum bukan hanya tentang bahan pelajaran, tetapi meliputi juga seluruh

kehidupan kelas. Tentang hubungan sosial antar guru dan murid, tentang Metode

mengajar dan mengevaluasi.

e. J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary School Improvemant (

1973) memberikan defenisi kurikulum yang luas. Menurut mereka, kurikulum juga

termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh

program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan, penyuluhan, supervisi dan

63 Paulus Lilik Kristianto, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen, Andi, 2006:35 64 Harold B. Albertycs, Reorganizing the High-School Curriculum (1965) 65 ibid. 66 William B Ragan, Modern Elementary Curiculum, 1996

Page 33: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

29

administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta

kemungkinan memilih mata pelajaran.67

f. Alice Miel dalam buku Changing the Curriculum : a Social Process (1946),

menambahkan keadaan gedung, suasana sekolah, kenginan, keyakinan, pengetahuan

dan sikap orang-orang yang melayani di sekolah sebagai bagian dari kurikulum.

g. Edward A. Krug dalam The Secondari School Curriculum mendefinisikan kurikulum

sebagai “A Curricuum Consist of the means used to achieve or carry out given

purposess of schooling”. Kurikulum adalah cara-cara dan usaha untuk mencapai

tujuan lembaga pendidikan. Menurut Krug, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam

kurikulum yaitu (I), orgazation classroom instruction, atau pengajaran di dalam kelas;

(II) kegiatan-kegiatan di luar pengajaran dalam kelas itu, seperti bimbingan dan

penyuluhan, kegiatan pengabdian masyarakat, pengalaman kerja yang bertalian

dengan pelajaran, dan perkemahan sekolah. Karena itu, kurikulum itu harus real (riil),

apa yang ada dalam idea yang ditetapkan sebagai tujuan mampu direalisasikan atau

dicapai, sehingga tidak ada kesenjangan antara idea kurikulum dengan real kurikulum.

Bagaimanapun pemahaman tentang kurikulum, menurut Hilda Taba, pada hakekatnya

fungsi tiap kurikulum adalah suatu cara untuk mempersiapkan anak dalam hal ini siswa

agar dapat berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya.

Dari sudut pandang Pemerintah sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang

Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Nomor 20 tahun 2003, Bab I pasal 1 ayat 19

merumuskan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,

dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Terhadap pengertian kurikulum

ini, Reksoatmodjo yang memahami berbagai pendapat para ahli mengatakan ada empat (4)

fungsi dari kurikulum menurut rumusan yang terdapat dalam Undang- undang Sidiknas

tersebut68. Keempat fungsi itu adalah :

67 J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller, Secondary School Improvemant, 1973 68 Tedjo Narsoyo Reksoatmodjo, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan

Kejuruan, (Bandung: Refika Aditama, 2010) hal. 4-5

Page 34: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

30

(1). Kurikulum sebagai rencana. Kurikulum sebagai rencana kegiatan belajar-mengajar

atau rencana pembelajaran dikembangkan berdasarkan suatu tujuan yang ingin

dicapai. Sebagai suatu rencana tertulis kurikulum juga dipandang sebagai dokumen

tertulis (Beauchamp, 1975:103). Dan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan,

dalam kurikulum perlu ditetapkan kriteria evaluasi.

(2). Kurikulum sebagai pengaturan. Pengaturan dalam kurikulum dapat diartikan

sebagai pengorganisasian materi atau isi pelajaran pada arah horizontal dan vertikal.

Pengorganisasian pada arah horizontal berkaitan dengan lingkup dan integrasi,

sedangkan pada arah vertikal berkaitan dengan urutan dan kontinuitas. Dalam

pengorganisasian kurikulum perlu diperhatikan dua aspek pembelajaran yakni, materi

apa yang harus dikuasai, serta proses mental apa yang terjadi.

(3). Kurikulum sebagai cara. Pengorganisasian kurikulum mengisyaratkan penggunaan

metode pembelajaran yang efektif berdasarkan konteks pembelajaran. Pemillihan

metode mengajar erat hubungannya dengan sifat materi pelajaran atau prkatikum dan

tingkat penguasaan yang ingin dicapai.

(4). Kurikulum sebaai pedoman. Kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran harus memiliki kejelasan tentang gagasan-gagasan dan tujuan yang

hendak dicapai melalui penerapan kurikulum. Perumusan tujuan yang jelas akan

meningkatkan effektivitas penerapan kurikulum.

Sedangkan menurut Rohman, fungsi kurikulum selain sebagai pedoman bagi guru

dalam melaksanakan tugasnya, ia juga memiliki fungsi sebagai69:

(1). Fungsi Preventif, agar guru terhindar dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan

apa yang ditetapkan kurikulum.

(2). Fungsi Kolektif, sebagai rambu yang menjadi pedoman dalam membetulkan

pelaksanaan pendidikan yang menyimpang dari yang telah digariskan dalam

kurikulum.

(3). Fungsi Konstruktif, yaitu memberikan arah yang benar bagi pelaksanaan dan

mengembangkan pelaksanaannya asalkan arah pengembangannya mengacu pada

kurikulum yang berlaku.

Selanjutnya, menurut Nasution, setiap kurikulum harus mempunyai empat komponen

utama yaitu :

69 Muhammad Rohman, Kurikulum Berkarakter, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2012) hal. 4

Page 35: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

31

(1) Tujuan;

(2). Kegiatan atau Pengalaman Belajar;

(3). Pengetahuan, yaitu isi atau bahan pelajaran yang diperoleh dan digunakan dalam

proses belajar;

(4). Penilaian atau evaluasi hasil belajar untuk mengetahui sampai sejauh mana tujuan

itu tercapai.70

Sementara itu, menurut Rohman, komponen-komponen kurikulum itu terdiri dari :

(1). Tujuan, yaitu arah/sasaran yang hendak dituju oleh proses penyelenggaraan

pendidikan.

(2). Isi kurikulum, yaitu pengalaman belajar yang diperoleh siswa di sekolah.

Pengalaman-pengalaman ini dirancang dan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga

apa yang diperoleh siswa sesuai dengan tujuan.

(3). Metode proses belajar mengajar yaitu cara murid memperoleh pengalaman belajar

untuk mencapai tujuan.

(4). Evaluasi, yaitu cara mengetahui apakah sasaran yang ingin dituju dapat tercapai atau

tidak.71

2.2.2 Pentingnya Kurikulum dalam Gereja

Robert W. Pasmino dalam Fondasi Pendidikan Kristen mendefinisikan kurikulum

sebagai berikut :

1). Kurikulum adalah konten yang disediakan bagi peserta didik.

2). Kurikulum adalah pengalaman proses pembelajaran yang terpadu dan terencana

bagi peserta didik.

3). Kurikulum adalah pengalaman aktuan peserta didik atau partisipan.

4). Secara umum kurikulum sudah termasuk materi dan pengalaman untuk

pembelajaran. Secara khusus, kurikulum adalah pelajaran tertulis yang digunakan

dalam proses pembelajaran dalam pendidikan Kristen.

5). Kurikulum adalah pengorganisasian aktivitas pembellajaran yang dipandu oleh

seorang pengajar dengan tujuan untuk mengubah sikap.72

70 Nasution, Asas-Asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) hal. 63 71 Muhammad Rohman, op.cit, 4 72 Robert W. Pasmino, Fondasi Pendidikan Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia 2012)

hal. 321

Page 36: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

32

Dalam pengertiannya, kurikulum sudah termasuk pengalaman untuk pembelajaran.

Pengalaman di masa lampau dapat menjadi masukan untuk menetapkan isi kurikulum

bahkan kurikulum itu sendiri. Dan karena itu kurikulum dapat merubah sikap atau

kehidupan seseorang, ketika kurikulum itu menyentuh pengalaman hidupnya.

Dalam buku Fashion Me A People, Curriculum in the Church, Harris, mengatakan

bahwa kurikulum dalam gereja memiliki kaitan dengan Koinonia atau persekutuan,

Leitourgia atau Ibadah, Didache atau Pengajaran, Kerygma atau Proklamasi Injil, dan

Diakonia atau Pelayanan.

Kurikulum dalam kaitan dengan Koinonia atau persekutuan, disusun untuk menjadi

pedoman baik untuk warga jemaat, para pemimpin maupun keluarga untuk membangun

persekutuanya dalam gereja dan kebersamaannya dengan masyarakat di luar gereja73.

Kurikulum gereja juga penting untuk membangun kesalehan melalui doa dan ibadah, baik

pribadi maupun sebagai umat, juga berkaitan dengan kegiatan hidup sehari-hari, sebab

liturgi mengandung pengertian, baik kultus yaitu ritual ibadah maupun kehidupan sehari-

hari 74

Selain koinonia dan liturgi, kurikulum gereja juga harus berkaitan dengan didache,

kerygma dan diakonia. Kurikulum di bidang ini meliputi, kurikulum katekisasi dan

khotbah, yang dapat mengikut sertakan berbagai pihak dalam gereja.75 Calvin, melihat

katekisasi sebagai hal yang penting dan paling bermakna dalam pelaksanaan tugas gereja,

karena itu penyusunan kurikulumnya harus ditangani dengan serius. 76

Kurikulum gereja juga memiliki kaitan dengan proklamasi injil Kristus atau kasih

Allah. Kurikulum yang menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari. Kurikulum yang

membekali warga gereja untuk bukan saja menjadi hamba Tuhan yang mendengarkan

firman Tuhan, tetapi lebih dari pada itu, menjadi pribadi-pribadi dan persekutuan yang

menetang ketidak adilan.77 Dan terakhir, kurikulum haruslah juga berkaitan dengan

kehadiran gereja di tengah-tengah pelayanan kepada masyarakat. Kurikulum pengajaran

73 Maria Harris, Fashion Me A Peoples, Curriculum in the Church, (Liusville,1989) hal. 81

74 Maria Harris, Ibid., hal. 85 75 Maria Harris, Fashion Me A Peoples, Curriculum in the Church, (Liusville,1989) hal.

119 76 Robert R Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama

Kristen dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia (2011) hal. 419

77 Robert R Boehlke, ibid, 137

Page 37: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

33

gereja memperlengkapi warga gereja untuk di bidang keadilan sosial, sehingga warga

jemaat dapat berpartisipasi membela korban ketidak adilan, kemiskinan dan lain-lain.78

Pemahaman di atas sejalan dengan apa yang dikatakan Bower (1970 : 180), bahwa

kurikulum harus memberikan perhatian kepada setiap aspek ajaran kristen atau gereja.

Kurikulum haruslah juga mencakup semua bidang pengalaman hidup warga gereja, di

rumah, sekolah, pekerjaan, bahkan rekreasi dan dalam perjumpaan dengan masyarakat.

Dan selain itu, juga mencakup semua bidang pengetahuan Alkitab yang memiliki makna

dan nilai-nilai pengajaran tertentu.

Jan. A. Muirhead dalam buku Education in the New Testamen (1965:86), mengatakan

pengajaran kristen haruslah direfleksikan dalam kualitas persekutuan, pelayanan dan

kesaksian kepada dunia. Dan karena itu kurikulum pengajaran gereja harus berkaitan

dengan ketiganya, persekutuan, pelayanan dan kesaksian.79

Bagi Groome dan Wyckoff , kurikulum gereja yang baik itu harus mencakup dimensi-

dimensi penting seperti : konteks, ruang lingkup, tujuan, proses, metode dan media,

kesiapan siswa dan mitra. Kurikulum yang baik tidak terjadi begitu saja, ia membutuhkan

pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip kurikulum itu dengan baik 80.

Dari berbagai pendapat di atas, kurikulum hendaknya disusun untuk mencapai tujuan

besar dari pengajaran iman warga gereja khususnya bagi anak-anak Pel-Kat PA, yang

mencakup unsur-unsur penting berikut :

(1). Komponen Tujuan Pembelajaran, yang meliputi visi, misi gereja dan tema-tema

pembinaan warga gereja. Pada bagian ini, kurikulum dapat memperjelas upaya

melaksanakan misi GPIB di tengah bangsa yang plural ini, sebab dalam Pembukaan

Tata Dasar GPIB (Majelis Sinode GPIB, 2010 :17), alinea ke-4 mengatakan : “GPIB

terpanggil untuk mewujudkan kebaikan Allah dalam masyarakat Indonesia yang

majemuk, dengan ikut membangun nilai-nilai kehidupan yang berkeadaban, inklusif,

adil, damai dan demokratis (“Civil Society”) dengan melaksanakan fungsi kenabian

di tengah simpul-simpul kekuasaan yang ada....” Cita-cita luhur kehadiran gereja

dapat dicapai jika dirumuskan secara jelas dalam Tujuan Kurikulum Pembinaan

Warga Gereja, termasuk dalam Kurikulum untuk IMPA GPIB.

78 Robert R Boehlke, ibid, 157 79 Jan A Muirhead, Education in the New Testamen (1956) hal.86 80 Thomas H Groome, Christian Religous Education, Sharing Our Story and Vision,

(San Francisco, Harper & Row Publishers, 1979) hal. 84

Page 38: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

34

(2). Komponen Isi atau Materi Pembelajaran, yang meliputi rumusan pokok bahasan,

tujuan instruksional dan materi pembelajaran yang memperhatikan konteks dan

kemampuan anak-anak Pel-Kat PA yang hendak dilayani sesuai kategori usia yang

sudah ditetapkan di gereja. Hasilnya adalah sebuah buku pegangan pelayan Pel-Kat

PA GPIB. Pada bagian inilah, pokok bahasan tentang pluralisme dapat dimasukkan

sebagai materi pengajaran IMPA khusus bagi anak-anak GPIB.

(3). Komponen Organisasi dan Metode atau Kegiatan Pembelajaran yang membutuhkan

penggunaan metode, media dan mitra atau peran serta anak-anak layan dan para

pelayan. Pada bagian ini, kurikulum itu akan memuat rencana belajar pluralisme,

dengan siapa, di mana, menggunakan metode apa dan media apa. Bagaimana sebuah

pengalaman belajar bersama orang lain di suatu atau beberapa tempat tertentu tentang

pokok pluralisme bisa dirancang. Dengan demikian memberi motivasi kepada semua

penanggungjawab pelaksaan IMPA di GPIB untuk melaksanakannya sesuai konteks

jemaat masing-masing.

(4). Komponen Evaluasi yang mencakup semua kegiatan yang dilaksanakan untuk

mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Diharapkan bahwa melalui pelaksanaan

pengajaran PAK Pluralisme yang sesuai dengan kurikulum yang sudah disusun yang

dapat dievaluasi, pelaksanaannya akan berkesinambungan dan dikembangkan.

Ada hal menarik yang diusulkan oleh Martin Palmer, berhubungan dengan apa yang

harus dilakukan melalui pendidikan kristen dalam kaitan dengan pluralisme. Bertolak dari

keyakinan bahwa kita pecaya Allah sebagai asal dari segala sesuatu atau Allah sebagai

Pencipta semua yang ada, maka keberagaman adalah bagian dari rencana penciptaan

Allah. Maka menyusun sebuah kurikulum belajar tentang pluralisme harus dimulai dari

prinsip teologis tadi yang mampu memacu anak-anak dalam gereja untuk tiap hari tiada

berhenti berpikir positif dan bersikap positif terhadap perbedaan itu.81

2.3. Metode Mengajar PAK

2.3.1. Pengertian Metode Pembelajaran

Kegiatan belajar mengajar haruslah sampai pada tingat kompetensi yang lebih tinggi,

merubah perilaku. Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku sebagai hasil

81 Martin Palmer, What Should We Teach?, (Geneva : WCC Publications, 1991) hal. 30

Page 39: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

35

pengalaman. Belajar merupakan suatu bentuk pertumbuhan diri yang dinyatakan dalam

cara-cara bertingkah laku yang baru, buah dari pengalaman dan latihan.

Menurut buku Enslikopedi Indonesia, kata Metode atau Metoda, berasal dari bahasa

Yunani, Methodos berarti cara untuk melasanakan sesuatu atau cara mencapai

pengetahuan . Jihad, et al dalam buku Evaluasi Pembelajaran (2012 : 24), menuliskan

bahwa metode mengajar adalah cara mengajar atau cara menyampaikan materi pelajaran

kepada siswa yang kita ajar.82 Metode mengajar menurut mereka adalah bagian dari

Strategi Pembelajaran. Metode belajar termasuk di dalamnya adalah tentang bagaimana

guru secara bersama-sama mengelola kelas sehingga pelajaran berjalan sebagaimana

mestinya.

Strategi menurut J.R. David, sebagaimana dikutip Sanjaya, adalah a plan, method, or

series of activities designed to achieves a particular education.83 Strategi menurutnya

dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang

didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Maka ada dua hal penting dari

pengertian tersebut. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan termasuk

penggunaan metode. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu yang telah

ditetapkan84.

Strategi dengan demikian bukan metode atau berbeda dengan metode. Sebab strategi

adalah rencana untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan metode

adalah cara yang digunakan untuk melaksanakan strategi. Stategi pembelajaran adalah a

plan of operation achieving something. Metode adalah a way in achieving something85.

Metode pembelajaran dengan demikian adalah cara yang digunakan untuk

mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang

telah disusun tercapai secara maksimal. Artinya, metode digunakan untuk merealisasikan

strategi belajar mengajar yang sudah ditetapkan.86

Djamarah et al , mengatakan :

“Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dan anak didik. Interaksi yang berniai

82 Enclycopedia Americana, 83 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011) hal. 126 84 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,

Jakarta:Kencana Prenada Media, 2011:126 85 Wina Sanjaya, ibid, 2011:127 86 Wina Sanjaya, ibid, 2011:147

Page 40: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

36

edukatif dikarenakan kegiatan berlajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.”87

Dari pernyataan di atas, tergambar jelas bahwa kegiatan belajar mengajar yang bernilai

edukatif itu sangat perlu. Guru tidak sekedar mengajar dan murid pun jangan sekedar

belajar. Kegiatan belajar mengajar harus memastikan sebuah proses transformasi

pengetahun dan nilai berlangsung dengan baik dan sukses. Kegiatan belajar mengajar tidak

sekedar melaksanakan apa yang telah dipersiapkan guru.

Ada banyak hal yang penting dalam sebuah kegiatan belajar mengajar yang berguna

bagi pencapaian tujuan yang sudah lebih dahulu ditentukan. Dan guru bertugas untuk

mengarahkan siswa untuk berupaya memenuhi tujuan yang sudah ditentukan itu. Karena

itu, seorang guru, harus mempersiapkan rencana belajarnya yang lengkap, dan sistimatis,

agar kegiaan belajar mengajar itu berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,

menantang dan memotivsi peserta didik untuk berpartisipasi aktif , serta memberikan

ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat,

dan perkembangan fisik, seta prikoligis peserta didik .88

Metode mempunyai andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar dalam

rangka menggairahkan siswa untuk belajar. Penggunaan metode dimaksudkan membantu

siswa mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan bergairahnya siswa, maka akan

tidak sukar bagi mereka untuk maksud tersebut .89

Harefa dalam Bahan Ajar Metodologi PAK90 yang mengutip Sara Little, mengatakan,

metode mengajar dibutuhkan oleh seorang guru dalam rangka melaksanakan tugas

mengajarnya. Metode mengajar bukan sekadar cara mengajar tetapi sebuah upaya menarik

yang akan memungkinkan siswa tertarik pada pokok bahasan yang diajarkan. Karena itu,

guru perlu memilih metode yang menarik dan tepat. Metode yang tepat dan menarik yang

membuat siswa memusatkan perhatian pada pokok bahasan

87 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta:PT Rineka Cipta,2010:1

88 Rusman, Model-Model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme Guru (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) hal. 5

89 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Op.Cit (2011) hal.147-162 90 Harefa, Juliman, Metode Pembelajaran (2013)

Page 41: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

37

akan memungkinkan tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan itu akan mudah dicapai.91

Ada beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk

mengimplementasikan strategi pembelajaran. Beberapa diantaranya, menurut Sanjaya 92

adalah :

1). Metode Ceramah.

Metode ini difahami sebagai cara menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan

atau penjelasan langsung kepada para siswa. Sependapat dengan itu, Jihad et al, memahami

metode ceramah ini sebagai suatu cara penyampaian informasi secara lisan kepada siswa

di dalam ruangan tertentu, siswa mendengarkan apa yang disampaikan dan membuat

catatan seperlunya. Metode ini menurutnya lebih sesuai digunakan pada bidang non

eksakta karena dianggap lebih praktis.93

Metode ceramah ini merupakan metode yang lebih sering digunakan oleh guru karena

kebiasaan guru maupun siswa. Metode ini memiliki beberapa kelebihan tetapi juga

kelemahan yang dapat dilihat dalam tabel berikut.

Kelebihan Kelemahan Murah biayanya dan mudah dilakukan. Materi yang mampu dikuasai siswa terbatas

sesuai kemampuan guru. Dapat digunakan untuk menyajikan materi yang lebih luas.

Ceramah tanpa peragaan akan lebih banyak verbalismenya.

Pokok-pokok materi yang perlu ditekankan akan ditonjolkan sehingga mudah mencapai tujuan yang ditetapkan.

Guru yang tidak memiliki kemampuan verbalisme yang baik, akan membosankan siswa.

Guru mudah mengendalikan kelas. Sulit diketahui apakah siswa telah atau belum apa yang dijelaskan guru. Mudah mengorganisaikan kelas.

2). Metode Demonstrasi.

Disebuat demonstrasi karena menggunakan peragaan dan pertunjukan kepada siswa

tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekadar

tiruan. Metode ini dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan strategi pembelajaran

ekspositori dan inkuiri.

91 Juliman Harefa, Metode Pembelajaran, 2013:13 92 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011) hal. 147-162 93 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Op.Cit, 2011:25

Page 42: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

38

Metode ini juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya dan kelemahannya

dapat dilihat dalam tabel berikut.

Kelebihan Kelemahan Verbalisme dihindari, perhatian siswa fokus pada pelajaran yang diajarkan.

Membutuhkan persiapan yang lebih matang, sebab tanpa persiapan akan gagal dan metode ini menjadi tidak efektif lagi. Persiapan yang bisa berkali-kali gagal akan memakan waktu yang banyak.

Proses belajar akan lebih menarik sebab siswa tidak hanya mendengar tetapi melihat peristiwa yang terjadi.

Membutuhkan peralatan, bahan dan tempat yang memadai, dengan demikian biaya yang dibutuhkan lebih mahal dibandingkan dengan metode ceramah.

Siswa akan lebih meyakini kebenaran materi pembelajaran sebab mereka mengamati secara langsung untuk membandingkan antara teori dan kenyataan.

Membutuhkan kemampuan dan ketrampilan guru secara khusus, sehingga guru dituntut lebih ahli. Dibutuhkan motivasi dan kemauan yang sungguh dari guru.

3). Metode Diskusi

Diskusi yang dimaksudkan bukanlah debat yang bersifat saling mengadu argumentasi,

tetapi lebih bersifat saling bertukar penglaman untuk menentukan keputusan tertentu

secara bersama-sama. Kepada siswa diperhadapkan suatu permasalahan dan siswa saling

bertukar pengalaman untuk memecahkan masalah tersebut. Ada beberapa macam jenis

diskusi yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar dengan metode ini, di

antaranya diskusi kelas, diskusi kelompok kecil, simposium dan diskusi panel.

Berikut ini, kelebihan dan kelemahan metode diskusi dalam tabel.

Kelebihan Kelemahan Metode ini merangsang siswa untuk lebih kreatif khususnya dalam memberikan gagasan atau ide.

Sering terjadi dikusi dikuasai oleh dua atau tiga siswa yang memiliki ketrampilan berbicara

Membiasakan siswa untuk bertukar pikiran dalam mengatasi permasalahan

Kadang permasalahan meluas sehingga kesimpulan sulit diperoleh, atau kesimpulan menjadi kabur

Melatih siswa untuk pendapat secara verbal

megemukakan Waktu yang dibutuhkan lebih banyak dan kadang-kadang tidak sesuai dengan waktu yang direncanakan

Bisa melatih siswa untuk menghargai pendapat orang lain walau berbeda.

Sering bersifat

terjadi perbedaan emosional yang

pendapat yang tidak terkendali.

Page 43: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

39

Bisa mengakibatkan ada pihak yang

tersinggung dan iklim belajar terganggu.

4). Metode Simulasi.

Simulasi berasal dari kata simulate yang berarti berpura-pura atau berkuat seakan-

akan. Metode simulasi ini dapat diartikan sebagai cara penyajian pengalaman belajar

dengan menggunakan tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan

tertentu. Beberapa jenis simulasi yang dikenal di antaranya Sosiodrama, psikodrama

dan Role playing.

Berikut kelebihan dan kelemahan Metode Simulasi ini.

Kelebihan Kelemahan

Simulasi dapat menjadi bekal menghadapi situasi yang sebenarnya

Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi

tidak selalu sesuai dan tepat dengan

kenyataan yang sesungguhnya

Dapat mengembangkan kreativitas siswa.

Jika pengelolaan kurang baik, simulasi

hanya akan menjadi hiburan sehingga tujuan

pembelajaran menjadi terabaikan.

Dapat memupuk keberanian dan rasa percaya diri siswa

Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut

sering mempengaruhi siswa dalam

melakukan simulasi

Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis. Dapat meningkatkan semangat siswa dalam proses pembelajaran.

3.3.2. Metode Belajar Mengajar dalam Gereja.

Kristianto tentang metode belajar mengajar dalam buku Prinsip & Praktik Pendidikan

Agama Kristen mengatakan, metode dalam kegiatan pembelajaran adalah alat sederhana

yang digunakan guru untuk mengkomunikasikan ilmu yang dalamnya terdapat idealisme

dan kebenaran.94 Di dalamnya terdapat dua mata rantai yang saling berhubungan yaitu

pengalamam dan bahan pelajaran. Metode adalah penggerak atau motor untuk memberi

pelajaran tentang Tuhan dan firman-Nya.

94 Paulus Lilik Kristianto, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006:83

Page 44: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

40

Menurut Homrighausen , dalam PAK metode adalah suatu pelayanan, suatu pekerjaan

yang aktif, yang dilakukan bagi Firman Tuhan dan bagi sesama manusia, supaya kedua

pihak itu saling bertemu satu sama lain. Menurutnya, mengetahui berbagai metode dan

menggunakan metode yang paling efektif saja tidak cukup untuk mengajarkan Firman

Tuhan. Seorang pengajar Firman Tuhan harus memiliki karunia, karena itu ia harus rendah

hati dan setia.95

Dalam rangkaian kegiatan pelayanan Yesus, ke-empat kitab Injil memberikan pernyataan

maupun gambaran bahwa Ia banyak kali mengajar di Bait Allah, rumah ibadat, di pantai,

di danau atau di atas perahu nelayan, di bukit maupun di tempat-tempat yang datar. Ia

berkeliling ke berbagai tempat, berbagai kota dan desa dan di sana Ia mengajar dan

memberitakan Injil Kerajaan Sorga. Menurut Boehlke dalam Kitab Injil Matius ada 9 kali

kata kerja didaske atau mengajar dipakai sebagai gambaran kegiatan Yesus.96 Di Kitab

Injil Markus dan Lukas 15 kali, dan dalam kitab Injil Yohanes ada 8 kali.97 Beberapa di

antaranya misalnya: “Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar

dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan

segala penyakit dan kelemahan” (band. Matius 9 : 35). Atau “Pada hari Sabat Ia mulai mengajar

di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: "Dari

mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-

mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?” (band. Markus 6 : 2).

Menurut catatan kitab Injil, Yesus dalam mengajar sangat berbeda dengan para rabi

Yahudi, karena Ia mengajar dengan kuasa dan kasih. Ia juga mengajar dengan kuasa dan

mujizat. Dan mereka yang mendengar pengajaran-Nya takjub. “Mereka takjub mendengar

pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti

ahli-ahli Taurat” (Markus 1 :22). Mereka yang mendengar pengajaran- Nya menjadi

kagum dan penuh dengan syukur.98

Selama pelayanan Yesus di dunia, Tuhan Yesus telah memberikan teladan atau contoh

kepada gereja dalam metode pengajaran-Nya. Melalui berbagai metode yang

95 E.G. Homrighausen dan I.H Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (BPK Gunung Mulia,2011) hal.74

96 Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen Dari Plato sampai IG. Loyola (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 61

97 E.G. Homrighausen dan I.H Enklaar, ibid, 2011:61 98 E.G. Homrighausen dan I.H Enklaar, ibid (2011) hal. 8

Page 45: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

41

Yesus gunakan, Yesus membangun komunikasi dengan murid-murid-Nya dan para

pendengar-Nya (2006 : 14). Ada delapan Metode yang sering digunakan Yesus dalam

penyampaikan pengajaran-Nya.

Kedelapan Metode pengajaran tersebut adalah (2011 : 66 – 69).

a. Metode Ceramah

Melalui metode ceramah seperti dalam kisah Khotbah di Bukit dalam Matius 5 - 7,

Yesus berusaha menyampaikan pengetahuan atau penafsiran pengetahuan itu kepada

murid-murid-Nya dan para pendengar ketika itu. Yesus mengharapkan dua hal dari para

pendengar pengajaran-Nya yaitu pengertian yang mendalam dan perilaku yang baru.

b. Metode Bimbingan

Matius 10 yang mencatat bagaimana murid-murid Yesus dipanggil dan diutus Yesus,

terdapat di dalamnya berbagai petunjuk dari Yesus kepada murid-murid-Nya. Yesus

memberikan petunjuk tentang kota mana yang harus didatangi dan mana yang tidak. Ada

petunjuk tentang kepada siapa mereka harus pergi memberitakan Kerajaan Allah. Terdapat

juga petunjuk tentang kata-kata mana yang harus diucapkan dan tidak mana yang harus

dilakukan pada murid.99

c. Metode Menghafalkan.

Ketika Yesus mengajarkan sesuatu, tidak jarang Yesus mengutip dari kitab suci orang

Yahudi, baik dari Taurat, kitab Nabi-nabi. Kutipan tersebut digunakan untuk mendukung

tindakan dan ajaran-Nya. Atau ketika Yesus membuat semacam kesimpulan dalam suatu

ucapan yang mudah dihafal dan diingat.

d. Metode Perwujudan.

Metode ini merupakan pendekatan khas Injil Matius, namun contohnya diberikan oleh

Tuhan Yesus sendiri. Melalui pengajaran-Nya Yesus menyatakan bahwa banyak hal yang

dinyatakan di dalam Kitab Suci telah terwujud di dalam diri atau pribadi-Nya sendiri.

Misalnya pernyataan nubuat Nabi Yesaya tentan Hamba Tuhan yang menderita telah

terwujud dalam pribadi Yesus. Atau pernyataan nabi Yehezkiel tentang Gembala

99 William Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-Hari, Matius 1-10 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) hal.592

Page 46: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

42

yang baik itu sekarang terwujud di dalam diri Yesus. Selain itu pengalaman bangsa

Israel di Sinai juga dialami Yesus dalam pencobaan-Nya di padang gurun.

e. Metode Dialog.

Keempat kitab Injil banyak memberi contoh tentang metode ini. Ada kisah tentang

seorang anak muda yang datang kepada Yesus dan bertanya kepada-Nya tentang apa yang

harus diperbuatnya supaya ia memperoleh hidup yang kekal. Atau sejajar dengan itu kisah

tentang Nikodemus seorang ahli Taurat yang datang kepada Yesus dan bertanya tentang

dilahirkan kembali. Kita juga ingat percakapan Yesus dengan seorang perempan Samaria

di dekat sebuah sumur. Dalam percakapan dengan mereka, Yesus menjawab pertanyaan

mereka dengan mengajukan sebuah pertanyaan baru. Begitu seterusnya sampai pada

akhirnya sipenanya itu sendiri yang akan mengambil sebuah kesimpulan atau menjawab

sendiri pertanyaannya.

Tentang metode ini, Homrighausen et al, mengatakan Yesus menggunakannya

berulang kali. Biasanya Yesus menjawab pertanyaan orang yang bertanya kepada-Nya

dengan pertanyaan lain. Yesus menyampaikan pengajaran-Nya kepada mereka dengan

cara demikian, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.100

f. Metode Studi Kasus

Salah satu kisah yang dikategorikan sebagai metode studi kasus adalah kisah Anak

yang Hilang dalam Lukas 15. Yesus menggunakan kisah ini untuk menggiring murid-

murid-Nya dan para pendengar-Nya dan sudah tentu orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang

secara diam-diam mengikuti-Nya untuk menggunakan akal dan imannya. Dengan metode

ini mereka ditantang untuk menilai kembali dan pada akhirnya mereka akan merubah cara

pandang mereka. Ketika murid-murid menyampaikan kepada Yesus keluhan orang-orang

Farisi dan ahli Taurat karena Yesus menerima orang berdosa dan makan bersama-sama

mereka. Yesus menggunakan kisah bungsu yang telah menghabiskan harta warisnya dan

keluhan ank sulung karena anak bungsu itu diterima ayahnya dan dibuatkan sebuah

perayaan itu untuk mengajarkan bahwa adalah baik memberikan kesempatan kepada orang

berdosa untuk bertobat, dan jika dia bertobat maka ada sukacita.

100 E.G. Homrighausen dan I.H Enklaar, op.cit, (2011) hal. 5

Page 47: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

43

g. Metode Perjumpaan.

Melalui metode ini, orang yang belajar ditantang secara langsung untuk mengambil

keputusan. Ada beberapa peristiwa dalam kitab Injil yang mengisahkan bagaimana murid-

murid harus mengambil keputusan secara pribadi. Ketika di Kaisarea Filipi dan Yesus

bertanya kepada murid-murid-Nya “Kata orang siapa Aku?” (Mat. 16:3), pada awalnya

jawaban mereka menurut Yesus kurang mengena. Dan Yesus langsung bertanya dengan

pertanyaan mendalam, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mat. 16:15). Petruslah

yang kemudian menjawab pertanyaan tersebut.

Dalam berbagai peristiwa, Yesus menggunakan metode ini dan memberikan

kesempatan kepada setiap orang, yang mendengar-Nya atau mengalami perjumpaan

penting dengan Yesus, untuk mengambil keputusan iman tentang cara pandangnya

terhadap sebuah konsep atau siapa Yesus baginya.

h. Metode Perbuatan Simbolis

Ada beberapa perbuatan simbolis yang Yesus lakukan dan dicatat dalam kitab-kitab

Injil. Peristiwa Yesus dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis yang banyak

menimbulkan pertanyaan dan penafsiran teologis itu misalnya. Sesungguhnya melalui

bapisan-Nya, Yesus ingin mengajarkan kepada murid-murid-Nya dua hal penting.

Pengajaran pertama yang disimbolkan dalam Baptisannya adalah bahwa pelayanan-Nya

membutuhkan pengorbanan diri dan pengorbanan diri-Nya adalah tujuan utama

kehidupan-Nya. Baptisan-Nya merupakan lambang kesengsaraan dan kematian-Nya.

Pengajaran kedua dari peristiwa ini adalah bahwa Yesus perlu bersolider dengan semua

orang dan bahwa solidaritas itu hanya dapat dinyatakan sebagai hamba yang merendahkan

diri dan menderita.

Selain Baptisan-Nya sebagai sebuah perbuatan simbolis, kitab Injil Lukas mencatat

hubungan perayaan perjamuan di malam menjelang kematian Yesus dengan pengalaman

dua orang murid di Emaus. Dua orang murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus,

tiba-tiba ditemani seseorang yang tidak mereka kenal. Orang asing yang seolah tidak

mengetahui situasi terakhir di Yerusalem yaitu kematian Yesus yang sudah terjadi dan

berita tentang kebangkitan-Nya yang menggemparkan itu. Mereka baru bisa mengenalnya

saat tiba di rumah salah satu murid di Emaus dan mereka hendak makan

Page 48: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

44

bersama, orang asing tersebut mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkan roti

itu dan membagikannya kepada mereka.

Jelas, bahwa ada berbagai metode seperti yang telah dikemukakan di atas. Yesus

dalam menyampaikan pengajaran-Nya baik kepada murid-murid-Nya maupun pemuka-

pemuka agama Yahudi dan khalayak ramai yang mengikuti dan mendengar pengajaran-

Nya, menggunakan metode yang berbeda-beda. Dapat dikatakan, selalu ada metode yang

tepat untuk sebuah pengajaran yang tepat. Dan karena itu seorang pengajar di Gereja patut

mengetahui metode apa yang tepat untuk pengajaran yang hendak disampaikan. Metode

apa yang tepat untuk sebuah tujuan yang hendak dicapai dengan kegiatan belajar tersebut.

Tentang hal itu, Homrighausen mengatakan bahwa seorang pengajar boleh memilih

segala jalan dan cara untuk menyampaikan pengajarannya, asal sesuai dengan tuntunan

pelajaran itu.101 Dan dalam hal metode apa yang tepat untuk menyampaikan Pengajaran

Agama kepada anak-anak dikatakan demikian :

“Kita boleh memilih segala jalan dan cara, asal sesuai dengan pejalaran kita dan menjadi penolong untuk mempertemukan Firman Tuhan dengan orang didikan kita. Jika demikian, kita tidak sekadar menyuruh mereka mempercayai apa yang kita percayai, tetapi kita menanamkan dalam akal dan batinnya tentang isi kesaksian Tuhan sendiri dalam Kitab Suci. Kita membentangkan percaya kita sendiri; kita dengan tidak takut juga menerangkan pendapat ilmu pengetahuan tentang soal-soal semacam ini, dan kita meyakikan mereka bahwa sebenarnya kedua hal itu tidak bertentangan satu sama lain, karena masing-masing ada taraf atau tempatnya sendiri.”

Dapat disimpulkan bahwa untuk mengajarkan tentang nilai-nilai hidup yang

menerima dan menghargai perbedaan di dalam kehidupan bersama baik dalam gereja

maupun di lingkungan pergaulan anak-anak, di rumah dan sekolah, pasti ada metode yang

tepat untuk itu. Pasti ada metode yang tepat untuk mengajarkannya kepada anak- anak

kelas Taman Kanak-kanak dan anak kecil. Metode yang tepat bisa saja bercerita dan

menggunakan alat peraga misalnya dengan nyanyian, pemutaran film dan berakhir dengan

aktifitas games. Sedangkan bagi anak-anak yang lebih besar, bisa menggunakan beberapa

metode misalnya perjumpaan, dengan berkunjung ke gereja-geraja sekitar saat kegiatan

Sekolah Minggu, atau merancangkan kunjungan ke pesantren yang memungkinkan

interaksi dengan anak-anak dari kayakinan yang berbeda. Bisa juga

101 E.G. Homrighausen dan I.H Enklaar, ibid, (2011) hal. 284-285

Page 49: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

45

metode studi kasus dan diskusi digunakan dalam rangka mengajarkan nilai-nilai

menerima dan menghargai perbedaan itu.

Page 50: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

46

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif deskriptif. Menurut

Sukmadinata, penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap,

kepercayaan, presepsi, dan orang secara individual maupun kelompok. Sementara itu,

penelitian deskriptif bertujuan mendefinisikan suatu keadaan atau fenomena secara apa

adanya.102

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun akademik 2015/2016 untuk

memenuhi tugas penelitian dosen program studi Magister Pendidikan Agama Kristen

(MPAK) PPs - Universitas Kristen. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret 2016

sampai Agustus 2016.

Tabel 1. Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Tahun Pelajaran 2015/2016

Mar Apr Mei Jun Jul Ags

1 Persiapan Penelitian

1.1. Survei Awal

1.2. Penyusunan

Proposal

1.3. Seminar Proposal

2 Pelaksanaan Penelitian

2.3. Pengumpulan Data

2.4. Analisis Data

3 Penyelesaian Penelitian

3.1. Penulisan Laporan

3.2. Revisi / Editing

102 Nana Syaodih Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 2009) hal. 18, 53-60.

Page 51: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

47

3.3. Penyajian Laporan

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

literatur, yaitu cara yang dipakai untuk menghimpun data-data atau sumber-sumber yang

berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penelitian. Studi literatur bisa

diperoleh dari berbagai sumber, misalnya: jurnal, buku, dokumentasi, dan internet.

3.4 Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan

data, mengorganisir data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensistesisnya, mencari dan menemukan pola, menemukan yang penting dan apa yang

dapat diceritakan kepada orang lain. Teknik analisis data yang digunakan adalah content

analysis, yaitu teknik analisis untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru

(replicaple) dan sahih dengan memperhatikan konteksnya.103

103 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo, 2006) hal. 219.

Page 52: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

48

BAB IV

ANALISIS TEOLOGIS

Sekolah Minggu atau Sunday School, adalah “an institution for the moral and

religious instruction of children and, less often, of adolescents and adults”.104 Sebuah

institusi yang mengajarkan moral dan agama kepada anak-anak, remaja dan orang dewasa.

Kegiatan tersebut disebut Sekolah Minggu karena berlangsung beberapa jam pada hari

minggu di dalam gereja.

Menurut Enclycopedia Americana,105 tidak ada yang tahu kapan persisnya kegiatan

Sekolah Minggu yang dimulai di Sooty Alley-Gloucester Inggris. Hanya bisa dipastikan

bahwa pertama kali Sekolah Minggu yang diprakarsai oleh Raikes dimulai di akhir tahun

1780, tetapi tidak berkembang dengan baik. Barulah pada tahun 1783, Sekolah Minggu

tersebut bertumbuh dengan baik.106

Upaya yang dimulai oleh Raikes sesungguhnya berawal dari rasa terganggunya ketika

dia sedang bekerja pada hari minggu di kantornya. Dia terganggu karena anak- anak yang

bermain di jalan pada hari minggu begitu ribut. Akhirnya dia mengetahui bahwa anak-

anak tersebut adalah anak-anak yang tidak bersekolah karena harus bekerja di industri dan

pada hari minggu pabrik-pabrik tidak melakukan kegiatan produksi.

Abad ke-18, ditandai dengan revolusi Industri di Inggris. Muncul banyak pabrik yang

membutuhkan tenaga kerja dengan upah murah. Banyak anak yang berhenti sekolah untuk

bekerja di pabrik walaupun dengan upah murah. Anak-anak ini adalah anak-anak dari latar

belakang keluarga miskin atau tidak mampu107. Di pabrik mereka dipaksakan untuk

bekerja dengan keras. Tidak ada waktu santai, selain pada hari Minggu. Sebab itu pada

hari minggu, anak-anak putus sekolah yang bekerja di pabrik sepanjang enam hari itulah

yang berkeliaran di jalan, bermain dan membuat keributan.

Sebuah keputusan penting diambil oleh Raikes yakni melakukan percobaan dengan

membuka sekolah sederhana bagi anak-anak miskin dengan meminta bantuan seorang ibu

untuk mendidik beberapa anak. Setiap hari Minggu Raikes akan mengantar beberapa

104 Enclycopedia Americana, The Enclycopedia Americana International Edition, vol. 22. (1972) hal. 22

105 Ibid. 106 Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama

Kristen Dari Plato sampai IG. Loyola (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 384

107 Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen Dari Plato sampai IG. Loyola (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 384

Page 53: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

49

anak untuk dididik. Sebuah upaya yang pada awalnya mengalami kegagalan karena

kenakalan dan ketidak disiplinan anak-anak tersebut. Ia melakukan kerjasama dengan guru

kedua yang bernama Ibu Critchey, kemudian Ibu guru tersebut bertanggungjawab untuk

pelajaran akademis anak-anak, Raikes bertanggungjawab untuk mendisiplinkan anak-anak

tersebut . Bila anak-anak terlalu nakal, maka Raikeslah yang akan mencambuk mereka108

Berbagai tantangan dihadapi antara lain pihak Kerajaan Inggris, Gereja (Anglikan)

dan Pemilik Pabrik adalah pihak-pihak yang menentang munculnya Sekolah Minggu ini.

Kerajaan dan Gereja menganggap Sekolah Minggu telah mencampuri urusan resmi dari

Negara dan Gereja. Sementara para pemilik pabrik merasa Sekolah Minggu adalah

ancaman terhadap tersedianya tenaga kerja atau buruh dengan upah rendah.

Andar Ismail terhadap perkembangan Sekolah Minggu ini menulis :

“Walaupun banyak kendala, namun Sekolah Minggu pertama di Gloucester ini

berkembang. Semakin banyak akan tertarik dan semakin banyak orang tua melihat

faedahnya. Seorang ayah berkata, “Sejak anak saya ikut Sekolah Minggu, perilakunya

menjadi baik, saya juga berhenti mabuk-mabuk, saya sekarang teratur ke gereja”. Juga

anak-anak perempuan datang dan ikut Sekolah Minggu”.109

Melalui upaya terus menerus, dan penyebaran informasi tentang Sekolah Minggu ini

melalui Surat Khabar miliknya, Sekolah Minggu akhirnya dibuka di kota-kota lain di

Inggris. Bahkan Sekolah Minggu yang pada awalnya merupakan Sekolah sederhana di hari

Minggu yang mengajarkan kepada anak-anak miskin menulis dan membaca sehingga

mereka dapat membaca dan mengerti apa yang ditulis dalam Alkitab, berkembang sampai

ke Amerika Utara, Daratan Eropa, termasuk Belanda dan Jerman

.110

Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa tugas-tugas pendidikan anak di Gereja yang

dikenal dengan Sekolah Minggu merupakan bagian dari Tugas Panggilan Gereja. Dan

pada setiap tahapan sejarah, gereja harus belajar dari motivasi yang menjadi latar

108 Ibid. 109 Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan, Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal 29 110 Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama

Kristen Dari Plato sampai IG. Loyola (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 384

Page 54: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

50

belakang setiap perkembangan sejarah Sekolah Minggu untuk melihat sejauh mana

komitmen gereja sekarang untuk melaksanakan Tugas Panggilan tersebut.

Pendidikan Agama bagi Anak-anak Israel sebelum Pembuangan Babel, ada 3 dasar

teologi Pendidikan Agama orang Israel atau Yahudi yaitu :

a). Keyakinan teologis pertama yang menjadi dasar pendidikan bangsa Israel adalah

bahwa mereka merupakan bangsa terpilih, karena Allah memanggil Abraham nenek

moyang mereka dan Abraham menjawab melalui imannya. Melalui Abraham, mereka

dipilih bukan saja untuk diberkati tetapi agar melalui mereka bangsa-bangsa lain diberkati.

Hal inilah yang menjadi bagian jati diri bangsa Israel, yaitu mereka adalah bangsa pilihan

Allah, dipilih bukan karena perbuatan baik mereka, tetapi karena anugerah Allah. Dan

dipilih bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani bangsa- bangsa.111

b). Keyakinan teologis kedua yang menjadi sumber pendidikan orang Israel sekaligus

sumber mutlak bagi kehidupan Israel adalah keyakinan akan adanya penyataan sebagai

pengalaman yang diharapkan akan terjadi. Bahwa Allah dengan kehendak-Nya sendiri

menyatakan diri-Nya kepada manusia pada saat-saat tertentu dengan cara Allah sendiri.

Orang Israel yakin bahwa Allah menyatakan diri melalui Firman-Nya, peristiwa- peristiwa

sejarah, dan berbagai perbuatan ajaib. Maka orang Israel dididik untuk mengandalkan

Tuhan dalam seluruh kehidupan mereka.112

c). Keyakinan teologis ketiga yang menjadi dasar pendidikan agama Yahudi adalah

ajaran tentang manusia. Secara singkat Perjanjian Lama menjelaskan tentang manusia

sebagai ciptaan. Manusia diciptakan menurut gambar Sang Pencipta yakni Allah. Dimana

manusia diciptakan oleh Allah untuk memelihara lingkungan hidup menaati perintah

penciptanya, dan hidup dengan setia sebagai anggota umat pilihan atau kawan sekerja

perjanjian Allah. Sebagai ciptaan yang khusus seperti itu, ia memiliki kemampuan dan

keharusan untuk mengambil keputusan dalam seluruh kehidupannya.

111 Robert Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen Dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 19

112 Robert Boehlke, ibid, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 20

Page 55: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

51

Maka melalui pendidikan manusia akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman untuk

memudahkan manusia dalam mengambil keputusan-keputusan penting bagi

kehidupannya.113

Pendidikan Agama Yahudi seperti ini bukan sebuah usaha sambilan, tetapi merupakan

inti dari kegiatan hidup sehari-hari yang lazim dilakukan oleh setiap orang Israel. Dalam

kitab Ulangan 6 : 4 – 9 terdapat penegasan tentang hal tersebut.

“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak- anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”

Setelah Allah membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir, mereka

diwajibkan untuk memperingati peristiwa pembebasan itu. Peristiwa perayaan yang

disebut perayaan Paskah dan dalam perayaan itu mereka yang sudah dibebaskan itu harus

menceritakan kepada anak-cucu mereka tentang makna perayaan tersebut. Dalam hal ini,

selain para nabi, para imam, orang bijak dan para penyair, orang tua memiliki

tanggungjawab yang lebih besar dalam pendidikan dan pengajaran. Mereka ditugaskan

untuk menyampaikan kekayaan ajaran iman ini kepada setiap generasi muda atau kepada

anak-anak.114

Orang tua sebagai pendidik dalam keluarga menurut kitab Ulangan di atas, harus

berulang kali mengajarkan kepada anak-anaknya bukan saja secara verbal, tetapi juga

melalui keteladanan atau contoh hidup mereka bersama anak-anak mereka.115 Orang tua

sebagai pelaksana pendidik dalam keluarga dalam mendidik anak-anaknya juga

dikesankan dengan kuat dalam Amsal Salomo. Amsal 1 : 8, misalnya mengatakan “Hai

anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu”.

Untuk memenuhi syarat dalam rangka melaksanakan pendidikan sebagai inti

kehidupan sehari-hari seperti di atas, orang tua sendiri wajib belajar seumur hidupnya.

Dengan belajar terus menerus, orang tua akan mampu untuk mewariskan ajaran itu

113 Robert Boehlke, ibid, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 21-22 114 Robert Boehlke, ibid (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 20 115 Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK (Bandung: Jurnal Info Media, 2009) hal. 59

Page 56: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

52

dengan mengajarkannya lagi kepada anak-anak mereka dan generasi berikutnya 116. Pokok

pengajaran orang Israel berpusat pada Allah, karena Allah sendiri yang akan menjadi Guru

atau Pengajar Utama Orang Yahudi. Allah sebagai Pemrakarsa atas bangsa Israel pasti

akan memperlengkapi mereka dengan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan

untuk menjalankan tanggungjawab sebagai pengajar dalam keluarga.

Orang tua memiliki kewajiban untuk melakukan pendidikan dengan menyampaikan

pengajaran kepada anak-anak melalui aktifitas hidup sehari-hari, baik di rumah maupun

dalam perjalanan, pada waktu berbaring atau bangun. Dan lebih khusus dalam dua kegiatan

penting yaitu : Pertama, ketika seluruh keluarga mempersiapkan pelaksanaan perayaan

Sabat, dimana pada malam Sabat mereka mempersiapkannya dengan menyalakan pelita

Sabat dan mempersiapkan hidangan sabat kemudian orang tua berceritera tentang Tuhan

Sang Pencipta 117. Kedua, melalui keterlibatan anak-anak dalam berbagai pesta tahunan,

khususnya Hari Raya Paskah. Pendidikan terhadap anak- anak Israel, pertama-tama adalah

tanggungjawab keluarga.

Pada periode setelah pembuangan di Babel, peranan orang tua dalam pendidikan

agama bagi anak-anak dalam keluarga tetap ada. Namun karena berbagai dampak dari

kekalahan dan pembuangan Babel, termasuk hancurnya Bait Allah sebagai pusat ibadah

orang Israel serta tidak ada lagi pemimpin-pemimpin agama, kemampuan orang tua untuk

mendidik anak-anak mereka dalam keluarga mulai menurun.118 Belum lagi bahasa Ibrani

yang dulu merupakan bahasa sehari-hari dan digunakan dalam penyampaian pengajaran

Yahudi, digantikan oleh bahasa baru bahasa Aram.

Terhadap realitas ini, terjadi beberapa perkembangan yang menentukan sejarah

pendidikan agama orang Israel. Beberapa keluarga Israel yang ada di Babel mulai

berkumpul untuk berdoa bersama dan membicarakan keadaan mereka dalam terang

Taurat. Pertemuan-pertemuan itulah yang kemudian menjadi semangat berdirinya rumah-

rumah ibadah Israel yang disebut synagoge.

Di synagoge perayaan-perayaan yang berpusat pada Paskah diperingati kembali.

Perayaan di synagoge dimulai dengan semacam pengakuan iman yang didasarkan pada

Ulangan 6 : 4-9, yang dikenal dengan “Syema”, “dengarlah”. Ulangan 6 : 4 – 9,

116 Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) hal. 94

117Lewis Joseph Sherrill, The Rise of Christian Education, (New York: The Macmillan, 1960) hal. 23

118 Robert Boehlke, op.cit (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 40

Page 57: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

53

dibacakan secara lengkap kepada orang Israel yang datang beribadah di synagoge. Setelah

itu disusul dengan doa, pembacaan Taurat, pembacaan nubuat dan akhirnya berkat yang

diucapkan oleh pemimpin (2011 : 42). Maka dapat dikatakan synagoge adalah rumah

ibadat dan tempat untuk mengajar orang dewasa.

Perkembangan selanjutnya yang positif adalah sebagaimana yang dimulai oleh Rabi

Simson ben Syatakh. Pada tahun 75 sebelum Masehi, ia mendirikan sebuah sekolah dasar

yang disebut Beth-Hasepher atau rumah kitab di kota Yerusalem. Ini mrerupakan bagian

dari upaya untuk mendirikan sekolah rumah ibadat bagi generasi muda. Di sekolah Beth-

Hasepher ini, anak-anak usia enam atau tahun mulai belajar bahasa Ibrani, Taurat, nubuat

dan tulisan-tulisan lain seperti Mazmur 119

Sekolah ini, pada awal kehadirannya tidak mendapat dukungan maksimal dari orang-

orang Israel. Namun telah menjadi dasar terhadap dikembangkannya suatu sistem

persekolahaan sekitar 140 tahun kemudian, ketika Imam Agung Yodus ben Gamala

membuat keputusan agar di setiap kabupaten dan kotapraja wajib didirikan sekolah-

sekolah dasar bagi anak-anak generasi muda Israel. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis

Abineno dalam buku Sekitar Katekese Gerejawi 120 bahwa sekitar permulaan abad

pertama telah ada sekolah-sekolah yang didirikan orang Yahudi dimana anak-anak kecil

mendapat pengajaran dari guru-guru Torah.

Selanjutnya, setelah anak-anak orang Israel mencapai usia sepuluh atau sebelas tahun,

dan sudah mampu membaca seluruh Perjanjiian Lama dalam bahasa Ibrani, mereka

diterima di sekolah setingkat SMP. Sekolah ini disebut Beth-Talmud atau rumah Talmud.

Biasa juga disebut Beth Hamidrasy. Di rumah Talmud ini, anak-anak belajar Mysna, atau

suatu penafsiran isi Taurat. Selain itu anak-anak juga belajar ilmu hitung, ilmu bintang,

ilmu bumi dan ilmu hayat (2011 : 45).

Terhadap pendidikan bagi anak-anak Israel ini Pazmino121 mengatakan bahwa rumah

adalah konteks dimana pendidikan agama berlangsung. Di rumah orang tua memiliki

tanggung jawab untuk mengajarkan banyak hal penting terutama hukum Taurat kepada

anak-anaknya. Di luar itu, persekutuan juga memiliki peran dalam mendidik

119G Riemer, Ajarlah Mereka, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2006) hal. 38

120J.J.Ch. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, Pedoman Guru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005) hal 62

121Robert Pazmino W, Fondasi Pendidikan Kristen (Bandung: Sekolah Tinggi Teologia Bandung & Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012) hal. 186-187

Page 58: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

54

umat. Di situlah kaum imam menjadi jembatan antara Tuhan dan umat. Imam

menyampaikan firman Tuhan kepada umat dan menegur umat yang melanggar hukum

Tuhan. Selanjutnya orang-oraang bijak membagikan panduan praktis agar umat

mendedikasikan hidup kepada Tuhan. Dari sanalah dan sekolah-sekolah khusus seperti

Beth-Hasepher dan Beth-Hamidrasy berkembang dan synagoge berfungsi sebagai pusat

pengajaran selama dan setelah pembuangan.

Pelayanan Anak Sekolah Minggu tidak boleh diabaikan oleh gereja, karena mereka

adalah umat Tuhan yang perlu dilayani. Pelayanan kepada mereka tidak boleh dilakukan

setengah-setengah, tetapi dengan sepenuh hati. Yesus pernah berkata “Biarkan anak- anak

itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti

itulah yang empunya Kerajaan Allah” (band. Markus 10 :14).

Pelayanan kepada anak-anak harus dilakukan lebih baik lagi oleh gereja masa kini dan

karena itu para pelayan adalah penerus yang memberikan diri menanggapi panggilan

Yesus122, untuk menjamin tidak ada lagi anak-anak yang diabaikan. Yesus sendiri

menghendaki, ketika Yesus berkata : “Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak

menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang” (Matius 18 :14).

Selanjutnya Amanat Agung dari Yesus sebagaimana ditulis dalam Matius 28 : 19 –

20; panggilan dan pengutusan Tuhan Yesus itu berlaku bukan hanya bagi para pejabat

tertentu, tetapi kepada semua orang percaya yang mendengar Amanat tersebut123 Orang

yang mendengarnya memiliki kewajiban untuk memberitakannya. Karena itu rasul Paulus

dapat menyeberang dari Asia Timur ke Eropa untuk memberitakan Injil. Karena itu orang-

orang Eropa menyeberang ke Asia untuk memberitakan Injil itu. Itulah panggilan dari

murid-murid Yesus dan semua orang yang percaya kepada Yesus.

Karena panggilan itu, umat tidak dapat berdiam diri. Ia harus turut memberi diri untuk

melayani. Pelaksanaan panggilan orang beriman itu terjadi sebagai orang yang melayani,

karena Yesus sendiri telah memberikan contohnya. Kata Yesus, “Aku datang bukan untuk

dilayani, tetapi untuk melayani” (band. Matius 20 :28).

Para Pelayan yang melayani Anak-anak adalah bagian dari orang-orang yang

menjawab panggilan Yesus. Pada hakekatnya, panggilan pelayanan itu ditanggapi

122O.E.Ch. Wuwungan, Bina Warga Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 1994) hal. 97 123 O.E.Ch. Wuwungan, Bina Warga Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 1994) hal. 94-96

Page 59: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

55

dengan memberi dirinya sepenuhnya bagi Allah melalui pelayanannya kepada anak-anak

Sekolah Minggu. Hal ini tidak berarti pelayanan itu dilakukan dengan setangah hati,

sebaliknya harus dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.

Dengan demikian para pelayan tersebut akan memiliki usaha yang sungguh untuk

mengembangkan pengembangan pengajarannya sebagai kegiatan peribadahan yang

menarik dan penyampaian pengajaran yang berwibawa, dinamis, kreatif dan sesuai dengan

dunia anak-anak masa kini. Untuk itu yang diperlukan adalah kesediaan dan kesetiaan atau

komitmen dari para pelayan. Termasuk didalamnya komitmen untuk mengembangkan diri

setiap saat melalui pembinaan-pembinaan yang ada, dan komitmen untuk mempersiapkan

pelayanan itu sebaik-baiknya 124.

Tabita K. Christiani125 tentang harapan pelakasanaan pendidikan anak menulis :

“Dengan memandang segala tantangan yang ada, harapan terhadap pendidikan anak adalah adanya orang-orang yang secara profesional melaksanakannya. Seorang yang profesional tidak akan berpuas diri dengan apa yang telah dicapai/dilakukannya selama ini, tetapi terus mengembangkan diri dan jeli terhadap perubahan. Pendidikan anak akan selalu menghadapi tantangan baru, sehingga visi dan misi harus terus menerus dijabarkan secara konkret, dan pembaharuan kurikulum pun perlu terus menerus dilakukan.”

Seorang profesional pun tidak boleh berpuas diri dengan apa yang telah dicapainya,

demikian harapannya. Anak sekolah minggu harus dididik dengan pokok-pokok

pengajaran yang sesuai dengan kurikulum yang sudah dirancang sesuai dengan kebutuhan

yang ada.

Pendidikan Pluralisme dalam PAK sebagai kurikulum pengajaran sekolah minggu

janganlah diabaikan oleh gereja. Karena dari sanalah anak-anak dapat belajar bagaimana

menghargai dan menerima berbagai perbedaan-perbedaan terutama perbedaan keyakinan.

Tuhan Yesus memberikan perintah agar para pengikut-Nya mengasihi sesamanya

seperti mereka mengasihi diri mereka sendiri. Ajaran Kristus ini jelas menekankan tentang

mengasihi orang tanpa memandang suku, ras, budaya dan agama. Demikian anak-anak

diajarkan harus membangun relasi dengan sesamanya tanpa mempersoalkan

124Paulus Lie, Mengajar Sekolah Minggu Yang Kreatif, (Jogjakarta: Andi Offset, 2009) hal. 1

125 Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan, Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) hal. 137-138

Page 60: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

56

berbagai perbedaan yang ada, sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus mengenai kasih

kepada sesama.

Yesus mengajarkan hal ini bagaimana relasi atau hubungan-hubungan antar sesama

sekalipun ia berbeda dan sekalipun itu musuh kita dan berdoa bagi mereka yang

menganiaya. Matius 5 : 44, dan Lukas 6 : 27 – 28 menuliskan bahwa, “Kasihilah

musuhmum berbuatlah baik kepada orang-orang yang membenci kamu; mintalah berkat

bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu”. Hal ini

merupakan ucapan Yesus yang disampaikan karena banyak pertentangan dan kebencian di

antara berbagai golongan yang saling membenci, saling merendahkan dan melancarkan

perlawanan. Pernyataan Yesus tadi merupakan ungkapan keprihatian dan ketidak setujuan-

Nya terhadap kenyataan tersebut. Yesus mengajarkan sebuah nilai baru, mengasihi,

berbuat baik, memberkati dan mendoakan bukan saja kepada sesama yang baik, tetapi

terlebih kepada mereka yang memusuhi dan suka menganiaya.

Pelaksanaan pendidikan pluralisme bagi anak sekolah minggu merupakan tanggung

jawab dari gereja yang dilaksanakan melalui para pelayannya. Gereja sedang menyiapkan

generasi masa depan gereja dan bangsa yang akan memenuhi pasan Yesus dalam hukum

kasih : “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu

dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan

hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti

dirimu sendiri” (band. Matius 22 : 37 – 39).

Pelaksanaan berdasarkan pemahaman yang baik, dengan mengembangkan kurikulum

dan metode-metode kreatif berdasarkan konteks dan dilaksanakan dengan kesungguhan

dari para pelayannya, maka anak-anak sebagai masa depan gereja dan bangsa yang

pembinaannya dipercayakan kepada para pelayan akan memenuhi harapan- harapan besar

itu.

Jika pelaksanaan pendidikan pluralisme telah berlangsung sebagaimana mestinya,

maka anak-anak akan tertmotivasi untuk membangun keyakinannya kepada Kristus

dengan kuat, kokoh dan tidak dapat digantikan, tetapi sekaligus, ia tahu Kristusnya

menginginkannya menjadi sesama yang mengasihi orang lain. Bisa jadi anak-anak inilah

yang kelak akan menjadi pelopor membangun dialog yang tulus, jujur dan atas dasar saling

menghargai.

Page 61: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

57

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian Pendidikan Pluralisme dalam Kurikulum dan Metode

Pembelajaran PAK bagi Anak Sekolah Minggu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Pendidikan Pluralisme dalam pelayanan terhadap Anak Sekolah Minggu adalah

pendidikan kristiani yang dapat membangun sikap anak-anak terhadap kemajemukan

atau perbedaan. Bagaimana kepada anak-anak ditanamkan nilai pluralisme itu sebagai

sikap saling menghargai dan bukan merendahkan, mengedepankan kebersamaan dan

bukan kepentingan diri atau kelompok sendiri, berperilaku saling beradab, bersikap

jujur, adil, sopan, disiplin, peduli kepada sesamanya dan bertanggungjawab. Penulis

memahami bagian frasa kalimat ‘peduli kepada sesama dan bertanggungjawab’

sebagai nilai baru yang harus dimiliki anak- anak yang memahami makna pluralisme

itu. Pluralisme yang dipahami dengan baik adalah kapanpun setiap kali anak-anak kita

mendengar dan melihat sesamanya yang kurang beruntung dengan sertamerta dia

meresponnya dengan aksi nyata yang tulus layaknya ia berbuat sesuatu kepada

saudara kandungnya. Dan bagaimana anak-anak kita terlatih untuk memahami bahwa

adalah tanggungjawabnya untuk berbuat sesuatu kepada saudaranya yang kurang

beruntung itu.

2. Pelaksanaan Kurikulum PAK tentang Pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu harus

menjadi arus utama dalam kurikulum gereja terutama terhadap pelayanan anak

sekolah minggu.

3. Metode Pembelajaran PAK Pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu haruslah metode

yang kreatif dengan pengembangan-pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan

serta diiringi dengan perkembangan Informasi dan Teknologi.

4. Para Pelayan Anak-anak Sekolah Minggu haruslah memiliki komitmen yang tinggi

serta bersyukur karena Tuhan menghadirkan mereka untuk melayani anak-anak

sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan.

5. Peningkatan pelayanan terhadap anak sekolah minggu harus menjadi agenda utama

para pelayan anak sekolah minggu terhadap anak-anak sekolah minggu. Pelayanan

Page 62: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

58

mereka adalah sebuah tugas mulia untuk menciptakan generasi masa depan gereja

yang teguh dalam iman sekaligus mampu membangun relasi dengan sesamanya.

5.2 Saran

1. Pemahaman Pendidikan Pluralisme dari Para Pelayan Anak Sekolah Minggu perlu

ditingkatkan dalam pengetahuan dan pemahaman diri dari para pelayan yang

bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pelayanan anak. Gereja bertanggung jawab

untuk memberi dukungan terhadap pembinaan di dalam maupun dengan mengikut

sertakan para pelayan tersebut pada seminar-seminar pluralisme yang dilakukan oleh

berbagai lembaga baik kristen maupun non kristen.

2. Pelaksanaan Kurikulum PAK tentang Pluralisme Anak Sekolah Minggu dalam rangka

meningkatkan kemampuan dalam merumuskan kurikulum Gereja yang berbasis

jemaat lokal dan mengembangkan kurikulum yang sudah disiapkan oleh Gereja, perlu

ada pelatihan dan pembinaan sebagai kebutuhan para pendamping, pengurus dan

pelayan. Dukungan dari gereja merupakan keharusan. Gereja dapat melakukan

pembinaan dengan mengundang orang-orang yang ahli di bidangnya atau

mengikutsertakan para pelayan pada kursus atau latihan dan pembinaan-pembinaan

yang biasanya dilakukan oleh lembaga-lebaga pendidikan keguruan.

3. Metode Pembelajaran PAK Pluralisme bagi Anak Sekolah Minggu, sudah saatnya

pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Minggu dilaksanakan dengan

berbagai metode yang kreatif. Untuk itu peningkatan ketrampilan para pelayan harus

segera difasilitasi oleh gereja dan orang tua. Gereja harus melakukan pembinaan dan

pelatihan bagi pendamping, pengurus dan pelayan bagaimana mengembangkan

metode-metode kreatif yang menarik, menantang dan mengembangkan potensi anak-

anak sekolah minggu. Orang tua harusnya turut memikirkan dan memberikan

dukungan bagi para pelayan melalui gereja. Dukungan pendanaan baik untuk

pembinaan para pelayan, maupun pelaksanaan metode-metode kretaif pendidikan

pluralisme itu.

Page 63: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

59

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab Edisi Slimline, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2013)

Abineno, J.J.Ch., Sekitar Katekese Gerejawi, Pedoman Guru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005)

Adiprasetya, Joas, Mencari Dasar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia & UPI STT Jakarta, 2009)

Antone, Hope S., Pendidikan Kristiani Kontekstual (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012) Arikunto, Suharsimi. & Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan

Pedoman Teoretis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara)

Aritonang Jan S, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010)

Barclay, William, Pemahaman Alkitab Sehari-hari, Matius 1- 10 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995)

Barclay, William, Pemahaman Alkitab Sehari-hari, Roma (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986)

Basrowi & Siskandar, Evaluasi Belajar Berbasis Kinerja, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012)

Boehlke, Robert R., Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen Dari Plato sampai IG. Loyola (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)

, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen Dari .Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)

Borong, Robert P –editor, Berakar di dalam Dia & Dibangun di atas Dia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002)

Colson, Howard P & Raymond M. Ridgon, Understanding Your Church’s Curriculum, Revised Edition (Nashville : Broadman Prees, 1981)

Coward, Harold, Pluralism Challenge to World Religions (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1985)

Daniel Eleanor, John W. Wade & Charles Gresham, Introduction to Christian Education (Cincinnati, Ohio : Standard Publishing, 1980)

Dewan PA GPIB., 50 Tahun BPK PA GPIB Berkarya 1959-2009 (Jakarta MS.GPIB., 2009)

Djamarah, Syaiful Bahri & Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010)

Effendi. Djohan, Pluralisme dan Kebebasan Beragama (Jogjakarta: Dian/Interfidei, 2013)

Enklaar, I. H & E.G. Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)

Forum Mangunwijaya, Menyambut Kurikulum 2013 (Jakarta : Kompas, 2013) Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), Tata Gereja GPIB, Buku III,

(Jakarta: Majelis Sinode GPIB, 2010) GPIB Anugerah, Sejarah GPIB Anugerah DKI Jakarta (Jakarta: GPIB Anugerah Jakarta,

2009) Groome, Thomas H, Christian Religous Education, Sharing Our Story and Vision (San

Francisco, Harper & Row Publishers, 1979)

Page 64: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

60

, Sharing Faith (San Francisco, Harper Collins Publishers, 1991) Hasan Hamid, Evaluasi Kurikulum (Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas

Pendidikan Indonsia & PT Remaja Rosdakarya, 2009) Harris, Maria, Fashion Me A Peoples, Curriculum in the Church (Liusville, 1989) Hopkins Kenneth D & Julian C. Stanley, Educational And Psyshological Measurement

and Eavaluation (New Jersey: Prentice-Hall. Inc., 1981) Ismail, Andar, Ajarlah Mereka Melakukan, Kumpulan Karangan Seputar Pendidikan

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) , Selamat Berkaruinia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) , Selamat Berpadu (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014) , Selamat Menabur, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) Jihad, Asep & Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta: Multi Pressiondo,

2012) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Undang-undang

SISDIKNAS Sistem Pendidikan Nasional (Bandung : Fokusindo Mandiri, 2012)

Knitter Paul F., Satu Bumi Banyak Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) , Jesus and the Other Names (Maryknoll: Orbis Book, 1996) Kristianto, Paulus Lilik, Prinsip & Praktik Pendidikan Agama Kristen, (Yogyakarta:

Penerbit Andi, 2006) Lamp, Walter , Tafsiran Alkitab Kejadian 5 : 1 – 12 :3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1987) Lembaga Alkitab Indonesia, Tutur Tinular Punjung Tulis 70 Tahun Supardan (Jakarta:

LAI, 2010) Lie, Paulus, Mengajar Sekolah Minggu Yang Kreatif (Jogjakarta: Andi Offset, 2009) Lumintang Stevril Indra, Theologia Abu-abu Pluralisme Agama (Malang: Gandum Mas,

2009) Mojau, Julianus, Meniadakan atau Merangkul? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung; PT Remaja Rosdakarya,

2011 Muirhead, Jan A, Education in the New Testament (New York:Association Press, 1965) Mutrofin, Evaluasi Program Teks Pilihan untuk Pemula (Yogyakarta: LaksBang

PRESSindo, 2010) Nasution, S, Asas-asas Kurikulum (Jakarta : Bumi Aksara, 2008) Nuhamara Daniel, Pembimbing PAK (Bandung: Jurnal Info Media, 2009) Pakpahan , Binsar J. (editor), Perjalanan Semua Mendayung, Buku 2 – 65 Tahun Pdt.

Dr. Einar Sitompul (Jakarta: UPI STT Jakarta, 2014) Palmer, Martin, What Should We Teach? (Geneva, WCC Publications, 1991) Pazmino, Robert W, Fondasi Pendidikan Kristen (Bandung: Sekolah Tinggi Teologia

Bandung & Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012) Philip, T. V, Christianity and Relligious Pluralism (Bangalaore: The United Theological

College, 1988) Philips, Gerardette, Beyond Pluralism, (Yogyakarta : Institus Dian/Interfidei, 2013) Purwanto, Ngalim, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2013) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Umum Bahasa

Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976) Reksoatmodjo, Tedjo Narsoyo, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan

Kejuruan (Bandung: Refika Aditama)

Page 65: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

61

Riemer, G, Ajarlah Mereka (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2006) Rohman, Muhammad, Kurikulum Berkarakter, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,

2012) Rusman, Model-model Pembelajaran, Mengembangkan Profesionalisme Guru (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2012) Sairin, Weinata, Gereja, Agama-agama & Pembangunan Nasional (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2006) Sanjaya Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:

Kencana Prenada Media, 2011) Sarapung Elga, Prospek Pluralisme Agama di Indonesia (Yogyakarta, Institut

DIAN/Interfidei) Schumann, Olaf, Dialog Antar Umat Beragama, Dari Manakah Kita Bertolak? (Jakarta:

Departemen Penelitian dan Pengembangan DGI, 1982) Sherrill, Lewis Joseph, The Rise of Christian Education (New York: The Macmillan,

1960) Singgih, Gerrit E, Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi dalam Konteks di Awal

Milenium III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005) Sitompul, Einar M, Perjalanan Sarat Muatan, Buku 1-65 Tahun Pdt. Dr. Einar Sitompul

(Jakarta: UP STT Jakarta, 2014) Soetarman, Weinata Sairin & Ioanes Rakhmat, editor, Fundamentalisme, Agama-agama

dan Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992) Supriatno, Onesimus Dani & Daryatno –ed, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian

Menjadi Gereja Bagi Sesama (Jakarta: BPK Gunung Mulia & Bandung: Majelis Sinode GKP, 2009)

Taher, Elza Peldi, editor, Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta : ICRP Indonesian Conference on Religion and Peace & Kompas, 2009)

Tayibnapis, Farida Yusuf, Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk Program Pendidikan dan Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)

TIM BALITBANG PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007)

Wahono, Wismohadi, Di Sini Kutemukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984) , Pro Eksistensi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) Widoyoko, Eko Putro S, Evaluasi Program Pembelajaran Panduan Praktis Bagi

Pendidik dan Calon Pendidik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) Woly, Nicolas J, Perjumpaan di Serambi Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) Wright Christ, Tuhan Yesus Memang Khas Unik (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina

Kasih/OMF, 2003) Wuwungan, O.E.Ch, Bina Warga Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 1994) Wyckoff D. Campbell (tt), The Gospel and Christian Education, Philadelphia, The

Wesminster Press Yewangoe Andreas A , Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011) , Tidak Ada Penumpang Gelap, Warga Gereja, Warga Bangsa

(Jakarta: Biro Penelitian dan Komunikasih PGI & BPK Gunung Mulia, 2011) , Tidak Ada Ghetto Gereja di Dalam Dunia, (Jakarta: Biro

Penelitian dan Komunikasih PGI & BPK Gunung Mulia, 2011)

Kamus & Enclyclopedia

Page 66: LAPORAN PENELITIAN DR. DJOYS ANNEKE RANTUNG, M

62

Enclycopedia Americana, The Enclycopedia Americana International Edition, vol. 22. (1972) Enclycopedia Americana, The Enclycopedia Americana International Edition, vol. 25, (1972) Enclycopedi Indonesia- Edisi Khusus (tanpa tahun). Vol. 5, Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve.

Kutipan dari Internet : (http://kabartersiar.web.id/2012/06/29/ragam-bahasa-kekayaan-unik-orangindonesia/) (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Abrahamik).